1
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam mempunyai dua sumber yaitu al-Qur’an dan hadits Rasulullah, yang mana keduanya sebagai pedoman hidup manusia. Sehubungan dengan hal itu dinul islam sebagai realisasi oprasional yang berupa pedoman-pedoman dan aturan bagi orang yang berpegang teguh padanya yaitu al-Qur’an dan hadits sebagaimana dinyatakan dalam suatu riwayat,
ﺖ ﻓِﻴ ُﻜ ْﻢ ُ ل َﺗ َﺮ ْآ َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ن َرﺳُﻮ ﻦ ﻣَﺎﻟِﻚ َأﻧﱠ ُﻪ َﺑَﻠ َﻐ ُﻪ َأ ﱠ ْﻋ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨِﻲ َ و ﺳﱠﻨ َﺔ َﻧ ِﺒ ﱢﻴ ِﻪ ُ ب اﻟﱠﻠ ِﻪ َو َ ﺴ ْﻜُﺘ ْﻢ ِﺑ ِﻬﻤَﺎ ِآﺘَﺎ ﻀﻠﱡﻮا ﻣَﺎ َﺗ َﻤ ﱠ ِ ﻦ َﺗ ْ ﻦ َﻟ ِ َأ ْﻣ َﺮ ْﻳ “Telah menyampikan kepada kami dari Mâlik, sesungguhnya Rasulullah SAW, bersabda: Aku telah meninggalkan untuk kalian dua perkara yang mana kalian tidak akan tersesat apabila berpegang teguh kepada keduanya yaitu Kitabullah Al-Qur’an dan sunnahnya AlHadits” 1 Nabi Muhammad Rasulullah SAW. diangkat oleh Allah menjadi Nabi dan Rasul dengan tugas mengeluarkan umat manusia dari alam kegelapan kealam yang terang benderang. Dan ketika Allah menurunkan alQur’an, maka Dia menugaskan kepadanya untuk menjelaskan kepada umat manusia tentang segala hukum dan ketentuan yang di turunkan
kepada
mereka, serta sekaligus untuk menjelaskannya. Hal ini di jelaskan di dalam alQur’an, seperti difirmankan Allah SWT:
1
Malik bin Anas, Muwaththa’Mȃlik, (Beirut: Darl fikr, 2004) Juz 5, hal. 1323
2
ﻞ ﻀﱡ ِ ﻞ َﻓِﺈ ﱠﻧﻤَﺎ َﻳ ﺿﱠ َ ﻦ ْ ﺴ ِﻪ َو َﻣ ِ ﻦ ا ْه َﺘﺪَى َﻓِﻠ َﻨ ْﻔ ِ ﻖ َﻓ َﻤ ﺤﱢ َ س ﺑِﺎ ْﻟ ِ ب ﻟِﻠﻨﱠﺎ َ ﻚ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ َ ﻋَﻠ ْﻴ َ ِإﻧﱠﺎ َأ ْﻧ َﺰ ْﻟﻨَﺎ ﻞ ٍ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ِﺑ َﻮآِﻴ َ ﺖ َ ﻋَﻠ ْﻴﻬَﺎ َوﻣَﺎ َأ ْﻧ َ “Artinya : Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu al-Kitab (alQur’an) untuk manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri, dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka ( Q.S. Al-Zumar: 41)2 Oleh karena itu petunjuk dan keterangan beliau yang dikenal dengan istilah hadits atau sunnah itu memiliki otoritas untuk dijadikan sebagai pedoman dan diamalkan petunjuknya serta tidak boleh diabaikan, karena ia merupakan keterangan dan petunjuk praktis pengamalan al-Qur’an yang harus dipegangi oleh umatnya, baik yang berupa ucapan, tindakan maupun ketetapan beliau. Allah SWT. Berfirman :
ﺷﺪِﻳ ُﺪ ا ْﻟ ِﻌﻘَﺎب َ ن اﻟﱠﻠ َﻪ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻓَﺎ ْﻧ َﺘﻬُﻮا وَاﱠﺗﻘُﻮا اﻟﱠﻠ َﻪ ِإ ﱠ َ ﺨﺬُو ُﻩ َوﻣَﺎ َﻧﻬَﺎ ُآ ْﻢ ُ ل َﻓ ُ َوﻣَﺎ َﺁﺗَﺎ ُآ ُﻢ اﻟ ﱠﺮﺳُﻮ....... “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.(Q.S. Al-Hasyr : 7)” Maka dengan itu, kaum muslimin harus meyakini dengan bulat bahwa perbuatan, sabda, dan taqrir Nabi sebagai sumber hukum yang harus diikuti dan yang sampai kepada sanad yang shahih, yang merupakan hujjah bagi kaum muslimin sebagai sumber syariat tempat para Mujtahid mengeluarkan hukum Syara’.
2
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, ( Surbaya : CV Jaya Sakti, 1997) hal.751
3
Diantara hukum syara’ yang sekarang dianggap sebagian orang sebagai perbuatan yang sah untuk dilakukan demi tercapainya suatu tujuan yang di harapkanya. Salah satu perbuatan tersebut adalah perbuatan ( )اﻟ ﱢﺮﺷْﻮةsuap menyuap, Padahal Allah dan Rasulnya telah melarang bahkan melaknat bagi orang yang melakukan suap menyuap begitupun dengan pelantaranya. Hal yang melatar belakangi larangan tersebut adalah bahwa kegiatan suap menyuap dapat menyebarkan kerusakan dan kedzaliman dalam masyarakat, Sebab dari suap munculah hukum yang pemutarbalikan fakta, yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi bebas, sehingga orang tidak memperoeh hak- haknya sebagaimana mestinya3. menurut Ibnu Atsir dalam an-Nihȃyah fi Gharibul Hadits wal Atsȃr mendefiniskan: ar-Risywah adalah usaha memenuhi hajat (kepentingannya) dengan membujuk4. Sesuatu yang diberikan kepada seseorang dengan syarat orang yang diberikan itu dapat menolong orang yang memberi. baik sesuatu berupa uang ataupun harta benda yang diberikan kepada seseorang dengan tujuan meraih sesuatu yang diinginkanya. Fakta di negri ini menunjukan bahwa masyarakatnya bahkan para pemimpinya yang merupakan panutan bagi yang dipininnya melakukan hal yang sangat di larang oleh Allah dan Rasulnya, yaitu melakukan kegiatan suap menyuap dan korupsi kegiatan suap menyuap itu telah dianggap hal biasa contohnya kasus korupsi (suap menyuap) yang menyeret anggota DPR, seperti kasus cek pelawat pemilihan Deputi Senior (DGS) Bank Indonesia Miranda
3 ‘Abdullah ‘Abd Mukhsin, Suap Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press 2001) hal. 47 4 Abu Sȃa’dah al- Mubaraq bin Muhammad al-Jazari, An-Nihȃyah Fi Gharibul Hadits Wal atsȃr Ibnu Atsir, (Bairut: 1974 ) Juz 2, hal. 549
4
Gultom
yang
menginapkan
sejumlah
anggota
DPR
di
lembaga
pemasyarakatan, kemudian kasus dua orang anggota DPR secara eksplisit mengaku menerima amplop (berisi 1000 dolar) dalam rangka pembahasan divestasi Bank Niaga. Masih banyak kasus lainnya yang memberikan gambaran kepada publik bahwa potensi korupsi sangat perlu diwaspadai dan sudah membahayakan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara5. Di dalam ayat al-Qur’an memang tidak disebutkan secara khusus istilah suap menyuap atau risywah. Namun Imam al-Hasan dan Sa’îd bin Zubair menafsirkan ungkapan al-Qur’an yaitu `akkâlûna li al-suhti` sebagai risywah atau suap.
ن ْ ﻋ ْﻨ ُﻬ ْﻢ َوِإ َ ض ْ ﻋ ِﺮ ْ ﺣ ُﻜ ْﻢ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ َأ ْو َأ ْ ك ﻓَﺎ َ ن ﺟَﺎءُو ْ ﺖ َﻓ ِﺈ ِ ﺤ ْﺴ ن ﻟِﻠ ﱡ َ ب َأآﱠﺎﻟُﻮ ِ ن ِﻟ ْﻠ َﻜ ِﺬ َ ﺳﻤﱠﺎﻋُﻮ َ ﺤﺐﱡ ِ ن اﻟﱠﻠ َﻪ ُﻳ ﻂ ِإ ﱠ ِﺴ ْ ﺣ ُﻜ ْﻢ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ ﺑِﺎ ْﻟ ِﻘ ْ ﺖ ﻓَﺎ َ ﺣ َﻜ ْﻤ َ ن ْ ﺷ ْﻴﺌًﺎ َوِإ َ ك َ ﻀﺮﱡو ُ ﻦ َﻳ ْ ﻋ ْﻨ ُﻬ ْﻢ َﻓَﻠ َ ض ْ ُﺗ ْﻌ ِﺮ ﻦ َ ﺴﻄِﻴ ِ ا ْﻟ ُﻤ ْﻘ “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.6 jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.7 Kalimat “akkâlûna li al-suhti” secara umum memang sering diterjemahkan dengan memakan harta yang haram. Namun konteksnya 5
www.lampung-news.com “Suap menyuap dikalangan DPR” (diakses tanggal 10 November 2011) 6 Seperti uang sogokan dan sebagainya 7 Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, ( Jakarta : SYGMA, 2005) hal.115
5
menurut kedua ulama tadi adalah memakan harta hasil suap-menyuap atau risywah. Jadi risywah (suap menyuap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah Swt dalam firman-Nya:
ل ِ ﻦ َأ ْﻣﻮَا ْ ﺤﻜﱠﺎ ِم ِﻟ َﺘ ْﺄ ُآﻠُﻮا َﻓﺮِﻳﻘًﺎ ِﻣ ُ ﻞ َو ُﺗ ْﺪﻟُﻮا ِﺑﻬَﺎ ِإﻟَﻰ ا ْﻟ ِﻃ ِ َوﻟَﺎ َﺗ ْﺄ ُآﻠُﻮا َأ ْﻣﻮَاَﻟ ُﻜ ْﻢ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ ﺑِﺎ ْﻟﺒَﺎ ن َ س ﺑِﺎ ْﻟ ِﺈ ْﺛ ِﻢ َوَأ ْﻧ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮ ِ اﻟﻨﱠﺎ “Artinya: dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.QS al-Baqarah [2]: 188)”. Adapun hadis tentang risywah ini terdapat diberbagai kitab-kitab hadits seperti dalam kitab Musnad Ahmad bin Hambal yang berbunyi :
ﻦ ْﻋ َ ﺳَﻠ َﻤ َﺔ َ ﻦ َأﺑِﻲ ْﻋ َ ﻦ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ﻦ ِ ث ْﺑ ِ ﻦ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ِﻋ َ ﺐ ٍ ﻦ َأﺑِﻲ ِذ ْﺋ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ا ْﺑ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأﺑُﻮ ُﻧ َﻌ ْﻴ ٍﻢ َ ﻋﻠَﻰ اﻟﺮﱠاﺷِﻲ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻟ ْﻌ َﻨ ُﺔ اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ل َرﺳُﻮ َ ل ﻗَﺎ َ ﻋ ْﻤﺮٍو ﻗَﺎ َ ﻦ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ َ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗﺸِﻲ “Dari Abȗ Na’im, telah menceritakan kepada kami ibnu Abi Dzi’bi, dari Al- Harits bin ‘Abdurrahman dari Abi Salamah dari ‘Abdullah bin ‘Umar berkata: Allah melaknat orang yang melakukan suap dan menerima suap”8
ﻋ ْﺒ ِﺪ َ ﻦ ْﻋ َ ﺳَﻠ َﻤ َﺔ َ ﻦ َأﺑِﻲ ْﻋ َ ث ِ ﻦ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ِﻋ َ ﺐ ٍ ﻦ َأﺑِﻲ ِذ ْﺋ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ا ْﺑ َ ﻋ ْﻤﺮٍو َ ﻦ ُ ﻚ ْﺑ ِ ﻋ ْﺒ ُﺪ ا ْﻟ َﻤِﻠ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗﺸِﻲ َﺷ ِ ﺳﱠﻠ َﻢ اﻟﺮﱠا َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ﻦ َرﺳُﻮ َ ل َﻟ َﻌ َ ﻋ ْﻤﺮٍو ﻗَﺎ َ ﻦ ِ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ “Dari ‘Abdul Mâlik bin ‘Amr, telah menceritakan kepada kami ibnu Abi Dzi’bi, dari Al- Harits bin ‘Abdurrahman dari Abi salamah dari
8
Ahmad bi Muhammad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, (Beirut : Dar Sadir, tt) Bab ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash, Juz 14, hal. 227, no. hadits 6689
6
‘Abdullah bin ‘Umar berkata: Rasulllah melaknat orang yang melakukan suap dan menerima suap.9 Pada kenyatannya hadits suap menyuap ini merupakan salah satu diantara hadits-hadis yang sulit untuk dilaksanakan oleh umat manusia serta banyak orang yang tidak mengetahui keadaan para rȃwi-rȃwi hadits tersebut, apakah para rȃwi tersebut termasuk rȃwi-rȃwi yang dapat diterima periwayatannya atau tidak, serta redaksi matn hadits tersebut tidak membatasi, apakah menyuap tersebut mencari kebenaran dan menghindari kemudhoratan atau hanya mengeksploitasi suatu kebenaran. Hal ini yang mendorong penulis untuk mengkaji hadis tersebut, dengan meneliti semua aspek, terutama aspek sanad, Sehingga hadits tersebut benarbenar bisa dijadikan hujjah untuk memperkuat keharaman kegiatan suap menyuap. Hal ini sangat penting untuk dikaji, mengingat pokok masalah ini sudah menjadi hal yang biasa dilakukan umat saat ini. Penulis mengkaji hadis tentang suap menyuap dengan memberikan judul : SUAP MENYUAP DALAM LITERATUR HADITS (TINJAUAN KESHAHIHAN SANAD) Agar pembahasan dari judul diatas dapat dipahami dengan baik maka terlebih dahulu penulis akan menerangkan maksud dari study analisis. Hal ini penting agar semua kajian dari pembahasan ini lebih tertuju pada satu maksud tersebut.
9
Ibid. hal 74, no. hadits 6536
7
Yang dimaksud study analisis pada pembahasan pokok masalah yaitu penelitian ilmiah untuk menyelidiki terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan,dsb) akar mengetahui ke adaan yang sebenarnya (sebab musabab, duduknya perkara, dsb) terhadap hadis-hadis yang dipermasalahkan. B. Perumusan Masalah Perumusan masalah pada penelitian ini penulis sajikan dalam bentuk pertanyaan masalah sebagaimana berikut ini: 1. Apakah hadits-hadits suap menyuap itu memiliki syahid, mutabi’ atau tidak? 2. Bagaimana kualitas sanad dan matn hadits tentang suap menyuap ? 3. Bagaimana pendapat para Fuqaha tentang hukum suap menyuap?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid dan mutabi’ tentang riwayatriwayat tersebut.
2.
Mengetahui kualitas sanad dan matn hadits tentang suap menyuap.
3.
Untuk mengtahui pendapat para Fuqaha tentang hukum suap menyuap Adapun kegunaan penelitian ini adalah : a. Secara Teoritis Hasil penelitian ini penulis berharapkan dapat berguna bagi
pengembangan keilmuan khususnya di bidang hadits.
8
b. Secara Praktis Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan penyelesaian terhadap berbagai permasalahan bangsa. D. Kerangka Pemikiran Umat Islam diwajibkan untuk beregang teguh kepada sunnah Rasul dalam segala aspek, baik dalam segi aqidah, ibadah, maupun dalam segala aspek kegiatan sosial. Namun kondisi umat Islam pada umumnya tidak mampuh untuk memahami hadits Nabi dengan benar, karena itu untuk memahami sebuah hadits dibutuhkan sejumlah ilmu- ilmu pendukung, baik Ilmu Riwayah yaitu suatu kajian ilmu hadits yang mempelajari tentang cara penukilan atas perkataan, perbuatan, ketetapan atau sifat-sifat yang disandarkan kepada Rasul (Marfu’) Sahabat (Mauquf) dan para tabi’in. Dengan demikian Ilmu hadits Riwayah objek kajianya adalah sanad. Dan ilmu hadits Dirayah yaitu suatu kajian illmu yang mempeljari hal ihwal al-rȃwi yang ditinjau dari segi diterima dan ditolaknya suatu hadits. Secara stuktural hadits memiliki tiga komponen, Yakni sanad atau isnảd (rantai penutur), matn ( redaksi hadits) dan rȃwi (mukharij). Untuk mengethui kulitas para rȃwi dalam menyampaikan suatu hadits serta kemaqbulan suatu hadits, maka harus meneliti tiga komponen tersebut. Pengertian sanad secara terminologis adalah
ﻦ ِ ﺻَﻠ ُﺔ ِﻟ ْﻠ َﻤ َﺘ ل ْاﻟ ُﻤ َﻮ ﱢ ِ ﺟﺎ َ ﺴَﻠ ُﺔ اﻟ ِّﺮ ِ ﺳ ْﻠ ِ
9
“Silsilah Orang-orang yang menghubungkan kepada matn hadits” Silsilah orang-orang maksudnya adalah susunan atau rangkaian orangorang yana menyampaikan materi hadits tersebut, sejak yang disebut pertama sampai kepada Nabi SAW, yang merupakan perkataan, perbuatan, taqrir dan lainya merupakan materi atau matn hadits. Dengan pengertian tersebut, sebutan sanad hanya berlaku kepada serangkaian orang, bukan dilihat dari sudut pribadi secara personal. Adapun sebutan untuk pribadi, jika disebut dari sudut perorangan disebut dengan rȃwi.10 Dengan demikian sanad adalah rantai penutur atau perȃwi (perȃwi ) periwayatan hadits. sanad terdiri atas
seluruh penutur, mulai orang yang
mencatat hadits tersebut dalam kitab hadits sampai Rasul, karena sanad memberikan keaslian suatu riwayat hadits. Sebuah hadits memiliki beberapa sanad dengan jumlah rȃwi yang bervariasi dalam lapisan sanad-nya yang disebut thabaqah. Signifikan jumlah sanad dan penutur dalam tiap thabaqah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut.11 •
Tinggi Rendahnya rangkaian sanad a) Ashahhul Al-Asanid ( Sanad-sanad yang lebih shahih) b) Ahsanul Al-Asanid (rangkaian sanad lebih rendah derajatnya dari Ashahhul Al-Asanid)
10 11
90
Utang Ranuwijaya. Ilmu Hadits. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996) hal. 92 Agus Solahuddin dan Agus Suryadi, Ulumul hadis,( Bandung : Pustaka setia, 2009) hal.
10
c) Adh’faul Al-Asanid( Rangkaian sanad paling rendah derajatnya disebut Adh’faul al- Asanid. rangkain sanad Adh’faul al- Asanid adalah: 1. Yang muqoyad kepada Sahabat 2. Yang muqoyad kepada penduduk •
Jenis-jenis sanad a) Sanad Aly b) Sanad Nazil Sanad dalam riwayat hadits mempunyaik kedudukan yang sangat
penting sehingga suatu berita yang dinyatakan sebagai hadits Nabi SAW. Oleh seseorang, tapi berita itu tidak memiliki sanad sama sekali, maka berita tersebut oleh ulama hadits tidak dapat dikatakan sebgai hadits. sekiranya berita tersebut tetap juga di katakana sebagai hadits oleh orang-orang tertentu, misalnya oleh ulama yang bukan ahli hadits, maka berita tersebut oleh ulama hadits dinyatakan sebagai hadits palsu, atau maudhu. Seperti yang dikemukakan oleh ‘Abdullah bin al-Mubȃrak ( wafat 181 H./797 M ) menyatakan :
ﻦ ﺷَﺎ َء ﻣَﺎ ﺷَﺎ َء ْ ل َﻣ َ ﺳﻨَﺎ ُد َﻟﻘَﺎ ْ ﻦ َوَﻟ ْﻮﻟَﺎ ا ْﻟ ِﺈ ِ ﻦ اﻟﺪﱢﻳ ْ ﺳﻨَﺎ ُد ِﻣ ْ ا ْﻟِﺈ “Sanad merupakan bagian dari agama .dan sekiranya sanad itu tidak ada, niscaya siapa saja dapat menyatakan apa saja yang dikehendaki.”12 Penelitian dari segi sanad sangat diperlukan sekali, karena untuk mengetahui kualits rȃwi-rȃwi dalam menyampaikan hadits tersebut, serta 12
Abȗ Husayn Muslim bin al –Hajjaj al-Qusyayri dalam Jami al-Shahih, di kenal juga dengan sebutan Shahih Muslim, (Semarang: Usaha keluarga, tt) Juz I, hal. 9
11
untuk mengetahui apakah rȃwi-rȃwi tersebut diterima periwayata atau tidak, sedangkan penelitian matn dilakukan setelah meneliti sanad. Para ulama menyatakan bahwa penelitian sanad dan matn tersebut sangatlah berguna untuk mengetahui kriteria kemaqbulan suatu hadits. Suatu hadits dapat diterima apabila hadits tersebut berderajat shahih, yang mana hadits dikatakan shahih apabila hadits tersebut:
ﺷﺎ ٍذ َ ﻻ َ ﻞ َو ٍ ﻏ ْﻴ َﺮ ُﻣ َﻌَّﻠ َ ﺴ َﻨ ِﺪ ﻞ اﻟ ﱠ ُﺼ ِ ﻂ ُﻣ َﺘ ُ ﻀ ِﺒ َّ ل َﺗﺎ ﱡم اﻟ ٌ ﻋ ْﺪ َ َﻣﺎ َﻧ ْﻘُﻠ ُﻪ “Hadits yang dinukil atau diriwayatka oleh rȃwi-rwi yang adil, sempurna ingatanya, sanadnya bersambung-sambug, tidak berillat, dan tidak Janggal.13 Menurut Muhaditsin, suatu hadits dikatakan shahih, apabila memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Rȃwinya bersifat adil 2. Rȃwinya bersifat dhobith. 3. Sanad-nya bersambung. 4. Tidak beril-‘illat 5. Tidak syadz (Janggal) Sedangkan yang disebut matn adalah dalam ilmu hadits adalah
(ﺴ َﻨ ُﺪ ﻏﺎ َﻳ ِﺔ اﻟ ﱠ َ ) ﺴ َﻨ ُﺪ َﻣﺎ ِا ْﻧ َﺘ َﻬﻰ ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ اﻟ ﱠ “Sesuatu yang kepadanya berakhir sanad (perkataan yang disebut sesuatu berakhir sanad)”14 13
Endang Soetari, Ilmu Hadits Dirayah dan Riwayah. (Bandung: Mimbar Pustaka, 2005) hal. 138
12
Terkait dengan matn atau redaksi, yang perlu dicermati dalam memahami hadits adalah: •
Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi atau bukan
•
Matn hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya Matn hadits ada dua aspek, yaitu redaksi dan makna, redaksi dan makna
qauli berasal dari Nabi, kecuali hadits qauli yang diriwayatkan secara makna. sedangkan redaksi dan makna fi’li berasal dari sahabat karena ia merupakan laporan yang bersifat deskriptif. Sedangkan hadits taqriri itu tidak terlepas dari kedua jenis tersebut, Yakni berupa ucapan atau tindakan Rasulullah saw.15 Dalam mengkaji matn hadits harus dilihat dari beberapa segi a) Mengkaji dari segi pembicara, sehingga matn hadits disesuaikan dengan jumlah sumbernya, yaitu hadits qudsi, hadits marfu’, hadits mauqhuf dan maqthu. b) Mengkaji bahasa, segi sebab-sebab lahirnya hadits tersebut, nasikh mansukh, segi lafal yang sulit difahami serta dari segi kejelasan dan ketegasaan.
14
M.Hasbi ash-shidiqieqy, Pokok-pokok hadits diroyah, ( Jakarta: PT bulan Bintang, 1987) hal. 45 15 Mujio Nurkhalis, Metode Syarah Hadits, ( Bandung: Fasiqil Group, 2011) hal. 72-73
13
c) Mengkaji dan membandingkan-bandingkan dengan riwayat-riwayat yang lain bukan hanya berkaitan dengan matn saja akan tetapi dengan sanad juga. Sedangkan rȃwi (mukharij) kata rȃwi atau ar-rȃwi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits (Naqil Al-Hadits).. Sebenarnya antara sanad dan rȃwi memiliki istilah yang hampir sama, sanad hadits tiap thabaqah tingkatanya disebut juga rȃwi, begitu juga rȃwi pada tiap- tiap thabaqah-nya merupakan sanad bagi thabaqah berikutnya. Akan tetapi yang dapat membedakan antara kedua istilah tersebut berada dalam hal, yaitu: 1. Dalam hal pembukuan hadits. Orang yang menerima hadits-hadits, kemudian menghimpunya dalam suatu kitab tadwin, disebut dengan rȃwi.( maka rȃwi bisa disebut mudawwin). Adapun orang yang menerima hadits dan hanya menyampaikan kepada orang lain tanpa membukukan disebut sanad. 2. Dalam penyebutan silsilah hadits, untuk sanad, yang disebut sanad pertama adalah orang yang pertama menyampaikan hadits terebut kepada penerimanya, sedangkan rȃwi pertama, adalah para sahabat Rasul SAW. Dengan demikian rȃwi pertama, adalah sanad terakhir. dan sanad pertama, adalah rȃwi terakhir.16
16
Agus Sholahuddin dan Agus Suryadi, Op.Cit., hal. 99-100
14
Berdarkan uraian diatas, maka penulis mencoba untuk memperoleh tiga hal yang pokok, yaitu mengetahui kualitas sanad, matn hadits tentang suap menyuap, beserta pendapat para ulama tentang keharaman suap-menyuap. E. Tinjauan Pustaka Dalam penelitian ini penulis melakukan tinjauan pustaka mengenai judul-judul yang terkait sebagai bahan perbandingan atas masalah yang penulis angkat, namun dalam penelitian ini tidak terlalu banyak buku-buku yang membahas tentang suap, padahal saat ini sedang maraknya kegiatan suap menyuap tersebut. Ada satu buku yang mengangat permasalahan yang hampir sama, buku tersebut yang berjudul “Suap dalam pandangan Islam” yang di tulis oleh ‘Abdullah bin ‘Abd. Muhsin. cetakan pertama, Buku ini menampilkan bentuk-bentuk kegiatan suap menyuap, hal- hal yang dapat disamakan dengan suap seperti hadiah ,serta hukum orang yang melaukan suap menyuap, haramnya suap menyuap berdasarkan al- Qur’an, Hadits, Nash Sahabat dan Tabi’in, serta Ijma, metode penetapan hukum Suap serta Ta’zir bagi yang menyuap dan menerima Suap beserta pelantaranya. Adapun penelitian yang di lakukan penulis hanya memberi pejelasan tentang perbuatan-perbuatan risywah dengan meneliti semua hadits tentang risywah kemudian membahas semua aspek dari hadits-hadits tersebut, baik dari aspek sanad maupun aspek matn. Pada dasarnya penulis belum menemukan buku yang ilmiah yang menjadikan fokus kajiannya tentang
15
risywah. Jadi belum ada yang membahas kajian tentang risywah dari sudut pandang hadits- hadits Nabi SAW saja. F. Langkah-Langkah Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka ( library research ) atau disebut juga menganalisa teks hadits-hadits tentang suap menyuap. Adapun jika dilihat dari segi sumber datanya, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Yaitu penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya dan sebagaimana adanya dengan tidak dirubah kedalam bentuk simbol-simbol atau bilangan, objeknya dinyatakan dalam kalimat yang pengolahannya dilakukan melalui proses berpikir kritik analitik.17 Sumber data penelitian ini terbagi dua, yaitu: 1. Data yang bersifat primer adalah dari kitab Kutub Tis’ah (Shahih Bukhri, Shahih Muslim, Sunan Abȗ Dȃwud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Ibnu Mȃjah, Sunan an-Nasai’ Sunan Ad- Darimi, Musnad Ahmad Bin Hambal dan Muaththa’ Mȃlik. 2. Data yang bersifat skunder adalah literatur tentang Ulmul hadits, Literatur tentang Rijal hadits dan Jarh wa Ta’dil dan diambil dari konsep-konsep yang terdapat dalam al-Qur’an atau hadits dan kitab-kitab lainya serta buku-buku, Internet yang menunjang pemecahan masalah penelitian ini. 17
Hadhiri Nawawi, Penelitian Terapan (Gajah mada University: Yogyakarta: 19950 hal 174-175
16
Adapun langkah-langkah penelitiannya sebagai berikut: 1. Menentukan metode takhrij yang digunakan, Dalam penelitian ini metode takhrij yang digunakan metode takhrij bil-Alfadz dan bil Maudhu’18 2. Menelusuri sumber-sumber hadits yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji melalui kitab pembantu, yaitu: a) Kitab Mu’jam al-Mufahras li Al-Fadz al-Hadits b) Kitab Miftah Kunuz al-Sunnah. c) CD Kutubu Tis’ah, sebagai alat bantu pencarian hadits. 3. Melanjutkan kajian lewat anasisis sanad dan matn, Dengan menggunka teori-teori hadits yang telah mapan, seperti Ilmu Tarikh al-Ruwȃt19, Ilmu Jarh wa Ta’dil20 dan ilmu-ilmu lainya yang ada relevasinya dengan permasalahan. 4. Menentukan kesimpulan tentang keshahihan sanad dan matn hadits tersebut.
18
Metode-metode tersebut akan dijelaskan pada Bab II اﻟﻌﻠﻢ اﻟﺬي ﻳﻌﺮف ﺑﺮواةاﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﻦ اﻟﻨﺎ ﺣﻴﺔ اﻟﺘﻲ ﺗﺘﻌﻠﻖ ﺑﺮواﻳﺘﻬﻢ ﻟﻠﺤﺪﻳﺚ. “ Ilmu yang mengenal para rawi hadits dari aspek yang berkaitan dengan periwayatan mereka terhadap hadits tersebut (“Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadit , ter: Qodirun Nur Ahmad Musayafiq,( Jakarta: Gaya Media pratama, 1998) hal. 227 20 Al-jarh secara etimologis merupakan bentuk mashdar dari kata jahara-yajrahu, yang berarti melukai 19
17
BAB II TINJAUAN TEORITIS HADITS DAN TAKHRIJ HADITS A. Pengertian Hadits, Sunnah dan Atsȃr 1. Pengertian Hadits Secara etimologi kata hadits menurut Ibn Manzur berasal dari bahasa Arab, yaitu al- hadits, jamaknya al-ahadits, al haditsan, dan al- hudtsan.21 Yang memiliki banyak arti, diantaranya al- Jadid ( yang baru),22 lawan dari kata Qodim ( yang lama) , dan khabar ( yang berarti kabar atau berita), Sedangkan
menurut Hasbi ash-shiddieqy, Bahwa hadits menurut bahasa
adalalah Jadid, lawan dari Qodim ( yang baru), Qorib ( yang dekat), dan Khabar ( warta) .23 Secara Terminologi hadits adalah
ﺻ َﻔ ٍﺔ ِ ﻞ َأ ْو َﺗ ْﻘ ِﺮ ْﻳ ٍﺮ َأ ْو ٍ ل َأ ْو ِﻓ ْﻌ ٍ ﻦ َﻗ ْﻮ ْ ﺳﱠﻠ َﻢ ِﻣ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻَﻠّﻰ ا َ ﻲ ِ ﻒ ِإﻟَﻰ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ َ ﺿ ْﻴ ِ ﻣَﺎُأ “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat” 24 Maksud dari perkataan Nabi SAW adalah perkataan yang pernah beliau ucapakan dalam berbagai aspek, seperti dalam sapek aqidah, akhlak, hukum, pendidikan dan lain-lain.
21
Agus Sholehuddin dan Agus Suryadi,Op.Cit hal 13 Mahmud ath-Thahhan, Taisir Musthalah al- Hadits. (Beirut: Dar Al-Qur’an Al-Karim, 1985). hal. 15 23 Hasbi ash- Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits .Op Cit. hal 20 24 Mahmud ath-Thahhan, Taisir Musthalah al- Hadits, Op.Cit hal 15 22
18
Maksud dari perbuatan Nabi SAW adalah penjelasan peraktis terhadap peraturan-peraturan syari’at yang belum jelas cara pelaksannaanya. Seperti tata cara shalat sunnat diatas kendaraan yang dalam perjalanan kemudian dipraktekan oleh Nabi SAW didepan para sahabat. Maksud dari taqrir Nabi SAW keadaan beliau mendiamkan, tidak melakukan sanggahan atau menyetujui apa yang dilakukan atau dipraktekan sahabat dihadapan beliau, seperti ketika sahabat memakan daging biawak. Sedangkan yang dimaksud dengan sifat dan keadaan beliau yang termasuk unsur-unsur al-hadits yaitu: a) Sifat- sifat beliau yang belum dilakukan oleh sahabat dan ahli tarikh. Misalnya bentuk jasmani beliau. b) Silsilah-silsilah, nama-nama dan tahun kelahiran yang telah ditetapkan oleh para sahabat da ahli tarikh. c) Himmah (Hasrat) beliau yang belum sempat direalisasikan, Misalnya keinginan beliau untuk melakukan puaa pada tanggal 9 ‘Asyura.25 2. Komponen-Komponen dalam Hadits Secara stuktural, hadits memiliki tiga komponen utama, yaitu: sanad atau isnad (rantai penutur), matn (redaksi hadits) dan mukharij ( rȃwi). 1. Sanad 25
26
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushtalah al- Hadits, ( Bandung: Al- Ma’rif, 1974) hal. 25-
19
a. Pengertian sanad
ِ ﻦ ا ْﻟَﺄ ْر َ ﻣَﺎ ا ْر َﺗ َﻔ َﻊ ِﻣ, yaitu bagian bumi Sanad dari segi bahasa berarti ض yang menonjol, Bentuk jamaknya adalah ﺳﻨَﺎ ْد ْ ِأ, Segala sesuatu yang anda sandarkan kepada yang lain disebut ﺴ َﻨ ْﺪ ْ ُﻣ26, Sedangkan Menurut Mahmud Thahhan mendefinisikan sanad menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat dipegangi (al-mu’tamad).27 Dinamakan demikian, karena matn hadits disandarkan kepada sanad itu dan seseorang berpegang kepadanya.28 Sedngkan sanad menurut Istilah adalah
ل ِ ﻷ ﱠو َ ﺼ ِﺪ ِر ِﻩ ْا َ ﻦ َﻣ ْﻋ َ ﻦ َ ﻦ َﻧ َﻘُﻠﻮْاا ْﻟ َﻤ ْﺘ َ ﺴَﻠ ُﺔ اﻟ ﱡﺮوَا ِة َاﱠﻟ ِﺬ ْﻳ ِ ﺳ ْﻠ ِ ﻦ َأ ْو ِ ﻖ اْﻟ َﻤ َﺘ ُ ﻃ ِﺮ ْﻳ َ “Jalan matn hadits, yaitu silsilah para rȃwi yang menukilkan matn hadits dari sumbernya yang pertama (Rasul SAW),29 Dengan demikian, sanad adalah rantai penutur atau perȃwi (periwayat hadits).Sanad terdiri atas penutur, mulai orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga Rasulullah. Sanad memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Selain istilah sanad, terdapat juga istilah lainya yang mempunyai kaitan erat dengan istilah sanad, seperti, al-isnad, al-musnad, dan al-musnid. Istilah
26
Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib. Ushul al-hadits, pokok-pokok Ilmu Hadits, terjemah Nur Muhammad Mustaq,( Jakarta: Gema Media pratama, 2007) hal. 13 27 Penukilan ahli masyriq dan magrib baik secara jamaah atau perorangan yang tsiqat, bahakan pada tingkatan tertentu hanya seorang dan kadang-kadang bukan orang yang tsiqat. 28 Mahmud Ath-Tahhan, Taisir musthalah al-Hadits, Op.Cit., hal. 16 29 M.’Ajaj Al-Khatib.Op.Cit., hal. 32
20
al-isnad, berarti menyandarkan, menegaskan (mengembalikan keasal) dan mengangkat ,yang dimkasud disini adalah
ﺚ ِإﻟَﻰ ﻗَﺎ ِﺋِﻠ ِﻪ ِ ﺤ ِﺪ ْﻳ َ َر ْﻓ ُﻊ ا ْﻟ “Menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakanya”30 Menurut Ath-Thibi, seperti seperti yang dikutip oleh al-Qasimi, kata isnad dengan as-sanad mempunyai arti yang hampir sama atau berdekatan. Menurut Ibnu Jama’ah, ulama muhadditsin memandang kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama, keduanya dapat dipakai secara bergantian. Sedangkan istilah al-isnad, mempunyai beberapa, yaitu pertama, berarti hadits yang diriwayatkan atau disandarkan atau di-isnad-kan kepada seseorang yang membawakanya; kedua, berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadits-hadits dengan sistem penyusunan berdasarkan nama-nama para sahabat rȃwi hadits; ketiga, berarti nama bagi hadits yang memenuhi kriteria marfu’, (yang disandarkan kepada Nabi SAW). dan muttasil (sanadnya bersambung kepada akhirnya)31 b. Tinggi rendahnya Rangkaian sanad (Silsilah Adz- Dzahab) •
Ashahhu Al-Asanid (sanad-sanad yang paling shahih)
30 31
Ibid, hal. 13 Mahmud Ath-Thahhan” Taisir musthalah al-Hadits, Op.Cit. hal. 16
21
Penilaian ashahhu Al-Asanid ini hendaklah secara muqayyad, artinya dikhususkan kepada sahabat tertentu, misalanya ashahhu al-asanid dari Abȗ Hurairah r.a. atau penduduk kota tertentu. •
Ahsanu Al-Asanid
Hadits yang bersanad ahsanu Al-Asanid lebih rendah derajatnya daripada yang bersanad Ashahhu Al-Asanid. Ahsanu al-asanaid itu bila hadits tersebut bersanad: a. Bahaz bin Hakim dari ayahnya (Hakim bin Muawiyah) dari kakeknya (Mu’wiyah bin Haidah). b. ‘Amru bin Syu’aib dari ayahnya (Syueb bin Muhammad ) dari kakeknya ( Muhamad bin ‘Abdillah bin ‘Amr bin ‘Ash). •
Adh’afu Al- Asanid
Rangkaian sanad yang paling rendah derajatnya, Rangkaian sanad yang adh’afu al- asanid, yaitu: a. Yang muqayyad kepada sahabat b. Yang muqayyad kepada penduduk Kota Yaman, ialah yang diriwayatkan oleh Hafsh bin ‘Umar dari AlHakam bin ‘Abad dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas r.a.32 c. Jenis-Jenis Sanad Hadits. •
Sanad ‘Aliy
32
Fatchur Rahman, Op.Cit., hal. 43-46
22
Adalah sebuah sanad yang jumlah rȃwi-nya lebih sedikit jika dibandingkan dengan sanad lain. Hadits dengan sanad yang jumlahnya sedikit akan tertolak dengan sanad yang sama jika jumlah rȃwi-nya lebih banyak. Sanad ‘Aliy ini terbagi dua: a. Sanad Aliy Mutlak adalah sebuah sanad yang jumlah rȃwinya hingga sampai kepada Rasul lebih sedikit jika dibandingkan dengan sanad lain. b. Sanad ‘Aliy yang bersifat nisbi adalah sebuah sanad yang jumlah rȃwi didalamya lebih sedikit jika dibandingkan dengan para imam ahli hadits, seperti Syu’bah dll. •
Sanad Nazil
Sanad Nazil adalah sebuah sanad jumlah rȃwinya lebih banyak jika dibandingkan dengan sanad yang lain. Hadits yang sanad-nya lebih banyak akan tertolak dengan sanad yang sama jika jumlah rȃwi-nya lebih sedikit.33 2. Matn Secara etimologi, matn
berarti segala sesuatu yang keras bagian
atasnya.34 Punggung jalan (muka jalan), tanah keras yang tinggi. matn kitab adalah yang bersifat komentar dan bukan tambahan-tambahan penjelasanya35 bentuk jamaknya mutȗn dan mitan.36
33
Agus Sholehuddin dan Agus Suryadi, Op.Cit., hal. 96-97 Ibid, hal. 97 35 Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan pengantar Ilmu hadits. Op.Cit., hal. 192 36 M. ‘Ajaj Al-Khatib, Op.Cit.,Ushul al-Hadits, hal. 12 34
23
Adapun matn menurut Ilmu hadits adalah
ﺳﻨَﺎ ُد َﻟ ُﻪ ْ ي ُذ ِآ َﺮ ا ْﻟ ِﺈ ْ ﺚ اﱠﻟ ِﺬ ِ ﺤ ِﺪ ْﻳ َ ﺲ ا ْﻟ ُ ﻼ ِم َﻓ ُﻬ َﻮ َﻧ ْﻔ َ ﻦ ا ْﻟ َﻜ ْ ﻣَﺎ ِا ْﻧ َﺘﻬَﻰ ِأَﻟ ْﻴ ِﻪ اﻟﺴﱠ َﻨ ُﺪ ِﻣ “Perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW, yang disebut sesudah hadist disebutkan sanadnya.37 Terkait dengan matn atau redaksi, yang perlu dicermati dalam memahami hadits adalah: •
Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan.
•
Matn hadits itu sendiri dalam hubunganya dengan hadits lain yang lebih kuat sanad-nya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam al- Qur’an (apakah ada yang bertolak belakang).
3. Rȃwi Rȃwi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seorang gurunya. bentuk jama’nya adalah ruwah dan perbuatan penyampaian hadits tersebut dinamakan me-rȃwy (riwayat) kan hadits.38 Sebenarnya antara sanad dan rȃwi itu merupakan dua istilah yang hampir sama, sanad-sanad hadits pada tiap thabaqah atau tingkatan juga disebut
rȃwi, jika yang dimksud
rȃwi adalah yang meriwayatkan dan
37 38
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan pengantar Ilmu hadits. Op.Cit., hal. 192 Fatchur Rahman. Op.Cit., hal. 14
24
memindahkan hadits. Begitu juga, setiap
rȃwi pada tiap-tiap thabaq-nya
merupakan sanad pada thabaqah berikutnya. Aka tetapi yang membedakan kedua istilah tersebut adalah dengan melihat dua jalur, Pertama, dalam hal pembukuan hadits. Orang yang menerima hadits-hadits kemudian menghimpun dalam suatu kitab tadwin, maka disebut dengan rȃwi, maka rȃwi biasa disebut mudawwin (orang yang membukukan dan menghimpun hadits, Sedangkan sanad adalah orang yang menerima hadits dan menyampaikan hadits tanpa membukukan hadits. Kedua, dalam penyebutan silsila hadits, untuk sanad, yang disebut sanad adalah orang yang langsung menyampaikan hadits tersebut kepada penerimanya, sedangkan para rȃwi, yang disebut rȃwi pertama adalah para sahabat Rasul, Dengan demikian, penyebutan silsilah antara keduanya istilah ini merupakan sebaliknya. artinya, rȃwi pertama adalah sanad terakhir, dan sanad pertama adalah rȃwi terakhir.39 B. Hadits Ditinjau dari Segi Kuantitas Rȃwi, Kualitas Rȃwi dan Sandaranya 1. Hadits ditinjau dari Segi Kuantitas Rȃwi Hadits jika ditinjau dari segi kuantitas atau sedikit banyaknya jumlah rȃwi yang menjadi sumber berita hingga sampai kepada kita terbagi kedalam dua bagian. Yaitu : Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad. I.
Hadits Mutawatir
39
Utang Ranuwijaya. Op.Cit., hal. 95-97
25
Mutawatir menurut bahasa adalah, isim fail Musytaq dari At-tawatur artinya At-tatabu’ (berturut-turut).40 ”mutalabi” yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dan yang lainnya.41 Sedangkan hadits mutawatir menurut Istilah ulama hadits adalah
ﻃ ِﺌ ِﻬ ْﻢ ُ ﻋ ِﻬ ْﻢ َو َﺗﻮَا ِ ﺟ ِﺘﻤَﺎ ْ ﺐ ﻓِﻰ اﻟﻌَﺎ َد ِة ِاﺣَﺎ َﻟ ًﺔ ِإ ُ ﺠ ِ ﺣ ﱞﻢ ُﻳ َ ﻋﺪَا ٌد َ س َر َوا ُﻩ ٍ ﺤﺴُﻮ ْ ن َﻣ ْ ﺧ َﺒ ٌﺮ َا َ ُه َﻮ ب ِ ﻋﻠَﻰ اْﻟ َﻜ ِﺬ َ “Suatu hadits hasil tanggap panca indra, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rȃwi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat berdusta”42 Sejumlah rȃwi artinya jumlah rawi itu tidak dibatasi dengan jumlah yang secara rasional tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta , demikian juga mustahil mereka berdusta atau lupa secara serentak..43 Suatu hadits biasa dikatakan sebagai hadits mutawatir apabila memiliki syarat-syarat sebagai berikut: a) Hadits yang diberitakan oleh rȃwi-rȃwi tersebut harus berdasarkan tanggapan pancaindra. Yakni berita yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran ataupun penglihatan mereka sendiri.
40
Ibid, hal. 19 Asep Herdi, Ilmu Hadits, (Bandung: Cv Insani Mandiri, 2010) hal. 63 42 Endang Soetari, Op.Cit. hal.91 43 Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul Hadits, (Bandung: CV Pustaka Setia. 2000) hal. 87 41
26
b) Jumlah perȃwi-perȃwinya harus mencapai suatu jumlah yang banyak sehingga mereka mustahil sepakat melakukan dusta.44 Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah perȃwi sehingga tidak melakukan dusta.45 c). Terdapat keseimbangan jumlah para rȃwi dari thabaqah pertama sampai thabaqah terakhir.46 Para ulama membagi hadits mutawatir
menjadi tiga bagian, yaitu
mutawatir lafdzi47, mutawatir ma’nawi48 dan mutawatir amali49 . II.
Hadits Ahad
Hadits ahad menurut bahasa mempunyai arti satu, khabar ahad adalah apa yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan hadits ahad menurut istilah adalah hadits yang tidak berkumpul syarat-syarat mutawatir.50 Hadits ahad , 44
Fatchur Rahman, Op.Cit, hal. 60-61. Pertama: Abu Thoyib menentukkaan minimal 4 orang. Hal ini diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim. Kedua: Ashabus Syafi’I menentukan minimal 5 orang, Hal ini diqiyaskan dengan jumlah Nabi yang bergelar Ulul’ Azmi. ketiga :Sebagian ulama menentuka minimal 20 orang yang berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang mu’min yang tahan uji yang dapat mengalahkan orang kafir sebanyak 200 orang (QS. Al-Anfal:65) Asep Herdi. Op.Cit. hal. 64 46 Ibid, hal. 61 47 adalah hadits dengan lafadznya diriwayatkan oleh sejumlah perȃwi, dari sejumlah perȃwi yang tidak dimungkinkan mereka sepakat untuk berdusta dari awal sampai akhir sanad M.Ajaj Al-Kahatib Ushulul Hadits pokok-pokok Ilmu hadits,Op.Cit., hal. 272-273 48 adalah hadits yang lafadz dan ma’nanya berlainan antara satu riwayat dan riwayat yang lainya. Aka tetapi terdapat kesesuaian makna secara umum (kulli), Sebagaiman dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits. 45
ﻲ ﻋ ِﻪ ِﻟ َﻤ ْﻌﻨَﻰ ُآِّﻠ ﱟ ِ ﺟ ْﻮ ُ ﻈ ِﻪ َو َﻣ ْﻌﻨَﺎ ُﻩ َﻣ َﻊ ُر ِ ﺧ َﺘَﻠ ُﻔﻮْا ﻓِﻰ َﻟ ْﻔ ْ ﻣَﺎا “Hadits yang berlainan bunyi dan maknaya , tetapi dapat diambil makna umum” 49 adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir dikalangan umat islam bahwa Nabi SAW, mengerjakanya atau menyuruhnya atau selain dari itu . Agus Sholehudin dan Agus Suryrdi, Op.Cit., hal. 132 50 Ath-Thahhan Taisir Musthalah al-Hadits, Op.Cit., hal. 22
27
dilihat dari jumlah rȃwi-nya dalam thabaqoh pertama, kedua, atau ketiga dan seterunya, mungkin terdiri dari tiga orang atau lebih, dua orang atau seorang , maka para ulama Muhadditsin membagi menjadi tiga bagian untuk namanama hadits ahad, mengingat banyak sedikitnya rȃwi-rȃwi yang berada pada tiap-tiap thobaqah, dengan sebutan Hadits Masyhur, Hadits ‘Aziz dan Hadits Gharib. 1. Hadits Masyhur Menurut bahasa , masyhur adalah muntasyir, yaitu sesuatu yang sudah tersebar, atau tersiar.51 Sedangkan masyhur menurut istilah, adalah
ﺣ ﱠﺪ اﻟ ﱠﺘﻮَا ِﺗ ُﺮ َ ﻣَﺎ َﻟ ْﻢ َﻳ ْﺒُﻠ ْﻎ-ﻃ َﺒ َﻘ ٍﺔ َ ﻞ ﻲ َآ ﱢ ْ ﻼَﻟ َﺜ ٌﺔ َﻓَﺄ ْآ َﺜ َﺮ – ِﻓ َ ﻣَﺎ َروَاﻩ ُ َﺛ “Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih-pada setiap thabaqah- tidak mencapai derajat mutawatir”52 Istilah masyhur yang diterapkan pada suatu hadits kadang-kadang bukan memberikan sifat menurut ketetapan diatas, yakni banyaknya rȃwi yang meriwayatkan suatu hadits, tetapi diterapan juga untuk memberikan sifat suatu hadits yang mempunyai ketenaran dikalangan para ahli ilmu tertentu atau kalangan masyarakat ramai, maka hadits masyhur terbagi kepada tiga bagian. 1) Masyhur dikalangan para muhaditsin dan lainya (golongan ulama ahli ilmu dan orang umum) 2) Masyhur dikalangan ahli-ahli tertentu, misalnya masyhur dikalangan ahli hadits saja, ahli fiqh, ahli tasawuf dan sebagainya. 51 52
Nurudin Itr, Ulum Al- Hadits, (Bandung,: Rosada grup, 1994) Juz 2, hal. 201 Mahmud Ath-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadits, Op.Cit., hal. 23
28
3) Masyhur dikalangan masyarakat umum 2. Hadits ‘Aziz Hadits ‘Aziz menurut bahasa adalah Asy-Safief ( yang mulia), An-Nadir (yang sedikit wujudnya), Ash-Shab’bul ladzi yakadu la yuqwa’ alaih ( yang sukar diperoleh) dan AL-Qowiyu (yang kuat).53 Sedangkan menurut Istilah, hadits ‘aziz adalah
ﻋ ٌﺔ َ ﺟﻤَﺎ َ ﻚ َ ﺣ َﺪ ٍة ُﺛﻢﱠ َروَا ُﻩ َﺑ ْﻌ َﺪ َذِﻟ ِ ﻃ َﺒ َﻘ ٍﺔ وَا َ ﻰ ْ ن ِﻓ َ ﻣَﺎ َروَا ُﻩ ِا ْﺛﻨَﺎ َوَﻟ ْﻮ آَﺎ “Hadits ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rȃwi, kendati dua rȃwi itu masih dalam satu tingkatan saja dan setelah diriwayatkan oleh banyak rȃwi.”54 3. Hadits Gharib Gharib menurut bahasa adalah ba’idun’anil wathani ( yang jauh dari tanah) dan kalimat yang sukar difahami.55 asing, terasing atau menyendiri.56 Sedangkan menurut istilah gharib adalah
ﺣ ٌﺪ ِ ُه َﻮ ﻣَﺎ َﻳ ْﻨ َﻔ ِﺮ ُد ِﺑ ِﺮوَا َﻳ ِﺘ ِﻪ رَا ٍو وَا “Hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rȃwi”57
Hadits gharib terbagi kedalam dua bagian yaitu Pertama Gharib mutlaq yaitu hadits yang perȃwinya menyendiri dalam meriwayatkan hadits tersebut Penyendirian rȃwi hadits gharib muthlak itu berpangkal pada tempat ahlu 53
Hasbi Ash-Shidieqy. Pokok-pokok Ilmu Hadits Dirayah,Op.Cit., hal. 75 Fatchur Rahman Op.Cit. hal. 74 55 Hasbi Ah-Shidieqy Pokok-pokok Ilmu Hadits Dirayah, Op.Cit., hal.78 56 Asep Herdi, Ilmu Hadits,Op.Cit hal. 70 57 Ath-Thahhan ,Taisir al-Mushalah al-Hadits, Op.Cit., hal. 28 54
29
sanad, yakni tabi’in bukan sahabat.58 Kedua Gharib nisby adalah apabila penyendirian itu
mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rȃwi.
Penyendirian rȃwi mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rȃwi, mempunyai beberapa kemungkinan antara lain: ¾ Sifat keadilan dan ke-dhobit-an rȃwi ¾ Kota atau tempat tinggal tertentu ¾ Meriwayatkannya dari seorang tertentu Jika gharib-nya ditinjau dari letaknya baik di-sanad ataupun di-matn, maka hadits gharib terbagi menjadi tiga bagian. ¾ Gharib pada sanad dan matn ¾ Gharib pada sanad-nya saja ¾ Gharib pada sebagaian matn-nya59 Untuk menetapkan bahwa suatu hadits dipandang sebagai hadits gharib, maka hendaklah memeriksa terlebih dahulu dalam kitab-kitab hadits, seperti kitab Jami’ dan kitab musnad, apakah hadits tersebut mempunya sanad lain yang menjadi mutabi’ atau matn lain yang menjdi syahid. Maka, cara untuk memerikasa hadits yang diperkirakan ke-gharib-an dengan maksud apakah hadits terbut mempunyai mutabi’ atau syahid dinamakan i’tibar. Hadits mutabi’ menurut istilah adalah
ﺨ ِﻪ ِ ﺷ ْﻴ َ ﺦ ِ ﺷ ْﻴ َ ﺨ ِﻪ َأ ْو ِ ﺷ ْﻴ َ ﻦ ْﻋ َ ﻏ ْﻴ ِﺮ ِﻩ َ ي َﻗ ْﺪ ﺗَﺎ َﺑ َﻊ ِروَا َﻳ َﺔ ْ ﺚ َاَّﻟ ِﺬ ُ ﺤ ِﺪ ْﻳ َ ُه َﻮ ا ْﻟ 58 59
Fatchur Rahman. Op.Cit, hal. 77 Agus Suryadi dan Agus Suryadi, Op.Cit. hal. 139
30
“Hadits yang mengikuti periwayatan rȃwi lain dari gurunya (yang terdekat )atau gurunya-guru( yang terdekat itu).60 Jadi orang yang mengikuti periwayatan seorang guru atau gurunya dari perȃwi yang lain maka disebut mutabi’ .Orang yang diikuti disebut mutaba’ dan perbuatannya mengikuti tersebut disebut mutaba’ah. Sedangkan hadits yang mengikuti periwayatan hadits disebut hadits mutabi’. Sedangkan yang dimaksud dengan syahid adalah,
ﺧ َﺮ ِﺑ َﻤ ْﻌﻨَﺎ ُﻩ َ ﺣ ِﺪ ْﻳﺜًﺎ َا َ ي َ ن َﻳ ْﺮ ِو ْ َأ “Meriwayatkan sebuah hadits lain sesuai dengan maknannya” Hadits syahid adalah hadits yang bersumber dari sahabat yang berlainan, hadits syahid ada dua macam, yaitu: a. Syahid bil-Lafzhi, yaitu bila matn hadits yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain sesuai redaksi dan maknanya dengan haits fard-nya. b. Syahid bil ma’na, yaitu bia matn hadits yang diriwayatkan oleh sahabat lain itu. hanya sesuai dengan maknannya.61 2. Hadits ditinjau dari Segi kualitas Rȃwi Hadits ahad jika ditinjau dari segi kualitas rȃwi yang meriwayatkan hadits terbagi kepada tiga bagian, yaitu: Hadits Shahîh, Hadits Hasan dan Hadits Dha’if.62 60
Fatchur Rahman, Op.Cit., hal. 86 Agus Sholehudin dan Agus Suryadi, Op.Ct.,. hal. 104 62 Fatchur Rahman.Op.Cit. hal. 95 61
31
A. Hadits Shahîh a. Pengertian Hadits Shahîh Menurut bahasa shahîh adalah lawan dari saqiem: yang sehat, lawan yang sakit, dan mermakna haq, lawan bathil.63 Sedangkan hadits shahîh menurut ulama hadits adalah hadits yang sanadnya bersambung, dikutip olah orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama sampai akhir pada Rasulullah SAW atau kepada Shahabat atau kepada Tabi’in, bukan hadits yang syadz (kontrovrsial) dan terkena ‘illat yang menyebabkan cacat dalam penerimaanya.64 Definisi hadits shahîḫ menurut Ibnu Shalah adalah:
ل ِ ﻦ ا ْﻟ َﻌ ْﺪ ْﻋ َ ﻂ ِ ل ا ْﻟﻀﱠﺎ ِﺑ ِ ﻞ ا ْﻟ َﻌ ْﺪ ِ ﺳﻨَﺎ ُد ُﻩ ِﺑ َﻨ ْﻘ ْ ﻞ ِإ ُﺼ ِ ّي َﻳ َﺘ ْ ﺴ َﻨ ٌﺪ َاﱠﻟ ِﺬ ْ ﺤﻴْﺢ ٌه َﻮ َا ْﻟ ُﻤ ِﺼ َّ ﺚ اﻟ ٌ ﺤ ِﺪ ْﻳ َ َا ْﻟ ﻻ ُﻣ َﻌَّﻠﻠًﺎ َ ﻻ ﺷَﺎذًا َو َ ﻰ ُﻣ ْﻨ َﺘﻬَﺎ ُﻩ َو َ ﻂ إِﻟ ِ ﻀّﺎ ِﺑ َ اﻟ “Hadits shahîh adalah musnad yang sanadnya muttasil melalui periwayatan orang yang adil lagi dhobit dari orang yang adil lagi dhabit (pula) sampai ujungnya, tidak Syȃdz dan tidak mu’allal (terkena illat). 65 b. Syarat-syarat Hadits Shahîh Menurut para Muhadditsin , suatu hadits dapat dikatakan atau dinilai sebagai hadits shahîh apabila memiliki syarat-syarat sebagai berikut. 1. Sanad-nya bersambung 63
Hasbi Ash- Siddieqy, Pokok-pokok ilmu Hadits Dirayah, Op.Cit., hal. 109 Subhi Ash-Salih, Membahas Ilmu-ilmu Hadits, (Jakart: Pustaka Firdaus, 2007) hal. 141 65 Abi ‘Amr Utsman bin Abdurrahman, Muqodimah Ibnu Shalah, (Darl Ibnu Khaldun) hal. 15 64
32
2. periwayat bersifat adil 3. Periwayat bersifat dhabit 4. Tidak janggal (syȃdz) 5. Tidak cacat (ber ‘illat) Pendapat Ibnu shalah menyatakan bahwa syarat hadits shahîḫ tersebut telah disepakati oleh para ulama muhadditsin, hanya saja. Walaupun para ulama tersebut berselisih tentang keshahîḫan suatu hadits. Bukanlah karena syarat-syarat tersebut. Melainkan karena adanya perselisihan antara masyarakat sebagian sifat-sifat tersebut. Seperti Abi Zinad yang mensyaratkan Hadits shahîḫ itu hendaklah rȃwinya mempunyai ketenaran dan keahlian dalam berusaha dan menyampaikan hadits. Syuhudi Ismail mengemukakan pendapat dari Imam al-Syafi’iy yang menyatakan tentang riwayat hadits yang dapat dijadiakan hujjah, menurut beliau adalah khabar ahad tidak bias dijadikan hujjah kecuali memiliki syaratsyarat sebagi berikut: 1. Diriwayatkan oleh para perȃwi yang: ¾ Dapat dipercaya amalan agamanya ¾ Dikenal sebagai orang yang jujur dalam menyampaikan berita ¾ Memahami dengan baik hadits yang diriwayatkan ¾ Mengetahui perubahan makna hadits bila terjadi perubahan lafalnya
33
¾ Mampu menyampaikan riwayat hadits secara lafal, tegasnya tidak meriwayatkan hadits secara ma’na ¾ Terpelihara hafalanya, bila meriwayatkan secara hafalan, dan terpelihara catatanya, bila ia meriwayatkan melalui kitabnya. ¾ Apabila hadits yang diriwayatkanya diriwayatkan juga oleh orang lain, maka bunyi hadits itu tidak berbeda ¾ Terlepas dari perbuatan penyembunyian cacat (tadlis). 2. Rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi, atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi SAW. Kriteria yang dikemukan oleh Imam Syafi’I tersebut sangatlah menekankan kepada sanad dan cara periwayatan hadits . Kriteri sanad hadits yang dapat dijadikan hujjah tidak hanya berkaitan dengan kualitas dan kapasitas pribadi perȃwi saja, melainkan juga berkaitan dengan persambungan sanad. Cara periwayatan hadits yang ditekankan oleh al-Syafi’i adalah cara periwayatan secara lafal. Menurut Muhammad Syakir, kriteria yang dikemukakan oleh al-syafi’Ii diatas telah mencakup seluruh aspek yang berkenaan dengan keshahîhan hadits. Kata Syakir, al-Syafi’I-lah ulama yang mula-mula menerangkan secara jelas kaidah keshahîhan hadits, hanya saja, al-syafi’i secara metodologis tidak menyinggung kemungkinan adanaya hadits yang pada lahirnya telah memenuhi kriteria yang telah dikemukakanya tetapi sesungguhnya hadits yang dimaksud
34
bila diteliti lebih jauh ternyata mengandung cacat (‘illat) atau kejanggalan (Syȃdz).66 1. Sanadnya bersambung Yang dimaksud sanad-nya bersambung adalah bahwaa setiap rȃwi hadits yan bersangkutan benar-benar menerimnnya dari rȃwi yang berada diatasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.67 Untuk mengetahuai bersambung tidaknya suatu sanad, maka biasanya para ulama hadits menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut: ¾ Mencatat semua nama-nama rȃwi dalam sanad yang akan diteliti ¾ Mempelajari sejarah hidup masing-masing rȃwi ¾ Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara rȃwi satu dengan rȃwi yang paling terdekat dengan sanad. Jadi suatu sanad hadits dapat dinyatakan bersambung apabila: ¾ Seluruh rȃwi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabith) ¾ Antara masing-masing dengan rȃwi terdekat sebelumnya dengan sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut
66
Syuhudi Ismail, Kaidah keshahihan Sanad, ( Jakarta: PT Bulan bintang,2005) cet 3 hal. 124-126 67 Nurudin Itr, Ulumu Al-Hadits, (Bandung: Rosada Grup, 1999) Juz 2, hal. 2
35
ketentuan tahammul wa ada’ al-hadits (penerimaan dan periwayatan hadits)68 Macam-macam cara penerimaan riwayat. 1. Sama’min lafdzi’s-Syaikhi yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunyabaik didiktekan maupun bukan baik dari hafalannya ataupun bukan. Lafadz yang digunakan: ﺳﻤﻌﻨﺎأﺧﺒﺮﻧﻰ, ﺳﻤﻌﺖ,, أﺧﺒﺮﻧﺎ, ﺣﺪﺛﻨﻰ, ﺣﺪﺛﻨﺎ 2. Al-Qira’ah ‘ala’s-Syaikhi yaitu sipembaca membambacakan hadits dihadapan gurunya, lafadz yang digunakan: , ﻗﺮئ ﻋﻠﻰ ﻓﻼن,ﻗﺮأت ﻋﻠﻴﻪ
ﻗﺮاءة ﻋﻠﻴﻪ, ﺣﺪﺛﻨﺎ أو أﺧﺒﺮﻧﺎ,وأﻧﺎ اﺳﻤﻊ 3. Ijazah yaitu pemberiah izin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits, misalnya dengan menggunakan:
أﺟﺰت ﻟﻚ رواﻳﺔ اﻟﻜﺘﺎب اﻟﻔﻼﻧﻰ ﻋﻨﻰ 4. Munawalah yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya untuk diriwayatkan. Dengan menggunakan lafadz:
ﻧﺎوﻟﻨﺎ, ﻧﺎوﻟﻨﻰ, أﻧﺒﺄﻧﻰ,أﻧﺒﺄﻧﺎ 5. Mukatabah, yakni seorang guru yang menuliskan sendiri aau menyuruh orang lain menulis beberapa haditskepada orang ditempat lain atau yang ada dihadapannya, dengan mengunakan lafadz:
آﺘﺐ اﻟﻰ ﻓﻼن, أﺧﺒﺮﻧﻰ ﻓﻼن آﺘﺎﺑﺔ,ﺣﺪﺛﻨﻰ ﻓﻼن آﺘﺎﺑﺔ 6. Wijadah, Yakni memperoleh tulisan hadits orag lain yang tidak meriwayatkanya , baik dengan lafadz sama, qira’ah maupun selainya dari pemilik hadits atau pemilik tulisan tersebut, lafadz yang digunakan: 68
Syuhudi Ismail, Op.Cit., hal. 132-133
36
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻓﻼن, و ﺟﺪت ﺑﺨﻂ ﻓﻼن,ﻗﺮأت ﺑﺨﻂ ﻓﻼن 7. Washiyah, Yakni
pesan seseorang dikala akan mati atau bepergian ,
dengan sebuah kitab supaya diriwayatkan, lafadz yag digunakan:
او ﺻﻰ اﻟﻰ ﻓﻼن ﺑﻜﺘﺎب و ﻗﺎل ﻓﻴﻪ ﺣﺪﺛﻨﺎ اﻟﻰ أﺧﺮﻩ 8. I’lam, Yakni pemberian guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkan adalah riwayat sendiri yang diterima dari seorang guru dengan tidak mengatakan bahwa seorang murid meriwayakanya, lafadznya
اﻟﺦ......أﻋﻠﻤﻨﻰ ﻓﻼن ﻗﺎل ﺣﺪﺛﻨﺎ Sedangkan cara-cara penyampaian riwayat hadits yaitu: 1. Lafadz meriwayatkan hadits bagi para rawi yang mendengar langsung dari gurunya, lafadz yang digunakan:
a. ﺳﻤﻌﺖ, ﺳﻤﻌﻨﺎ b. ﺣﺪﺛﻦ, ﺣﺪﺛﻨﺎ c. أﺧﺒﺮﻧﻰ, أﺧﺒﺮ ﻧﺎ d. أﻧﺒﺄﻧﺎ, ﻧﺒﺄﻧﺎ e. ذآﺮ ﻧﺎ,ذآﺮﻧﻰ f. ﻗﺎل ﺣﺪﺛﻨﺎatau ﻗﺜﻨﺎdan ﻗﺎل ﺣﺪﺛﻨﻰatau ﻗﺜﻨﻰ Lafadz riwayat bagi rawi yang mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar sendiri, falafz yang digunaka: ........... أن, ﻋﻦ, ﺣﻜﻰ, روى
37
Jadi hadits yang tidak muttasil sanad-nya seperti hadits munqathi’, mu’dhal, mu’allaq, mudallas dan jenis-jenis lainya yang tidak memenuhi kriteria muttasil.69 2. Priwayatannya bersifat adil Istilah adil (al-‘adl) memiliki lebih dari satu arti, baik dari segi bahasa ataupun istilah.70 Syuhudi Ismail mengemukakan pendapat beberapa ulama tentang kriteria (Syarat-syarat) periwayatan yang bersifat adil, diantaranya: •
Menurut Ibnu as-Shalah dan al- Nawawiy kriteria periwayatan yang adil itu adalah 1. Beragama Islam 2. Baligh 3. Berakal 4. Memelihara muru’at 5. Tidak berbuat Fasik
•
Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, kriteria periwayatan yang adil itu adalah 1. Taqwa
69
Ajaj Al-Khatib, Ushul Al- Hadits, Op.Cit, hal. 276 Menurut kamus bahasa Indonesia, kata adil diartikan dengan ( 1) Tidak berat sebelah (tidak memihak) (2)sepatutnya: Tidak sewenang-wenang. Kata adil berasal dari bahasa arab yaitu :al-adl, yang merupakan masdar dari kata dari kata kerja ‘adala. Menurut bahasa kata aladl memiliki banyak arti antara lain :keadilan(al-adalat atau al udulat); pertengahan (alI’tidal); lurus (al-istiqamah); condong kepada kebenaran (al- mayl ila al-haqq). Orang yang bersifat adil disebut al-‘adil, kata jama’nya: al-‘udul untuk .lebih lengkap, lihat kamus bahasa Arab-Indonesia karya KH. Adib Bisri dan KH Munawir A Fatah. 70
38
2. Memelihara muru’ah 3. Tidak berbuat dosa besar, misalnya syirik 4. Tidak berbuat bid’ah 5. Tidak berbuat Fasik.71 3. Periwayat bersifat dhabit Yang dimaksud dhabit adalah orang yang benar-benar sadar ketika menerima hadits , faham ketika mendengarkanya dan menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikan . Yakni perȃwi harus hafal dan mengerti apa yang diriwayatkan ( bila ia meriwayatkan dari hafalnya) serta memahaminya ( bila meriwayatkan secara makna). Dan harus menjaga tulisanya dan perubahan, penggantian ataupun penambahan, bila ia meriwayatkan dari tulisannya. syarat ini mengecualikan periwayatan perȃwi yang pelupa dan melakukan kesalahan.72 Sebagian ulama menyatakan bahwa orang yang dhabit itu adalah orang yang mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, dia memahaminya dengan pemahamaan yang mendetail kemudian dia hafal secara sempurna , dan dia memiliki kemampuan yang demikian , sedikitnya mulai dari saat dia mendengar riwayat itu sampai ia menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain. Cara menetapkan ke-dhabit-an seorang periwayat, menurut berbagai pendapat ulama, dapat dinyatakan sebagai berikut:
71 72
Syhubi Ismail, Op.Cit., hal. 134 M. Ajaj Al-Khâttib, Ushul Al- Hadits, Op.Cit., hal. 276-277
39
1. Ke-dhabit-an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama 2. Ke-dhabit-an
periwayat
dapat
diketahui
juga
berdasarkan
kesesuaian periwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-dhabit-anya 3. Apabila seorang periwayat sekali-sekali mengalami kekeliruan , maka dia masih di katakana dhobit, tetapi jika kesalahnya berulangulang kali, maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi disebut seorang perȃwi yang dhabit.73 Ke-dhobit-an para rȃwi yang dibahas diatas adalah ke-dhobit-an yang para ulama disebut sebagai dhobit sadr. Sedangkan periwayat yang memahami dengan baik tulisan hadits yang tertulis dalam kitab yang ada padanya, apabila ada kesalahan penulisan dalam kitab, ia mengetahui letak kesalahannya, maka itu disebut dhobit kitab. 74 4. Tidak Janggal (Syȃdz) Para ulama bebeda pendpat tentang pengertian syȃdz, menurut al-syfi’i mengemukanakan bahwa suatu hadits mengandung syȃdz bila hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqat tersebut bertentangan hadits yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga bersifat tsiqat. Sedangkan menurut Imam al- Hakim al-Naysabȗriy, mengemukakan bahwa hadits syȃdz
73 74
Subhi Ash-shalih Op.Cit., hal. 142 Syuhudi Ismail. Op.Cit., hal. 143
40
adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqat , tetapi tidak ada periwayat lain yang meriwayatkannya.75 Jadi dapat disimpulkan bahwa hadits yang terhindar dari syȃdz adalah hadits tersebut tidak berlawanan dengan hadits yang diriwayatkan oleh rȃwirȃwi yang tsiqat. 5. Tidak cacat (ber ‘illat) ‘Illat hadits adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahîhan hadits.76 Sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadits. keberadaanya menyebabkan hadits yang pada lahirnya terlihat berkualitas shahîh menjadi tidak shahîh77. Jadi maksud dari terhidar dari cacat adalah suatu hadits yang cacat ke shahîḫanya, yakni hadits tersebut terbebas dari sifat-sifat samar yang membuat hadits tersebut menjadi cacat, meskipun pada lahirnya hadits tersebut tidak terlihat cacat. Hadits shahîh terbagi menjadi dua bagian, yaitu hadits Shahîḫ lidzati (Shahîh karena dirinya) dan hadits Shahîḫ lighairi (hadits shahîḫ bukan karena dirinya). Hadits shahîḫ lidzati adalah hadits yang memenuhi syarat-syarat secara lengkap. ke-dhabit-an seorang rȃwi yang kurang sempurna, menjadikan hadits 75
Ibid, hal. 144 Fatchur Rahman, Op.Cit., hal. 100 77 Ibnu al-Shalah Op.Cit hal 81 76
41
shahîḫ lidzati turun nilainya menjadi hadits hasan lidzati. Akan tetapi jika kurang kesempurnaan rȃwi tentang ke-dhobit-an nya itu dapat ditutup, Misalnya hasan lidzati tersebut mempunya sanad lain yang lebih dhabit, naiklah hadits hasan lidzati ini menjadi hadit shahîḫ lighairi, dengan demikian secara hadits shahîḫ lighairi adalah:
ق ِ ﺼ ْﺪ ِّ ﺸ ُﻬ ْﻮرًا ﺑِﺎ ﻟ ْ ﻂ َﻣ َﻊ َآ ْﻮ ِﻧ ِﻪ َﻣ ِ ﻆ اﻟﻀﱠﺎ ِﺑ ِ ﺟ ِﺔ ْاَﻟﺤَﺎ ِﻓ َ ﻦ َد َر ْﻋ َ ﺧﺮًا ِّ ن ُروَا ُﺗ ُﻪ ُﻣ َﺘ َﺄ َ ُه َﻮ ﻣَﺎ آَﺎ ﺠ ُﺒ ُﺮ ْ ﺢ ﻣَﺎ َﻳ ُﺟ َ ﻄ ِﺮ ْﻳ ِﻘ ِﻪ َأ ْو َا ْر َ ﺧ َﺮ ُﻣﺴَﺎ ٍو ِﻟ َﻖﺁ ِ ﻃ ِﺮ ْﻳ ﻦ ﱠ َ ﺟ َﺪ ِﻓ ْﻴ ِﻪ ِﻣ ِ ﺴﻨًﺎ ُﺛﻢﱠ ُو َﺣ َ ﺣ ِﺪ ْﻳ ُﺜ ُﻪ َ ن َ ﺣﺘﱠﻰ َﻳ ُﻜ ْﻮ َ ﺼ ْﻮ َر ا ْﻟﻮَا ِﻗ ِﻊ ِﻓ ْﻴ ِﻪ ُ ﻚ ا ْﻟ ُﻘ َ َذِﻟ “Hadits yang keadaan rȃwi-rȃwinya kurang hafidz dan dhabit, tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur, hingga karenanya berderajat hasan, lalu didapati padanya dari jalan lain yang serupa atau lebih kuat, hal-hal yang dapat menutupi kekurangan yang menimpa itu”.78 B. Hadits Hasan a. Pengertian Hadits Hasan Hasan menurut bahasa adalah sifat musyabahah dari al-husna yang artinya bagus.79Sedangkan menurut jumhur Muhadditsin, hadits hasan itu adalah hadits:
ﻞ َوﻟَﺎﺷَﺎ ٍذ ٍ ﻏ ْﻴ ُﺮ ُﻣ َﻌﱠﻠ َ ﺴ َﻨ ِﺪ ﻞ اﻟ ﱠ ٌﺼ ِ ﻂ ُﻣ َّﺘ ِ ﻀ ِﺒ َّ ﻞ اﻟ ٌ ل َﻗِﻠ ْﻴ ٌ ﻋ ْﺪ َ ﻣَﺎ َﻧ ْﻘُﻠ ُﻪ “Hadits yang dinukil oleh seorang yang adil, yang kurang kuat ingatanya, yang muttasil (yang bersambung sanadya)dan tidak terlihat i’illat serta kejanggalan pada matnnya”.80
78
Fatchur Rahman, Op.Cit., hal. 100-101 Mahmud Ath-Thahhan. Op.Cit., ha.l 45 80 Fatchur Rahman, Op.Cit., hal. 111 79
42
Jadi dapat dikatakan bahwa hadits hasan itu periwayatanya bersambung, akan tetapi perȃwinya kurang kuat hafalanya, terhindar dari syȃdz, dan terhindar dari ‘illat sedangkan hadits shahîḫ itu hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perȃwi yang kuat hafalannya, terhindar dari syȃdz dan terhindar dari ‘illat. Hadits hasan terbagi menjadi dua bagian, Pertama hadits hasan lidzati adalah hadits yang bersambung sanad-nya dengan orang yang adil yang kurang kuat hafalanya dan tidak terdapat padanya syudzudz dan illat.81 Jika hadits hasan lidzati tidak diperkuat hadits lain( yang berbeda pada tingkatan shahîh atau pada tingkatan hasan lidzati pula), maka hadits tersebut tetap berada pada tingkatan hadits hasan lidzati. Sebaliknya jika suatu hadits hasan li-dzati diperkuat oleh hadits lain ( baik berada pada tingkatan shahîḫ ataupun pada tingkatan hasan lidzati), maka naik menjadi shahîḫ li-ghairi.82 Yang kedua hadits hasan lighairi menurut Ath-Thibi adalah haditshadits musnad yang diriwayatkan oleh orang yang dekat kepada derajat kepercayaan, atau mursal orang yang kepercayaan, dan masing-masing diriwayatkan dari banyak jalan dan sejahtera dari syudzudz dan’illat.83 Dengan kata lain bahwa hadits hasan li-ghairi adalah hadits dhaif yang dikuatkan oleh hadits yang lain meningkat menjadi hadits hasan, dan bisa pula
81
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok ilmu hadits dirayah, Op.Cit., hal. 42 Muhammad Ahmad dan Mudzakir. Op.Cit., hal.115-116 83 Hasbi ash- Shiddiqieqy, pokok-pokok ilmu hadits dirayah, Op.Cit., hal. 166 82
43
tidak naik tingkatanya, hal ini disebabkan karena keadaan hadits-hadits dalam lingkungan hadits dha’îf beraneka ragam. b. Kedudukan Hadits Shahîḫ dan Hasan dalam berhujjah Mayoritas ulama ahli ilmu dan fuqaha, bersepakat untuk menggunakan hadits shahih dan hasan sebagai hujjah, akan tetapi ada sebagia ulama yang mensyaratkan bahwa hadits hasan itu bisa digunakan untuk berhujjah , bila memenuhi sifat-sifat yang dapat diterima. Pendapat terakhir ini memerlukan peninjauan yang seksama, sebab pendapat yang dapat diterima itu, ada yang tinggi, menengah dan ada juga yang rendah . Hadits yang dapat diterima yang tinggi dan menengah itu adalah hadits shahîḫ, sedangkan hadits yang mempunyai sifat yang rendah adalah hadits hasan. Hadits-hadits yang memiliki sifat-sifat yang diterima sebagai hujjah disebut hadits maqbȗl dan hadits yang tidak mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima disebut hadits mardȗd. Yang termasuk hadits maqbȗl adalah: 1). Hadits Shahîḫ, baik lidzati atau shahîḫ li-ghairi 2). Hadits Hasan, baik hasan li-dzati atau hasan Li-ghairi Sedangkan yang termasuk hadits marduȗd, adalah segala macam hadits dha’îf, Hadits mardud ini tidak dapat diterima sebagai hujjah, akan tetapi dapat diamalkan dikarenakan terdapat rȃwi-rȃwi yang memiliki sifat-sifat tercela ataupun pada sanad-sanadnya.
44
Hadits maqbȗl menurut sifatnya dapat diterima menjadi hujjah dan dapat diamalkan, hadits maqbȗl yang demikian itu disebut hadits maqbȗl ma’mulun bih. Ada juga maqbȗl yang tidak bisa diamalkan , yang disebut dengan maqbȗl ghairu ma’muin bih, yang disebabkan karena beberapa sebab.84 1) Hadits Maqbȗl ma’mulun bih adalah Hadits muhkam85 Hadits mukhtalif86,.Hadits Rȃjih87, Hadits Nȃsikh88Hadits Mutawaquf fih89, 2) Hadits maqbȗl ghairu ma’mul bih adalah hadits yang maqbȗl yang tidak bisa diamalakan , yang termasuk hadits maqbȗl ghairu ma’mul bih adalah Hadits Mutsyabih90, Hadits mutawaqqaf fih91, Hadits marjuh92 Hadits Mansukh93, Hadits maqbȗl94 C. Hadits Dha’îf a. Pengertian hadits Dha’îf
84
Fatchur Rahman, Op.Cit., hal. 119 yakni hadits yang telah memberikan pengertian yang jelas. 86 yakni hadits yang dapat dikompromikan dari dua hadits atau lebih yang secara lahirnya mengandung pengerian bertentangan 87 Yakni hadits yang lebih kuat diantara dua adits yang berlawanan. 85
88
Yakni hadits yang menaskh terhadap hadits ( dihapus).
89
Yakni hadits yang kehujahanya ditunda, karena terjadinya pertentangan antara satu hadits boleh dengan lainya yang bisa diselesaikan (Asep Herdi, Op.Cit., hal 103) 90
Yakni hadits yang sukar dipahami maksudnya, karena tidak dapat diketahui ta’wilnya Hadits yakni dua buah hadits yang saling berlawanan yng tidak dapat dikompromikan, ditarjihkan dan dinashkan. 91
92
Yakni sebuah hadits maqbȗl yang ditenggang oleh hadits maqbȗl lain yang lebih kuat Yakni hadits maqbȗl yang telah dihapuskan (nasakh) oleh hadits maqbȗl lain yang datang kemudian. 93
94
Yang ma’nanya berlawanan dengan Al-quran, hadits mutawatir, akal sehat dan ijma’ ‘Ulama. Mahmud ath-Thahan, Op.Cit., hal. 63
45
Dha’îf menurut bahasa adalah kebalikan dari al-Qowiyu (kuat) . dha’îf dapat berarti hissy dan ma’nawy. 95 Adapun menurut istilah, hadits dha’îf itu adalah
ﺠ َﻤ ْﻊ ْ ل َأ ْآ َﺜ َﺮ ا ْﻟ ُﻌَﻠﻤَﺎ ِء ُه َﻮ ﻣَﺎَﻟ ْﻢ َﻳ َ َو ﻗَﺎ.ل ِ ت ا ْﻟ َﻘ ُﺒ ْﻮ ُ ﺻﻔَﺎ ِ ﺠ َﺘ ِﻤ ْﻊ ِﻓ ْﻴ ِﻪ ْ ﺚ َﻟ ْﻢ َﺗ ٍ ﺣ ِﺪ ْﻳ َ ُه َﻮ ُآﻞﱡ ﻦ ِﺴ َﺤ َ ﺢ َو ا ْﻟ ِ ﺤ ْﻴ ِﺼ ﺻ َﻔ َﺔ اﻟ ﱠ ِ “ Hadits dha’îf adalah semua hadits yang tidak terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadits yang diterima dan menurut pendapat kebanyakan ulama; Hadits dha’îf adalah yang tidak terkumpul padanaya sifat hadits shahîh dan hadits hasan”96 Para ulama muhadditsin mengemukakan seba-sebab tertolaknya suatu hadits dari dua segi, yakni dari segi sanad dan dari segi matn. Sebab-sebab hadits tertolak dari segi sanad 1. Terwujudnya cacat-cacat pada rȃwi-rȃwi-nya, baik tentang keadilan ataupun tentang ke-dhabit-annya. 2. Ketidak bersambungnya sanad, dikarenakan ada seorang rȃwi yang lebih, yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain. •
Adapun cacat pada keadilan dan ke-dhabit-an rȃwi itu ada sepuluh macam. 1. Dusta 2. Tertuduh dusta 3. Fasik
96
M.Ajaj al-Katib.Ushulul Hadits. Op.Cit., hal. 337
46
4. Banyak salah 5. Lengah dalam menghafal 6. Menyalahi riwayat orang kepercayaan 7. Banyak waham (purbasangka) 8. Tidak diketahui identitasnya 9. Penganut bid’ah 10. Tidak baik hafalanya97 •
Seba-sebab tertolaknya hadits karena sanad-nya digugurkan ( tak bersambung) 1. Jika yang digugurkan itu sanad pertama, maka haditsnya itu disebut hadits mu’llaq. 2. Jika yang digugurkanya itu sanad terakhir (sahabat) maka disebut hadits mursal. 3. Jika yang digugurkanya itu dua orang rȃwi atau lebih berturut-turut , maka disbut hadits mud’dlal. 4. Jika tidak berturut-turut, maka disebut hadits munqhati.’
1. Klasifikasi hadits dha’if berdasarkan cacat pada keadilan dan kedhobit-an Rȃwi a. Hadits Maudhu’ Maudhu’ secara bahasa adalah, yang diletakan, menggugurkan, meninggalkan dan berita bohong98, sedangkan menurut istilah adalah:
ﺳَّﻠ َﻢ ُز ْورًا َو ُﺑ ْﻬﺘَﺎﻧًﺎ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﻰا َّ ﷲ ﺻَﻠ ِ لا ِ ﺳ ْﻮ َ ب ِإﻟَﻰ َر ُ ﺴ ْﻮ ُ ع ا ْﻟ َﻤ ْﻨ ُ ﺼُﻨ ْﻮ ْ ﺨ َﺘَﻠ ُﻊ ا ْﻟ َﻤ ْ ُه َﻮ ا ْﻟ ُﻤ ﻄ ًﺄ َﺧ َ ﻋ ْﻤﺪًا َأ ْم َ ﻚ َ ن َذِﻟ َ ﺳﻮَا ًء آَﺎ َ 97 98
Agus Shalahuddin dan Agus Suryadi, Op.Cit., hal. 148-149 Hasbi Ash-Shiddiqy, Pokok-pokok Ilmu hadits Dirayah, Op.Cit., hal. 360
47
“Hadits yang dicipta serta dibuat oleh seorang pendusta, yang ciptaan itu dinisbatkan kepada Rasul SAW, secara palsu dan dusta, baik disengaja maupun tidak. 99 Para ulama telah menentuka bahwa ciri-ciri ke-maudhu’-an suatu hadits terdapat pada sanad dan matn, ciri-ciri kemaudhuan pada sanad100 dan ciri-ciri kemaudhuan pada matn101. b. Hadits Matruk Hadits matruk adalah:
ب ِ ﺳﻨَﺎ ِد ِﻩ رَا ٍو ُﻣ َﺘ َﻬّ ُﻢ ﺑِﺎ ْﻟ َﻜ ِﺬ ْ ﻰ ِإ ْ ي ِﻓ ْ ﻟ ِﺬﺚ َا ُ ﺤ ِﺪ ْﻳ َ ُه َﻮ ا ْﻟ “Hadits yang pada sanadnya ada seorang rȃwi yang tertuduh dusta”102 Yang dimaksud dengan rȃwi yang tertuduh adalah seorang rȃwi yang terkenal pembicaraanya sebagai pendusta , tetapi belum dapat dibuktikan bahwa ia sudah pernah berdusta dalam membuat hadits. Seorang rȃwi yang tertuduh dusta, bila ia bertaubat dengan sungguh-sungguh, dapat diterima periwayatan haitsnya. c. Hadits Munkar dan Hadits Ma’ruf Hadits munkar adalah hadits yang pada sanad-nya terdapat rȃwi yang jelek kesalahanya, banyak kelengahanya atau tampak kefasikanya,103 Lawanya
99
Fatchur Rahman, Op.Cit., hal. 142-143 Pertama: danya pengakuan dari sipembuat sendiri, Kedua: Qarinah-qarinah yang memperkuat adanya pengakuan pembuatan hadits maudhu’, Ketiga: Qarinah-qarinah yang berpautan dengan tingkahlakunya. 100
101
Pertama: Dari segi ma’nanya yaitu bahwa hadits itu bertentangan dengan Al-Quran, hadits mutawatir, ijma dan logika yang sehat. Kedua: Dari segi lafadz, yaitu bila susunan kalimatnya tidak baik atau tidak fasih Agus Suryadi dan Agus Sholahuddin, Op.Cit., hal. 149 102 Mahmud Ath-Thahhan.Op.Cit., hal. 94 103 Ibid, hal. 90
48
dinamakan ma’ruf. Hadits ma’ruf adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqat yang melawani riwayat orang yang lemah.104 d. Hadits Mu’allal Hadits mu’allal adalah
ﻄ ٍﻊ َأ ْوِإ ْد ِ ﻞ ُﻣ ْﻨ َﻘ ِﺻ ْ ﻦ َو ْ ﻋﻠَﻰ َو ْه ٍﻢ َو َﻗ َﻊ ِﻟ ُﺮوَا ِﺗ ِﻪ ِﻣ َ ﺚ وَاﻟ ﱠﺘ ْﺒ ِﻊ ِ ﺤ ْ ﻃِﻠ َﻊ َﻓ ْﻴ ِﻪ َﺑ ْﻌ َﺪ ا ْﻟ َﺒ ُه َﻮ ﻣَﺎ ا ﱡ .ﻚ َ ﺤ ِﻮ َذِﻟ ْ ﺚ ًأ ْو َﻧ ٍ ﺣ ِﺪ ْﻳ َ ﻰ ْ ﺚ ِﻓ ٍ ﺣ ِﺪ ْﻳ َ ل ِ ﺧَﺎ “Suatu hadits yang setelah diadakan penelitian dan penyelidikan, nampak adanya salah sangka dari rȃwiya dengan mewashalkan (menganggap, bersambung suatu sanad)hadits yang munqhati’ (terputus) atau memasukan sebuah hadits pada suatu hadits yang lain, atau yang semisal dengan itu”.105 e. Hadits Mudraj Hadits mudraj menurut bahasa adalah yang disisipkan, Sesuatu perbicaraan yang didalamnya disisipan,yang ditutup, yang dilipat.106 Sedangkan menurut Istilah adalah:
ﻋﻠَﻰ َو ْه ٍﻢ ُﻳ ْﻮ َه ُﻢ َاﻧﱠ ُﻪ ِﻣ ْﻨ ُﻪ َ ﺲ ِﻣ ْﻨ ُﻪ َ ﺚ ِﻣﻤﱠﺎ َﻟ ْﻴ ِ ﺤ ِﺪ ْﻳ َ ج ﻓِﻰ ا ْﻟ َ ﻣَﺎ ُا ْد َر “Hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas pikirianya, bahwa saduran itu termasuk hadits”. Perkataan yang disandurkan oleh perȃwi itu mungkin perkataanya sendiri atau perkataan orang lain, baik shahaby maupun tabi’iy, dimaksudkan untuk menerangkan makna kalimat-kalimat yang sukar atau mentaqyidkan 104
Fatchur Rahman, Op.Cit., hal. 159 Fatchur Rahman, Op.Cit., hal. 160 106 Ash- Shiddiqy, Pokok-pokok ilmu hadits dirayah, op.Cit., hal. 289 105
49
ma’na yang mutlak.107 Sisipan dapat terjadi pada matn dan juga pada sanad. Untuk mengetahui sisipan pada matn itu dengan memeriksa riwayat-riwayat lain dan adakalanya dengan keterangan rȃwi itu sendiri, atau dengan penetapan ahli imam hadits yang ternama atau karena akal tidak menerima nabi berkata perkataan yang demikian..108 Sisipan itu adakalanya dipangkal hadits, adakalanya dipertengahannya, adakalanya diakhir. Dan inilah yang amat banyak. f. Hadits Maqlub Hadits maqlub menurut bahasa adalah barang yang dibalikan atau yang diputar balik, sedangka menuruh ahli uruf, hadits maqlub adalah hadits:
ﺧ ْﻴ ِﺮ ِ ﺖ ا ْﻟ ُﻤﺨَﺎَﻟ َﻔ ُﺔ ِﻓ ْﻴ ِﻪ ﺑِﺎﻟ ﱠﺘ ْﻘ ِﺪ ْﻳ ِﻢ َوﺑِﺎﻟ ﱠﺘ ْﺄ ِ ُه َﻮ ﻣَﺎ َو َﻗ َﻌ “Hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain)diebabkan mendahului dan mengakhirkan”. Tukar- menukar itu terjadi karena mendahulukan sesuatu pada satu tempat dan mengakhirkanya pada tempat yang lain, penukaran ini terjadi pada matn dan juga pada sanad. Contoh tukar-menukar pada sanad, rȃwi Ka’ab bin Murrah tertukar dengan Murrah bin Ka’ab. g. Hadits Mudltharrib Mudltharib, menurut bahasa adalah yang kacau dan tiada berketentuan, Setengah ulama berkata bahwa hadits mudltharib itu adalah: 107 108
Fatchur Rahman Op.Cit., hal. 161 Ibnu shalah, Op.Cit., hal. 60
50
ﻋ َﺪ ِم َ ﻞ ِﻓ ْﻴ ِﻪ اﻟﺘَﺪا ُﻓ ُﻊ َﻣ َﻊ ُﺼ ُ ﺤ ْ ﺟ ٍﻪ َﻳ ْ ﻰ َو َ ل ﻋَﻠ ِ ﺖ ا ْﻟ ُﻤﺨَﺎ َﻟ َﻔ ُﺔ ِﻓ ْﻴ ِﻪ ﺑِﺎﻟْﺎ ِء ْﺑﺪَا ِ ُه َﻮ ﻣَﺎ َو َﻗ َﻌ ﺢ ِﺟ َّ ﺼ ﱡﻮرِا ْﻟ ُﻤ َﺮ َ َﺗ “Hadits mudltharib adalah hadits yang mukhalafahnya (menyalahinya dengan hadits lain ) terjadi dengan pergantian pada suatu segi yang saling dapat bertahan dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan”109 Dengan demikian bahwa hadits mudltharib itu adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rȃwi dengan beberapa jalan yang berbedabeda, yang tidak mungkin untuk dikumpulkan atau ditarjihkan. h. Hadits Muharraf Muharraf menurut para ulama yang disebut dengan muharraf adalah
ﻂ ﺨﱢ َ ﺻ ْﻮ َر ِة ا ْﻟ ُ ﻞ ﻓِﻰ ا ْﻟ َﻜِﻠ َﻤ ِﺔ ﻣَﻊ َ َﺑﻘَﺎ ِء ِ ﺸ ْﻜ ﺖ ا ْﻟ ُﻤﺨَﺎ ِﻟ َﻔ ُﺔ ِﻓ ْﻴ ِﻪ ِﺑ َﺘ ْﻐ ِﻴ ْﻴ ِﺮ اﻟ ﱠ ِ ُه َﻮ ﻣَﺎ َو َﻗ َﻌ “Ialah hadits yang mukhallafnya (bersalahnya dengan hadits riwayat yang lain) terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata, dengan masih tetap bentuk tulisannya” 110 kejadian tersebut ada kalanya pada matn ada pula pada sanad. i. Hadits Mushahhaf Mushhaf secara lughat adalah mengubah lafadz sehingga berubah makna yang dikehendaki, sedangkan menurut ulam Muhadditsin, ialah:
ﻂ ﺨﱢ َ ﺻ ْﻮ َر ِة ا ْﻟ ُ ﻂ ﻓِﻰ ا ْﻟ َﻜِﻠ َﻤ ِﺔ َﻣ َﻊ َﺑﻘَﺎ ِء ِ ﺖ ا ْﻟ ُﻤﺨَﺎِﻟ َﻔ ُﺔ ِﻓ ْﻴ ِﻪ ِﺑ َﺘ ْﻐ ِﻴﺮِاﻟ ُﻨ ْﻘ ْ ﻣَﺎ َو َﻗ َﻌ “Hadits yang mukhalafahnya karena perobahan titik kata sedangkan bentuk tulisanny tidak berubah”.111 109 110
Fatchur Rahman, Op.Cit., hal. 162-163 Ibid, hal. 165
51
Sebagian ahli hadits menentukanya dengan hadits yang terjadi pada perubahan lafadz, serta tetap bentuk perubahanya.,kejadian in terkadang terjadi pada matn dan juga terkadang pada sanad.112 j. Hadits Mubham Mubaham menurut bahasa adalah ghairu mubayaiun, sesuatu yang tidak terang, sedangkan menurut Ahli hadits adalah:
ﻼ َا ْو ِإ ْﻣ َﺮَأ ًة ًﺟ ُ ن َر َ ﺴ َّﻢ ﺳَﻮا ٌء آَﺎ َ ﺳ َﻨ ِﺪ ِﻩ رَا ٍو َﻟ ْﻢ ُﻳ َ ُه َﻮ ﻣَﺎ ﻓِﻰ َﻣ ْﺘ ِﻨ ِﻪ َأ ْو “Hadits yang didalam matn dan sanadnya ada rȃwi yang tidak disebutkan namanya baik orang itulaki-laki, maupun perempuan”113 Keibhaman rȃwi bisa terjadi karena tidak disebutkan namanya atau disebutkan namaya, tetapi tidak dijelaskan siapa sebenarnaya yang dimaksud dengan nama itu . sebab tidak mustahil bahwa nama itu dimiliki oleh beberapa orang , atau dapat terjadi hanya disebutkan jenis keluarganya.114 k. Hadits Majhul dan Mastur Majhul menurut bahasa adalah ghairu ma’ruf, yang tidak diketahui ,yang tidak dikenal. Sedangkan menurut Ahli hadits , majhul itu tebagi dua, yaitu: majhulul ‘ain115 dan majhulul hal116 (mastur). Menurut Ibnu Hajar 111
Ibid, hal. 166 Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu hadits dirayah,Op.Cit., hal. 295-296 113 Fatchur Rahman Op.Cit., hal. 169 114 Ibid. hal. 169 115 Majhul ‘ain adalah hadits yang pada sanandnya ada seorang perȃwi yang disebut namaya, tetapi tidak dikenal orangnya dan yang meriwayatkan dari padanya hanya seorang saja pula”. 116 Majhul hal adalah hadits yang pada sanadnya ada perȃwi yang disebut namaya dan dikenal orangnya, diriwayatkan daripadanya oleh dua orang yang adil atau lebih, akan tetapi 112
52
mengatakan, bahwa massah Al-Azdiyah, majhul hal, hukumnya hadits majhul atau mastur, lemah tidak diterima riwayatnya.117 l. Hadits Syȃdz dan mahfudz Yang disebut denagn syâdz menurut Muhadditsin adalah
ﻚ َ ﻏ ْﻴ ِﺮ َذِﻟ َ ﻋ َﺪ َد َا ْو َ ﻂ َأ ْو َآ ْﺜ َﺮ ٍة ٍ ﺿ ْﺒ َ ﺢ ِﻣ ْﻨ ُﻪ ِﻟ َﻤ ِﺰ ْﻳ ٍﺪ ُﺟ َ ن َأ ْر َ ﻦ آَﺎ ْ ل ُﻣﺨَﺎِﻟﻔًﺎ ِﻣ ُ ﻣَﺎ َروَا ُﻩ ا ْﻟ َﻤ ْﻘُﺒ ْﻮ ت ِ ﺟ ْﻴﺤَﺎ ِ ﺟ ْﻮ ِﻩ اﻟ ﱠﺘ ْﺮ ُ ﻦ ُو ْ ِﻣ “Hadits yang diriwayatkan oleh seorang maqbȗl (tsiqat) menyalahi riwayat orang yang lebih rajih, lantaran mempuyai kelebihan kedhabitan atau banyaknya sanad atau lainya sebagaimana dari segisegi pentarjihan”118 m. Hadits Mukhtalith
ﻋ َﺪ ِﻣﻬَﺎ َ ق ُآ ُﺘ ِﺒ ِﻪ َأ ْو ٍ ﺣ ِﺘﺮَا ْ ﺿ ٍﺮ َأ ْو ِإ َّ ﻆ ِﻟ ِﻜ َﺒ ٍﺮ َأ ْو ِ ﺤ ْﻔ ِ ﺳ ْﻮءُا ْﻟ ُ ﻰ اﻟ َﺮّاوِى َ ﻃ َﺮَأ ﻋَﻠ َ ُه َﻮ ﻣَﺎ “Hadits yang rȃwinya buruk hafalanya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya”. Yang dimaksud dengan su-u’l-khifdhi adalah kalau salahnya lebih banyak dari betulnya, dan hafalanya tidak lebih banyak dari pada lupanya. Hadits orang yang su-u’l-hifdhi termasuk syȃdz, dan tak dapat diterima sebagai hujjah.119 2. Klasifikasi Hadits dha’if Berdasarkan Gugurnya Rȃwi a. Hadits Mu’allaq perȃwi tersebut tidak dikatakan kepercyaannya. Ash-shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu hadits dirayah,Op.Cit., hal. 302-303 117
Ash-shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu hadits dirayah,Op.Cit., hal. 302-303 Fatchur Rahman, Op.Cit., hal. 172 119 Ibid, hal. 176 118
53
ﺳ َﻨ ِﺪ ِﻩ رَا ٍو َﻓَﺄ ْآ َﺜ َﺮ َ ل ِ ﻦ َأ َّو ْ ﻂ ِﻣ ُ ﺴ ُﻘ ْ ى َﻳ ْ ُه َﻮ اَّﻟ ِﺬ “Hadits mu’allaq adalah hadits yang gugur rȃwinya ata lebih dari awal sanad," Keguguran sanad pada hadits mu’allaq tersebut bisa terjadi pada sanad yang pertama, pada seluruh sanad selain sahabat. hukum hadits Mu’allaq itu diantaranya adalah: 1. Hadits mu’allaq itu pada perinsipnya diklasifikasikan kepada hadits dha’if (mardȗd), disebabkan karena sanad-nya yang digugurkan itu, tidak dapat diketahui sifat-sifat dan keadaannya secara meyakinkan, baik mengeni ke-dhabitan-nya maupun mengenai keadilannya. 2. Hadits mu’allaq itu bias dianggap shahîḫ, bila sanad yang digugurkan itu disebutkan oleh hadits yang bersanad lain. b. Hadits Mu’dhal Hadits mu’dhal adalah hadits yang dari sanandnya gugur dua atau lebih perȃwinya secara berturut-turut, Yang termasuk jenis ini adalah hadits yang dimursalkan oleh tabi’iy,120 c. Hadits Mursal Mursal menurut bahasa adalah isim maf’ul yang berarti yang dilepaskan, Adapun hadits mursal menurut istilah adalah
120
M.Ajaj Al-Khatib, Ushulul Hadits pokok-pokok Ilmu hadits, Op.Cit., hal. 306
54
ن اﻟ َﺘّﺎ ِﺑﻌِﻲ َ ﺻ ِﻐﻴْﺮا آَﺎ َ ل َأ ْو َﺗ ْﻘ ِﺮ ْﻳ ٍﺮ ٍ ﻦ َﻗ ْﻮ ْ ﺳﱠﻠ َﻢ ِﻣ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻَﻠّﻰ ا َ ﺳﻮْل ُ ﻰ اﻟ ﱠﺮ َ ﻲ أِﻟ ٍ ﻣَﺎ ُر ْﻓ َﻌ ُﻪ اﻟ َﺘّﺎ ِﺑ ِﻌ َأ ْو َآ ِﺒﻴْﺮا “Hadits yang dimarfuka oleh seorang tabi’in kepada Rasul saw, baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir, baik tabi’in itu kecil ataupun tabi’in itu besar”. Seperti seorang tabi’in berkata seperti ini, “Rasulullah saw, begini atau berbuat seperti ini.121 Hadits mursal terbagi kedalam tiga bagian122 , yaitu mursal jali123 dan mursal shahabi124, dan mursal khafi125. d. Hadits Munqhati’ Hadits Munqathi’ adalah hadits yang gugur seorang rȃwinya sebelum sahabat, disatu tempat, atau gugur dua orang dam dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.126 e. Hadits Mudallas
121
Ibid, hal. 304 Fatchur Rahman Op.Cit., hal. 209 123 Mursal Jali adalah bila pengguguran yang telah dilakukan oleh rȃwi (tabi’in) jelas sekali. Dapat diketahui oleh umum, bahwa orang yang menggugurkan itu tidak hidup sezaman dengan orang yang digugurkan yang mempunyai berita. 122
124
Mursal Shahabi, yaitu pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikann sendiri apa yang ia beritakan, karena pada saat Rasulullah hidup, ia masih kecil atau terakhir masuk Islam. Hadits mursal shahabi ini dianggap shahîh karaena pada ghalibnya ia tidak maeriwayatkan kecuali dari para sahabat. 125
Mursal khafi, adalah hadits yang diriwayatkan tabi’in, dimana tabi’in yang meriwayatkn itu hidup sezaman dengan shahabi. Tetapi ia tidak pernah mendengar satu haditspun darinya. 126
Ibid, hal. 189-191
55
Kata tadlis secara bahasa berasala dari kata “ ad-Dalas” yang berarti “adz- Dzulmah” (kedhaliman), Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tidak bernoda,127 Rȃwi yang berbuat demikian disebut mudallis,, hadits yang diriwayatkan oleh mudallis disebut hadits mudallas, dan perbuatanya disebut tadlis. Fathchur Rahman menjelaskan bahwa tadlis itu memiliki tiga macam bentuk yaitu: Tadlis isnad128, Tadlis syuyukh129, Tadlis taswiyah (tajwid),130 f. Hadits Mu’dlal Mu’dlal menurut bahas adalah mustaghlaq, barang yang sulit dicari, sulit dipahamkan, Sedangkan menurut ulama hadits adalah hadits yang telah gugur padanya dua orang rȃwi dalam sanad atau lebih dengan beriring-iring ditempat yang satu., hadits mu’dlal ini juga disebut denagn hadits Musykil.131 3. Klasifikasi Hadits berdasarkan Sandaran Rȃwi a. Hadits Marfu’
127
Fatchur Rahman, Op.Cit., hal. 187 Tadlis isnad yaitu bila seorang rȃwi meriwayatkan suatu hadits dari orang yang pernah bertemu dengan dia , tetapi rȃwi tersebut tidak pernah mendengar hadits daripadanya. 128
129
Tadlis syuyukh, yaitu bila seorang rȃwi meriwayatkan sebuah hadits yang didengarnya dari seorang guru dengan menyebutkan nama kuniyahnya, nama keturunannya, atau mensifati gurunya dengan sifat-sifat yang tidak atau belum dikenal oleh rang banyak 130 Tadlis taswiyah (tajwid), yaitu bila seorang rȃwi meriwayatkan hadits dari gurunya yang tsiqat, yang oleh guru tersebut diterima dari gurunya yang lemah, dan guru yang lemah ini meneriam dari seorang guru yang tsiqat pula. Tetapi simudallis tersebut meriwayatkan tanpa menyebutkan rȃwi rȃwi yang lemah, bahkan ia meriwayatkan denagan lafadz yang mengandung pengertian bahwa rȃwinya tsiqat semua, Fatchur Rahman, Op. Cit, hal 187-188 131 Hasbi Ash-Shddieq, Pokok-pokok Ilmu hadits dirayah,Op.Cit., hal. 257
56
Marfu’ menurut bahasa adalah lawan dari makhfudl, yang diangkat atau ditinggikan, sedangkan menurut Istilah para ulama hadits memberi definisi bahwa:
ﺳﻮَا ٌء َ ﻞ َا ْو َﺗ ْﻘ ِﺮ ْﻳ ٍﺮ ٍ ل َا ْو ِﻓ ْﻌ ٍ ﻦ َﻗ ْﻮ ْ ﺻ ًﺔ ِﻣ َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﺧَﺎ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻَﻠّﻰ ا َ ﻲ ﻒ ِاﻟَﻰ اﻟ َّﻨ ِﺒ ﱢ َ ﺿ ْﻴ ِ ﻣَﺎ ُا ﻼ ً ﻀ َ ﻄﻌًﺎ َا ْو ُﻣ ْﻌ ِ ﻼ َا ْو ُﻣ ْﻨ َﻘ ًﺼ ِ ن ُﻣَّﺘ َ آَﺎ “Hadits yang disandarkan kepada Rasul saw, sendiri, baik perkataan, ataupun perbuatan, demikian juga taqrir, baik sanadnya itu muttasil ( bersambung-sambung) maupun munqathi atau mu’dlal.132 Definisi diatas memungkinkan bahwa hadits muttasil, mu’allaq, mursal, munqathi, dan mudhlal, itu menjadi marfu. Adapun hadits mauquf dan maqthu’ tidak dapat menjadi marfu’ bila tidak ada qarinah yang me-marfukan-nya. Dengan demikian, dapat diambil ketetapan bahwa tia-tiap hadits marfu’ itu tidak selamanya bernilai shahîḫ atau hasan. Tetapi setiap hadits shahîḫ atau hasan, tentu marfu’ atau dihukumkan marfu’. b. Hadits Mauquf Mauquf menurut bahasa adalah barang yang dihentikan, barang yang diwaqafkan, sedang menurut istilah adalah:
ﻞ َا ْو َﺗ ْﻘ ِﺮ ْﻳ ٍﺮ ٍ ل َا ْو ِﻓ ْﻌ ٍ ﻦ َﻗ ْﻮ ْ ﻲ ِﻣ ْ ﺼﺤَﺎ ِﺑ َّ ﻰ اﻟ َ ﻒ اِﻟ َ ﺿ ْﻴ ِ ﻣَﺎ ُا ”Hadits mauquf adalah hadits yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir.”133
132 133
Ibid, hal. 306 Mahmud ath-Thahan. Taisir Musthalah al- Hadits,Op.Cit., hal. 130
57
Adapun hukum hadits mauquf , pada perinsipnya tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali ada qarinah yang menunjukan( yang menjadikan marfu’). c. Hadits Maqthu’ Maqhtu’ menurut bahasa adalah yang dipotong, lawan maushul yang bersambung, sedangkan menurut ulama hadits adalah:
ﻞ ٍ ل َا ْو ِﻓ ْﻌ ٍ ﻦ َﻗ ْﻮ ْ ﻦ ُد ْو َﻧ ُﻪ ِﻣ ْ ﻲ َأ ْو ِﻣ ٍ ﻰ اﻟﺘﱠﺎ ِﺑ ِﻌ َ ﻒ إِﻟ َ ﺿ ْﻴ ِ ﻣَﺎ ُا “ Hadits maqtu’ adalah hadits yang disandarkan kepada tabi’in atau orang yang sebawahnya, baik perkataan atau perbuatan.134 Asy-Syafi’I dan At-Thabrani menggunakan istilah maqthu’ untuk munqathi’. Tetapi sebenarnya ditinjau dari segi istilah, memang keduanya mempunyai perbedaan, sebab hadits dikatakan munqathi’ itu dalam pembahasan sanad, yakni sanad itu tidak muttasil, sedangkan hadits dikatakan maqthu’ itu dalam pembahasan matn, yakni matn-nya dinisbatkan kepada Rasul SAW, atau shahabat. C. Kriteria ke-shahih-an sanad dan matn A. Ke-shahîh-an Sanad Hadits Menurut para ulama hadits bahwa untuk mengetahui kulalitas suatu hadits, apakah shahih, hasan, ataupun dha’if dapat di lihat dari keadaan sanad hadits tersebut. maka kedudukan sanad dalam riwayat hadits mempunyaik kedudukan yang sangat penting.
134
Ibid, hal. 133
58
Karena sangat pentingnya kedudukan sanad tersebut dapat di lihat pada pernyataan–pernyataan ulama yang menyatakan bahwa sanad merupakan bagian yang tak terpisahkan dari agama dan pengetahuan hadits.
اﻻﺳﻨﺎد ﻣﻦ اﻟﺪﻳﻦ وﻟﻮ ﻻ اﻻﺳﻨﺎد ﻟﻘﺎل ﻣﻦ ﺷﺎء ﻣﺎ ﺷﺎء “Sanad merupakan bagian dari agama .dan sekiranya sanad itu tidak ada, niscaya siapa saja dapat menyatakan apa saja yang dikehendaki.”135 Terdapat empat faktor penting yang mendorong ulama Hadits mengadakan penelitian sanad hadits. Keempat faktor itu adalah : a. Hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam; b. Hadits tidak seluruhnya tertulis pada zaman Nabi ; c. Munculnya pemalsuan hadits; d. Peroses penghimpunan ( tadwin ) hadits136 Ilmu Rijal Al Hadits ini terjadi menjadi dua bagian penting, yaitu : Ilmu Tarikh al-Ruwat dan Ilmu al-Jarh wa al-Tadil 1. Ilmu Tarikh al-Ruwat Menurut Ajaj al Khathib Ilmu Tarikh al-Ruwat adalah :
اﻟﻌﻠﻢ اﻟﺬي ﻳﻌﺮف ﺑﺮواةاﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﻦ اﻟﻨﺎ ﺣﻴﺔ اﻟﺘﻲ ﺗﺘﻌﻠﻖ ﺑﺮواﻳﺘﻬﻢ ﻟﻠﺤﺪﻳﺚ “Ilmu yang mengenal para rawi hadits dari aspek yang berkaitan dengan periwayatan mereka terhadap hadits tersebut “137
135
Abu Husayn Muslim bin al –Hajjaj al-Qusyayri dalam Jami al-Shahih, di kenal juga dengan sebutan Shahih Muslim, (Semarang: Usaha keluarga, tt) Juz I, h. 9 136 M. Syuhudi Isma’il, Kaedah KeShahihan sanad hadits Telaah kritis dan tinjauan dengan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang 1995). h. 85 137 Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadit , Op.it hal. 227
59
Ilmu Tarikh al-Ruwat ini mencakup penjelasan tentang keadaan rawi,
sejarah
kelahiran
rawi,
wafatnya,
guru-gurunya,
sejarah
mendengarnya,( belajar ) dari mereka, perjalanan–perjalanan yang ilmiah yang mereka lakukan, sejarah kedatangannya ke negeri-negeri yang berbeda-beda. masa belajarnya sebelum atau sesudah mengalami kekacauan fikiran dan penjelasan–penjelasan lain yang memiliki kaitan erat dengan persoalan–persoalan hadits. 2. Ilmu al-Jarh wa al-Tadil Ilmu al-Jarh wa al-Tad’dil adalah Ilmu yang membahas hal-ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka. Tadil dapat diterima walaupun tidak di sebutkan sebab-sebabnya, karena penyebab ta’dil itu amat banyak, sulit untuk membatasinya, jika (hal itu) di perlukan, maka seorang muaddil ( yang menetapkan keadilan seseorang) akan mengatakan : “ lam yafal kadza ( dia tidak melakuakn itu), lam yartakibu kadza ( dia tidak terjerumus dalam perbuatan itu) atau mengatakan : huwa yaf’alu kadza( dia melakuakn itu), yaf’alu kadza wa kadza( dia melakuakn itu dan itu)”. Sedangkan jarh, tidak diterima kecuali dengan menjelaskan sebab-sebabnya, Karen tidak sulit untuk dijelaskan, ada beberapa perbedaan mengenai sebab-sebab jarh.138 Akan tetapi bila jarh dan ta’dil bertentangan, maka salah satunya tidak bisa didahulukan kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan dihentikan sementara sampai diketahui mana 138
hal. 188
Mahmud. Al-Tahhan, Ilmu Hadits Praktis, ( Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2005),
60
yang lebih kuat di antara keduanya.139 Untuk itu para ulama ahli hadits dan ulama ahli fiqh mensyaratkan orang yang bisa dijadikan hujjah dalam periwayatannya, yaitu orang yang telah memenuhi dua hal yaitu :Ke-’adlan; dan Ke-dhâbth-an. Ada beberapa perbedaan dikalangan para tentang peringkat jarh dan Ta’dîl A. Peringkat jarh dan Ta’dîl menurut al-Razi Abd al-Rahmân Muhammad bin Idrîs bin Mundzir bin Dâwud bin Mihrân Abu Muhammad bin Abi Hâtim al-Khandzalî al-Râzi (wafat 372 H) dalam muqaddimah kitabnya, jarh wa ta’dil telah membagi masing– masing peringkat yakni peringkat jarh dan ta’dîl kepada empat tingkatan140. Adapun lafal-lafal dalam peringkat ta’dîl adalah sebagai berikut: peringkat I :
ﻳﺤﺘﺞ، ﺛﺒﺖ، ﻣﺘﻘﻦ،ﺛﻘﺔ
Peringkat II
:
ﻻ ﺑﺄس ﺑﻪ، ﻣﺤﻠﻪ ﺻﺪوق،ﺻﺪوق
peringkat III
:
ﺷﻴﺦ
Peringkat IV
:
ﺻﺎﻟﺢ اﻟﺤﺪﻳﺚ
Pendapat ini disepakati oleh Ibn al-Shalâh dan an-Nawâwî baik lafalnya ataupun tingkatannya Sedangkan lafal-lafal dalam peringkat jarh adalah sebagai berikut: 139 140
Aja j al-Khathib, Ushul al-Hadit ,Op. Cit. hal. 241. Abi Hatim Al Razi, Kitab al-Jarh wa Ta’dil, ( Daar al-Fikr, t.t..)
61
ﺿﻌﻴﻒ اﻟﺤﺪﻳﺚ
Peringkat I : Peringkat II
:
Tingktan III
:
Peringkat IV
:
ذاهﺐ اﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻣﺘﺮوك اﻟﺤﺪﻳﺚ،آﺬاب ﻟﻴﺲ ﺑﻘﻮي ﻟﻴﻦ اﻟﺤﺪﻳﺚ
Hal ini pun disepakati oleh Ibn al-Shalâh dan al-Nawâwî B. Peringkat jarh dan ta’dil menurut Abû ‘Abd ‘I-Lâh al-Dzanâbi. Menurut al-Imâm al-Hâfizh Syams al-Dîn Abû ‘Abd ‘I-Lâh Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsmân bin Qayamazi al-Dzanâbi (wafat 748 H/1348 M.) membagi kualitas keterpujian (ta’dil) para periwayat Hadits kepada lima tingkatan.141 Hal ini disepakati oleh Abû al-Râhim bin alHusayn al-Irâqi (wafat 806 HA 404 M.) dan Abû Fayadh Muhammad bin Muhammad bin ‘Âli al-Harâwi (wafat 837 H./1436 M.), yaitu: Peringkat I
:
Peringkat II
:
ﺛﺒﺖ ﻣﺘﻘﻦ، ﺛﺒﺖ ﺣﺎﻓﻆ، ﺛﺒﺖ ﺣﺠﺔ،ﺛﻘﺔ ﺛﻘﺔ ﻣﺘﻘﻦ، ﺛﺒﺖ،ﺛﻘﺔ ﻟﻴﺲ ﺑﻪ ﺑﺄس،ﺻﺪوق
Peringkat III : Peringkat IV : Peringkat V
ﺷﻴﺦ، ﺣﺴﻦ اﻟﺤﺪﻳﺚ، ﺟﻴﺪاﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻣﺤﻠﻪ اﻟﺼﺪق،ﺻﺎﻟﺢ اﻟﺤﺪﻳﺚ
:
ﻂ ﻂﺷ ذاهﺐ اﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻣﺘﺮوك اﻟﺤﺪﻳﺚ،آﺬاب
141
Abi ‘Abd ‘I-Lah Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsman al-Dzahabi, Mizân al-’Itidâl fi Naqd al-Rijâl, (Dâr al-Fikr, (tt)), Qism I, hal 4
62
Al-’Irâqi dan al-Harâwi tidak sejalan dengan al-Dzanâbi dalam memberikan peringkat untuk beberapa lafal yang sama, misalnya lafal shâlih alhadits, al-Dzanâbi menempatkannya pada peringkat keempat sedang al-‘Irâqi dan al-Harâwi menempatkan pada peringkat kelima. Untuk lafal hasan al-hadits, al- ‘Irâqi menempatkannya pada peringkat yang sama dengan lafal shâlih al-hâdits yakni pada peringkat kelima, sedang alDzanâbi dan al-Harâwi menempatkan hasan al-hâdits pada peringkat keempat. Adapun tingkatan peringkat ketercelaan -(jarh) menurut al-Dzanabi sama dengan tingkatan peringkat ta’dil yakni ada lima peringkat dengan lafal-lafal sebagai berikut : Peringkat I
:
وﺿﻊ اﻟﺤﺪﻳﺚ، دﺟﺎل،آﺬاب
Peringkat II
:
ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻰ ﺗﺮآﻪ،ﻣﻨﻬﻢ ﺑﺎﻟﻜﺬب
Peringkat III :
ﺳﺎﻗﻂ، هﺎﻟﻚ، ﻓﻴﻪ ﻧﻈﺮ، ﺳﻜﺘﻮاﻋﻨﻪ، ﻟﻴﺲ ﺑﺜﻘﺔ، ذاهﺐ اﻟﺤﺪﻳﺚ،ﻣﺘﺮوك
Peringkat IV :
ﻟﻴﺲ ﺑﺸﻰ ﺿﻌﻴﻒ رواﻩ، ﺿﻌﻔﻮﻩ، واﻩ،ﺿﻌﻴﻒ ﺧﺪا
Peringkat V
:
ﺗﻌﺮف، ﻟﻴﺲ ﺑﺤﺠﺔ، ﻟﻴﺲ ﺑﺎﻟﻘﻮى، ﻓﻴﻪ ﻣﻘﺎل، ﻓﻴﻪ ﺿﻌﻴﻒ،ﻟﻴﻦ اﺧﺘﻠﻒ، ﻗﺪ ﺿﻌﻒ، ﻳﻀﻴﻒ ﻓﻴﻪ، ﺳﺊ اﻟﺤﻔﻆ، ﺗﻜﻠﻢ ﻓﻴﻪ،وﺗﻨﻜﺮ ﺻﺪوق ﻟﻜﻦ ﻣﺒﺘﻊ، ﻻﻳﺤﺘﺞ، ﻟﻴﺲ ﺑﺬاك،ﻓﻴﻪ
63
B. Ke-Shahîh-an Matn Ke-shahih-an suatu hadits tidak hanya berpegang teguh pada riwayat saja tetapi juga pada matn (redaksi) hadits itu, menurut
M.
‘Abd.al-Rahman bahwa al-Hâkim menyatakan:
ان اﻟﺼﺤﻴﺢ ﻻ ﻳﻌﺮف ﺑﺮواﻳﺘﻪ ﻓﻘﻂ واﻧﻤﺎ ﻳﻌﺮف ﺑﺎﻟﻔﻬﻢ واﻟﺤﻔﻆ و آﺜﻴﺮة اﻟﺴﻤﺎع “Sesungguhnya Hadits shahih itu tidak hanya diketahui dengan keshahihan riwayat, tetapi juga dengan pemahaman, hafalan, dan banyak mendengar”142 Mengetahui
kualitas
keshahihan
matn
hadits
tidak
hanya
dikomparasikan dengan hadits lainnya, tetapi juga matn hadits tersebut dikomparasikan dengan al-Qur’an, Adapun kriteria yang diungkapkan oleh Musthafâ al-Syibâ’î ada lima belas143, yaitu: 1. Tidak mengandung kata-kata yang aneh, yang tidak pernah diucapkan oleh seorang ahli retorika atau penutur bahasa yang baik; 2. Tidak bertentangan dengan pengertian-pengertian rasional yang aksiomatik, yang sekiranya tidak mungkin ditakwilkan; 3. Tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah umum dalam hukum dan akhlak; 4. Tidak bertentangan dengan indera dan kenyataan; 5. Tidak bertentangan dengan hal yang aksiomatik dalam kedokteran dan ilmu pengetahuan;
142 M. Abd Rahman, Pergeseran Pemikiran Hadis, Ijtihad Al-Hakim Dalam Menentukan Status Hadis, (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 114-115 143 Mustafa al-Syiba’i, Sunnah Dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam, Sebuah Pembelaan Kaum Sunni,(ter) Nurkh.is Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 228-229
64
6. Tidak
mengandung
hal-hal
yang
hina,
dan
agamapun
tidak
membenarkannya; 7. Tidak bertentangan dengan hal-hal yang masuk akal (rasional) dalam prinsip-prinsip kepercayaan (‘aqidah) tentang sifat-sifat Allah dan para rasul-Nya; 8. Tidak bertentangan dengan sunnatullah dalam alam dan manusia; 9. Tidak mengandung hal-hal yang tidak masuk akal yang dijauhi oleh mereka yang berfikir; 10. Tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau dengan sunnah yang shahih, atau dengan ijma’ yang diketahui dari agama secara pasti, yang sekiranya tidak mengandung kemungkinan ta’wil; 11. Tidak bertentangan dengan kenyataan sejarah yang diketahui sejak zaman Nabi SAW; 12. Tidak bersesuaian dengan madzhab râwi yang giat mempropagandakan madzhabnya sendiri; 13. Tidak berupa berita tentang peristiwa yang tejadi dengan kesaksian sejumlah besar manusia; 14. Tidak timbul dari dorongan emosional, yang membuat râwi meriwayatkannya; 15. Tidak mengandung janji berlebihan dalam pahala untuk perbuatan kecil atau berlebihan dalam ancaman yang keras untuk perkara sepele.
65
D. Teori Takhrij dan Ruanglingkupnaya 1. Pengertian Takhirij
َ ﺧ َﺮ َ yang berari tampak atau Takhirij menurut lughah berasal dari ج jelas, Takhrij secara bahasa juga berarti berkumpul antara dua perkara yang saling berlawanan dlam satu persoalan, namun secara mutlak, diartika oleh para ahli bahasa dengan arti “mengeluarkan” (al- istinbath) melatih atau membiaakan (at-tadrib) dan menghadapkan (at-taujih).144 Sedangkan menurut Istilah Muhadditsin, takhrij diartikan dalam beberapa pengertian, diantaranya: 1. Sinonim dari Ikhraj, yakni seorang rȃwi mengutarakan suatu hadits dengan menyebutkan sumber (keluarnya ) hadits tersebut. 2. Mengeluarkan hadits-hadits dari kitab-kitab,kemudian menyebutkan sanad-sanad-nya. 3. Menukil hadits dari kitab-kitab sumber (Diwan hadits) dengan menyebut mudawinnya serta dijelaskan martabat haditsnya. Dan makna yang ketiga inilah yang kemudian berkembang dikalangan muhadditsin dan banyak dipergunakan terutama pada abad terakhir setelah para ulama mulai mentakhrij hadits yang terdapat dalam sebagian yang dibutuhkan oleh Manusia. Sedangkan definisi takhrij menurut Mahmud Thahhan adalah: 144
Agus solehuddin dan Agus suryadi, Op.Cit., hal. 189
66
ﺳ َﻨ ُﺪ ُﻩ َ ﺟ ْﺘ ُﻪ َ ﺧ َﺮ ْ ﻲ َأ ْ ﺻِﻠﱠﻴ ِﺔ اﱠﻟ ِﺘ ْ ﻷ َ ﺚ ﻓِﻰ َﻣﺼَﺎ ِد ِر ِﻩ ْا ِ ﺤ ِﺪ ْﻳ َ ﺿ ِﻊ ا ْﻟ ِ ﻋﻠَﻰ َﻣ ْﻮ َ ﺞ ُه َﻮ اَﻟ ِّﺪﻟَﺎَﻟ ُﺔ ُ ﺨ ِﺮ ْﻳ ْ اَﻟَّﺘ ﺟ ِﺔ َ ﻋ ْﻨ َﺪ ا ْﻟﺤَﺎ ِ ن َﻣ َﺮ َﺗ َﺒ ِﺘ ِﻪ ِ ِﺑ َﺒﻴَﺎ “Takhrij adalah peninjauan terhadap tempat hadits dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanadnya dan martabatnya sesuai keperluan.145
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa takhrij meliputi kegiatan: 1. Perniwayatan
(penerimaan,
pemeliharaan,
pentadwinaan
dan
penyampaian) hadits. 2. Penukilan hadits dari kitab-kitab asal untuk dihimpun dalam satu kitab tertentu. 3. Menguip hadits-hadits dari kitab Fan (Tafsir, Tauhid, Fiqh, Tasawuf, dan Akhlaq). 4. Membahas hadits-hadits sampai diketahui martabat kualitasnya( maqbȗl, mardud). 2. Metode Takhrij Para ulama hadits telah menulis kitab-kitab yang dapat membantu seorang peneliti hadits dalam rangka kegiatan takhrij. Tetapi, hanya sedikit yang sampai kepada kita. Kitab-kitab yang dapat dijumpai hanyalah merupakan alat bantu, seperti al-Jami' al-Shaghir, al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi, Miftah Kunuz al-Sunnah, kitab-kitab al-Athraf, dan lain-lainnya. Mengenai cara-cara mentakhrij hadits, M. Mahmud ath-Thahhan mengemukakan lima metode takhrij sebagai berikut146:
145
Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, ( Maktabah al-Rasyid: Riyadh, Arab Saudi, 1983) hal, 12
67
a. Berdasarkan Nama Sahabat yang Meriwayatkan Hadits Takhrij dengan metode ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengetahui secara pasti perȃwi pertamanya, baik dari kalangan Sahabat ataupun tabi'in. Langkah pertama dari metode ini adalah mengenal nama perȃwi pertama dari hadits yang akan ditakhrij. Langkah berikutnya adalah mencari nama perȃwi yang diinginkan dari kitab-kitab al-Athraf147, Musnad148 dan Mu’jam149. Bila nama perȃwi pertama yang dicari telah ditemukan, kemudian dicari hadits yang diinginkan di antara hadits-hadits yang tertera di bawah nama perȃwi tersebut. Bila sudah ditemukan, maka akan diketahui ulama hadits yang meriwayatkannya. Keunggulan metode ini : cepat sampai pada sahabat yg meriwayatkan hadits krn alfabetis. Kekurangannya : lama sampai pada hadits yg dicari jika sahabat tsb. banyak meriwayatkan hadits. b. Berdasarkan Lafadz pertama Matn Hadits Penggunaan metode didasarkan atas lafadz pertama matn hadits. Melalui metode ini, pentakhrij terlebih dahulu menghimpun lafadz pertama hadits berdasarkan huruf-huruf hijaiyah. Setelah pentakhrij mengetahui lafadz pertama yang terletak dalam hadits tersebut, selanjutnya ia mencari lafadz itu
146
Mahmud. ath-Thahhan, Dasar-dasar ilmu Takhrij dan Penelitian Sanad Hadits, Op.Cit hal. 26-92 147 Athraf adalah kitab-kitab yang penyusunannya hanya menyebutkan sebagaian matn dari hadits yang menunjukan keseluruhanya kemudian menyebutkan sanad-sanadnya, baik secara keseluruhan atau anya dinisbathkan pada kitab-kitab tertentu. 148 Musnad adalah kitab- kitab yang disusun berdasarkan nama sahabat, atau hadits-hadits para sahabat dikumpulkan secara tersendiri. 149 Mu’jam adalah kitab yang disusun menurut nama-nama sahabat, guru, negri atau lainya. Yang nama-nama itu diturunkan secara alfabetis.
68
dalam kitab-kitab takhrij yang disusun sesuai dengan metode ini berdasarkan huruf pertama, huruf kedua dan seterusnya. Kitab-kitab
yang
dapat
digunakan
untuk
membantu
teknis
pelakasanaan adalah kitab-kitab hadits yang disususn berdasarkan awal lafal secara alfabetis, seperti kitab al-jami’ al-Shagir min Hadits al- Basyir alNadzir Li Jalal al- Din’ Abdurrahman Abi Bakr al-Suyuthi. Keunggulannya: 1. meskipun tidak hapal semua hadits, dengan lafal pertama saja dapat dengan cepat menyampaikan pada hadits yang dicari; 2. Akan ditemukan hadits lain yang tidak menjadi objek pencarian yang mungkin dibutuhkan. Kekurangan metode ini: 1. jika lafal yang dianggap awal hadits bukan awal hadits; 2. jika terjadi penggantian lafal yg diucapkan Rasul. c. Berdasarkan kata-kata yang dominan dalam Matn Hadits Yang dimaksud dengan kata-kata yang dominan adalah isim, dan fi’il bukan harf dan bukan kata-kata yang terlalau sering terungkap dalam berbagai matn. Menurut Mahmud ath-Thahhan, mentakhrij hadits dengan metode ini dapat menggunakan kitab al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits alNabawi karya A.J. Wensinck yang diterjemahkan oleh Muhammad Fuad 'Abd al-Baqi. Kitab ini merujuk kepada kitab-kitab yang menjadi sumber pokok hadits, yaitu Kutub al-Sittah, al-Muwaththa', Musnad Imam Ahmad, dan Musnad al-Darimi. Kelebihan metode ini di antaranya: 1. Mempercepat pencarian hadits; 2. Membatasi hadits-haditsnya pada kitab-kitab induk dengan menyebutkan
69
nama kitab, juz', bab, dan halaman; 3. Memungkinkan pencarian hadits melalui kata apa saja yang terdapat dalam Matn hadits. Sedangkan kekurangannya: 1. Pentakhrij harus memiliki kemampuan berbahasa Arab beserta perangkat-perangkat ilmunya, karena metode ini menuntut untuk mengembalikan kata kuncinya kepada kata dasar; 2. Terkadang suatu hadits tidak dapat ditemukan dengan satu kata kunci, sehingga pentakhrij harus mencarinya dengan menggunakan kata-kata yang lain. d. Berdasarkan Topik Hadits Seorang pentakhrij boleh saja tidak terikat dengan bunyi atau lafadz matn hadits yang ditakhrijnya, tetapi berupaya memahami melalu topiknya. Upaya penelusurannya memerlukan kitab atau kamus yang dapat memberikan penjelasan riwayat hadits melalui topik yang telah ditentukan. Di antara kitab yang dapat membantu kegiatan takhrij dengan metode ini adalah Miftah Kunuz al-Sunnah, al-Jawami' al-Shahîh, al-Mustadrak 'ala Shahîhain, Jam'u al-Fawaid min Jam'i al-Ushul wa Majma' al-Zawaid. Keunggulan metode ini di antaranya adalah: 1. Metode ini mendidik ketajaman pemahaman terhadap hadits pada diri pentakhrij; 2. Metode ini dapat memperkenalkan pentakhrij dengan hadits-hadits lain yang senada dengan hadits yang dicari. Sedangkan kelemahannya: 1. Terkadang kandungan hadits itu sulit disimpulkan oleh pentakhrij sehingga tidak dapat ditentukan temanya. Akibatnya ia tidak mungkin menggunakan metode ini, apalagi kalau topik
70
yang dikandung hadits itu lebih dari satu; 2. Terkadang pemahaman pen¬takhrij tidak sesuai dengan pemahamaan penyusun kitab, karena penyusun kitab meletakkan suatu hadits pada topik yang tidak diduga oleh pentakhrij. e. Berdasarkan Status Hadits Maksud cara ini adalah meneliti keadaan dan sifat hadits. Kemudian membahas sumber hadiits tersebut dengan jalan mengetahui keadaan dan sifatnya dalam matn atau sanad atau sanad dan matn secara bersamaan: 1. Matn a. Jika tampak pada matn hadits tanda-tanda maudhu'. Baik karena rusaknya lafadz, rusaknya makna atau bertentangan dengan Al Qur'an. Maka cara yang paling mudah untuk mengetahui sumbernya meneliti dalam kitabkitab hadits maudhu'.Kitab maudhu' yang berdasarkan urutan huruf: Al Maudhu'aat Ash Shughra, karya Asy Syaikh Ali Al-Qari'I Al Harȃwi(1014H). dan kitab ( Tanzih Asy Syariah Al Marfu'ah 'An Al-Ahadiits Asy Syani'ah Al Maudhu'ah, karya Abu Hasan Ali bin Muhammad bin 'Iraq Al Kinani (963 H). b. Jika Hadits qudsi, maka cara yang paling mudah merujuk kepada kitab yang mengumpulakn hadits qudsi, diantaranya.: ¾ Musyakah Al Anwar Fi Maa Ruwiya 'An Allah Subhanahu wa ta'ala Min Al Akhbar, karya ¾ Muhyiddin Muhammad bin Ali bin 'Arabi Al Hatimi Al Andalusi (638 H).
71
¾ Al Ithafat As Suniyah bi Al Ahadits Al Qudsiya, karya Asy Syaikh Abdur Rauf Al Munawi ( 1031 H). mencakup 272 hadits tanpa sanad. 2. Sanad Jika di dalam sanad suatu hadits itu ada ciri tertentu, misalnya isnadnya mursal, maka hadits tersebut bisa dicari dalam kitab-kitab yang mengumpulkan hadits-hadits mursal, seperti “al-Murasil li Abî Hatim ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Al Handzalati Ar Razi (327 H)”. 3. Matn dan sanad bersamaan Sifat dan keadaan hadits yang kadang terjadi pada matn dan kadang pada sanad. Maka cara untuk mencari hadits-hadits semacam itu bisa dilihat dalam kitab-kitab ini adalah: Ilal hadits, karya Ibni Abî Hatim Ar Razi, yaitu kitab yang berdasarkan urutan bab. Al Asma' Al Mubhamah fi Al Anba' Al Muhakkamah, karya Al Khathib Al Bghdadi. Al Mustafad min Mubhamad AL Matn wa Al Isnad, karya Abu Zur'ah Ahmad bin ‘Adurrahman Al 'Iraqi (826 H). Takhrij hadits pada dasarnya hanyalah langkah awal dari penelitian hadits. Di antara langkah-langkah penting berikutnya yang harus dilakukan dalam kerangka penelitian hadits adalah kritik matn (naqd al-matn) dan kritik sanad. 4. Tujuan dan Manfaat Takhrij Dalam proses penelitian hadits, takhrij merupakan kegiatan penting yang tidak boleh diabaikan. Tanpa melakukan kegiatan takhrij, seorang peneliti hadits akan kehilangan wawasan untuk mengetahui eksistensi hadits
72
dari berbagai sisi. Sisi-sisi penting yang perlu diperhatikan oleh seorang peneliti hadits dalam hubungannya dengan takhrij ini meliputi kajian asal-usul riwayat suatu hadits, berbagai riwayat yang meriwayatkan hadits itu, ada atau tidak adanya coroboration (syahid dan muttabi') dalam sanad hadits yang diteliti. Dengan demikian, tujuan dan manfaat takhrij al-hadits pada dasarnya adalah150: a) Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadits yang diteliti b) Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadits yang diteliti. c) Untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid atau mutabi' pada sanad yang diteliti. d) Adanya syahid dan atau mutabi' yang kuat dapat memperkuat sanad yang diteliti.
150
M. Syuhudi Isma’il, Kaedah Keshahîhan sanad hadits Telaah kritis dan tinjauan dengan Ilmu Sejarah, Op.Cit., hal. 44
73
BAB III SUAP MENYUAP DALAM LITERATUR HADITS A. Hadits- hadits tentang Suap menyuap Hadits tentang
suap menyuap ini menggunakan kata-kata sebagai
َﺸ ِ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ َﺷ ِ اﻟﺮﱠا, ﺷ َﻮ ِة ْ اﻟ ﱠﺮdan اﻟ ﱡﺮﺷَﺎSedangkan berikut: menggunakan kata ﻲ hadits tentang Laknat bagi orang yang melakukan suap-menyuap memiliki dua macam bentuk kecaman, pertama hadits yang menyatakan bahwa Allah melaknat orang yang melakukan suap menyuap, yang kedua Rasul melaknat Orang yang melakukan suap menyuap, Hadits tentang larangan memakan harta hasil suap, Hadits tentang haramnya suap beserta hadits tentang dampaknya kegiatan suap menyuap. Berdasarkan Kitab Mu’jam al-Mufarras dan Miftah Kunuz al- Sunnah, karya Li Dr. A.J. Wensink. bahwa masalah suap menyuap itu ditemukan dalam Kitab Sunan Abȗ Daud, Sunan Tirmidzi, Sunan Ibnu Mȃjah dan Musnad Ahmad bin Hambal, Muwaththa Mȃlik dan Sunan AnNasai. 1. Hadits tentang laknat Allah bagi orang yang melakukan Suap menyuap
ْ ﻋﻠَﻰ اﻟﺮﱠاﺷِﻲ وَا ْﻟ ُﻤ َ ”َﻟ ْﻌ َﻨ ُﺔ اﻟﱠﻠ ِﻪ a. Denagan menggunakan redaksi “ ﺮ َﺗﺸِﻲ 1. Riwayat Ibnu Mȃjah no hadits 2304
ﻋ ْﺒ ِﺪ َ ﻦ ِ ث ْﺑ ِ ﻦ ﺧَﺎِﻟ ِﻪ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ْﻋ َ ﺐ ٍ ﻦ َأﺑِﻲ ِذ ْﺋ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ا ْﺑ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َوآِﻴ ٌﻊ َ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َ ﻦ ُﻣ ُ ﻲ ْﺑ ﻋِﻠ ﱡ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ل َرﺳُﻮ َ ﻋ ْﻤﺮٍو ﻗَﺎل “ ﻗَﺎ َ ﻦ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ َ ﻦ ْﻋ َ ﺳَﻠ َﻤ َﺔ َ ﻦ َأﺑِﻲ ْﻋ َ ﻦ ِ ﺣ َﻤ ْ اﻟ ﱠﺮ ”ﻋﻠَﻰ اﻟﺮﱠاﺷِﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗﺸِﻲ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻟ ْﻌ َﻨ ُﺔ اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ
74
“Dari Alî Ibn Muhammad, telah diceritakan kepada kami dari Wakî’, telah diceritakan kepada kami dari Ibn Abî Dzi’bi, dari Al- Hȃrits Ibn ‘Abdirrahman dari Abî Salamah dari ‘Abdullah bin ‘Umar berkata, Rasulullah bersabda “Allah melaknat orang yang memberi suap, dan yang menerima suap.151 2. Riwayat Ahmad bin Hambal no hadits 6689
ﻦ ْﻋ َ ﺳَﻠ َﻤ َﺔ َ ﻦ َأﺑِﻲ ْﻋ َ ﻦ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ﻦ ِ ث ْﺑ ِ ﻦ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ِﻋ َ ﺐ ٍ ﻦ َأﺑِﻲ ِذ ْﺋ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ا ْﺑ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأﺑُﻮ ُﻧ َﻌ ْﻴ ٍﻢ َ ﻋﻠَﻰ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻟ ْﻌ َﻨ ُﺔ اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ل َرﺳُﻮ َ ل “ ﻗَﺎ َ ﻋ ْﻤﺮٍو ﻗَﺎ َ ﻦ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ َ ”اﻟﺮﱠاﺷِﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗﺸِﻲ “Dari Abȗ Nu’em, telah diceritakan kepada kami dari Ibnu Abî Dzi’bi, dari Al- Hȃrits Ibun ‘Abdirrahman dari Abî salamah dari ‘Abdillah Bin ‘Amri berkata, Rasulullah bersabada Allah melaknat orang yang memberi Suap, dan yang menerima suap.152 b. Yang menggunakan redaksi :
ﺤ ْﻜ ِﻢ ُ ﻲ ﻓِﻲ ا ْﻟ َﺸ ِ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ َﺷ ِ ﻦ اﻟﻠﱠ ُﻪ اﻟﺮﱠا َ َﻟ َﻌ 1. Riwayat Ahmad bin Hambal no hadits 8670
ﻦ َأﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ْﻋ َ ﻦ َأﺑِﻴ ِﻪ ْﻋ َ ﺳَﻠ َﻤ َﺔ َ ﻦ َأﺑِﻲ ُ ﻋ َﻤ ُﺮ ْﺑ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ل َ ﻋﻮَا َﻧ َﺔ ﻗَﺎ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأﺑُﻮ َ ن ُ ﻋﻔﱠﺎ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ”ﺤ ْﻜ ِﻢ ُ ﻲ ﻓِﻲ ا ْﻟ َﺸ ِ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ َﺷ ِ ﻦ اﻟﻠﱠ ُﻪ اﻟﺮﱠا َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻟ َﻌ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ل َرﺳُﻮ َ ل ”ﻗَﺎ َ ﻗَﺎ “Dari A’fȃn, telah diceritakan kepada kami dari Abȗ A’wȃnah, berkata telah diceritakan kepada kami dari ‘Umar Ibn Abî Salamah dari Ayahnya dari Abî Hurairah berkata, Rasul Bersabda: Allah melaknat penyuap dan penerima suap dalam hukum (pemerintahan)”.153
151
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid ,Sunan Ibnu Majah ,( Beirut: Dar al Fikr, tt) kitab al-Ahkam Bab at-Thaglidhi fil Haifi war-Rasywata, Juz 7 hal. 101, no hadits, 2304 152 Ahmad bi Muhammad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, (Beirut : Dar Sadir, tt) Bab ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash, Juz 14, hal. 227. no hadits, 6689 153 Ibid, Bab: Musnad Abȗ Hurairah, Juz 18, hal. 212, no hadits, 6870
75
2. Hadits tentang laknat Rasul bagi orang yang melakukan Suap menyuap a. Dengan menggunakan redaksi:
ﻲ َﺸ ِ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ َﺷ ِ ﺳﱠﻠ َﻢ اﻟﺮﱠا َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ﻦ َرﺳُﻮ َ َﻟ َﻌ 1. Riwayat Tirmidzi no hadits 1257
ﻦ ْﻋ َ ﺐ ٍ ﻦ َأﺑِﻲ ِذ ْﺋ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ا ْﺑ َ ي ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأﺑُﻮ ﻋَﺎ ِﻣ ٍﺮ ا ْﻟ َﻌ َﻘ ِﺪ ﱡ َ ﻦ ا ْﻟ ُﻤ َﺜﻨﱠﻰ ُ ﺤﻤﱠ ُﺪ ْﺑ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأﺑُﻮ ﻣُﻮﺳَﻰ ُﻣ َ ﻦ َ ل “ َﻟ َﻌ َ ﻋ ْﻤﺮٍو ﻗَﺎ َ ﻦ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ َ ﻦ ْﻋ َ ﺳَﻠ َﻤ َﺔ َ ﻦ َأﺑِﻲ ْﻋ َ ﻦ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ﻦ ِ ث ْﺑ ِ ﺧَﺎِﻟ ِﻪ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ”ﺮ َﺗﺸِﻲ ْ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤ َﺷ ِ ﺳﱠﻠ َﻢ اﻟﺮﱠا َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ َرﺳُﻮ “Dari Abȗ Mȗsa Muhammad Bin Al- Mutsana Telah diceritakan kepada kami dari Abȗ ‘Amir Al-A’qhadî telah diceritakan kepada kami dari Ibnu Abî Dzi’bi dari Pembantunya Al- Hȃrits bin ‘Abdurrahman dari Abî Salamah dari ‘Abdullah Bin ‘Amru berkata: Rasulullah SAW, melaknat orang yang memberi suap, dan yang menerima suap.154 2. Riwayat Abȗ Dȃwud no hadits 310
ﻦ َأﺑِﻲ ْﻋ َ ﻦ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ﻦ ِ ث ْﺑ ِ ﻦ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ْﻋ َ ﺐ ٍ ﻦ َأﺑِﻲ ِذ ْﺋ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ا ْﺑ َ ﺲ َ ﻦ ﻳُﻮ ُﻧ ُ ﺣ َﻤ ُﺪ ْﺑ ْ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأ َ ﺳﱠﻠ َﻢ اﻟﺮﱠاﺷِﻲ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ﻦ َرﺳُﻮ َ ل َﻟ َﻌ َ ﻋ ْﻤﺮٍو ﻗَﺎ َ ﻦ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ َ ﻦ ْﻋ َ ﺳَﻠ َﻤ َﺔ َ ﺶ ِ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ “Dari Ahmad Bin Yȗnus telah diceritakan kepada kami dari Ibnu Abî Dzi’bi dari Al- Hȃrits bin ‘Abdurrahman dari Abî Salamah dari ‘Adbullah bin ‘Amru berkata: Rasulullah SAW, melaknat Orang yang memberi suap, dan yang menerima suap.155
154
Muhammad bin Isa al-Turmudzi, Sunan Tirmidzi , ( Beirut : Dar Ihya al-Turats alArabi) kitab al-Ahkami an’ Rasulillah, Bab Suap menyuap dan Hukumnya. Juz 5, hal. 176, no hadits, 1257 155 Abȗ Dȃwud al-Sijistani, Sunan Abȗ Daȃwud, ( Berut : Dar al-Fikr, Tt) Kitab Aqdhiyati (ketetapan) Bab fikarohiyati ar-Risywah, Juz 9, hal. 472, no hadits, 3109
76
3. Riwayat Ahmad bin Hambal mempunyai Tiga jalur dengan no hadits 6246, 6489 dan 6536.
ﺳَﻠ َﻤ َﺔ َ ﻦ َأﺑِﻲ ْﻋ َ ﻦ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ﻦ ِ ث ْﺑ ِ ﻦ ﺧَﺎِﻟ ِﻪ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ْﻋ َ ﺐ ٍ ﻦ َأﺑِﻲ ِذ ْﺋ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ا ْﺑ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َوآِﻴ ٌﻊ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ﻦ َرﺳُﻮ َ ل “ َﻟ َﻌ َ ﻋ ْﻤﺮٍو ﻗَﺎ َ ﻦ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ َ ﻦ ْﻋ َ ﻦ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ﻦ ِ ْﺑ ”ﻲ َﺸ ِ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ َﺷ ِ ﺳﱠﻠ َﻢ اﻟﺮﱠا َ َو “Dari Wȃki’ Telah diceritakan kepada kami dari Ibnu Abî Dzi’bi dari Pembantuny Al- Hȃrits bin ‘Abdurrahman dari Abî Salamah dari ‘Abdullah bin ‘Amr berkata: Rasulullah SAW, melaknat Orang yang memberi suap, dan yang menerima suap.156
ﻦ ِ ث ْﺑ ِ ﻦ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ِﻋ َ ﺐ ٍ ﻦ َأﺑِﻲ ِذ ْﺋ ُ ﺧ َﺒ َﺮﻧَﺎ ا ْﺑ ْ ل َأ َ ﺐ َو َﻳﺰِﻳ ُﺪ ﻗَﺎ ٍ ﻦ َأﺑِﻲ ِذ ْﺋ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ا ْﺑ َ ج ٌ ﺣﺠﱠﺎ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ْﻋ َ ﻋ ْﻤﺮٍو َ ﻦ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ َ ﻦ ْﻋ َ ﺳَﻠ َﻤ َﺔ َ ﻦ َأﺑِﻲ ْﻋ َ ﻦ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ل َﻳﺰِﻳ ُﺪ َﻟ ْﻌ َﻨ ُﺔ اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﻲ ﻗَﺎ َﺸ ِ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ َﺷ ِ ﺳﱠﻠ َﻢ اﻟﺮﱠا َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ﻦ َرﺳُﻮ َ ل َﻟ َﻌ َ ﻗَﺎ ﻋﻠَﻰ اﻟﺮﱠاﺷِﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗﺸِﻲ َ “Dari Hajȃj Telah diceritakan kepada kami dari Ibnu Abî Dzi’bi dan Yazîd berkata Ibnu Abî Dzi’bi dari Al- Hȃrits bin ‘Abdurrahman dari Abî Salamah dari ‘Abdullah Bin ‘Amrȗ dari Rasulullah SAW berkata:, Rasulullah SAW melaknat orang yang memberi suap, dan yang menerima suap, Berkata Yazîd: Allah melaknat orang yang memberi suap dan menerima suap.157
ﻋ ْﺒ ِﺪ َ ﻦ ْﻋ َ ﺳَﻠ َﻤ َﺔ َ ﻦ َأﺑِﻲ ْﻋ َ ث ِ ﻦ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ِﻋ َ ﺐ ٍ ﻦ َأﺑِﻲ ِذ ْﺋ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ا ْﺑ َ ﻋ ْﻤﺮٍو َ ﻦ ُ ﻚ ْﺑ ِ ﻋ ْﺒ ُﺪ ا ْﻟ َﻤِﻠ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ﻲ َﺸ ِ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ َﺷ ِ ﺳﱠﻠ َﻢ اﻟﺮﱠا َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ﻦ َرﺳُﻮ َ ل َﻟ َﻌ َ ﻋ ْﻤﺮٍو ﻗَﺎ َ ﻦ ِ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ “Dari ‘Abdul Mȃlik bin ‘Amru Telah diceritakan kepada kami dari Ibnu Abî Dzi’bi dari Al- Hȃrits Bin ‘Abdurrahman dari Abî Salamah 156 157
Ahmad bi Muhammad bin Hambal, Op.Cit., Juz 13, hal. 284, no hadits, 6246 Ibid. hal. 27, no hadits ,6489
77
dari ‘Abdullah bin ‘Amr berkata: Rasulullah SAW, melaknat orang yang memberi suap, dan yang menerima suap.158 b. Dengan menggunakan redaksi:
ﺤ ْﻜ ِﻢ ُ ﻲ ﻓِﻲ ا ْﻟ َﺸ ِ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ َﺷ ِ ﺳﱠﻠ َﻢ اﻟﺮﱠا َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ﻦ َرﺳُﻮ َ َﻟ َﻌ 1. Riwayat Tirmidzi no Hadits 1256 ل َ ﻦ َأﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ﻗَﺎ ْﻋ َ ﻦ َأﺑِﻴ ِﻪ ْﻋ َ ﺳَﻠ َﻤ َﺔ َ ﻦ َأﺑِﻲ ِ ﻋ َﻤ َﺮ ْﺑ ُ ﻦ ْﻋ َ ﻋﻮَا َﻧ َﺔ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأﺑُﻮ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ُﻗ َﺘ ْﻴ َﺒ ُﺔ َ ﺤ ْﻜ ِﻢ ُ ﻲ ﻓِﻲ ا ْﻟ َﺸ ِ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ َﺷ ِ ﺳﱠﻠ َﻢ اﻟﺮﱠا َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ﻦ َرﺳُﻮ َ َﻟ َﻌ “Dari Qutaibah, telah diceritakan kepada kami dari Abȗ A’wȃnah, berkata telah diceritakan kepada kami dari ‘Umar Ibn Abî Salamah dari Ayahnya dari Abî Hurairah berkata: Rasulullah melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap dalam hukum (pemerintahan)”.159 c. Dengan menggunakan Redaksi:
ﺶ َﻳ ْﻌﻨِﻲ اﱠﻟﺬِي َﻳ ْﻤﺸِﻲ َ ﻲ وَاﻟﺮﱠا ِﺋ َﺸ ِ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ َﺷ ِ ﺳﱠﻠ َﻢ اﻟﺮﱠا َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ﻦ َرﺳُﻮ َ َﻟ َﻌ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ 1. Riwayat Ahmad bin Hambal
ﻦ ْﻋ َ ب ِ ﺨﻄﱠﺎ َ ﻦ َأﺑِﻲ ا ْﻟ ْﻋ َ ﺚ ٍ ﻦ َﻟ ْﻴ ْﻋ َ ش ٍ ﻋﻴﱠﺎ َ ﻦ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأﺑُﻮ َﺑ ْﻜ ٍﺮ َﻳ ْﻌﻨِﻲ ا ْﺑ َ ﻦ ﻋَﺎ ِﻣ ٍﺮ ُ ﺳ َﻮ ُد ْﺑ ْ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ا ْﻟ َﺄ َ ﻲ َﺸ ِ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ َﺷ ِ ﺳﱠﻠ َﻢ اﻟﺮﱠا َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ﻦ َرﺳُﻮ َ ل َﻟ َﻌ َ ن ﻗَﺎ َ ﻦ َﺛ ْﻮﺑَﺎ ْﻋ َ ﻋ َﺔ َ َأﺑِﻲ ُز ْر ﺶ َﻳ ْﻌﻨِﻲ اﱠﻟﺬِي َﻳ ْﻤﺸِﻲ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ َ وَاﻟﺮﱠا ِﺋ “Dari Al- Aswad Ibn A’mir telah diceritakan kepada kami dari Abȗ Bakr yakni Ibnu ‘Ayyȃs dari lȃits dari Abî al-Khattȃb dari Abî Zura’ah dari Tsaȗbȃn Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap dan orang yang menghubungkan keduanya.160 158
Ibid. hal. 74, no hadits, 6536 Muhamad bin Isa al-Turmudzi, Op.Cit., Juz 5, hal. 175, no hadits, 1256 160 Ahmad bi Muhammad bin Hambal, Op.Cit., Juz 45, hal. 380, no hadits 21365 159
78
3. Hadits tenang larangan memakan harta hasil suap 1. Riwayat Imam Mȃlik Hadits tentang larangan memakan harta hasil suap dalam kitab Muaththa Malîk No Hadits 1173
ﻦ ْﻋ َ ﻦ ِهﺸَﺎ ٍم ِ ث ْﺑ ِ ﻦ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ِ ﻦ ْﺑ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ﻦ ِ ﻦ َأﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ِﺮ ْﺑ ْﻋ َ ب ٍ ﺷﻬَﺎ ِ ﻦ ِ ﻦ ا ْﺑ ْﻋ َ ﻦ ﻣَﺎﻟِﻚ ْﻋ َ ﺐ ِ ﻦ ا ْﻟ َﻜ ْﻠ ِ ﻦ َﺛ َﻤ ْﻋ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻧﻬَﻰ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﱠﻠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ن َرﺳُﻮ ي َأ ﱠ ﺴﻌُﻮ ٍد ا ْﻟ َﺄ ْﻧﺼَﺎ ِر ﱢ ْ َأﺑِﻲ َﻣ ن ُ ﺣ ْﻠﻮَا ُ ﻋﻠَﻰ اﻟ ﱢﺰﻧَﺎ َو َ ﻲ ﻣَﺎ ُﺗ ْﻌﻄَﺎ ُﻩ ا ْﻟ َﻤ ْﺮَأ ُة ﻦ َﻳ ْﻌﻨِﻲ ِﺑ َﻤ ْﻬ ِﺮ ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ ِ ن ا ْﻟﻜَﺎ ِه ِ ﺣ ْﻠﻮَا ُ ﻲ َو َو َﻣ ْﻬ ِﺮ ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ ﻦ َ ن َﻳ َﺘ َﻜ ﱠﻬ ْ ﻋﻠَﻰ َأ َ ﺷ َﻮ ُﺗ ُﻪ َوﻣَﺎ ُﻳ ْﻌﻄَﻰ ْ ﻦ َر ِ ا ْﻟﻜَﺎ ِه “Dari Ibnu Syihȃb dari dari Abî Bakar bin ‘Abdurrahkaman bin alHarits bin Hisyȃm dari Abî Mas’ȗd: Sesungguhnya Rasulullah SAW, melarang memakan harta hasil penjualan anjing, upah pelacur dan upah dukun. Yang dimaksud upah pelacur ialah harta yang diterima dari pezina, upah dukun adalah uang sogok yang diberikan kepdanya atas jasa pelayanannya”161. 2. Jalur Riwayat Abȗ Dȃwud hadits no 2974
ﺴﻌُﻮ ٍد ْ ﻦ َأﺑِﻲ َﻣ ْﻋ َ ﻦ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ﻦ ِ ﻦ َأﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ِﺮ ْﺑ ْﻋ َ ي ﻦ اﻟ ﱡﺰ ْه ِﺮ ﱢ ْﻋ َ ن َ ﺳ ْﻔﻴَﺎ ُ ﻦ ْﻋ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ُﻗ َﺘ ْﻴ َﺒ ُﺔ َ ن ِ ﺣ ْﻠﻮَا ُ ﻲ َو ﺐ َو َﻣ ْﻬ ِﺮ ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ ِ ﻦ ا ْﻟ َﻜ ْﻠ ِ ﻦ َﺛ َﻤ ْﻋ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َأﻧﱠ ُﻪ َﻧﻬَﻰ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ﻲ ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ْﻋ َ ﻦ ِ ا ْﻟﻜَﺎ ِه “Dari Qutabah dari supyan dari Ad-Dzuhri, dari Abî Bakar bin ‘Abdirrahman dari Abî Mas’ȗd, dari Nabî SAW, sesungguhnya Nabî melarang memakan harta hasil penjualan anjing , upah pelacur dan upah dukun.”162
161 Malik bin Anas, Op.Cit., Kitab Jual beli, Bab: Mȃ Jȃ’ fi Tsamai al-Kalbi, Juz 4, hal.383, no hadits 1173. 162 Abȗ Dâwud, Op.Cit., Kitab, Jual beli, Bab Fi Tsama al- Kalbi, Juz 9, hal. 218, no hadits, 2947
79
3. Jalur Riwayat Ibnu Mȃjah no hadits 2150
ي ﻦ اﻟ ﱡﺰ ْه ِﺮ ﱢ ْﻋ َ ﻋ َﻴ ْﻴ َﻨ َﺔ ُ ﻦ ُ ن ْﺑ ُ ﺳ ْﻔﻴَﺎ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ح ﻗَﺎﻟَﺎ ِ ﺼﺒﱠﺎ ﻦ اﻟ ﱠ ُ ﺤﻤﱠ ُﺪ ْﺑ َ ﻋﻤﱠﺎ ٍر َو ُﻣ َ ﻦ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِهﺸَﺎ ُم ْﺑ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻧﻬَﻰ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ ﺴﻌُﻮ ٍد َأ ﱠ ْ ﻦ َأﺑِﻲ َﻣ ْﻋ َ ﻦ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ﻦ ِ ﻦ َأﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ِﺮ ْﺑ ْﻋ َ ﻦ ِ ن ا ْﻟﻜَﺎ ِه ِ ﺣ ْﻠﻮَا ُ ﻲ َو ﺐ َو َﻣ ْﻬ ِﺮ ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ ِ ﻦ ا ْﻟ َﻜ ْﻠ ِ ﻦ َﺛ َﻤ ْﻋ َ “Dari Hisyȃm bin ‘Amar dan Muhammad bin Shabah berkata: Telah diceritakan kepada kami dari Sufyahn bi ‘Uyayinah dari az-Zuhry dari Abî bakar bin ‘Abdirrahman dari Abî Mas’ȗd : Sesungguhnya Rasul melarang memakan harta hasil penjualan anjing , upah pelacur dan upah dukun.”163 4. Jalur Riwayat Tirmidzi no hadits 1052
ﻦ َأﺑِﻲ ْﻋ َ ﻦ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ﻦ ِ ﻦ َأﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ِﺮ ْﺑ ْﻋ َ ب ٍ ﺷﻬَﺎ ِ ﻦ ِ ﻦ ا ْﺑ ْﻋ َ ﺚ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ اﻟﱠﻠ ْﻴ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ُﻗ َﺘ ْﻴ َﺒ ُﺔ َ ﺐ َو َﻣ ْﻬ ِﺮ ِ ﻦ ا ْﻟ َﻜ ْﻠ ِ ﻦ َﺛ َﻤ ْﻋ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ل َﻧﻬَﻰ َرﺳُﻮ َ ي ﻗَﺎ ﺴﻌُﻮ ٍد ا ْﻟ َﺄ ْﻧﺼَﺎ ِر ﱢ ْ َﻣ ﺤ ْﻴ َﻔ َﺔ َوَأﺑِﻲ َﺟ ُ ﺞ َوَأﺑِﻲ ٍ ﺧﺪِﻳ َ ﻦ ِ ﻦ رَا ِﻓ ِﻊ ْﺑ ْﻋ َ ل َوﻓِﻲ ا ْﻟﺒَﺎب َ ﻦ ﻗَﺎ ِ ن ا ْﻟﻜَﺎ ِه ِ ﺣ ْﻠﻮَا ُ ﻲ َو ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ َ س ﻗَﺎ ٍ ﻋﺒﱠﺎ َ ﻦ ِ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة وَا ْﺑ ﺢ ٌ ﺻﺤِﻴ َ ﻦ ٌﺴ َﺣ َ ﺚ ٌ ﺣﺪِﻳ َ ﺴﻌُﻮ ٍد ْ ﺚ َأﺑِﻲ َﻣ ُ ﺣﺪِﻳ َ ل َأﺑُﻮ ﻋِﻴﺴَﻰ “Dari Qutaibah dari Laits dari Ibnu Syihȃb dari Abî Bakar bin ‘Abdirrahman dari Abî Mas’ȗd al-Anshȃri berkata: Rasul melarang memakan harta hasil penjualan anjing , upah pelacur dan upah dukun.164
5. Jalur riwayat an-Nasai no hadits 4218 ﻦ ِ ﻦ ْﺑ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ﻦ ِ ﻦ َأﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ِﺮ ْﺑ ْﻋ َ ب ٍ ﺷﻬَﺎ ِ ﻦ ِ ﻦ ا ْﺑ ْﻋ َ ﺚ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ اﻟﱠﻠ ْﻴ َ ل َ ﺧ َﺒ َﺮﻧَﺎ ُﻗ َﺘ ْﻴ َﺒ ُﺔ ﻗَﺎ ْ َأ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ل َﻧﻬَﻰ َرﺳُﻮ َ ﻋ ْﻘ َﺒ َﺔ ﻗَﺎ ُ ﺴﻌُﻮ ٍد ْ ﺳ ِﻤ َﻊ َأﺑَﺎ َﻣ َ ﻦ ِهﺸَﺎ ٍم َأﻧﱠ ُﻪ ِ ث ْﺑ ِ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ﻦ ِ ن ا ْﻟﻜَﺎ ِه ِ ﺣ ْﻠﻮَا ُ ﻲ َو ﺐ َو َﻣ ْﻬ ِﺮ ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ ِ ﻦ ا ْﻟ َﻜ ْﻠ ِ ﻦ َﺛ َﻤ ْﻋ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َ َو
163 Ibnu Majah, Op.Cit., Kitab At-Tajȃrat, Bab Nahyi ‘an Tsamani al-Kalbi, Juz 6 hal, 384, nio hadits , 2150 164 Tirmidzi, Op.Cit., Kitab, Nikah, Bab Mȃ Jȃ’a Fi Karohiyatil Mahril Baghi, Juz 4 hal 341, no hadits, 1052
80
“Dari Qutaîbah berkata bahwa telah diceritakan kepada kami dari Laits dari Ibnu Syihȃb dari Abî Bakar bin ‘Abdirrahman dari Abî Mas’ȗd alAnshȃri berkata: Rasul melarang memakan harta hasil penjualan anjing , upah pelacur dan upah dukun.165 6. Jalur Riwayat Bukhȃri dengan no hadits 2083, 2121, 4927, 5319
ﻋ ْﺒ ِﺪ َ ﻦ ِ ﻦ َأﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ِﺮ ْﺑ ْﻋ َ ب ٍ ﺷﻬَﺎ ِ ﻦ ِ ﻦ ا ْﺑ ْﻋ َ ﻚ ٌ ﺧ َﺒ َﺮﻧَﺎ ﻣَﺎِﻟ ْ ﻒ َأ َ ﺳ ُ ﻦ ﻳُﻮ ُ ﻋ ْﺒ ُﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ن َرﺳُﻮ ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ َ ﻲ اﻟﻠﱠ ُﻪ َﺿ ِ ي َر ﺴﻌُﻮ ٍد ا ْﻟ َﺄ ْﻧﺼَﺎ ِر ﱢ ْ ﻦ َأﺑِﻲ َﻣ ْﻋ َ ﻦ ِ ﺣ َﻤ ْ اﻟ ﱠﺮ ﻦ ِ ن ا ْﻟﻜَﺎ ِه ِ ﺣ ْﻠﻮَا ُ ﻲ َو ﺐ َو َﻣ ْﻬ ِﺮ ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ ِ ﻦ ا ْﻟ َﻜ ْﻠ ِ ﻦ َﺛ َﻤ ْﻋ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻧﻬَﻰ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ “Dari ‘Abdullah bin Yȗsuf, telah dikabarkan kepada kami dari Mȃlîk dari dari Ibnu Syihȃb dari Abî Bakar bin ‘Abdirrahman dari Abî Mas’ȗd al-Anshȃri berkata: Rasul melarang memakan harta hasil penjualan anjing , upah pelacur dan upah dukun.166
ﻦ ِ ﻦ ْﺑ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ﻦ ِ ﻦ َأﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ِﺮ ْﺑ ْﻋ َ ب ٍ ﺷﻬَﺎ ِ ﻦ ِ ﻦ ا ْﺑ ْﻋ َ ﻚ ٍ ﻦ ﻣَﺎِﻟ ْﻋ َ ﺳﻌِﻴ ٍﺪ َ ﻦ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ُﻗ َﺘ ْﻴ َﺒ ُﺔ ْﺑ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ن َرﺳُﻮ ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ َ ﻲ اﻟﻠﱠ ُﻪ َﺿ ِ ي َر ﺴﻌُﻮ ٍد ا ْﻟ َﺄ ْﻧﺼَﺎ ِر ﱢ ْ ﻦ َأﺑِﻲ َﻣ ْﻋ َ ﻦ ِهﺸَﺎ ٍم ِ ث ْﺑ ِ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ﻦ ِ ن ا ْﻟﻜَﺎ ِه ِ ﺣ ْﻠﻮَا ُ ﻲ َو ﺐ َو َﻣ ْﻬ ِﺮ ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ ِ ﻦ ا ْﻟ َﻜ ْﻠ ِ ﻦ َﺛ َﻤ ْﻋ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻧﻬَﻰ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ “Dari Qutaibah bi Said, dari Mȃlîk dari dari Ibnu Syihȃb dari Abî Bakar bin ‘Abdirrahman dari Abî Mas’ȗd al-Anshȃri berkata: Rasul melarang memakan harta hasil penjualan anjing, upah pelacur dan upah dukun.167
ﻦ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ﻦ ِ ﻦ َأﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ِﺮ ْﺑ ْﻋ َ ي ﻦ اﻟ ﱡﺰ ْه ِﺮ ﱢ ْﻋ َ ن ُ ﺳ ْﻔﻴَﺎ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﻦ ُ ﻲ ْﺑ ﻋِﻠ ﱡ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ﻦ ِ ﻦ َﺛ َﻤ ْﻋ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ل َﻧﻬَﻰ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﻲ اﻟﻠﱠ ُﻪ َﺿ ِ ﺴﻌُﻮ ٍد َر ْ ﻦ َأﺑِﻲ َﻣ ْﻋ َ ﻲ ﻦ َو َﻣ ْﻬ ِﺮ ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ ِ ن ا ْﻟﻜَﺎ ِه ِ ﺣ ْﻠﻮَا ُ ﺐ َو ِ ا ْﻟ َﻜ ْﻠ 165
Ahamad bin Syu’aib al-Nasa’i , Sunan An Nasai al-Mujtaba ,(Halab : Maktab alMathbu’at al Islamiyyah, 1406) Kitab, As-Shaidi Wadzabaihi, Bab, Nahyu ‘an Tsamani alKalbi, Juz 13 hal. 237, no hadits, 4218 166 Muhamad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al- Bukhari,( Beirut : Dar Ibn katsir alYamamah 1407 ) Kitab Jual beli, Bab Tsamani al-Kalbi, Juz7 hal. 489, no hadits, 2083 167 Ibid., Op.Cit., Kitab, Thalab, Bab al-Kihȃnati, Juz8 hal. 58, no hadits,2121
81
“Dari Ali bin Abdullah, telah diceritakan kepadakami dari Sufyân dari dari az-Zuhry dari Abî Bakar bin ‘Abdirrahman dari Abî Mas’ȗd alAnshȃri berkata: Rasul melarang memakan harta hasil penjualan anjing , upah dukun dan upah pelacur. 168
ﻋ ْﺒ ِﺪ َ ﻦ ِ ﻦ َأﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ِﺮ ْﺑ ْﻋ َ ي ﻦ اﻟ ﱡﺰ ْه ِﺮ ﱢ ْﻋ َ ﻋ َﻴ ْﻴ َﻨ َﺔ ُ ﻦ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ا ْﺑ َ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َ ﻦ ُﻣ ُ ﻋ ْﺒ ُﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ﻦ ِ ﻦ َﺛ َﻤ ْﻋ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ﻲ ل َﻧﻬَﻰ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ َ ﺴﻌُﻮ ٍد ﻗَﺎ ْ ﻦ َأﺑِﻲ َﻣ ْﻋ َ ث ِ ﻦ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ِ ﻦ ْﺑ ِ ﺣ َﻤ ْ اﻟ ﱠﺮ ﻦ ِ ن ا ْﻟﻜَﺎ ِه ِ ﺣ ْﻠﻮَا ُ ﻲ َو ﺐ َو َﻣ ْﻬ ِﺮ ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ ِ ا ْﻟ َﻜ ْﻠ “Dari ‘Abdullah bin Muhammad, telah diceritakan kepadakami dari ‘Uyayinah dari dari az-Zuhry dari Abî Bakar bin ‘Abdirrahman dari Abî Mas’ȗd al-Anshȃri berkata: Rasul melarang memakan harta hasil penjualan Anjing , upah pelacur dan upah dukun.169
7. Jalur Riwayat Muslim no Hadits 2930 ﻋ ْﺒ ِﺪ َ ﻦ ِ ﻦ َأﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ِﺮ ْﺑ ْﻋ َ ب ٍ ﺷﻬَﺎ ِ ﻦ ِ ﻦ ا ْﺑ ْﻋ َ ﻚ ٍ ﻋﻠَﻰ ﻣَﺎِﻟ َ ت ُ ل َﻗ َﺮ ْأ َ ﺤﻴَﻰ َﻗﺎ ْ ﻦ َﻳ ُ ﺤﻴَﻰ ْﺑ ْ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َﻳ َ ﻦ ْﻋ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻧﻬَﻰ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ن َرﺳُﻮ ي َأ ﱠ ﺴﻌُﻮ ٍد ا ْﻟَﺄ ْﻧﺼَﺎ ِر ﱢ ْ ﻦ َأﺑِﻲ َﻣ ْﻋ َ ﻦ ِ ﺣ َﻤ ْ اﻟ ﱠﺮ ﻦ ِ ن ا ْﻟﻜَﺎ ِه ِ ﺣ ْﻠﻮَا ُ ﻲ َو ﺐ َو َﻣ ْﻬ ِﺮ ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ ِ ﻦ ا ْﻟ َﻜ ْﻠ ِ َﺛ َﻤ “Dari Yahya bin yahya berkata, telah mendengar , dari Mȃlîk dari azZuhry dari Abî Bakar bin ‘Abdirrahman dari Abî Mas’ȗd al-Anshȃri berkata: Rasul melarang memakan harta hasil penjualan anjing , upah pelacur dan upah dukun.”170 8. Jalur Riwayat Ahmad bin Hambal no hadits 16453
ن َأﺑَﺎ ب َأ ﱠ ٍ ﺷ َﻬﺎ ِ ﻦ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨِﻲ ا ْﺑ َ ل َ ﺳ ْﻌ ٍﺪ ﻗَﺎ َ ﻦ َ ﺚ َﻳ ْﻌﻨِﻲ ا ْﺑ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ اﻟﱠﻠ ْﻴ َ ل َ ﺳ ِﻢ ﻗَﺎ ِ ﻦ ا ْﻟﻘَﺎ ُ ﺷ ُﻢ ْﺑ ِ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ هَﺎ َ ﻦ َ ﻋ ْﻘ َﺒ َﺔ ْﺑ ُ ﺴﻌُﻮ ٍد ْ ﺳ ِﻤ َﻊ َأﺑَﺎ َﻣ َ ﺧ َﺒ َﺮ ُﻩ َأﻧﱠ ُﻪ ْ ﻦ ِهﺸَﺎ ٍم َأ ِ ث ْﺑ ِ ﻦ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ِ ﻦ ْﺑ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ﻦ َ َﺑ ْﻜ ِﺮ ْﺑ
168
Ibid, Op.Cit., Kitab Ath-Thalaq, Bab Mahril Baghiya Wannakȃhi al-Fasȃdi, Juz 16 hal. 418, no hadits,4927 169 Ibid, , Op.Cit., Juz 18 hal. 50, no hadits,5319 170 Muslim bin Hajaj al-Qusayri , Shahih Muslim, ( Beirut : Dar al Fikr,tt ) Kitab AlMusȃqati, Juz 8 hal. 213, no hadits, 2930
82
ﻲ ﺐ َو َﻣ ْﻬ ِﺮ ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ ِ ﻦ ا ْﻟ َﻜ ْﻠ ِ ﻦ َﺛ َﻤ ْﻋ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ل َﻧﻬَﻰ َرﺳُﻮ َ ﻋ ْﻤﺮٍو ﻗَﺎ َ ﻦ ِ ن ا ْﻟﻜَﺎ ِه ِ ﺣ ْﻠﻮَا ُ َو “Dari Hȃsyim bin al-Qȃshim,berkata: telah diceritakan kepadakami dari Laits ya’ni Ibnu Syihȃb dari Abî Bakar bin ‘Abdirrahman, Telah di kabarkan kepadanya, ssungguhnya Abî Mas’ȗd telah mendengar bahwa : Rasul melarang memakan harta hasil penjualan anjing , upah pelacur dan upah dukun.171 9. Jalur Riwayat ad-Darimi no hadits 2568
ﻋ ْﺒ ِﺪ َ ﻦ ِ ﻲ َﺑﻜ ِﺮ ْﺑ ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ ي ْ ﻲ اﻟ ُّﺰ ْه ِﺮ ْ ﺣ ﱠﺪﺛ ِﻨ َ ﻋ َﻴ ِﻴ َﻨ ْﺔ ُ ﻦ ْ ﻒ َﺛ َﻨﺎ ِﺑ ْ ﺳ ُ ﻦ ُﻳ ْﻮ ِ ﺤ َّﻤ ِﺪ ْﺑ َ ﺧ َﺒ َﺮ َﻧﺎ ُﻣ ْ َأ ﻦ ِ ﻦ َﺛ َﻤ ْﻋ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ َﻧﻬَﻰ َرﺳُﻮ: ل َ ﺴ ُﻌ ْﻮ ٍد ﻗَﺎ ْ ﻲ َﻣ ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ ﻦ ِ ﺣ َﻤ ْ اﻟ َّﺮ ﻦ ِ ن ا ْﻟﻜَﺎ ِه ِ ﺣ ْﻠﻮَا ُ ﻲ َو ﺐ َو َﻣ ْﻬ ِﺮ ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ ِ ا ْﻟ َﻜ ْﻠ “Dari Muhammad bin Yȗsuf, berkata: telah diceritakan kepada kami dari Ibnu U’yayinah telah diceritakan kepada kami dari az-Zuhry dari Abî Bakar bin ‘Abdirrahman, dari Abî Mas’ȗd berkata: Rasul melarang memakan harta hasil penjualan anjing , upah pelacur dan upah dukun.172 4. Hadits tentang haramnya suap. 9. Riwayat Imam Mȃlik Hadits tentang haramnya kegiatan Suap, hanya ada dalam kitab Muaththa Malîk Karyanya Imam Mȃlik. dengan menggunakan kata ﺷﻮَة ْ اﻟ ﱠﺮdan no hadits 1198
171
Ahmad bin Hambal, Op.Cit., Musnad Asy-syaimaini, Bab Hadits Abi Masud, Juz 34 hal. 439, no hadits: 16453 172 ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Abȗ Muhammad Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi, (Beirut: Darul Kitab al-‘Arabi, 1407) Kitab Jual beli, Bab Nayhyi Fi Tsamani al-Kalbi, Juz 2 hal. 332, no hadits, 2568
83
ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ن َرﺳُﻮ ﻦ َﻳﺴَﺎ ٍر َأ ﱠ ِ ن ْﺑ َ ﺳَﻠ ْﻴﻤَﺎ ُ ﻦ ْﻋ َ ب ٍ ﺷﻬَﺎ ِ ﻦ ِ ﻦ ا ْﺑ ْﻋ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨِﻲ ﻣَﺎﻟِﻚ َ و ل َ ﺧ ْﻴ َﺒ َﺮ ﻗَﺎ َ ﻦ َﻳﻬُﻮ ِد َ ص َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻪ َو َﺑ ْﻴ ُ ﺨ ُﺮ ْ ﺧ ْﻴ َﺒ َﺮ َﻓ َﻴ َ ﺣ َﺔ ِإﻟَﻰ َ ﻦ َروَا َ ﻋ ْﺒ َﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ َ ﺚ ُ ن َﻳ ْﺒ َﻌ َ ﺳﱠﻠ َﻢ آَﺎ َ َو ﺴ ِﻢ ْ ﻋﻨﱠﺎ َو َﺗﺠَﺎ َو ْز ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻘ َ ﻒ ْ ﺧ ﱢﻔ َ ﻚ َو َ ﻲ ِﻧﺴَﺎ ِﺋ ِﻬ ْﻢ َﻓﻘَﺎﻟُﻮا َﻟ ُﻪ َهﺬَا َﻟ ِ ﺣ ْﻠ َ ﻦ ْ ﺣ ْﻠﻴًﺎ ِﻣ َ ﺠ َﻤﻌُﻮا َﻟ ُﻪ َ َﻓ ﻲ َوﻣَﺎ ﻖ اﻟﱠﻠ ِﻪ ِإَﻟ ﱠ ِ ﺧ ْﻠ َ ﺾ ِ ﻦ َأ ْﺑ َﻐ ْ ﺸ َﺮ ا ْﻟ َﻴﻬُﻮ ِد وَاﻟﱠﻠ ِﻪ ِإ ﱠﻧ ُﻜ ْﻢ َﻟ ِﻤ َ ﺣ َﺔ ﻳَﺎ َﻣ ْﻌ َ ل َ َﻓﻘَﺎ َ ﻦ َروَا ُ ﻋ ْﺒ ُﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ ﺖ َوِإﻧﱠﺎ ﻟَﺎ ٌ ﺤ ْﺳ ُ ﺷ َﻮ ِة َﻓِﺈ ﱠﻧﻬَﺎ ْ ﻦ اﻟ ﱠﺮ ْ ﺿُﺘ ْﻢ ِﻣ ْ ﻋ َﺮ َ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ َﻓَﺄﻣﱠﺎ ﻣَﺎ َ ﻒ َ ن َأﺣِﻴ ْ ﻋﻠَﻰ َأ َ ك ِﺑﺤَﺎ ِﻣﻠِﻲ َ ذَا ض ُ ت وَا ْﻟَﺄ ْر ُ ﺴ َﻤﻮَا ﺖ اﻟ ﱠ ْ َﻧ ْﺄ ُآُﻠﻬَﺎ َﻓﻘَﺎﻟُﻮا ِﺑ َﻬﺬَا ﻗَﺎ َﻣ “Dari Mȃlik dari Ibn Syihaȃb dari Sulaimȃn Ibn Yasȃr sesungguhnya “Rasul mengutus ‘Abdullah bin Rawanah kekhaibar, dia menentukan pembicaraan anatra beliau dan kaum Yahudi, Sulaimȃn berkata: mereka mengumpulkan perhiasan istri-istri mereka, kemudian mengatakan kepada ‘Abdullah bin Rawah : Semua perhiasan ini utnuk kamu , tapi berilah keringanan kepada kami dan berilah pada bagian kami, ‘Abdullah bin Rawah menjawab: Wahai kaum yahudi demi Allah kalian adalah makhluk ciptaan Allah yang saya paling benci, Meski demikian bukan alasan bagiku untuk berbuat dzalim terhadap kalian. Adapun semua perhiasan yang kalian berikan kepadaku adalah sebagaai suap. Itu semua adalah haram dan kami tidak akan pernah menerimanya. Mereka berkata: Demi kebenaran ini tegakanlah langit dan bumi.173 5. Hadits-hadits tentang damapaknya suap menyuap Hadits tentang dampaknya kegiatan suap menyuap terdapat dua hadits dengan tema yang berbeda dengan menggunakan kata ﻮ ِة َﺷ ْ اﻟ ﱠﺮdan kata اﻟ ﱡﺮﺷَﺎ 1. Hadits tentang dampak dari kegiatan suap. a. Riwayat Ahmad bin Hambal dengan no hadits 17155 dengan
اﻟ ﱡ menggunakan kata ﺮﺷَﺎ
173
Mȃlik bin Annas, muaththa’Mȃlik, Op.Cit. Bab Mȃ Jȃ’a al-Musȃqoti,. Juz 4, hal. 455 no hadits, 1198
84
ﻦ ِ ﺤ ﱠﻤ ِﺪ ْﺑ َ ﻦ ُﻣ ْﻋ َ ن َ ﺳَﻠ ْﻴﻤَﺎ ُ ﻦ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ َ ﻦ ْﻋ َ ﻦ َﻟﻬِﻴ َﻌ َﺔ ُ ﺧ َﺒ َﺮﻧَﺎ ا ْﺑ ْ ل َأ َ ﻦ دَا ُو َد ﻗَﺎ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ﻣُﻮﺳَﻰ ْﺑ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﺖ َرﺳُﻮ ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ل َ ص ﻗَﺎ ِ ﻦ ا ْﻟﻌَﺎ ِ ﻋ ْﻤﺮِو ْﺑ َ ﻦ ْﻋ َ ي ﺷ ٍﺪ ا ْﻟ ُﻤﺮَا ِد ﱢ ِ رَا ﻈ َﻬ ُﺮ ﻓِﻴ ِﻬ ْﻢ اﻟ ﱡﺮﺷَﺎ ْ ﻦ َﻗ ْﻮ ٍم َﻳ ْ ﺴ َﻨ ِﺔ َوﻣَﺎ ِﻣ ﺧﺬُوا ﺑِﺎﻟ ﱠ ِ ﻈ َﻬ ُﺮ ﻓِﻴ ِﻬ ْﻢ اﻟ ﱢﺮﺑَﺎ ِإﻟﱠﺎ ُأ ْ ﻦ َﻗ ْﻮ ٍم َﻳ ْ ل ﻣَﺎ ِﻣ ُ َﻳﻘُﻮ ﺐ ِ ﻋ ْ ﺧﺬُوا ﺑِﺎﻟ ﱡﺮ ِ ِإﻟﱠﺎ ُأ “Dari Mȗsa bin Dȃwud, berkata:Telah di kabarkan kepada kita dari Ibn Lahî’ah dari Abdillah bin Sulaimȃn dari Muhammad bin Murȃdî dari ‘Amr bin Ash berkata: Saya mendengar Rasul bersabda: Tidaklah riba merajarela, kepada suatu kaum kecuali ditimpa paceklik, dan tidaklah budaya suap merajarela kepada suatu kaum kecuali akan ditimpa pada mereka suatu ketakutan”174 2. Hadits tentang dampaknya menerima suap a. Riwayat An- Nasa’i dengan no hadits 5571 dengan menggunakan kata:
ﺷ َﻮ ِة ْ اﻟ ﱠﺮ ﻦ ِ ﻦ َﻣ ْﻨﺼُﻮ ِر ْﺑ ْﻋ َ ﺧﻠِﻴ َﻔ َﺔ َ ﻦ َ ﻒ َﻳ ْﻌﻨِﻲ ا ْﺑ ٌ ﺧَﻠ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ﺠ ٍﺮ ﻗَﺎﻟَﺎ ْﺣ ُ ﻦ ُ ﻲ ْﺑ ﻋِﻠ ﱡ َ ﺧ َﺒ َﺮﻧَﺎ ُﻗ َﺘ ْﻴ َﺒ ُﺔ َو ْ َأ ﻞ ا ْﻟ َﻬ ِﺪﱠﻳ َﺔ َ ل ا ْﻟﻘَﺎﺿِﻲ ِإذَا َأ َآ َ ق ﻗَﺎ ٍ ﺴﺮُو ْ ﻦ َﻣ ْﻋ َ ﻞ ٍ ﻦ َأﺑِﻲ وَا ِﺋ ْﻋ َ ﻋ َﺘ ْﻴ َﺒ َﺔ ُ ﺤ َﻜ ِﻢ ﺑْﻦ َ ﻦ ا ْﻟ ْﻋ َ ن َ زَاذَا ﺨ ْﻤ َﺮ َ ب ا ْﻟ َ ﺷ ِﺮ َ ﻦ ْ ق َﻣ ٌ ﺴﺮُو ْ ل َﻣ َ ﺖ ِﺑ ِﻪ ا ْﻟ ُﻜ ْﻔ َﺮ َوﻗَﺎ ْ ﺷ َﻮ َة َﺑَﻠ َﻐ ْ ﻞ اﻟ ﱢﺮ َ ﺖ َوِإذَا َﻗ ِﺒ َ ﺤ ْﺴ ﻞ اﻟ ﱡ َ َﻓ َﻘ ْﺪ َأ َآ ﺻﻠَﺎ ٌة َ ﺲ َﻟ ُﻪ َ ن َﻟ ْﻴ ْ َﻓ َﻘ ْﺪ َآ َﻔ َﺮ َو ُآ ْﻔ ُﺮ ُﻩ َأ “Dari Qutaibah dan Alî Hujri, berkata:Telah diceritakan kepada kami dari Khalaf yakni Ibnu Khalîfah dari Manshȗr bin Zȃdzȃna dari alHakim bin ‘Utaibah dari Abî Wȃ’il dari Masrȗq, berkata: berkata alQodhi: Jika seorang makan barang yang diharamkan, dihadiahkan maka, ia telah makan kemurkaan, dan jika menerima suap maka akan menarik kepadanya kekufuran. Masrȗq berkata barang siapa yang
174
Ahmad bi Muhammad bin Hambal, Op.Cit., Kitab ‘Amr bin al-A’sh, Juz 36, hal. 234, no hadits,17155
85
minum Khamer maka ia telah kafir, dan kekafiran tidak diterima Ibadah salatnya.175
175 Ahamad bin Syu’aib al-Nasa’i ,Op.Cit., kitab al-Asyribati Bab Dzikru Rawayati alMubayyinati an’ Shalȃwati Syȃribi al-Khamri Juz 13, hal. 142, no hdits, 5571
B. Analisis Sanad Hadits Analisis sanad ini dimulai dengan menggambarkan skema-skema sanad ditiap-tiap jalur periwayat. 1. Gambar Skema-skema Sanad hadits A. Skema sanad hadits laknat Allah bagi orang yang melakukan suap menyuap 1. Skema sanad hadits yang menggunakan redaksi
ﻋﻠَﻰ اﻟﺮﱠاﺷِﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗﺸِﻲ َ َﻟ ْﻌ َﻨ ُﺔ اﻟﱠﻠ ِﻪ a. Skema sanad hadits riwayat Ibnu Mȃjah no hadits 2304
ﺳﻠﱠﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ َرﺳُﻮ Wafat :63 H.
ﻋ ْﻤﺮٍو َ ﻦ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ َ ﻋﻦ
Wafat :94 H.
ﺳَﻠ َﻤ َﺔ َ َأﺑِﻲ ﻋﻦ
Wafat :? H.
ﻦ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ﻦ ِ ث ْﺑ ِ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ﻋﻦ
Wafat :158 H.
ﺐ ٍ ﻦ َأﺑِﻲ ِذ ْﺋ ُ ا ْﺑ ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
Wafat : 196 H.
َوآِﻴ ٌﻊ ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
Wafat : 233H.
ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َ ﻦ ُﻣ ُ ﻲ ْﺑ ﻋِﻠ ﱡ َ ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
Hidup:207-273 H.
ﺟ ْﻪ َ ﻦ ﻣَﺎ ُ ِا ْﺑ
87
b. Skema sanad hadits riwayat Ahmad bin Hambal no hadits 6689
ﺳﻠﱠﻢ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ َرﺳُﻮ َ
ﻋ ْﻤﺮٍو ﻦ َ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ ِ َ
Wafat :63 H.
ﻋﻦ
ﺳَﻠ َﻤ َﺔ َأﺑِﻲ َ
Wafat :94 H.
ﻋﻦ
ﻦ ﺣ َﻤ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ ْ ﻦ َ ث ْﺑ ِ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ِ
Wafat :? H.
ﻋﻦ
ﺐ ﻦ َأﺑِﻲ ِذ ْﺋ ٍ ا ْﺑ ُ
Wafat :158 H.
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
َأﺑُﻮ ُﻧ َﻌ ْﻴ ٍﻢ
Wafat :218 H.
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
ﺣ َﻤ ْﺪ َأ ْ
Hidup: 164-241 H.
88
2. Skema sanad hadits yang menggunakan redaksi
ﺤ ْﻜﻢِ ﺸﻲَ ﻓِﻲ ا ْﻟ ُ ﺷﻲَ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ ِ ﻦ اﻟﻠﱠ ُﻪ اﻟﺮﱠا ِ َﻟ َﻌ َ c. Skema sanad dari Jalur Ahmad bin Hambal no hadits 8670
ﺳﻠﱠﻢ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ َرﺳُﻮ َ
َأﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة
Wafat : 57 H.
ان
َأﺑِﻴ ِﻪ
Wafat : 94 H.
ﻋﻦ
ﺳَﻠ َﻤ َﺔ ﻦ َأﺑِﻲ َ ﻋ َﻤ ُﺮ ْﺑ ُ ُ
Wafat : 123H.
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
ﻋﻮَا َﻧ َﺔ َأﺑُﻮ َ
Hidup:176 H.
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
ﻋﻔﱠﺎن َ
Hidup: 219 H.
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
ﺣ َﻤ ْﺪ َأ ْ
Wafat : 164-241 H.
89
d. Skema sanad gabungan tentang laknat Allah
ﺳﻠﱠﻢ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ َرﺳُﻮ َ
ﻋ ْﻤﺮٍو ﻦَ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ ِ َ
َأﺑِﻲُ ه َﺮ ْﻳ َﺮ َة
ﺳَﻠ َﻤ َﺔ َأﺑِﻲ َ
ﺳَﻠ َﻤ َﺔ ﻦَ أﺑِﻲَ ﻋ َﻤ ُﺮ ْﺑ ُ ُ
ﻦ ﺣ َﻤ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ ْ ﻦَ ث ْﺑ ِ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ِ
ﻋﻮَا َﻧ َﺔ َأﺑُﻮَ
ﺐ ﻦ َأﺑِﻲِ ذ ْﺋ ٍ ا ْﺑ ُ
ﻋﻔﱠﺎن َ َأﺑُﻮ ُﻧ َﻌ ْﻴ ٍﻢ
َ وآِﻴ ٌﻊ
ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ ﻦُ ﻣ َ ﻲْ ﺑ ُ ﻋِﻠ ﱡ َ
ﺣ َﻤ ْﺪ َأ ْ
ﺟ ْﻪ ﻦ ﻣَﺎ َ ِ ا ْﺑ ُ
90
B. Skema sanad hadits laknat Rasul bagi orang yang melakukan suap menyuap 1. Skema sanad hadits yang menggunakan redaksi
ﻲ ﺸَ ﺷﻲَ وَا ْﻟ ُﻤﺮْ َﺗ ِ ﺳﱠﻠﻢَ اﻟﺮﱠا ِ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ وَ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﻦ رَﺳُﻮ ُ َﻟ َﻌ َ a. Skema sanad dari Jalur Tirmidzi no hadits 1257
ﺳﻠﱠﻢ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ َرﺳُﻮ َ
ﻋ ْﻤﺮٍو ﻦ َ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ ِ َ
Wafat : 63 H.
ﻋﻦ
ﺳ َﻠ َﻤ َﺔ َأﺑِﻲ َ
Wafat :94 H.
ﻋﻦ
ﻦ ﺣ َﻤ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ ْ ﻦ َ ث ْﺑ ِ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ِ
Wafat :? H.
ﻋﻦ
ﺐ ﻦ َأﺑِﻲ ِذ ْﺋ ٍ ا ْﺑ ُ
Wafat :158 H.
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
ي َأﺑُﻮ ﻋَﺎ ِﻣ ٍﺮ ا ْﻟ َﻌ َﻘ ِﺪ ﱡ
Wafat : 204 H.
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
ﻦ ا ْﻟ ُﻤ َﺜﻨﱠﻰ ﺤﻤﱠ ُﺪ ْﺑ ُ َأﺑُﻮ ﻣُﻮﺳَﻰ ُﻣ َ
Wafat :252 H.
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
اﻟ ِﺘ ْﺮ ِﻣﺬِى
Hidup : 200-279 H.
91
b. Skema sanad Hadits jalur Abȗ Dȃwud no hadits 3109
ﺳﻠﱠﻢ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ َرﺳُﻮ َ
ﻋ ْﻤﺮٍو ﻦ َ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ ِ َ
Wafat : 63 H.
ﻋﻦ
ﺳَﻠ َﻤ َﺔ َأﺑِﻲ َ
Wafat :94 H.
ﻋﻦ
ﻦ ﺣ َﻤ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ ْ ﻦ َ ث ْﺑ ِ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ِ
Wafat :? H.
ﻋﻦ
ﺐ ﻦ َأﺑِﻲ ِذ ْﺋ ٍ ا ْﺑ ُ
Wafat :158 H.
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
ﺲ ﻦ ﻳُﻮ ُﻧ َ ﺣ َﻤ ُﺪ ْﺑ ُ َأ ْ
Wafat :227 H.
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
ﻰ دَا ُو ْد َأ ِﺑ ْ
Hidup:202-275H
92
c. Skema sanad hadits jalur Ahmad bin Hambal no hadits 6246,6489 dan 6536
ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ َرﺳُﻮ َ
ﻋ ْﻤﺮٍو ﻦ َ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ ِ َ
Wafat : 63 H.
ﻋﻦ
Wafat : H.
ﺳَﻠ َﻤ َﺔ َأﺑِﻲ َ ﻋﻦ
ﻦ ﺣ َﻤ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ ْ ﻦ َ ث ْﺑ ِ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ِ
Wafat :? H.
ﻋﻦ
Wafat :158 H.
ﺐ ﻦ َأﺑِﻲ ِذ ْﺋ ٍ ا ْﺑ ُ
Hidup :204 H.
Hidup :206 H.
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
َﻳﺰِﻳ ُﺪ
ﻚ ﻋ ْﺒ ُﺪ ا ْﻟ َﻤِﻠ ِ َ ج ﺣﺠﱠﺎ ٌ َ
Hidup : 196 H.
َ وآِﻴ ٌﻊ ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
Hidup :206 H.
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
ﺣ َﻤ ْﺪ َأ ْ
Hidup : 164-242H.
93
2. Skema sanad hadits yang menggunakan reaksi:
ﺤ ْﻜ ِﻢ ﻲ ﻓِﻲ ا ْﻟ ُ ﺸَ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ ِ ﺷَ ﺳﱠﻠ َﻢ اﻟﺮﱠا ِ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﻦ َرﺳُﻮ ُ َﻟ َﻌ َ a. Skema sanad dari jalur Tirmidzi no hadits 1256
ﺳﻠﱠﻢ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ َرﺳُﻮ َ
َأﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة
Wafat : 57 H.
ﻋﻦ
َأﺑِﻴ ِﻪ
Wafat : 94 H.
ﻋﻦ
ﺳَﻠ َﻤ َﺔ ﻦ َأﺑِﻲ َ ﻋ َﻤ َﺮ ْﺑ ِ ُ
Wafat :132 H.
ﻋﻦ
ﻋﻮَا َﻧ َﺔ َأﺑُﻮ َ
Wafat :176 H.
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
ُﻗ َﺘ ْﻴ َﺒ ُﺔ
Wafat : 240 H.
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
اﻟ ِﺘ ْﺮ ِﻣﺬِى
Hidup :200-279 H.
94
3. Skema sanad hadits yang menggunakan Reaksi:
ﺶ ﻳَ ْﻌﻨِﻲ اﱠﻟﺬِي ﻳَ ْﻤﺸِﻲ ﻲ وَاﻟﺮﱠاﺋِ َ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤﺮْ َﺗﺸِ َ ﺳﱠﻠ َﻢ اﻟﺮﱠاﺷِ َ ﻋَﻠ ْﻴﻪِ وَ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﻠﱠ ِﻪ َ ﻟَ َﻌﻦَ رَﺳُﻮ ُ a. Skema sanad dari Jalur Ahmad bin Hambal
ﺳﻠﱠﻢ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ َرﺳُﻮ َ
ن َﺛ ْﻮﺑَﺎ َ
Wafat :54 H.
ﻋﻦ
ﻋ َﺔ َأﺑِﻲ ُز ْر َ
Wafat :? H.
ﻋﻦ
ب ﺨﻄﱠﺎ ِ َأﺑِﻲ ا ْﻟ َ
Wafat :? H.
ﻋﻦ
ﺚ َﻟ ْﻴ ٍ
Wafat :148 H.
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
َأﺑُﻮ َﺑ ْﻜ ٍﺮ
Wafat :193 H.
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
ﻦ ﻋَﺎ ِﻣ ٍﺮ ﺳ َﻮ ُد ْﺑ ُ ا ْﻟ َﺄ ْ
Wafat :208 H.
ﺣ َﻤ ْﺪ َأ ْ
95
b. Skema sanad gabungan hadits tentang laknat Rasul
ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ َرﺳُﻮ َ
ﻋ ْﻤﺮٍو ﻦ َ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ ِ َ
َأﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة
ن َﺛ ْﻮﺑَﺎ َ
ﻋ َﺔ َأﺑِﻲ ُز ْر َ ﺳَﻠ َﻤ َﺔ َأﺑِﻲ َ ب ﺨﻄﱠﺎ ِ َأﺑِﻲ ا ْﻟ َ
ﺳَﻠ َﻤ َﺔ ﻦ َأﺑِﻲ َ ﻋ َﻤ ُﺮ ْﺑ ُ ُ
ﻦ ﺣ َﻤ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ ْ ﻦ َ ث ْﺑ ِ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ِ
ﺚ َﻟ ْﻴ ٍ
ﻋﻮَا َﻧ َﺔ َأﺑُﻮ َ
ﺐ ﻦ َأﺑِﻲ ِذ ْﺋ ٍ ا ْﺑ ُ
َأﺑُﻮ َﺑ ْﻜ ٍﺮ
ﻦ ﻋَﺎ ِﻣ ٍﺮ ﺳ َﻮ ُد ْﺑ ُ ا ْﻟ َﺄ ْ
ُﻗ َﺘ ْﻴ َﺒ ُﺔ َأﺑُﻮ ﻋَﺎ ِﻣ ٍﺮ
َوآِﻴ ٌﻊ
َﻳﺰِﻳ ُﺪ
ج ﺣﺠﱠﺎ ٌ َ
ﺲ ﻦ ﻳُﻮ ُﻧ َ ﺣ َﻤ ُﺪ ْﺑ ُ َأ ْ
ﻰ دَا ُو ْد أ ِﺑ ْ
ﺤﻤﱠ ُﺪ ا ْﻟ ُﻤ َﺜﻨﱠﻰ َأﺑُﻮ ﻣُﻮﺳَﻰ ُﻣ َ
اﻟ ِﺘ ْﺮ ِﻣﺬِى
ﺣ َﻤ ْﺪ َأ ْ
96
Skema sanad Gabunga Hadits tentang Laknat Allah dan Laknat Rasulnya Dipisahkan................................
97
C. Skema sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil Suap. 1. Skema sanad riwayat Mȃlîk dengan redaksi :
ﻦ ن ا ْﻟﻜَﺎ ِه ِ ﺣ ْﻠﻮَا ِ ﻲ َو ُ ﺐ َو َﻣ ْﻬ ِﺮ ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ ﻦ ا ْﻟ َﻜ ْﻠ ِ ﻦ َﺛ َﻤ ِ ﻋْ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻧﻬَﻰ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ن َرﺳُﻮ َ َأ ﱠ ﻦ ن َﻳ َﺘ َﻜ ﱠﻬ َ ﻋﻠَﻰ َأ ْ ﺷ َﻮ ُﺗ ُﻪ َوﻣَﺎ ُﻳ ْﻌﻄَﻰ َ ﻦ َر ْ ن ا ْﻟﻜَﺎ ِه ِ ﺣ ْﻠﻮَا ُ ﻋﻠَﻰ اﻟ ﱢﺰﻧَﺎ َو ُ ﻲ ﻣَﺎ ُﺗ ْﻌﻄَﺎ ُﻩ ا ْﻟ َﻤ ْﺮَأ ُة َ َﻳ ْﻌﻨِﻲ ِﺑ َﻤ ْﻬ ِﺮ ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ
ﺳﻠﱠﻢ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ َرﺳُﻮ َ
ي ﺴﻌُﻮ ٍد ا ْﻟ َﺄ ْﻧﺼَﺎ ِر ﱢ َأﺑِﻲ َﻣ ْ
Wafat :40 H.
ﻋﻦ
ﻦ ﺣ َﻤ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ ْ ﻦ َ َأﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ِﺮ ْﺑ ِ
Wafat :194 H.
ﻋﻦ
ب ﺷﻬَﺎ ٍ ﻦ ِ ا ْﺑ ِ
Wafat :124H.
ﻋﻦ
ﻚ ﻣَﺎِﻟ ْ
Hidup: 94- 179H.
98
2. Skema sanad yang menggunaka redaksi:
ن ﺣ ْﻠﻮَا ِ ﻲ َو ُ ﺐ َو َﻣ ْﻬ ِﺮ ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ ﻦ ا ْﻟ َﻜ ْﻠ ِ ﻦ َﺛ َﻤ ِ ﻋْ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻧﻬَﻰ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ن َرﺳُﻮ َ َأ ﱠ a. Riwayat Abȗ Dȃwud no hadits 2970
ﺳﻠﱠﻢ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ وَ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ رَﺳُﻮ َ ي ﺴﻌُﻮ ٍد ا ْﻟ َﺄ ْﻧﺼَﺎ ِر ﱢ َأﺑِﻲ َﻣ ْ
Wafat :40 H.
ﻋﻦ
ﻦ ﺣ َﻤ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ ْ ﻦ َ َ أﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ِﺮ ْﺑ ِ
Wafat : 194H.
ﻋﻦ
ب ﺷﻬَﺎ ٍ ﻦ ِ ا ْﺑ ِ
Wafat :124H.
ﻋﻦ
ن ﺳ ْﻔﻴَﺎ َ ُ
Wafat :198H.
ﻋﻦ
ُﻗ َﺘ ْﻴ َﺒ ُﺔ
Wafat :240H.
ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ
ﻰ دَا ُو ْد َأ ِﺑ ْ
Hidup : 202-275H.
99
b. Skema sanad riwayat Ibnu Mȃjah, no hadits 2150
ﺳﻠﱠﻢ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ رَﺳُﻮ َ ي ﺴﻌُﻮ ٍد ا ْﻟَﺄ ْﻧﺼَﺎ ِر ﱢ َأﺑِﻲ َﻣ ْ
Wafat :40 H.
ﻋﻦ
ﻦ ﺣ َﻤ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ ْ ﻦ َ َأﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ِﺮ ْﺑ ِ
Wafat :194 H.
ﻋﻦ
ب ﺷﻬَﺎ ٍ ﻦ ِ ا ْﺑ ِ
Wafat 124:H.
ﻋﻦ
ن ﺳ ْﻔﻴَﺎ َ ُ
Wafat :198H.
ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ
Wafat :245H.
ح ﺼﺒﱠﺎ ِ ﻦ اﻟ ﱠ ﺤﻤﱠ ُﺪ ْﺑ ُ ُﻣ َ
ﻋﻤﱠﺎ ٍر ﻦ َ ِ هﺸَﺎ ُم ْﺑ ُ
Wafat :240H.
ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ
ﺟ ْﻪ ﻦ ﻣَﺎ َ ِا ْﺑ ُ
Hidup:207-273H
100
c. Skema sanad riwayat Tirmidzi, no hadits 1052
ﺳﻠﱠﻢ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ وَ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ رَﺳُﻮ َ
ي ﺴﻌُﻮ ٍد ا ْﻟ َﺄ ْﻧﺼَﺎ ِر ﱢ َأﺑِﻲ َﻣ ْ
Wafat :40 H.
ﻋﻦ
ﻦ ﺣ َﻤ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ ْ ﻦ َ َأﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ِﺮ ْﺑ ِ
Wafat :194 H.
ﻋﻦ
ب ﺷﻬَﺎ ٍ ﻦ ِ ا ْﺑ ِ
Wafat :124H.
ﻋﻦ
ﺚ اﻟﻠﱠ ْﻴ ُ
Wafat :175H.
ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ
ُﻗ َﺘ ْﻴ َﺒ ُﺔ
Wafat :240H.
ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ
اﻟ ِﺘ ْﺮ ِﻣﺬِى
Hidup:200-279H.
101
d. Skema sanad riwayat An-Nasai’, no hadits 4216
ﺳﻠﱠﻢ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ وَ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ رَﺳُﻮ َ ي ﺴﻌُﻮ ٍد ا ْﻟ َﺄ ْﻧﺼَﺎ ِر ﱢ َأﺑِﻲ َﻣ ْ
Wafat : 40H.
ﻋﻦ
ﻦ ﺣ َﻤ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ ْ ﻦ َ َأﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ِﺮ ْﺑ ِ
Wafat :194 H.
ﻋﻦ
ب ﺷﻬَﺎ ٍ ﻦ ِ ا ْﺑ ِ
Wafat :124H.
ﻋﻦ
ﺚ اﻟﱠﻠ ْﻴ ُ
Wafat :175H.
ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ
ُﻗ َﺘ ْﻴ َﺒ ُﺔ
Wafat :240H.
ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ
اﻟ ﱠﻨﺴَﺎﺋِﻲ
Hidup:215-303 H.
102
e. Skema sanad Jalur Bukhâri no hadits 2083, 2121, 4929, 5316
ﺳﻠﱠﻢ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ َرﺳُﻮ َ
Wafat : 40H.
ي ﺴﻌُﻮ ٍد ا ْﻟَﺄ ْﻧﺼَﺎ ِر ﱢ َأﺑِﻲ َﻣ ْ
ﻋﻦ
Wafat : 194H.
ﻦ ﺣ َﻤ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ ْ ﻦ َ َأﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ِﺮ ْﺑ ِ
ﻋﻦ
ب ﺷﻬَﺎ ٍ ﻦ ِ ا ْﺑ ِ
Wafat :124H.
ﻋﻦ
Wafat :198H.
ن ﺳ ْﻔﻴَﺎ ُ ُ
Wafat :179H.
ﻚ َ ﻣﺎِﻟ ْ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ
ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ﻦ َ ﻲ ْﺑ ُ ﻋِﻠ ﱡ َ
ﻒ ﺳ َ ﻦ ﻳُﻮ ُ ﻋ ْﺒ ُﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ ُ َ
ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ ﻦ ُﻣ َ ﻋ ْﺒ ُﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ ُ َ
ﻦ ُ ﻗ َﺘ ْﻴ َﺒ ُﺔ ْﺑ ُ
ﺳﻌِﻴ ٍﺪ َ
Wafat :234H. ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ
Wafat :229H.
Wafat :218H.
َا ْﻟ ُﺒﺨَﺎرِي
Wafat :240H.
Hidup194-226H.
103
f. Skema sanad riwayat Muslim no hadits 2930
ﺳﻠﱠﻢ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ َرﺳُﻮ َ
ي ﺴﻌُﻮ ٍد ا ْﻟ َﺄ ْﻧﺼَﺎ ِر ﱢ َأ ِﺑﻲ َﻣ ْ
Wafat :40 H.
ﻋﻦ
ﻦ ﺣ َﻤ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ ْ ﻦ َ َأﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ِﺮ ْﺑ ِ
Wafat : 194H.
ﻋﻦ
ب ﺷﻬَﺎ ٍ ﻦ ِ ا ْﺑ ِ
Wafat :124H.
ﻋﻦ
ﻚ ﻣَﺎِﻟ ٍ
Wafat :179H.
ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ
ﺤﻴَﻰ ﻦ َﻳ ْ ﺤﻴَﻰ ْﺑ ُ َﻳ ْ
Wafat :226H.
ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ
ﺴِﻠ ْﻢ ُﻣ ْ
Hidup: 204-261H.
104
g. Skema sanad riwayat Ahmad bin Hambal, no hadits, 16453
ﺳﻠﱠﻢ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ َرﺳُﻮ َ
ي ﺴﻌُﻮ ٍد ا ْﻟ َﺄ ْﻧﺼَﺎ ِر ﱢ َأﺑِﻲ َﻣ ْ
Wafat : 40H.
ﻋﻦ
ﻦ ﺣ َﻤ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ ْ ﻦ َ َأﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ِﺮ ْﺑ ِ
Wafat :194 H.
ﻋﻦ
ب ﺷﻬَﺎ ٍ ﻦ ِ ا ْﺑ ِ
Wafat :124H.
ﻦ ﺣ ﱠﺪ َﺛ َ َ
ﺚ اﻟﻠﱠ ْﻴ ُ
Wafat :175H.
ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ
ﺳ ِﻢ ﻦ ا ْﻟﻘَﺎ ِ ﺷ ُﻢ ْﺑ ُ هَﺎ ِ
Wafat :207H.
ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ
ﺣ َﻤ ْﺪ َأ ْ
Hidup:164-242H
105
h. Skema sanad riwayat Ad-Darimi, no hadits 2558
ﺳﻠﱠﻢ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ رَﺳُﻮ َ
ي ﺴﻌُﻮ ٍد ا ْﻟ َﺄ ْﻧﺼَﺎ ِر ﱢ َأﺑِﻲ َﻣ ْ
Wafat :40 H.
ﻋﻦ
ﻦ ﺣ َﻤ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ ْ ﻦ َ َأﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ِﺮ ْﺑ ِ
Wafat : 194H.
ﻋﻦ
ب ﺷﻬَﺎ ٍ ﻦ ِ ا ْﺑ ِ
Wafat :124H.
ﻦ ﺣ ﱠﺪ َﺛ َ َ
ن ﺳ ْﻔﻴَﺎ ُ ُ
Wafat :198H.
ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ
ﻒ ﺳ ْ ﻦ ُﻳ ْﻮ ُ ﺤ ﱠﻤ ْﺪ ِﺑ ْ ُﻣ َ
Wafat :2121H.
ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ
ﻲ اﻟ َﺪّا ِر ِﻣ ْ
Hidup:181-225H
106
Gabungan skema sanad hadits Laranan memakan harta hasil suap Dipisah ngeprinya.....................
107
D. Skema sanad hadits tentang haramnya suap dengan menggunakan kata :ﺷ َﻮ ِة ْ اﻟ ﱠﺮ a. Skema sanad hadits Imam Mȃlîk no Hadits 1198
ﺳﻠﱠﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ َرﺳُﻮ
Wafat : 110 H.
ﻦ َﻳﺴَﺎ ٍر ِ ن ْﺑ َ ﺳَﻠ ْﻴﻤَﺎ ُ ﻋﻦ
Wafat : 124 H.
ب ٍ ﺷﻬَﺎ ِ ﻦ ِ ا ْﺑ ﻋﻦ
Hidup :94-179 H.
ﻣَﺎﻟِﻚ
108
b. Skema sanad hadits tenang damapaknya kegiatan suap menyuap a. Skema sanad hadits tentang dampaknya suap dari Jalur Ahmad bin
اﻟ ﱡ ﺮﺷَﺎHambal no hadits 17155 dengan menggunakan kata : ﻈ َﻬ ُﺮ ﻦ َﻗ ْﻮ ٍم َﻳ ْ ل ﻣَﺎ ِﻣ ْ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻳﻘُﻮ ُ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﺖ َرﺳُﻮ َ ﺳ ِﻤ ْﻌ ُ ل َ ﻗَﺎ َ ﺧﺬُوا ﻈ َﻬ ُﺮ ﻓِﻴ ِﻬ ْﻢ اﻟ ﱡﺮﺷَﺎ ِإﻟﱠﺎ ُأ ِ ﻦ َﻗ ْﻮ ٍم َﻳ ْ ﺴ َﻨ ِﺔ َوﻣَﺎ ِﻣ ْ ﺧﺬُوا ﺑِﺎﻟ ﱠ ﻓِﻴ ِﻬ ْﻢ اﻟ ﱢﺮﺑَﺎ ِإﻟﱠﺎ ُأ ِ ﺐ ﻋ ِ ﺑِﺎﻟ ﱡﺮ ْ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ َرﺳُﻮ َ
ص ﻦ ا ْﻟﻌَﺎ ِ ﻋ ْﻤﺮِو ْﺑ ِ َ
Wafat : 43 H.
ﻋﻦ
ي ﺷ ٍﺪ ا ْﻟ ُﻤﺮَا ِد ﱢ ﻦ رَا ِ ﺤ ﱠﻤ ِﺪ ْﺑ ِ ُﻣ َ
Wafat :? H.
ﻋﻦ
ن ﺳَﻠ ْﻴﻤَﺎ َ ﻦ ُ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ ِ َ
Wafat :? H.
ﻋﻦ
ﻦ َﻟﻬِﻴ َﻌ َﺔ ا ْﺑ ُ
Wafat :174 H.
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
ﻦ دَا ُو َد ﻣُﻮﺳَﻰ ْﺑ ُ
Wafat : 217H.
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
ﺣ َﻤ ْﺪ َأ ْ
Hidup : 164-242H.
109
b. Skema sanad hadits tentang dampaknya menerima suap dari Jalur
ﺷَ اﻟ ﱢﺮ ْ ﻮ َة An-Nasa’i No hadits 5571 dengan mengunakan kata: ﻞ ﺖ َوِإذَا َﻗ ِﺒ َ ﺤ َ ﺴْ ﻞ اﻟ ﱡ ﻞ ا ْﻟ َﻬ ِﺪ ﱠﻳ َﺔ َﻓ َﻘ ْﺪ َأ َآ َ ل ا ْﻟﻘَﺎﺿِﻲ ِإذَا َأ َآ َ ق ﻗَﺎ َ ﺴ ُﺮو ٍ ﻦ َﻣ ْ ﻋْ َ ﺖ ِﺑ ِﻪ ا ْﻟ ُﻜ ْﻔ َﺮ ﺷ َﻮ َة َﺑَﻠ َﻐ ْ اﻟ ﱢﺮ ْ ﺳﻠﱠﻢ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﺳﻮ َ َر ُ
ق ﺴﺮُو ٍ َﻣ ْ
Wafat : 63 H.
ﻋﻦ
ﻞ َأﺑِﻲ وَا ِﺋ ٍ
Wafat : 82 H.
ﻋﻦ
ﻋ َﺘ ْﻴ َﺒ َﺔ ﻦ ُ ﺤ َﻜ ِﻢ ْﺑ ِ ا ْﻟ َ
Wafat :113 H.
ﻋﻦ
ن ﻦ زَاذَا َ َﻣ ْﻨﺼُﻮ ِر ْﺑ ِ
Wafat :129 H.
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
ﺧﻠِﻴ َﻔ َﺔ ﻦ َ ا ْﺑ َ
Wafat :181 H.
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
Wafat: 244 H.
ُﻗ َﺘﻴْﺸ َﺒ ُﺔ
ﺠ ٍﺮ ﺣْ ﻦ ُ ﻲ ْﺑ ُ ﻋِﻠ ﱡ َ
Wafat :240 H.
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ
اﻟ َّﻨﺴَﺎﺋِﻲ
Hidup : 215-303H.
110
2. Analisis sanad hadits tentang Suap menyuap A. Analisis sanad hadits tentang laknat Allah yang menggunakan redaksi:
”ﺷﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗﺸِﻲ ِ ﻋﻠَﻰ اﻟﺮﱠا َ “َﻟ ْﻌ َﻨ ُﺔ اﻟﱠﻠ ِﻪ 1. Jalur Ibnu Mȃjjah Jalur Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr dengan mukharij Ibnu Mȃjjah no 2304 Rȃwi yang terdapat pada jalur sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr dengan mukharij Ibnu Mȃjah diantaranya : ‘Abdullah bin ‘Amr, Abî Salamah, AlHȃrits bin ‘Abdurrahman, Ibn Abî Dzi’bi, Waki dan Alî bin Muhammad. 1.1. Ibnu Mȃjah a) Nama lengkapnya : Muhammad bin Yazîd , kunyiahnya Abȗ ‘Abdillah, nisbatnya : ar-Rubi’I, Al-qozwiny, di lahirkan pada tahun 209 H, wafatnya pada tahun 273 H. b) Guru-guruny: Alî bin Muhammad At-Thanafisi, Jabbarah bin Mughlis, Mushab bin ‘Abdilah Az-Zubairi, Muhammad bin Ramah, ‘Abdulah Muawiyyah Al-jama’i. c) Murid-muridnya : Muhammad bin’Isa, Abȗ Thayyib Ahmad bin Ruh AlBaghdadi, Abȗ ‘Amr, Ahmad bin Muhammad bin Hakim Al-madini, Abî Hasan ‘Alî bin Al-Qathan, Sulaimȃn bin Yazîd Al-Ghami. d) Pendapat para ulama : Abȗ Ya’lȃ al-Khalî li al-Qazwini berkata Ibnu Mȃjah adalah orang besar yang terpercaya, jujur dan pendapatnya dapat dijadikan hujjah, beliau memiliki pengetahuan luas dan banyak
111
menghafal hadits, sedangkan Ibnu Katsir berpendapat beliau adalah ahli hadits, dalam kitab bidayahnya berkata, Ibnu Mȃjah adalah pengarang kitab sunan yang termashur, kitab itu merupakan bukti amal dan ilmunya yang luas.176 1.2. Alî bin Muhammad a) Nama Lengkapnya: Alî
bin Muhammad bin Ishȃq Ath-Thanafisî,
Thabaqah: 10 dari Atba’ Tabi’in, Kuniyah Abȗ Al-Hasan al-Kȗfî, tinggal: Kuffah,Wafat: 233 H, dan ada juga yang menyebutkan 235 H. b) Guru-gurunya: Ishȃq bin Sulaimȃn al-Razi, Ishȃq bin Mansȗr, Wakî’ bin al-Jarrah, Yahya bin Adam, Muhammad bin Fudhail bin Ghazwȃn, Muhammad bin ‘Ubaid Ath-thanȃfisi, Sahl bin al-Hasan, Syu’eb al-Harb, ‘Abdullah bin Idrîs, Ja’far bin ‘Awan, Abî Mu’awiyah, ‘Abdullah bin Numair, ‘Abdurrahman bin Muhammad, Yahya bin ‘Ayȃs, ‘Abdullah bin Wahhȃb, Hafash bin Ghiyȃs, c) Murid-muridnya : Ibnu Mȃjjah, Hȃrȗn bin ‘Abdullah, Ja’far bin Muhammad al-Hasan ar-Razî, Abȗ Hȃtim Muhammad bin Idrîs, Muhammad bin, ‘Ubaidillah bin Ahmad al-Manshȗr, Al-Kisȃ’i, Alî bin Sa’îd bin Basyr, Al-‘Abbȃs bin Ismȃil, Alî bin al-Hasan bin Junaid. d) Pendapat para ulama : menurut Ibnu Hajar, beliau ini Tsiqah, dan Ibnu Hatim mengatakan Tsiqah shaduq.177 1.3. Wakî’ 176
‘Abdullah bin ‘Abdullah, Sembilan Pendekar Hadits, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah. 2007), hal 171-177 177 Ahmad bin Ali Ibn Hajar al-Asqalany, Tahdzibu Tahdzib. (Beirut: Darl al-Fikr, 1984) Juz 7, hal. 379
112
a) Nama Lengkapnya : Waki’ bin Jarȃh bin Mâlih Al-Rȃ’si, Thabaqah: 9 dari Atba’ Tabi’in, Kuniyahnya: Abȗ Supyȃn al-Kȗfi, Tinggal: Isfahan, Wafat : 196 H dan ada juga yang mengatakan 197 H. Dithoriq ( makkah). b) Guru-gurunya : Idrîs bin Yazîd , Israîl bin Yȗnus bin Abî Ishȃq, Ishȃq bin Sa’îd bin ‘Amr al-Qurȃsy, Ismȃil bin Ibrȃhim Muhȃjir, Ismȃil bin Abî Khȃlid, Ismȃil bin Salamȃn al-Azrȃq, Ismȃil bin Abdul Mȃlik, Zakariya bin Abî Sa’îd, Zakariya bin Salîm, Sa’îd bin Basyar, Sa’îd bin ‘Abdul ‘Azîz, Sulimȃn bin al-Mughîrah, Sulaimȃn al- A’masy, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman, ‘Abdullah bin ‘Awan. ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, ‘Abdul Mȃlik bin Juraiz, ‘Abdul bin Muslim bin Salȃm, Fudzail bin Marzȗq, Mȃlik bin Annas, Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abî Dzi’bi, Harȗn bin Mȗsa, bin ‘Urwah, Yȗnus bin Abî Ishȃq. c) Murid-muridnya : ‘Abdurrahman bin Yȗnus, Ahmad bin Abî Syu’eb, ‘Abdurrahman bin Ahmad bin Ja’far, ‘Abdullah bin Yȗnus al-Husen, Sa’îd bin Yahya bin Sa’id, Abȗ Bakar bin ‘Abdullah, bin Muhammad bin Abî Syaibah, Qutaibah bin Sa’id, Muhammad bin Ismȃil, Abȗ Bakar bin Khȃlîd, Muhammad bin Sulaimȃn bin Hisyȃm, Muhammad bin ‘Abdullah, Muhammad bin ‘Amr bin Yȗnus, Abȗ Yahya Muhammad bin Yahya bin Ayyub, Yahya an-Naisabȗry, Yazîd bin Hȃrȗn, Ya’qub bin Ibrȃhim, Alî Muhammad Ath-Thanafisi. d) Pendapat para ulama : Menurut Ibnu Hajar: Tsiqah ahli Ibdah, Ibnu Sa’îd: Tsiqah Ma’mun, ad-Dzahabî: Tisqah, Ibnu Hibban: Hafidz.178 178
Ibid, Juz 11, hal. 211
113
1.4. Ibn Abî Dzi’ bin a) Nama Lengkapnaya: Muhammad bin ‘Abdurrahman bin al-Mughîrah bin Al-Hȃrits bin Abî Dzi’bin Abȗ Al-Hȃrits Al-Madani, Kuniyah; Abȗ Al-Hȃrits , Lahir: 80 H, Wafat: 158 H dan ada juga yang menyebutkan 159 H di Kuffah, b) Guru-gurunya : Abî Jȃbir Muhammad bin ‘Abdullah, Yazîd bin ‘Abdullah.
bin
‘Abdurrahman
bin
Tsaȗbȃn,
Al-Hȃrits
bin
‘Abdurrahman Al-Qurasyi, Sa’îd bin Khȃlîd, Sa’îd bin Abî sa’id, ‘Abdullah bin Sal’ab bin Yazîd, Utsmȃn bin ‘Abdullah bin Sarȃqah, Muhammad bin Qois al-Madanî, ‘Umar bin Abȗ Bakar bin Al-Hȃrits bin Hȃsyim, ‘Abdurrahman bin al-Mughîrah
bin Abî Dzi’bi,
Muhammad bin Muslim bin Syihȃb az-Zuhri, ‘Abdul ‘Azîz bin ‘Ayasy, Nȃfi’ bin Abî Nȃfi’, al-Hasan bin Yazîd bin Hasan bin Alî bin Abî Thȃlib. c) Murid-Muridnya : Ahmad bin ‘Abdullah bin Yȗnus, Adam bin Abî ‘iyas, Ishȃq bin Sulaimȃn, Ishȃq bin Muhammad, Sufyȃn Tsaȗri, Syu’eb bin Ishȃq, Abȗ ‘Ashim, ‘Ashim bin Alî bin ‘Ashim al-Washith, ‘Abdulah bin Numair, ‘Utsmȃn bin ‘Utsmȃn, ‘Usman bin ‘Amr bin Fȃris, Muhammad bin Ibrȃhim bin Dinȃr, Waki’ bin Juraih, Muhammad bin Ismȃil, Abȗ Bakar bin ‘Ayasy.
114
d) Pendapat para ulama: Menurut para ulama seperti an-Nasa’i, ad-Dzahabi: Yahya bin Ma’in dan Ibnu Hajar mengatakan bahwa beliau adalah seorang yang Tsiqah.179 1.5. Al- Hȃrits bin ‘Abdurrahman a) Nama Lengkapnya: Al-Hȃrits bin ‘Abdurrahman bin al- Qurasyi al‘Amiri, Kuniyanya: Abȗ ‘Abdurrahman al-Madanî, Lahir:56 H, dan Wafat: 129 b) Guru-gurunya: Jabîr bin Abî Sulaimȃn bin Jabîr, Hamzah bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khatȃb, Salîm bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin AlKhattȃb, Kuraib Muala Ibnu ‘Abbas, Muhammad bin Jabîr, Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Tsaȗbȃn, Abî Salamah bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf. c) Muridnya-muridnya : Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abî Dzi’bi d) Pendapat para ulama : Para Ulma berbeda pendapat dalam menilai AlHȃrits bin ‘Abdurrahman, Menurut Ibnu Hajar: tsiqah, menurut adDzhabî: shaduq shalîh, Menurut Ibnu Hajar: shaduq,
Ibnu Said:
Haditsnya sedikit,.180 an-Nasai: Laisa bihi ba’tsa181 1.6. Abî Salamah a) Nama lengkapnya: ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf Al-Qurasy azZuhri, Al-Madanai. Thabaqah: Tabi’in pertengahan, Kuniyahnya: Abȗ Salamah. wafat: 94 H dan ada yag menyebutkan 104 H, Di Madinah. 179
Ibid, Juz 9 hal 303 Ibid, Juz 2 hal 148-149 181 Abi ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi, Mizan al-I’tidal fiy Naqdihi ar-Rijal ( Beirut: Dar al-Fkr, 1963) Juz 1 hal 472 180
115
b) Guru-gurunya : Annas bin Mȃlik, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz, Muawiyah bin Abî Sufyȃn, Ummu Salamah, A’isyah, Fathimah binti Qois, Zainab binti Salamah, Abȗ Hurairah, Abî Said al-Hudri, Abî Sufyȃn bin Sa’îd Bin Mughirȃh, Abî Qotadah alAnshȃri, Abî Ayyub al-Anshȃri, Al-Mughirȃh bin Syu’bah, Muawiyah bin al-Hakim, Nȃfi’ bin ‘Abdurrahman, ‘Abdurrahman bin Nafi’ bin ‘Abdurrahman. Zaid bin Tsȃbit, Zaid bin Khȃlid, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, c) Murid-muridnya: Abȗ al-Hasan, Yazîd bin ‘Abdullah, Yahya bin Katsîr, Abȗ Bakar bin Hafsh, Hȃsyim bin ‘Urwah, Yahya bin Sa’îd al-Anshari, al-Walîd bin ‘Abdullah bin Jȃmi’, Mȗsa bin ‘Uqbah, Muhammad bin Muslim bin Syihȃb az-Zhuhri, Al-Hȃrits bin ‘Abdurrahman Al-Qurasyi, al-Hasan bin Yazîd Abȗ Yȗnus al-Qowi, Ja’far bin Rubî’ah, Dâwud bin Abî ‘Ashim bin ‘Urwah ‘Umar bin Abî Salamah bin ‘Abdurrahman (Anaknya). d) Pendapat para ulama: Menurut Muhammad bin Sa’îd mengatakan bahawa Thabaqah ke dua dari ahli Madinah itu berstatus Tsiqah, Menurut Abȗ Dzara’ah: Tsiqah Imam, Menurut Ibnu Hibban: Tsiqah, Mȃlik bin Annas: Dia adalah seorang ahli Ilmu.182 1.7. ‘Abdullah bin ‘Amr
182
Ibnu Hajar, Op.Cit., Juz 12 hal 115-118
116
a) Nama lengkapnya : ‘Abdullah Ibn ‘Amr Ibn al- ‘Ash ibn Wȃ’il Ibn Hȃsyim Ibn Sa’îd al- Qurȃisyî al-Syiham, Kuniyahnya: Abȗ Muhammad. Wafat: 63 H Dimaru (Thaif). b) Guru-gurunya : Nabî Muhammad,
Sarȃqah bin Mȃlik bin Ja’syim,
‘Abdurrahman bin ‘Aȗf, Umar ibn al- Khatȃb, ‘Amr Ibn al- ‘Ash, Muadz bin Jabbȃl, Abȗ Bakr as-Shiddîq, Abî Ta’labah Al-Khostani. c) Murid-muridnya : Annas bin Mȃlik, Ismȃil, Jabîr bin Abî Jabîr, Abȗ ‘Abdullah bin Basyr bin Muslim, Syu’eb bin ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, ‘Abdullah bin Hȃrȗn, ‘Atha’ bin Yasȃr, Abȗ Salamah bin ‘Abdurrahman bin ‘Aȗf, Ya’kȗb bin ‘Ashim bin ‘Urwah, Abȗ Zura’ah bin ‘Amr, Masrȗq bin Ajda’, ‘Abdullah bin Shafwȃn, ‘Atha’ al- ‘Amir, ‘Abdurrahman bin Nȃfi’, Ibrȃhîm bin Muhammad bin Thalhah. d) Pendapat para ulama: Menurut ad-Dzhabî dan Ibnu Hajar : menyatakan dia adalah Sahabat.183 2. Ahmad Bin Hambal No Hadits 6689 Jalur
Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr dengan mukharij Ahmad bin
Hambal no 6689 rȃwi yang terdapat pada jalur sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr dengan mukharij Ahmad bin Hambal diantaranya : ‘Abdullah bin ‘Amr, Abî Salamah, Al- Hȃrits bin ‘Abdurrahman, Ibn Abî Dza’ bi, Abȗ Nu’em. 2.1. Ahmad Bin Hambal
183
Ibid, Juz 5 hal 337-338
117
a) Nama lengkapnya : Abȗ ‘Abdilla Ahmad bin Muhamad bin Hambal bin Hilalasy- Syaibani al-Marwazi al-Bagdhadi, tahun lahirnya 164 H di Baghdad dan wafat: pada tahun 241 H hari Jumat. b) Guru-gurunya : Hȃsyim bin Basyir, Sufyȃn bin Uyainah, Ibrȃhim bin Sa’d, Yahya bin Adam, Al-Imam As-Syafi’i, Al- Qadli Abȗ Yȗsuf, Muhammad bin Ja’far, ‘Abdur Razak bin Hamam as- shana’ani. c) Muridnya: Alî bin Al-Madani, Yahya bin Muayyan, Ahmad bin Abî alHawari Ahmad bin shalîh Al-Mishri, Bukhȃri, Muslim, Abȗ Dȃwud. d) Pendapat para ulama: Menurut Ishȃq Ibn Rahawaih : Ahamd merupakan Hujjah antara hamba dengan Allah di muka bumi ini, dan menurut Yahya bin Mai’in beliau seorang Hafizd, Alîm, Wara, Zahid dan berakal sempurna dan menurut Imam Syafi’i beliau adalah seorang yang terpuji, shaleh dan ilmunya lebih banyak.184 2.2. Abȗ Nu’em a) Nama lengkapnya : Al-Fadhal bin Dukain, ‘Amr bin Hȃmad bin Zuhri al-Qurasy at-Taimiy, Lahir: 130 H, Wafat: 218 H, Dikuffah, Thabaqah: 9 dari atba’Tabiin Kecil. b) Guru-Gurunya : Israîl bin Yȗnus bin Abî Ishȃq,
Sulaimȃn bin Al-
A’mas, Yȗnus bin Abî Ishȃq, Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abî Dzi’b, Mȗsa bin Muhammad bin al-Anshari, Hȃsyim bin al-Mughîrah at-Tsaqafy, Abȗ ‘Awanah al- Wadhah bin ‘Abdullah, Al-Walîd bin ‘Abdullah, Abî Bakar bin ‘Ayyas, Amr bin ‘Utsmȃn bin ‘Abdullah bin 184
Agus Solehudin dan Agus Suryadi, Op.Cit.,hal 229-230
118
Mawahib, Bakir bin A’mir, Dȃwud bin Qois, Dȃwud bin Yazîd, Ismȃil bin Ibrȃhim bin Muhȃjir bin ‘Abdul Mȃlik, Jarir bin Hazm, Jarîr bin Humaid, Abî Hȃtim bin Ismȃil, Al-Hasan bin Shalih Hafs bin Ghiyas, Al-Hakim bin ‘Abdirrahman, Al-Hakim bin Muȃd, ‘Abdul Azîz bin ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz, c) Murid-muridnya : Ahmad bin Hambal, Bukhȃri, Ahmad bin al- Hasan Tirmidzi, Ahmad bin Muhammad bi Mȗsa, Ishȃq bin Al-Hasan al-Harb, Al-Hȃrits
bin Muhammad bin Abî Asȃmah, Hambal bin Ishȃq bin
Hambal, Abȗ Dȃwud Sulaimȃn bin Yȗsuf, ‘Abdullah bin al-Mubȃrak, Abȗ Bakar bin Muhammad bin Abî Syaibah, Utsmȃn bin Muhammad bin Abî Syaibah, Abȗ Hȃtim Muhammad bin Idrîs, Abȗ Ismȃil Muhammad bin Ismȃil At-Tirmidzi, Yahya bin Ma’în, Muhammad bin Yȗnus, d) Pendapat para ulama: Menurut Ibnu Hajar: Tsiqah, ad-Dzahabî: Hafidz, Ya’qub bin Syaibbah: Tsiqah Tsabat Shaduq. Dan Abȗ Dȃwud dari Ahmad bin Hambal bahwa haditsnya Abȗ Nu’em itu shaduq185. Abȗ Hȃtim :Tiqah, Al-‘Ajlî: Hadits dari Abȗ Nu’em itu adalah Tiqah Tsabat. 2.3. Abdullah bin ‘Amr : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.7) 2.4. Abî Salamah : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.6)
185
Ibnu Hajar al-Asqalany, Op.Cit. Juz 8 hal 270-276
119
2.5. Al- Hȃrits bin ‘Abdurrahman: Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.5). B. Analisis sanad hadits tentang laknat Allah yang menggunakan redaksi:
ﺤ ْﻜ ِﻢ ُ ﻲ ﻓِﻲ ا ْﻟ َﺸ ِ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ َﺷ ِ ﻦ اﻟﻠﱠ ُﻪ اﻟﺮﱠا َ َﻟ َﻌ 3. Jalur Ahmad Bin Hambal No Hadits 8670 Jalur
Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr dengan mukharij Ahmad bin
Hambal no 8670 rȃwi yang terdapat pada jalur sahabat Abȗ Hurairah dengan mukharij Ahmad bin Hambal diantaranya : Abî Hurairah, Bapaknya ( Abî Salamah), ‘Umar bin Abî Salamah, Abȗ ‘Awȃnah, ‘Affan. 3.1. Ahmad bin Hambal: Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang laknat Allah (2.1) 3.2. ‘Affȃn a) Nama Lengkapnya: ‘Affȃn bin Muslim bin ‘Abdullah Al-Buhȃlî, Kuniyahnya: Abȗ ‘Utsman, Lahir dibagdad dan Wafatnya : 219 H, Dibagdad. b) Guru-guunya :Ismȃil bin ‘Alîyah, Hamȃd bin Salamah, Dȃwud bin Abî al-Farȃt, Salim bin Hayyan, Sulaimȃn bin Katsîr, Sulaimȃn bin alMughîrah , Syu’bah bin Hajȃj, ‘Abdullah bin Bakr bin ‘Abdullah, ‘Abdul Wȃrits bin Sa’id, Muhammad bin Yahya bin sa’id, Hamȃm bin Yahyȃ, Abȗ ‘Awȃnah al-Wadho bin ‘Abdullah.
120
c) Murid-muridnya: Bukhȃri, Ibrȃhim bin Ishȃq, Ibrȃhim bin al-Husaen alMadani al- Kisai, Ibrȃhim bin Marzȗq, Ibrȃhim bin Ya’qub, Ahmad bin Hambal, Ahmad bin Sulaimȃn, Ahmad bin Sanȃn al-Qathȃni, Ahmad bin Shȃlih al-Mishrî, Abȗ Mas’ud, Ahmad bin al-Qosim, Ahmad bin Yahya bin Jabîr, Ishȃq bin al-Hasan, Ishȃq bin Manshȗr, Ishȃq bin Manshȗr Al-Bagdadi, `Ja’far bin Muhammad bin Syȃkir, Alî Ibnu Madanî, Ya’kub bin Syaibah, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yahya, Abȗ Mȗsa bin al-Mutsana, Muhammad bin Hatim, Muhammad bin Basyar bin Dinȃr, Qutaibah bin Sa’id. d) Pendapat para ulama: Menurut Ibnu Hajar: Stiqah Tsabat, menurut AdDzahabi: Hafidz dan telah terbukti Tsabat dalam Hukum Jarh dan Ta’dil, Menurut Ahmad bin ‘Abdullah al- ‘al- A’zalî: Tsiqah Tsabat,186 3.3. Abȗ ‘Awânah a) Nama Lengkapnya : Al-Wahdoh bin ‘Abdullah al-Yasykurî al-Washith al-Bajȃz, Maulȃ Yazîd bin ‘Atha’, Kuniyahnya: Abȗ ‘Awanah, Lahir: Dibagdad, Wafat: 175 H ada juga yang menyebutkan 176 H, Dibagdad. b) Guru-gurunya : ‘Abdullah bin ‘Auf, Thȃriq bin ‘Abdurrahman, Zaid bin Jȃbir, Sa’îd bin Ibrȃhim, Sa’îd bin Masrȗq al-Tsaȗrî, Dȃwud bin Abî Hindȗn, Sulaimȃn bin al-‘A’masy, Jȃbir bin Yazîd, Basyar bin Numair, Al-Aswȃd bin Qois, Ismȃil bin Salam, Ismȃil bin ‘Abdurrahman, ‘Abdurrahman bin Abî Ashbȃhanî, Khȃlid bin Alqomah.
186
Ibid. juz 7 hal 230-235.
121
c) Murid-muridnya : “Affȃn bin Muslim, Abȗ Mȃlik, Katsîr bin Yahyȃ, Yahyȃ bin Yahyȃ an-Naisabȗri, Muslim bin Ibrȃhim, Muhammad bin ‘Abdul Mȃlik bin Abî Syurȃb, Muhammad bin Thȃlib,
Ismȃil bin
‘Alîyah, Sa’îd bin Manshȗr, ‘Abdurrahman bin al-Mubȃrak, d) Pendapat para ulama: menurut Ibnu Hajar: Tsiqah Tsabat, ad-Dzahabi: Hafidz, Tsiqah Muttaqîn Kitabnya, Abȗ Hȃtim: Kitabnya Shahih, Shaduq, Abȗ Zurȃ’ah: Haditsnya Tsiqah dari Kitabnya, Yahya bin Ma’în: Hadits Abȗ ‘Awȃnah boleh diambil. 3.4. ‘Umar bin Abî Salamah a) Nama lengkapnya: Umar bin Abî Salamah bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Al-Qurasyî, Al-Madanî. Lahir: Madinah, Wafat:132 H disyam, b) Guru-gurunya : Ishȃq bin Yahya bin Thalhah bin ‘Abdullah, Abî Salamah bin ‘Abdurrahman (Ayahnya), c) Murid-muridnya : Abȗ ‘Awanah, Sa’id bin Ibrȃhim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Mȗsa bin Ya’qub, Hasyim bin Basyar. d) Pendapat para ulama : menurut An-Nasa’i : Laisa biqawi, Yahya bin Ma’in: laisa bihi Ba’tsa, Marrah :Dha’iful hadits, Abȗ Bakar bin Khuzaimah dan Abȗ Hȃtim: Lâ yuhtajju bih, Ibrȃhim bin Ya’qub :laisa biqawi fil Hadits, Ibnu Hajar: Shaduq yuhtajju, ad-Dzahabî dan Abȗ Hȃtim: Shaduq lâ yuhtajju bihi, Tsiqah Gahirih.187 3.5. Abî Salamah bin Abdurrahman (Abîh) : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang laknat Allah (1.6) 187
Ibid. Juz 111 hal 164-167
122
3.6. Abî Hurairah a) Nama Lengkapnya : ‘Umar bin Dzi al-Syarri bin Tharif bin Iyan bin Abî Sya’ab bin Hunain bin sa’ad bin Tsa’labah bin Sulaimȃn bin Fahm alDausi. Nama beliau yang poluler adalah ‘Abdurrahman bin sakhr alDausi al- Taimiy dan nama yang lebih populer lagi adalah Abȗ hurairah, Abȗ Hurairah sendiri menerangkan bahwa pada masa jahiliyyah namanya Abȗ Syam. Lahir pada tahun 21 Sebelum Hijrah, Menurut Abȗ Hasan al-Madanî, ‘Alî bin al-madany, yahya bin Bukair,’ Umar bin ‘Alî: Abȗ hurairah wafat pada tahun 57 H, Sedangkan pendapat Dhamrah bin Rabî’ah, al-Khatsam bin ‘Adiy, Abȗ Ma’syar al-Madani, dan lain-lain bahwa beliau wafatnya pada tahun 58 h, Tetapi menurut pendapat alWaqidi, Abȗ ‘Ubaid, Abȗ ‘umar ad-darimi, dan Ibnu Numair, bahwa beliau wafat tahun 59 H. Dan al-waqidi berkata beliau meninggal pada usia 78 tahun. b) Guru-gurunya : Guru beliau ada sembilang orang yaitu: Rasulullah, Ubay bin Ka’ab, Usaman bin Zaid bin Hȃrits ah, A’isyah, Abȗ Bakar Shiddiq, ‘Umar bin al-Khatȃb,Al-Fadhol bin ‘Abbȃs, Ka’ab al-Ahbȃr. c) Murid-muridnya : Walîd bin Ismȃil As-Sudi, ‘Abdurrahman bin Mihran, ‘Abdurrahman bin Abî Nu’man al-Bajalî, ‘Abdurrahman bin Hurmuz al‘Araj, Ibrȃhim bin Ismȃil, ‘Abdullah bin Abî Sulaimȃn, ‘Abdullah bin ‘Amr bin Khattȃb, ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Ka’ab bin Mȃlik, ‘Abdurrahman bin al-Hȃrits
bin Hȃsyim, ‘Abdul Mȃlik bin Yasȃr,
‘Abdullah bin ‘Abbȃs, ‘Abdurrahman bin Khȃlid bin Maesarah.
123
d) Pendapat para ulama:: Bahwa Abȗ Hurairah
meriwayatkan hadits
sebanyak 5374 hadits, dan menurut al-Kirmaniy 5365 hadits. Beliau merupakan bagian dari tanda-tanda Nubuwwah, juga orang yang paling hafal diantara orang-orang yang meriwayatkan hadits pada masanya dan tidak ada yang menyamai dari segi jumlahnya dari seorang sahabat manapun ketika itu.188 •
Penentuan kualitas sanad hadits tentang laknat Allah bagi orang yang melakukan suap menyuap dengan melihat ke-adail-an, ke-dhabit-an dan kemuttasilan sanad. Penentuan Kualitas sanad hadits yang menggunakan redaksi:
ﺤﻜْﻢ ُ ﻲ ﻓِﻲ ا ْﻟ َﺸ ِ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ َﺷ ِ ﻦ اﻟﻠﱠ ُﻪ اﻟﺮﱠا َ َﻟ َﻌ Dilihat dari ke-adil-an dan ke-dhabit-annya rȃwi-rȃwi yang menjadi sanad hadits tersebut, maka dapat diketahui, bahwa sanad-saad-nya termasuk Orang-orang yang tsiqah, Kecuali ada satu sanad yang dinilai oleh para Ulama sebagai seaorang rȃwi yang memiliki kecacatan baik dari segi dhabit-nya ataupun dari segi adl’nya, karena di temukan dari komentar para ulama yang mengomentari para rȃwi di atas yang men Jarh-nya , rȃwi tersebut yang bernama ‘Umar bin Abî Salamah, dari jalur riwayat Ahmad bin Hambal, Abȗ ‘Awanah, ‘Umar bin Abî Salamah, Abî Salamah dan Abȗhurairah. Diantara para ulama yang mengomentari para rȃwi ada yang mengatakan: Bahwa ‘Umar bin Abî Salamah: Shaduq yuhtajju bihi, Tsiqah Ghairi, Laisa biqawi , Dha’iful 188
Ibid. Juz III, hal 164-167
124
hadits, Lâ yuhtajju bih189, laisa biqawi fil Hadits. dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perȃwi tersebut merupakan perȃwi yang kurang Tsiqah karena ada beberapa ulama yang menilai jarh. Dengan memperhatikan sanad gabungan hadits tentang Laknat Allah bagi orang yang melakukan suap menyuap dalam hukumnya, dalam kitab Musnad Ahmad bin Hambal no hadits 8670, ditinjau dari segi sanadnya yaitu termasuk hadits hasan, karena ada perȃwi yang bernama ‘Umar bin Abî Salamah, yang mayorits ulama menilai dengan penilaian yang Jarh ( dalam tingkatan kurangnya keadilan dan kedhabitan rȃwi), Seperti: Lâ yuhtajju bihi, Akan tetapi Ahmad bin Hambal mengeluarkan Riwayat lain dengan Jalur Abȗ Nu’em, Ibnu Abî Dzi’bin Al-Harits bin ‘Abdurrahman, Abî Salamah dan ‘Abdurrahman bin ‘Amr, Beserta riwayat Ibnu Mȃjah dari Alî bin Muhammad, Waki’ dan seterusnya sampai ‘Abdulah bin ‘Amr. Maka Hadits yang disanadkan Abȗ Nuem dan seterusnya , menjadi mutabî bagi hadits Ahmad yang bersanadkan ‘Affȃn tersebut. Dengan demikian, Maka hadits Ahmad yang bersanadkan ‘Amr bin Abî Salamah yang pada asalnya hasan ( karena
kurangnya keadilan dan
kedhabitan) naik menjadi shahih lighairi , Karena Hasan telah dianggkat oleh mutabî, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad sendiri dengan jalur sanad Abȗ Nuem, dan Hadits Ibnu Mȃjah yang bersanadkan Alî’ bin Muhammad dan diangkat pula oleh syahid dengan Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr.
189 Lafadz Jarh tingkatan kelima, yang meunjukukan kelemahan dan kekacauan para rawi dalam hal Hafalnya
125
Jika
memperhatikan
skema
sanad
hadits
pada
hadist
yang
menggunakan “Redaksi Laknat Allah Bagi Orang yang melakukan suap menyuap dalam Hukumnya”, Maka dapat diketahui ketersambungannya ini marfu dan muttashil setelah dianalisis pada Jalur Sahabat Abî Hurairah dan sahabat ‘Abdulah bin ‘Amr semuanya mengguanakan ﻦ ْﻋ َ , dan ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ sehingga bisa dikatakan para rȃwi tersebut muttasil dan dapat dikategorikan Liqa hal ini karena lafadz adat al-Tahamul yang digunakan mengandung pengertian sima’i disamping ada hubungan guru dan murid. Jadi dari segi ke-muttasilan-nya diantara sanad-sanad dalam hadits-hadits diatas dapat di hukumkan seluruhnya muttashil sanad. C. Analisis sanad hadits tentang laknat Rasul yang menggunakan redaksi :
ﻲ َﺸ ِ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ َﺷ ِ ﺳﱠﻠ َﻢ اﻟﺮﱠا َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ﻦ َرﺳُﻮ َ َﻟ َﻌ 1. Jalur Riwayat Tirmidzi No hadits 1257 Jalur Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr dengan mukharij Timidzi no 1257 rȃwi yang terdapat pada jalur sahabat ‘Abdullah bin’Amr dengan mukharij Timidzi diantaranya : ‘Abdullah bin’Amr, Abî Salamah, Al-Hȃrits
bin
‘Abdurrahman, Ibnu Abî Dzi’bin, Abȗ ‘A’mir al-‘Aqodiy, Abȗ Mȗsa Muhammaad bin al-Mutsanna. 1.1. Tirmidzi a) Nama lengkapnya adalah Abȗ Isa Muhammad bin Isa saurah at-Tirmidzi, Ia dilahirkan pada tahun 200 H dan wafat pada tahun 279 H.
126
b) Guru-gurunya: Bukhȃri, Muslim, Ismȃil bin Mȗsa as-Saiddi. c) Murid-muridnya al-Haitsam bin Kulaib asy-Syasyi, Makhul bin al-Fadll, Muhammad bin Mahbub al-Mahbubi al-Marwazi. d) Pendapat para ulama terhadap kitab ini: al-Hafidz Ibn Astir berkata kitab sohih dan sebaik-baiknya kitab, banyak kegunaannya, baik sistematika penyajiannya dan sedikit sekali hadits yang terulang-ulang.190 1.2. Abȗ Mȗsa Muhammaad bin al-Mutsanna a) Nama Lengkapnya: Muhammad bin al-Mutsanna bin ‘Ubaid bin Qois bin Dinȃr al-Ghazi, Kuniyahnya: Abȗ
Mȗsa al-Bishri, Wafat: 252 H
Dibashrah. b) Guru-gurunya: Ibrȃhim bin Yazîd, Ismȃil bin ‘Alîyah, Sahl bin Yȗsuf, Sa’îd bin Supyan, Khȃlid bin al-Hȃrits , Abî Asȃmah Hamȃd bin Abî Asȃmah, Bakr bin ‘Ayas, Ahmad bin Sa’îd Ad-Darimi, Ishȃq bin Ibrȃhim bin Ishȃq, Supyȃn bin ‘Uyayinah, Ishȃq bin Yȗsuf al-Azraq, c) Murid-muridnya: Bukhȃri, Muslim, Abȗ Dâwud, Tirmidzi, An-Nasai’ ibnu Mȃjah, Abȗ Ya’la, Ahmad bin’Alî bin al-Mutsanna, Baqî bin Khȃlid al-Andalȗsi, Al-Hasan bin Ismȃil, Abȗ Bakar ‘Abdullah bin Abî Dȃwud, ‘Abdullah bin Zakariya bin Yahya, Abȗ Hȃtim, Abȗ Dzura’ah, Abȗ al-Hasan ‘Abdullah bin Muhammad bin Yȗnus. Muhammad bin Ishȃq bin Khuzaimah. d) Pendapat para ulama: Menurut Ibnu Hajar: Tsiqah Tsabat, ad-Dzahabî: Tsiqah, Hujjah, Abȗ bakar Al-Khattȃb: Shaduq, Yahya bin Ma’in: 190
Agus Solehudin dan Agus Suryadi, Op.Cit., hal 243-246
127
Tsiqah, an-Nasa’i: lȃ ba’sa bih, Abȗ Mȗsa Sa’îd al-Manshȗri: Hujjah, Shahih bin Muhammad: Shaduq Lihujjati, Abȗ Hatim: Shalihul Hadits,191 1.3. Abȗ ‘A’mir al-‘Aqodiy ( Abdul Mȃlik bin ‘Amr) a) Nama Lengkapnya: ‘Abdul Mȃlik bin’Amr al-Qiyasi, Kunyahnya: Abȗ ‘Amr al-Aqodiy, Lahir: Dibashrah, Wafat 204 H , ada juga yang menyebutkan 205 H, Dibashrah, b) Guru-gurunya: ‘Abdurrahman bin Mȃlik bi Tsaȗbȃn, Mȃlik bin Annas, Muhammad bin ‘Abdurahman bin Abî Dzi’bin, Sulaimȃn bin alMughîrah , Sulaimȃn bin Supyȃn al-Madani, Khȃlid bin Maesaroh, Dȃwud bin Qois, Zakariya bin Ishȃq al-Makky, Khȃlid bin Ilyas, Israîl bin Yȗnus, Ibrȃhim bin Nȃfi’ al-Madanî, ‘Abdul ‘Azîz bin Muslim, Hȃsyim bin Sa’id, Ayyub bin Tsabit. c) Murid-muridnya: Ahmad bin Hambal, Abȗ Mȗsa Muhammad bin alMutsanna, Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdul Hamid, Muhammad bin Ismȃil bin ‘Alîyah, Abȗ Mas’ud, Ishȃq bin Manshȗr, Muhammad bin Yȗnus an-Nasa’i, Hȃrȗn bin ‘Abdullah, Yahya bin Mȗsa, Yahya bin Ma’in, Abȗ Bakar bin Na’fi. d) Pendapat para Ulama: Menurut an-Nasa’i :Tsiqah Ma’mun, Abȗ Hatim: Shaduq, Yahya bin Ma’in: Tsiqah, Ibnu Hajar :Tsiqah, ad-Dzahabi: alHifdz.192
191 192
Ibnu Hajar,Op.Cit, Juz 9 hal 425-427 Ibid. Juz 6 hal 409-410
128
1.4. Ibnu Abî Dzi’bi : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.4). 1.5. Al-Hȃrits
bin ‘Abdurrahman: Telah di jelaskan pada pembahasan
sanad hadits tentang Laknat Allah (1.5). 1.6. Abî Salamah : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.6). 1.7. ‘Abdullah bin ‘Am : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.7). 2. Jalur Riwayat Abȗ Dawud no Hadits 3109 Jalur Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr dengan mukharij Abȗ Dȃwud no 3109 rȃwi yang terdapat pada jalur sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr dengan mukharij Abȗ Dȃwud diantaranya : ‘Abdullah bin’Amr, Abî Salamah, AlHȃrits bin ‘Abdurrahman, Ibnu Abî Dzi’bi, Ahmad bin Yȗnus. 2.1. Abȗ Dȃwud a) Nama lengkapnya : Abȗ Dȃwud Sulaimȃn bin al-‘Asyas bin Shiyad bin ‘Amr bin ‘Amir, di lahirkan pada tahun 202 H, Wafatanya: pada tahun 275 H di Basrah. b) Guru-Gurunya : Al-Qanibi, Sulaimȃn bin Harb, Muslim bin Ibrȃhim, ‘Abdullah bin Raja, Abȗ Al-Wahid At-Thayalisi, Mȗsa bin Ismȃil. c) Murid-muridnya : Abȗ Isa , An –Nasai, Ibrhahim bin Hamdan Al-Aquli, Abȗ Thayyib Ahamd bin Ibrȃhim Ibnu Al-Asynani Al-Bagdhadi. d) Pendapat para ulama hadits : Ibn al-Arabî mengatakan : Apabîla seseorang sudah memiliki kitabȗllah dan kitab susnan Abȗ Dȃwud,
129
maka tidak lagi memerlukan kitab lainnya. Ibnu Qayyim al-Jauzi mengatakan : kitab Sunan Abȗ Dȃwud memiliki kedudukan tinggi di dunia Islam dan pemberi keputusan bagi perselisihan pendapat.193 2.2. Ahmad bin Yȗnus a) Nama Lengkapnya: Ahmad bin ‘Abdullah bin Yȗnus bin Qoyis atThamimi, Kuniyah : Abȗ ‘Abdillah al-Kufi. Lahir: 133 H, wafat 227 H, Dikufah, b) Guru-gurunya: Ibrȃhim bin Sa’id, Israîl bin Yȗnus, Israîl bin ‘Ayyȃs, Supyȃn bin Sa’îd at-Tsauri, Supyân bin ‘Uyayinah, ‘Ashim bin Muhammad bin Zaid bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khattȃb, Laits bin Sa’îd al-Mishrî, Abî Bakar bin ‘Ayyȃsy, Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abî Dzi’bi, Yȗnus bin ‘Abdullah bin Qois, Hafs bin Ghiyats, ‘Abdullah bin ‘Umar bin Hafs bin ‘Ashim bin ‘Umar bin Al-Khattȃb, ‘Abdul A’îz bin ‘Abdullah bin Abî Salamah, ‘Abdul Mȃlik bin al-Walîd. c) Murid-muridnya: Bukhȃri, Muslim, Abȗ Dȃwud, Ibrȃhim bin Ishȃq, Muhammad bin Ahmad bin al-Mutsanna, Ismȃil bin Ishȃq al-Qodhi, Sa’îd bin Marwȃn al-Bagdadi, Abȗ Bakar ‘Abdullah bin Muhammad bin Abî Syaibah, Hajȃj bin Yȗsuf, al-Hȃrits bin Muhammad bin Abî Asmȃh at-Tamimi, Ibrȃhim bin al-Hasan, Abȗ Ja’far Muhammad bin ‘Alî. d) Pendapat para ulama: Menurut Ibnu Hajar: Tsiqah Hifdz, ad-Dzahabi: alHifdzi, Abȗ Hatim: Tsiqah Muttaqin, An-Nasa’i: Tsiqah, ‘Utsmȃn bin
193
Agus Solehudin dan Agus Suryadi, Op.Cit., hal 240-242
130
Abî Syaibah: Tsiqah Laisa Bi Hujjah, Ibnu Sa’îd; Tsiqah Shaduq, Ibnu Qȃn’i : Tsiqat Ma’mun Tsabat, Ibnu Hibban: Tsiqah.194 2.3. Ibnu Abî Dzi’bi : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.4) 2.4. Al-Hȃrits bin ‘Abdurrahman : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.5) 2.5. Abî Salamah : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.6) 2.6. ‘Abdullah bin ‘Amr: Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.7) 3. Jalur Riwayat Ahmad bin Hambal no Hadits 6246 Jalur
Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr dengan mukharij Ahmad bin
Hambal no 6246 rȃwi yang terdapat pada jalur sahabat ‘Abdullah bin’Amr diantaranya: ‘Abdullah bin’Amr, Abî Salamah bin ‘Abdurrahman, Al-Hȃrits bin ‘Abdurrahman, Ibnu Abî Dzi’bi, Wakî’. 3.1. Ahmad bin Hambal : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (2.1) 3.2. Wakî’ : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.3) 3.3. Ibnu Abî Dzi’bin : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.4)
194
Ibnu Hajar., Op.Cit. Juz 1 hal 50-51
131
3.4. Al-Hȃrits
bin Abdurrahman: Telah di jelaskan pada pembahasan
sanad hadits tentang Laknat Allah (1.5) 3.5. Abî Salamah : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.6) 3.6. ‘Abdullah bin ‘Amr : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.7). 4. Jalur Riwayat Ahmad Bin Hambal no Hadits, 6489 Jalur
Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr dengan mukharij Ahmad bin
Hambal no 6489 rȃwi yang terdapat pada jalur sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr diantaranya : ‘Abdullah bin’Amr, Abî Salamah bin ‘Abdurrahman, Al-Hȃrits bin ‘Abdurrahman, Ibnu Abî Dzi’bin, Yazîd, Hajȃj. 4.1. Ahmad bin Hambal : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (2.1) 4.2. Hajȃj a) Nama lengkapnya: Hajaj bin Muhammad al-Mashishi, Abȗ Muhammad, al-‘Awari, Maula Sulaimȃn bin Majâlid, Thabaqah :9 (Ata’ tab’in Kecil. Wafat: 206195 H. Bagdad, b) Guru-gurunya: Israîl bin Yȗnus, Syu’bah bin al-Hajȃj, ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah al-Mas’udi, ‘Abdul Mȃlik bin ‘Abdul ‘Azîz bin Juraih, Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abî Dza’bin, Yȗnus bin Abî Ishȃq, Muhammad bin ‘Abdullah, Muhammad bin Thalhah, al-Laits bin Sa’îd, ‘Utsmȃn bin ‘Atha’, 195
Adz-Dzahabi, Op.Cit., Juz 1 hal 464
132
c) Murid-muridnya: Ibrahmin bin Ismȃil al Qosamiy, Ibrȃhim bin Dinar alBagdadi, Ahmad bin Ibrȃhim, Ahmad bin Hajȃj bin Muhammad (Anaknya), Ahmad bin Muhammad bin Hambal, Ahmad bin Manshȗr, Hajȃj bin Yusuf, Zaid bin Ismȃil, Suraij bin Yȗnus, ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Salam, Abȗ Ja’far ‘Abdullah bin Muhammad, ‘Abdul Wahȃb bin al-Hakim bin al-Waraq, Al-Qosim bin Isa, Qutaibah bin Sa’îd, Muhammad bin Ishȃq, Muhammad bin Ismȃil bin
Sȃlim,
Muhammad bin Ismȃil bin ‘Alîyah, Muhammad bin Sulaimȃn, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yahya bin ‘Abdullah. d) Pendapat para ulama: Menurut Ibnu Madani dan an-Nasai’: Tsiqah, Pendapat Ulama: Ibnu Hajar: Tsiqah Tsabat, Akan tetapi tercapur pada akhir kehidupanya, ad-Dzahabî : Hafidz, Al-‘Alî al-Madiini dan anNasai: Tsiqah.196 4.3. Yazîd a) Nama lengkapnya: Yazid bin Hȃrȗn bin Zâdzii, dan ada yng mengatakan Ibnu Zȃdzan bin Tsabît, Lahir:117 H,118 H. Thabaqah 9, Wafatnya 206 H. b) Guru-gurunya: Israîl bin Yȗnus, Imail bin Abî Khȃlad, Ismȃil bin ‘Ayyas, Ismȃil bin Musli al-Maky, Baqiyah bin al-Wȃlid, Hamȃd bin Salamah, Hamȃd bin Yazîd, Dȃwud bin Abî Hindun, Sulaimȃn bin Katsîr, Sulaimȃn al-Taimi, Supyȃn bin al-Hasan, Supyȃn as-Tsauri, Zakariya bin Abî Zȃidah, ‘Abdurrahman bin Abî Bakar al-Mȃliki, 196
Ibnu Hajar, .Op.Cit ., Juz 2 hal 205-206
133
‘Abdul Mȃlik bin Abî Suliman, ‘Abdul Mȃlik bin ‘Abdullah bin Abî Salamah, Hamam bin Yahya, Syu’bah bin Hajȃj, Hajȃj bin Hasan alQiyasi, Hȃsyim bin Basyr, Muhammad bin Ishȃq bin Yasȃr, Mȃlik bin Annas, Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Dzi’bin, Muhammad bin ‘Amr bin al-Qomah, ‘Ayas, bin Meimun, Yahya bin Sa’îd al-Anshȃri, c) Murid-muridnya: : Abȗ Mȗsa Muhammad al-Mutsanna, Muhammad bin Yahya bin Abî ‘Umar, Yahya bin Yahya an-NaisAbȗri, Yahya bin Ma’in, Ya’qub bin Ibrȃhim, Abȗ Bakar Muhammad bin ‘Abdul Mȃlik, Mȗsa bin Hazm at-Tirmidzi, Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair, Muhammad bin Basyr bin Dinȃr, Muhammad bin Hatim bin Maimun, Abȗ Bakr Muhammad bin Khȃlad, Muhammad bin ‘Isa bin Hayyan alMadani, ‘Alî Ibn al-Madani, Utsmȃn bin Muhammad bin Abî Syaibah, ‘Alî bin Ja’far as-Su’udi, ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Salam, ‘Abdullah in Muhammad ad-Dza’if, Abȗ Bakar ‘Abdullah Muhammad bin Abî Syaibah, Shodaqah bin al-Fadhil, Syueb bin Yȗsuf, Al-Husaen bin Mansȗr an-Naisabȗri, Adam bin Abî Iyas, Ahmad bin ‘Abdullah bin Iyas, Ahmad bin Hambal. d) Pendapat para ulama: menurut al-A’raj: Tsiqah tsabit fil hadits, Abȗ Hatim: Tsiqah, Shaduq, Yahya bin Ma’in :Tsiqah, Ahmad bin Hambal: Shahih al-Hadits, Ya’qub bin Syaibah: Tsiqah, Alî al-Madani dan Ibnu Abî Syaibah: Ma ‘Araftu Ahfadho minhu, Ibnu Hajar: Tsiqah Muttaaqin ‘A’bid: ad-Dzahabî: Ahadu A’lam..( seseorang yang mengetahui), Menurut Ahmad:
Hafidz Muttaqin, Al-madaini: Saya belum pernah
134
melihat orang yang lebih Hafal tentang Hadits daripada dia. Al-Ajalî: Tsabits dan Muta’abîd (Orang yng suka beribadah), Yahya anNaisabȗri:Orang yang Hafidz didaerah Iraq, Yahya bin Ma’in: Tsiqah.197 4.4. Ibnu Abî Dzi’bi : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.4) 4.5. Al-Hȃrits
bin ‘Abdurrahman: Telah di jelaskan pada pembahasan
sanad hadits tentang Laknat Allah (1.5) 4.6. Abî Salamah : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.6) 4.7. ‘Abdullah bin ‘Amr : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.7) 5. Jalur Riwayat Ahmad Bin Hambal no Hadits, 6536 Jalur
Sahabat’ ‘Abdullah bin ‘Amr dengan mukharij Ahmad bin
Hambal no 6536 rȃwi yang terdapat pada jalur sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr diantaranya: ‘Abdullah bin’Amr, Abî Salamah bin ‘Abdurrahman, Al-Hȃrits bin ‘Abdurrahman, Ibnu Abî Dzi’bi, ‘Abdul Mȃlik bin ‘Amr. 4.1. Ahmad bin Hambal : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (2.1) 4.2. Abdul Mȃlik bin ‘Amr (Abȗ ‘A’mir al-‘Aqodiy) : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Rasul (1.3) 4.3. Ibnu Abî Dzi’bin : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.4) 197
Ibid. Op.Cit., Juz 11 hal 366-369
135
4.4. Al-Hȃrits bin ‘Abdurrahman: Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.5) 4.5.
Abî Salamahb : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.6)
4.6. ‘Abdullah bin’Amr : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.7). D. Analisis sanad hadits tentang laknat Rasul yang menggunakan redaksi:
ﺤ ْﻜ ِﻢ ُ ﻲ ﻓِﻲ ا ْﻟ َﺸ ِ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ َﺷ ِ ﺳﱠﻠ َﻢ اﻟﺮﱠا َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ﻦ َرﺳُﻮ َ َﻟ َﻌ 5. Jalur Riwayat Tirmidzi no Hadits 1256 Jalur Sahabat Abî Hurairah dengan mukharij Tirmidzi no 1256 rȃwi yang terdapat pada jalur sahabat Abî Hurairah dengan mukharij Tirmidzi diantaranya : Abî Hurairah, Abî Salmah (Abîhi), ‘Umar bin Abî Salamah, Abȗ ‘Awȃnah, Qutaibah. 5.1. Tirmidzi : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Rasul (1.1) 5.2. Qutaibah a) Nama Lengkapnya: Qutaibah bin Sa’îd bin Jamil bin Tharif as-Tsaqafi, Abȗ raja’ al-Alkhi. Lahir 150 H, wafat 240 H. Thobaqah: 10 dari Atba’ tabi’in b) Guru-gurunya: Ibrȃhim bin Sa’îd al-Madani, Ishȃq bin ‘Ayas alQusyairi, Ismȃil bin Abî Uwes, Ismȃil bin Ja’far, Ismȃil Ibn Alîyah, Ayyȗb bin Jȃbir al-Hanafi, Ayyȗb bin an-Najar al-Yamȃmi, Bakr bin
136
Mudharal-Mishri, Jȃbir bin Marzȗq, Jȃbir bi ‘Abdul Hamid, Ja’far bin Sulaimȃn, Junaid al-Hijam, Hȃtim bin Ismȃil, Hajjȃj bin Muhammad, Harb bin Abî ‘Alîyah, Hafs bin Ghayyas, Abî Usamah, Hamad bin Abî Usamah, Hamad bin Khȃlid al-Khiyath, Hamad bin Zaid, Hamad bin Yahya al- Abah, Hamid bin ‘Abdurrahman ar-Rȃwasi, Khȃlid bin Ziyȃd at-Tirmidzi,
Khȃid bin Abdullah al- Washithi, Khalaf bin Khalîfah,
Dȃud bin ‘Abdurrahman al- ‘Athȃra, Rosyidin bin Sa’îd, Salîm bin Nuh, Sa’îd bin Salîm bin Sulaimȃn al-Wȃsithi, Sa’îd Maula Umar bin ‘Abdul ‘Azîz, Sahl bin Yȗsuf, Sufyȃn bin ‘Uyayinah, ‘Abdullah bin Ja’far alMadanî, ‘Abdullah bin Idrîs, ‘Abdullah bin Zaid bin Aslȃm, ‘Abdullah bin al-Mubȃrak, ‘Abdullah bin Wahhȃb, ‘Abdul Hamid bin Sulaimȃn, Abȗ ‘Awanah al-Wadhah bin ‘Abdullah. c) Murid-muridnya : Bukhȃri, Muslim, Abȗ Dȃwud, Tirmidzi, an-Nasa’i, ‘Abdullah bin Ishȃq al-Harb, Ahmad bin Hambal, Ahmad bin ‘Abdurrahman bin Basyar an-Nasa’i, Yȗsuf bin Mȗsa al-Qothȃni, Mȗsa bin Hȃrȗn bin ‘Abdullah, Muhammad ‘Alî al-Hakim at-Tirmidzi, Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair, Abȗ Hȃtim Muhammad al-Idrîs, ‘Abdullah bin Qutaibah bin Sa’îd, d) Pendapat para ulama: Menurut Ibnu Hajar: Tsiqah Tsabat, ad-Dzahabî: Lam Yadzkuruha, Ibnu al-Qothȃni al-Fasi: La ya’rifu lahu Tadlis, Yahya bin Ma’in, Abȗ Hȃtim: Tsiqah, an-Nasa’i dan Ibnu al-kharasy : Shaduq,
137
al-Hakim: Tsiqah Tsabat, Ahmad bin Yȃsar: Tsabat, Ibnu Kharasy: Shaduq198 5.3. Abȗ’Awânah : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (3.3). 5.4. ‘Umar bin Abî Salamah : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (3.4) 5.5. Abî Salamah : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.6) 5.6. Abî Hurairah : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (3.6) E. Analisis sanad hadits tentang laknat Rasul yang menggunakan redaksi:
ﺶ َﻳ ْﻌﻨِﻲ اﱠﻟﺬِي َﻳ ْﻤﺸِﻲ َ ﻲ وَاﻟﺮﱠا ِﺋ َﺸ ِ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ َﺷ ِ ﺳﱠﻠ َﻢ اﻟﺮﱠا َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ﻦ َرﺳُﻮ َ َﻟ َﻌ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ 6. Jalur Ahmad bin Hambal no Hadits 21365 Jalur Sahabat Tsaȗbȃn dengan mukharij Ahmad bin Hambal no 21365 rȃwi yang terdapat pada jalur sahabat Tsaȗbȃn dengan mukharij Ahmad bin Hambal diantaranya : Tsaȗbȃn, Abî Dzura’ah, Abî Al-Khattȃb, Layist, Ibnu ‘Ayyȃs, al-Aswad bin ‘Amir. 6.1. Ahmad bin Hambal
: Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits
tentang Laknat Allah (2.1) 198
Ibid. Juz 8 hal 358-361
138
6.2. Al-Aswad bin ‘Amir a) Nama lengkapnya: Aswad bin ‘Amir, Thabaqah kecil dari Atab’ Tabi’in’ Kuniyah: ‘Abdurrahman, Laqobnya: Syadzan. Wafatnya:208 H. b) Guru-Gurunya: Aban bin Yazî, Ibrȃhim bin Sa’d bin Ibrȃhim bin Abdurrahman bin ‘Auf, Abȗ Bakr bin ‘Iyas, Israil bin Yȗnus bin Abî Ishȃq, ismail bin Khalîfah, Ayyub bin Utbah, Baqiyah bin al-Walîd bin Shȃid, Bakîr bin Abî as- Siyath, Jȃrir bin Hadzim bin Zaid, Ja’far bin Ziyad, Hasan bin shaleh bin Shaleh, Hamad bin Zaid bin Dirhȃm, Hamad bin Salamah bin Dînar, Duad bin ‘Alabah, Zaidah bin Khudamah, Zuhair bin Mu’awiyah bin Hadzij, Sufyȃn bin Sa’îd bin Saruq, Sunan bin Hȃrȗn, Syariq bin ‘Abdillah bin Abî Syariq, Syu’bah bin Hajar bin alWarid, ‘Abdul ‘Azîzi bin ‘Abdillah bin Abî Salamah c) Murid-muridnya: Ibrȃhim bin Khȃlid bin Abî al-Yaman, Ibrȃhim bin Aa’îd, Ahmad bin Muhammad bin Nizȃr, ‘Abbas bin ‘Abdul ‘Adzim, ‘Abbas bin Muhammad bin Hatim bin Waqi’, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Fadhil bin Bahrab. ‘Abdullah bin Muhammad, bin Abî Syaibah, Ibrȃhim bin ‘Utsmȃn, ‘Utsmȃn bi Muhammad bin Ibrȃhim bin Utsamȃn, Muhammad bin Ahmad bin Abî Khalq, Muhammad bin Ahmad bin Husaen bin Madueh, Ahmad bin Ishȃq bin Ja’far, Muhammad bin Hȃtim Bazi’ Muhammad bin ‘Abdullah bin al-Mubaraq, Muhammad bin ula bin karib, Hȃrȗn bin ‘Abdullah bin Marwan. d) Pendapat para ulama: Secara umum: Tsiqah, Ahmad bin Hambal: Tsiqah, Yahya bin ma’in: La ba’tsa bih, Alî al-Madini: Tsiqah, Abȗ Hȃtim:
139
Shuduq Shaleh, Muhammad bin sa’d: Shalehul hadits, Ibnu Hibban: Tsiqah199 Ibnu Mu’ayin: Tsiqah200 6.3. Ibnu ‘Ayyȃs a) Nama Lengkapnya : Abȗ Bakar bin i’yas bin Salim. Thabaqah: Atba’Tabi’in, Kuniya: Abȗ Bakar, Wafat: 193 H. b) Guru-gurunya : Ibnul Wahhȃb bin Munabih, Ajlah bin ‘Abdullah bin Ujayah, Tsabit bin Abî Sufyȃn bin Dinȃr, Habîb bin Abî Umrah, AlHasn bin ‘Amr, Husen bin ‘Abdurrahman, Habîb bin Abî Umaid, Hamid bin Abî Hamid Mahron, Dȃwud bin Abî Hindun Dinȃr, Dȃwud bin Yazîd bin ‘Abdurrahman, Sa’îd bin Mardazuban, Sufyȃn bin Dînȃr Sulaimȃn bin Abî Sulaimȃn, Sulaimȃn bin Mahron, Suhail bin Abî Shaleh Dahwan, Shaleh bin Abî Shaleh, Shadaqah bin Sa’îd, Ashim bin Ba’dalah, ‘Abdul ‘Azîz bin Ra’fi, ‘Abdul Malîk Bin Sulaimȃn. c) Murid-muridnya : Ahmad bin Budhail bin Quraisy, Ahmad bin ‘Abdullah bin Yȗnus bin Qoyis, Ahmad bin Muhammad bin Ayyȗb, Ahmad Muni’ bin ‘Abdurrahman, Ahmad bin Nȃsh, Ishȃq bin Isa’ bin Najih, Ismail bin Aban, Ismail bin Hafs bin Dinar, al-aswad bin Amir, Hasan bin Muhammad bin Kuseb, Husen bin Muhammad bin Bahran, Khȃlid bin Yazid bin Ziyad, Zakariya bin ‘Adi, Sufyȃn bin Waqi’ bin Jarh, Sulaimȃn bin Dȃwud bin Jarud, Sulaimȃn bin Dȃwud bin Dȃwud bin A’li, Swaid bin Sa’îd bin Sahl, Âshim bin Yȗsuf, ‘Abdurrahman bin Mahdi bin Hasan bin ‘Abdurrahman, ‘Abdullah bin Sa’îd, ‘Abdullah bin 199 200
Ibid. Juz 1 hal 340 Adz-Dzahabi, Op.Cit, Juz 1 hal 265
140
‘Amir bin Zarȃrah, ‘Abdullah bin ‘Amir bin Muhammad bin ‘Aban, ‘Abdullah bin Mubȃrak bin Wadhih, d) Pendapat para ulama: Menurut Ahmad bin Hambal: Tsiqah akan tetapi dimungkinkan Ghalad (Rusak) Al-Ajlî: Tsiqah akan tetapi sebagiannya terdapat kesalahan, as-saji: Shuduq, Ibnu Hibban: Hufadz Muttaqin. 6.4. Layist: a) Nama Lengkapnya : Litsy bin Abî Salim bin Zanîm, Thabaqah: Tidak bertemu Shahabat, Kuniyah: Abȗ Bakar, Wafat: 148 H. b) Guru-gurunya: Abȗ Khattȃb, al-Abî Zur’ah, Ayyȗb bin Abî Tamimah, Kaitsan Barîd bin ‘Abdullah bin Abî Burdah bin Abî Mȗsa, Basyar bin Annas, Basyir bin Nahik, Bilal bin Yahya, Hajȃj bin Ubaid, Al-Hakim bin Utaibah, Hammad bin Abî Sulaimȃn bin Muslim, Rabî’ bin Annas, Ziyad, Zaid bin Artha’, Salim bin ‘Abdullah bin Umar bin Khattȃb, Said bin ‘Amir, Salamah bin Kuhail bin Hashin, Sahr bin Khusyaf c) Murid-muridnya: Ibrȃhim bin Muhammad bin Harits bin Asma’ bin Kharijah, Abȗ Bakar bin ‘Iyash bin Salim,
Ismȃil bin Ibrȃhim bin
Muksam, Ismȃil bin Iyas bin Salim, Bakar bin Khanis, Tsa’labah bin Suhail, Jarir bin ‘Abdul Hammaid bin Qortun, Hasan bin Ibrȃhim bin ‘Abdullah, Al-Hasan bin Shaleh bin Shaleh, Husen bin Alî bin walîd, Hafs bin Ghiyats bin Thalk, Hammad bin Zaid bin Darahim, Hammad bin Salamah bin Dinâr, Khȃlid bin ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Yazid, Khalaf bin Khalîfah, Dzu’ad bin ‘Alabah
141
d) Pendapat para ulama : Bukhȃri,:Shaduq, Ahmad bin Hammad; Mudhtharib Haadits, Yahya bin Ma’in: Dhaif Lemah dalam peulisan kitab haditsnya, Abȗ Zur’ah: Layinul hadits,
Abȗ Hatim: Dhaoiful
Hadits, Ibnu’dzi: Dia mempunyai hadits-hadits yang Shalih.201 6.5. Abî Al-Khattȃb: a) Nama Lengkapnya : Abȗ Khattâb An- Abî Zur’ah, Kuniyah: Abȗ Khattȃb b) Guru-gurunya : Abȗ Zur’ah c) Murid-muridnya : Laits bin Abî Salim bin Zanîm d) Pendapat para ulama : Abȗ Zur’ah: Laa a’rifuhu ( Tidak diketahui), Abȗ Hȃtim ar-Razi: Majhu ( bodoh) ad-Dzahabi: Majhul202 6.6. Abî Dzura’ah: a) Nama Lengkapnya : Abȗ Zur’ah. Thabaqah: Tabi’in kecil, Kuniyah: Abȗ Zur’ah b) Guru-gurunya: Tsaȗbân bin Bajdad, A’idzullah bin ‘Abdullah c) Murid-muridnya: Abȗ Khattâb dari Abî zur’ah. d) Pendapat para Ulama: Secara Umum Majhul 6.7. Tsaȗbȃn a) Nama Lengkapnya : Tsȗbân bin Bajdad, Thabaqah: Shahabat, Kuniyahny: Abȗ ‘Abdullah. Wafat: 54 H, b) Guru-gurunya: Nabî Muhammad
201 202
Ibid. Juz 8 hal 465-468 Ibid. Juz 12 hal 86-87
142
c) Murid-muridnya: Abȗ Zur’ah, Zabîr bin Nufaer bin Malîk, Abȗ Kabasyah, Rasyid bin Sa’drafi’ bin Mahron, Salîm bin Abî Za’d, Rafi’ bin Mahran, Sa’îd bin Zur’ah, Sulaimȃn, Syadad bin Hayy, Shaleh bin Rostam, Ai’dullah bin ‘Abdullah, ‘Abdul A’la bin Adî, ‘Abdurrahman bin Zubair bin Nufaer, ‘Abdurrahaman Ghanam, ‘Abdurrahman bin Maesarah, ‘Abdurrahman bin yazid bin Mua’wiyyah, ‘Abdullah bin Abî Za’d Abdullah bin Zaid bin amr bin Nȃbil, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ‘Abdullah bin Ghȃbir, ‘Amr bin Martsad, Muhammad bin A’bad bin Ja’far bin Rafa’ah, Muawiyah bin Salam bin Abî Salam bin Masthur, Ma’dan bin Abî Thalhah, Mashthȗr, Abȗ Syaibah, Abȗ ‘Abdurrahman, d) Pendapat para ulama: Shahabah •
Penentuan kualitas sanad hadits tentang laknat Rasul terhadap orang yang melakukan suap menyuap dengan melihat ke-adail-an, ke-dhabit-an dan kemuttasilan sanad Dilihat dari ke-adil-an dan ke-dhabitan-nya rȃwi-rȃwi yang menjadi
sanad hadits tersebut, maka dapat diketahui, bahwa sanad-sanadnya termasuk Orang-orang yang tsiqah, Kecuali ada satu sanad yang dinilai oleh para Ulama sebagai seaorang rȃwi yang memiliki kecacatan baik dari segi dhabit-nya ataupun dari segi adl’nya, karena di temukan dari komentar para ulama yang mengomentari para rȃwi diatas dengan menjarh-nya , rȃwi tersebut yang bernama ‘Umar bin Abî Salamah, dari jalur riwayat Tirmidzi, Qutaibah, Abȗ ‘Awanah, ‘Umar bin Abî Salamah, Abî Salamah dan Abȗ Hurairah. dan dari
143
jalur Ahmad bin Hambal ditemukan juga rȃwi yang dinilai oleh para ulama dengan Jarh yaitu Layits ( seorang perȃwi yang dhaif
haditsnya), Abi
Dzura’ah (Seorang perȃwi yang Majhul) Abi al-Khattȃb (perȃwi yang majhul).
Diantara para ulama yang mengomentari para rȃwi ada yang
mengatakan: Bahwa ‘Umar bin Abî Salamah: Shaduq yuhtajju bihi, Tsiqah Ghairi, Laisa biqawi , Dha’iful hadits,Lâ yuhtajju bih203, laisa biqawi fil Hadits. dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perȃwi tersebut merupakan perȃwi yang kurang tsiqah karena ada beberapa ulama yang menilai jarh. Dengan memperhatikan sanad gabungan hadits tentang Laknat Rasul bagi orang yang melakukan suap menyuap dalam hukumnya dan pelantaranya, dalam kitab Tirmidzi
no hadits 1256, ditinjau dari segi sanadnya yaitu
termasuk hadits hasan, sedangkan dari jalur Ahmad bin Hambal no hadits 21365 para rȃwinya termasuk dhaif. karena ada perȃwi yang bernama Umar bin Abî Salamah, dari Jalur Tirmidzi yang mayorits ulama menilai dengan penilaian yang Jarh ( dalam tingkatan kurangnya ke-adil-an dan ke-dhabit-anrȃwi), Seperti: La yuhtajju bihi, sedangkan dari Jalur Ahmad bin Hambal Yaitu Laiyts, Abi Dzura’ah dan Abi al-Khattȃb dari jalur Ahmad bin Hambal mayoritas para ulam menilainya jarh. Akan tetapi Tirmidzi mengeluarkan Riwayat lain dengan Jalur Muhammad bin Mutssana, Abȗ Amir , Ibnu Abî Dzi’bin Al-Harits bin ‘Abdurrahman, Abî Salamah dan ‘Abdurrahman bin ‘Amr, Beserta riwayat Abȗ Dȃwud dari Ahmad bin Yȗnus, dan seterusnya
203 Lafadz Jarh tingkatan kelima, yang meunjukukan kelemahan dan kekacauan para rawi dalam hal Hafalnya
144
sampai ‘Abdulah bin ‘Amr. Maka hadits yang disanadkan Mȗsa Muhammad bin Mutsanna dan seterusnya , menjadi mutabî’ bagi hadits Ahmad yang bersanadkan Qutaibah tersebut. Dengan demikian, Maka Hadits Tirmidzi yang bersanadkan ‘Amr bin Abî Salamah yang pada asalnya bersetatus Hasan ( karena kurangnya keadilan dan kedhabitan) naik menjadi shahih lighairi (Hasan Shahih) , karena Hasan telah dianggkat oleh mutabi’, begitupula hadits Ahmad bin Hambal menjadi naik derajatnya Sebagai hadits hasan karena dhaif telah diangkat oleh mutabi. yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi sendiri dengan jalur sanad Mȗsa Muhammad bin Mutsanna, hadits Abȗ Dâwud yang bersanadkan Ahmad bin Yȗnus, Hadits Ahmad bin Hambal dan Di angkat pula oleh syahid dengan Sahabat Tsaȗbȃn dari jalur Ahmad bin Hambal. Jika
memperhatikan
skema
sanad
hadits
pada
hadist
yang
menggunakan “Redaksi Laknat Allah Bagi Orang yang melakukan suap menyuap dalam Hukumnya dan pelantaranya”, Maka dapat diketahui ketersambungannya ini marfu dan muttashil setelah di analisis pada Jalur Sahabat Abî Hurairah dan
sahabat ‘Abdulah
bin
‘Amr
semuanya
ْﻋ َ , dan ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ sehingga bisa di katakan para rȃwi tersebut mengguanakan ﻦ muttasil dan dapat di kategorikan Liqa hal ini karena lafadz adat al-Tahamul yang digunakan mengandung pengertian sima’i disamping ada hubungan guru dan murid. Jadi dari segi kemuttasilannya diantara sanad-sanad dalam haditshadits di atas dapat dihukumkan seluruhnya muttashil sanad.
145
F. Analisis sanad hadits tentang larangan Memakan harta hasil Suap Dengan menggunakan redaksi:
ﻦ ِ ن ا ْﻟﻜَﺎ ِه ِ ﺣ ْﻠﻮَا ُ ﻲ َو ﺐ َو َﻣ ْﻬ ِﺮ ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ ِ ﻦ ا ْﻟ َﻜ ْﻠ ِ ﻦ َﺛ َﻤ ْﻋ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻧﻬَﻰ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ن َرﺳُﻮ َأ ﱠ ن ْ ﻋﻠَﻰ َأ َ ﺷ َﻮ ُﺗ ُﻪ َوﻣَﺎ ُﻳ ْﻌﻄَﻰ ْ ﻦ َر ِ ن ا ْﻟﻜَﺎ ِه ُ ﺣ ْﻠﻮَا ُ ﻋﻠَﻰ اﻟ ﱢﺰﻧَﺎ َو َ ﻲ ﻣَﺎ ُﺗ ْﻌﻄَﺎ ُﻩ ا ْﻟ َﻤ ْﺮَأ ُة َﻳ ْﻌﻨِﻲ ِﺑ َﻤ ْﻬ ِﺮ ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ ﻦ َ َﻳ َﺘ َﻜ ﱠﻬ 1. Jalur Riwayat Mȃlîk No hadits 1173 Jalur Sahabat Abî Mas’ȗd al-Anshȃri dengan mukharij Mȃlîk no 1173 rȃwi yang terdapat pada jalur sahabat Abî Mas’ȗd dengan mukharij Timidzi diantaranya : Ibnu Syihȃb, Abî Bakar bin ‘Abdirrahman bin al-Harits, Abî Mas’ȗd al-Anshari. 1.1. Mȃlîk a) Nama Lengkapnya: Abȗ ‘Abdillah bin Anas bin Mâlik bin Abȗ ‘Amir bin ‘Amr bin al-Harits, Dia adalah seorang Imam Darul Hijrah dan seorang faqih, Madzhab Mȃlikiyah, Nenek moyangnya Abȗ ‘Amir, adalah seorang sahabat yang selalu mengikuti seluruh peperangan yang terjadi pada Zaman Nabî , kecuali perang badar, ia lahir pada Tahun 94 H atau 712M, dikota madinah daerah Hijaz dari riwayat ini dia adalah keturunan Arab dari Dusun Dzu Ashbah, sebuah Dusun dikota Hamyar. b) Guru-gurunya: Nafi’ bin Abî Nua’im (pelayan Ibnu ‘Umar r.a), azZuhry, Zaid bin Aslam, Zaid bin Sa’d, Sa’d bin Ishȃq bin Ka’ab, Â’isyah bin sa’d binti Abî Wȃqash,Yahya bin Sa’îd al-Anshari, Hisyam bin ‘Urwah, Hîsyam bin Hîsyam, Mȗsa bin Uqbah, Muhammad bin Muslim
146
bin Syihȃb az-Zuhry, Muhammad bin Yahya bin Hibbȃn, Ibrȃhim bin Uqbah, Ismaîl bin Abî Hakim, Ziyȃd bin Sa’d, Zaid bin aslam, Ja’far bin Muhammad as-Shȃdiq, Ayyub bin Muhammad az-Zuhry, Sofwȃn bin Salîm,
Al-‘A’la
bin
‘Abdurrahman
bin
Ya’qub,
‘Abdullah,
‘Ubaidillahbin ‘Abdurrahman, c) Murid-muridnya:al-Auza’iy, Sufyȃn ats-Tsaȗry, Sufyȃn bin ‘Uyayinah, Ibnu al-Mubârak,asy-Syafi’i, Abȗ ‘Amr al-Aqadhi, Yahya bin Yahya anNaisabȗri, Yahya bin Yahya
al-Andalusi, Yahya bin ‘Abdullah bin
Bakir, Yahya bin Sa’îd al-Anshari, Yahya bin Sa’îd al-Mishri, Muhammad bin Sulaimȃn bin Dȃwud, ‘Abdullah bin al-Mubȃrak, ‘Abdullah bin A’bdul Wahȃb, ‘Abdullah bin Idrîs, Sy’bah bin al-Hajȃj, Sa’îd al-Manshȗri, Sa’îd bin Katsîr bin Ghafir, Ismȃ’îl bin Abî Uais, Ahmad bin ‘Abdullah bin Yȗnus, Ishȃq bin Sulaimȃn al-Rȃzî. Ishȃq bin ‘Alîyyah, Waki’ in al-Jarh.204 d) Pendapat para ulama: menurut an-Nasa’i: pada sisiku tidak ada orang yang lebih pandai dari Mȃlik, dia orang yang lebih mulia yang dapat dipercaya serta palingg jujur, Imam Syafi’i: Mȃlik adalah Hujjatullah atas Makhluknya sesudah Tabîin.205 1.2. Ibnu Syihȃb a) Nama Lengkapnya: Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin Syihȃb bin ‘Abdullah bin al-Harits bin Zuhrah al-Qurasy az-Zuhry, Kuniyah:
204 205
Ibid. Juz 8 hal 5-10 Agus Sholahuddin dan Agus suryadi .Op.Cit hal 227-228
147
Abȗ Bakar al-Madani, Thobaqah: ke-4 dari Pertengahan TAbî ’in, Wafat:125H, ada juga yang mengatakan sebelumnya(124) H. b) Guru-gurunya: Ibrȃhim bin ‘Abdullah bin Haninin, Ibrȃhim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Ibrȃhim bin Muhammad bin Sa’d bin Abî Waqash, Ueis bin Abî Ueis, Tsa’labah bin Abî Mȃlik, Jȃbir bin Abdullah, Khȃlid bin Aslam, Hafs bin ‘Ashim bin ‘Umar bin al-Khattȃb, Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar, Sulaimȃn bin Yasȃr, Abî Hurairah, Abî ‘Utsmȃn, Abî Salamah in ‘Abdurrahman, Abî Bakar Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, Yahya bin Sa’îd bin al- ‘Ash, Nȃfi’ bin Abî Annas, Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abbas. Sulaimȃn bin Yasȃr, Abȗ Ayyȗb, c) Murid-muridnya: Ibrȃhim bin sa’d az-Zuhry, Anas bin Mȃlik, Ismȃîl bin Ibrȃhim bin ‘Uqbah, Ayyȗb bin Mȗsa, Tsa’labah bin Suhail, Ibrȃhim bin Sa’d az-Hujri, Abȗ Salamah al- ‘Amili, Abȗ Ayyȗb, Abȗ Ueis alMadani, Yȗsuf bin Ya’qub bin al-Majusyȗn, Hisyȃm bin ‘Urwah, Hisyȃm bin Sa’d,
Hasyîm bin Basyar, Manshȗr bin al-Mu’tamar,
Mu’mar bin Rȃsyid, Muȃwiyah bin Yahya, Muȃwiyah bin Salam, Muhammad bin Alî bin Syȃfi’, Muhammad bin abdurrahman bin Syihȃb az-Zuhry, Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abî Dzi’bi, Muhammad bin Ishȃq bin Yasȃr, Muhammad bin Abî Hafshah, al-Laits bin Sa’d, Qotȃdah bin Dȃ’amah, ‘Amr bin Dînȃr, ‘Amr bin Syueb. d) Pendap para Ulama:, ‘Amr bin Dinar: Tidak diketahui teks haditsnya dari Ibnu Syihab, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz; Tidak ditetapkan oleh satu orangpun, Musa bin Ismail: Tidak ditetapkan secara dhahirnya, Ayub:
148
Tidak melihat atau mengetahui satu orangpun. Ad-Mas’ud bin al-Hakim, Yahya bin Ma’in: Ibnu Syihab tidak pernah mendapatkan hadits dari Ibnu ‘Umar, Abu Harim: Ibnu Syihab tidak pernah mendapatkan hadits dari Husen bin Muhammad, Abu Zura’ah; az-Zuhri tidak mendengarkan hadits dari Abȃn bin ‘Utsma. 206 1.3. Abî Bakar bin ‘Abdirrahman bin Al-Harits a) Nama Lengkapnya : Abî
Bakar bin ‘Abdirrahman bin al-Harits bin
Hisyam, al-Qurasy al-Madni, Lahir pada masa khalifah ‘Umar di madinah, dan wafat 194 H. kuniyah: Abȗ Bakar b) Guru-gurunya : Abî Hurairah, Abî
Mas’ȗd, Umu Salamah Aisyah,
Nufail bin Muawiyah, Marwȃn bin al-Hakim, A’mar bin Yasir, ‘Abdurrahman bin Muthi’, ‘Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyȃm (Ayahnya), ‘Abdullah bin Zum’ah, Jarir bin Jabir. c) Murid-murinya : Zaid bin ‘Abdullah, Muhammad bin Muslim Bin Syihȃb ad-Dzuhri, Al-Qoshim bin Muhammad bin ‘Abdurrahman, ‘Amr bin Dînȃr, Umar bin Abdul Aziz, Ibrahîm bin Muhajir, Abdullah bin Ka’ab, Al-Hakim bin ‘Utaibah, Mujahid bin Jabîr al-Maki, ‘ Mȃlîk, d) Pendapat para ulam: Ibnu Hajar: Tsiqah Faqih, Ahmad bin ‘Abdullah al‘Ajali: Tsiqah, Ibnu Hiban: Tsiqah.207 1.4. Abî Mas’ȗd al-Anshȃri. a) Nama Lengkapnya: ‘Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah bin ‘Amr alAnshȃri, Kuniah: Abȗ Mas’ȗd, Lahir: pada tahun ke 40 H dikuffah. 206 207
Ibnu Hajar, Op.Cit., Juz 9 hal 455-451 Ibid, Juz 12, hal. 31
149
b) Guru-gurunya: Nabî Muhammad SAW. c) Murid-muridnya: Abȗ ‘Amr as-Syaibani, Hamam bin al-Harits, Abȗ Bakar bin ‘Abdurrahman bin al-Harits, ‘Abdurrahman bin Yazid, alQomah bin Qois, ‘Amr bin Maimun, Hakim bin Aflah, Rabî ’ bin Harasy, Khȃlid bin Sa’id. Sa’id bin Wahȃb, Abȗ Wail. d) Pendapat Ulama: Sahabat208 G. Analisis Sanad Hadits Tentang larangan memakan harta hasil suap Dengan menggunakan Redaksi:
ﻦ ِ ن ا ْﻟﻜَﺎ ِه ِ ﺣ ْﻠﻮَا ُ ﻲ َو ﺐ َو َﻣ ْﻬ ِﺮ ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ ِ ﻦ ا ْﻟ َﻜ ْﻠ ِ ﻦ َﺛ َﻤ ْﻋ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َأﻧﱠ ُﻪ َﻧﻬَﻰ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ 2. Jalur Riwayat Ibnu Mȃjah hadits no 2150 Jalur Sahabat Abî Mas’ȗd al-Anshȃri dengan mukharij Ibnu Mȃjah no 2150 rȃwi yang terdapat pada jalur sahabat Abî Mas’ȗd dengan mukharij Ibnu Mȃjah diantaranya : Abî Mas’ȗd, Abî Bakar bin ‘Abdirrahman, Ibnu Syihȃb, Sufyȃn bin ‘Uyayinah, Hisyȃm dan Muhammad bin Shabah, 2.1. Ibnu Mȃjah : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (1.1) 2.2. Muhammad bin Shabah a) Nama lengkapnya: Muhammad bin Sufyȃn bin Shabâh bin Abî Sufyȃn , Kuniya: Abȗ Ja’far, Wafat: 240 H,
208
Ibid, Juz 7, hal.248
150
b) Guru-gurunya: Ishȃq bin Yȗsuf, jarir bin ‘Abdul Hamid, Hȃtim bin Ismaîl , Hafs bin Ghiyas, Abî Bakar bin Ghiyas, Yazid bin Hȃrȗn, Yahya bin Said, al-Walîd bin Muslim, Mu’mar bin Sulaimȃn, Marwȃn bin Mu’awiyah, Muhammad bin Sulaimȃn, Muhammad bin Katsîr, ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad, ali bin Tsabit, ’Abdul ‘Aziz bin AlKhattȃb, ‘Abdul ‘Aziz bin Abî Hȃtim, Yȗsuf bin Muhammad ats-Sauri, Salmah bin Shaleh. c) Murid-Muridnya: Abȗ Dȃwud, Ibnu Mȃjah, Ishȃq bin Ibrahîm bin Yȗnus,
Mȗsa
bin
Hȃrȗn,
Mahmud
bin
Muhammad
al-
Wasithi.Muhammad bin Basyar, Muhammad bin Ishȃq as-Tsaqafi, alQoshim bin Zakariya, Khalaf bin Sulaimȃn, Hamzah bin Muhammad bin ‘Ayȃs, Ja’far bin Ahmad bin Muhammad. d) Pendapat para ulama: Ibnu Hajaar: Shaduq, ad-Dzahabî : Tsiqah, Abȗ Hȃtim: Shalihul Hadits, Abȗ Zara’ah: Tiqah. 209 2.3. Hisyȃm a) Nama Lengkapnya: Hisyȃm bin ‘Amȃr bin Nashir bin Maesaroh, Kuniyah: Abȗ al-Walîd, Lahir: 153 dan Wafat: 245 di Damaskus. b) Guru-gurunya: Ismaîl bin ‘Ayȃs, al-Hakim bin Hîsyam as-Tsaqafi, Hafs bin Sulaimȃn, Hafs bin ‘Amr, Hȃtim bin Ismaîl al-Madani, al-Walîd bin Muslim, Yahya bin Salim, Muhammad bin Syueb, Mȃlîk bin Anas, Isa bin Yȗnus, ‘Abdul ‘Aziz bin Abî Hȃtim, ‘Abdurrahman bin Sulaimȃn, ‘Abdurrahman bin Said bin ‘Amar, 209
Ibid, Juz 9, hal.228-229
151
c) Murid-muridnya: Bukhȃri, Abȗ Dȃwud, an-Nasai, Ibnu Mȃjah, Abȗ Bakar bin Ahmad, Ahmad bin Hisyam bin ‘Amar, al-Walîd bin Muslim, Yahya bin Main, Ya’qub bin Sufyȃn , Yazid bin Sa’id, Muhammad bin Yahya, Muhammad bin Bisyar, Muhmmad bin ‘Auf bin Sufyȃn , Muhammad bin al-Hasan Qutaîbah, ‘Amr bin Abî Zura’ah ad-Dimsyiqi, Sulaimȃn bin Ayub, ‘Abdullah bin Muhmmad bin Salam al-Muqdas. d) Pendapat Ulama : Menurut Ibnu Hajar: Tsaduq, adz-Dzahabî : Hafidz. an-Nasai’, La ba’tsa bih, Daquthi, Shaduq. al-A’jali, Tsiqah, Yahya bin Main, Tsiqah210 2.4. Sufyȃn bin ‘Uyayinah a) Nama Lekapnya : Sufyȃn bin ‘Uyayinah bin ‘Imrȃn, Kuniyah: Abȗ Ahmad al-Kufi, Thabaqah 8, dari pertengahan atba’ Tabî ’in, Lahir:107 dan Wafat: 198 di Mekah. b) Guru- gurunya : Ibrahîm bin ‘Uqbah, Ibrahîm bin Muhammad, Ibrahîm bin Maesarah, Ishȃq bin Said bin ‘Amr bin said bin al-‘Ash, Ishȃq bin ‘Abdullah bin Abî Thalha, Ismaîl bin Abî Khȃlid, Al-Aswad bin Qois, Ismaîl bin Abî Khȃlid, Bisyar bin ‘Ashim as-Tsaqafy, Ayub bin Mȗsa, Ja’far bin Khalid, Ya’qub bin ‘Atha’, Yahya bin Sa’id al-Anshari, alWalîd bin Katsîr, Wai’l bin Dȃwud, Mȗsa bin ‘Uqbah, Mȗsa bin Abî A’isyah, Manshȗr bin Mu’tamar, Mȗsa bin ‘Uqbah. c) Murid-muridnya : Yahya bin Yahya an-Naisabȗri, Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Hambal, Ishȃq bin Abî Israil, Sufyȃn bin Waqi’ al-Jarh, 210
Ibid, Juz 11, hal. 54
152
Sulaimȃn bin Manshȗr, Sulaimȃn al-‘Amasy, Syu’bah bin Hajaj, Syueb bin Yȗsuf, ‘Utsman bin Muhammad bin Abî Syaibah, Qutaîbah bin Sa’id, Muhammad bin Hȃtim bin Maimun, Hisyam bin ‘Amr adDimsyiqi, Hamam bin Yahya. d) Pendapat para ulama:Ibnu Jaar: Tsiqah Hafidz, Imam Hujjah, ad-Dzahabî : Tsiqah Tsȃbat, Hafidz Imam.Ibnu Kharasy: Tsiqah ma’mun Tsabat, 211 2.5. Ibnu Syihȃb : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.2) 2.6. Abî Bakar : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.3) 2.7. Abî Mas’ȗd : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.4) 3. Jalur Riwayat Abȗ Dȃwud hadits no 2974 Jalur Sahabat Abî Mas’ȗd al-Anshȃri dengan mukharij Abȗ Dȃwud no 2974 rȃwi yang terdapat pada jalur sahabat Abî Mas’ȗd dengan mukharij Abȗ Dȃwud diantaranya : Abî Mas’ȗd, Abî Bakar bin ‘Abdirrahman, Ibnu Syihȃb, Sufyȃn bin ‘Uyayinah, Qutaîbah. 2.1. Abȗ Dȃwud : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Rasul (2.1) 2.2. Qutaîbah : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Rasul (6.2) 211
Ibid, Juz 11, hal. 120
153
2.3. Ibnu Syihȃb : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.2) 2.4. Abî Bakar : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.3) 2.5. Abî Mas’ȗd : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.4). 3. Jalur Riwayat Tirmidzi hadits no 1052 sama dengan jalur riwayat an-Nasai’ no hadits 4218 Jalur Sahabat Abî Mas’ȗd al-Anshȃri dengan mukharij Tirmidzi no 1052 dan Mukharij an-Nasa’i no 4218,râwi yang terdapat pada jalur sahabat Abî
Mas’ȗd dengan mukharij Tirmidzi dan an-Nasai diantaranya : Abî
Mas’ȗd, Abî Bakar bin ‘Abdirrahman, Ibnu Syihȃb, Laits, Qutaîbah. 3.1. Tirmidzi : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang laknat Rasul (6.1) 3.2. Qutaîbah : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Rasul (6.2) 3.3. Laits a) Nama Lengkapnya: Laits bin Sa’d bin ‘Abdurrahman al-Fahmi, Kuniya: Abȗ al-Harits al- Mishri, Thabaqah: 7 dari TAbî ’in besar, Lahir 93 atau 94, Wafat: 175. b) Guru-gurunya: Ayȗb bin Mȗsa, Ja’far bin Rabî’ah, al-Hasan bin Tsaȗbȃn, al-Harits bin Ya’qub, Yazid bin Muhammad al-Qurasy, Yazid
154
bin Abî Habîb, Yahya bin Salim bin Yazid, Yahya bin Sa’d al-Ansari, al-Walîd bin Abî
al-Walîd, Hisyam bin ‘Urwah, Hisyam bin Sai’d,
Muhammad bin Muslim bin Syihȃb ad-Dzuhri, ‘Amr bin al-Harits, ‘Abdul Mȃlîk bin Juraih, ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdllah bin Abî Salamah. c) Murid-muridnya: Qutaîbah bin Sa’id, Hisyam bin Sa’id, ‘Abdullah bin Wahȃb , ‘Abdullah bin al-Mubȃraq, ‘Abdullah bin Lahi’ah, ‘Ashim bin ‘Ashim al-Wasithi, Syueb bin Laits bin Sa’d (anaknya), Hajaj bin Muhammad, Adam bin Abî ‘Iyȃs, Dȃwud bin Manshȗr an-Nasai. d) Pendapat Ulama: Ibnu Hajar,: Tsiqah Tsabit, Faqih Imam, ad-Dzahabî : Imam, Tsabit, 3.4. Ibnu Syihȃb : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.2) 3.5. Abî Bakar : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.3) 3.6.
Abî Mas’ȗd : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.4)
4. Jalur Riwayat Bukhȃri dengan no hadits 2083, Jalur Sahabat Abî Mas’ȗd al-Anshȃri dengan mukharij Bukhȃri no 2083 rȃwi yang terdapat pada jalur sahabat Abî Mas’ȗd dengan mukharij Bukhȃri diantaranya : Abî Mas’ȗd, Abî Bakar bin ‘Abdirrahman, Ibnu Syihȃb, Mȃlik dan ‘Abdullah bin Yusuf. 4.1. Bukhȃri
155
a) Nama lengkapnya Muhamad bin Ismaîl bin Ibrahîm dan dijuluki Abȗ ‘Abdillah, di lahirkan pada tahun 194 H dan wafanya pada tahun 256 H di sebuah desa di Samarkand yang bernama khartank. b) Guru- gurunya: Abȗ Ashim an-Nabil, Maki bin Ibrahîm al-Handlali, ‘Ubaidullah bi Mȗsa al-Abbasi, ‘Abdullah Quddus al-Hajjaj, Muhammad bin ‘Abdullah al-Anshȃr, Ahmad bin Isykab, Ayub bin Sulaimân, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Manshȗr, Khalad bin Yahya dan lain-lain c) Murid-murid beliau banyak sekali diantaranya yang terkenal At-tirmidzi, Muslim, An Nasa’i, Ibrahîm bin Ishȃq al-hurri, Muhammad bin Ahmad ad-daulabî . d) Pendapat para ulama : Menurut Ahmad ibn Sayyar bahwa beliau adalah orang yang Tsiqah. Abȗ Hȃtim ar-Razi mengatakan bahwa Khurasan belum pernah melahirkan seorang yang melebihi Bukhȃri di Irak pun tidak ada yang melebihinya.212 4.2. ‘Abdullah bin Yȗsuf a) Nama Lengkapnya : ‘Abdullah bin Yȗsuf at-Taimi, Kuniahnya: Abȗ Muhammad al-Kala’i al-Mishri, Thabaqah: 10, Wafat 218. b) Guru-gurunya : Ismaîl bin Abî ‘Aliyah, Yahya bin Hamzah, al-Walîd bin Muslim, Muhammad bin Muhajir, Mȃlîk bin Anas, Laits bin Sa’d, Isa bin Yȗnus, Ali bin Sulaimȃn, ‘Abdurrahman bin Yazid bin Jabî r, ‘Abdullah bin Wahȃb, Shadaqah bin Khȃlid, Sa’id bin ‘Abdul Aziz, Mȃlîk bin Anas. 212
Indal Abror, Studi Kitab Hadits, (Yogyakarta : Teras, 2003 ) hal. 43-51
156
c) Murid-muridnya : Muhammad bin Yahya, Yahya bin ‘Utsman, Mȗsa bin ‘Isa, Bukhȃri, al-Hasan bin ‘Abdul Aziz, Ali bin ‘Abdurrahman bin alMughirah, Ahmad bin ‘Abdul Wahid. Abȗ Hȃtim Muhammad bin Idris. d) Pendapat para ulama: Ibnu Hajar: Tsiqah Muttaqin, ad-Dzahabî : alHafidz, al-‘ajali: Tsiqah, 213 4.3. Mȃlîk : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.1) 4.4. Ibnu Syihȃb : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.2) 4.5. Abî Bakar : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.3) 4.6. Abî Mas’ȗd : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.4) 5. Jalur Riwayat Bukhȃri dengan no hadits 4927 Jalur Sahabat Abî Mas’ȗd al-Anshȃri dengan mukharij Bukhȃri no 4927 rȃwi yang terdapat pada jalur sahabat Abî Mas’ȗd dengan mukharij Bukhȃri diantaranya : Abî Mas’ȗd, Abî Bakar bin ‘Abdirrahman, Ibnu Syihȃb, Sufyȃn dan Ali bin ‘Abdillah. 5.1. Bukhȃri: Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (5.1) 5.2. Ali bin ‘Abdillah 213
Ibnu Hajar, Op.it., Juz 6, hal.88
157
a) Nama Lengkapnya : Ali bin ‘Abdullah bin Ja’far As-Sa’di, Kuniyah: Abȗ al-Hasan Ibnu al-Madani al-Bishri, Thabaqah: 10, Lahir: 261 H. Wafat: 234 H. b) Guru-gurunya : Sufyȃn bin ‘Uyayainah, Abî al-Walîd ath Thiyasi, Abî A’mr al-‘Aqadi, Abî ‘Ashim, Abî Alal Hanafi, Abȗ Bakar al-Hanafi, Abî Dȃwud ath-Thiyasi, Abî Bakar bi ‘Ayȃs, Ya’qub bin Muhammad bin Sa’d, Yazid bin Harun, Yahya bin Adam, al-Walîd bin Muslim, Muȃdz bin Muȃdz, Muȃdz, bin Hisyam, Marwȃn bin Mu’awiyah, Muhammad bin ‘Abdullah al-Anshȃri. ‘Afan bin Muslim, ‘Abdul Wahhab as-Tsaqafy. c) Murid-muridnya : Bukhȃri, Abȗ Dȃwud, Ahmad bin Hambal, al-Hasan bin Ali al-Mu’mar, Ahmad bin Manshȗr, Hanbal bin Ishȃq, Shalih bin Ahmad bin Hambal, Muhammad bin yahya, Muhammad bin ‘Utsman bin Abî Syaibah, Abȗ Hȃtim Muhammad bin Idris, ‘Abdullah bin ‘Ali alMadani. Hamad bin Ishȃq bin Ismaîl , Ismaîl bin Ishȃq al-Qodhi. d) Pendapat para ulama: Ibnu Hajar: Tsiqah Tsabat Imama, Abȗ Hȃtim dan Abȗ Zura’ah: Shaduq.214 5.3. Sufyan bin ‘Uyayainah : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (2.4) 5.4. Ibnu Syihȃb : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.2)
214
Ibid, Juz 7, hal.356
158
5.5. Abî Bakar : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.3) 5.6. Abî Mas’ȗd : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.4) 6. Jalur Riwayat Bukhȃri dengan no hadits 5319 Jalur Sahabat Abî Mas’ȗd al-Anshȃri dengan mukharij Bukhȃri no 5319 rȃwi yang terdapat pada jalur sahabat Abî Mas’ȗd dengan mukharij Bukhȃri diantaranya : Abî Mas’ȗd, Abî Bakar bin ‘Abdirrahman, Ibnu Syihȃb, Sufyȃn dan ‘Abdillah bin Muhammad. 6.1. Bukhȃri : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (5.1) 6.2. ‘Abdillah bin Muhammad a) Nama lengkapnya: ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Ja’far, Kunyah: Abȗ Ja’far, Thabaqah: 10, Wafat 229 H. b) Guru-gurunya: Ishȃq bin Yȗsuf al-Azraq, Mu’tamar bin Sulaimȃn, Marwa’ȃn bin Mu’awiyah, ‘Utsman bin ‘Amr bin Fȃras, Ubaidillah bin Mȗsa, ‘Abdurrazaq bin Hamȃm, Sulaimȃn bin Harb, Sufyȃn
bin
‘Uyayinah, Hafs bin Ghiyȃs, Fudhail bin ‘Iyad, Waqi’ bin Jarah, AlWalîd bin Muslim, Yahya bin Ma’in, Yahya bin Adam, Ya’qub bin Ibrahîm bin Sa’d, c) Murid-muridnya: Bukhȃri, Ibrahîm bin Muhmmad bin Yazid, Abȗ Sa’id Hȃtim bin Hazm, al-‘Abȃs bin Surah al-Bukhȃri, Muhammad bin
159
Yahya, Muhammad bin Nashir, Abȗ Hȃtim Muhammad bin Idris, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman ad-Darimi, Muhammad bin Ahmad bin Hȃrȗn, ‘Abdullah bin Hafs bin Nadzar al-Bukhȃri. d) Pendapat Ulama: Ibnu Hajar: Tsiqah Tsabat Jami’ul Musnad, ad-Dzahabî : al-Hafidz, Abȗ Hȃtim: Shaduq, Ibnu Hibban, Tsiqah. 6.3. Sufyan bin ‘Uyayinah : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (2.4) 6.4. Ibnu Syihȃb : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.2) 6.5. Abî Bakar : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.3) 6.6. Abî Mas’ȗd: Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.4)
7. Jalur Riwayat Muslim no Hadits 2930 Jalur Sahabat Abî Mas’ȗd al-Anshȃri dengan mukharij Muslim no 2930 rȃwi yang terdapat pada jalur sahabat Abî Mas’ȗd dengan mukharij Muslim diantaranya : Abî Mas’ȗd, Abî Bakar bin Abdirrahman, Ibnu Syihȃb, Mȃlîk dan Yahya bin Yahya. 7.1. Muslim a) Nama Lengkapnya : Muslim Bin Al-Hijaj bin Muslim Bin Wardi, tahun kelahirannya : Sebagian ulama mengatakan pada tahun 204 H dan Sebagian lagi Berkata tahun 206 H dan Tahun Kewafatannya adalah 261
160
H di Naisabȗri, Kunyahnya : Abȗ Al-Husaein, Nisbatnya : Al Qusyairi, An NaisAbȗri. b) Guru-Gurunya : ‘Abdulah bin Mussalamah Al-Qa’nibii, Ahmad bin Hambal, Ishȃq bin Rahawiyah, ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman, Rahman Ad-Dharimi, Muhamad bin ‘Abdillah bin Numaeir. c) Murid-muridnya: Muhamad bin ‘Abdul Wahȃb al-Fara, Abȗ Hȃtim muhamad bin idris ar-Razi, Abȗ Isa At-Tirmidzi, Maki bin Abdan. d) Pendapat para ulama : Muslim adalah orang kedua setelah Bukhȃri, baik dalam
ilmu,
keistimewaan
dan
kedudukannya.
Hal
ini
tidak
mengherankan karena Muslim adalah satu muridnya. Ibnu Atsir: Beliau adalah salah seorag imam peng hafal hadits, 215 7.2. Yahya bin Yahya a) Nama Lengkapnya: Yahya bin Yahya bin Bakar bin ‘Abdurrahman atTaimi al-Handzali, Kuniyah : Abȗ Zakariya an-Nasaiburi, Thabaqah: 10, Lahir: 142, Wafat: 226. b) Guru-gurunya: Ibrahîm bin Sa’d ad-Zuhri, Baqiyah bin al-Walîd, Ismaîl bin ‘Ayȃs, Ismaîl
bin’ Aliyah, Ja’far bin ‘Abdul Hamid, Hajaj bin
Muhammad al-‘Awar, Abî Bakar bi ‘Ayas, Yȗsuf bin Ya’kub, Yazid bin Hȃrun, Yahya bin Zakariya bin Abî Zaidah, Abî ‘Awȃnah al-Wadhah bin ‘Abdullah, Waki’ bin Jarh, Mu’tamar bin Sulaimȃn, Mughîrah bin ‘Abdurrahman, Mu’awiyah bin’ Amar, Mȃlîk bin Anas, Laits bin Sa’d,
215
‘Abdullah bin ‘Abdullah, Op.Cit., hal 47-59
161
‘Abdul Warits bin Sa’id, ‘Abdul Haris bin Abî Hazm, ‘Abdullah bin Numaer, ‘Abdullah bin al-Mubaraq, Sufyȃn bin ‘Uyayinah c) Murid-muridnya: Bukhȃri, Muslim, Ahmad bin Salamah an- Naisabȗri, Ahmad bin Hafs bin ‘Abdullah, Ya’qȗb bin Sufyȃn al-fȃrsi, A’bdullah bin ‘Abdurrahman ad-Darimi, Ahmad bin Salamah an-Naisabȗri, d) Pendapat Ulama: Ibnu Hajar: Tsiqah Tsabat Imam, ad-Dzahabi : Tsabat Faqih, an-Nasa’i: Tsiqah Tsabat216, 7.3. Mȃlîk : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.1) 7.4. Ibnu Syihȃb : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.2) 7.5. Abî Bakar: Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.3) 7.6. Abî Mas’ȗd : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.4) 8. Jalur Riwayat Ahmad bin Hambal no hadits 16453 Jalur Sahabat Abî Mas’ȗd al-Anshȃri dengan mukharij Ahmad bin Hambal no 16453 rȃwi yang terdapat pada jalur sahabat Abî Mas’ȗd dengan mukharij Ahmad bin Hambal diantaranya : Abî Mas’ȗd, Abî Bakar bin ‘Abdirrahman, Ibnu Syihȃb, Laits dan Hȃsyim bin Qȃshim.
216
Ibid, Juz 11, hal.298
162
8.1. Ahmad bin Hambal : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (2.1) 8.2. Hȃsyim bin Qashim a) Nama Lengkapnya : Hȃsyim bin Sa’d bin Muslim, Kuniyah: Abȗ anNadhar, Lahir di Bagdad, wafat: 207 Bagdad. b) Guru-gurunya : Ibrahîm bin Sa’d bin Ibrahîm bin ‘Abdurrahman bin alHarits, Abȗ Ishȃq, Ishȃq bin Sa’id bin ‘Amr bin Sa’id bin al-‘Ash, Israil bin Yȗnus bin Ali bin Ishȃq, Ayub bin ‘Utaibah, Baqiyah bin al-Walîd, Dȃwud bin Khȃlid, Dȃwud bin ‘Abdurrahman, Zaid bin ‘Abdullah, Sulaimȃn bin al-Mughîrah, Sulaimȃn bin Mȗsa, ‘Ashim bin Muhammad bin Zaid bin ‘Abdullah, ‘Abdurrahman bin Tsȃbit bin Tsaȗbȃn. c) Murid-muridnya : Ibrahîm bin Ya’qub, Ahmad bin Sa’id bin Ibrahîm, Ahmad bin ‘Amr, Ahmad bin Hambal bin Muhammad bin Yahya bin Sa’id, Ishȃq bin Ibrahîm, Hajaj bin Yȗsuf bin Hajaj, Hamad bin Yahya, ‘Abdullah bin Muhammad bin Abî
Syaibȃh, Ja’far ‘Abdullah bin
Numaer. d) Pendapat para ulama : Yahya bin Ma’in, Abȗ Hȃtim, al-Madani, Muhammad bin Sa’id dan Ali al-‘Ajali: Tsiqah, an-Nasa’i: Laits bihi Ba’tsa. 8.3. Laits : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (4.3) 8.4. Ibnu Syihȃb : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.2)
163
8.5. Abî Bakar : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.3) 8.6. Abî Mas’ȗd : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.4) 9. Jalur Riwayat ad-Dȃrimi no hadits 2568 Jalur Sahabat Abî Mas’ȗd al-Anshȃri dengan mukharij ad-Darimi no 2568 rȃwi yang terdapat pada jalur sahabat Abî Mas’ȗd dengan mukharij adDarimi diantaranya : Abî
Mas’ȗd, Abî
Bakar bin ‘Abdirrahman,
Ibnu
Syihȃb, Sufyȃn dan Muhammad bin Yȗsuf. 1.1 . Ad-Dȃrimi a) Nama Lengkapnya: ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Fadhil bin Mahram, ad-Darimi at-Tamimi. Thabaqah: 11, Lahir: 181, Wafat: 225 b) Guru-gurunya: Muslim, Abȗ Dȃwud, Tirmidzi, Ahmad bin Yahya, Muhammad bin Na’îm, Muhammad bin Mȗsa, Muhammad bin Ismaîl al-Bukhȃri, Muhammad bin Yȗsuf, ‘Abdullah bin Ahmad bin Hambal. c) Murid-muridnya: Yahya bin Yahya an-Naisabȗri, Yahya bin Sa’d, Wahȃb bin Jarir bin Hazm, Maki bin Ibrahîm, Muslim bin Ibrahîm, ‘Amr bin Hafs bin Ghiyȃs, Afȃn bin Muslim.’Ubaidillah bin Mȗsa. d) Pendapat para ulama: Ibnu Hajar: Tshiqah Muttaqin, Tsabat, ad-Dzahabî : Hafitdz. 10.2. Muhammad bin Yȗsuf
164
a) Nama Lengkapnya : Muhammad bin Yȗsuf bin wȃqid bin ‘Utsman adDhabhi, Kuniyah: Abȗ ‘Abdullah, Thabaqah: 9, Lahir: 120 H, Wafat 212 H. b) Guru-gurunya : Al-Hȃrits bin Sulaimȃn, Tsa’labah bin Suhl, al-Jarh bin Malih, Abȗ Bakar bin ‘Ayȃs, Yȗnus bin Abî Ishȃq, Qios bin Rabî ’ Fudhail bin Marzȗq, ‘Abdurrahman bin Tsȃbit bin Tsaȗbȃn, Sufyȃn bin ‘Uyayinah, Sufyȃn Tsaȗri, Israîl bin Yȗnus bin Abî Ishȃq. c) Murid-muridnya : Bukhȃri, Ahmad bin Hambal, Ahmad bin ‘Abdullah, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman ad-Darimi, Ismaîl bin ‘Amr, ‘Abdurrahman bin Ibrahîm, Ishȃq bin Manshȗr, ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Imrȃn, Ibrahîm bin al-Walîd, Ibrahîm bin Muhammad bin Yȗsuf. d) Pendapat para ulama : Ibnu Hajar: Tsiqah, an-Nasa’i: Tsiqah, 217 9.1. Sufyân bin ‘Uyayinah : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (2.4) 9.2. Ibnu Syihȃb : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.2) 9.3. Abî Bakar : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.3) 9.4.
Abî Mas’ȗd : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.4)
217
Ibid, Juz 9, hal.537
165
•
Penentuan kualitas sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil
suap
dengan
melihat
ke-adail-an,
ke-dhabit-an
dan
kemuttasilan sanad Dilihat dari ke-adil-an dan ke-dhabit-annya rȃwi-rȃwi yang menjadi sanad hadits tersebut, maka
dapat diketahui, bahwa sanad-sanad-nya
termasuk orang-orang yang tsiqah, kecuali terdapat satu orang rawi yaitu Ibnu Syihab, yang mana mayoritas ulama menilainya dengan jarh, seperti Tidak diketahui teks haditsnya, Tidak mengetahui satu orangpun, Ibnu Syihab tidak mendengar hadits itu dari Aban,
dari Mas’ud bin al-Hakim,, . dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa perȃwi tersebut merupakan perȃwi yang kurang dhaif karena ada beberapa ulama yang menilai jarh. Dengan memperhatikan sanad gabungan hadits tentang Larangan memakan harta hasil suap, dalam kitab Muatha malik no hadits 1173, ditinjau dari segi sanadnya yaitu termasuk hadits dhaif, karena ada perȃwi yang bernama Ibnu Syihab, yang mayorits ulama menilai dengan penilaian yang Jarh, Akan tetapi terdapat riwayat Bukhari, Muslim, Abȗ Dâwd, Ibnu Mȃjah, an-Nasa’i, Ahmad bin Hambal, Tirmidzi dan Ad-Darimi, yang sama meriwayatkan hadits tersebut. Dengan demikian, Maka hadits riwayat Mȃlik yang bersanadkan Ibnu Syihab yang pada asalnya dha’if naik menjadi hasan , Karena dhif telah dianggkat oleh mutabî, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim,
166
Abȗ Dȃwud, Tirmidzi, Ibnu Mȃjah, an-Nasai, ad-Darimi dan Musnad Ahmad bin Hambal. Jika memperhatikan skema sanad hadits pada hadist tentang larangan memakan harta hasil suap, Maka dapat diketahui ketersambungan nya ini marfu dan muttashil setelah di analisis pada jalur sahabat Abî Mas’ud al-
ْﻋ َ , dan ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ sehingga bisa di katakan para Anshari semuanya mengguanakan ﻦ rȃwi tersebut muttasil dan dapat di kategorikan Liqa hal ini karena lafadz adat al-Tahamul yang digunakan mengandung pengertian sima’i disamping ada hubungan guru dan murid. Jadi dari segi ke-muttasilan-nya diantara sanadsanad dalam hadits-hadits di atas dapat dihukumkan seluruhnya muttashil sanad. H. Analisis hadits tentang keharamnya kegiatan Suap 1. Jalur Riwayat Imam Malîk no Hadits 1198 Jalur tabi’in kalangan pertengahan yaitu Sulaimȃn bin Yasȃr dengan mukharij Mȃlik no 1189 rȃwi yang terdapat pada jalur Tabi’in ini dengan mukharij Mȃlik diantaranya : Sulaimȃn bin Yasȃr, Ibnu Syihȃb, 1.1. Mȃlîk : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.1) 1.2. Ibnu Syihȃb : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang larangan memakan harta hasil suap (1.2) 1.3. Sulaimȃn bin Yasȃr
167
a) Nama Lengkapnya: Sulaiman al-Yasȃr al-Halalî, Kuniyah: Abȗ Ayub, Thobaqah: ke-3 dari Tabi’in pertengahan, Lahir: Madinah, Wafat 100 H ada juga yang mengatakan 110 H. b) Guru-gurunya: Jȃbir bin Abdullah, Hasan bin Tsabit, Hamzah bin ‘Amr al-Aslami, ‘Abdullah al-Harits bin Naufil, Thariq al-Qadhi Makah, ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khattȃb, ‘Abdullah bin ‘Ayyȃsy bin Abî Rabî’ah, Abdurrahman bin Jȃbir bin ‘Abdullah, al-Fadhik bin ‘Abbȃs, Abdul Mȃlik bin Yasȃr, ‘Abdullah bin ‘Abbȃs, Abî ‘Abdullah alMadani, Abî Hurairah, Maimunah, Ummu Salamah,(Istri Nabi) Fathimah binti Qois, A’isyah (Ummul Mu’minun), Abî Sa’îd al-Hudri, Mas’ud alHakim al-Azraq, Kuraib Maula Ibnu ‘Abbȃs. c) Murid-muridnya: Yȗnus bin Yȗsuf, Ya’la bin al-Hakîm, Ya’qub bin Utaibah, Yahya bin Sa’îd al-Anshari, Nȃfi’ maula Ibnu ‘Umar, Muhammad bin Yȗsuf al-Kindi, Muhammad bin Muslim bin Syihab azZuhry, Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atha’, Muhammad bin ‘Abdurrahman bin ‘Ubaid, ‘Imran bin Abî Annas, ‘Amr bin Syueb, ‘Amr bin Dinȃr, ‘Abdurrahman bin Yazid bin Jȃbir, ‘Atha’ bin Yasȃr, ‘Abdullah bin Sa’îd al-Anshari, ‘Abdullah bin Dinȃr, Khȃlid bin Abî ‘Imrȃn, Zaid bin Aslam, Ja’far bin ‘Abdullah bin al-Hakim bin al-Anshari, ‘Abdullah bin Sulaimȃn bin Yasȃr, Rabi’ah bin Abî ‘Abdurrahman.
168
d) Pendap para ulama: Abȗ Dzura’ah: Tsiqah Ma’mun. Âbid, Yahya bin Ma’in: Tsiqah, Al-Ajalî: Tsiqah, Ma’mun, ad-Dzahabi: Faqh fil Madinah, Ibnu Hajar: Tsiqah, Ibnu Hibbah: Tsiqah, 218 •
Penentuan kualitas sanad hadits tentang keharaman suap dengan melihat ke-adail-an, ke-dhabit-an dan kemuttasilan sanad Dilihat dari ke-adil-an dan ke-dhabitan-nya para rȃwi yang menjadi
sanad hadits tersebut, sanad-sanadnya termasuk orang orang yang tsiqah, karena tidak di temukan para ulama yang mengomentari para rȃwi di atas yang men jarh sehingga dari sisi sanad bisa di katakan rawi-rawinya Tsiqah, diantara para ulama yang mengomentari para rȃwi ada yang mengatakan Tsiqah Ma’mun. Âbid, : Tsiqah, Al-Ajalî: Tsiqah, Ma’mun, Faqh fil Madinah, Tsiqah, , al-faqh, Al-Hafidz muttafaq. , Meskipun para rawinya berderajat tsiqah, akan tetapi dikatakan dhaif dari segi sandaranya sebab menggugurnya seorang rawi yaitu sahabat, Memperhatikan skema sanad hadits gabungan pada hadist tentang haramnya menerima suap dari sisi ketersambungan nya ini marfu, akan tetapi haditsnya mursal karena setelah di analisa hadits ini dari jalur tabi’in langsung disandarkan kepada Nabi, pada jalur tabi’in kalangan pertengahan yaitu Muhammad bin Yasȃr mengguanakan
ﻦ ْﻋ َ ,ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ sehingga bisa di katakan
muttasil dan dapat di kategorikan Liqa hal ini karena lafadz adat al-Tahamul yang digunakan mengandung pengertian simai disamping ada hubungan guru
218
Ibid. Juz 4 hal 228-230
169
dan murid. Jadi dari segi kemuttasilannya diantara sanad-sanad dalam haditshadits diatas dapat d hukumkan seluruhnya muttashil sanad. I. Analisis sanad hadits tentang dampaknya kegiatan suap menyuap. a. Analisis hadits tentang dampaknya Suap 1. Jalur Riwayat Ahmad bin Hambal no Hadits 17155 Jalur Sahabat ‘Amr bin al-‘Ash dengan mukharij Ahmad bin Hambal no 17155 rȃwi yang terdapat pada jalur Sahabat ‘Amr bin al-‘Ash ini dengan mukharij Ahmad bin Hambal diantaranya : ‘Amr bin al-‘Ash, Muhammad bin Rȃsyid al- Murȃdî, ‘Abdullah bin Sulaimȃn, Ibnu Lahî’ah, Mȗsa bin Dȃwud, 1.1. Ahmad bin Hambal : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Allah (2.1) 1.2. Mȗsa bin Dȃwud a) Nama Lengkapnya: Mȗsa bin Dȃwud, thabaqah: Tabi’in keci, kuniyah: Abȗ ‘Abdullah, Wafat:217 H. b) Guru-gurunya: Ibrȃhim bin Sa’d bin Ibrȃhim bin ‘Abdurrahman bin Auf, Abȗ bakat, Muhammad bin Salamah bin Dinȃr, Uawed bin Alabah, Zuher bin Muawiyyah bi Hadij, Sulaimȃn bin Bilal, Syarik bin ‘Abdullah bin Abî Syarik, ‘Abdurahman bin Abî Zinad, ‘Abdullah bin Dahwam, ‘Abdurrahman bin Tsȃbȗn bin Tsauban, ‘Abdurrahman bin Sulaimȃn bin ‘Abdullah bin Handhalah, ‘Abdul Azîz bin ‘Abdullah bin Abî Salamah, ‘Abdul Azîz bin Muhammad bin Ubaid, ‘Abdullah bin Umar bin Hafs
170
bin ‘Ashim bin ‘Umar, Abdullah Hai’ah bin ‘Abdullah, ‘Abdullah bin ma’mal bin Wahbullah, Alî bin ‘Abbas. c) Murid-muridnya: Ibrahi bin ya’qub bin Ishȃq, Ahmad bin Sulaimȃn bin ‘Abdul Malik, Hajȃj bin Yusuf bin Hajȃj, Zaid bin Azam, ‘Abad bin Ja’far bin ‘Abdullah bin Zabarqan, ‘Amr bin Manshȗr, Muhammad bin Ma’mar bin Rabi’ah, Muhammad bin Yahya bin Abdul karim, Muhammad bin Yahya bin ‘Abdullah bin Khalîf. d) Pendap para Ulama: Ibnu Namir, Ibnu A’mar, Al-Ajali, Muhammad bin Sa’d Ibnu Hibban: Tsiqah, Daruqtni: Ma’mun (terpercaya)219 1.3. Ibnu Lahî’ah a) Nama Lengkapnya: ‘Abdullah bin Lahî’ah bin ‘Uqbah bin Rabi’ah bin Tsȃuban al-Hadhramî, kuniyah: Abȗ ‘Abdurrahman, Thobaqah: 7 dari kalangan tabi’in Besar, Wafat:174 H. b) Guru-gurunya: Abî Yȗnus, Yazîd bin ‘Amr, Mȗsa bin Jabîr, Musȃ bin Waradȃn, Musȃ bin Ayyȗb, Muhammad bin ‘Abdullah bin Mȃlik, Qois bin al-Hajȃj, ‘Isȃ bin ‘Abdurrahman, ‘Ayyas bin Abbȃs, ‘Amr bin Syueb, ‘Amr bin Dinar, Iqrimah maula Ibnu ‘Abbȃs, ‘Ubaidillah bin Abî Ja’far, ‘Abdullah bin Abî Mȃlikiyah, Sulaimȃn bin Ziyȃd, Khȃlid bin Abî ‘Imrȃn, Hafs bin Hȃsyim bin ‘Utbah bin Abî Waqȃs, al-Hasan bin Tsaubȃn. c) Murid-muridnya: : Yahya bin ‘Abdurrahman bin Bakir, Al-Walid bin Muslim, Manshȗr bin ‘Amȃr, Muhammad bin Mu’awiyah an-Naisabȗry, 219
Ibid. Juz 10 hal 342-343
171
Laiyts bin Sa’d, Qutaibah bin Sa’d, ‘Utsmȃn bin al-Hakim, ‘Utsmȃn bin Shȃlih, ‘Amr bin Khȃlid, Amr bin Hȃsyim, ‘Abdullah bin Yazîd, ‘Abdurrahman bin ‘Amr al-Auza’i, Syu’bah bin al-Hajaj, Sufyȃn atsTsaury, Hajȃj bin Sulaimȃn, Ahmad bin ‘Isȃ bin ‘Abdullah bin Lahî’ah, Ishȃq bin ‘Isȃ, Hasan bin ‘Abdullah al-Wasthi. d) Pendap para Ulama: Menurut Ibnu Ma’in: Dhaif, lâ yuhtajju bihi, anNasa’i dari bapaknya: Laitsa bitsiqah, ad-Dzahabî: Dha’fu, Ahmad bin Hambal: Shahih, Ahmad bin Shaleh: Shahihul Kitab, Tsiqah, Ibnu Mahdi: Umar bin Falȃs: Dha’iful Hadits.220 1.4. ‘Abdullah bin Sulaimȃn a) Nama
Lengkapnya: ‘Abdullah
bin
Sulaimȃn, tabi’in
Kalangan
pertenganhan b) Guru-gurunya: Muhammad bin Rasyid c) Murid-muridnya: ‘Abdullah bin Lahî’ah, Ibnu ‘Uqbah d) Pendap para Ulama: Tidak diketahui komentar para Ulama 1.5. Muhammad bin Rȃsyid al- Murȃdî, a) Nama Lengkapnya: Muhammad
bin Rȃsyid al- Murȃdî, TAbîin
Kalangan pertengahan, Laqobnya: Al-Kilabî b) Guru-gurunya: ‘Amr bin al-Ash, c) Murid-muridnya: ‘Abdullah bin Sulaimȃn d) Pendap para Ulama: Majhul Ghair Ma’ruf 1.6. ‘Amr bin al-‘Ash 220
Ibid. Juz 5 hal 373-379
172
a) Nama Lengkapnya: ‘Amr bin al- Al-‘Ash bin Wȃil bin Hȃsyim, Thabaqah: Sahabat, Kuniyah: Abȗ ‘Abdullah, Wafat: 43 H b) Guru-gurunya: Humail bin Bashrah bin Waqash, ‘Umar bin Khȃttab bin Nufael c) Murid-muridnya: Abȗ al-Munib, Abȗ Abdullah, Ja’far bin Muthalib bin Abî Abî Wada’ah, Yahya bin Hȃni’ bin Nȃdhir, Dzakwan, ‘Abdurrahman bin Tsabit muala ‘Amr bin al-‘Ash, ‘Abdurrahman bin Jabîr, ‘Abdurrahman bin Syamȃsah, ‘Abdurrahman bin Mal bin ‘Amr, ‘Abdullah bin Abî Hudzail, ‘Abdullah bin Hatirs bin Nufal bin Harits, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash bin Wail, ‘Abdullah bin Mȃlik bin Abî Asham, ‘Abdullah bin Manin, ‘Urwah bin Zubair bin ‘Awam bin Khuwȃlid bin As’ad, Abî bin Rabah bin Qushair, Umarah bin Khuzaimah bin Tsabît, Qubaimah bin Dzuaib bin Halhalah, Quz’ah bin Yahya, Qois bin Abî Hazim. Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, Salam bin Abî Aqbrab, Yazîd maula ‘Uqail, Mȃlik bin ‘Abdullah, Habîb bin Ueis, Muhammad bin Rasyid, Qis bin Sami’ bin alAzhar, Maula ‘Amr bin al-‘Ash. d) Pendap para ulama: Shahabat •
Penentuan kualitas sanad hadits tentang dampaknya suap dengan melihat ke-adail-an, ke-dhabit-an dan kemuttasilan sanad Dilihat dari ke-adil-an dan ke-dhabitan-nya para rȃwi yang menjadi
sanad hadits tersebut, sanad-sanadnya terdapat satu orang rȃwi yang dinilai Jarh oleh Para ulama Yaitu Ibnu Lahi’ah , dan terdapat juga dua orang rȃwi
173
yang tidak diketahui statusnya yaitu rȃwi dari thabaqah Tabi’in dan Thabaqah Atba’ Tabi’in yang bernaman Muhammad bin Rasyidi al-Muradi dan ‘Abdullah bin Sulaimȃn. Serta riwayatnya munfarid ( hanya diriwyatkan oleh Ahmad bin Hambal). dengan demikian sanad hadits ini bisa di katakan sanadnya Dhaif Memperhatikan skema sanad hadits pada hadist yang menggunakan kata: Tidaklah riba merajarela , kepada suatu kaum kecuali ditimpa paceklik, dan tidaklah budaya suap merajarela kepada suatu kaum kecuali akan ditimpa
ْﻋ َ ,ﺧ َﺒ َﺮﻧَﺎ ْ َأ,ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ kepada mereka suatu ketakutan, dengan menggunakan kata ﻦ sehingga bisa di katakan muttasil dan dapat di kategorikan Liqa hal ini karena lafadz adat al-Tahamul yang digunakan mengandung pengertian simai disamping ada hubungan guru dan murid. Jadi dari segi kemuttasilannya di antara sanad-sanad dalam hadits-hadits diatas dapat dihukumkan seluruhnya muttashil sanad. b. Analisis sanad hadits tentang dampaknya menerima Suap 1. Jalur Riwayat an-Nasa’i no Hadits 5571 Jalur Sahabat ‘Masrȗq dengan mukharij an-Nasa’i no 5571 rȃwi yang terdapat pada jalur Sahabat ‘Masrȗq ini dengan mukharij an-Nasa’i diantaranya: Masrȗq, Abî Wȃ’il, al-Hakim bin ‘Utaibah, Manshȗr bin Zȃdzȃna, Ibnu Khalîfah, Alî bin Hujri dan Qutaibah. 1.1. An-Nasa’i
174
a) Nama Lengkapnya : Ahmad bin Syuaeb bin Alî bin Sinan bin Bahr bin Dînȃr, kunyahnya Abȗ ‘Abdurrahman An-Nasai, Dilahirkan Pada Tahun 215 H dan meninggal pada tahun 303 H di kuffah. b) Guru-gurunya: Ahmad bin Nasar An Naisabȗry, Abî Suyeb Solah bin Jiyad As Sawasi. c) Murid- muridnya : Ibrȃhim bin Ishȃq bin Ibrȃhim bin Ya’qub bin Yȗsuf al Iskandaroni, Ahmad bin Ibrȃhim bin Muhammad, Abȗ Hasan Ahmad bin ‘Umar, Ahamd bin Isa al Qomi.221 d) Pendapat para ulama : ibnu Hajar : Al Hafidz Shahabat Sunan. 1.2. Qutaibah : Telah di jelaskan pada pembahasan sanad hadits tentang Laknat Rasul (6.2) 1.3. Alî bin Hujri a) Nama lengkapnya : Alî bin Hujri bin Iyâs as-Sa’di. Abȗ Hasan alMarûzî, Thobaqah: 9 At-bau’ Tabi’in Kecil,Wafat:244H. b) Guru-gurnya : Ismȃil bin Ja’far, Ismȃil bin ‘Alîyah, Ismȃil bin ‘Ayyas, Jarir bin Abdul Hamid, Khalîf bin Khalîfah, Hafs bin Sulaimȃn, Hasyim bin Basyar, Yazîd bin Hȃrun, Yahya bin Sa’îd, al-Walid bin Muslim, Yahya bin Hamzah, Muhammad Yazîd al- Washiti,Ayas bin Yȗnus, ‘Abdul ‘Azîz bin Abî Hazm, ‘Abdullah bin al-Mubarak, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Yazîd bin Jȃbir, ‘Abdillah bin Ja’far al-Madani, Syueb bin Shafwȃn, Salamah bin ‘Amr al-Qodhi, al-Walid bin Muhammad, 221
Agus Solehudin dan Agus Suryadi, Op.Cit., hal 235-240
175
c) Murid-muridnya : Bukhȃri, Muslim, an-Nasa’i, Muhammad bin Na’im an-NaisAbȗri, Muhammad bin Alî al-Hakim at-Tirmidzi, Muhammad bin Alî bin Hamzah, Muhammad bin ‘Abdullah bin Abî ‘Awȃn anNasa’i, Qois bin Muslim al- Bukhȃri, al-Husen bin Muhammad bin ‘Abdurrahman, Abȗ Ishȃq bin Ibrȃhim bin Ismȃil, Abȗ Ayyȗb bin Ishȃq, Tirmidzi, Al-Hasan bin al-Asyaibȃni, Ahmad bin Abî al-Ahwarȃ, d) Pendapat para ulama: Ibnu Hajar: Tsiqah Hȃfdz, an-Nasa’i: Tsiqah Ma’mun, Hafidz, ad-Dzahabi: Hafidz.222 1.4. Ibnu Khalîfah a) Nama lengkapnya : Khalaf bin Khalîfah bin Shâ’ad bin Bâm, al-Asza’I Thabaqah:8 dari pertengahan Atba’ Tabi’in : Wafat:181 H, Bagdad, b) Guru-gurunya : Hafs bin Akhi Annas bin Mȃlik, Ismȃil bin Abî Khȃlid, Khalîfah bin Shȃid (Ayahnya), Ya’la bin ‘Atha, Mȃlik bin Annas, Manshȗr bin Zadzana, Hamid bin ‘Atha al-‘A’raj, Abî Hȃsyim alRumani, Sa’îd bin Thariq Abî Mȃlik, c) Murid-muridnya : Wakî bin al-Jarh, Abȗ Salamah Mȗsa bin Isma’il, Muhammad bin Muawiyah, Muhammad bin al-Shabȃh, Qutaibah bin Sa’id, Sa’îd bin Manshȗr, Dȃwud bin Rasyid, Sa’îd bin Sulaimȃn alWasthi, Abȗ Bakar ‘Abdullah Muhammad bin Abî Syaibah, Hasyim bin Basyar, Alî bin Hujri, Ismȃil bin Ibrȃhim al-Qhati’i, Ibrȃhim bin Abî al‘Abbas, Ibrȃhim bin Mȗsa al-Fara’, Ahmad bin Ibrȃhim al-Maushuli Mu’mar, Basyar bin Mȗsa. 222
Ibnu Hajar, Op.Cit., Juz 7 hal 293-294.
176
d) Pendapat para Ulama: Menurut ad-Dzahabî, Abȗ Hȃtim,: Shaduq223, Usman bin Abî Syaibah: Shaduq Tsiqah, Al-‘Ajalî, Muhammad bin Said : Tsiqah, Muhammad bin ‘Abdulah bin ‘Amr : La Ba’tsa bih. Yahya bin Ma’in : Laitsa bihi Ba’tsa, 224 1.5. Manshȗr bin Zȃdzȃna a) Nama Lengkapnya : Manshȗr bin Zâdan al-Washithi , Abȗ al- Mughîrah at-Tsaqafi: thabaqah: ke 6 tabîin kecil, Wafat:129 Hijriah. b) Guru-gurunya : Qotadah, Annas bin Mȃlik, ‘Amr bin Dinȃr, Muhammad bin Sirin, Abdurrahman bin al- Qosim bin Muhammad bin Abî Bakar, Abî Basyar al-Walid bin Muslim, Al-Hakim bin ‘Utaibah, Rafî Abî Alîyah, Zȃdzȃna Abî Hakim bin ‘Utaibah, ‘Atha’ bin Abî Rabîh. c) Murid-muridnya : Jarir bin Hazm, al-Wadhah Abȗ ‘Awanah, Hasyim bin Basyar, Khalîd bin Khalîfah, Syu’bah bin al-Hajȃj, Abȗ Hamzah, Sulaimȃn bin Abȗ Muhammad, al-Fadhil bin Maimun. d) Pendapat para ulama: Menurut Ahmad bin Hambal: Syakh Tsiqah, Muhammad bin Sa’id: Tsiqah, Tsabat, an-Nasa’i, Yahya bin Ma’in dan Abȗ Hatim : Tsiqah, Ibnu Hajar: Tsiqah Tsabat, ad-Dzahabi :Tsiqah Kabîr. , ‘Abdullah bin Ahmad bin Hambal, bertanya kepada bapaknya: Bahwa dia adalah Tsiqah, Menurut Ishȃq bin Manshȗr dari Yahya bin Ma’in dan Abȗ hati, an-Naasa’i: Tsiqah, Muhammad bin Sa’d:Tsiqah. 1.6.
Al-Hakim bin ‘Utaibah
223 224
Adz-Dzahabi, Op.Cit. Juz 1 hal 660 Ibnu Hajar, Op.Cit. Juz 3 hal 150-152
177
a) Nama lengkapnya: Al-Hakim bin Utaibah al-Kinndi, Abȗ Muhammad ada yang mengatakan Abȗ ‘Abdullah, ada yang mengatakan juga Abȗ Amr al-Kufi, Thabaqah: 5 dari Tabi’in keci. Wafat113 H atau 114 H b) Guru-gurunya: Zaid bin Arqam, Sa’îd bin Jabîr, Sa’îd bin ‘Abdurrahman, Abî Wȃil Syaqiq bin Salamah, Syuraih bin al-Harits al-Qadhi, A’isyah binti Sa’d binti Waqȃs, Abî Muhammad al-Bishri, Abî bakar bin ‘Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyȃm, Yazîd bin Syuraik al-Tamimi, Mȗsa bin Thalhah bin ‘Ubaidillah, Mujȃhid bin Jabîr, Nafi’ Muala Ibu ‘Umar, ‘Ikrimah Muala Ibnu Abbȃs, ‘Atha’ bin Abî Rȃbah, Alî bin alHusen bin Alî bin Abî Thȃlib, ‘Abdul Hamid bin ‘Abdurraman bin Zaid bin al-Khattȃb, ‘Abdullah bin Na’fi Muala Ibni Hȃsyim, c) Murid-muridnya: Hajȃj bin Dinȃr, Supyȃn bin Husen, ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah al- Mas’udi, ‘Abdul Mȃlik bin Hamid, Abȗ ‘Awanah, Abȗ Israîl al-Malai’, Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abî Laila, Qotadah bin da’ȃmah, ‘Ayas bin ‘Abdurrahman bin Abî Laila, d) Pendapat para ulama: Ibnu Hajar : Tsiqah Tsubut, ad-Dzahabi: Shaihibu as-Sunnah, Ibnu Sa’d: Tsiqah, Ya’qub bin Sufyȃn: Faqh Tsiqah, Ibnu Hibban: dalam kitab as-Tsiqahnya: Dia Muddalîs.225Abu Hatim: Majhul226 1.7. Abî Wȃ’il
225 226
Ibid. Juz 2 hal 432-434 Adz-Dzahabi, Op.Cit Juz 1 hal 577
178
a) Nama Lengkapnya : Syaqiq bin Salamah al- Asadi, Kuniyah: Abȗ Wail al-Kufii, Thabaqah ke:2 dari Tabaiin besar, Wafat: Wafat pada Khalifah Umar bin ‘Abdul Azîz (Abad ke 2) 82 H b) Guru-gurunya : ‘Aisyah binti Sa’îd bin Abî Waqash, Abî Muhammad alBishri, Abȗ Bakr bin ‘Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam, Nȃfi’ Maula Ibnu ‘Umar, Maimun bin Abî Syaibah, Qosim muala Ibnu ‘Abbȃs, Muhammad bin Ka’ab al-Qurdhi, Abî Ja’far Muhammad bin ‘Alî bin Husen bin Alî bin Abî Thȃlib, Mujȃhid bin Jȃbir, Qois bin Abî Hazm, ‘Amr bin Syu’eb, ‘Alî bin al-Husen bin ‘Alî bin al-Khattȃb, ‘Abdul Hamid bin ‘Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khatȃb, ‘Abdullah bin Nȃfi’ Maula bani Hȃsyim, Sa’îd bin Jȃbir, Zaid bin Arqam, Ibrȃhim atTaimi, Abî Wȃ’il, Syuraih bin al-Harits al-Qodhi, Mȗsa bin Thalhah bin Ubaidillah. c) Murid-muridnya : Abȗ ‘Awanah, Sulaimȃn al-‘Amasy, Al-Hakim bin ‘Utaibah, Habib bin Abî Tsabit, Hȃmad bin Abî Sulaimȃn, Sa’îd bin Marzȗq al-Tsauri, Shȃlih bin Hayan al-Qurasyi, Abȗ Hasyim al-Rumani, Abȗ Basyar, Zaid bin Abî Zȃyad, Nuem bin Abî Hindun, Muhȃjir bin alHasan, Manshȗr bin al-Mu’tamar, Abȗ Ishȃq. d) Pendap para ulama : Ibnu Hajar: Tsiqah, ad-Dzahabi: Ulama yang Alîm,( mengamalkan Ilmunya), Waqi’:Tsiqah, Abȗ wail dari Abȗ Bakar: Mursal, Muhammad bin Sa’d : Tsiqah yang banyak haditsnya. Yahya bin Ma’in: Tsiqah.227 227
Ibnu Hajar, Op.Cit., Juz 4 hal 361-363
179
1.8. Masrȗq a) Nama Lengkapnya : Masrȗq bin A’jda bin Mȃlik bin Umayah bin ‘Abdullah, kunyahnya Abȗ ‘Aisyah dan tinggalnya di Kufah, Beliau wafat pada tahun 62 H, ada juga yang menyebutkan 63H. b) Guru-gurunya : Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khattȃb, ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-‘Ash, Ibnu Mas’ud, ‘Utsmȃn bin ‘Afan, ‘Umar bin Al-Khattȃb, Alî bin Abî Thalib, Abȗ Bakar Shiddiq, Mu’ad bin Jabal, al-Mughîrah bin Syu’bah, A’isyah, ‘Ummu Salamah, c) Murid-muridnya : Ibrȃhim bin Yajid bin Qaiys, Jabir bin Yazîd bin Harits, ‘Abdullah bin Murrah,. d) Pendap para ulama : Menurut Ibnu Hajar, Yahya bin Ma’in: Tsiqah, Muhammad bin Sa’îd : Kȃna Tsiqah, Ibnu Hibban: Dikruhu Litsqat.228 •
Penentuan kualitas sanad hadits tentang dampaknya menerima suap dengan melihat ke-adail-an, ke-dhabit-an dan kemuttasilan sanad Dilihat dari ke-adil-an dan ke-dhabit-annya para rȃwi yang menjadi
sanad hadits tersebut, sanad-sanad-nya termasuk orang orang yang tsiqah, tetapi ditemukan seorang rawi yang dinilai oleh para ulama dengan Jarh , Rawi tersebut bernama al-Hakim, beliau menurut Abȗ Hatim sbgai seorang rawi yang majhul. dengan demikian sanad hadits ini bisa di katakan dhaif.
228
Ibid.. Juz 10 hal 109-111
180
Hadits tersebut merupakan hadits maqtu karena hadits ini berasal dari seorang tabî’in yang di sandarkan kepada sahabat. Memperhatikan skema sanad hadits pada hadist yang menggunakan kata: Jika seseorang memakan barang haram yang dihadiahkan maka ia telah memakan kemurkaan, dan jika menerima suap maka akan menarik kepadanya
ْﻋ َ ,ﺧ َﺒ َﺮﻧَﺎ ْ َأ,ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ kekufuran” dengan menggunakan kata ﻦ
sehingga bisa di
katakan Muttasil dan dapat di kategorikan Liqa hal ini karena lafadz adat alTahamulnya yang digunakan mengandung pengertian simai disamping ada hubungan guru dan murid. Jadi dari segi kemuttasilannya diantara sanad-sanad dalam hadits-hadits diatas dapat di hukumkan seluruhnya muttashil sanad. C. Kesimpulan Penelitiaban Sanad. 1. Sanad-sanad hadits tentang laknat Allah bagi orang yang melakukan suap menyuap Dalam gabungan sanad hadits tentang Laknat Allah bagi orang yang melakukan suap menyuap, semua sanadnya memiliki derajat tsiqah, kecuali ada satu sanad dari jalur Ahmad bin Hambal yaitu ‘Umar bin Abî Salamah memiliki derajat kurang tsiqah
dikarenakan kurang adil dan kurang kuat
hafalanya, Akan tetapi terdapat riwayat lain dari Jalur Ahmad bin Hambal dan Jalur Ibnu Mȃjah yang memiliki rȃwi-rȃwi-nya tsiqah, sehingga kecacatan rȃwi ‘Umar bin Abî Salamah dapat ditutupi dengan adanya mutabî dan juga syahid dengan Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr. Maka dapat diketahuai bahwa hadits ini jika dinilai dari sanadnya termasuk hadits shahih lighairi.
181
2. Sanad-sanad hadits tentang laknat Rasul bagi orang yang melakukan suap menyuap. Dalam gabungan sanad tentang Laknat Rasul bagi orang yang melakukan suap menyuap Semua sanadnya memiliki derajat tsiqah, kecuali ada satu sanad dari jalur Tirmidzi yaitu ‘Umar bin Abî Salamah memiliki derajat kurang tsiqah dikarenakan kurang adil dan kurang kuat hafalanya, Akan tetapi terdapat riwayat lain dari Jalur Ahmad bin Hambal, Jalur Abȗ Dȃwud serta Jalur Tirmidzi sendiri yang memiliki rȃwi-rȃwinya tsiqah, sahingga kecacatan rȃwi ‘Umar bin Abî Salamah dapat ditutupi dengan adanya mutabî dan juga syahid dari Jalur Ahmad bin Hambal dengan sahabat Tsaȗbȃn. Maka dapat diketahuai bahwa hadits ini jika dinilai dari sanadnya termasuk hadits shahih lighairi. 3. Sanad hadits tenang Larangan memakan harta hasil suap Melihat skema sanad hadits tentng larangan memakan harta hasil suap, maka dapat diketahui bahwa sanad-nya terdapat rawi yang dhaif yaitu Ibnu Syihab, akan tetapi kedhaifannya naik menjadi hasan karena terdapat mutabi dari riwayat Bukhâri, Muslim, Abȗ Dâwud, Ibnu Mȃjah, an-Nasai, Tirmidzi, Ad-Darimi, Ahmad bin Hambal. 4. Sanad hadits tentang haramnya kegiatan Suap Melihat skema sanad hadits tentang haramnya menerima suap, hadits tersebut merupakan hadits mursal’, karena hadits ini disandarkan langsung kepada Nabi
dari
seorang Tabi’in kalangan pertengahan yang bernama
182
Sulaimȃn bin Yasȃr, hadits ini munfarid (yang hanya diriwayatkan oleh Imam Mȃlik ) dapat diketahui juga bahwa sanad hadits tersebut semua sanad-nya berderajat tsiqah (shahih sanad) akan tetapi dhaif dari segi penyandarannya, karena menggugurkan seorang rawi yaitu sahabat berstatus namun hadits ini bersataus marfu dan muttasil. 5. Sanad hadits tentang dampaknya kegiatan Suap-menyuap a) Sanad hadits tentang dampakna Suap Melikhat skema sanad tentang
dampaknya memberi suap sanad-
sanad-nya terdapat satu orang rȃwi yang dinilai jarh oleh para ulama. Yaitu Ibnu Lahi’ah , dan terdapat juga dua orang rȃwi yang tidak diketahui statusnya yaitu rȃwi dari thabaqah Tabî’in dan thabaqah Atba’ Tabi’in yang bernama Muhammad bin Rasyidi al Muradi dan
‘Abdullah bin Sulaimȃn. Serta
riwayatnya munfarid ( hanya diriwyatkan oleh Ahmad bin Hambal). dengan demikian sanad hadits ini bisa di katakan sanadnya dhaif b) Sanad hadits tetang dampaknya menerima Suap Melihat skema sanad hadits tentang dampaknya menerima Suap, Hadits tersebut merupakan hadits Maqtu’, dan munfarid (yang hanya diriwayatkan oleh an-Nasa’i ) dapat diketahui juga bahwa sanad hadits tersebut semua sanad-nya berderajat tsiqah, kecuali ada seorang rawi yaitu al-Hakim bin Utaibah dia dinilai oleh ulama sebagai seorang rawi yang majhul.(hasan sanad),
183
C. Analisis Matn 1. Analisis matn hadits tentang Suap menyuap Dalam perkembangan sejarah hadits, kajian tentang penelitian sanad hadits sangatlah mendominasi berbagai media pembahasan, namun ini bukan berarti menunjukan bahwa matn di abaikan dan di biarkan begitu saja seolaholah yang menentukan hadits shahih itu hanya sanad saja, tentu itu merupakan pemikiran yang keliru. Hal ini terbukti dengan adanya istilah-istillah bagi jenis hadits bila di tinjau dari sisi matn-nya, seperti hadits redaksi dan maknanya yang di riwayatkan oleh rawi tsiqah tapi bertentangan dengan riwayat orang banyak maka di sebut syadz229, hadits yang mengalami tertukarnya lapadz dari yang di awal menjadi di akhir atau sebaliknya maka di sebut Maqlub230 atau ada hadits yang terdapat sisipan atau tambahan terhadap matn nya maka di sebut Mudraj231 dan seterusnya. Redaksi matn tentang suap menyuap dibagi menjadi empat, yaitu: matn hadits tenang laknat Allah dan rasulnya, matn hadits tentang Larangan memakan harta hasil suap, matn hadits tentan haramnya menerima suap dan matn hadits tentang dampaknya kegiatan suap menyuap. a) Matn Hadits tentang Laknat Allah dan Rasunya:
ﺶ ِ ﻋﻠَﻰ اﻟﺮﱠاﺷِﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ َ • َﻟ ْﻌ َﻨ ُﺔ اﻟﱠﻠ ِﻪ
229
Hasbi Ash-Shiddiqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits , (Jakarta : Bulan bintang, 1981) hal. 270 230 Ibid, hal. 283 231 Ibid, hal. 289
184
ﺶ َﻳ ْﻌﻨِﻲ اﱠﻟﺬِي َ ﻲ وَاﻟﺮﱠا ِﺋ َﺸ ِ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ َﺷ ِ ﺳﱠﻠ َﻢ اﻟﺮﱠا َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ﻦ َرﺳُﻮ َ • َﻟ َﻌ َﻳ ْﻤﺸِﻲ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ Hadist yang menggunakan redaksi yang seperti di atas terdapat di kitab Ahmad bin Hambal dan kitab Ibn Mâjah, sedangkan hadits yang menjelaskan tentang laknatnya Rasulullah SAW. Terhadap orang yang melakukan suap meyuap terdapat pada kitab Abu Dȃwud, Tirmidzi, dan Ahmad bin Hambal. ini menunjukan bahwa hadits tentang Laknat Alah dan Rasulnya ini masyhur, hadits ini berbentuk hadits qauli. Dalam matn hadits ini disebagian tempat ada yang menambah dengan al-Hukmu, selain itu juga ada yang menambahkan dengan “al-Ladzi yamsyi bainahuma” namun semua itu tidak menunjukan akan perubahan pada makna. ini menunjukan bahwa hadits ini dari sisi matnnya tidak ada masalah karena dari banyak riwayat matn-nya sama dari segi makna. Kemudian dari isi matn-nyapun mengatakan bahwa ini hukum yang sudah di tentukan oleh Allah dan rasulnya. Lafadz pelarangan suap (risywah) serta laknat Allah dan Rasulullah terhadap al-râsyi, wa al-murtasyi, wa al- raisy adalah menunjukan akan keharaman dari suap menyuap baik yang dilakukan oleh orang yang memberi suap dan yang menerima suap bahkan yang menjadi perantara diantara mereka berdua. Di dalam ayat al-Qur’an memang tidak disebutkan secara khusus istilah suap-menyuap atau risywah. Namun dalam surat Al-Baqarah ayat 188 dijelaskan:
185
ل ِ ﻦ َأ ْﻣﻮَا ْ ﺤﻜﱠﺎ ِم ِﻟ َﺘ ْﺄ ُآﻠُﻮا َﻓﺮِﻳﻘًﺎ ِﻣ ُ ﻞ َو ُﺗ ْﺪﻟُﻮا ِﺑﻬَﺎ ِإﻟَﻰ ا ْﻟ ِﻃ ِ وَﻻ َﺗ ْﺄ ُآﻠُﻮا َأ ْﻣﻮَاَﻟ ُﻜ ْﻢ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ ﺑِﺎ ْﻟﺒَﺎ ن َ س ﺑِﺎﻹ ْﺛ ِﻢ َوَأ ْﻧ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮ ِ اﻟﻨﱠﺎ “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui”. Ayat tersebut menjelaskan tentang larangan mengambil harta orang lain secara bathil dalam bentu dan cara apapun, dan suap merupakan salah satu cara mengambil hak orang lain dengan cara bathil, karena suap dapat menyebabkan dipermainkanya suatu hukum. Maka dapat penulis simpulkan bahwa meskipun suap menyuap tidak disebutkan secara khusus dalam al-Qur’an, namun dari sisi matnya tidak ada masalah karena matn-nya pun mengatakan bahwa ini hukum yang sudah di tentukan oleh Allah dan rasulnya, sehingga hadits tersebut tidak mengandung syadz dan illat. Hadits ini terdapat mempunyai syahid dan mutabi’. b) Matan Hadits tentang Larangan memakan harta hasil Suap
ﻦ َأﺑِﻲ ْﻋ َ ﻦ ِهﺸَﺎ ٍم ِ ث ْﺑ ِ ﻦ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ِ ﻦ ْﺑ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ﻦ ِ ﻦ َأﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ِﺮ ْﺑ ْﻋ َ ب ٍ ﺷﻬَﺎ ِ ﻦ ِ ﻦ ا ْﺑ ْﻋ َ ﻦ ﻣَﺎﻟِﻚ ْﻋ َ • ﺐ َو َﻣ ْﻬ ِﺮ ِ ﻦ ا ْﻟ َﻜ ْﻠ ِ ﻦ َﺛ َﻤ ْﻋ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻧﻬَﻰ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ن َرﺳُﻮ ي َأ ﱠ ﺴﻌُﻮ ٍد ا ْﻟ َﺄ ْﻧﺼَﺎ ِر ﱢ ْ َﻣ ﻦ ِ ن ا ْﻟﻜَﺎ ِه ُ ﺣ ْﻠﻮَا ُ ﻋﻠَﻰ اﻟ ﱢﺰﻧَﺎ َو َ ﻲ ﻣَﺎ ُﺗ ْﻌﻄَﺎ ُﻩ ا ْﻟ َﻤ ْﺮَأ ُة ﻦ َﻳ ْﻌﻨِﻲ ِﺑ َﻤ ْﻬ ِﺮ ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ ِ ن ا ْﻟﻜَﺎ ِه ِ ﺣ ْﻠﻮَا ُ ﻲ َو ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ ْ ﻋﻠَﻰ َأ ﻦ َ ن َﻳ َﺘ َﻜ ﱠﻬ َ ﺷ َﻮ ُﺗ ُﻪ َوﻣَﺎ ُﻳ ْﻌﻄَﻰ ْ َر Hadits ini menjelaskan tentang larangan memakan harta hasil penjualan anjing, upah pelacur dan upah dukun. Yang dimaksud upah pelacur ialah harta
186
yang diterima dari pezina, upah dukun adalah uang sogok yang diberikan kepdanya atas jasa pelayanannya. matn hadits tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an sebab dalam al-Qur’an telah banyak dibahas tenang larangan memakan harta yang dihasilkan dari jalan bathil, Dalam riwayat Imam Malik, lebih dijelaskan bahwa upah pezinah itu adalah harta hasil zinah, sedangkan upah dukun itu harta hasil sogok ( uang sogok) sebab dukun tersebut telah membantu untuk menghasilkan sesuatu yang diinginkan dengan jalan bathil. ini merupakan perkataan Imam malik yang disisipkan pada suatu matn hadits (hadits mudraj) yang bermaksud untuk menjelaskan matn hadits tersebut, sisipan itu tidak termasuk illat sebab Imam malik tidak menyebutkan bahwa semua kata-kata yang diriwayatkan itu merupakan matn hadits dan dalam riwayat lain imam Mâlik tidak menambahkan sisipan itu. Dalam riwayat lain seperti Bukhari, Muslim, Abȗ Dâwud, Tirmidzi, Ibnu Mȃjah, An-Nasai, Ahmad bin Hambal, Ad-Darimi, tidak menjelaskan bahwa upah dukun itu adalah uang sogok, Akan tetapi penamabahan redaksi matn pada riwayat Malik tersebut tidak merubah kepada makna pelarangan memakan harta yang dihasilkan dari jalan bathil. Maka dapat penulis simpulkan dari sisi matnya hadits tersebut tidak mengandung syadz dan illat
serta hadits tersebut
memiliki mutabi’.
c) Matn hadits tentang Haramnya menerima Suap ص ُ ﺨ ُﺮ ْ ﺧ ْﻴ َﺒ َﺮ َﻓ َﻴ َ ﺣ َﺔ ِإﻟَﻰ َ ﻦ َروَا َ ﻋ ْﺒ َﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ َ ﺚ ُ ن َﻳ ْﺒ َﻌ َ ﺳﱠﻠ َﻢ آَﺎ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ن َرﺳُﻮ َأ ﱠ ﻋﻨﱠﺎ َ ﻒ ْ ﺧ ﱢﻔ َ ﻚ َو َ ﻲ ِﻧﺴَﺎ ِﺋ ِﻬ ْﻢ َﻓﻘَﺎﻟُﻮا َﻟ ُﻪ َهﺬَا َﻟ ِ ﺣ ْﻠ َ ﻦ ْ ﺣ ْﻠﻴًﺎ ِﻣ َ ﺠ َﻤﻌُﻮا َﻟ ُﻪ َ ل َﻓ َ ﺧ ْﻴ َﺒ َﺮ ﻗَﺎ َ ﻦ َﻳﻬُﻮ ِد َ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻪ َو َﺑ ْﻴ
•
187
ﻖ ِ ﺧ ْﻠ َ ﺾ ِ ﻦ َأ ْﺑ َﻐ ْ ﺸ َﺮ ا ْﻟ َﻴﻬُﻮ ِد وَاﻟﱠﻠ ِﻪ ِإ ﱠﻧ ُﻜ ْﻢ َﻟ ِﻤ َ ﺣ َﺔ ﻳَﺎ َﻣ ْﻌ َ ﻦ َروَا ُ ﻋ ْﺒ ُﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ َ ل َ ﺴ ِﻢ َﻓﻘَﺎ ْ َو َﺗﺠَﺎ َو ْز ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻘ ﺷ َﻮ ِة َﻓِﺈ ﱠﻧﻬَﺎ ْ ﻦ اﻟ ﱠﺮ ْ ﺿ ُﺘ ْﻢ ِﻣ ْ ﻋ َﺮ َ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ َﻓَﺄﻣﱠﺎ ﻣَﺎ َ ﻒ َ ن َأﺣِﻴ ْ ﻋﻠَﻰ َأ َ ك ِﺑﺤَﺎ ِﻣﻠِﻲ َ ﻲ َوﻣَﺎ ذَا اﻟﱠﻠ ِﻪ ِإَﻟ ﱠ ض ُ ت َوا ْﻟَﺄ ْر ُ ﺴ َﻤﻮَا ﺖ اﻟ ﱠ ْ ﺖ َوِإﻧﱠﺎ ﻟَﺎ َﻧ ْﺄ ُآُﻠﻬَﺎ َﻓﻘَﺎﻟُﻮا ِﺑ َﻬﺬَا ﻗَﺎ َﻣ ٌ ﺤ ْﺳ ُ Hadits ini sangat panjang sekali ini hadits yang berkisah tentang Rasulullah
mengutus ‘Abdullah bin
Rawahah untuk mengunjungi kaum
Yahudi, dengan tujuan mengambil hasil pajak tanaman kurma, namun kaum yahudi membangkang dan malah memberikan sedikit uang kepada ‘Abdullah bin Rawahah sebagai suap, maka ‘Abdullah bin Rawahah menjawab” Adapun apa yang kamu tawarkan berupa suap, maka sesungguhnya itu adalah makanan haram. kami tidak akan memakannya. Ini adalah salah satu penggalan matn hadits yang menjelaskan haramnya suap, hadits ini dengan mukharij imam Malik saja dan merupakan hadits mursal, namun meskipun hadits ini munfarid dan mursal hanya dari mukharij imam Mȃlik tetapi hadits ini marfu dan dari sisi matn-nya tidak ada masalah karena matn-nya pun mengatakan bahwa ini hukum yang sudah di tentukan oleh Allah dan Rasulnya, walaupun memang tidak dari mulut rasul langsung mengatakan demikian dan juga matn hadits tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an, sebab Imam al-Hasan dan Said bin Zubair menafsirkan ungkapan al-Qur’an yaitu `akkâlûna li al-suhti` sebagai risywah atau suap.
ن ْ ﻋ ْﻨ ُﻬ ْﻢ َوِإ َ ض ْ ﻋ ِﺮ ْ ﺣ ُﻜ ْﻢ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ َأ ْو َأ ْ ك ﻓَﺎ َ ن ﺟَﺎءُو ْ ﺖ َﻓِﺈ ِ ﺤ ْﺴ ن ﻟِﻠ ﱡ َ ب َأآﱠﺎﻟُﻮ ِ ن ِﻟ ْﻠ َﻜ ِﺬ َ ﺳﻤﱠﺎﻋُﻮ َ ﺤﺐﱡ ِ ن اﻟﱠﻠ َﻪ ُﻳ ﻂ ِإ ﱠ ِﺴ ْ ﺣ ُﻜ ْﻢ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ ﺑِﺎ ْﻟ ِﻘ ْ ﺖ ﻓَﺎ َ ﺣ َﻜ ْﻤ َ ن ْ ﺷ ْﻴﺌًﺎ َوِإ َ ك َ ﻀﺮﱡو ُ ﻦ َﻳ ْ ﻋ ْﻨ ُﻬ ْﻢ َﻓَﻠ َ ض ْ ُﺗ ْﻌ ِﺮ ﻦ َ ﺴﻄِﻴ ِ ا ْﻟ ُﻤ ْﻘ
188
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram232. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” Kalimat ` akkâlûna li al-suhti ` secara umum memang sering diterjemahkan dengan memakan harta yang haram. Namun konteksnya menurut kedua ulama tadi adalah memakan harta hasil suap-menyuap atau risywah. Jadi risywah (suap menyuap) identik dengan memakan barang yang dihasilkan dari jalan yang diharamkan. Maka dapat penulis simpulkan bahwa walaupun suap menyuap tidak disebutkan secara khusus dalam al-Qur’an, namun dari sisi matnnya tidak ada masalah karena matnnya pun mengatakan bahwa ini hukum yang sudah di tentukan oleh Allah dan rasulnya, sehingga hadits tersebut tidak mengandung syadz dan illat meskipun hadits ini tidak memiliki syahid dan mutabi’. d) Matn hadits tentang Dampaknya Suap menuap 1. Dampaknya menerima Suap
ﺖ ْ ﺷ َﻮ َة َﺑَﻠ َﻐ ْ ﻞ اﻟ ﱢﺮ َ ﺖ َوِإذَا َﻗ ِﺒ َ ﺤ ْﺴ ﻞ اﻟ ﱡ َ ﻞ ا ْﻟ َﻬ ِﺪ ﱠﻳ َﺔ َﻓ َﻘ ْﺪ َأ َآ َ ل ا ْﻟﻘَﺎﺿِﻲ ِإذَا َأ َآ َ ق ﻗَﺎ ٍ ﺴﺮُو ْ ﻦ َﻣ ْﻋ َ ﺻﻠَﺎ ٌة َ ﺲ َﻟ ُﻪ َ ن َﻟ ْﻴ ْ ﺨ ْﻤ َﺮ َﻓ َﻘ ْﺪ َآ َﻔ َﺮ َو ُآ ْﻔ ُﺮ ُﻩ َأ َ ب ا ْﻟ َ ﺷ ِﺮ َ ﻦ ْ ق َﻣ ٌ ﺴﺮُو ْ ل َﻣ َ ِﺑ ِﻪ ا ْﻟ ُﻜ ْﻔ َﺮ َوﻗَﺎ Hadits ini menceritakan tentang seorang hakim, hendaknya tidak boleh menerima pemberian hadiah dari seseorang, begitu juga dengan seorang 232
Seperti uang sogokan dan sebagainya.
189
pejabat lainnya, karena mengambil hadiah itu menyerupai harta rampasan, sedangkang mengkorupsi harta rampasan itu haram secara ijma. Maka hadiah yang diterima pejabat itu haram hukumnya. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW dari Abi Hamid as-Sa’idi dari irbadh :
ﻦ ْﻋ َ ﺳﻌِﻴ ٍﺪ َ ﻦ ِ ﺤﻴَﻰ ْﺑ ْ ﻦ َﻳ ْﻋ َ ش ٍ ﻋﻴﱠﺎ َ ﻦ ُ ﻞ ْﺑ ُ ﺳﻤَﺎﻋِﻴ ْ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِإ َ ﻦ ﻋِﻴﺴَﻰ ُ ق ْﺑ ُ ﺳﺤَﺎ ْ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِإ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ن َرﺳُﻮ ي َأ ﱠ ﻋ ِﺪ ﱢ ِ ﺣ َﻤ ْﻴ ٍﺪ اﻟﺴﱠﺎ ُ ﻦ َأﺑِﻲ ْﻋ َ ﻦ اﻟ ﱡﺰ َﺑ ْﻴ ِﺮ ِ ﻋ ْﺮ َو َة ْﺑ ُ ﻏﻠُﻮل ُ ل ِ ل َهﺪَاﻳَﺎ ا ْﻟ ُﻌﻤﱠﺎ َ ﻗَﺎ “Telah bercerita kepada kami dari ishaq bin ‘Isa dari Ismail bin ‘Ayȃsy bin Yahya bin Said dari ’Urwah bin Zubair dari Abi Hamid as-Sa’idi berkata: sesungguhnya Rasul Saw Bersabda: Hadiah yang diterima pejabat itu suatu kecurangan”233 Para rawi dari hadits tersebut memiliki derajat siqah dan hadits di atas juga merupakan hadits yang menguatkan hadits pertama di atas yang menjelaskan tentang tidak bolehnya menerima hadiah, karena menerima hadiah akan berdampak pada pemberian suap. Dan menerima suap itu akan menyebabkan kepada kekufuran, Karena ia akan mengambil keputusan dalam hukum tidak berdasarkan hukum Allah. Hadits ini merupakan hadits maqtu. Karena dari seorang Tabi’in yang dimauqufkan keadanya. Jadi dapat penulis simpulkan bawa hadits tersebut dhaif dari segi matn-nya dan tidak terdapat syahid dan mutabi’ akan tetapi mempunyai haditshadits pendukung sebagaimana hadits di atas. 2. dampak memberi suap
233 . Musnad Ahmad bin Hambal, Op.Cit., hadits Humaid as-Sa’adi, Juz 48, hal. 91 no hadits 2249
190
ﻦ ْ ل ﻣَﺎ ِﻣ ُ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻳﻘُﻮ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﺳﻮ ُ ﺖ َر ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ل َ ص ﻗَﺎ ِ ﻦ ا ْﻟﻌَﺎ ِ ﻋ ْﻤﺮِو ْﺑ َ ﻦ ْﻋ َ ﺧﺬُوا ِ ﻈ َﻬ ُﺮ ﻓِﻴ ِﻬ ْﻢ اﻟ ﱡﺮﺷَﺎ ِإﻟﱠﺎ ُأ ْ ﻦ َﻗ ْﻮ ٍم َﻳ ْ ﺴ َﻨ ِﺔ َوﻣَﺎ ِﻣ ﺧﺬُوا ﺑِﺎﻟ ﱠ ِ ﻈ َﻬ ُﺮ ﻓِﻴ ِﻬ ْﻢ اﻟ ﱢﺮﺑَﺎ ِإﻟﱠﺎ ُأ ْ َﻗ ْﻮ ٍم َﻳ ﺐ ِ ﻋ ْ ﺑِﺎﻟ ﱡﺮ “Saya mendengar Rasul bersabda: Tidaklah riba merajarela, kepada suatu kaum kecuali ditimpa paceklik, dan tidaklah budaya suap merajarela kepada suatu kaum kecuali akan ditimpa pada mereka suatu ketakutan” Hadits di atas menjelaskan tentang dampak yang akan terjadi pada suatu kaum apabila dalam suatu kaum tersebut telah dianggap biasa perbuatan menyuap. Diantara dampaknya adalah akan terjadinya paceklik dan rasa ketakutan, karena orang tidak lagi bergantung kepada Allah. Hadits ini tidak memiliki syahid dan mutabi’ dan juga tidak terdapat hadits pendukung sehingga sulit untuk menentukan kualitas matn-nya, hanya saja jika dilihat dari segi sanadnya, disebut hadits dha’if karena ada tiga orang rawi yang majhul. A. Syarah Hadits a) Syarah hadits tentang laknat Allah dan Rasulnya bagi orang yang melakukan suap menyuap
ﺤ ْﻜ ِﻢ ُ ﻲ ﻓِﻲ ا ْﻟ َﺸ ِ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ َﺷ ِ ﻦ اﻟﻠﱠ ُﻪ اﻟﺮﱠا َ • َﻟ َﻌ ﺶ َﻳ ْﻌﻨِﻲ اﱠﻟﺬِي َ ﻲ وَاﻟﺮﱠا ِﺋ َﺸ ِ ﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ َﺷ ِ ﺳﱠﻠ َﻢ اﻟﺮﱠا َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ﻦ َرﺳُﻮ َ • َﻟ َﻌ َﻳ ْﻤﺸِﻲ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ
191
Kata suap dalam kamus bahasa Indonesia ialah uang sogok. Akan tetapi pada umumnya disebut dengan uang pelicin234. menurut bahasa arab berasal dari kata ‘ar-Risywah” kata tersebut berasal dari اﻟﺮﺷﺎءyang berarti tali yang menyampaikan timba ke air235.
mememasang tali, ngemong, mengambil
hati.236 Banyak yang mendefinisikan suap ini sehingga menurut Istilah dikenal bahwa suap itu adalah “ Sesuatu yang diberikan untuk mengeksploitasi barang yang hak menjadi batil dan sebaliknya.237 Sedangkan menurut Ibnu Atsir dalam an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar mendefiniskan; ar-Risywah adalah usaha memenuhi hajat (kepentingannya) dengan membujuk.238 Menurut Ibnu Abidin dalam kitabnya bahwa suap adalah suatu yang diberikan oleh seseorang kepada hakim atau lainya supaya orang itu mendapatkan kepastian hukum atau memperoleh keinginannya)239Dari definisi suap tersebut dapat diketahui Unsur-unsur suap, diantaranya: 1) Penerima suap yaitu orang yang menerima sesuatu dari orang lain baik berupa harta atau uang maupun jasa supaya merea melaksanakan permintaan penyuap, Padahal hal itu sudah jelas tidak dibenarkan oleh Syara. 2) Pemberi suap, yaitu orang yang menyerahkan harta atau uang atau jasa untuk mencapai tujuanya. 234
Muhammad Ali, Op.Ci,, hal. 461 Abu Sȃa’dah al- Mubaraq bin Muhammad al-Jazari, An-Nihȃyah Fi Gharibul Hadits Wal atsȃr Ibnu Atsir, (Bairut, 1974 Juz 2) hal 549 236 Abid Bisri dan Munawwir A. Fatah, Op.Cit, 237 Imam Abi al-Tayyib Muhammad Syamsi al-Haq al-Adzim. ‘Auni al-Ma’but Sunan Abu Daud (Beirut: Dar kitab al-Alamiyah) Juz 9, hal. 197 238 ȗSȃa’dah al- Mubaraq bin Muhammad al-Jazari, Lock Cit., 239 ‘Abdullah bin ‘Abd Mukhsin, Op. Ci., hal. 10 235
192
3) Mediator suap yaitu pelantara keduanya Apabila dicermati, ternyata beberapa hadis nabi bukan hanya mengharamkan seseorang yang melaksanakan suap menyuap, akan tetapi juga diharamkan melakukan hal yang bisa membuat suap menyuap itu sendiri berjalan. Maka yang diharamkan bukan hanya satu pekerjaan, yaitu memakan harta suap, melainkan tiga pekerjaan sekaligus, yaitu penerimaan suap, pemberian suap dan mediator suap menyuap. Sebab tidak akan mungkin terlaksananya suap menyuap apabila tidak ada yang menyuap. Maka orang yang melakukan suap menyuappun termasuk mendapat laknat dari allah swt dan nabi Muhammad SAW, sebab karena perkerjaan dan inisiatif dialah maka ada orang melakukan suap menyuap. Dan biasanya dalam kasus ini terdapat mediator atau perantara yang bisa memuluskan jalan. Maka, Allah dan Rasulullah SAW melaknat para pelaku dan penghubung diantara keduanya dengan menegaskan mengenai keharaman praktik suap menyuap, maka hal tersebut dapat dipastikan bahwa pelaku, penerima dan orang yang terlibat diantara keduanya akan mendapatkan kecelakaan yang akan diberikan terhadapnya. Dalam kiatab ‘Aunul Ma’bud ( syarah sunan Abȗ Dâwud) dijelaskan bahwa kegiatan suap menyuap itu haram, adapun pemberian yang yang tujuannya untuk sampai kepada kebenaran atau menolak dirinya dari kedzaliman maka suap yang seperti ini diperbolehkan, 240 240
Imam Abi al-Tayyib Muhammad Syamsi al-Haq al-Adzim, Lock.Cit, Juz 9, hal. 197
193
Hadits-hadits diatas menjelaskan tidak hanya Allah yang mengecaman bagi kegiatan suap menyuap tersebut, tetapi Rasulnyapun mengecamnya. Hal ini menunjukan bahwa praktek suap menyuap itu sangat diharamkan. b) Syara hadits tentang larangan memakanharta hasil suap.
ﻦ َأﺑِﻲ ْﻋ َ ﻦ ِهﺸَﺎ ٍم ِ ث ْﺑ ِ ﻦ ا ْﻟﺤَﺎ ِر ِ ﻦ ْﺑ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ﻦ ِ ﻦ َأﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ِﺮ ْﺑ ْﻋ َ ب ٍ ﺷﻬَﺎ ِ ﻦ ِ ﻦ ا ْﺑ ْﻋ َ ﻦ ﻣَﺎﻟِﻚ ْﻋ َ • ﺐ َو َﻣ ْﻬ ِﺮ ِ ﻦ ا ْﻟ َﻜ ْﻠ ِ ﻦ َﺛ َﻤ ْﻋ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻧﻬَﻰ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ن َرﺳُﻮ ي َأ ﱠ ﺴﻌُﻮ ٍد ا ْﻟ َﺄ ْﻧﺼَﺎ ِر ﱢ ْ َﻣ ﻦ ِ ن ا ْﻟﻜَﺎ ِه ُ ﺣ ْﻠﻮَا ُ ﻋﻠَﻰ اﻟ ﱢﺰﻧَﺎ َو َ ﻲ ﻣَﺎ ُﺗ ْﻌﻄَﺎ ُﻩ ا ْﻟ َﻤ ْﺮَأ ُة ﻦ َﻳ ْﻌﻨِﻲ ِﺑ َﻤ ْﻬ ِﺮ ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ ِ ن ا ْﻟﻜَﺎ ِه ِ ﺣ ْﻠﻮَا ُ ﻲ َو ا ْﻟ َﺒ ِﻐ ﱢ ﻦ َ ن َﻳ َﺘ َﻜ ﱠﻬ ْ َر ْ ﻋﻠَﻰ َأ َ ﺷ َﻮ ُﺗ ُﻪ َوﻣَﺎ ُﻳ ْﻌﻄَﻰ Dalam kitab syarah Al-Muntaqa’ karya Imam Mâlik dijelaskan bahwa hadits diatas menjelaskan tentang larangan memakan harta yang diharamkan, seperti memakan harta hasil penjualan anjing, sebab anjing merupakan barang najis yang dilarang untuk dijual belikan, begitupun denga upah pelacur, sebab pelacur mendapatkan harta tersebut dari hasil zinah, dan zinah tersebut termasuk dosa besar. Sedangkan upah dukun adalah uang sogok yang diberikan kepdanya atas jasa pelayanannya, dan upah tersebut dihasilkan dari jalan yang batil, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perdukunan maka hukumnya itu haram seperti haramnya anjing dan babi, baik kegiatannya atau upahnya. 241 c) Syarah hadits tentang tentang haramnya menerima Suap
ﺖ ْ ﺖ َوِإﻧﱠﺎ ﻟَﺎ َﻧ ْﺄ ُآُﻠﻬَﺎ َﻓﻘَﺎﻟُﻮا ِﺑ َﻬﺬَا ﻗَﺎ َﻣ ٌ ﺤ ْﺳ ُ ﺷ َﻮ ِة َﻓِﺈ ﱠﻧﻬَﺎ ْ ﻦ اﻟ ﱠﺮ ْ ﺿ ُﺘ ْﻢ ِﻣ ْ ﻋ َﺮ َ • َﻓَﺄﻣﱠﺎ ﻣَﺎ ض ُ ت وَا ْﻟ َﺄ ْر ُ ﺴ َﻤﻮَا اﻟ ﱠ 241
Al- Muntaqa Syarah Muatha Malik, bab Mȃja’ fi tsamanil Kalbi Juz 3 hal 424.
194
Hadits diatas berkisah tentang Rasulullah
mengutus ‘Abdullah bin
Rawahah untuk mengunjungi kaum Yahudi, dengan tujuan mengambil hasil pajak tanaman kurma, namun kaum Yahudi membangkang dan malah memberikan sedikit uang kepada ‘Abdullah bin Rawahah sebagai suap, maka Abdullah bin Rawahah menjawab” Adapun apa yang kamu tawarkan berupa suap, maka sesungguhnya
itu adalah makanan haram. kami tidak akan
memakannya. Dalam Syarah kitab Al- Muntaqa Syarah Muwaththa’ di jelaskan bahwa terhadap sesuatu harta benda yang dari hasil risywah (suap menyuap) yaitu as-Sukhti, dan itu merupakan harta haram, dan Allah mensifati orang yahudi dengan selalu memakan barang haram itu, sebagai mana firman Allah :
ﺖ ِ ﺤ ْﺴ ن ﻟِﻠ ﱡ َ ب َأآﱠﺎﻟُﻮ ِ ن ِﻟ ْﻠ َﻜ ِﺬ َ ﺳﻤﱠﺎﻋُﻮ َ “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Begitupun dengan Al-Qur’an surat at-Taubah ayat 34
ﻞ ِﻃ ِ س ﺑِﺎ ْﻟﺒَﺎ ِ ل اﻟﻨﱠﺎ َ ن َأ ْﻣﻮَا َ ن َﻟ َﻴ ْﺄ ُآﻠُﻮ ِ ﺣﺒَﺎ ِر وَاﻟ ﱡﺮ ْهﺒَﺎ ْ ﻦ ا ْﻟَﺄ َ ن َآﺜِﻴﺮًا ِﻣ ﻦ َﺁ َﻣﻨُﻮا ِإ ﱠ َ ﻳَﺎ َأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ ﻞ اﻟﱠﻠ ِﻪ ِ ﺳﺒِﻴ َ ﻀ َﺔ َوﻟَﺎ ُﻳ ْﻨ ِﻔﻘُﻮ َﻧﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺐ وَا ْﻟ ِﻔ ﱠ َ ن اﻟ ﱠﺬ َه َ ﻦ َﻳ ْﻜ ِﻨﺰُو َ ﻞ اﻟﱠﻠ ِﻪ وَاﱠﻟﺬِﻳ ِ ﺳﺒِﻴ َ ﻦ ْﻋ َ ن َ ﺼﺪﱡو ُ َو َﻳ ب َأﻟِﻴ ٍﻢ ٍ ﺸ ْﺮ ُه ْﻢ ِﺑ َﻌﺬَا َﻓ َﺒ ﱢ “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalanghalangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka
195
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” d) Syarah hadits tentang dampaknya menerima suap
ﺖ ْ ﺷ َﻮ َة َﺑَﻠ َﻐ ْ ﻞ اﻟ ﱢﺮ َ ﺖ َوِإذَا َﻗ ِﺒ َ ﺤ ْﺴ ﻞ اﻟ ﱡ َ ﻞ ا ْﻟ َﻬ ِﺪ ﱠﻳ َﺔ َﻓ َﻘ ْﺪ َأ َآ َ ل ا ْﻟﻘَﺎﺿِﻲ ِإذَا َأ َآ َ ق ﻗَﺎ ٍ ﺴﺮُو ْ ﻦ َﻣ ْﻋ َ• ﺻﻠَﺎ ٌة َ ﺲ َﻟ ُﻪ َ ن َﻟ ْﻴ ْ ﺨ ْﻤ َﺮ َﻓ َﻘ ْﺪ َآ َﻔ َﺮ َو ُآ ْﻔ ُﺮ ُﻩ َأ َ ب ا ْﻟ َ ﺷ ِﺮ َ ﻦ ْ ق َﻣ ٌ ﺴﺮُو ْ ل َﻣ َ ِﺑ ِﻪ ا ْﻟ ُﻜ ْﻔ َﺮ َوﻗَﺎ Hadits ini menceritakan tentang seorang hakim, hendaknya ia tidak boleh menerima pemberian hadiah dari seseorang, begitu juga dengan seorang pejabat lainnya, karena mengambil hadiah itu menyerupai harta rampasan, sedangkang mengkorupsi harta rampasan itu haram secara ijma. Maka hadiah yang diterima pejabat itu haram hukumnya dan hadiah untuk pejabat itu adalah suap, uang haram dan suap itu menarik kepada kekufuran. Sebagaiman Atsar dari shahabat tentang masalah ini :
ﺤﻴَﻰ َا ْﻟَﺄﺑْﺢ ْ ﻦ َﻳ َ ﺣﻤَﺎ ُد ْﺑ َ ﺼﻮْر َﺛﻨَﺎ ُ ﻦ َﻣ ْﻨ ُ ﺳ ِﻌ ْﻴ ُﺪ ْﺑ َ ﻲ َﺛﻨَﺎ ْ ﻲ اَﻟﺼﱠﺎﺋﻎ َا ْﻟ َﻤ ِﻜ ْ ﻋِﻠ َ ﻦ ُ ﺤﻤﱠ ُﺪ ْﺑ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ُﻣ َ ﺤ ْﻜ ِﻢ ُآ ْﻔ ٌﺮ ُ ﺷ َﻮ َة ﻓِﻲ ا ْﻟ ْ َاَّﻟ َﺮ: ل َ ﺴ ُﻌ ْﻮ ِد ﻗَﺎ ْ ﻦ َﻣ ُ ﻦ ِا ْﺑ ْﻋ َ ص َو ْ ﺣ َﻮ ْ ﻲ َا ْﻟ َﺄ ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ ق ْ ﺳﺤَﺎ ْ ﻲ ِإ ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ ﺖ ٌ ﺤ ْﺳ ُ س ِ ﻦ اﻟ َﻨّﺎ َ َو ُه َﻮ َﺑ ْﻴ “Abdullah bin Mas’ud berkata :“Suap menyuap dalam masalah hukum adalah kufur sedangkan di kalangan orang biasa adalah dosa yang sangat keji”. 242 Atsar ini sanadnya shahih sampai Ibnu Mas’ud, para perawinya tsiqah para perawi Kutubus Sittah Syaikh Abu Isra’ Al Asyuthi berkata,” Atsar dari Ibnu Mas’ud ini membedakan antara uang suap yang terjadi di antara sesama
242 Sulaiman bin Ahmad bin Ayub, Abu al-Qashim at-Thabrani, Mu’jam al-Kabir Tt. Ahmad bin ‘Abdul Majid as-Salafi ( Maktabah al-‘Ulum wal-Hikam, 1983) juz 9, hal. 226
196
manusia dengan yang terjadi di antara para penguasa atau qadhi saja. Yang pertama sekedar uang haram, sementara yang kedua telah kafir. Tak diragukan lagi maksud beliau adalah kafir akbar, dengan dua alasan : 1)
Beliau menyebutkannya secara mutlaq tanpa ada ikatan. Kata kufur jika disebutkan secara mutlaq maka maknanya adalah kafir akbar, sebagaimana sudah dimaklumi bersama.
2)
Beliau menyebutkannya sebagai lawan dari uang haram, sementara melakukan suap yang merupakan sebuah harta haram adalah Kafir Asghar. Dengan demikian, kebalikannya adalah kafir akbar.243
Dan
haram bagi seorang hakim menerima suap karena: 1. Berdasarkan hadits nabi : “Allah melaknat Orang yang melakukan suap menyuap” 2. Kerusakan Akhlak 3. Dapat berubahnya hukum yang ditetapkan oleh Allah 4. Perbuatan yang dzalim dan berengsek 5. Memakan harta yang batil 6. Dapat menghilangkan amanah244 d). Syarah hadits tentang dampak memberi suap
243
http://www.dakwatuna.com/2012/02/18400/hukum-risywah-suap (diakses pada tanggal 18 mei 2012) 244 Sulaiman bin Muhammad, Al-Aiqȃdhu al-Afham fi syarah ‘Umdatul al-Ahkam, (asSu’udiyyah) Bab al-‘Umdah Raqim 5, Juz 1, hal. 68
197
ﻦ ْ ل ﻣَﺎ ِﻣ ُ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻳﻘُﻮ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﺖ َرﺳُﻮ ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ل َ ص ﻗَﺎ ِ ﻦ ا ْﻟﻌَﺎ ِ ﻋ ْﻤﺮِو ْﺑ َ ﻦ ْﻋ َ ﺧﺬُوا ِ ﻈ َﻬ ُﺮ ﻓِﻴ ِﻬ ْﻢ اﻟ ﱡﺮﺷَﺎ ِإﻟﱠﺎ ُأ ْ ﻦ َﻗ ْﻮ ٍم َﻳ ْ ﺴ َﻨ ِﺔ َوﻣَﺎ ِﻣ ﺧﺬُوا ﺑِﺎﻟ ﱠ ِ ﻈ َﻬ ُﺮ ﻓِﻴ ِﻬ ْﻢ اﻟ ﱢﺮﺑَﺎ ِإﻟﱠﺎ ُأ ْ َﻗ ْﻮ ٍم َﻳ ﺐ ِ ﻋ ْ ﺑِﺎﻟ ﱡﺮ “Saya mendengar Rasul bersabda: Tidaklah riba merajarela, kepada suatu kaum kecuali ditimpa paceklik, dan tidaklah budaya suap merajarela kepada suatu kaum kecuali akan ditimpa pada mereka suatu ketakutan” Dan dari hadits diatas kita mengetahui besarnya kejelekan riswah, dan sesungguhnya hal tersebut termasuk dari perkara-perkara besar yang sampai menyebabkan nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam berdiri berkhutbah kepada manusia dan memperingatkan dari perbuatan ini. Karena sesungguhnya apabila risywah merajalela di sebuah kaum maka mereka akan binasa dan akan menjadikan
setiap
dari
mereka
tidak
mengatakan
kebenaran,
tidak
menghukumi dengan kebenaran dan tidak menegakkan keadilan,245 dan akan terjadinya paceklik dan rasa ketakutan, karena orang tidak lagi bergantung kepada Allah. Hadits di atas menjelaskan tentang dampak yang akan terjadi pada suatu kaum apabila dalam suatu kaum tersebut telah menganggap biasa perbuatan menyuap. Diantara dampaknya adalah akan terjadinya paceklik dan rasa ketakutan, karena orang tidak lagi bergantung kepada Allah.
245 Muhammad bin Shȃlih bin Muhammad, Syarah Ridaushalihin ( Beirut: al-Ma’had alAlami) Juz 1, hal. 187
198
Hadits-hadits diatas yang menjelaskan keharaman suap-menyuap dikuatkan dengan al-Qur’an. hadits lain, nash sahabat, nash tabiin serta ijma yang semua itu memiliki kolerasi. 1. Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 42
ن ْ ﻋ ْﻨ ُﻬ ْﻢ َوِإ َ ض ْ ﻋ ِﺮ ْ ﺣ ُﻜ ْﻢ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ َأ ْو َأ ْ ك ﻓَﺎ َ ن ﺟَﺎءُو ْ ﺖ َﻓِﺈ ِ ﺤ ْﺴ ن ﻟِﻠ ﱡ َ ب َأآﱠﺎُﻟﻮ ِ ن ِﻟ ْﻠ َﻜ ِﺬ َ ﺳﻤﱠﺎﻋُﻮ َ ﺤﺐﱡ ِ ن اﻟﱠﻠ َﻪ ُﻳ ﻂ ِإ ﱠ ِﺴ ْ ﺣ ُﻜ ْﻢ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ ﺑِﺎ ْﻟ ِﻘ ْ ﺖ ﻓَﺎ َ ﺣ َﻜ ْﻤ َ ن ْ ﺷ ْﻴﺌًﺎ َوِإ َ ك َ ﻀﺮﱡو ُ ﻦ َﻳ ْ ﻋ ْﻨ ُﻬ ْﻢ َﻓَﻠ َ ض ْ ُﺗ ْﻌ ِﺮ ﻦ َ ﺴﻄِﻴ ِ ا ْﻟ ُﻤ ْﻘ “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. Menurut Qurtubi dalam tafsirnya bahwa ﺖ ِ ﺤ ْﺳ ُ itu adalah “Suap dalam perkara hukum” 246dan beliau menyatakan bahwa penyuap dan penerima suap itu masuk neraka, sebagaimna hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrahman bin ‘Auf bahwa Rasul bersabda:
ﺣ َّﺪ َﺛﻨَﺎ ِهﺸَﺎ ْم َ ي ْ ﻦ َﺑ ِﺮ ِ ﺤ ِﺮ ْﺑ َ ﻦ َﺑ ِ ﻲ ْﺑ ْ ﻋِﻠ َ ﺣ َّﺪ َﺛﻨَﺎ َ ي ْ ﻦ َأ ُﻳﻮْب َا ْﻟَﺄ ْهﻮَا ِز ُ ﺳﻬَﻞ ْﺑ ُ ﻦ ُ ﺣ َﻤ ُﺪ ْﺑ ْ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأ َ ﻋ ْﺒ ُﺪ َ ﻦ ِ ث ْﺑ ْ ﻦ َا ْﻟﺤَﺎ ِر ْﻋ َ ﺐ ٍ ﻲ ِذ ْﺋ ْ ﻦ َأ ِﺑ ِ ﻦ ْﺑ ْﻋ َ ﺟ َﺮﻳْﺞ ُ ﻦ ِ ﺼ ْﻨﻌَﺎﻧِﻲ َأ ْﻧ َﺒَﺄﻧَﺎ ْﺑ َّ ﻒ اَﻟ ْ ﺳ ُ ﻦ ُﻳ ْﻮ ِﺑ
246 Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar al-Qurtuby, Al-Jami’al-Ahkamil Qur’an (Beirut: Muasasah ar-Rrisalah 2006) Juz 1, hal. 1708
199
ﷲ ِ لا ُ ل َرﺳُﻮ َ ﻗَﺎ: ل َ ﻗَﺎ،، ﻦ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ﻦ ِ ﺳَﻠ َﻤ َﺔ ْﺑ َ ﻦ َأﺑِﻲ ْﻋ َ ،ب ٍ ﻲ َذﺑَﺎ ْ ﻦ َأ ِﺑ ِ ﻦ ْﺑ ْ ﺣ َﻤ ْ اﻟ َّﺮ ِ اﻟﺮﱠاﺷِﻲ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗﺸِﻲ ﻓِﻲ اﻟﻨﱠﺎ: ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ .ر “Diceritakan kepada kami dari Ahmad bin ‘Suhel, telah bercerita kepada kami dari Ali bin Bahr bin Bari, telah bercerita kepada kami dari Hisyam bin Yȗsuf as-Shan’ani dari Juraih dari Ibnu Dzi’bi dari alHarits bin Abdurrahman bin Abi Dzi’bi dari Abu Salamah bin Abdirrahman berkata: Rasulullah SAW bersabda: Penyuap dan penerima suap itu masuk neraka.247 2. Hadits Nabi dari riwayat Ibnu Jarir
ﺷ َﻮ ُة ﻓِﻰ ْ ّل اﻟ َﺮ َ ﺖ ﻗَﺎ ُ ﺤ ْﺴ ُّ ﻞ َوﻣَﺎ اﻟ َ ﺖ ﻓَﺎﻟ َﻨّﺎ ُر َأ ْوﻟَﻰ ِﺑ ِﻪ ِﻗ ْﻴ ُ ﺤ ْﺴ ُّ ﺤ ٍﻢ َأ ْﻧ َﺒ َﺘ ُﻪ اﻟ ْ ﻞ َﻟ ُّ ُآ (ﺟ ِﺮﻳْﺮ َ ﻦ ُ ﺟ ُﻪ ِا ْﺑ َ ﺧ َﺮ ْ ﺤ ْﻜ ِﻢ)َأ ُ ا ْﻟ “Setiap daging yang yang ditumbuhkan dengan makanan haram, maka api neraka telah utama baginya “ Ditanyakan: Apa itu makanan haram? Suap dalam proses hukum. ( Ibnu Jarir) 3. Nash sahabat dan tabi’in Atsar dari shahabat tentang masalah ini :
ﺤﻴَﻰ َا ْﻟَﺄﺑْﺢ ْ ﻦ َﻳ َ ﺣﻤَﺎ ُد ْﺑ َ ﺼﻮْر َﺛﻨَﺎ ُ ﻦ َﻣ ْﻨ ُ ﺳ ِﻌ ْﻴ ُﺪ ْﺑ َ ﻲ َﺛﻨَﺎ ْ ﻲ اَﻟﺼﱠﺎﺋﻎ َا ْﻟ َﻤ ِﻜ ْ ﻋِﻠ َ ﻦ ُ ﺤﻤﱠ ُﺪ ْﺑ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ُﻣ َ ﺤ ْﻜ ِﻢ ُآ ْﻔ ٌﺮ ُ ﺷ َﻮ َة ﻓِﻲ ا ْﻟ ْ َاَّﻟ َﺮ: ل َ ﺴ ُﻌ ْﻮ ِد ﻗَﺎ ْ ﻦ َﻣ ُ ﻦ ِا ْﺑ ْﻋ َ ص َو ْ ﺣ َﻮ ْ ﻲ َا ْﻟ َﺄ ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ ق ْ ﺳﺤَﺎ ْ ﻲ ِإ ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ ﺖ ٌ ﺤ ْﺳ ُ س ِ ﻦ اﻟ َﻨّﺎ َ َو ُه َﻮ َﺑ ْﻴ “Abdullah bin Mas’ud berkata : “Suap menyuap dalam masalah hukum adalah kufur sedangkan di kalangan orang biasa adalah dosa yang sangat keji”.248 4. Ijma 247
Sulaiman bin Ahmad bin Ayub, Abu al-Qashim at-Thabrani, Mu’jam as-Shaqhir. Tt. Muhammad syukur Mahmud (Beirut: Dar al-A’mir, 1985) Bab: Alif Ismuhu Ahmad, Juz 1, hal. 57 248 Sulaiman bin Ahmad bin Ayub, Abu al-Qashim at-Thabrani, Mu’jam al-Kabir. Loc.Cit., Juz 9, hal 226
200
Sahabat, tabiin, dan para ulama-ulama priode sesudahnya semuanya bersepakat tanpa khilaf sedikitpun atas keharaman suap, baik bagi penyuap, penerima suap ataupun pelantaranya.249 Setelah mengetahui beberapa dalil al-Qur’an dan as-Sunnah, nash Sahabat, Tabiin dan ijma dapat disimpulkan bahwa semua bentuk kegiatan suap menyuap tersebut diharamkan. Justifikasi keharaman suap menyuap ini dikarenakan beberapa hal yang diakibatkan oleh peraktek suap-menyuap itu sendiri yang mengakibatkan ketidak seimbangan dalam kehidupan masyarakat, yang dianataranya: 1)
Bentuk perampasan hak
2)
Pengrusakan dimuka bumi
3)
Mengakibatkan goyahnya hukum
4)
Menimbulkan ketimpangan sosial
5)
Pelaku suap-menyuap terhindar dari rahmat Allah.
6)
Suap memicu penyakit-penyakit mental, seperti perasaan geliisah dan tidak aman.250 Tidak hanya hukum Allah yang mengharamkan praktek suap menyuap
akan tetapi undang-undang negarapun melarangnya, kaarena suap menyuap termasuk bagian dari korupsi sebagaimana sebagai mana Menurut UU. No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga puluh
249 250
‘Abdullah bin ABD Mukhsin, Op.Cit., hal. 54 Husain Husain Syahatan, Op.Ci., hal 18-21
201
jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi: 1. Kerugian keuntungan Negara 2. Suap-menyuap (istilah lain : sogokan atau pelicin) 3. Penggelapan dalam jabatan 4. Pemerasan 5. Perbuatan curang 6. Benturan kepentingan dalam pengadaan 7. Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah).251 Bila dilihat dari segi esensi risywah yaitu pemberian (athiyyah), maka ada beberapa istilah dalam Islam yang memiliki keserupaan dengannya, di antaranya: 1.
Hadiah yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang tanpa pamrih (sebagai penghargaan).
Tetapi yang disamakan dengan risywah disini
adalah pemberian yang diberikan dengan harapan bisa dibalas, hal ini diharamkan seperti memberi hadiah kepada hakim atau penguasa252 Sebagaimana Sabda Rasulullah:
ﺣﺮَا ٌم ُآﱡﻠﻬَﺎ َ ل ِ َهﺪَاﻳَﺎ ا ْﻟ ُﻌﻤَﺎ: ﺳﻠﱠﻢ َ ﻋﻠَﻴﻪ و َ ﺻﻠﱠﻰ اﷲ َ ل َ َوﻗَﺎ “Rasulullah bersabda: Hadiah yang diterima pejabat itu haram”
251 252
Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Djambatan 2001) hal. 33 ‘Abdullah bin ABD.Mukhsin, Op.Cit, hal 33
202
ﻦ ﻋ ْﺮ َو َة ْﺑ ِ ﻦ ُ ﻋْ ﺳﻌِﻴ ٍﺪ َ ﻦ َ ﺤﻴَﻰ ْﺑ ِ ﻦ َﻳ ْ ﻋْ ش َ ﻋﻴﱠﺎ ٍ ﻦ َ ﻞ ْﺑ ُ ﺳﻤَﺎﻋِﻴ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِإ ْ ﻦ ﻋِﻴﺴَﻰ َ ق ْﺑ ُ ﺳﺤَﺎ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِإ ْ َ ل ل َهﺪَاﻳَﺎ ا ْﻟ ُﻌﻤﱠﺎ ِ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ن َرﺳُﻮ َ ي َأ ﱠ ﻋ ِﺪ ﱢ ﺣ َﻤ ْﻴ ٍﺪ اﻟﺴﱠﺎ ِ ﻦ َأﺑِﻲ ُ ﻋْ اﻟ ﱡﺰ َﺑ ْﻴ ِﺮ َ ل ﻏﻠُﻮ ٌ ُ “ Dari Ismail bin ‘Isa, telah diceritakan kepada kami dari Ismail bin ‘Ayas, dari yanha bin Sa’îd dari ‘Urwah bin Zabair dari ‘Abu Humaid As-Sa’idi, sesungguhnya Rasulullah berkata: Hadiah yang diterima pejabat itu suatukecurangan253 Hadits dari Abu Humaid as-sa’idy:
ﻼ َﻓﺠَﺎ َء ُﻩ ﻞ ﻋَﺎ ِﻣ ً ﺳ َﺘ ْﻌ َﻤ َ ﺳَّﻠ َﻢ ِا ْ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ َ ﺻَﻠّﻰ ا ُ ﷲ َ لا ِ ﺳ ْﻮ َ ن َر ُ ي َأ َّ ﻋ ِﺪ ِّ ﺴّﺎ ِ ﺣ َﻤ ْﻴ ِﺪ اﻟ َ ﻲ ُ ﺚ َأ ِﺑ ْ ﺣ ِﺪ ْﻳ ُ َ ﻼ ل َﻟ ُﻪ َ:أ َﻓ َ ﻲَ .ﻓﻘَﺎ َ ي ِﻟ ْ ﷲ هـﺬَا َﻟ ُﻜ ْﻢ وهـﺬَا ُأ ْه ِﺪ َ لا ِ ﺳ ْﻮ َ ل :ﻳَﺎ َر ُ ﻋ َﻤِﻠ ِﻪ َﻓﻘَﺎ َ ﻦ َ غ ِﻣ ْ ﻦ َﻓ َﺮ َ ﺣ ْﻴ َ ﻞ ِ ا ْﻟﻌَﺎ ِﻣ ُ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ﷲ َ ﺻَﻠّﻰ ا ِ ﷲ َ لا ِ ﺳ ْﻮ ُ ﻻ ؟ ُﺛ َّﻢ ﻗَﺎ َم َر ُ ﻚ َأ ْم َ ت َأ ُﻳ ْﻬﺪَى َﻟ َ ﻈ ْﺮ َ ﻚ َﻓ َﻨ َ ﻚ َوُأ ِّﻣ َ ﺖ َأ ِﺑ ْﻴ َ ت ﻓِﻰ َﺑ ْﻴ ِ َﻗ َﻌ ْﺪ َ ﷲ ِﺑﻤَﺎ ُه َﻮ َأ ْهُﻠﻪُُ ،ﺛ َّﻢ ﻗَﺎ َ ل لَ :أ َﻣّﺎ َﺑ ْﻌﺪَُ ،ﻓﻤَﺎ ﺑَﺎ ُ ﻋﻠَﻰ ا ِ ﺸ َّﻬ َﺪ َوَأ ْﺛﻨَﻰ َ ﻼ ِة َﻓ َﺘ َ ﺼَ ﺸ َّﻴ ًﺔ َﺑ ْﻌ َﺪ اﻟ َّ ﻋِ ﺳَّﻠ َﻢ َ َو َ ﺖ َأ ِﺑ ْﻴ ِﻪ ﻲ َﺑ ْﻴ ِ ﻼ َﻗ َﻌ َﺪ ِﻓ ْ ﻲ َأ َﻓ َ ي ِﻟ ْ ﻋ َﻤِﻠ ُﻜ ْﻢ وَهـ َﺬا ُأ ْه ِﺪ َ ﻦ َ ل :هـﺬَا ِﻣ ْ ﺴ َﺘ ْﻌ ِﻤُﻠ ُﻪ َﻓ َﻴ ْﺄﺗِـ ْﻴﻨَﺎ َﻓ َﻴ ُﻘ ْﻮ ُ ﻞ َﻧ ْ ا ْﻟﻌَﺎ ِﻣ ِ ﻻ ﺟَﺎ َء ﺷﻴْـًﺄ ِإ َّ ﺣ ُﺪ ُآ ْﻢ ِﻣ ْﻨﻬَﺎ َ ﻞ َأ َ ﻻ َﻳ ُﻐ ُّ ﺤ َّﻤ ٍﺪ ِﺑ َﻴ ِﺪ ِﻩ َ ﺲ ُﻣ َ ي َﻧ ْﻔ ُ ﻞ ُﻳ ْﻬﺪَى َﻟ ُﻪ َأ ْم ﻻَ؟ َﻓ َﻮ اَّﻟ ِﺬ ْ ﻈ َﺮ َه ْ َوُأ ِّﻣ ِﻪ َﻓ َﻨ َ ﺖ َﺑ َﻘ َﺮ ًة ﺟَﺎ َء ِﺑﻬَﺎ ن آَﺎ َﻧ ْ ن َﺑ ِﻌ ْﻴﺮًا ﺟَﺎ َء ِﺑ ِﻪ َﻟ ُﻪ ُرﻏَﺎ ٌء َوِإ ْ ﻋ ُﻨ ِﻘ ِﻪ ِإ ْ ﻋﻠَﻰ ُ ﺤ ِﻤُﻠ ُﻪ َ ِﺑ ِﻪ َﻳ ْﻮ َم ا ْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ َﻳ ْ ن آَﺎ َ ﺻَﻠّﻰ ﷲ َ لا ِ ﺳ ْﻮ ُ ﺣ َﻤ ْﻴ ٍﺪ ُ:ﺛ َّﻢ َر َﻓ َﻊ َر ُ ل َأ ُﺑ ْﻮ ُ ﺖ َﻓﻘَﺎ َ ﺖ ﺷَﺎ ًة ﺟَﺎ َء ِﺑﻬَﺎ َﺗ ْﻴ َﻌ ُﺮ َﻓ َﻘ ْﺪ َﺑَﻠّ ْﻐ ُ ن آَﺎ َﻧ ْ ﺧﻮْا ٌر َوِإ ْ ُ ﻄ ْﻴ ِﻪ ﻋ ْﻔ َﺮ ِة ِإ ْﺑ َ ﻈ ُﺮ ِإﻟَﻰ ُ ﺣ َﺘّﻰ ِإ َﻧّﺎ َﻟ َﻨ ْﻨ ُ ﺳَّﻠ َﻢ َﻳ َﺪ ُﻩ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ َ ا ِ Abu Humaidi Assa’idy berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam . mengangkat seorang pegawai untuk menerima sedekah/zakat kemudian sesudah selesai, ia datang kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam . dan berkata, “Ini untukmu dan yang ini untuk hadiah yang diberikan orang padaku.” Maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam . bersabda kepadanya, 253
Musnad Ahmad bin Hambal, Op., Cit, Hadits Abu Humaid as-Saidi, Ju 48 hal 91, no Hadits 22495
203
“Mengapakah engaku tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu apakah di beri hadiah atau tidak (oleh orang)?” Kemudian sesudah shalat, Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam . berdiri, setelah tasyahud dan memuji Allah selayaknya, lalu bersabda. “Amma ba’du, mengapakah seorang pegawai yang diserahi amal, kemudian ia datang lalu berkata, “Ini hasil untuk kamu dan ini aku berikan hadiah, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya untuk menunggu apakah ia diberi hadiah atau tidak?. Demi Allah yang jiwa Muhammad di tangan-Nya tiada seorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi), melainkan ia akan menghadap di hari kiamat memikul di atas lehernya. Jika berupa onta bersuara, atau lembu yang menguak atau kambing yang mengembik, maka sungguh aku telah menyampaikan.” Abu Humaidi berkata, “kemudian Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam ., mengangkat kedua tangannya sehingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya.” Dari keterangan-keterangan di atas, jelaslah bahwa pada dasarnya memberikan hadiah kepada orang lain sangat baik dan dianjurkan untuk lebih meningkatkan rasa saling mencintai. Begitu pula bagi yang diberi hadiah disunahkan untuk menerimanya. Akan tetapi, Islam pun memberi rambu-rambu tertentu dalam masalah hadiah, baik yang berkaitan dengan pemberi hadiah maupun menerimanya. Dengan kata lain, tidak semua orang diperbolehkan menerima hadiah, misalnya bagi seorang pejabat atau pemegang kekuasaan.
2.
Hibah yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan tanpa mengharapkan imbalan dan tujuan tertentu. Tetapi perbedaannya dengan risywah adalah al-wahib (pemberi) memberikan sesuatu tanpa tujuan dan
204
kepentingan tertentu sedangkan ar-rasyi (penyuap) memberikan sesuatu karena ada tujuan dan kepentingan tertentu. 3.
Shadaqah yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang karena mengharapkan ridha dan pahala dari Allah SWT seperti zakat ataupun infaq sunnah. Perbedaannya dengan risywah adalah orang yang bersedekah memberikan sesuatu karena mengharapkan pahala dan ridha dari Allah semata, sedangkan ar-rasyi dalam pemberiannya mengharapkan kepentingan duniawi.254 Adapun hikmah dilarangnya praktek suap-menyuap, seperti yang telah
dijelaskan oleh Ulama dan sekaligus penulis Yusuf Qardlawi serta Muhammad ‘Abd ‘Aziz al Khulli tentang tujuan atau hikmah larangan risywah atau suapmenyuap itu; 1. Memelihara dan menegakkan nilai-nilai keadilan serta menghindari kezaliman. 2. Mendidik masyarakat agar membiasakan mendayagunakan harta benda sesuai dengan petunjuk-Nya, mampu menghargai nilai-nilai kebenaran hakiki dan tidak diperjualbelikan dengan nilai-nilai kebendaan. 3. Mendidik para penguasa, pejabat, pelayan masyarakat agar tidak membeda-bedakan
pelayanan
terhadap
masyarakat,
dikarenakan
perbedaan status harta atau kekayaannya. 4. Menyadarkan masyarakat bahwa hakikat kebenara itu adalah yang datang dari dan ditetapkan oleh Allah SWT, bukan dari manusia,
254 http://www.dakwatuna.com/2012/02/18400/hukum-risywah-suap (diakses pada tanggal 18 Mei 2012)
205
apakah dia orang kaya atau tidak. Kerusakan suatu negara bukan karena bentuk dari negara itu sendiri, namun diakibatkan dari tingkah laku dari orang-orang yang menghuni negara tersebut.255 D. Pendapat para ulama tentang boleh dan tidaknya perbuatan Risywah. 1. Pendapat ulama yang tidak memperbolehkan perbuatan Risywah Pendapat ini menyatakan bahwa suap haram dalam kondisi apapun dan pelakunyapun tetap berdosa, hal ini berdasarkan pada keumuman makna dan dalalah hadits yang menyatakan.256
ب ِ ﺨﻄﱠﺎ َ ﻦ َأﺑِﻲ ا ْﻟ ْﻋ َ ﺚ ٍ ﻦ َﻟ ْﻴ ْﻋ َ ش ٍ ﻋﻴﱠﺎ َ ﻦ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأﺑُﻮ َﺑ ْﻜ ٍﺮ َﻳ ْﻌﻨِﻲ ا ْﺑ َ ﻦ ﻋَﺎ ِﻣ ٍﺮ ُ ﺳ َﻮ ُد ْﺑ ْ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ا ْﻟَﺄ َ ﻲ َﺷ ِ ﺳﱠﻠ َﻢ اﻟﺮﱠا َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ﻦ َرﺳُﻮ َ ل َﻟ َﻌ َ ن ﻗَﺎ َ ﻦ َﺛ ْﻮﺑَﺎ ْﻋ َ ﻋ َﺔ َ ﻦ َأﺑِﻲ ُز ْر ْﻋ َ ﺶ َﻳ ْﻌﻨِﻲ اﱠﻟﺬِي َﻳ ْﻤﺸِﻲ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ َ ﻲ وَاﻟﺮﱠا ِﺋ َﺸ ِ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺮ َﺗ “Telah menceritakan kepada kami dari Al- Aswad Ibn A’mir telah diceritakan kepada kami dari Abȗ Bakr yakni Ibnu ‘Ayyȃs dari lȃits dari Abî al-Khattȃb dari Abî Zura’ah dari Tsaȗbȃn Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap dan orang yang menghubungkan keduanya.”257 Hadits diatas bisa dikatakan bahwa penyuap dianggap berdosa karena ia telah membntu perbuatan haram dan iapun harus dikenai hukuman sesuai dengan kebijakan hakim, para pengikut pendapat ini memiliki sejumlah dalih jusifikatif atas pendapat mereka diatas antara lain
255
http://muhammadnadir.blogspot.com/2012/05/suap-menyuap.html tanggal 23 mei 2012) 256 257
(diakses
Ibid., hal 26. Ahmad bi Muhammad bin Hambal, Op.Cit., Juz 45, hal. 380 no hadits 21365
pada
206
1. Secara umum suap merupakan dosa besar dan karena itu Allah melaknat seluruh pihak yang terlibat 2. Bagi para penguasa penegak hukum atau pejabat, suap merangsang mereka untuk mengambil keputusan diluar prosedur dan ketentuah hukum yang telah ditetapkan oleh Allah. 3. Penyuap diposisikan sebagai orang yang dzalim dan merusak dimuka bumi, dan menimbulkan keterbengkalaian hak orang-orang yang tidak mampu membayar uang suap. 4. Prinsip syara menyatakan mencegah bahaya lebih diprioritaskan daripada mengambil maslahat.258 Lafadz pelarangan suap (risywah) serta laknat Allah dan Rasulullah terhadap al-râsyi, wa al-murtasyi, wa al- raisy adalah dalam bentuk umum. Dan tidak ada dalil yang mengkhusukannya. Karena bersifat umum dan tidak ada yang mengkhusukannya, maka tetap dalam keumumannya, sebagaimana ditetapkan dalam kaidah:
ﺤ ِﺮ ْﻳ ِﻢ ْ ﻞ اﻟ ﱠﺘ ُ ﻋ ُﻤ ْﻮ ِﻣ ِﻪ ﻣَﺎ َﻟ ْﻢ َﻳ ِﺮ ْد َدِﻟ ْﻴ ُ ﻋﻠَﻰ َ اﻟﻌَﺎ ﱡم َﻳ ْﺒﻘَﻰ “Lafazh umum tetap dalam keumumannya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya”259 Dan dalil hadits diatas menunjukkan haramnya suap secara mutlak, tanpa menyebut-nyebut illat-nya (yang mejadi alasan adanya hukum haram). 258
Husain Husain Syahatah, Op. Ci., 27-28 ‘Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Mesir: Al-Dar al-Quwaytiyyah, 1968) hal. 181 259
207
Pengharaman suap tidak disertai illat sama sekali, dan semata-mata haram berdasarkan ketentuan dalil yang mengharamkannya. Karena itu, tidak bisa seseorang menyatakan bahwa suap diharamkan karena dalam rangka melakukan kebatilan ataupun karena menghilangkan yang haq (kebenaran). Jika memang demikian, (menurut mereka) suap jelas-jelas keharamnya. Sedangkan jika suap dilakukan dalam rangka melakukan kebenaran atau menjauhkan dari kemudharatan, maka hukum suap dalam keadaan ini halal. Pendapat seperti ini tidak dapat diterima, sebab hal ini menunjukkan bahwa nas yang menentukan keharaman suap tersebut terkait dengan illat tersebut. Pendapat ini jelas merupakan pendustaan terhadap syara’. Sebab semua nash yang menyatakan keharaman suap, sama sekali tidak mengaitkan keharamannya dengan satu illat pun. Kita juga tidak dapat menggali dari nas-nas tersebut adanya illat (jika memang ada) yang mengharamkan suap. Berdasarkan penjelasan di atas, maka penentuan illat yang memunculkan haramnya suap merupakan pendustaan terhadap syara’ yang nyata-nyata tidak dibolehkan.260 Sehingga para ulama memberikan perhatian yang sangat besar terhadap permasalahan ini, diantaranya ialah: 1. Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughniy, beliau berkata. Yaitu “adapun suap menyuap dalam masalah hukum dan pekerjaan (apa saja) maka hukumnya haram”. 261 260
http://assamarindy.wordpress.com/2011/10/12/hukum-suap-menyuap-dan-gratifikasidalam-syariat-islam/(diakses pada tanggal 15 mei 2012) 261
Husain Husain Syahatah, Op. Cit., hal. 20
208
2. Imam asy-Syukani dalam kitab Nailul authar berkata bahwa “ibnu ruslan berkata dalam syarhus sunan, termasuk kemutlawan suap-menyuap bagi seorang hakim dan para pekerja yang mengambil shadaqh tersebut menerangkan keharamannya sesuai ijma”.262 3. Ash-Shan’aniy dalam Subulussalam berpendapat “dan suap menyuap hal tersebut haram sesuai ijma’, baik bagi seorang Qadhi atau hakim”.263 2. Pendapat yang memperbolehkan menyuap Pada prinsipnya risywah itu hukumnya haram karena termasuk memakan harta dengan cara yang tidak dibenarkan. Hanya saja mayoritas ulama membolehkan ‘risywah’ (penyuapan) dan pendapat ini mengacu kepada kaidah syara’ yang menyatakan bahwa “ keadaan darurat membolehkan halhal yang dilarang” Maka, jika suap itu dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan haknya dan atau untuk mencegah kezhaliman orang lain dan ia tidak akan memperoleh haknya kecuali dengan melakukan suap. Maka , dalam situasi demikian dosa sepenuhnya ditanggung oleh orang yang menerima suap.264 Ulama yang memperbolehkan memberi suap karena mereka mengacu kepada riwayat Ibnu Mas’ȗd, bahwa ketika ia berada dihabsyah, tiba-tiba ia dihadanng oleh orang-orang tidak dkenal, maka ia memberinya uang dua dinar.
262 Imam Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad al-Syaukani, Nailul al-Awthar Min Ahadisti Sayyidi al-Akhyar (Libanon: Pustaka Darul Kitab al-Ilmiyah, 1995), Juz 4, hal. 278 263 Al-Kahulany, Muhammad Ibn Ismail. Subul As-Salam. (Bandung: Maktabah Dahlan, ) Juz 2, hal. 24 264 Imam Abi al-Tayyib Muhammad Syamsi al-Haq al-Adzim Abadi, Lock.Cit, Juz 9, hal. 197
209
Akhirnya ia diperbolehkan melanjutkan perjalana. Dalam keadan seperti ini yan menanggung dosa adalah yang menerima suap, karena Ibnu Mas’ud menyuap semata-mata untuk menghindari bahaya yang mengancam jiwanya . ia melakkan iitu karena ia tahu bahwa perbuatan itu tidak berdosa265. Ulama yang mengusung pendapat tersebut diantaranya: 1. Abu Al-Laits As-Samarqandi berkata, “ Dalam kasus seperti ini ( suap untuk mencegah kedzaliman) tidak ada masalah jika seseorang menyerahkan hartanya kpepada orang lain demi mencari kebenaran.266 Dengan mengacu kepada hadis riwayat Imam Ath-Thabari dari Wahab bin Manbah. Yaitu: “Jika engkau menyuap demi mempertahankan agamamu, darahmu (nyawamu). Dan hartamu, maka hal itu tidak haram” . Dalam Sebuah Riwayat ‘Abdullah bin Mas’ud melanjutkan “Akan tetapi dosanya hanyalah atas orang yang menerima bukan yang membayar”. 2. Menurut Ibnu Hazm berkata: Barang siapa yang dikebiri haknya, lalu ia memberikan suap untuk menghalau kedzaliman darinya maka hal itu boleh bagi yang memberi dan berdosa bagi yang menerimanya.267 3. Al-Qurthubî dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa yang berdosa itu adalah orang yang menerimanya saja.268 4. Imam Mâliki bahwa yang berdosa itu adalah orang yang menerimanya saja.269 265
‘Abdullah bin Abd Mukhsin, Op.Cit. Hal 17-18 Husain Husain Syahatah, Op.Cit. hal 29 267 Ibid. hal 30 268 Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar al-Qurtuby, Al-Jami’al-Ahkamil Qur’an (Beirut: Muasasah ar-Rrisalah 2006) Juz 6 hal 183) 266
210
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Setelah diadakanya penelitian tentang hadits suap menyuap ini, baik dari sanad maupun matn-nya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Hadits tentang laknat Allah bagi orang yang melakukan suap menyuap termasuk hadits masyhur Secara keseluruhan para rawi hadits tersebut memiliki derajat tsiqah, matn-nya terhindar dari syadz dan juga illat serta dikuatkan dengan adanya mutabi’ dan memiliki syahid. 2. Hadits tentang laknat Rasul bagi orang yang melakukan suap menyuap, merupakan hadits masyhur dan para rawinya berkualitas shahih sedangkan yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dengan sahabat Taȗban berkualitas dhaif, sebab ada tiga rawi yang dinilai buruk oleh ulama akan tetapi pada akhirnya ditemukan sanad pada jalur lain yang menguatkan. Dari hasil penelitian, hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal diangkan oleh riwayat Ahmad sendiri dari jalur lain, Abȗ Dȃwud dan Tirmidzi, Sehingga kedudukanya menjadi shahih lighairi, memiliki mutabi’, terdapat syahid dan matn-nya terhindar dari syadz dan juga illat . 3. Hadits tenang larangan memakan harta hasil suap, merupakan hadits gharib dan terdapat rawi yang dhaif, akan tetapi kedhaifannya naik 269
197
Imam Abi al-Tayyib Muhammad Syamsi al-Haq al-Adzim Abadi, Lock.Cit, Juz 9 hal
211
menjadi hasan karena terdapat mutabi serta matn-nya terhindar dari syadz dan juga illat . 4. Hadits tentang haramnya menerima suap, merupakan hadits mursal namun para sanad dan matn-nya berkualitas shahih, tidak memiliki syahid dan mutabi’. 5. Hadits tentang dampaknya memberi suap, dari segi sanad berkualitas dhaif dan tidak memiliki syahid dan mutabi’. Sedangkan Hadits tentang dampaknya menerima suap, merupakan maqthu’ dan pada sanad dan matn-nya berkualitas dhaif. 6. Ulama berbeda pendapat tentang diperbolehkannya melakukan suap menyuap, sebagian ulama menyatakan bahwa suap menyuap itu haram dan berdosa baik yang memberi suap, yang menerima suap dan juga pelantaranya, baik itu menyuap untuk kebenaran ( mendapatkan haknya) ataupun untuk kebathilan, tetap diharamkan. Namun sebagian ulama lagi yang membolehkan memberi suap asal dengan alasan untuk mendapatkan haknya dan menolak kedzaliman, dan sipenyuap itu tidak berdosa akan tetapi yang berdosa hanyalah yang menerima suap saja. Dan jumhur ulama lebih menekankan kepada pendapat yan kedua. B. Saran Hadits suap menyuap merupakan salah satu diantara hadits-hadis yang sulit untuk di laksanakan di Indonesia bahkan diseluruh dunia, Faktanya banyak orang Islam yang melakukan suap menyuap, padahal mereka tahu akan keharamnya. tapi bagaimanapun keadaannya keberadaan hadits ini tetaplah
212
hadits yang harus di amalkan karena ini merupakan bentuk hukum yang telah Allah tetapkan. Bagi para penghianat hukum Allah harus benar benar mendapatkan hukuman yang layak. Dengan demikian diaharapakan kepada semua orang untuk sadar bahwa kegiatan suap menyuap itu diharamkan dan dilaknat oleh Allah dan Rasulnya, terutama kepada para penguasa untuk tidak melakukan kegiatan suap menyuap tersebut dan memberikan sanksi yang sangat berat kepada pelakunya sehingga hukum tersebut bisa dilaksanakan serta tidak ada lagi orang yang merasa dirugikan.