BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Bahasa merupakan sarana atau alat komunikasi yang sangat menunjang dalam kehidupan manusia. Peranan suatu bahasa juga sangat penting sebagai sarana ilmu dan budaya kita. Manusia menggunakan bahasa pada umumnya untuk keperluan berkomunikasi. Di dalam berkomunikasi terjadi saling memberi atau saling menerima informasi, baik yang berupa fakta maupun opini. Alat komunikasi yang berupa bahasa bersifat manusiawi maksudnya hanya untuk manusia dan hanya dapat digunakan oleh manusia (Chaer, 1994). Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa, untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan kata-kata. Apabila kita berbicara tentang kemampuan berbahasa, sudah pasti kita langsung membayangkan empat keterampilan berbahasa, yaitu keterampilan menyimak, berbicara, membaca dan
menulis. Semakin baik setiap
keterampilan itu dikuasai oleh seseorang maka kemampuan berbahasanya pun akan semakin meningkat. Akan tetapi, harus kita sadari bahwa kemampuan berbahasa seseorang yang baik berawal dari adanya proses berbahasa (Firdaus, 2007).
1
2
Firdaus, (2007:97) berpendapat bahwa kemampuan berbahasa seseorang
ditentukan
oleh
alat-alat
fisiologinya,
sebagaimana
dikemukakannya bahwa:
Proses berbahasa dimulai dari enkode semantik, enkode gramatikal, enkode fonologi, yang dilanjutkan dengan dekode fonologi, dekode gramatikal, dan diakhiri dengan dekode semantik. Proses enkode semantik dan enkode gramatikal terjadi di dalam otak penutur, sedangkan enkode fonologi dimulai dari otak penutur lalu dilaksanakan oleh alat ucap di dalam rongga mulut penutur. Sebaliknya, dekode fonologi dimulai dari telinga pendengar dengan lanjutannya berupa dekode gramatikal dan berakhir pada dekode semantik. Bila alat-alat fisiologi penutur dan pendengar dalam keadaan sehat (normal), maka proses berbahasa bisa berjalan dengan baik karena dikendalikan oleh otak yang merupakan alat pengatur dan pengendali gerak semua aktivitasnya dalam keadaan normal. Begitu pula sebaliknya, apabila alat-alat fisiologi penutur dan pendengar dalam keadaan tidak sehat (tidak normal) maka proses berbahasanya pun akan terganggu. Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan bahasa, untuk dapat berbahasa diperlukan kata-kata. Ini berarti alat-alat fisiologinya harus berfungsi dengan baik. Apabila terjadi kerusakan dapat menyebabkan terjadinya gangguan berbahasa seperti pada anak tunarungu yang menjadi objek penelitian. Terdapat
kecenderungan
bahwa
seseorang
yang
mengalami
tunarungu sering diikuti pula dengan tunawicara. Kondisi ini tampaknya sulit dihindari, karena keduanya dapat menjadi suatu rangkaian sebab dan akibat.
Ada dua hal penting yang menjadi ciri khas hambatan anak
tunarungu dalam aspek kebahasaannya. Pertama, Konsekuensi akibat kelainan pendengaran (tunarungu) berdampak pada kesulitan dalam menerima segala macam rangsang bunyi atau peristiwa bunyi yang ada
3
disekitarnya. Kedua, akibat keterbatasannya dalam menerima rangsang bunyi pada gilirannya anak tunarungu akan mengalami kesulitan dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang ada disekitarnya. Kemudian kondisi tersebut pada anak tunarungu, secara langsung dapat berpengaruh terhadap kelancaran perkembangan bahasa dan bicaranya (Efendi, 2005:75). Terhambatnya perkembangan bahasa dan berbicara anak tunarungu jelas merupakan masalah utama, karena kita tahu bahwa perkembangan bahasa dan berbicara bagi manusia mempunyai peranan yang vital. Memang sulit dibuktikan tentang kemampuan berpikir tanpa aktualisasi melalui ekspresi lisan (bicara) maupun penulisan bahasa (tulisan). Bagi anak normal untuk memahami peristiwa benda yang pernah dikenalnya bukanlah suatu yang sulit, karena ia dapat memahami melalui penglihatan dan pendengaran serta dibantu indra yang lain. Hasil eksploitasi dari lingkungan akan disimpan dalam ingatannya. Untuk anak yang sudah memahami lambang atau simbol bahasa yang diwujudkan dalam bentuk huruf, ketika benda itu dapat dilihat dan didengar kemudian diasosiasikan melalui sebuah rangkaian huruf sehingga menjadi sebuah kata atau kalimat bermakna (Efendi, 2005:76). Tidak demikian halnya bagi anak tunarungu, segala sesuatu yang sempat terekam diotak melalui persepsi visualnya hanya sebagai pertunjukan film bisu sebab anak tunarungu hanya dapat menangkap peristiwa itu secara visual saja dan tidak dapat lebih dari itu. Atas dasar itulah, rata-rata problem yang dihadapi oleh anak tunarungu dari aspek kebahasaannya adalah tampak
4
pada pembendaharaan kata/bahasa yang terbatas, aspek pelafalan, makna kata dan struktur kalimat. Kemampuan berbahasa anak tunarungu pada bidang sintaksis yaitu olah kalimat anak tunarungu belum sempurna, mereka tidak dapat mengucapkan kalimat panjang secara sempurna. Mereka biasa memetik kata-kata yang mudah dipahami dan anak tunarungu biasa menggunakan gerakan-gerakan tubuh untuk membantu orang lain menanggapi ujaran mereka. Dapat dimengerti jika anak tunarungu memiliki keterbatasan dalam menginterprestasikan struktur kalimat seperti urutan kata, konsep pemikiran, tanda baca, salah eja dan ellipsis (penghilangan bagian kalimat). Hal ini disebabkan
kemampuannya
menginterpretasi
hanya
bersandar
pada
pengalaman bahasanya yang terbatas. Anak-anak yang memiliki masalah pendengaran akan jauh lebih sulit dibandingkan anak-anak normal untuk belajar tentang kosakata, tata bahasa, urutan kata, dan aspek lain tentang komunikasi lisan maupun tulisan. Bagi anak-anak yang kehilangan pendengaran sejak lahir, mereka lebih konsisten dalam menggunakan bahasa dan gaya komunikasi yang berbeda (seperti bahasa isyarat) maka mereka diberikan pelatihan khusus untuk membantu mengurangi penggunaan bahasa. Dengan bertambahnya usia, empat atau lima tahun kemudian, kebanyakan anak-anak tersebut dapat melanjutkan sekolah pada tingkat yang lebih tinggi atau bekerja dengan komunikasi khusus dan pengembangan ilmu lainnya. Adalah penting bagi guru dan
5
audiologists untuk bekerja sama dalam mengajar anak-anak tersebut menggunakan pertemuan secara langsung semaksimal mungkin, sekaligus tetap menggunakan alat komunikasi yang nyaman. Di Sekolah Luar Biasa Cicendo diterapkan dua sistem komunikasi yang digunakan dalam berkomunikasi yaitu sistem komunikasi secara buku SIBI dan sistem dengan isyarat alami (bahasa isyarat lokal). Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) merupakan salah satu sistem yang digunakan di dalam sistem komunikasi anak tunarungu yang demikian kompleks yang disahkan oleh pemerintah Indonesia untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan anak tunarungu dalam berkomunikasi. Kedua komunikasi tersebut digunakan untuk proses mengajar bahasa Indonesia di dalam kelas. Melihat kenyataan di atas, penelitian mengenai tuturan anak tunarungu merupakan bagian terpenting untuk dikaji lebih lanjut bagi dunia pendidikan, seperti yang terdapat dalam hasil penelitian Miranti Handayani dan Ani Haryati. Miranti Handayani dalam skripsi yang berjudul Realisasi Pelafalan Kosakata Dasar oleh Anak Tunarungu. Dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam realisasi pelafalan kosakata dasar oleh anak tunarungu terdapat beberapa perubahan bunyi, di antaranya penghilangan bunyi pada awal kata (aferesis), pada tengah kata (sinkop), penghilangan pada akhir kata ( apokop), penambahan pada awal kata (protesis), tengah (epentesis) dan penambahan pada akhir kata (paragog).
6
Anak tunarungu mengalami kesulitan apabila ia harus menebak kata yang diucapkan penulis hanya dengan melalui gerak bibir tanpa disertai dengan bahasa isyarat atau media lainnya. Ia sering tertukar dalam mempersepsikan kata atau huruf satu dengan huruf lain, sehingga membuat kata/huruf menjadi berbeda bahkan berubah. Ani Haryati dengan skripsi yang berjudul Studi tentang Struktur Kalimat Anak Tunarungu dalam Bentuk Tulisan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa anak tunarungu dalam menguraikan kalimat-kalimat yang tidak lengkap, terdapat banyak kesalahan-kesalahan dalam penggunaan kata. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada anak tunarungu kelas 6 SDLB, kelas 1 SLTPLB dan kelas 1 SMLB dapat diperoleh kesimpulan lain bahwa dalam penggunaan struktur kalimat yang berusia muda maupun usia lebih tua mempunyai kecenderungan yang sama, tidak dapat dipahami dan berbeda dengan anak-anak normal pada umumnya. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan metode yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran, pada metode kelas 6 guru menggunakan metode struktural karena guru menitikberatkan pada materi yang akan disampaikan, penguasaan struktur dan tata bahasa. Sedangkan metode kelas 1 SLTPLB dan guru kelas 1 SMLB menggunakan metode natural, karena guru membantu membahasakan apa yang diucapkan siswa menurut bahasanya sendiri dan divisualisasikan dalam papan tulis. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian lanjutan tentang tuturan anak tunarungu yang ditinjau dari pola
7
kalimat dasar. Maka penelitian ini berjudul: Kajian Terhadap Tuturan Anak Tunarungu ditinjau dari Pola Kalimat Dasar (Studi Kasus pada Siswa Tunarungu Kelas 7 SLB/B Negeri Cicendo).
1.2 Identifikasi Masalah 1) Kemampuan anak tunarungu dalam menginterpretasikan kalimat berpola kurang baik. 2) Kalimat-kalimat anak tunarungu lebih pendek dibanding anak normal. 3) Bentuk-bentuk yang sulit kurang disukai oleh anak tunarungu. 4) Anak tunarungu tidak dapat mengambil informasi dari lawan tuturnya dengan lengkap dan tepat.
1.3 Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan objek pada anak berkelainan pendengaran (tunarungu) kelas 7 yang ada di SLB Negeri Cicendo Bandung dari segi tuturannya. Pengkajian yang dilakukan terdapat pada aspek permasalahan yang berkaitan dengan tuturan anak tunarungu dalam menuturkan informasi ditinjau dari pola kalimat dasar.
8
1.4 Rumusan masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Bagaimana kemampuan anak tunarungu dalam menuturkan informasi ditinjau dari pola kalimat dasar? 2) Bagaimana
penyimpangan-penyimpangan
yang
dilakukan
dalam
pemerolehan kalimat-kalimat anak tunarungu? 3) Seberapa besar frekuensi kesalahan yang dilakukan dalam pemerolehan kalimat-kalimat anak tunarungu?
1.5 Tujuan penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut. 1) Mendeskripsikan pemahaman dan kemampuan anak tunarungu dalam menuturkan informasi ditinjau dari pola kalimat dasarnya. 2) Mengetahui apa saja penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan dalam pemerolehan kalimat-kalimat anak tunarungu. 3) Memperoleh gambaran seberapa besar frekuensi kesalahan dalam pemerolehan kalimat-kalimat anak tunarungu.
1.6 Manfaat Penelitian Berdasarkan penelitian ini, dapat diperoleh manfaat sebagai berikut. 1) Bagi Sekolah Luar Biasa dapat menjadi program pendidikan dalam mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara anak tunarungu.
9
2) Melalui penelitian ini penulis dapat mengetahui sejauh mana pemahaman anak tunarungu dalam menuturkan informasi yang ditinjau dari pola kalimat tanpa menggunakan bahasa isyarat. 3) Penelitian ini bisa menjadi masukan bagi guru bahasa Indonesia khususnya di Sekolah Luar Biasa untuk lebih meningkatkan kualitas pembelajaran mengenai pola kalimat dasar. 4) Penelitian ini dapat menumbuhkan motivasi anak untuk belajar lebih giat serta membiasakan diri untuk menuturkan informasi secara tepat.
1.7 Definisi Operasional 1) Tuturan : Ucapan atau perkataan. 2) Tuturan anak tunarungu : Ucapan atau perkataan yang dilapalkan oleh anak tunarungu dalam menuturkan informasi. 3) Pola kalimat dasar : Pola kalimat dalam bahasa Indonesia yang terdiri dari subjek (S) diikuti predikat (P), atau kalimat tersebut dapat juga diikuti atau tidak diikuti oleh objek (O), pelengkap (Pel) dan keterangan (Ket).