BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penyakit campak merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyakit campak sangat berbahaya karena dapat menyebabkan cacat dan kematian yang diakibatkan oleh komplikasi seperti radang paru (pneumonia), berakberak (diare), radang telinga (otitis media) dan radang otak (ensefalitis), terutama pada anak dengan gizi buruk. Di dunia diperkirakan setiap tahun terdapat 30 juta orang yang menderita campak. Pada tahun 2002 dilaporkan kematian campak di dunia sebanyak 777.000 dan 202.000 diantaranya berasal dari negara ASEAN serta 15% dari kematian campak tersebut dari Indonesia. Tahun 2005 diperkirakan 345.000 kematian diseluruh dunia, yang terbanyak terjadi pada anak-anak (Depkes RI,2006). Insidens campak di Indonesia masih tinggi, lebih dari 30.000 ribu anak meninggal setiap tahun karena campak atau dengan kata lain setiap 20 menit terjadi 1 kematian. Pada sidang World Health Assembly (WHA) tahun 1998 menetapkan kesepakatan global salah satunya adalah reduksi campak (RECAM) pada tahun 2000. Beberapa negara seperti Amerika dan berapa negara lainnya telah memasuki tahap eliminasi campak. Pada sidang WHO tahun 1996 menyimpulkan bahwa campak dimungkinkan untuk dieradikasi, karena satu-satunya pejamu (host) atau reservoir
1 Universitas Sumatera Utara
campak hanya manusia, diperkirakan eradikasi akan dapat dicapai 10-15 tahun setelah dieliminasi (Depkes RI, 2005). Dengan kata lain bahwa karena virus campak hanya dapat berkembang di tubuh manusia maka, campak bisa dihilangkan dengan memberikan kekebalan terhadap virus campak pada manusia, yaitu dengan imunisasi. Pada tahun 2003 WHO membuat rencana dalam penanggulangan campak dengan tujuan utama menurunkan angka kematian campak sebanyak 50% pada tahun 2005 dibandingkan dengan angka kematian pada tahun 1999. Strategi tersebut berupa akselerasi surveilans campak, akselerasi respon KLB, cakupan rutin imunisasi campak tinggi (cakupan 90%) dan pemberian dosis kedua campak (Depkes RI,2006). Kejadian penyakit campak sangat berkaitan dengan keberhasilan program imunisasi campak. Indikator yang bermakna untuk menilai ukuran kesehatan masyarakat di negara berkembang adalah imunisasi campak. Bila cakupan imunisasi mencapai 90% maka dapat berkontribusi menurunkan angka kesakitan dan angka kematian sebesar 80-90%. Amerika Serikat mencapai eradikasi campak pada tingkatan cakupan sekitar 90% (Depkes RI,2004). Indonesia pada saat ini berada pada tahap reduksi dengan pengendalian dan pencegahan Kejadian Luar Biasa (KLB). Tingkat penularan infeksi campak sangat tinggi sehingga sering menimbulkan KLB. Penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian imunisasi campak. Tanpa program imunisasi attack rate 93,5 per 100.000. Kasus campak dengan gizi buruk akan meningkatkan Case Fatality Rate (Depkes RI, 2006). Di Indonesia program imunisasi campak dimulai sejak tahun 1984 dengan kebijakan memberikan 1 dosis pada bayi usia 9 bulan. Pada awalnya cakupan campak
Universitas Sumatera Utara
sebesar 12,7% di tahun 1984 kemudian meningkat sebesar 85,4% pada tahun 1990 dan bertahan pada 90,6% di tahun 2002, pada tahun 2004 cakupan naik menjadi 91,8%. Pada tahun 1990 Indonesia dinyatakan telah mencapai Universal Child Immunization (UCI) secara nasional. Hal ini memberikan dampak positip terhadap kecenderungan penurunan insiden campak, khususnya pada Balita dari 20.08/10.000 – 3,4/10.000 selam tahun 1992-1997. Jumlah kasus campak menurun pada semua golongan umur di Indonesia terutama anak-anak dibawah lima tahun pada tahun 1999 s/d 2001, namun setelah itu insidens rate tetap, dengan kejadian pada kelompok umur <1 tahun dan 1-4 tahun selalu tinggi daripada kelompok umur lainnya. Campak berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB), karena tingkat penularan campak sangat tinggi. Dikatakan KLB, jika peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun) atau jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih bila dibandingkan dengan angka ratarata perbulan dalam tahun sebelumnya. Pada umumnya KLB yang terjadi dibeberapa provinsi menunjukkan kasus tertinggi selalu ada pada golongan umur 1-4 tahun. Gambaran ini menunjukkan bahwa balita merupakan kelompok rawan dan perlu ditingkatkan imunitasnya terhadap campak. Hal ini menggambarkan lemahnya pelaksanaan dari pemberian satu dosis sehingga perlu dilakukan imunisasi campak pada semua kelompok umur tersebut diseluruh desa yang mempunyai masalah cakupan imunisasi. Case Fatality rate campak di rumah sakit dan dari hasil penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB) selama tahun 1997-1999 cenderung
Universitas Sumatera Utara
meningkat, kemungkinan berkaitan dengan dampak krisis pangan dan gizi, tapi hal itu belum diteliti (Depkes RI, 2005). Dalam upaya menurunkan angka kesakitan dan angka kematian, Indonesia telah melaksanakan berbagai upaya antara lain dengan program reduksi campak yang dilaksanakan diseluruh Indonesia secara bertahap dan beberapa propinsi telah melaksanakan secara intensif. Di Indonesia diperkirakan tahap reduksi campak bila insidens menjadi 50/10.000 balita dan kematian 2/10.000. Dalam rangka percepatan reduksi campak, maka dilakukan pemberian imunisasi campak dosis tambahan pada kelompok usia berisiko tinggi secara lebih luas berupa pelaksanaan crash program measles pada anak usia 6-59 bulan dan catch up campaign measles seluruh anak SD kelas 1 s/d 6, tanpa melihat status imunisasi sebelumnya (Depkes RI, 2006). Di Kota Medan, program pemberantasan penyakit campak ini juga telah dilaksanakan dengan berbagai kebijakan dan srategi, seperti mengadakan program penyuluhan kepada masyarakat, kampanye imunisasi campak dan pemberian imunisasi campak secara massal (crash program measles). Tetapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan karena masih ada kasus-kasus campak di kota Medan. Berdasarkan data diperolah dari Puskesmas sejak Januari 2005 hingga November 2005 jumlah kasus campak di Medan berjumlah 692 kasus. Sementara jumlah kasus campak usia balita sejak Januari 2005 hingga November 2005 berjumlah 303 balita. Pada tahun 2007 jumlah kasus campak di kota Medan 108 kasus, dan pada tahun 2008 jumlah kasus campak 305 kasus (Dinkes Kota Medan, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Menurut penjelasan Kasubdin P2P Dinas Kesehatan Kota Medan, walaupun dengan keterbatasan dana, fasilitas yang kurang lengkap, serta tenaga yang kurang terampil, tetapi berbagai kebijakan dan strategi dalam pemberantasan penyakit campak telah dilakukan, seperti penyuluhan kepada masyarakat oleh petugas kesehatan melalui puskesmas dan puskesmas pembantu di Kota Medan, tentang penyakit campak dan bahaya yang ditimbulkannya. Semua program ini belum berhasil dalam memberantas penyakit campak tersebut. Hal ini terbukti dengan masih adanya kasus yang ditemukan di kota Medan. Daerah yang cakupan imunisasinya paling rendah dan tertinggi jumlah kasus campaknya adalah puskesmas Simalingkar kecamatan Medan Tuntungan, dimana cakupan imunisasi campak untuk tahun 2007 sebesar 89,78 %, dan jumlah kasus campak sebanyak 53 kasus (Dinkes Kota Medan, 2008). Cakupan imunisasi campak untuk tahun 2008 sebesar 85,94 % dan jumlah kasus campak sebanyak 99 kasus (Dinkes Kota Medan, 2009). Berdasarkan penjelasan dari petugas P2P Dinas Kesehatan Kota Medan, masih tingginya kasus campak tersebut disebabkan oleh perilaku dari ibu balita sendiri yang kurang aktif dalam program pemberantasan penyakit campak, antara lain ibu balita tersebut tidak ikut dalam pemberian imunisasi yang dilakukan secara rutin di posyandu 1 bulan sekali. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit campak, persepsi masyarakat tentang penyakit campak, kurangnya keyakinan masyarakat dan menolak diberikannya imunisasi pada anaknya karena takut anaknya menjadi sakit setelah diimunisasi.
Universitas Sumatera Utara
Kota Medan merupakan kota yang bercorak heterogen dan paternalistik, seperti kota-kota lain yang berciri sama, maka peran tokoh masyarakat termasuk tokoh agama menjadi panutan. Studi yang dilakukan Kurniasari (2006), dalam hal pembentukan komunitas peduli anak, menunjukkan adanya peran tokoh agama dalam perubahan perilaku masyarakat, dengan terbentuknya komunitas yang peduli anak, khususnya di kota Medan. Sehubungan dengan uraian diatas, peneliti berasumsi bahwa terdapat pengaruh tokoh agama terhadap perilaku masyarakat, utamanya di bidang kesehatan. Sepengetahuan peneliti, hingga saat ini belum terlihat peran optimal dari tokoh agama dalam masalah penyakit campak, untuk itu maka peneliti ingin mengetahui sejauhmana pengaruh dukungan tokoh agama terhadap perilaku ibu dalam imunisasi campak. Petugas kesehatan juga berperan dalam perubahan perilaku ibu balita terutama dalam imunisasi campak. Di Puskesmas Simalingkar penyuluhan tentang imunisasi campak kurang efektif dalam memengaruhi ibu balita. Menurut POA Puskesmas Simalingkar
petugas
kesehatan
memberikan
penyuluhan
imunisasi
1x/bulan/posyandu. Jika penyuluhan benar dilakukan maka dapat memengaruhi ibu balita dalam pemberian imunisasi khususnya imunisasi campak.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Apakah ada pengaruh komunikasi petugas kesehatan (metode, media, strategi pesan, isi pesan) dan dukungan tokoh agama (dukungan instrumental, dukungan informasional, dukungan emosional) terhadap perilaku ibu balita dalam imunisasi campak di puskesmas Simalingkar Kecamatan Medan Tuntungan.
1.3 Tujuan Penelitian Untuk menganalisis pengaruh komunikasi petugas kesehatan (metode, media, strategi pesan, isi pesan) dan dukungan tokoh agama (dukungan instrumental, dukungan informasional, dukungan emosional) terhadap perilaku ibu balita dalam imunisasi campak di Puskesmas Simalingkar Kecamatan Medan Tuntungan.
1.2 Hipotesis Ada pengaruh komunikasi petugas kesehatan (metode, media, strategi pesan, isi pesan) dan dukungan tokoh agama (dukungan instrumental, dukungan informasional, dukungan emosional) terhadap perilaku ibu balita dalam imunisasi campak di Puskesmas Simalingkar Kecamatan Medan Tuntungan.
Universitas Sumatera Utara
8
1.3 Manfaat Penelitian 1. Bagi Pemerintah Kota Medan Menjadi masukan dan bahan pertimbangan untuk mengikut sertakan partisipasi masyarakat dalam hal ini tokoh agama dalam membuat suatu kebijakan, terutama dalam bidang kesehatan.
2. Bagi Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Medan mengenai sejauh mana pengaruh komunikasi petugas kesehatan dan dukungan tokoh agama terhadap perilaku ibu balita dalamimunisasi campak, sehingga dapat mengambil suatu kebijakan dengan membuat program yang sesuai untuk meningkatkan cakupan imunisasi dan menurunkan jumlah kasus campak.
3. Bagi Petugas Kesehatan dan Tokoh Agama Menjadi alat evaluasi pribadi petugas kesehatan dan tokoh agama untuk memperbaiki dan mengembangkan diri.
4. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan menambah wawasan pengembangan ilmu manajemen kesehatan, khususnya tentang pengaruh komunikasi petugas kesehatan dan dukungan tokoh agama terhadap cakupan imunisasi campak.
Universitas Sumatera Utara