ASPEK SPIRITUALITAS PADA KLIEN PASCA AMPUTASI Arwyn Weynand Nusawakan, Yulius Y. Ranimpi, Johanna R. Kawonal Program Studi Ilmu Keperawatan-Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Abstrak Latar Belakang: Salah satu kondisi dan tindakan yang mengakibatkan terjadinya berbagai perubahan bagi individu adalah ketika salah satu anggota tubuhnya harus diamputasi. Keadaan pasca amputasi membuat klien harus mampu menyesuaikan diri dengan keadaannya bukan hanya dari segi fisik melainkan psikis, sosial dan spiritualnya. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran aspek spiritual pada klien pasca amputasi. Metode: Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara dan observasi. Riset partisipan sebanyak 3 orang yang amputasi. Analisis yang digunakan adalah analisis naratif. Hasil: Masing-masing riset partisipan memiliki proses pemaknaan hidup yang berbeda-beda dan harapan untuk menjadi lebih baik. Dari aspek hubungan antara klien dengan dirinya sendiri, ketiga riset partisipan memiliki sikap percaya pada diri sendiri dan mampu berkarya meskipun telah kehilangan salah satu anggota tubuh mereka. Di samping itu hubungan klien dengan orang lain tercermin dalam keseharian mereka yang membagi kasih dengan orang-orang terdekat. Selain itu hubungan riset partisipan dengan Tuhan yang mereka imani dilakukan melalui doa dan pengabdian mereka dalam kehidupan sehari-hari. Kesimpulan: Riset partisipan menunjukkan adanya dimensi spiritualitas dalam diri mereka melalui hubungan yang bermakna antar dirinya dengan orang lain, Tuhan, dan juga dengan dirinya sendiri. Hal ini menjadi kondisi yang kondusif bagi mereka untuk tetap memiliki sekaligus mengembangkan harapan. Kata kunci : Aspek spiritual, klien amputasi
1. Pendahuluan Sakit bukan hanya keadaan ketika terjadi suatu proses penyakit. Lebih dari itu, sakit merupakan suatu keadaan ketika fungsi fisik, emosional, intelektual, sosial, perkembangan, atau spiritual seseorang berkurang
atau
terganggu jika
dibandingkan
dengan
kondisi
sebelumnya (Potter & Perry, 2000). Keadaan sakit tidak bisa dipisahkan dari peristiwa kehidupan yang membuat klien dan keluarga harus berhadapan dengan berbagai perubahan yang terjadi akibat kondisi sakit dan pengobatan yang dilaksanakan. Salah satu kondisi dan tindakan yang mengakibatkan terjadinya berbagai perubahan tersebut adalah ketika salah satu anggota tubuhnya harus diamputasi. Amputasi merupakan hilangnya bagian tubuh seseorang (Smith, 1995) yang dilakukan untuk menyelamatkan jiwa, keadaan yang mengancam jiwa dan juga untuk memanfaatkan kembali kegagalan fungsi ekstermitas secara maksimal, seperti keadaan kongenital atau keganasan seperti tumor atau kanker (Reksoprodjo, 1995). Keadaan pasca amputasi membuat klien harus mampu menyesuaikan diri dengan keadaannya yang bukan hanya dari segi fisik melainkan psikis, sosial, dan spiritualnya juga. Kehilangan salah satu anggota tubuh membuat klien merasakan keadaan tidak berdaya. Bahkan untuk menyesuaikan diri dan menerima dirinya sendiri, klien terkadang
mengalami
kesulitan
untuk
mampu
bangkit
dari
keterpurukan tersebut. . Kehilangan salah satu ekstermitas dapat menyebabkan syok meskipun klien telah dipersiapkan sebelum operasi. Tingkah laku klien dan ekspresi perasaan sedih maupun depresinya menunjukan cara klien menghadapi kehilangan dan menjalani proses bersedih. Sebuah penelitian dari Hanley, et al (2004) mengenai model biopsikososial untuk memprediksi penyesuaian klien yang diamputasi anggota gerak bawah menunjukan bahwa klien yang telah diamputasi kurang lebih selama 1 bulan sampai 1 tahun menunjukan terjadinya dampak psikososial seperti gangguan nyeri dan gejala-gejala depresi.
Untuk itulah dukungan sosial menjadi sangat penting ketika klien berada dalam keadaan sedih sehingga klien bisa berbagi dan lingkungan sosial bisa memberi support bagi klien tersebut. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Unwin & Clerk (2009) mempertegas bahwa enam bulan pasca amputasi, klien membutuhkan situasi atau mood yang positif serta dukungan sosial dalam penyesuaian diri. Hal-hal yang telah disebutkan di atas ingin menunjukan bahwa setelah dilakukan amputasi, klien harus mampu dan dibimbing untuk beradaptasi baik secara fisik, psikis, dan sosialnya. Salah satu aspek yang yang memiliki peran yang cukup signifikan dalam rangka pemulihan kehidupan klien adalah spiritualitas. Aspek ini berkaitan dengan proses pemaknaan klien terhadap hidupnya (Renetzky, 1979). Dalam konteks klien yang diamputasi, belum banyak teori ataupun penelitian yang membahas tentang aspek spiritualias ini dan oleh karenanya penelitian ini diarahkan ke sana. Perihal yang akan dikaji dari aspek ini adalah yang berkaitan dengan makna dan tujuan hidup, harapan dan hubungan klien dengan dirinya sendiri, orang lain dan Tuhan. 2. Metode Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jumlah riset partisipan 3 orang yang telah diamputasi dengan kriteria terjadi komplikasi pada anggota tubuh yang lain akibat amputasi, luka amputasi telah sembuh total dengan asumsi bahwa riset partisipan tidak lagi bermasalah secara fisik dengan luka akibat amputasi yang bisa saja mempengaruhi pemaknaan terhadap kehidupan setelah diamputasi. Kriteria riset partisipan tidak dibatasi berdasarkan tingkatan atau level amputasi, karena yang menjadi fokus adalah
bagaimana riset partisipan memaknai kondisi dan hidupnya. Adapun tempat dilaksanakannya penelitian ini adalah kota Ambon (provinsi Maluku). Untuk mengumpulkan data, digunakan teknik wawancara dan observasi. Guide line untuk wawancara telah disiapkan yang diawali dengan pertanyaan-pertanyaan pembuka seperti identitas, awal mula persitiwa diamputasi, pekerjaan sebelum dan sesudah diamputasi, hingga pertanyaan yang lebih mendalam mengenai makna hidup dan harapan riset partisipan serta hubungan riset partisipan dengan dirinya sendiri, orang
lain, dan Tuhan. Perbincangan selama
wawancara direkam dengan seijin riset partisipan kemudian dituliskan dalam bentuk transkrip kemudian dianalisis menggunakan pendekatan analisis naratif. 3. Hasil Individu yang bersedia menjadi riset penelitian dalam penelitian ini berjumlah 3 orang dan semuanya berjenis kelamin laki-laki. Proses pengambilan dan pengumpulan data dilakukan dalam waktu yang berbeda sesuai kesepakatan yang dilakukan. Jenis wawancara yang dilakukan adalah in-dept interview dengan maksud agar peneliti mendapatkan data dari riset partisipan secara mendalam mengenai setiap aspek spiritual riset partisipan. Singkatnya, identitas dari ketiga riset partisipan tersebut dapat ditunjukan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 4.1 Identitas riset partisipan
Berikut ini merupakan konsep penting yang ditemukan dalam penelitian terhadap 3 riset partisipan tersebut: a. Makna hidup Makna hidup merupakan hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (Bastaman, 2008). Tujuan dan makna hidup tersebut dapat ditemui dalam tiga bidang kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidup. Nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai kreatif, penghayatan dan bersikap. 1) Nilai-nilai kreatif. Setiap riset partisipan memiliki tujuan hidupnya masingmasing. Selain itu ketiga riset partisipan menyatakan masih
mampu berkarya dan melakukan sesuatu yang bermakna dan hal itu dilakukan dengan penuh tanggung jawab. 2) Nilai-nilai penghayatan. Riset partisipan sangat memaknai hubungan mereka dengan orang-orang yang mereka cintai. Kedekatan orang-orang tersebut dirasa sangat bernilai ketika menemani mereka melewati proses kehilangan anggota tubuh mereka yang di amputasi sampai pada tahap penerimaan. 3) Nilai-nilai bersikap. Hari-hari pertama setelah diamputasi merupakan saat-saat yang paling berat bagi riset partisipan dalam menerima kenyataan bahwa sebagian anggota tubuh mereka telah tiada. Perasaan kecewa, putus asa, tidak dihargai orang, masa depan suram, bahkan perasaan ingin mati bercampur menjadi satu. Peran keluarga, sahabat, teman, pemuka agama, menjadi sangat penting dalam memberikan dukungan dan selalu sedia menemani
riset
partisipan
untuk
membantu
mereka
menyesuaikan diri dengan keadaan traumatik tersebut. Saat ini, riset partisipan telah menerima kenyataan bahwa mereka telah kehilangan salah satu anggota tubuh mereka. b. Harapan Riset partisipan kedua dan ketiga memiliki keyakinan bahwa Tuhan selalu ada untuknya dan selalu mencukupi kebutuhannya, sedangkan riset partisipan ketiga mengatakan mungkin saat ini belum ada perubahan yang lebih baik dari kejadian yang dihadapi riset partisipan sebelumnya namun Ia yakin memiliki rencana yang indah baginya. Hanya Riset partisipan pertama yang merasa bahwa keadaan sebelum dan sesudah diamputasi dinilai sama saja, tidak memiliki
perubahan dan masih dalam keadaan buruk. Menurut riset partisipan satu, hal tersebut terjadi karena pergaulannya yang buruk dengan temantemannya sehingga hal-hal yang menjadi harapannya kedepan masih gagal untuk dilakukan akibat pergaulan yang buruk tersebut. Setiap riset partisipan memiliki harapannya masing-masing dan harapan
tersebut
membuat
mereka semakin
termotivasi
untuk
melakukan apa yang diinginkan. Sejauh ini harapan riset partisipan pertama adalah jika Ia memiliki modal, ia ingin membuka usaha sekalian mencari jodoh. Harapan riset partisipan kedua adalah memiliki usaha sendiri untuk tambal ban meskipun hasilnya sedikit untuk menafkahi keluarga. Sedangkan riset partisipan ketiga memiliki harapan dirinya mampu bekerja keras menafkahi keluarganya.
c. Hubungan individu dengan dirinya sendiri, orang lain, Tuhan 1) Hubungan antara Individu dengan dirinya sendiri Setelah diamputasi sampai sekarang, ketiga riset partisipan merasa masih bisa melakukan segala sesuatu yang ingin mereka lakukan dengan baik. Selain itu masing-maing dari mereka memiliki sesuatu hal yang ingin dicapai bagi diri mereka maupun orang-orang yang mereka kasihi. Riset partisipan pertama dan kedua menggambarkan dirinya yang sekarang dengan sebelum diamputasi sangatlah berbeda. Perbedaan yang jelas terjadi pada bagian tubuh yang sudah diamputasi yang membuat kondisi fisik menjadi berkurang. Selain itu riset partisipan kedua mengasumsikan bahwa
keadaan
setelah
diamputasi
membuat
orang
menganggap remeh dirinya karena cacat, Ia juga kadangkadang menjadi gugup. Sedangkan riset partisipan ketiga menjadi sering mengkonsumsi minuman beralkohol bersama teman-temannya akibat stres yang dialami setelah diamputasi.
Khusus untuk riset partisipan pertama, Ia merasa bahwa dirinya senang saja dan tidak memiliki beban meskipun sudah diamputasi karena sangat tertolong dengan adanya kaki palsu untuk berjalan. 2) Hubungan antara Individu dengan orang lain. Setiap riset partisipan memiliki teman, kerabat, atau keluarga yang dianggap dekat dan sering berbagi kasih dengan setiap riset partisipan. Pada keadaan sesaat setelah amputasi, dukungan keluarga, teman, sahabat dan orang yang dekat dengan mereka menjadi sangat penting untuk membantu mereka melewati tahap-tahap kehilangan yang sedang dialami. Selain itu, Kondisi sebelum dan sesudah diamputasi tidak menghalangi mereka untuk bergaul dengan siapa saja karena pergaulan ketiga riset partisipan dengan lingkungan sekitar dan teman-teman mereka baik-baik saja. 3) Hubungan antara individu dan Tuhan Ketiga riset partisipan memiliki pandangannya masingmasing tentang Tuhan yang mereka percayai. Cara riset partisipan mengekspresikan kedekatan mereka dengan Tuhan lewat doa dan kitab suci yang mereka baca serta tidakan langsung sesuai dengan yang mereka bisa lakukan meskipun menurut mereka bertiga yang beragama kristen protestan ini sangat jarang ke gereja. Masing-masing riset partispan memaknai hubungannya dengan Tuhan dengan kejadian amputasi yang mereka jalani secara berbeda-beda. Riset partisipan pertama mengatakan seharusnya dia sudah meninggal ketika terkena ledakan bom namun Tuhan itu baik masih memberinya hidup. Ia mengaku
bahwa kakinya diamputasi akibat kesalahan yang sudah ia lakukan
sendiri,
sehingga
Tuhan
menegurnya
dengan
mengambil kakinya. Riset partispan kedua pernah membakar kitab sucinya karena ia merasa Tuhan tidak adil, namun menurutnya, tindakan tersebut justru mejadi pukulan hidup baginya sampai akhirnya Ia sadar bahwa Tuhan masih menyayanginya. Sedangkan riset partisipan ketiga berpikir bahwa tidak adil ketika Ia harus diamputasi namun hati kecilnya berkata bahwa Tuhan itu adil, karena Tuhan tidak pernah meninggalkannya. Ia menambahkan bahwa Tuhan bukan hanya mengasihinya saja tetapi juga mengasihi orang lain karena Tuhan itu adil. d. Memaafkan Selain ketiga aspek di atas, terdapat satu aspek lain yang merupakan salah satu bagian dari aspek spiritual yang disebutkan menurut Dossey (1997) dalam bukunya Core Curriculum for Holistic Nursing. Aspek tersebut adalah forgiveness yang tampak pada riset partisipan kedua. Riset
partisipan
kedua
mengatakan
bahwa
sebelum
diamputasi, Ia menjadi tulang punggung keluarga dan sering mengirimkan sejumlah uang kepada keluarganya yang mayoritas tidak memiliki pekerjaan tetap. Mereka sangat dekat dengannya ketika itu, namun setelah diamputasi Ia merasa bahwa dirinya tidak pernah mendapatkan dukungan dari keluarganya, bahkan mereka terkesan acuh tak acuh. Ketika riset partisipan kedua menceritakan tentang hal tersebut, Ia meneteskan air mata dan mengatakan Ia sangat menyayangkan hal tersebut. Namun
semuanya itu
tidak
membuatnya
dendam,
dirinya
sudah
memaafkan saudara-saudaranya karena Ia menyayangi mereka. 4. Pembahasan Riset partisipan mampu menjelaskan aspek spiritual mereka -masing. Hal esensial yang diutarakan ketika berbicara mengenai spiritual adalah menemukan makna dan tujuan hidup. Makna hidup merupakan hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (Djamaludin, 2003). Usaha untuk menemukan makna hidup muncul sebagai sebuah tema yang dominan dari dimensi spiritualitas dan berhubungan dengan diri sendiri, orang lain, dan Tuhan. Usaha tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan yang secara potensial mengandung
nilai-nilai
yang
memungkinkan
seseorang
menemukan makna hidup di dalamnya jika nilai-nilai itu diterapkan atau dipenuhi. Nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai kreatif, penghayatan, dan bersikap. Proses menemukan makna hidup yang pertama melalui pekerjaan yang dilakukan oleh ketiga riset partisipan setelah diamputasi dalam merealisasikan creative values yaitu dengan memiliki tujuan hidup, kegiatan berkarya dan merasa mampu untuk melaksanakan setiap tugas dengan penuh semangat dan rasa tanggung jawab. Meskipun sudah kehilangan salah satu anggota tubuh, ketiga riset partisipan masih memiliki tujuan hidupnya masing-masing dan hal itu membuat mereka mampu untuk berkarya dan melakukan melakukan sesuatu yang bermakna dan hal itu dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Menurut Bastaman (2008), setiap orang pasti menginginkan bagi dirinya
suatu cita-cita dan tujuan hidup yang penting dan akan diperjuangkan dengan penuh semangat, sebab tujuan hidup menjadi arahan segala kegiatannya. Ia mendambakan dirinya sebagai orang yang bertanggung jawab untuk dirinya sendiri. Melalui karya dan kerja manusia dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara bermakna. Proses penemuan makna hidup di samping melalui nilainilai kreatif bisa juga melalui nilai-nilai penghayatan yang dibangun setiap individu. Menurut Bastaman (2008), yang termasuk dalam nilai-nilai penghayatan yaitu keyakinan dan penghayatan akan nila-nilai kebenaran, kebijakan, keindahan, keimanan, dan keagamaan, serta cinta kasih. Artinya, dengan menghayati dan meyakini suatu nilai, hal tersebut dapat menjadikan hidup seseorang berarti. Dalam hal ini riset partisipan menghayati hidup mereka lewat kejadian amputasi yang telah mereka jalani dalam perspektif nilai cinta kasih serta keagamaan. Riset partisipan tetap bersyukur kepada Tuhan karena dalam penghayatannya setelah diamputasi, Tuhan masih memberikan pemikiran untuk bagaimana melanjutkan hidupnya meskipun ada salah satu anggota tubuh yang hilang. Selain itu, memiliki orangorang yang mereka sayangi selama proses kehilangan salah satu anggota tubuh sampai ke tahap penerimaan merupakan sesuatu yang sangat dihayati ketiga riset partisipan. Rasa mencintai dan dicintai kepada sesama juga menjadi salah satu sumber makna hidup. Mencintai dan dicintai akan membuat seseorang merasa bahagia dan berarti (Bastaman, 2008). Sumber pencarian makna hidup yang terakhir adalah melalui nilai-nilai bersikap (attitudinal values). Nilai-nilai ini
menekankan pada sikap menerima dengan penuh kenyataan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakan lagi seperti sakit, kehilangan dan kematian (Bastaman, 2008). Hal ini dijelaskan oleh Frankl (1967) bahwa makna hidup tidak hanya ditemukan pada keadaan yang bahagia saja, namun juga dalam keadaan yang menyakitkan sekalipun asalkan kita mampu mengambil hikmahnya. Ketiga riset partispan mengaku bahwa saat ini telah menerima kenyataan bahwa salah satu anggota tubuhnya telah tiada karena diamputasi, meski pada awalnya mereka merasa sangat sulit untuk menerima kenyataan tersebut (merasa kecewa, putus asa, dan ingin mati-karena merasa tidak bisa melakukan apa-apa lagi). Namun, seiring berjalannya waktu dan mendapat dukungan dari orang-orang terdekat, ketiga riset partisipan akhirnya menerima keadaan ini. Bastaman (2008) mengatakan bahwa kita tidak mungkin menghindari sesuatu yang telah terjadi bagi diri kita, melainkan kita dapat mengubah sikap kita dalam menghadapi keadaan yang tak mungkin dihindari. Dengan kata lain, penderitaan memang tidak dapat memberkan makna dan guna, apabila kita tidak dapat mengubah sikap kita terhadap penderitaan itu agar lebih baik lagi. Ini berarti bahwa, dalam keadaan bagaimanapun termasuk di dalamnya telah kehilangan salah satu anggota tubuh karena diamputasi, arti hidup masih tetap ditemukan asalkan dapat mengambil sikap yang tepat untuk menghadapinya. Aspek lainnya selain makna makna hidup adalah hubungan antara riset partisipan dengan dirinya sendiri, orang lai, dan Tuhan dapat dijelaskan sebagai berikut. Hubungan antara individu dengan dirinya sendiri ingin menegaskan sejauh mana individu
mengenal dirinya secara utuh dan mampukah dirinya melakukan segala sesuatu dengan mandiri, mengenal apa yang dibutuhkan dirinya dan bagaimana cara untuk mencapainya. Riset partisipan dalam penelitian ini mampu mengenali dan menggambarkan dirinya sendiri dan mengidentifikasi apa yang ingin dicapai serta optimis bahwa mereka mampu mencapai hal tersebut. Creath Davis (1976) dalam bukunya “How to win in a crisis” mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang unik diantara makhluk hidup yang lainnya yang memahami arti dari keberadaannya, dengan kata lain setiap orang akan berusaha mencari untuk menemukan sesuatu yang bisa Ia lakukan dan bukan hanya terkungkung dalam keadaannya yang statis saja. Hubungan antara individu dengan orang lain lebih menekankan pada sisi mampu tidaknya klien membagi waktu, pengetahuan, dan sumber secara timbal balik. Hasil penelitian menunjukan bahwa setiap riset partisipan memiliki kerabat, teman, maupun keluarga sebagai tempat mereka membagi cerita maupun kasih. Potter & Perry (2000) mengatakan bahwa ketika klien mengetahui bahwa orang lain dengan kepercayaan serupa menunjukan kepedulian mereka, maka mereka menjadi sumber harapan hal ini dikarenakan bahwa harapan berhubungan dengan rasa saling percaya. Selain itu Bastaman (2008) menambahkan bahwa hubungan antara diri sendiri dan sosial dapat diwujudkan melalui penerimaan sepenuhnya orang-orang di sekitarnya seperti apa adanya mereka serta dapat memahami kepribadian orang lain dengan penuh pengertian dan juga sebaliknya. Hubungan yang terakhir yaitu antara individu dengan Tuhannya. Hubungan ini bisa tercermin dalam penghayatannya
terhadap Tuhan yang riset partisipan percayai atau imani melalui tidakan, tutur kata, sikap maupun praktik-praktik keagamaan yang dianut. Barbara Pesut (2009) dalam jurnalnya yang berjudul “ Incorporating patients’ spirituality into care using gadow’s ethical framework” mengatakan bahwa klien menggunakan pengalaman dan kepercayaan mereka mengenai Tuhan atau keagamaan mereka untuk menemukan arti hidup yang sedang mereka jalani. Hal itu juga ditunjukan pada ketiga riset partisipan yang memaknai kedekatan hubungan mereka dengan Tuhan. Aspek ketiga tentang spiritual adalah aspek harapan. Harapan merupakan salah satu aspek spiritual yang umum bagi setiap orang, dan dapat dijabarkan sebagai sebuah keinginan atau hasrat yang disertai dengan ekspektasi terhadap pemenuhan sesuatu hal (Young and Koopsen, 2005). Di dalam penelitian ini, riset partisipan memiliki harapannya masing-masing dan harapan tersebut membuat mereka semakin termotivasi untuk melakukan apa yang diinginkan, dan mereka semangat untuk melanjutkan hidup mereka. Menurut Bastaman (2008), harapan meskipun belum tentu menjadi kenyataan, memberikan sebuah peluang dan solusi
serta
tujuan
baru
yang
menjanjikan
yang
dapat
menimbulkan semangat dan optimisme. Forgiveness sebagai aspek terakhir yang menjadi tambahan dalam penelitian ini merupakan suatu tindakan atau pilihan untuk melepaskan diri sendiri atau orang lain dari tuduhan atau kesalahan yang telah dilakukan (Dossey dalam Young, 2005). Dalam penelitian ini, riset partisipan kedua memutuskan untuk memberi maaf kepada saudara-saudaranya dan tidak menyimpan dendam kepada mereka.
5. Kesimpulan a. Makna hidup riset partisipan yang telah diamputasi salah satu anggotanya ditunjukan melalui usaha-usaha mereka menemukan nilai-nilai kreatif, penghayatan, dan bersikap. Dalam hal ini, ketiga riset partisipan merasa hidupnya bermakna karena mampu melakukan dan menerapkan ketiga nilai ini. b. Meskipun telah diamputasi salah satu anggota tubuh, ketiga riset partisipan masih tetap memiliki harapan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik. c. Hubungan riset partisipan dengan dirinya sendiri ditunjukan dengan kemampuan mengenali dan menggambarkan dirinya sendiri bahwa setelah diamputasi sampai sekarang. Mereka masih bisa melakukan segala sesuatu yang ingin mereka lakukan dengan baik dan memiliki sesuatu hal yang ingin dicapai bagi diri mereka maupun orang-orang yang mereka kasih. Hubungan ketiga riset partisipan dengan orang lain digambarkan dengan membangun hubungan kekerabatan yang baik, membagi cerita maupun kasih antara riset partisipan dengan keluarga dan masyarakat sekitar yang menerima keadaan klien bahkan memberi dukungan kepada riset partisipan ketika berada dalam masa-masa sulit setelah diamputasi. Sedangkan hubungan ketiga riset partisipan dengan Tuhan yang diimaninya muncul dalam pemaknaan hubungan mereka dengan Tuhan membuat mereka menemukan makna dan arti hidup mereka bahwa penyertaan Tuhan masih mereka rasakan meskipun telah diamputasi. d. Meskipun tidak mendapatkan dukungan dari keluarga bahkan dipukul oleh salah satu saudaranya, riset partisipan kedua tidak merasa dan justru mampu memberi maaf.
SUMBER BACAAN Ancok., D., 2006. Logoterapi terapi psikologi melalui pemaknaan eksistensi. Edisi 2. Yogyakarta. Kreasi wacana Yogyakarta Bastaman, H.D. 2008. Logoterapi : Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada Crossley, M. L. 2000. Introducing Narrative Psychology self, trauma and the reconstruction of meaning. Buckingham : Open University Press Crisis., D., 1976. How to win in a crisis; alih bahasa mengatasi krisis kehidupan, tjang liong. Edisi 2. Bandung. Yayasan kalam hidup. Dommian J (1983) Doctor as prophet Bntish Medical Journal287(6409), 1925-1927 Frankl., V.1967. Psychotherapy and existentialism; selected papers on logotherapy. New York. Washington Square Press. Friedmann LW. Rehabilitation of the Lower Extremity Amputee. In : Kottke FJ, Lehman JF, editors. Krusen’s Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation. 4th ed. Philadelphia : W.B Saunders Company, 1990 : 1024-69. Hanley A, M et al. 2004. Psychosocial predictors of long-term adjustment to lower-limb amputation and phantom limb pain. VOL. 26, NO. 14/15, 882–893 Kozier, B., et,al. 2004. Fundamental of nursing, concept, process, & practice. Seventh Edition. Person education , Inc. New Jersey. Miller C. 2010. Souldrama : Jangan Memberi Makan Ego: Kenyangkan Jiwa; Nyalakan Kecerdasan Spiritual Anda. New Jersey. Moleong, L. J. 2002. Metodologi Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Pesut., B. Incorporating Patients’ Spirituality into Care Using Gadow’s Ethical Framework, Nursing Ethics 2009 16 (4) © The Author(s), 2009. 10.1177/0969733009104606 Reprints and permissions Potter, P.A & Perry, A. G. 2005. Fundamental of Nursing, Alih bahasa. Yasmin Asih, Fundamental Keperawatan. Edisi 6. ECG. Jakarta Poerwandari, E.K. 2005. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Edisi 3. Jakarta : LPSP3 Universitas Indonesia Puchalski, C M. 2005. Spirituality and the care of patients at the end Of Life :An essential component of care. Vol 56. Washington, Rehabilitation of the Patient with Amputation, Robert H. Meier, in Medical Rehabilitation Halstead et.al ed. Raven Press, New York L: 1985, p. 133-145 Reksoprodjo S. Amputasi. Dalam : Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa Aksara, 1995 : 581-6 Renetzky L (1979) The fourth dimension appUcahons to the social services In Spintual Well-being Sociological Perspectives (Moberg DO ed), Umversity Press of Amenca, Washmgton, pp 215-254 Smelter & Bare 2005. Keperawatan Medikal Bedah Brunner n Sudart. Edisi 8. Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Smith B, and Glennon T. Amputations. In : Garrison S, MD, editors. Handbook of Physical medicine and Rehabilitation Basics. Philadelphia : J.B Lippincott Company, 1995 : 34-55 Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : CV Alfabeta Takwin, Bagus. 2007. Psikologi Naratif : Membaca Manusia sebagai Kisah. Yogyakarta : Jalasutra. Unwin & Clerk. 2009. A prospective study of positive adjustment to lower limb amputation. ClinicalRehabilitation. Van Beek, A, M, 1987. Konseling pastoral. Penerbit SW. Semarang
Yani. Achir. 2008. Bunga Rampai : Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : ECG Young, C & Cyndie Koopsen. 2005. Spirituality, Health and Healing. United State : Bartlett Publisher