BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR) agitasi didefinisikan sebagai aktivitas motorik yang berlebih-lebihan terkait dengan perasaan ketegangan dari dalam diri. Gangguan perilaku yang kompleks yang dikarakteristikkan dengan agitasi ini terdapat pada sejumlah gangguan psikiatri seperti
skizofrenia,
gangguan
bipolar,
demensia
(termasuk
penyakit
Alzheimer) dan penyalahgunaan zat (obat dan/atau alkohol).1 Dari data-data pasien yang mengunjungi unit gawat darurat psikiatri, agitasi merupakan simtom yang sering sekali dikeluhkan pada penderita dengan psikosis, gangguan bipolar dan demensia. Di Amerika Serikat, penderita dengan agitasi yang datang ke unit gawat darurat psikiatri meliputi 21% pasien-pasien skizofrenik, 13% pasien dengan gangguan bipolar dan 5% pasien dengan demensia.2 Agitasi adalah gejala perilaku yang bermanifestasi dalam penyakitpenyakit psikiatrik yang luas yang sering dijumpai didalam unit gawat darurat psikiatri sebagai keluhan pasien-pasien dengan gangguan psikotik.3,4 Kondisi ini dikarakteristikkan dengan gambaran perilaku berupa perilaku mengancam dan disforik yang dapat dihubungkan dengan penyebab dasar yang bervariasi. Agitasi pada psikotik akut sering terjadi pada pasien skizofrenik, gangguan skizoafektif, gangguan skizofreniform, gangguan psikotik singkat dan
Universitas Sumatera Utara
gangguan bipolar. Ketika dijumpai pasien di unit gawat darurat dengan agitasi pada psikotik akut, dibutuhkan intervensi yang cepat untuk meredakan gejalagejala dan mencegah pasien mencederai diri sendiri atau orang lain.4 Sebelum dikenalnya antipsikotik, penanganan psikosis akut dilakukan dengan restrain (pengekangan) fisik. Dengan dikenalnya antipsikotik (klorpromazin), pengekangan fisik mengalami perubahan menjadi kimiawi. Penanganan psikosis akut dengan agitasi dengan pengobatan antipsikotik sekarang dihubungkan dengan efek yang merugikan yang membuat pasien menghindari proses-proses penatalaksanaan jangka panjang. Berkembangnya formulasi obat antipsikotik kerja cepat menjanjikan suatu penatalaksanaan psikosis akut yang revolusioner melalui keefektifannya dan toleransi yang baiknya sebagai alternatif dari obat-obat konvensional.4 Pengobatan dengan antipsikotik intramuskular diindikasikan untuk pengobatan awal pasien-pasien dengan psikosis akut yang disertai dengan adanya agitasi psikomotor. Pada pasien-pasien ini dibutuhkan pengobatan yang berespons cepat sedangkan pemberian pengobatan secara oral sering tidak praktis. Pengobatan agitasi pada psikotik akut bertujuan untuk menenangkan
agitasi,
penyerangan,
kekerasan/kasar
(violent)
atau
menghindari pasien membahayakan dirinya ataupun orang lain dengan efek samping yang minimal. Haloperidol merupakan antipsikotik konvensional yang luas digunakan sebagai pilihan pada pasien psikotik akut dengan agitasi.4 Dosis haloperidol intramuskular 2-5 mg dipergunakan untuk mengontrol dengan cepat pasien skizofrenik akut yang agitasi dengan gejala-gejala yang
Universitas Sumatera Utara
agak berat sampai sangat berat. Bergantung kepada respons pasien, dosis berikutnya dapat diberikan tiap jam, walaupun dengan interval 4-8 jam sudah memuaskan.5 Onset of action haloperidol intramuskular bervariasi dan umumnya antara 30 dan 60 menit. Pengobatan antipsikotik konvensional berhubungan dengan efek tidak nyaman yang luas. Biasanya dosis lebih tinggi dari
10-15
mg
haloperidol
atau
ekivalensinya
dengan
antipsikotik
konvensional lain lebih menimbulkan efek yang merugikan yang lebih berat daripada dosis yang lebih rendah. Efek yang merugikan dapat berupa gejala ekstrapiramidal, hipotensi yang ringan, sedasi dan disforik. Yang termasuk dalam gejala ekstrapiramidal adalah gejala parkinsonisme yang diinduksi obat neuroleptik, distonia akut dan akatisia. Meskipun obat antipsikotik potensi tinggi sering menimbulkan gejala ekstrapiramidal, obat antipsikotik potensi rendah lebih besar risiko terjadinya hipotensi dan sedasi sehingga penggunaannya terbatas pada pemberian intramuskular.4 Obat antipsikotik atipikal memberikan efek yang sama dengan obat konvensional dalam mengurangi simtom positif dengan risiko gejala ekstrapiramidal yang lebih rendah pada dosis terapeutik. Lebih jauh lagi, obat antipsikotik atipikal ini lebih baik dibandingkan obat antipsikotik konvensional dalam hal keuntungan kognitif. Disamping mempunyai risiko yang lebih rendah untuk terjadinya gejala ekstrapiramidal, pengobatan antipsikotik atipikal intramuskular juga mempunyai keuntungan dalam menangani psikosis akut karena obat ini berhubungan dengan mengurangi disforia, kurang menimbulkan sedasi dan mengurangi risiko hipotensi. Oleh karena itu,
Universitas Sumatera Utara
pengobatan antipsikotik atipikal efektif dan ditoleransi dengan baik dalam bentuk intramuskular maupun oral dengan meningkatkan kepatuhan terhadap terapi maintenance.4 Secara umum, jika pasien-pasien yang agitasi tidak menunjukkan simtom-simtom psikotik maka pilihan obatnya adalah benzodiazepin sedangkan pada pasien-pasien dengan skizofrenia obat neuroleptik lebih diindikasikan.6 Sudah banyak penelitian yang membandingkan pemakaian antipsikotik dalam meredakan simtom agitasi pada pasien skizofrenik seperti yang dilakukan oleh Baker dan kawan-kawan (dkk) yang meneliti keefektifan olanzapin yang dengan segera menurunkan gejala-gejala agitasi pada pasien skizofrenik, gangguan skizoefektif, gangguan skizofreniform atau gangguan bipolar,7 Alan Breier dkk yang meneliti bahwa dosis olanzapin intramuskular 10 mg lebih efektif daripada dosis yang lebih kecil dalam meredakan agitasi dan tidak ada perbedaan bermakna dalam menurunkan agitasi setelah 2 jam pemberian olanzapin dan haloperidol intramuskular,8 Padraig Wright dkk yang meneliti bahwa olanzapin 10 mg intramuskular memberikan hasil yang berbeda secara bermakna dalam menurunkan agitasi dibandingkan haloperidol 7,5 mg intramuskular yang diobservasi pada 15, 30 dan 45 menit pertama setelah injeksi pertama diberikan,9 Padraig Wright yang meneliti bahwa olanzapin 10 mg im lebih cepat meredakan agitasi daripada haloperidol 7,5 mg im dan menunjukkan efek samping ekstrapiramidal lebih ringan dalam 24 jam setelah pengobatan,10 dan Vincenzo Villari dkk yang meneliti bahwa olanzapin, risperidon dan quetiapin oral sama efektifnya dengan haloperidol
Universitas Sumatera Utara
oral dan ditoleransi lebih baik dalam menangani agitasi psikotik di praktek klinis gawat darurat psikiatri.11 Olanzapin intramuskular mempunyai onset of action yang lebih cepat dibandingan olanzapin oral. Onset of action olanzapin intramuskular terjadi sekitar 15 menit sampai 2 jam setelah pemberian awal. Perusahaan merekomendasikan olanzapin intramuskular sebagai injeksi tunggal 10 mg dan diperbolehkan sampai 3 kali injeksi 10 mg dalam 24 jam.4,12 1.2. Rumusan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Apakah olanzapin intramuskular lebih baik menurunkan agitasi pada pasien skizofrenik dibandingkan dengan haloperidol intramuskular? 2. Apakah olanzapin intramuskular memiliki waktu yang lebih cepat menurunkan tingkat keparahan agitasi pada pasien skizofrenik dibandingkan dengan haloperidol intramuskular? 1.3. Hipotesis 1. Olanzapin intramuskular lebih baik menurunkan agitasi pada pasien skizofrenik dibandingkan haloperidol intramuskular. 2. Olanzapin intramuskular memiliki waktu yang lebih cepat dalam menurunkan tingkat keparahan agitasi pada pasien skizofrenik dibandingkan haloperidol intramuskular.
Universitas Sumatera Utara
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan Umum
:
Untuk membandingkan olanzapin intramuskular dan haloperidol intramuskular dalam mengurangi agitasi pada pasien skizofrenik . Tujuan Khusus: 1. Untuk mengetahui apakah olanzapin intramuskular lebih baik dibandingkan haloperidol intamuskular dalam menurunkan agitasi pada pasien skizofrenik. 2. Untuk mengetahui apakah olanzapin intramuskular memiliki waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan haloperidol intramuskular dalam menurunkan tingkat keparahan agitasi pada pasien skizofrenik.
1.5. Manfaat Penelitian Dengan menurunkan agitasi dengan cepat maka kemungkinan pasien mencelakai diri sendiri atau orang lain semakin berkurang dan klinisi dapat lebih bijak dalam memilih pengobatan.
Universitas Sumatera Utara