BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fraud merupakan topik yang hangat dibicarakan di kalangan praktisi maupun akademisi pada beberapa dekade ini. Penelitian terkait fraud telah banyak dilakukan oleh individu maupun lembaga atau organisasi yang ada di dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena fraud berada di tengah-tengah masyarakat dan tanpa batas, terlepas apakah terjadi di perusahaan, lembaga, organisasi ataupun pemerintahan. Istilah fraud sendiri dapat didefinisikan sebagai kecurangan, namun sebenarnya memiliki arti yang lebih luas dari kecurangan (Tuanakotta, 2012). Tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mencurangi perusahaan, organisasi, atau pemerintah, untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan menyalahgunakan pekerjaan/jabatan atau mencuri aset/sumberdaya dalam organisasi itulah yang disebut dengan fraud (Singleton, 2010). Tindakan fraud dapat dilakukan dalam berbagai macam cara, misalnya dengan pemalsuan tanda tangan, pencurian uang kas, manipulasi biaya perjalanan, pemalsuan faktur, dan lain sebagainya. Association of Certified Fraud Examinations (ACFE) salah satu asosiasi yang berpusat di Amerika yang memfokuskan kegiatannya dalam pencegahan dan pemberantasan fraud, mengkategorikan bentuk fraud ke dalam 3 kelompok, yaitu: korupsi (corruption), penyalahgunaan aset (asset misappropriation),
1
2
dan penyimpangan pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting) (Singleton, 2010). Tindakan fraud yang saat ini banyak dilakukan oleh pejabat publik di Indonesia dan menimbulkan kerugian negara yang cukup besar adalah korupsi. Sebuah lembaga Transparansi Internasional (TI) yang berkedudukan di Berlin, Jerman telah melaporkan indeks tingkat korupsi untuk tahun 2012 dan Indonesia dikategorikan sebagai salah satu negara yang paling banyak melakukan tindak korupsi di dunia. Indonesia berada pada peringkat 118 meningkat dari peringkat 100 pada tahun sebelumnya, dengan nilai 32 dari 0 yang paling terkorup. Namun, tidak hanya korupsi yang menjadi perhatian di Indonesia, kasus terkait pengadaan barang/jasa juga merupakan suatu bentuk tindakan fraud yang banyak terjadi. Berdasarkan laporan tahunan KPK yang dikeluarkan pada tahun 2012, disebutkan bahwa perkara kedua setelah korupsi yang paling banyak ditangani oleh KPK dari tahun 2004 hingga 2012 adalah pengadaan barang/jasa. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah dan mendeteksi terjadinya fraud adalah dengan meningkatkan pengendalian internal. Auditor internal adalah merupakan bagian dari pengendalian internal yang berfungsi untuk membantu manajemen dalam pencegahan, pendeteksian dan penginvestigasian fraud yang terjadi di suatu organisasi (perusahaan).
3
Dewasa ini tidak hanya auditor eksternal yang berperan untuk menemukan fraud di dalam suatu organisasi, auditor internal dalam perkembangannya juga memiliki peran yang sama. Walaupun posisi auditor internal tidak semudah auditor eksternal dikarenakan auditor internal melekat di dalam organisasi dan harus berperan sebagai teman yang memberikan masukan bagi organisasi dan juga sebagai musuh yang berusaha untuk melihat kemungkinan terjadinya fraud. Survey yang dilakukan oleh ACFE (2012) dan KPMG (2012) menunjukkan tindakan fraud paling banyak terdeteksi melalui audit internal auditor internal yang dilakukan oleh auditor internal. Di dalam pemerintahan, pengawasan terhadap urusan pemerintahan di daerah atau dapat dikatakan sebagai auditor internal pemerintahan dilaksanakan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) sesuai dengan fungsi dan kewenangannya. Aparat Pengawas Intern Pemerintah sebagaimana dimaksud adalah Inspektorat Jenderal Departemen, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota, seperti yang tertulis di PP Nomor 79 tahun 2005 pada pasal 24 ayat (1) dan ayat (2). APIP berperan untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan. Seorang auditor baik internal maupun eksternal baik di sektor swasta ataupun publik harus memiliki kemampuan untuk mendeteksi fraud yang dapat timbul. Kemampuan mendeteksi fraud terlihat dari bagaimana auditor tersebut dapat melihat
4
tanda-tanda atau sinyal yang menunjukkan adanya indikasi terjadinya fraud yang disebut juga red flags. Pengalaman audit yang dimiliki oleh seorang auditor akan semakin meningkatkan kemampuan auditor dalam melaksanakan pemeriksaan. Pada umumnya auditor yang berpengalaman maka sensitivitas adanya ketidakberesan di dalam organisasi akan mudah terbaca. Namun, apakah pengalaman audit tersebut akan memudahkannya dalam mendeteksi adanya red flags? Auditor dituntut untuk mempunyai keahlian. Standar audit internal 1200 menghubungkan keahlian auditor internal dengan fraud, yaitu bahwa auditor internal harus memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengevaluasi risiko terjadinya kecurangan serta mengevaluasi apa yang telah dilakukan organisasi untuk mengurangi kecurangan (IIA, 2012). Upaya untuk meningkatkan keahlian auditor dilakukan dengan mengikuti pelatihan-pelatihan sehingga akan memudahkan auditor dalam melaksanakan pemeriksaan. Dengan keahlian yang tinggi, akan mudah bagi seorang auditor melihat red flags di dalam organisasi. Dalam melaksanakan penugasannya, auditor perlu untuk menjaga sikap profesionalnya dan dituntut untuk mentaati standar dan perilaku yang sesuai dengan kode etik. Auditor yang beretika adalah auditor yang membuat keputusan dengan mempertimbangkan nilai-nilai etika yang ada. Pemahaman yang baik akan nilai etika yang ada dalam masyarakat akan membantu auditor untuk melihat red flags atau gejala fraud yang muncul.
5
Seorang auditor juga dituntut untuk bersikap skeptis. Pengertian skeptisisme profesional menurut Standar Audit (SA) Seksi 230, Paragraf keenam adalah sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis bukti audit. Standar umum ketiga yang tertuang dalam Standar Audit (SA) Seksi 230 menyatakan bahwa auditor harus menggunakan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama dalam pelaksanaan pekerjaannya. Penggunaan kemahiran profesional menuntut auditor untuk melaksanakan skeptisisme professional (IAPI, 2011). Auditor eksternal ataupun internal dalam melaksanakan tugasnya harus menggunakan kemahiran profesionalnya. Sikap skeptis auditor berkaitan erat dengan kemampuan seorang auditor dalam mendeteksi fraud. Fullerton (2004), dengan menggunakan model skala skeptisisme Hurtt melakukan pengujian terhadap dampak skeptisisme profesional dalam kemampuan mendeteksi fraud oleh auditor internal. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa auditor internal dengan tingkat skeptisisme yang tinggi memiliki keinginan untuk mencari informasi terkait timbulnya gejala fraud. Seorang auditor yang skeptis, tidak akan menerima begitu saja penjelasan dari klien, tetapi akan mengajukan pertanyaan untuk memperoleh alasan, bukti dan konfirmasi mengenai objek yang dipermasalahkan. Tanpa menerapkan skeptisisme profesional, auditor hanya akan menemukan salah saji yang disebabkan oleh kekeliruan saja dan sulit untuk menemukan salah saji yang disebabkan oleh
6
kecurangan, karena kecurangan biasanya akan disembunyikan oleh pelakunya (Noviyanti, 2008). Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh Fullerton (2004) mengenai efek skeptisisme profesional terhadap kemampuan mendeteksi fraud, dengan menambahkan variabel pengalaman, keahlian, dan etika. Berbeda dengan yang dilakukan oleh Fullerton (2004), penelitian ini tidak dilakukan pada auditor internal sektor swasta namun dilakukan pada auditor internal pemerintahan. Oleh karena itu, judul dari penelitian ini adalah “PENGARUH PENGALAMAN, KEAHLIAN, ETIKA, DAN SKEPTISISME PROFESIONAL TERHADAP KEMAMPUAN AUDITOR INTERNAL DALAM MENDETEKSI FRAUD”. 1.2 Rumusan Permasalahan Peran auditor internal dalam mendeteksi adanya gejala fraud sangat penting, hal ini disebabkan karena dari semua mata rantai pengawasan, audit internal merupakan lembaga yang secara langsung menerima dampak atas pendekatan pencegahan dan pendeteksian fraud (Nurharyanto - Widyaiswara BPKP, 2010). Oleh karena itu diperlukan auditor yang memiliki kemampuan dalam memahami red flags yang membantu auditor untuk mendeteksi terjadinya fraud. Kemampuan seorang auditor internal dalam mendeteksi fraud dipengaruhi oleh pengalaman dan keahlian audit yang dimilikinya. Auditor internal menggunakan nilai-nilai etika dan sikap skeptis
7
dalam mengambil keputusan yang berpengaruh terhadap kemampuannya mendeteksi fraud. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dari penelitian ini adalah: Apakah pengalaman, keahlian, etika, dan skeptisisme profesional berpengaruh terhadap kemampuan mendeteksi fraud? Penelitian ini merupakan studi pada Inspektorat Provinsi NTT, Inspektorat Kota Kupang, dan Inspektorat Kabupaten Kupang. 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan permasalahan yang telah dijabarkan diatas, maka yang menjadi pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Apakah pengalaman audit berpengaruh terhadap kemampuan auditor internal dalam mendeteksi fraud? 2. Apakah keahlian berpengaruh terhadap kemampuan auditor internal dalam mendeteksi fraud? 3. Apakah etika berpengaruh terhadap kemampuan auditor internal dalam mendeteksi fraud? 4. Apakah skeptisisme profesional berpengaruh terhadap kemampuan auditor internal dalam mendeteksi fraud?
8
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mendapatkan hasil empiris bahwa apakah pengalaman audit berpengaruh terhadap kemampuan auditor internal dalam mendeteksi fraud. 2. Untuk mendapatkan hasil empiris bahwa apakah keahlian berpengaruh terhadap kemampuan auditor internal dalam mendeteksi fraud. 3. Untuk mendapatkan hasil empiris bahwa apakah etika berpengaruh terhadap kemampuan auditor internal dalam mendeteksi fraud. 4. Untuk mendapatkan hasil empiris bahwa apakah skeptisisme profesional berpengaruh terhadap kemampuan auditor internal dalam mendeteksi fraud. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memberikan acuan dan referensi bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk mengadakan penelitian dengan masalah serupa pada masa yang akan datang. 2. Memberikan tambahan referensi bagi auditor internal pemerintah untuk meningkatkan
kualitasnya
dalam
penugasannya
kemampuannya untuk mendeteksi fraud.
dan
meningkatkan
9
3. Memberikan kontribusi bagi pemerintah daerah Provinsi NTT, Kota Kupang, dan Kabupaten Kupang untuk meningkatkan kemampuan auditor internal dalam mendeteksi fraud yang dapat terjadi. 1.6 Sistematika Penulisan Penulisan ini disajikan dalam lima bab dengan rincian sebagai berikut: BAB I
Bab ini menyajikan gambaran umum yang mendasari dilaksanakannya penelitian ini, yang terdiri dari: latar belakang masalah, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
Bab ini menguraikan tinjauan literatur mengenai konsep-konsep yang terkait dengan fraud dan kemampuan mendeteksi fraud, internal auditor, pengalaman audit, keahlian, etika dan skeptisisme profesional.
BAB III
Bab ini menjelaskan mengenai metoda penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini sehingga dapat menjawab pertanyaan penelitian. Bab ini terdiri dari: definisi dan pengukuran variabel, desain penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan analisis data yang dilakukan.
BAB IV
Bab ini berisi pembahasan atas hasil pengolahan data dan analisisnya.
BAB V
Bab ini menyajikan kesimpulan, keterbatasan, implikasi dan saran bagi penelitian-penelitian selanjutnya.