1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Mengubah sebuah karya ke lain media merupakan proses pemindahan
(transformasi) dari bentuk awal ke bentuk yang baru. Misalnya, dari syair menuju bentuk/rupa, dari bentuk/rupa menuju pementasan, dari dunia kata menuju gambar bergerak, dari puisi menjadi lukisan, dari lukisan menjadi pertunjukan drama, atau dari novel menjadi film. Proses pemindahan atau transformasi di sini lebih dikenal istilah ekranisasi. Yang dimaksud dengan ekranisasi ialah pelayarputihan atau pemindahan/pengangkatan sebuah novel ke dalam film (ecran dalam bahasa Perancis berarti layar). Pemindahan novel ke layar putih mau tidak mau mengakibatkan timbulnya pelbagai perubahan. Oleh sebab itu dapat dikatakan, ekranisasi adalah proses perubahan (Eneste, 1991: 60). Dalam hal ini, perubahan akan terjadi secara alamiah dari segi penceritaan maupun penokohan karena perbedaan imajinasi seorang penulis dan sutradara. Di tangan seorang penulis, sebuah cerita akan menjadi buku tebal yang memerlukan waktu berjam-jam atau berhari-hari untuk membacanya, sedangkan di tangan sutradara, cerita tersebut akan menjadi film yang dapat dinikmati hanya beberapa jam saja bahkan dalam hitungan menit pun bisa jadi. Jika dalam novel yang menjadi sumber kekuatan adalah kata-kata, yang menjadi kekuatan dalam film adalah gambar sebagai bahasa, sementara teks dalam novel merupakan sumber informasi. Rangkaian gambar dalam film merupakan ikon-ikon atau lambang atau tanda yang menyampaikan informasi.
2
Penelitian ini mengkaji ekranisasi novel yang berjudul Atheis karya Achdiat Karta Mihardja. Pada masa kejayaannya novel Atheis telah mengundang kontroversi di masyarakat. Bahkan, pada tahun 1975 setelah Atheis difilmkan oleh Sjuman Djaya semakin mengundang kontroversi antara penulis novel, sutradara, dan masyarakat luas. Hal ini pernah dibahas dalam beberapa pendapat, media artikel, atau penelitian oleh berbagai ahli/sastrawan. Achdiat K. Mihardja menyatakan kesan-kesannya setelah menyaksikan film Atheis yang didasarkan pada novelnya. Walaupun tidak secara langsung mengemukakan kekurangan film yang disutradarai oleh Sjuman Djaya (1975) itu, pada prinsipnya Achdiat menganggap bahwa amanat novel Atheis belum sepenuhnya tertangkap/ tertuang dalam film Atheis (Eneste, 1991: 9). Dalam media cetak Suara Karya tahun 1975, Achdiat mengemukakan interpretasinya tentang film Atheis yang ditontonnya secara khusus. Tulisan ini berjudul Atheis yang saya tonton. Achdiat mengatakan bahwa tema novel Atheis itu sangat sederhana, yaitu rasa sesal dan dendam seorang anak muda yang bimbang dan cemburu. Dalam tulisannya Achdiat memunculkan persamaan tokoh antara Hamlet dan Atheis, yaitu pergulatan batin seorang pemuda yang dilanda dendam kesumat. Jika Hamlet dalam Hamlet dendam terhadap pamannya yang telah membunuh ayahnya untuk merebut ibunya, maka dendam Hasan dalam Atheis tertuju kepada Anwar yang telah menghancurkan keharmonisan rumah tangganya. Dari kedua judul dan tokoh di atas, tersirat satu perbedaan antara keduanya. Selain permasalahan dendam kesumat, tokoh Hasan dalam Atheis merupakan tokoh peragu dalam keyakinannya terhadap ada dan tidak adanya
3
Tuhan, hal ini terlihat dari judul ceritanya yaitu Atheis, sedangkan Hamlet hanya mengetengahkan soal dendam kesumatnya saja dan judulnya pun tetap menggunakan nama tokohnya yaitu Hamlet. Dalam menulis novel Atheis, Achdiat sampai lima kali me-‘rewrite’nya, terutama bertalian dengan penyusunan adegan-adegan (dan bagian-bagiannya). Mengingat cerita dalam novel Atheis dibagi menjadi lima belas bagian. Dalam tulisannya, Achdiat mempertanyakan tentang masalah tersebut. Apakah cara bekerja (rewriting) demikian itu dapat dan telah dikerjakan dalam film Atheis. Secara garis besar skenario film Atheis mengikuti urutan dan susunan adegan-adegan dalam novel, istimewa flashbacknya. Hal demikian akan sangat baik, kalau pilihan adegan-adegan dan penyusunannya loyal pula pada fungsinya masing-masing adegan, yaitu membawakan tema, perwatakan, dan jalan cerita. Kalau fungsi adegan itu tidak cukup disadari, maka adegan akan dapat terpencil dan tidak perlu kehadirannya, karena hubungan organik antara pola tema dan cerita keseluruhannya jadi “foetsie”, ngalor-ngidul (Suara Karya, 21 Mei 1975). Menurut pengarangnya, adegan-adegan renungan sangat esensial dalam novel Atheis, dialog dan perjuangan batin seorang yang bimbang dan ragu. Berbagai kritik dan pujian meluncur melalui tulisan-tulisan masyarakat, dan para ahli dalam media. Dalam Majalah Tempo terbitan 22 Maret 1975, Goenawan Mohamad membahas Tentang “Atheis”. Dikatakannya bahwa Sjuman Djaya dengan Atheis tak terlampau menghormati si empunya cerita. Ia tak teramat setia kepada karya Achdiat yang terbit seperempat abad yang lalu itu. Satu hal, struktur cerita jadi lebih sederhana. Film ini tidak ruwet, meskipun harus bertolak dari sebuah tema di mana percaturan ide-ide begitu penting. Juga tidak mandeg. Sayangnya, juga tidak rapi (Tempo, 22 Maret 1975).
4
Jasso Winarto dalam tulisannya Atheis, Sebuah “Close-up”. Ketika Sjuman Djaja berhasil mengangkat “Si Mamad” menjadi sebuah film surrealist yang controversial, orang mulai mengarahkan harapan mereka pada tokoh ini. Sebab dialah calon “master “ di negeri ini setelah Usmar Ismail. Sjuman sebagai orang film tampak berjalan paling depan di dalam hal ide cinematografi. Approachnya di dalam film sangat maju. Mungkin terlampau maju (KOMPAS, 20 Maret 1975). Dari kedua tulisan di atas, terlihat antara pro dan kontra terhadap karya Sjuman Djaya. Nyoman Kutha Ratna dalam bukunya yang berjudul Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra membahas cerita Atheis itu sendiri melalui dua unsur. Pertama teknik cerita, pada pembukaan cerita Atheis ini merupakan sorot balik ketika Kartini menyesali kematian Hasan. Teknik cerita ini belum banyak digunakan oleh pengarang-pengarang lain pada zamannya. Kedua, cerita ini berkaitan dengan suatu aliran, keyakinan, paham atheis, yaitu tidak mempercayai adanya Tuhan. Hal menarik lain terlihat pada bentuk cerita Atheis ini. tumpang tindih antara fakta dan fiksi memiliki kesejajaran. Cerita ini merupakan cerita yang diceritakan kembali atau cerita dalam bingkai. Pada bagian II dan XII dalam novel, pengaranng sendiri menerima karangan cerita Atheis ini dari seseorang bernama Hasan. Sjuman Djaya mambaca novel Atheis berulang kali, lalu membuangnya jauh-jauh dan menyusun kembali dalam bentuk skenario film. Salah satu perubahan yang ia ciptakan pada akhir cerita. Dalam novel, tokoh Rusli tidak
5
mati, sementara di dalam film, tokoh Rusli dibikin mati oleh sutradara dengan alasan sebagai ganjaran telah membawa Hasan ke jalan yang sesat. Sementara beberapa pendapat di atas membicarakan keistimewaan novel Atheis dan polemik antara novel dan filmnya. Fenomena perkawinan antara karya dan seni ini menjadi hal menarik untuk dijadikan objek dalam sebuah penelitian. Pada penelitian sebelumnya, telah banyak dibahas masalah-masalah mengenai ekranisasi. Penelitian mengenai ekranisasi itu sendiri telah dilakukan oleh Pamusuk Eneste dengan mengangkat beberapa film-film besar yang berdasarkan novel seperti Dokter Zhivago karya Boris Pasternak yang difilmkan oleh David Lean, Perawan di Sarang Penyamun karya Soetan Takdir Alisjahbana yang difilmkan oleh H. Usmar Ismail, Salah Asuhan karya Abdul Muis yang difilmkan oleh Asrul Sani, dan termasuk pula Atheis karya Achdiat Karta Mihardja yang difilmkan oleh Sjuman Djaya. Setelah begitu banyak bermunculan film-film Indonesia yang diangkat berdasarkan novel besar baru-baru ini seperti Ayat-ayat Cinta, Laskar Pelangi, Doa yang Mengancam yang diangkat dari cerpen Jujur Pranoto, dan yang terakhir Ketika Cinta Bertasbih. Melahirkan kembali penelitian-penelitian menganai permasalahan ekranisasi ini. Tidak hanya film yang mengangkat cerita dari novel atau cerpen, tetapi juga sebaliknya, banyak ditemukan novel-novel yang mengangkat cerita yang sudah difilmkan seperti Jomblo, Naga Bonar 2, dan sebagainya. Hal ini juga telah banyak dibahas dalam berbagai penelitian.
6
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya bahwa rangkaian gambar dalam film merupakan ikon-ikon sebagai penyampai informasi cerita dan beberapa penelitian di atas yang sudah dilakukan sebelumnya belum sampai membicarakan hal tersebut, artinya masih sebatas pada permasalahan ekranisasi itu sendiri. Penelitian ini akan lebih terfokus terhadap unsur-unsur ikonisitas dalam film.
1.2
Batasan Masalah Novel dan film merupakan karya seni yang sama-sama mengemban cerita
yang tidak lepas dari amanat penciptanya (penulis dan sutradara). Keduanya sama-sama pula memerlukan keapikan dalam menyampaikan amanat melalui struktur penceritaan. Film merupakan rangkaian atau sambungan-sambungan gambar bergerak yang diatur oleh susunan cerita. Berangkat dari karya sastra (novel) yang bersifat fiktif dan ambigu, sebuah film akan berbeda dengan film-film lainnya. Film yang memiliki struktur cerita mandiri (skenario asli) dan film yang didasari oleh karya sastra akan berbeda satu sama lain. Cerita pada film sangat ditentukan oleh apa yang disebut skenario. Dalam buku Layar Kata yang ditulis Seno Gumira Ajidarma, Lewis Herman menyatakan bahwa skenario film adalah komposisi tertulis yang dirancang sebagai semacam diagram kerja bagi sutradara film. Skenario ini yang menjadi dasar pemotretan sekuen-sekuen gambar. Ketika disambung-sambung, sekuen-sekuen ini akan menjadi sebuah film yang selesai, setelah efek suara dan latar musik yang cocok dibubuhkan.
7
Tidak seperti naskah drama atau novel, skenario film jarang menjadi karya sastra. Seperti cetak-biru dalam arsitektur, hanya berfungsi sebagai penghubung ke mana gambar-hidup itu mesti melewatinya, sebelum tampil dalam struktur sebuah film yang utuh (Ajidarma, 2000: 9). Jadi, skenario hanya ditekankan sebagai suatu fungsi, yaitu sebagai pedoman atau rancangan untuk pembuatan film. Selain teknik penyampaian amanat dalam film dan novel, perbedaan-perbedaan yang muncul antara novel dan film Atheis menjadi pembicaraan dalam penelitian ini.
1.3
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, kini kita dapat merumuskan masalah penelitian
ini ke dalam beberapa pertanyaan berikut. 1. Bagaimana aspek tekstual yang terdapat dalam novel Atheis? 2. Bagaimana aspek sinematografis yang terdapat dalam film Atheis? 3. Apakah aspek tekstual diaktualisasikan ke dalam ikon film Atheis? 4. Apakah makna ikonisitas yang terdapat dalam ekranisasi novel Atheis?
1.4
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini ialah: 1. Memperoleh gambaran mengenai aspek tekstual dalam novel Atheis; 2. Memperoleh gambaran mengenai aspek sinematografis dalam film Atheis; 3. Mengetahui aspek tekstual yang diaktualisasikan ke dalam ikon film Atheis; 4. Mengetahui makna ikonisitas yang terdapat dalam ekranisasi novel Atheis.
8
1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1
Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan rujukan bagi penelitian
mendatang, memberikan masukan baru bagi pengembangan dan pembelajaran studi sastra, serta menjadi penerapan studi sastra berkaitan dengan ilmu-ilmu yang lainnya. 1.5.2
Manfaat Praktis Sementara itu, dalam hubungannya dengan dunia seni, penelitian ini
merupakan upaya konkret dalam meningkatkan kualitas karya seni yang lahir berdasarkan karya sastra. Mudah-mudahan menjadi bentuk sumbangsih bagi perfilman indonesia.
1.6
Definisi Operasional 1. Transformasi Proses perubahan (menjadikan) dari media yang satu ke media yang
lainnya. Sapardi Djoko Damono (2005: 96) lebih senang mengatakannya sebagai Alih Wahana, yaitu perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Misal, cerita rekaan bisa diubah menjadi tari, drama, atau film; sedangkan puisi bisa diubah menjadi lagu atau lukisan. Atau bisa juga sebaliknya, sebuah tarian, atau sebuah pertunjukan drama atau film deubah menjadi cerita rekaan; lukisan atau lagu diubah menjadi puisi.
9
2.
Ekranisasi Novel Sama halnya seperti transformasi. Hanya saja istilah ekranisasi merupakan
sebutan untuk proses perubahan karya sastra menjadi film. Pamusuk Eneste (1991: 60) mengatakan bahwa ekranisasi adalah pelayarputihan atau pemindahan /pengangkatan sebuah novel ke dalam film. 3. Ikon Bagian dari ilmu tanda (semiotika) yang menunjukan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Potret menandai orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon.