Aspek Hukum dalam penanganan masalah kerusakan Prasarana dan Bangunan H. Nazarkhan Yasin Magister Pengelolaan Sarana Prasarana Sekolah Pasca Sarjana, Program Studi Teknik Sipil, Universitas Gadjah Mada
ABSTRAK : Gempa bumi yang terjadi di daerah Yogyakarta baru-baru ini, telah menewaskan dan menciderai ribuan orang. Selain itu gempa tersebut telah menimbulkan kerugian yang sangat besar berupa kerusakan prasarana dan bangunan. Makalah ini akan membahas masalah penanggulangan kerusakan tersebut dari segi pandang atau aspek hukum antara lain tentang beberapa pengertian dari istilah teknik seperti kegagalan konstruksi, kegagalan bangunan, sebab-sebab terjadinya kerusakan, ganti rugi dan tanggung jawab atas kerusakan dan fungsi dari Forensic Engineering dan peran asuransi dalam penanggulangan kerusakan ini.
1. PENGANTAR Gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada bulan Juni 2006 yang lalu di daerah Yogyakarta dan sekitarnya selain telah menewaskan dan menciderai ribuan orang, telah pula mengakibatkan kerugian harta benda yang cukup besar berupa kerusakan prasarana dan bangunan baik yang sudah selesai maupun yang masih dalam tahap pelaksanaan. Yang menarik untuk diperhatikan, dipelajari dan diselidiki adalah kebanyakan bangunan yang rusak atau hancur tersebut (disamping bangunan rumah penduduk yang sederhana) adalah bangunanbangunan yang tergolong baru dengan usia rata-rata 10 – 20 tahun dan dibangun dengan teknologi yang serba canggih. Dilain pihak gedung-gedung yang dibangun pada kurun waktu 1950 – 1970 seperti Kantor Pusat UGM (Kampus Biru) Gedung-Gedung Fakultas Teknik, Pertanian, Kedokteran Hewan, Perpustakaan, serta Perumahan Dosen didaerah Sekip serta Perumahan Dosen di Bulak Sumur sama sekali tidak mengalami kerusakan akibat gempa tersebut, bahkan menurut informasi, retakpun tidak. Sungguh luar biasa ! Mengapa bangunan-bangunan yang dibuat pada kurun waktu 40 – 50 tahun yang lalu memiliki daya tahan yang jauh lebih baik terhadap gempa dibandingkan dengan bangunan yang lebih muda, padahal teknologi bangunan pada kurun waktu tersebut dibandingkan dengan teknologi masa kini masih sangat sederhana ?. Kemungkinan, hal tersebut diatas terjadi karena penurunan atau krisis mutu (quality crises) dari bangunan-bangunan sekarang. Makalah ini akan membahas penanggulangan kerusakan bangunan dan prasarana yang terjadi
akibat gempa di Yogyakarta dan sekitarnya barubaru ini terutama ditinjau dari aspek hukum seperti uraian tentang Undang-Undang RI No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 29/2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang berkaitan dengan pengertian kegagalan konstruksi dan kegagalan bangunan, sebab-sebab kegagalan, tanggung jawab atas kerusakan dan ganti rugi. Proses penelitian dan penyelidikan atas kerusakan bangunan oleh suatu Lembaga seperti Laboratorium Struktur FT-UGM yang disebut Forensic Engineering juga akan diuraikan dalam makalah ini. Selain itu makalah ini akan menguraikan pula peran asuransi dalam penanggulangan kerusakan bangunan, antara lain berkaitan dengan pengajuan klaim asuransi. Akhirnya pada bagian akhir makalah akan disampaikan kesimpulan dan saran-saran untuk menghadapi kemungkinan terjadinya kerusakan atau kehancuran gedung akibat gempa dimasa mendatang. 2. PENGERTIAN KERUSAKAN BANGUNAN 2.1 Kegagalan konstruksi dan kegagalan bangunan Menurut Peraturan Pemerintah No. 29/2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dibedakan dua macam kerusakan yang dapat terjadi pada suatu bangunan sejak saat dibangun hingga selesai (masa konstruksi) maupun peristiwa yang terjadi setelah bangunan tersebut diserah terimakan. Kedua kejadian tersebut masing-masing dinamakan : 1
a. Kegagalan Konstruksi : Hasil pekerjaan tidak sesuai dengan spesifikasi teknis (sebagian atau seluruhnya) akibat kesalahan Pengguna Jasa / Penyedia Jasa (Pasal 31). b. Kegagalan Bangunan : Keadaan bangunan yang tidak berfungsi sebagian/seluruhnya dari segi teknis, manfaat, keselamatan, kesehatan kerja atau keselamatan umum akibat kesalahan Pengguna Jasa / Penyedia Jasa setelah Serah Terima Akhir (Pasal 34). Dari kedua pengertian tersebut diatas terlihat bahwa : a. terdapat 2 macam kegagalan yang terjadi menurut waktu kejadiannya yaitu disebut kegagalan konstruksi jika hal tersebut terjadi selama masa konstruksi, dimana bangunannya sendiri belum selesai. Kegagalan jenis kedua adalah apa yang disebut kegagalan bangunan yang terjadi setelah serah terima akhir pekerjaan. b. Baik kegagalan konstruksi maupun kegagalan bangunan menurut Peraturan Pemerintah terjadi karena kesalahan Pengguna Jasa atau Penyedia Jasa.
konstruksi dan bangunan tersebut misalnya karena gempa bumi yang terjadi melebihi intensitas gempa yang telah diperhitungkan dalam analisis struktur bangunan tersebut, maka kerusakan yang terjadi adalah murni suatu bencana alam dan bukan kelalaian atau kesalahan manusia (human error). Berdasarkan informasi dari Laboratorium Stuktur FT-UGM, gempa yang terjadi di daerah Yogyakarta dan sekitarnya baru-baru ini bersifat tiga dimensi (berbeda dengan gaya gempa yang pada umumnya bersifat lateral). Bila hal ini terjadi maka baik Pengguna Jasa maupun Penyedia Jasa secara hukum bebas dari tanggung jawab atas kerusakan yang terjadi karena kerusakan tersebut murni sebagai bencana alam. Sebaliknya jika terbukti bahwa bangunan tersebut tidak sanggup menahan gaya gempa karena faktor gempa memang tidak dimasukkan kedalam perhitungan analisis struktur atau perhitungan strukturnya sendiri secara keseluruhan memang tidak memenuhi syarat, maka kerusakan yang terjadi tidak dapat digolongkan sebagai kegagalan konstruksi atau kegagalan bangunan. 2.3 Kategori kerusakan
2.2 “Kegagalan” lawan “ kerusakan” Dari uraian tersebut timbul pertanyaan : “Apakah kerusakan yang terjadi akibat gempa bumi di daerah Yogyakarta baru-baru ini terhadap bangunan yang dalam masa konstruksi dan bangunan yang sudah selesai dapat digolongkan sebagai suatu kegagalan konstruksi dan kegagalan bangunan?”. Disinilah letak permasalahannya ditinjau dari segi hukum. Kerusakan konstruksi dan bangunan yang terjadi akibat gempa baru-baru ini tidak serta merta dapat dikatakan sebagai bencana alam (natural disaster) murni tanpa menyelidiki lebih mendalam kemungkinan terdapat kesalahan manusia (human error). Mungkin saja gempa bumi tersebut untuk bangunan tertentu hanya merupakan pemicu (trigger) dari kerusakan bangunan tersebut. Kenyataan sesungguhnya adalah bahwa bangunan tersebut secara struktural memang tidak memenuhi syarat antara lain karena tidak memperhitungkan faktor gempa atau dalam perhitungan struktur menggunakan angka keamanan yang sangat kecil. Jika laporan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh para pakar dibidang teknik struktur, ahli gempa dari suatu Lembaga yang berkompeten dan independen seperti Laboratorium Struktur Fakultas Teknik UGM menyimpulkan bahwa kerusakan
Dari uraian tersebut dalam butir 2.2 dapat disimpulkan bahwa: a. walaupun akibat yang timbul adalah sama yaitu terjadi kerusakan terhadap konstruksi dan bangunan namun penyebab kejadian tersebut berbeda dan hal ini menimbulkan konsekwensi hukum yang berbeda pula. b. Jika kerusakan terjadi, murni karena gempa bumi yang sesungguhnya sudah diperhitungkan dalam analisis struktur namun tetap terjadi diluar kekuasaan manusia maka peristiwa tersebut digolongkan sebagai kerusakan konstruksi (construction damage) atau kerusakan bangunan (building damage). c. Sebaliknya kerusakan yang terjadi karena kelalaian manusia yang tidak memperhitungkan faktor gempa sehingga tidak mampu mengantisipasi gempa, maka peristiwa tersebut digolongkan sebagai kegagalan konstruksi (construction failure) atau kegagalan bangunan (building failure). d. Secara hukum jika terjadi kerusakan konstruksi atau kerusakan bangunan tidak ada pihak yang dapat di tuntut atau diminta pertanggung jawaban karena hal tersebut merupakan bencana alam. e. Namun jika terjadi kegagalan konstruksi atau kegagalan bangunan maka pihak yang melakukan kesalahan akan ditindak secara 2
hukum sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku antara lain Peraturan Pemerintah No. 29/2000 Pasal 32 ayat 2 dan Pasal 40 ayat 2.
c) Pemerintah berwewenang mengambil tindakan tertentu bila kegagalan konstruksi merugikan/mengganggu keselamatan umum (Pasal 33).
3. SEBAB-SEBAB KERUSAKAN 4.2 Tanggung jawab terhadap kegagalan bangunan
3.1 Sebab alamiah Secara awam dan kasat mata dapat dikatakan bahwa kerusakan atau kegagalan atas prasarana dan bangunan di daerah Yogyakarta dan sekitarnya terjadi akibat gempa bumi yang merupakan bencana alam. 3.2 Sebab yang sesungguhnya Sebab-sebab yang sesungguhnya dari kerusakan tersebut setelah diselidiki dan diteliti secara mendalam adalah sebagai berikut : a. Kesalahan atau kelalaian manusia : - dalam perencanaan : tidak memperhitungkan faktor gempa atau perhitungan struktur yang kurang. - dalam pelaksanaan : pengurangan mutu sehingga tidak sesuai perencanaan dan spesifikasi teknis. - dalam penggunaan bahan : bahan bermutu rendah. b. Murni karena gempa bumi (bencana alam) yang sesungguhnya telah diantisipasi namun tetap tidak dapat diatasi karena sifat gempa yang terjadi berbeda dengan yang biasa terjadi.
4. TANGGUNG KERUSAKAN
JAWAB
TERHADAP
4.1 Tanggung jawab terhadap kegagalan konstruksi Peraturan Pemerintah (PP) No. 29/2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Pasal 32 dan Pasal 33 mengatur mengenai tanggung jawab atas kegagalan konstruksi yang secara ringkas menyatakan sebagai berikut : a) Baik Perencana konstruksi, Pelaksana Konstruksi maupun Pengawas Konstruksi bebas dari kewajiban mengganti/memperbaiki kegagalan konstruksi karena kesalahan pihak lain (Pasal 32 ayat 1, ayat 2 dan 3) b) Penyedia Jasa wajib mengganti/memperbaiki kegagalan konstruksi karena kesalahan sendiri atas biaya sendiri (Pasal 32 ayat 4).
Selanjutnya Peraturan Pemerintah yang sama Pasal 40 dan Pasal 41 mengatur mengenai tanggung jawab atas kegagalan bangunan sebagai berikut : a) Perencana Konstruksi wajib menyatakan dengan tegas dan jelas tentang umur konstruksi yang direncanakan dan bila terjadi kegagalan bangunan karena kesalahannya maka dia hanya bertanggungjawab atas ganti rugi sebatas hasil perencanaan yang belum/tidak diubah (Pasal 40 ayat 1 dan 2). b) Bila terjadi kegagalan bangunan karena kesalahan Pelaksana Konstruksi atau Pengawas Konstrusi maka tanggungjawab berupa sanksi dan ganti rugi dikenakan pada yang menandatangani kontrak (Pasal 40 ayat 3 dan 4). c) Pelaksana Konstruksi wajib menyimpan dan memelihara dokumen pelaksanaan sebagai alat bantu jika terjadi kegagalan bangunan (Pasal 41 ayat 1). Dari uraian tersebut butir 4.1 dan 4.2 terlihat bahwa Peraturan Pemerintah No. 29/2000 tersebut hanya mengatur mengenai tanggung jawab terhadap kegagalan konstruksi dan kegagalan bangunan yang terjadi karena kesalahan manusia (Pengguna Jasa atau Penyedia Jasa). Jadi apabila terbukti (berdasarkan penyelidikan) bahwa kerusakan bangunan yang terjadi akibat gempa di Yogyakarta baru-baru ini dapat digolongkan sebagai kegagalan konstruksi atau kegagalan bangunan maka ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini berlaku. 4.3 Syarat-syarat Umum (AV) 41 Pasal 54 Suatu hal yang cukup menarik untuk direnungkan adalah tentang tanggung jawab atas konstruksi berdasarkan ketentuan Syarat-Syarat Umum (AV) 41 Pasal 54 ayat 1 c tentang Tanggung Jawab Penyedia Jasa yang berbunyi kurang lebih : “Penyedia Jasa bertanggung jawab terhadap bangunan selama 5 (lima) tahun sejak serah terima akhir jika : “Rencana dibuat Pengguna Jasa namun seharusnya secara wajar Penyedia Jasa mengetahui sebelumnya bahwa rencana tersebut kurang sempurna dan perlu
3
dirubah tapi hal tersebut tidak dilaporkan kepada Pengguna Jasa”. Ketentuan tersebut sangat menarik dimana suatu Penyedia Jasa dituntut untuk memiliki profesionalisme yang memadai walaupun bukan dia yang membuat perencanaan dan hal ini telah diatur pada tahun 1941 (65 tahun yang lalu). Sayang sekali ketentuan yang sangat baik ini tidak terdapat lagi dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi No. 18/1999 dan PP No. 29/2000.
5. GANTI RUGI BANGUNAN
ATAS
KEGAGALAN
5.1 Ganti rugi melalui asuransi Peraturan Pemerintah (PP) No. 29/2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Pasal 46, 47 dan 48 mengatur mengenai ganti rugi dalam hal terjadi kegagalan bangunan yang secara singkat berbunyi antara lain : “Pelaksanaan ganti rugi melalui pihak ketiga/asuransi (Pasal 46 ayat 1), besarnya kerugian ditetapkan oleh penilai ahli yang bersifat final dan mengikat (Pasal 47), biaya penilai ahli menjadi beban pihak yang bersalah (Pasal 48 ayat 1) dan selama penilai ahli bertugas biaya pendahuluan ditanggung Pengguna Jasa (Pasal 48 ayat 2) ”. Dari uraian tersebut dalam butir 5.1 terlihat bahwa PP No. 29/2000 hanya mengatur ganti rugi melalui asuransi yang disepakati dalam kontrak kerja konstruksi. 5.2 Penyelidikan asuransi Untuk bangunan yang mengalami kerusakan akibat gempa bumu di Yogyakarta baru-baru ini perlu diselidiki dengan teliti apakah diasuransikan dan apa saja persyaratan yang tercantum dalam Surat Polis Asuransi tersebut.
6. PERAN DAN ENGINEERING
FUNGSI
FORENSIC
6.1 Peran dan fungsi secara umum Secara garis besar peran dan fungsi Forensic Engineering dalam penanggulangan kerusakan /kegagalan bangunan adalah sebagai berikut : a. Sebagai langkah darurat, atas permintaan pemilik bangunan memeriksa dan menyelidiki kelayakan bangunan dan menetapkan apakah suatu bangunan atau prasarana yang mengalami
kerusakan tersebut akibat gempa, masih layak huni atau layak pakai dan memberikan petunjukpetunjuk mengenai langkah-langkah pengamanan darurat atas bagian yang mengalami kerusakan. b. Atas permintaan pemilik bangunan atau Perusahaan Asuransi meneliti lebih lanjut tingkat kerusakan bangunan dan cara-cara perbaikan serta membuat perhitungan biaya perbaikan bangunan. c. Meneliti lebih lanjut (atas permintaan pemilik bangunan) sebab-sebab yang sesungguhnya terjadi kerusakan dengan meneliti seluruh perhitungan struktur, melakukan serangkaian pengetesan termasuk pengetesan tanpa merusak komponen bangunan (Non Destructive Test) dengan Ultra Sono Grafi (USG), Hammer Test dan lain-lain. d. Menyusun laporan lengkap mengenai sebabsebab kerusakan dan menetapkan pihak yang bertanggung jawab mengenai terjadinya kerusakan disertai rekomendasi perbaikan gedung tersebut secara menyeluruh. 6.2 Pengertian Forensic Engineering Rangkaian penyelidikan dan penelitian tersebut dalam butir 6.1 dilakukan oleh para pakar di bidang teknik struktur, gempa bumi, geologi dan sebagainya dari suatu Laboratorium Strukstur yang dikenal dengan istilah Forensic Engineering. Di Indonesia Perguruan Tinggi yang telah memiliki peralatan pengetesan untuk kegiatan Forensic Engineering adalah Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung dan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
7. PERAN ASURANSI Dalam kaitan dengan peristiwa gempa di Yogyakarta baru-baru ini banyak bangunan yang rusak tersebut telah diasuransikan terhadap bencana alam seperti gempa bumi, karena kesadaran terhadap asuransi sudah meningkat (insurance minded). Namun permasalahannya tidaklah mudah. Disatu pihak pemilik bangunan pemegang polis asuransi ingin cepat mendapatkan pembayaran klaim asuransi. Dilain pihak Perusahaan Asuransi tidak begitu saja bersedia membayar klaim asuransi tanpa menyelidiki terlebih dulu apakah peristiwa yang terjadi memang termasuk resiko yang diasuransikan, berapa nilai kerusakan, apa kriteria yang dipakai untuk menetapkan bahwa bangunan tersebut sudah 4
tidak layak huni (total lost) sehingga harus dibangun baru, misalnya. Serangkaian pertanyaan tersebut membutuhkan jawaban yang tepat dan benar dari suatu Lembaga yang kompeten dan independen. Dengan kata lain permasalahan asuransipun membutuhkan jasa Forensic Engineering. Dalam hal Perusahaan Asuransi tidak mempercayai hasil laporan Forensic Engineering yang ditunjuk pemilik bangunan, maka perusahaan asuransi tersebut dapat meminta pendapat kedua (second opinion) kepada Lembaga Forensic Engineering lain didalam atau diluar negeri, tentunya atas biaya sendiri.
8. KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN 8.1 Kesimpulan : Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut: a. Ternyata bangunan dan prasarana yang rusak akibat gempa dan tsunami yang terjadi bulan Juni 2006 yang lalu didaerah Yogyakarta dan sekitarnya, diluar rumah tradisional penduduk kebanyakan adalah justru bangunan yang tergolong berusia muda (10-30 tahun). b. Bangunan yang dibangun dalam kurun waktu 1950-1970 (Usia 40-50 tahun) malahan sama sekali tidak mengalami kerusakan walaupun dibangun dengan teknologi yang sederhana. c. Jadi, nampaknya telah terjadi pengurangan atau krisis mutu (quality crisis) dari bangunan dalam kurun waktu 50 tahun terakhir ini. Hal ini merupakan suatu ironi dibandingkan dengan kemajuan teknologi. d. Kemungkinan kerusakan yang terjadi disebabkan karena salah satu dari dua hal berikut yaitu memang akibat gaya gempa yang tidak dapat diantisipasi sebelumnya, atau gempa tersebut hanya merupakan alat pemicu saja terjadinya kerusakan karena memang bangunan tersebut secara struktural tidak kuat. e. Dengan kejadian gempa tersebut orang mulai menyadari arti penting peran dari suatu disiplin ilmu yang dikenal dengan nama Forensic Engineering yang dapat menyelidiki dan meneliti dengan tingkat ketepatan yang tinggi mengenai sebab-sebab kerusakan bangunan, tingkat kerusakan, pengujian komponen bangunan serta penyelidikan struktur bangunan. f. Gempa tersebut yang terjadi di Yogyakarta dan sekitarnya baru-baru ini menyadarkan orang
tentang pentingnya aspek hukum sehubungan dengan sebab-sebab kerusakan, pihak yang bertanggung jawab dan ganti rugi dalam upaya menegakkan hukum.
8.2 Saran-saran Untuk mengantisifasi kejadian yang serupa (gempa bumi) dimasa mendatang kiranya perlu disampaikan beberapa saran sebagai berikut : a. Bangunan yang berada di Yogyakarta termasuk yang mengalami kerusakan dan dalam tahap pelaksanaan harus diteliti apakah kekokohan strukturnya sudah memperhitungkan faktor gempa atau belum. b. Dalam hal terbukti suatu bangunan tertentu ternyata tidak kuat menahan gaya gempa karena tidak diperhitungkan dalam analisis struktur, maka pihak yang bersalah harus dimnta pertanggung jawaban dan ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Memperketat izin mendirikan bangunan agar memenuhi seluruh persyaratan, termasuk faktor gempa. d. Perusahaan asuransi sebaiknya menggunakan jasa Forensic Engineering untuk menetapkan tingkat kerusakan dari suatu bangunan baik yang rusak karena gempa kebakaran, penjarahan atau sebab lain. e. Pemilik bangunan dan perusahaan asuransi sebaiknya menggunakan jasa konsultan hokum yang mengerti hukum konstruksi untuk mengantisipasi klaim asuransi yang timbul.
PENGHARGAAN Pemakalah berterima kasih kepada Prof. Ir. Bambang Suhendra, MSc, Ph.D, Laboratorium Struktur Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada atas informasi mengenai sifat gempa di Yogyakarta baru-baru ini.
REFERENSI Undang-Undang No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi Peraturan Pemerintah No. 29/2000 tentang Penyelenggraaan Jasa Konstruksi Soekarsono Malangjoedo, Syarat-Syarat Umum (Algemene Voorwaarden) AV 41.
5