Hadis
Pemahaman terhadap hadis secara umum terbagi menjadi dua. Yaitu, pemahaman secara tekstual dan kontekstual. Hal ini sudah terjadi sejak zaman Rasulullah sendiri. Kasus larangan Nabi shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidlah dipahami oleh para Sahabat secara beragam. Sebagian sehabat memahami secara tekstual sehingga mereka tidak melaksanakan shalat ‘Ashar kecuali diperkampungan Bani Quraidlah, walaupun waktu telah lewat. Sementara, yang lain memahami secara kontekstual dalam pengertian perintah untuk bergerak secara cepat menu keperkampungan mereka, sehingga tidaklah salah jika dalam perjalanan itu diselingi shalat ‘Ashar, kemudian melanjutkan gerak cepat tersebut.
Asbab
al-Wurud:
Media Pengembangan Pemahaman Hadis Oleh Zuhad*
Kata Kunci: tekstual, kontekstual, asbab al-wurud, asbab al-nuzul, khusus al-sabab, maslahah al-mursalah.
Pendahuluan Secara garis besar, tipologi pemahaman ulama dan umat Islam terhadap hadis diklasifikasikan menjadi dua bagian. Pertama, adalah tipologi pemahaman yang mempercayai hadis sebagai sumber dari pada ajaran Islam tanpa memperdulikan proses sejarah pengumpulan hadis dan proses pembentukan ajaran ortodokst. Barangkali tipe pemikirannya yang oleh ilmuwan sosial dikategorikan sebagai tipe pemikiran yang ahistoris (tidak mengenal sejarah timbulnva hadis dari sunnah yang hidup pada saat itu). Tipe ini bisa juga disebut tekstualis. Kedua, adalah golongan yang mempercayai hadis sebagai sumber ajaran kedua dari pada ajaran agama Islam, tetapi dengan kritis historis melihat dan mempertimbangkan asal-usul (asbab al-wurud) hadis tersebut. Mereka memahami hadis secara kontekstual.1 Tipe pemahaman yang kedua ini tidak begitu populer karena pemahaman ini tenggelam dalam pelukan kekuatan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah yang lebih suka memahami hadis secara tekstual. Pemahaman secara tekstual ini
Asbab al-Wurud... Zuhad
diperlukan oleh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah karena dorongan untuk menjaga dan mempertahankan ekuilibrium kekuatan ajaran ortodok.2 Para pemerhati sejarah agama Islam sangat memahami kedudukan sentral Nabi Muhammad sebagai makhluk historis (yamsyuna fi alaswaq) (QS. al-Furqan: 25-20) yang selalu berhadapan dengan beberapa pilihan tata nilai yang bersifat pluralistik. Bahkan jika ditilik secara lebih tajam, ayat-ayat al-Qur’an yang mengilhami manusia muslim untuk berperilaku dan bertindak di muka bumi, menurut Prof. Arkoun, adalah bersifat zamkaniy (zaman dan makan), yakni selalu melibatkan dimensi historisitas ruang dan waktu.3 Asbab al-wurud al-hadis tidak lain dan tidak bukan adalah dimensi historis hadis, di mana fundamental values selalu ada dibelakangnya. Demikian juga dengan Asbab al-Nuzul al--Qur’an merupakan dimensi hisroris al-Qur’an. Untuk faktor keteladanan yang bersifat historis empiris dalam diskursus keberagamaan Islam pada khususnya memang lebih diutamakan dari pada konsepsi teo-filosofis yang transendental. Konsep asbab al-nuzul dan asbab al-wurud mempunya kaitan erat dengan konsep lain yang juga amat penting, nasikh mansukh, berkenaan dengan sumber-sumber pengambilan ajaran agama, baik al-Qur’an maupun alsunnah. Dalam konsep asbab al-nuzul, asbab al-wurud dan nasikh mansukh terkandung adanya kesadaran historis di kalangan ahli hukum Islam. Adalah kesadaran historis ini menurut Hodgson, yang menjadi salah satu tumpuan harapan bahwa Islam akan memapu lebih baik dalam menjawab tantangan zaman di masa depan. Kata Hodgson: “Tetapi barangkali modalpotensialterbesarIslamyangpalinghebat ialah kesadaran historisnya yangjelas,yangsejakdarisemulamempunyai tempat begitubesardalam dialognya.Sebabkesediaanmengikutidengansungguh-sungguhbahwatradisiagama terbentuk dalam waktu dan selalu mempunyai dimensi historis, membuat agama itu mampu menampung ilham baru apapun keadaan realita dari warisan bdan dari titik tolak mulanya yang kreatif yang dapat terjadi lewat penelitian ilmiah atau pengalaman rohani baru”.4
Pendekatan historis ini tidaklah berarti relativisasi total ajaran agama dan sifat yang memandang sebagai tidak lebih daripada produk pengalaman sejarah belaka. Tetapi hendak mencari pemahaman yang benar atas sebuah teks yang hadir pada kita. Persoalannya adalah bagaimana menangkap makna/pesan yang universal itu, yang tidak tergantung kepada konteks, juga tidak kepada sebab khusus dari asbab al-nuzul/asbab al-wurud munculnya suatu ajaran atau hukum.
134
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
Asbab al-Wurud... Zuhad
MaknaAsbabal-Wurud Asbab al-wurud al-hadis didefinisikan sebagai keadaan-keadaan dan hal ihwal yang menjadi sebab datangnya hadis Nabi Saw.5 Dengan membandingkan pada pembahasan ulama tafsir, mereka memperkenalkan dua macam asbab al-nuzul, yaitu: a. Asbab al-nuzul al-khas, yaitu peristiwa yang terjadi menjelang turunnya suatu ayat.6 b. Asbab al-Nuzul al-‘Am, yaitu semua peristiwa yang dapat dicakup hukum atau kandungannya oleh ayat al-Qur’an, baik peristiwa tersebut terjadi sebelum maupun sesudah turunnya ayat itu.7 Pengertian yang kedua ini dapat diperluas sehingga mencakup kondisi sosial pada masa turunnya al-Qur’an (setting sosial).8 Dengan analogi pada Asbab al-Nuzul, maka Asbab al-Wurud juga bisa dibagi menjadi dua macam, yaitu Asbab al-Wurud al-Khash dan Asbab al-Wurud al-’Am dengan pengertian sebagaimana dinyatakan diatas. Dalam Asbab al-Wurud tercakup tiga hal pokok yang tidak dapat diabaikan, yaitu : (1) peristiwa, (2) pelaku dan (3) waktu, yang masingmasing mempunyai kontribusi untuk memberi makna sebuah teks hadis.
Kaidah Keumuman Lafal Sebagai Pedoman PemahamanTeks Dalam kaitannya dengan teks (Al-Qur’an dan al-Hadis) yang lahir karena sebab-sebab tertentu, mayoritas Ulama mengemukakan kaidah: al‘ibrah bi ‘umum al-lafdzi la bi khusus al-sababi (yang menjadi patokan dalam memahami teks adalah keumuman lafal, bukan sebab khususnya). Dengan berpijak pada kaidah ini, pandangan menyangkut Asbab alWurud dan pemahaman hadis seringkali hanya menekankan kepada peristiwanya dan mengabaikan waktu terjadinya serta pelaku kejadian tersebut. Dengan menggunakan kaidah itu, maka teks yang bersifat umum (‘am) yang muncul atas sebab tertentu mencakup individu yang mempunyai sebab itu dan lain-lainnya. Dan tidak boleh dipahami bahwa lafal ‘am itu hanya dihadapkan kepada orang-orang tertentu saja. Ibn Taimiyah berkata bahwa para Ulama walaupun berbeda pendapat dalam menghadapi lafal umum yang datang lantaran sesuatu sebab, apakah khusus bagi sebab itu, namun tak ada seorangpun yang menyatakan bahwasanya keumuman Al-Qur’an dan al-Sunnah khusus dengan orang-oarang tertentu. Hanya saja paling jauh dikatakan bahwa keumuman lafal itu tertentu dengan orang-orang yang semacam itu lalu ia mencakup orang-orang yang menyerupainya. Dan tidaklah keumuman padanya menurut lafal. Ayat yang mempunyai sebab yang
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
135
Asbab al-Wurud... Zuhad
tertentu jika merupakan perintah atau larangan, maka ia mencakup oranga-orang itu dan selainnya, yang sama keadaannya/kedudukannya.9 Lafal ‘am dalam sebuah teks walaupun munculnya karena dilatarbelakangi oleh sebab-sebab khusus, ia mencakup seluruh individu yang bisa ditampung oleh teks itu, tidak tertentu dan terbatas berlakunya hanya kepada individu yang menjadi sebab khusus iahimya teks. 1. Hadis tentang urusan dunia Imam Ahmad ibn Hanbal meriwayatkan sebuah hadis dari Anas10 sbb: Rasulullah Saw. mendengar suara-suara, lalu bertanya, suara apa ini? Orang-orang menjawab: mereka sedang mengawinkan kurma, lalu sabdanya: sekiranya mereka meninggalkannyasaja,kemudianmerekatidakmengawinkannya lagi, kemudian hasilnya jelek. Kemudian Nabi berkata, ada apa denganmu sekalian, mereka menjawab para petani meninggalkan(perkawinankurma)karena saranmu wahai Nabi. Lalu sabda Nabi saw.: jika sesuatu itu menyangkut urusan duniamu, maka kalian lebih tahu persoalannya, dan jika menyangkut urusan agamamu, maka harus dikembalikan padaku.
Hadis tersebut diatas mempunyai asbab al-wurud, yaitu peristiwa yang mendahului diucapkannya hadis. Pada suatu saat, Nabi saw. lewat dihadapan para petani yang sedang mengawinkan serbuk kurma pejantan keputik kurma betina. Nabi berkomentar, sekiranya kamu sekalian tidak melakukan hal itu, niscaya kurmamu akan baik. Mendengar komentar itu, para petani lalu tidak lagi mengawinkan kurma mereka. Setelah beberapa lama, Nabi lewat kembali ketempat itu dan menegur para petani, mengapa pohon kurma itu? Para petani lalu melaporkan apa yang telah dialami oleh kurma mereka, yakni banyak yang tidak jadi. Mendengar keterangan mereka itu, Nabi lalu bersabda, “Kamu sekalian lebih tahu tentang urusan duniamu”.11 Banyak kalangan yang memahami hadis tersebut secara tekstual. Mereka menyatakan bahwa Nabi saw. tidak mengetahui banyak tentang urusan dunia dan menyerahkan urusan dunia itu kepada para Sahabat (umat Islam), ada pula yang berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis itu, maka Islam membagi kegiatan hidup secara dikotomi, yakni kegiatan dunia dan kegiatan agama. Paham yang demikian itu lalu bermuara kepada keharusan sikap hidup yang sekuler.12 Pemahaman semacam ini timbul karena Asbab al-Wurud dari hadis itu tidak diperhatikan, padahal pengetahuan tentang Asbab al-Wurud itu sangat membantu pemahaman yang benar atas sebuah teks.
136
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
Asbab al-Wurud... Zuhad
Dengan menerapkan kaidah “yang menjadi pedoman dalam memahami teks adalah keumuman lafal, bukan sebab khususnya”, maka isi yang terdapat dalam hadis diatas berlaku secara umum kepada semua orang yang mempunyai kedudukan sama dengan pelaku peristiwa yang menjadi sebab timbulnya hadis, tidak hanya kepada pelaku peristiwa saja. Hanya saja keumumannya terbatas kepada orang-orang yang mempunyai kedudukan sama dengan si pelaku yang bisa dicakup oleh teks. Pernyataan Nabi “Kamu sekalian lebih tahu urusan duniamu” sesungguhnya tidaklah menyatakan bahwa Nabi sama sekali buta terhadap urusan dunia. Dalam sejarah Nabi telah berkali-kali memimpin peperangan dan menang. Perang yang dilakukan oleh Nabi dan para Sahabat itu adalah urusan dunia dan kegiatan dunia, disamping sebagai kegiatan agama. Sebelum diangkat sebagai rasulullah, beliau pernah sukses dalam melakukan kegiatan dagang. Berdagang adalah salah satu kegiatan dunia. Ia juga kepala negara yang berhasil. Kegiatan menjadi kepala negara selain banyak berhubungan dengan urusan dunia, juga banyak berhubungan dengan urusan agama. Pernyataan Nabi “Kamu lebih tahu urusan duniamu” bisa dipahami dalam arti sebagai profesi atau bidang keahlian. Dengan demikian, maksud hadis itu ialah bahwa Nabi tidak memiliki keahlian sebagai petani. Oleh karena itu, para petani lebih mengetahui tentang dunia pertanian dari pada Nabi.13 Sementara itu Rasyid Ridla mengatakan bahwa persoalan keagamaan harus bertumpu pada nash-nash agama, sedangkan persoalan keduniaan, maka dasarnya adalah kebiasaan yang berlaku alam asyarakat dan kerelaan.14 2.HadistantangMandiJum’at Imam Bukhari dan Muslim meriwayat -an hadis dari A dullah Ibn Umar sebagai berikut : “Apabila salah seorang di antara kamu sekalian mendatangi shalat jum’at, maka hendaklah mandi (terlebih dahulu).”15 Hadis ini dinyatakan oleh Rasulullah karena ada sebab khusus. Pada zaman Nabi saw. ekonomi para Sahabat pada umumnya masih dalam keadaan sulit. Mereka memakai baju wol dan bekerja di perkebunan kurma, memikul air di atas punggung mereka untuk melakukan penyiraman. Setelah bekerja diperkebunan, banyak diantara mereka yang langsung pergi ke masjid untuk shalat Jum’at. Pada suatu hari Jum’at Nabi saw. pergi ke masjid dalam udara yang panas. Nabi menyampatkan khutbah Jum’at di atas mimbar yang pendek, kemudian mereka berkeringat dalam keadaan pakai pakaian wol. Bau keringat dan baju wol mereka menyebar diruangan masjid dan jama’ah merasa terganggu. Bahkan bau mereka juga sampai ke mimbar Rasulullah saw. dan kemudian
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
137
Asbab al-Wurud... Zuhad
Nabi bersabda: “Wahai sekalian manusia, jika kalian melaksanakan shalat jum’at, hendaklah mandi terlebih dahulu dan pakai minyak wangi terbaik yangada padanya!16 Jumhur ulama mengatakan bahwa kewajiban mandi pada hari Jum’at disebabkan oleh banyak faktor, antara lain cuaca panas yang menyebabkan berkeringat, pakaian wol yang menyimpan bau, kondisi masjid yang sempit dan lain-lain. Jika jama’ah tidak mandi, maka akan menimbulkan gangguan dan mengurangi ketenangan di dalam masjid. Hadis itu berlaku dan wajib dilaksanakan dalam kondisi demikian. Ketika keadaan umat Islam sudah makmur, masjid-masjid sudah luas dan pakaian mereka terbuat dan kain, maka ada kelonggaran dan kemurahan untuk tidak mandi ketika hendak pergi ke shalat Jum’at, sebab hal itu tidak akan menimbulkan adanya gangguan pada jamaah.17 Jika diamati, maka kelihatan jelas bahwa pendapat Jumhur ulama di atas dalam memahami hadis dengan menggunakan kaidah: “al’ibrat bi ‘umum al-lafz la bi khushus al-sabab”. Hadis Nabi yang menyatakan “Siapa saja yang mendatangi shalat jum’at supaya mandi terlebih dahulu” lahir karena adanya sebab khusus, yaitu adanya jama’ah yang kehadirannya menimbulkan gangguan berupa bau tidak sedap yang ditimbulkannya di dalam ruangan masjid yang sempit. Dengan menerapkan kaidah diatas, maka hadis itu berlaku bagi siapa saja yang kondisinya sama dengan pelaku peristiwa yang menyebabkan munculnya hadis tersebut. Isi hadis tersebut tidak mengikat kepada mereka yang kondisinya berbeda dengan pelaku peristiwa dan dalam suasana yang berbeda pula. Hanya saja jika perintah dalam hadis itu dilaksanakan, maka hukumnya lebih baik bagi yang bersangkutan. Jika pemahaman hadis tersebut dilepaskan dari konteks asbab al-wurudnya, maka disimpulkan bahwa hukum mandi pada han Jum’at adalah wajib, sebagaimana pendapat Daud al-Dhahiri. Pendapat semacam ini semata-mata memahami hadis secara tekstual, tanpa mempertimbangkan konteks yang menyertainya.
PengembanganPemahamanHadis Dalam kaitannya dengan Asbab al-Nuzul/Asbab al-Wurud sebagian kecil ulama mengemukakan kaidah: al-‘ibrah bi khusus al-sabab la bi ‘umum al-lafz (yang menjadi patokan dalam memahami teks adalah sebab khusus, bukan keumuman teksnya). Setiap Asbab al-Nuzul / Asbab alWurud mencakup tiga hal pokok, yaitu: (a) peristiwa, (b) pelaku dan (c) waktu. Tidak mungkin benak akan mampu menggambarkan adanya sesuatu peristiwa yang tidak terjadi dalam kurun waktu tertentu dan tanpa pelaku.18
138
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
Asbab al-Wurud... Zuhad
Para penganut paham “bi khushush al-sabab” menekankan perlunya analogi (qiyas) untuk menarik makna dari ayat-ayat yang memiliki latar belakang Asbab al-Nuzul tetapi dengan catatan apabila analogi tersebut memenuhi syarat-syaratnya. 19 Demikian juga hal ini diberlakukan terhadap hadis-hadis yang mempunyai latar belakang Asbab al-Wurud. Pandangan mereka ini hendaknya dapat diterapkan tetapi dengan memperhatikan faktor waktu, karena kalau tidak, ia menjadi tidak relevan untuk dianalogikan.20 Sebab Al-Qur’an dan hadis tidak lahir dalam masyarakat hampa budaya dan bahwa kenyataan mendahului/bersamaan dengn munculnya teks tersebut. Analogi yang dilakukan hendaknya tidak terbatas kepada analogi yang dipengaruhi oleh logika formal, tetapi analogi yang lebih luas dari itu, yang meletakkan dipelupuk mata al-mashalih al-mursalah dan yang mengantar kepada kemudahan pemahaman agama sebagaimana halnya pada masa Rasul dan sahabatnya.21 Analogi yang selama ini dilakukan adalah berdasarkan rumusan imam al-Syafi’i, yaitu “menyamakan cabang dengan pokok karena adanya kesatuan illat” yang pada hakekatnya tidak merupakan upaya untuk mengantisipasi masa depan, tetapi sekedar membahas fakta yang ada untuk diberi jawaban agama terhadapnya dengan membandingkan fakta itu dengan apa yang pernah ada.22 Meminjatn teori Faziur Rahman, penafsiran al-Qur’an (teks keagamaan) terdiri dan dua gerakan ganda, dari situasi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan dan kembali lagi kemasa kini. Al-Qur’an adalah respon Ilahi melalui ingatan dan pikiran Nabi kepada situasi moral-sosial Arab pada masa Nabi, khususnya kepada masalah-masalah masyarakat dagang makkah pada masanya. Yang pertama dari dua gerakan di atas terdiri dari dua langkah; pertama: orang harus memahami arti atau makna dari sesuatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya. Sebetum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama, adat istiadat, lembaga-lembaga, bahkan kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam dan khususnya disekitar Makkah harus dilakukan. Kedua, adalah menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pemyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat disaring dari ayatayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio--historis dan rationes logis yang sering dinyatakan. Gerakan yang kedua, harus dilakukan dari pandangan umum ini kepandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasi sekarang. Artinya ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan (embodied) dalam konteks sosio-historis yang kongkrit di masa sekarang. Ini memerlukan kajian yang cermat atas situasi
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
139
Asbab al-Wurud... Zuhad
sekarang dan analisis berbagai unsur-unsur komponennya, sehingga kita bisa menilai situasi sekarang dan mengubah kondisi sekarang sejauh yang diperlukan dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai al-Qur’an secara baru pula. 23 Demikian pula halnya dengan hadis. Yang menjadi persoalan juga adalah bagaimana kita mempersepsi suatu ungkapan linguistik untuk dapat melakukan generalisasi tinggi dari makna immediatenya ke makna universalnya. Berkaitan dengan ini, penting sekali memahami penegasan dalam Kitab suci hahwa Allah tidak mengutus seorang rasulpun kecuali dengan bahasa kaumnya (QS. Ibrahim/14: 4). Bahasa termasuk kategori historis dan kesadaran kebahasaan akan dengan sendirinya menyangkut kesadaran historis.24 Masalah kebahasaan mungkin akan ternyata tidak terbatas hanya kepada segi linguistiknya semata, tetapi juga kulturalnya. Peinikiran keagamaan pada dataran low tradition, yakni pada dataran realitas historis yang kongkrit, sangat terikat dan langsung bersentuhan dengan berbagai bentuk permikiran yang lain. Sebutlah pemikiran politik, pemikiran ekonomi, pemikiran sosial budaya, pemikiran strategi pertahanan dan keamanan dan seterusnya. Pemikiran keagamaan pada wilayah high tradition, yakni pada dataran konsep, teori-teori yang bersifat cognitif skematif, barangkali memang agak herbeda cari corak pemikiranpemikiran manusia yang lain, semata-mata karena adanya kategori “sakralitas” yang dikaitkan dengan keberadaan Kitab Suci. Jika kita memahami pemikiran keislaman pada dataran low tradition –bukan pada dataran high tradition – maka sesungguhnya ia sama saja seperti corak pemikran pemikiran manusia yang lain. Ia tidak bisa terlepas sama sekali dari keterkaitannya dengan “bahasa” dan “sejarah”. Bahasa terkait dengan konvensi, kontrak sosial, adat-istiadat dan akar budaya setempat yang secara berkesinambungan telah bertajan berabad-abat; sedangkan sejarah terkait dengan persoalan kapan, di mana dan siapa (kapan terjadi, abad berapa, di mana terjadi, dalam situasi politik dan sosial yang seperti apa, standar ekonomi yang bagaimana, tingkat kemajuan ilmu dan teknologi sejauh mana, serta siapa para pelaku dan aktornya dan seterusnya.25 Pemikiran keagamaan dan keislaman khususnya – lebih-lebih pada dataran low tradition – ternyata tidak begitu saja jatuh dari langit dan tidak pula muncul dalam ruang hampa kebudayaan dan kekosongan dari berabagai peristiwa sejarah yang melingkarinya. Pemikiran keagamaan pada umumnya dan pemikiran keislaman pada khususnya berkembang beserta pandangan dunia (nadhariya al-‘alam) yang hidup mengitarinya. Sedangkan pandangan dunia suatu komunitas atau suatu bangsa itu sendiri juga selalu terkait dengan gerak perubahan sejarah dan budaya (prahistoris,
140
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
Asbab al-Wurud... Zuhad
historis, agraris, industrial dan post-industrial). Setiap tahapan perkembangan budaya ternyata berpengarauh pada corak pemikiran keagamaan dan pemikiran keislaman yang berkembang disuatu tempat tertentu. Sebagai produk sejarah manusia biasa, ia tidak lepas dari gerak perubahan sejarah sosial budaya yang mengitarinya. Disini lalu muncul persoalan relevansi yang selalu mengintip dari belakang tabir percaturan pemikiran keagamaan dan pemikiran keislaman kontemporer.26 Dengan memahami sebaik dan secermat mungkin keterkaitan antara ketiga komponen eksistensi manusia, yakni keterpautan antara bahasa, pemikiran dan sejarah, sekaligus dalam hubungannya dengan nilai-nilai etis yang hendak diraih, maka akan dimungkinkan pengembangan pemikiran Islam. Keterputusan hubungan antara ketiganya, yakni putusnya hubungan antara pemikiran (keislaman), budaya dan sejarah, yang melatarbelakanginya (sejarah panatapan hukum-hukum agama, sejarah terbentuknya pranata sosial Islam, bahkan sejarah sosial-politik dan perkembangan kontemporer pemikiran Islam dan sebagainya) hampir-hampir dapat dipastikan akan terbentuk proses pensakralan pemikiran keagamaan. Pemikiran keislaman yang terlepas dari historisitasnya menjadi tidak boleh diperdebatkan ulang, tidak boleh dirubah atau diperbaiki.
PenerapanKaidah“Khushushal-Sabab”DalamHadis 1. Hadis tentang Ghanimah Abdullah Ibn ‘Umar meriwayatkan dari Rasulullah sbb: Bahwasanya Rasulullah membagi ghanimah untuk penunggang kuda dua bagian, dan untuk pejalan kaki satu bagian”.27 Abu Huairah meriwayatkan dari Rasuluilah sbb: Desa/kota mana sajayangkamu sekalian datangi dan kamu bertempat tinggal di sana, maka saham (bagian) kamu ada disana, dan desa/kota mana saja yangmelakukan perbuatan maksiyat (melawan) Allah dan Rasul-Nya (kemudian kamu kalahkan), maka seperlima bagian untuk Allah dan Rasul-Nya, dan sisanya menjadi bagian kamu sekalian”.28 Kedua riwayat hadis di atas menegaskan bahwa ghanimah (rampasan perang yang didapat kaum muslimin baik harta bergerak maupun tetap menjadi hak Allah, Rasul--Nya dan kaum muslimin yang ikut serta dalam peperangan. Dalam praktek yang dilakukan oleh Rasulullah, sejarah antara lain mencatat sebagai berikut: a. Pada tahun ke-4 Hijriyah Rasulullah mengalahkan Yahudi Bani alNadzir dan mengusir mereka dari sekeliling Madinah. Mereka meninggalkan banyak harta kekayaan, baik barupa harta tak
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
141
Asbab al-Wurud... Zuhad
bergerak seperti rumah, kebun dan lain-lainnya; seperti senjata berupa 50 baju besi, 340 bilah pedang dan lain-iainnya. Harta benda yang mereka tinggalkan menjadi rampasan perang kaum muslimin. Tetapi tanah ini tidak dapat dianggap sebagai rampasan perang (ghanimah), tetapi fai’ (harta yang dirampas tanpa melalui perang). Oleh karenanya tak dapat dibagi-bagikan kepada kaum muslimin, tetapi khusus ditangan Rasulullah yang nantinya akan ditentukan sendiri menurut kebijakannya sesuai ayat 6-7 surat al-Hasyr/59: 6-7. Dan tanah itu kemudian dibagi-bagikan kepada golongan muhajirin yang pertama di luar golongan anshar, setelah dikeluarkan bagianbagian khusus yang hasilnya akan menjadi hak fakir miskin. Dengan demikian kaum muhajinn itu tidak perlu lagi harus menerima bantuan kaum anshar, dan ini pun sudah menjadi harta kekayaan mereka.29 b. Setelah kaum muslimin mengalahkan Bani Quraidlah, Rasulullah saw kemudian membagikan rampasan perang yang berupa wanita, anak-anak dan harta benda kepada kaum muslimin, setelah dikeluarkan seperlimanya. Setiap orang dari pasukan berkuda mendapat dua pucuk panah, dan untuk kudanya sepucuk panah. Prajurit yang berjalan kaki mendapat sepucuk panah. Jumlah kuda dalam peperangan ini sebayak 36 kuda.30 c. Setelah Rasulallah membebaskan Khaibar, beliau lalu membagikan ghanimah (rampasan perang) kepada anggota pesukan kaum muslimin. Dan penggarapan atas tanah dan kebun di Khaibar diserahkan oleh Rasul kepada penduduk Yahudi yang tetap tinggal di sana. Lalu dibuat perjanjian, separuh/setengah basil tanah dan kebun diserahkan kepada Rasulullah, dan setengah untuk mereka.31 Ghanimah dan fai’ merupakan dua hal yang dihalalkan oleh Allah bagi umat Islam, karena musuh-musuh Islam sendiri telah bersekutu, bersekongkol dan berkhianat terhadap umat Islam. Mereka musuh-musuh Islam selalu menghianati perjanjian mereka dengan Nabi. Rasulullah membagi-bagikan ghanimah kepada anggota pasukan atas pertimbangan dan berdasarkan jasa-jasa mereka kepada Islam, dan memang mereka layak menerimanya. Sebagian dari mereka, kaum muhajirin, telah meninggalkan kampung halaman mereka karena ditindas dan dianiaya oleh kaum musyrikin Makkah. Mereka telah mengikhlaskan diri untuk mengorbankan jiwa raga dan harta mereka semata-mata demi menegakkan Islam. Dan mereka setia kepada Rasulullah walaupun harus menanggung penderitaan sejak disiarkannya Islam dari Makkah. Sementara kaum Anshar juga telah berjasa kepada Rasululah, dengan memberikan sambutan hangat saat kedatangannya di Madinah sewaktu hijrah, pada saat orang Makkah membenci, memusuhi dan menentangnya, mereka membela Rasul dan para
142
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
Asbab al-Wurud... Zuhad
Sahabat muhajirin, menyediakan tempat tinggal, dan menyediakan kekayaan mereka untuk keperluan perjuangan membela Islam.32 Sahabat Umar ibn al-Khaththab ketika menjabat sebagai khalifah kedua, membuat kebijakan-kebijakan baru dalam soal ghanimah yang secara harfiah tidak sejalan dengan Al-Qur’an dan percontohan Nabi. Ia tidak membagi-bagikan tanah-tanah pertamanan di Syria dan Iraq yang baru dibebaskan kepada tentara Muslim bersangkutan, tetapi justru kepada para petani kecil setempat, sekalipun mereka ini belum atau tidak muslim.33 Umar membiarkan ghanimah yang berupa benda-benda tak bergerak (tanah dan ladang) untuk digarap oleh penduduknya. Kebijakan lain yang diambilnya ialah mendaftar para pejuang dan tentara yang telah berjasa kepada Islam; mendahulukan keluarga Rasul, sahabat Muhajirin dan Anshar; menarik sebagian hasil garapan untuk bait al-mal (kas negara); dan setiap tahun memberi para pejuang dan tentara sebagian dari dana bait al-mal.34 Tindakan-tindakan Sahabat Umar jika dilihat dari kaidah “al-ibrat bi khushush al-sabab la bi ‘umum al-lafz” tampak sejalan dan konsisten menerapkannya. Ia memahami dengan baik kaitan antara teks, yaitu ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi tentang pembagian ghanimah, dengan konteks munculnya teks-teks tersebut. Ia kemudian menarik benang merah relevansi antara konteks munculnya teks itu di masa Nabi dengan konteks yang ia hadapi pada masa pemerintahannya. Dengan analogi antara masa Nabi dan masanya memerintah ia menarik pesan moral/ide dan semangat dari teks, untuk diterapkan. Ada bayak pertimbangan dan dasar pemikiran yang dikemukakan dalam rangka melakukan inovasi tersebut, antara lain 1. Jika semua sisa ghanimah dibagi-bagikan kepada semua anggota pasukan, maka dana untuk pembangunan negara tidak ada. 2. Para anggota pasukan bukanlah ahli pertanian, karena itu hasil yang didapat dikhawatirkan berkurang. 3. Para anggota pasukan, bila telah menguasai tanah tersebut dikhawatirkan akan berjiwa borjuis. 4. Jika tanah dan ladang diserahkan kepada para anggota pasukan, maka penduduk asli akan kehilangan haknya. 5. Bila timbul saling monopoli tanah, maka generasi mendatang tidak akan lagi mendapatkan apa-apa. 6. Biaya peperangan pada saat itu diambil dari bait a1-mal.35 Dengan ide-ide kreatif dan langkah-langkah inovatifnya itu, Ijtihad Umar dipandang tepat, dan essensi Hadis/Sunnah dan AlQur’an terlaksana dengan tertib, aman dan adil serta sesuai kemaslahatan umum.
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
143
Asbab al-Wurud... Zuhad
2. Hadis tentang Ucapan Salam kepada Non-Muslim Imam Muslim meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah sebagai berikut: “Janganlah kamu sekalian memulai ucapan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani, dan jika kamu sekalian bertemu mereka di jalan, hendaklah kamu desak kepinggir”.36
Sementara Imam Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisah sebagai berikut: Aisyah berkata, datang serombongan orang Yahudi kepada Rasullullah saw. lalu berkata kematian bagimu. Kemudian saya (Aisyah) memahami ucapan mereka, lalu saya berkata ‘bagimu kematian dan laknat’. Rasulullah bersabda, pelan-pelan wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah menyukai kelembutan budi dalam segala persoalan. Lalu saya berkata, wahai Rasulullah apakah engkau tidak mendengar yang mereka ucapkan, lalu Rasulullah bersabda: Sesungguhnya saya telah mengatakan (menjawab) atas kamu semua (kematian) itu.37
Ibn Hajar berkomentar bahwa sesungguhnya secara normatif tidak ada larangan menjawab salam Ahl al-Dzimmah berdasarkan ayat AlQur’an yang memerintahkan untuk menjawab salam dengan cara yang lebih baik, atau paling tidak sama dengan ucapan salam orang yang memberi salam tersebut (QS. al-Nisa’/4: 86). Sedangkan sebagian ulama mengatakan bahwa menjawab salam Ahl al-Dzimmah hukumnya wajid atas dasar keumuman ayat di atas. Ibn Abbas berkata, siapa saja yang mengucapkan salam kepadamu, maka jawablah walaupun dari orang Majusi. Atha’ berkata bahwa ayat di atas hanyra khusus berlaku bagi orangorang Islam, maka salam orang kafir tidak perlu dijawab secara mutlak. Sementara Imam Malik dan mayoritas ulama juga menolak menjawab salam orang-orang non--muslim.38 Ibn ‘Umar berkata bahwa hal itu terjadi karena di antara orang-orang non-muslim dengan orang-orang Islam tidak terdapat hubungan yang harmonis dan bersahabat.39 Setelah Muhammad diangkat menjadi rasul Allah dan mulai mendakwahkan agamanya kepada masyarakat musynk Makkah, maka sejak saat itu pula muncul sikap per musuharr iuereka kepadanya. Para tokoh, bangsawan, dan hartawan-hartawan terkemuka Quraisy mulai merasakan bahwa ajaran Nabi Muhammad merupakau artcaniarr dan bahaya besar bagi kedudul arr tuereka. Mula-mula mereka menyerang Nabi dengan cara mendiskreditkannya dan mendustakan ajaran yang dibawanya. Makin hari Nabi dan para pengikutnya mendapat tekanan, siksaan, dan pemboikotan sampai kepada rencana pembunuhan atas dini Nabi. Pada akhirnya Rasulullah memutuskan untuk berhijrah ke Madinnah.40
144
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
Asbab al-Wurud... Zuhad
Ketika Rasulullah saw hijrah ke Madinah, kota itu didiami oleh banyak komponen masyarakat, antara lain suku-suku Arab (yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj), dan beberapa koloni Yahudi, seperti bani Qainuqa’, bani Nadzir, bani Quraidzah dan Yahudi Khaibar.41 Diantara mereka terjadi persaingan, konflik dan pertempuran dalam memperebutkan berbagai kepentingan. Keadaan seperti itu yang justru memungkinkan penerimaan mereka terhadap kehadiran Nabi dan kesediaan menerima Islam. Golongan musyrik – dari sisa-sisa Aus dan Khazraj akibat peperangan di antara mereka di masa lampau – merasa lemah sekali di tengahtengah kaum muslimin dan Yahudi. Mereka mencari jalan supaya antara keduanya itu timbul insiden. Golongan Yahudi dengan tiada ragu-ragu menyambut baik kedatangan Nabi dengan dugaan bahwa mereka akan dapat membujuknya dan sekaligus merangkulnya ke pihak mereka, serta dapat pula diminta bantuannya membentuk sebuah jazirah Arab.42 Tidak lama setelah menetap di Madinah, Nabi secara kongkrit meletakkan dasar-dasar masyarakat yang kuat, dengan bersama-sama semua unsur penduduk Madinah menggariskan ketentuan hidup bersama dalam surat dokumen yang dikenal dengan “Piagam Madinah”, atas dasar (landasan) kebebasan, terutama bidang agama dan ekonomi serta tanggungjawab sosial politik, khususnya pertahanan.43 Dalam perjalanan sejarah, orang-orang Yahudi tidak mentaati perjanjian yang disepakati bersama Nabi, sebaliknya mereka melanggarnya. Mereka tidak saja mengabaikan tugas-tugas yang ditetapkan dalam dokumen, tetapi juga menjadi agresif. Itulah sebabnya mengapa kemudian mereka diusir dari Madinah, berturut-turut mulai dari bani Qainuqa’, lalu bani Nadzir, kemudian bani Quraidzah, dan terakhir Yahudi Khaibar. Yahudi bani Qainuqa’ memperlihatkan kemarahan dan kedengkian ketika kaum muslimin memperoleh kemenangan gemilang pada perang Badar. Bahkan kemarahan itu sampai kepada permusuhan terbuka. Pada waktu Nabi mengumpulkan dan menasehati mereka di sebuah pasar bani Qainu1a’, mereka justru menentang secara terbuka dengan menyombongkan diri. Dalam kasus lain, ada kelompok orang-orang Yahudi bani Qainuqa’ yang melakukan pelecehan dan penghinaan kepada seorang wanita Arab. Hal ini menimbulkan terjadinya pembunuhan di antara kedua belah pihak. Setelah Yahudi bani Qainuqa’ membatalkan perjanjiannya dengan Nabi, mereka lalu dikepung selama 15 hari. Nabi kemudian memerintahkan supaya mereka diusir dari Madinah.44
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
145
Asbab al-Wurud... Zuhad
Sedangkan Yahudi bani Nadzir melakukan pelanggaran, penghianatan dan usaha membunuh Nabi ketika beliau berada di perkampungan mereka untuk membicarakan suatu urusan, yaitu permintaan kepada mereka untuk membantu pembayaran diyat orang yang terbunuh tanpa sengaja. Nabi mendapat inspirasi wahyu atas tipu muslihat mereka dan berhasil menyelamatkan diri. Nabi kemudian memerintahkan pengepungan kepada mereka. Setelah pengepungan beriangsung 6 hari, mereka setuju terhadap perjanjian damai dengan satu persyaratan mereka diperbolehkan membawa apa saja yang dapat dibawa yaitu unta--unta mereka, kecuali senjata. Mereka kemudian pergi ke Khaibar dan atau ke Syam.45 Perang dengan bani Quraidzah terjadi karena pelanggaran mereka terhadap perjanjian dengan Nabi. Mereka membatalkan perjanjian pada saat kaum muslimin ada dalam situasi yang cukup kritis, yaitu menghadapi pengepungan aliansi tentara bersenjata dari berbagai suku di bawah pimpinan Abu Sufyan dalam perang Khandaq/perang Ahzab. Setelah tentara Ahzab porak poranda, Nabi diperintahkan untuk memerangi bani Quraidzah. Pada saat pengepungan makin insentif, mereka bermaksud menyerah dan menerima apa saja yang menjadi keputusan Nabi. Putusan yang diambil terhadap bani Quraidzah adalah bala tentara dibunuh, dan harta mereka dirampas.46 Para pemimpin terkemuka barn Nadzir yang diusir dari Madinah kemudian menetap di Khaibar, seperti Salam ibn Abu al-Haqa’iq, Kinanah ibn Abi al-Haqiq, dan Huyaiy ibn Akhthab. Kepemimpinan mereka diterima oleh penduduk Khaibar. Pada akhirnya kepemimpinan mereka menyeret Yahudi Khaibar kepada konflik balas dendam kepada kaum muslimin. Mereka dikendalikan oleh kebencian dan kemauan keras untuk kembali ke kampung halaman mereka di Madinah.47 Gerakan pertama Yahudi Khaibar melawan kaum muslimin terjadi saat perang Khandaq yaitu dengan cara menghasut Quraisy dan Arab pedalaman untuk melawan kaum muslimin. Mereka juga menghasut bani Quraidzah untuk menghianati kaum muslimin dan bergabung dengan musuh-musuh mereka.48 Yahudi Khaibar dikenal memiliki benteng pertahanan yang amat kuat. Disamping itu mereka juga dikenal dengan perlengkapan persenjataannya yang baik dan pasukan perang yang sangat pemberani. Dengan perjuangan yang sangat gigih dan tak kenal menyerah, pasukan Islam berhasil menaklukkan Yahudi Khaibar.49 Dan rentetan peristiwa sejarah sejak masa Rasuiullah tersebut, dapat diidentifikasi bentuk-bentuk permusuhan non-muslim terhadap Islam meliputi hal-hal berikut:
146
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
Asbab al-Wurud... Zuhad
1. Penghasutan kepada musuh-musuh Islam untuk melakukan periawanan, tantangan dan ancaman 2. Menimbulkan instabilitas dalam masyarakat 3. Persekongkolan dengan pihak musuh untuk melawan Islam 4. Agresi terhadap kaum muslimin 5. Penyerangan secara terbuka 6. Usaha pembunuhan terhadap Nabi Saw. 7. Ejekan dan cacian terhadap Nabi, ajaran dan pengikutnya 8. Penghianatan terhadap kesepakatan bersama 9. Kedengkian dan pemberontakan 10. Pembatalan perjanjian damai. Dengan melihat konteks dan mempertimbangkan asbab al-wurud dan hadis tentang salam kepada non-muslim bisa dipahami bahwa larangan tersebut bersifat temporal, yaitu pada saat hubungan antara muslim dan non-muslim tidak harmonis. Hadis tersebut berlaku elastis dan fleksibel, dengan melihat kondisi spesifik yang melatarbelakangi hubungan antara kedua komunitas masyarakat tersebut apakah dalam situasi perang ataukah damai.
Penutup Pemahaman terhadap hadis secara umum terbagi menjadi dua kelompok, yaitu pemahaman secara tekstual dan pemahaman secara kontekstual. Hal ini sudah terjadi sejak zaman Rasulullah sendiri. Kasus larangan Nabi shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidlah dipahami oleh para Sahabat secara beragam. Sebagian sehabat memahami secara tekstual sehingga mereka tidak melaksanakan shalat ‘Ashar kecuali diperkampungan Bani Quraidlah, walaupun waktu telah lewat. Sementara sebagian yang lain memahami secara kontekstual dalam pengertian perintah untuk bergerak secara cepat menu keperkampungan mereka, sehingga. tidaklah salah jika dalam perjalanan itu diselin shalat ‘Ashar, kemudian melanjutkan gerak cepat tersebut. Salah satu media yang dapat dipakai untuk pengembangan pemahaman hadis adaiah pengetahuan tentang ilmu Asbab al-Wurud. Dani sini lahir dua macam kaidah yang dipakai sebagai pedoman memahami makna sebuah teks. Kaidah pertama “Umum al--Lafdl” lebih menekankan kepada keumuman lafal dalam memahami teks; dan kaidah kedua “Khushush al-Sabab” lebih memfokuskan kepada kekhususan sabab, yang penerapannya dilakukan dengan cara analogi (qiyas). Penerapan kaidah “khushush al-sabab” melibatkan kajian pada bidang-bidang lain yang terkait, seperti bahasa, sejarah sosial dan budaya pada masa kehidupan Rasul dan masa kini.
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
147
Asbab al-Wurud... Zuhad
Dengan berpijak kepada Asbab al-Wurud, maka pembaharuan atau pengembangan pemahaman hadis kelihatan menjadi sebuah kaniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal ini sejaian dengan ungkapan ulama klasik bahwa Islam itu cocok untuk segala tempat dan zaman. Adalagi ungkapan lain yang relevan adalah bahwa perubahan fatwa atau hukum dipegaruhi oleh banyak faktor, antara lain perbedaan tempat, perubahan waku, perbedaan kultural dan perbedaan motivasi pelaku.
Catatan Akhir: *Penulis adalah dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang 1 M. Quraish Shihab, ‘Kata Pengantar’ dalam Muhammad alGhazali, Studi Kritis Atas Hadis Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Bandung: Mizan, t.th.), h. 8-9. 2 Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelaiar, 1996), h. 315 3 M. Arkoun, Al-Fikr al-Islami Qira’atun ;ilmiyyatun, dikutip dalam Amin Abdullah, ibid., h. 64 4 Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam, dalam Nurcholish Madjid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 35-36 5 Muhammad Usman al-Khusyat, Mafatih ‘ulum al-hadis (Kairo: Maktabah al-Qur’an, t.th.), h. 126 6 Manna’ al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulu al-Qur’an (Al-Riyat: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadis, t.th.), 78 7 M. Quraish Shihab, Tafsir Surat-surat Pendek (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997), h. 694 8 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), h. 90 9 A1-Zaraani, Manahil al-’Irfan Fi Ulum AI-Our’an (Dar Ihya al-Kutub al .Arabiyyah, tt.), h. 19. 10 Ahmad Ibn Hambal, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, jus III, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), h. 152. 11 Lihat Imam Muslim, Shahih Muslim, Jus IV (Mesir: Isa al-Babi alMalabi, tt.), h. 1836. 12 Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang tekstual dan Kontekstual (Jakarta, Bulan Bintang, 1994), h. 57 13 Ibid. 14 Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir at Manar, Jus VI (Mesir: Muhammad Ali shabih, 1953), h. 123
148
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
Asbab al-Wurud... Zuhad
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Ju. I (Jakarta: Wijaya, 1992), h. 260.; Muslim, Shahih Muslim, Juz. 3 (Kairo: Mushthafa al-Babi al-Hlalabi, t.t), h. 2. 16 Ibn Hamzah al-Husaini, al-Bayan wa al-Ta’rif fi Asbab Wurud alHadis al-Syarif (Bairut: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, juz I, tt.) h. 145-6. 17 Al-Shan’ani, Subul al-Salam, juz I, (Kairo: Dar al-’Ulum, 1960), h. 87. 18 M. Quraish Shihab, Membumikan…, op. cit., h. 89 19 Al-Zarqani, op. cit., h. 120 20 M. Quraish Shihab, Membumikan…, op. cit., h. 89 21 Yusuf Kamil, al-Ashriyun Mu’tazila al-Yaum, dikutip oleh M. Quraish Shihab dalam, op. cit., h. 89. 22 Ridlwan al-Savvid, al-Islam al- Mu’ashir Naz’at fi al-Hadlir wa alMustagbal, diikuti dalam ibid., h. 90. 23 FaziurRahman,Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual (Bandung: Pustaka, 1985), h. 7-8. 24 Nurcholish Madjid, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 37 25 M. Amin Abdullah, Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Keislaman dalam Hamim Ilyas dan M. Azhari (ed), Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah Purifikasi dan Dinamisasi(Yogyakarta: LPPI, 2000), h. 4-5 26 Ibid., h. 5 27 Imam Muslim, Shahih Muslim, al-Thiba’ al-Amirah, 1331, bab Hukum al-Fai’, h. 150 28 Muslim, ibid., h. 151 29 Muhammad Husain Haekal, SeiarahHidupMuhammad,Jilid 2(Jakarta: Tintamas, 1973), h. 12 30 Ibid., h. 56 31 Ibid., h. 126. Lihat, Zainal Abidin, Problematika Ijtihad, dalam Jalaluddin Rahmad, (editor), Ijtihad Dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1988), h. 87. 32 I. Zainal Abidin, ibid., h. 88 33 Nurcholis Madjid, Khazanah IntelektualIslam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 5. 34 I. Zainal Abidin, op. cit., h. 88 35 Ibid., h. 88 36 Al-Shan’ani, Subul al-Salam: Syarh Bulugh al-Maram, juz. IV (Singapura-Jeddah:, al-Maramain, 1960), h. 155. 37 Ibn Hajar, al Asgalani, Fath al-Bar: Syarh Shahih alBukhuri, juz Xl (Bairut: Dar al-Kutub al-Illmiyyah, 2000), h. 50. 38 Ibid., h. 50 15
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
149
Asbab al-Wurud... Zuhad
Al-Shan’ani, op. cit., h. 156 Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Rute Mas, 1973), h. 161 41 Akram Dhiyauddin Umari, Mawarakat Madani (Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 63-67. 42 Muhammad Husain Haikal, op.cit., vol. 1, h. 211. 43 Ibid, Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadma, 1999), h. 64-65 44 Ibn al-Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418), vol. II, h. 33-34. 45 Ibid., h. 64-65 46 Ibid., h. 75-77 47 Akram Dhiyauddin Umari, op. cit., h. 155 48 Ibid., h. 155 49 Ibn al-Atsir, op.cit., h. 99-104; Haikal, op.cit., vol. II, h. 120-126. 39
40
DAFTAR PUSTAKA Al-Zaraqni, Manahil al-’Irfan Fi Ulum AI-Our’an, Dar Ihya al-Kutub al Arabiyyah, tt. Ahmad Ibn Hambal, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, jus III, Beirut: Dar al-Fikr, tt. Akram Dhiyauddin Umari, Mawarakat Madani, Jakarta: Gema Insani, 1999. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Ju. I, Jakarta: Wijaya, 1992 Al-Shan’ani, Subul al-Salam, juz I, Kairo: Dar al-’Ulum, 1960 Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelaiar, 1996 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual, Bandung: Pustaka, 1985. Hamim Ilyas dan M. Azhari (ed), Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah Purifikasi dan Dinamisasi, Yogyakarta: LPPI, 2000. Ibn al-Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418. Ibn Hajar, al Asgalani, Fath al-Bar: Syarh Shahih alBukhuri, juz Xl, Bairut: Dar al-Kutub al-Illmiyyah, 2000.
150
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
Asbab al-Wurud... Zuhad
Ibn Hamzah al-Husaini, al-Bayan wa al-Ta’rif fi Asbab Wurud al-Hadis alSyarif, Bairut: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, juz I, tt. Imam Muslim, Shahih Muslim, Jus IV, Mesir: Isa al-Babi al-Malabi, tt. Jalaluddin Rahmad, (editor), Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1988. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992 M. Quraish Shihab, Tafsir Surat-surat Pendek, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997 Manna’ al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulu al-Qur’an, Al-Riyat: Mansyurat al‘Ashr al-Hadis, t.th. Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadis Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Bandung: Mizan, t.th. Muhammad Husain Haekal, Seiarah Hidup Muhammad, Jilid 2, Jakarta: Tintamas, 1973. Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir at Manar, Jus VI, Mesir: Muhammad Ali shabih, 1953 Muhammad Usman al-Khusyat, Mafatih ‘ulum al-Hadis, Kairo: Maktabah al-Qur’an, t.th. Muslim, Shahih Muslim, Juz. 3, Kairo: Mushthafa al-Babi al-Hlalabi, t.t Nurcholis Madjid, Khazanah IntelektualIslam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999. Nurcholish Madjid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1994 Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang tekstual dan Kontekstual, Jakarta, Bulan Bintang, 1994
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005
151
Asbab al-Wurud... Zuhad
152
Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005