B A B II URGENSI IMPLEMENTASI CIVIL FORFEITURE DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
A. Penerapan Civil Forfeiture terhadap Hukum Yang berlaku di Indonesia tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Perbedaan terhadap sistem hukum Perdata dan hukum pidana berlaku juga terhadap kompetensi suatu peradilan, hukum acara, termasuk didalamnya mengenai hukum pembuktian. Pandangan tradisional melihat tindak pidana sebagai suatu kejahatan yang mengancam kepentingan masyarakat. Oleh karena itu hukum pidana dibuat dengan maksud untuk melindungi kepentingan masyarakat yang diancam oleh kejahatan tersebut, dengan menentukan kaidah-kaidah serta sanksi-sanksi yang dapat menindak para pelaku kejahatan maupun mencegah anggota masyarakat untuk dalam melakukan kejahatan61. Sehubungan dengan hal tersebut, hukum acara pidana disusun untuk menentukan syarat-syarat dan tata cara agar dapat menentukan seseorang terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan suatu kejahatan sehingga berakibat munculnya stigma sosial dari masyarakat terhadap terpidana sebagai seorang
61
http ://www. Legalitas .org / index.php /proses /?q=PERAMPASAN +HARTA+ KEKAYAAN + HASIL + TINDAK + PIDANA %3A + TELAAHAN + BARU + dalam + Sistem + Hukum + Indonesia
Universitas Sumatera Utara
"penjahat", akan tetapi hal tersebut tidak ditemukan dalam hubungan keperdataan sekalipun terdapat pihak yang dirugikan62. Dalam perkembangannya kini, pembedaan secara tegas antara perbuatan yang termasuk di dalam ruang lingkup hukum pidana dan hukum perdata tidak dapat dipertahankan lagi. Banyak perbuatan-perbuatan yang merupakan ruang lingkup hukum perdata telah diinterupsi dengan perbuatan pidana, ataupun sebaliknya perbuatan-perbuatan pidana seringkali juga berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap hubungan keperdataan. Pandangan kaum pasca modernis melihat hal ini sebagai langkah pemajuan dalam proses supremasi hukum. Apalagi dengan semakin meningkatnya administrasi birokrasi dalam perkembangan masyarakat modern telah mengakibatkan hukum adminisrasi juga seringkali tidak dapat dipisahkan secara tegas antara hukum perdata dengan hukum pidana. Perkembangan
masyarakat
modern
pun
berpengaruh
terhadap
perkembangan modus-modus kejahatan. Kejahatan pada saat ini telah menjadi sarana untuk mengambil keuntungan ekonomis sehingga kejahatan seperti ini disebut dengan jenis kejahatan dengan motif ekonomi. Nilai ekonomis dari suatu barang/aset hasil tindak pidana merupakan "darah segar" (blood of The Crime) bagi kejahatan itu sendiri. Oleh karenanya, kini dikenal bahwa harta kekayaan hasil suatu tindak pidana adalah darah bagi berlangsungnya aktivitas kehidupan kejahatan, terutama kejahatan yang tergolong luar biasa yang dilakukan dengan motif ekonomi seperti yang dimaksud diatas terus berkembang tidak hanya sebagai jenis kejahatan kerah putih 62
Ibid
Universitas Sumatera Utara
(white collar crime) belaka yang banyak melibatkan orang-orang terpelajar, bahkan saat ini telah menjadi suatu kejahatan serius yang terorganisir (well-organized crimes), memanfaatkan kecanggihan teknologi (advanced technology means), serta telah bersifat lintas batas yurisdiksi suatu negara (international crimes). Khusus kejahatan yang termasuk jenis ini, selain menghasilkan banyak harta kekayaan sekaligus juga membutuhkan banyak uang atau dana untuk membiayai tindak kejahatannya dan peralatan-peralatannya, baik sarana maupun prasarana pendukung untuk melakukan kejahatan63. Dalam menghukum pelaku tindak pidana untuk jenis kejahatan seperti ini tentu saja tidak cukup dengan proses pidana konvensional. Sistem peradilan kedepan harus mampu untuk menarik seluruh keuntungan yang dihasilkan serta seluruh peralatan, sarana dan prasarana yang mendukung kejahatan tersebut dengan maksud antara lain kejahatan tersebut tidak dilanjutkan oleh orang lain, atau dapat digunakan oleh orang lain untuk melakukan kejahatan lainnya; ataupun mencegah si pelaku tindak pidana beserta kerabatnya agar tidak dapat menikmati harta kekayaan dari hasil tindak pidananya64. Di berbagai belahan dunia bagi negara-negara yang menganut sistem hukum Anglosaxon/Common Law, mereka tidak lagi memberikan pandangan terpisah antara sistem hukum pidana dengan perdata dalam mengejar aset hasil tindak pidana yang dihasilkan dari suatu kejahatan. Sistem hukum mereka memungkinkan mengenal 63
Pedoman Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laudering), Dokumen Kepolisian Republik Indonesia ,tanpa Tahun,hal 1. 64 Ibid
Universitas Sumatera Utara
adanya perampasan aset yang dikenal dengan istilah Asset Forfeiture atau Asset Seizure. Asset Forfeiture ini memungkinkan pula untuk menyita atau merampas hasil pidana tanpa putusan pengadilan. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan negaranegara penganut sistem Eropa Kontinental/Civil Law. Asset Forfeiture ini hanya dikenal dalam proses sistem hukum pidana, yang dikenal dengan istilah penyitaan atau perampasan setelah dijatuhkannya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Pengertian yang demikian luas terhadap harta kekayaan yang dapat dirampas tentu saja menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat terhadap adanya kemungkinan terjadi penyalahgunaan wewenang atau wewenang dilakukan tanpa memperhatikan hak-hak asasi manusia, khususnya masyarakat dalam hal ini. Praktik internasional telah menunjukkan bahwa asset forfeiture dengan mengambil harta kekayaan para pelaku kejahatan, menjualnya, dan membagi-bagikan hasilnya kepada para penegak hukum untuk proses penegakan hukum yang lain, telah menghasilkan uang dalam jumlah yang sangat besar, sehingga kemudian timbul motivasi dari para penegak hukum untuk lebih intensif memberikan perhatian terhadap penyelesaian perkara-perkara dengan melibatkan harta kekayaan dalam jumlah yang besar, sekalipun perkara itu tergolong pada kejahatan ringan. Berbeda dengan proses hukum konvensional yang jauh lebih merumitkan dalam upaya mengambil harta kekayaan tindak pidana. Dalam kondisi yang demikian, putusan-putusan pidana telah mengakibatkan banyak orang-orang menjadi kehilangan harta kekayaan, bahkan penghasilan. Pada akhirnya, sistem hukum tidak
Universitas Sumatera Utara
dapat
menurunkan
tingkat
kejahatan,
apalagi
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat. Harta yang diperoleh dengan jalan yang tidak sah yang telah dicuci seolah oleh diperoleh dengan jalan legal (money laundering) dijadikan sebagai objek dari civil forfeiture65. Instrumen civil forfeiture sekilas mirip dengan gugatan perdata yang ada dalam UU PTPK, namun keduanya memiliki perbedaan. Upaya perdata dalam UU PTPK menggunakan aturan perdata biasa dimana proses persidangannya masih tunduk pada hukum perdata formil atau materiil biasa. Civil forfeiture menggunakan aturan perdata yang berbeda, seperti pembalikan beban pembuktian. Civil forfeiture tidak berkaitan dengan pelaku tindak pidana dan memperlakukan sebuah aset sebagai pihak yang berperkara. Perbedaan tersebut menghasilkan dampak yang berbeda66. Gugatan perdata yang ada dalam UU PTPK memberikan beban pembuktian adanya “unsur kerugian negara” kepada jaksa sebagai pengacara negara. Sebaliknya civil forfeiture mengadopsi prinsip pembalikan beban pembuktian dimana para pihak yang merasa keberatan membuktikan bahwa aset yang digugat tidak mempunyai hubungan dengan korupsi. Hal ini menjadikan Jaksa Pengacara Negara cukup
65
http://gagasanhukum.worldpress.com/tags-eka-iskandar/p/2 diakses terakhir kali tanggal 28
Juli 2010.
66
Ibid
Universitas Sumatera Utara
membuktikan adanya dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan dengan suatu tindak pidana korupsi.67 Semakin meningkatnya kuantitas dan kualitas kasus-kasus korupsi di Indonesia, maka untuk memerangi korupsi, salah satu cara dapat menggunakan instrument civil forfeiture untuk memudahkan penyitaan dan pengambilalihan aset koruptor melalui jalur perdata. Indonesia selama ini cenderung mengutamakan penyelesaian melalui jalur pidana yang lebih fokus untuk menghukum pelaku tindak pidana korupsi dari pada pengembalian kerugian keuangan negara. Kenyataannya jalur pidana tidak cukup “ampuh” untuk meredam atau mengurangi jumlah/terjadinya tindak pidana korupsi. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Marwan Effendy bahwa korupsi di Indonesia seperti tidak habis-habisnya, semakin ditindak makin meluas, bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah kasus, jumlah kerugian negara maupun kualitasnya. Akhir-akhir ini nampak makin terpola dan sistematis, lingkupnya pun telah merambah ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara. , korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai “extraordinary crime” (kejahatan luar biasa), tetapi juga sebagai kejahatan transnasional.68 Mempertajam pemahaman tentang civil forfeiture, terdapat beberapa perbedaan mendasar secara umum antara civil forfeiture dibandingkan dengan
67
Suhadibroto, Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian negara Dalam korupsi, www. Komisi Hukum.go id. Dalam Detania, hal.34 68 Marwan Effendy, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Lokakarya Anti-korupsi bagi Jurnalis, Surabaya, 2007, hal.1.
Universitas Sumatera Utara
criminal forfeiture, antara lain : Pertama, civil forfeiture tidak berhubungan dengan sebuah tindak pidana, sehingga penyitaan dapat lebih cepat diminta kepada pengadilan. Penyitaan dalam proses pidana mengharuskan adanya seorang tersangka atau putusan bersalah. Civil forfeiture dapat dilakukan secepat mungkin begitu ada adanya hubungan antara aset dengan tindak pidana. Kedua, civil forfeiture menggunakan standart pembuktian perdata, tetapi dengan menggunakan sistem pembalikan beban pembuktian, sehingga lebih ringan dalam melakukan pembuktian terhadap gugatan yang diajukan. Ketiga, civil forfeiture merupakan proses gugatan terhadap aset (in rem), sehingga pelaku tindak pidana tidak relevan lagi.Keempat, civil forfeiture berguna bagi kasus dimana penuntutan secara pidana mendapat halangan atau tidak mungkin untuk dilakukan.69 Keberhasilan penggunaan civil forfeiture di negara maju mungkin bisa dijadikan wacana di Indonesia karena prosedur ini akan memberikan keuntungan dalam proses peradilan dan untuk mengejar aset para koruptor. Seperti yang terlihat selama ini, seringkali jaksa mengalami kesulitan dalam membuktikan kasus-kasus korupsi karena tingginya standar pembuktian yang digunakan dalam kasus pidana. Selain itu seringkali dalam proses pemidanaan para koruptor, mereka menjadi sakit, hilang atau meninggal yang dapat mempengaruhi atau memperlambat proses peradilan. Hal ini dapat diminimalisir dengan menggunakan civil forfeiture karena
69
Ario Wandatama dan Detania Sukarja, “Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di Indonesia untuk mendukung Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative”, Makalah dalam Seminar Pengkajian Hukum NAsinal, 2007, h.22-23.
Universitas Sumatera Utara
obyeknya adalah aset bukan koruptornya, sehingga sakit, hilang atau meninggalnya si koruptor bukan menjadi halangan dalam proses persidangan. Apabila dicermati dalam proses penyidikan tindak pidana pencucian uang yang telah ditangani (termasuk didalamnya adalah korupsi), terlihat adanya kecenderungan bahwa para pelaku kejahatan ini pada umumnya memiliki status sosial yang tinggi di dalam masyarakat. Mereka tidak mempergunakan harta benda kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan yang dilakukan dalam bentuk uang tunai. Para pelaku kejahatan ini lebih memilih untuk menyembunyikan, menyamarkan, atau mengalihkan nya berkali kali uang hasil kejahatan tersebut dengan modus yang berbeda beda, agar penegak hukum tidak dapat atau mengalami kesulitan untuk mengungkap dan menjerat pelaku kejahatan tersebut. Keseluruhan proses ini merupakan bagian yang terpisahkan dari perbuatan pencucian uang. Lahirnya UUTPPU didasari oleh suatu pemikiran bahwa tindak pidana pencucian uang sangat erat kaitannya dengan dana-dana yang sangat besar jumlahnya.
Sementara itu, dana-dana tersebut disembunyikan dan disamarkan
melalui jasa-jasa keuangan seperti jasa perbankan, asuransi, pasar modal dan instrument lain dalam lalu lintas keuangan, praktek ini secara tidak langsung akan membahayakan,bahkan merusak stabilitas perekonomian yang telah ada. Tindakan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang didapat dari hasil suatu tindak pidana, biasanya dilakukan oleh organisasi kriminal maupun individu yang melakukan korupsi, perdagangan narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatan lingkungan hidup dan tindak pidana lain
Universitas Sumatera Utara
dengan tujuan menyembunyikan, menyamarkan atau mengaburkan asal usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut. Sehingga harta kekayaan tersebut baik yang berupa uang maupun barang dapat digunakan seolah olah sebagai harta kekayaan yang sah, tanpa terdeteksi bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari kegiatan yang illegal. Adapun yang melatarbelakangi para pelaku melakukan pencucian uang adalah dengan maksud untuk memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime70. Tindakan tersebut dimaksudkan dengan memisahkan proceeds of crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan terhadap pelakunya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam bisnis dan usaha yang sah. Uang haram di dalam pencucian uang diperoleh dari berbagai kalangan kejahatan, maka terdapat beberapa pengaturan sebagai upaya pencegahan kejahatan pencucian uang. Yakni : 1. Undang Undang Nomor 22 Tahun 1977 tentang Narkotika Undang-Undang Narkotika ini mengatur masalah narkotika yang dibutuhkan sebagai obat dan
70
Proceeds of crime diartikan sebagai pola kejahatan pencucian uang yang merupakan hasil dari tindak pidana dari kejahatan awal (predicate crimes) berupa uang atau harta kekayaan oleh pelaku baik orang maupun korporasi, yang biasanya selalu berusaha untuk melakukan penyamaran dan menempatkan harta hasil kejahatan di dalam suatu financial system dengan maksud harta kekayaan tersebut sebagai harta yang dianggap legal.
Universitas Sumatera Utara
sekaligus mencegah dan memberantas bahaya penyalah gunaan dan peredaran gelap narkotika.71 2. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1977 tentang Psikotropika Undang-Undang Psikotropika bertujuan untuk memberantas dan mencegah terjadinya peredaran gelap Psikotropika. Dalam Undang-Undang ini diatur, antara lain, mengenai persyaratan dan tata cara ekspor dan impor peredaran serta penyaluran psikotropika ,agar hal tersebut tidak disalah gunakan sebagai sarana pencucian uang. 3. Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menyebutkan bahwa : “Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindakan pidana dibidang perbankan.” Didalam penjelasan atas Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan transaksi tertentu adalah transaksi dalam jumlah besar yang diduga berasal dari kegiatan melanggar hukum dalam pengertian ini, tentunya termaksud pula kegiatan pencucian uang.
71
Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1977 menyebutkan “ Narkotika dan peralatan yang dipergunakan dalam pelanggaran narkotik dan hasil hasilnya dapat disita untuk Negara.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian dalam rangka kerja sama internasional, Pasal 57 undang-undang ini menyebutkan bahwa Bank Indonesia dapat melakukan kerja samama dengan bank central lainnya, organisasi, dan lembaga internasional. Kerja sama ini dapat meliputi kerja sama tukar-menukar informasi yang terkait dengan bank sentral, termasuk dalam bidang pengawasan bank. 4. Dalam hubungannya dengan ekstradisi, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi memungkinkan adanya kerja sama internasional. Beberapa perjanjian ekstradisi yang telah ditandatangani oleh Indonesia dengan Negara lain meliputi Filiphina, Malaysia, Thailand, Australia, dan Hongkong. Khusus untuk kerja sama dengan Australia dan Hong Kong, memang telah meliputi pencucian uang meskipun belum dinyatakan sebagai tindakan pidana. 5. Selain itu, sebagai wujud kepedulian pemerintah Indonesia dalam pemberantasan kejahatan pencucian uang, pada Juni 2000 Indonesia telah diterima menjadi anggota Asia Pacific Group (APG) On Money Laundering di kawasan Asia Pasifik yang didrikan pada Februari 1997. Organisasi ini telah memiliki anggota 22 negara. 6. Undang Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Karena kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melalui pergerakan dana dalam transaksi internasional, secara tidak langsung Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 telah memberikan landasan untuk memantau kegiatan ini. Dalam Pasal 3 ayat (2) disebut bahwa :
Universitas Sumatera Utara
“Setiap penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas devisa yang dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.” Keterangan dan data yang diminta, antara lain, meliputi nilai dan jenis
transaksi
dan negara tujuan atau asal pelaku transaksi. Pada waktu itu salah satu faktor yang menjadi latar belakang lahirnya undangundang ini, antara lain, munculnya suatu kasus Eddy Tansil karena pada waktu itu (meskipun Indonesia tidak termasuk dalam “Tax haven country”) Indonesia terkenal dengan tingkat kebebasan lalu lintas devisa, modal, dan dana yang tinggi sehingga memungkinkan setiap individu atau perusahaan melakukan transaksi secara leluasa dan hampir tanpa batas. Terlebih dengan tidak adanya keharusan menerangkan asal usul dari setiap devisa yang masuk atau keluar72. Kesaksian yang disampaikan seseorang pejabat sebuah bank Swasta di Jakarta pada waktu berlangsung peradilan Eddy Tansil. Dinyatakan, antara lain, bahwa atas dasar permintaan Eddy Tansil, maka dengan mudah telah melakukan transfer uang sebesar Rp 178 miliar atau sekitar US$ 85 juta kesalah satu bank di Cayman Island. Hal ini dapat terlaksana dengan mudah mengingat negara tersebut menyediakan peraturan dan fasilitas yang memungkinkan perkembangannya The Financial Secrery Business73.
72 73
http://www.polotikindonesia.com/readhead.php?id=333.html. Ibid
Universitas Sumatera Utara
Dengan begitu dapat
disimpulkan bahwa sistem devisa yang berlaku
memungkinkan setiap orang/badan untuk memindahkan uang simpan rupiah mereka kemana saja dikehendaki, proses demikian dapat membawa implikasi terkurasnya dana valuta asing yang dihimpun susah payah. 7. Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang direvisi dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 8. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tindak lanjut dari perintah undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Disamping itu dapat dicatat pula Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2004 tentang pembentukan Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Keppres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Untuk menunjang tekad pemerintah korupsi telah dikeluarkan pula Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-undang anti “money laundering” di samping pula Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi. Sejalan dengan kebijakan tersebut, berbagai lembaga independent juga dibentuk, seperti PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi keuangan) sebagai Financial Inteligent Unit, lembaga perlindungan saksi dan korban. Tidak kalah pentingnya adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan serta aktif
Universitas Sumatera Utara
menunjang program pemerintah dalam pembertasan korupsi dengan memberikan kesempatan serta peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 9. UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan , UU No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 5 tahun 1990 Tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya . Hanya saja UU ini belum dapat untuk menjamah para pelaku intelektual kejahatan dalam bidang kehutanan. Jika merujuk kepada UU No 41 Tahun 1999 lebih banyak menjerat para pelaku lapangan seperti buruh tebang dan buruh memindahkan hasil kayu hasil dari tebangan liar dari suatu tempat ke tempat lain. Hal ini terjadi karena merekalah yang terbukti menduduki kawasan hutan, memiliki, menebang, membawa, menguasai dan mengangkut hasil hutan dengan tanpa izin yang sah74. Penyebab utama kasus illegal loging adalah aktor intellektualnya selama ini terlalu kuat untuk ditembus hukum. Kekebalan pelaku penebangan liar terhadap hukum dikarenakan keterkaitan dengan instutisi pemerintah dan oknum pejabat sipil maupun militer yang membeking sehingga pelaku sangat sulit untuk dijangkau atau disentuh hukum. Penyelesaian kasus illegal loging dipengadilan selama ini hanya berakhir dengan penyitaan dan pelelangan kayu hasil tangkapan. Tidak sedikit yang bebas karena disebabkan tidak cukup bukti keterlibatan75. Kegagalan penegakan hukum atas tindak pidana dibidang kehutanan ini memberikan pelajaran bagi kita untuk mencari sisi lain yang dapat dijadikan celah 74
Pasal 50 ayat 3 UU No 41 Tahun 1999 http://antikorupsi.org/indo/content/view/1254/6/html?, UU Pencucian Uang : Solusi Alternatif memberantas illegal logging , diakses tanggal 17 Agustus 2010. 75
Universitas Sumatera Utara
untuk menjerat pelaku utamanya.Pendekatan lain adalah dengan pengusutan dari sisi keuangan atau mengejar hasil kejahatan (follow the money)76. Dengan UU TPPU , maka untuk kejahatan di bidang kehutanan memiliki resiko terjadinya pencucian uang yang sama halnya dengan kejahatan korupsi, perdagangan senjata, narkoba dan terorisme. Aparat hukumpun dapat menjerat pelaku illegal loging dengan UU TPPU . Karena kayu yang berasal dari illegal logging maka uangnya adalah ”haram”. Para pelaku dalam tindak pidana illegal logging ini juga melakukan kegiatan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan melakukan 3 (tiga) tahapan seperti : Placement yang merupakan fase menempatkan uang yang dihasilkan dari aktifitas kejahatan dengan memecah sejumlah besar uang tunai menjadi jumlah kecil yang tidak mencolok untuk ditempatkan dalam sistem keuangan. Layering merupakan proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ketempat lainnya dengan serangakaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan atau menyembunyikan sumber uang ”haram” tersebut. Integration disini uang haram, tersebut tidak nampak lagi berhubungan dengan aktifitas kejahatan sebelumnya karena telah ”dicuci” dengan kegiatan placement
76
Barda Nawawi Arif, Sari Kuliah Hukum Pidana (Semarang:Badan penyedia Bahan Kuliah Universitas Diponegoro,1999) hal 49.
Universitas Sumatera Utara
dan layering tersebut . Pelaku dapat saja menggunakan satu dari ketiga kegiatan tersebut, namun juga dapat melakukan gabungan dari tiga cara tersebut77. Uang hasil kegiatan
tersebut dapat dimasukkan ke bank (placement) dan
kemudian disamarkan (layering) dengan melakukan transfer ke beberapa nama dan nomor rekening dan selanjutnya diinvestasikan (integration) kedalam bisnis legal seperti pendirian hotel, jasa transportasi bahkan sampai dengan mendirikan BPR78. Perbankan adalah saluran yang sangat menarik adalah saluran yang sangat menarik digunakan dalam kejahatan pencucian uang mengingat perbankan merupakan lembaga keuangan yang paling banyak menawarkan intrumen keuangan. Banklah tempat transaksi yang paling efektif dalam bisnis kehutanan mengingat jaringan bank khususnya bank-bank nasional milik pemerintah telah meiliki sistem operasional yang online ke seluruh pelosok daerah yang memungkinkan transaksi dapat dilakukan dengan mudah. Pasal 13 UU Pencucian Uang menyebutkan bahwa bank wajib menyampaikan laporan kepada PPATK mengenai transaksi keuangan mencurigakan atau Suspicious Transaction Report (STR) serta wajib melaporkan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai atau Cash Transaction Report (CTR) dalam jumlah komulatif Rp 500 juta. Ketentuan jelas mengikat semua bank untuk selalu memeriksa dan meneliti setiap transaksi yang dilakukan dengan nasabahnya
77
Rendah,dukungan Perusahaan Keuangan Pemberantasan Pencucian Uang ,http://bpkp.go.id/viewberita.php?aksi=view&start=1205&id=985,html, diakses terakhir kali pada tanggal 15 Agustus 2010 78 Ibid
Universitas Sumatera Utara
dan wajib melaporkan kepada PPATK jika terdapat hal-hal yang mencurigakan antara lain seperti transaksi yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi. Dalam kasus illegal logging, bank sebenarnya dapat dengan mudah mendeteksi baik STR maupun CTR nasabahnya karena : 1) umumnya setiap mata rantai pelaku utama illegal logging seperti beckers, cukong, dan perusahaan atau industri kayu, selalu menggunakan bank sebagai tempat transaksi mengingat uang yang dihasilkan dalam bisnis ini selalu dalam jumlah yang besar, sehingga tidak mungkin dibawa dalam bentuk tunai. Transaksi inipin pasti akan menunjukan pola yang mencurigakan. 2) Bank akan terbantukan dengan adanya berbagai informasi baik dari media masa maupun dari LSM bahkan dari pemerintah / Dephut sendiri tentang para pemain yang terlibat dalam kasus-kasus illegal logging yang terjadi sehingga bank bisa langsung memproses baik STR maupun CTR dari nasabahnya dan diteruskan kepada PPATK dan selanjutnya PPATK dapat melaporkan kepada polri 79. Penyelidikan Keuangan oleh Polisi selama ini dalam menangani proses hukum perkara illegal logging polisi lebih cenderung hanya menggunakan undangundang kehutanan dan lingkungan hidup yang ternyata sulit membuktikan keterlibatan pelaku intelektual dan beking illegal logging. Penggunaan UU Kehutanan misalnya sulit membuktikan keterlibatan aktor intelektual dan beking illegal logging memenuhi unsur – unsur yang terbukti memiliki, menguasai, mengangkut hasil hutan adalah penebang dan pemilik alat angkat kayu. Dengan
79
http://antikorupsi.org/indo/content/view/1254/6/html?.diakses pada tanggal 17 Agustus
2010
Universitas Sumatera Utara
adanya UU Pencucian Uang, Polri kini mempunyai intrumen hukum baru untuk melakukan penyelidikan keuangan dan mengungkapkan kejahatan pencucian uang di balik aksi illegal logging. UU TPPU mengijinkan penyidik polri untuk menyelidiki setiap laporan yang telah disampaikan oleh PPATK berkaitan dengan dugaan terjadinya transaksi keuangan yang mencurigakan (Surpicous Transaction Report) yang terkait diduga terkat dengan bisnis dibidang kehutanan. Melalui UU pencucian uang polisi dapat menelusuri transaksi keuangan serta membekukan sementara nomor rekening di bank, serta penyita harta atau aset pelaku illegal logging guna kepentingan penyidikan. Dukungan Dephut, Departemen Kehutanan sebagai wakil pemerintah dalam mengelola sektor kehutanan di Indonesia bisa memainkan peran kunci sehubungan dengan masuknya bidang kehutanan dalam UU pencucian uang. Dephut wajib memberikan dukungan penuh baik kepada PPATK maupun Polisi dalam implementasikan UU pencucian uang. Kerjasama MoU anatara Dephut dan PPATK sebisanya dapat berjalan efektif seperti pertukaran informasi, dan pembentukan gugus tugas bersama penanganan illegal logging dan pencucian uang dapat turut membantu pencegahan dan pemberantasan illegal logging. PPATK penghubung aparat penegak hukum lembaga keuangan dibidang kehutanan, selain telah menjalin kerjasama dengan Departemen Kehutanan, PPATK ditunggu kiprahnya diinternasional sebagai satu-satunya financial intelejen Unit di dunia yang menangani tindak pidana pencucian uang di sektor kehutanan khususnya masalah illegal logging . Ini adalah konsekuensi dari masuknya bidang kehutanan dalam Undang Undang Tindak Pidana
Universitas Sumatera Utara
Pencucian Uang di Indonesia. PPATK bertugas untuk menerima, menganalisis dan mengevaluasi laporan penyediaan jasa keuangan serta meneruskannya kepada aparat penegak hukum menempatkan dirinya sebagai ”liaison” (penghubung) yang menjembatani Penyedia Jasa Keuangan (PJK); meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum. PPATK dalam berbagai kesempatan telah mengungkapkan dalam hasil analisanya, akan adanya sejumlah transaksi keuangan yang tidak wajar (unusual transaction) pada penyedia Jasa Keuangan terkait. Laporan ini telah diserahkan kepada kepolisian selaku aparat penyidik, lengkap dengan nama pelaku, bukti-bukti transaksi, jumlah dana yang ditransaksikan, serta modus pencucian uang. Keefektifan instrumen anti pencucian uang ini sangat tergantung pada komitmen, kerjasama dan peran aktif PPATK, Polisi, Penyedia Jasa Keuangan, Departemen Kehutanan, termasuk lembaga lingkungan, LSM dan masyarakat, sebagai upaya untuk mendukung penagakan hukum dibidang kehutanan dan lingkungan80. Kerjasama antara pelaku dengan instansi pemerintah dalam illegal loging dapat dikategorikan dengan tindak kejahatan korupsi yang dijerat dengan UU PTPK. Oleh karena itu korupsi merupakan bagian terpenting dari tindak pidana pencucian uang yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Ditempatkannya korupsi sebagai salah satu kejahatan yang terorganisasi dan bersifat transnasional dengan alasan sebagai berikut; 80
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Alasan Pertama, modus operandi korupsi telah menyatu dengan sistem birokrasi hampir disemua negara ,termasuk dan tidak terbatas pada negara-negara di Asia dan Afrika , dan dilakukan secara besar-besaran oleh sebahagian pejabat tinggi, bahkan seorang Presiden seperti di Philipina , Perdana Menteri Thaksin di Thailand dan bahkan di Indonesia81 . Berkembang
issue bahwa korupsi mempunyai kaitan pula dengan
kejahatan-kejahatan lain yang terorganisasi, khususnya dalam upaya koruptor menyembunyikan hasil korupsinya melalui pencucian uang (money laundering) dengan pemanfaatan transaksi derivative yakni melalui transfer-transfer internasional yang efektif. Alasan Kedua, korupsi terbukti telah melemahkan sistem pemerintahan dari dalam alias merupakan virus berbahaya dan penyebab proses pembusukan dalam kinerja pemerintahan serta melemahkan demokrasi. Alasan ketiga, pemberantasan korupsi merupakan hal yang sangat sulit diperangi karena didalam sistem birokrasi juga koruptif sehingga memerlukan instrument yang luar biasa untuk mencegah dan memeranginya dan memberantasnya. Sebagai suatu kejahatan yang melintasi batas teritorial suatu negara (transnasional) dan sebagai kejahatan terorganisasi (organized crime), bahkan korupsi seringkali melibatkan korporasi sebagai pelaku. Gambaran ini mengingatkan kepada kita bahwa penanganan korupsi menjadi semakin rumit, dengan semangkin
81
http://www.tempointeraktif, Indonesia Masih dianggap surge Pencucian Uang diakses 25 Oktober 2009.
Universitas Sumatera Utara
banyaknya aset publik yang dikorupsi kemudian disimpan pada sentra-sentra finansial di negara-negara maju terlindung oleh system hukum yang berlaku di negara tersebut, ditambah lagi dengan jasa para profesional yang disewa oleh koruptor sehingga tidak mudah untuk melacak, apalagi memperoleh kembali aset tersebut. Pengembalian aset menjadi issue penting karena pencurian aset negara di negara-negara berkembang yang dilakukan oleh orang-orang yang pernah berkuasa di negara yang bersangkutan merupakan masalah serius. Hal ini dibuktikan sangat banyak hasil aset korupsi yang ditempatkan di negara yang dianggap aman oleh pelakunya seperti, kepulauan Cayman, Swiss, Austria dan beberapa negara di Asia dan Afrika 82. Ratifikasi UNCAC 2003 dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 oleh pemerintah Indonesia, secara politis telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerja sama Internasional. Hal ini penting, karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik, sebagai suatu perbuatan yang sangat merugikan serta dapat merusak sendi-sendi kehidupan perekonomian suatu negara83. Korupsi telah menjadi musuh bersama umat manusia. Korupsi telah menjelma menjadi “penyakit” yang sangat menakutkan karena sedang mewabah di seluruh dunia tanpa diketahui obat yang mujarab untuk menanganinya. Oleh karena 82
(Harian Seputar Indonesia , 27 September 2006 Opini Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad dan Ketua forum 2004). 83 Mokhammad Najih,Ratifikasi UNCAC 2003 (melalui UU No 7/2006) Dan Konsekuensinya bagi Penanggulangan Korupsi di Indonesia kaitannya dengan Stolen Assests Recovery (Star) Initiative, disampaikan pada Seminar Hukum nasional (SPHN 2007) di Hotel Milenium –Jakarta-2829 Nopember 2007
Universitas Sumatera Utara
itu, dengan sifat “mewabah” yang melekat padanya, maka korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional suatu negara, akan tetapi telah menjadi masalah internasional yang harus diselesaikan. Juga bukan hanya dengan menggunakan intrumen hukum nasional saja, tetapi juga menjadi instrument hukum nasional. Dalam melakukan kegiatannya hal yang juga sering dilakukan oleh para koruptor adalah Money Laundering atau pencucian uang Karakter utama yang dilakukan oleh pelaku dalam kegiatan money laundering adalah menghilangkan atau menghapus jejak asal usul uang tersebut. Dan dalam kegiatan yang tidak saja melakukan dalam batas wilayah, namun juga meluas ke negara negara lain yang dikenal dengan Kejahatan transnasional. Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang yang perlu diperhatikan adalah : 1. Tujuan dari Tindak Pidana Pencucian Uang adalah mengubah status uang illegal/tidak sah, maka seharusnya (idealnya) tidak perlu diberi batasan minimal jumlah harta kekayaan hasil tindak pidana, yang akan dicuci. Pelaku dapat melakukan tindakan lain yang dianggap aman dan tidak melewati batas minimum. Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 tantang perubahan terhadap Undang Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, menambah ketentuan tentang tindak pidana asal (core crime) dari predicate crimes yang semula bersifat tertutup menjadi terbuka, dan lebih menekankan PPATK untuk bekerja secara intensif dalam menanggulangi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Tindakan pemerintah Republik Indonesia untuk menanggulangi dan keluar dari daftar hitam (black list) negara negara tempat
Universitas Sumatera Utara
tumbuh suburnya kegiatan pencucian uang, yang dilakukan melalui beberapa upaya-upaya sudah menampakkan hasilnya dengan dinyatakan bahwa Indonesia telah keluar dari daftar hitam tersebut.84 Pada dasarnya UU TPPU telah memberikan landasan berpijak yang cukup kuat bagi penegakan hukum, untuk dapat menjerat pelaku tindak pidana pencucian uang (money laundering), dengan melalui pendekatan pendekatan sebagaimana tersebut diatas. Dengan harapan adanya pendekatan tersebut, tidak saja secara fisik pelaku dapat terdeteksi, tetapi juga terhadap harta kekayaan yang didapat,diperoleh, dan berasal dari kejahatan (core crime), yang digolongkan sebagai predicate crimes. Sehingga kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh para pelaku yang biasanya mempunyai status social yang tinggi (high social status) dapat dimintakan pertanggung jawabannya. Dalam tindak pidana pencucian uang (money laundering), yang menjadi prioritas utama adalah pengembalian dan pengejaran uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan, dengan beberapa alasan 85 yaitu: a.
Jika pengejaran ditujukan kepada pelakunya akan lebih sulit dan beresiko;
b.
Perbandingan antara mengejar pelakunya dengan mengejar harta kekayaan dari hasil kejahatan akan lebih mudah mengejar hasil dari kejahatan. Uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan adalah seperti darah
84
Sutanto,Peran Polri untuk meningkatkan Efektivitas Penerapan UU TPPU, Keynote Adress Pada Pelatihan Anti Tindak Pidana Pencucian Uang , (Medan: Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, tanggal 15 September 2005)hal.6 85 Yunus Husein,Upaya Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering), makalah disampaikan pada Seminar Nasional Mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang oleh Universitas Sumatera Utara (USU),Medan,tanggal 30 Oktober 2002,hal 2
Universitas Sumatera Utara
yang menghidupi energy dari tindak pidana itu sendiri (blood of crime). Bila para penegak hukum melakukan pengejaran terhadap uang atau harta kekayaaan yang diperoleh dari hasil kejahatan, serta dilakukan upaya upaya hukum berupa penyitaan untuk menyelematkan aset/keuangan negara, maka secara signifikan akan berdampak pada turunnya tingkat kejahatan pencucian uang itu sendiri. UU TPPU pasal 1 menyebutkan bahwa dalam Undang Undang ini yang dimaksud dengan Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan dan membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan Hasil Tindak Pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah oleh harta kekayaan yang sah dan sampai dengan saat ini dianggap perlu untuk mengimplementasikan civil forfeiture kedalam sistem hukum di Indonesia . Bahwa ada gugatan yang hampir sama dengan civil forfeture sudah pernah dilakukan Indonesia terhadap uang Haji AchmadThahir,mantan ASISTEN Umum Direktur Utama Pertamina ,bersama istri kedua Almarhum,Kartika Ratna Thahir,sebesar USD 35 juta di Bank Sumitomo pada tanggal 23 Juli 1976 dan pada tanggal 3 Desember 1992, Pertamina memenangkan gugatan dan berhasil
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan harta warisan Achmad Thahir setelah Pengadilan Singapura memutus Pertamina berhak atas uang deposito sebesar USD 35 juta tersebut86. Dari uraian diatas ,civil forfeiture merupakan alternatif yang sangat berguna untuk menyita dan mengambil aset koruptor,khususnya yang berada di diluar negeri B. Hubungan antara Civil Forfeiture dengan Perjanjian Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance /MLA) Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Tindak Pidana Korupsi telah dianggap sebagai tindak pidana yang “luar biasa “ (extraordinary crime), sehingga upaya pemberantasaan pelaku tindak pidana korupsi tidak lagi dilakukan secara pidana “luar biasa “ (extraordinary crime) karena umumnya tindak pidana korupsi ini dilakukan oleh pelaku yang umumnya dilakukan oleh golongan yang memiliki otoritas dan/atau keahlian dibidangnya dengan cara sistematis, melibatkan banyak orang dengan aktor intelektual, sehingga terbongkarnya kasus korupsi itu lama setelah perbuatan itu dilakukan, sehingga hasil korupsi sudah bisa diamankan oleh para pelaku.87 Para koruptor mempunyai berbagai cara dan jalan yang biasa dipilih untuk mengamankan, misalnya dengan menggunakan rekayasa financial (financial engineering) yang pada umumnya telah tersedia dalam praktek bisnis di dalam maupun diluar negeri yang bertujuan untuk mengkaburkan asal usul aset yang dikorupsi dan dengan demikian pengamanan hasil aset korupsi itu dilakukan dengan rekayasa yang canggih dan rapi serta menggunakan celah celah hukum sehingga 86
http://64.203.71.11/kompas-cetak,Srihartati Samhadi,Kejar Orangnya atau Uangnya? Diakses pada tanggal 15 Mei 2009. 87 Indriyanto Seno Adji.op.cit hal 236
Universitas Sumatera Utara
terlindungi dengan baik, oleh karena itu dapat dikatakan kejahatan korupsi ini mempunyai dampak merusak dalam “spectrum” yang sangat luas88. Berdasarkan uraian diatas, untuk mengadili serta menyita dan merampas aset koruptor yang dibawa keluar negeri bukanlah suatu hal yang mudah karena berbenturan dengan hukum yang mengatur , karena sebagaimana yang selama ini dipergunakan, dengan menggunakan intrumen hukum perdata hampir tidak ada manfaatnya, karena undang undang korupsi tidak memberikan kekhususan dengan diutamakannya persidangan dalam penyelesaian melalui instrument perdata. Upaya pengembalian melalui instrument perdata biasa, artinya gugatan perdata terhadap koruptor (tersangka, terdakwa, terpidana, atau ahli warisnya) adalah suatu jalan yang terbuka menurut hukum sebagaimana yang diatur dalam pasal 38 C Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan; “Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidanan dan/atau ahli warisnya”. Dalam pengajuan gugatan perdata sesuai dengan Pasal 38 C Undang Undang
Nomor 20 Tahun 2001, haruslah tetap memberlakukan prinsip prinsip
88
Taufiqurrahman Ruki,KPK dan Jejaring Internasional Rezim Anti Korupsi Dalam Upaya Pengembalian Hasil Tindak Pidana Korupsi, Seminar Nasional Sinergi Pemberantasan Korupsi,Gedung bank Indonesia,Kebon Sirih,Jakarta:4 April 2006
Universitas Sumatera Utara
hukum acara yang berlaku antara lain, dengan pengajuan gugatan dengan berdasarkan asas “actor sequitor forum rei”, dan dalam acara pembuktian sesuai dengan asas “actori in cumbit probation”89 dan juga dalam pengajuan gugatan perdata harus menempuh proses beracara biasa yang penuh formalitas dan memakan waktu yang cukup lama. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa untuk sampai kepada putusan Pengadilan yang berkuatan Hukum tetap bisa makan waktu bertahun tahun dan belum tentu menang. Dalam peraturan Undang Undang, Pemeriksaan terhadap tindak pidana korupsi diberikan prioritas, sedang gugatan perdata yang berkaitan dengan perkara korupsi tidak wajib diprioritaskan. Disamping itu, tergugat (koruptor) atau ahli warisnya, bisa menggugat balik dan kemungkinan malah dia yang menang dan justru pemerintah (penggugat) yang harus membayar tuntutan koruptor (tergugat) atau ahli warisnya. Hal ini menggambarkan pandangan terhadap pemberantasan korupsi yang semata mata bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana penjara (deterrence effect), kurang tepat akan tetapi si koruptor harus dapat mengembalikan kerugian negara yang telah dikorupsinya. Perubahan Paradigma terhadap pemberantasan korupsi terlihat dari penghukuman dan penjeraan kepada pelaku koruptor yang beralih dengan tidak lagi
89
Kuntoro Basuki, Pengembalian Aset Korupsi dalam Persfektif Hukum Perdata, Seminar Pengkajian Hukum Nasioal (SPHN 2007), Hotel Millenium,Jakarta,28-29 Nopember 2007.
Universitas Sumatera Utara
menitikberatkan kepada hukuman kepada pelaku, namun menitik beratkan kepada pengembalian hasil korupsi yang ternyata telah ditempatkan di negara lain90. Oleh karena itu maka diperlukan kerja sama internasional dengan negara lain yang tujuannya adalah mengembalikan aset yang telah dicuri dan untuk menghindar benturan dengan kedaulatan negara lain dan juridiksi hukum negara dimana aset tersebut ditempatkan, dapat diatasi apabila negara tersebut telah meratifikasi United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC).
C.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuanngan Sebagaimana telah disebutkan, berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh
perseorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah negara lain semakin meningkat. Kejahatan tersebut berupa tindak pidana yang berhubungan dengan pencucian uang (money laundering)seperti : korupsi, penyuapan penyeludupan
barang,
penyeludupan
barang,
penyeludupan
(bribery),
tenaga
kerja,
penyeludupan imigran, perbankan, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, perdagangan narkotika dan psikotropika, kejahatan kerah putih, kehutanan dan lain sebagainya. Di Indonesia telah dibentuk lembaga Independen yang diberi nama Pusat Pelaporan dan Analis Transaksi Keuangan (PPATK). Pembentukan lembaga ini dalam rangka pemberantasan pencucian uang sekaligus membangun rejim anti
90
Romli Atmasasmita,1, Pengembalian dan Pengelolaan Aset Korupsi,Harian Sindo,27 Juli
2007.
Universitas Sumatera Utara
pencucian uang di Indonesia. Hal ini sangat membantu dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dan menurunkan terjadinya tindak pidana asal (predicate crimes). PPATK didirikan pada tanggal 17 April 2002, bersamaan dengan disahkannya Undang Undang No. 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang . Didirikan dengan maksud sebagai upaya bangsa Indonesia untuk ikut serta bersama negara negara lain memberantas kejahatan lintas negara yang terorganisir seperti terorisme dan money laundering. Beroperasi secara penuh pada tanggal 17 Oktober 2003 dengan tugas dan wewenang penuh yang berkaitan dengan penerimaan dan analisis keuangan yang mencurigakan disektor perbankan91 yang sebelumnya dilakukan oleh Unit Khusus Investigasi Perbankan Bank Indonesia (UKIP-BI). Selanjutnya dengan penyerahan dokumen transaksi keuangan mencurigakan dan dokumen pendukung lainnya . Penempatan hasil kejahatan Pencucian uang merupakan salah satu dari bidang pengawasan PPATK dimana banyak terdapat transaksi yang mencurigakan 91
Lihat Pasal 26 dan Pasal 27 Undang Undang No 15 Tahun 2002,sebagaimana yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003, maka tugas PPATK adalah : 1. Mengumpulkan,menyimpan,menganalisis,mengevaluasi informasi yang dikumpulkan oleh PPATK 2. Memantau catatan daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan (PJK) 3. Membuat pedoman mengenai tatacara pelaporan transakai keuangan yang mencurigakan 4. Memberikan nasihat dan bantua kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh oleh PPATK 5. Mengeluarkan yang dan pedoman dan publikasi kepada PJK tentang kewajibannya yang dan membantu dalam mendekteksi perilaku nasabah yang mencurigakan 6. Memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU kepada Kepolisian dan Kejaksaan 7. Membuat dan memberikan laporan menganai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan lain secara berkala 6 bulan sekali kepada Presiden dan DPR yang berwenang untuk mengawasi PJK. 8. Memberikan informasi kepada public tentang kinerja kelembagaan.
Universitas Sumatera Utara
dan
merupakan suatu kejahatan yang berdimensi internasional yang sangat
berdampak negatif terhadap perekonomian negara sehingga mendorong negara negara di dunia dan organisasi internasional menaruh perhatian yang sangat besar untuk hal ini. Dana yang mengalir untuk kejahatan tersebut sangat besar dan untuk itu diperlukan suatu badan yang khusus dan berwenang untuk menyelidiki hal tersebut dan memberikan informasi yang diperlukan sebagaimana dibuat.
Perbuatan
pencucian uang tersebut adalah sangat membahayakan baik dalam tataran nasional maupun internasional, karena pencucian uang merupakan sarana bagi pelaku kejahatan untuk melegalkan uang hasil kejahatannya dalam rangka menghilangkan jejak. Selain itu, nominal uang yang dicuci biasanya luar biasa jumlahnya, sehingga dapat mempengaruhi neraca keuangan nasional bahkan global, dan kejahatan ini menurut R. Bosworth Davies sehingga
dapat
menekan perekonomian dan
menimbulkan bisnis yang tidak fair, terutama kalau dilakukan oleh pelaku kejahatan yang terorganisir.92 Motifasi pelakunya hanya ingin menikmati akses yang ada untuk mendapatkan keuntungan dan mengubah uang mereka menjadi sah. Perbuatan seperti ini semakin` meningkat manakala para pelaku menggunakan cara-cara yang lebih canggih (sophisticated crimes) dengan memanfaatkan sarana perbankan ataupun non
92
R. Bosworth Davies, Euro-Finance: The Influence of Organized Crime: Paper on The Eight International Symposium on Economic Crime, Cambrigde, England, July 28 Agustust, 1991, halaman 30.
Universitas Sumatera Utara
perbankan yang juga menggunakan teknologi tinggi yang memunculkan fenomena cyber laundering93. Proses pencucian uang sebagaimana yang diatur upaya pencegahannya dengan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, tindak pidana pencucian uang dapat dicegah atau diberantas, antara lain, kriminalitas atas semua perbuatan dalam setiap tahap proses pencucian uang yang terdiri atas : a. Penempatan ( Placement ) Penempatan (placement) adalah upaya untuk menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana kedalam system keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral ( cheque,wesel, sertifikat deposito dan lain lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan. Selain dari kegiatan perbankan tersebut diatas, dapat juga dengan bentuk kegiatan yaitu: i. Menempatkan dana pada bank. Dan kadangkala diikuti dengan pengajuan kredit/pembiayaan. ii. Menyetorkan uang pada PJK sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail. iii. Menyeludupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain.
93
David A Chaikin, Money Laundering : An Investigatory Perspective, Criminal Law Review, Vol 2, No. 3, Spring, 1991, halaman 474.
Universitas Sumatera Utara
iv. Membiayai usaha yang seolah oleh sah atau terkait dengan usaha sah berupa kredit pembiayaan, sehingga mengubah kas menjadi kredit /pembiayaan. v. Membeli barang barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi, membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui PJK. b. Transfer (Layering) Yang termasuk dalam Transfer (layering) adalah upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai upaya penempatan (placement) ke penyedia jasa keuangan yang lain. Dengan dilakukan layering, akan menjadi sulit bagi penegak hukum
dapat mengetahui asal usul harta kekayaan
tersebut. Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lain dengan serangkaian transaksi kompleks yang didesain untuk menyamaratakan dan atau menghilangkan jejak sumber dana tersebut dengan bentuk kegiatan antara lain : i. Transfer dana dari satu bank ke bank lain dan atau antar wilayah/negara. ii. Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi. iii. Memindahkan uang tunai lintas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun shell company c. Menggunakan Harta Kekayaan ( Integration ). Yang dimaksud dengan Menggunakan harta kekayaan (integration) merupakan upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk
Universitas Sumatera Utara
dinikmati langsung,diinvestasikan ke dalam bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Dalam kegiatan pencucian uang, pelaku tidak memperdulikan hasil yang akan diperoleh , dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya adalah untuk menyamarkan atau menghilangkan asal usul uang sehingga akhirnya dapat dinikmati secara aman. Ketiga kegiatan tersebut dapat terjadi secara terpisah atau stimultant, namun secara umumnya dilakukan secara tumpang tindih. Yakni upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk, kedalam sistem keuangan melalui penetapan atau transfer sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan. Penyedia jasa penyedia jasa keuangan diartikan sebagai penyedia jasa dibidang keuangan termasuk, tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reaksadana,wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi. Tugas penting PPATK adalah sebagai berikut : 1.
Megumpulkan, menyimpan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi yang diperoleh oleh PPATK.
2. Memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh penyedia jasa keuangan
Universitas Sumatera Utara
3. Membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan transaksi keuangan yan mencurigakan 4. Memberikan nasihat dan informasi kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam undangundang ini 5. Mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada penyedia jasa dalam undangundang ini atau dengan peraturan per Undang Undangan 6. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang 7. Melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindiasikan tindak pidana pencucian uang kepada kepolisian dan kejaksaan 8. Membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainya secara berkala enam bulan sekali kepada presiden, DPR, dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap penyedia jasa keuangan. Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, Indonesia telah memiliki Undang-Undang nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, namun ketentuan dalam Undang Undang tersebut dirasakan belum memenuhi standar internasional serta perkembangan proses peradilan tindak pidana pencucian uang sehingga perlu diubah, agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara efektif. Oleh karena itu disempurnakan melalui Undang Undang nomor 25 tahun 2003 tentang
Universitas Sumatera Utara
perubahan atas Undang-Undang nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Perubahan dalam UUTPPU antara lain meliputi : a. Pengertian Penyedia Jasa Keuangan yang diperluas meliputi jasa lainnya yang terkait dengan keuangan guna mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang yang memanfaatkan bentuk penyedia jasa keuangan yang ada di masyarakat namun belum diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan dan munculnya bentuk penyedia jasa keuangan baru94. Beberapa hal yang merupakan ketentuan lainya dari Undang Undang tentang pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah mengenai unsur-unsur Tindak Pidana Pencucian Uang, yakni: 1. Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer , membayar, membelanjakan, hibah, menyumbang, menitipkan, membawa ke luar negri , menukarkan, atau perbuatan lainya atas harta kekayan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Demikian juga harta yang
94
Pasal 1 angka 5 UUTPPU memperluas pengertian Penyedia Jasa Keuangan yang terkait dengan keuangan dengan menyebutkan criteria Penyedia Jasa Keuangan adalah penyedia jasa keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan,perusahaan efek,pengelola reksadana, custodian,wali amanat,lembaga penyimpanan dan penyelesaian,pedagang valuta asing,dana pension,perusahaan asuransi, dan kantor pos.
Universitas Sumatera Utara
dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana95 2.
hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana berupa: a. korupsi b. penyuapan c. penyelundupan barang; d. penyelundupan tenaga kerja e. penyeludupan imigran f. di bidang perbankan g. di bidang pasar modal h. dibidang asuransi i. narkotika j. psikotropika k. perdaangan manusia l. perdagangan senjata gelap m.penculikan n. terorisme o. pencurian p. penggelapan
95
Pasal 1 angka 1 undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang peubahan atas undangundang nomor 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang
Universitas Sumatera Utara
q. penipuan r. pemalsuan uang s. perjudian t. prostitusi u. di bidang perpajakan v. dibidang kehutanan w. di bidang lingkungan hidup x. dibidang kelautan y. tindak pidana lainya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih yang dilakukan di wilayah negara republik Indonesia atau diluar wilayah negara republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidan menurut hukum indonesia96 3. Setiap orang dengan sengaja : a. menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana kedalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri maupun atas nama orang lain, b. mentransferkan harta kekayan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain,baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain.
96
Ibid, pasal 3 (ayat 1)
Universitas Sumatera Utara
c. menghibahkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana. Baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain. d. menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang tindak pidana, baik atas namanya sendiri atau nama orang lain e. menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas nama dirinya sendiri atau nama orang lain f. membawa ke luar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana atau g. menukarkan atau perbuatan lainya atas nama kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidan dengan mata uang atau surat
berharga
lainya
dengan
maksud
menyembunyikan
atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dengan denda paling sedikit 100,000,000,oo dan paling banyak 15,000,000,00097 4. Setiap orang yang menerima atau menguasai a. penempatan b. pentransferan 97
Ibid, pasal 3 ayat(1)
Universitas Sumatera Utara
c. pembayaran d. hibah e. sumbangan f. penitipan g. penukaran harta kekayaan98 yang diketahui
atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainya dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dengan denda paling sedikit 100,000,000,oo dan paling banyak 15,000,000,000 Hasil kerja PPATK diantaranya berupa temuan PPATK yang diumumkan pada bulan Mei 2010 yang didasarkan penyelidikan yang dimulai tahun 2005, PPATK telah menemukan 15 rekening yang mencurigakan milik oknum kepolisian dengan pangkat pati. PPATK juga menemukan rekening mencurigakan dari institusi Bea Cukai yang mencapai jumlah 10 orang99. Selain rekening mencurigakan dari institusi Bea Cukai tersebut, PPATK juga menemukan aliran dana yang mencurigakan dengan adanya skandal bank 98
Perbuatan melawan hukum sesuai dengan pasal 3 ayat (1) terkjadi karena pelaku melakukan tindak pidana pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana . 99 http://www.tempointeraktif, diakses pada tanggal 25 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
Century. Aliran dana dari Bank Indonesia sebesar Rp. 6,7 trilyun yang diduga mengalir ke sejumlah nama fiktif yang tidak berhak, individu maupun partai politik. Belum ada pengumuman resmi dari PPATK tentang kemana dana tersebut mengalir. Walaupun hal tersebut menjadi tugas PPATK , namun ternyata dalam menjalankan tugasnya lembaga ini juga mengalami kesulitan karena masih belum transparannya bank dalam memberikan keterangan dihubungkan dengan adanya peraturan tentang kerahasiaan nasabah. Kasus Bank Century dimulai ketika pada periode 6-13 November 2008, dengan keluarnya dana sebesar Rp. 344 Milyard, persis saat statusnya Dalam Pengawasan Khusus (special Surveillance unit/SSU). Kebobolan kedua terjadi di periode 14-21 November 2008 sebesar 273,8 Milyar, saat Bank milik keluarga Tantular itu dikucuri dana pinjaman Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) oleh Bank Indonesia . kebobolan ketiga adalah dalam waktu hampir 1 tahun yaitu tanggal 24 November 2008 sampai dengan 10 Agustus 2009 sebesar Rp. 320,7 Milyar . Kebobolan tersebut terjadi tepat pada saat bank tersebut telah di bail-out pemerintah Indonesia
melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Padahal di periode ini
susunan direksi Bank Century telah diganti100. Kasus lainnya tentang transaksi mencurigakan adalah dengan adanya pengakuan dari seorang anggota Polisi dengan pangkat Jenderal bintang tiga, Susno Duadji, yang mengungkap kasus besar yang melibatkan seorang pegawai kantor pajak
100
(http://www.tempointeraktif diinput pada tanggal 25 Mei 2009)
Universitas Sumatera Utara
dengan nama Gayus Tambunan yang menyangkut penyelewengan pajak PT Arwana di Kepulauan Riau, batam 101. Bukan hanya Gayus yang melakukan tindakan yang tidak terpuji tersebut. Berikutnya di Surabaya ditemukan lagi kasus penyelewengan pajak yang dilakukan oleh oknum pegawai kantor Pajak dengan modus pemalsuan blanko setoran pajak dan lain sebagainya. Hal ini juga jelas-jelas merugikan negara102. Keberhasilan PPATK dalam mengungkapkan dari 50 ribu transaksi mencurigakan yang ditemukan pada tahun 2010, maka aliran dana sebanyak 1.219 LTKM (Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan) telah disampaikan kepada polri dan Kejaksaan Agung. Tindak Pidana tersebut untuk korupsi sebesar 56,82%, penipuan 11,66%, Penyuapan 5,71%, Penggelapan 4,96% dan tindak pidana pencucian uang sebesar 20,85%. Namun tindak lanjut dari PPATK dalam menjalankan tugasnya untuk mengungkapkan identitas dari pihak yang terlibat dalam Transaksi Mencurigakan belum dijalankan dengan sepenuhnya Kesulitan Penerapan UU Tindak Pidana Pencucian Uang bagi PPATK adalah : a. Fungsi PPATK hanya bersifat administratif, yaitu mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh PPATK (Pasal 26 huruf a) dan bilamana dari hasil analisis ditemukan transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang maka PPATK baru melaporkan kepada kepolisian
101 102
(http://liputan6.com,tanggal) 19 Mei 2010 diinput pada tanggal 19 Mei 2010 jam 04.17) (http://ppatkonline.com) 18 Mei 2010
Universitas Sumatera Utara
dan kejaksaan (Pasal 26 huruf g), atau paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak ditemukan adanya petunjuk atas dugaan transaksi keuangan yang mencurigakan, PPATK wajib menyerahkan hasil analisis kepada penyidik untuk ditindaklanjuti (Pasal 31). Selain itu PPATK tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan pemblokiran atas dana yang diduga merupakan hasil tindak pidana. b. Pihak kepolisian dan penuntut umum memiliki kesulitan dalam membuktikan terjadinya tindak pidana pencucian uang karena modusnya bervariasi dan biasanya tidak ditemukan adanya cukup alat bukti
D. Pembuktian Terbalik Kasus Korupsi Kasus korupsi merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari rangkaian Tindak pidana Pencucian uang. Dan dalam hal ini untuk pembuktian Terbalik Kasus Korupsi di Indonesia dan di beberapa negara asing memang dirasakan pelik. Khusus untuk Indonesia, kepelikan tersebut disamping proses penegakkannya juga dikarenakan kebijakan legislasi pembuatan Undang Undang yang produknya masih bersifat multi interprestasi, sehingga relatif banyak ditemukan kelemahannya. Para legislator di Senayan dianggap tidak paham akan aturan tersebut. Akibatnya perangkat hukum yang dianggap sangat penting itu tidak pernah lolos menjadi Undang Undang di negeri ini. 103
103
(http://www.okezone.Mahfud Md, tanggal 6/4/2010, diinput pada tanggal 2 Mei 2010 ).
Universitas Sumatera Utara
Pembuktian Terbalik merupakan vonis bagi orang yang melakukan tindak pidana korupsi bagi orang yang mempunyai rekening dalam jumlah yang tidak wajar, sehingga yang bersangkutan bias membuktikan bahwa kekayaannya didapat dengan cara yang sah. Asas Hukum tentang Pembuktian Terbalik sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia. Pada tahun 1971, hal ini sudah dikenal di Indonesia dan disebut dengan “pergeseran”, bukan “pembuktian” oleh Oemar Senoadji. Kata “beban”, bukan ditekankan pada alat buktinya tetapi pada siapa yang melakukannya104. Pasal pasal yang berkaitan dengan pembuktian atau pembuktian terbalik sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah negara negara yang mengakui sistem hukum pidana pada negara Anglo Saxon dan Eropa Continental. Kalau dilihat KUHP dan KUHAP di negara-negara continental atau dari doktrin-doktrin Anglo Saxon khususnya untuk korupsi, sampai sekarang belum pernah menemukan delik mengenai pemberlakuan pembalikan beban pembuktian, kecuali satu yaitu suap (bribery). Dari perkara tindak pidana korupsi di Indonesia, suap dikatakan kejahatan yang sulit pembuktiaanya (invisible crime). Di negara-negara anglo saxon pun suap yang menjadi kendala, makanya keluar istilah gratifikasi yang kemudian diadopsi di Indonesia. Usia KUHP Indonesia sudah ratusan tahun dan aturan dalam pasal mengenai suap itu mati suri . Berbagai cara dicoba, dikeluakan aturan baru mengenai
104
Indriyanto Senoadji, Guru Besar Fakultas hukum Universitas Krisna Dwipayana dan pengajar PPs Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diinput pada tanggal 20 Mei 2010
Universitas Sumatera Utara
suap aktif (pasal 1 ayat (1) huruf d), diubah lagi dalam pasal 13 UU no.31 Tahun 1999 sampai sekarang masih dipertahankan, tetapi tetap belum biasa dilaksanakan. Kemudian dicoba lagi dengan UU No.20 Tahun 2001 dengan memperluas alat bukti petunjuk di pasal 26-a, di mana pengertian surat diperluas menyangkut yang terkait dengan elektronik sebagai alat bukti petunjuk. Padahal istilah alat bukti petunjuk tidak dikenal, hanya di Indonesia alat bukti petunjuk dimasukkan. Sekarang di RUU KUHAP alat bukti petunjuk dihapuskan. Ketidakberhasilan lembaga delik baru yaitu suap aktif yang diatur dalam pasal tersendiri sejak Undang Undang No.3 Tahun 1997, dilanjutkan dengan membuat mekanisme pelaporan di dalam Undang Undang No. 20 Tahun 2001, dengan mencantumkan Pasal 12-b mengenai gratifikasi. Oleh
karena itu, jika
pembalikan beban pembuktian ingin diterapkan (menyangkut teknis hukum pidana), maka delik inti yang bisa dipidana jangan dicantumkan dalam rumusan delik. Kalau kita lihat Pasal 12 b Undang Undang No 20 Tahun 2001, terhadap kata-kata yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban itu sama sekali tidak boleh dicantumkan, karena untuk menekankan apa yang dinamakan pembuktian terbalik dari terdakwa yang dikehendaki, pembuktian terbalik itu jauh lebih baik dilakukan di peradilan, karena kesulitan untuk membuktikan secara terbalik oleh tersangka di proses penyidikan dan penuntutan, menghindari adanya apa yang dinamakan kolusi (jadi maksudnya dilakukan di peradilan adalah untuk menghindari kemungkinan kolusi pada proses penyidikan dan penuntutan).
Universitas Sumatera Utara
Tapi yang terpenting untuk apa yang dinamakan pembalikan beban pembuktian adalah adanya kata-kata pemberian gratifikasi yang memang menjadi kewajiban dari Penuntut umum untuk dibuktikan, tapi untuk rumusan yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban itulah yang harus dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa, dan tidak boleh dirumuskan dalam rumusan delik itu. Presiden Susilo Bambang Yodhoyono mendukung dilaksanakannya penguatan bagi cara pembuktian terbalik untuk membuktikan harta kekayaan pejabat negara yang diindakan terlibat dugaan korupsi. Namun,presiden mengingatkan agar penerapannya secara berhati-hati agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu105. Kalau tidak dibatasi semua orang bisa menuduh pihak lain untuk melakukan pembuktian terbalik harta kekayaannya. Selain itu juga mendukung penguatan pelaksanaan pembuktian terbalik hanya di lakukan pada kasus-kasus yang sudah memiliki indikasi adanya dugaan tindak pidana korupsi atau kepemilikan harta kekayaannya di nilai memiliki keganjilan sehingga perlu pembuktian terbalik106. Pembuktian kasus korupsi baik Indonesia dan beberapa negara asing memang dirasakan teramat pelik. Khusus untuk Indonesia, kepelikan tersebut disamping proses penegakkannya juga dikarenakan kebijakan legislasi pembuatan UU yang produknya masih dapat bersifat multi interprestasi, sehingga relative benyak
105 106
http://suarakarya-online.com/news.html?.id=187515 diakses tanggal 15 Maret 2009 http://www.tempointeraktif. Diinput taanggal 14 Mei 2010
Universitas Sumatera Utara
ditemukan beberapa kelemahan didalamnya. Salah satu contoh dapat dikemukakan di sini adalah UU nomor 31 tahun 1999 jo UU nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam ketentuan UU di sebutkan tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) sehingga diperlukan tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary measures). Ternyata tidak semua semua pernyataan itu sesuai dengan implementasi-nya. Misalnya, khusus terhadap tindak pidana penyuapan (bribery) bukanlah merupakan tindak pidana luar biasa akan tetapi merupakan tindak pidana biasa (ordinary crime ) sehingga tidak diperlukan hukum luar biasa. Di samping aspek diatas, belum lagi opini umum dan para pakar yang menginginkan adanya pembuktian kasus korupsi dipergunakan beban pembuktian terbalik (Omkering an het Bewijslat atau Reversal Burden of proof/Onus of proof) yang beramsumsi dengan pembuktian terbalik kasus korupsi dapat diberantas. Mungkin pernyataan tersebut ada benarnya akan tetapi banyak mengundang polemik dan dapat di perdebatkan karena beberapa aspek, dikaji dari sejarah korupsi dan perundang-undangan korupsi di Indonesia sejak penguasa perang pusat sampai sekarang ini ternyata banyak kasus korupsi belum dapat “diberantas” dan bahkan relatif meningkat intensitasnya berdasarkan survei lembaga pemantau korupsi di dunia. Selain itu juga, beberapa lembaga yang bertugas memantau korupsi pun telah di bentuk akan tetapi perbuatan korupsi juga tetap ada dan bahkan tambah marak terjadi. Kedua, belum ada justifikasi teori yang dapat dipergunakan sebagai tolak ukur untuk memberantas korupsi dengan mempergunakan beban pembuktian terbalik
Universitas Sumatera Utara
untuk memberantas korupsi sehingga kebijakan legislasi pemberantasan korupsi di Indonesia belum dapat berbuat secara optimal. Penggunaan mekanisme pembuktian terbalik dalam kasus kepemilikan harta kekayaan seseorang yang diduga kuat berasal dari korupsi atau pencucian uang dimaksudkan untuk menempatkan seseorang dalam keadaan semula sebelum yang bersangkutan memiliki harta kekayaan dimaksud, untuk mana yang bersangkutan harus dapat membuktikan asal usul harta kekayaan yang diperolehnya. Tindak kriminal Pencucian Uang, baik cara perolehan uang yang illegal maupun transaksi keuangan untuk melegalkan uang hasil tindakan illegal menimbulkan dampak ekonomi mikro dan makro107. 1. Dampak Ekonomi Mikro ; a. Cara perolehan uang yang illegal mengganggu jalannya mekanisme pasar. Lisensi sistem pasar adalah adanya pengakuan dan perrlindungan terhadap kepemilikan pribadi atas faktor faktor produksi maupun atas barang barang serta jasa jasa yang digunakan untuk keperluan konsumsi. Namun dengan adanya peluang perolehan uang yang illegal telah menunjukkan tidak adanya perlindungan dari penguasa atas hak milik, pasar menjadi tidak efisien yang ditunjukkan dengan mingkatnya biaya transaksi pasar, adanya akses yang
107
Lihat Bismar Nasution,op.cit hal1,bahwa pencucian uang merupakan kejahatan yang berdimensi internasional,merupakan hal yang baru di banyak negara,termasuk Indonesia.Begitu besarnya dampak negative yang ditimbulkannya terhadap perekonomian negara ,sehingga negara negara di dunia menaruh perhatian serius untuk pemberantasan money laundering.
Universitas Sumatera Utara
asimetris pada informasi pasar yang menyatakan bahwa keuntungan suatu pihak dapat embawa kerugian bagi pihak yang lain. b. Transaksi keungan untuk melegalkan hasil perolehan uang yang illegal membawa dampak penurunan produktifitas masyarakat.
2. Dampak ekonomi makro ; a. Tindak pidana pencucian uang menghindarkan kewajiban pembayaran pajak berarti mengurangi penerimaan Negara; b. Apabila transaksi keuangan yang dilakukan adalah dengan membawa uang yang illegal ke luar negeri, selain itu juga mengakibatkan berkurangnya dana perbankan yang menyebabkan kesulitan bank melakukan ekspansi kredit; c. Apabila Negara memperoleh sejumlah uang illegal dari luar negeri maka akan menambah kegoncangan stabilitas ekonomi makro.Terlebih untuk Negara yang tidak memiliki cukup banyak instrument moneter pemasukan modal. Jika bank sentral membeli devisa yang masuk itu sebagai uapaya untuk mempertahankan nilai tukar luar negeri mata nasionalnya ,jumlah uang beredar akan bertambah dengan cepat dan tambahan jumlah uang beredar itu akan menyulut inflasi sehingga menimbulkan gangguan pada keseimbangan internal perekonomian .Akan tetapi jika bank sentral tidak membeli devisa yang masuk akan menguatkan nilai tukar mata uang nasional yang menyebabka berkurangnya tensif kegiatan ekspor. Pengurangan ini akan menambah defisit neraca pembayaran luar negeri.
Universitas Sumatera Utara
E.
Modus Modus Pencucian Uang Dalam perbuatan tindak pidak pencucian uang terdapat pengkategorian
beberapa modus yang didasarkan pada tipologinya : a. Tipologi dasar : 1. Modus orang ketiga , yaitu dengan menggunakan seseorang untuk menjalankan perbuatan tertentu yang diinginkan oleh pelaku pencurian uang, dapat dengan menggunakan atau mengatasnamakan orang ketiga atau orang lain yang n hampir selalu nyata dan bukan nama palsu dalam dokmen,orang ketiga biasanya menyadari telah dipergunakan orang ketiga tersebut yang merupakan orang kepercayaan yang bias dikendalikan dan hubungannya dengan pelaku sangat dekat sehingga sapat berkomunikasi setiap saat. 2. Modus topeng usaha sederhana , merupakan lanjutan modus orang ketiga, dimana orang tersebut akan diperintahkan untuk mendirikan suatu bidang usaha dengan menggunakan kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. 3. Modus perbankan sederhana, dapat merupakan kelanjutan modus pertama dan kedua, namun dapat juga berdiri sendiri. Disini terjadi perpindahan sistem transaksi tunai yang berubah dalam bentuk cek kontan,cek perjalanan, atau bentuk lain dari deposito, tabungan yang dapat ditransfer dengan cepat dan digunakan lagi dalam pembelian aset aset. Modus ini banyak meninggalkan jejak melalui dokumen rekening Koran, cek dan data data lain yang mengarah pada nasabah itu, serta kelur masuknya dari proses transaksi baik yang
Universitas Sumatera Utara
menuju pada seseorang maupun pada aset aset, ataupun pada pembayaran pembayaran lain. 4. Modus kombinasi perbankan atau usaha, yang dilakukan oleh orang ketiga yang menguasai suatu usaha dengan uang memasukkan uang hasil kejahatan ke bank untuk kemudian ditukar dengan cek yang kemudian digunakan untuk pembelian aset atau pendirian usaha usaha lain, b. Tipologi ekonomi ; 1. Model smurfing, yaitu pelaku menggunakan rekan-rekannya yang banyak untuk
memecah sejumlah besar uang tunai dalam jumlah-jumlah kecil
dibawah batas uang tunai sehingga bank tidak mencurigai kegiatan tersebut untuk kemudian uang tunai tersebut di bank dengan cek wisata atau cek kontan. Bentuk lain adalah dengan memasukkan dalam rekening smurfing di satu tempat pada suatu bank kemudian mengambil pada bank kemudian mengambil pada bank yang sama di kota yang berbeda atau disetorkan pada rekening-rekening pelaku pencucian uang, di kota lain sehingga terkumpul dalam beberapa rekening pelaku pencucian uang. Rekening ini tidak langsug atas nama pelaku namun bisa menunjukk pada suatu perusahaan lainyang di samarkan nama pelakunya. 2. Model perusahaan rangka disebut demikian karena perusahaan ini sebenarnya tidak menjalankan kegiatan usaha apapun, melainkan dibentuk agar rekening perusahaannya dapat digunakan untuk memindahkan sesuatu atau uang .Perusahaan rangka dapat digunakan untuk (Placement ) dana sementara
Universitas Sumatera Utara
sebelum dipindahkan atau digunakan lagi. Perusahaan rangka dapat terhubung satu dengan yang lainmisal saham PT A dimiliki oleh PT B yang berada di daerah atu di negara lain , sementara saham PT B sebahagian dimiliki oleh PT A, PT B, PT C, dan atau PT D yang berada di daerah atau Negara lain. 3. Modus pinjaman kembali, adalah suatu variasi dari kombinasi modus perbankan dan modus usaha, contohnya : pelaku pencucian uang menyerahkan uang hasil tindak pidana kepada A (orang ketiga|), daan A memasukkan sebagian dana tersebut ke bank
B dan sebagian dana juga
didepositokan ke bank C. Selain itu A meminjam uang ke bank Dengan bunga deposito bank C, A kemudian membayar bunga dan pokok pinjamannya dari bank D. Dari segi jumlah memang terdapat kerugian karena harus membayar bunga pinjaman namun uang illegal tersebut telah berubah menjadi uang pinjaman yang bersih dengan dokumen yang lengkap. c. Modus menyerupai MLM : 1. Modus under invoicing, yaitu modus untuk memasukkan uang hasil tindak pidana dalam pembelian suatu barang yang nilai jual barang tersebut sebenarnya lebih besar daripada yang dicantumkan dalam faktur. 2. Modus over invoicing, merupakan kebalikan dari modus under invoicing. 3. Modus
over
invoicing
II,
dimana
sebenarnya
tidak
ada
barang
yangdiperjualbelikan, yang ada hanya faktur-faktur yang dijadikan bukti pembelian (penjualan fiktif) sebab penjual dan pembeli sebenarnya adalah pelaku pencucian uang.
Universitas Sumatera Utara
4. Modus pembelian kembali, dimana pelaku menggunakan dana yang telah dicuci untuk membeli sesuatui yang telah dia miliki. d. Tipologi IT : 1. Modus E-Bisnis, hampir sama dengan modus menyerupai MLM, namun menggunakan sarana internet. 2. Modus scanner merupakan tindak pidana pencucian Uang dengan predicate crime berupa penipuan dan Pemalsuan atas dokumen-dokumen transaksi Keuangan. 3. Tipologi hitek adalah suatu bentuk kejahatan terorganisir secara skema namun orang-orang kunci tidak saling mengenai, nilai uang relative tidak besar tetapi bila dikumpulkan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Dikenal dengan nama modus cleaning dimana kejahatan ini biasanya dilakukan dengan nama modus cleaning dimana kejahatan ini biasanya dilakukan dengan menembus sistem data base suatu bank. UU Tindak Pidana Pencucian uang menyatakan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di siding pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana (Pasal 35 UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan dengan UU No. 25 Tahun 2003). Hal ini merupakan salah satu kekhususan tindak pidana pencucian uang dibandingkan dengan pengaturan dalam Pasal 66 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dimana terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, namun
Universitas Sumatera Utara
pembuktian terbalik untuk tindak pidana pencucian uang hanya dapat dilakukan oleh terdakwa pada tingkat pengadilan bukan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. UUTPPU No.15 Tahun 2002, seperti mendukung pendapat bahwa yang terpenting ‘sudah terdapat bukti permulaan yang cukup’. Hal ini terdapat dalam pasal: 1. Pasal 35 UUTPPU No 15 Tahun 2002 menyatakan kewajiban dari terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana .Penafsiran gramatikal dari Undang Undang ini bahwa pembuktian terbalik dalam UUTPPU ini adalah sempurna karena terdakwa wajib untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan diperoleh dari tindak pidana. Namun kontradiksi muncul apabila membaca penjelasan Pasal 35 UUTPPU No 15 Tahun 2002
yang
menyatakan bahwa “pasal ini berisi ketentuan bahwa terdakwa diberi kesempatan untuk membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Ketentuan ini dikenal sebagai asas pembuktian terbalik. “Meskipun sepertinya terdapat kontradiksi antara yang tersirat Pasal 35 (wajib membuktikan) dengan penjelasan Pasal 35 (diberi kesempatan untuk membuktikan), penulis berpendapat penjelasan pasal diperlukan apabila isi suatu pasal tidak jelas. Ketika bunyi suatu pasal tidak jelas baru mengacu ke penjelasan dari isi pasal tersebut. Perbedaan antara isi pasal dengan penjelasan pasal dapat menjadi loop holes (celah hukum) yang dipergunakan oleh penegak hukum yang memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi atau untuk tujuan lain108.
108
Lihat Pasal 30 UUTPPU yang menyatakan bahwa Penyidikan,Penuntutan,dan Pemeriksaan di Pengadilan terhadap tindak Pidana sebagaimana yang dimaksud Undang Undang
Universitas Sumatera Utara
2. Salah satu bunyi konsiderans pada Undang-undang No. 15 Tahun 2002 menyatakan:”bahwa perbuatan Pencuciaan uang harus dicegah dan diberantas agar intensitas kejahatan yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi sehingga stabilitas perekonomian nasional dan keamanan terjaga.”bahkan dalam penjelasan umum paragraph ke-4 dan ke-5 dikatakan bahwa: “Perbuatan Pencucian Uang disamping sangat merugikan masyarakat, juga sangat merugikan negara karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau keuangan negara dengan meningkatnya berbagai kejahatan. Sehubungan dengan hal tersebut, upaya untuk mecegah dan memberantas praktik pencucian Uang telah ditempuh oleh masingmasing negara untuk mencegah dan memberantas praktik Pencucian Uang termasuk dengan cara melakukan kerja sama maupun multilateral.” Dengan upaya pembuktian predicate crimes, terdapat beberapa point penting yaitu: a. Perbuatan Pencucian Uang harus dicegah dan diberantas, dengan alasan: 1. Agar intensitas kejahatan
yang menghasilkan atau melibatkan harta
Kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi. 2. Tercipta stabilitas perekonomian nasional 3. Keamanan Terjaga.
ini,dilakukan di siding Pengadilanberdasarkan ketentuan Hukum Acara Pidana,Kecuali ditentukan lain .dalam Pasal 31 menyebutkan bahwa amanah yang diberikan kepada PPATK adalah 3 (tiga) hari kerja untuk menyerahkan hasil analisis kepada Penyidik setelah menemukan transaksi yang mencurigakan.
Universitas Sumatera Utara
b. Perbuatan Pencucian Uang sangat merugikan masyarakat dan negara. c. Perbuatan Pencucian Uang meningkatkan berbagai kejahatan lainnya. d. Perbuatan Pencucian Uang telah menjadi perhatian internasional.
Universitas Sumatera Utara