BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat dicapai melalui
penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan dengan menghimpun seluruh potensi bangsa. Secara umum upaya kesehatan terdiri dari dua unsur utama yaitu upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan. Salah satu upaya kesehatan masyarakat yang dapat dilakukan adalah pengendalian penyakit tidak menular (Depkes, 2011). Menurut Noor (2006), berbagai jenis penyakit menular tertentu telah dapat diatasi, akan tetapi di lain pihak timbul pula masalah baru yaitu meningkatnya penyakit tidak menular. Perhatian terhadap penyakit tidak menular makin hari makin meningkat karena semakin tinggi frekuensi kejadiannya pada masyarakat, keadaan ini terjadi di negara maju maupun negara ekonomi rendah-menengah (Bustan, 2007). Menurut WHO (World Health Organization ), pada tahun 2008 terdapat 57 juta kematian di dunia, dimana Proportional Mortality Rate (PMR) penyakit tidak menular di dunia adalah sebesar 36 juta (63%) (WHO, 2011). Balitbangkes (2008) melaporkan bahwa Proportional Mortality Rate (PMR) penyakit tidak menular di Indonesia pada tahun 2007 sebesar 59,5%. Salah satu penyakit tidak menular yang menghambat kemampuan seseorang untuk hidup sehat adalah Gagal ginjal kronik (GGK). Gagal ginjal kronik (GGK)
1
Universitas Sumatera Utara
merupakan kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan filtrasi glomerulus (Glomerular Filtration Rate/GFR) kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih yang irreversible dan didasari oleh banyak faktor. Penyakit ginjal ini memiliki beberapa tahapan seperti ringan, sedang atau berat (Suhardjono, 2003). Gangguan ginjal yang telah berada pada tahap berat ditunjukkan dengan ketidakmampuan ginjal membuang sisa-sisa zat metabolisme dari dalam tubuh. Hal ini menyebabkan tubuh dipenuhi dengan air dan racun sehingga timbul gejala seperti mual, muntah dan sesak napas (Pace, 2007). Proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan fungsinya disebut dialisis (Brunner & Suddarth, 2002). Metode dialisis yang menjadi pilihan utama dan merupakan perawatan umum adalah hemodialisa (Noor, 2006). Di dunia, sekitar 2.622.000 orang telah menjalani pengobatan End-Stage Renal Disease pada akhir tahun 2010. Dimana 2.029.000 orang (77%) diantaranya menjalani pengobatan dialisis dan 593.000 orang (23%) menjalani transplantasi ginjal (Fresenius Medical Care, 2011). Kenaikan populasi pasien hemodialisa di Indonesia terutama pasien PNS juga disebabkan karena adanya dukungan biaya dari PT ASKES (Sukandar, 2006). Menurut Roesli (2008) tindakan dialisis meningkat dari 389 kali pada tahun 1980 menjadi 4487 pada tahun 1986. Sedangkan jumlah kasus dialisis yang dibiayai oleh PT ASKES terjadi peningkatan dari 481 kasus pada tahun 1989 menjadi 10.452 kasus pada tahun 2005.
Universitas Sumatera Utara
Proses hemodialisa merupakan upaya untuk mencegah kematian atau memperpanjang usia. Namun demikian, hemodialisa tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal. Hemodialisa juga tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin oleh ginjal dan dampak dari gagal ginjal. Pasien harus menjalani dialisis sepanjang hidupnya atau sampai mendapat ginjal baru melalui pencangkokan. Biasanya hemodialisa dilakukan dua kali seminggu selama paling sedikit 3 atau 4 jam (Smeltzer, 2008). Pada pasien yang menjalani hemodialisa dapat mengakibatkan perubahanperubahan baik perubahan biologis maupun psikologis. Umumnya hemodialisa akan menimbulkan stres fisik seperti kelelahan, sakit kepala dan keluar keringat dingin akibat tekanan darah yang menurun dan juga mempengaruhi keadaan psikologis penderita, diantaranya tidak dapat tidur, cemas, khawatir memikirkan penyakitnya, bosan dengan tindakan hemodialisa yang terus-menerus dan akan mengalami gangguan dalam proses berfikir serta gangguan dalam hubungan sosial. Pasien juga dapat mengalami kecemasan, ketidakberdayaan, keputusasaan, bosan dan harga diri rendah serta gangguan citra tubuh (Black, 2005). Selain itu, banyak pasien menganggap hidupnya tinggal dihitung jari dan melampiaskan keputusasaannya dengan tidak mengindahkan petunjukkan tim medis serta makan dan minum sembarangan dan juga percaya bahwa akibat dari penyakit yang diderita mereka tak mungkin lagi dapat berolahraga (Suhud, 2009). Menurut Lubis (2006) perubahan-perubahan akibat ketergantungan terhadap tindakan hemodialisa antara lain perubahan bio-psiko-sosial-spiritual. Perubahan bio
Universitas Sumatera Utara
diantaranya mengatur pola hidup yaitu diantaranya mengatur pola hidup yaitu makan, pembatasan cairan, pola aktivitas istrahat yang seimbang. Perubahan fisik tersebut dapat mengakibatkan perubahan psikologis pasien akibat dari mengalami kelemahan, tidak mampu melakukan kegiatan dan tidak berdaya. Hal tersebut dapat mengakibatkan pasien merasa tidak mampu dan tidak berdaya karena keterbatasan fisiknya, sehingga pasien menjadi malu/minder, tidak mau bertemu dengan orang lain, tidak melakukan kegiatan sosial atau mengalami perubahan sosial. Perubahan-perubahan yang dialami oleh pasien yang menjalani hemodialisa mengakibatkan pasien mengalami penurunan motivasi untuk patuh menjalani hemodialisa yang seharusnya sudah dijadwalkan, tidak mau melakukan diet untuk membatasi cairan, tidak mempunyai gairah hidup, pesimis dan mempunyai perasaan negatif terhadap diri sendiri sampai merasa kehilangan (Black, 2005). Kepatuhan pasien dalam melakukan hemodialisa dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu faktor yang mendukung kepatuhan pasien adalah dukungan petugas kesehatan dengan pasien. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. Komunikasi yang baik antara petugas kesehatan dan pasien sangat diperlukan. Dengan komunikasi, seorang tenaga kesehatan dapat memberikan informasi yang lengkap guna meningkatkan pengetahuan pasien dalam setiap instruksi yang diberikan kepadanya, sehingga diharapkan lebih dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalankan hemodialisa (Niven, 2002). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Wang (2006) yang dilakukan kepada 45 orang yang
Universitas Sumatera Utara
menjalani hemodialisa di empat pusat kesehatan Taiwan didapatkan bahwa perilaku perawat medis dalam memahami keadaan pasien berpengaruh signifikan pada kepatuhan pasien menjalani hemodialisa. Menurut Kelman perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi, kemudian baru internalisasi. Kepatuhan individu yang berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang pentingnya perilaku yang baru itu, dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda jenisnya yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan atau tokoh yang menganjurkan perubahan tersebut (Sarwono, 2007). Selain dukungan petugas kesehatan, dukungan keluarga sangat diperlukan dalam proses hemodialisa yang dijalani pasien. Pasien hemodialisa yang mengalami kelemahan fisik tidak mampu mengunjungi fasilitas kesehatan sendiri, sehingga diperlukan bantuan orang lain. Jarang sekali pasien datang sendiri ke tempat pelayanan kesehatan tanpa pendamping atau dukungan dari keluarga dalam melakukan hemodialisa (Smeltzer, 2008). Hal tersebut menyebabkan pasien mengalami ketergantungan yang terus menerus sampai keluarga tersebut mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari pasien. Dukungan keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dalam meningkatkan motivasi pasien dalam melakukan perawatan hemodialisa. Tanpa adanya dukungan keluarga mustahil program hemodialisa bisa dilakukan sesuai jadwal. Keterlibatan keluarga serupa dengan pemberdayaan sistem yang berupaya untuk membantu individu (anggota keluarga) untuk mengontrol diri dan
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi komunitas dalam pemberdayaan individu dan keluarga dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan kapasitas keluarga agar dapat menjadi pelindung yang handal untuk keluarganya sendiri (Keliat, 2005). Keluarga merupakan bagian yang paling dekat dan menetap bersama pasien sehingga anggota keluarga harus mampu merawat anggota keluarganya yang sakit. Selain dukungan sosial dari keluarga dan petugas kesehatan, faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalankan hemodialisa adalah kecemasan pada pasien yang menjalani hemodialisa itu sendiri. Kecemasan merupakan respon umum yang sering muncul pada individu yang mengalami sakit dan takut yang terusmenerus timbul. Perasaan ini timbul akibat ancaman terhadap diri sendiri, identitas diri dan harga diri. Ancaman yang dirasakan pasien yang menderita sakit antara lain karena anggota tubuhnya mengalami kerusakan akibat sakit, penurunan fungsi tubuh akibat sakit (Tamsuri, 2006). Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan merupakan salah satu rumah sakit di Sumatera Utara yang berada di Kota Medan. Rumah sakit ini menjadi rujukan terakhir dari rumah sakit yang berada di kabupaten/kota. Sebagai rumah sakit yang rujukan terakhir, rumah sakit ini memberikan beberapa pelayanan, antara lain hemodialisa. Pelayanan hemodialisa di rumah sakit ini dilakukan setiap hari dan setiap pasien biasanya melakukan hemodialisa pada jadwal yang telah ditentukan. Jadwal pelayanan hemodialisa setiap pasien berbeda-beda, namun pada umumnya pasien menjalani hemodialisa dua kali dalam seminggu dengan jadwal senin dan kamis, selasa dan jumat, serta rabu dan sabtu . Berdasarkan hasil wawancara dengan
Universitas Sumatera Utara
beberapa pasien di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik didapatkan bahwa sebagian pasien tidak patuh dalam melakukan hemodialisa. Hasil wawancara tersebut didukung dengan data dari rekam medik tentang jumlah pasien yang melakukan hemodialisa. Jumlah pasien yang melakukan hemodialisa bervariasi dari bulan ke bulan. Data yang didapat dari rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan diketahui bahwa jumlah kunjungan pasien yang menjalani hemodialisa dari bulan Juli – Desember 2012 sebanyak 5056 kunjungan, dan tahun 2013 sebanyak 13200 kunjungan dan kunjungan tertinggi pada Agustus 2012 sebanyak 986, sedangkan kunjungan terendah pada bulan Juli 2013 sebanyak 540 kunjungan. Dari data tersebut peneliti berasumsi bahwa banyak pasien yang tidak patuh melakukan hemodialisa. Berdasarkan permasalahan di atas maka peneliti ingin meneliti tentang pengaruh perilaku dan dukungan sosial terhadap kepatuhan pasien menjalankan Hemodialisa di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan.
1.2.
Permasalahan Adapun permasalahan pada penelitian ini adalah semakin meningkatnya
jumlah pasien yang tidak patuh menjalankan hemodialisa. Untuk itu peneliti ingin mengetahui bagaimana pengaruh kecemasan dan dukungan sosial terhadap kepatuhan pasien menjalankan hemodialisa di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.
Universitas Sumatera Utara
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kecemasan dan
dukungan sosial terhadap kepatuhan pasien menjalankan
hemodialisa di Rumah
Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.
1.4.
Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini adalah ada pengaruh kecemasan dan dukungan
sosial terhadap kepatuhan pasien menjalankan hemodialisa di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.
1.5.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1.
Rumah Sakit Penelitian ini dapat memberikan masukan dalam rangka perencanaan kegiatan untuk mempromosikan pengaruh kecemasan dan dukungan keluarga terhadap kepatuhan pasien menjalankan hemodialisa.
2.
Bagi Pasien dan Keluarga Memberikan gambaran kecemasan dan dukungan sosial pada pasien yang menjalani hemodialisa untuk meningkatkan kemampuan keluarga dalam memberikan dukungan kepada pasien pasien.
3.
Bagi Peneliti Mendapat pengalaman dan wawasan tentang pengaruh perilaku dan dukungan sosial terhadap kepatuhan pasien menjalankan hemodialisa.
Universitas Sumatera Utara