1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian Dunia kini memasuki peradaban ke empat, dengan sebutan era kreatif
yang menempatkan kreatifitas sebagai sumber daya utama. Perkiraan gelombang berikutnya setelah era kreatif adalah era bio yang menekankan pentingnya inovasi sumberdaya hayati baik untuk keperluan makan, kosmetik, kesehatan, energi, dan konservasi (Simatupang T., 2008). Alvin Toffler (1990) dalam Simatupang T., (2008), telah membagi tiga era perkembangan menurut waktu: (1) era pertanian, (2) era industri, (3) era informasi. Era yang ketiga yakni era informasi, telah membuka kesempatan baru dalam menghasilkan inovasi yang bersifat massal. Para konsumen dibanjiri produk
yang standar dengan harga
terjangkau. Dengan meningkatnya
kemakmuran, muncul kebutuhan baru untuk mencari kebermaknaan dan pengalaman ketika menggunakan atau mengkonsumsi barang/jasa. Pekerja desain kini menggantikan pekerja berpengetahuan untuk menghasilkan barang dan jasa yang sarat makna dan keunikan, disebut era kreatif. Perdagangan dan perputaran barang dan jasa kreatif memunculkan corak industri baru yang disebut industri kreatif. United Nation Conference On Trade And Development atau disingkat UNCTAD (2008), memberikan definisi industri kreatif sebagai industri yang: (1) mendaur kreasi, produksi dan distribusi barang dan jasa sebagai hasil dari modal intelektual dan kreativitas. (2) membentuk seperangkat kegiatan berbasis pengetahuan, difokuskan namun tidak dibatasi pada seni, yang berpotensi mencipatakan pendapatan sebagai hasil perdagangan dan hak kekayaan intelektual. (3) mengandung unsur produk kongkret dan pikiran abstrak yang berisikan kreativitas, nilai ekonomi, dan bisa dipasarkan. (4) persilangan antara seniman, jasa, dan sektor industri dan membangun satu sektor perdangan dunia yang dinamis.
2
Definisi yang dikeluarkan oleh Departemen Perdagangan Republik Indonesia tahun (2008), industri kreatif adalah industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Berdasarkan data dari Departemen Perdagangan industri kreatif sejak tahun 2006-2010, ditunjukan bahwa rata-rata pertumbuhan output selama 5 tahun mencapai 3,10%. Pada tahun 2008 pertumbuhan output sempat menurun, diduga akibat krisis global yang turut berimbas terhadap perekonomian nasional sehingga berdampak pula terhadap industri kreatif, kemudian pada tahun selanjutnya output dapat tumbuh kembali. Kemudian berdasarkan rata-rata kontribusi ekonomi secara nasional, industri kreatif berperan cukup besar yaitu 7,28% hasil ini lebih besar dari kontribusi yang disumbangkan sektor Keungan, Real Estate dan Jasa Perusahaan (6,53%), Pengangkutan dan Komunikasi (6,58%) dan Listrik, Gas dan Air Bersih (0,85%). Dalam penyerapan tenaga kerja, industri kreatif rata-rata menyerap 7,75 juta tenaga kerja dari 108 juta jumlah rata-rata tenaga kerja nasional. Kemudian, menciptakan lapangan usaha rata-rata sebesar 3 juta perusahaan dari 47 juta jumlah yang ada secara nasional (http://news.indonesiakreatif.net/peran-ekonomikreatif-secara-nasional, diakses 2013).
3
GAMBAR 1.1 PERTUMBUHAN DAN KONTRIBUSI INDUSTRI KREATIF DI INDONESIA (2006-2010)
(Sumber: Studi Kreatif Indonesia, 2011)
Selain itu, perananan dalam Perdagangan Internasional mencatat pendapatan bersih sebesar 97,3 milyar rupiah, dimana ekspor sebesar 108,5 milyar lebih tinggi dibanding impor sebesar 11,2 milyar. Rata-rata perbandingan nilai ekspor terhadap nilai impornya mencapai 10 kali lipat, kontribusi ekspor pun cukup tinggi sebesar 9,12% terhadap ekspor nasional sedangkan impor hanya 1,22% terhadap impor nasional, hasil ini menunjukkan industri kreatif memiliki peranan dalam meningkatkan pendapatan dalam negeri. Hasil pemetaan terhadap lapangan usaha ekonomi kreatif menunjukkan bahwa terdapat 14 subsektor yang termasuk dalam industri kreatif, yaitu (1)Periklanan, (2)Arsitektur, (3)Pasar Barang Seni, (4)Kerajinan, (5)Desain, (6)Fesyen, (7)Film-Video-Fotografi, (8)Permainan Interaktif, (9)Musik, (10)Seni Pertunjukan, (11)Penerbitan dan Percetakan, (12)Layanan Komputer dan Piranti Lunak, (13)Radio-Televisi, serta (14)Riset dan Pengembangan. Cakupan kelompok industri kreatif yang sudah diidentifikasi ini hanyalah merupakan studi awal yang perlu dilanjutkan dengan studi pemetaan yang lebih komprehensif yang
4
nantinya dapat memberikan gambaran umum mengenai dampak atau kontribusi dari industri kreatif ini.
GAMBAR 1.2 RATA-RATA KONTRIBUSI SUBSEKTOR KREATIF TERHADAP INDUSTRI KREATIF (2006-2010)
(Sumber: Studi Kreatif Indonesia, 2011)
Berdasarkan gambar terlihat bahwa kontribusi dari subsektor ekonomi kreatif didominasi oleh Fesyen sebesar 43,02% dan kerajinan sebesar 25,12% diikuti dengan Periklanan (7,18%), Musik (5,30%) dan Penerbitan Dan Percetakan (4,86%). Peranan ekonomi kreatif dapat ditingkatkan dari pencapaian sebelumnya dengan melihat peluang-peluang yang dimiliki oleh industri kreatif, yaitu: perubahan perilaku pasar dan konsumen, tumbuhnya era produksi non massal dimana konsumen sangat antusias membeli barang-barang yang unik, daur hidup produk (product cycle) semakin singkat sehingga bila menyimpan stok terlalu banyak kemungkinan tidak terserap pasar. Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB bekerja sama dengan Disperindag Jabar melakukan pemetaan cepat (rapid mapping) berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BPS (2007). Tidak semua sektor dapat dipetakan tetapi data yang diolah sudah bisa memberikan indikasi pentingnya industri kreatif bagi perekonomian Jawa Barat. PDRB Jawa Barat pada tahun 2005 mencapi Rp
5
257,533 milyar, merupakan penyumbang 14-15 persen dari total PDB nasional. Pada tahun 2005 industri kreatif Jawa Barat telah menyerap tenaga kerja sekitar 2,54% dari jumlah total tenaga kerja atau sekitar 392.636 orang dan menyumbang 7,82% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau sekitar Rp 20 triliun. Nilai rata-rata persentase penyerapan tenaga kerja persektor industri kreatif terhadap total nilai penyerapan tenaga kerja oleh industri kreatif mayoritas diserap oleh industri fesyen yaitu sekitar 59% pada tahun 2001 sampai 2005. Sektor industri kreatif lainnya yang menyerap tenaga kerja dengan jumlah yang banyak yaitu industri kerajinan menyerap tenaga kerja sebanyak 29%. Sedangkan industri radio dan televisi serta industri penerbitan, percetakan dan media rekaman menyerap tenaga kerja masing-masing 11% dan 1%. Rata-rata nilai tambah dari industri kreatif terhadap PDRB dari tahun 2001 sampai tahun 2005 adalah 8% dan pertumbuhannya pada tahun 2004-2005 adalah sekitar 4,55%. Kota sebagi basis daya saing dalam bidang industri seperti yang dikemukakan oleh Richard Florida (2002) dalam Simatupang, T., et.al (2008), bahwa daya saing wilayah dipengaruhi oleh daya tarik wilayah tersebut dan juga pengaruh dari campur tangan pemerintah lokal. Sedangkan menurut Porter, daya saing suatu wilayah seperti kota atau provinsi sangat bergantung pada kapasitas masyarakatnya untuk berinovasi dan melakukan pembaharuan terus menerus, dan untuk ini sumber daya manusia merupakan salah satu faktor yang penting. Suatu wilayah mencapai keunggulan daya saing melalui tindakan inovasi yang dapat dilakukan dengan menciptakan suatu rancangan produk baru dan berusaha untuk meningkatkan sumber daya manusia yang ada. Oleh karena itu tanpa perencanaan, industri kreatif tidak dapat bertahan karena talenta akan dan dapat terjadi eksploitasi yang tidak adil terhadap penemu kreativitas, seperti seniman, artis dan lain-lain (Simatupang, T., et.al, 2008). Hasil penelitian British Council, (dalam Simatupang, T., et.al, 2008) menemukan bahwa pengembangan industri kreatif di berbagai wilayah Indonesia memiliki peluang yang sama, karena tiap daerah di Indonesia memiliki keanekargaman seni, budaya dan warisan budaya. Tetapi tidak semua daerah dapat mengubah keanekaragaman tersebut menjadi industri yang dapat membuka
6
lapangan kerja, melakukan ekspor karya kreatif, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Industri kreatif di Bandung berkembang relatif pesat dibandingkan dengan kota-kota lain, khususnya produk fesyen. Kreativitas produk fesyen yang dipasarkan mampu sejajar dengan merek dari luar negeri. Bandung memiliki semua syarat untuk mengembangkan industri kreatif, baik dari sumber daya manusia maupun keragaman budayanya. Bandung yang sering disebut Paris van Java ini memiliki banyak potensi sebagai pusat mode sekaligus pusat industri fesyen karena memiliki berbagai macam fasilitas pusat perbelanjaan baik besar maupun kecil yang menyediakan berbagai macam busana yang dapat menjadi trend fashion terbaru, adanya beberapa industri garmen dan tekstil yang mendukung perkembangan mode di Bandung, ditambah banyaknya fasilitas pendidikan yang tersedia di Bandung menjadikan Bandung sebagai tempat berkumpulnya para pelajar dan mahasiswa dari golongan muda sebagai tokoh utama perkembangan trend mode. Selanjutnya definisi dari industri fesyen sendiri yang di kutip dari Studi Kreatif Indonesia (2008), adalah kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain pakaian, desain alas kaki, dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan aksesorisnya, konsultansi lini produk fesyen, serta distribusi produk fesyen. Subsektor industri fesyen terdiri dari perusahaan-perusahaan produsen fesyen (fashion company) dan perusahaan jasa perdagangan produk fesyen (channel distribution). Produsen produk fesyen memiliki model bisnis mass production, distro (distribution store/outlet), ready to wear deluxe dan adi busana/deluxe. Dari ke empat model bisnis tersebut Bandung merupakan pusat model bisnis distro di Indonesia. Distro merupakan model bisnis yang unik boleh dikatakan, persaingan justru terjadi antar pelaku domestik. Distro menawarkan produk bundling satu paket yang disebut lifestyle (pakaian, celana, sepatu, tas, topi sampai kepada musik) disesuaikan dengan gaya hidup komunitas yang disasar. Eksklusifitas yang di tawarkan serta volume yang kecil, membuat bisnis ini sesuai untuk entrepreneur domestik, lebih spesifik di Bandung. Infrastruktur industri fesyen yang lengkap di Bandung memungkinkan model bisnis ini
7
berproduksi di level eksklusif dengan harga terjangkau (Studi Kreatif Indonesia, 2008). Idustri distro/clothing berawal dari tahun 1994 dimana pada saat itu produk yang dijual hanya produk-produk yang berasal dari luar negeri. Kemudian antara tahun 1996 sampai dengan 1998 mulai tumbuh industri clothing yang menjual produk-produk buatan sendiri. Distro/clothing lahir dari idealisme sebagian kaum muda yang ingin mendobrak kemapanan. Mereka merasa apa yang mereka inginkan dan apa yang mereka butuhkan tidak tersedia di tempattempat yang telah ada sebelumnya. Lalu dengan kreativitas yang mereka miliki, mereka membuat sesuatu yang baru, yang berbeda dengan yang telah ada sebelumnya. Hasil dari kreativitas sebagian anak muda tersebut ternyata mendapat sambutan positif dari anak muda lainnya yang sama-sama menginginkan sesuatu yang lain daripada yang lain. Idealisme, kreativitas, dan dukungan seperti inilah yang membuat bisnis distro bisa terus eksis, tumbuh, dan terus berkembang. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan Ade Andriansyah selaku Ketua KICK (Kreative Independent Clothing Kommunity). KICK adalah forum bisnis dari para pengusaha clothing lokal dan distro yang dibentuk pada September 2006, demi meningkatkan dan mengeratkan komunikasi serta koordinasi untuk memajukan usahanya meliputi wilayah legal, business development, marketing campaign dan event. Sampai saat ini jumlah clothing dan distro mencapai 1.000, yang tersebar di 94 kota di seluruh Indonesia. Namun hanya 160 anggota; 60 anggota tetap dan 100 anggota terdaftar yang tersebar di 7 Kota : Bandung (Pusat), Jakarta, Yogyakarta, Makassar, Lampung, Surabaya dan Malang. Hingga kini perkembangan industri distro/clothing khususnya di Kota Bandung tumbuh secara sporadis. Belum di ketahui pasti jumlahnya dan menurut perkiraan kurang lebih ada sekitar 400 distro/clothing itu pun tidak di ketahui juga apakah ada yang masih bertahan atau tidak (Andriansyah, 2013). Selanjutnya mengutip hasil wawancara dari penelitian Achwan, R., (2012), usaha distro/clothing adalah usaha yang mudah dimasuki oleh siapa saja. Dari mereka yang tidak memiliki ketrampilan hingga mereka yang memiliki keterampilan yang tinggi dan modal besar. Itulah sebabnya kompetisi antar pelaku
8
di bidang usaha ini sangat keras dan dapat menganggu perkembangan usaha. Tahun 2009 banyak distro/clothing berguguran. Karena mereka bukan pebisnis. Tidak punya pemahaman dan pengalaman mengelola bisnis. Hanya suka mengerjakan, kemudian trial and error. Suasana saat ini sedemikian rupa mendorong orang gampang terjun berbisnis. Tidak jarang splitting diantara owners yang berbeda paham tentang arah bisnis ke depan di tengah tantangan yang keras. Misalnya apakah bersedia “menyimpang” dari garis sebelumnya untuk dapat langgeng dan bertahan/survive. Karena banyaknya kompetitor dalam usaha distro/clothing, perusahaan atau organisasi dituntut memiliki kompetensi yang mampu menghasilkan sustainable competitive advantage (keunggulan kompetitif/bersaing). Menurut Massie dalam (Kaswan, 2013:2), salah satu faktor kunci untuk menghasilkan sustainable competitive advantage adalah tersedianya intellectual human capital kompetitif yang memiliki sifat kreatif, inovatif, fleksibel dan entrepreneurship. Peter Drucker dalam (Kaswan, 2013:3), mengemukakan bahwa menghadapi lingkungan bisnis dan teknologi canggih, yang mengalami perubahan demikian cepat, satun-satunya yang diandalkan adalah memilki suistanable competitive advantage. Menurut Bernardin dan Russell dalam (Kaswan, 2013:3), competitive advantage berarti kemampuan sebuah organisasi memformulasikan strategistrategi untuk mengeksploitasi kesempatan yang memungkinkan, dengan demikian memaksimalkan pengembalian pada investasi. Menurut mereka ada dua prinsip utama yang menjadi competitive advantage adalah customer value (nilai pelanggan) dan keunikan. Menurut wawancara dengan Ade Adriansyah ketua (KICK), industri distro/clothing tak hanya berbicara mengenai bisnis tapi juga menjual gaya hidup, distribusi, band independen, tempat nongkrong, komunitas dan menjual attitude. Bagi beberapa komunitas anak muda di Bandung, musik dan fesyen bukan lagi hanya sekedar trend. Musik dan fesyen dapat juga dilihat sebagai bentuk ekspresi kemandirian yang mampu mengakomodasi berbagai aspirasi personal yang mereka miliki. Musik dan fesyen dapat dilihat sebagai instrument yang mampu
9
menjelaskan berbagai pandangan dan perbedaan yang menyertai keberadaan komunitas-komunitas ini. Dari situlah nilai pelanggan dan keunikan yang tampil di industri distro/clothing. Lebih dalam lagi menurut beberapa pelaku usaha distro/clothing, rata-rata yang mengunjungi distro/clothing itu orang-orang yang mempunyai kebutuhan spesifik yang berbeda dengan kebutuhan orang kebanyakan. Karena itu mereka mencari sesuatu yang lain, yang sulit ditemukan di wilayah-wilayah yang lebih mapan. Kebanyakan anak muda memang memiliki kebiasaan untuk selalu mencari pengalaman yang baru dan berbeda. Pentingnya inovasi menjadi kunci untuk mampu survive dan langgeng, berinovasi dengan frekuensi yang lebih cepat dan dengan continous improvement, demikian untuk inovasi fesyen. Pada dasarnya setiap pemimpin luar biasa harus memiliki kemampuan untuk membangun kepercayaan. Usaha yang sukses membutuhkan pelaku yang kompeten (Wei-Wen Wu, 2009). Saat ini pendekatan kompetensi menjadi berarti semakin populer untuk memahami keberhasilan wirausaha hal ini termasuk bagaimana seorang wirausaha bisa berhasil mulai dari mereka
memulai
pemasaran/penjualan,
bisnis,
perencaan
periklanan
dan
dan promosi
pembiayaan, penjualan,
manajemen, merchandising,
pembiayaan akuntansi, hubungan personil, pembelian, produksi, fasilitas dan peralatan, dan risiko pengendalian (Kusumastuti, 2013). Konsep kompetensi tampak menjadi kebutuhan mutlak yang tidak bisa ditawar lagi bagi kehidupan usaha. Dari berbagai penelitian disimpulkan bahwa kompetensi dinilai sangat penting oleh para eksekutif, manajer, dan pegawai yang memiliki performansi tinggi di organisasi. Berikut beberapa contoh jenis kompetensi yang berdasarkan studi ditemukan sangat penting untuk para eksekutif: berfikir strategis; kepemimpinan untuk suatu perubahan; manajemen hubungan/jaringan kerja. Selajutnya menurut penelitian terdahulu Man, T.W.Y. (2001), yang meneliti tentang wirausaha yang memiliki kompetensi yaitu pengusaha dengan karakteristik seperti memiliki kepribadian, keterampilan, dan pengetahuan yang selanjutnya dapat digunakan sebagai kemampuan total pengusaha untuk berhasil. Selain itu hasil penelitian Kiggundy (2002), mengemukakan bahwa kompetensi
10
kewirausahaan adalah jumlah total yang diperlukan pengusaha sebagai atribut untuk
sukses
dan
berkelanjutan
(sustainable),
atribut
kompetensi
tersebut,termasuk sikap, nilai-nilai, keyakinan, pengetahuan, keterampilan, kemampuan, kebijaksanaan, kepribadian, keahlian (sosial, teknis, manajerial), pola pikir dan perilaku. Dalam penelitan Onstenk J., (2003), yang berjudul “Entreprenuership and Vocational Education” menyajikan konsep tiga lapis kompetensi kewirausahaan, dan mencatat bahwa kompetensi kewirausahaan yang tepat sangat membantu ketika memulai suatu bisnis perusahaan dan untuk membantu bertahan (survive) atau berkembang (grow), lanjut lagi, kompetensi kewirausahaan adalah kemampuan terpadu untuk melakukan kegiatan kewirausahaan secara efektif, terutama terdiri dari: kemampuan untuk mengenali dan menganalisa peluang pasar, kemampuan untuk berkomunikasi, membujuk dan mendiskusikan dengan semua pemangku kepentingan
(stakeholder) di lingkungan bisnis, dan
kemampuan untuk membangun jaringan yang menghubungkan dengan orangorang bisnis dan pemangku kepentingan untuk saling belajar dan melakukan kolaborasi. Penelitian yang di lakukan oleh Inyang & Enuoh (2009) yang berjudul Entrepreneurial Competencies: The Missing Links to Successful Entrepreneurship in Nigeria, menemukan bahwa ada tingginya tingkat kegagalan wirausaha di kalangan responden mereka meskipun adanya berbagai dukungan dari pemerintah. Untuk mencari hubungan bagaimana wirausaha yang sukses telah diidentifikasi sebagai
kompetensi
kewirausahaan.
Didefinisikan
sebagai
sekelompok
pengetahuan yang terkait dengan, sikap, dan keterampilan yang harus dimiliki seorang pengusaha untuk memungkinkan dia menghasilkan kinerja yang luar biasa dan memaksimalkan keuntungan dalam bisnis. Kompetensi kewirausahaan adalah
faktor
penentu
keberhasilan
berwirausaha,
dan
layak
menjadi
pertimbangan serius dalam wacana kewirausahaan dan tidak untuk diabaikan. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Kochadai, M., (2011), menyajikan hasil pemetaan kompetensi di antara 100 pengusaha di India yang diambil dari perusahaan skala kecil dan menengah telah menekankan 22
11
kompetensi, diidentifikasi dari Inventarisasi Wirausaha Kompetensi, dengan perbedaan kinerja di sektor jasa dan manufaktur. Lebih lanjut menegaskan bahwa dalam lingkungan yang kompetitif saat ini, organisasi tidak memiliki pilihan kecuali untuk menjadi lebih berbasis pada teknologi, berfokus pada pelanggan, berpusat pada kualitas, penghematan biaya, serta sistem manajerial yang efektif. Salah satu jalur untuk naik dan keluar badai persaingan adalah melalui semangat kewirausahaan yang tersembunyi yaitu kompetensi wirausaha. Beberapa studi telah mencatat pentingnya memahami peran kerja individu dalam mengeksplorasi kompetensi yang terkait dengan masing-masing peran (Spencer dan Spencer, 1993). Dalam pandangan ini, diyakini bahwa dengan memahami peran pengusaha yang lebih baik ke dalam kompetensi yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup bisnis dan sukses dalam peran bisnisnya. Beberapa penelitian telah mencapai kesepakatan tentang fakta bahwa pengusaha menganggap tugas-tugas kompleks dan menantang yang mengharuskan mereka untuk terlibat dalam beberapa peran yang berbeda. Peran paling penting yang dimainkan oleh pengusaha yaitu peran kewirausahaan, peran manajerial dan peran fungsional (Ahmad, Halim, dan Zainal, 2010). Inti dari kewirausahaan adalah kemampuan untuk membayangkan dan merencanakan jalan usaha bisnis yang baru dengan menggabungkan informasi dari disiplin fungsional dan dari lingkungan eksternal dalam konteks ketidakpastian dan ambiguitas yang luar biasa dalam menghadapi usaha, khususnya industri fesyen. Hal ini memanifestasikan dirinya dalam strategi kreatif, taktik yang inovatif, dan perubahan suasana hati pasar, kepemimpinan berani ketika jalan ke depan tidak jelas dan sebagainya. Berdasarkan fenomena diatas, pengusaha harus melengkapi diri dengan kompetensi yang memungkinkan mereka untuk bekerja efektif dalam bisnis mereka, yang selanjutnya dapat memberikan kinerja yang unggul dan juga dapat memberikan berbedaan antara wirausaha yang berkinerja unggul dengan wiruausaha yang berkinerja rata-rata. Maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Identifikasi Profil Kompetensi Wirausaha
12
Yang Berkinerja Unggul (Studi Kasus pada Industri Fesyen: Distro/Clothing di Kota Bandung).
1.2
Rumusan Masalah Penelitian ini dilakukan adalah untuk mengindetifikasi profil kompetensi
wirausaha industri fesyen yang berkinerja unggul di Kota Bandung secara keseluruhan. Berdasarkan hal tersebut maka rumusan penelitian secara jelas dirumuskan sebagai berikut: 1. Seberapa baik profil kompetensi wirausaha industri fesyen: distro/clothing yang berkinerja unggul di Kota Bandung? 2. Adakah perbedaan kompetensi wirausaha industri fesyen: distro/clothing secara signifikan antara yang berkinerja unggul dan yang berkinerja ratarata?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengidentifikasi seberapa baik kompetensi wirausaha industri fesyen: distro/clothing yang berkinerja unggul di Kota Bandung. 2. Untuk mengidentifikasi adanya perbedaan kompetensi wirausaha industri fesyen: distro/clothing secara signifikan antara yang berkinerja unggul dan yang berkinerja rata-rata.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pembaca, baik
sebagai praktisi, akademisi, ataupun pemerhati sumber daya manusia. Dan manfaat penelitian tersebut terurai sebgai berikut: 1. Kegunaan teoritis, sebagai bahan informasi dan pengayan bagi pengembangan khasanah ilmu pengetahuan khususnya manajemen sumber daya manusia.
13
2. Kegunaan praktis, sebagai panduan atau rekomendasi bagi praktisi manajemen yang menjalankan bisnisnya, atau yang ingin memulai bisnis, terutama yang berhubungan dengan objek penelitian. 3. Kegunaan umum, yang diperuntukan kepada pemerhati kajian sumber daya manusia, sebagai pengaya wawasan dan wacana pengetahuan bisnis dengan pendekatan teoritis dan praktis.