1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kemajuan teknologi yang demikian pesat berdampak pada berbagai bidang kehidupan. Dampak dari kemajuan teknologi tersebut ada yang bersifat positif ada pula yang negatif. Keduanya mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat. Sisi positif dari teknologi yaitu semakin mudahnya menjalani proses kehidupan dengan adanya fasilitas-fasilitas yang memanfaatkan teknologi, namun di sisi lain muncul berbagai dampak negative. Dampak negatif tersebut kebanyakan menimpa anak-anak dan remaja, karena mereka sangat mudah terpengaruh. Berdasarkan catatan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bernama Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia, selain menjadi negara tanpa aturan jelas tentang pornografi, Indonesia juga mencatat rekor sebagai negara kedua setelah Rusia yang paling rentan penetrasi pornografi terhadap anak-anak. Kondisi seperti itu, sebenarnya telah ditangkap Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Lewat beberapa kali penelitian dan survey di lapangan, terkuak kenyataan di lapangan yang mengetengahkan gambaran kehidupan anakanak Indonesia menjelang remaja, salah satunya adalah kegemaran coba-coba untuk urusan seks. Salah satunya adalah hasil penelitian di Provinsi Jawa Barat, di mana dari 2.880 remaja yang disurvey BKKBN, 60 % diantaranya pernah melihat
Universitas Kristen Maranatha
2
film porno dan 18,4 % remaja putri mengaku pernah membaca buku porno. Berdasarkan data terbaru, 25 % anak-anak bahkan menonton film porno di rumah sendiri, 22 % di rumah teman dimana materinya didapat dari VCD rental di sekitar rumah. Lebih parah lagi, kecanggihan teknologi telepon selular yang sekarang sedang menjamur di masyarakat, telah dirambah pornografi. Beberapa penyelidikan bahkan diketahui soal gambar porno yang sampai ke telepon seluler anak-anak SD. Bahaya lain yang mengancam anak-anak adalah keberadaan situs porno. Inke Maris dari ASA Indonesia mengutip hasil penelitian di Amerika bahwa setidaknya ada 28 ribu situs porno di internet pada tahun 2000 sementara tiap pekannya hadir 2 ribuan situs porno baru (www.bkkbn.go.id). Fenomena tersebut tidak lepas dari tata nilai kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekarang. Perkembangan dalam masyarakat tersebut menyebabkan timbulnya nilai-nilai dan norma-norma baru. Nilai dan norma tersebut akan mempengaruhi semua kelompok masyarakat yang pada gilirannya nanti akan mempengaruhi norma dan tata nilai yang dianut oleh kelompok masyarakat yang paling kecil yaitu keluarga. Keluarga merupakan lingkungan primer yang pertama kali ditemui oleh individu. Oleh karena itu, sebelum ia mengenal nilai-nilai dan norma-norma dari masyarakat umum, pertama kali ia menyerap nilai dan norma yang berlaku dalam keluarganya untuk dijadikan bagian dari kepribadiannya (Sarlito, 1997). Orang tua merupakan bagian penting dari keluarga dimana mereka memikul tanggung jawab untuk memberikan arahan dan pendidikan pada anak. Dalam konsep peran orang tua secara tradisional, tugas mengarahkan dan mendidik baik
Universitas Kristen Maranatha
3
dalam segi moral, disiplin, kepatuhan atau perilaku anak lebih merupakan peran seorang ibu (Duval, 1977).
Tugas memelihara dan merawat anak-anak bukan
merupakan tugas mudah bagi seorang ibu. Seiring dengan bertambahnya umur, anak selalu berkembang dan berubah. Seorang anak akan mengalami suatu perubahan pada tiap tahap perkembangannya akan membutuhkan suatu persiapan untuk membantunya menghadapi kejadian-kejadian yang mungkin terjadi pada tahap perkembangan berikutnya (Newman, 1975). Seperti anak usia praremaja, membutuhkan informasi seksual karena masa remaja merupakan masa paling berpengaruh terutama dalam perkembangan seksualnya. Informasi seksual rata-rata dibutuhkan oleh remaja untuk mengurangi kebingungan jika terjadi perubahan seksual pada dirinya. Informasi seksual ini lebih dikenal dengan pendidikan seks. Pendidikan seks yang menyangkut pengetahuan tentang kematangan seksual dan proses reproduksi, ditujukan agar ketidakjelasan, perasaan malu, dan terisolasi yang dialami oleh anak ketika masa pubertas, dapat diminimalisir (Newman,1975). Seperti remaja lainnya, praremaja di SD “X” kabupaten Bandung juga berharap memperoleh pendidikan seks dari orang tuanya. Berdasarkan hasil wawancara awal yang dilakukan peneliti terhadap dua siswa SD “X” kabupaten Bandung, mengatakan bahwa mereka berharap mendapatkan pendidikan seks dari orangtua, namun orang tua mereka kurang menanggapi keinginannya tersebut. Akhirnya kedua siswa tersebut mengetahui informasi tentang seksual
dari
temannya. Informasi seksual yang diberikan kepadanya berupa video porno dari ponsel temannya tersebut.
Universitas Kristen Maranatha
4
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Riset Internasional Synovate atas nama DKT Indonesia terhadap 450 remaja dari Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan, memaparkan bahwa para remaja tidak mempunyai pengetahuan khusus yang komprehensif mengenai seks. Informasi utama mereka dapatkan dari kawan sebanyak 65% dan film porno sebanyak 35% (www.bkkbn.go.id). Sementara dari hasil wawancara peneliti terhadap 20 praremaja di SD ”X” Kabupaten Bandung, diperoleh data bahwa 40% diantara mereka mendapatkan informasi seksual dari video porno baik ditonton sendiri secara sembunyi-sembunyi maupun bersama temannya ketika tidak ada orang tua, 30% dari buku dan majalah dewasa, 25% dari penjelasan orang tua, dan 5% dari tidak sengaja melihat kedua orang tuanya sendiri. Padahal pengetahuan tentang seksual sangat berguna bagi praremaja untuk menghadapi masa remaja yang penuh dengan perubahan tersebut. Seperti menstruasi (pada remaja putri) dan mimpi basah (pada remaja putra), perubahan fisik dan horman, matangnya organ reprodusi dan mulai adanya ketertarikan pada lawan jenis. Pada umumnya mereka cenderung menutup-nutupi perubahanperubahan
yang
terjadi
di
dalam
dirinya
agar
lingkungan
tidak
memperhatikannya, sehingga banyak dari mereka yang bingung dan tidak tahu harus berbuat apa ketika mengalami perubahan dan perkembangan pada fisik dan psikologisnya. Bahkan setelah peneliti melakukan wawancara dengan tiga orang tua yang memiliki praremaja putri di SD”X” kabupaten Bandung memaparkan bahwa praremaja putrinya itu telah mengalami menstruasi sejak beberapa bulan terakhir. Orang tua satu mengatakan anaknya sudah mengalami menstruasi +4
kali,
Universitas Kristen Maranatha
5
sedangkan orang tua kedua mengatakan anaknya telah mengalami
2 kali
menstruasi, namun kedua orang tua itu mengeluhkan kalau anak-anaknya itu belum bisa menangani masalah menstruasinya secara mandiri, bahkan satu diantaranya jika mendapatkan menstruasi, anaknya itu tak ubahnya seperti orang sakit, tidak mau sekolah dan lebih senang mengurung diri di dalam kamarnya. Sementara orang tua yang ketiga memiliki praremaja putri menyatakan putrinya belum mengalami menstruasi, namun sikap putrinya itu sudah menunjukkan seperti layaknya orang dewasa terutama dalam berhubungan dengan lawan jenis. Ia mengatakan kalau praremaja putrinya bersikap terbuka menyatakan ketertarikan pada lawan jenisnya. Bahkan menurut informasi dari temannya praremaja putri tersebut, seringkali mengekspresikan luapan rasa cintanya di hadapan teman-temannya. Misalnya dengan menunjukkan bagian anggota tubuhnya (payudara) agar diperhatikan lawan jenisnya sambil digesek-gesekan ke meja tempat duduknya. Teman-teman dekatnya di sekolah kebanyakan laki-laki, ada satu perempuan, tapi agak tomboy. Demikian juga halnya dengan orang tua yang memiliki praremaja putra, dari dua orang tua yang diwawancarai, satu diantaranya menyatakan khawatir atas perkembangan anaknya karena kerap kali ia menerima laporan yang kurang baik tentang anaknya. Ibu tersebut pernah dipanggil ke sekolah gara-gara ulah anaknya yang sering mengganggu temannya dengan kejahilannya yang kurang senonoh, seperti sering memegang pantat teman perempuannya. Teman-temannya membenarkan informasi tersebut. Menurut mereka anak ibu tersebut selalu membuat ulah di kelasnya. Salah satunya adalah dengan memperlihatkan rekaman
Universitas Kristen Maranatha
6
video porno yang ada di HP-nya. Sebenarnya ia tidak sedirian berulah seperti itu, tapi didukung oleh tiga temannya yang selalu menuruti apa perintahnya. Mereka selalu berkata kasar dan jorok bahkan tangannya suka jahil dengan memegang payudara atau mencubit pantat teman perempuannya di sekolah, padahal sudah sering diingatkan dan diberi sanksi oleh gurunya tapi mereka tidak ada jeranya. Dalam situasi seperti di atas, orang tua dapat memberikan informasiinformasi yang memang diperlukan oleh praremaja. Orang tua bertanggung jawab memberikan pengarahan seksual kepada praremaja dan kebanyakan tanggung jawab tersebut diemban oleh ibu daripada ayah (Hurlock, 1996). Dengan
demikian,
betapa
besarnya
peranan
seorang
ibu
dalam
perkembangan praremaja. Oleh karena itu sangatlah penting bagi kita mengetahui bagaimana sikap ibu terhadap pendidikan seks bagi praremaja. Sikap itu sendiri merupakan suatu sistem yang relatif menetap mencakup evaluasi positif atau negatif, perasaan-perasaan emosional dan kecenderungan bertindak untuk mendukung atau menentang suatu objek. Ibu-ibu yang memiliki sikap positif terhadap pendidikan seks cenderung menganggap bahwa pendidikan seks merupakan salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan sehingga dengan kondisi tersebut para ibu merasa tidak sungkan untuk membicarakan hal-hal yang yang berhubungan dengan pendidikan seks dengan praremaja dan ibu- ibu tersebut mempunyai kecenderungan untuk mendukung pendidikan seks tersebut. Sedangkan ibu-ibu yang memiliki sikap negatif terhadap pendidikan seks bagi praremaja, menganggap bahwa pendidikan seks itu sesuatu
Universitas Kristen Maranatha
7
yang porno yang tampaknya hanya menimbulkan suatu pandangan, bahwa seks hanya pantas dibicarakan oleh orang dewasa sehingga ibu-ibu tersebut merasa tidak suka dengan pendidikan seks terbsebut dan ibu-ibu tersebut cenderung menolak pendidikan seks. Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap 12 ibu yang memiliki anak praremaja di SD ”X” kabupaten Bandung, terbukti bahwa 41,67% memiliki keyakinan bahwa pendidikan seks sangat bermanfaat bagi praremaja, mereka senang terhadap pendidikan seks pada praremaja, sehingga ibu-ibu tersebut akan mendukung pendidikan seks pada praremaja. Sementara 58.13% ibu memiliki keyakinan bahwa pendidikan seks berdampak buruk terhadap praremaja, mereka tidak senang terhadap pendidikan seks pada praremaja, sehingga
mereka
cenderung menolak pendidikan seks pada praremaja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan seks tampaknya masih menjadi polemik pada ibu-ibu di SD”X” kabupaten Bandung. Berdasarkan fenomena di atas peneliti tertarik untuk mengetahui sikap ibu terhadap pendidikan seks dalam pemberian informasi seksual kepada praremaja.
1.2
Identifikasi Masalah Bagaimana sikap Ibu terhadap pendidikan seks pada anak praremaja yang
berusia 10-12 Tahun di SD “X” kabupaten Bandung.
Universitas Kristen Maranatha
8
1.3
Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai sikap ibu terhadap pendidikan seks pada praremaja yang berusia 10-12 Tahun di SD “X” kabupaten Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah agar memperoleh gambaran yang lebih rinci mengenai sikap Ibu terhadap pendidikan seks pada praremaja yang berusia 10-12 Tahun
di SD “X” kabupaten Bandung beserta faktor-faktor yang
mempengaruhi.
1.4
Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoritis 1. Memberikan informasi bagi bidang Psikologi Perkembangan mengenai sikap ibu terhadap pendidikan seks pada praremaja. 2. Memberikan informasi tambahan kepada peneliti lain yang tertarik untuk meneliti sikap ibu terhadap pendidikan seks pada praremaja dan mendorong dikembangkannya penelitian yang berhubungan dengan hal tersebut
Universitas Kristen Maranatha
9
1.4.2 Kegunaan Praktis 1. Memberikan informasi kepada pihak kepala sekolah SD ”X” kabupaten Bandung mengenai sikap ibu terhadap pendidikan seks pada peserta didiknya. 2. Sebagai bahan evaluasi diri bagi ibu yang memiliki anak praremaja mengenai pendidikan seks bagi praremaja. 3. Membuka wawasan para ibu akan pentingnya pendidikan seks pada praremaja.
1.5
Kerangka Pemikiran Pada masa remaja, rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting
dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Oleh karena itu ketika memasuki masa remaja, pengetahuan seksual mereka harus mencukupi agar mereka bisa menjalani masa perkembangannya dengan baik. Seorang ahli mengatakan bahwa setiap anak akan mengalami suatu perubahan pada tiap tahap perkembangannya, membutuhkan suatu persiapan yang akan membantunya dalam menghadapi kejadian-kejadian yang mungkin terjadi pada tahap perkembangan berikutnya (Newman, 1975). Anak usia 10-12 tahun (praremaja) membutuhkan suatu bekal untuk memasuki taraf perkembangan berikutnya. Selama masa praremaja ini seseorang perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi masa remaja yang merupakan masa yang paling sulit dan sangat berpengaruh pada pertumbuhan seksualnya. Anak
Universitas Kristen Maranatha
10
yang akan memasuki masa remaja (praremaja) perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi perkembangan seksualnya. Pada masa praremaja, sedikit demi sedikit praremaja akan mengalami perubahan dalam kondisi fisik, seksual, emosional dan sosialnya. Dalam menghadapi perubahan-perubahan tersebut, umumnya praremaja jadi merasa canggung dan berusaha menarik diri dari pergaulannya. Mereka akan cenderung menutup-nutupi perubahan-perubahan yang terjadi di dalam dirinya. Kurangnya informasi seksual dan informasi mengenai reaksi-reaksi tubuh terhadap stimulus seksual, menyebabkan banyak praremaja kurang bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya, karena sering merasa tidak berdaya. Dengan demikian, masa praremaja adalah masa yang paling tepat untuk dibekali dengan informasi seksual. Sebagaimana menurut Newman (1975) usia yang paling baik untuk diberikan informasi seksual adalah usia menjelang remaja. Pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya tak terkecuali masalah seksualitas. Dorongan untuk mengetahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di sisi lain ada keterbatasan kemampuan dan pengetahuan sehingga kadang-kadang praremaja menghadapi kesulitan, dalam hal ini peran orang tua sangat mereka butuhkan. Untuk menjawab keingintahuannya dalam masalah seks, diperlukan informasi-informasi seksual yang dapat membantu mereka dalam menerima dan menyesuaikan diri dengan baik pada perubahan tubuh yang akan mereka alami pada masa remaja. Adapun informasi tentang pendidikan seks yang harus diberikan kepada anak menjelang remaja diantaranya adalah perkembangan fisik, perkembangan
Universitas Kristen Maranatha
11
seksual, perkembangan emosi, dan perkembangan sosial (Engel ,1997). Perkembangan fisik yang dimaksud adalah perkembangan fisik tubuh, perkembangan seksualitas dan perubahan bentuk fisik ke bentuk fisik dewasa, Perkembangan seksual, termasuk di dalamnya munculnya dorongan seksual, fungsi-fungsi reproduksi, timbulnya fantasi seksual, dan sensitifitas organ vital. Perkembangan emosi menyangkut perubahan emosi pada praremaja, ketertarikan pada lawan jenis, kondisi emosi yang bergejolak, suasana hati yang mudah berubah dan ketakutan praremaja terhadap perubahan fisik yang dialaminya. Sementara yang menyangkut perkembangan sosial adalah cara berpacaran yang sehat, batasan-batasan saat berelasi dengan lawan jenis, ketertarikan pada cerita romantis dan lebih mudahnya terpengaruh informasi seksual yang negatif. Pendidikan seks melalui pemberian informasi seksual kepada praremaja sebaiknya diberikan oleh orang tua karena biasanya orang tua tidak hanya menyampaikan informasi-informasi seksual tetapi disertai oleh pengalihan nilai (Sarlito,1986). Oleh karena itu dapat dikatakan orang tua sebagai sumber informasi mempunyai kelebihan dibandingkan dengan sumber informasi lainnya. Penelitian Fox & Inazu (1980, dalam Sarlito, 1997) Orang tua merupakan bagian penting dari keluarga di mana mereka memikul tanggung jawab untuk memberikan arahan dan pendidikan pada anak. Pendidikan seks tidak dapat dipisahkan dari pendidikan
di lingkungan
keluarga. Di lingkungan keluargalah anak - anak harus mendapatkan penerangan, pendidikan, dan bimbingan tentang seks, agar mereka tidak menjadi korban penerangan yang tidak diinginkan, misalnya dari buku-buku, majalah-majalah,
Universitas Kristen Maranatha
12
atau media elektronik yang menberikan informasi kurang baik, atau lebih parahnya lagi mereka terbentur pada pengalaman mereka sendiri yang biasanya hanya membawa kecemasan dan kesedihan. Dalam hal ini peranan orang tua sangat penting, terutama peranan seorang ibu. Dalam konsep peran orang tua secara tradisional, tugas mengarahkan dan mendidik baik dalam segi moral, disiplin, kepatuhan atau perilaku anak lebih merupakan tugas seorang ibu (Duval, 1977). Tugas memelihara dan merawat anak bukan merupakan tugas yang mudah bagi seorang ibu. Seiring dengan bertambahnya umur, anak selalu berkembang dan berubah, sementara itu ibu senantiasa harus selalu siap mendampinginya. Penelitian Fox & Inazu (1980, dalam Sarlito, 1997) membuktikan bahwa semakin sering terjadi percakapan tentang seksualitas antara ibu dengan praremajanya, maka tingkah laku praremajanya akan semakin bertanggung jawab. Kebutuhan praremaja akan informasi seksual yang benar dan banyaknya remaja yang terperangkap pada sumber informasi yang salah tentang seks merupakan stimulus dari luar yang dapat mempengaruhi sikap ibu terhadap pemberian pendidikan seks pada praremaja. Pembentukan sikap ini tidak hanya dipengaruhi oleh stimulus dari luar saja, tetapi juga dipengaruhi oleh stimulus yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri seperti halnya keinginan seorang ibu untuk memberikan pendidikan terbaik pada anak-anaknya, termasuk di dalamnya pendidikan seks. Kebutuhan praremaja akan informasi seksual yang benar dan banyaknya remaja yang terperangkap pada sumber informasi yang salah tentang seks
Universitas Kristen Maranatha
13
tersebut, diterima oleh seseorang melalui persepsi dan pengindraan. Persepsi sosial adalah proses yang memungkinkan kita untuk mengetahui dan mengerti orang-orang di sekitar kita (Baron & Byrne, Social Psyhology), sedangkan menurut J.P. Chaplin dalam Dictionary of Psychology, persepsi sosial adalah kesadaran tentang objek-objek sosial atau kejadian-kejadian sosial. Merujuk pada kedua definisi tersebut, seorang ibu menyadari akan bahaya yang mengintai praremajanya apabila praremaja memperoleh informasi yang salah tentang seksual. Apalagi setelah ia menyaksikan sendiri berbagai peristiwa mengerikan yang terjadi seperti seks bebas, kehamilan di luar nikah atau maried by acsidence, atau penyimpangan seksual sebagai akibat penerimaan informasi seksual dari sumber yang salah dan pada akhirnya stimulus tersebut diterima sebagai stimulus dari luar. Bentuk penerimaan stimulus ini akan membentuk sikap. Sikap bukan merupakan hasil bawaan sejak lahir, tetapi terbentuk melalui proses belajar sepanjang masa perkembangan individu tersebut. Sikap juga bersifat dinamis (mengalami perubahan) seiring dengan perubahan stimulus yang diterima oleh individu yang bersangkutan. Proses pembentukan sikap ini kemudian mempengaruhi individu untuk bertingkah laku terhadap suatu hal dengan cara yang berbeda-beda. Sikap adalah suatu sistem yang relatif menetap mencakup evaluasi positif atau negatif, perasaan-perasaan emosional dan kecenderungan bertindak untuk mendukung atau menentang suatu objek (Krech & Ballachey). Sikap didadasari oleh tiga aspek, yaitu kognitif, afektif, dan konatif.
Universitas Kristen Maranatha
14
Aspek pertama adalah kognitif, berkaitan dengan pemahaman dan kepercayaan seseorang terhadap suatu hal. Ibu-ibu di SD”X” kabupaten Bandung yang memiliki sikap positif terhadap pendidikan seks pada praremaja, memiliki kecenderungan memahami dan mengevaluasi bahwa pemberian pendidikan seks pada praremajanya akan memberikan manfaat untuk kehidupan praremajanya. Sebaliknya ibu yang memiliki sikap negatif terhadap pendidikan seks bagi praremaja, cenderung akan memahami dan mengevaluasi bahwa pendidikan seks tidak membawa dampak positif terhadap praremajanya untuk mencoba melakukan tindakan seksual. Aspek kedua adalah afektif yang mengacu pada aspek emosi, apakah pendidikan seks itu menyenangkan atau tidak menyenangkan, disukai atau tidak disukai. Para ibu di SD”X” kabupaten Bandung yang memiliki sikap positif akan dengan senang hati menyetujui pendidikan seks kepada praremaja.
Namun
sebaliknya, ibu yang memiliki sikap negatif, tidak senang dan tidak menyetujui pendidikan seks diberikan. Aspek ketiga adalah konatif yang meliputi kesiagaan untuk berperilaku. Para ibu di SD “X” kabupaten Bandung yang memiliki sikap positif memiliki kecenderungan
untuk
menerima,
menolong,
maupun
membantu
atau
menunjukkan sikap kooperatif untuk kelancaran pendidikan seks pada praremaja. Sedangkan ibu yang memiliki sikap negatif akan menunjukkan perilaku antipati, mereka akan berusaha untuk menutup-nutupi masalah seksual dari praremajanya. Ibu-ibu yang memiliki sikap positif terhadap pendidikan seks cenderung menganggap bahwa pendidikan seks merupakan salah satu cara untuk mengurangi
Universitas Kristen Maranatha
15
atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampakdampak negatif yang tidak diharapkan. Mereka menganggap bahwa pendidikan seks bukan sesuatu yang porno melainkan berisi informasi-informasi ilmiah seperti pengenalan organ-organ reproduksi yang harus dijaga kebersihan dan kesehatannya, perubahan fisik (perubahan pertumbuhan payudara, panggul yang semakin membentuk pada remaja putri dan tumbuhnya jakun serta mimpi besah pada praremaja putra).
Dengan penjelasan ilmiah tentang pendidikan seks
tersebut, ibu cenderung merasa tidak malu atau sungkan untuk membicarakan halhal yang berhubungan dengan masalah seksual pada praremajanya, bahkan sebaliknya mereka akan memberikan dukungan pada pemberian pendidikan seks tersebut. Sedangkan ibu-ibu yang memiliki sikap negatif terhadap pendidikan seks bagi praremaja, menganggap masalah seksualitas sebagai sesuatu yang tabu untuk diperbincangkan. Anak usia 10-12 tahun (praremaja) cenderung dianggap masih belum pantas menerima informasi seksual, selain itu mereka cenderung menganggap bahwa praremaja tidak membutuhkan informasi seksual karena mereka sudah mendapatkannya dari sumber lain, ibu cenderung menganggap bahwa pendidikan seks itu sesuatu yang porno yang tampaknya hanya menimbulkan suatu pandangan, bahwa seks hanya pantas dibicarakan oleh orang dewasa sehingga ibu yang memiliki sikap negatif ini cenderung tidak memberikan dukungan terhadap pendidikan seks. Perbedaan sikap ibu terhadap pendidikan seks pada praremaja menurut David Krech & Richard S. Crutchfield dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu faktor
Universitas Kristen Maranatha
16
kebutuhan, reaksi emosional, informasi, kelompok yang mempengaruhi, dan faktor budaya. Faktor pertama yaitu faktor kebutuhan, faktor ini merupakan stimulus dari dalam diri individu. Faktor kebutuhan ini cukup beragam mulai dari kebutuhan primer (viscariganic noods) yang berkaitan dengan kepuasan fisik atau peristiwaperistiwa organis tertentu seperti makan, seks, udara dan sejenisnya, hingga kebutuhan sekunder (psychogenic noods) yang ditandai tidak adanya hubungan dengan kepuasan fisik, seperti kebutuhan untuk berkuasa, dihormati, pengakuan, prestasi dll. Apabila ibu di SD”X” kabupaten Bandung merasa perlu akan pendidikan seks terhadap praremaja dan pendidikan seks
tersebut dapat
memberikan kepuasan atau manfaat terhadap dirinya, maka ibu tersebut cenderung untuk bersikap positif. Begitu pula sebaliknya, ibu akan cenderung bersikap negatif bila pendidikan seks pada praremaja tidak dapat memberikan kepuasan atau manfaat bagi dirinya. Faktor kedua yaitu faktor emosional, adanya perasaan suka atau tidak suka yang muncul dari dalam diri ibu terhadap pendidikan seks ikut menentukan bagaimana sikap ibu terhadap pendidikan seks pada praremaja usia 10-12 tahun. Apabila ibu menyukai pendidikan seks, maka ibu tersebut akan memiliki sikap positif, sebaliknya apabila ibu tidak menyukai pendidikan seks, maka ia akan menunjukkan sikap negatif. Faktor ketiga yaitu faktor informasi, dimana informasi ini merupakan stimulus yang berasal dari dunia luar atau lingkungan. Penerimaan dan pengolahan informasi tentang pendidikan seksual pada diri ibu akan menentukan
Universitas Kristen Maranatha
17
sikap positif atau negatif dari ibu tersebut. Apabila informasi tentang pendidikan seks yang diterima oleh para ibu si SD”X” kabupaten Bandung itu berasal dari sumber yang tepat dan lengkap, maka ada kecenderungan ibu tersebut memiliki sikap positif. Namun bila informasi yang diterima ibu berasal dari sumber yang kurang tepat dan informasi mengenai pendidikan seks kurang lengkap, maka ada kecenderungan ibu tersebut akan bersikap negatif terhadap pendidikan seks bagi praremaja. Informasi tentang pendidikan seks di kalangan ibu di SD”X” kabupaten Bandung cukup beragam. Hal ini menimbulkan sikap ibu yang beragam pula terhadap pendidikan seks bagi praremaja. Faktor keempat adalah faktor kelompok yang mempengaruhi. Dalam posisi ibu sebagai mahluk sosial, kelompok memiliki pengaruh yang besar terhadap ibuibu di SD”X” kabupaten Bandung. Ibu yang menjadi anggota suatu kelompok dan menjalin hubungan yang dekat akan cenderung mengembangkan sikap yang sama dengan sikap kelompoknya. Sikap ibu yang memiliki kesamaan dengan sikap yang dimunculkan oleh kelompoknya akan mencerminkan bagaimana belief, nilai, dan norma yang berlaku di dalam kelompok tersebut. Kelompok tempat tinggal ibu-ibu/orang tua siswa praremaja di SD”X” kabupaten Bandung cukup beragam (heterogen) sehingga pengaruhnya pun beragam pula. Ibu yang tinggal di lingkungan masyarakat yang meyakini kalau pendidikan seks itu bukanlah sesuatu yang tabu, tapi justru merupakan suatu hal yang perlu dibahas atau dibicarakan, akan cenderung memiliki sikap positif terhadap pendidikan seks. Dalam proses pembicaraan tentang masalah seksual dengan praremaja, ibu dituntut
untuk
menanamkan nilai-nilai moral sehingga tidak menyalahi norma-norma yang
Universitas Kristen Maranatha
18
berlaku di lingkungan masyarakat tersebut. Sedangkan ibu yang tinggal di lingkungan masyarakat yang memiliki keyakinan bahwa masalah seks itu adalah masalah yang sangat tabu untuk dibicarakan, menurut mereka pembicaraan masalah seksual tidak sopan, bahkan melanggar norma-norma etika akan cenderung memiliki sikap negatif
terhadap pendidikan seks.
Mereka akan
berusaha menutup-nutupi pembicaraan masalah seks dengan praremaja. Faktor kelima adalah faktor budaya. Setiap budaya memiliki keunikan tersendiri yang menjadi karakteristik dari budaya tersebut. Latar belakang budaya merupakan warisan nenek moyang yang terbentuk secara turun temurun sehingga sulit untuk memilah kebenaran dan kesalahannya. Penduduk yang menetap di suatu tempat, cenderung mengikuti budaya yang berlaku di tempat tersebut. Budaya ini mencakup cara pandang, norma, dan kebiasaan. Ibu-ibu yang memiliki praremaja di SD “X” Kabupaten Bandung memiliki cara pandang yang berbeda terhadap suatu objek misalnya pendidikan seks pada praremaja. Di antara mereka terdapat ibu-ibu berpandangan konservatif yang memiliki kebiasaan untuk selalu mematuhi aturan- aturan yang ada sebagai suatu keharusan yang kaku dan tidak bisa diganggu gugat. Mereka tertutup terhadap hal baru termasuk terhadap pendidikan seks pada praremaja sehingga mereka memandang pendidikan seks secara sempit, mereka menganggap pembicaraan tentang seks adalah hal yang tabu, jorok, tidak sopan dan tidak wajar. Mereka seolah-olah menutup-nutupi pembicaraan tentang seks, mereka memiliki kecenderungan untuk bersikap negatif terhadap pendidikan seks pada praremaja. Namun demikian ada juga ibu-ibu yang berpandangan modern, mereka memandang norma-norma yang ada secara
Universitas Kristen Maranatha
19
fleksibel, terbuka terhadap suatu pembaharuan, termasuk salah satunya terhadap pendidikan seks pada praremaja dan memandang pendidikan seks secara luas. Mereka menganggap pendidikan seks sebagai suatu ilmu yang harus diterapkan sesuai dengan norma-norma dan kebiasaan yang berlaku karena pendidikan seks ini banyak memberikan manfaat, terutama bagi praremaja agar mereka dapat menjalani tahap perkembangannya dengan baik dan bertanggung jawab. Ibu-ibu yang berpikiran modern memiliki kecenderungan untuk bersikap positif terhadap pendidikan seks.
Universitas Kristen Maranatha
20
Faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap : ♦
Kebutuhan
♦
Emosional
♦
Informasi
♦
Kelompok yang mempengaruhi
♦ Budaya Bagan 1.5 Kerangka Pemikiran Positif
Ibu yang Mempunyai Praremaja Berusia 10-12 Tahun di SD “X” kabupaten Bandung
Sikap Ibu Terhadap Pendidikan Seks
Negatif 3 aspek sikap 1. Aspek Kognitif 2. Aspek Afektif 3. Aspek Konatif
Universitas Kristen Maranatha
21
1.6
Asumsi Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti mengasumsikan bahwa : 1. Ibu yang mempunyai praremaja di SD “X” kabupaten Bandung memiliki perbedaan sikap terhadap pendidikan seks pada praremaja. 2. Pembentukan sikap yang dimiliki oleh ibu yang mempunyai praremaja di SD”X” kabupaten Bandung dipengaruhi oleh faktor kebutuhan, emosional, informasi, kelompok yang mempengaruhi dan budaya.
Universitas Kristen Maranatha