BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian 1.1.1. Budaya Lokal dalam Perkembangan Globalisasi Globalisasi adalah suatu fenomena global yang tidak dapat dihindari dan akan mengubah perilaku manusia. John Naisbit (1994) telah memperkirakan trend-trend yang muncul dari globalisasi ini dengan istilah global paradox. Salah satu fenomena globalisasi adalah perubahan konsep ruang dan waktu. Perubahan konsep ruang dan waktu diakibatkan berkembangnya teknologi informasi yang dapat meminimalisasi ruang dan waktu, manusia dapat berinteraksi dengan mudah, kapan saja dan di mana saja dengan manusia lainnya. Gelombang globalisasi menciptakan perubahan pola-pola substantif dan kreatif dalam masyarakat di seluruh belahan bumi (Hardiman,2003;72). Giddens (1990, dalam Sutrisno, 2005; 188) mengungkapkan bahwa pergerakan modernisasi melalui gelombang
globalisasi
mengakibatkan
adanya
proses
perubahan
sosial
kontemporer dan pengaruhnya pada individu. Kondisi perubahan yang mengakibatkan runtuhnya asas keselarasan yang dahulu mempersatukan manusia dengan lingkungannya. Ada suatu upaya hilangnya konsepsi humanistik dalam diri manusia akibat globalisasi (Hossein Nasr, 1994). Hilangnya konsepsi humanistik menggiring rasionalisasi dalam pemikiran manusia global. Rasionalisasi yang menekankan materialistik untuk kepentingan kelompok tertentu. Rasionalisasi terjadi pula dalam kebijakan ruang perkotaan. Fenomena ini terlihat dari wajah kota yang “modern” (sarat dengan bangunan perumahan mewah, pusat perbelanjaan, perkantoran). Wajah kota
yang
memunculkan keserakahan kaum mapan (Eko Budihardjo dan Sudanti Hardjohubojo;1993;40). Keserakahan kaum mapan dan kebijakan pengelola pembangunan memberi indikasi hilangnya humanisme akibat tekanan globalisasi. Tekanan globalisasi tidak dapat dihindari akan tetapi harus segera dicegah melalui internalisasi budaya lokal. Penggalian nilai-nilai budaya harus terus diupayakan hingga dapat dijadikan pedoman kehidupan bangsa Indonesia.
1
Pendapat Kartono mengatakan bahwa adat istiadat dan kebudayaan mempunyai nilai pengontrol dan nilai sanksional terhadap tingkah laku anggota masyarakat (dalam Sujarwa; 2005). Dengan demikian maka penangkalan globalisasi diupayakan melalui internalisasi nilai lokal dan budaya bangsa dalam kebijakan pembangunan termasuk penataan ruang. 1.1.2. Pengembangan Perencanaan Berbasis Lokalitas dan Kawasan Dalam
konteks
ilmu
perencanaan,
mengindikasikan
adanya
perkembangan pemikiran perencanaan. Perkembangan pemikiran berawal pada abad ke 19. Pemikiran yang diawali oleh konsep pendekatan pengembangan wilayah dan kota. Konsep pemikiran tersebut dianggap dapat memberikan konsep yang lebih bermanfaat bagi pengembangan wilayah dan kota. Selanjutnya konsep pemikiran perencanaan utopia (Utopia Planning) muncul pada tahun 1925, yang dipelopori oleh 3 pemikiran, yaitu : Lewis Munford, Howard Odum, Thomas Adam. Inti dari konsep ini adalah ingin menciptakan keadaan yang akan membentuk suatu hubungan yang harmonis antara makhluk hidup dan alam, juga dalam rangka menyesuaikan diri menghadapi perkembangan peradaban industri. Didasari oleh kegagalan yang dialami perencanaan utopia yang menganut dasar pemikiran dari aliran filsafat utopianiame idealisme, maka muncul teori-teori perencanaan baru seperti Positive Planning, Normative Planning, dan Blue Print Planning, yang kesemuanya mengandung dasar pemikiran filsafat aliran positivisme. Pada era selanjutnya mulai berkembang teori-teori perencanaan lainnya yang dipayungi oleh aliran filsafat rasionalisme yaitu seperti, Procedural Planning, Rational Comprehensive Planning. Dengan melihat beberapa kelemahan pada era sebelum, muncullah teori perencanaan lain seperti Plural Planning, Politics of Planning, Social Planning, Implementation and Policy Pragmatisme Planning, The New Humanism, Political Economy Empowerment. Sampai tahun 1980an, teori perencanaan lebih banyak menekankan pada aspek demokrasi dalam pendekatan kapitalisme, aplikasi teknik sesuai perkembangan teknologi atau perencanaan modern sebagai suatu proses sosial dan politis yang
2
harus mempertimbangkan isu-isu seputar berbagai kepentingan. Gambaran ini merupakan gambaran perencanaan berdasarkan teori Comprehensive Planning atau pendekatan komprehensif rasional. Perencanaan dengan dan pendekatan komprehensif rasional ini ternyata memiliki keterbatasan. Ini diungkapkan dari hasil studi tentang Chicago Housing Authority oleh Meyerson dan Banfield (1959 dalam Faludi 1973;143). Mereka berpendapat bahwa praktek dan teori terjadi perbedaan. Praktek bukan merupakan kegiatan rasional dengan menggunakan pengetahuan ilmiah akan tetapi merupakan proses irrasional yang didominasi peran politisi. (Altshuler, 1965 dalam Faludi, 1973;209). Sebagai akibatnya terjadi persoalan masyarakat yang tersingkirkan, degradasi lingkungan, hilangnya bangunan bersejarah karena kepentingan-kepentingan politis, sehingga perencana dipersepsikan sebagai keputusan politik. Banfield (1959 dalam Faludi, 1973;140) juga mengatakan bahwa perencanaan menegaskan
adalah “oppurtunistic decision making”.
keputusan
perencanaan
sangat
didasarkan
pada
Ini semakin pemikiran
rasionalitas yang berbeda antara teori dan prakteknya. Dukungan pernyataan kesenjanganan antara praktek dan teori ditegaskan pula oleh pendapat Lindblom yang mengatakan ukuran benar tidaknya suatu sasaran perencanaan tidak pernah ada pengujiannya (Lindblom,1959 dalam Faludi, 1973;159). Pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 kondisi ini dipertentangkan karena munculnya peran serta masyarakat dan isu plurarisme. Selanjutnya berkembang paradigma postmodernisme. Postmodernisme merupakan suatu fenomena yang banyak ragamnya sehingga sulit menemukan makna spesifik. Beberapa penulis mencoba mendefinisikan postmodern sebagai pernyataan kebebasan dalam perbedaan dan kebenaran. Salah satu karakter utama postmodernisme adalah kepedulian pada “yang lain” dengan demikian postmodernisme mengangkat kembali isu pluralisme yang dibungkam oleh modernitas. Postmodernisme adalah suatu realitas yang tidak terdefinisikan karena penuh dengan aspek yang kontradiksi. Dalam perencanaan memunculkan pendekatan collaborative/communicative planning (Healey; 1997) dan rasional komunikatif dari Habermas yang menjadi pilihan dalam proses perencanaan. 3
Pendekatan ini lebih pada upaya membangun kapasitas masyarakat, sehingga isu pemberdayaan dan proses pengambilan keputusan lebih sering diterapkan dalam proses perencanaan. Postmodern planning membuka peluang terhadap : adanya kemungkinan penerimaan terhadap transrasional dalam pendekatan perencanaan. Juga menyediakan pengembangan teori-teori lokal yang beragam dan unik. Kerangka indigenous planning atau perencanaan adat dibangun dari perspektif teori sosial dan exogenous theory (Allmendinger ; 2001). Dengan demikian perkembangan perencanaan berbasis lokalitas
akan berkembang seiring perkembangan
perencanaan ruang. Penggalian nilai-nilai lokal akan
semakin berkembang mengingat di
Indonesia sangat beragam budaya lokal yang dapat digali. Seiring dengan berkembangnya globalisasi maka nilai-nilai lokal menjadi penting untuk dipertahankan dan menjadi ciri jati diri bangsa. Sementara nilai-nilai lokal saat ini tidak terangkum dalam teks yang dapat dijadikan referensi. Dengan demikian penggalian nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) perlu didokumentasikan sebagai bahan acuan untuk perencanaan ruang masa yang akan datang. Indonesia adalah negara hukum yang menjadikan peraturan hukum sebagai acuan yang mengatur kehidupan. Demikian pula dengan perencanaan ruang
maka peraturan menjadi sarana acuan praktek perencanaan ruang di
Indonesia. Praktek perencanaan ruang di Indonesia diatur melalui UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang. UU tersebut mengatur substansi perencanaan dalam lingkup nasional hingga lingkup Kota/Kabupaten. UU tersebut menjadi acuan penting dalam praktek perencanaan di Indonesia Undang-undang
penataan
ruang
cenderung
mengatur
substansi
perencanaan kawasan. Pembuktiannya bisa dilihat pada penjelasan ketentuan umum UU tersebut di mana terdapat kategorisasi untuk sembilan kawasan. Artinya lingkup kawasan menjadi fokus penataan ruang dan mengabaikan batasan administratif daerah. Salah satunya adalah kawasan strategis nasional. Kawasan strategis nasional mengatur substansi kawasan budaya, karena dinilai memiliki pengaruh sangat penting terhadap kedaulatan negara. 4
UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang mendetilkan substansinya melalui buku pedoman perencanaan ruang kawasan strategis nasional. Salah satu substansi perencanaan kawasan mengatur perwujudan suatu kawasan budaya. Berdasarkan buku pedoman tersebut, substansi untuk mewujudkan kawasan budaya masih belum memasukkan substansi pluralisme budaya di tingkat lokal. Dengan demikian maka pluralitas budaya lokal tidak tercipta dalam substansi perencanaan ruang. Pernyataan ini seperti yang diungkapkan Sudaryono (2006) “Perencanaan belum mampu mengakomodasikan pluralisme dalam skala komunitas lokal”. Perencanaan ruang kawasan budaya membutuhkan substansi yang mengakomodasi pluralisme dalam skala lokal. Usulan Sudaryono (2006) dalam penguatan perencanaan keruangan pluralisme budaya lokal adalah: (1) radius keunikan, (2) eksistensi spasial/ruang lokal, (3) ketahanan spasial/ruang lokal, (4) penguatan komunitas lokal, (5) solusi lokal. Usulan tersebut belum terakomodasi dalam pedoman perencanaan kawasan budaya. Pedoman tersebut hanya mengeneralisasi kawasan budaya menjadi kawasan inti dan kawasan penyangga saja. Dengan demikian substansi keunikan dalam skala lokal belum menjadi substansi yang diatur. Untuk itu membutuhkan upaya yang dapat mengisi substansi keunikan dalam skala lokal. 1.1.3. Keraton Sebagai Pusat Budaya Keraton adalah tempat tinggal Raja dan keluarganya. Pada masa lalu keraton berperan pula sebagai pusat pemerintahan raja, kini keraton hanyalah suatu tempat cagar budaya. Keraton sebagai tempat cagar budaya dilindungi oleh negara melalu UU No 5 Tahun 1992 karena memiliki nilai-nilai pengetahuan dan kebudayaan. Dengan demikian peran keraton sangat penting sebagai wahana warisan budaya bangsa dan pilar kedaulatan bangsa. Artinya keraton berperan dalam pertahanan kebudayaan bangsa Indonesia dari serangan budaya-budaya asing terutama globalisasi. Selain melalui UU No 5 Tahun 1992, pemerintah mengupayakan perwujudan eksistensi budaya bangsa melalui berbagai upaya. Salah satu upaya
5
pemerintah dalam mewujudkan eksistensi budaya tersebut dengan penerbitan peraturan. Peraturan yang mengupayakan perwujudan eksistensi budaya bangsa adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No 39 Tahun 2007 tentang pedoman fasilitasi organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan dan kelembagaan adat dalam pelestarian dan pengembangan budaya daerah. Berdasarkan peraturan tersebut semakin menguatkan bahwa pemerintah menyadari peran penting kebudayaan melalui peran kelembagaan termasuk
keraton
sebagai entitas
pelestari budaya daerah atau lokal. Akan tetapi pada realisasinya peraturan tersebut belum mampu menjadi pilar untuk
mempertahankan eksistensi dan adaptasi zaman bagi suatu keraton.
Kondisi ini dapat dilihat dari pernyataan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yaitu WN yang mengatakan bahwa ratusan keraton di Indonesia kondisinya sangat memprihatinkan dengan struktur dan keberadaan yang tidak jelas. Maksudnya tidak jelas adalah wujud keberadaan suatu keraton yang tidak ada raja atau sebaliknya. Setelah melakukan pendataan terdapat 189 keraton yang terdapat di Indonesia. Keraton tersebut membutuhkan bantuan pendanaan untuk kelangsungan eksistensinya (http://microsite.metrotvnews.com). Eksistensi keraton sebagai pusat budaya dan identitas bangsa membutuhkan campur tangan pemerintah yang lebih dari sekedar suatu peraturan yang mengatur eksistensinya seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 39 Tahun 2007 tersebut tetapi juga memerlukan dukungan peratururan-peraturan lainnya bagi kelangsungan eksistensinya. Salah satunya adalah pelestarian dalam sistem keruangan keraton yang merupakan wujud fisik dari keberadaan suatu keraton. 1.1.4. Budaya Lokal dan Komunitas dalam Perwujudan Eksistensi Ruang Keraton Kasepuhan Kawasan Keraton Kasepuhan di Kota Cirebon merupakan ruang yang eksistensinya hingga kini masih tetap terjaga. Walaupun
keraton-keraton di
Cirebon tidak lagi memiliki otoritas dalam sistem pemerintahan daerah karena telah lama dicabut oleh pemerintahan Hindia Belanda, termasuk Keraton Kasepuhan. Akan tetapi eksistensi keraton masih berlangsung hingga saat ini.
6
Salah satu bukti eksistensinya masih terjaga adalah kunjungan pejabat termasuk Gubernur Jawa Barat AH ke Keraton Kasepuhan pada saat kunjungan kerja ke Kuningan dan juga pada saat perayaan Muludan (panjang jimat tahun 2013). Selain itu upacara caos yaitu pemberian upeti hasil bumi dari petani-petani yang tersebar di Pulau Jawa seperti : Indramayu, Subang, Brebes, Bekasi, Kuningan, Majalengka dan lainnya kepada Gusti Sepuh XIV (Sultan Keraton Kasepuhan). Fenomena tersebut menunjuk masih adanya suatu pengakuan terhadap eksistensi Keraton Kasepuhan. Eksistensi Keraton Kasepuhan di Kota Cirebon sangat penting dalam membantu kaum marginal. Peran penting ini ditunjukkan dari fenomena ruang sebagai wadah tradisi budaya maupun fenomena ruang untuk para pedagang kaki lima. Masyarakat marginal tersebut berasal dari berbagai daerah di luar Kota Cirebon. Umumnya mereka bekerja di sektor informal. Mereka masih meyakini bahwa ruang-ruang keraton masih menyimpan tata nilai yang bersifat transrasional. Salah satunya adalah keyakinan “keberkahan” dari keraton. Keyakinan tersebut menunjukkan peran penting Keraton Kasepuhan untuk kehidupan ekonomi maupun spiritual mereka. Keraton Kasepuhan mampu menjaga eksistensinya walaupun dalam tekanan globalisasi. Faktanya menunjukkan setting ruang maupun budaya yang terjalin antara raja-abdi dalem serta komunitas masih tetap berlangsung. Fakta lainnya ditunjukkan dari kawasan alun-alun dan Magersari yang masih utuh menjadi satu kesatuan ruang Kawasan Keraton Kasepuhan. Bagian selatan Kawasan Keraton dibatasi oleh Sungai Kriyan. Sungai merupakan cikal bakal pertumbuhan perkotaan diawali dari sekelompok permukiman kecil (Boechari, 2011). Keraton Kasepuhan dibangun dengan dasar filosofis kosmologis. Dasar kosmologis masih tetap bertahan hingga saat ini. Raja berperan sebagai layaknya dewa-raja atau wakil Tuhan. Bentukan sistem keruangan tercermin dari simbol ruang keraton yang merupakan bagian integral dari makrokosmos atau jagat raya. Dengan filosofis itu menjadikan ruang-ruang keraton memiliki sistem keruangan yang peletakkannya sesuai ketentuan simbol kosmologis tersebut. Simbol kosmologis masih tetap terjaga di Keraton Kasepuhan 7
1.1.5. Gejala Pergeseran Makna dalam Mempertahankan
Wujud
Eksistensi Ruang Keraton Kasepuhan Gejala perubahan ruang yang terjadi mengindikasikan adanya pergeseran makna di Keraton Kasepuhan. Salah satunya realitas perubahan ruang yang terjadi adalah pendirian sekolah umum setingkat SMK ( Sekolah Menengah Kejuruan) di dalam benteng Keraton Kasepuhan. Perubahan–perubahan ini mulai menggejala di dalam benteng keraton maupun di luar benteng keraton. Perubahan ruang seperti itu tentunya menarik untuk diteliti. Gejala perubahan ruang tersebut memberi indikasi adanya pergeseran makna ruang. Pergeseran makna berkonotasi pada adanya suatu gerak dari makna. Pembahasan tentang makna akan berkait pada sesuatu yang bersifat abstrak. Abstrak karena makna terletak di alam mental manusia. Dengan demikian pergeseran makna adalah adanya gerak yang terjadi di alam mental. Gerak alam mental yang memunculkan suatu kesadaran spiritual seperti pendapat Robert E. Ornstein (1972) menyatakan bahwa dimensi kesadaran dibagi menjadi dua, yaitu dimensi verbal yang bersifat eksoterik (berkaitan dengan rasional) dan dimensi nonverbal yang bersifat esoterik (berkaitan dengan emosi dan kemampuan intuitif). Bukti yang lainnya muncul dari pernyataan Ken Wilber (2012;295) menegaskan bahwa di dalam ruang (alam dan lingkungan) terdapat garis perkembangan kesadaran spiritual yang termanifestasikan.
Dengan demikian
maka gerak makna adalah gerak di alam mental akibat kesadaran spiritual yang dapat mewujud dalam realitas di dalam ruang. Kata makna memiliki pemahaman yang berhubungan dengan ciri-ciri di luar bahasa atau penalaran. Selain itu kata makna memberi pengertian arti yang berkaitan dengan intepretasi dan manfaat, nilai (value) dan juga mempunyai pengertian yang berkaitan dengan sistem pengukuran, hierarki, dan kualitas. (Bagus, 2000). Wujud realitas ruang keraton adalah simbol suatu kekuasaan pada masa lalu. Makna yang melekat pada ruang keraton memiliki keterhubungan dengan rasa/emosi dari simbol masa lalu tersebut. Masa kini ruang keraton memiliki masalah
dalam upaya mempertahankan eksistensi keruangannya.
Tekanan globalisasi akan terus menghantam eksistensi keraton. Sebagai akibatnya 8
sebagian besar keraton/ kerajaan-kerajaan masa lalu banyak yang hilang eksistensinya karena ketidak mampuan mempertahankan ruang eksistensi tersebut. Untuk mempertahankan eksistensi ruang keraton tentunya membutuhkan upaya-upaya kerja keras dari pelaku ruangnya. Demikian pula dengan pelaku Keraton Kasepuhan membutuhkan upaya-upaya yang bersifat pragmatis. Demikian halnya di Keraton Kasepuhan, mengindikasikan adanya pergeseran makna ruang simbolik ke makna ruang pragmatis. Wujud perubahan ruang terjadi terutama ketika masa kepemimpinan Gusti Sepuh XIV. Dengan demikian ada suatu gejala pergeseran makna ruang yang yang menarik untuk diteliti di Kawasan Keraton Kasepuhan. 1.2. Keaslian Penelitian Dalam upaya melihat keaslian penelitian maka dilakukan dengan menginventarisasi penelitian pada lokus yang sama yaitu Keraton Kasepuhan di Cirebon. Hasil inventarisasi terhadap
lokus penelitian di Kawasan Keraton
Kasepuhan Cirebon menghasilkan substansi penelitian yang beraneka ragam. Akan tetapi keanekaragaman materi tersebut pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi empat substansi materi saja. Keempat substansi materi tersebut adalah : agama, sejarah, arsitektur dan pariwisata. Untuk substansi materi penelitian pada kontek agama antara lain : Naskah Sattariyah Cirebon ( Mahrus El Mawa , 2010), Respon Masyarakat Modern Terhadap Eksistensi Tradisi Panjang Jimat Keraton (Tholibin, 2009), Pluralisme Agama Dalam Warisan Kerajaan (Ali Rahman ,2007). Konteks materi penelitian untuk substansi sejarah antara lain : Peranan Pangeran Walangsang Dalam Merintis Kesultanan Cirebon 1445-1529 (Darkum, 2007). Situasi Politik Kesultanan Cirebon Abad 17-18. (Nina H Lubis , 2009). Lahir, Perkembangan, dan Perpecahan Kesultanan Cirebon Tahun 1677-1803. (Asep Surya Sumantri, 2010). Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Kasepuhan
Kaitannya dengan Mistisisme dan Budaya. (Sumiah, 2007). Perubahan Sistem Pemerintahan Kotamadya Cirebon dari Stadsgemeente sampai Kotamadya Daerah Tinggkat II Tahun 1926-1974 (Ukon Budiaman, 1996). Kesultanan Cirebon 9
Studi Tentang Terpecahnya Cirebon Atas Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman Tahun 1677 (R. Subagdja, 1990). Sedangkan untuk substansi bidang arsitektur merupakan kajian yang terbanyak di antara keempat bidang kajian lainnya. Penelitian bidang arsitektur yang pernah dilakukan di Keraton Kasepuhan Cirebon antara lain : Kajian Konsep dan Bentuk Arsitektur Masjid Agung Kasepuhan Masa Kesultanan Cirebon (Hermawan, Ibrahim, 2001), Perbedaan Elemen Arsitektur Hasil Akulturasi Budaya, antara Keraton Kanoman dan Keraton Kacirebonan, Cirebon, (Susan Hanuningrum Krisanti , 2011), Konservasi Keraton Kaprabonan Cirebon bagi Pertumbuhan Pariwisata (Marianne Tjitromuljo, 2009), Perpaduan dan Penyesuaian Bentuk Arsitektur Masjid Merah Panjunan, Cirebon (Audrey Famush, 2007), Pusat Promosi Kerajinan di Keraton Kasepuhan Cirebon, Transformasi Arsitektur Tradisional (R. Intan P. Lestari , 2001), Arsitektur Islam Cirebon Studi Kasus Pusat Syi’ar Islam di Kotamadya Cirebon (Hardy Suhardy, 1991), Pusat Kesenian di Kawasan Keraton Kasepuhan Cirebon (Pramuka W. D Hardjodiprodjo, 1990). Sedangkan substansi pariwisata antara lain Daya Tarik Objek Wisata Budaya Keraton Kasepuhan Cirebon terhadap Arus Kunjungan Wisatawan (Hestri Hurhayati, 2006), Tata Cara Upacara Panjang Jimat di Objek Wisata Budaya Keraton Kasepuhan Cirebon (Mutiara Andiarini, 2005). Dari beberapa hasil penetian tersibut walaupun memiliki lokus yang sama
tetapi
tidaklah memiliki konteks substansi penelitian yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Dengan demikian penelitian pergeseran makna ruang simbolik ke ruang pragmatis kebermanfaatan di Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan penelitian yang masih asli. Ada beberapa penelitian yang memiliki fokus yang sama tentang makna ruang tetapi keaslian penelitian tentang pergeseran makna ruang simbolik ke ruang kebermanfaatan Keraton Kasepuhan di Cirebon tetap terjaga. Hal ini bisa dilihat dari beberapa penelitian yang mengkaji pada makna dan nilai ruang seperti penelitian dengan judul “Nilai Ruang di Kawasan Ampel Surabaya” (Rimadewi Supriharjo, 2004). Walaupun fokusnya sama tentang makna ruang akan tetapi memiliki perbedaan yang sangat prinsip karena setting ruang yang berbeda antara Keraton Kasepuhan dan Kawasan Ampel Surabaya. Demikian juga untuk judul 10
“Toleransi Keruangan dalam permukiman Padat Rumah Kontrakan di Kampung Pajeksan Jogonegaran, Yogyakarta (Dermawati Djoko Santoso,2006). Makna ruang toleransi tidak terkonstruksi di Kawasan Keraton Kasepuhan. Sama halnya dengan judul penelitian “Rukun Kota : Ruang Perkotaan Berbasis Budaya Guyub Poros Tugu Pal Putih Sampai dengan Alun-alun
Utara Yogyakarta” (Edi
Purwanto,2007) konstruksi makna ruang guyub tidak terkonstruksi di Kawasan Keraton Kasepuhan. Penelitian dengan judul “Permufakatan dan Desakralisasi Ruang Di Permukiman Kauman Yogyakarta (Suastiwi Trihatmojo, 2010) yang menemukan konstruksi makna ruang permukatan dan desakralisasi sebagai hasil penelitian di Kampung Kauman Yogyakarta tidak sama makna ruangnya dengan makna ruang Kawasan Keraton Kasepuhan. Demikian pula dengan judul penelitian “Konsep Saged: Spirit Arsitektur Kota Kecil (Djoko Wijono, 2011) menunjukkan konsep Saged tidak terkonstruksi di Kawasan Keraton Kasepuhan. Dengan demikian menegaskan penelitian ini terbukti orisinalitasnya. 1.3. Pertanyaan Penelitian Peristiwa berubahnya atau bertambahnya ruang di Kawasan Keraton Kasepuhan tentunya memiliki tujuan ke arah makna tertentu. Peristiwa ini sangat menarik untuk dipelajari. Dengan demikian maka penelitian ini akan berkonsentrasi pada pertanyaan utama : Bagaimanakah makna ruang kekinian di Kawasan Keraton Kasepuhan dengan adanya pergeseran makna ruang yang terjadi? Pertanyaan penelitian lanjutan fenomena apa yang dapat diungkap dari pergeseran makna ruang di Kawasan Keraton Kasepuhan? hakikat apa yang mengakibatkan
pergeseran
makna ruang
di Kawasan
Keraton Kasepuhan ? 1.4. Tujuan Penelitian Secara teoritis tujuan penelitian adalah membangun teori lokal mengenai makna ruang akibat dari pergeseran makna ruang di Kawasan Keraton Kasepuhan.
11
1.5. Manfaat Penelitian Manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah : Menambah khazanah bangunan pengetahuan terutama dalam bangunan pengetahuan teori-teori lokal, khususnya teori lokal di kawasan keraton. Indigenous planning melalui paradigma postmodern planning terbuka untuk menemukan teori lokal keruangan yang baru. Memberikan bahan pertimbangan
dalam upaya perencanaan, khususnya
eksistensi ruang kawasan budaya lokal.
Terutama pertimbangan substansi
kawasan budaya di Keraton Kasepuhan. Substansi kawasan budaya telah diatur dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, akan tetapi masih bersifat umum. Hasil temuan penelitian ini dapat mengisi substansi yang lebih spesifik terutama untuk Kawasan Keraton Kasepuhan. 1.6. Batasan Penelitian 1.6.1. Batasan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian mengambil lokasi di Kawasan Keraton Kasepuhan. Batasan lingkup kawasan adalah keraton sebagai tempat tinggal dan aktivitas dari Gusti Sepuh serta Astana Gunung Jati. Kedua lokasi ini berbeda letak posisinya. Keduanya terpisah oleh jarak sepanjang 7 km antara lokasi Keraton Kasepuhan dengan lokasi Astana. Kedua tempat ini berada di wilayah administrasi yang berbeda, Keraton Kasepuhan terletak di Kota Cirebon sedangkan Astana Gunung Jati terletak di Kabupaten Cirebon. Dengan demikian maka lingkup wilayah penelitian disebut kawasan karena merupakan ruang yang memiliki fungsi yang sama yaitu kawasan aktifitas Keraton Kasepuhan. Karena lingkupnya adalah suatu kawasan maka ruang kajian merupakan ruang meso. Berikut ini wilayah studi sebagai lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 1.1. Substansi penelitian dibatasi pada lingkup substansi bidang keilmuan perencanaan/planning. Khususnya pada substansi perencanaan kawasan budaya sesuai UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang. Berdasarkan ketentuan umumnya membahas tentang kawasan strategis nasional warisan budaya sebagai
12
salah satu kawasan strategis nasional. Kawasan Keraton Kasepuhan menjadi substansi kawasan strategis budaya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah No 8 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cirebon Tahun 20112031. Substansi
materi
penelitiannya
meliputi
nilai
budaya
dalam
mempertahankan eksistensi ruang lokal Kawasan Keraton Kasepuhan. Substansi yang dikaji dari pergeseran makna ruang. Dimana pergeseran makna lebih dilihat dari perspektif kesadaran (konsep mental) yang dimunculkan dari para pelaku ruang di Kawasan Keraton Kasepuhan pada saat ini ( 2011-2014). Persepsi Ruang Simbolik dan Ruang Pragmatis juga merupakan persepsi kesadaran mereka bukan dalam pemahaman wujud struktur keruangannya (fisik) semata. Wujud fisik struktur keruangan hanya merupakan implikasi (realitas) dari adanya pergeseran makna dalam tatanan persepsi pelaku ruang.
13
Deliniasi
Astana
Sunan
Gunung Jati sebagai lokasi penelitian Deliniasi Keraton Kasepuhan Jati sebagai lokasi penelitian
Batasan Substansi Penelitian Gambar 1.1 Peta Lokasi Penelitian Sumber : Hasil Grand Tour, tahun 2012
14