1
B AB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Di dunia bisnis, setiap orang butuh modal untuk dapat melanjutkan kegiatan bisnis mereka. Modal merupakan kebutuhan dasar yang diperlukan setiap orang yang ingin melakukan kegiatan bisnis. Modal tersebut biasanya didapatkan dengan berupa pinjaman di bank. Dalam hal ini bank tertentu akan memberikan pinjaman dengan ketentuan-ketentuan yang telah ada di dalam peraturan bank tersebut. Sebelumnya, calon nasabah yang akan meminjam modal kepada bank harus mengajukan permohonan kredit. Permohonan kredit perbankan merupakan peristiwa awal suatu transaksi pemberian kredit secara yuridis. Permohonan yang dimaksud adalah permohonan yang dibuat dan ditandatangani oleh calon nasabah debitur dengan tujuan untuk mengadakan perjanjian kredit.1 Pada prinsipnya, dalam permohonan kredit yang paling utama adalah bank harus melakukan penilaian secara seksama terhadap calon nasabah debiturnya dengan lima kriteria yang ditetapkan oleh bank, yaitu Character (Penilaian watak/kepribadian), Capacity (Kemampuan), Capital (modal), Collateral (agunan), dan Condition Of Economy (penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur).2
1
Badriyah Harun, 2010, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta hlm 9 2 Djoni S.Gozali & Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 273
2
Setelah bank melakukan analisis terhadap calon debitur dengan menggunakan lima kriteria tersebut di atas, maka bank dapat menentukan permohonan kredit calon debitur tersebut diterima atau ditolak. Dalam hal permohonan kredit calon debitur telah diterima maka masih harus melalui tahapan prosedur lain yang diberikan oleh bank, salah satu diantaranya adalah jaminan dan agunan kredit.3 Nasabah debitur yang telah diterima permohonan kreditnya oleh bank harus memberikan jaminan yaitu tanggungan yang diberikan oleh debitur atau pihak ketiga kepada kreditor (bank) karena kreditor
mempunyai
kepentingan
bahwa
debitur
harus
memenuhi
kewajibannya. Keberadaan perjanjian pengikatan jaminan kredit adalah bersifat tambahan. Keberadaannya tergantung pada perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian kredit. Sehingga sebelum perjanjian pengikatan jaminan kredit dibuat, maka perjanjian kredit harus terlebih dahulu ada. Bentuk jaminan untuk nasabah debitur adalah berupa hak tanggungan. Hak tanggungan digunakan oleh kreditur (bank) untuk memperoleh jaminan atas pelunasan utang dari debiturnya.4Dalam hal ini, hak tanggungan bukan merupakan satu-satunya bentuk jaminan untuk nasabah debitur. Tetapi hak tanggungan merupakan salah satu dari bentuk jaminan oleh kreditur terhadap debitur guna menjamin pelunasan utangnya. Ada beberapa bentuk jaminan yang lain tetapi hak tanggungan merupakan jaminan dalam bentuk tanah. Sejak Undang-Undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996 diberlakukan, terjadi perubahan besar terhadap sistem dan metode 3
Ibid, hlm. 18 Irma Devita P, 2011, Hukum Jaminan Perbankan, Kaifa, Bandung, hlm. 38
4
3
penjaminan atas suatu utang. Sebelum berlakunya UU Hak Tanggungan tersebut, berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Barat, bank yang memberikan
fasilitas
kredit
hanya
mewajibkan
debiturnya
untuk
menandatangani Akta Surat Kuasa Memasang Hipotek yang dibuat di depan notaris agar dapat menjamin pelunasan utang dan/atau kewajiban debitur tersebut. Dengan kata lain apabila debitur telah mulai macet maka bank akan mendaftarkan Akta Hipotek tersebut ke Kantor Pertanahan setempat. Setelah terdaftar, bank dapat menjual lelang rumah dan/atau tanah tersebut untuk melunasi kewajiban debitur. Sejak berlakunya UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yaitu tanah beserta benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, istilah hipotek menjadi hak tanggungan. Pada saat itu, seluruh akta Surat Kuasa Memasang Hipotek yang sudah ada harus ditindaklanjuti menjadi hak tanggungan dan didaftarkan langsung ke kantor pertanahan, walaupun debitur yang bersangkutan masih dalam kondisi baik dan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit yang berlaku. Setelah UU Hak Tanggungan diberlakukan, setiap debitur yang menjaminkan tanah kepada kreditur sebagai jaminan pelunasan fasilitas kredit yang diterimanya
diwajibkan
untuk
menandatangani
akta
Surat
Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), yang akan dilanjutkan dengan pendaftaran hak tanggungan tersebut pada kantor pertanahan tempat tanah tersebut didaftarkan.5 Dalam UU Hak Tanggungan tidak semua hak atas tanah dapat
5
Ibid, hlm 39
4
dibebani dengan hak tanggungan. Hak-hak atas tanah yang dapat dibebani dengan hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai yang punya nilai ekonomis, dan Hak milik atas satuan rumah susun.6 Berkaitan dengan keberlakuan dari UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang menyatakan bahwa istilah hipotek menjadi hak tanggungan, hal ini tentu saja tidak menghilangkan hipotek itu sendiri. Karena hipotek masih merupakan bentuk jaminan yang digunakan oleh nasabah debitur tanpa memberikan jaminan tanah, tetapi berupa jaminan non tanah, seperti kapal. Hal yang menarik adalah ketika jaminan tanah yang telah diberikan oleh nasabah debitur dalam hal ini pemberi hak tanggungan kepada bank sebagai penerima hak tanggungan ternyata telah dinyatakan terlantar oleh pemerintah. Eksistensi tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti dan sekaligus memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai social Asset dan Capital asset. Sebagai social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan social di kalangan masyarakat untuk hidup dan kehidupan, sedangkan capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi.7 Dalam perkembangannya melaksanakan hak-hak atas tanah terjadi tanah-tanah yang dikuasai dalam bentuk Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan serta Hak Pakai tidak dimanfaatkan secara maksimal. Dalam artian bahwa terjadi penumpukan tanah pada sekelompok 6
Ibid, hlm 40 Achmad Rubaie, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,, Bayumedia, Malang, hlm. 1 7
5
kecil masyarakat, karena mereka memiliki modal untuk membeli tanah seluas-luasnya. Namun demikian, tanah tersebut tidak dimanfaatkan, akibatnya terjadi tanah yang ditelantarkan.8 Sehingga hal inilah yang menjadi keinginan penulis untuk menulis lebih lanjut mengenai hal tersebut dengan judul tesis “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG HAK TANGGUNGAN TERHADAP TANAH OBJEK HAK TANGGUNGAN YANG DINYATAKAN TERLANTAR OLEH PEMERINTAH”.
8
Supriadi. 2010, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 124
6
B. Rumusan Masalah Dari pemaparan latar belakang di atas, masalah dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana status hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan apabila dinyatakan terlantar oleh pemerintah? 2. Bagaimana perlindungan dan akibat hukum bagi Bank selaku kreditur apabila tanah yang menjadi objek hak tanggungan tersebut telah dinyatakan terlantar?
C. Keaslian Penelitian Sepanjang pengetahuan penulis, materi pokok penelitian sebagaimana yang tertuang di dalam usulan penelitian ini yaitu tentang objek tanah yang menjadi hak tanggungan tetapi dinyatakan terlantar oleh pemerintah, belum pernah diteliti oleh pihak lain. Walaupun ada beberapa buku yang membahas secara umum tentang objek hak tanggungan yang dinyatakan terlantar oleh pemerintah, namun belum sampai menyentuh substansi permasalahan yang akan diteliti oleh penulis. Oleh karena itu penulis menegaskan bahwa penelitian ini adalah bersifat orisinil, mandiri, serta aktual dan belum pernah dipublikasikan maupun diajukan sebagai syarat memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi lain. Adapun tesis yang mengangkat topik yang sama tetapi berbeda permasalahan dengan tesis yang akan diajukan penulis di sini, beberapa diantaranya :
7
1. Tesis “Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah di Kota Denpasar” oleh Luh Putu Suryani9 Universitas Udayana Denpasar. Rumusan masalah : a) Kewenangan dan mekanisme penertiban tanah terlantar yang melibatkan berbagai instansi baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. b) Pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah di kota Denpasar. Kesimpulan tesis : Kewenangan penertiban tanah terlantar merupakan kewenangan delegasi dimana pemerintah (Presiden) mendelegasikan kewenangannya kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk melakukan penertiban tanah terlantar. Dalam pelaksanaannya dibentuk panitia C yang terdiri dari Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah Daerah, dan Instansi yang terkait dengan peruntukkan tanahnya yang berwenang melakukan identifikasi terlantar. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 yang mekanisme penertiban tanahnya dilakukan melalui tahapan inventarisasi, identifikasi, peringatan terhadap pemegang hak, penetapan tanah terlantar. Dalam rangka penatagunaan tanah di Kota Denpasar, tanah-tanah Negara bekas tanah terlantar yang akan didayagunakan untuk kepentingan masyarakat disesuaikan dengan 9
Luh Putu Suryani, 2011, Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah di Kota Denpasar, Tesis, Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar
8
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar yang diatur dalam Perda No. 10 Tahun 1999. 2. Tesis “Tanah Hak Pakai Instansi Pemerintah Di Kota Banjarmasin yang Ditelantarkan” oleh Selvy10 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Rumusan masalah : a) Mengapa hak pakai atas tanah yang sudah diberikan kepada Kantor pemerintahan kota Banjarmasin ditelantarkan? b) Kendala apa yang dihadapi oleh Badan Pertanahan Nasional dalam menertibkan hak pakai atas tanah yang telah ditelantarkan oleh instansi pemerintah yang telah diberikan izin di kota Banjarmasin? Kesimpulan tesis : Hak pakai atas tanah instansi pemerintah dinyatakan terlantar apabila tidak ada dasar penguasaan hak atas tanah. Sehingga dikembalikan lagi kepada ciri dari tanah terlantar tersebut bahwa tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifatnya. Tanah terlantar terhadap hak pakai atas tanah instansi pemerintah dapat menjadi tanah
Negara.
Karena
tanah
tersebut
tidak
diusahakan,
tidak
dipergunakan dan tidak dimanfaatkan. Adapun perbedaan antara kedua tesis diatas dengan tesis yang disusun oleh penulis adalah pada bidang kajian dan permasalahannya, tesis pertama membahas mengenai penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar di Kota Denpasar, tesis kedua membahas mengenai tanah hak 10
Selvy, 2013, Tanah Hak Pakai Instansi Pemerintah Di Kota Banjarmasin yang Ditelantarkan, Tesis, Magister kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
9
pakai instansi pemerintah dapat dinyatakan terlantar, sedangkan tesis yang disusun oleh penulis membahas mengenai perlindungan dan akibat hukum bagi bank selaku kreditur apabila tanah yang menjadi objek hak tanggungan telah dinyatakan terlantar oleh pemerintah. Sehingga penulis lebih menekankan kepada jaminan hak tanggungan dan pihak bank selaku kreditur.
D. Manfaat yang dapat diharapkan Hasil penelitian ini yang nantinya akan disempurnakan dalam bentuk tesis, diharapkan penelitian dan kajian hukum atas permasalahan diatas akan bermanfaat : a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran, maupun penemuan sesuatu yang baru agar bermanfaat bagi kasanah ilmu dibidang pertanahan serta pengaplikasikan bidang ilmu tersebut b. Diperoleh wawasan baru guna memberikan nilai tambahan bagi praktek hukum, khususnya serta menambah kasanah keilmuan di dunia akademi khususnya bagi para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan suatu bidang pertanahan.
10
E. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui status hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan apabila dinyatakan terlantar oleh pemerintah. 2. Untuk mengetahui perlindungan dan akibat hukum bagi Bank selaku kreditur apabila tanah yang menjadi objek hak tanggungan tersebut telah dinyatakan terlantar.