BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Topik yang dibicarakan dalam penulisan tesis ini tidak lepas dari pengalaman
Penulis secara pribadi. Sebagai seorang pendeta GKE (Gereja Kalimantan Evangelis) yang mengenyam pendidikan teologi sejak pertengahan tahun 90-an, Penulis hidup dalam lingkungan pemikiran teologis yang lebih menekankan upaya untuk berteologi secara kontekstual. Sepanjang yang Penulis ketahui, penekanan pada upaya berteologi dalam konteks ini dilatarbelakangi oleh munculnya kesadaran gereja-gereja di Indonesia akan konteks di mana ia berada, konteks di mana atau ke mana ia menerima tugas panggilan, pengutusan dan pelayanannya. Sesuai dengan bidang minat studi Penulis di PPST-UKDW Yogyakarta, yakni Teologi Publik, secara khusus pada persoalan-persoalan yang menyangkut hubungan antara teologi dan politik, penulisan tesis ini dilatarbelakangi oleh pergumulan akan konteks perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia politik di Indonesia beberapa tahun terakhir, khususnya yang juga dialami oleh warga jemaat GKE (Gereja Kalimantan Evangelis). Perubahan-perubahan yang Penulis maksudkan itu antara lain adalah pemberlakuan otonomi daerah, pemekaran wilayah, serta sistem pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara langsung. Menurut Penulis, perubahanperubahan realitas politik beberapa tahun terakhir yang relatif cepat dan sulit
1
diprediksi1 ini mau tidak mau, langsung atau tidak langsung, akan melibatkan dan memberikan pengaruh terhadap kehidupan warga jemaat GKE sebagai bagian dari masyarakat Kalimantan khususnya ataupun sebagai bagian dari bangsa Indonesia pada umumnya.2 1.1. Agama dan Politik Sejarah memperlihatkan dinamika peran agama atau teologi dalam kehidupan politik manusia. Misalnya masyarakat pra industri (bahkan sampai sekarang) meyakini bahwa struktur kekuasaan berhubungan erat dengan agama atau sistem kepercayaan. Agama atau sistem kepercayaan itu diyakini menjadi sumber nilai-nilai yang berfungsi untuk mempertahankan masyarakat.3 Lain hahlnya sejak “Pencerahan, aufklarung” di Eropa Barat, sains mengambil alih kedudukan yang paling tinggi sebagai “Queen of the Sciences” dari teologi. Seperti apa yang pernah terjadi pada teologi sebelumnya, Sains diagung-agungkan bisa menjawab semua persoalan-persoalan manusia secara logis. Harapan ini gagal ketika ternyata sains tidak mampu memenuhi semua pertanyaan manusia.4
1 Dengan mengutip komentar salah seorang profesor di Leeds University, Yahya Wijaya menyatakan bahwa apa yang terjadi dalam dunia politik Indonesia sejak 1997 adalah fenomena yang sangat menarik pengamat politik manapun. Fenomena itu antara lain tumbangnya rezim Soeharto yang telah berkuasa 30 tahun, dilanjutkan dengan hiruk pikuk perombakan yang diberi label “reformasi”, terbentuknya sekian banyak partai politik baru dan naik turunnya beberapa presiden dalam waktu yang relatif singkat. Lih. Yahya Wijaya, “Memahami Teologi dan Politik” dalam Gema Duta Wacana, edisi 59 tahun 2004, hlm. 4. 2 Mengutip pernyataan EG Singgih, kontekstualisasi dapat dipahami secara sederhana sebagai usaha menemukan harga diri sendiri sebagai orang Kristen dalam konteks kita berada. Menghayati iman di dalam konteks kita sendiri berarti bagaimana saya menghayati harga diri sebagai orang Kristen Indonesia, yang betul-betul Kristen, tetapi juga betul-betul Indonesia. Lih. E.G Singgih, Berteologi Dalam Konteks Indonesia, Jakarta-Yogyakarta: BPK Gunung Mulia-Kanisius, 2000 , hlm. 22. 3 Sartono Kartodirdjo (ed), Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial, Jakarta: LP3ES, 1986, hlm. viiviii. 4 Bdk. Hardiman, F. Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm. 173-175.
2
Di tengah pergulatan itu, akhir abad dua puluh malah menyodorkan fenomena kontras: tahun 1970-an menjadi masa yang disebut Riccardi sebagai “masa kejutan Ilahi” (divine surprises) atau era kebangkitan agama-agama.5 Agama kembali bangkit di negara-negara di mana sekularitas telah diajarkan atau ditanamkan, bahkan di mana doktrin anti-agama ditanamkan. Agama-agama ternyata tetap mampu bertahan atau muncul kembali sebagai faktor penting dalam kehidupan politik di banyak negara di dunia. Coba kita lihat beberapa contoh faktual berikut. Pada sebagian besar negaranegara mayoritas Muslim di luar Indonesia, seperti Saudi Arabia, Tunisia, al-Jaza’ir, Mesir, Suriah, Pakistan, Bangladesh, Iran, Yordania, dan Malaysia, orang yang beragama non-Muslim tidak dapat atau sangat sulit untuk duduk dalam jabatan sebagai sebagai presiden atau jabatan kepemimpinan lainnya. Hal ini, menurut Masykuri Abdillah, pada sebagian besar negara-negara mayoritas Muslim di Timur Tengah yang dalam konstitusinya terdapat ketentuan hanya seorang Muslim saja yang bisa menjadi kepala negara, secara jelas mencerminkan adanya diskriminasi politik terhadap minoritas non-Muslim.6 Fakta semacam itu juga terjadi negaranegara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, Hindu, Budha, atau lainnya. Masykuri menjelaskan, diskriminasi politik itu bisa terjadi secara de facto atau secara de yure. Di Amerika Serikat yang mayoritas Kristen misalnya, minoritas Muslim
5 Andrea Riccardi, “Antara Kebebasan dan Dialog: Agama di Abad Dua Puluh”, dalam Wim Beuken dan Karl-Josef Kuchel, Agama Sebagai Sumber Kekerasan?, (diterjemahkan dari buku aslinya “Religion as a Source of Violence” oleh Imam Baehaqie), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 127-128. 6 Lih. Syarif, Mujar Ibnu, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, Tinjauan dari Perspeltif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006, hlm. 5.
3
secara de yure atau secara hukum di atas kertas memang tidak mengalami diskriminasi politik. Akan tetapi secara de facto sesungguhnya mereka mengalami diskriminasi politik, sehingga mustahil bagi minoritas Muslim di Amerika Serikat dapat tampil sebagai presiden AS. Argumen bahwa agama itu penting atas politik memang bukan hal yang baru. Menurut hasil penelitian Wald,7 masyarakat Amerika hampir selalu memiliki perasaan kedekatan dengan kelompok keagamaan tertentu dan terlibat dalam praktik keagamaan dengan frekuensi yang tinggi. Mereka memiliki tingkat keterlibatan keagamaan yang jauh lebih luas dibandingkan dengan keterlibatan mereka dalam politik. Keterlibatan yang luas ini diperkirakan memiliki pengaruh agama atas politik. Jika di Amerika saja (yang sering dianggap sekuler) agama begitu besar pengaruhnya, bagaimana di tempat kita sendiri? Menjawab pertanyaan ini, kita bisa memperhatikan fenomena pasca gerakan dan era reformasi, di mana banyak kalangan orang Kristen (seperti halnya yang terjadi di kalangan lain) yang mendirikan partai politik berlabel Kristen.8 Atau fenomena yang cukup menarik perhatian berbagai kalangan adalah kemunculan partai PDS (Partai Damai Sejahtera). Ketika menghadapi Pemilu Presiden 2004 yang lalu, para pendukung Ruyandi Hutasoit (Ketua umum PDS) membuat proyek yang diberi nama “Proyek Yusuf 2004”. Sesuai namanya, proyek ini diambil dari kisah Nabi Yusuf yang berhasil menjadi penguasa di negeri asing (Mesir) dan dalam
7
Untuk lebih lengkapnya lih. Leege, David C. Dan Lyman A. Kellstedt (eds), Agama dalam Politik Amerika, (diterjemahkan oleh Debbie A. Lubis dan A. Zaim Rofiqi dari buku “Rediscovering the Religious Factor in American Politics”), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dalam kerja sama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta dan Freedom Institute, 2006. 8 Salah seorang almuni PPST-UKDW, yakni Sdr. Anselmus Puasa telah menulis tesis berjudul “Pendeta dan Partai Politik, Suatu Tinjauan Teologi Sosial”, Yogyakarta, 2005.
4
kondisi sebagai minoritas. Proyek ini menyerukan agar seluruh pemeluk Kristiani bersatu padu mendukung hamba Tuhan menjadi presiden RI pada pemilu presiden 2004.9 Salah satu fenomena yang juga dijadikan topik tesis di PPST-UKDW adalah meningkatnya keterlibatan pendeta dalam politik yang telah ditulis oleh Pdt. Anselmus Puasa tahun 2005 yang lalu. 1.2. Realitas Politik di Era Reformasi Era reformasi mestinya menyebabkan jabatan kepala daerah menjadi lebih berat. Mengapa? Karena di era reformasi ini seorang kepala daerah (Gubernur, bupati, wali kota) tidak hanya berhadapan dengan posisi DPRD yang kuat, tetapi juga karena meningkatnya keberanian masyarakat untuk mengkritik dan menuntut hakhaknya kepada pemerintah daerah, serta kondisi sosial ekonomi masyarakat yang masih rendah. Namun fenomena reformasi sekarang ini justru menimbulkan pertanyaan menarik: Di balik bayang-bayang beratnya tugas dan kewajiban kepala daerah, justru proses pemilihan kepala daerah di era reformasi sekarang ini memperlihatkan meningkatnya calon-calon yang berminat untuk memperebutkan jabatan tersebut. Apakah pemilihan kepala daerah bukan hanya sekadar permainan spekulatif? Keraguan ini bukannya tanpa alasan. Laporan dari berbagai media massa selama ini bisa memperlihatkan hal itu. Salah satu contoh adalah, meskipun sulit dibuktikan secara hukum, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa praktek politik uang nampaknya tidak bisa dihapuskan oleh sistem pemilihan kepala daerah secara langsung. Jika dulu penerima suap adalah anggota-anggota DPRD, maka politik uang (yang terkenal dengan “serangan fajar” itu) di era reformasi ini menjadikan
9
Sabili, No. 2, tahun XI, 14 Agustus 2003, hlm. 107.
5
masyarakat sebagai sasarannya. Bentuknya pun bervariasi, dari yang disebut biaya akomodasi, tanda terima kasih, syukuran, sampai kepada yang benar-benar jual beli suara. 1.2.1. Otonomi Daerah dan Pemekaran Seingat Penulis, gerakan reformasi 1998 dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan masyarakat Indonesia akan politik sentralisasi kekuasaan yang diperparah dengan maraknya KKN (Korupsi, kolusi dan nepotisme) selama pemerintahan Orde Baru di negara ini. Walaupun sang penguasa rezim Orde Baru, Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun telah “lengser ke prabon”, harapan reformasi tidak begitu saja mudah tercapai. Wajar memang, karena menjelang dan sesudah jatuhnya Soeharto bangsa Indonesia harus menghadapi munculnya berbagai masalah: krisis moneter, krisis ekonomi, krisis politik, krisis kebudayaan, yang dilanjutkan dengan penilaian krisis moral.10 Hasil yang cukup cepat diputuskan oleh para pemimpin bangsa Indonesia pasca reformasi adalah pemberlakuan otonomi daerah11 dengan tujuan utamanya adalah "membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik".12 Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah ini diberlakukan sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
10
J.B.Banawiratma, “Transformasi Indonesia”, dalam Gema Duta Wacana, edisi 54 tahun 1998, hlm. 59. 11 Menurut berbagai literatur yang Penulis dapatkan, diskursus mengenai otonomi daerah di Indonesia sebenarnya sudah lama didiskusikan, bahkan setua negara ini. Frekuensi pembicaraan mengenai otonomi daerah mulai populer sebagai wacana publik pada era 90-an. Bdk. D.R.Nugroho, Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Revolusi: Kajian dan Kritik Atas Kebijaksanaan Desentralisasi di Indonesia, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2000, hlm. 5-6. 12 Syaukani, Afan Gaffar, dan Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 172.
6
Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Pada perkembangan selanjutnya, kedua Undang-undang tersebut diperbaiki kembali melalui Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan Pusat-Daerah.13 Kebijakan atau pemberlakuan otonomi daerah ini pada gilirannya diikuti oleh fenomena menarik akan kecenderungan terjadinya pemekaran wilayah di seluruh Indonesia dalam bentuk pemekaran kabupaten dan propinsi baru. Fenomena euforia pemekaran wilayah itu sendiri telah mengakibatkan jumlah kabupaten dan kota menjadi meningkat dan dapat diandaikan seperti efek bola salju hasil reformasi yang terus menggelinding ke berbagai daerah di Indonesia. Menurut data yang dimuat Kompas, dalam kurun tahun 1999 hingga April 2002 terdapat 57 kabupaten dan 25 kota baru sebagai hasil pembentukan yang terjadi di 58 kabupaten induk dari 20 provinsi. Hingga September 2002, Indonesia sudah memiliki 287 kabupaten dan 88 kota.14 Sedangkan dalam kurun tahun 1999 hingga akhir tahun 2006 di Indonesia telah terbentuk tujuh propinsi baru, 129 kabupaten baru dan 26 kota baru.15 Hingga April 2007 propinsi di Indonesia berjumlah 33 buah di samping adanya 457 kabupaten/kota. Jumlah ini belum termasuk delapan daerah baru yang disetujui oleh Presiden dan DPR pada tanggal 17 Juli 2007 untuk dibentuk. Bila dihitung, maka jumlah daerah pemekaran saat ini sekitar lima kali lipat dibandingkan keadaan di masa Orde Baru
13
http://www.kpu.go.id/wacana/lihat-dalam.php?ID=20&cat=Wacana, diakses tanggal 12 Nopember 2006. 14 Sisilia Srisuwastuti, “Pemekaran Wilayah setelah Otonomi Daerah: Kebutuhan atau Gaya”, dalam Indonesia Dalam Krisis 1997-2002, Jakarta: Kompas, 2002, hlm. 273. 15 Sumber: Depdagri, April 2007.
7
dan setara dengan pemekaran wilayah yang terjadi pada periode 1956 – 1960.16 (Lihat tabel 1) Tabel 1: Jumlah Propinsi, Kabupaten dan Kota Pemekaran di Indonesia Tahun 1950-2006 PERIODE
PROPINSI
KABUPATEN/KOTA
1950 – 1955
6
99
1956 – 1960
16
145
1961 – 1965
3
16
1966 – 1970
1
11
1971 – 1998
1
33
1999 – 2005
6
136
1999 – 2006
7
155 (129 kab, 26 kota)
Sumber: data tahun 1950 – 2005 bersumber dari DRSP-USAID, sedangkan untuk data tahun 1999 – 2006 diolah dari data Depdagri 2007.
Mengenai motivasi pembentukan daerah baru, Fitriani et al, menyusun empat hipotesis umum yang kemudian diuji secara empiris dengan menggunakan model logit terhadap 336 daerah kabupaten/kota. Motivasi-motivasi itu antara lain: penyebaran geografis, preferensi akan homogenitas, limpahan fiskal (fiscal spoils), dan pemburuan rente birokratik dan politik (Bureaucratic and Political Rent-Seeking) yang semuanya dapat saja muncul secara bersamaan.17 Tri Ratnawati menambahkan
16
DRSP-USAID, Decentralization 2006: Stock Taking On Indonesian’s Recent Decentralization Reforms, Jakarta: Depdagri, Agustus 2006. 17 Lih. Fitriani et al, “Unity in Diversity? The Creation of New Local Governments in a Decentralizing Indonesia”, Bulletin of Indonesia Economic Studies No 41/1, 2005, hlm. 57-79.
8
pula bahwa ada faktor politik Gerrymander atau usaha pemenangan Pemilu dengan melakukan pembedahan daerah pemilihan secara politik.18 Secara politis, dengan adanya pemekaran diharapkan akan tercapai kesejahteraan masyarakat melalui:19 (a) peningkatan pelayanan kepada masyarakat; (b) percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; (c) pertumbuhan kehidupan demokrasi; (d) percepatan pengelolaan potensi daerah; (e) peningkatan keamanan dan ketertiban; dan (f) peningkatan hubungan serasi antara pusat dan daerah. Namun tampaknya harapan tersebut tidak selalu tercapai. Pemekaran daerah kini juga tidak jarang menjadi bumerang bagi pemerintah pusat. Misalnya, isu pemekaran wilayah menimbulkan konflik yang berkepanjangan dalam masyarakat di tingkat lokal, seperti kasus kerusuhan di Banggai Kepulauan beberapa waktu lalu. Tujuan dari pemekaran pun menjadi tidak tercapai dan tampak hanya membuang energi sia-sia. Dengan demikian bisa jadi motif pemekaran tidak selalu identik dengan motif ekonomi untuk kesejahteraan rakyat an sich. Motif yang sering dimunculkan terkait dengan pemekaran daerah mulai dari alasan ekonomi hingga alasan politis. Pertautan antar motif tidak bisa dielakkan khususnya ketika berhadapan dengan
18 Lih. Tri Ratnawati, “Mengevaluasi Kebijakan Pemekaran Wilayah di Indonesia”, dalam Blue Print Otonomi Daerah, Yayasan Harkat Bangsa bekerja sama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia (PGRI) dan European Union (EU), Jakarta, 2006. Ilmuwan politik pun tidak sedikit yang meyakini pemekaran menjadi salah satu solusi untuk menyelesaikan beberapa masalah nasional yang sangat krusial seperti masalah disparitas pembangunan ekonomi dan sosial, kerapuhan identitas ke-Indonesiaan, dan kerapuhan penjagaan kewilayahan aktif. 19 Cornelius Lay dan Purwo Santoso (eds), Perjuangan Menuju Puncak: Kajian Akademik Rencana Pembentukan Kabupaten Puncak Jaya, Provinsi Papua, Yogyakarta: PLOD UGM, 2006, hlm. 8.
9
persyaratan formal pemekaran yang lebih banyak mengedepankan isu-isu ekonomi ataupun pelayanan publik sebagai alasan untuk persetujuan pemekaran. 1.2.2. Sistem Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Realitas berikutnya yang tak kalah penting adalah Pemilihan presiden (pilpres) tahun 2004 yang merupakan momentum penting dalam sejarah politik Indonesia. Untuk pertama kalinya, rakyat Indonesia bisa memilih presiden mereka secara langsung. Sistem pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat (direct popular vote) itu mengakhiri sistem lama yang menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga kekuasaan tertinggi dalam struktur kenegaraan dengan fungsi antara lain memilih presiden dan wakil presiden.20 Perubahan pada makna “langsung” tersebut sekaligus menegaskan kepentingan atas perlunya memperoleh wakil rakyat dan wakil daerah, serta presiden dan wakil presiden dengan dukungan yang kuat dari rakyat.21 Perubahan sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung ini menggulirkan perkembangan krusial yang selanjutnya terjadi sejak Juni 2005, di mana bangsa Indonesia bisa dikatakan memasuki babak baru berkaitan dengan penyelenggaraan tata pemerintahan di tingkat lokal. Kepala Daerah, baik bupati atau walikota maupun gubernur yang sebelumnya dipilih secara tidak langsung oleh DPRD, sejak Juni 2005 dipilih secara langsung oleh rakyat, melalui proses pemilihan
20
Jika kita melihat sejarah masa lalu, MPR bahkan mencatat sejarah dengan menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, dan memilih Soeharto sebagai presiden untuk 7 (tujuh) periode masa jabatan secara berturut-turut. 21 Lih. Penjelasan umum angka 2 UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihian Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
10
kepala daerah yang sering disingkat dengan Pilkada Langsung.22 Untuk kepentingan ini, pemerintah telah mensahkan UU nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU nomor 22 tahun 1999. Setelah “amandemen” MK atas UU tersebut, pemerintah mengeluarkan Perpu Nomor 3 tahun 2005 sebagai perubahan atas UU Nomor 32 tahun 2004. Seiring dengan itu, pemerintah juga telah mengeluarkan PP Nomor 17 tahun 2005 sebagai pengganti PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Salah satu isu penting dalam Undang-Undang, Perpu dan PP tersebut berkaitan dengan pengaturan pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Dengan pemilihan Kepala Daerah secara langsung, kepala daerah seperti gubernur (di tingkat propinsi), dan bupati atau walikota (di tingkat kabupaten atau kotamadya) akan dipilih sendiri oleh rakyat. Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 32 tahun 2004 menyebutkan, “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Artinya, sejak kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat, maka secara konseptual telah terjadi pergeseran pelaksana kedaulatan, yang sebelumnya dilaksanakan secara tidak langsung oleh DPRD sekarang dilakukan sendiri oleh rakyat.
22
Asfar, Muhammad, “Pilkada dan Penciptaan Pemerintahan yang Representatif”, dalam Nadir, Ahmad, Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi, Studi atas Artikulasi Politik Nahdliyin dan Dinamika Politik dalam Pilkada Langsung di Kabupaten Gresik Jawa Timur, Malang: Averroes Press, 2005, hlm. v.
11
1.3. Jemaat GKE di Tengah Arus Perubahan Realitas Politik Seperti yang Penulis utarakan di atas, perubahan-perubahan wacana politik di atas mau tidak mau, langsung atau tidak langsung, akan melibatkan dan memberikan pengaruh terhadap kehidupan warga jemaat GKE sebagai bagian dari masyarakat Kalimantan khususnya ataupun sebagai bagian dari bangsa Indonesia pada umumnya. Sebagai salah satu contohnya adalah, sebelum tahun 2002, propinsi Kalimantan Tengah terdiri dari satu kota dan lima kabupaten. Mengikuti pemberlakuan Otonomi Daerah yang diikuti fenomena kecenderungan terjadinya pemekaran wilayah, Pemerintah Pusat telah menyetujui penambahan delapan kabupaten baru di Kalimantan Tengah melalui UU Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2002 tanggal 10 April 2002, Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 18 tentang Pembentukan kabupaten Katingan, Seruyan, Sukamara, Lamandau, Gunung Mas, Pulang Pisau, Murung Raya dan Barito Timur di Kalimantan Tengah. Jadi, kini jumlah kabupaten di Kalimantan Tengah adalah 13 buah dan satu Kota.23 Selain mengalami pemekaran wilayah, warga GKE di Kalimantan Tengah juga mengikuti untuk pertama kalinya pemilihan kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur) secara langsung pada tahun 2005. Pada tahun 2007 akan dilaksanakan pemilihan secara langsung Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Kalimantan Barat. Pada tahun 2008, direncanakan pemilihan secara langsung Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Timur. Pada tahun 2008, menurut rencana secara serempak
23
Selain pemakaran kabupaten yang sudah terlaksana, wacana pemekaran propinsi juga sedang berkembang di propinsi Kalimantan Tengah. Propinsi baru yang diusulkan sebagai pemekaran itu ada dua, yakni propinsi Barito Raya dan Kotawaringin Raya. Sampai saat ini wacana pemekaran propinsi masih menjadi bahan pembicaraan di berbagai lapisan masyarakat.
12
dilaksanakan PILKADA untuk 10 (sepuluh) Kabupaten dan 1 (satu) Kotamadya di Propinsi Kalimantan Tengah. Pada saat pemilihan kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur) secara langsung pada tahun 2005 di Propinsi Kalimantan Tengah, gubernur yang terpilih adalah Agustinus Teras Narang yang juga seorang warga GKE yang selama ini (sebelum dan selama menjadi gubernur Kalteng) selalu terlibat aktif dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh GKE. Terpilihnya gubernur yang beragama Kristen ini disambut gembira oleh berbagai kalangan warga jemaat. Keterlibatan aktif warga GKE di pemerintahan propinsi Kalimantan Tengah sebelumnya juga terlihat dengan menduduki jabatan kepala daerah (bupati atau wakil bupati), baik di kabupaten lama ataupun kabupaten baru hasil pemekaran wilayah (Lihat tabel 2).
13
Tabel 2 Daftar Nama Warga GKE yang Saat ini Menduduki Jabatan Kepala daerah di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Propinsi/Kotamadya/ Kabupaten Kalimantan Tengah Palangkaraya Kotawaringin Timur Kotawaringin Barat Kapuas Barito Selatan Barito Utara Barito Timur* Gunung Mas* Katingan* Murung Raya* Pulang Pisau* Lamandau* Sukamara* Seruyan*
Nama Agustin T. Narang Tuah Pahoe Talinting E. Toepak Mahur Mudel** Djudae Anom Hambit Bintih Drs. Duwel Rawing Yantenglie Willy M Yoseph Darius Y.Dupa Bustani DJ Mamud -
Jabatan Gubernur Walikota Wakil Bupati Wakil Bupati Bupati Wakil Bupati Bupati Wakil Bupati Bupati Wakil Bupati Bupati -
Periode Tahun 2005-2010 2003-2008 2003-2008 2003-2008 2003-2008 2003-2008 2003-2008 2003-2008 2003-2008 -
Keterangan: * Kabupaten-kabupaten baru hasil pemekaran wilayah tahun 2002. ** Telah meninggal dunia.
14
Pilkada langsung di kabupaten Gunung Mas dan kabupaten-kabupaten lainnya di propinsi Kalimantan Tengah akan dilaksanakan untuk pertama kalinya pada tahun 2008. Nuansa berbeda yang dimunculkan dari peristiwa ini sudah mulai terasa dan menjadi bahan pembicaraan di berbagai kalangan masyarakat. Calon-calon kepala daerah sudah mulai dimunculkan melalui berbagai media massa, misalnya koran harian Kalteng Pos yang setiap hari memuat hasil poling jajak pendapat calon kepala daerah. Tabel 2 (dua) di atas memperlihatkan keterlibatan aktif warga GKE di pemerintahan dengan kedudukan mereka di jajaran pemerintahan daerah. Di antara mereka dan sejumlah nama baru dari kalangan warga jemaat bermunculan sebagai calon kepala daerah menjelang pilkada 2008. 2.
Rumusan Masalah Bagi Penulis pribadi, apa yang disampaikan melalui latar belakang
permasalahan di atas membawa pergumulan tersendiri dan perlu dipertanyakan lebih lanjut. Apakah pemberlakuan otonomi daerah yang diikuti kecenderungan terjadinya pemekaran wilayah dan penerapan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung mampu mendatangkan kesejahteran masyarkat daerah dan memunculkan pemimpin yang lebih baik sesuai harapan masyarakat? Apa dan bagaimana orang memaknai jabatan kepala daerah di zaman sekarang? Apakah ada pengaruh dari pemekaran wilayah terhadap jabatan kepala daerah? Apakah ada perbedaannya dengan masa sebelum pemberlakuan otonomi daerah dengan sistem pilkada langsung? Apakah ada jaminan bahwa seorang kepala daerah dari kalangan warga jemaat akan mampu berbuat lebih baik bagi masyarakat? Apakah yang menjadi motivasi atau yang melatarbelakangi warga GKE untuk menduduki jabatan-jabatan kepala daerah itu?
15
Adakah pengaruh teologis atau iman Kristen di balik semua itu? Apa atau bagaimana bentuk dukungan para pendeta dan fungsionaris gereja lainnya ataupun GKE sebagai sebuah lembaga terhadap warganya yang menjadi kepala daerah itu?24 Pertanyaan-pertanaan di atas cukup kompleks, sehingga perlu dirumuskan secara lebih matang. Sebelum merumuskan masalah dalam tesis ini, Penulis merasa perlu menggambarkan kembali latar belakang permasalahan yang dihadapi: a) Reformasi telah menggulirkan wacana otonomi daerah di seluruh Indonesia; wacana otonomi daerah ini diikuti oleh fenomena kecenderungan terjadinya pemekaran wilayah di Indonesia dan membuka peluang yang lebih besar bagi berbagai kalangan untuk menduduki jabatan kepala daerah; b) Pada tahun 2008 Pilkada langsung di kabupaten Gunung Mas dan kabupaten-kabupaten lainnya di propinsi Kalimantan Tengah akan dilaksanakan untuk pertama kalinya. Daerah atau tempat akan dilaksanakannya Pilkada-pilkada tersebut merupakan wilayah / tempat pelayanan GKE dan domisili warga GKE. Warga GKE yang ada di wilayah tersebut, adalah warga negara yang mempunyai hak untuk memilih dan dipilih. Di tingkat Kabupaten dan Kota khususnya di Provinsi Kalimantan Tengah, akan muncul warga GKE menjadi calon Kepala Daerah dalam wilayah yang sama. PARPOL atau pendukung peserta PILKADA berusaha dengan berbagai upaya untuk memenangkan kandidatnya. Hal ini akan menimbulkan perbedaan sikap politik. Adanya perbedaan di dasari oleh masing-masing kepentingan Parpol dan pendukung calon.
24
Khusus mengenai hal ini, Tawar Soewardji, mantan ketua umum Majelis Sinode GKE dalam tulisannya mengakui bahwa untuk program-program yang berkaitan dengan peranan GKE dalam kehidupan politik masih kurang. Lih. Tawar Soewardji, “Langkah-langkah GKE Mewujudkan Kemandiriannya”, dalam Marko Mahin dan Rama Tulus (eds), 70 Tahun GKE, Pergumulan dan Upaya GKE Menuju Kemandirian, Banjarmasin: MS-GKE, 2005, hlm. 69.
16
Dari berbagai wacana yang tergambar dalam uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dibuatlah rumusan permasalahan yang hendak dijawab dalam tesis ini: a. Apakah fungsi kepala daerah dan kriteria apa saja yang semestinya dilekatkan pada jabatan kepala daerah itu? Pertanyaan ini akan diperinci dengan beberapa pertanyaan: Apakah sebenarnya arti jabatan kepala daerah? Bagaimana landasan hukumnya di Indonesia? Bagaimana kaitannya dengan perkembangan situasi politik terkini bangsa Indonesia seperti otonomi daerah, pemekaran wilayah dan pilkada? b. Bagaimana pandangan warga jemaat GKE tentang fungsi dan kriteria kepala daerah? Apa yang melatarbelakangi pandangan jemaat tersebut? c. Apa persoalan teologis yang muncul dari pembahasan mengenai fungsi dan kriteria kepala daerah ini? Pertanyaan ini akan diperinci dengan pertanyaan: Apa dan bagaimana hubungan teologi dan politik? Refleksi teologis apa yang bisa dikemukakan untuk menanggapinya? Bagaimana teologi politis kontekstual yang bisa ditawarkan terhadap hal demikian?
17
3.
Batasan Masalah Agar permasalahan dalam tesis ini lebih fokus, maka Penulis akan membatasi
permasalahannya pada: a. Undang-Undang Republik Indonesia yang berbicara tentang pemerintahan daerah cukup banyak. Oleh karena itu, walaupun Undang-Undang lainnya juga tetap dibicarakan, Penulis akan lebih banyak merujuk kepada UU No. 32 tahun 2004 yang merupakan produk hukum terbaru mengenai pemerintahan daerah. b. Wilayah penelitian: Propinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Gunung Mas, Kota Kuala Kurun. Penulis menetapkan Kuala Kurun sebagai tempat penelitian dengan beberapa pertimbangan: pertama, kabupaten Gunung Mas dengan ibu kota kabupatennya Kuala Kurun adalah salah satu kabupaten baru hasil pemekaran dari kabupaten Kapuas tahun 2002 yang lalu. Sebagai sebuah kabupaten baru, diharapkan penghayatan dan harapan masyarakat masih murni dan segar; pemilihan kepala daerah secara langsung baru akan dilaksanakan tahun 2008. Kedua, di kabupaten Gunung Mas terdapat mayoritas masyarakat Kristen dengan prosentase mencapai hampir 70 %. Ketiga, kepala daerah, baik bupati dan wakil bupati yang saat ini memimpin pemerintahan di kabupaten Gunung Mas adalah warga Kristen GKE. c. Ruang lingkup penelitian ini terbatas pada umat Kristen, secara khusus warga jemaat GKE yang ada di kota Kuala Kurun.
18
4.
Hipotesis Adapun hipotesis yang melatarbelakangi dan akan dibuktikan dalam penulisan
tesis ini adalah sebagai berikut: a. Fungsi jabatan kepala daerah di sebuah kabupaten baru hasil pemekaran (seperti Gunung Mas) yang terutama adalah sesegera mungkin memimpin pembangunan daerah agar bisa bersaing seperti kabupaten lainnnya yang telah mapan. Sementara itu kriteria yang digunakan untuk memilih kepala daerah dipengaruhi faktor primordialisme (seperti identitas suku dan agama) dan faktor popularitas. b. Jemaat memandang kepala daerah sebagai figur pemimpin kharismatik yang sangat diharapkan mampu memenuhi harapan mereka akan peningkatan kesejahteraan yang dihasilkan dari pembangunan daerah. Sedangkan untuk memilih seorang kepala daerah, sebagian besar jemaat GKE Kuala Kurun akan memilih kepala daerah dengan mempertimbangkan faktor mayoritas (seperti kriteria agama dan suku) yang dibarengi pertimbangan akan kriteria-kriteria rasional (misalnya tingkat pendidikan atau pekerjaan). c. Di kalangan jemaat ada dimensi teologi ekslusif yang melahirkan semacam perasaan “takut dipimpin orang lain, orang yang berbeda”. Padahal, Otonomi daerah menempatkan rakyat sebagai subyek utama yang mesti diperhatikan dalam pembangunan. Oleh karena itu, teologi yang kontekstual di sebuah kabupaten pemekaran seperti Gunung Mas juga mesti menekankan penghormatan atau penghargaan yang tinggi terhadap keutuhan manusia.
19
5.
Judul Sesuai dengan latar belakang dan pokok permasalahan yang diuraikan di atas,
maka tesis ini diberi judul: “TINJAUAN ETIS-TEOLOGIS TERHADAP JABATAN KEPALA DAERAH DI ERA REFORMASI, Suatu Sumbangan Pemikiran Teologi Politis Kontekstual di Jemaat GKE Kuala Kurun, Kalimantan Tengah”
6.
Kerangka Teori Penulis akan menggunakan “teori elit” dalam rangka membantu menganalisis
persoalan munculnya elit-elit di wilayah-wilayah baru hasil pemekaran. Teori elit memandang bahwa setiap masyarakat terbagi dalam dua kategori yang luas yang mencakup:25 (a) sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah; dan (b) sejumlah besar massa yang menduduki posisi untuk diperintah. Elit sering diartikan sebagai sekumpulan orang sebagai individu-individu yang superior, yang berbeda dengan massa dan menguasai jaringanjaringan kekuasaan, atau kelompok yang berada di lingkaran kekuasaan maupun yang sedang berkuasa. Dalam konteks lokal, elit terbagi dalam dua kategori yaitu elit politik lokal dan elit non politik lokal.26 Elit politik lokal merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui
25
Haryanto, Kekuasaan Elit, Suatu Bahasan Pengantar, Yogyakarta: Program Pascasarjana (S2) Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM bekerja sama dengan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, 2005, hlm. Vi; Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Jakarta: Rajawali Press, 1982, hlm. 179. 26 Massa dan Pareto membagi stratifikasi masyarakat dalam tiga kategori yaitu elit yang memerintah (governing elite), elit yang tidak memerintah (non-governing elite) dan massa umum (non-elite). Lihat Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Jakarta: Rajawali Press, 1982, hlm. 179.
20
pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis di tingkat lokal. Mereka menduduki jabatan politik tinggi di tingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan politik. Elit politik kategori ini meliputi gubernur, bupati, walikota, ketua DPRD, anggota DPRD, dan pemimpin-pemimpin partai politik. Sedangkan elit non-politik lokal adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam lingkup masyarakat. Elit non-politik lokal ini meliputi elit keagamaan, elit organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan lain sebagainya.27 Selain teori elit, persoalan pemekaran daerah juga bisa dilihat dari latar belakang pembentukan sebuah kabupaten baru. Untuk membantu menganalisis pengaruh komposisi penduduk kabupaten Gunung Mas sebagai sebuah kabupaten baru yang mayoritas penduduknya Kristen, Penulis akan memakai konsep pemikiran “Minority-complex”. “Minority-complex”adalah kesulitan psikologis yang dialami sekelompok orang yang berjumlah kecil/sedikit ketika berhadapan dengan komunitas lain yang lebih besar dan menjadi mayoritas. Kelompok minoritas ini sulit menerima keadaan mereka secara realistik. Menanggapi gaya politik gereja di masa lalu, EG Singgih mengemukakan pendapatnya bahwa minority-complex ini bisa dilihat dalam kehidupan orang Kristen di Indonesia yang mengakibatkan kecenderungan menempel pada yang berkuasa dan tidak lagi merasa kecil.28 Selain itu wacana yang muncul berkaitan dengan kriteria yang dikenakan kepada jabatan kepala daerah perludicermati. Untuk keperluan ini Penulis akan
27
Nurhasim (ed.), Konflik Antar Elit Politik Lokal dalam Pemilihan Kepala Daerah, JakartaYogyakarta: LIPI-Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 13. 28 EG Singgih, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004, hlm. 33.
21
memakai “Teori Keadilan” dari Michael Walzer.29 Michael Walzer dipilih karena ia sangat menghargai penghayatan masyarakat di mana “barang sosial” (dalam hal ini jabatan kepala daerah) itu berada. Menurut Walzer, masyarakat di tempat di mana ‘barang sosial” itulah yang semestinya memberi makna kepada jabatan kepala daerah sesuai dengan penghayatan dan aspirasi mereka sendiri. Teori ini akan digunakan untuk mengkritisi fungsi dan kriteria kepala daerah. Menurut Walzer masyarakat-manusia pada dasarnya adalah komunitas yang distributif. Manusia menyusun/merencanakan dan menciptakan barang-barang, lalu mendistribusikannya kepada manusia-manusia lainnya. Barang-barang itu sendiri tidaklah bebas nilai, namun terikat oleh arti/makna sosial yang dikenakan kepada barang tersebut. Dengan konsep itu, Walzer menyatakan bahwa semua distribusi barang bisa dikatakan adil atau tidak adil tergantung pada makna sosial yang diberikan pada barang tersebut. Di sini Walzer hendak memperlihatkan kepada kita bahwa keadilan juga merupakan sebuah “barang”, hasil konstruksi manusia yang didistribusikan di antara manusia-manusia itu sendiri. Karenanya, konsep dan praktek “keadilan” itu relatif, bisa saja berbeda-beda, jika dilihat dari sejarah, kebudayaan, atau “membership” (keanggotaan) masing-masing masyarakat. Dengan teori ini Penulis akan dibantu melihat makna jabatan kepala daerah yang dihayati oleh warga jemaat GKE di Kuala Kurun sebagai bagian dari masyarakat.
29
Lih. Michael Walzer, Spheres of Justice, A Defence of Pluralism and Equality, New York: Basic Books, 1983.
22
7.
Metodologi Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan teori-teori yang akan digunakan,
maka
penelitian
ini
menggunakan
metode
penelitian
kualitatif
yang
mengkombinasikan metode penelitian kepustakaan (library research) dan metode penelitian lapangan (field research). 7.1. Penelitian Kepustakaan Metode penelitian kepustakaan bertujuan untuk mendapat data dari sumbersumber tertulis baik teologi maupun non-teologi yang berkaitan dengan topik tesis ini. Metode penelitian ini juga mengarahkan penelitian ini pada pengumpulan dan analisis data berupa dokumen-dokumen dari segenap teks, baik dari media massa (koran, majalah, internet, dan lain-lain) melalui pemakaian analisis isi. Dari hasil penelitian kepustakaan diharapkan Penulis dapat mendiskripsikan secara sistematis, faktual dan aktual mengenai fakta-fakta serta hubungan antara fenomena yang berkaitan dengan topik tesis.30 7.2. Penelitian Lapangan Penggunaan metode penelitian lapangan (field study) dilakukan untuk mengumpulkan data berupa pernyataan, perilaku, dan peristiwa-peristiwa melalui pemakaian metode survei dan wawancara mendalam (depth interview) untuk kemudian diolah dan dianalisis melalui metode interpretative. Selain itu, Penulis merasa perlu untuk mendapat data pembanding berupa kecenderungan pandangan mayoritas jemaat terhadap topik tesis ini. Data pembanding ini akan diusahakan
30
Bdk. Moh. Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia, 1985, hlm. 63.
23
melalui penyebaran angket. Penelitian lapangan ini sendiri dilaksanakan di Kuala Kurun31, ibukota kabupaten pemekaran Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Subyek yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain: Pejabat Publik yang beragama Kristen, Pengurus Partai politik yang beragama Kristen, KPUD, pejabat GKE (Gereja Kalimantan Evangelis), termasuk juga Jemaat GKE (Gereja Kalimantan Evangelis). Untuk waktu penelitian ini dilaksanakan kurang lebih satu bulan, dari pertengahan Mei 2007 sampai dengan pertengahan Juni 2007. Wawancara akan dilakukan dengan teknik menyiapkan pertanyaan-pertanyaan panduan terlebih dahulu. Walaupun demikian, Penulis tetap melakukan interview bebas32 mengingat wacana topik tesis ini cukup sensitif berkaitan dengan rencana pelaksanaan Pilkada di kabupaten Gunung Mas pada tahun 2008 yang akan datang.
31
Kuala Kurun adalah ibukota kabupaten baru Gunung Mas sebagai hasil pemekaran dari kabupaten Kapuas. Menurut data statistik GKE 2007, di Resort GKE Kuala Kurun terdapat: 16 jemaat definitif, 4 calon jemaat, 1.715 Kepala Keluarga, 2.669 anggota sidi, 5.989 jiwa, dengan 11 orang pendeta, 102 penatua dan 101 diakon. 32 Penulis akan menggunakan berusaha menciptakan suasana santai dalam wawancara, misalnya menjadikan bahasa daerah Dayak Ngaju sebagai bahasa pengantar wawancara dan mengusahakan suasana tanya-jawab seperti obrolan biasa, agar informan tidak merasa terbeban memberi data yang diperlukan. Walaupun demikian, Penulis dituntut tetap fokus pada data apa yang dikumpulkan. Suharsimi, A., Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: RinekeCipta, 1998, hlm. 145.
24
8.
Tujuan Penulisan Penulisan tesis ini diharapkan bisa menjadi salah satu upaya berteologi secara
kontekstual bagi GKE yang mengalami secara langsung proses perubahan politik di daerah, dan bisa memberikan dukungan berupa sumbangan pemikiran etis-teologis yang menjadi fondasi moral-spiritual kepada siapa saja yang menduduki jabatan kepala daerah, secara khusus orang-orang GKE yang mendapat kesempatan untuk itu. Bahkan, walapun tidak ada orang Kristen GKE yang menduduki jabatan kepala daerah, tesis ini diharapkan bisa memberi pemikiran dan semangat bagi umat Kristen agar tetap bisa menghayati dan mendukung peran kepala daerah di tempatnya masing-masing. Selain itu tentu saja tesis ini juga diharapkan dapat memberi kritik etis-teologis terhadap jabatan Kepala Daerah yang sering disalahgunakan, dengan harapan bahwa hal-hal tersebut tidak terulang lagi di kemudian hari. 9.
Sistematika Penulisan Dalam rangka pemaparan penelitian ini, penulis mencoba membuat
sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I. PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas latar belakang permasalahan, rumusan masalah, hipotesis yang akan dibuktikan, judul, kerangka teori, metodologi dan sistematika penulisan. BAB II. DINAMIKA JABATAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA Bab ini mendeskripsikan dan menganalisis sejarah jabatan kepala daerah di Indonesia secara umum, baik pada masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi
25
serta perkembangan terakhir. Unsur pokok yang akan diperhatikan adalah bagaimana pelaksanaan atau penggunaan jabatan kepala daerah selama ini. Unsur ini penting untuk diperhatikan, dengan harapan bab ini sekaligus bisa menggambarkan persoalan-persoalan yang muncul dan perlu ditanggapi secara teologis nantinya.
BAB III. HASIL PENELITIAN PANDANGAN JEMAAT TENTANG FUNGSI DAN KRITERIA KEPALA DAERAH Bab ini memaparkan deskripsi serta analisis dari hasil penelitian yang dilaksanakan di kabupaten pemekaran Gunung Mas, propinsi Kalimantan Tengah. Penelitian ini berupaya menggali dan mengungkapkan persepsi atau pemahaman warga Kristen secara khusus warga jemaat GKE di Kuala Kurun mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan persoalan makna jabatan kepala daerah.
BAB IV. REFLEKSI TEOLOGIS Bab ini akan menguraikan pemikiran mengapa teologi perlu berbicara tentang masalah-masalah publik, seperti halnya persoalan jabatan kepala daerah. Dengan berdasar pada teologi publik itu, bab ini juga berupaya mencari atau membangun makna teologis dari jabatan kepala daerah yang pada gilirannya diharapkan mampu memberi landasan dan semangat etis-spiritual tentang bagaimana orang Kristen memahami, menerima atau menggunakan “kuasa” yang melekat dalam jabatan kepala daerah tersebut.
26
BAB V. PENUTUP Bab terakhir ini merupakan kesimpulan tesis dan sekaligus sebagai wadah untuk menyampaikan beberapa saran atau pemikiran lanjutan yang muncul dari pergumulan tesis ini.
27