BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi ini tingkat persaingan antar perusahaan sangat ketat, hal itu juga berdampak pada perubahan tingkat kesadaran masyarakat mengenai perkembangan dunia bisnis di Indonesia. Masyarakat semakin menyadari adanya dampak-dampak sosial yang ditimbulkan oleh perusahaan akan semakin sulit untuk dikendalikan. (Susiloadi, 2008) Eksistensi perusahaan tidak akan bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai lingkungan eksternalnya, karena antara masyarakat dan perusahaan terjadi hubungan timbal balik. Apabila ditinjau dari aspek ekonomi, perusahaan harus berorientasi mendapatkan keuntungan (profit). Sedangkan apabila ditinjau dari aspek sosial, perusahaan harus memberikan kontribusi secara langsung kepada lingkungan atau masyarakat yaitu dengan meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan. Perusahaan telah menjadi kekuatan destruktif atau setidaknya memberikan dampak negatif yang sangat besar, menjadi pemicu bencana-bencana lingkungan terbesar, dan bertanggung jawab atas setidaknya 75% masalah lingkungan dan sosial yang dihadapi masyarakat modern (Hernan, 2010 dan Kiernan, 2009 dalam Jalal, 2011). Korten (2007) menyatakan bahwa selama setengah abad terakhir ini, dunia bisnis telah menjadi institusi paling berkuasa. Setiap institusi yang
1
2
paling dominan di masyarakat manapun harus mengambil tanggung jawab untuk kepentingan bersama, sehingga setiap keputusan yang dibuat oleh institusi, dan setiap tindakan yang diambil haruslah dilihat dalam kerangka tanggung jawab tersebut. Korten (2007) lebih lanjut menegaskan bahwa betapa nyata tindakan korporasi membawa dampak terhadap kualitas kehidupan manusia, terhadap individu, masyarakat dan seluruh kehidupan di bumi ini. Fenomena inilah yang kemudian memicu munculnya wacana tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility, selanjutnya disingkat CSR). Praktik bisnis yang merugikan masyarakat banyak terjadi, hingga saat ini penggusuran lahan, pencemaran lingkungan, sampai pemasaran produk yang negatif atas kesehatan masih juga terjadi di depan mata banyak orang, tanpa usaha serius dari pemerintah untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, perusahaan wajib menahan diri untuk tidak melakukan hal negatif tersebut. Bukan hanya karena kemungkinan konsekuensi dari pihak eksternal, namun karena hal itu memang merupakan hal yang baik dan benar. Bisnis yang benar-benar bertanggungjawab adalah bisnis yang tidak akan merugikan masyarakat atau lingkungannya baik dalam proses produksinya maupun melalui produknya. Menurut Utama (2007) perkembangan CSR juga terkait dengan semakin parahnya kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia maupun dunia, mulai dari penggundulan hutan, polusi udara dan air, hingga perubahan iklim. Tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lebih dikenal dengan
3
istilah Corporate Social Responsibility (CSR) adalah merupakan suatu konsep dimana organisasi atau dalam hal ini yang lebih terspesifik adalah perusahaan memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, lingkungan, komunitas dan segala aspek yang terlibat dalam operasional perusahaan tersebut. CSR merupakan akar dari pengakuan bahwa bisnis merupakan bagian dari masyarakat dan mempunyai potensi untuk membuat kontribusi yang positif dalam mencapai tujuan dan aspirasi sosial (Jones dan Comfort, 2005 dalam Yuniarti, 2007). World Bank ,2004 dalam Yuniarti, 2007) mendefinisikan CSR sebagai komitmen perusahaan untuk berperan dalam kelangsungan pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan karyawan, keluarga mereka, masyarakat lokal, dan masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup, melalui aktivitas yang tepat bagi perusahaan dan bagi pengembangan. Pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan tidak hanya pada perusahaan industri yang menghasilkan dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat, tetapi juga sektor-sektor lain seperti: jasa, asuransi, komunikasi, lembaga keuangan bank dan bukan bank (Djogo, 2005 dalam Yuniarti, 2007). Corporate Sosial Responsibilty (CSR) pada saat ini tidak hanya bersifat sukarela / sebuah komitmen perusahaan untuk menjalankan tindakan sosialnya,
namun
perusahaan
berkewajiban
untuk
melakukan
atau
menerapkannya. Pelaksanaan CSR hanya didasarkan kepada kesadaran dan komitmen perusahaan. Padahal kesadaran dan komitmen setiap perusahaan tidak sama, dan tergantung pada kebijakan perusahaan masing–masing. Kebijakan dan komitmen perusahaan mempunyai kelemahan. Kelemahan
4
yang paling mendasar adalah tidak adanya sanksi tegas dari pemerintah untuk perusahaan yang tidak melaksanakan CSR. Kondisi seperti ini tidak akan mendorong pelaksanaan CSR di indonesia. Padahal terdapat banyak sekali manfaat yang diperoleh apabila CSR dilaksanakan dengan arahan dan aturan yang jelas. Sejalan dengan perkembangan Corporate Social Responsibilty (CSR), muncullah Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mewajibkan perseroan yang bidang usahanya di bidang atau terkait dengan bidang sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas menyatakan: (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). (2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan tentang CSR lebih terperinci adalah UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. UU ini dijabarkan lebih jauh oleh Peraturan Menteri Negara BUMN No.4 Tahun 2007 yang mengatur besaran dana hingga tata cara pelaksanaan CSR (berupa Program Kemitraan dan Bina Lingkungan, PKBL). BUMN wajib membantu
5
pengusaha golongan lemah, koperasi, dan masyarakat. Sumber dana PKBL itu berasal
dari
penyisihan
laba
bersih
perusahaan
sebesar
2
persen
(www.getscoop.com). Dengan adanya peraturan perundang-undangan ini perusahaan lebih dituntut untuk melaksanakan kewajiban sosialnya. Akan tetapi undang– undang tersebut tidak mengatur implementasi secara mendalam, hal ini menimbulkan kebingungan bagi para pelaku bisnis mengenai aspek – aspek apa saja yang harus dipenuhi dalam implementasi CSR. Namun pada tahun 2012 muncullah peraturan perundangan baru yaitu PP Nomor 47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (PP TJSL) kejelasan mengenai apa yang diatur dalam UU PT menjadi sedikit lebih terang. Disitu dinyatakan dalam Pasal 2 dan penjelasannya serta Pasal 3 dan penjelasannya bahwa PP mengaku ada bentuk TJSL yang diatur Dalam regulasi (Pasal 3) namun tidak menghalangi perusahaan untuk melaksanakan yang diluar itu (Pasal 2). CSR dijalankan hanya untuk mendapatkan perhatian masyarakat. Utama (2007) mengungkapkan bahwa saat ini tingkat pelaporan dan pengungkapan CSR di Indonesia masih relatif rendah. Sampai saat ini belum terdapat kesepakatan standar pelaporan CSR yang bisa dijadikan acuan untuk perusahaan dalam menyiapkan laporan CSR (Utama, 2007). Yang menjadi isu utama dalam Corporate Social Responsibilty (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan adalah komitmen perusahaan untuk berkontribusi dalam
6
pembangunan bangsa dengan memperhatikan aspek finansial atau ekonomi, sosial, dan lingkungan. Apabila perusahaan tidak melakukan tanggung jawab sosialnya maka ada sanksi hukum yang terdapat didalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) Pasal 41 ayat (1) yang menyatakan: “Barangsiapa yang melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan / atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak lima ratus juta rupiah”. Selanjutnya, Pasal 42 ayat (1) menyatakan: “Barang siapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak seratus juta rupiah” (Sutopoyudo, 2009). Walaupun wacana CSR sudah menguat di Indonesia dalam 3 tahun belakangan ini, hal ini tentu saja belum sebanding dengan penerapan CSR di Eropa dan Amerika Serikat. Masih terlalu banyak perusahaan yang belum mengerti tentang pentingnya penerapan CSR. Salah satu kasus kerusakan lingkungan yaitu berada di lokasi penambangan timah inkonvensional di pantai Pulau Bangka - Belitung dan tidak dapat ditentukan siapakah pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi karena kegiatan penambangan dilakukan oleh penambangan rakyat tak berizin yang mengejar setoran pada PT Timah Tbk. Sebagai akibat penambangan inkonvensional tersebut terjadi pencemaran air permukaan laut dan perairan umum, lahan
7
menjadi tandus, terjadi abrasi pantai, dan kerusakan laut (Ambadar, 2008). Dalam contoh kasus ini kita bisa menyimpulkan hal penting yang harus dilakukan oleh sebuah perusahaan adalah perusahaan harus mampu membangkitkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap lingkungan dan komunitas sekitar agar keefektifan program CSR dapat terpenuhi. Pemerintah, sebagai salah satu pemangku kepentingan pembangunan berkelanjutan,
juga
memiliki
kontribusi
besar
dalam
mendorong
pemberlakuan standar-standar CSR yang ada. Hal tersebut misalnya dilakukan dengan mendorong pelaporan kinerja perusahaan berbasiskan Triple Bottom Line, seperti yang dilakukan oleh pemerintah Spanyol, Inggris dan Prancis, atau pemberlakuan standar-standar yang disepakati di negara-negara OECD. Pada tahun 2010, pemerintahan di Uni Eropa menyatakan bahwa seluruh perusahaan yang berasal dari negara-negara itu diwajibkan untuk melaporkan dengan standar pelaporan keberlanjutan mulai tahun 2015 atau menyatakan secara terbuka mengapa mereka belum melaporkan - atau dikenal sebagai kebijakan “Report or Explain Why Not”. Perusahaan-perusahaan yang berasal dari negara-negara yang pemerintahnya mewajibkan kepatuhan pada standar kinerja atau standar pelaporan harus tunduk pada standar-standar itu sekalipun beroperasi bukan di negara asalnya. Ini membuat keberlakukan standarstandar itu melampaui batas-batas negara, dan dengan demikian keputusan pemerintah suatu negara untuk menghormati standar tertentu telah terbukti berdampak lebih luas dibandingkan luas negaranya sendiri (Jalal, 2011).
8
Menurut Masud (1995) dalam Januarti (2005) masalah sosial yang harus dilaporkan dalam laporan keuangan pada publik adalah biaya sosial adalah biaya yang berhubungan akuntansi sosial meliputi : Biaya lingkungan, biaya karyawan, demikian
biaya produk, dan biaya komunitas. Sehingga dengan
dapat dikatakan biaya kesejahteraan karyawan akan dapat
meningkatkan kepuasan kerja akan mempengaruhi produktivitas karyawan dan akan berimplikasi terhadap kemampuan perusahaan dalam menci ptakan pendapatan. Adanya biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk komunitas melalui pelaksanaan kegiatan sosial mengindikasi tanggung jawab dan kepedulian sosial perusahaan terhadap komunitasnya. Solihin (2009 hal 168) Pada perusahaan BUMN bentuk perseroan, selain melekat pada tujuan perusahaan untuk memperoleh optimalisasi laba, perusahaan juga dituntut untuk memberikan pelayanan publik. Misalnya paket Januari 1990, Menteri Keuangan membuat Surat Keputusan Menteri Keuangan yang mewajibkan BUMN menyisihkan 1-5% dari laba yang mereka peroleh untuk mrmbina Usaha Kecil dan Koperasi atau yang saat ini diubah menjadi Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL). Pelaksanaan CSR oleh BUMN yang sumber pendanaannya berasal dari penyisihan laba perusahaan, memiliki kelemahan yang sangat fundamental yakni ketentuan ini memberikan celah bagi BUMN untuk berkelit dari kewajiban melaksanakan CSR dengan alasan perusahaan belum mendapatkan laba. PT Jatim Grha Utama sebagai perusahaan BUMD yang bergerak di bidang properti juga harus ikut melaksanakan program CSR, walaupun
9
dampak
negatif
yang
ditimbulkan
oleh
perusahaan
dari
kegiatan
operasionalnya kepada lingkungan sekitar tidak secara langsung ditimbulkan oleh perusahaan.
1.2 Rumusan Masalah Berdasar latar belakang yang telah diuraikan di atas maka, dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana penerapan program CSR pada PT Jatim Grha Utama? 2. Apa saja biaya – biaya sosial yang dikeluarkan oleh PT Jatim Grha Utama sebagai bentuk pertanggungjawaban sosialnya? 3. Bagaimana menilai kinerja aktivitas sosial pada PT Jatim Grha Utama dengan menggunakan laporan akuntansi pertanggungjawaban sosial?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui penerapan program CSR pada PT Jatim Grha Utama 2. Untuk mengetahui biaya sosial apa saja yang dikeluarkan oleh PT Jatim Grha Utama sebagai bentuk pertanggungjawaban sosialnya 3. Untuk mengetahui laporan akuntansi pertanggungjawaban sosial yang berguna untuk menilai kinerja aktivitas sosial perusahaan.
10
1.4 Manfaat Penelitian Diharapkan penulisan skripsi ini memberikan manfaat – manfaat sebagai berikut : 1. Kontribusi Praktis Diharapkan penulisan skripsi ini mampu memberikan masukan dan informasi kepada PT. Jatim Grha Utama mengenai pentingnya menerapkan CSR dalam perusahaan agar perusahaan bisa menjadi lebih baik dan untuk membantu manajemen perusahaan agar menyusun laporan pertanggungjawaban sosial supaya dalam laporan keuangan menunjukkan pertanggungjawaban sosial perusahaan. 2. Kontribusi Teoritis Diharapkan dengan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan tentang pentingnya penerapan pertanggungjawaban sosial perusahaan, dan dapat dijadikan pedoman bagi mahasiswa, praktisi hukum, masyarakat, pelaku bisnis dan pemerintah mengenai pentingnya menerapkan CSR yang dikemudian hari diharapkan dapat memaksimalkan manfaat yang diberikan untuk semua kalangan masyarakat dan lingkungan. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian meliputi pengungkapan biaya sosial, penerapan program CSR dan evaluasi laporan keuangan yang menyangkut biaya sosial perusahaan sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya.