BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Autisme dipandang sebagai kelainan perkembangan sosial dan mental
yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak akibat kerusakan selama pertumbuhan fetus, atau saat kelahiran, atau pada tahun pertama kehidupannya (Winarno, 2013). Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak, mulai tampak sebelum usia 3 tahun. Gangguan perkembangan kompleks pada anak autis menyebabkan mereka tidak mampu berkomunikasi maupun mengekspresikan keinginannya, sehingga mengakibatkan terganggunya perilaku dan hubungan dengan orang lain (Rifmie & Fillah, 2014). Autisme merupakan gangguan perkembangan yang kompleks pada individu yang menyebabkan gangguan dalam berkomunikasi, interaksi sosial, gangguan sensorik dan motorik, serta perilaku emosional dangan orang lain, termasuk orang tua (Della, 2012). Autisme merupakan jenis gangguan yang berkelanjutan dan paling umum terjadi dalam prevalensi lima dari setiap 10.000 anak dan terjadinya 2-4 kali lebih sering pada anak laki-laki dibanding perempuan (Winarno, 2013). Data di Amerika pada bulan Maret 2014, prevalensi (angka kejadian) autisme adalah 1 dari 68 anak. Secara lebih spesifik 1 dari 42 anak laki-laki dan 1 dari 189 anak perempuan (Data Centre of Disease Control/CDC, 2014). Saat ini di Indonesia belum ada data statistik jumlah penyandang Autisme. Namun penyandang autisme ini diperkirakan sudah semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari angka
Universitas Sumatera Utara
2
kunjungan di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa pada klinik tumbuh kembang anak
yang
cukup
bermakna
dari
tahun
ke
tahun
(KEMENKES
RI,2016).Community Report on Autism From the Autism and Developmental Disabilities Monitoring Network (2016) mengatakan sekitar 1 dari 68 atau 1,5% dari 8-year-olds diidentifikasi dengan autism spectrum disorder (ASD). Anak autis mengalami kelainan berbicara dan mengalami gangguan pada kemampuan intelektual serta fungsi saraf (Delphie, 2006). Anak autis juga mengalami permasalahan pada kemampuan berbicara yang sangat lambat, bahkan berbicaranya sama sekali tidak berkembang serta tidak ada usaha dari anak autis untuk dapat mengimbangi komunikasi dengan orang lain atau anak autis dapat berbicara maka bicaranya tersebut tidak dipakai untuk berkomunikasi dengan orang lain tetapi dengan dirinya sendiri dan sering pula menggunakan bahasa atau kata-kata yang aneh yang tidak dimengerti serta diulang-ulang (Salman, 2014). Anak autis mengalami kesulitan dalam berkomunikasi karena mereka mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya. Bahasa merupakan media utama dalam komunikasi, jadi apabila perkembangan bahasa mengalami hambatan, maka kemampuan komunikasi pun akan terhambat. Anak autis mengalamai penggunaan bahasa yang kaku dan repetitif atau dikenal dengan bahasa yang aneh, bila akhirnya anak dapat berbicara, anak autis tidak dapat mempertahankan percakapan atau komunikasi dengan orang lain. (Haryana ,2012).Anak autistik sukar berkomunikasi serta tidak mampu memahami percakapan orang lain karena keterlambatan serta peyimpangan dalam berbicara menyebabkan. Sebagian anak autis nampaknya seperti bisu (mute) dan bahkan
Universitas Sumatera Utara
3
tidak mampu menggunakan isyarat gerak saat berkomunikasi dengan orang lain, sehingga penggunaan bahasa isyarat tidak dapat dilakukan (Delphie, 2006). Orangtua
merasa stress saat mendengar
anaknya telah didiagnosis
autisme. Masyarakat juga masih ada pemahaman bahwa anak autis menularkan penyakitnya, maka beberapa orangtua justru
bisa
menyembunyikan
anaknya yang mengidap autis. Salah satu faktor yang paling penting dalam keberhasilan penanganan autisme adalah keterlibatan dan komunikasi orang tua (Purnomo, 2015). Mendidik anak autis bukan merupakan hal yang sederhana, dibutuhkan bantuan terapis namun keterlibatan orang tua dalam penyusunan prioritas program pendidikan tetap sangat dibutuhkan. Orang tua yang bertanggung jawab akan keberhasilan pendidikan anaknya. Orang tua dituntut untuk mengerti hal-hal seputar autisme dan mampu mengorganisir kegiatan terapi untuk anaknya (Suteja, 2014). Orang tua memiliki peran besar dalam membantu kesembuhan anak autisme, sehingga orang tua harus memperdayakan kognitifnya mengenai autisme, terutama kognitif mengenai penanganan yang tepat dan sesuai dengan anak. Hal ini sangat penting karena fasilitas terapi di Indonesia masih sangat terbatas dan ahlinya pun masih langka. Orang tua juga perlu menguasai terapi karena orang tua selalu
bersama
anak,
sedangkan
pengajar
atau
terapis
hanya
sesaat
(Danuatmaja,2003 dalam Imti, 2015). Respon atau afektif orang tua terhadap anak yang mengalami autisme pada awalnya adalah akan mengalami shock dan tidak percaya (menolak),
Universitas Sumatera Utara
4
kemudian orang tua akan depresi dan bersedih melihat keadaan anaknya, lalu orangtua akan masuk ke tahap berpikir rasional dan optimis. Orang tua yang memiliki anak autis akan selalu berusaha agar anaknya bisa normal seperti anakanak lainnya. Orang tua yang optimis akan mencari informasi mengenai penanganan dan terapi yang cocok untuk anak autis. Setelah itu, orang tua akan menerima keadaan anak autis dan berusaha terlibat penuh dalam penanganan dan terapi pada anak autis (Danuatmaja,2003 dalam Imti, 2015). Orangtua yang memiliki anak autis perlu melakukan tindakan awal atau psikomotor yang teliti dalam mengamati berbagai gejala yang nampak pada diri anak. Ketelitian itu yang akan menjadi bahan acuan bagi orangtua dalam mengambil keputusan yang tepat dalam memberikan penanganan dini pada anak autis. Orangtua perlu memperhatikan penanganan yang sesuai dengan masalah dan gelaja yang nampak pada anak autis karena anak autis membutuhkan penanganan yang bersifat yang bersifat menyeluruh (Rachmah, 2016). Orangtua yang tidak begitu mengetahui bagaimana kognitif dan afektif orang tua yang seharusnya dalam pelaksanaan terapi pada anak autisme akan sangat berpengaruh terhadap penanganan yang akan dilakukan pada anakautisme. Afektif dan Psikomotor orang tua sangat berpengaruh terhadap keberhasilan penanganan anak autisme (Puspita, 2008 dalam Imti, 2015). Data yang diperoleh peneliti dari Kudos Kindle Medan pada tahun 2016, jumlah anak autis yang menjalani terapi di Kudos Kindle Medan sebanyak 32 anak autis. Hasil wawancara dengan pemimpin Kudos Kindle Medan mengatakan bahwa
dalam berkomunikasi anak autis bisa diajak bicara tapi sulit untuk
Universitas Sumatera Utara
5
mengungkapkan topik yang akan dibicarakan, pengucapan bahasa kurang jelas, dan ditanya diam saja. Menurut pemilik Kudos Kindle pada dasarnya anak autis membutuhkan perawatan khusus, disesuaikan dengan kebutuhan anak autis tersebut. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik meneliti bagaimana perilaku orang tua dalam menangani hambatan komunikasi pada anak autis di Rumah Terapi Kudos Kindle Medan.
1.2
Rumusan Masalah Anak autis cenderung mengalami hambatan dalam berkomunikasi. Hal
ini disebabkan oleh gangguan perkembangan otak akibat kerusakan
selama
pertumbuhan fetus, atau saat kelahiran, atau pada tahun pertama kehidupannya, dan mulai tampak sebelum usia 3 tahun.Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini untuk mempelajari bagaimana perilaku orang tua dalam menangani hambatan komunikasi pada anak autis di Rumah Terapi Kudos Kindle Medan.
1.3
Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian
iniadalah untuk 1.3.1 Mengidentifikasi kognitif orang tua dalam menangani hambatan komunikasi pada anak autis di Rumah Terapi Kudos Kindle Medan.
Universitas Sumatera Utara
6
1.3.2 Mengidentifikasi afektif orang tua dalam menangani hambatan komunikasi pada anak autis di Rumah Terapi Kudos Kindle Medan. 1.3.3 Mengidentifikasi psikomotor orang tua dalam menangani hambatan komunikasi pada anak autis di Rumah Terapi Kudos Kindle Medan.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1.4.1 Pendidikan Keperawatan Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk perkembangan ilmu keperawatan. 1.4.2 Pelayanan Keperawatan Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan dan strategi
bagi
keperawatanyang
keperawatan
dalam
komprehensif
dalam
memberikan menangani
asuhan hambatan
komunikasi pada anak autis. 1.4.3 Penelitian Keperawatan Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya sehubungan dengan komunikasi anak autis.
Universitas Sumatera Utara