BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian Pengembangan turunan asam salisilat dilakukan karena asam
salisilat populer di masyarakat namun memiliki efek samping yang berbahaya. Dalam penggunaannya, turunan asam salisilat ini sering menimbulkan iritasi lambung akut yang berhubungan dengan sifat asam dari gugus karboksilatnya dan juga iritasi kronik karena adanya penghambatan pembentukan prostaglandin E1 dan E2 sebagai senyawa yang berperan dalam meningkatkan vasodilatasi mukosa lambung. Hal inilah yang menyebabkan sekresi asam lambung meningkat serta vasokonstriksi mukosa lambung, sehingga terjadi nekrosis iskemik dan kerusakan mukosa lambung (Purwanto dan Susilowati, 2000). Purwanto dan Susilowati (2000) menjelaskan lebih lanjut bahwa turunan asam salisilat dapat dimodifikasi strukturnya dengan tujuan untuk meningkatkan aktivitas analgesik dan menurunkan efek sampingnya yaitu iritasi lambung. Salah satu turunan asam salisilat yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah asam asetilsalisilat atau asetosal. Asam asetilsalisilat paling efektif untuk mengurangi nyeri dari intensitas ringan sampai sedang, mengurangi serangan iskemik sesaat, angina yang tidak stabil (Furst and Munster, 2002). Selain itu dapat digunakan untuk menghambat sintesis tromboksan A2 (TXA2) dalam trombosit dan prostasiklin (PGI2) yang terjadi dalam pembuluh darah melalui mekanisme penghambatan secara ireversibel enzim siklo-oksigenase yang bertujuan untuk mengurangi agregasi trombosit (Rosmiati dan Gan, 1997). Selain itu asam asetilsalisilat memberikan efek dalam mencegah trombus koroner dan 1
trombus vena melalui efek penghambatan agregasi trombosit (Wilmana, 1997). Bagi pasien yang menderita infark miokar akut, asam asetilsalisilat berkhasiat untuk mencegah kambuhnya miokard infark yang fatal maupun yang tidak fatal. Penggunaan asam asetilsalisilat dalam waktu panjang juga dapat mengurangi stroke akibat gangguan pembuluh darah. Efek samping yang sering dialami adalah rasa tidak enak dalam perut, mual, serta pendarahan pada saluran cerna yang dapat dihindari dengan pemberian asam asetilsalisilat perhari tidak melebihi dosis 325 mg. Pada beberapa kasus, penggunaan asam asetilsalisilat dikombinasi dengan antasid atau antagonis H2 untuk mengurangi efek tersebut. Namun apabila diberikan bersamaan dengan antikoagulan oral maupun heparin dapat meningkatkan resiko pendarahan (Rosmiati dan Gan, 1997). Kelebihan lain dari asam asetilsalisilat yaitu, asam asetilsalisilat belum dapat digantikan dengan obat AINS yang lain dalam pengobatan demam reumatik dan masih digunakan sebagai standart perbandingan penyakit artritis reumatoid. Untuk saat ini pemberian asam asetilsalisilat dosis kecil dapat digunakan untuk profilaksis trombosis koroner dan serebral (Wilmana, 1997). Efek samping yang paling berbahaya dan sering dirasakan dalam penggunaan asam asetilsalisilat adalah timbulnya gangguan lambung yang tidak dapat ditoleransi walaupun pada tingkat dosis yang biasa. Pendarahan saluran cerna / gastrointestinal bagian atas biasanya berhubungan dengan gastritis erosif, meningkatnya kehilangan darah melalui feses sebanyak 3 ml dan lebih parah pada penggunaan dosis yang lebih tinggi. Selain itu dapat mengalami
salicylism,
muntah-muntah,
tinitus,
pendengaran
yang
berkurang dengan dosis yang lebih tinggi dan vertigo yang reversibel saat pengurangan dosis. Dosis asam asetilsalisilat yang lebih tinggi lagi menyebabkan hiperpnea pada medula oblongata melalui efek langsung 2
(Furst and Munster, 2002). Selain itu menyebabkan alergi pada pasien yang menderita penyakit asma, urtikaria kronis, atau rhinitis kronis, juga bersifat hepatotoksik bagi pasien juvenile idiopathic arthritis atau pasien dengan gangguan jaringan lainnya. Untuk penggunaan pada anak-anak usia di atas 12 tahun yang terkena flu atau cacar air memiliki resiko terjadi sindrom Reye (Sweetman, 2009). Di sisi lain, salisilat memiliki efek pada hati dan ginjal karena bersifat hepatotoksik yang berhubungan dengan dosis. Gejalanya berupa kenaikan SGOT dan SGPT. Telah dilaporkan adanya hepatomegalia, anoreksia, mual serta ikterus pada beberapa orang. Oleh sebab itu pemberian asam asetilsalisilat harus dihentikan bila telah mengalami ikterus yang dapat menyebabkan nekrosis hati yang fatal. Hal ini menyebabkan pemberian asam asetilsalisilat dilarang pada penderita penyakit hati kronik (Wilmana, 1997). Martak dkk. (2009), melakukan sintesis senyawa asam 2-(4(klorometil)benzoiloksi)benzoat dengan mereaksikan asam salisilat dan 4(klorometil)benzoil klorida melalui reaksi asilasi Schotten-Baumann. Setelah dilakukan uji aktivitas analgesik pada mencit, diperoleh harga ED50 senyawa
asam
2-(4-(klorometil)benzoiloksi)benzoat
sebesar
11,31
mg/kgBB, sedangkan harga ED50 senyawa asam asetilsalisilat sebesar 20,83 mg/kgBB.
Hal
ini
menunjukan
bahwa
senyawa
asam
2-(4-
(klorometil)benzoiloksi)benzoat memiliki aktivitas analgesik yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan senyawa asam asetilsalisilat. Selain itu dilakukan penelitian terdahulu yang bertujuan untuk melakukan pemodelan interaksi dari turunan asam benzoil salisilat melalui program Glide (lisensi Schrodinger),
di
mana
asam
2-(4-(klorometil)benzoiloksi)benzoat
menempati urutan ke-6 tertinggi dengan nilai GScore -8,79 yang cukup potensial berinteraksi dengan reseptor siklooksigenase-2 (Natalia dkk., 2013). 3
Untuk
mengetahui
toksisitas
senyawa
(klorometil)benzoiloksi)benzoat Soekardjo dkk.
asam
2-(4-
(2011) melakukan uji
toksisitas akut terhadap mencit dan memperoleh harga LD50 oral 2000 mg/kg BB. Berdasarkan kriteria Lomis (1978) mengenai potensi ketoksikan akut senyawa uji maka senyawa asam 2-(4-(klorometil)benzoiloksi)benzoat sedikit toksik karena masuk rentang antara 500-5000 mg/kgBB. Efek sterik mempengaruhi sifat toksik dari obat karena apabila suatu senyawa memiliki halangan ruang yang semakin kecil maka obat akan lebih mudah untuk berikatan dengan reseptor. Jika obat dan reseptor terikat dengan baik, menyebabkan fungsi eliminasi kurang baik sehingga dapat terjadi
efek
toksik.
Nilai
sterik
dari
senyawa
asam
2-(4-
(klorometil)benzoiloksi)benzoat lebih besar dari asam asetilsalisilat, sehingga senyawa asam 2-(4-(klorometil)benzoiloksi)benzoat lebih bersifat kurang toksik dibandingkan dengan asam asetilsalisilat (Dewi, 2012). Selain itu berdasarkan uji sitotoksik Brine Shrimp Lethality Test dengan larva udang Artemia salina Leach menunjukkan LC50 dari senyawa asam 2-(4-(klorometil)benzoiloksi)benzoat sebesar 332,53 ppm dan asam asetilsalisilat 255,60 ppm (Permatasari, 2011). LC50 digunakan sebagai penunjuk potensi ketoksikan suatu senyawa terhadap sel, di mana semakin besar harga LC50 maka senyawa tersebut semakin tidak toksik (Pamilih, 2009). Senyawa asam 2-(4-(klorometil)benzoiloksi)benzoat tidak toksik karena lebih besar dari 30µg/ml (Juniarti dkk., 2009). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui efek samping
pada
penggunaan
(klorometil)benzoiloksi)benzoat
jangka
panjang
menggunakan
senyawa hewan
asam
2-(4-
rodentia
yang
tingkatannya lebih tinggi yaitu tikus, dengan harapan dapat memperoleh data
toksisitas
subkronis
senyawa
asam
2-(4-
(klorometil)benzoiloksi)benzoat pada mikroskopis hepar dan makroskopis 4
lambung untuk lebih memperkuat hasil-hasil penelitian sebelumnya yang telah ada sebagai tahap lanjut dalam mengembangkan obat analgesik yang baru dengan efek terapi yang lebih baik dan tidak toksik bila dibandingkan dengan senyawa asam asetilsalisilat.
1.2 1.
Rumusan Masalah Apakah
pemberian
(klorometil)benzoiloksi)benzoat
senyawa lebih
asam tidak
toksik
2-(4terhadap
mikroskopis organ hepar pada tikus putih jantan bila dibandingkan dengan asam asetilsalisilat ? 2.
Apakah
pemberian
(klorometil)benzoiloksi)benzoat
senyawa lebih
asam tidak
toksik
2-(4terhadap
makroskopis mukosa lambung pada tikus putih jantan
bila
dibandingkan dengan asam asetilsalisilat?
1.3 1.
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui dan menentukan efek toksisitas senyawa asam 2-(4(klorometil)benzoiloksi)benzoat terhadap mikroskopis organ hepar pada tikus putih jantan.
2.
Untuk mengetahui dan menentukan efek toksisitas senyawa asam 2-(4(klorometil)benzoiloksi)benzoat
terhadap
makroskopis
mukosa
lambung pada tikus putih jantan.
1.4 1.
Hipotesis Penelitian Senyawa asam 2-(4-(klorometil)benzoiloksi)benzoat lebih tidak toksik terhadap mikroskopis organ hepar pada tikus putih jantan bila dibandingkan dengan asam asetilsalisilat .
5
2.
Senyawa asam 2-(4-(klorometil)benzoiloksi)benzoat lebih tidak toksik terhadap makroskopis mukosa lambung pada tikus putih jantan bila dibandingkan dengan asam asetilsalisilat.
1.5
Hipotesis Statistik
Hipotesis Nol H0 =
Tidak ada perbedaan bermakna pada efek nekrosis dari berbagai dosis senyawa asam 2-(4-klorometil)benzoiloksi)benzoat terhadap histopatologi organ hepar pada tikus jantan, bila dibandingkan dengan asam asetilsalisilat.
Hipotesis Alternatif Hi =
Ada perbedaan bermakna pada efek nekrosis dari berbagai dosis senyawa
asam
2-(4-(klorometil)benzoiloksi)benzoat
terhadap
histopatologi organ hepar pada tikus jantan, bila dibandingkan dengan asam asetilsalisilat.
1.6
Manfaat Penelitian Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
pelengkap
data
yang
berkaitan
dengan
senyawa
asam
2-(4-
(klorometil)benzoiloksi)benzoat yang telah diteliti oleh peneliti sebelumnya sehingga dari hasil penelitian ini dapat digunakan dalam pengembangan calon obat analgesik baru sebagai pengganti senyawa turunan asam asetilsalisilat dengan efek terapi yang lebih besar serta sedikit efek toksis dalam penggunaannya.
6