BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Karya sastra dikenal sebagai refleksi kehidupan nyata dan produk sebuah
realita. Melalui bahasa, karya sastra bergerak mengkonstruksi realita. Akan tetapi, realita itu sendiri juga secara dinamis mengkonstruksi bahasa (Udasmoro, 2014: 6). Dalam suatu karya, tema merupakan salah satu komponen penting, termasuk sastra. Tema cerita dalam suatu karya sastra umumnya berasal dari hal-hal sekitar yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari, misalnya adalah tentang keluarga, remaja, masa kanak-kanak, dan lain-lain. Dewasa kini, salah satu tema yang mulai banyak dilirik dalam dunia kesusastraan adalah mengenai remaja. Hal ini disebabkan banyaknya kaum remaja yang menjadi konsumen dari karya sastra. Minat kaum remaja terhadap karya sastra memunculkan genre baru dalam dunia sastra, yaitu karya sastra remaja. Karya sastra remaja berkembang di Indonesia sejak tahun 1970-an. Seiring dengan pasang surutnya, kini sastra remaja lebih sering disebut dengan istilah teenlit atau chiklit. Karya sastra remaja merupakan karya sastra yang ringan dan diperuntukkan bagi remaja. Teenlit merupakan salah satu bacaan yang paling populer dan banyak diminati kalangan remaja. Salah satu karakteristik novel teenlit adalah berkisah tentang remaja, baik yang menyangkut tokoh-tokoh
1
2
(utama) maupun permasalahannya. Para tokoh remaja dihadirkan dengan karakter beserta permasalahnya, berupa pertemanan, kisah cinta, putus sambung cinta, impian, khayalan, cita-cita, konflik, yang kesemuanya merupakan romantika dunia remaja. Pada umumnya, teenlit mengangkat tokoh remaja perempuan yang kuat, tidak cengeng, mandiri dan tidak mudah diombang-ambingkan atau dilecehkan dalam pergaulan, baik dalam hal percintaan maupun persaingan meraih prestasi dengan remaja laki-laki (Kusmarwanti, 2005:111). Karya sastra remaja tidak hanya ditulis oleh kalangan remaja saja, tetapi orang dewasa juga dapat menulis karya sastra remaja. Pada awalnya, tujuan dibuatnya karya sastra remaja adalah sebagai hiburan dan menarik minat baca dan menulis kaum remaja. Namun, seiring berjalannya waktu karya sastra remaja mampu menjadi alat untuk mengkonstruksi (Udasmoro, 2014:6). Menurut Kaplan (via Udasmoro, 2014: 25), terdapat 3 tema besar yang banyak ditemui dalam sastra remaja, yaitu penggunaan sastra remaja untuk mengubah hidup mereka, kekuatan karya sastra dalam mengungkapkan hal-hal yang di luar norma, seperti masalah seks, gender, dan perubahan sikap pada remaja dan bagaimana mereka mencerminkan norma-norma dan harapan sosial. Dalam konteks Barat, remaja dapat dimasukkan dalam kategori teenager. Dalam kategori ini terutama adalah mereka yang usianya sekitar 12˗˗15 tahun, atau paling tidak 16 tahun. Mereka yang sudah berusia 17 tahun sudah dianggap memasuki usia dewasa (Udasmoro, 2014:2). Usia remaja penuh dengan sturm und drang atau badai dan tekanan (Hall via Landau, 2012:47). Disebut sebagai periode badai dan tekanan karena kaum remaja mengalami kehidupan yang penuh dengan
3
gejolak emosi dan tekanan jiwa (Zulkifli, 2003). Keadaan emosi yang labil sering kali menyebabkan munculnya berbagai permasalahan di masa remaja, seperti permasalahan keluarga, teman, sampai permasalahan dengan diri sendiri, contohnya permasalahan pencarian identitas diri. Masa remaja merupakan masa yang sangat penting bagi pencarian identitas diri. Selain pembentukan identitas diri, berbagai macam masalah yang berkaitan dengan perubahan terjadi dalam diri remaja juga senantiasa mengikuti, mulai dari perubahan fisik, perubahan mental, sampai kepada perubahan seksual (Sulaeman, 1995). Pencarian identitas biasanya dilakukan oleh remaja untuk mengetahui siapa dirinya (Jenkins via Udasmoro, 2014:20). Selain itu, identitas juga berfungsi untuk memberi sense of belonging dan eksistensi sosial pada setiap individu untuk membedakan antara seorang individu dengan individu lainnya (Wijoto, 2003). Suatu identitas diri dapat ditampilkan melalui identitas jenis kelamin, etnisitas, agama, dan sebagainya (Udasmoro, 2014:30). Meskipun demikian, identitas bukanlah sesuatu yang permanen atau tetap. Identitas merupakan suatu produk persilangan umur, kelas, etnis, ras dan bangsa yang dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Proses pencarian identitas diri bukanlah perkara mudah, terlebih dalam usia remaja. Labilnya emosi terkadang menyebabkan kaum remaja melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat dan melahirkan permasalahan baru dalam hidupnya. Kerumitan yang muncul dalam masa proses pencarian identitas diri rupanya tidak lepas dari sorotan dunia kesusastraan, salah satunya adalah karya sastra prancis maupun francophone. Salah satu karya francophone yang
4
mengangkat tema identitas diri adalah novel Et Au Pire, On Se Mariera karya Sophie Bienvenu. Sophie Bienvenu merupakan penulis kelahiran Belgia pada 1980. Selama berkarir dalam dunia kesusastraan, ia sudah menghasilkan beberapa karya, antara lain novel Lucie le Chien dan serial (K). Novel Et Au Pire, On Se Mariera yang terbit pada 2011 adalah novel pertama Bienvenu yang diperuntukkan bagi remaja maupun kalangan dewasa. Novel-novelnya terdahulu lebih banyak diperuntukkan bagi kalangan remaja. Meskipun Novel Et Au Pire, On Se Mariera adalah novel yang juga ditujukan bagi pembaca dewasa, akan tetapi tema besar dari cerita tersebut masih membahas tentang persoalan remaja. Novel Et Au Pire, On Se Mariera sempat meraih penghargaan Le Prix des Arcades de Bologne pada 2013 dan menjadi nominasi dalam Le Prix Littéraire des collégiens di tahun yang sama, rupanya mampu membuat novel ini laris di pasaran dan masuk dalam nominasi Le Prix des librairies 1. Selain itu, novel ini juga menarik perhatian Nicolas Gendron, Direktur Artistik perusahaan ExLibris, untuk mengangkat kisah ini dalam bentuk teatrikal dan telah dipentaskan pada Oktober 2014. Novel Et Au Pire, On Se Mariera ditulis dalam bentuk monolog. Berkisah tentang kehidupan anak perempuan berusia 13 tahun, bernama Aïcha Saint-Pierre. Ibunya berasal dari Québec dan ayahnya, Hakim, berasal dari Aljazair. Aïcha sehari-hari menghabiskan waktu bersama ayahnya, sedangkan ibunya sibuk bekerja. Kedekatannya dengan Hakim membuat ia dididik dengan cara hidup 1
Mèche, La. Et Au Pire, On Se Mariera. http://editionslameche.blogspot.co.id/2011/10/et-au-pireon-se-mariera.html. Diakses pada Jumat,8 Januari 2016. Pukul 21.15.
5
ayahnya yang terkesan santai dan tidak disiplin. Meskipun di akhir cerita diketahui bahwa Hakim bukanlah ayah kandung Aïcha yang sebenarnya, akan tetapi Aïcha sangat menyayangi Hakim. Aïcha tidak seperti remaja perempuan pada umumnya. Dia tidak menyukai sekolah dan tidak memiliki teman sebaya. Mélannie dan Johanier merupakan teman yang ia miliki, mereka adalah seorang banci yang berprofesi sebagai pelacur di kawasan Centre-Sud. Kedekatannya dengan Mel dan Jo membuat pola pikirnya menjadi dewasa sebelum waktunya. Novel ini mengambil wilayah Centre-Sud, Montréal sebagai latar cerita. Centre-Sud merupakan kawasan industri yang termasuk dalam wilayah Montréal dan berada di sebelah timur pusat kota. Pada tahun 1960-an Centre-Sud menjadi suatu daerah yang inhabitable dikarenakan kurangnya fasilitas yang bisa menunjang hidup seperti pelayanan kesehatan, tidak tersedianya air panas, dan penunjang hidup lainnya. Akibat dari minimnya fasilitas dan infrastruktur di wilayah tersebut, Centre-Sud sering disebut sebagai zona abu-abu. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman, pemerintah Kanada mulai membangun kawasan ini menjadi suatu kawasan industri. Kemajuan di kawasan Centre-Sud rupanya mengundang minat imigran dari negara-negara francophone lainnya untuk memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik di kawasan ini.
6
Gambar 1. Peta wilayah Centre-Sud
Dipilihanya Centre-Sud sebagai latar tempat bukanlah tanpa alasan. Melalui
sebuah
wawancara
oleh
Chloé
Savoir-Bernard
dalam
akun
Youtube Chaîne de baiselivres, Bienvenu menyampaikan bahwa tujuannya dalam menulis novel tersebut adalah menghadirkan les zones gris. Bagi Bienvenu, di dalam dunia ini tidak semua persoalan dilihat secara hitam dan putih, tetapi dalam banyak kasus ia menemukan adanya suatu zona abu-abu yang sering muncul tanpa disadari. Ia ingin para pembaca novelnya menemukan adanya zona abu-abu tersebut dalam novel pertamanya ini. Zona abu-abu yang dimunculkan dalam novel ini antara lain pilihan hidup Aïcha dalam menentukan identitas dirinya dan permainan naming choice yang digunakan oleh penulis.
7
Naming Choice adalah bagian lain yang sangat penting dalam pengkonstruksian identitas. Nama atau panggilan tersebut menjadi bentuk identitas yang ingin dijelaskan (Udasmoro, 2014:54˗˗56). Nama berfungsi untuk membedakan individu satu dengan lainnya. Selain itu, nama juga berfungsi sebagai pemberi informasi-informasi yang berhubungan dengan kelas sosial, ras, agama, dan etnisitas. Dalam karya sastra, nama juga memiliki peran penting, seperti yang dijelaskan oleh Windt pada kutipan berikut ini. Personal names and places names are some of the most important tools of the author in the creation of credible characters placed in a literary universe that give the impression of being authentic (Windt, 2012:278).
Pemilihan nama tokoh dan latar tempat bukanlah sesuatu karangan oleh penulis. Nama tokoh dan latar tempat memiliki peran penting dalam suatu cerita karena mampu untuk memberikan nilai lebih supaya karya tersebut terlihat ‘nyata’. Seperti halnya dalam novel Et Au Pire, On Se Mariera, Bienvenu memilih nama Aïcha Saint-Pierre sebagai tokoh utamanya dengan memadukan nama Arab dan nama Barat agar menjadi satu identitas baru. Lahirnya nama tersebut merupakan salah satu akibat dari percampuran budaya yang kerap muncul pada zaman modern kini. Selain itu, dipilihnya Centre-Sud menjadi latar tempat dalam novel ini dengan sejarah yang terjadi di wilayah tersebut semakin mendukung pesan cerita yang ingin disampaikan oleh pengarang.
8
1.2
Rumusan Masalah Percampuran budaya yang merupakan salah satu akibat dari arus
globalisasi rupanya mampu menciptakan suatu identitas baru bagi individu, tetapi tidak semua individu merasa percaya diri dengan identitas baru dari hasil percampuran budaya tersebut. Proses pencarian identitas diri biasanya dimulai ketika seseorang menginjak masa remaja dan bukan suatu perkara yang mudah bagi kaum remaja untuk menentukan identitas dirinya, terlebih apabila dia terlahir dari percampuran budaya kedua orangtuanya. Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana proses pembentukan identitas dari tokoh remaja dalam novel Et Au Pire, On Se Mariera? 2. Apa saja kontribusi yang diberikan lingkungan sosial terhadap pembentukan identitas tokoh?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan
teoritis
penelitian
ini
adalah
untuk
mengetahui
proses
pembentukan identitas remaja yang terdapat dari novel Et Au Pire, On Se Mariera karya Sophie Bienvenu serta mengetahui kontribusi yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap pembentukan identitas. Selanjutnya, tujuan praktis dalam penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan serta wawasan bagi para pembaca novel Et Au Pire, On Se Mariera, khususnya dalam hal pencarian identitas dari hasil percampuran budaya.
9
1.4
Tinjauan Pustaka Untuk mempertegas bahwa penelitian terhadap novel Et au Pire, On Se
Mariera belum pernah dilakukan sebelumnya, maka beberapa kajian pustaka di bawah ini akan menjadi poin penting. Kajian pustaka yang ditemukan terkait dengan identitas, pencarian identitas, dan rekonstruksi identitas. Skripsi yang berjudu Memilih Identitas dalam Novel Le Destin de Iouri Voronine Karya Henriette Jelinek oleh Silvy Nurfitri (2015), mahasiswa Sastra Prancis, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, membahas mengenai pemilihan identitas yang dipengaruhi oleh tekanan dan paksaan dari lingkungan sosial. Dalam penelitian tersebut, Iouri Voronine merupakan tokoh utama dalam novel karya Jelinek. Iouri merupakan lelaki berkewarganegaraan Rusia dan menetap bersama anaknya di Chicago, Amerika Serikat. Kehidupannya berjalan normal sampai suatu ketika sang anak, Miroslav, meminta ia untuk mengganti nama supaya mereka berdua dapat pindah ke Los Angles, memiliki identitas baru dan menjadi miliader. Pada saat itu, Iouri akhirnya memutuskan untuk mengganti identitasnya dan pindah ke Los Angles. Namun, dia merasa tidak nyaman beradaptasi dengan lingkungannya menggunakan identitas barunya tersebut. Ia merasa lebih nyaman dengan identitasnya yang terdahulu. penelitian ini juga memaparkan pertentangan-pertentangan yang muncul dari pemilihan identitas dan mengulasnya dengan teori konstruksi identitas sebagai process of making dan the process of becoming dari Wening Udasmoro (2014). Hasil dari penelitian ini adalah identitas memiliki sifat dinamis yang dapat berubah dan terus bergerak sesuai dengan kejadian atau peristiwa yang dialami
10
oleh setiap individu. Identitas merupakan sebuah pilihan. Pertentangan yang kita temui dalam proses pencarian identitas biasanya merupakan pertentangan individu dengan lingkungan sosial atau individu dengan masa lalu dan masa sekarang. Karya kedua adalah tesis yang berjudul Resistensi dan Negosiasi Individu: Sebuah Kajian Identitas Terhadap Novel Grafis Persepolis Karya Marjane Satrapi oleh Sandya Rani Yunita (2015) mahasiswa Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, membahas mengenai bentuk resistensi dan strategi bertahan serta bentuk negosiasi individu atas identitas akibat dari revolusi Islam di Iran. Penelitian ini menggunakan teori identitas dan agensi dari Anthony Giddens untuk menunjukkan adanya agensi-agensi yang berpengaruh dalam proses konstruksi identitas individu. Hasil dari penelitian ini adalah novel grafis Persepolis merupakan representasi bentuk resistensi dan strategi masyarakat Iran dalam masa Revolusi Iran. Selain itu, identitas yang ditunjukkan oleh setiap individu adalah bentuk negosiasi budaya timur terhadap budaya barat yang mulai memasuki wilayah Iran. Identitas tersebut nantinya akan berubah sesuai dengan nilai sosial dan kultural. Sedangkan negosiasi individu yang terdapat dalam novel grafis ini adalah cara individu berusaha untuk ‘melupakan’ masa lalunya untuk memulai hidup baru tetapi ‘mengingat’ suatu hal yang berkaitan dengan historisnya. Karya ketiga, tesis berjudul Keterasingan dan Rekonstruksi Identitas Diri dalam Novel The Hundred Secret Senses Karya Amy Tan oleh Yustin Sartika (2012), mahasiswa Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Ia membahas tentang negosiasi individu untuk merekonstruksi identitasnya dan
11
keluar dari keterasingan yang menjauhkannya dari kehidupan sosial. Penelitian ini menggunakan teori modernitas dan identitas diri dari Anthony Giddens untuk mengungkapkan usaha negosiasi individu dalam proses perekonstruksian identitas. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa eksistensi individu berasal dari pedoman hidupnya dan identitas diri dapat dibentuk dari keunikan-keunikan yang dimiliki yang dipadukan dengan implementasi pedoman hidupnya. Sedangkan bentuk negosiasi individu dalam novel ini adalah dengan cara mencari gaya hidup pribadinya, meskipun pada akhirnya segala konsekuensi dari semua keputusannya harus dipertanggungjawabkan. Karya keempat adalah tesis yang berjudul Negosiasi Identitas Interkultural dalam Film L’Auberge Espagnole dan Les Poupeés Russes: Sebuah Tinjauan Semiotika oleh Wulan Tri Astuti (2011), mahasiswa Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Tesis ini membahas relasi interkultural yang terjalin dalam kelompok multikultural dan pengaruhnya terhadap kepribadian suatu individu. Data penelitian ini diambil dari film L’Auberge Espagnole dan sekuelnya Les Poupeés Russes karya Cédric Klapisch. Film tersebut mengisahkan tentang sekelompok mahasiswa yang berasal dari beberapa negara Uni Eropa dan tinggal dalam satu atap. Adanya perbedaan karakter, budaya dan bahasa menyebabkan timbulnya berbagai konflik. Konflik kultural tersebut diselesaikan dengan cara negosiasi yang dilakukan baik oleh identitas diri maupun identitas sosial tiap-tiap individu yang bersangkutan. Kedua
12
film ini dianalisa tanda-tanda sinematografiknya menggunakan teori semiotika film. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa skripsi mengenai pencarian identitas dalam novel Et au Pire, On Se Mariera berbeda dengan penelitian sebelumnya karena yang lebih ditonjolkan dalam penelitian ini adalah proses pembetukan identitas dari tokoh remaja. Selain itu, novel ini juga belum pernah diteliti secara mendalam. Oleh karena itu penelitian ini layak untuk dilakukan.
1.5
Landasan Teori
1.5.1
Remaja dan Identitas Sebagai Self Project Erikson (1968) mengatakan bahwa masa remaja adalah masa terjadinya
krisis identitas atau pencarian identitas diri. Pengertian dari identitas adalah kapasitas manusia untuk mengetahui siapa dirinya, siapa orang lain dan bagaimana orang lain mengetahui siapa kita, identitas bukan sesuatu yang bisa dimiliki, tetapi sesuatu yang seorang lakukan (Jenkins, 2008:5). Self-identity then is `the self as reflexively understood by the person in terms of her or his biography' (Giddens, 1991:53). Penilaian universal terhadap identitas membuat Siniša Maleševič (seorang sosiolog) berpendapat bahwa identitas merupakan sesuatu yang taken for granted, tetapi Jenkins membantahnya dengan argumen bahwa kita tidak boleh mengambil identitas untuk diberikan kepada seseorang. Identitas bukanlah sesuatu yang seseorang dapat miliki, identitas adalah sesuatu yang seseorang bentuk (Jenkins,2008:5). Ditambahkan oleh Giddens (1991:52) bahwa identitas bukanlah
13
sesuatu pemberian. Identitas diciptakan dan diwujudkan terus-menerus sebagai refleksi hidup individu. Identitas dibentuk oleh setiap orang melalui proses “the making” dalam bentuk-bentuk yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pencarian identitas adalah sebuah proses yang perjalanannya sangat kompleks (Udasmoro, 2014:33) Pencarian identitas dilakukan secara individual melalui pembelajaran dari lingkungan sosialnya. Menurut Giddens (via Udasmoro,2014:33), identitas bergerak dari definisi identitas sebagai project of the self ke identitas sebagai identitas sosial dan kolektif. Dalam hal ini, diri mempunyai peranan penting dalam pengkonstruksian identitas. Seperti yang dikatakan oleh Giddens (via Udasmoro, 2014:35) sebelumnya, bahwa setiap identitas adalah proyek dari self. Identitas dikatakan sebagai sebuah projek dari self karena ia dapat berubah sesuai dengan situasi atau lingkungan tempat individu berada, baik ruang maupun waktu. Lingkungan sosial menjadi salah satu faktor penting dalam pembentukan suatu identitas. Individu tidak bisa lepas dari lingkungan sosial karena merupakan mahkluk sosial. Keluarga sebagai lingkungan terdekat sangatlah berpengaruh terhadap pembentukan identitas diri seseorang. Dukungan emosional dan persetujuan sosial mampu memengaruhi kekuatan self-image, khususnya remaja, dihadapan publik. Namun sebaliknya, ketika remaja berasal dari keluarga yang orang tuanya bercerai, remaja yang mengalami penyiksaan atau ditelantarkan, maka dia akan mempunyai self-image yang rendah (Santrock, 2014:142).
14
Remaja mencoba mengeksplorasi dunia luar di dalam proses pencarian identitas diri. Mereka mencoba untuk menjalin hubungan dengan orang lain, membuka peer-group, menjauhkan diri dari orang tua, dan masa pengembaraan imajinasi, masa pubertas, serta masa ketika orang lain menjadi tidak penting kecuali diri dan peer-group-nya (Udasmoro, 2014:20). Ketika remaja berada dalam peer-group yang positif, maka ia akan mendapatkan dampak yang positif pula. Namun, apabila seorang remaja berada di dalam zona peer-group yang bernilai negatif, maka kemungkinan dia akan menemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma dalam masyarakat yang mampu memengaruhi pembentukan identitasnya.
1.5.2
Nama Sebagai Identitas Nama merupakan identitas yang paling mudah kita ketahui dari suatu
individu. Nama berfungsi sebagai pembeda antara individu satu dengan individu lainya.
Menurut Jenkins (2008: 21), “one’s personal name is the definitive
markers of individual difference.”. Melalui sebuah nama, identitas suatu individu dapat diidentifikasikan karena dalam sebuah nama dapat terkandung berbagai hal, seperti latar belakang sosial, latar belakang etnis, latar belakang agama, dan lainlain (Mendatu, 2010:25) Berdasarkan deklarasi PBB, mendapatkan nama adalah salah satu hak seorang anak (pasal 24-3 dalam UN International Covenant on Civil and Political Rights). Kewajiban memberi dan memilih nama yang baik adalah tanggung jawab dari orang tua atau dari siapa pun yang bertanggungjawab atas suatu individu.
15
Pemberian nama terhadap seseorang tidak bisa dilakukan secara asal-asalan karena terdapat anggapan bahwa nama adalah sebuah doa dan memiliki arti penting bagi seseorang. Jika kita memberikan nama yang mempunyai arti yang buruk maka nama tersebut dapat memberikan pengaruh negatif terhadap kondisi kejiwaan seseorang, misalnya orang tersebut akan minder dan tidak percaya diri. Nama berkembang seiring dengan situasi dan zaman. Adanya modernitas menyebabkan timbulnya nama-nama baru. Pada tahun 80-an di Indonesia, nama yang banyak digunakan adalah Joko, Eko, Endang, Susi, dan lain-lain. Namun, pada awal tahun 2000-an nama-nama tersebut sudah jarang didengar karena digantikan dengan nama-nama yang lebih modern
dan berbau Barat, seperti
Chelsea, Romeo, dan Leo. Selain itu nama-nama yang berasal dari negara Timur, seperti nama-nama Arab juga semakin sering digunakan, seperti Annisa, Hafidz dan Adam. Adanya perkembangan mode nama di berbagai daerah maupun negara merupakan salah satu akibat dari percampuran budaya yang merupakan dampak dari modernitas dan arus globalisasi. Seperti yang diutarakan oleh Giddens (1991) permasalahan identitas diri merupakan pertanyaan yang pasti muncul pada zaman modernitas dan nama adalah salah satu bentuk identitas diri yang ingin ditunjukkan kepada publik. Pada umumnya, pemberian nama dilakukan dengan dua cara. Pertama, memberikan nama diri dan nama keluarga. Kedua, hanya memberikan nama diri tanpa diikuti nama keluarga. Dalam budaya Indonesia, jarang ditemukan penggunaan nama keluarga dalam identitas seseorang. Hanya ada beberapa etnis di Indonesia timur dan etnis Batak yang sampai saat ini masih menggunakan nama
16
keluarga. Berbeda halnya dengan budaya Barat, pengunaan nama keluarga merupakan hal yang wajar karena nama keluarga berfungsi sebagai representasi suatu kelompok (Mendatu, 2010:39) Dalam novel Et Au Pire, On Se Mariera dapat ditemukan contoh nama yang merupakan hasil percampuran budaya, yaitu Aïcha Saint-Pierre yang merupakan nama tokoh utama novel tersebut. Melalui nama tersebut dapat diketahui bahwa terdapat nama diri dan nama keluarga. Nama diri adalah Aïcha, lalu nama keluarga adalah Saint-Pierre. Aïcha atau Aisyah dalam bahasa Indonesia merupakan nama yang berasal dari negara Arab dan nama tersebut identik dengan agama Islam. Sedangkan, nama belakang atau nama keluarga Saint-Pierre merupakan nama Barat dan identik dengan agama Kristen atau Katolik. Naming choice merupakan salah satu hal penting yang dilakukan oleh pengarang untuk mendukung ‘hidupnya’ suatu cerita. Dalam kasus yang terdapat di novel Et Au Pire,On Se Mariera, pemilihan nama Aïcha Saint-Pierre merupakan salah satu bentuk kritik sosial yang ingin dikemukakan oleh penulis. Seperti halnya di Kanada yang mulai diserang oleh imigran dari negara-negara Magreb dan tidak jarang dari imigran tersebut menikah dengan warga lokal. Dari pernikahan tersebut, lahirlah anak dari persilangan kedua etnis yang bersangkutan. Jika dilihat dari segi fisik, terdapat perbedaan yang cukup mencolok bila dibandingan dengan anak-anak asli Kanada, baik perbedaan warna kulit, warna rambut, maupun warna bola mata.
17
Sering kali pernikahan beda etnis tidak didasari oleh perasaan cinta kasih saja, tetapi terkadang ada misi tertentu yang secara tidak sadar ingin dilakukan, yaitu menjaga eksistensi etnisnya atau rasnya agar bertahan di wilayah tertentu. Contoh kasus dalam novel ini adalah ketika Hakim memilih nama Aïcha sebagai nama putrinya, maka ada tujuan tertentu supaya etnisnya dikenal dan dapat bertahan di negara Kanada yang bukan negara asalnya.
1.5.3
Identitas Sosial Semua identitas manusia adalah identitas sosial (Jenkins,2008:17).
Identitas merupakan perihal mengenai individu yang mencoba mengidentifikasi dirinya sendiri atau orang lain. Mengenali identitas adalah masalah mengenai pengartian, dan pengartian selalu berkaitan dengan interaksi, yaitu persetujuan dan penolakan, kebiasaan dan pembaharuan, komunikasi dan negosiasi. Dalam proses mencari identitas diri, seseorang perlu melakukan interaksi dengan sekitarnya, berkecimpung dalam ‘human world’. ‘Human world’ merupakan istilah yang digunakan Jenkins untuk mendefinisikan sebuah tempat yang berfungsi sebagai ajang untuk bertemu dan melebur antar individu dengan kelompok. Masuknya seorang individu dalam human world rupanya membawa sebuah misi. Goffman (via Jenkins, 2008:42) beranggapan bahwa saat individu berinteraksi dengan sekitarnya, mereka sadar bahwa mereka mengejar suatu tujuan dan kepentingan tertentu. Mereka berusaha untuk ‘menjadi’ dan ‘dipandang’ sebagai ‘sesuatu’ atau ‘seseorang’ supaya mereka dianggap berhasil merepresentasikan suatu identitas tertentu. Aktivitas dalam human world tidak
18
hanya mengenai mengirim pesan tentang identitas individu saja, tetapi yang terpenting adalah proses pesan itu dapat diterima oleh individu lainnya. Menurut Barth (via Jenkins, 2008:44) identitas diibaratkan seperti benda cair. Identitas merupakan sesuatu yang dapat berubah sesuai dengan tempatnya dan bergerak secara terus-menerus. Lingkungan masyarakat merupakan salah satu tempat atau wadah yang mampu membentuk identitas seorang individu. Goffman (via Jenkins, 2008) menambahkan bahwa individu bernegosiasi dengan identitasnya melalui interaksi di sekitarnya. Pentingnya lingkungan masyarakat juga diungkapkan oleh Mead dalam bukunya Mind, Self and Society from the Standpoint of a Social Behaviorist, bahwa manusia dianggap eksis apabila dia berinteraksi di lingkungan masyarakatnya. Lingkungan pertama seorang individu untuk berinteraksi adalah keluarga. Keluarga memiliki peran besar dalam proses pembentukan identitas anggota keluarga, terutama anak. Setelah keluarga barulah seorang anak berinteraksi dengan lingkungan yang lebih besar, yaitu lingkungan sosial. Bagi James (1993) hubungan antara individu dan individu lainnya bersifat lebih cair dan lebih mudah untuk dinegosiasikan. Setiap individu memerlukan proses interaksi dengan lingkungan sosialnya. Hal ini bertujuan supaya ia dapat mengetahui dirinya, orang lain, dan mengerti sesuatu yang diharapkan orang lain. Meskipun demikian, terdapat dampak positif dan negatif yang dibawa oleh lingkungan sosial yang berhubungan dengan pembentukan identitas seorang individu. Ketika seseorang berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, maka reputasi dan public image menjadi sangat penting untuk ditunjukkan kepada peer
19
groupnya (Jenkins, 2008:88). Tiap individu berusaha untuk menunjukkan citra diri supaya dipandang sama dan sederajat dengan peer-group. Terkadang seorang individu sampai melakukan hal-hal yang berada diluar batas kemampuannya. Permasalahan tersebut paling sering dialami oleh kaum remaja. Mereka berusaha sekuat tenaga supaya dapat ‘dipandang’, padahal kemampuan mereka tidak mencukupi atau belum waktunya. Seorang individu perlu bersosialisasi dengan sekitar. Tetapi dalam memilih peer-group haruslah selektif. Apabila seseorang salah bergabung dalam lingkaran sosial tertentu, maka dampak negatiflah yang didapatkan. Terlebih bagi kaum remaja yang lebih senang berkumpul dengan peer- groupnya daripada keluarganya. Pentingnya peer-group dan lingkungan sosial adalah karena individu butuh untuk berinteraksi. Melalui interaksi individu dengan peer-group dan sosialnya, maka akan terciptalah sebuah identitas seseorang. Menurut Jenkins (2008), identitas terbentuk dalam proses sosialisasi, sehingga lingkungan sosial sangat berperan dalam lahirnya suatu identitas seorang individu.
20
1.6
Metodologi Penelitian Penelitian ini mengambil data dari novel Et au Pire, On Se Mariera. Novel
ini dipilih menjadi objek material penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Sedangkan tahapan yang akan ditempuh dalam melakukan penelitian ini antara lain, pengumpulan data, analisis data, dan kesimpulan. Tahap pertama adalah pengumpulan data dengan metode kepustakaan, yaitu membaca keseluruhan cerita novel Et au Pire, On Se Mariera yang terbit pada 2011. Selama berlangsungnya proses pembacaan, ditemukan beberapa permasalahan dalam novel yang dirumuskan dalam rumusan masalah. Setelah itu, dilakukan pembacaan buku, jurnal, skrispsi dan tesis dengan kata kunci identitas. Selanjutnya, pengumpulan data dalam novel menggunakan tabel data atau table d’évènement untuk memudahkan dalam mengelompokkan data. Selain itu, dilakukan juga pengumpulan data dari buku dan jurnal yang telah dibaca. Tahapan kedua adalah proses analisis data. Dalam proses ini, data yang sudah dikumpulkan lalu dikritisi dengan teori Social Identity dari Richard Jenkins. Tahapan terakhir yaitu penyampaian hasil berupa kesimpulan dari analisis data pada novel Et Au Pire, On Se Mariera untuk menjawab rumusan masalah yang telah dibuat sebelumnya.
21
1.7
Sistematika Laporan Penelitian Penulisan laporan penelitian ini adalah sebagai berikut : BAB I, berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan
pustaka, landasan teori, metode penelitian serta sistematika penyajian. BAB II, berisi pembahasan yang memuat penulisan data dan analisis data dari pertanyaan pertama menggunakan teori yang sudah dipilih. BAB III, berisi analisi data dari pertanyaan kedua menggunakan teori yang sudah dipilih. BAB IV, berisikan hasil akhir dan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan.