BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pajak merupakan penerimaan negara terbesar yang dipergunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan salah satunya untuk pembangunan nasional. Perubahan yang semakin signifikan dan dominan dalam sektor pajak menunjukkan peranan dalam upaya mendukung pembiayaan pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang merupakan rangkaian program pembangunan yang berkesinambungan untuk mencapai tujuan yang termuat pada Pembukaan UndangUndang Dasar 1945. Pembangunan Nasional difasilitasi oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai neraca pembangunan Indonesia. APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintah Negara Indonesia yang berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran. Pendapatan negara dan komponen pembiayaan APBN merupakan sumber utama belanja negara. Dengan meningkatnya jumlah belanja negara mengakibatkan perlunya rnelakukan peningkatkan pada sektor penerimaan negara juga. Segmen penerimaan dalam APBN terdiri dari pendapatan negara dan hibah. Menurut Uli (2012) Pendapatan negara dalam APBN terdiri dan penerimaan dalam negeri dan luar negeri. Penerimaan dalam negeri berasal dari pajak dan bukan pajak. Sedangkan pendapatan luar negeri berasal dan pinjaman luar negeri. 1
2
Pemerintah diharapkan dapat terus meningkatkan penerimaan dalarn negerinya, dengan begitu belanja Negara dapat dibiayai dan kita tidak lagi mengandalkan pinjaman luar negeri. Setelah krisis ekonomi pada tahun 1998 yang ditandai dengan terus meningkatnya proporsi total penerimaan pajak terhadap total APBN dan saat ini pemerintah menetapkan nilai rencana penerimaan pajak tahun 2014 sebesar Rp. 1.110.190,17 miliar terlihat meningkat dibandingkan dengan realisasi penerimaan dari sektor pajak pada APBN tahun 2013 sebesar Rp. 995.213,90 miliar. (Laporan Rincian Penerimaan Perpajakan Tahun Anggaran 2013-2014 - DJPb). Dengan tujuan meningkatkan jumlah penerimaan pajak negara, fiskus melakukan berbagai upaya, baik ekstensifikasi maupun intensifikasi penerimaan pajak. Ekstensifikasi merupakan upaya meningkatkan penerimaan pajak dengan meningkatkan jumlah Wajib Pajak aktif. Sedangkan intensifikasi ditempuh dengan cara meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, meningkatkan kualitas pelayanan untuk Wajib Pajak, pengawasan administratif perpajakan, pemeriksaan, penyidikan, penagihan, serta berbagai penegakan hukum (Herryanto dan Toly, 2013). Sistem self assessment umumnya diterapkan pada jenis pajak yang dimana wajib pajak tersebut cukup mampu untuk diserahi tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan utang pajaknya sendiri. Dalam hal ini dikenal sebagai 5 M, yakni mendaftarkan diri di KPP (Kantor Pelayanan Pajak) untuk mendapatkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), menghitung dan memperhitungkan sendiri jumlah pajak yang terutang, menyetor pajak tersebut ke Bank Presepsi / Kantor Giro Pos dan
3
melaporkan penyetoran tersebut kepada Direktur Jendral Pajak, serta terutama menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang melalui pengisian SPT (Surat Pemberitahuan) dengan baik dan benar. Peranan fiskus dalam hal ini yakni mengamati dan mengawasi pelaksanaannya dan melakukan pemeriksaan dan mengenakan sanksi perpajakan sesuai peraturan perundangan perpajakan yang berlaku (Nursanti dan Padmono, 2013). Jika dilihat dari fungsinya, pajak berfungsi untuk memenuhi anggaran Negara (fungsi budgeter) dan sebagai alat mengatur (fungsi regulerend). Untuk melaksanakan fungsi budgeter, pemerintah harus melakukan berbagai tindakan agar anggaran negara dapat terpenuhi. Sedangkan fungsi regulerend dijalankan pemerintah dengan memberikan kebijakan-kebijakan di luar bidang keuangan melalui aturan pajak, misalnya dengan menggunakan tarif. Jika dilihat dari sifatnya, menurut Vegirawati (2011) pajak dapat digolongkan dalam dua bagian : 1. “Pajak Langsung, pajak yang bebannya harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain serta dikenakan secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu, misalnya pajak penghasilan. 2. Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang bebannya dapat dilimpahkan kepada orang lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja, misalnya Pajak Pertambahan Nilai.” Berdasarkan pertumbuhan neoklasik dan model endogen, pertumbuhan atau perubahan dalam pengeluaran pemerintah memiliki pengumpulan pendapatan yang didorong dari kedua sumber pajak dan sumber-sumber non - pajak. Ini berarti bahwa ada hubungan searah antara variabel dependen dan independen. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan pengumpulan pendapatan harus mengarah pada
4
peningkatan belanja pemerintah terutama dalam istilah jangka pendek. Sementara selama kerangka jangka panjang, ada inkonsistensi dalam hubungan antara variabel. Dalam hal ini tingkat ketergantungan bervariasi berdasarkan pada situasi (Taha and Loganathan, 2008). Penerimaan pajak merupakan gambaran partisipasi masyarakat dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan negara, apabila kontribusi penerimaan perpajakan semakin besar terhadap pembangunan, pajak yang telah dipungut dari masyarakat akan dikembalikan secara tidak langsung kepada masyarakat dalam bentuk penyediaan sarana dan prasarana pabrik, menyediakan lapangan kerja, memberikan rasa aman dan nyaman (Zain, 2007). Target penerimaan negara dari sektor perpajakan dalam APBN dinilai masih terlalu besar akibatnya, beban pencapaian target yang diemban petugas pajak menjadi beban psikologis sehingga dikhawatirkan dapat memicu tindakan yang menyimpang. Selanjutnya masih menurut haryadi, demi mengejar target penerimaan pajak yang tinggi, para petugas pajak kemudian mematok angka yang tinggi untuk setoran pajak para wajib pajak (WP) melebihi yang semestinya. Akibatnya, Wajib Pajak (WP) mengajukan keberatan dan banding atas setoran pajaknya (Sukamdani, 2010). Kementerian Keuangan (2013) mencatat penerimaan negara dari sektor pajak pada tahun 2013 sebesar Rp1.072,1 triliun atau mencapai 93,4 persen. Namun capaian tersebut masih berada dibawah target Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 yang sebesar Rp1.148,4 triliun.
5
Berdasarkan data Kementerian Keuangan per 31 Desember 2013 pendapatan negara dari sektor pajak ini berasal dari dua sumber yakni pendapatan pajak dalam negeri dan pendapatan pajak perdagangan Internasional. Pendapatan pajak dalam negeri realisasinya didominasi oleh PPh Non-Migas sebesar Rp 464,5 triliun dan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 383,4 triliun. Meskipun dua sumber penerimaan pajak ini meraup penerimaan terbanyak, namun targetnya masih lebih rendah, dibawah target yang dipasang pemerintah. PPh Non-Migas hanya mencapai 89,1 persen dan Pajak Pertambahan Nilai hanya mencapai 90,5 persen. Sementara dari lima sektor penerimaan pajak dalam negeri PPh Migas dan cukai yang tercacat perolehanya diatas target pemerintah. PPh Migas realisasinya sebesar Rp 88,7 triliun atau 119,5 persen, sedangkan cukai tealisasinya sebesar Rp 108,5 triliun atau 103,6 persen. Penerimaan pajak kedua berasal dari pendapatan pajak perdagangan Internasional. Dari dua sektor penerimaan pajak ini, penerimaan bea cukai yang tercatat mencapai target pemerintah, yakni sebesar Rp 31,6 triliun atau 102,4 persen. Sementara bea keluar hanya sebesar Rp 15,8 triliun atau 89,8 persen. Selain itu rasio penerimaan pajak Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan rasio penerimaan pajak negara-negara tetangga, bahkan dari sisi kepatuhan membayar pajak, orang Indonesia termasuk yang rendah patuh membayar pajak (Rahmany, 2011). Dirjen Pajak Fuad Rahmani (2013) mengatakan data penerimaan pajak per 31 Desember ini masih sementara, angka-angkanya masih bisa berubah terus sampai 3
6
Januari 2014. Hal ini disebabkan banyak wajib pajak yang baru menyetor pada 31 Desember sore, sehingga datanya belum tercatat. Rahmani (2013) menjelaskan dalam jumpa pers Evaluasi Perkembangan Perekonomian Global dan Domestik 2013 serta Kinerja Realisasi APBN 2013 di Kementerian Keuangan Jakarta: "Itu disebabkan karena tanggal 31 Desember, jam 3 sore, masih ada wajib pajak yang menyetor, terutama bendahara daerah. Karena belanja negara ini (belanja modal dan belanja barang) akhir-akhir tahun ini memang menumpuk dan ini ada ribuan surat perintah membayar (SPM) yang masuk ke Dirjen Perbendaharan, dan itu tidak mungkin selesai pada 31 Desember catatan itu, meskipun itu dihitung 31 desember. Pada tanggal 3 Januari itu, dihitunghitung lagi," Menurutnya, dalam perhitungan 3 Januari 2014 angka yang masuk akan bertambah sekitar Rp 3,5 triliun sampai Rp 4 triliun karena paling banyak bendahara pemerintah terutama pemerintah daerah dan karena mereka memang melaporkan saat terakhir angkanya masuk semua (Rahmani, 2013). Direktorat Jenderal Pajak dihadang oleh tiga kendala yang dapat menyebabkan target penerimaan pajak tidak tercapai, kendala utamanya adalah kesadaran masyarakat yang belum tinggi dalam menunaikan kewajibannya sebagai pembayar pajak yang tepat waktu dan sesuai dengan jumlah tagihannya, tantangan yang dihadapi yaitu nomor satu adalah kesadaran masyarakat wajib pajak dan tingkat kepatuhannya yang perlu ditingkatkan. Dua kendala lainnya adalah data yang tidak lengkap dan sumber daya manusia (SDM) yang terbatas. Masalah data sangat menentukan dalam upaya peningkatan jumlah penerimaan pajak, meskipun sudah ada
7
aturan yang mewajibkan seluruh lembaga dan korporasi menyetorkan data, data yang dimiliki Ditjen Pajak tidak semakin mudah dilengkapi. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengaku memiliki sejumlah tantangan dalam penerimaan pajak. Untuk itu, DJP berupaya menyelesaikan sehingga Negara mendapat pajak yang nantinya digunakan untuk menggerakan perekonomian Indonesia. Dalam upaya melaksanakan fungsi dan tugasnya, DJP dihadapi oleh 3 masalah yang perlu dicermati untuk diselesaikan. (Rudaedi, 2012) Pertama, persoalaan mengenai kebijakan yang diatur pemerintah, yakni UU yang perlu dihubungkan dengan kondisi sekarang ini. Kedua, DJP perlu membenahi struktur organisasi, sehingga masyarakat semakin percaya kepada DJP dalam menyalurkan pajak. Ketiga, masih minimnya kesadaran masyarakat untuk membayar pajak. Kedepannya DJP perlu mengoptimalkan segala strategi agar DJP semakin dipercaya masyarakat, baik kebijakan yang sesuai dengan kondisi sekarang ini, dan pembenahan struktur organisasi yang baik (Rudaedi, 2012). Usaha lain yang dilakukan DJP dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak adalah dengan menjalankan fungsi penagihan kepada wajib pajak yang tidak patuh. Penagihan pajak tersebut berupa diterbitkannya surat ketetapan pajak. Surat ketetapan pajak menyatakan pajak yang terutang masih kurang dibayar. Undang-undang penagihan pajak dengan surat ketetapan pajak diharapkan dapat mengatasi sernua permasalahan yang timbul di masyarakat,
8
Penerbitan surat ketetapan pajak ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam membayarkan kewajiban pajaknya. Kepatuhan ini akan sangat berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung pada penerimaan pajak. Sedangkan bagi semua wajib pajak yang belum melunasi hutang pajaknya akan dilakukan penagihan pajak dengan Surat Paksa. Dari uraian diatas maka penulis menarik kesimpulan terdapat pengaruh antara penerbitan surat ketetapan pajak terhadap penerimaan pajak. Hal tersebut menyebabkan ketertarikan penulis untuk melakukan penelitian dengan judul “PENGARUH PENERBITAN SURAT KETETAPAN PAJAK TERHADAP PENERIMAAN PAJAK”. 1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dikemukakan diatas, adapun
permasalahan yang dapat dirumuskan adalah apakah terdapat pengaruh penerbitan surat ketetapan pajak terhadap penerimaan pajak di beberapa KPP Pratama? 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti
empiris seberapa besar pengaruh penerbitan surat ketetapan pajak terhadap penerimaan pajak di beberapa KPP Pratama.
9
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang diharapkan dapat dihasilkan dari penelitian ini
diantaranya: 1. Bagi penulis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta memperoleh gambaran nyata, khususnya mengenai penerbitan surat ketetapan pajak terhadap penerimaan pajak dalam dunia perpajakan. 2. Bagi instansi Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dokumen dan bahan masukan mengenai besarnya pengaruh penerbitan surat ketetapan pajak terhadap tingkat penerimaan wajib pajak. 3. Bagi pembaca Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tambahan dan juga meningkatkan pemahaman pembaca mengenai masalah perpajakan, terlebih dalam hal penerbitan surat ketetapan pajak dan pengaruhnya terhadap penerimaan pajak.
10
1.5
Lokasi dan Waktu Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini penulis akan melakukan penelitian pada
beberapa KPP Pratama Bandung: 1. KPP Pratama Bandung Tegallega, Jl. Soekarno-Hatta No.216, Bandung. 2. KPP Pratama Soreang Jl. Raya Cimareme No.205 Ngamprah kab. Bandung Barat. 3. KPP Pratama Sukabumi Jl. R. E. Martadinata No. 1, Sukabumi.