BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Salah satu penyebab terjadinya kasus gizi buruk pada masyarakat adalah kurang berfungsinya lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat, seperti posyandu sehingga berakibat pemantauan gizi pada anak dan ibu hamil tidak berjalan sebagaimana mestinya. Penimbangan berat badan anak yang seharusnya sebagai kegiatan pokok Posyandu hanya menjadi kegiatan sampingan. Penyebab kurang berfungsinya Posyandu karena kemampuan kader di posyandu yang masih rendah (Depkes RI, 1992). Salah satu strategi adalah mengembalikan fungsi posyandu dan meningkatkan kembali partisipasi masyarakat dan keluarga dalam memantau tumbuh kembang balita, mengenali dan menanggulangi secara dini balita yang mengalami gangguan pertumbuhan melalui revitalisasi posyandu. Sebagai unit yang memberi pelayanan langsung kepada masyarakat dan bersifat sebagai unit pelayanan kesehatan dasar masyarakat terutama ibu dan anak, maka organisasi posyandu sesungguhnya bersifat organisasi fungsional yang dipimpin oleh seorang pimpinan/penanggung jawab dan dibantu oleh para pelaksana pelayanan yaitu kader posyandu (Depdagri, 2001). Keberadaan kader di posyandu sebagai salah satu bagian dari penyelenggara pelayanan kebutuhan kesehatan dasar sangat dibutuhkan. Kader posyandu sebaiknya mampu mengelola Posyandu, karena merekalah yang paling memahami kondisi
1 Universitas Sumatera Utara
kebutuhan masyarakat. Namun sejalan dengan berjalannya waktu, muncul permasalahan yang dapat menghambat jalannya penyelenggaraan Posyandu. Salah satunya adalah pengetahuan dan keterampilan kader posyandu yang kurang, bahkan ada yang belum memahami hal-hal baru yang berkaitan dengan kegiatan Posyandu (Dinas Kesehatan Jawa Timur, 2006). Menurut Adisasmito (2008) persentase kader aktif secara nasional adalah 69,2%. Peran sebagai kader merupakan pekerjaan sosial yang tidak mempunyai kekuatan mengikat dan regenerasi kader belum terencana dengan baik. Kader diharapkan melakukan pekerjaannya secara sukarela tanpa menuntut imbalan berupa uang atau materi lainnya (Ridwan, 2007). Peran kader memegang peranan penting dalam menjembatani masyarakat khususnya kelompok sasaran posyandu. Berbagai informasi dari pemerintah lebih mudah disampaikan kepada masyarakat melalui kader, karena kader lebih tanggap dan memilliki pengetahuan kesehatan diatas rata-rata dari kelompok sasaran Posyandu (Naim, 2008). Salah satu agenda penting dalam pelayanan kesehatan pada masyarakat langsung adalah pemantauan gizi balita, kesehatan bayi dan balita dan secara permanen menurunkan angka kesakitan dan kematian pada bayi dan balita. Keberhasilan program kesehatan tersebut tidak lepas dari kerja keras kader yang dengan sukarela mengelola posyandu di wilayahnya masing-masing. Kurangnya pelatihan dan pembinaan untuk meningkatkan keterampilan yang memadai bagi kader menyebabkan kurangnya pemahaman terhadap tugas kader, lemahnya informasi serta
Universitas Sumatera Utara
kurangnya koordinasi antara petugas dengan kader dalam pelaksanaan kegiatan dapat mengakibatkan rendahnya tingkat kehadiran anak Bawah Lima Tahun (balita) ke posyandu. Hal ini juga akan menyebabkan rendahnya cakupan deteksi dini tumbuh kembang balita (Kemenkes RI, 2010). Pembinaan kader merupakan sarana penting dalam peningkatan pengetahuan dan keterampilan kader dalam kegiatan posyandu. Kader yang terampil akan sangat membantu dalam pelaksanaan kegiatan posyandu, sehingga informasi dan pesanpesan gizi akan dapat dengan mudah disampaikan kepada masyarakat. Dampak kurang dilaksanakan peran kader posyandu akan memberikan akibat tidak baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak secara langsung bagi anak, pemantauan tumbuh kembang yang kurang baik menyebabkan tidak termonitornya kesehatan anak. Dampak tidak langsung: (1) bagi kader Posyandu, bila informasi pengisian KMS (Kartu Menuju Sehat) kurang jelas, maka penerapan di Posyandu juga kurang tepat. Hasil penelitian yang dilakukan di Posyandu Sraturejo, Kecamatan Baureno Kabupaten Bojonegoro diperoleh informasi yaitu dari 10 0rang tua balita, 8 orang (80%) di antaranya pengisian KMS kurang lengkap, dan (2) bagi keluarga, bila informasi yang diterima kurang jelas, maka tindak lanjut kurang sesuai (Fitri, 2005). Peranan kader yang lain, memberitahu hari dan jadwal posyandu kepada para ibu pengguna posyandu, menyiapkan peralatan untuk menyelenggarakan Posyandu sebelum dimulai, melakukan pendaftaran bayi dan balita, ibu hamil, ibu usia subur yang hadir di posyandu, melakukan penimbangan bayi dan balita, mencatat
Universitas Sumatera Utara
hasil penimbangan ke dalam Kartu Menuju Sehat (KMS), melakukan penyuluhan perorangan dan kelompok, menyiapkan dan membagi makanan tambahan untuk bayi dan balita (bila ada), melakukan kunjungan rumah khususnya pada ibu hamil, ibu bayi dan balita serta pasangan usia subur untuk menyuluh dan mengingatkan agar datang ke Posyandu (Depkes, 1992). Agar kader di posyandu dapat melakukan penimbangan lebih akurat, perlu pelatihan dan supervisi yang memadai serta penggantian kader yang minimal. Pembinaan kader merupakan sarana penting dalam peningkatan pengetahuan dan keterampilan kader dalam kegiatan posyandu. Sebagai unit yang memberi pelayanan langsung kepada masyarakat dan bersifat sebagai unit pelayanan kesehatan dasar masyarakat terutama ibu dan anak, maka organisasi posyandu sesungguhnya bersifat organisasi fungsional yang dipimpin oleh seorang pimpinan/penanggung jawab dan dibantu oleh para pelaksana pelayanan yaitu kader posyandu. Kementerian Kesehatan RI (2010), menitikberatkan bahwa cakupan keaktifan kader posyandu secara nasional hingga tahun 2010 baru mencapai 78% dari target 80% dan pada tahun 2011 mencapai cakupan program atau partisipasi masyarakat sangat bervariasi,
mulai dari terendah 10% sampai tertinggi 80%.
Adanya variasi dari cakupan posyandu dan pelayanan kesehatan lainnya dimasyarakat karena adanya perbedaan keaktifan kader kesehatan di masing-masing wilayah. Menteri Kesehatan RI Endang Rahayu Sedyaningsih, mulai tanggal 28 Desember Tahun 2009 telah mencanangkan KMS terbaru. Oleh karena itu Kader perlu memiliki
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan tentang cara mengisi dan menafsirkan KMS baru tersebut. Pengetahuan kader dalam mengisi KMS baru akan membantu kader dalam mendeteksi secara dini adanya balita dengan kurang gizi (Depkes, 2010). Pelaksanaan Posyandu sering kita jumpai petugas kesehatan dan kader melakukan kesalahan, seperti kesalahan dalam hal teknik penimbangan yang tidak sesuai prosedur, dalam mengeinterpretasikan hasil penimbangan naik dan turun sehingga hasil yang didapat tidak akurat, hal ini dapat kita lihat dalam penelitianpenelitian yang telah dilakukan, seperti penelitian Sukiarko (2007), yang menyatakan bahwa pelaksanaan Posyandu yang satu bulan sekali tergantung pada keberadaan serta dorongan petugas kesehatan dan aktivitas dari para kader Posyandu, namun demikian tingkat kemampuan, ketelitian dan akurasi data yang dikumpulkan kader masih rendah, serta 90% kader membuat kesalahan. Salah satu kesalahan kader yang paling sering dijumpai adalah teknik penimbangan yang kurang tepat. Lebih jauh lagi, hanya 40% kader yang tahu manfaat Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk konseling gizi. Menurut penelitian Rosphita (2007), pengetahuan kader tentang interpretasi hasil penimbangan naik dan turun, didapatkan hasil dengan nilai rata-rata adalah 13,06, sedangkan nilai tertinggi adalah 17 (94,4%) dan nilai terendah adalah 9 (50%). Keterampilan kader menggambar grafik pertumbuhan anak dalam KMS didapatkan hasil dengan nilai rata-rata adalah 21,49, sedangkan nilai tertinggi adalah 26 (100%) dan nilai terendah adalah 5 (19,23%). Keterampilan kader dalam menginterpretasikan hasil penimbangan naik dan turun dari KMS, didapatkan hasil dengan nilai rata-rata
Universitas Sumatera Utara
adalah 14,80, sedangkan nilai tertinggi adalah 20 (76,92%) dan nilai terendah adalah 7 (26,92%). Pelatihan dipakai sebagai salah satu
metode pendidikan khusus untuk
meningkatkan pengetahuan kader hal ini senada dengan penelitian Otto, dkk (2013), menunjukan bahwa dari 30 bidan desa yang pernah mengikuti pelatihan Asuhan Persalinan Normal (APN), 19 bidan desa memiliki pengetahuan cukup (63,35%) dan dari12 bidan desa yang belum pernah mengikuti pelatihan Asuhan Persalinan Normal 3 bidan desa memiliki pengetahuan baik (25%). Hasil uji statistik dengan uji chiquare menunjukan bahwa nilai p sebesar 0,025 (p<0,05), hal ini berarti bahwa pelatihan Asuhan Persalinan Normal mampu meningkatkan pengetahuan bidan dalam pertolongan persalinan walaupun kekuatan hubungannya sangat lemah. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga (SKRT) Susenas 2001, hanya 46,6% kader posyandu yang pernah mendapat pelatihan mengenai KMS. Menurut 58,6% kader yang disurvei ditanya tentang penggunaan KMS, adalah untuk memantau pertumbuhan balita. Akibatnya pemanfaatan KMS sebagai sarana penyuluhan gizi dinilai masih rendah (Susenas, 2001 dalam Ekawaty, 2009). Jika pengetahuan dan kemampuan kader posyandu dalam menafsirkan KMS kurang maka akan berakibat terjadinya kesalahan penafsiran pertumbuhan sehingga tidak diketahui penyimpangan. Gizi buruk yang seharusnya terdeteksi secara dini tak dapat dilakukan pada akhirnya terjadilah keterlambatan dalam intervensi dan penatalaksanaanya, Sebaliknya jika keder mampu mengisi dan menafsirkan KMS
Universitas Sumatera Utara
dengan baik maka keadaan kurang gizi akan cepat terdeteksi dan cepat tertangani sehingga status gizi balita menjadi baik (Lenocoly, 2008). Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur tahun 2013 dari 2176 kader hanya 260 (11,10%) yang terlatih dan tahun 2012, di Kecamatan Peureulak prevalensi status gizi kurang 18,28 %, dan status gizi buruk 10,15% data ini diperoleh berdasarkan data yang diambil dari hasil penimbangan oleh kader yang diolah dengan software WHO anthro. Menurut Trintrin (2003), prevalensi gizi kurang pada anak balita yang masih tinggi merupakan salah satu cerminan bahwa masih ada kader melakukan kesalahan dalam memantau pertumbuhan balita. Berdasarkan laporan data posyandu Puskesmas Peureulak Tahun 2013, di Kecamatan Peureulak terdiri dari 38 desa dengan jumlah kader 177, sebanyak 80 diantaranya sudah pernah dilakukan pelatihan tentang cara menilai pertumbuhan balita, namun belum dapat meningkatkan sepenuhnya pengetahuan dan keterampilan kader, sehingga perlu dilakukan pelatihan ulang.
1.2. Permasalahan Bagaimana pengaruh pelatihan terhadap pengetahuan dan keterampilan kader dalam menilai pertumbuhan balita di Puskesmas Peureulak Kabupaten Aceh Timur Tahun 2014.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pelatihan terhadap pengetahuan dan keterampilan kader dalam menilai pertumbuhan balita.
Universitas Sumatera Utara
1.4. Hipotesis Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1.
Ada pengaruh pelatihan terhadap pengetahuan kader dalam menilai pertumbuhan balita.
2.
Ada pengaruh pelatihan terhadap keterampilan kader dalam menilai pertumbuhan balita.
1.5. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1.
Memberikan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur dalam merumuskan kebijakan revitalisasi posyandu dan peningkatan keaktifan kader posyandu agar pelayanan kesehatan ibu dan anak di masyarakat dapat terus berlangsung dalam rangka menciptakan bayi dan balita sehat.
2.
Untuk peningkatan kapasitas kader dalam hal pengetahuan dan keterampilan kader terutama dalam hal menilai pertumbuhan balita.
3.
Menjadi masukan bagi puskesmas dalam melakukan evaluasi pelaksanaan program-program posyandu di wilayah kerja puskesmas.
Universitas Sumatera Utara