BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Tingginya kepedulian masyarakat terhadap kinerja dari pemerintah, menandakan
bahwa masyarakat telah sadar tentang pentingnya pemerintahan yang baik. Terlebih dengan adanya pelaksanaan otonomi daerah menuntut pemerintah harus memberikan kinerja yang terbaik untuk dapat meningkatkan pertumbuhan dan kinerja daerah. Pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya dapat dilihat dari seberapa besar daerah akan memperoleh dana perimbangan, tetapi hal tersebut harus diimbangi dengan sejauh mana instrumen atau sistem pengelolaan keuangan daerah mampu memberikan nuansa manajemen keuangan yang lebih adil, rasional, transparansi, partisipatif dan bertanggungjawab. Keberhasilan pengelolaan keuangan daerah mempunyai dampak langsung terhadap keberhasilan otonomi daerah dan sumbangan yang besar dalam upaya mewujudkan good governance (Darise, 2008). Meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance government), telah mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menerapkan akuntabilitas publik. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai bentuk kewajiban mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik (Mardiasmo, 2006). Sebagai
salah
satu
bentuk
pertanggungjawaban
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
1
Daerah, upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah adalah dengan menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan. Laporan keuangan pemerintah yang dihasilkan harus memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti Standar Akuntansi Pemerintahan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010. Laporan keuangan pemerintah kemudian disampaikan kepada DPR/DPRD dan masyarakat umum setelah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Adapun komponen laporan keuangan yang disampaikan tersebut meliputi Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (Laporan Perubahan SAL), Neraca, Laporan Operasional (LO), Laporan Arus Kas (LAK), Laporan Perubahan Ekuitas (LPE) dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK). Governmental Accounting Standard Board (1999) dalam Concepts Statement No. 1 tentang Objectives of Financial Reporting menyatakan bahwa akuntabilitas merupakan dasar pelaporan keuangan di pemerintahan yang didasari oleh adanya hak masyarakat untuk mengetahui dan menerima penjelasan atas pengumpulan sumber daya dan penggunaannya. Laporan keuangan yang dihasilkan oleh pemerintah daerah akan digunakan oleh beberapa pihak yang berkepentingan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan. Oleh karena itu, informasi yang terdapat di dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) harus bermanfaat dan sesuai dengan kebutuhan para pemakai. Mardiasmo (2009: 168) mengidentifikasi sepuluh pemakai Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, yaitu: (1) pembayar pajak (tax payer), (2) pemberi dana bantuan (grantors). (3) investor, (4) pengguna jasa, (5) karyawan atau pegawai, (6) pemasok (vendors), (7) dewan legislatif, (8) manajemen, (9) pemilih (voters), (10) badan pengawas.
2
Selain itu untuk mencapai pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel, menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota wajib
melakukan
pengendalian
atas
penyelenggaraan
kegiatan
pemerintahan.
Pengendalian atas kegiatan pemerintahan dilaksanakan dengan berpedoman pada peraturan
pemerintah
tentang
Sistem Pengendalian
Intern
Pemerintah
(SPIP)
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008. Pasal 47 ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008 menyatakan bahwa menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota bertanggung jawab atas efektifitas penyelenggaraan sistem pengendalian intern di lingkungan masing-masing. Sistem pengendalian intern didefinisikan sebagai proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) semester 1 tahun 2011 ditandai bahwa pada 358 dari 524 pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota, BPK menemukan sebanyak 3.397 kasus kelemahan SPI, yang terdiri atas 1.401 kasus kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan, 1.368 kasus kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja, serta 628 kasus kelemahan struktur pengendalian intern. Terhadap 358 LKPD tahun 2010 BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas 32 LKPD, Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas 271 LKPD, Tidak Wajar (TW) kepada 12 LKPD dan Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atas 43 LKPD. Opini tersebut mengidentifikasikan bahwa masih banyak entitas yang masih belum tertib dalam pengelolaan dan penyajian atau kewajaran laporan keuangannya (IHPS BPK 2011).
3
Masih banyaknya opini tidak memberikan pendapat dan tidak wajar yang diberikan oleh BPK menunjukkan efektifitas sistem pengendalian intern belum optimal. Kelemahan pengendalian intern atas pemerintah daerah sebagian besar karena belum memadainya unsur lingkungan pengendalian, penilaian risiko, dan kegiatan pengendalian. Unsur Sistem Pengendalian Intern (SPI) dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 tahun 2008 meliputi lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, serta pemantauan pengendalian intern. Lingkungan pengendalian menjadi pondasi bagi keempat komponen pengendalian Intern lainnya Ketiadaan atau kelemahan satu atau lebih unsur pada lingkungan pengendalian akan menyebabkan sistem tidak dapat bekerja secara efektif, meskipun keempat komponen tersebut kuat. Lingkungan pengendalian yang diciptakan seharusnya dapat menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk menerapkan sistem pengendalian intern. Namun hal tersebut masih sulit untuk dicapai karena terdapat kelemahan dalam lingkungan pengendalian terutama pada penerapan kebijakan tentang pembinaan sumber daya manusia serta kurangnya komitmen terhadap kompetensi. Kelemahan lingkungan pengendalian terlihat pula pada pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang kurang tepat, kurang penegakan integritas dan nilai etika, peran aparat pengawasan intern yang kurang efektif, serta kepemimpinan yang kurang kondusif (IHPS BPK 2011). Sutisno (2008) menyatakan bahwa, lingkungan pengendalian menjadi pondasi dari sistem pengendalian intern pemerintah (SPIP) yang didalamnya mencakup integritas, nilai-nilai etika, kompetensi pegawai dan pimpinan, filosofi pimpinan dan gaya operasinya. Manajemen membangun lingkungan pengendalian dengan membuat kebijakan, prosedur, kode etik, dan standar perilaku secara tertulis dan kemudian mengkomunikasikan serta menginternalisasikannya kepada seluruh lapisan pegawai. Membangun lingkungan pengendalian identik dengan membangun budaya organisasi dan
4
budaya organisasi yang baik akan menjadi pondasi sistem pengendalian intern yang kuat. Sistem pengendalian intern pemerintah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 adalah langkah konkrit untuk membentuk built in control artinya pengawasan by system. Siapapun pemegang amanah birokrasi pemerintahan, maka dengan sendirinya sistem yang akan melakukan pengawasan guna mencapai visi, misi dan tujuan organisasi dalam arti sempit dan mencapai visi, misi dan tujuan bernegara dalam arti seluas-luasnya. Ketika internal control system yang dijabarkan dalam SPIP bekerja secara otomatis melakukan fungsi pengawasan, maka setiap insan birokrasi pemerintah suka tidak suka akan bekerja under control. Selanjutnya, apabila kondisi ini dipertahankan maka terciptalah internal control culture, artinya budaya organisasi yang baik akan terbentuk dari penerapan sistem pengendalian intern yang sesuai (Nugraha, 2009). Hasil penelitian Prasetyono dan Nurul (2007) yang menunjukkan bahwa budaya organisasi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap akuntabilitas publik. Terwujudnya suatu akuntabilitas yang tinggi diciptakan oleh budaya organisasi yang tinggi dan komitmen organisasi yang dapat membuat para anggota termotivasi untuk bekerja lebih baik lagi di organisasinya (Abdullah dan Herlin, (2010). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengendalian intern memiliki peranan yang sangat penting bagi sebuah organisasi, termasuk pemerintah daerah. Pemerintah daerah harus mampu menjalankan pengendalian intern yang baik agar dapat memperoleh keyakinan yang memadai dalam mencapai tujuan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Indriasari dan Nahartyo (2009) menunjukkan bahwa sistem pengendalian intern berpengaruh positif dan signifikan terhadap keterandalan pelaporan pemerintah daerah. Hasil tersebut juga didukung oleh Mustafa, dkk (2010), serta Celviana dan Rahmawati (2010). Sistem pengendalian intern yang berjalan baik dan sistem akuntansi keuangan daerah yang berjalan efektif akan menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas dan
5
mendorong
meningkatnya
kualitas
akuntabilitas
keuangan
pemerintah
daerah
(Widyaningsih, dkk, 2009). Pengelolaan keuangan daerah harus didukung oleh sistem pengendalian intern yang memadai dan tanpa budaya organisasi yang baik sebagai pondasi akan susah untuk menerapkan sebuah sistem pengendalian intern yang efektif yang tentu saja akan mempengaruhi akuntabilitas keuangan. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini mengkaji “Pengaruh Moderasi Budaya Organisasi dengan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah terhadap Kualitas Akuntabilitas Keuangan”. Penelitian akan dilakukan pada seluruh SKPD di Kota Denpasar. Dipilihnya SKPD di Kota Denpasar terkait dengan hasil audit laporan keuangan pemerintah yang mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) pada tahun 2010 dimana hasil temuan amenunjukkan adanya kelemahan terhadap Sistem Pengendalian Intern (SPI) dan kepatuhan atas perundang-undangan. Rumusan masalah yang dapat diambil dari apa yang telah dijelaskan sebelumnya adalah: 1)
Apakah sistem pengendalian inten pemerintah, budaya organisasi, dan interaksi antar keduanya secara simultan berpengaruh terhadap kualitas akuntabilitas keuangan?
2)
Apakah sistem pengendalian intern pemerintah berpengaruh terhadap kualitas akuntabilitas keuangan?
3)
Apakah budaya organisasi berpengaruh terhadap kualitas akuntabilitas keuangan?
4)
Apakah budaya organisasi memoderasi pengaruh sistem pengendalian intern pemerintah terhadap kualitas akuntabilitas keuangan?
6
1.2 1.2.1
Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1)
Untuk mengetahui pengaruh secara simultan sistem pengendalian intern pemerintah, budaya organisasi, dan interaksi antar keduanya terhadap kualitas akuntabilitas keuangan.
2)
Untuk mengetahui pengaruh sistem pengendalian intern pemerintah terhadap kualitas akuntabilitas keuangan.
3)
Untuk mengetahui pengaruh budaya organisasi terhadap kualitas akuntabilitas keuangan.
4)
Untuk mengetahui pengaruh moderasi budaya organisasi terhadap sistem pengendalian intern pemerintah dan kualitas akuntabilitas keuangan.
1.2.2
Kegunaan Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka manfaat yang
diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1)
Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya bahan pustaka yang sudah ada, baik sebagai pelengkap maupun sebagai bahan perbandingan sehingga memberikan wawasan yang lebih luas mengenai judul “Pengaruh Moderasi Budaya Organisasi dengan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah terhadap Kualitas Akuntabilitas Keuangan”.
2)
Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan memberi masukan kepada pemerintah maupun pejabat yang berwenang dalam peningkatan kualitas nilai informasi pelaporan
7
keuangan pemerintah daerah yang akan mendukung peningkatan kualitas akuntabilitas keuangan.
1.3
Sistematika Penulisan BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah penelitian yang kemudian dirumuskan kedalam pokok permasalahan, juga dibahas mengenai tujuan dan kegunaan penelitian serta di akhir bab dikemukakan mengenai sistematika penyajian.
BAB II
: KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS Bab ini menguraikan mengenai teori yang relevan serta beberapa pengertian lainnya yang juga dikolaborasikan dengan hasil penelitian yang berkaitan sebelumnya, dan pada akhir bab disajikan mengenai hipotesis atau dugaan sementara dari pokok permasalahan.
BAB III
: METODE PENELITIAN Bab ini menyajikan metode penelitian yang mencakup lokasi penelitian, objek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, metode penentuan sampel atau responden penelitian, metode pengumpulan data, dan teknik analisis data yang akan dipergunakan dalam membahas permasalahan.
BAB IV
: PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Bab ini menyajikan data beserta pembahasan berupa gambaran umum daerah penelitian dan pembahasan hasil penelitian yang merupakan jawaban dari permasalahan yang ada.
8
BAB V
: SIMPULAN DAN SARAN Pada bab terakhir ini menyajikan simpulan yang dapat ditarik dari pembahasan, serta saran yang dapat diberikan berdasarkan atas hasil penelitian.
9