BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Gangguan spektrum autism (Autism Spectrum Disorders/ASD) atau gangguan autistik (autistic disorder)
telah didefinisikan oleh American
Psychiatric Assotiation (APA) yaitu gangguan atau kecacatan perkembangan dengan karakteristik kerusakan interaksi sosial, abnormalitas dalam komunikasi verbal dan non verbal, dan perilaku berulang. Autistik adalah kondisi yang menggambarkan individu yang seolah-olah mereka hidup dalam dunianya sendiri. Di dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III) gangguan spektrum autisme disebut sebagai Autisme Masa Kanak. Gejala-gejala gangguan autistik secara klinis dapat dilihat dalam 3 tahun pertama kehidupan dan menetap sepanjang kehidupan (Depkes RI, 1993; Selvi, Vineeta, & Paul, 2010; Guerra, 2011; Rai, 2011, dan Dufault et al, 2012). Gangguan autistik terjadi memengaruhi fungsi otak
akibat gangguan
sedemikian
neurobiologis yang
rupa sehingga anak
tidak
mampu
berinteraksi dan berkomunikasi secara efektif. Karena berbeda individu dengan autisme mempunyai ciri dan tingkat keparahan gejala yang sangat berbeda, autisme disebut sebagai suatu “spektrum” gangguan, yaitu sekelompok gangguan dengan cakupan ciri yang serupa. Oleh karena itu muncul istilah ASDs (Autism Spectrum Disorders) atau GSA (Gangguan Spektrum Autism) (Ginanjar, 2007
Universitas Sumatera Utara
dan The National Institute of Child Health and Human Development & U.S. Department of Health and Human Services, 2005). Prevalensi anak yang mengalami gangguan autistik diseluruh dunia saat ini
diperkirakan
mencapai
0,1%,
dimana
telah
terjadi
peningkatan
mengkhawatirkan baik di negara maju maupun negara berkembang. Kejadian pada anak laki-laki 4 kali lebih sering dibanding pada anak perempuan (Szatmari, 2007; Abrahams & Geschwind, 2008). Menurut Autism Research Institute di San Diego, jumlah anak yang mengalami gangguan spektrum autisme tahun 1980 diperkirakan 1: 5000 anak dan tahun 2005 sudah menjadi 1:160 anak (Center for Disease Control and Prevention, 2007). The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan di Amerika Serikat saat ini terdapat 1 dalam 88 anak teridentifikasi mengalami gangguan autistik, prevalensi pada anak laki-laki 1 dalam 54 anak dan pada anak perempuan 1 dalam 252 anak. Perkiraan CDC ini
berdasarkan laporan dari
Autism and Developmental
Disabilities Monitoring (ADDM) Network yang memonitor jumlah anak autisme usia 8 tahun selama tinggal di Amerika Serikat dalam komunitas yang berbeda. Perkiraan prevalensinya meningkat 23% selama 2006 sampai 2008 dan 78% selama 2002 sampai 2008 (ADDM, 2012 dan Ratajczak, 2011). Indonesia belum mempunyai data akurat anak yang mengalami gangguan autistik. Sampai saat ini belum ada data resmi, namun lembaga sensus Amerika Serikat melaporkan bahwa tahun 2004 jumlah anak dengan ciri-ciri autistik atau gangguan spektrum autism di Indonesia mencapai 475.000 orang (Ginanjar, 2007 dan Hasdianah, 2013). Berdasarkan fenomena yang dapat dilihat saat ini,
Universitas Sumatera Utara
diperkirakan anak yang mengalami gangguan autistik di Indonesia juga sangat meningkat karena jumlah yang ditangani oleh dokter dan psikolog semakin meningkat
dan semakin banyak
pusat terapi yang menangani anak-anak
gangguan autistik. Di Sumatera Utara terdapat 4 pusat terapi anak gangguan autistik dan 10 Sekolah Luar Biasa (SLB) yang menangani kelas anak gangguan autistik. Salah satu tempat terapi autism di kota Medan adalah Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI), berada di Jl. Sei Batu Rata No. 14, Medan dan di Binjai terdapat SLB Negeri Binjai. Belum diketahui penyebab peningkatan besar kejadian anak gangguan autistik. Etiologinya heterogen,
para ahli belum mengetahui dengan
pasti
penyebab spesifik. Beberapa bukti menunjukkan bahwa genetik, lingkungan, dan faktor imunologi berperan dalam patogenesisnya. Penelitian dalam faktor biologis difokuskan pada 4 area : neurologis, biokimia, abnormalitas genetik dan masalah selama kehamilan dan setelah lahir. Dengan melihat prevalensi anak gangguan autistik yang meningkat sangat cepat dan mengkhawatirkan, menunjukkan telah terjadi sesuatu diluar individu dengan faktor genetik autisme yang menyebabkan gangguan neurobiologis kemudian memengaruhi fungsi otak sedemikian rupa. Hal ini terbukti bahwa peningkatan anak autistik terjadi seiring dengan kemajuan teknologi dan industri yang dimanfaatkan oleh manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya, pada sisi lain memberi dampak negative terhadap lingkungan dan individu tertentu (Selvi, Vineeta, & Paul, 2010; Ratajczak, 2011, dan Eapen, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Bagaimanapun juga peningkatan insiden anak dengan gangguan autistik mengesankan bahwa faktor epigenetik mempunyai peran, dan lingkungan memengaruhi fungsi gen-gen tertentu (Ozand et al., 2003). Namun, meskipun faktor genetik tampaknya berperan penting dalam etiologi autism, sejumlah penelitian mengesankan bahwa paparan lingkungan khususnya yang terjadi selama periode kritis perkembangan neurologis dapat memicu penyebab terjadinya autism pada sebagian besar anak (Woods et al., 2010). Mefford et al. (2012), telah membuat tinjauan yang sangat bagus tentang faktor genomik pada gangguan autistik, tetapi ternyata secara kuantitatif jumlahnya kecil dibandingkan kontribusi non genomik seperti faktor lingkungan (Deth, 2012). Gangguan autistik dapat terjadi akibat ekspresi neurologis
terhadap
dampak racun dari lingkungan pada anak yang pada dasarnya telah mempunyai kelemahan genetik. Tidak semua anak yang terpapar dengan berbagai macam racun menjadi autistik. Diperkirakan, tanpa faktor pemicu, gejala gangguan autistik mungkin tidak timbul, meskipun anak tersebut mempunyai kelemahan genetik. Faktor pemicu tersebut biasanya berasal dari luar anak dan setiap anak mempunyai ketahanan yang berbeda terhadap zat tertentu. Saat ini perhatian dipusatkan pada kemungkinan neurotoxicants atau faktor lingkungan yang berhubungan dengan kerusakan gen dan mencetuskan gejala gangguan autistik (Herbert et al., 2006). Pengaruh faktor lingkungan terhadap ekspresi gen terutama diperantarai melalui mekanisme epigenetik termasuk methylasi DNA, acethylasi, ubiquinasi, dan phosphorilasi histon. Regulasi epigenetik merupakan bagian terpenting
Universitas Sumatera Utara
selama perkembangan saraf (Dufault et al., 2012). Karena methilasi DNA dapat dimodifikasi oleh mutasi, maka ekspose maternal dan pengalaman postnatal menyediakan mata rantai hubungan antara gen dan lingkungan (Schanen, 2006; Ozand et al., 2003). Perkembangan saraf dapat menjadi kurang baik ketika ekspresi gen diubah oleh faktor transkripsi seperti insufisiensi atau defisiensi seng (Zn), atau karena terpapar oleh substansi toksik seperti raksa atau merkuri (Hg) (Dufault et al., 2012).
Meskipun peran raksa dalam patogenesa autisme masih terus
diperdebatkan, beberapa penelitian menemukan kadar raksa pada rambut, darah, urine dan gigi anak dengan gangguan autistik lebih tinggi dari anak tanpa gangguan perkembangan (Kern et.al., 2011). Oleh karena itu beberapa peneliti menduga autisme disebabkan oleh keracunan logam berat, diantaranya karena raksa. Hal ini terutama didasari pada peningkatan cakupan imunisasi dimana hampir semua vaksin yang ada mengandung thimerosal, suatu senyawa raksa organik atau dikenal sebagai sodium etil merkuri thiosalisilat, mengandung 49,6% raksa (Autism Research Institute, 2005). Raksa (Hg) secara alamiah terdapat di alam (air, udara dan tanah), dalam 3 bentuk; elemental, organik dan anorganik. Sumber Hg terdapat dimana-mana seperti pada ikan, di udara, obat, fungisida/herbisida, dental amalgam, vaksin, termometer, tensimeter, dan beberapa produk/bahan makanan. Paparan terhadap merkuri terjadi akibat peningkatan penggunaan merkuri dalam bidang kesehatan terutama dalam vaksin, obat-obatan, dan dental amalgam, penggunaan dalam
Universitas Sumatera Utara
teknologi dan berbagai industri seperti pada kosmetik dan cat atau resiko paparan akibat kandungan Hg dalam diet (Geier, et al., 2012 dan WHO, 2008). Bernard et al. (2001) telah mempublikasikan review artikel tentang keserupaan antara gejala-gejala keracunan Hg dan gejala-gejala gangguan autistik (Garrecht & Austin, 2011). Banyak hasil penelitian terbaru menunjukkan hubungan paparan Hg dengan gangguan autistik dan telah dilaporkan bahwa paparan terhadap Hg menyebabkan disfungsi imunitas dan beberapa gangguan neuropsikiatri seperti kekurangan kognitif dan komunikasi, disfungsi sensori, kerusakan koordinasi motorik, dan prilaku yang serupa dengan ciri definisi atau berhubungan dengan gangguan autistik. Gangguan-gangguan ini khususnya dapat diobservasi pada anak gangguan spektrum autisme dan kemiripan tersebut meluas pada perubahan neuroanatomi, neurotransmitter, dan biokimia (Wood
et al.,
2010). Anak
yang
mengalami
gangguan
autistik
diketahui
mempunyai
peningkatan beban tubuh yang signifikan terhadap Hg akibat mekanisme biokimia dan kepekaan genomik dalam perjalanan detoksifikasi (Geier & Geier , 2006; Landrigan, 2010; Garrecht & Austin, 2011, dan Geier, et al., 2012). Beban tubuh terhadap Hg dapat diketahui dengan mengukur kadar Hg di dalam darah, rambut, urine, gigi, kuku dan profil porphyrin urin (WHO, 2008 dan Woods, et al., 2010). Hg bisa tetap ada diotak dari beberapa tahun sampai beberapa dekade setelah terpapar (WHO, 2008 dan Geier et al., 2012). Hasil penelitian terbaru oleh Geier et al. (2012) menunjukkan peningkatan konsentrasi Hg di rambut
mempunyai hubungan yang signifikan
dengan
Universitas Sumatera Utara
peningkatan keparahan gejala autisme. Sebaliknya tidak dijumpai hubungan yang signifikan antara logam toksik lain yang diperiksa dirambut dengan keparahan gejala autisme. Hal ini membantu menyediakan mekanisme tambahan yang mendukung Hg dalam etiologi keparahan gangguan autistik, dan mendukung menambah jumlah tinjauan terbaru yang kritis bahwa faktor biologis berupa paparan terhadap Hg berperan dalam patogenesa gangguan autistik. Keparahan gejala autisme dapat diukur menggunakan Childhood Autism Rating Scale (CARS). CARS terdiri dari 15 item skala penilaian perilaku yang dikembangkan untuk mengidentifikasi gambaran kuantitas keparahan gangguan, telah digunakan secara luas dan dapat mengukur keparahan gejala autisme dengan baik (Geier et al., 2012 dan El Baz et al., 2010). Paparan Hg pada anak dapat terjadi saat prenatal atau post natal. Sumber paparan saat prenatal adalah uap merkuri yang terhirup oleh ibu dari dental amalgam, vaksinasi selama kehamilan, metil merkuri (MeHg) dari ikan yang dikonsumsi ibu, penggunaan kosmetik yang mengandung Hg dan sumber paparan lain dari lingkungan. Saat post natal sumber paparan utama adalah dari vaksinasi. Ethyl merkuri (EtHg) pada pengawet thimerosal
terdapat dalam vaksin dan
beberapa produk pharmasetik (Barregard et al., 2011 dan WHO, 2008). Dalam darah metilmerkuri terikat pada gugus sulfhidril berbobot molekul rendah seperti sistein. Reaktifitas metilmerkuri
yang tinggi terhadap gugus
sulfhidril pada berbagai protein, menyebabkan jumlah metilmerkuri bebas dalam cairan biologis sangat kecil. Sistein merupakan asam amino yang penting pada rambut. Metilmerkuri yang bereaksi dan terikat dengan sistein pada gugus
Universitas Sumatera Utara
sulfhidril terserap dalam rambut, menyebabkan kadar Hg pada rambut kira-kira 250-300 kali lebih tinggi dari konsentrasi dalam darah (WHO, 2008). Darah dan rambut kepala merupakan indikator utama yang dipakai untuk mengukur paparan oleh methylmerkuri, namun konsentrasi dalam darah menunjukkan paparan akut sedangkan level dalam rambut dapat mengukur akibat paparan kronik. Oleh karena itu rambut kepala menjadi medium/biomarker indikator yang baik untuk pengukuran paparan kronik methylmerkuri (WHO, 2008). Neurotoksisitas Hg dihubungkan dengan kekurangan glutation karena glutation berperan utama dalam mekanisme eksresi Hg. Grop cystein –SH dari glutation mengikat Hg selanjutnya dieksresikan melalui urine (Geier & Geier, 2007 dan WHO, 2008). Penelitian Geier et al., (2008) pada 28 anak autism usia 2 sampai 16 tahun diantaranya menemukan glutation (kunci biokimia pada perjalanan detoksifikasi merkuri) lebih rendah bermakna pada anak yang didiagnosa autism dibandingkan kontrol dan peningkatan keparahan keracunan Hg (yang diindikasikan dari nilai porphyrin urine), berhubungan dengan level glutation yang lebih rendah diantara anak yang didiagnosa autism. Didasari atas temuan ini, para peneliti menyimpulkan autisme merupakan hasil kombinasi genetik/kepekaan biokimia dalam bentuk berkurangnya kemampuan untuk mengeksresikan Hg dan / atau peningkatan paparan lingkungan pada masa kunci perkembangan anak (CoMeD, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Individu dengan genetik defisiensi sintesa glutation, kurang mampu mengeksresi Hg, membuat mereka lebih sensitif terhadap efek yang kurang baik. Hal ini terjadi pada anak dengan gangguan autistik, menyebabkan urine tidak dapat menjadi biomarker yang sesuai untuk mengetahui beban tubuh terhadap Hg pada individu autism (Geier & Geier, 2007 dan WHO, 2008). Hasil penelitian oleh Geier et al. (2012) dengan subyek anak gangguan spektrum autism usia 1-6 tahun di kota Dallas, Texas-USA, menyimpulkan terdapat bukti hubungan yang signifikan peningkatan konsentrasi Hg di rambut dengan diagnosis autism dan menganjurkan agar selanjutnya dilakukan penelitian serupa untuk mengevaluasi hubungan paparan Hg dan diagnosis keparahan autisme pada populasi lain. Analisa rambut dapat mengetahui riwayat paparan oleh Hg atau oleh methylmerkuri. Diantara analisa yang bisa dipakai adalah inductively coupled plasma (ICP) dan atomic absroption spectrometer (AAS). Pemeriksaan ini memberikan hasil yang akurat dan mudah dilakukan (WHO, 2008). Saat ini, belum diketahui publikasi hasil penelitian tentang kadar raksa (Hg) pada anak yang didiagnosa mengalami gangguan spektrum autism atau gangguan autistik dan hubungannya dengan keparahan gejala pada mereka. Tujuan dilakukan pemeriksaan kadar raksa (Hg) pada anak yang mengalami gangguan autistik diantaranya adalah membantu orang tua mengurangi paparan Hg pada anak dan dapat menjadi pertimbangan untuk terapi dengan chelation. Penelitian ini
menggunakan ICP-OES untuk menganalisa total merkuri pada
rambut anak gangguan autistik/terdiagnosa gangguan spektrum autism dan untuk
Universitas Sumatera Utara
mengidentifikasi gambaran kuantitas atau mengukur keparahan gejala autisme menggunakan Childhood Autism Rating Scale (CARS).
1.2 Rumusan Masalah Masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahui kadar raksa (Hg) pada anak gangguan autistik di yayasan autisme YAKARI Medan dan SLB Negeri Binjai hubungannya dengan nilai keparahan gejala pada mereka.
1.3 Hipotesa Penelitian Hipotesa penelitian ini adalah : a.
Terdapat perbedaan bermakna kadar raksa (Hg) dalam rambut anak gangguan autistik di yayasan autisme YAKARI Medan dan SLB Negeri Binjai dengan kadar raksa (Hg) dalam rambut anak normal.
b.
Keparahan gejala autisme
pada anak gangguan autistik di Yayasan
Autisme YAKARI Medan dan SLB Negeri Binjai berkorelasi dengan kadar raksa (Hg) dalam rambut mereka.
1.4 Tujuan 1.4.1 Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui kadar raksa pada anak dengan gangguan autistik yang ada di Yayasan Autisme YAKARI Medan dan SLB Negeri Binjai dan korelasinya dengan keparahan gejala pada mereka.
Universitas Sumatera Utara
1.4.2 Tujuan khusus 1). Mengetahui kadar raksa rambut pada anak gangguan autistik di yayasan autisme di Medan dan SLB Binjai. 2). Mengetahui perbandingan rerata kadar raksa dalam rambut pada anak gangguan autistik dan anak normal di Medan dan Binjai. 3). Mengetahui nilai keparahan gejala autisme pada anak gangguan autistik di yayasan autisme di Medan dan SLB Binjai menggunakan Childhood Autism Rating Scale (CARS). 4). Mengetahui apakah terdapat korelasi kadar raksa dalam rambut dengan nilai keparahan gejala autisme pada anak gangguan autistik di yayasan autisme di Medan dan SLB Binjai.
1.5 Manfaat Penelitian a. Memberikan informasi penting
tentang dampak raksa terhadap nilai
keparahan gejala autisme pada anak gangguan autistik. b. Memberi peluang untuk terapi dengan chelation agent
pada anak
gangguan autistik di yayasan autisme di Medan dan SLB Binjai yang kadar raksa di rambut mereka tinggi.
Universitas Sumatera Utara