Bab 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Jepang memiliki masyarakat yang tangguh dalam membangun kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan di masa sekarang dan di masa depan. Jepang terbukti, di saat pertengahan abad ke-19 adalah bukan negara yang sama seperti saat ini yang maju dalam ekonomi. Hal ini tidak menyurutkan optimisme orang Jepang, dengan menganut budaya mereka mau terus bekerja dan berusaha. Menurut Commodore Perry (1992) rasa ingin tahu mereka untuk mempelajari hasil kemajuan bangsa lain. Kesediaan mereka dalam menerima hasil-hasil tersebut untuk kepentingan sendiri. Dengan kebijakan pemerintahannya yang eksklusif, meningkatkan mereka pada suatu tingkat bersama negara-negara paling maju. Bangsa Jepang adalah bangsa yang belajar dari pengalaman, di mana masyarakatnya pada saat itu belajar dari kesengsaraan yang mereka alami. Setiap perusahaan di Jepang, orang Jepang dapat menghasilkan kemampuan kerja (workmanship) yang tidak saja meliputi jam-kerja panjang, tetapi juga kualitas atau mutu kerja yang tinggi, Oleh karena itu dengan semangat bekerja yang tinggi ekonomi Jepang semakin hari semakin maju dan kuat sehingga pada abad kedua puluh satu akan menjadi abad Jepang dimana akan memimpin Asia dalam membuat kawasan Asia Pasifik menjadi pusat perekonomian dunia (Yoshihara,1992:26). Pada saat ini, Jepang adalah salah satu negara yang mempunyai pengaruh besar dalam perekonomian Asia maupun Dunia. Takafusa (1985) mengatakan, Jepang 1
bertanggung jawab untuk 8,8 persen dari seluruh ekspor dunia dan 7,3 persen dari seluruh impor dunia atas dasar nilai (1983), dan kebijakan perdagangan Jepang mempengaruhi ekonomi internasional yang sangat berarti. Sejarah
ekonomi
Jepang
mencatat
peristiwa-peristiwa
yang
sangat
mempengaruhi perekonomian Jepang saat ini, di mana ada masa-masa yang membuat Jepang mulai diperhitungkan keberadaannya oleh negara-negara maju seperti Amerika, Jerman dan Inggris. Masa emas terjadi pada tahun 1955-1970-an, ketika itu Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi negaranya yang meningkat pesat ( 高 度 経 済 成 長 ), ditandai dengan kesuksesan membangun dan memajukan negaranya, yang dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi Jepang pada tahun 1956-1961 mencapai rata-rata 10,9% bahkan sesudah tahun 1965 naik lagi menjadi rata-rata 11,8% hingga tahun 1970 (Suryohadiprojo,1987:84). Pertumbuhan ekonomi yang pesat dapat dirasakan oleh hampir keseluruhan masyarakat Jepang. Kebutuhan hidup mereka dari primer, sekunder dan tersier mulai dapat mereka penuhi karena masyarakat Jepang dan perekonomiannya tidak hanya bersandar secara berat sebelah kepada perusahaan besar, bearti oto-aktivitas masyarakat dalam bidang ekonomi cukup besar dan juga menjadi sebab mengapa dalam masyarakat Jepang lebih dari 90 persen rakyatnya merasa dirinya berada dalam golongan menengah (Suryohadiprojo,1987:90). Terjadinya Perang Timur Tengah yang ke empat mengakibatkan perekonomian dunia pun menjadi terhambat yang dikarenakan perebutan minyak bumi oleh beberapa Negara. Krisis minyak dimana harga minyak bumi yang rendah menjadi tinggi, sehingga
2
Jepang yang hampir tidak memiliki minyak bumi ikut terpukul akibat kenaikan harga minyak bumi yang drastis. Terlihat dari Produk Nasional Bruto menunjukan tingkat pertumbuhan yang negatif (minus 1,3%) dalam tahun 1974 (Yoshihara,1992:23). Setelah Perang Timur Tengah berakhir, perekonomian Jepang kembali normal cenderung naik dan terus naik, yang dapat dilihat dari hasil pertanian, perikanan, maupun industri dikarenakan kemampuan mengubah struktur industrinya. Setelah mengalami pasang surut perekonomian nasional, pada tahun 1980-an sejarah ekonomi Jepang mencatat peristiwa penting lainnya yaitu Bubble Economy atau dalam Bahasa Jepang disebut baburu keizai (バブル経済). Menurut Lim Hua Sing (2001) dalam Peranan Jepang di Asia mengatakan, Jepang mengalami Baburu Keizai dikarenakan ada dua hal. Yang pertama, pada bulan September 1985 dalam kesepakatan Plaza (プラザ合意), bangsa-bangsa barat yang dipimpin oleh Amerika, mengadakan pertemuan dengan Jepang dengan tujuan menekan Jepang agar membiarkan yen mengalami apresiasi sehingga nilai yen menjadi turun drastis atau yang disebut dengan yendaka, dari harga 242 yen per satu dolar Amerika menjadi 100 yen per satu dolar Amerika. Akibatnya, nilai-nilai aset (saham dan properti) meningkat secara substansial namun tidak normal dari paruh kedua dasawarsa tahun 1980-an menjelang akhir tahun 1990, indeks Nikkei melonjak tiga kali lipat dari sekitar 13000 pada bulan Januari 1986 menjadi hampir 39000 menjelang akhir tahun 1989.
With higher stock prices, new equity issues skyrocketed, becoming a significant source of finace for corporations. Bank found a new outlet for funds in real estate development. In turn, corporations attempted to maximize the productivity of their assets using real estate holding as a collateral for stock market speculation. The ensuing speculative 1986-1989 resulted in bubble economy in
3
which land prices doubled and stock market rose 2,9 times (Kondasha International,2002:66).
Terjemahan: Harga saham dibursa saham serta saham perusahaan yang semakin meningkat menjadi sumber keuangan yang sangat penting bagi perusahaan. Seiring dengan perkembangan real estate, bank menemukan tempat untuk menyimpan uangnya. Selanjutnya, perusahaan mencoba untuk memaksimalkan produktivitas aset mereka dengan menggunakan kepemilikan real estate sebagai jaminan dalam spekulasi pasar saham. Akibat dari spekulasi dari sekitar tahun 1986-1989 mengakibatkan harga tanah meningkat sebesar 2 kalinya dan harga saham meningkat 2,9 kali sehingga disebut Bubble Economy.
Yang ke dua oleh pemerintah Jepang sendiri dimana, pemerintah tidak dapat memainkan peran aktif apa pun karena pemerintah juga mengalami kendala-kendala pengeluaran fiskal dan sedang terdesak oleh kebutuhan untuk menutupi defisit-defisit yang ditimbulkan oleh berbagai departemen pemerintahan. Bertahun-tahun peserta pasar optimis dengan membeli aset secara berlebihan kemudian dijual kepada peserta yang lebih berani berspekulasi dengan harga yang lebih tinggi, dan ini akan selalu berlanjut bila peserta tersebut menemukan orang yang lebih berani membeli dengan harga yang lebih tinggi lagi dan akan berhenti apabila tidak ada lagi pembeli berani membeli dengan harga yang lebih tinggi lagi dalam waktu jangka panjang. Masyarakat menjadi optimis terhadap pertumbuhan ekonomi sehingga menyebabkan adanya spekulasi terhadap harga saham atau tanah untuk investasi sehingga harga menjadi semakin tinggi (Ryuichiro,1993:200). Komiya (1990) mengatakan, ditahun 1980- 1989 total pinjaman dari bank untuk semua industri naik
4
sebanyak 120%, sementara itu pinjaman untuk real estate meningkat hampir lebih dari 300%. Secara otomatis, harga-harga barang dipasaran pun melonjak tinggi. Keadaan ini terus berlanjut sampai harga yen jatuh ketika perputaran uang di pasaran terlalu tinggi sehingga mengakibatkan inflasi, dimana harga barang semakin naik, tetapi uang masih banyak beredar di pasaran dengan demikian membuat nilai uang semakin turun. Kondisi inflasi ini sebenarnya dapat diatasi beberapa saat dengan cara mengorbankan keuntungan perusahaan, karena dengan permintaan yang menurun dan biaya yang lebih tinggi yang menggambarkan kenaikan upah dan harga bahan baku dan bahan
bakar
yang
membubung
tinggi,
marjin
keuntungan
menurun
(Nakamura,1985:104). Dan ketika para kreditor tidak bisa mengembalikan pinjaman kepada bank karena inflasi, harga tanah dan saham menurun mengakibatkan kerugian yang signifikan dirasakan oleh pihak bank dan pihak kreditor. Kerugian yang terjadi mengakibatkan kebangkrutan sehingga bank tidak bisa menerima pengembalian modal dari peminjam yang berbentuk tanah atau saham dikarenakan harganya yang terus merosot, tidak cukup untuk menutupi jumlah hutang yang dipinjam. Menurut Watkins dalam The Bubble Economy of Japan (2007), contoh kasus yang terjadi pada pendukung politik yang membeli rumah tinggal mantan Perdana Menteri Kiichi Miyazawa seharga 13.2 milliar yen pada tahun 1989 dengan meminjam kepada 7 bank, lalu akibat runtuhnya Baburu Keizai pada tahun 1991 harga rumah tersebut hanya diperkirakan seharga 2.7 milliar yen. Seperti gelembung yang akan pecah, besar hutang yang tidak bisa dibayar oleh para kreditor mengakibatkan kredit macet sehingga keruntuhan Baburu Keizai terjadi. 5
Akibat dari runtuhnya Baburu Keizai tersebut banyak perusahaan mengurangi karyawan baru dan merumahkan sebagian pegawai, maka membawa masalah baru dalam sistem kerja Jepang. Ravianto (1988) mengatakan, keadaan bisnis yang buruk dapat
memberikan
dampak
besar
terhadap
kepegawaian
seumur
hidup
shushinkoyouseido ( 終 身 雇 用 制 度 ) dan sistem gaji berlandaskan senioritas nenkojoretsuseido (年功序列制度) dimana kedua aspek itu merupakan karateristik yang menonjol daripada manajemen Jepang. Tidak hanya merumahkan karyawan senior akibatnya juga dirasakan oleh mereka yang akan mencari pekerjaan setelah menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi atau lulusan sekolah menengah ke atas. Dengan sistem kerja Jepang yang berprinsip bekerja seumur hidup dan tanpa maksud untuk memberhentikan karyawannya dan untuk mempertahankan perusahaan agar tidak bangkrut maka, banyak perusahaan memberlakukan suatu sistem kerja paruh waktu. Mereka mendapati kesulitan dengan semakin ketatnya persaingan di antara mereka untuk menjadi karyawan tetap. Hal ini meyebabkan mereka yang kalah bersaing, mencari alternatif lain seperti bekerja paruh waktu atau yang dalam bahasa Jepang disebut furiitaa. Keberadaan furiitaa dalam masyarakat Jepang sebenarnya bukan suatu hal yang baru, dikarenakan orang Jepang terutama anak muda yang masih sekolah ataupun wanita yang sudah berkeluarga berkerja paruh waktu dengan sebutan arubaito. Akibat dari keruntuhan Baburu Keizai, meningkatkan jumlah furiitaa di Jepang mengalami peningkatan untuk kaum laki-laki muda Jepang 2,4 % naik tiga kali lipatnya
6
pada tahun 1997 menjadi 6,4%. Sedangkan untuk kaum perempuannya 7,3% pada tahun 1982 menjadi 16,3% pada tahun 1997 (Dwianto,2006:244). Furiitaa mendominasi tempat-tempat kerja seperti restoran, departemen store, convenience store. Pertumbuhan furiita yang pesat membawa fenomena dan masalah baru bagi pemerintah Jepang dan furiitaa itu sendiri karena, dampaknya bisa mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat Jepang pada waktu mendatang.
1.2 Rumusan Permasalahan Penulis merumuskan peningkatan jumlah furiitaa akibat baburu keizai houkai dilihat dari perubahan sistem kepegawaian. Permasalahan inilah yang akan dibahas dalam skripsi ini.
1.3 Ruang Lingkup Permasalahan Ruang lingkup dalam permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Latar belakang keruntuhan Baburu Keizai. 2. Peningkatan kerja paruh waktu akibat Baburu Keizai Houkai. 3. Alasan manajemen perusahaan membuka lapangan kerja paruh waktu sehubungan dengan Baburu Keizai Houkai.
1.4 Tujuan Dan Manfaat Tujuan dari penulisan skripsi ini untuk memberikan referensi mengenai kondisi masyarakat Jepang khususnya dalam bidang lapangan kerja setelah Jepang mengalami keruntuhan Baburu keizai. 7
Dengan demikian penulis berharap skripsi bermanfaat untuk memberikan pemahaman tentang peningkatan furiitaa dari segi perubahan sistem kepegawaian. 1.5 Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi, penulis menggunakan metode penilitian studi literature atau kepustakaan melalui data didapatkan berasal dari buku-buku, koran dan internet termasuk data statistik.
1.6 Sistematika Penulisan Skripsi ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan Berisikan latar belakang, rumusan permasalahan, ruang lingkup permasalahan, tujuan dan manfaat, metode penelitian serta sistematika penulisan sebagai permulaan dalam skripsi ini.
Bab 2
Landasan Teori Penulis menjelaskan strategi dan kebijakan
manajemen perusahaan Jepang
menyediakan lapangan kerja paruh waktu sebagai antipasi dari kondisi pasca keruntuhan Baburu Keizai .
Bab 3 Analisis Data Penulis menjelaskan data-data mengenai peningkatan kerja paruh waktu sebagai akibat dari keruntuhan Baburu Keizai.
8
Bab 4 Simpulan dan Saran Penulis meyimpulkan keseluruhan hasil analisa dalam skripsi ini.
Bab 5
Ringkasan Penulis merangkum keseluruhan isi skripsi ini dengan lebih padat dengan
demikian dapat lebih mudah dimengerti oleh pembaca.
9