BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah investasi sumber daya manusia jangka panjang yang mempunyai nilai strategis bagi kelangsungan peradaban manusia didunia. Oleh sebab itu, hampir semua negara menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang penting dan utama dalam konteks pembangunan bangsa dan negara. Begitu juga indonesia menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang penting dan utama. Persoalan tentang mutu pendidikan di Indonesia telah lama menjadi sorotan dari berbagai perspektif dan cara pandang. Salah satu sorotan terhadap rendahnya mutu pendidikan di Indonesia, sebagiannya dikaitkan dengan profesionalisme guru. Guru merupakan komponen yang paling menentukan dalam sistem pendidikan secara keseluruhan, yang harus mendapat perhatian sentral, pertama, dan utama. Figur yang satu ini akan senantiasa menjadi sorotan strategis ketika berbicara masalah pendidikan, karena guru selalu terkait dengan komponen manapun dalam sistem pendidikan. Guru memegang peran utama dalam pembangunan pendidikan, khususnya yang diselenggarakan secara formal disekolah. Guru juga sangat menentukan keberhasilan peserta didik, terutama dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar. Guru merupakan komponen yang paling berpengaruh terhadap terciptanya proses dan hasil pendidikan yang berkualitas. Oleh karena itu, upaya perbaikan apapun yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak akan memberikan sumbangan yang signifikan tanpa didukung oleh guru yang profesional dan berkualitas. Dengan kata lain, perbaikan kualitas pendidikan harus berpangkal dari guru dan berujung pada guru pula (Mulyasa, 2007). 1
2
Berdasarkan amanat Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) dan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan bahwa guru adalah sebuah pekerjaan profesional, maka usaha untuk menjadikan guru sebagai suatu pekerjaan profesional semakin intensif dilakukan. Langkah awal yang telah dibuat adalah melakukan sertifikasi kepada guru-guru dalam jabatan sebagai suatu bentuk pengakuan terhadap status profesionalisme mereka. Melalui program sertifikasi diharapkan guru dapat meningkatkan mutu profesionalismenya melalui peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran, serta peningkatan kinerja dan mutu pendidikan secara nasional. Namun demikian, keluhan tentang sertifikasi guru sudah mulai bermunculan. Secara nasional tidak terlihat peningkatan yang berarti dalam hasil belajar dan mutu pendidikan secara umum. Indikator sederhana dapat dilihat dari perolehan hasil belajar secara nasional lewat UN (Payong, 2011). Adapun kelulusan jenjang SMP/MTs di Kabupaten Boyolali kondisi ideal kelulusan siswa adalah diatas 95% namun kenyataannya di Kabupaten Boyolali masih terdapat angka kelulusan dibawah 95%. Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Boyolali, Dradjatno mengatakan jumlah siswa tidak lulus UN SMP/Mts tahun 2012 di Boyolali sebanyak 56 orang siswa yang tidak lulus berasal dari SMPN sebanyak 14 siswa, SMP swasta 14 siswa, SMP Terbuka sebanyak 11 siswa, MTs N sebanyak 16 siswa dan MTs swasta sebanyak 1 siswa (www.disdikpporaboyolali.com). Mutu guru di Indonesia juga dapat dilihat dari kualifikasi dan juga kompetensi yang dimilikinya. Data terakhir menunjukkan bahwa kualifikasi guru di Indonesia sebagian besar masih berada dibawah kualifikasi S1/DIV. Menurut data dari dari Direktorat Profesi Pendidikan Dijten PMPTK 2009, guru Indonesia yang belum memiliki kualifikasi akademik minimal S1/DIV masih cukup besar yakni 1.496.721 guru atau sekitar 57,4% dari total guru diseluruh jenjang. Yang lebih memprihatinkan
3
adalah tingkat penguasaan materi atau bahan ajar pada guru masih rendah. Hasil tes terhadap calon guru PNS yang dibuat oleh Puspendik Balitbang Depdiknas 2004 menunjukkan kenyataan yang kurang menggembirakan, dimana tingkat kemampuan umum dan kemampuan penguasaan bidang studi pada sebagian besar guru masih rendah (Payong. 2011). Adapun dari sebaran jenjang pendidikan guru di jajaran Dinas Dikpora Boyolali terdapat 7.475 atau sekitar 55% guru dari semua jenjang yang belum memenuhi kualifikasi minimal S1/D4 dan 45% lainnya telah memenuhi kualifikasi S1/D4 atau lebih. Presentase guru yang belum memenuhi kualifikasi S1/D4 untuk setiap jenjang berturut-turut adalah 90% atau 1.018 guru untuk TK/RA, 79% atau 5.371 guru untuk SD/MI, 27% atau 879 guru untuk SMP/MTs dan 9% atau 207 guru untuk SMA/MA/SMK (www.disdikporaboyolali.com) Menurut Baedowi (dalam Pahyong, 2011) kompetensi guru yang lulus sertifikasi tidak banyak mengalami peningkatan, malah ada kecenderungan mengalami penurunan. Sebagian guru yang telah lulus sertifikasi sering tidak masuk mengajar, karena merasa sudah memiliki sertifikat dan akan mendapatkan tunjangan profesi secara otomatis. Berdasarkan pendapat tersebut tugas guru memang berat, guru dituntut untuk mempunyai kemampuan dengan menggunakan pendekatan yang efisien dalam menyelesaikan kesulitan-kesulitan belajar siswa. Tugas ini tidak mudah dilaksanakan oleh seorang guru. Menurut Nurkholis (Astutiningsih, 2011) reformasi pendidikan di Indonesia berjalan sangat lambat. Salah satu faktor penyebabnya adalah guru. Banyak guru tidak suka perubahan. Guru yang kurang mampu menyikapi perubahan menunjukkan sikap profesional yang rendah.
4
Mohammad ali (Kunandar, 2007) suatu pekerjaan profesional memerlukan persyaratan khusus, yakni (1) menuntut adanya ketrampilan berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam; (2) menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya; (3) menuntut adanya tingkat pendidikan yang memadai; (4) adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakannya; (5) memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan. Ciri profesi menurut Chandler (Sagala, 2009) adalah: (1) lebih meningkatkan layanan kemanusiaan melebihi dari kepentingan pribadi; (2) masyarakat mengakui bahwa profesi itu punya status yang tinggi; (3) praktek profesi itu didasarkan suatu penguasaan pengetahuan yang khusus; (4) profesi itu ditantang untuk memiliki keaktifan intelektual; dan (5) hak untuk memiliki standar kualifikasi profesional ditetapkan dan dijamin oleh kelompok organisasi profesi. Faktor yang meyebabkan rendahnya profesionalisme guru antara lain disebabkan oleh: (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh sebagian guru yang bekerja diluar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga tidak memiliki kesempatan untuk meningkatkan diri, baik membaca, menulis, apalagi membuka internet; (2) kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta yang mencetak guru asal jadi, atau setengah jadi, tanpa memperhitungkan outputnya kelak dilapangan, sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesinya; (3) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi (Sagala, 2009). Dengan adanya profesionalisme guru yang rendah maka perlu adanya peningkatan kemampuan profesional guru. Dalam rangka peningkatan kemampuan
5
profesional guru, perlu dilakukan sertifikasi dan uji kompetensi secara berkala dan disertai dengan pengawasan agar kinerjanya terus meningkat dan tetap memenuhi syarat profesional. Dimasa depan, profil kelayakan guru akan ditekankan pada aspek-aspek kemampuan membelajarkan siswa, dimulai dari menganalisis, merencanakan atau merancang, mengembangkan, mengimplementasikan, dan menilai pembelajaran yang berbasis pada penerapan teknologi pendidikan. Untuk kepentingan tersebut diperlukan suatu kebijakan pendidikan dalam rangka mengembangkan kompetensi guru menuju pada keprofesionalan, serta pedoman kebijakan teknis yang dapat membantu bidang pendidikan yang berisi panduan untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru untuk dapat dilaksanakan disetiap wilayah provinsi diseluruh Indonesia (Mulyasa, 2007). Untuk menjadi guru yang memiliki kompetensi, maka diharuskan memiliki kemampuan untuk mengembangkan kompetensi yang ada pada dirinya, yaitu (1)kompetensi pribadi adalah sikap probadi guru berjiwa pancasila yang mengutamakan budaya bangsa indonesia, yang rela berkorban bagi kelestarian bangsa dan negaranya; (2) kompetensi profesional adalah kemampuan dalam penguasaan akademik (mata pelajaran/bidang studi) yang diajarkan dan terpadu dengan kemampuan mengajarnya sekaligus sehinggaguru itu memiliki wibawa akademis; (3)kompetensi sosial adalah kemampuan yang berhubungan dengan bentuk partisipasi sosial seorang guru dalalm kehidupan sehari-hari ditempat bekerja, baik formal maupun informal (Kunandar, 2007) Sikap profesional yang dimiliki seseorang dalam bidang kerja dipengaruhi oleh diri pribadi individu yang meliputi; pendidikan, motivasi, kepuasan kerja, komitmen, dan etos kerja (Mulyasa, 2007). Callahan dan Clark (Mulyasa, 2002) mengemukakan bahwa motivasi adalah tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah tujuan tertentu. Mengacu pada pendapat tersebut, dapat
6
dikemukakan bahwa motivasi merupakan suatu bagian yang sangat penting dalam suatu lembaga. Para pegawai akan bekerja dengan sungguh-sungguh apabila memiliki motivasi yang tinggi. Apabila para pegawai memiliki motivasi yang positif, ia akan memperlihatkan minat, mempunyai perhatian, dan ingin ikut serta dalam suatu tugas atau kegiatan. Dengan kata lain, seorang pegawai akan melakukan semua pekerjaannya dengan baik apabila ada faktor pendorong (motivasi). Maslow (Mulyasa, 2002) mengemukakan bahwa motivasi adalah tenaga pendorong dari dalam yang menyebabkan manusia berbuat sesuatu atau berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Uno (2007) terdapat tiga unsur yang merupakan kunci dari motivasi, yaitu (1) upaya, dalam hal ini apabila seseorang termotivasi dalam melakukan tugasnya ia mencoba sekuat tenaga, agar upaya yang tinggi tersebut menghasilkan kinerja yang tinggi pula; (2) tujuan organisasi, makin jelas perumusan organisasi, maka makin mudah setiap personal untuk memahaminya; dan (3) kebutuhan, suatu kebutuhan yang tidak terpuaskan menciptakan keinginan yang merangsang dorongan-dorongan dalam diri individu untuk mencapainya. Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa guru sebagai tenaga pendidik kemampuan profesionalnya perlu ditingkatkan, karena tingkat penguasaan materi dan bahan ajar guru yang masih rendah, kemampuan umum dan kemampuan penguasaan bidang studi yang masih rendah. Atas dasar uraian tersebut, maka timbul pertanyaan penelitian, yaitu “Apakah ada hubungan antara motivasi kerja dengan profesionalisme guru?” Dengan demikian maka peneliti akan melakukan penelitian di SMP Negeri Kabupaten Boyolali.
7
B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini, yaitu : 1. Mengetahui hubungan antara motivasi kerja dengan profesionalisme guru 2. Untuk mengetahui sumbangan efektif motivasi kerja terhadap profesionalisme guru. 3. Mengetahui tingkat profesionalisme pada guru. 4. Mengetahui tingkat motivasi kerja pada guru.
C. Manfaat Penelitian 1.
Bagi kepala sekolah Bagi kepala sekolah, diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang hubungan antara motivasi kerja dengan profesional guru sehingga dapat membantu meningkatkan motivasi kerja dalam mencapai profesional guru.
2.
Bagi guru Bagi subjek penelitian yang bersangkutan diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang hubungan antara motivasi kerja dengan profesional guru.
3.
Bagi peneliti selanjutnya Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dan menambah wacana pemikiran untuk mengembangkan, memperdalam, dan memperkaya khasanah teoritis dengan penelitian yang sama.