BAB 1 PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Industri
fashion
sebagai
salah
satu
bagian
dari
industri
budaya
mendemonstrasikan fashion dalam setiap event seperti pameran, museum, pertunjukan dan demonstrasi di jalan
1
. Demonstrasi fashion dalam setiap
eventdilakukan oleh desainer fashion art, Tiarma Dame Ruth Sirait, fashion artist sekaligus pemilik Poleng Studio di Bandung. Bagi Tiarma Sirait, fashion tidak hanya kostum yang dijual sebagai komoditas saja melainkan kritik melalui proses panjang kreativitas seperti pencarian tema untuk merespon isu lingkungan, potret kehidupan sosial lewat karya instalasi, membuat pameran di jalanan, menyelenggarakan workshop dan pertunjukan teater. Proses panjang ini juga dilalui Tiarma Sirait, sehingga keseimbangan antara karya komersial dan tanggungjawab sosial menjadi ciri khas karyanya. Salah satunya pada penemuan label desain Poleng yang dikenakan pada produknya. Poleng dikenal sebagai jenis warna pakaian masyarakat Bali, yaitu hitam dan putih yang digunakan dalam perayaan tradisional. Warna hitam dan putih merupakan 1
Brian Hilton, Chong Ju Choi dan Stephen Chen, The Ethics of Counterfeiting in The Fashion Industry: Quality, Credence and Profit Issues, Kluwer Acedemic Publishers, Netherlands, 2004, hlm. 347
1
filsafat hidup masyarakat Bali yang berarti keseimbangan gelap dan terang, malam dan siang, bumi dan langit. Bagi Tiarma Sirait, Poleng merepresentasikan keseimbangan hidup dan nilai-nilai. Keikutsertaannya dalam kompetisi desain fashion di Lomba Perancang Mode (LPM) tahun 1997 yang diselenggarakan majalah Femina menjadi pintu karirnya sebagai desainer fashion. Keputusannya untuk mengadopsi Poleng sebagai label desain dan terjun dalam industri fashion membuat Tiarma mengerti bahwa menjadi desainer fashion merupakan pilihan profesi yang sangat berat karena kompetisi antar desainer sangat ketat. Dari kerangka inilah, ia mengklaim, memilih kaum muda sebagai target pasar dan desain funkynya. Banjirnya produk desain China yang dengan cepat mengkopi karya-karya desainer Paris serta mendistribusikannya ke seluruh dunia, membuat idealisme pola desain Tiarma Sirait tidak bisa bertahan. Homogenisasi ekonomi dunia yang ditandai membanjirnya produk China 2 mendasari kompetisi antar pelaku kreatif (desainer), untuk memproduksi produk yang sama, cara yang sama untuk pasar yang sama. Hal ini juga ditegaskan oleh George Ritzer3bahwa globalisasi memproduksi massifikasi, homogenisasi dan standarisasi praktik serta produk konsumen. Ekonomi sebagai bentuk sosial tertentu tidak hanya mempertukarkan nilai tambah melainkan juga nilai tukar. Nilai tambah adalah nilai yang dibawa oleh komoditi yang dipertukarkan 4 .
2
A Macewan, Neo-Liberalism or Democracy? Economic Strategy, Markets and Alternatives for The 21st Century, Pluto Press, Australia, 1999, hlm.28 3 Douglas Kellner, “Dialectics of Something and Nothing : Critical Reflections on Ritzer‟s Globalization Analysis”, Journal of Critical Perpectives on International Business, Vol.1 No.4, Emerald Group Publishing Limited, 2005, hlm. 263 4 Appadurai, 2007 : 3-4
2
Esensi komoditi bukan pada bentuk atau fungsinya melainkan pertukarannya. Karena proses pertukaran inilah kemudian sesuatu mempunyai kehidupan sosial seperti manusia dan nilai itu sendiri. Nilai menurut Rokeach 5 didefinisikan sebagai sebuah keyakinan tentang perilaku tertentu atau rujukan sosial akan eksistensi seseorang. Nilai seseorang yang berdampak pada perilaku, nilai budaya yang berelasi dengan cara berpakaian sebagai pilihan gaya. Bagaimanapun, dalam industri fashion, desain sederhana dan nilai dipersepsi oleh pembeli 6 . Nilai yang dipercaya pembeli seperti kebaruan dan eksklusif. Tiarma Sirait sebagai desainer fashion art di Bandung membatasi penggandaan dan pemalsuan dengan merubah desain dari musim ke musim melalui pembatasan produksi dan distribusi. Tiarma Sirait juga mulai mengubah strateginya, dan menggunakan batik, pakaian Indonesia tradisional, khususnya batik Indramayu. Indramayu adalah kota kecil di Jawa Barat yang dikenal sebagai satu pusat batik di Indonesia. Selain itu, Tiarma Sirait menerapkan konsep satu gaya satu individu. Praktik diferensiasi di atas dilakukan Tiarma Sirait sebagai respon dari fenomena atau realitas yang dituangkan ke dalam bentuk sketsa, karya/produk dan performance art. Diferensiasi menurut Niklas Luhmann 7 adalah replikasi di dalam
5
Eundeok Kim dan Jane Farrell-Beck, “Fashion in Context: Apparel Styles Worn by Young Women in The United States and South Korea in The 1970s”, Clothing and Textiles Research Journal Vol.23 No. 180, Sage Publications, London, 2005, hlm.183 6 Brian Hilton, op.cit, hlm. 347 7 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 252
3
sistem dari perbedaan antara sebuah sistem dan lingkungannya. Adanya proses diferensiasi sistem sebagai cara menghadapi kompleksitas lingkungannya dan cara penanganan perubahan dalam lingkungan. Namun diferensiasi ini juga meningkatkan kompleksitas sistem, menghasilkan lebih banyak variasi dalam sistem untuk merespon variasi lingkungannya. Banyaknya variasi yang dihasilkan oleh diferensiasi dapat menghasilkan respon yang lebih baik terhadap lingkungan dan mempercepat evolusi 8 . Sedangkan sketsa, karya dan performance art disebut Bourdieu sebagai materialisasi fashion9. Realisasi ide yang dikonstruksi dan direproduksi oleh struktur modal. Materialisasi fashion yang juga digunakan oleh desainer fashion Tiarma Sirait untuk menghadapi persaingan antar desainer seperti pada eksibisi perdagangan “Klondike Days 2000” di Edmonton, Kanada, yang diikuti oleh Tiarma Sirait pertama kalinya. Produksi pola batik khusus untuk desainnya, Tiarma Sirait bekerja dengan cara kolaborasi dengan pembatik di Indramayu. Ia menjelaskan bahwa batik Indramayu mempunyai pola spesifik yang diekspresikan berbeda dalam warna dan peruntukannya. Tidak mudah menerapkan ide pada saat pertama, karena hampir semua pembatik Indramayu telah memproduksi pola yang sama setiap hari dari tahun ke tahun. Lewat proses eksperimen material fashion dan penyajian pertunjukan fashion dalam berbagai industri budaya yang berbeda membuat Tiarma Sirait berbeda dengan desainer maupun para pelaku industri kreatif lainnya. 8
Ibid, hlm. 253 J Entwistle dan Agnes Rocamora,”The Field of Fashion Materialized: A Study of London Fashion Week”, Journal of Sociology, Vol. 40 No.4, 2006, hlm. 736 9
4
Keinginan Tiarma Sirait untuk menjadi trend-setter di bidang mode membuatnya selalu bereksperimen dengan karya dan pameran seperti yang diungkapkannya pada Tim Redaksi Femina : “Saya ingin sekali menjadi trend-setter di dunia mode Indonesia. Saya suka bereksperimen. Saat mode mengarah kepada gaya A misalnya, saya malah ingin mencoba gaya B. Saya ingin selalu beberapa langkah di muka. Dan, ingin sering berpameran di luar negeri supaya saya semakin mengerti pasar internasional, sekaligus memperkenalkan keindahan dan keanggunan mode Indonesia” 10
Salah satu karya Tiarma Sirait adalah Harajutik, singkatan dari Harajuku dengan Batik. Harajutik merupakan produk art yang diproduksi dengan konsep “one style, one individual” yaitu satu gaya satu individu. Produksi kostum dengan konsep terbatas dan pertunjukan busana. Berikut salah satu hasil desain fashion harajutik Tiarma Sirait : Gambar 1. Desain Fashion Harajutik
Sumber : Desain Koleksi Tiarma Sirait, 2009 10
Tim Redaksi, “Tiarma Ingin Menjadi”, Majalah Femina No. 8/XXIX, 22-28 Februari 2001, hlm. 37
5
Desain fashion Harajutik merupakan salah satu bentuk perpaduan konsep kebudayaan klasik dan mutakhir. Sekaligus menunjukkan ketimpangan relasi kekuasan global dalam desain fashion Tiarma Sirait. Reproduksi budaya fashion akibat adanya kepentingan ekonomi berupa barang/materi yang berguna dalam proses identifikasi diri atau kelompok tertentu, dipadukan oleh desainer dengan budaya fashion Jepang “Harajuku” dengan filosofi “kawaii”. Harajuku merupakan street fashion yang berkembang di Tokyo. Sistem fashion independen yang berbeda dengan model fashion konvensional. Berbeda dengan fashion Jepang yang banyak diinspirasi oleh desainer terkenal seperti Kenzo Takada, Issey Miyake, Hanae Mori, Yohji Yamamoto dan Rei Kawakubo, street fashion Jepang “Harajuku” berasal dari anak gadis bersekolah yang ingin mempengaruhi dan mengontrol tren fashion. Lewat merekalah street fashion menjadi kreatif dan inovatif. Fashion digunakan untuk melawan standar normatif dan media untuk menunjukkan identitas diri serta komunitas. Hampir sama dengan desain Harajuku (Ura-Hara, Gothic Lolita, Ganguro, Yamamba), desain fashion Harajutik menegaskan pentingnya konstruksi identitas personal dan gaya hidup seperti yang diungkapkan Crane 11 bahwa konsumsi produk budaya seperti pakaian fashion, menunjukkan pentingnya konstruksi identitas personal, dan variasi gaya hidup yang tersedia bebas dimana setiap individu 12 ,
11
Yuniya Kawamura, “Japanese Teens as Producers of Street Fashion”, Current Sociology Vol. 54 N 784, 2006, hlm.785 12 Wilayah dimana setiap individu bebas memilih. Berpakaian sebagai artikulasi identifikasi diri baik secara personal maupun kolektif. Pasar membebaskan seseorang dalam mengartikulasikan identifikasi
6
khususnya anak muda, dari cara mereka membuat pilihan dan memberi makna identitas diri. Fokus fashion gaya anak muda, dikarenakan mereka
13
sedang
melakukan pencarian identitas dalam kolaborasi bersama teman sebaya dan kebutuhan ditandai dengan perbedaan dari yang lain. Pakaian dan jenis artefak lain (aksesoris) digunakan dalam aktivitas kelompok dimana mereka berkumpul. Melalui adopsi fashion kelompok tertentu menjadi contoh bahwa perwujudan „semangat‟ kelompok tersimbolisasi pada busana atau aksesoris yang mereka kenakan. Fashion digunakan individu sebagai representasi diri untuk meningkatkan perpaduan internal dengan anggota kelompok lain. Fashion juga sebagai ekspresi diri, kontrol sosial dan pengakuan kelompok. Proses kreatif desain Harajutik dilalui Tiarma Sirait 14 dengan melakukan riset tentang berbagai kain tradisional, antara lain batik Indramayu, Jambi, tenun Bali, NTT, Timor Timur, Jepang dan Uzbekistan. Rancangan Tiarma yang bersifat klasikmutakhir bisa dilihat dari busana motif batik dalam gaya yang simpel, muda dan masa kini. Produk fashion yang didesain untuk merespon kompetisi pasar global dengan melakukan inovasi, imitasi maupun menggabungkan keduanya. Industri kreatif Bandung mempunyai keunikan khusus karena muncul dari komunitas. Walaupun ada juga dari industri rumahan. Berbeda dengan di Inggris,
dirinya, baik secara individual maupun kolektif yang implikasinya pada berbagai subversi artikulasi secara tradisional (Catatan dari Dr. Budiawan, 30 Maret 2011, Sidang Komprehensif KBM UGM) 13 R. Ling, “Fashion and Vulgarity in The Adoption of The Mobile Telephone Among Teens in Norway”, Mediating, The Human Body: Technology, Communication, and Fashion, edited by Leopoldina Fortunati, James Katz, Raimonda Riccini, Lawrence Erlbaum Associates, New Jersey, 2003, hlm. 95 14 Tim Redaksi, op.cit. hlm. 36
7
sebagai pelopor munculnya industri kreatif yang berasal dari industri rumahan (home industry). Bandung merupakan tempat yang kondusif untuk perkembangan kreativitas karena faktor toleransinya yang begitu tinggi dibandingkan kota lain di Indonesia.
Perkembangan industri rumahan menjadi awal berkembangnya distro dan clothing di Bandung adalah C59 (Caladi C59). C59 ini didirikan oleh Martius Widyarto Wiwied dan Maria Goretti 15 pada tanggal 12 Oktober 1980. Nama C59 berasal dari nama alamat rumah yaitu Caladi No. 59. C59 memiliki pabrik dan toko retail (showroom) di Jalan Tikukur No. 10. Sejak tahun 1994, C59 menjadi perseroan terbatas (PT) dan mulai ekspansi toko di Ramayana Department Store sebagai saluran distribusi di Jakarta, Balikpapan, Yogyakarta, Ujung Pandang, Lampung, dan Malang. Berbagai penghargaan nasional maupun internasional seperti Upakarti untuk kategori UKM (1996), Merit Award untuk kalender terbaik (1999), Enterprise 50 (2001) dan Hade Award (2007) sebagai pelopor clothing di Bandung. Pada tahun 2000, C59 memasarkan produknya ke Eropa Tengah (Ceko, Slovakia dan Jerman). Untuk pasar lokal dan nasional, C59 bekerjasama dengan Matahari Department Store. Perubahan konsep basic t’shirt (kaos oblong) menjadi fashion apparel (segmentasi remaja usia 14-24 tahun), mengadakan C59 Street Fiesta di 3 kota (Bandung, Surabaya dan Yogyakarta) pada tahun 2003 bekerjasama dengan RCTI dan Fremantle Media Enterprises untuk ajang Indonesian Idol.
15
http://climasembilan.multiply.com/
8
Widjana merupakan salah satu desainer yang bekerja lebih dari 10 tahun di C59. Widjana membuat karya ilustrasi kaos yang diproduksi C59, salah satu karyanya menggunakan figur Cepot. Figur pewayangan Cepot tidak digambar sendiri dalam ilustrasi kaos C59 tapi dipadupadankan dengan figur lain seperti CHE Guevara, Paman Sam dan lainnya. Figur Paman Sam dan kendaraan Harley Davidson asal Amerika mengindikasikan relasi kekuasaan global yang timpang dalam karya Widjana. Pengulangan padupadan figur dan simbol lokal-global hampir dapat dijumpai dalam setiap karya Widjana. Widjana memiliki pendidikan akhir SMSR, sekolah menengah kejuruan dalam bidang seni rupa di Bandung. Desainer fashion lainnya adalah Nia Subandi. Perempuan kelahiran Karawang dan lulusan STISI Bandung jurusan tekstil adalah desainer fashion salah satu pabrik di Bandung yang juga gemar memadupadankan figur dari luar negeri yang sedang trend dengan simbol-simbol lokal di setiap karyanya. Perusahaan dimana Nia Subandi bekerja menjual produksinya di Pasar Baru, Tanah Abang dan pasar Indonesia lainnya. Selain padupadan figur dan simbol lokal-global, Tiarma Sirait, Widjana dan Nia Subandi sering menggunakan teknologi internet dalam mencari ide, melihat trend, publikasi karya, mengirim karya ke klien dan mencari konsumen serta informasi pameran fashion di dalam maupun luar negeri.
9
Berkembangnya usaha komunitas menjadi industri kreatif merupakan fenomena baru bagi pertumbuhan ekonomi kreatif 16 di Bandung. Usaha yang pada awalnya dimaksudkan untuk pemenuhan kebutuhan anggota komunitas dengan semangat DIY (Do-It-Yourself) menjadi bisnis baru yang juga dikonsumsi oleh publik. Di Bandung, usaha komunitas ini berkembang bersama distro/clothing, factory outlet dan tempat belanja lainnya. Bisnis yang melibatkan pelaku kreatif dalam sektor kerja informal dan formal. Pelaku kreatif ini menerapkan prinsip diferensiasi dan distribusi online untuk memenangkan pasar. Perluasan pasar dapat dilihat dari penunjukan Bandung sebagai pilot project kota kreatif di Asia oleh British Council. British Council lewat program International Young Creative Entrepreneur of The Year (IYCEY) mulai mengirim pemuda/pemudi yang berasal dari Indonesia untuk dijadikan ikon pelaku kreatif seperti Gustaff H Iskandar (Bandung, Pengelola Komunitas BCCF), Ridwan Kamil (Bandung, Arsitek URBANE dan Walikota Bandung Periode 2013-2018), Yoris Sibastian (Jakarta, Manager Hardrock Cafe) dan sebagainya. Selanjutnya, mereka mendominasi dalam pengembangan wacana kreatif tentang konsep kota, industri, ekonomi dan komunitas di Bandung. Dominasi pengembangan wacana merupakan salah satu mekanisme 16
Wacana Ekonomi Kreatif diluncurkan oleh Inggris tahun 1997 dalam Manifesto Kebijakan Budaya “Create the Future” (Matheson, 2006: 57). Menurut Erni R. Ernawan (http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/ekonomi-bisnis/483-awal-pencanangan-ekonomikreatif.html diakses 31 Desember 2008) pertumbuhan ekonomi kreatif di Indonesia tahun 2006 mencapai 7,3%, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional hanya 5,6%. Selama 20022006, industri kreatif menyerap sekitar 5,9 juta pekerja dan menyumbang Rp. 81,5 triliun atau 9,13% terhadap total ekspor nasional. UNESCO tahun 2003 mengeluarkan definisi industri kreatif sebagai suatu kegiatan yang menciptakan pengetahuan, produk, dan jasa yang orisinal, berupa hasil karya sendiri. Pemerintah Inggris menyediakan dana bantuan 6 juta poundsterling (Rp. 108 miliar) untuk mendukung pengembangan industri kreatif di berbagai negara berkembang.
10
mempertahankan tatanan sosial atau reproduksi sosial kekuasaan tertentu. Reproduksi sosial kekuasaan menurut Pierre Bourdieu 17 tergantung pada aturan main dan ketrampilan yang dimiliki oleh pewacana. Salah satu contohnya adalah kolaborasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan kota Bandung, ITB, British Council,KickFest dan BCCF dengan menyelenggarakan HelarFest pada bulan JuliAgustus 2008. Bahkan hingga bulan Juli 2008 sebanyak 2.001 eventseni dan budaya telah terselenggara di kota Bandung 18. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi 19 dan industri dalam membentuk wacana kreatif di kota Bandung mengkondisikan persaingan antar pelaku kreatif. Bahkan pengaturan mekanisme persaingan pada tingkat industri nasional telah diatur oleh pemerintah pusat dalam peraturan presiden (perpres) No. 28 Tahun 2008 tentang kebijakan industri nasional. Kebijakan yang memberikan fasilitas insentif fiskal, insentif non fiskal, dan kemudahan lain sesuai peraturan yang berlaku. Kebijakan yang seharusnya bersinergi dengan kebijakan pemerintah kota maupun daerah sehingga diharapkan kebijakan dalam struktur ruang Metropolitan Bandung menurut MBUDP (Metropolitan Bandung Urban Development Programme) 20 pada tahun 2015 dapat terlaksana.
17
Pierre Bourdieu, Outline of A Theory of Practice, University of Cambridge, Cambridge, 1995, hlm.58 18 Disbupar Kota Bandung, 2008 19 Jumlah perguruan tinggi yang ada di Bandung adalah sekitar 130-an perguruan tinggi (Data BPS 2008). 20 Kebijakan Struktur Ruang Metropolitan Bandung 2015 antara lain berfokus pada : satu, pengembangan konsep dekosentrasi kegiatan perkotaan melalui peningkatan pertumbuhan di lima kota kecil, yaitu Padalarang, Soreang, Banjaran, Majalaya dan Cicalengka; dua, pembatasan pertumbuhan terutama ke kawasan konservasi di bagian utara dan antara Jalan Tol Panci dan Citarum (kawasan
11
Kebijakan Struktur Ruang Metropolitan Bandung 2015 selaras dengan temuan potensi ekonomi kreatif yang terkosentrasi pada 6 wilayah pemetaan 21 yaitu pertama wilayah Bojonegara 12 sektor industri kreatif tambah sektor kuliner). Kedua, wilayah Cibeunying (14 sektor industri kreatif tambah sektor kuliner). Ketiga. wilayah Tegallega (9 sektor industri kreatif tambah wisata kuliner). Keempat, wilayah Karees (12 sektor industri kreatif tambah sektor kuliner). Kelima, wilayah Ujungberung dan Keenam, wilayah Gedebage dengan masing-masing 3 sektor industri kreatif dan sektor kuliner. Penyebaran ekonomi kreatif yang merata merupakan peluang pemerintah kota menjadikan Bandung sebagai kota kreatif. Strategi yang dilakukan salah satunya dengan membangun kluster komunitas dan ruang berkreasi 22 bagi pelaku kreatif. Ruang kreasi di ruang terbuka difasilitasi oleh pemerintah Kota Bandung berupa pembuatan Taman Cikapayang yang dulunya digunakan sebagai Pom Bensin Jl. Ir. Djuanda. Lokasi taman ini tepat berada di bawah Jembatan Pasopati.
pengangga); tiga, pembatasan pengembangan industri (Batujajar, Cimahi, Selatan dan Padalarang); empat, pengembangan jalur terbuka hijau sepanjang Sungai Citarum (Majalaya sampai ke Saguling); lima, perlindungan terhadap kawasan Sungai Citarum dan Waduk Saguling dan enam, pengembangan kegiatan perumahan (Batujajar, Banjaran, Ciparay, Rancaekek dan Cicalengka). 21 Hasil Penelitian Bappeda Bandung bersama SBM ITB (Simatupang dkk, 2008). 22 Kebijakan pendukung yang berupa Agenda Triwulan III Pemerintah Provinsi Jabar 2008 di bidang perekonomian dan Penggunaan ruang publik (www.jabarprov.go.id)
12
Gambar 2. Taman Cikapayang “Dago”
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2010 Jembatan Pasopati dibangun pada tahun 2005 sebagai jalan utama untuk mengakses Tol Cipularang dari Bandung ke kota lainnya maupun sebaliknya. Tol Cipularang ini memberikan kemudahan bagi wisatawan yang berasal dari luar kota Bandung maupun negara lain untuk berbelanja atau berlibur di akhir pekan atau hari kerja. Kemudahan akses transportasi dan infrastruktur yang tersedia mengakibatkan pertumbuhan Factory Outlet (FO), Distribution Outlet (Distro), Mall, Minimarket, Supermarket, Cafe, Rumah Wisata di Kota Bandung semakin pesat. Munculnya industri kreatif Bandung yang berasal dari komunitas tidak hanya memberi keunikan tersendiri bagi perkembangan ekonomi kreatif Indonesia melainkan menunjukkan ketatnya persaingan antar pelaku kreatif dalam industri fashion maupun pelaku kreatif yang berkompetisi untuk merebut pasar industri desain. Fashion yang diproduksi dan distribusi massal di distro/clothing maupun factory outlet ini menurut Paul Hirsch 23 disebut sebagai produk industri budaya.
23
Beckers, 1982 : 122
13
Industri budaya yang merujuk pada pencarian keuntungan dari produk budaya dalam sistem industri. Berdasarkan observasi di lapangan (2012)jumlah industri kreatif kaos sablon di Jl Suci sekitar 153 buah, distro dan clothing di Jalan Sultan Agung-Trunojoyo sekitar 32 buah. Jumlah Factory Outlet di Jalan Riau sekitar 27 buah, Jalan Dago sekitar 5 buah, dan Jl. Cihampelas sekitar 40 buah. Bahkan merk pakaian yang beredar di setiap toko, jumlahnya mencapai sekitar 100 merk lebih. Merk seperti Zara, Manggo, Loft, Armani, American Eagle, T2000, Esprit, Bsk, H&M, Forever21, Massimo, Bershka, Ralf, Lauren, Stradivarius, Pull and Bear, Express dan merk lainnya. Industri fashion Bandung sejak tahun 1970-an dikenal dengan kekuatan utamanya pada desain, keragaman bahan baku, dan kekhususan merek, serta keunikan produk. Menurut Kompas 24 pertumbuhan distro dan clothing di Indonesia sudah mencapai 750 unit, 300 unit diantaranya tersebar di Bandung dengan pelaku usaha berumur sekitar 20-30 tahun. Dari hasil studi yang dilakukan Bappeda Kota Bandung dengan PT Mitra Kawasa Konsulindo 25 terdapat 5291 komunitas kreatif di kota Bandung. Data ini menarik karena komunitas tidak lagi dianggap sebagai tempat menghabiskan waktu (leisure) melainkan menjadi salah satu pilihan strategi bertahan hidup anggotanya di tengah kesulitan ekonomi yang menghimpit mereka. Selain memberikan dampak positif bagi anggotanya seperti peningkatan kesejahteraan dan
24 25
Terbit tanggal 12 Agustus 2007 Bappeda Bandung, 2008
14
pendapatan,
penciptaan
lapangan
kerja
dan
mengurangi
pengangguran.
Perkembangan industri komunitas kreatif ini juga memberikan sisi negatifnya yaitu dominasi kelas tertentu atas kelas yang lain, monopoli dan maraknya pembajakan karya. Pembajakan karya disikapi oleh pelaku kreatif dengan penciptaan karya terbaru. Setiap bulan mereka memonitor penjualan produk mereka, menghitung desain apa saja yang dibajak dan tentu saja laku di pasaran. Kemudian mereka mulai berkreativitas dengan karya-karya baru. Pembajakan menurut salah satu pemilik distro terkenal di Bandung, dianggap sebagai sarana promosi gratis bagi distronya. Perkembangan industri kreatif di Bandung juga tidak lepas dari pesatnya perkembangan teknologi internet. Teknologi yang mendukung mode produksi yang tidak terbatas pada definisi tempat (place) melainkan pada ruang (space). Teknologi internet menjadi sangat dominan dalam perkembangan mode kerja ini 26. Di Bandung, akses internet tersedia di ruang publik secara gratis seperti hotspot, wifi 24 jam dan tersedianya stop kontak jika daya listrik laptop habis. Para pelaku kreatif dapat mengirimkan hasil pekerjaan dalam waktu yang bersamaan ke beberapa industri atau pun mendapatkan ide dan bahan dengan cepat untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Teknologi internet ini juga menjadi medium bagi para pelaku kreatif untuk melakukan praktek komunikasi sehingga tercipta ruang sosial baru yang disebut komunitas online. Hal ini memungkinkan pelaku kreatif bekerja pada dua atau lebih
26
Pola kerja baru perkotaan, salah satu yang memperluas kesenjangan antar pekerja strata atas dan bawah (Scott, 2007: 1466). Kegiatan produksi yang menggunakan teknologi digital dan fleksibilitas organisasi untuk mendukung perluasan sektor baik inovasi, pembedaan produk dan layanan personal.
15
industri dengan budaya yang berbeda dalam waktu bersamaan atau berkelanjutan27. Pekerjaan ini menuntut kemampuan berkompetisi dan berinteraksi dalam jejaring relasi dan kemampuan bersiasat. Jejaring tidak hanya terbatas antar produk kreatif sejenis dan komunitasnya melainkan antar komunitas dan kota di luar Bandung lewat teknologi internet. Bnym28menyebutnya sebagai komunitas online. Komunitas online adalah sebuah kelompok pertemanan dimana seseorang mempunyai seperangkat kegiatan, koneksi dengan perkembangan dunia serta saling berelasi (relationships). Komunitas online biasanya tempat bertemu atau berkumpulnya berbagai komunitas kreatif. Amitai Etzioni 29 mengidentifikasikan komunitas kreatif merupakan tempat dimana orang saling tahu dan peduli dengan yang lain.
1.2. Rumusan Masalah Ketimpangan relasi kekuasaan global yang direpresentasikan dalam karya fashion grafis Tiarma Sirait, Widjana dan Nia Subandi menjadi permasalahan dalam penelitian disertasi ini. Tiarma Sirait lewat karya fashion harajutik misalnya merujuk sekaligus memakai mode fashion harajuku Jepang. Rujukan mode fashion Jepang dan Korea, juga dilakukan oleh Nia Subandi. Berbeda dengan kedua fashion desainer perempuan tersebut, Widjana lebih suka menggunakan identitas atau simbol dari Amerika seperti Paman Sam dan Harley Davidson. Persamaan dari cara desain 27
Levy dan Mumane (Scott, 2007 : 1467-1468) komputerisasi berarti banyak hal dalam fungsi rutin kerja (akutansi, manajemen, informasi maupun operasional), disisi lain terdapat formasi baru pekerja elite dan proletar menjadi pekerja fleksibel. 28 Day, 2006: 228 29 Ibid., hlm. 15
16
ketiganya adalah melakukan pengulangan padupadan dalam setiap karya grafis fashion mereka; menggambil dari berbagai material dan referensi yang mereka miliki/kumpulkan sebelumnya dari dalam dan luar Indonesia. Perluasan pasar melalui pembentukan Bandung Kota Kreatif dan kebijakan pemerintah tentang hak cipta, persaingan nasional, perkembangan teknologi internet/media sosial serta meningkatnya konsumsi produk fashion “merek luar negeri” menjadi indikasi adanya perkembangan ekonomi global (globalisasi). Fenomena peningkatan konsumsi produk fashion merek luar negeri (nike, bilabong, dan lain sebagainya) daripada konsumsi masyarakat pada fashion buatan lokal seperti Cibaduyut dan Cihampelas serta indikasi ekonomi global lainnya yaitu; Pertama, brand luar negeri diproduksi di Indonesia dan dikerjakan oleh pabrik lokal. Kedua,munculnya distro/clothing dengan memproduksi brand sendiri seperti C59, UNKL347 dan lainnya. Begitupula dengan factory outlet sebagai saluran distribusi produk fashion pabrik yang tidak lolos sensor/standar pasar internasional atau sisa eksport. Pada perkembangannya pun, factory outlet mulai membuat brand sendiri dengan referensi mode dunia fashion yang sedang tren seperti brand Minimal yang diproduksi oleh factory outlet Rumah Mode di Bandung dan sebagainya. Ketiga, berkembangnya brand hybrid di pusat perbelanjaan seperti Cibaduyut, Cihampelas, Supermarket, Mall dan tempat belanja lainnya. Keempat, maraknya produk China, Korea, Jepang ke Indonesia seiring dengan kebijakan pasar bebas (free trade ASEAN-China). Fenomena praktik diferensiasi ini menjadi menarik dalam konteks sejarah perkembangan industri kreatif kota Bandung. Peniruan motif juga dilakukan 17
oleh desainer pabrik tekstil untuk menghadapi pasar fashion dalam dan luar negeri. Praktik meniru kemudian diadaptasikan yang „global‟ pada yang „lokal‟ secara kreatif oleh pelaku kreatif di distro/clothing, factory outlet dan industri kreatif lainnya. Persoalan ketatnya kompetisi antar pelaku kreatif yang terlihat pada mode produksi dan distribusi industri desain fashion di Bandung menjadi menarik dalam konteks pelaku kreatif yang bekerja dalam industri budaya yang berbeda (different cultural industries), komunitas maupun kerja mandiri (freelance) akibat pengaruh budaya global 30 . Kompetisi sebagai abstraksi atas esensi fenomena sosial mempunyai perwujudan tertentu berupa diferensiasi ketika kompetisi telah menjadi budaya bagi seseorang maupun komunitas dalam kehidupan sehari-hari seperti halnya kompetisi sebagai sebuah strategi dan etos. Perwujudan kompetisi sebagai budaya dapat berupa cara berperilaku (practice) dan cara berpikir pelaku kreatif di dalam menghadapi permasalahan sehari-hari dan menempatkan posisi pelaku kreatif dalam perebutan pasar. Posisi yang keberhasilannya ditentukan oleh kepemilikan atas struktur modal dan siasat yang dilakukan oleh pelaku kreatif.
30
Menurut D. Stanley Eitzen dan Maxine Baca Zinn dalam bukunya Globalization : The Transformation of Social Worlds (2006:1) bahwa budaya global merupakan salah satu ciri dari globalisasi. Globalisasi merupakan proses pergerakan barang, informasi, orang, uang, komunikasi, fashion, budaya, melewati perbatasan negara. Beberapa implikasi dari sudut pandang ini adalah pertama, globalisasi bukan sesuatu atau produk tetapi lebih pada proses. Termasuk email dan internet, imigrasi, perjalanan lintas negara, harga minyak, kopi, pemasaran produk yang dibuat di negara tempat dipasarkannya produk tersebut, pemesanan makanan cepat saji dari dunia virtual. Kedua, globalisasi tidak hanya permasalahan ekonomi melainkan juga berdampak pada politik, sosial dan budaya bahkan skala kecil yaitu individu. Ketiga, globalisasi merujuk pada perubahan ketertarikan hidup manusia. Keempat, tidak semua orang mempunyai pengalaman globalisasi dengan cara yang sama. Bagi sebagian orang, globalisasi memberikan kesempatan, ide baru, nilai, identitas dan harapan baru, tapi bagi yang lain, globalisasi membuat ketimpangan, kemiskinan dan tiadanya harapan.
18
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini memfokuskan bahasan pada praktik diferensiasi sebagai siasat dalam merespon persaingan ekonomi global dalam industri ekonomi kreatif lebih khusus dalam desain grafis, fashion dan clothing dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana praktik artikulasi dalam diferensiasi yang dilakukan oleh pelaku kreatif dalam relasi kekuasaan global? 2. Bagaimana model diferensiasi produk yang dihasilkan oleh pelaku kreatif dalam relasi kekuasaan global? 3. Bagaimana struktur modal membentuk diferensiasi antar pelaku kreatif dalam relasi kekuasaan global?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui praktik artikulasi dalam diferensiasi yang dilakukan oleh pelaku kreatif dalam relasi kekuasaan global 2. Untuk memahami model diferensiasi produk yang dihasilkan oleh pelaku kreatif dalam relasi kekuasaan global 3. Untuk
menjelaskan
proses
terbentuknya
diferensiasi
dan
hubungan
kepemilikan modal antar pelaku kreatif maupun relasinya dengan pelaku yang lain dalam relasi kekuasaan global
19
4. Untuk mengkritisi wacana ekonomi kreatif yang berlangsung di dunia akademik maupun yang dipraktikkan di industri kreatif Kota Bandung
1.4. Tinjauan Pustaka Dari penelusuran literatur yang peneliti lakukan, kajian mengenai industri kreatif di Indonesia khususnya Bandung masih sangat sedikit. Hal ini tidak seimbang dengan perkembangan produknya. Kajian dalam bentuk karya ilmiah khususnya disertasi yang membahas praktik diferensiasi dilihat dari mode produksi dan distribusi yang dilakukan oleh pelaku kreatif Bandung belum ada. Apalagi kajian praktik diferensiasi yang terjadi antara pelaku kreatif yang bekerja dalam industri kreatif berbeda, komunitas maupun pekerja mandiri (freelance). Namun beberapa artikel jurnal, makalah, buku dan tulisan di media massa cetak serta elektronik memberikan gambaran perkembangan pelaku kreatif, industri kreatif dan ekonomi kreatif di Eropa, Asia, Indonesia dan Bandung khususnya tentang kompetisi dan diferensiasi. Dari studi literatur dikelompokkan 3 (tiga) pengertian kompetisi, yaitu: Pertama, kompetisi sebagai strategi. Menurut Michael E. Porter 31 kompetisi dalam industri ditentukan oleh pemasukan, kelemahan substitusi, persaingan antar kompetitor,
kekuatan tawar-menawar,
Konsumen,
31
pemasok,
substitusi
dan
ME. Porter, Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and Competitors, Collier Macmillan Publishers, London,1980, hlm. 6; ME. Porter, The Competitive Advantage of Nations, The Free Press, New York, 1990, hlm. xi
20
pemasukan potensial lainnya merupakan kompetitor firma dalam industri dan mungkin lebih atau kurang dipengaruhi oleh sirkulasi tertentu. Salah satu strategi untuk mengatasi kompetisi, manager/pengusaha dalam industri memberikan upah minimal atas produktivitas pekerja. Upah inilah yang membedakan pekerja (employer discrimination) seperti penelitian yang dilakukan oleh Kieran Healy (t.t). Selain itu, kompetisi sebagai strategi untuk mengatasi kebijakan publik (William van Caenegem, 2007). Kedua, kompetisi sebagai nilai (etos) yaitu kontrol atas produksi dari pengetahuan produk (Craig Prichard dkk, 2006). Ketiga, kompetisi sebagai budaya, yaitu cara atau perilaku yang dilakukan untuk merespon pengaruh sistem pasar (Ursula Huws, 1991); Kieran Healy, 2002). Penelitian Ursula Huws dan Kieran Healy berfokus pada kreativitas individu dan inovasi menjadi pusat dari produktivitas ekonomi dan daya saing. Penelitian mereka ini tidak membahas kaitan praktik dan struktur modal dimana kemampuan kompetisi pelaku kreatif terbentuk. Sedangkan bahasan tentang diferensiasi khususnya penelitian empiris belum banyak dilakukan. Hal ini tampak pada literatur penelitian yang ditemukan, yaitu beberapa penelitian terdahulu seperti (a) diferensiasi fungsional dalam organisasi yang dilakukan oleh Boris Brandhoff (2009) dan David Seidl dan Kai Helge Becker (2006); cara memahami organisasi dengan teori sistem Niklas Luhmann. Luhmann memahami organisasi sebagai hasil komunikasi. Menurut Luhmann organisasi bukan sebuah kelompok tindakan individu bukan juga aktor industri tunggal tapi sebuah sistem sosial. (b) rekonstruksi kerangka teori sistem Niklas Luhmann (Michael Rempel, 1996). Sedangkan dari penelusuran literatur kaitannya dengan diferensiasi 21
dikelompokkan 5 permasalahan penelitian: pertama, diferensiasi fungsional kaitannya dengan evolusi dan komunikasi. Penelitian ini dilakukan oleh Daniel Lee (2000); Michael Rempel (1996); Roar Hagen (2001); Penelitian Daniel Lee (2000) misalnya membahas diferensiasi masyarakat merupakan hasil dari meningkatnya kompleksitas struktural. Terdapat 3 tingkatan diferensiasi yaitu (1) masyarakat tersegmentasi dengan karakteristik keragaman fungsi pada bagiannya salah satunya bentuk (makna, nilai dan kegunaan). (2) Pada masyarakat tersegmentasi makna sosial mengalami perluasan dari kelas, estate dan kasta. Sebagai masyarakat yang terstratifikasi berpengaruh dan berkembang dalam hubungan perdagangan dengan masyarakat tersegmentasi, bentuknya menjadi perbedaan antara pusat dan pinggiran. (3) Ketika perbedaan antara pusat dan pinggiran kehilangan makna disebabkan oleh asimilasi dan globalisasi, diferensiasi masyarakat menjadi fungsional. Penelitian lainnya
adalah
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Michael
Rempel
(1996)
mengungkapkan lima elemen subsistem masyarakat modern yaitu kode biner, dasar otoritas, bahasa komunikasi sosial, media umum komunikasi dan fungsi sosial. Masing-masing subsistem autopoiesis pada operasi yang mandiri dan otonom sebagai interpenetrasi dimana operasi merupakan salah satu subsistem yang mempengaruhi orang lain. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Roar Hagen (2001) menjelaskan bahwa diferensiasi fungsional dalam masyarakat modern bukan proses spontanitas tapi diamati, ditindaklanjuti dan diatur oleh masyarakat melalui negara. Kedua, dominasi diferensiasi fungsional dalam masyarakat modern dilakukan pada penelitian Boris Brandhoff (2009); Boris Brandhoff (2009) menjelaskan diferensiasi 22
fungsional merupakan bentuk yang sangat dominan diferensiasi masyarakat dalam masyarakat modern. Diferensiasi fungsional
32
melalui kreasi autopoiesis, yang
masing-masing secara mandiri melakukan tugas tertentu bagi masyarakat secara keseluruhan. Hal ini disebut Luhmann sebagai sistem fungsi. Teori Niklas Luhmann 33
tentang sistem sosial sebagai organisme. Organisme sebagai proses komunikasi
jaringan tertutup secara rekursif yang timbul satu sama lain sehingga menimbulkan perbedaan struktur yang ada. Organisme sebagai sebuah pola proses komunikasi dimana memperbaharui dirinya sendiri melalui sumber daya sendiri 34 . Ketiga, diferensiasi dan rasionalisasi dalam masyarakat kontemporer. Penelitian ini dilakukan oleh George M. Thomas (2007); George M. Thomas (2007) membahas diferensiasi fungsional adalah adaptasi alami atas kompleksitas dimana lebih meningkatkan kompleksitas sistem sebelum diferensiasi lebih lanjut. Keempat, diferensiasi fungsional tidak hanya memiliki konsekuensi bagi sistem sosial masyarakat, tetapi juga bagi individu. Penelitian ini dilakukan oleh Jorg Pohle (2012); Kelima, gagasan diferensiasi fungsional dalam perspektif teoretis, digambarkan sebagai dekomposisi entitas yang kompleks menjadi bagian-bagian yang terpisah. Penelitian ini dilakukan oleh Benjamin Ziemann (2007). Benjamin Ziemann (2007) menjelaskan terjadinya ketidakpuasan yang meluas pada paradigma struktural-fungsionalis dengan fokus
32
Brandhoff, ”Autopoietic Systems, Not Corporate Actors: A Sketch of Niklas Luhmann‟s Theory of Organisations”, European Business Organization Law Review Vol. 10, 2009, hlm. 318 33 Ibid, hlm. 308 34 Ibid, hlm. 319
23
pada struktur dan metode kuantitatif serta Luhmann menolak untuk menerima gagasan manusia dan subjek sebagai kategori sistematis. Relevansi pustaka di atas dengan penelitian disertasi ini adalah pertama, masih sedikitnya penelitian terkait praktik diferensiasi. Hal ini terlihat dari sedikitnya pustaka yang penulis dapatkan. Kedua, penelitian sebelumnya belum menjelaskan bagaimana lokal menjawab globalisasi khususnya kondisi empiris di Indonesia. Ketiga, sedikitnya metode kualitatif yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan yang terjadi. Keempat, lebih banyak penelitian dengan metode studi pustaka, namun belum dilakukan secara empiris dari persoalan yang terjadi. Kelima, penelitian Niklas Luhmann tentang sistem autopoietisseperti organisme sedangkan sistem autopoietis pada pelaku kreatif sebagai aktor atau individu belum dilakukan. Berdasarkan studi pustaka di atas, penelitian pada lingkup praktik diferensiasi pada pelaku kreatif grafis Fashion Bandung sebagai aktor atau individu dalam menghadapi globalisasi belum pernah diteliti. Penelitian disertasi ini penting untuk dilakukan terkait pada konteks global ekonomi dan kecenderungan munculnya hibriditas dalam desain grafis khususnya ilustrasi dan grafis fashion karya Tiarma Sirait, Widjana dan Nia Subandi.
1.5. Kerangka Teoretis Untuk memahami permasalahan penelitian praktik diferensiasi pascakolonial pelaku kreatif grafis fashion Bandung, peneliti menggunakan teori ranah Pierre Bourdieu sebagai grand theory dan 5 teori, yaitu pertama, teori sistem Niklas 24
Luhmann untuk menganalisa diferensiasi fungsional yang dilakukan pelaku kreatif grafis fashion Bandung. Kedua, teori Struktur Modal Pierre Bourdieu untuk menganalisa struktur modal dan arena dimana pelaku kreatif grafis fashion Bandung berkarya. Ketiga, teori Brikolase Levi-Strauss untuk menganalisa brikolase produk grafis fashion (cara). Keempat, teori hibriditas Homi-Bhabha untuk menganalisa produk grafis fashion (bentuk). Kelima, model triadik tandadan tritangtu untuk menganalisa pola diferensiasi pelaku kreatif grafis fashion Bandung. Berikut uraian dari grand theory ranah dan kelima teori yang dimaksud :
1.5.1. Teori Ranah Pierre Bourdieu Ranah adalah tempat persaingan dan perjuangan dimana pelaku harus menguasai kode dan aturan permainan. Medan perjuangan dipahami sebagai medan kekuatan yaitu tempat perjuangan anatarindividu atau antarkelompok. Medan perjuangan (Haryatmoko, 2003: 15) didefinisikan sebagai suatu jaringan atau konfigurasi hubungan-hubungan objektif antara berbagai posisi. Posisi yang dibatasi oleh keberadaan pelaku. Kepemilikan kekuasaan pelaku mengandalkan modal menentukan akses keuntungan tertentu yang dipertaruhkan dalam pertarungan. Pemilik modal saling berhadapan dan melakukan pertaruhan dalam bentuk akumulasi modal tertentu yang memungkinkan untuk menjamin dominasi di bidang tersebut. Modal dalam ranah berfungsi sebagai sarana tetapi sekaligus tujuan. Strategi yang diterapkan para pelaku sangat tergantung pada besarnya modal yang dimiliki dan juga struktur modal dalam posisinya di lingkup sosial. Pelaku yang berada dalam posisi dominan cenderung memilih strategi mempertahankan. Para pelaku demi keuntungan perjuangan akan berusaha mengubah aturan main, bisa dengan mendiskreditkan bentuk-bentuk modal yang menjadi tumpuan kekuatan
25
lawan atau subversi, strategi ini terutama dipakai oleh mereka yang didominasi. Setiap orang atau kelompok berusaha mempertahankan dan memperbaiki posisinya, membedakan diri, mendapatkan posisi-posisi baru. Ranah sosial (Redaksi dalam Harker, 2005: xi) merupakan arena bagi perjuangan sumber daya. Individu, institusi dan agen lainnya mencoba untuk membedakan dirinya dari yang lain dan mendapatkan modal yang berguna atau berharga di arena tersebut. Praktik (Bagus Takwim dalam Harker, 2005: xx)merupakan suatu produk dari relasi antara habitus sebagai produk sejarah dan ranah yang juga merupakan produk sejarah. Pada saat bersamaan, habitus dan ranah juga merupakan produk dari medan daya-daya yang ada di masyarakat. Dalam suatu ranah ada pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang yang memiliki banyak modal dan orang yang tidak memiliki modal. Setiap ranah menuntut individu untuk memiliki modal-modal khusus agar dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya. Contohnya dalam ranah intelektual, seseorang harus memiliki modal istimewa dan spesifik seperti otoritas, prestise dan sebagainya untuk dapat menampilkan tindakan yang dihargai dan membuatnya menjadi individu yang berpengaruh. Selain itu, habitus memberi strategi dan kerangka tingkah laku yang memungkinkannya menyesuaikan diri dan beradaptasi secara memadai dengan ranah intelektual. Individu dengan habitus, pemahaman terhadap ranah dan modal, dapat mempertanyakan struktur, bahkan mengubahnya. Di dalam ranah, pertarungan sosial selalu terjadi. Mereka yang memiliki modal dan habitus yang sama dengan kebanyakan individu akan lebih mampu melakukan tindakan yang mempertahankan atau mengubah struktur dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki modal. Menurut Bourdieu (Patricia, 2008: 69), permainan yang terjadi dalam ruang sosial atau ranah perjuangan dengan berbagai agen sosial menggunakan strategi yang berbeda
untuk
memelihara
atau
meningkatkan
posisi
mereka.
Mereka
mempertaruhkan akumulasi modal dalam ranah baik melalui proses dan produk dalam ranah. Posisi pelaku kreatif dalam arena sosial (Field, 2010: 22) ditentukan oleh jumlah dan bobot modal relatif mereka, dan oleh strategi tertentu yang mereka 26
jalankan untuk mencapai tujuan-tujuannya.
1.5.2. Praktik Diferensiasi Niklas Luhmann Diferensiasi menurut Niklas Luhmann35 adalah replikasi, di dalam sistem, dari perbedaan antara sebuah sistem dan lingkungannya. Diferensiasi ini muncul sebagai cara menghadapi kompleksitas lingkungannya. Sistem fungsi merupakan subsistem masyarakat dan bagian dari sistem autopoiesis yang terdiri dari semua komunikasi. Autopoiesis mengambil tempat sebagai formasi dengan medium komunikasi. Sistem fungsi merupakan bentuk yang terus membentuk dirinya. Diferensiasi 36 merupakan struktur yang diabstraksi sendiri sebagai fitur dasar dalam obyek – karena struktur yang diabstraksi sendiri dapat diterapkan dalam objek lagi dan lagi membuat perbedaan. Luhman menjelaskan bahwa abstraksi-diri memungkinkan penerapan kembali struktur yang sama dalam obyek itu sendiri. Dengan kata lain, struktur yang diabstraksi sendiri dalam sistem menyediakan kelestariannya karena sistem membuat mereka dan kemudian menggunakan mereka untuk membedakan perbedaan dan menciptakan fasilitas untuk membatasi kompleksitas. Diferensiasi demikian dipahami sebagai
bentuk
refleksi
dan
rekursif
bangunan
sistem
dalam
sistem/obyek. Referensialitas diri merupakan ajaran dasar yang membangun teorinya sendiri. Diferensiasi fungsi 37 tentang sebuah struktur diabstraksi sendiri merupakan
35
George Ritzer, op.cit, hlm. 252 Nancy M Smith, Theorizing Social Systems : Niklas Luhmann’s And The Orthodox Systems Thinking Approach To The System and The Observer, Trent University, Ontario, 2009, hlm. 8 37 Ibid, hlm. 10 36
27
perbedaan antara sistem dan lingkungan. Luhman38 menjelaskan diferensiasi sistem sosial dapat muncul hanya melalui dferensiasi proses komunikasi. Terdapat lima elemen subsistem39 yaitu kode biner, dasar otoritas, bahasa komunikasi sosial, media umum komunikasi dan fungsi sosial. Menurut Daniel Lee 40 terdapat 3 dimensi diferensiasi yaitu sosial, temporal dan fungsional. Berikut tabel dimensi diferensiasi. Bagan 1. Dimensi Diferensiasi Masyarakat Autopoiesis of Society
Communication
Evolution
Differentiation
Social
Temporal
Functional
Self-description of Society Sumber : (Lee, 2000: 325)
38
Ibid, hlm. 15 Michael Rempel, “System Theory And Power/Knowledge : A Foucauldian Reconstruction of Niklas Luhmann‟s Systems Theory”, The International Journal of Sociology and Social Policy, Vol. 16 No. 4, 1996, hlm. 58 40 Daniel Lee, ”The Society of Society : The Grand Finale of Niklas Luhmann”, Sociological Theory, Vol. 18 No.2, 2000, hlm.320 39
28
Teori Luhmann 41 mengkombinasikan autopoiesis dan otonomi, di sisi lain diferensiasi dan evolusi. Perbedaan obyek yang memproduksi dirinya sendiri disebut dengan konsep autopoiesis (bahasa Yunani, autos berarti diri, poiesis berarti produksi); atau lebih baik dari sistem autopoiesis. Menurut konsep ini, peneliti mengamati objek pengamatan sebagai sistem dibedakan dari lingkungannya, yang dengan sendirinya memproduksi dan mereproduksi perbedaan dari lingkungan. 42 Praktik diferensiasi yang dilakukan pelaku kreatif menunjukkan bahwa budaya sebagai praktik cultural terbentuk oleh sejarah dan sebuah gambaran yang terlahir akibat persaingan kekuasaan pada masa pra-kolonial, kolonial dan pascakolonial di Bandung. Bourdieu mengatakan43 ada 2 karakteristik praktik pada pembalikan tuntutan publik dan turunan wacana yaitu pertama, reproduksi hirarki sosial, kedua, pengulangan (repetition) ideologi mereka. Diferensiasi memungkinkan pelaku kreatif menentukan beberapa hak milik tentang logika praktik. Pengetahuan praktik menghasilkan lipatan muslihat. Diferensiasi merupakan kecenderungan untuk membuat sesuatu yang berbeda, adalah hasil dari praktik yang berasal dari modal budaya yang dipengaruhi oleh latar belakang perpaduan budaya yang berbeda. Perhatian terbesar Bourdieu tentang modal diarahkan pada konsep modal budaya. Walaupun dalam studi yang lainnya, Bourdieu juga membahas tentang modal sosial,
41
Geoffrey Winthrop-Young, “On a Species of Origin : Luhmann‟s Darwin”, Configurations Vol 11 No. 3, 2003, hlm. 311 42 David Seidl dan Kai Helge Becker, “Organizations as Distinction Generating and Processing Systems : Niklas Luhmann‟s Contribution to Organization Studies”, Organization Vol. 13 No. 1, 2006, hlm.14 43 Michel De Certeu, The Practice Of Everyday Life, University Of California Press, London, 1984, hlm. 52
29
modal ekonomi dan modal simbolik dengan berbagai variasi kedalaman (Bourdieu, 2006; Bourdieu, 2001; Bourdieu, 1999: Bourdieu, 1996). Modal menurut Bourdieu adalah akumulasi kerja yang perlu waktu untuk diakumulasikan. Modal ekonomi, modal sosial, modal budaya dan modal simbolik merupakan bentuk-bentuk modal (Bourdieu, 1986). Bourdieu pun menjelaskan bahwa beragam modal bisa jadi tidak selalu dapat saling dipertukarkan.
1.5.3. Modal Pierre Bourdieu Konsep modal meskipun merupakan khazanah ilmu ekonomi dipakai oleh Bourdieu karena beberapa cirinya yang mampu menjelaskan hubungan kekuasaan (Bourdieu, 1995) yaitu 1) modal terakumulasi melalui investasi; 2) modal bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan; 3) modal dapat memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya. Strategi penempatan modal dilakukan dengan cara diinternalisasikan, diobyektivikasi dari objek material dan media kemudian diinstitusionalisasikan. Perbedaan cara modal kultural disimpan dan dioperasikan sehingga menjadi habitus. Internalisasi
(Parera
dalam
Berger,
1990:
xx)
terjadi
ketika
individu
mengidentifikasikan diri dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. Internalisasi (Berger, 1990: 186) adalah pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa obyektif sebagai
30
pengungkapan suatu makna; artinya sebagai suatu manifestasi dari proses-proses subyektif orang lain yang dengan demikian menjadi bermakna secara subyektif bagi diri sendiri. Kesesuaian sepenuhnya antara kedua makna subyektif, dan pengetahuan timbal-balik mengenai kesesuaian itu, mengandaikan terbentuknya pengertian. Internalisasi merupakan dasar bagi pemahaman pemilik modal dan pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial. Pemilik modal tidak hanya memahami proses-proses subyektif orang lain yang berlangsung sesaat melainkan juga memahami dunia di mana ia hidup dan dunia itu menjadi dunianya. Internalisasi (Berger, 1990: 189) berlangsung dengan berlangsungnya identifikasi. Pemilik modal mengoper peranan dan sikap orang-orang yang mempengaruhinya, artinya ia menginternalisasi dan menjadikannya peranan sikapnya sendiri. Dialektika yang berlangsung setiap saat individu mengidentifikasikan diri dengan orang-orang yang berpengaruh, merupakan semacam partikularisasi dalam kehidupan individu dari dialektika umum masyarakat. Modal diobyektivikasi dalam material (Robert, 2008: 105) seperti karya seni, galeri, museum, buku dan artefak lainnya dalam berbagai jenis. Dalam bentuk lain, modal diwujudkan. Prinsip dalam sebuah ranah yang diinstitusikan dalam kebersamaan seseorang sebagai prinsip kesadaran dalam kecenderungan dan ciri fisik seperti bahasa tubuh, sikap, intonasi dan pilihan gaya hidup. Bentuk modal (Robert, 2008: 106) dilembagakan misalnya dalam bentuk pendidikan formal. Untuk berbagai tingkat kelompok yang berbeda, menanamkan (membuat diwujudkan) sebuah habitus, prinsip yang sama dan sebangun dengan prinsip dominan dari berbagai ranah 31
dimana modal eksis dalam bentuk objektifikasi. Obyektivasi adalah interaksi sosial dalam
dunia,
institusionalisasi.
intersubyektif Obyektivasi
yang
dilembagakan
(Berger,
1990:
49)
atau
mengalami
artinya
pemilik
proses modal
memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, bagi bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur-unsur dari dunia bersama. Obyektivasi itu merupakan isyarat-isyarat yang sedikit banyaknya tahan lama dari proses-proses subyektif para produsennya, sehingga memungkinkan obyektivasi itu dapat dipakai sampai melampaui situasi tatap muka di mana mereka dapat dipahami secara langsung. Modal merupakan hubungan sosial, artinya suatu energi sosial yang hanya ada dan membuahkan hasil dalam arena dimana ia memproduksi dan mereproduksi. Setiap kepemilikan yang terkait dengan kelas, menerima nilai dan efektivitasnya dari hukum khas setiap arena: dalam praktik, artinya dalam suatu arena khusus, semua disposisi dan kepemilikan objektif (kekayaan ekonomi atau budaya). Pendekatan ini memperhitungkan bahwa setiap kelas sosial tidak dapat didefinisikan secara terpisah, tetapi selalu dalam hubungan dengan kelas lain.
1.5.3.1. Pertukaran Modal Modal ekonomi dan modal simbolik sebenarnya dapat saling dipertukarkan (Bourdieu, 1995). Konversi modal ekonomi ke modal simbolik, hanya dapat berlangsung terus menerus dengan keterlibatan seluruh kelompok (Bourdieu, 1995).
32
Pertukaran modal ini dapat dilihat misalnya pada pertukaran pemberian. Pertukaran pemberian dan semua upaya simbolik lainnya seperti pesta, upacara, kunjungan dan perkawinan bertujuan mengubah hubungan berkepentingan menjadi hubungan timbal balik. Walaupun pertukaran pemberian tidak sama dengan barter44 maupun hutang45, pemberian di sini dimaksudkan sebagai pemberian balasan. Dalam modal simbolik terjadi reproduksi hubungan yang penting bagi kelangsungan hidup kelompok. Hukum pertukaran yang lazim dalam perekonomian kuno ialah semakin dekat hubungan antar individu atau kelompok dalam genealogi, semakin mudah membuat persetujuan, yang kalau semakin sering dilakukan akan semakin dipercaya. Sebaliknya makin tak pribadi hubungannya, transaksi pun lebih jarang, namun kalau terjadi dapat bersifat makin “ekonomi” murni dengan perhitungan kepentingan secara terus terang. Agunan resmi kian diabaikan bila jarak sosial di antara pihak-pihak yang terlibat kian pendek atau jaminannya kian kuat jika pihak yang berwenang untuk menjamin keaslian kontrak dan memberlakukannya kian terhormat. Beberapa tingkat transaksi berdasarkan tingkat kepercayaan. Di sisi lain transaksi dilandasi oleh ketakpercayaan timbal balik seperti antara petani dan pedagang yang curang, yang tak dapat menuntut atau mendapatkan jaminan karena ia sendiri tidak dapat menjamin mutu produknya atau menemukan penjamin. Ada juga
44
Barter mengandaikan bahwa pemberian dan pembalasan terjadi pada saat yang sama (Bourdieu, 1995). 45 Pengembalian hutang dijamin oleh tindakan hukum, berupa penulisan kontrak, yang menjamin bahwa tindakan yang dituliskan dapat diramalkan dan dapat diperhitungkan. (Bourdieu, 1995)
33
pertukaran kehormatan yang dapat mengabaikan segala macam persyaratan dan hanya mengandalkan itikad baik di antara pihak-pihak yang menjamin kontrak. Namun kebanyakan transaksi di antara penjual dan pembeli cenderung melebur dalam jaringan perantara dan penjamin, yang dirancang untuk mengubah hubungan ekonomi murni di antara permintaan dan penyediaan, menjadi hubungan yang didasarkan dan dijamin oleh kekerabatan (Bourdieu, 1995). Modal simbolik – dalam bentuk prestise dan nama baik keluarga – yang selalu dapat diubah bentuk menjadi modal ekonomi, merupakan bentuk akumulasi yang paling berharga dalam masyarakat yang kekerasan iklimnya dan keterbatasan sumber daya tekniknya menuntut kerja kolektif. Modal (Bourdieu, 1995) yang terakumulasi oleh kelompok, energi dari dinamika sosial (modal kekuatan fisik, misalnya untuk pertempuran), modal ekonomi (tanah dan ternak) dan modal simbolik (selalu dikaitkan sebagai tambahan dari pemilikan modal lainnya), dapat berbeda-beda bentuknya, yang meskipun tunduk pada hukum ekuivalensi46 dan karenanya dapat saling dipertukarkan, masing-masing menghasilkan akibat-akibat khusus.
1.5.3.2. Modal yang Dominan Berperan Para pemilik modal dan kelompok didefinisikan oleh posisi mereka dalam ruang yang mendasarkan pada prinsip diferensiasi dan distribusi. Setiap pemilik
46
hukum yang terkait secara logika
34
modal ditempatkan pada suatu posisi atau kelas tertentu yang terdekat, yang riil dapat ditempati. Para pemilik modal menempati posisi masing-masing yang ditentukan oleh dua dimensi: pertama, menurut besarnya modal yang dimiliki, dan kedua sesuai dengan bobot komposisi keseluruhan modal mereka. Bobot yang terkait dengan faktor-faktor yang membentuknya berbeda di satu arena dengan yang lain. Faktor tertentu akan lebih berperan daripada yang lain, dalam arena yang satu mungkin modal budaya, di tempat lain mungkin modal ekonomi, arena lainnya lagi modal sosial, dan seterusnya. Berikut ilustrasi dari pertukaran modal yang berperan dalam arena tertentu: Gambar 3. Pertukaran Modal yang Dominan Berperan dalam Arena tertentu
Pemilik Modal Arena B Modal Budaya
Arena A
Arena C Modal Simbolik
Modal Sosial
Arena D Modal Ekonomi
Sumber : Bourdieu, 1995
Modal merupakan kekuasaan simbolisk dalam menunjukkan berbagai hal dengan sangat baik dan membuat banyak orang percaya. Modal budaya dapat ditawarkan dengan modal lainnya. Jumlah modal budaya yang dimiliki dapat digunakan untuk mendapat modal selain modal budaya yang lain. Pemilik modal 35
mempunyai tingkat modal ekonomi yang lebih rendah dibandingkan dengan modal budaya yang dimilikinya dalam arena produksi budaya. Berikut ilustrasi tingkatan modal yang dipertukarkan dalam arena tertentu :
Gambar 4. Tingkatan Modal yang dipertukarkan dalam arena tertentu
Arena B
Arena A Modal Budaya Modal Ekonomi
Modal Sosial
Modal Ekonomi
Modal Simbolik
Modal Budaya
Modal simbolik
Modal Sosial
Sumber : Bourdieu, 1995
Arena produksi budaya (Bourdieu, 1992) dibedakan menjadi arena produksi terbatas (field of restricted production) dan arena produksi skala besar (field of largescale production). Arena produksi terbatas berkaitan dengan apa yang disebut sebagai seni tinggi (adiluhung) seperti musik klasik dan sastra. Dalam subarena ini yang dipertaruhkan adalah hal-hal yang bersifat simbolis seperti prestise, pengabdian, estetika dan lain sebagainya. Hal ini menjadikan subarena produksi terbatas sangat kondusif untuk karya-karya eksperimental, idealis dan inovatif. Karya yang berbeda dengan subarena produksi skala besar.
36
Arena produksi skala besar sering dikenal dengan sebutan budaya massa atau budaya populer (Bourdieu, 1998) seperti televisi, radio, produksi film dan produksi „sastra populer‟. Subarena ini didukung oleh budaya industri yang mempunyai prinsip dominan terkait dengan modal ekonomi. Karyanya sering kali meminjam atau melakukan plagiat atau parodi dari subarena produksi terbatas. Proses yang dilakukan dalam kerangka pasar budaya. Modal
ekonomi,
budaya,
sosial,
dan
simbolik
(Bourdieu,
1995)
memungkinkan untuk membentuk struktur lingkup sosial. Termasuk modal budaya ialah ijazah pengetahuan yang sudah diperoleh, kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, sopan santun, cara bergaul, dan sebagainya yang berperan di dalam penentuan dan reproduksi kedudukan sosial. Modal budaya dibangun oleh kondisi keluarga dan pendidikan di sekolah, modal budaya pada batasbatas tertentu dapat beroperasi secara independen dari tekanan uang, dan bahkan memberikan kompensasi bagi kekurangan uang sebagai bagian dari strategi individu atau kelompok untuk meraih kekuasaan dan status . Modal sosial ialah hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan sosial. Selanjutnya, tulisan-tulisan awal Bourdieu tentang modal sosial menjadi bagian dari analisis yang lebih luas tentang beragam landasan tatanan sosial. Bourdieu melihat posisi pemilik modal dalam arena sosial ditentukan oleh jumlah dan bobot modal relatif mereka, dan oleh strategi tertentu yang mereka jalankan untuk mencapai tujuan-tujuannya. Dalam siaran wawancara di televisi Jerman pada tahun 37
1987 (Bourdieu, 2000), Bourdieu membandingkan arena sosial dengan kasino; pertaruhan modal yang tidak hanya tergantung pada struktur modal yang dominan melainkan bisa 3 modal sekaligus; modal ekonomi, modal budaya dan modal sosial. Modal simbolik tidak lepas dari kekuasaan simbolik, yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi, akibat khusus suatu mobilisasi. Modal simbolik bisa berupa kantor yang luas di daerah mahal, mobil dengan sopirnya, namun bisa juga petunjuk yang tidak mencolok mata menunjukkan status tinggi pemiliknya: misalnya gelar pendidikan yang dicantumkan di kartu nama, cara bagaimana membuat tamu menanti, cara mengafirmasi otoritas dan sebagainya.
1.5.3.3. Posisi Pemilik Modal Posisi pemilik modal di dalam lingkup kelas sosial tergantung pada kepemilikan jumlah besarnya dan struktur modal mereka. Dengan kriteria ini, Bourdieu menyusun masyarakat, pertama, dalam dimensi vertikal; dalam hal ini dapat dipertentangkan antara para pemilik modal antara yang punya modal besardalam hal ekonomi dan budaya-dengan mereka yang miskin. Kedua, susunan masyarakat menurut struktur modal, maksudnya pentingnya kedua modal tersebut dalam besarnya secara keseluruhan. Logika khas arena adalah apa yang dipertaruhkan dan jenis modal yang diperlukan untuk berperan di dalam permainan, mengarahkan logika kepemilikan yang menentukan hubungan antara kelas sosial dan prakteknya.
38
Biasanya pemilik modal yang dalam posisi dominan cenderung memilih strategi mempertahankan. Setiap orang atau kelompok berusaha mempertahankan dan memperbaiki posisinya, membedakan diri bahkan berupaya mendapatkan posisi baru.
1.5.4. Brikolase Levi-Strauss Brikolase Levi-Strauss (Chao, 1999: 513 ) merupakan sebuah transformasi yang memiliki tatanan kosmologi dengan kuasa negara. Proses legitimasi dan otentisitas dari dinamika lokal, pengalaman perubahan struktur, signifikasi praktik ritual dan interpretasi bentuk baru dari kekuasaan. Brikolase merupakan praktik transformasi47 material (fisik, konsep, ide atau gaya, tekstur, genre, diskursus) menjadi satu bentuk komposisi. Brikolase merujuk pada proses adaptasi atau improvisasi. Brikolase secara konseptual merupakan suatu perlintasan satu sistem ke sistem tanda lainnya48. Bahan bakunya adalah kehidupan sehari-hari atau fragmen-fragmen dari realitas dalam kehidupan nyata yang pernah ada/muncul yang diproses dan didistorsi sedemikian rupa, sehingga ia menjadi bukan dirinya sendiri (artifisial). Dengan kata lain, representasi masa lalu dan masa kini 47
Konsep tranformasi yang dipahami dalam Ilmu Antropologi Struktural menurut Heddy Ahimsa Putra (2001: 61-65) sebagai alih rupa atau malih dalam bahasa Jawa ngoko. Terjadi perubahan dalam tataran permukaan sedangkan dalam tataran lebih dalam lagi perubahan tidak terjadi. Selanjutnya Heddy Ahimsa Putra menjelaskan beberapa model tranformasi yaitu pertama, adanya perbedaan dan pergantian, namun makna atau pesan yang dikandungnya tetap sama. Kedua, pergantian pada permukaan dan susunan dari elemen permukaan namun isi atau pesan tetap sama walau urutannya berbeda. Hal ini disebut Heddy Ahimsa sebagai transformasi struktural yaitu alih rupa pada tingkat struktur permukaannya saja. Ketiga, pergantian susunan elemen-elemen yang membentuk struktur, tetapi juga hilangnya elemen-elemen tertentu di dalamnya dan inti pesan yang disampaikan atau struktur dalamnya tidak mengalami perubahan. Transformasi tidak lain adalah alih-kode. 48 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Bandung : Jalasutra, 2003, hlm.15
39
ditampilkan bersama dalam sebuah brikolase yang menyandingkan tanda-tanda yang sebelumnya tak berkaitan menjadi kode-kode makna baru. Pada produk-produk kultural juga terlihat adanya kekaburan sejarah atau menghilangnya batas-batas genre49. Konsep brikolase menggambarkan penataan kembali dan kontekstualisasi ulang benda-benda untuk mengomunikasikan makna-makna yang masih segar 50 . Artinya, benda-benda yang telah mengandung endapan makna-makna simbolis dikenai pemaknaan ulang berkaitan dengan artefak-artefak lain dalam sebuah konteks yang baru. Brikolase itu seperti pengaduk-adukan eklektik sejarah yang mengandung rekombinasi kreatif barang-barang yang sudah ada untuk melahirkan makna-makna baru (nilai subkultural) dan ekspresi yang koheren. Ide Levi-Strauss tentang brikolase51 muncul ketika melakukan penelitian tentang mitos yang ditransformasikan oleh brikolase. Orang yang melakukan brikolase menurut Levi-Strauss 52 disebut bricoleur, yang artinya seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan menggunakan teknik tertentu dibanding sekedar sebagai pengrajin. Karakteristik brikolase menurut Levi Strauss
53
adalah penyimpangan, bukan spesialisasi,
keterbatasan instrumen, apapun bisa untuk apapun, tanda sebagai instrumen, penciptaan melalui rekonstruksi, penemuan inovasi, menciptakan inovasi, bermain 49
Chris Barker, Cultural Studies : Teori dan Praktik, Bentang, Yogyakarta, 2005, hlm. 205-449 Clarke, 1976:177 51 Lincoln, “An Emerging New Bricoleur : Promises and Possibilities – A Reaction to Joe Kincheloe‟s Describing the Bricoleur”, Qualitative Inquiry, Vol. 7 No. 6 2003, h. 693-705, Sage Publications, 2001, hlm. 639 52 Levi-Strauss, The Savage Mind. London : Weidenfeld and Nicolson, 1966, hlm.16-17 53 Hubik, “Mass Bricolage as a source of Alternative Education : Towards The Sociology of Education”, Journal of Czech Sociological Review, Vol 5 No. 1, 1997, hlm. 63 50
40
dan ritual. Momen ritual secara formal dicirikan dengan cara pengulangan (irama, isi, dan bentuk), aktuasi (dalam arti teater memainkan peran), stilisasi (atau karakter yang luar biasa dari perilaku), tatanan, urutan, gaya presentasi dan menggugah (memprovokasi keadaan mental tertentu) dan dimensi kelompok 54. Brikolase 55 berhubungan dengan teknis dimana pengetahuan digeneralisir melalui praktik nyata dan tindakan pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Brikolase merujuk pada ide dalam pikiran menuju perilaku “do-it-yourself” sehingga orang yang melakukannya seperti tukang– seseorang yang melakukan dengan alat sederhana untuk memecahkan masalah.Brikolase
56
melakukan tindakan dengan
sumberdaya yang ada dan menciptakan produk atau jasa baru dari alat dan bahan yang ada. Proses menggabungkan sumber daya berfungsi sebagai mekanisme untuk mengarah pada penemuan produk "baru" atau jasa dari sumber daya yang ada. Usaha yang dapat menciptakan inovasi-inovasi yang kuat dalam lingkungan terbatas. Brikolase dapat membantu menjelaskan bagaimana pelaku kreatif membuat sesuatu dari yang belum ada. Brikolase sering bertentangan norma dan terjadi tanpa adanya dukungan institusional. Perspektif brikolase menjelaskan bagaimana teknologi dapat dibuat dengan umpan balik kolektif dari berbagai pemangku kepentingan.
54
Antonio Miguel Nokues, The Ritual as a Process, Miguel Hernandez University, Pedegral, 1982, hlm.1 55 Tadajewski, 2006: 10 56 Baker & Nelson dalam Desa, 2008: 6
41
Brikolase 57 dikonotasikan dengan sumber yang kaya dan adaptif; tindakan yang dilakukan dari sesuatu yang ada, dan didesain antara proses yang berlangsung dan hasil. Brikolase didefinisikan sebagai tindakan yang berhubungan dengan sumber daya dan membuat bentuk baru dan pesan yang berasal dari alat dan bahan yang ada. Brikolase sebagai kegiatan mobilisasi sumber daya dimana pelaku kreatif berkembang dengan membangun sumber daya yang berguna dan mengembangkan layanan dari bahan sampah. Brikolase adalah konsep yang sangat berguna untuk menjelaskan bagaimana industri kreatif berkembang di lingkungan tekanan ekonomi ketika sumber daya eksternal sulit untuk diperoleh. Brikolase (Baker & Nelson dalam Desa, 2008: 19) diartikan sebagai tindakan yang menerapkan kombinasi dari berbagai sumber daya yang ada untuk menciptakan peluang atau memecahkan masalah.
Tabel 1. Pengertian Brikolase dan Resource-seeking Resource-mobilizing mode Definition
Bricolage Making do with current resources, and creating new products or services from tools and materials at hand (baker & nelson, 2003)
Resource-Seeking Procuring standard external resources and assembling them to create a new product (baker, miner & eesley, 2003)
Activity description for each resource type: material, labor and skills.
Forgotten, discarded, worn, or presumed “single-application” materials with new use Involving customers, suppliers, and hangers-on in providing free work on projects
Buys standard components for the project. The components fit together readily Employs workers with skills suited to the project. Uses paid employees, contractors or specialists to complete parts of the project. Formal education and prior professional experience are
Material
Labor
Skills
57
Permitting and encouraging the uses of self-taught skills on-the
Levi-Strauss dalam Desa, 2008: 16-17
42
job
employed project
to
develop
the
Sumber : (Desa, 2008 : 32)
1.5.5. Hibriditas Pascakolonial Beberapa pandangan yang berkembang tentang wacana hibriditas antara lain hibriditas merupakan pertama, strategi mempertahankan keaslian budaya yang bertujuan untuk menstabilitasi status quo budaya; Kedua, strategi gerakan anti kolonial; Ketiga, strategi resistensi pada globalisasi. Keempat, gejala subversi politik dan dominasi budaya. Kelima, dampak kelemahan kekuatan lokal relasinya dengan budaya popular Amerika. Hibriditas dalam wacana ambivalensi pascakolonial memiliki dua sisi, pertama sebagai dampak globalisasi 58 , kedua sebagai strategi. Hibriditas menandakan sisi negatif (budaya tradisi hilang dan suburnya budaya barat), sisi positif (bertahan hidup, kemampuan bersaing dan adaptasi). Pada awalnya hibriditas terjadi pada koloni Spanyol di Amerika Latin 59yaitu masyarakat campuran dimana orang lokal lahir berkulit putih (creoles) dan penduduk pribumi yang 58
Globalisasi (Eitszen, 2006:1) merupakan proses pergerakan barang, informasi, orang, uang, komunikasi, fashion, budaya, melewati perbatasan negara. Beberapa implikasi dari sudut pandang ini adalah pertama, globalisasi bukan sesuatu atau produk tetapi lebih pada proses. Termasuk email dan internet, imigrasi, perjalanan lintas negara, harga minyak, kopi, pemasaran produk yang dibuat di negara tempat dipasarkannya produk tersebut, pemesanan makanan cepat saji dari dunia virtual. Kedua, globalisasi tidak hanya permasalahan ekonomi melainkan juga berdampak pada politik, sosial dan budaya bahkan skala kecil yaitu individu. Ketiga, globalisasi merujuk pada perubahan ketertarikan hidup manusia. Keempat, tidak semua orang mempunyai pengalaman globalisasi dengan cara yang sama. Bagi sebagian orang, globalisasi memberikan kesempatan, ide baru, nilai, identitas dan harapan baru, tapi bagi yang lain, globalisasi membuat ketimpangan, kemiskinan dan tiadanya harapan. 59
Ania, 2005: 13
43
mendominasi dan bercampur yang disebut dengan mestizos (hibrida). Hibriditas atau mestizaje di sini merupakan sebuah hirarki internal yang komplek dengan berbagai campuran orang. Menurut Bhabha 60 , otoritas kolonial terlihat pada hibrida dan ambivalen ketika kolonial ditiru dan diproduksi, kemudian terbuka ruang untuk dikolonialisasi dalam diskusi identitas kolonial dan pemberontakan anti-kolonial. Lanjut Homi K. Bhabha61rezim kolonial tidak dapat memproduksi identitas stabil dan tetap sehingga identitas hibriditas dan wacana kolonial ambivalen lebih memadai dalam menjelaskan dinamika kolonial. Namun menurut Jan Mohamed, ambivalensi adalah sebuah produk itu sendiri tentang duplisitas imperial dan bahwa dibalik itu semua, sebuah dikotomi antara penjajah dan dijajah menjadi nyata dalam struktur relasi kolonial. Hibriditas kolonial
62
menjadi sebuah strategi mempertahankan keaslian
budaya dan bertujuan menstabilitasi status quo budaya. Di dalam praktiknya, hibriditas kolonial bekerja dalam cara gerakan anti kolonial dan individual di dalam menggambarkan ide Barat dan tata bahasanya sebagai peluang aturan kolonial dan dihibriditasi apa yang mereka pinjam dengan ide lokal, membacanya melalui interpretasi mereka sendiri dan menggunakannya untuk menegaskan alteritas budaya atau bersikeras pada perbedaan antara penjajah dan terjajah. Hibriditas atau mestizaje dipahami sebagai strategi anti-kolonial oleh beberapa aktivis Caribbean dan Amerika
60
Ania, 2005: 78 Ania, 2005: 91-92 62 Ania, 2005: 146 61
44
Latin, dan penulis Kuba Roberto Fernández Retamar. Pada tahun 1971, Retamar menulis bahwa dampak unik dalam dunia kolonial adalah mayoritas penduduknya campuran, bahkan mereka menggunakan bahasa penjajah dan banyak alat konseptual penjajah menjadi alat konseptual mereka. Menurut Bhabha, bagaimanapun hibriditas menimbulkan ambivalensi dan mengindikasikan tidak hanya trauma akan subyek kolonial tapi juga bekerjanya otoritas kolonial sebagai dinamika resistensi. Otoritas kolonial tidak menjadi replikasi dirinya sendiri secara sempurna namun dihibridisasi dalam proses menjadi dikomunikasikan sebagai yang asli. Selanjutnya Bhabha berkesimpulan bahwa kehadiran kolonial selalu ambivalensi, pembagian antara yang asli dan menunjukkan kekuasaan serta artikulasinya sebagai sebuah pengulangan dan perbedaan. Menurut Kraidy 63 hibriditas merupakan sebuah ide tunggal atau konsep kesatuan. Hibriditas sebagai sebuah asosiasi ide, konsep dan tema sekaligus memperkuat dan bertentangan satu sama lain. Pernyataan bahwa setiap budaya adalah hibrida atau ketika fragmentasi wacana atau data menyatu bersama disebut hibriditas. Hibriditas64merupakan sebuah karakteristik tentang relasi antarbudaya dan digunakan untuk mendeskripsikan bagaimana audiens di negara berkembang berinteraksi dengan budaya popular Amerika. Hibriditas memiliki makna yang lebih luas meliputi benda-benda dan proses kreolisasi, mestizaje, dan sinkretisme. Sedangkan hibrida
63
2005: vi Marwan M. Kraidy, Hibridity or Cultural Logic of Globalization, Temple University Press, Philadelphia, 2005: x 64
45
meliputi beragam antar campuran-tidak hanya orang-orang ras, mestizaje cenderung terbatas dan karena itu memungkinkan masuknya bentuk hibridisasi modern yang lebih baik daripada sinkretisme. Istilah sinkretisme hampir selalu mengacu pada fusi agama atau lingkungan tradisional simbolik. Hibriditas merujuk pada budaya tetapi mempertahankan arti yang terkait dengan tiga hal yaitu ras, bahasa, dan etnis. Hibriditas65berarti percampuran ras, sehingga mengantisipasi penggunaan kreolisasi di wilayah bahasa kontemporer. Kata-kata metissage dan mestizaje, dalam bahasa Latin dikenal denga istilah misticum dan mixticium, dari miscere, yang berarti campuran. Hibriditas ditandai sebagai sebuah subversi politik dan dominasi budaya, sebagai wacana retrogressive yang merayakan pengalaman intelektual. Pada kajian media, hibriditas66diartikan sebagai sebuah tanda pemberdayaan atau sebagai sebuah gejala dominasi. Batas-batas antara lokal dan global sebagai pengaruh budaya yang tidak selalu jelas batas-batasnya. Teks media hibrida mencerminkan adanya berbagai kekuatan sejarah, ekonomi, dan budaya yang terkait dengan satu sama lain sebagai bentuk nyata di tingkat lokal, nasional, dan regional terlihat secara global. Sebaliknya, hibriditas67 dalam beberapa cara merefleksikan sinkronisasi pertumbuhan pasar dunia.
65
Ibid, hlm. 2 Ibid, hlm. 5 67 Ibid, hlm. 9 66
46
Pendekatan hibriditas 68 berguna untuk memperjelas konsepsi hibriditas sebagai formasi diskursif69. Jika hibriditas 70 dipahami sebagai sebuah metakonstruksi teoritis tatanan
sosial,
hibriditas
merupakan
potensi
politik
yang
terletak
pada
kemampuannya untuk menumbangkan kategori biner. Hibriditas dalam teori poskolonial 71 diartikan sebagai sebuah dimensi pusat tentang literasi dan produksi budaya Afrika, Amerika Latin, Asia dan diaspora di Barat. Wacana sinkretisme, mestizaje dan kreolisasi pada teori poskolonial mempopulerkan kembali hibriditas untuk menjelaskan fusi budaya. Reinskripsi 72 ditemukan mimikri sebagai proses hibridisasi. Mimikri menurut pendapat Bhabha, muncul sebagai representasi dari perbedaan itu sendiri merupakan proses pengingkaran. Sebagai sebuah hasil, mimikri merampas hal lain seperti kekuatan visualisasi. Sebagai sebuah proses tentang repetisi budaya lebih dari representasi, mimikri mengambil otoritas representasi kolonial karena mimikri membawa ambivalensi wacana kolonial. Dengan demikian, menurut Bhabha, mimikri membuka ruang bagi bentuk-bentuk alternatif dari lembaga dengan kontra-banding budaya kolonial. Hibriditas budaya terjadi dalam mimikri, Bhabha menjelaskan hibriditas sebagai ruang ketiga kemudian dipahami sebagai praktik subversif tentang resistensi.
68
Ibid, hlm. 13 Foucault (Kraidy, 2005: 13) mendefinisikan sebuah formasi diskursif sebagai sebuah sistem dispersi dimana "seseorang dapat menentukan keteraturan (perintah, korelasi, posisi dan fungsi-fungsi, transformasi)‟‟ antara “objek, jenis pernyataan, konsep atau pilihan tematik‟‟. 70 Marwan M. Kraidy, op.cit, hlm. 54 71 Ibid, hlm. 57 72 Ibid, hlm. 58 69
47
Di Amerika Latin, hibriditas73 dibentuk oleh pertemuan interbudaya kuno dan dinamika sosial kontemporer. Hibriditas 74 merupakan hegemoni yang dikonstruksi pada kepentingan sektor masyarakat dominan dengan ideologi tersembunyi Amerika Latin tentang mestizaje. Hibriditas 75 kemudian dipresentasikan sebagai sebuah meta-karakteristik kapitalisme. Di sisi lain memunculkan kreativitas dan merangsang inovasi, karena hibriditas membawa inovasi, homogenitas membawa stagnasi. Hibriditas
76
ditempatkan pada tatanan ekonomi neoliberal yang menghormati tanpa batas dan tempatnya tidak ada prasangka terhadap perbedaan budaya dan etnis yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Hibriditas menurut Zachary 77 adalah variabel kekuatan nasional yang tidak teridentifikasi. Revels, dinamisme dan fluiditas yang menandai pembentukan identitas hibrida. Hibriditas 78 dalam perkembangan dunia merupakan hasil dari dampak ketidakberdayaan lokal dalam kaitannya dengan daya tarik budaya populer Amerika. Salah
satu
jenis
hibriditas
79
adalah
transkulturalisme
industri.
Transkulturalisme industri menekankan fluiditas budaya sebagai alat untuk membuat industri lebih menguntungkan, konsumen lebih puas, dan dunia umumnya baik, 73
Ibid, hlm. 64 Ibid, hlm. 67 75 Ibid, hlm. 88 76 Ibid, hlm. 90 77 Ibid, hlm.91 78 Ibid, hlm.94 79 Ibid, hlm.95 74
48
tempat yang lebih terhubung, dan lebih bersemangat. Namun globalisasi menegaskan representasi internasional dan relasi interbudaya. Hibriditas80 adalah campuran dari dua bahasa sosial dalam batas-batas ucapan tunggal, sebuah pertemuan, di dalam arena ucapan, antara dua kesadaran linguistik yang berbeda, dipisahkan satu sama lain oleh zaman, oleh diferensiasi sosial atau oleh faktor yang lain. Bagi Bakhtin81kehancuran otoritas dalam bahasa melalui hibridisasi bahasa selalu melibatkan dimensi sosial. Menurut Homi K. Bhabha terjadi subversi otoritas
melalui
hibridisasi
menuju dialogis
kolonialisme.
Hibriditas
juga
mengungkapkan ambivalensi pada wacana tradisional tentang otoritas. Menurut Bhabha, hibriditas menjadi momen dimana wacana otoritas kolonial kehilangan pegangan univoval pada makna dan menemukan dirinya terbuka untuk jejak dari bahasa yang lain, memungkinkan kritikus untuk melacak gerakan kompleks dari alteritas dalam teks kolonial. Bhabha mendefinisikan hibriditas sebagai sebuah masalah tentang representasi kolonial yang membalikkan efek dari penyangkalan kolonial, sehingga pengetahuan lainnya ditolak untuk memasuki wacana dominan dan menjauhkan dasar kewenangannya. Hibriditas wacana kolonial membalikkan struktur tentang dominasi dalam situasi kolonial. Hibriditas mendeskripsikan sebuah proses dimana suara tunggal otoritas kolonial melemahkan jalannya kekuatan kolonial dan mengungkapkan jejak yang lain sehingga mengungkapkan dirinya sebagai bersuara
80
Robert JC. Young, Colonial Desire : Hybridity in theory, culture and race, Routledge, London, 1995, hlm. 18 81 Ibid, hlm. 21
49
ganda: Efek kekuatan kolonial terlihat memproduksi hibridisasi daripada otoritas kolonial atau represi diam tradisi asli. Suara otoritas kolonial kemudian terdengar suaranya sendiri berbicara berbeda, diinterogasi dan strategis terbalik: "Jika efek kekuatan kolonial tampak menjadi produksi hibridisasi ... hibridisasi memungkinkan sebuah bentuk subversi ... yang ternyata kondisi dominasi diskursif ke dasar intervensi”. Hibrida Bakhtin telah diubah oleh Bhabha menjadi momen aktif tantangan dan perlawanan terhadap kekuatan budaya yang dominan. Bhabha kemudian menerjemahkan menjadi ruang antara yang berkembang dalam interaksi antara budaya asli dan kolonial yang memiliki efek hilangnya budaya imperialis yang ditetapkan, tidak hanya kewenangan yang telah begitu lama dikenakan politik, seringkali melalui kekerasan, tetapi bahkan klaim atas keaslian. Bhabha memperluas pandangannya tentang hibriditas untuk menyertakan bentuk kontra-otoritas, sebuah ruang ketiga yang mengintervensi untuk efek hibrida pada perubahan politik. Di sini nilai transformasional perubahan terletak pada artikulasi ulang, atau terjemahan, unsur-unsur yang tidak satu (kesatuan kelas pekerja) maupun lainnya (politik gender) tetapi sesuatu yang lain selain yang syarat kontes dan wilayah keduanya. Hibriditas 82 adalah salah satu pembuatan dua hal yang berbeda, sehingga menjadi tidak mungkin bagi mata untuk mendeteksi hibriditas. Hibridisasi juga dapat terdiri dari entitas tunggal menjadi dua bagian atau lebih. Hibriditas membuat perbedaan dalam kesamaan, dan kesamaan dalam perbedaan, tetapi dalam cara yang
82
Ibid, hlm. 24
50
membuat sama tidak lagi sama, tidak lagi berbeda, hanya berbeda. Dalam arti bahwa, ia beroperasi sesuai dengan bentuk logika Derrida dalam istilah brisure, melanggar dan yang bergabung pada saat yang sama, di tempat yang sama: perbedaan dan kesamaan dalam simultanitas. Métissage
83
oleh Françoise Lionnet ini disajikan sebagai metodologi
intertekstualitas dan interdisciplinarity dalam postkolonial. Métissage adalah bentuk bricolage, digunakan oleh Claude Lévi-Straus sebagai konsep estetika mencakup penyatuan biologi dan sejarah, antropologi dan filsafat, linguistik dan sastra. Hibriditas terkait erat dengan ketahanan terhadap homogenisasi atau asimilasi dan keterlibatan dengan subaltern. Dalam kajian postkolonial84istilah diaspora (Stuart Hall menggunakan istilah diasporisasi cukup dekat dengan apa yang Glissant maksud dengan kreolisasi), hibriditas (Bhabha), métissage (Françoise Lionnet, Edouard Glissant,
dan
Verges
Françoise),
interaksi
antarbudaya,
atau
bahkan
multikulturalisme.
1.5.6. Model Triadik Tanda dan Tritangtu Model entitas tiga sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu diawali oleh Plato, Aristotle, Stoics, Boethius, Bacon, Leiniz, Pierce, Husserl, Ogden & Richards dan Morris. Berikut tabel entitas tiga dalam model triadic tanda. 83
AnjaliPrabhu, Hybridity : Limits, Transformations, Prospects, State University of New York Press, Albany, 2007, hlm. 8 84 Ibid, hlm. 13
51
Tabel 2. Model Triadik Tanda
No.
Sign
Sign Vehicles
Sense
Referent
(1)
(2)
(3)
1.
Plato (ca 400 B.C)
name
sound
Idea, content
thing
2.
Aristotle (ca 350 B.C)
[sign]
sound
affections
Thing (pragma)
3.
Stoics (ca 250 B.C)
[sign]
Semainon
Semainomenon,
Object or
lekton
event
4.
Boethius (ca 500)
[word]
Voice
concept
Thing
5.
Bacon (1605)
[word]
Word
notion
Thing
6.
Leibniz (ca 1700)
[sign]
Sign character
concept
Thing
7.
Peirce
sign
Representamen
interpretant
Object
8.
Husserl (1900)
sign
Expression
meaning
Thing
9.
Ogden & Richards
-
Symbol
Thought or
Referent
(1923) 10.
Morris
reference sign
Sign vehicle
significatum
denotatum
Sumber : (Noth, 1995:90)
Di model triadik tanda Ogden dan Richard misalnya memiliki entitas simbol, pikiran atau referensi dan acuan. Ketiga entitas ini strukturnya tetap seperti yang digambarkan berikut ini :
52
Gambar 5. Model Triadik Tanda Ogden dan Richard Pikiran atau referensi
simbol
acuan
Sumber : (Sobur, 2004: 159)
Begitu pula dengan model trikotomi tandanya Charles Sanders Pierce yang memiliki tiga entitas yaitu representamen, objek dan interpretant.
Tabel 3. Trikotomi Tanda Pierce
No. Trichotomy
1
2
3
of the
of relation to
of the relation to
representamen
object
interpretant
Category 1
Firstness
qualisign
Icon
Rheme
2
Secondness
Sinsign
Index
Dicent
3
Thirdness
Legisign
symbol
argument
Sumber : (Noth, 1995:45)
Trikotomi Pierce berbentuk setiga dan strukturnya tetap seperti yang digambarkan berikut ini :
53
Gambar 6. Model Trikotomi Pierce representamen
interpretant
object
Entitas tiga yang lain adalah struktur triadik Hegel (Hegel, 2008: 18) yaitu subjektif, objektif and absolut. Adapun struktur triadik Hegel (Hegel, 2008: 251) antara lain logic of being (quality, quantity and measure); logic of essence (reflection within itself, appearance and actuality); logic of notion (subjectivity, objectivity and the idea). Struktur triadic tidak berakhir, misalnya subbeing (quality) dibagi lagi menjadi (being, nothing and becoming). Berikut tabel hegel’s science of logic :
Tabel 4. Hegel‟s Science of Logic No.
Main Part
Heading
Subheading
Topic
1.
The Logic of Being
Quality
Being
Being, Nothing, Becoming
Determinate Being Being for self Quantity
Quantity Quantum
Measure
The Quantitative Relation Specific Quantity Real Measure
54
2.
The Logic of Essence
Essence as Reflection Within Itself Appearance
The Becoming of Essence Illusory Being Determinations of Reflection Ground Existence Appearance
Actuality
The Essential Relation The Absolute Actuality Absolute Relation
3.
The Logic of Notion
Subjectivity
The Notion
The Universal Notion, The Particular Notion, The Individual
The Judgement The Syllogism Objectivity
Mechanism Chemism Teleology
The Idea
Life The Idea of Cognition The Absolute Idea
Sumber : (Hegel, 2008: 252) Model struktur triadik Hegel memiliki struktur semi tetap yaitu turunan tiga dari subsistem ketiganya seperti model berikut ini:
55
Gambar 7. Model Struktur Triadik Hegel
Sumber : Visualisasi oleh Penulis, 2013
Dari berbagai entitas tiga yang telah berkembang sebelumnya dalam perkembangan teori Barat, di Indonesia khususnya Sunda juga memiliki pola tiga yang sering disebut dengan Tritangtu. Tritangtu (Sumardjo, 2011: 130-131) adalah azas kesundaan yang tetap. Tritangtu atau pola pikir tritunggal (Sumardjo, 2010: 246) merupakan kosmolog masyarakat Sunda dan Minang yang terdiri dari tiga entitas (pola tiga). Struktur hubungan segi tiga ini digambarkan oleh Jakob Sumardjo sebagai berikut : Gambar 8. Pola Tiga (Tritangtu)
A T
T B
A
SUNDA
B
MINANG
Sumber : Sumardjo, 2010: 246
56
Keterangan : A = Dunia Atas B = Dunia Bawah T = Dunia Tengah T = L-P
A = Asas Perempuan B = Asas Laki=laki
Tritangtu atau triwarga atau tiga ketentuan dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian memiliki tingkatan setara di bumi (dunia).
“Ini tri-tangtu di bumi. Bayu kita pina[h] ka perbu, sabda kita pina[h]ka rama, h(e)dap kita pina[h]ka resi. Ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngara(n)na. Ini Triwarga di lamba. Wisnu kangken prabu, Brahma kangken rama, Isora kangken res. Nya mana trita(g)tu pineguh ning bwana, triwarga hurip ning jagat“.85
Gambar 9. Tritangtu Sunda (3 titik setara) wisnu
raja
2.rama
resi
brahma
isora
Sumber : Danasasmita, 1987: 114-115; Visualisasi oleh Penulis, 2013
Terjemahan : ... tiga ketentuan di dunia. Kesentosan kita ibarat raja, ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi. Itulah tritangtu di dunia, yang disebut peneguh dunia. Ini triwarga dalam kehidupan. Wisnu ibarat prabu, brahma ibarat rama, isora ibarat resi. Karena itulah tritangtu menjadi peneguh dunia, triwarga menjadi kehidupan di dunia. 86 85
Saleh Danasasmita, Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bandung, 1987, hlm. 90 86 Ibid, hlm. 114-115
57
Tritangtu adalah salah satu kearifan lokal masyarakat Sunda. Istilah kearifan lokal87merupakan terjemahan dari local genius yang diperkenalkan pertama kali oleh Quaritch Wales tahun 1948-1949 yang berarti kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan. F.D Bosch
88
menambahkan pentingnya kreativitas para anggota
masyarakat dalam mengembangkan kebudayaannya jika terjadi akulturasi (datang pengaruh dari luar yang berlainan dengan kebudayannya sendiri).
“…pengaruh dari luar (India) itu tidak kita telan atau tiru begitu saja, melainkan merangsang kreativitas bangsa kita untuk menciptakan dan merumuskan kepercayaan yang berlainan dengan yang mempengaruhinya, karena telah memasukkan unsur-unsur yang telah ada dalam kebudayaan kita sendiri… J.L.A Brandes dan N.J Krom menunjukkan bahwa ada sepuluh kegiatan yang sudah dimiliki orang Jawa sebelum kedatangan orang India, yaitu (1) wayang, (2) gamelan, (3) metrik sendiri, (4) batik, (5) pengerjaan logam, (6) mata uang sendiri, (7) teknologi pelayaran, (8) astronomi, (9) penanaman padi di sawah, (10) sistim pemerintahan yang sangat teratur.”89 Tritunggal dikenal juga dalam masyarakat batak dengan istilah DALIHAN NA TOLU. DALIHAN NA TOLU (Siahan, 1982: 20) artinya “tungku nan tiga” merupakan lambang diasosiasikan dengan sistem sosial Batak yang juga mepunyai tiga tiang penopang yaitu DONGAN SABUTUHA (pihak yang semarga), BORU (pihak yang menerima isteri) dan HULA-HULA (pihak yang memberi isteri). Perkawinan menimbulkan ikatan dan integrasi di antara tiga pihak yang seolah-olah merupakan tiga tungku di dapur yang penting dalam hidup sehari-hari. 87
Ayatrohaedi dalam Rosidi, 2011:29 Rosidi, 2011: 30 89 Rosidi, 2011, 30-32 88
58
1.5.7 Grafis Fashion Istilah grafis fashion memiliki pengertian mengenai penggunaan elemen grafis pada fashion. Misalnya ilustrasi pada kaos (t’shirt) maupun produk pendukung lainnya. Fashion tidak hanya diproduksi lewat pabrik atau printing namun perlu pewacanaan lewat media dan fashion show agar tercipta tren fashion atau image di kalangan masyarakat. Fashion show tidak hanya di dalam ruangan melainkan luar ruang. Desain, bentuk, inovasi pabrik dan kualitas 90 menentukan pasar dan harga. Pasar busana desainer laki-laki91 dipengaruhi oleh media dan model seperti David Beckham dalam permainan elemen grafis juga banyak dilakukan di fashion Harajuku. Budaya kompetisi yang tergambar pada diferensiasi pada cara berpikir dan cara berperilaku (practice) pelaku kreatif Bandung ditentukan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah struktur modal yang dimiliki setiap pelaku kreatif. Praktik yang dihasilkan merupakan siasat (tactic) dan memungkinkan pelaku kreatif untuk menghadapi situasi-situasi tidak terduga dan yang senantiasa berubah. Siasat 92 merupakan a calculus which cannot count on a proper (a spatial or institutional localization), nor thus on a borderline distinguishing the other as a visible totality. Praktik
ditentukan
oleh
kondisi-kondisi
masa
lampau
yang
telah
menghasilkan prinsip-prinsip produksinya, yaitu oleh hasil nyata dari praktik terdahulu yang serupa. Praktik cenderung menghasilkan sanksi negatif bila
90
Ann Priest, “Uniformity and Differentiation in Fashion”. Internatioal Journal of Clothing Science and Technology, Vol 17 No. 3-4, 2005, hlm. 257 91 Ibid, hlm. 258 92 M. Certeau, op.cit, hlm. xix
59
lingkungan yang dihadapi ternyata terlalu jauh dari apa yang secara obyektif dianggap sesuai. Inilah sebabnya pertentangan antargenerasi mempersoalkan kelaskelas usia berdasarkan habitus oleh moda pencipta (modes of generation) yang berbeda kondisi kehidupannya. Kondisi ini memaksakan definisi yang berlainan mengenai apa yang tak mungkin, mungkin dan boleh. Hal itu menyebabkan satu kelompok menganggap praktik atau aspirasi sebagai hal yang wajar atau masuk akal, sementara kelompok lainnya menganggap tak terbayangkan atau tabu. Praktik hanya dapat dijelaskan dengan mengaitkan struktur obyektif yang mendefinisikan kondisikondisi sosial dari produksi habitus yang melahirkan praktik, dengan kondisi-kondisi tempat bekerjanya habitus, yaitu ke konjungtur (gabungan keadaan/peristiwa) yang menampilkan suatu keadaan khusus seperti persaingan. Bourdieu
93
mengungkapkan bahwa kompetisi mirip dengan permainan.
Hasilnya sebagian bergantung kepada perjanjian (yang nilainya dibatasi) oleh sebagian lagi tergantung pada keterampilan si pemain. Keterampilan pemain meliputi dua aspek. Pertama, modal ekonomi dan modal simbolik yang dipunyai keluargakeluarga yang bersangkutan, kekayaannya dalam bentuk peralatan produksi dan dalam bentuk orang yang dianggap sebagai kekuatan produksi maupun reproduksi dan juga pada status permainan sebelumnya sebagai daya juang dan daya simbolik. Kedua, kompetensi yang membuat para pelaku kreatif mendayagunakan sebaik mungkin modal-modal ini, keterampilan praktisnya atas aksiomatika perekonomian yang merupakan prasyarat bagi produksi praktik yang dianggap “masuk akal” dalam 93
Pierre Bourdieu, op.cit, hlm. 58
60
kelompoknya dan secara positif dijaga oleh hukum-hukum pasar barang materi dan simbolik. Berdasarkan hasil pra-studi lapangan, para pelaku kreatif mempunyai siasat tertentu seperti menentukan segmentasi, pilihan material dari karya yang mereka produksi, membangun kesepakatan bersama antara pelaku kreatif penggiat komunitas atau
mengembangkan program pengembangan komunitas
kreatif.
Menurut
Bourdieu 94 siasat-siasat ini bergantung kepada logika serta keampuhannya modal materi dan simbolik dari satuan sosial yang bersangkutan. Artinya, bukan hanya pada nilai dari warisan materinya, tetapi juga pada warisan simboliknya, yang pada gilirannya juga bergantung pada (1) ukuran dan integrasi kelompok agnatik 95 dan (2) pada modal persekutuannya. Siasat kerjasama (networking) diarahkan secara obyektif ke pelestarian atau perluasan modal materi dan modal simbolik yang dimiliki bersama oleh suatu kelompok yang luas. Siasat ini termasuk dalam sistem siasat reproduksi, yang didefinisikan sebagai keseluruhan jumlah dan siasat, yang dengannya individu maupun kelompok secara obyektif cenderung mereproduksi hubungan-hubungan produksi yang dikaitkan dengan suatu moda produksi tertentu, dengan berupaya mereproduksi atau memperbaiki kedudukan mereka dalam struktur sosial. Strategi yang diterapkan para pelaku sangat tergantung pada besarnya modal yang dimiliki dan juga struktur modal dalam posisinya di lingkup sosial. Biasanya mereka yang dalam posisi dominan cenderung memilih strategi mempertahankan
94 95
Ibid, hlm. 59 Kelompok yangmemproduksi dan mengkonsumsi barangsecara bersama.
61
posisi. Para pelaku demi keuntungan perjuangannya akan berusaha mengubah aturan main, bisa dengan mendiskreditkan bentuk-bentuk modal yang menjadi tumpuan kekuatan lawan atau subversi, strategi ini terutama dipakai oleh mereka yang didominasi. Setiap orang atau kelompok berusaha mempertahankan dan memperbaiki posisinya, membedakan diri, mendapatkan posisi-posisi baru. Perjuangan, ketegangan dan konflik juga terjadi pada tingkat kelembagaann untuk memperoleh kedudukan dan posisi tertentu. Namun perjuangan untuk memperebutkan posisi dan pengelompokan ini mengandaikan suatu pertarungan sosial juga dalam ranah simbolis. Menurut Bourdieu dalam semua masyarakat terdapat yang menguasai dan dikuasai. Dominasi ini sangat tergantung pada situasi, sumber daya, dan strategi pelaku. Pemetaan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat dengan mendasarkan pada logika posisi dan kepemilikan sumber daya. Pemetaan ini tidak berbentuk piramida atau tangga, tetapi lebih berupa suatu lingkup pembedaan atas dasar kepemilikan modal dan komposisi modal tersebut. Konsep modal96 meskipun merupakan khazanah ilmu ekonomi dipakai oleh Bourdieu karena beberapa cirinya yang mampu menjelaskan hubungan kekuasaan: 1) modal terakumulasi melalui investasi; 2) modal bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan; 3) modal dapat memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya. Modal merupakan hubungan sosial, artinya suatu energi sosial yang hanya ada dan 96
Pierre Bourdieu, op.cit, hlm. 171
62
membuahkan hasil dalam arena perjuangan dimana ia memproduksi dan mereproduksi. Setiap kepemilikan yang terkait dengan kelas, menerima nilai dan efektivitasnya dari hukum-hukum khas setiap arena: dalam praktik, artinya dalam suatu arena khusus, semua disposisi dan kepemilikan objektif (kekayaan ekonomi atau budaya). Pendekatan ini memperhitungkan bahwa setiap kelas sosial tidak dapat didefinisikan secara terpisah, tetapi selalu dalam hubungan dengan kelas lain. Para pelaku dan kelompok pelaku didefinisikan oleh posisi mereka dalam ruang yang mendasarkan pada prinsip diferensiasi. Setiap pelaku ditempatkan pada suatu posisi atau kelas tertentu yang terdekat, yang riil dapat ditempati. Para pelaku menempati posisi masing-masing yang ditentukan oleh dua dimensi : pertama, menurut besarnya modal yang dimiliki, dan kedua sesuai dengan bobot komposisi keseluruhan modal mereka. Bobot yang terkait dengan faktor-faktor pembentuk berbeda di satu arena dengan yang lain, faktor tertentu akan lebih berperan dari pada yang lain, dalam arena perjuangan yang satu mungkin modal budaya, di tempat lain mungkin modal ekonomi, arena lainnya lagi modal sosial, dan seterusnya. Modal ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik
97
memungkinkan untuk
membentuk struktur lingkup sosial. Termasuk modal budaya ialah ijazah pengetahuan yang sudah diperoleh, kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, sopan santun, cara bergaul, dan sebagainya yang berperan di dalam penentuan dan reproduksi kedudukan sosial. Modal sosial ialah hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam 97
Ibid., hlm. 186
63
penentuan dan reproduksi kedudukan sosial Modal simbolik tidak lepas dari kekuasaan simbolik, yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi, akibat khusus suatu mobilisasi. Modal simbolik bisa berupa kantor yang luas di daerah mahal, mobil dengan sopirnya, namun bisa juga petunjuk yang tidak mencolok mata menunjukkan status tinggi pemiliknya: misalnya gelar pendidikan yang dicantumkan di kartu nama, cara bagaimana membuat tamu menanti, cara mengafirmasi otoritas dan sebagainya. Posisi pelaku di dalam lingkup kelas sosial tergantung pada kepemilikan jumlah besarnya dan struktur modal mereka. Dengan kriteria ini, Bourdieu menyusun masyarakat, pertama, dalam dimensi vertikal; dalam hal ini dapat dipertentangkan antara para pelaku antara yang punya modal besar-dalam hal ekonomi dan budayadengan mereka yang miskin. Kedua, susunan masyarakat menurut struktur modal, maksudnya pentingnya kedua modal tersebut dalam besarnya secara keseluruhan. Logika khas arena perjuangan adalah apa yang dipertaruhkan dan jenis modal yang diperlukan untuk berperan di dalam permainan, mengarahkan logika kepemilikan yang menentukan hubungan antara kelas sosial dan prakteknya. Berdasarkan penggolongan paradigma alternatif dalam kajian antropologi budaya 98 , penelitian ini menggunakan paradigma actor-oriented. Paradigma yang dianggap mampu memberikan gambaran yang lebih jelas, rinci dan dinamis tentang apa yang dikerjakan oleh para pelaku dalam suatu peristiwa tertentu. Paradigma actor-oriented terbagi-bagi lagi ke dalam beberapa macam seperti analisis 98
Heddy Shri Ahimsa-Putra, op.cit, hlm. 19
64
pengambilan keputusan, analisis situasional, analisis jaringan sosial, dan analisis transaksional atau interaksional. Banyaknya subparadigma ini dapat dicakupkan kedalam paradigma actor-oriented karena: a) mereka memberi perhatian yang lebih besar pada perilaku dan siasat yang diambil oleh para pelaku dalam mencapai tujuan; b) memberi perhatian pada relasi-relasi yang dimiliki oleh para pelaku dengan individu-individu lain dan bagaimana relasi-relasi yang membentuk jaringan ini dimanfaatkan oleh pelaku-pelaku untuk mengatasi masalah; c) memberi perhatian pada bagaimana para pelaku membangun relasi-relasi tersebut. Berikut gambar kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian disertasi
65
Bagan 2. Kerangka Konsep Berpikir
Praktik Diferensiasi
Diferensiasi Segmentasi
Struktur
Diferensiasi Stratifikasi
Autopoiesis/ Interpenetrasi
Pelaku Kreatif (Grafis Fashion)
Modal
Struktur Modal
Pola Diferensiasi
Diferensiasi Fungsional
Bentuk
Brikolase dan Hibriditas
Praktik Artikulasi
Tritangtu Sunda Dan Model Triadik Tanda
Konsep-konsep di atas yang dimaksud dalam penelitian disertasi ini adalah :
66
1. Praktik Diferensiasi adalah cara berperilaku dan cara berpikir yang merupakan replika dari simbol lokal maupun global. 2. Praktik Artikulasi adalah cara berperilaku dan cara berpikir yang digunakan pelaku kreatif grafis fashion dalam proses desain karya. 3. Pola Diferensiasi adalah pola yang terbentuk sebagai akibat dari cara berperilaku dan cara berpikir yang dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang. 4. Struktur Modal adalah modal-modal yang digunakan pelaku kreatif grafis fashion Bandung dalam arena tertentu di pasar ekonomi kreatif.
Diferensiasi merupakan cara berperilaku (practice) dan cara berpikir yang salah satunya ditentukan oleh struktur modal pelaku kreatif. Hubungan antara pelaku kreatif satu dengan yang lain dalam konteks pasar ekonomi kreatif dan globalisasi menimbulkan satu „konflik‟ yang disebut dengan kompetisi. Kompetisi yang terus menerus terjadi atau dikondisikan membentuk diferensiasi pelaku kreatif pada praktik dan karya di industri grafis fashion Bandung.
1.6. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode etnografi. Metode etnografi digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisa pelaku kreatif dalam membuat karya grafis
67
fashion di Bandung. Pengertian etnografi99yaitu suatu deskripsi dan analisa tentang satu masyarakat yang didasarkan pada penelitian lapangan, menyajikan data-data bersifat hakiki dan biasanya digunakan dalam penelitian antropologi budaya. Etnografi100digunakan untuk mendeskripsikan antara etnografi sebagai praktek-kerja lapangan dimana observasi peserta (partisipant observation) sebagai pusat tapi mungkin juga menggunakan pendekatan lain seperti wawancara dan dokumentasi (seperti pengumpulan data demografi); dan etnografi sebagai produk-tulisan teks atau monografi etnografi. Etnografi dapat memperlihatkan ekistensi pola 101oleh beberapa perbedaan jenis temuan, situasi atau sesuatu yang dilakukan oleh pelaku kreatif khususnya Tiarma Sirait, Widjana dan Nia Subandi. Pengetahuan tentang konteks menyeluruh dari kebiasaan pelaku kreatif dilakukan dengan wawancara dan observasi partisipasi. Sumber data dalam penelitian ini adalah para informan dan didukung dengan data sekunder berupa literatur, dokumen dan artefak (produk desain dan fashion). Informan tersebut ditentukan secara purposif (purposive sampling), artinya siapa yang akan diambil sebagai informan diserahkan pada pertimbangan pengumpulan data yang sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian. Menurut Hammersley 102 terdapat 3 dimensi utama yang digunakan untuk mempertimbangkan pilihan informan
99
T.O Ihromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,1996, hlm.75 Paul Atkinson dkk, Handbook of Ethnography, Sagepublications, London, 2001, hlm. 60 101 MH. Agar, The Professional Stranger : An Informal Introduction to Ethnography, Academic Press, California, 1996, hlm. 43 102 Martyn Hammersley dan Paul Atkinson, Ethnography : Principles In Practice, Tavistock Publications, London, 1983, hlm. 46 100
68
yaitu waktu (time), orang (people) dan konteks (context). Waktu merupakan dimensi yang penting dalam kehidupan sosial, tapi selalu dilalaikan.
1.6.1. Obyek Penelitian Obyek penelitian ini adalah praktik (practice) pelaku kreatif di sektor industri desain (khususnya grafis dan fashion). Pelaku kreatif adalah perorangan baik desainer maupun seniman yang bekerja mandiri atau bekerjasama dengan orang lain untuk mewujudkan ide yang dimilikinya menjadi suatu karya yang bernilai ekonomi. Pelaku kreatif yang dipilih menjadi informan adalah orang-orang yang diamati dan memberikan informasi berupa kata-kata atau tindakan, serta mengetahui dan mengerti masalah yang sedang diteliti. Untuk memudahkan pemilihan informan, beberapa indikator yang digunakan untuk studi awal (pre-study) adalah : 1. Informan merupakan pelaku kreatif anggota komunitas yang bekerja untuk perorangan maupun industri fashion yang berorientasi profil dan indie. 2. Informan mempunyai riwayat kerja atau masa kerja minimal 1 tahun di industri kreatif yang berorientasi profit (mencari uang/modal) dan indie (tujuan survive/idealisme) sehingga pernah mengalami persimpangan pilihan di ranah pasar maupun ide. 3. Informan yang bekerja dengan ide dan kreativitas 4. Informan yang berasal dari Bandung dan di luar Bandung. Perbedaan etnis dan gender diasosiasikan memiliki pengalaman sosialisasi yang berbeda
69
dalam melakukan praktek diferensiasi. Pengidentifikasian etnis dilakukan dengan wawancara. 5. Informan yang telah menghasilkan event program komunitas maupun karya seni (produk fashion)
1.6.2. Teknik Pengumpulan Data Penelitian disertasi ini dimulai dengan kegiatan studi literatur baik penelusuran data bersumber dari buku, karya ilmiah (akademis), artikel jurnal dan media massa. Kemudian dalam upaya menyusun proposal, selain menggunakan hasil studi literatur peneliti juga melakukan pengumpulan data awal atau pra studi di lapangan. Dalam proses ini, peneliti melakukan wawancara dan observasi partisipasi pada pelaku kreatif baik di industri kreatif maupun dalam komunitas. Dari hasil prastudi, peneliti mendapatkan permasalahan yang dihadapi oleh pelaku kreatif di Bandung sehingga dapat dirumuskan beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini. Berikut teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1. Observasi Partisipasi adalah pengamatan sistematis dan terencana yang diniatkan untuk mengamati masalah yang diteliti termasuk di dalamnya pelaku kreatif sebagai pelaku usaha, anggota komunitas dan lingkungan keluarga dimana pelaku kreatif tersebut bertempat tinggal. Pengamatan ini peneliti lakukan pada pelaku kreatif, produk karya dan institusi sosial dimana mereka berasal. Observasi partisipasi dilakukan untuk memperoleh gambaran 70
mengenai praktik diferensiasi oleh pelaku kreatif. Dalam pelaksanaannya, teknik ini menghasilkan sebuah catatan lapangan (fieldnotes). Menurut Lederman 103 menulis etnografi tidak hanya meringkas atau menyeleksi apa yang ada dalam catatan. Poin etnografi bukan hanya mendeskripsikan sesuatu dalam catatan lapangan atau merekonstruksi keseharian manusia melalui kumpulan catatan kronologis tapi juga dapat memahami sesuatu yang menarik tentang dunia pelaku kreatif yang bukan dialami oleh peneliti sendiri; membagi dimana pengalaman lapangan memberikan satu akses. Sesuatu yang menarik pada penonton; tergantung pada penonton dan sejauhmana keyakinan mereka tentang itu. Terdapat dua jenis catatan lapangan deskriptif104, pertama, inskripsi yaitu jumlah tulisan yang merepresentasikan kegiatan dan aktivitas dalam beberapa porsi tentang dunia sosial. Kedua, transkripsi yaitu beberapa representasi tentang informan atau aktor sosial lainnya dengan kata-kata sendiri. Deskripsi sebagai sebuah makna gambaran terinci, latar belakang, obyek, orang dan tindakan kerja lapangan dan catatan lapangan yang merepresentasikan dialog “laporan anggota dengan yang lain”.
Observasi partisipasi105 biasanya berupa hasil perilaku yang tidak alami atau asing dimana pengamat tidak dapat berbicara dengan informan, sehingga
103
Rena Lederman, “Pretexts for Ethnohraphy: On Reading Fieldnotes” dalam Roger Sanjek, Fieldnotes : The Making of Anthropology, California University, Ithaca, 1990: 82 104 Paul Atkinson, op.cit, 359 105 Ibid, hlm. 4
71
mereka menanyakannya kepada informan atau asisten peneliti. Baik melalui percakapan dan wawancara yang dibentuk dari interaksi dan dialog dalam penelitian lapangan. Secara prinsip, etnografer menggunakan teknik analisis wacana tuturan dan naratif, pengumpulan dan interpretasi bahan visual (termasuk fotografi, film dan video), mengoleksi sejarah lisan dan bahan sejarah hidup informan.
2. Wawancara mendalam yaitu mengumpulkan data dengan pedoman instrumen pertanyaan yang sebelumnya sudah disiapkan. Memperoleh informasi tentang kebiasaan pelaku kreatif. Pelaku kreatif menuturkan dengan kata-kata tentang cara berlaku yang telah menjadi kebiasaan, kepercayaaan dan nilai-nilai. Wawancara dibagi menjadi dua golongan; pertama, dengan para pelaku kreatif (pengelola komunitas maupun pelaku industri kreatif) sebagai sasaran utama penelitian. Kedua, wawancara dengan para orang tua atau kerabat terdekat. Informasi tambahan mengenai komunitas diperoleh melalui wawancara dengan anggota komunitas kreatif atau pelaku industri kreatif yang terlibat. Ketiga, wawancara dengan penyelenggara dan pengelola pendidikan perguruan tinggi khususnya sekolah desain dan senirupa di Bandung. Sedangkan untuk mengetahui pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan kreatif dan praktek diferensiasi, Taylor 106membuat identifikasi dan penekanan pada orientasi sukses, orientasi kelompok, pertanyaan dan 106
Calvin W. Taylor, Creativity : Progress And Potensial, McGraw-Hill., USA, 1964, hlm. 98-102
72
eksplorasi yang merupakan perlawanan sanksi, dan dikotomi kerja-bermain. Wawancara etnografis mengungkapkan kompleksitas pengalaman pelaku kreatif Bandung, bagaimana pelaku kreatif menginterpretasikan pengalaman mereka sendiri.
3. Dokumentasi adalah teknik mengumpulkan data yang diperoleh dari berbagai dokumen baik berupa buku-buku, artikel-artikel, jurnal, makalah, penelitian terdahulu, yang berhubungan dengan masalah yang dijadikan objek penelitian. Penelusuran literatur berupa bahan visual (fotografi, film, video) maupun bahan non visual (ulasan profil/biografi, liputan dan sebagainya) tentang kompetisi dan diferensiasi yang dilakukan oleh pelaku kreatif. Data dokumentasi diperoleh baik secara langsung dari informan maupun dari berbagai sumber baik internet, koleksi perpustakaan, seminar maupun workshop yang dilakukan di Indonesia maupun di luar negeri baik yang ditulis oleh berbagai pihak baik masyarakat sipil, akademisi, pemerintah maupun pengusaha.
Oleh sebab itu dalam penelitian disertasi ini, peneliti melakukan tahapan sebagai berikut: 1.
Peneliti mengumpulkan data baik dokumentasi, hasil wawancara dan observasi partisipasi pelaku kreatif yang menjadi informan kunci pada kategori pelaku kreatif yang telah ditentukan. Waktu yang diperlukan untuk 73
melakukan pengumpulan data tidak terbatas sampai peneliti tidak lagi mendapatkan data baru dari informan. 2. Atas rekomendasi informan kunci peneliti melakukan wawancara dan observasi jaringan informan dalam komunitas maupun industri kreatif termasuk berbagai institusi (pendidikan, lingkungan, keluarga) yang pernah terlibat dan berinteraksi dengan informan. 3. Data yang diperoleh kemudian dianalisis untuk mendapatkan hasil analisis dan direpresentasikan sesuai penulisan etnografi.
1.7. Sistematika Penulisan Bab pertama atau pendahuluan menguraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoretis, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua memaparkan kajian sejarah kota dan ekonomi kreatif Bandung berdasarkan tinjauan pustaka atau hasil penelitian sebelumnya. Pembabakan sejarah ini dibagi menjadi 4 (empat) yaitu Bandung kota kreatif, ekonomi kreatif kota Bandung, pengertian dan ciri ekonomi kreatif serta ruang kreatif dan bangunan kota Bandung. Bab tiga menjelaskan fashion dan clothing sebagai sektor ekonomi kreatif yang berkembang di Bandung. Untuk mempermudah pembaca bab ini dibagi menjadi 4 (empat) subbab yaitu teori fashion dan clothing, pakaian Sunda masa prakolonial, fashion masa kolonial dan pascakolonial dan industri clothing. 74
Bab empat menggambarkan brikolase sebagai praktik artikulasi dalam diferensiasi produk. Pembahasan jenis brikolase yaitu brikolase hybrid disharmonis, brikolase non hybrid disharmonis, brikolase hybrid harmonis, brikolase hybrid disharmonis dan brikolase non hybrid harmonis. Bab lima membahas model diferensiasi produk dan struktur modal. Model diferensiasi produk yang dibahas antara lain tritangtu regeneratif statis, tritangtu regeneratif dinamis-harmonis, tritangtu regeneratif dinamis-kompromis dan tritangtu regeneratif dinamis-disharmonis. Sedangkan struktur modal dikelompokkan menurut 6 arena yaitu arena industri fashion, arena industri fashion show, arena industri pameran/instalasi, arena pertunjukan/performance art, arena perlombaan desain dan arena komunitas. Bab enam memberikan kesimpulan dan rekomendasi penelitian selanjutnya tentang praktik artikulasi dalam diferensiasi pelaku kreatif grafis fashion.
75