6
BAB 1 LANDASAN TEORI
2.1
Structural Equation Model (SEM) Menurut Ferdinand (2000), SEM sangat tepat digunakan untuk merancang penelitian manajemen serta menjawab pertanyaan yang bersifat regresif dan dimensional dalam waktu yang bersamaan. Regresif artinya pengujian hubungan antar konstruk, sedang dimensional berarti pengujian dimensi-dimensi yang terdapat dalam konstruk. Demikian juga Solimun (2002) mengemukakan bahwa di dalam SEM peneliti dapat melakukan tiga kegiatan sekaligus, yaitu pemeriksaan validitas dan reliabilitas instrumen (setara dengan analisis faktor konfirmatori), pengujian model hubungan antar variabel laten (setara dengan analisis path), dan mendapatkan model yang bermanfaat untuk prediksi (setara dengan model struktural atau analisis regresi).
2.1.1
Konsep Structural Equation Model (SEM) Karakteristik SEM akan diuraikan kedalam komponen-komponen model SEM yang terdiri dari: 1. Dua jenis variabel yaitu variabel laten dan variabel teramati, 2. Dua jenis model yaitu model struktural dan model pengukuran 3. Dua jenis kesalahan yaitu kesalahan struktural dan kesalahan pengukuran. Dalam penyampaian tentang konsep dasar SEM dapat tersampaikan dengan baik, maka digunakan diagram lintasan atau path diagram sebagai sarana komunikasi. Diagram lintasan dapat menggambarkan atau menspesifikasikan model SEM dengan lebih jelas dan mudah dibandingkan dengan model matematik SEM. Selain itu, diagram lintasan sebuah model dapat membantu mempermudah konversi model tersebut ke dalam perintah atau sintak dari SEM software. Demikian juga diagram lintasan sebuah model digambar secara benar dan mengikuti aturan yang telah ditetapkan, maka dapat diturunkan model matematik dari model tersebut (Hoyle,1995,Wijanto, 2008).
7
1. Variabel Variabel laten merupakan konsep abstrak. Variabel laten ini hanya dapat diamati secara tidak langsung dan tidak sempurna melalui efeknya pada variabel teramati. SEM mempunyai 2 jenis variabel laten, yaitu eksogen dan endogen. Variabel eksogen selalu muncul sebagai variabel bebas pada semua persamaan yang ada dalam model. Sedangkan variabel endogen merupakan variabel terkait pada paling sedikit satu persamaan dalam model, meskipun di semua persamaan sisanya variabel tersebut adalah variabel bebas. Notasi matematik dari variabel laten eksogen adalah huruf Yunani variabel laten endogen ditandai dengan huruf Yunani
(“ksi”) dan
(“eta”). Simbol dari
variabel laten adalah lingkaran atau elips (Wijanto, 2008).
Eksogen ( )
Endogen ( )
Sumber: (Wijanto, 2008)
Gambar 2.1 Variabel Laten Eksogen dan Endogen
Variabel teramati (observed variable) atau variabel terukur (measured variable) adalah variabel yang dapat diamati atau dapat diukur secara empiris dan sering disebut sebagai indikator. Variabel teramati merupakan efek atau ukuran dari variabel laten. Pada metode survei dengan menggunakan kuisioner, setiap pertanyaan pada kuisioner mewakili sebuah variabel teramati. Simbol dalam lintasan dari variabel teramati adalah bujur sangkar atau kotak atau empat persegi panjang (Wijanto, 2008).
2. Model Model struktural menggambarkan hubungan-hubungan yang ada diantara variabel-variabel laten. Hubungan-hubungan ini umumnya linier,
8
meskipun perluasan SEM memungkinkan untuk mengikutsertakan hubungan tidak linier, yaitu sebuah hubungan antara variabel laten serupa dengan sebuah persamaan regresi linier diantara variabel-variabel laten tersebut. Beberapa persamaan regresi linier tersebut membentuk sebuah persamaan simultan variabel-variabel laten (Wijanto, 2008). Dalam SEM, setiap variabel laten biasanya mempunyai beberapa ukuran atau variabel teramati atau indikator. Pengguna SEM paling sering menghubungkan variabel laten dengan variabel-variabel teramati melalui model pengukuran yang berbentuk analisis faktor. Dalam model ini, setiap variabel laten dimodelkan sebagai sebuah faktor yang mendasari variabelvariabel teramati yang terkait (Wijanto, 2008).
3. Kesalahan Pada umumnya pengguna SEM tidak berharap bahwa variabel bebas dapat memprediksi secara sempurna variabel terkait, sehingga dalam suatu model biasanya ditambahkan komponen kesalahan struktural. Untuk memperoleh estimasi parameter yang konsisten, kesalahan struktural ini diasumsikan tidak berkorelasi dengan variabel-variabel eksogen dari model. Meskipun demikian dapat berkorelasi dengan kesalahan struktural yang lain (Wijanto, 2008). Dalam SEM indikator atau variabel teramati tidak dapat sempurna mengukur variabel laten terkait.untuk memodelkan ketidaksempurnaan ini, dilakukan penambahan komponen yang mewakili kesalahan pengukuran kedalam SEM. Kesalahan pengukuran boleh berkorelasi satu sama lain, meskipun demikian secara default mereka tidak berkorelasi satu sama lain (Wijanto, 2008).
2.1.2
Uji Goodness Of Fit dalam Lisrel Uji kecocokan dan batasan-batasan nilai yang menunjukkan tingkat kecocokan yang baik (good fit) untuk setiap Goodness of Fit dapat dilihat dalam tabel berikut.
9
Tabel 2.1 Perbandingan Ukuran Goodness Of Fit Ukuran Goodnes Of Fit
Tingkat Kecocokan yang bisa diterima
Absolute – Fit Measures Statistic Chi-square ( χ2)
Mengikuti uji statistik yang berkaitan dengan persyaratan signifikan
Non-Centrality Perameter (NCP)
Dinyatakan dalam bentuk spesifikasi ulang dari Chi-square. Penilaian didasarkan atas perbandingan dengan model lain. Semakin kecil semakin baik.
Scaled NCP (SNCP)
NCP yang dinyatakan dalam bentuk ratarata perbedaan setiap observasi dalam rangka perbandingan antar model. Semakin kecil semakin baik.
Goodnes-of-Fit Index (GFI)
Nilai berkisar antara 0-1, dengan nilai lebih tinggi adalah lebih baik. GFI ≥ 0.9 adalah good-fit, sedang 0.80 ≤ GFI ≤ 0.90 adalah marginal fit.
Root Mean Square Residual (RMR)
Residual rata-rata antara metrik (korelasi atau kovarian) teramati dan hasil estimasi. Standardized RMR ≤ 0.05 adalah good fit.
Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA)
Rata-rata perbedaan per degree of freedom yang diharapkan terjadi dalam populasi dan bukan dalam sample. RMSEA ≤ 0.05 adalah close fit.
Digunakan untuk perbandingan antar model. Semakin kecil semakin baik. Pada Expected Cross-Validation model tunggal, nilai ECVI dari model Index (ECVI) yang mendekati nilai saturated ECVI menunjukkan good fit. Sumber: (Wijayanto, 2008, hal. 60)
10
Tabel 2.1 Perbandingan Ukuran Goodness Of Fit (lanjutan) Ukuran Goodnes Of Fit
Tingkat Kecocokan yang bisa diterima
Incremental Fit Measures Tucker-Lewis Index atau Non-Normed Fit Index (TLI atau NNFI)
Nilai berkisar antara 0-1, dengan nilai lebih tinggi adalah lebih baik. TLI ≥ 0.9 adalah good-fit, sedang 0.8 ≤ TLI ≤ 0.90 adalah marginal fit.
Normed Fix Index (NFI)
Nilai berkisar antara 0-1, dengan nilai lebih tinggi adalah lebih baik. NFI ≥ 0.9 adalah good-fit, sedang 0.8 ≤ NFI ≤ 0.90 adalah marginal fit.
Adjust Goodness of Fit Index (AGFI)
Nilai berkisar antara 0-1, dengan nilai lebih tinggi adalah lebih baik. AGFI ≥ 0.9 adalah good-fit, sedang 0.8 ≤ AGFI ≤ 0.90 adalah marginal fit.
Relative Fit Index (RFI)
Nilai berkisar antara 0-1, dengan nilai lebih tinggi adalah lebih baik. RFI ≥ 0.9 adalah good-fit, sedang 0.8 ≤ RFI ≤ 0.90 adalah marginal fit.
Incremental Fit Index (IFI)
Nilai berkisar antara 0-1, dengan nilai lebih tinggi adalah lebih baik. RFI ≥ 0.9 adalah good-fit, sedang 0.8 ≤ RFI ≤ 0.90 adalah marginal fit.
Comparative Fit Index
Nilai berkisar antara 0-1, dengan nilai lebih tinggi adalah lebih baik. RFI ≥ 0.9 adalah good-fit, sedang 0.8 ≤ RFI ≤ 0.90 adalah marginal fit.
Sumber: (Wijayanto, 2008, hal. 60)
11
Tabel 2.1 Perbandingan Ukuran Goodness Of Fit (lanjutan) Ukuran Goodnes Of Fit
Tingkat Kecocokan yang bisa diterima
Parsimonious Fit Measures Parsimonious Goodness of Fit (PGFI)
Spesifikasi ulang dari GFI, dimana nilai lebih tinggi menunjukkan parsimoni yang lebih besar. Ukuran ini digunakan untuk perbandingan diantara model-model.
Normed Chi-square
Rasio antara Chi-square dibagi degree of freedom. Nilai yang disarankan: batas bawah: 1.0, batas atas: 2.0 atau 3.0 dan yang lebih longgar 5.0
Parsimonious Normed Fit Index (PNFI)
Nilai tinggi menunjukkan kecocokan lebih baik; digunakan untuk perbandingan antar model alternatif
Akaike Information Criterion (AIC)
Nilai positif lebih kecil menunjukkan parsimoni lebih baik; digunakan untuk perbandingan antar model. Pada model tungga, nilai AIC dari model yang mendekati nilai saturated AIC menunjukkan good fit.
Consistent Akaike Information Criterion (CAIC)
Nilai positif lebih kecil menunjukkan parsimoni lebih baik; digunakan untuk perbandinganantar model. Pada model tunggal, nilai CAIC dari model yang mendekati nilai saturated CAIC menunjukkan good fit.
Other GOFI Critical “N”
CN ≥ 200 menunjukkan ukuran sample mencukupi untuk digunakan mengestimasi model. Kecocokan yang memuaskan atau baik.
Sumber: (Wijayanto, 2008, hal. 60)
2.2
Stres Kerja “Stres merupakan suatu abstraksi. Orang tidak dapat melihat pembangkit stres (stresor). Yang dapat dilihat ialah akibat dari pembangkit stres,” menurut Dr. Hans Selye. Stres kerja merupakan situasi yang mayoritas ada pada seseorang yang sedang bekerja dalam sebuah organisasi. Penelitian mengenai
12
stres di Amerika membuktikan bahwa karyawan yang mengalami jatuh sakit mayoritas diakibatkan oleh stres kerja, dengan keadaan yang dialami oleh karyawan tersebut, maka secara langsung akan mempengaruhi produktivitasnya dalam bekerja. The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) menyimpulkan bahwa kondisi kerja seorang karyawan sangat berpengaruh dalam hal menyebabkan stres kerja yang dialaminya. Hasil dari penelitian tersebut menjelaskan bahwa stres kerja tidak hanya disebabkan oleh jenis pekerjaannya, akan tetapi salah satunya juga disebabkan oleh lingkungan kerja dan jam kerja (Woolston, 2009, Rumeser&Tambuwun, 2011). Definisi lain mengenai stres kerja juga mengkaitkan individu dengan lingkungan tempat kerjanya. Brousseau & Prince mengartikan stres kerja sebagai suatu keadaan psikologis karyawan yang tidak menyenangkan untuk bekerja, karena karyawan merasa terancam di lingkungan kerjanya (Purwono, 2006, Rumeser&Tambuwun, 2011). Menurut pendapat Arsenault & Dolan bahwa stres kerja merupakan kondisi psikologis yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan karena karyawan merasa terancam, hal ini menunjukkan ketidaksesuaian antara individu dengan tuntutan pekerjaan (Purwono, 2006, Rumeser&Tambuwun, 2011). Stres dapat ditimbulkan dari tidak/kurang adanya kecocokan antara orang (seperti kepribadian, bakal, kecakapan) dan lingkungan nyaman yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk menghadapi berbagai tuntutan terhadap dirinya secara spesifik (Fincham & Rhodes, 1988, Munandar, 2006).
2.2.1
Punishment Punishment merupakan konsekuensi yang tidak diinginkan atau tidak menyenangkan bagi sebuah individu yang dimunculkan sebagai akibat dari suatu perilaku (Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2006). Dewasa ini hal ini sering dilakukan oleh perusahaan sebagai bentuk strategi manajerial. Bentuk punishment/hukuman yang berhubungan dengan pekerjaan seperti adanya kritik dari pemimpin, maupun adanya penurunan jabatan kepada karyawan/anak
13
buahnya. Punishment merupakan sebuah tindakan yang sangat kontroversial, tetapi jika dilakukan secara benar punishment bisa merupakan metode yang sangat efektif. Pimpinan dalam sebuah organisasi juga menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas pekerjaan bagi seorang individu, karena dengan tingkat kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya, sering kali seorang individu menilai pimpinan memiliki pengaruh yang lebih kuat dibandingkan dengan aspek-aspek penting lain dalam pekerjaan. Dengan tingkat kewenangan yang dimilikinya itu, baik dalam hal pemberian penghargaan (reward) kepada seorang individu yang memiliki kinerja yang baik maupun dalam hal pemberian hukuman (punishment) kepada seorang individu yang dinilai tidak mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik. Dengan demikian hukuman (punishment) yang diberikan oleh pimpinan itulah yang dapat dipandang sebagai sumber stres kerja bagi seorang individu. Sebaiknya dalam penggunaan punishment/hukuman perlu ada kebijakan yang tepat. Sebelum membuat keputusan sebaiknya dipertimbangkan dengan cermat dan objektif dari semua aspek dan relevan (Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2006).
2.2.2
Shift Work Pada umumnya jumlah jam kerja dalam seminggu di Indonesia yaitu 40 jam. Yang dibagi menjadi 6 hari dan tiap hari jumlah jam kerja yaitu 8 jam. Penelitian yang dilakukan oleh Schultz (1982) menyatakan bahwa dari 40 jam per minggu kerja seorang pekerja aktualnya hanya menggunakan jam kerjannya kurang dari 40 jam per minggu. Hasil dari penelitian ini menunjukan terdapat perbedaan antar jumlah jam kerja nominal (peraturan perusahaan) dengan jumlah jam aktual (kenyataan yang dijalankan) (Arnold, 2005). Dewasa ini jam kerja bukan hanya 40 jam per minggu,tetapi juga terdapat jam kerja yang lebih sedikit. Terlihat dari beberapa tahun yang lalu bahwa adanya peningkatan dari tenaga kerja untuk bekerja separo dari waktu tetap yaitu bekerja kurang dari 20 jam per minggu (Arnold, 2005).
14
Menurut Schultz (1982) bahwa bekerja dengan separo jam kerja menarik bagi orang seperti yang bertanggung jawab atas urusan rumah tangga agar bisa mengkombinasi antara karir dan keluarga atau orang-orang yang tidak bersedia untuk bekerja selama 40 jam kerja per minggu dikantor maupun pabrik. Biasanya orang-orang yang termasuk kelompok ini adalah para pekerja muda yang menyukai gaya hidup yang lentur, yang memungkinkan dengan bekerja paro waktu. Biasanya mereka memberikan tekanan besar kepada penggunaan waktu luang (diluar jam kerja) yang memberikan makna yang lebih besar kepada mereka (Arnold, 2005). Selain variasi dari jam kerja (40 jam per minggu dan 20 jam per minggu), terdapat faktor lain yang mempengaruhi stres kerja yaitu jam kerja yang lama dan jam kerja yang terlalu overload. Menurut Sparks, et al. bahwa jam kerja yang terus-menerus akan merusak kesehatan fisik dan psikologikal orang tersebut (Arnold, 2005). Kemudian jam kerja yang terlalu overload terdapat 2 jenis antara lain kuantitatif dan kualitatif. Overload kuantitatif yaitu pekerjaan yang terlalu banyak untuk diselesaikan, kemudian overload kualitatif yaitu mengacu dari sulitnya pekerjaan yang dilakukan.
2.2.3
Person-Environment Fit (P–E Fit) Person-Environment Fit diperkenalkan pada tahun 1935 oleh Lewin dengan cara melihat perilaku sebagai fungsi yang terjadi pada individu dengan lingkungannya (Higgin & Judge, 2004, Ho, 2011) Kemudian Nelson dan Simmons (2003) menyatakan dimana P-E fit kesesuaian antara tuntutan di tempat kerja dengan keterampilan dan kemampuan yang dimiliki oleh seorang individu. Selain itu ada yang menyatakan bahwa P-E fit adalah kesesuaian aspek-aspek penting antara individu dengan organisasinya, seperti nilai-nilai yang dianut, kompetensi individu dengan organisasinya dan kebutuhan individu dengan kompensasi yang diberikan oleh organisasinya seperti gaji, tunjangan dan pelatihan (Cable dan Derue, 2002, Ho, 2011).
15
Sehingga dapat disimpulkan bahwa P-E fit merupakan kesesuaian antara apa yang dimiliki oleh setiap individu dengan yang dibutuhkan oleh organisasinya dan kesesuaian antara kebutuhan dari setiap individu dengan halhal yang diberikan oleh organisasinya. 1. Person - Organization Fit (P-O Fit) P-O Fit merupakan kecocokan antara individu dengan organisasinya apabila diantara keduanya bisa memberikan apa yang dibutuhkan dari masing-masingnya. Dan memiliki pemikiran yang sejalan seperti nilai-nilai yang dianut (Kristof, 1996, Ho, 2011) 2. Person - Job Fit (P-J Fit) Teori kesesuaian kepribadian-pekerjaan (Person Job – Fit) adalah milik dari John Holland, teori ini didasarkan dari kesesuaian sipekerja dengan pekerjaanya.
Holland
melakukan penelitian dan penelitian tersebut
menunjukan bahwa ketika kepribadian dan pekerjaan sangat cocok, kepuasan dalam diri meningkat. Seperti contohnya orang yang realistis berada dalam situasi yang realistis lebih sesuai dari pada orang yang realistis berada dalam situasi yang konvensional (Robbins & Judge, 2008). P-J Fit diartikan sebagai cocoknya kemampuan dari individu dengan tuntutan dari sebuah pekerjaan (Edwards, 1991, Ho, 2011). 3. Needs - Supply Fit (N-S Fit) Dalam penelitian Cable dan DeRue (2002) mendefinisikan NeedsSupply Fit sebagai keserasian antara kebutuhan individu dengan imbalan yang diterima dari organisasi berdasarkan pelayanan dan kontribusinya terhadap pekerjaan, seperti pelatihan, upah dan tunjangan.
2.3
Fasilitas manajemen Persepsi terhadap dukungan (perceived support) dalam tempat kerja mempunyai peranan penting dalam segala aspek prilaku organisasional seperti kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Persepsi terhadap dukungan juga diyakini dapat mempengaruhi keinginan untuk keluar dari organisasi maupun keberhasilan organisasi tersebut. Persepsi terhadap dukungan meliputi persepsi
16
terhadap dukungan organisasi (perceived organizational support) dan persepsi terhadap dukungan penyelia (perceived supervisor support) (Eisenberger, Armeli, Rexwinkel, Lynch, & Rhoades, 2001).
2.3.1
Training Focus Climate Menurut Wexley & Yukl (1976): “ Training dan pengembangan adalah usaha–usaha yang berencarna yang diselenggarakan agar dicapai penguasaan akan
ketrampilan,
pengetahuan
dan
sikap-sikap
yang
relevan
bagi
karyawan/suatu individu dalam organisasi”. Selain itu buku lain menyatakan bahwa training merupakan salah satu aktivitas yang besar dari sebuah organisasi. Training adalah kegiatan yang penting bagi karyawan baru dan karyawan yang sudah berpengalaman. Bagi karyawan baru untuk tau apa pekerjan yang akan dilakukan dan untuk karyawan lama untuk belajar dan menjaga kinerja dan meningkatkan kinerjanya (Spector, 2008).
2.3.2
Managerial Task Support Climate Karyawan
juga
seringkali
mengembangkan
impresinya
terhadap
pemimpin sehingga mereka juga mendapat dukungan dari pemimpinnya, atau sering disebut juga dengan persepsi terhadap dukungan penyelia atau PDP (perceived supervisor support atau PSS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa PDP dapat berpengaruh secara signifikan pada perasaan karyawan terhadap pekerjaan dan komitmennya terhadap organisasi. PDP juga berdampak positif pada kepuasan kerja (Griffin, patterson, & West, 2001) dan dapat mempengaruhi komitmen organisasional (Eisenberger, Armeli, Rexwinkel, Lynch, & Rhoades, 2001). Karyawan menginterpretasikan dukungan yang diberikan pimpinan sebagai paparan komitmen pimpinan pada karyawan yang dapat mendorong komitmen karyawan pada organisasi.
17
2.4
Wellbeing Wellbeing
memiliki
konsep
pemahaman
yang
berbeda
dengan
kesejahteraan, karena kesejahteraan ini hanya menggambarkan dari sisi ekonomi pendapatan dari setiap individu saja (Van Praag & Frijters, 1999), sebagai contoh seorang individu yang memiliki pendapatan tinggi dari hasil kerjanya, maka dapat dikatakan hidupnya akan sejahtera, tentu saja dengan pendapatan yang tinggi, seorang individu dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membeli barang-barang serta jasa yang diinginkannya, sehingga tercapailah kesejahteraan hidup. Sementara itu wellbeing lebih menunjukkan kualitas hidup seorang individu secara menyeluruh, seperti misalnya seorang individu yang memiliki kesehatan yang baik, status pekerjaan yang baik, dan hubungan yang baik dengan keluarga atau teman (Dasgupta, 2001,Van Praag & Frijters, 1999). Seorang individu dapat dikatakan memiliki wellbeing adalah apabila seorang individu memiliki kondisi yang dapat memuaskan berbagai macam aspek penting di dalam hidupnya (Kahnemann, 1999), dan rasa puas yang dimilikinya itu tidak hanya dirasakan dalam kurun waktu yang singkat atau sesaat saja akan tetapi dirasakan dalam kurun waktu yang cukup panjang. Grebner et al. (2005) mengukur wellbeing dengan berdasarkan tiga indikator tipe wellbeing, yaitu wellbeing secara umum, wellbeing di tempat kerja, dan
spillover.
Dalam
penelitian
tersebut,
wellbeing
secara
umum
menggambarkan kepuasan yang dirasakan seorang individu sebagai hasil evaluasinya terhadap kesehatan diri secara umum, wellbeing di tempat kerja menggambarkan kepuasan yang dirasakan seorang individu terhadap pekerjaan yang dimiliki sehingga tidak ingin keluar dari pekerjaan, dan spillover menggambarkan kepuasan yang dirasakan seorang individu dalam menikmati waktu senggang yang dimiliknya karena mampu melepaskan diri secara psikologis dari persoalan di tempat kerja setelah pulang dari bekerja.
18
2.5
Kepuasan Pelanggan Telah diketahui bahwa terdapat hubungan antara kepuasan pelanggan dengan kepuasan kerja (Harter, Schmidt, & Hayes, 2002). Jika kepuasan kerja yang dialami oleh karyawan tinggi, maka akan menghasilkan kinerja yang baik sehingga berdampak pada kepuasan pelanggan. Banyak penelitian beberapa tahun terakhir tentang penyebab kualitas layanan dan kepuasan pelanggan. Zeithaml dan Bitner (2000), misalnya, menemukan bahwa kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh kualitas layanan, kualitas produk, harga, faktor personal dan situasional. Anderson dan Suillivan (1993) menunjukkan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan dapat diukur berdasarkan perbedaan antara harapan pelanggan sebelum membeli dan setelah merasakan kinerja dari produk yang dibeli atau jasa (Lin, 2007). Dalam penelitiannya, Wangenheim menyatakan bahwa kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh service quality, price satisfaction dan quality of assortment (Natemayer, Boles, Mckee, & Mc Murrian, 1997). Karena penelitian ini difokuskan hanya pada pelayanan dalam sektor jasa, sehingga penelitian ini mengadaptasi penggunaan item test service quality dari penelitian Wangenheim.