B. TER HAAR Bzh
rju m n f <sn
Nq. SO EB A K TI P O ES P O N O TO
Asas-asas Susunan
a
HUKUM ADAT
^SAS-ASAS DAN SUSUNAN HUKUM ADAT
ASAS-ASAS DAN SUSUNAN HUKÜM ADAT 1
,
% '
' *«*11....... (BEG IN SELEN E N STELSEL V A N H E T ‘ A D A T R E C H T )
OLEH :
Mr B. TER HAAK Bzn
TERJEMAHAN
K. Ng.
SOEBAKTI POESPONOTO
(D osen U I I
S u ra k a rta )
I'
cetalcan keen am
PRADNYA PARAMITA Jl. Kebon Sirih 4 6 -Jakarta Pusat 1981
1 0 i0 0 e S “
.
Terim»-. - - 7 ^ / d
\ NO-
Ange°ta 1KAPI
nr
Usaha terjemahan ini timbul dari keinginan akan menyajikan sebuah kitab yang lengkap kepada para pelajar pendahuluan hukum adat di bawah asuhan penterjemah, yang sebagian besar tidak atau kurang faham akan bahasa Belanda. Pada hal buah tangan T er Haar ini betul sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris, tapi ke dalam bahasa Indonesia sepanjang pengetahuan penterjemah sampai sekarang belum ada salinannya. M ula
terjemahan ini terbit sefatsal demi sefatsal, yang lalu di-
bicarakan dan di sana-sini dibetulkan ber-sama , hal mana sangat dipermudah karena memang untuk penilikan sedemikian itu pemberian nomor halaman terjemahan sudah dicocokkan dengan penomoran halaman
dalam buku aslinya.
Mengapakah justru buah tangan T er Haar „beginselen en stelsel van adatrecht” yang diterjemahkan ? Karena antara lain menurut pendapat sarjana luikuni adat Prof Soepomo dan Piol Logemann „pandangan yang mahir daripada Ie r Haar tentang asas- dan susunan luikum adat sampai sekarang masih tetap menjadi ukuran” . Berhubung dengan mutu keilmuan daripada isi buku ini, ditambah pula karena sukarnya cara penulis membahas soal- — yaitu antara lain dengan memakai rangkaian kaliniat yang panjang. tapi padat dalam artinya — maka di sini diusahakan suatu terjemahan yang selurus mungkin, tidak ditambah atau dikurangi dengan jalan uraian, komentar atau lain nya dari fihak penyalin, itupun karena ia khawatir kalau dengan tak disengaja nanti akan timbul ma na yang lain dari pada mustinya. Kata asing yang belum la/.im, setengah lazïm atau sudah lazim dipakai dalam bahasa Indonesia ditulis di sini dengan sengaja tidak menurut sesuatu sistim ejaan yang tertentu, itupun beihubung dengan sampai sekarang belum adanya sistim itu, ptda mengni„at, sebagaimana termaklum, bahwa bahasa Indonesia sedang berada da lam fase pertumbuhan, misalnya : delikt, disertasi, exogaam, funksi, genealogis, kritis, kongkrit, kooperasi, magis, materieel, obyek, toci dan sebagainya. Pula di mana dipandangnya perlu untuk penegasan, niaka penter jemah tidak segan
mencantumkan di antara dua tanda kurung .
kata , istilah, bahkan seluruh kalimat, kesemuanya dalam bentu V,
aslinya di belakang terjernahannya, misalnya : pokrol2an (juristerij) , paruh liasil tanam (deelbouw), tolong-menolong antara satu sam a lain dan bertimbal-balik (onderling en wederkerig hu lpbetoon) dan sebagainya. Pokok maksud usaha ini ialah, sebagaimana diterangkan di atas tadi, sekedar untuk memenuhi kebutnhan yang perlu sekali, lagi mendesak ; maka dari itu bilamana di sana-sini terdapat m isalnya susunan kalimat yang janggal atau kata yang kurang Iazimnya, diharap buat sebentar berpegangan pada peribahasa : „jan ganlah membaca yang tersurat, tapi ambillah yang te rsira t.......................... hendaknya. Akhirnya, juga karena penterjemah bukannya seorang ahli
da-
lam hal salin menyalin, maka setiap kritik yang bersifat m em bangun atas usahanya yang serba kurang ini, akan diterimanya dengan segala suka hati. S u r a k a r t a , Agustus 1953. SOEBAKTI PO ESPO N Ó TO.
Pada tanggal 19 April 1941 gugurlah T er Haar di tempat pengasingan Jernian. Pekerjaan keilmuannya terbengkalailali oleh Varcnanya. Pekerjaan yang berguna akan orang banyak untuk j k M M tisaiia pengadilan itu berada dalam angin ïibu t suatu revolusi politik dan sosial. Saya tak khawatir kalau usaha^nya itu akan lenvap. K em urniannva. kadarnya yang kritis dan kesukaannya akan hakekat, kesennianva itu adalah jaminan akan kebenaran pendapat saya itu. Baik ekerjaannya, maupun manusia T er Haar tidak akan dapat dihapuskan dari sejarah peradaban Indonesia. Penyelitliknn dan pertumbuhan hukum adat sesungguhm a tïdak ernah berhenti sejak tahun 1940. T api penglihatan T e r H a a r ^ I)(r ninhir tentang asas dan susunannya buat sementara tetap m en: nkuran, sehhigga pencetakan ulangan dengan tiada peruIj^liannya benar dapat dipertanggung-jawabkan. \ludnh2nn peninjaunn kembali atau penggantinn pada saat yang bili tepnt untuk itu nanti akan terbimbing oleh lenaga yang ber^n^alaman. vang enkap dan yang penuh rasa khidmat pula terhadap ^imarluitn hendaknya. aln •
VT
LOGEM ANN.
Pada perguruan-perguruan tinggi/fakultas-fakultas hukum ataupun perguruan-perguruan sesamanya, buku Prof M r B. T e r Haar Bzn. „Beginselen en Stelsel van het Adatrecht” dewasa ini masih merupakan literatur wajib untuk mata pelajaran hukum adat. Tetapi kenyataan menunjukkan, bahwa buku tersebut tidak lagi dapat dimengerti oleh sebagian besar para mahasiswa, karena mereka sudah tidak dapat memahami bahasa Belanda, sedangkan buku itu merupakan dasar bagi pelajaran hukum adat. Dari fihak Universitas belumlah ada usaha untuk menterjemahkan buku tersebut. Maka. dari itu terjemahan Sdr. K. N g. Soebakti Poesponoto ini wajib kita sambut dengan gembira, karena terje mahan ini akan besar sekali manfaatnya bagi para mahasiswa. Dapat kami katakan di sini, bahwa terjemahan ini adalah sangat serius, walaupun di sana-sini masih ada beberapa kekurangan. Kekurangan-kekurangan ini diakui oleh penterjemahnya dan dengan sangat gembira beliau sedia menerima kritik-kritik yang menuju kesempurnaan terjemahannya itu. Sebagai asisten dari Prof M r M . M . Djojodigoeno yang diserahi tugas untuk menguji para mahasiswa fakultas hukum & fakultas Sosial Politik Universitas Gajah Mada dan Fakultas Hukum Universitas Airlangga mengenai literatur, kami dapat menganjurkan kepada para mahasiswa dan peminat-peminat hukum adat untuk menggunakan dan menilai terjemahan ini. Terjemahan ini sangat memenuhi kebutuhan. Harapan kami mudah-mudahan — kalau kami boleh meminjam istilah Prof Mr M . M . Djojodigoeno — buku yang menguraikan „Azas-azas dan peragaan” liukum adat ini akan berjasa pada para mahasiswa dalam mempelajari hukum adat. Y o g y a k a rta ,
M e i
1958.
Mr
SO E JO N O
H AD 1D JO JO .
VH
AN TAR KATA (dari penulis) Pendahuluan untuk pelajaran hukum adat penduduk Pribumi Indonesia im mencoba dalam dua hal mengemukakan soal umum. Per-tama dengan jalan memberikan corak tanda-ciri daripada lembajp. hukum Indonesia dan hubungan hukum, sedemikian rupa, sehingga asas dan susunan hukum adat Bumiputera dapat nampak keluar, pula sehingga perangai khusus daripada hukum adat dinyatakan oleh karenanya, kedua : dengan jalan menunjuk kan faktor yang mempengaxuhi keadaan dan perubahan hukum adat, pula dengan menunjukkan keadaan sosial yang memajukan atau mcrintangi perkembangan corak yang tertentu itu. Tetapi pendahuluan ini bermaksud juga akan mengaitkan soal umum tadi pada bentuk gejala istimewa daripada lem baga, hubungan dan perbuatan ; agar supaya dengan demikian seraya dapat sekedar memberikan gambaran tentang arti yang konkrit dari pada soal yang diberikan secara typologis, sehingga misalnya orang « k a li tahu bahwa susunan sanak-saudara berhukum ibu itu terutama penting buat hukum adat Minangkabau, bahwa perjanjian pelihara (verzorgingscontract) rupa nya adalah keistimewaan Minahasa, bahwa hak pertuanan (beschikkingsrecht) dan paruh hasil (deelwinning) ternak terdapat dalam lingkungan rakyat Pribumi dalam hampir semua lingkungan hukum ; tokoh hukum setempat saban disebut, baik sebagai misal daripada lembaga yang konkrit yang dimaksudkan oieh lukisan yang abstrakt, maupun untuk fnenuturkan adanya corak , setempat dan simpangan lokal. H ukum adat positief daripada beberapa lingkungan kadang ditunjukkan de ngan jalan disebutkannya istilah P rib u m i; sebuah ikhtisar yang agak panjang lebar tentang susunan masyarakat hukum disajikan sebagai peta dasar daripada medan berlakunya hukum adat pada pokoknya. Sudah barang tentu dengan jalan demikian itu penyusunan pen dahuluan pelajaran hukum adat yang ringkas buat sebagian adalah soal me-milih dari bahan yajig ber-lebih an apa yang patut diambil sebagai misal yang konkrit, dan apa yang tidak. Dengan sendirinya cara bekerja demikian itu mengandung cacat „sembarangan” , tapi cacat ini agak diperlunak karena keyakinan bahwa ini hanya mengenai gambaran sesuatu saja, bukannya mengenai lukisannya sendiri yang typologis itu walaupun cacat itu masih tetap berlaku terhadap lukisan yang tak lengkap daripada aturan hukum setempat yang tidak termasuk. dalam bentuk (type) tadi.
H al terakliir ini memang tak dapat dielaikkan lagi dalam penyusunan sesuatu pendahuluan yang hendak tetap ringkas, tetapi segan akan mengabaikan corak yang konkrit. Sudah semustinya pemilihan termaksud di atas tadi tèrpengaruh banyak oleh keadaan perpustakaan hukum adat. Terhadap bagian Tim ur dari pada Nusantara (sebelah Timurnya Sulawesi dan Bali, lerkecuali Ambon dan Kepulauan Uliaser) hampir tidak ada sama sekali saduran secara hukum adat daripada tulisan ethologis oleh tenaga yang terkenal di tempat situ, sedangkan jarang terdapat keputusan hakim yang diuraumkan, pula bahan yang disajikan oleh para ethnografen yang tak berpendidikan dipandang dari sudut ethnologie juga kurang heningnya. Walaupun demikian alangkah tidak tepatnva andaikata lingkungan hukum tadi dikecualikan dari lukisan susunan hukum adat, meskipun dalam hal tidak mengecualik a n n y a sekarang ini, penunjukan ke lingkungan situ itu harus deng^n hati' sekali. Buku kecil ini disusun untuk mereka yang memulai belajar h u kum adat, yaitu studen rechts-hogeschool; ia bennaksud m enyajikan catatan uraum yang dapat menambah hasilnya pelajaran m e n g e n a i hukum adat positief daripada suatu lingkungan hukum vang tertentu; seraya ia bermaksud memberi petunjuk kepada para pekerja di Iuar, supaya mereka taliu akan adanya lingkungan umum, dalam mana hukum adat — yang mereka hadapi (secara kritis) dalam praktek mereka yang menuju kenyataan — dapat mereka linjau sebagai suatu bentuk ke jala yang istimewa. T a k dapat dipungkiri - mélainkan hanya dapat disesalkan — bahwa pcmbahasan secara abstrakt dan menurut sistim daripada corak A ri hukum adat sebagaimana di sini dikerjakan ini, adalali laksana sebatang pohon jati di musim kemarau. Tidak terdapat d a im nya d m bunganva *ang memberi warna dan bau harum serta kese« r a n kepada sebuah naskah tentang hukum adat yang h id u p di falah satu masyarakat yang konkrit; yang terdapat ada, hanyalah batangnva, percabangan nya dan petunjuk ke a ra i uncup-nya. Menaenai „pendahuluan atau peranaktirian” , „dapat dipakar atau tidak”,
„ber-jenis nya”
yang
„mengejutkan"
(atau
■utkan), „keunggulan atau cacatnya hukum
adat",
tak
m enge-
maka
d alam
buku ini tak sepatah katapun terdapat tentang itu. Kenvataan telah memberi pelajaran, bahwa buat sementara huvum perdata tak tertulis daripada Bumiputera tidak diganti ; m aka dari itu, juga dipandang dari sudut yang praktis. tetap berguna p e n g a ja r a n
masalah i n i secara teratur.
Pula talc ada sepatah katapun tertulis mengenai persamaannya atau tidak persamaannya hukum adat dengan hukum Nederland, atau mengenai kesejajaran hukum adat dengan hukum masyarakat A£rika, Jerman, Ibrani atau Iain nya. Sebagai obyek pelajaran yang wetenschappelijk maka perbandingan secara cermat antara dua lembaga hukum itu - kedua nya sudah barang tentu tiarus difahami dalam hubungan bentuknya sendiri seluruhnya — berguna juga. Perbandingan hukum adat dengan hukum Neder land sedemikian itu sepanjang pengetahuan sayk belum pernah dxusahakan orang. T a p i tidak jarang diadakannya secara kurang m endalam perbandingan lembaga hukum atau aturan hukum yang ■dicabut ke luar daii hubungan bentuknya masing ; perbandingan serupa itu mengakibatkan kesalah fahaman dan acapkali penganiayaan. Sudah barang tentu sangat lain halnya soal betapa penting arti daripada ilm u hukum Barat beserta para ahli hukum yang trerdidik olehnya, untuk ilm u hukum adat itu, arti mana karena besarnya sukar untuk dilampaui. Bahan untuk lukisan ini adalah tertimba dari ,,Adatrecht” nya V an Vollenhoven dan karangan tentang hukum adat berikutnya beserta keputusan yang diumumkan ; sebagai penutup daripada bab keempatbelas akan dituturkan sedikit lebih lanjut tentang pem akaian sumber ini dan dalam bab yang terakhir disajikan sebuah ikhtïsar selayang pandang dari adanya tempat yang menghasilkan bahan tadi. Beberapa
bahan
adalah
terpetik
dari
naskah
studen
tahun
Icelima. H ó k u m tertulis untuk Bumiputera (mengenai perwalian, perkaw inan Kristen, perkumpulan kooperasi, pelayaran laut dan sebagainya) tidak dibicarakan dalam buku ini, melainkan hanya disebutkan saja kadang M engenai urutannya bab : bab pertama — pada pokoknya membahas susunan masyarakat hukum — mungkin akan dapat disusul baik dengan bab tentang hukum tan ah, karena haknya masyarakat atas tanah dalam pada itu adalah terkemuka, maupun dengan bab tentang hukum kesanaksaudaraan (dengan hukum perkawinan dan hukum waris) karena dengan demikian diperoleli sambungan pada apa yang telah dituturkan tentang faktor genealogis daripada m a syarakat itu ; mungkin baik dengan bab tentang hukum perhntangan (schuldenrecht), karena soal ini berpusat pada pertolongan bertimbal-balik dalam lingkungan masyarakat , m aupun kemudian a
dengan hukum pelanggaran (delictenrecht), karena dalam pada itu masyarakatlah yang mempunyai arti yang mutlak. Telah terpilih urutan masyarakat hukum, hukum tanah, perjanjian tanah dan perjanjïan yang bersangkutan dengan tanah — hukum perhutangan — yayasan — hukum perseorangan — h u kum kesanaksaudaraan — hukum perkawinan — hukum war is — hukum pelanggaran; hubungannya satu sauna lain sebanyak m ungkin diletakkan dengan jalan penunjukan (verwijzingen) . Perïngatan singkat pada penutup mengenai pengaruh lamanya waktu, bahasa hukum dan pembentukan hukum, kesemuanya m engandung maksud untuk mengingatkan akan persoalan umum yang bertalian dengan itu.
Sesudah dalam tahun 1941 diterbitkan cetakan kedua yang tak berubah, maka dalam tahun 1946 buat ketiga kalinya dikeluarkan cetakan baru, yang dengan tidak tepat disebut „cetakan kedua yang tak berubah” . Maka dari itu penerbitan ini adalah cetakan yang keempat, yang tekstnya tetap tak berubah pula, kecuali tambahan sebuah daftax singkat daripada buku , yang diselenggarakan oleh M r H . T h . Chabot. Dari penyebutan buku yang diumum kan se sudah terbitnya buah tangan T e r Haar dalam tahun 19S9 itu, ternyata, bahwa pelajaran hukum adat sejak itu tidak berhenti. Da lam pada itu buku ini sendiri diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dan terjemahannya itu pada tahun 1948 diumumkan di New York, dengan sebagai pendahuluan dibubuhi sebuah fatsal tentang latar belakang ethnologis daripada hukum adat, pula tentang kedudukan hukum adat dalam organisasi urusan hukum di H india Belanda dulu, fatsal mana ditulis oleh professor E. Adamson Hoebel dan A . Arthur Schiller. Demikianlali hasil karya T e r Haar yang patut menjadi tugu peringatan terhadap T e r Haar ini dapat diham piri oleh khalayak ramai yang dapat membaca dalam bahasa Inggris, hal mana sudah tentu akan memberi sumbangannya terhadap penyiaran pengertian tentang sistim hukum adat, secara lebih luas
hukum adat yang baru.
Penerbitan cetakan ulangan yang tak berubah ini m e n y e b a b k a n keberatan
yang tertentu. Kita sadari se-penuh nya, bahwa istilah
yang terdapat dalam buku ini — di mana perkataan „inlandsch” a-tau „inheemsch” yang dipergunakan itu — sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan zamannya, bahkan menyinggung perasaan jua. Untuk ini diminta maaEnya para pembaca. Selanjutnya „staatsrechtelijke geldingsgrondslag"
(dasar berlakunya menurut ilmu tata negara)
xm,
sudah berubah sama sekali, sehingga halaman 21 — 2-1 dapat diang. gap tak. terpakai lagi seluruhnya. Tapi andaikata dulu harus menunggu dibubuhinya perubahan yang perlu, maka ini akan m envebabkan banyak kelambatan, pada hal berhubung dengan kebutuban dikehendaki terbitnya kitab ini selekas mungkin. Napiun masih tetap berlaku apa yang ditulis oleh Prof Logem ann dalam cetakan „kedua yang tak berubah” — yang betulnya cetakan ketiga — ialah bahwa pandangan tentang asas dan susunan hukum jadi ukuran, sehingga sekarang ini bah dapat dipertanggung-jawabkan
yang mahir daripada T e r Maar adat buat sementara tetap m encetakan ulangan yang tak b e n :juga sepenuhnya.
Januari 1950.
S O E P O Aj- o. Demikian kata pengantar dalam cetakan keempat pada pen*r bitan buku ini dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Belanda yang ditei jemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk pertama kali ini
oleh
K. Ng- Soebakti Poesponoto, seorang yang mempunyai reputasi cemerlang sebagai pegawai negeri yang rajin dan setia, d^n' tcrjamin mengenai perwatakannya sebagai pejuang kemerdekaan yang tidak bercacat. Di samping itu beliau juga adalali dosen dari Perguruan T in g g j „Hayam Wuruk” (Swasta) di Surabaya dalam mata pelajaran hukum adat, yang menjamin segi-segi ke ilmiahan dari cara penterjemahan buku ini ke dalam bahasa nasional kita. Mengenai buku ini sendiri, rasanya pencrbit tidak perlu mengejnukakan lagi betapa penting artinya di bidang ilmu luikimi bagi j n_ donesia sendiri, sebab hal itu bukan saja penting bagi mereka yang ingin memperdalam pengetahuannya tentang ilmu hukum dan bagi pejabat-pejabat kehakiman dan kepamongprajaan yang d alam pekerjaannya seringkali menghadapi soal-soal yang bersangkutan dengan hukum adat, bahkan buku ini penting juga bagi dunia ilm u pengetahuan hukum dunia, terbukti buku ini pada tahun 19-18 telali diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris oleh Prof A .A . Schiller dari Columbia University bersama-sama dengan Prof E.A. H o eb el dengan nama „Adat law in Indonesia’', diterbitkan oleh Institute of pacific Relations.
Pada penerbitan dalam bahasa Indonesia yang pertama ini penyalin telah mengusahakan untuk memasukkan ke dalaimnya istilah-istilah baru. W a la u p u n demikian halnya, tidaklah m enutup kesempatan bagi penerbit untuk m em inta m aaf kepada para G uru Besar, para Dosen, para Mahasiswa, para H akim , para Jaksa, para Pamong Praja dan lain-lain yang menggunakan buku ini untuk memberikan kuliah, untuk belajar dan/atau untuk pegan^an dalam menghadapi masalah-masalah hukum dan kepamongprajaan atas segala kekurangan yang selalu mungkin ada. Jakarta, 1960.
PRADNYA PARAM1TA.
BERITA PENERBIT Cetafcan ke-6 Isi cetakan ke-6 Ini sama dengan cetakan terdahulu. • Semoga buku Ini tetap bermanfaat bagi para pemakai. Jakarta, Juli 1981.
P e n e rb it
IS I HAL. A N T A R K A T A (D A R I P E N U L I S ) .................................................................... K A T A P E N G A N T A R P A D A C E T A K A N K E -E M P A T F A T S A L P E N D A H U L U A N .....................
...........
...................................................
IX is 21
Dasar berlakunya hukum adat m enurut ketatane°"araan (daliis) BAB
............................................................................................ ° ............
P E R T A M A : SU SU N AN
1.
Masyarakat- hultiim dalam lingkungan rakyat (cornk- unuim (27) dan bentuk2 khusus (43) ) . . . . Lingkungan raja- ................................................................ PedagangJ sebagai orang-luaran masyarakat . . . . Pelancaran susunan raja- dan susitnan gubernemen ke dalam masyarakat2 .............................................
2. 0. 4. BA B
K E -D U A : H A K 2 A T A S
1.
T A N A H ........... ..........................................
H ak2 pertuanan (beschikkingsrecht) daripada masyarakat3 .............................................................................. H ak2 perseorangan (dalam ketertiban hukum : masyarakat-, kerajaan- dan gubernemen) ............
2. BAB
R A K Y A T ....................................................
K E -T IG A : PER JAN JIA N ^ T A N A H (G R O N D T R A N S A K T IE S )
1. 2. 3.
4. 5. 6. 7. 8.
Pendirian dusun .................................................................... Pembukaan tanah perseorangan . . . .•.......................... Perjanjian2 tanah segi dua di dalam lingkungan masyarakat2 (gadai tanah (1 1 2 ), jual tanah (118) menyewafcan tanah (119) ) ......................................... Merayendirikan tanah ......................................................... Penghadiahan (toeschenking) tanah .......................... Penghibahan (toescheiding) tanah ............................. Surat akte ............................................ .................................... Perjanjian2 tanah di luar lingkungan masyarakai2
BAB K E -E M P A T : P E R JA N JIA N 2 Y A N G B E R SA N G K U T A N D E N G A N T A N A H ......................................................................................
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Perjanjian paruh hasil tanam (deelbomv) ............. Séwa ........................................................................................... Gabungan paruh lmsil tanam dan séxua dengan ga dai tanah ................................................................................. Tanah sebagai penjaminan (zekerheidstelling) . . Perbuatan pura2 (schijn handeling) .......................... Penumpang rumah (bijwoner) dan penumpang pekarangan (opwoner) ..................................................... Memberikan tanali dengan hak pn"kai ......................
si 27
27 61 65 66 71
71 89 101
101 103
105 120 120 121 121 123 125
125 128 129 131 134 136
xvn,
HAL. BAS
K E 'L IM A : HXJKUM P E R H U T A N G A N
1. 2. 3. 4. 5. 6. BAB
(SC H U L D E N R E C H T )
139
Hak atas rumah , tanaman , terna.k, barang- . . . . Perbuatan krediet, tolong-menolong satu sama lain dan. berti-mbal balik .......................................................... Perkumpulan ......................... ' .............................................. Perbuatan krediet perseorangan ................................ Merugikan penagih hutang ........................................ Alat pengikat, tanda yang kelihatan ........................
139
K E -E N A M : Y A Y A S A N 2 (S T I C H T I N G E N )...................................
161
Wakap (vrome stichting) ................................................ Yayasan (stichting) ...........................................................
161 162
1. 2. BAB
K E-TU JU H : HUKUM P E R SE O R A N G A N
1.
BAB
...................................
Kebadanan hukum (rechtspersoonlijkheid) daripada perkumpulan ........................................................................ Perseorangan manusia (natuurlijke personen). Kecakapan berbuat (handelingsbekwaamheid) . . . .
2.
K E -D E LA PA N : HUKUM K ESANAK S A U D A R A A N
\. 2. 3. 4. BAB
................
Perhubungan di antara anak terhadap kedua orangtuanya ................................................................................... Perhubungan di antara anak terhadap golongan sanaksaudara........................................................................... Pemeliharaan anak p i a t u ................................................. Pengambilan anak ..............................................................
KE-SEMBILAN : HUKUM
1.
P E R K A W I N A N ........ ..........................
Bentuk perkawinan (perkawinan pinang, - lari bersama, - bawa lari (1 88 ); perkawinan jujur, —mengabdi, — tukar-menukar, — mengganti dan perkawinan meneruskan (1 94 ); perkawinan dengan pembayaran lain atau tanpa pemba/yaran (194); perkawinan ambil ana’k (194) ; perkawinan kanak (206); permaduan (206); pengaruh agama Islam dan agama Kristen atats pelaksanaan perkawinan (2 0 7 ) 1 ).
2.
Perceraian perkawinan (perceraian menurut hu kum adat (210); pengaruhnya agama besar (214); lembaga Islam mengenai perceraian perkawinan (215); hukum Kristen mengenai perceraian perka winan (219); akibat nya perputusan perkawinan
(220) ) %VlH
1^3 *46 149 153 154
165 165 166 17 1
172 175 180 181 187
3.
Hukum liarta benda perkawinan (barang asal dari warisan (2 2 0 ); barang yang diperoleh atas usaJia sendiri (222) ; harta benda perkawinan sebagai milik bersama di antara suami dan isteri (224); baran^ yang dihadiahkan kepada suami dan isteri bersama (229) )
B A B K E -S E P U L U H : H U K U M
W A R I S ...........................................................
231
1. 2.
Harla peninggalan )ang tak ter-bagi- ..................... Penghibahan dan wasiat ........... ..............................
233
3. 4.
Pembagian hart a peninggalan ....................................... Ahli w a r is ...............................................................
5.
Bahagian
daripada harta peninggalan .....................
BAB K E -SE B E LA S: H U K U M P E L A N G G A R A N BAB K E-D U AB ELAS : P E N G A R U H
LAM ANYA
BAB K E -TIG A B E LA S : B A H A SA H U K U M
23S 242 233 ' 218
(D E L lK T E N 'R H C H T j 235 W A K T U ................
................................................
2(i:> 2<>‘>
BAB K E-EM PATB ELAS : PEM B E N TU K A N HUK UM A D A T
...........
275
BAB KE-L1M ABELAS : K E SU SA STE R A A N H U K U M
...........
283
...........................................
2‘ Mi
D A F T A R D A R I A D A N Y A L IN G K U N G A N 2 H U K U M D A N A N A K L 1N G K U N G A N H U K U M ........................................................................
2UT
DAFTAR
....................................................................................................
301
P R I B U M I ..........................................................................
305
D A F T A R K E C IL D A R IP A D A S IN G K A T A N :
SO A L
D A F T A R I ST IL A H
ADAT
FATSAL DASAR
PEN DAH ULUAN .
DAN L ÏN G K A R BERLAKUNYA HUKUM M E N U R U T K E T A T A N E G A R A A N (D A L IL 2) .
ADAT
Mengenai artinya peraturan wet, yang menentukan tempatnya dan batas nya hukum adat (sipil) orang Indonesia dalam ling kungan keseluruhan hukum di H india Belanda, terdapatlali sejak dulu sampai sekarang banyak perbedaan pendapat *) . D i sana-sini saya pernah ambil bagian dalam pembicaraan mengenai masalah ini' tapi dalam buku ini hanya saya cantumkan saja pendapat saya dalam bentuk dalil Bilamana saya harus membentangkan (mau tidak mau secara panjang lebar) alasan nya daripada apa ^ang harus berlaku dalam pada itu, maka tindakan saya ini akan menjadi : menulis apa „sekitar” hukum adat, pada hal mestinya „tentang” hukum adat, hal mana sebagaimana telah ditunjuk oleh Van Vollenhoven merupakan suatu penyakit daripada lebih dari sebuah karangan. I. Dalam alam peradilan gtibernemen yntuk Bumiputera (Inlandse gouvernementsrechtspraak) (juga seberapa' jauh ia meliputi kaulalandschap) (landschaps-onderhorigen). 1. H ukum adat sipil berlaku atas Bumiputera ) berdasarkan atas fatsal 131 ayat 6 Indische Staatsregeling, seberapa jauh hu kum sipil itu tidak diganti dengan ordonnan^l (menurut wet) atau dengan hukum untuk golongan Eropah (Europeanen-recht) yang sudah ditakluki menurut batas yang sudah ditentukan oleh wet. 2.
Ordonnansi
yang telah ditetapkan sebelum 1 Januari 1920
dan yang mengatur hukum sipilnya Bumiputera, harus berupa pernyataan berlakunya
(toepasselijk verklaring)
undang
ngnn Eropah — kalau perlu sesudahnya diubah —
untuk golo-
(fatsal 75 lama
Regeringsreglement), itupun untuk sahnya dan untuk dapat di berlakukan oleh hakim atas Bumiputera.
ï ) Berhadapan dengan Van Vollenhoven dalam „H et Adatrecht van Naderlandsch Indië,, mengenai lebih dari satu soal : dr. (mr) I. A . Nederburgh. H oo stukken over adatrecht 1933 ; bertentangan dengan itu ..Nederburgh over adat recht” dalam Ind.T.v.h.R. 138 (1933) hal. 723; repliek dari Nederburgh dalam T, 139 (1934) hal. 477 (Adat- tegen Westersch recht). =) G olongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) juga „perhubungan2 intergentiel” tidak.
di sini tidak dibicarakan .
3. Ordonnansi yang ditetapkan sesudah 1 January yang mengatur hukum sipil Bumiputera harus : a.
1920 dan
berupa pernyataan berlakunya (toepasselijk verklaring) keten-
tuan hukum untuk golongan Eropah — seberapa perlu sesudaJinya diubah — atas golongan Bumiputera ; itupun bilamana terdorong oleh kebutuhan masyarakat yang ternyata ada di kalangan Buiniputera atau sebagian daripadanya ; b.
Bumiputera dan golongan Eropah diatur dengan peraturan
bersama jadi satu; itupun bilamana terdorong oleh
kebutulian
masyarakat yang ternyata ada di kalangan Bumiputera atau sebagiaa daripadanya ; c. Lain dari pada itu (bila l i d a k ternyata ada kebutuhan m a syarakat yang serupa itu di kalangan Bumiputera) dihormadlah hukum adat, tapi dapat menyimpang dari itu bilamana terdorong oleh kepentingan umum atau oleh kebutuhan
masyarakat yang ternyata
ada di kalangan Bumiputera itu (fatsal 131 ayat 2 b Indische Staats regeling) .
4.
Mengenai perintahnya wet supaya tidak diberlakukan liukum
adat bila ia bertentangan dengan „asas daripada kepatutan cfcrn keadilan"
yang sudah diakui um um
(fatsal 75 lama Regeringsregle
ment ayat 3 penutup) dan perintahnya net supaya dipakai sebagai pedoman : asas
umum daripada liukum sipil dan hukum dagang
untuk golongan Eropah itupun bilamana harus diputus ,,perkara2" („zaken”)
yang „tidak diatur”
(„niet geregeld”)
dalam
hukum
adat (fatsal 75 lama Regeringsreglement ayat 6 ) , maka kedua perintah itu tidak berlaku lagi sesudah 1 Januari 1920 karena peraturan
itu oleh fatsal 131 ayat 6 Indische Staatsregeling tidak di-
pertahankan. Mengenai ping)
takluk
dalam
anggapan
(veronderstelde
(fatsal 29 Staatsblad 1917 no. 12)
onderwer
mana kala Bumiputera
menindakkan perbuatan hukum yang diatur dalam hukumnya go longan Eropah tapi „tidak diatur'’ dalam hukum yarïg berlaku untuk golongannya, maka takluk sedemikian itu hanya berakibat bahwa lalu hukum tentang wissels, orderbriefjes dan surat laku atas Bumiputera itu.
^
serupa itu ber
II. Dalam alam peradilan Pribum i (Inheem se rechtspraak) di daerah yang langsung di bawah perintah gubernem en (rechtstreeks bestuurd gebied). A . 5. T entang alam ini yang meliputi — kecuali pembatasan oleh atau berdasarkan ordonnantie — penduduk Bumiputera Aceh Raya dan Singkel seluruhnya ; Tapanuli Utara, Nias dan Padang Lawas ; Korinci dan Mentawai ; Bengkulen luar ibu kota ; Palembang luar ibu kota ; Jambi luar ibu kota ; bekas Kesultanan l.ingga Riauw ; Kalimantan. Barat di bagian yang langsung di bawah j>erintah gubernemen, luar ibu kota ; M ahakam H ulu dan Pasir ; Gorontalo ; Laikang (ditambah beberapa masyarakat adat) ; Maluku yang langsung di bawah perintah gubernemen (kecuali ibu k o u Ternate, Banda, Am bon dan kepulauan Oliaser) dan Lombok, ma lta di situ yang berlaku ialah hukum sipil adat, hukum pidana adat dan hukum acara adat, sepanjang tidak diganti dengan ..algemene verordeningen” 'atau (mengenai hukum pidana dan hukum acaia) tidak diganti dengan „residentsverordeningen” , ke>emuanya yang dengan tegas dinyatakan berlaku dalam lingkungan situ (iatsal 130 dan 131 ayat 5 „Indische Staatsregeling” ) . 6.
Ordonnantie tertanggal 18 Pebruari 1932 Staatsblad no. 80
yang terakhir diubah dengan ordonnantie tertanggal 23 Juni 1938 Staatsblad no. 371 dengan daftar nya dan peraturan pelaksanaannya (residentsverordeningen) mengatur lingkar (omvang) berlaku nya hukum adat seluruhnya. B. 7. sun
Menurut hukum tata negara maka p e r a d i l a n du(dorpsjustitie) yang dikaitkan pada peradilan gubernemen
adalah suatu bagian daripada peradilan Pribunu dalam daerah yang langsung di bawah perintah gubernemen ; fatsal 3 a daripada „Reg lement op de rechterlijke organisatie” yang ditambahkan dengan jalan ordonnantie tertanggal 9 Maret 1935 Staatsblad No. 10*. m??nberi kesempatan untuk berlakunya peradilan dusun itu, denman tiada mengurangi keutuhan kekuasaan mengadili (rechtsmacht) hakim gubernemen ; dalam lingkungan peradilan dusun itu yang berlaku hanyalah hukum adat. III.
Dalam alam peradilan landschap (landschapsrechtspraak).
8. a. schap
Mengenai alam ini yang meliputi : kaula
landschap
(landschapsonderhorigen)
daripada
land
dalam Hindia Belanda, kecuali bilamana berdasarkan kon-
trakt atau menurut „zeJfbestuursregelen” kekuasaan mengadili atas kaula itu diserahkan kepada hakim gubernemen (di daeraii swapraja di Jawa hampir semua kekuasaan mengadili diserahkan kepada hakim gubernemen, *) dan di lain tempat kekuasaan m eng adili dalam hal 'perkecualian saja yang diserahkannya) ; b. kaula gubernemen (landsonderhorigen) dalam dua tiga hal perkecualian, yaitu bilamana mereka dulu pada waktu permulaan pemeriksaan perkara adalah termasuk kaula landschap atau bila mana perkara itu mengenai tanah milik yayasan, mengenai rumaii dan tanaman yang lebili dari satu tahun umurnya (overjarig), benda mana kesemuanya yang terletak di daerah landschap situ ; — maka yang berlaku dalam alam itu ialah liukum sipil adat, hukum pidana adat dan hukum acara adat (kadang dalam bentuk „zelfbestuursverordeningen), sepaojang tidak diganti dengan ordon nantie — yang dengan tegas dan berdasarkan wewenang yang diberikan kepada gubernemen menurut „kontrakt” atau „korte verklaring" (kontrakt pendek) — yang dinyatakan berlaku buat alam situ ; dan mengenai hukum pidana dan hukum acara sepanjang tidak diganti dengan „residentsverordeningen'’ (fatsal 12 dan 13 „Zelfbestuursregelen 1938” dan ketentuan yang sesuai dengan itu dalam „kontrakt panjang’ ; bandingkanlah fatsal \\.
21 ayat 2
Indische Staatsregeling).
Daiam alam pcradilan agama (godsdienstige rechtspraak).
9. Hakim peradilan agama yang berkekuasaan mengadili — kekuasaan mana berbatasan dengan kekuasaan hakim peradilan gubernemen — terdapat di Jawa dan Madura, di ibu kota Palembang dan Jambi, di kota pantai di Kalimantan dan di Ternate. Kekuasaan mengadili daripada „syarat ” di Sulawesi Selatan( tidak diakui (lagi) oleh jurisprudentie ; bagaimana halnya di Padang dan cji Ambon, maka rupa nya tiada kepastian. ]0. Dalam alam hakim ini, yang mengadili orang Islam — sepanjang menurut hukum adatnya sekarang dan ordonnantie men^izinkan bahwa perkara nya diadili oleh seorang hakim peradilan agama — yang berlaku bukannya hukum sipil adat buat perkara nya itu» taP* hukum fikih Islam, yang walaupun demikian, dalam beberapa soal telah terpungut (opgenomen) dalam hukum adat (fat sal 13^ ayat 2 Indische Staatsregeling).
i) peraturan istimewa mengenai Aceh. Kalimantan Barat, landschap2 M anado, 'fernate
hampir tiba saatnya untuk dihapuskan (Desember 1938).
II Pack sekarang mi hakim peradilan agama di Jawa dan i Kalimantan 1 enggara itu berkuasa mengadili hanya perkara yan°harus diputus menurut hukum perkawinan (huwelijksrecht) kecuah bilamana Burgerlijk W etboek berlaku a*as perkara itu (fatsal *> a daripada staatsblad 1882 No. 152 (jawa) yang telah ditambah dengan staatsblad 1937 No. 116. dan fatsal 3 daripada staatsblad 1937 No. 6S8 (Kalimantan T en gg ara). 12. Di daerah luar Jawa lain nya maka kekuasaan mengadili daripada hakim peradilan agama itu terdiri dari mengadili perkara antara orang Islam satu sama lain, yang m en u im hukum adat da lam inasing lingkungannya harus diadili oleh hakim peradilan agama. Kiasanyn perkara itu aclalah perkara yang mustinya diadili menurut hukum perkawinan. hukum waris dan hukum wakap.
bab 1. A.
p ertam a. su su n an
ra k y a t.
M ASYARAKAT2 H UKUM DI KALAN G AN
RAKYAT.
Corahs (imam. Bilamana
orang_ meneropong suku
bangsa Indonesia
m anapun
° ; ™ tampaklah d, matanya di lapisan bagian bawah yang .m a t Inasnya, suatu masyarakat yang terdiri dari gerombolan v a n ! bertahan satu sama la in ; terhadap a l a m yang tak ke aiam r
1 .
e'
" n ,
terhadaP dunia 1 dan terhadap rnaka mereka beningkah-laku sedemikian
bo^’ , ' ‘ pS8f UntU, niendaPat gambaran yang se-jelas-’nya geromolan tad. dapat dtsebut masyarakat hukum (rechtsgemeenchapp e n ). Dalam pergaulan hukum maka mereka yang merasa m enjadï anggauta daripada ikatan- itu bersikap dan bertindak sebagai suatu esatuan ; beberapa orang berbuat apa , semuanya beruntung atau merugi , adalah suatu aturan batin yang menyebabkan, bahwa bebe rapa orang atau golongan orang mempunyai hak mendahulu, hak atau kekuasaan : adalah barang , tanah, air, tanaman , kuil dan bangunan yang harus dipelihara ber-sama^ oleh anggauta ikatan, yang harus dipertahankan oleh mereka ber-sama- dan dijaga kebersihannya untuk kepentingan kekuasaan gaib, yang hanya meleka sendiri yang mengambil manfaatnya dengan mengecualikan lain o ra n g ; terjadinya masyarakat itu dialaminya sebagai takdir alam, sebagai sesuatu kenyataan daripada hukum gaib ; tiada seorang yang mempunyai pikiran atau tim bul angan-nya akan keniungkinan membubarkan gerombolan itu ; yang m ungkin buat orang seorang ialah hanya ke luar dari gerombolan atau melepaskan diri dari rangkaian, itupun hanya mungkin terhadap persekutuan yang adanya tergantung dari daerahnya. Ilmu ethnologie pada zaman sekarang telah dapat menemukan gambaran yang jelas mengenai faham asli Pribumi tentang kesatuan yang kokoh dan teratur daripada masyarakat itu, hal mana kadang- dilambangkan dengan wujud manusia dengan dua bagiannya (tweedelingen), empat bagiannya (vierdelingen) dan cara mem-beda-kan lainnya, di mana orang
penjabat pangkat ditetap-
kan kedudukannya dalam organisasi; ilm u tadi aniat besar artinya untuk memahami susunan aival-mula di purbakala daripa'da masya rakat Indonesia yang bergandengan dengan pembeda annya (klassifikatie) alam besar (kosmos) maupun alam manusia.
Benda
keramat daripada masyarakat
misalnya punennya orang
Pagai, pusaka dusun (pusaka Xaman) daripada orang Dayak N ga ju dan Dayak Klemantan, senjata2nya orang Toraja, perhiasan pusaka di Sulawesi Selatan, batu daripada bagian dan di Am bon, marapu di Sumba, lontar desa di Bali dan lain2nya lagi, maka itu semuanya adalah perumahan berwujud benda atau perwujudan daripada daya hidup, ialah daya sakti daripada masyarakat ; kesemuanya itu adalah tanda yang nyata daripada kesatuan masyarakat yang betul ad a; begitu juga rumah persekutuan sopo (Batak), sesat (Lam pung), balai (Melayu), baileo (Maluku), bale (Sunda) dan seterusnya, pula kadang juga perahu masyarakat belan (di kepulauan Kei
dan Aru). Terhadap lebih dari selingkungan hukum (Kalimantan, Bali, Batak) maka pada akhir ini saban perhatian ditujukan kepada maksud pokok yang bersifat peribadatan daripada masyarakat itu, ialah bahwa mereka merasa inenjadi anggauta perikatan itu karena „ m a berwajib menindakkan ibadat sihir (religieus magische verïicKtingen) itu. Dalam masyarakat itu ternyata, bahwa persambungan. kekerabatan, yaitu hubungan antaTa mereka berasal dari keturunan satu leluhur, adakalanya berarti mutlak atau penting, adakalanya tak seberapa ar-tinya atau sama sekali tak berarti, terhadap bentuk susunan masyarakat itu. Di satu fihak masyarakat kecil k u — beserta penghulu rakyatnya dan ketua kerabatnya, pula acapkali beserta sendi nya yang teratur berupa kelas — nampak kepada kita sebagai masyarakat hukum; di situlah hukum adat sebagai endapan daripada kenyataan sosial, dipungut daripadanya dan oleh karenanya didukungnya pu la; di situ pulalah hukum adat dalam proses abadi dibentuk dan dipelihara oleh dan dalam k e p u t u s a n pemegang kekuasaan ( p e n g h u l u rakyat dan rapat ) yang dijatuhkan atas sesuatu tindakan hukum atau atas sesuatu perselisihan. Di lain fihak maka masyarakat itu dengan hak atas tanahnya, dan tanaman nya, atas bangunan nya, benda keramat danlain barang miliknya, nampak pada kita sebagai subyek hukum (rechtssubjecten) yang turut serta dalam pergaulan hukum.
atas air
Bila dirumuskan se-singkat-nya maka persekutuan sebut: gerombolan
itu dapat di-
yang teratur bersifat tetap dengan m em punyai
kekuasaan sendiri, pula kekayaan sendiri berupa benda yang kelihatan dan tidak kelihatan mata. Untuk menginsy&fi bagaimana bentuk dan susunan persekutuan h u k u m di kalangan rakyat di Nusantara ini, maka terutama orang
harus tahu ,akan arti faktor territorial (daerah) dan genealogis (keturunan) bagi timbulnya dan kelangsungannya masyarakat itu. Masyarakat hukum, di mana i'aktor t e r r i t o r i a l , yaitu adanya ber-sama terik.at pada sesuatu daerah yang tertentu — belum atau tidak penting baginya, adalah jarang terdapat dan di' mana ada, keadaannya tak berarti. Suatu misal yang tepat untuk itu ialah suku bangsa Gayo, terdiri dari clan yang berdiam berserak dan hanya terikat satu sama lain oleh hubungan claji. Rini rupa nya keadaan sedemikian itu berubah. Di kalangran banvak suku ban^sa O v O ada tanda mereka juga terikat oleh ikatan clan, lepas apakah mereka mendiami daerah yang sama atau tidak. Masyarakat sedemikian itu mungkin adalah masyarakat territorial belaka, tapi bukannya ma syarakat hukum, bagaimanapun mungkin pentingnya dipandang dari sudut lain. Atau, bila sebutan „bukan masyarakat hukum” ini agak keterlaluan, dapat juga disebut masyarakat hukum (rechtsgemeenschapj>en) tapi yang amat terbelakang kedudukan sosialnya sebagai masyarakat hukum ; misalnya ada tindakan ke luar ber-sama dan teratur hanya pada hari peringatan sesama bapa leluhur yang makamnya merupakan tanda persambungan bagi mereka semuanya. Sebaliknya masyarakat , di mana faktor g e n e a l o g i s tidak berarti — yaitu faktor terikatnya satu sama lain karena keturunan yang sama — di kepulauan Indonesia ini ada banyak. Desa di Jawa, Sunda, Madura, Bali, gampong (meunasah) di Aceh, dusun di daerah Melayu, di Bangka dan Belitung, sebagian daripada gabungan wilayah di Sumatera Selatan, gabungan dusun dan wilayah di Sulawesi Selatan, negorij di Minahasa dan di Ambon — masyarakat itu se-mata bersifat territorial, walaupun hubungannya dengan susunan genealogis di pelbagai masyarakat itu ada terang. Terhadap masyarakat territorial ini harap diperhatikan sekarang juga (lihatlah pula halaman 30) bahwa orang , yang ber-samamendiami dusun atau gabungan wilayah, mereka itu juga merupa kan suatu g o l o n g a n , suatu k e s a t u a n , dengan kekuasaan pembelaannya keluar dan dengan penyusunannya ke dalam. Seseorang yang buat sementara berada dalam rantauan dapat tetap menjadi anggauta masyarakat ta d i; seseorang yang datang dari luaran dapat juga masuk menjadi anggauta golongan itu, tapi untuk ini tidak cukup ia datang bertempat tinggal begitu saja dalam dusun, melaiiïkan orang itu harus juga diizinkan masuk dalam golongati di masyarakat (territorial) itu dan orang itu harus dipungut masuk ke dalam ikatannya, yang dipeliharanya dengan jalan tolong-m eno
long satu sama lain. Kadang dan terhadap beberapa orang (rekanan sendiri) masuknya itu ada mudah, di tempat lain daji terhadap orang lain (orang luaran) masuknya ada sukar atau tak m ungkin sama sekali. Soal sudah menjadinya anggauta masyarakat ,,seja*k dulu kala”, jadi juga terhitung menurut ukuran faktor kekerabatan dan keturunan, adalah faktor penting buat kedudukan anggauta itu dalam masyarakat territorial ini. K e d u a f a k t o r ini, ialah faktor genealogis dan faktor ter ritorial, menetapkan bentuk dan susunan vma di Mentawai, euri di Nias, huta dan kuria di Batak, iiagari di Minangkabau, marga dan dusun di sebagian Sumatra Selatan, suku di Kalimantan, dusun dan gabungan wilayah di Toraja, di Timur Besar dan kepulaua/n T i mor. Maka dari itu penting sekali saban mengenai hasil paduan setempat daripada kedua faktor tadi. Sebeluni melukiskan beberapa misal yang kongkrit, maka dapat ditetapkan garis besar, titik perbedaan umum dan persamaan umum, agar supaya faktor genealogis dan faktor territorial itu lebih terang dapat di-beda3kan dan selanjutnya dapat ditetapkan. Mcngïf/za/ /k a t a n g e n e a l o g i s timbullah per-tamas kebalikan susunan vaderrechtelijk (hukum keturunan fihak bapa) dan moederrechtelijk (hukum keturunan fihak ibu) , susunan parentaal (hukum keturunan fihak bapa dan ibu) dan alternerend (hukum keturunan fihak bapa dan fihak ibu, ber-ganti-) . Bacalah di bagian hukum kekerabatan, halaman 175 dst.). Susunan berhukum bapa (vaderrechtelijk) ialah suatu aturan, di mana persamaan keturunan (keturunan sejati a'tau keturunan dalam anggapan belaka) dari sesama bapa leluhur menetapkan termasuk golongan kaum mana seseorang dalam susunan kekerabatannya, tergolong c l a n atau b a g i a n clan mana ; dan golongan2 itu hidup sebagai kesatuan2 sosial dan oleh karenanya dapat dikenalnya. Nias, Gayo, Batak dan sebagian penduduk Lampung adalah m isal yang tepat buat susunan vaderrechtelijk, di Bali susunan sedemikian jtu masih benar2 kentara nyata, di Maluku dan di kepulauan T im o r ja banyak terdapat pula. Berhadapan dengan itu (di Minangkabau, Krinci, Semendo dan di kalangan sementara suku bangsa kecil2 di T im ur Besar) terclapatlah susunan berhukum ibu (moederrechtelijk) .(hukum keturun an dari fihak ibu ; di sini yang menjadi patokan buat tempatnya
dalam ikatan ialah persaniaan keturunan m enurut garis perem puan dari satu ibu leluliur, dan golongan -yang terikat menuruL sistim itu tadi, ialah bagian d a n , adalah terbesar artinya bagi kehidupan hukum . Pada susunan kerabat satu segi (eenzijdig) itu acapkali terdapat aturan exogam ie, yaitu larangan berkawin dengan sesajwa anggauta clan atau bagian clan. Bilam ana dalam sesuatu masyarakat terdapat kedua macam susunan kerabat itu, yang teratur sosial dan sebagai golongan dapat dikenal terang, sehingga m asing anggauta baik termasuk clan patrilineal (claii bapa) m aupun termasuk clan m atrilineal (clan ibu) , maka keadaan sedemikian itu dalam hukum adat dapat disebut „dubbel unilateraal’’ ; m ungkin buat Indonesia misal buat itu ialah kepulauan T im o r (M o llo di T im o r , suku K odi di Sumba .■') , di Melanesia misal itu akan lebih m udah terdapat. Berliadapan dengan itu, maka di lain tempat, misalnya di banvak daerah di Kalim antan dan Sulawesi, faktor genealogis tidak terda pat di susunan kerabat satu segi (di clan ) , akan tetapi terdapat di susunain dua segi (tweezijdig) atau di susunan parentaal ; di situ maka golongan kerabat baik dari fihak bapa m aupun dari fihak ibu umumnya sama aartinya bagi perhubungan hukum . Dengan jalan „endogam ie” , yaitu berkawin dalam sukunya sendiri (ini bukannya suatu keharusan, m elainkan suatu kebiasaan) maka susunan parentaal sedemikian itu dapat mempertaharikan ikatan nya (ke arah seraua fihak) di dalam suku sendiri. Pada akhirnya ; di daerah seperti Rejang, maka dasar kekerabatan bukannya patrilineal dan bukannya parentaal, akan tetapi dasarnya tergantung dari bentuk perkawinan ; yaitu bentuk perkawinan di m ana anak termasuk clannya bapa (oleh karenanya juga disebut perkawinan hukum bapa = vaderrechtelijk huwelijk) hal mana sama seringnya terjadi dengan bentuk perkawinan, di mana anak termasuk clannya ibu (susunan keraiba*t satu segi „ b e r - g a n t i 2 = a l t e r n e r e n d e'enzijdige verwantenorde, halaman 179 ; di sam ping itu ada lagi bentuk perkawinan ke tiga, di mana anak sama kedudukannya ter hadap clannya bapa dan clannya ibu (tambahan lagi dalam ke adaan yang tertemu memindahkan anak dari clannya ibu ke clan nya bapa juga m ungkin, hal 185. Juga di pulau di sebelah T im u r terdapat beberapa misal daripada susunan „ber-ganti-” (alternerend) itu) . Mengenai
susunan
territorial
dapat
digambarkan
dengan mem-beda2kan tiga bagian, hal mana tidak berarti m em buat tiga golongan yang akan dapat m eliputi keadaan se-nyata2nya, me-
lainkan tiga bagian itu berarti pusa t nya pelbagai bentuk tetap nis itu ialah : masyarakat dusun, dusun (de dorpsgemeenschap,
tiga pusat yang masing2 m enjadi dan bentuk peralihan. Ke tiga jemasyarakat wilayah dan gabungan de streekgemeenschap en de dor
penbon d) . Bilamana satu tempat kediaman kecil menghimpun ummat m a nusia jadi satu di tempat situ sendiri - mungkin dengan m eliputi perkampungan (pedukuhan ) yang berdiri sendiri dan agak jauh dan terpencil letaknya - dan bilamana dalam pada itu penghulu masyarakat dan penjabat masyarakat lainnya semua nyatanya bertempat tinggal di pusat kedudukan di tempat situ juga jadi satu, maka di situlah ada masyarakat dusun yang tepait, ialah misalnya : desa di Jawa dan Bali. Bilamana saban di sesuatu daerah ada beberapa tempat kediaman kecil, walaupun sedikit banyak mempunyai kedaulatan dan pemerintahan kepala nya sendiri sejenis desa tadi, akan tetapi merupakan bagian daripada satu masyarakat yang meliputi bagian itu semuanya, maka di sinilah terwujudnya masyarakat wilayali (streek-gemeenschap) yang tepat; ia mempunyai batas sendiri, pemerintahan sendiri, pula mempunyai „hak pertuanan” (beschik kingsrecht) atas tanah yang belum dibuka sejak dulu kala, terletak di tetigah dan sekelilingnya ladang yang masih dikerjakan atau sudah ditinggalkan ; di dalam lingkungannya maka dusun yang sampai tingkatan yang tcrtentu berdiri sendiri, mempunyai kedudukan dalam organisasi seluruhnya, termasuk dusun tadi baik tempat ke diaman yang pertama, ialah induk dusun, maupun dusun yang pada tingkatan akhirnya berasal dari induk dusun itu, ialah dusun bawahan, misal dari pada masyarakat wilayali (streek-gemeenschappen) yaitu : kuria beserta hutanya di Angkola atau M andailing, tnarga beserta dusi/rmya di Sumatra Selatan. Bilamana masyarakat
dusun yang mempunyai pemerintahan dan
daerah sendiri letaknya bersandingan satu sama lain dan bersama mengadakan perserikatan untuk memelihara kepentingan bersama (membikin saluran air, pertahanan bersama melawan musuh, per adilan) atau memelihara hubungan satu sama lain berdasarkan atas asal mereka, dalam pada itu ada pemerintahannya yang bersifat kerja sama dengan pemerintahan
dusun itu, sedangkan tak ada hak-
pertuanan
(beschikkingsrecht)
pada perserikatan itu, maka itulah
yang disebut gabungan dusun
(dorpenbond); misalnya di daerah
Batak bagian tengah.
^
Jadi, dusun (yang kecil) itu di antara tiga bentuk. tadi adalah suatu pusat hidup daripada masyarakat ummat manusia yang berdiri sendiri atau'terikat dalam persekutuan yang lebih tinggi atau memelihara hubungan dengan lain2 masyarakat2 yang sejajar, secara tak tetap, untuk kepentingan bersama. Mengenai bentuk apa yang dipilih masyarakat- kecil2 itu dalam hal ini, maka faktor ikatan genealogis daripada golongan- pendudok itu besar artinya. Karena beberapa keadaan maka dapat terjadi bahwa bentuk2 tadi tidak mencocoki keadaan- yang senyatanya dan percampuran tangan dari luar menyebabkan bentuk2 menurut hukum adat itu sukar akan dikenal kembali. Di satu fihak terdapat gabungan2 wilayah, ya-ng terdiri dari satu induk daerah kediaman dari mana lain- tempat kedudukan itu menyiar, akan tetapi terhadap si induk tetap bersikap sebagai muda terhadap tua ; di lain fihak terdapat juga dusun2 yang pedukuhan2 nya menjadi sebesar dusun2 sendiri, tapi tak sampai menjadi sejajar penuh terhadapnya. Dalam hal ini, maka nagari di Minang kabau mirip seperti laras di Minangkabau Selatan dulu (suatu gabungan wilayah) . Dusun2 yang digabungkan (lain misal) lambatlaun disebut dusun pula, tapi pada hakekatnya mirip seperti gabu ngan wilayali secara buatan. Masyarakat2 kecil2 yang dalam lingkungannya penduduknya berdiam tersiar dalam kelompok2 rumahkecil, ruraah2 halaman petani — seperti di Madura — menurut adatnya disebut dhisa (d orp), sebagaimana di Sunda gabungan wilayah juga disebut desa. Sebutan2 desa dan nagari dalam arti etymologis adalah mengandung maksud gabungan2 wilayah (streekgemeenschappen). Gabungan2 wilayah yang diakui sebagai swapraja, lalu disebut landschap2 (dan timbuUah sebegitu banyak land schap2 kecil2) . Perlingkupan2 yang tidak banyak secara lazim meliputi gabungan2 wilayah adalah kerajaan2 dan landschap2 yang besar ; juga antara ke-dua2nya ini tidak ada batasnya yang tegas. Dengan mengingat kedua pangkal pengertian ini : beraneka warnanya susunan genealogis dan beraneka warnanya penggolongan2 ter ritorial, maka pada sekarang dapat dibentangkan lebih Ianjut kerja sama kedua f a k t o r 2 i t u yang besar ar tinya sehingga merupakan bentuk dan corak daripada masyarakat tersebut di atas tadi. Kenyataannya adalah begitu rupa, sehingga batas2 daerah territorial itu — biasanya batas2 alam — (boleh dikatakan) memotong golongan2 kerabat dalam territoir itu dari golongan2 kerabat di tempat2 lain ; masyarakat2 hukum genealogis’ tetap adalah bagian2 clan yang berdiri dan terbatas oleh terikatnya
ber-sama2 dengan bumi di dusunnya sendiri atau daerahnya sendiri, suatu ikatan yang malahan terus berlaku atas mereka yang sudah pergi dari tenipat situ sampai sangat Iamanya tapi yang dalam po_ koknya bei*arti hanya buat sementara saja. Di Iain fihak, m aka adanya ber-sama2 terikat pada bumi dusunnya atau daerahnya itulah yang menghimpun golongan2 kerabat yang bersama berdiam di situ tapi satu sama lain bukan sanak-saudara (bagian2 dari pelbagai clan) menjadi satu masyarakat hukum atau satu kesatuan. C la n - itu seluruhnya bukannya masyarakat- hukum, tidak bertindak sebagai kesatuan, tidak mempunyai pemerintahan atau kekayaan sendiri, melainkan
mereka
adalah
golongan
kerabat
yang
bersegi
satu
(eenzijdig) susunan2nya dan berdiam terpencar di seluruh w ilayali, hanya kentara dari nama2nya yang berliubungan dengan
dusun atau daerah
situ
atau dari
leluhur
ya n g
sesudahnya pembanguna/} telah diïzinkan berdiam di dusun atau di daevsk vtu sebagai orang baru. Orang sesama clan dari lain2 tem pat mungkin dengan mudah dapat dipungut masuk dalam susunann>J. ialah karena mereka adalah sanak-saudara sedari awal-m ulanya, akan tetapi sebelum mereka dipungut masuk, maka mereka tetap mggauta dari golongannya sendiri di tempat semula, bukannya ter masuk di golongan kerabat di dusun situ. Kerjasama tersebut di atas, ialah daripada fcfktor geneologis dan faktor territorial mengakibatkan adanya pelbagai jenis susunan rakyat, susunan2 mana kadang2 timbul satu sama Iain berdam pingan di satu daerah ; hal ini akan dapat diterangkan dengan singkat lebih lanjut. Per-tama2 bagian clan ialah sebagai satu2nya golongan yang m en diami sesuatu wilayah (territoir) yang terbatas. Dalam pada itu pa da umumnya ada pergaulan yang ramai dengan bagian2 clan tetangga (w'alaupun andaikata karena cxogamie saija), tapi ke satuan dari pada susunan rakyat, daripada dusun atau daerah hanya terdapat pada bagian clan di wilayah situ sendiri. Misalnya : barangkali di pedalaman pulau Buru. Selanjutnya bagian clan „dalam wilayahnya sendiri” tapi berdiam di situ bersama dengain golongan2 atau perseorangan2 dari clan lain
(disebabkan oleh pergaulan clan2 dan untuk memajukan pergaulan itu ), yaitu mereka yang di wilayah situ tergólong penduduk kelas dua. Dipeilakukan sebagai kelas dua ialah dalam hal turut sertanya da lam pemerintanan wilayali situ, begitu juga terhadap hak2 atas tanaii ; dalam hal2 lain mereka dihargai sebagai sesama anggauta yang dibutuhkan. Misalnya orang- Batak Toba dengan marga-nya yang meraja (regerende marga) dan pelbagai penduduk penumpangnya (penduduk penumpang daripada marga perkawinan dan marga lain)
dan orang2 Rejang dengan perserikatan2 daerahnya,
di mana mereka se clan (bang mégo) mewujudkan satu masyarakat ber-sama2 orang2 golongan semendanya (aangehuwden) dan orang2 luaran lainnya yang sudah menetap di situ (mereka di'sini tidak dapat dikatakan lagi dikurangi tingkat kedudukannya) dalam masyarakat2 sedemikian itu adalah tiga macam rangkaian : rangkaian sanak2saudara, rangkaian sanak2-saudara beserta golongan semenchuiya, akhirnya rangkaian sesama anggauta dusun. Selanjutnya : bagian clan dalam daerahnya sendiri sebagai pen duduk pertama, tapi di sampingnya dan d i
a t a s n y a
ada su
atu bagian clan asing yang mendatang dari luar, merebut kekuasaan dan memerintah sebagai golongan yang berkuasa =
(kelas penghulu
hoofdenstand) dan yang tetap asing terhadap perikatan golongan
penduduk pertama dengan tanahnya, dan penghulu dari golongan inilah
mendapat
(tetap memegang)
jaba-tan „wali
taaiah”
(=
grondvoogd, hal. 85) . Misalnya : Sumba Tengah dan Sumba Tim ur. K eem pat: pelbagai bagian2 clan yang satu sama lain bukan sanak saudara
(atau mungkin
menurut dongeng
asal-usul masih
sanak-saudara tapi tak cukup berartinya buat aturan exogam ie), jadi anak cucu pembuka2 tanah yang pertama, yang masing2 per tama kali menduduki bagian2 tanah sesudahnya oleh pembuka2 ta nah itu di-bagi2-kannya di antara mereka sendiri, dengain demikian mereka merupakan satu masyarakat dengan berdaerah gabungan territoir2 clan itu, yang berbatasan satu sama lain (atau yang dae rahnya dibagi habis menjadi territoir2 cla n ). Misal3 :
beberapa
nagari di Minangkabau, yang terdiri dari daerah2 su ku; beberapa marga di Bengkulen. Kelima : pelbagai bagian2 clain yang tidak bersanak-saudara satu sama lain, yang ber-sama2 mewujudkan suatu masyarakat atas satu daerah yang tak ter-bagi2.' Misal2 : beberapa nagari di Mirtangkabau dan dusun di Rejang.
Masyarakat hukum yang dapat disebut kesatuan daripada susu nan. rakyat menurut misal- tersebut di atas teranglah sennntiasa ter ritorial genealogis campuran. Orang dari luar yang m en datan g dapat masuk golongan masyarakat itu hanya dengan perbuatan rangkap yang tak terpisah satu sama lain, yaitu : m enggabungkan diri dalam ikatan genealogis Pribumi ditambah : berdiam di territoir situ. Pertalian kesanak-saudaraan dan pertalian dengan tanali kedua-nya adalaii penting terhadap susunan masyarakat itu. Di mana susunan kerabat segi satu tak terdapat, jadi di m ana tak ada bentukan clan, tapi kekerabatannya berlaku baik m enurut keturunan bapa maupun keturunan ibu, ma;ka di sana (K alim antan, Sulawesi Tengah) terdapat masyarakat kerabat (suku atau kerabat yang berdaerah sendiri, kerabat itu berdiri sendiri atau di bawahkan suku). *) Demikian juga halnya bilamana orang- yang bukan sanak-saudara karena lamanya berdiam di sesuatu suku dapat m em peroleh kedudukan di masyarakat situ (hal mana disebut „m en-territorial-kan" masyarakat, ini karena sebagai perseorangan dengan perseorangan2 lainnya ber-sama2 berdiam di satu territoir, ja d i bukannva ditetapkan oleh pertalian kesanak-saudaraannya) m aka ang gauta- asli daripada suku Jtu dapat masih lama terus berkedudukan istimewa, lebih= mengenai hak3nya atas tanali, hal mana dapat terlihat terang (Kalimantan). Di-lain2 tempat, walaupun sedari dulu mungkin seseorang datang berdiam dalam sesuatu dusun dan menggabungkan diri sebagai anggautanya dengan tiada halangan suatu apa terhadap soal kesanaksaudaraan, tapi meskipun demikian kekuasaan adat dalam dusun dan hak atas tanali2 yang dibuka semula, dapat tetap di-tanga/n anakcucu (satu sama lain tidak bersanak-saudara) daripada pendiridusun yang pertama (dusun2 di Bali dan mungkin juga di Jawa dengan penduduk2 intinya sebagai kelas satu ; kelas dua dan kelas tiga).
*) Dalam tulisan ini untuk golongan kerabat besar segi satu yang tak tersusun sebagai masyarakat, dipakai sebutan „d an ” dan buat bagian2nya, sebutan : „ b a gian dan” , sedangkan untuk golongan besar — paranteel — segi dua — genea logis, dipakai perkataan „suku” (stam) dan „kerabat” (geslacht) buat bagian 2 nya. Di samping itu perkataan „suku” (stam) dapat dipakai b u a t : suatu gabungan dan2 yang hidup menyendiri. Perkataan „kerabat” (familie) bermaksud susunan kerabat segi satu atau segi dua terdiri dari sanak saudara yang dapat dikenal kembali sebagai kesatuan. „Kerabat” itu dapat bermaksud sama dengan „b agian clan” atau „suku” atau bagian kedl daripada kedua2nya itu, tapi senantiasi lebih besar daripada „keluarga2” (gezinnen).
Akhirnya : ada juga dusun2 dan gabungan- wilayah yang tak bcrcorak susunan kekerabatan sedikitpun dan tak m endahulukan kedudukan anak2 cucu pendiri2 dusun itu, dan di mana pem ilik rumah halaman beserta sedikit tanah pertanian sudah begitu saja ter masuk penduduk kelas satu, atau di mana pembagian kelas2 sama sekali tidak ada. Bagaimana territorial pun juga dasarnya masyarakat- dusun ter sebut tadi, na'nuin sebagaimana telah diuraikan (halaman 3Z) urnmat manusia yang mendiami dusun itu merupakan satu gerombolan (di Bali disebut desa, di Jawa w on g akeh) yang sebagai kesatuan (bukan mengenai bentuknya) sama sekali dapat dipersamakan de ngan isi ni huta, yaitu orang2 dusun seluruhnya di Batak dan dengan laman dusun di Pasemah. Pembagian anggauta2 dalam kelas- itu terdapat di masyarakat2 hukum dalam banyak lingkungan2 hukum; namun patokannya meng(k) elas ini adalah ber-beda2. T a d i sudah disinggung ,,m empunyai tanah" sebagai patokan kelas : mempunyai tanah pertanian beserta halaman, kadang2 mempunyai tanah pertanian tertentu beserta hala man, demikian itu sudah menjadikan pemiliknya „kelas satu" ; hak kelas dua ; yang tak mempunyai tanah selanjutnya tergolong kelas tiga. Rangka ini mcngandung kemungkinan peralihan2 dan corak ragam yang beraneka-warna ; k e l a s p e m i l i k 2 tanah atas halaman saja atau hak atas tanah bukannya tanah2 inti : adalah suatu tanda khas buat Jawa dan Bali. Kedudukan pem ilik2 tanah, yaitu anggauta2 dari ummat manusia yang pada asalnya ge nealogis susunannya, berdiam di suatu masyarakat yang sudah menjadi territorial (misalnya orang2 paung asal di dusun2 campuran di sungai Barito di Kalimantan) rupa2nya berdasarkan atas pokokpikiran tersebut di atas juga. H al sedemikian itu juga terdapat ter hadap kerabat2 pembuka tanah pertama di Minangkabau yang berderajat di atasnya golongan2 kerabat yaing datangnya di nagari di waktu belakangnyi, sedangkan rupa2nya hal ini ada hubungannya dengan kedudukan sesuatu marga yang „meraja” (heersende marga) di tanah Batak. Di banyak daerah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan T im o r timbullah di masyarakat2 lingkungan rakyat suatu k e l a s p e n g h u 1 u (hoofdenstand) — kelas „bangsawan” dan kela-s2 di alam raja2 tak dibicarakan di sirri — yang dipertahankan dengan jalan ; hukum waris Indonesia yang m engandung perkecualian buat kelasnya, pelarangain atas perkawinan pemuda3 penghulu dengan lelaki2 dari kelas yang di bawahnya, pengambilan sebagai bini muda
dari wanita2 kelas bawahan oleh anak2 lak.i bangsa penghulu, dan wanita sesama kelas dijadikan bini tua (hoofdvrouw ). Jum lah w ang jujur atau jumlah wang kemantin adalah, di mana aturan itu ada, buat pemudi2 dari kelas penghulu lebih 'tinggi dari pada buat anak2 perempuan orang kebanyakan, malahan mereka ini dilarang m eminta wang jujur yang ketinggian. Delikt2 (pelanggaran2 dan kejaliatan2) yang diperbuat orang lawan penghulu2 dihukum m e nurut adat lebih berat. Penghulu2 itu memakai nama2 dan gelarJ yang tak mungkin dicapai oleh orang kecil. Pada upacara- adat m aka penghulu2 mendapat hak2 mendahului, berupa ; urutan2 duduknya, macain perkakas tempat hidangannya yang diedarkan, m acam ba gian daging hewan tersembelih yang dipersembahkannya, pula m e reka didahulukan dan diliormati. Caranya penghulu2 diperbolehkan berpakaian adalah lain dari pada caranya rakyat jelata, cara pemakamnya pun lain dari pada orang kecil, dan yang terakhir ini terlarang memakai cara itu. Karena cara2 adat sedemikian itu m aka perbedaan kelas tetap suatu perbedaan sosial yang dirasakan se-liari2 dan banyak aturan2 hukum bertalian dengan itu. Di wilayali2 yang berendogamie dusun atau suku, penghulu2 pun mencari bini di lain2 tempat untuk menegakkan kelasnya (endogamie kelas =
stand endogamie).
Kelas penghidu suku Abung di Lampung, ialah penyim bang, su dah menjadi aturan yang setengah terpendani karena pangkat dan gelar yang lebih tinggi (pepadon) dapat dibeli oleh unium, walaupun di lain2 tempat penghulu2 itu dapat menaikkan derajatnya d e ngan jalan membayar secara.adat kepada lain2 penghulu. Terhadap Sulawesi Selatan asalnya perbedaan kelas itu dikira orang karena susunan clan dahulu kala. R upa2nya a-sas2 klassifikatie primitief juga turut mengakibatkan pembentukan golongan2 dan pembagian2 menjadi kelas-. Patokan umura daripada adanya kelas sedari dahulukala ialah penghambaan dan ketaklukan (dari pihak orang2 yang telah dikalahkan, orang2 yang berhutang dan anak cucunya) . K e l a s b u d a k ( s l a v e n s t a n d ) yang sekarang sudah lenyap, nam un m asih dapat dikenal di banyak masyarakat2, antara lain dari caranya berkawin, jumlahnya wang jujur, diperlakukannya bagaimana di pesta2 adat; juga soal bahwa seseorang berasal dari lain tempat ada pengaruhnya atas hubungan2 hukum, misalnya mengenai tanah. Begitupun ada suku2 bangsa di pulau2 tersebut di mana tak cerdapat kelas penghulu (misalnya suku Toraja yang berbahasa „b a rée”
begitupun juga ada suku2 bangsa yang tai pernah mengenai kelas takiukan dan kelas bu dak; namun tiga serangkai; kelas penghulu — orang kecil atau kelas merdeka (tergantung dari kebalikannya) — kelas budak, terdapat ber-ulang-. Ter-kadang2 di daerah2 lingkungan raja- sedikit banyak ada liubungannya, malahan ada percampuran. antara bangsawan raja bawahan dan penghulu2 masyarakat, namun di sana perbedaan antara kelas penghulu d a l a m masyarakat2 dan bangsawan raja d i 1 u a r n y a kebanyakan masili dapat dikenal kembali. Di Minahasa, di Ambon dan di Uliaser masyarakat rupa-nya tidak (tidak lagi) mengenai perbedaan dalam kelas dengan keduduk an hukumnya masing2, di lain fihak maka pembagian dalam kelas2 ini di banyak pulau di Maluku mengakibatkan bentuknya golongan2 yang satu sama lain terpisah dengan tegasnya dengan nama2nya sendiri dan endogamienya yang tertib (mélmél, rénrén dan iriri di Kei, dan mama, wuhru dan atan di Kisar dan sebagainya) ; perkawinan dengan tak sesama kelas (mésalliance) buat si perempuan — (dulu) — diancam dengan hukuman mati atau pembuangan. Masyarakat2 itu dengan susunannya genealogis territorial beserta pemerintahannya collegial a*tau Ivanya di tangan satu orang (hal mana jarang) dan pembagiannya dalam kelas2, biasanya dapat juga dimasuki orang2 luaran. Memasuki masyarakat2 oleh o r a n g 2 I n d o n e s i a d a r i l u a r , orang2 sesama suku atau orang2 luaran, aclalah suatu proses yang telah ber-abad2 berlangsung. Pertama kali
mereka
mendaitang
sebagai
budak
dan
dengain
demikian
memang membawa darah baru dan menduduki tempat ekonomis yang amat penting, namun sebagai budak mereka tak dapat mema suki inti susunan masyarakat. Selanjutnya ada yang mendataing se bagai sanak-saudara .ipar, Perkawinan2 ambil anak
terdiri
dari
perempuan2 atau
(inlijf huwelijken)
lelaki2.
di beberapa wilayah
justru diselenggarakan dengan lelaki2 dari lain tempat
(mereka
toch
sudali
terlepas
dari
perbudakan dan
dalam
keadaan
bergelandangan).
perkawinan
tadi,
Tetapi,
orang2
luaran
secara
perseorangan dapat pula memasuki masyarakat itu. Di masyara kat2
yang
terdiri
.,dipungut
sebagai
gabungkan
diri
dari anak”
dalam
golongan2 (adoptie)
sesuatu
genealogis, atau
keluarga,
dengan
jalan
jalan
meng-
dengan hal
mana
dalam
hu
kum adat sudah ada aturannya
(di Minangkabau sebagai anak
semang pada induk semangnyd)
dalam pada itu disajikan sela-
matan makan kepada penghulu2 dusun dalam rumah majikannya.
Juga masyarakat- territorial, sebagaimana sudah diuraikan, tetap menolak masuknya orang2 luaran ke dalam gerombolan manusia itu. Orang yang hanya tinggal di daerah masyarakat, dapat m enjadi penduduk sementara atau tetap — namun terhadap masyarakat sa ma dengan orang luaran yang bertempat tinggal di luar masyarakat , ia dikertakan pemerintahan atasan (dari raja .atau gubernem en) yang juga melingkupi masyarakat itu ; ia dapat dengan jalan perjanjian memperoleh hak menikmati (genot) atas tanah masyara kat (hal. 79) ; penghulu2 rakyat dapat menanggung keselamatannya terhadap masyarakat asalnya atau yang dikira asalnya, nam un kedudukannya tetap berlainan sama sekali dengan kedudukan orang yang sudah dipungu’t masuk dalam gerombolan orang- dalam masyarakat itu dengan aturannya tolong-menolong bertimbal-balik. Misalnya penduduk- preman Pribumi di Minahasa dan di A m bon berada di luar masyarakat, sebagaimana juga biasanya priyayi di Jawa, yang kada-ng® bertempat tinggal dan mempunyai tanah dalam desa situ, walaupun tentang hal ini ada perobahannya di A m bon. U n tu k dipungut masuk dalam ikatan adat harus ada izin dari pem erintah masyarakat situ, Kadang2 permintaan izin itu harus disertai dengan persemfrvahan adat, terdiri dari nasi dan seekor ayam atau wa,ng (wang adat); juga sesudah diberi izin untuk menetap itu liarus ada selingan beberapa tempo, sebelum ia dimasukkan dalam ikatan adat. Dalam dusun2 di A m bon orang sampai lama tetap asing, b u m sesudah beberapa turunan maka anak cucunya itu boleh dikatakan dengan diam2 memperoleh kedudukan sebagai sesama^ anggauta dusun, kecuali bila agamanya lain (orang2 Islam di dusun- Kristen) , maka mereka buat se-lama2nya tak akan di anggap sebagai sesama anggauta. Begitu juga misalnya tidak mungkin seorang Indonesia tidak beragama Hindu menjadi anggauta sesuatu dusun di Bali ; dan bila ada kejadian kepindahan dari orang Bali beragama H in d u ke agama Kristen, maka yang menimbulkan pertengkaran ialah bahu-a orang2 Bali Kristen tadi berkehendak tetap menjadi anggauta, tapi tetap ditolaknya oleh masyarakatnya. Bila terjadi seseorang dari luaran sudah terpungut masuk dalam ikatan adat, maka karenanya haruslah ia memiliki penuh beban2nya dan memperolehlah ia hak2 penuh sebagai lain2 sesama anggauta. Demikianlah keadaan seluruhnya di Aceh, Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, M inahasa dan Am bon tentang ini. Misalnya pemasukan orang2 Jawa ke Sum atra Selatan makin lama makin banyak secara demikian. Pemungu-tan masuk dapat terjadi secara perseorangan atau secara gerom bolan, karena dalam lingkungan2 hukum yang ber-masyarakat2 wilayah ke pada orang2 asing sesudah membayar wang adat diberi izin u n tu k
mendirikan dusun. Karei?a anggauta2 masyarakat sendiri ter-bagi2 menjadi perbagai golongan atau kelas dengan ber-beda2 haknya, maka kedudukan orang baru itu tergantung dari jawab pertanyaan : kira*3 ia dulu termasuk golongan apa ; ini belum ada keputusan apa2 di waktu ia dipungut masuk ikatan adat itu. Apakah ia dapat dipilih menjadi penghulu, atau apakaih ia dapat memperoleh „hak milik” atas 'tanah dengan keharusan memikul beban2nya, apakali dia turut mendapat bagiannya dari hasil2 „beschikkingsrecht” , malahan apa-kah dia termasuk golongan yang berhak diundang, maka , hal2 ini kesemuanya tergantung dari persetujuan2 di belakang. Tentang jatuh ke s u s u n a n rakyat concreet yang mana daya faktor2 genealogis dan territorial, perbedaan kelas dan pemasukan orang- asing, nanti pada akhirnya, maka hal ini ter gantung dari banyak keadaan2. Di satu fihak tergantung dari perjalanan nasibnya masyarakat sendiri sebelum, di waktu dan sesudali lahirnya, pula dari reaiksinya terhadap dan penolakannya melawam pengaruh2 dari luar. Faktor besar yang mendorong ke perubahan ben tuk ialah pengembaraan ke luar, yang disebabkan oleh pelbagai alasan (keinginan untuk berdiri sendiri, kekurangan hasil2 hutan atau kekurangan tanah, permusuhan kerabat lawan kerabat, dan sebagainya). -Keadaan2 yang dijumpai oleh gerombolan yang mengembara ke luar itu, ialah : daerah tak bertuan atau daerah yang sudah diduduki orang ; masyarakat2 ummat manusia yang bersikap musuh atau sahabat; lembah2 sungai, pulau2 atau tanah datar, ini kesemuanya dapat menjadikan salah satu faktor ya;ng berpengaruh atas bentuknya masyarakat itu. Di lain fihak untuk itu pada umuninya adalah juga suatu faktor yang menentukan, ialah susunan dari induk masyarakat pada saat pengembaraan. Pergaulan dengan orangasing yang makin lama maikin ramai dan oleh karenanya perubahamdaripada kebutuhan2 ekonomis dan daripada cara berfikir tentang peribadatan, kesemuanya itu tetap menyebabkan perkisarain, walaupun per-lahan2 tapi selalu. Pengembaraan besar2an mengakibatkan kolonisasi, ialah pembentukan masyarakat2 orang2 luaran pada awal-mulanya, di-tengahrakyat yang sejak purbakala berdiam di sesuatu wilayah (yaing juga disebut penduduk asli). Orang2 kolonis tadi hidup dalam masyara kat2 dan dalam pada itu di lingkungan rakyat dapat dikenal sebagai golongan2 yang
tersendiri.
Pekerja2 Jawa daripada
perkebunan2
yang besar2 hampir selalu bertempat tinggal berkumpul dalam kampung2 sendiri, sebagaimana orang2 Jawa yang berboyong secara besar2an
dan
dengan
bantuan
pemerintah
ke
Sumatra
Selatan
(Gedongtataan dan sebagainya). Namun juga tan pa percampuran tangan pemerintah orang2 Indonesia berpindah dalam rom bongan2 besar ke lain5 tempat. Koloni2 Minangkabau di pantai Barat A ceh, Koloni T oba sejumlah 15.000 jiwa di Tapanuli Selatan (Sayurmatinggi), orang2 Bugis di Bali dan Lombok, orang2 Banjar di Indragiri dan sebagainya. Mereka datang menetap dalam susunannya sendiri dengan penghulunya sendiri (tapi yang sudah dirobah karena pengembaxaannya yang jauh) dalam daerah tak bertuan atau m en desak lambat-Iaun penduduknya asli ke luar, atau juga mereka se bagai orang2 asing mengakui kekuasaan dan hak daripada penduduk yang mendahulu, yang tanahnya tetap mereka diam i sebagai masyarakat2 berdiri sendiri, m isalnya: orang Minangkabau (orang2 pengitlu) di tengah2 suku Batin di J a m b i; orang2 kolonis T o b a dan Karo di tanah Dairi, orang2 Dayak Maanyan Siung m erupakan g o Iongan Bantai dalam masyarakat Dayak Lawangan, dan seterusnya. Proses perobahan dalam ketertiban dusun itu kadang2 'iftendapat dorongan berwujud percampuran tangan daripada kekuasaan2 fihak luaran atau fihak Pribumi, yang melarang bertempat tinggal di pegunungan2, yang mengaaakan bagian2 territorial, yang m em berikan tanah2 „lungguh”, yang menarik biaya2 dan m enuntut kerja rodi, yang membela kepentingan secara m elam paui batas pengertian masyarakat, yang menempatkan pegawai2 di samping dan di atas penghulu- rakyat dan yang mencoba memberikan kepada p engh ulu2 rakyat suatu kekuasaan jabatan yang tak sesuai dengan im bangan2 adat. Orang harus axnat ber-hati2 dengan gambaran2 tentang perkem bangan dan pertumbuhan masyarakat2, gambaran2 mana yang berpangkal jauh di zaman lam pau; gambaran2 sedemikian itu seharusnya ditunda dulu sampai kita akam mengetahui sekedar dari zam an kultur yang lampau dari keadaan dan tujuan kulturnya bangsa2 yang be-ribu2 tahun yang lampau memasuki kepulauan Indonesia ini. Sebagai dasar pengalas umtuk apa yang dalam buku ini akan diuraikan tentang hukum tanah dan hukum perhutangan (grondenen schuldenrecht), pula untuk penetapan dan pemegasan daripada apa yang tadi telah disinggung dalam garis besarnya m engenai susuan rakyat, maka berikutnya akan ditinjau lebih jauh
kesatuan2
susunan rakyat di beberapa lingkungan hukum dan anak lingkungan hukum di kepulauan Indonesia ini dalam garis2 besarnya — d a la m pada itu akan selalu dipakai sebutan2 „masyarakat”
(de gem een
schap) , „kerabat” ( = de fam ilie), „clan” , suku (de stam) kerabat atau kaum (het geslacht) dan „penghulu2 rakyat” ( — de volkshoof-
den) — susunan2 rakyat yang meskipun ada penyimpangan2nya dan bentuk2nya istimewa dari kehidupan praktis, namun masih dapat dikenalnya kem bali; dalam pada itu akan sekedar dapat temyata juga bagaimana beraneka warnanya dan penjelmaannya masyara kat2 dalam beberapa lingkungan hukum. Urutan membahasnya diatur sedemikian rupa sehingga masyara kat2 di mana faktor genealogisnya berlaku terkuat, didahulukan, dan di mana se-mata2 faktor territorial berlaku, diperbelakangkan, T im ur Besar adalah dianak tirikan dalam hal ini, karena sebab2 yang ter sebut dalam antax kata. B.
Bentuk1 khitsus.
1. Menurut patokan yang sudah kita tetapkan buat urutnya, maka harus didahulukan pembicaraan mengenai masyarakat G A Y O Ba gian clan yang tersusun atas hukum bapa dan exogaam ini adalah masyarakat hukum (rechtsgemeenschap) ; rakyatnya berdiam tersebar dalam kelompok2 yang terdiri dari keluarga2, yang kadang2 sondiri, tapi kebanyakan bersama kelompok2 keluarga dari lain bagian clan (kampong) mereka ber-sama2 mewujudkan suatu dusun, tem pat kediaman bersama. Di situ tak ada kekuasaan, selainnya kekuasaa-n kepala bagian clan (reujeu) atas anggauta2nya (saudeureu), tidak ada pertalian selainnya pertalian sesama anggauta satu sama lain. Mengeni Gayo Luëus pernah ada terbaca bahwa bagian clan di bawah reujeunja. dulu mempunyai lingkungan2 pengaruh terri torial yang lebih luas dari pada luasnya tanah2 yang sudah dibuka oleh saudeureunya. Oleh kekuasaan di Aceh maka dulu diangkat kepala2 untuk mengepalai daerah2, dengan sebutan kejuron (keujru'ên) ; maka karena kekuasaan Belanda kejuron itu — se-tidak2 nya kejuron petiambang di Gayo Luëus dengan dewan reujeu céq berasal dari daerah atau landschapnya — sekedar kekuasaan yang nyata, sedang masing2 reujeu diberi bagian suatu distrik sebagai daerah kekuasaannya, dalam daerah mana dia oleh kelompok2 kelu arga dari golongan bagian clan lain yang berdiam di situ diakui se bagai kepal? distrik dan rupa2nya Iambat-laun juga sebagai kepala (penghulu) adat. Reujeu (céq) dalam pemerintahan adat dibantu oleh petuè buat urusan2 kedunawian dan oleh imeum buat tirusan2 agama ; di Gayo Luëus ia membawahkan kepala2 daripada bagian2 kaumnya, ialah reujeu mudeu dengan tmeumnya dan xvakélnya. sendiri. Dengan tertib diadakan permusyawaratan dengan sesama anggautanya. Su-
ku bangsa kedua yang, tersusun serupa itu adalah orang2 P U B IA N d\ Lampung. Ketiga clan (m erga; di lain tempat2 di Sumatra Selatan „m erg a ” berarti masyarakat daerah, streekgemeenschap) berdiam bercam puran di dalam daerah yang diduduki suku bangsa Pubiain. M ereka ter-bagi2 menjadi bagian2 clan (kabuaian) yang dapat ter-bagi2 pula menjadi kerabat2 besar (suku). Dalam sebuaJi dusun (tiuh) m un gkin ada berdiam suku dari pelbagai merga, malaihan juga bagian2 daripada suku yang cenderung akan merdeka berdiri sendiri. Penghulu2 (kepala2) yang sesungguhnya (lebih tepat : „ketu a2” ) adalah penghulu2 suku (panyimbang) ; kabuaian di bawahkan oleh paksi, sekali tempo oleh panyimbang2 ber-sama2. Ja
di mana di susunan rakyatnya terdapat persamaan yang luar biasa dengan Pubian. Juga di sana bagian2 clan berhukum bapa yang disebut suku, berdiam
bercampur dalam
suatu „landschap” ,
suatu
masyarakat wilayah (streekgemeenscha'p) yang diurus oleh peng hulu- suku bersama di bawah pimpinan seorang dari mereka, ialah datuk pamuncak. Segumpal daripada bagian clan yang berdiam dalam suatu kam pong dipimpin oleh seorang kepala kerabat yang ditunjuk oleh datuk, dan kepentingan2 kampong seluruhnya diurus oleh kepala2 itu bersama. Di sana-sini faktor territorial ada peranannya akan tetapi sangat sedikit artinya. Demikian juga di kalangan rakyat pen duduk kepulauan L IN G G A R IA U , yang berdiam tersiar di banyak pulau kecil2 terutama dalam pertaliannpa genealogis di bawah pengurusan kepala- (penghulu2) bagian2 clan — sering disebut suku — sedang gerombolan2 genealogis itu tak menduduki daerah territoirnya sendiri. 2.
Bentukan suatu bagian clan di daerahnya sendiri rupa2nya
terdapat di bagian2 pedalaman di banyak pulau2 kecil2 (E N G G A N O , B U R U , SER AM , FLORES) . Di pantai2 timbullah dusun2 campuran, terdiri dari kerabat2 pelbagai clan yang mengembara dari pejdalaman, pula dari- orang2 asing yang mendatang dari seberang laut. Di IR IA N ialah di daerah pedalamannya yang dikunjungi orang buat pertama kali, terdapat suatu clan di daerahnya sendiri (clan kanguru : Kauwerawet (clan babi dan seterusnya). Dalam kepindahannva ke pantai itu maka gerombolan2 genealogis kecil- itu (kérét) mempertahankan kemerdekaannya sendiri2, mereka di sana menduduki tanah se-mata2 buat mereka sendiri, walaupun meieka berdiam ber-sama2 kerabat2 dari clan2 lain dalam dusun yang diperintah oleh seora-ng kepala dusun, korano, tapi yang hanya mem punyai sedikit kekuasaan atas orang2 yang bukan anggauta clann^a. 3. Bentuk terdiri dari bagian2 clan yang bukan karib satu sama lain tapi ber-sama2 mewujudkan suatu masyarakat territorial adalah terutama terdapat di M IN A N G K A B A U . Sesama anggauta clan berhukum ibu yang tidak berdiam di nagari yang sama, tidak me wujudkan masyarakat hukum, tidak mempunyai pemerintahan ber sama, tidak berkekayaan bersama. Masyarakat2 hukumnya adalah . per-tama2 kerabat (bagian clan) dalam dusun ; kerabat2 itu adalah setengah sesama clan dan setengahnya lagi tergolong pelbagai clan , kerabat2 sesama clan menjadi merdeka berdiri sendiri sesudah memecah-belah diri ; selanjutnya kadang2 (tidak di mana2 tempat)
gabungan2 daripada kerabat2 semacam itu yang setengahnya bukannya golongan clan2 yang bersanak-saudara; ketiga: negari yang terbentuk dari bagian2 clan, yaitu kerabat2 yang terhixnpun atau tak terhimpun dalam gabungan. Clan2 Minangkabau itu mempunyai nama2 sendiri, sebagaimana juga clan2 Gayo, Pubian dan banyak clan2 lain nya lagi. Tidak ada suatu lukisan mengenai Minangkabau yang tak m em ulai dengan peringatan : jangan menyamaratakan ; di sini peringatan itu lebih tepatnya daripada di lain tempat, sehingga di sini hanya garis2 pokok2 saja yang digoreskan. Bilamana orang dalam angan2 mencoba menggambarkan dengan jalan mencipta pertumbuhannya dari bawah, maka haruslah orang memulai dengan menciptakaai sebagai bahan: beberapa clan, umpama 2 4 ; pada saat yang tertentu maka datang berdiam perempuan2 dari pelbagai clan (dengan saudara2nya lelaki dan suami2nya) baik di daerah tak bertuan, m au pun di tanah yang belum terbuka, dalam lingkungan „beschikkings recht” 'suatu nagari. Lambat-Iaun bertumbuhlah dalam tempat kediaman situ kerabat2 itu, demikian juga bertumbuhlah tempat kediaman itu sendiri. Pertama golongan2 sanak-saudara; perempuan2 itu, yang dapat diparulang sebagai nenek2 moyang tempat kediaman, m enurunkan Iterabat- dan bagian? clan yang berpusat pada m ilik kerabat (ta nali2, rumah, banmg- berharga, gelar kerabat daripada kepala kerabat) . Sebuah kerabat (sa buah paruiq) hendaknya digambarkan dalam pikiran sebagai rumah kerabat sendiri, dengan lelaki yang tertua daripada keturunan yang tertua pula sebagai kepala kerabatnya. Bilamana kerabat itu menjadi kebesaran, maka didirikan sebuah rumah kerabat baru, di mana sebagian kerabat berpindah untuk bertempat tinggal, sementara masih merupakan satu masyarakat dengan bagian2 kerabat lainnya; dengan jalan demikian (di belakang terutama meluas ke rumah2 keluarga) meluaslali kerabat itu m eliputi nagari (atau mereka berpindah ke lain2 tempat dan tiba di luar m a syarakat) . Kepala daripada segenap kerabat tetap adalah lelaki ter tua daripada keturunan yang tertua, kecuali bila ia dikesamping-kan karena tidak cakapnya. Dalam kedudukannya itu ia ikut serta dalam pemerintahan dusun dan disebutnya pengulu an diko; hanya bilam a na kerabatnya sudah menjadi kebesaran atau bila orang2 baru da lam kerabat itu membentuk gerombolan baru yang ingin berdiri sendiri, maka dapa/t terjadi pemisahan, dan kedua bagian itu m asing2 dibawahkan oleh penghulu andikonya sendiri. Dalam kerabat serupa itu kadang2 terdapat banyak atau sedikit atau sama sekali
tiada cabangnya, yang sedikit banyak merupakan masyarakat berdiri sendiri rpengerumuni barang2 warisan bersama berasal dari perempuan atau lelaki yang meninggalkannva sebagai barang2 hasil usahanya sendiri semasa hidupnya, pula mereka mengerumuni bagian2 barang2 pusaka kerabat yang diserahkan kepada mereka untuk dipakainya (hal. 221) . Cabang2 kerabat itu kerapkali (tapi tidak di mana2 tempat begitu) ada di bawah pimpinan ketua2nya sendiri, ialah mamak kepala waris atau tungganai. Pengulu andiko itu merangkap mamak kepala waris cabangnya sendiri; di mana cabang2 kerabat tak mempunyai mamak kepala waris sendiri, maka pengulu andikolzh di masing2 cabang memangku kedudukan itu. Bila ada orang2 baru — orang2 Minangkabau — mendatang dalam nagari maka walaupun sebelumnya itu harus dipungut masuk lefbih dulu dalam sebuah kerabat yang telah berdiam di situ, mereka di belakang kebanyakan membentuk- masyarakat tersendiri, dilanjutkan oleh perempuan2 daripada golongannya itu. Lamanya masa berdiam sesuatu kerabat dalam suatu nagari tetap membawa pengaruh atas kedudukannya kemasyarakatan, makin lama makin terkemuka. Orang2 asing, ialah orang2 Indonesia bukan Minangkabau (yaitu orang2 Nias) dibiarkan dalam kedudukan tak bebas ; apa yang disebut golongan- budak, ialah kemenakan di bawah lutuiq adalah di bawaih perintah sebuah kerabat Minangkabau. Selagi bertumbuh golongan2 kerabat itu, maka bertumbuh terus pula kampongnya, ialah tratraq menjadi dusun dan dusun menjadi kota, itupun karena didirikannya di situ rumah2 yang kokoh kuat, dan kota menjadi tiagari, itupun karena telah didirikan rumah dewan sendiri (balai), tempat mandi (tapian), tempat penyabung ayam jantan (galénggang) dan sebuah rumah sembahyang sendiri, kesemuanya menandakan terang bahwa golongan2 manusia di situ sudah menetap dengan kokohnya dan bahwa manusia dan tanah sudah bertumbuh menjadi satu sebagai suatu kesatuan berdiri sendiri dengan nyata. Bilamana lembaga2 itu ada semua dan bilamana berdiam paling sedikit empat golongan2 yang bukan se clan di dusun situ (nagari baampég suku) suku3 mana mempunyai daerah „beschikkingsrecht sendiri terpisah satu sama lain, maka dusun itu diakui sebagai nagari, dengan pe merintahan sendiri dan dengan pemisahan dan pembatasannya dae rah „beschikkingsrecht" umum milik nagari itu, pengakuan mana dilangsungkan dengan upacara2 adat. Susunan dan pemerintahan dalam nagari selanjutnya memecah menjadi dua tokoh, yang keduanya terbelah dan terikat oleh sejumlah banyak bentuk2 peralihan. Menurut adat Bodi yang berlaku terutama di Agam maka pengulus andiko
Caniago (kepala
kerabat)
ber-sama2 dan atas persamaan kedudukan memegang pe-
merintahaji dalam suatu nagari. Kerapatnn nagari itu adalah kekua saan yang tertinggi. Bagian dan dalam arti sejumlah kerabat3 yang tergolong satu dan tapi berdiri sendiri berdampingan satu sama lain, di sana disebut suku. Pemecahan kerabat menjadi dua bagian ter dapat kerap kali. Sebaliknya bagian2 d a n (di sini disebut kampuanS)> terdiri dari kerabat2 yang berdiri sendiri, di T anah Datar dan Limapuluh kota menurut adat Kota Piliang terhimpun dalam gabu ngan2 meiiputi 4, 5, 6, dan 9 bagian2 d a n termasuk golongan sekian clan pula yang terdiri dari kerabat berdiri sendiri, atau tidak ; gabu ngan2 itu di sana disebut suku misalnya suku „ nart am peq” dan se bagainya, namun kadang2 mempunyai juga nama d a n daripa-da clannya kepala suku. Dalam kebanyakan nagari m aka dari kebanyakan clan2 itu ada anggauta2nya di situ ; mereka jauh dari pada selalu terhimpun secara sama seperti gabungan empat, lima, enam dan gabungan2 sembilan tersebut tadi. Pengulu andiko dari pada suatu suku memerintah atas suku itu dan dia sen-diri dipim pin oleh seorang pengulu su ku ; empat pengulu suku itu di bawah pim pinan seorang kepala dusun (pucuq nagari) memerintah atas nagari itu, dengan pengulu andiko tadi. Kepala2 suku di samping oleh manti tiuat urusan pemerintahan umum, oleh dubalang buat urusan polisi dan oldi malim, buat urusan agam a; mereka dengan pengulu merupakan
urang
ampeq
jinih.
Pengangkatan
dan
pemberhentïan
pengulu andiko dalam hukum adat diaitur dengan panjang lebar. Susunan Minangkabau yaitu : gerombolan2 genealogis yang sedari dulu ber-sama2 mewujudkan suatu masyarakat, maka per-tama2 su sunan itu cocok dengan susunan di. K R IN C I. Juga di sana ada lah golongan2 sa n aW u d ara berhukum ibu (lurah, kelebu, perut) yang karib atau tidak satu sama lain, ber-sama2 merupakan dusun diliputi oleh masyarakat wilayah mendapo. Serupa itu juga diberitakan orang terdapat di kalangan suku B A T I N d i Jainbi. Masyarakat- wilayah territorial (atau gabungan2 dusun)
di pulau N IA S
termasuk tokoh sedemikian rupa ju g a ; di sana bagian2 daripada pelbagai dan, mado atau gana, baik menetap di satu tempat, baik tinggal terserak di suatu wilayah (di sini mirip tokoh pertama, hal. 40 41) berada di bawah kekuasaan pemerintahan euri, yang bersifat pemerintadian gabungan atau pemerintahan masyarakat wilayali ; dusun2 itu terdiri dari bagian2 dan tersusun menurut hukum bapa di bawah pimpinan kepala2 kerabat, di antara mana seorang m enjabat kepala dusun. Selanjutnya negory di jazirah H I T U
(A m bon)
adalah terbentuk dari masyarakat2 hukum
genealogis (rumatau)
yang menurut hukum bapa susunannya, sedangkan misalnya di kepulauan Kei juga bagian2 clan berhukum bapa pula yang mewujudkan dusun2 di situ. Mereka setengahnya adalah golongan pendu-duk asli dan setengahnya golongan orang* luaran bangsa Indonesia yang mendatang di belakang dan berhasil dapat merebut kekuasaan pemerintah dusun. Kepala dusun, orang kaya mempunyai hanya sedikit kekuasaan atas kepala2 kerabat (kepala soa). 4. Sebagai tokoh ke 4 daripada susunan rakyat menyusul sekarang masyarakat2 hukum suku bangsa B A T A K . Juga di kalangan mereka terdapat golongan- genealogis ialah clan2 atau bagian2 clan exogaam dan tersusun menurut hukum bapa, yang mendiami daerah nya sendiri. Golongan2 itu tersusun menjadi lapisan2, yaitu dusun kerabat, masyarakat wilayah bagian clan dan daerah clan, tetapi de ngan tanda ciri istimewa seperti tersebut di atas, ialah bahwa dalam sesama masyarakat itu senantiasa atau liampir senantiasa juga ada berdiam anggauta2 daripada clan2 lain, walaupun dengan hak2 yang kurang, yaitu : salah seorang dari mereka tak dapat menjabat penghulu masyarakat, mereka tidak ada hak milik penuh atas tanah per tanian dan halaman yang didudukinya, namun kedudukannya sede mikian rupa sehingga mereka harus dianggap sebagai anggauta2 ma syarakat hukum itu, clan termasuk isi ni huta. Mereka yang menjadi keluarga semenda terkemuka mewakili golongan2nya dalam pemerintahan dan kebanyaikan dapat mendirikan dusun sendiri dalam ma syarakat wilayah (walaupun kedudukan dusun2 itu seluruhnya ada lah tetap : tempat buat penduduk penumpang saja), namun mereka karena lamanya berdiam 'ber-sama2 mempunyai kedudukan yang amat kokohnya. Clan2 atau bagian2 clan Batak disebut marga, dan bagi an2 clan yang di sesuatu daerah adalah „tuan rumah” kebanyakan (di bagian Selatan tidak) disebut marga tanah. Dalam bahasa Belanda disebutnya „heersende” atau „regerende” marga (marga yang menguasai atau marga yang memerintah) berhadapan dengan orang2 dari marga lain (penduduk penumpang) yang di sebelah Utara dise but parrippé. (Di sebelah Selatan maksudnya parrippé ialah kelasrakyat, berhadapan dengan kelas penghulu). Dengan menerobos perhubungan antara m-arga tanah dan penduduk penumpang berlakulah lain perhubungan yang ada pertaliannya dengan perhubungain tersebut pertama tadi dengan cara tertentu, yaitu : marga yang menyerahkan wanita2 terhadap mereka yang menerima wanita2. Masing2 marga mempunyai „langganan” tetap dengan marga lainnya yang mengakibatkan, bahwa dalam prinsipnya pemudi2 dari satu marga dikawinkan dengan lelaki2 dari marga yang lain itu. Jadi
yang pertama itu adalah marga yang menyerahkan wanita2 (di T o b a disebut hula-hula, di sebelah Selatan : mora, di lain2 tempat disebut lain p u la ), yang kedua ialah marga yang menerima wanita2, boru (beru) namanya. Perhubungan ini tidak boleli bertimbal-balik, maka dari itu istilahnya : asymmetrisch connubium. Jadi marga yang .ke dua itu membutuhkan marga nomor tiga lagi sebagai borunya atau marga yang menerima wanata2nya ; marga ïtu sendiri dengan dem ikian menjadi hula-hulanya marga nomor tiga tadi. Begitulah dapat digambarkan dalam pikiran suatu Hngkaran menangkup daripada ti ga marga atau lebih. Maka suatu lembaga yang sering terdapat ialaJi bahwa marga borunya marga tanah di sesuatu daerah, dalam dusun ada perwakilannya sebagai marga yang menumpang (pertama) atau „ (eerste) bijwonende marga” , maka dalam pada itu kadang2 disebutnya : marga perkawinan (trouw m arga); malahan di bagian Se latan misalnya adalah satu syarat untuk dapat diakui sebagai huta yang berdiri sendiri ialah bahwa harus marga borunya. raja sudah ada perwakilannya di dusun situ (namanya orang2nya : bayo-bayo na godang) (bandingkanlah ini dengan syarat bahwa negari di M i nangkabau harus memuat empat suku). Karena hula-hula itu m em punyai keunggulan hidup yang tertentu atas borunya., maka di sini letaknya keta.klukan.nya yang rangkap daripada boru : sebagai marga PjMwxvma perempuan2 dan sebagai marga penumpang. D i beberapa daerah (Padanglawas) maka hula-hula daripada marga tanah kap keunggulan hidup sebagai sesuatu marga tanah, akan tetapi di (marga berkuasa) mungkin juga adalah marga penumpang, maka di sini keunggulan hidup marga ini sebagai hula-hula tidak merangsini kekuasaan hula-hula toch kalah dengan kekuasaan boru-nya, karena marga pertama ini hanya penumpang dan karenanya tergantung pada boru nya yang berkedudukan marga tanah itu. D alam kenyataarmya perhubungan2 dalam hal ini sangat ruwetnya karena adanya persimpangan2 dan perkecualian2 yang beraneka w am a, tapi orang tahu, bagaimana „sebetulnya” susunan itu menurut mestinya. Sebaliknya bila membaca lukisaji tentang anak lingkungan hukum ini, orang berpedoman pokok pikiran bahwa masyarakat hukum se bagai kesatuan daripada susunan masyarakat, adalah masyarakat wilayah (streekgemeenschap) (urung, portahian atau sekarang di sebut „negari", kuria) dan dusun (huta), jadi bukannya bagian clann ya; anak cucunya pembangun2 huta merupakan
marga
tanah
(heersende mairga), garis2 pembatasan territoir dusun2 dan wilayah2 memotong bagian2 clan sebagai masyarakat2 hukum terputus dari bagian2 clan induknya (yaitu tempat asal daripada si pembuka dusun itu) ; jadi sesama anggauta clan dari lain tempat tidak termasuk
marga tanah dalam sesuatu dusun yang tertentu. D i bagian Selatan dan sebagai sambungannya daerah ke jurusan Utara di tanah datar tinggi T oba, Baligé, Laguboti dan Lumban Julu, di situ adalalihanya satu (cabang) marga yang „meraja” dalam kuria, dalam negari dan dalam huta dengan penduduk penumpangnya dari marga lain di sampingnya, di daeralinya; (cabang) marga itu di daerah2 Utara namanya horja, nama mana sesuai dengan pujaan2 yang disajikan bersama, j a d i : „persekutuan pujaan” . Dalam beberapa masyarakat2 di daerah situ terdapat juga, bahwa dua atau tiga marga berdiam berdampingan satu sama lain atau campur-baur satu sama lain, ke-tiga2nya adalah marga tanah, jadi kedudukannya satu terhadap yang lain mirip kerabat2 Minangkabau ; bedanya dengan itu terletak di penduduk penumpang yang bersama ketiga marga tanah tadi juga termasuk masyarakat itu. D i daerah Pakpak masyarakat wilayah (atau gabungan dusun2) (aur) kebanyakan meliputii marga yang karib satu sama lain, yang masing2, juga sebagai marga tanah mempunyai da erah sendiri2 (bandingkanlah dengan N ia s). Di semenanjung Samosir masyarakat2 wilayah yang besar2 disebut mula2nya : b iu s; di sana berdiam bersama pelbagai marga tanah, dengan kelompokan dusun2nya terpisah satu sama lain letaknya. Tanah2 belum terbuka yang termasuk lingkungan hak pertuanan (beschikkingsrecht) ada dalam keadaan tak ter-bagi2. Sebaliknya di Barns maka di sana di masyara kat wilayah yang besar (sembamr) berdiam beberapa marga tanah atas dasar persetujuan bercampur-baur satu sama lain (bandingkan lah G ay o), mereka mempunyai daerah „beschikkingsrecht” tak terbagi2. Di kalangan orang2 Batak Karo maka kepribadian kampung2 dusun (kesain) terhadap masyarakat yang lebih tinggi (kuta, urung) sangat kuatnya. Juga di sini dipakai sebutan marga tanah untuk marga yang „meraja” . Daerah2 besar yang berdiri sendiri di Simalungun itu telali menjadi kerajaan2 kecil2 yang lalim ; masyarakat2 bawahan di sana ada sangat tertekun. Pemerintahan di semua masyarakat2 wilayali dan di dusun2 pertama2 terletak di tangan seorang wakil dari marga yang „meraja” , kadang2 dengan dibantu oleh seorang sanak-saudaranya. Selanjut nya dalam pemerintahan itu hampir senantiasa terdapat wakil2 dari marga born dan di sebelah Selatan juga wakil2 dari marga penum pang lainnya, yaitu disebutkan, bahwa di sebelah Selatan kuria itu diperintah oleh raja panusunan, kahanggi ni raja (karibnya, pesuruhnya dalam segala macam pekerjaan, mungkin bakal penggantinya), bayo bayo na godang untuk marga borunya raja dan natoras untuk penduduk penumpang lainnya. Dalam kenyataannya kepala kuria memerintah bersama kepala2 dusun dan kadang2 bersama bayo
bayo na godang. Di tanah datar tinggi Toba, Baligé dan sebagainya kcpalanya disebut raja parjolo, yang memerintah dengan pem bantu2 dan kaki tangannya : raja portahi; di Samosir raja doli bersama raja portahi, yang di sana adalah kepala2 daripada marga yang „m eraja” ; di Pakpak penjabat2 pemerintahan yaitu kepala2 marga tanah} dinamakan menurut bagian daripada hewan tersembelih, yang mereka berhak menerimanya di waktu upacara2 (parisang isang juga takal aur) parékor ékor dan partulan tengah) bersama dengan beru untuk marga penumpang. Juga di Barus pemerintahan terdiri dari beberapa kepala. Di kalangan Batak Karo maka kampong, kesain, dan dusun diketuai oleh pengulu daripada marga tanah, dibantu oleh anak beru seninanya, ialah ipar dan saudara dalam arti m enu rut ,,abu” nya (klassifi-katorisch) oleh sebuah dewan kepala2.
(hal. 150). Urung itu diperintah
Dapat disamakan dengan susunan rakyat Batak ialah susunan daripada beberapa suku2 bangsa di T im ur Besar, di mana juga ter dapat „asymmetrisch- connubium” . 5. Suatu cara lain susunan rakyat daripada yang telah dibicarakan sampai sekarang ialah golongan genealogis segi dua, yaitu suku (stam) atau bagian2nya : kaum2 (geslachten) (kadang2 dusun didiami sesama anggauta suku) yang mendiami territoir sendiri. Terutama masyarakat2 tadi terdapat di K a l i m a n t a n . Per tama kali di sana terdapat D AYAK P U N A N , suatu suku pengembara yang dalam gerombolan2 kecil2 berkeliaran dalam suatu daerah pengembara ; bila mereka menetap baharulah suku seluruhnya da tang berkumpul jadi satu, sebagaimana halnya dengan suku PEN Y A M B U N G di Barito udik dalam tahun 1905. Yang paling terkenal sebagai suku2 yang sudah menjadi kesatuan2 yang m enetap ditempat kediamannya sendiri ialah suku D A Y A K K E N A di daerah Apokayan, su-ku M A A N Y A N SIU N G dan suku L A W A N G A N BE LOH. Bagian2 daripada suku itu, ialah kaum2 (kerabat2) m em ang berdiam menjadi satu dan memang agak berarti, namun masyarakat hukum yang menguasai segala hubungan2 hukum dan perbuatan2 hukum adalah : suku dengan lingkungan hak pertuanan (beschik kingsrecht)-nya sendiri. Pimpinan ada di tangan kepala2 (penghulu2) suku dengan segala permufakatan dan kerja sama dengan orang2 merdeka laki2 ; sifat2 pribadi kadang2 dapat mengakibatkan kekua saan besar. Di kalangan suku D A Y A K L A W A N G A N lainnya, pula suku K L E M A N T E N di Kota W aringm maka masyarakat2 yang terkemuka ialah dusun2 yang terdiri dari kerabat2 dan yang berdaerah sendiri, meskipun dalam pada itu masyarakat suku tidak ter-
liapus karenanya, tapi hanya bergerak dalam urusan2 mengenai tanah dan pemerintahan. Tingkatan perkembangan berikutnya ter dapat antara lavn di kalangan suku N G A JU , O T D A N U M dan M A A N Y A N P A T A I di Kalimantan Selatan; di sana kerabat2 itu sudah meningkat menjadi masyarakat-.yang berdiri sendiri, perta lian suku tidak ada artinya. Di wilayah2 sini keadaannya sekarang menjadi demikian : makin mendekat pantai maka kerabat itu makin banyak yang diganti dengan dusun. Orang2 berasal dari golongan genealogis dulu pada asal-mulanya masih juga merupakan kelas yang dilebihkan tentang hak2. alas tanah (paung asal) — sampai juga ini lenyap menjadi dusun territorial seluruhnya (di daerah pantai) yang merupakan masyarakat hukum se-mata2. Hanya di ka langan beberapa suku, misalnya L O N G G L A T T . LEPO T IM E I dan LEPO A L IM (di A po Kayan) maka suku2 yang mengembara itu lalu datang berdiam berserak di sesuatu daerah bersama suku2 yang terdapat sudah berdiam di situ, maka mereka dibiarkan dalam kedudukan dl bawah (hal mana makin menjadi kurang) tapi tidak sampai mereka dijadikan budak. Juga Sulawesi Tengah termasuk tokoh ini. Suku T O M O R I di Sulawesi Tengah T im ur masing2 tetap berdiam di daerahnya sendiri dalam masyarakat2 genealogis (suku2) . Masyarakat2 hukum yang asalnya ialah suku yang berdiam di daerah sukunya sendiri, tapi di belakang lalu me-misah2 menjadi dusun2 daripada sesama anggauta suku, adalah masyarakat2nya orang2 T O R A J A yang berbahasa „barée” , walaupun penghulu2 yang berpengaruh masih mempunyai kekuasaan di luar dusunnya atas masyarakat2 karibnya dan walau pun perairan ikan rupa2nya dapait dianggap sebagai „miliknya suku” . D i kalangan T O R A J A SA D A N masyarakat2 wilayahnya di sebut buah atau penanian dikepalai oleh indo buah atau paréngé dengan kelasnya nomer satu tomakaka ialah anak cucu pembangun masyarakat itu ; buah itu rupa2nya bukannya dusun2 sesama ang gauta suku se-mata2, dalam arti kata bahwa orang2 luaran dapat dipungut masuk sebagai sesama dalam hak2nya dalam masyarakat, walaupun teranglah kekuasaan ada di tangan tomakaka, kelas mana menghasilkan paréngé pula. Ikatan genealogis menjadi berkurang dan lenyap di dusun2 dan masyarakat2 wilayah yang akan disebut berikutnya ini. T elah diterangkan tadi, bahwa masyarakat territorial serupa itu dapat terbit dari masyarakat genealogis, yaitu satu kaum kerabat yajng berdiam di daerahnya sendiri, maka di situ lambat-laun orang2 luaVan mendapat hal:2 yang sama dengan anak cucu dari kaum yang asli sehingga
mereka karena ikut berdiam di daerah itu juga berhak atas bagiannya dalam masyarakat; sedangkan mungkin juga bahwa masyarakat2 di mana golongan2 genealogis di satu daerah berdiam cam pur-baur satu sama lain, di situ karena pertalian kesanak-saudaraan m en jad i lemah masyarakatnya lantas menjadi dusun2 atau wilayah2 territo rial p en u h ; proses ini,terjadi — seperti kadang2 di marga di Su matra Selatan dan di dusun2 pantai di M aluku — di m ana golongan.2 pengembara dari pelbagai suku sama menetap ber-sama2 satu sama lain dan di sini mereka menghapuskan segala pembatasan2 satu d e ngan lain. Cara timbulnya masyarakat2 territorial itu tidak daripada 5em.ua lingkungan2 hukum (Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, Jawa) dapat diketahui. * 6. Suatu misal daripada daerah suku yaing sudah m en jadi ter ritoir per-tama2 terdapat rupa2nya di M IN A H A S A . D aerah suku ( = walak) asli beberapa lama (sekarSng sudah tidak lagi) h id u p terus sebagai distrik (dengan kepala distrik), di m ana berdiam semata2 sesama anggauta suku ; juga sampai sekarang batas2 daerah lama itu masih dihonnati oleh. pemburu2 dan orang2 pengu m p ul hasil hutan. D i dalam „distrik” itu, yang induk dusunnya atau tempatn^-a. Mediaman pertama masi^i dapat diketahui, m aka oleh bebe rapa kerabat didirikan negory2 baru, yang batas2nya (sesudah em p at tahun) ditunjuk dan ditetapkan dengan upacara. Sebagaimana di Minangkabau maka orang dapat menyelidiki a s a l^ y a dusun2 itu sampaï kepada dusun pertama, ialah pokok pangkal daripada asalnya segenap penduduk. Kerabat di dalam suku „endogaam ” itu ter susun menurut hukum bapa — jadi di mana „ b in /b in ti” -nya, (de „van ) (nama kerabatnya) berasal dari fihak bapa, dan kerabat itu diketuai oleh kepala kerabat ( tua un teranak) tidak sebagai masya rakat hukum yang tertutup buat orang2 luaran, tapi sebagai suatu golongan yang ber-sama2 berhak atas harta peninggalan yang tak ter-bagi-. Karena pemetakan distrik2 itu, maka lenyaplah pertalian sanak-saudara sebagai faktor dalam susunan masyarakat2 hukum itu dan buat sekarang negory itu harus dianggap sebagai masyarakat hukum territorial dengan lingkungan beschikkingsrecht-^nya, diurus oleh hukum tua yang dibantu oleh kepala jaga dengan mezuéténg sebagai pembantu2nya pula. 7.
Kedua, maka masyarakat2 wilayah di S U M A T E R A S E L A T A N ,
yaitu marga,
setengahnya dapat dianggap
sebagai wilayah2 yang
didiami oleh sesama anggauta2 clan, di mana tergolongnpa dalam golongan sanak-saudara tak membawa keuntungan hak2 yang m elebihi lagi, dan setengahnya lagi harus dianggap sebagai suatu pem -
bagian daerah oleh kekuasaan atasan, daerah mana diperkembangkan menjadi masyarakat wilayah (streekgemeenschap) itu. Dalam marga itu terletak dusun, yaitu desa2 yang sekedar bertegak sendiri. D i masa lampau (sampai pertengahan abad ke-19), terdapat di sini — sebagaimana sekaramg masih terdapat di Kalimantan — juga segala macam bentuk: orang2 K U B U yang mengembara dalam . gerom bolan2 kecil2 di daerah perigembaraannya sendiri ; orang2 A N A K L A K 1 T A N , yang bergelandangan dari suatu pergabungan tanah ladang kepergabungan lainnya ; orang2 R E JA N G suatu clan yang telah menetap di daerahnya sendiri ; orang2 JE L M A D A Y A di daerah
KRUÉ,
ialah
clan2
yang
me-mecah3
sebagai
bagian2
clan masing-masing dengan daerahnya sendiri2 ; dan orang A B U N G dan P A M IN G G IR di daerah S E M A N G K A termasuk jenis itu juga. Selanjutnya terdapat di daerah Ranau di Bengkulen dan di lain2 tempat bagian2 clan daripada pelbagai clan yang ber-samaberdiam di lembah sungai atau di wilayah lainnya, kadang2 dengan kedudukan yang lebih unggul buat bagian clan yang berdiam terlebih dulu di situ. Selanjutnya pula dalam lingkungan luas sekeliling ibu kota Palembang, dalam daerah „lungguh’'-nya (apanage) sultan2, ialah di Kapungutan, terdapat pemetakan2 dusun kerabat di bawah kekuasaan pemegang2 „lungguh” ; batas2 menurut peme rintahan ; pegawai2 di pucuk pimpinan ; hanya keraba-t-lah mula2 merupakan masyarakat2 hukum ; pada akhirnya juga ini lenyap pula. Di pantai antara Palembang dan Banten di Lampong, yang tiada kekuasaan untuk mengatur (T U L U N G B A W A N G ) terdapat kekacauan besar di kalangan masyarakat2 genealogis kecil2 di sana (suku) yang berdiam bercampur-baur satu sama lain. Penduduk2 pantai Bengkulen dan orang2 Paminggir sekitar teluk Lampong ber-samaunsur2 asing merupakan masyarakat2 wilayah campuran. Pada sekarang marga itu harus dianggap sebagai masyarakat wi layah territorial, di mana orang dapat menjadi anggauta dengan jalan berdiam di situ dan memasukkan diri untuk dipungut oleh ummat yang mendiami masyarakat situ ; maka makin dekat tanah usul, yaitu ke arah daerah pegunungan, makin ada kemungkinan, bahwa masrh ada pengaruhnya pertalian sanak-saudaxa atas pen duduk marga itu. Kepala2 marga dengan gelar pangéran atau depati disebut pasirak ; kepala2 dusun disebut proatin, kria} depati, mangku atau pembarep ; pembantu2nya disebut penggawa, pemangku dan seterusnya; jadi satu dengan kepala2 suku (tuo suku) dan tertua2 kerabat lainnya maka kepala2 dusun di Rejang itu disebut kutai.
8. Di pulau2 kecil2 A M B O N dan di U L IA S E R yang m erupakan masyarakat ialah dusun, nagory, yang di pantai H I T U m em bawahkan kerabat2, rumatau, (ialah bagian2 clan) sebagai masyarakathukum (hal. 48, 4 9 ) ,tapi di lain2 tempat negory itu hanya m elipu ti keluarga2. Dulu pada asalnya penduduk berdiam di pedalam an se bagai clan2 yang tersusun hukum bapa, dan exogaam (aman, héna) di daerahnya sendiri dan terhimpun jadi satu m enjadi uli, dalam masa bersejarah maka bentukan negory di pantai itu dipaksaJtannya oleh kekuasaan dari luar. D i si'tu kerabat2 (rumatau, soa) dan kadang2 kerabat2 yang tak karib satu sama lain, berdiam ber-sam aJ di bawah satu pemerintah, yang bersandar pada kekuasaan asing pula. Di negory2 Kristen maka sedemikian itu mengakibatkan lenyapnya masyarakat sanak-saudara ; di dalam negory situ hanya datilnh m a sih tetap sebagai cabang kerabat yang tertentu berhukum bapa, yang memiliki perkebunan2, dan yang merupakan „kerabat2 inti” , yang karena tindakan2 pemerintah Eropah atau pemerintahan negory kadang2 di-robah2 bentuknya menjadi sembarang masyarakat pem ilik tanah. SegoT) itxi dWemudikan oleh kepala negory, disebut „regent , dengan dewan, samYi rajapati namanya. Dalam ^dewan itu du du k kepala soa ; soa di negory* Kristen sekarang berarti „ k a m p o n g " menurut tata usaha pemerintahan. 9. Suatu masyarakat wilayah (wanua atau banua, kadang2 sebesar dusun), di mana sangat menyolok mata perwujudan (m ateria lisatie) daripada kesatuan daya hidupnya masyarakat, adalah. perse kutuan perhiasan (ornamentschap), yaitu yayasan gaukang (gaukang-stichting) di Sulawesi Selatan; masyarakat2 itu dalam batin satu sama lain terikat oleh perasaan bahwa mereka ber-sama2 m em punyai hubungan dengan suatu benda pelik yang ajaib, suatu per hiasan, yang disebut gaukang, kalompoan atau arajang, m enurut kata orang pada asal-mulanya berwujud : sebutir batu yang ditem ukan, sepucuk cabang berbonggol, sepucuk bendera, sepucu-k tom* bak, sebuah bajak atau lain benda, di dalam mana daya h id u p m a syarakat berpusat dan yang dianggap perwujudan daripada kesatuannya masyarakat. Benda pelik itu kebanyakan ditam bah dengan barang2 berharga yang di belakang kadang2 mengganti gaukang yang asli. Pengembaraan2 dari wanua asal dapat juga m erupakan m asya rakat2 yang berdiri sendiri, walaupun mereka tak ada gaukang na mun kebanyakan lalu disebutnya sebagai bermartabat nom or dua, iaJah anawanua. Terhadap swapraja2 Mandar ada tersebut dalam
tulisan bahwa di sana bagian2 dan (apakah kesanak-saudaraannya menurut keturunan fihak lelaki ?) adalah golongan2 yang penting artinya. Tapi masyarakat2nya di mana2 tempat adalah territorial. Pemerintahnya adalah penjaga (waardijn) perhiasan, yang disebut karaeng, aru, galarang, maradia, dan seterusnya adalah am at beraneka warnanya sebutan dan tugas daripada para pembantu dan para kepala- bawahan; pada asalnya dulu masing2 yayasan gaukang ada dewannya, hadat ; susunan rakyat itu sangat dipengaruhi oleh persekutuan- kerajaan2 yang kuat — peperangan — gubernemen; na mun di bawahnya susunan itu tetap hidup terus wanua itu sebaga-i ,,cel” dan bentuk asli daripada kerajaan itu sendiri. 10.
Dusun BALI, ialah desa, adalah masyarakat territorial se-bu-
lat-nya ; pertalian sanak-saudara di Bali memang betul menghimpun masyarakat2 pemujaan (yang genealogis dan kurang diketahui orang), menjadi satu, namun anggauta2nya berdiam berserakan dibeberapa dusun dan tugasnya tidak lain dari memelihara kuil dan ber-sama2 memuja moyangnya yang di-dewa2kan ; susunannya kera bat2 adalah menurut hukum bapa, kecuali beberapa dcsa yang bersusunan menurut luikum bapa-ibu. Desa itu adalah suatu masyarakat yang per-tama2 berdasarkan atas kewajiban dan atas kehendak ber sama untuk -mensucikan daerahnya buat dewa2nva dan untuk memungkinkan penyelenggaraan pujaan2 dan upacara2 agama lain-nya sebagaimana mustinya. Adalah perbedaan besar dalam susunan2 di luar dan di dalam daerah „lungguh” (apanage-gebied) dulu (yaitu daerah di sebelah Selatan Karangasem, Btdeleng dan Jembrana dikurangi dengan pegunungan2 Gianyar dan Bangli), pula perbedaan besar antara dusun2 kolot dan dusun2 modern. Dalam dusun2 kolot anggauta2 yang diwajibkan dan berhak pula sebagai anggauta sempurna untuk turut serta dalam pekerjaan pemujaan, ialalx sejumlah tetap atau ber-ganti2 (kadang3 duapuluh atau kelipatannya duapuluh) daripada orang2 dusun yang mempunyai tanah2 pertanian yang harus sudah berkawin. Terdapatlah aturan2 yang sangat berbeda2 mengenai penggantian bilamana seorang anggauta lowong ; kebanyakan kedudukannya itu dapat diwariskan dalam lingkungan kerabat, ter-kadang2 juga tidak. Orang2 desa yang tertua mengerjakan tugas2 pengurus yang istimewa (pasek, dan sebagainya) ar tinya, mereka harus mengerjakan tugas istimewa di pemujaan dewa2. Malahan yang memutuskan perselisihan2 adalah pada hakekatnya anggauta2 pengurus desa, yang menjaga jangan sampai daerah dusun dinajiskan karena perselisihan2. Anggauta2 desa itu disebut desa, krama desa, kanoman dan sebagainya, namanya saban2 lain. Di antara penduduk2 inti ini maka di dalam desa kebanyakan
ada segolongan penduduk desa kelas dua, yang masih juga m em punyai bagian tanah dan suatu tugas yang terbatas. Penumpang2 dan orang- baru datang, yang pada mulanya m enum pang kepada krama desa merupakan lapisan ketiga (sampingan). Selanjutnya di dusun- terletak di luar daerah „lungguh” raja2 dulu, terdapat pelbagai perkumpulan2, yang di bawahkan oleh desa. Pertama : ban jar, yaitu perkumpulan kam pong; lalu perkumpulan2 pemuda dan pemudi, perkumpulan2 musik dan sandiwara, dan seterusnya. Dalam daerah „lungguh” maka masyarakat2 hukum serupa itu ter dapat juga sebagai perkumpulan2 yang merdeka terbentuknya, ti dak di bawahkan oleh dusun2. Dusun2 model baru mengizimkan masing- penduduk lelaki yang sudah kawin masuk m enjadi ang gauta perkumpulan. desa, mengharuskan mereka masuk anggauta itu, dan desa2 modern itu mempunyai kepala2 desa yang disebut klian, kadang2 dengan beberapa orang pengurus lain ; dain klian itu adalah sebagai gantinya pemerintahan desa oleh anggauta- dusun yang tertua. Menurut kebiasaan (ada juga perkecualiannya) seseorang menjadi penduduk bilamana ia satu tahun bertempat tinggal di desa, mempunyai rumah halaman dan sudah kawin. D i samping masyarakat2 atau persekutuan2 tersebut, maka. &\ B a ll yang besar ua&ah. 'geng&uiu&Ti* pengairan yaitu subak, yang w.Tas&MasK'Vi pelbagai caranya dan hubungannya dengan desa pelba gai pula caranya; suatu persekutuan di antara pemilik2 saw ah di bawah pimpinan klian atau lain pengurus yang bertugas m em elihara pe ngairan. Juga atas subak ini raja2 dulu besar sekali pengaruhnya di daerah2 „lungguh” . Desa di L O M B O K adalah masyarakat territorial, terdiri dari per seorangan2 (keluarga2) yang satu sama lain bukan sanak-saudara. Ja mempunyai lingkungan hak pertuanan (beschikkingskring) dikemudikan oleii seorang kepala desa. Juga
desa
di
Jawa
adalah
masyarakat
territorial
dan
se-bulat2
nya dan juga terdiri dari perseorangan2 (keluarga2) yang satu sa ma lain tak ada ikatan sanak-saudara sedikitpun. T id a k termasuk anggauta” desa, artinya bukannya sesama anggauta masyarakat, ialah 'Selainnya penduduk desa berbangsa asing, kebanyakan ju g a priyayi, walaupun mereka berdiam di desa situ ; namun mereka dap at juga masuk ke dalam masyarakat desa itu. Anggauta2 desa (hal. 35) dapat di-silah2kan dalam kelas p en duduk inti (pribumi, sikep, kuli, baku, gogol) yang m em punyai tanah pertanian dan rumah halaman dan yang m em ikul beban2 p en u h :
lantas kelas pemilik rumah halaman atau pemilik2 tanah pertanian saja (lindung, indung, dan sebagainya) yang memikul hanya beberapa beban, dan akhirnya : kelas pemilik2 rumah a?tas halaman lain orang (numpang) atau penumpang2 yang mencari nafkah sendiri, (nusup, tlosor) dan mereka yang bekerja untuk mereka yang ditum pangi; anggauta2 serumah (anggauta2 kerabat), rayat, lidak merupakan kelas tersendiri. Di B A N T E N desa itu terdiri dari beberapa ampian atau kampong agak kecil2 ; kampong2 tadi mempunyai kepala sendiri ialah kokolot, tua-tua, dan seorang penghubung antara penduduk ampian dan kepala desa yang disebut jaro, yang mempunyai beberapa orang pesuruh. Di P R IA N G A N maka .desa itu terdiri dari kampung atau lembur yang letaknya jauh satu sama laiin. Kepala2 kampung disebut man dor, punduh, di sini di bawahkan oleh kepala desa (lurah). Lurah itu dibantu oleh beberapa orang polisi, ulu-ulu, dan sebagainya. D i J A W A T E N G A H dan J A W A T I M U R maka desa yang sebenarnya itu adalah suatu lingkungan kediaman yang disebut krajan dengan dukuh2nya yang di bawahkannya (padukuan). Ke pala desa (kuwu, bekel, lurah, patinggi) mempunyai kedudukan yang agak autokratis dan mempunyai banyak pembantu2nya (kamitua, bahu, kebayan dan lain3nya) . Di M A D U R A penduduk berdiam tersiar dikelompokan rumah2 petan i; empat sampai sepuluh keluarga, kebanyakan sanak-saudara satu sama lain, bertinggal berkumpul di rumah halamannya sendiri2 dengan tanah2 pertanian di sekitarnya. Beberapa buah kampong méji serupa itu merupakan satu kampong di bawah pimpinan seorang apél, yang di bawahkan lagi oleh kelompokan lebih besar ialah desa, dipimpin oleh kepala desa, yang disebut kalébun. Desa sedemikian itu walaupun hubungannya satu sama lain ada kendor, namun oleh penduduknya dianggap sebagai masyarakat. D i mana2 kepala2 desa itu mempunyai penulis2 (carik, jurutulis) di sampingnya. Di mana2 juga dalam dusun ada pegawai urusan agama (modin, lebé, alim, ketib dan sebagainya). Di mana2 pendu duk- inti sekarang berapat di kumpulan2 desa untuk membicarakan urusan2 desa yang penting; kadang2 jarang sekali (di Banten, di Madura) ; di lain2 tempat dengan tertibnya sekali sebulan, sekali dalam tiga puluh lima hari, dan sebagainya; jarang atau kerapnya diadakan rapat ini juga tergantung dari pendapat pegawai2 pemerimah.
Di zaman dulu ter-tua2 desa itu adalah penjabat- yang sangat penting (yang paling penting) di lapangan kehidupan desa seluruhnya. Rupa-nya mereka di kebanyakan wilayah sudah dihapuskan. Beberapa desa merdeka (perdika, pakmicén, mijén, pcsantrén) adalah desa yang dahulukala dibebaskan dari beban- oleh raja, atau mendapat tugas2 istimewa dari raja, masih tetap m empunyai sifat istimewa itu atas persetujuan dari fihak gubernemen. Jemaah- Kristen itu bukannya desa — walaupun m em ang ada beberapa desa Kristen — melainkan persekutuan- daripada orangKristen yang termasuk dalam satu desa, dengan mempunyai kekayaan sendiri (gereja, kas) dan pengurusan sendiri. 12.
Masyarakat- hukum di A C E H adalah se-mata2 territorial pula.
Baik masyarakat wilayah (yang besar) yaitu yang dikem udikan oleh oléebalang, ciq atau apapun juga sebutannya, maupun dusun nya disebut gampong, meunasah. T i dak ada istilah Pribumi buat masyarakat2 wilayah itu ; wilayah itu adalah landschap2 atau bagian2 landschap (lefaih
BANG-
G A I di-khabarkan orang bahwa mereka berdiam berserak seliiruh kepulauan dengan tiada sedikitpun ikatan atau hubungan satu sam a lain. Kepala2nya : tenggol, yang terdapat di sana, rupa2nya adalah
bikinan raja2 Pribumi yang berasal dari luar. Juga di kalangan suku bangsa N G A D A di pulau FLORES, di antara Manggarai dan Nage, terdapat kehidupan tersiar sendiri2 tanpa hubungan satu sama lain. Kerabat- kecil2 berdiam di sana dengan berdiri sendiri yang satu tak tergantung dari yang lain dan tanpa ikatan masyarakat sedikitpun di atasnya. Demikianlah oleh masyarakat2 yang tersebut tadi dikuasailah kehidupan hukum se-hari2 daripada ber-juta2 orang2 Indonesia, dan dipertahankanlah hukum adat oleh p e n g h u l u 2 r a k y a t n y a (volkshoofden), pengulu yang mcmegang adat. T u g a s -menurut hukum adat daripada penghulu2 rakyat ialah meletakkan suatu pada tempatnya” ( = „elk ding zijn plaats geven” ) jadi memelihara juga „ketertiban” (hukum ), maka bagian2 dari tugas itu saban2 akan muncul untuk dibicarakan ; baik dipandang dari sudut penjagaan ketertiban hukum (preventieve rechtszorg) maupun dan sudut per adilan perselisihan2, maka tugas tadi meliputi seluruh lapangan huikum. P e n g l i a s i l a n daripada kepala2 dusun itu (terlepas dari tolong-menolong, pekerjaan dinas untuk kepalanya, hal. 122) mencerminkan macam2 pekerjaannya dan seharusnya — menilik sebutan2nya istimewa — mendapat j>erhatian dari fihak hukum adat. Untuk menerima dan membelanjaikan yang tepat sumbangan2 berdasarkan Islaim, yang berupa beras/padi dain wang (jakat sesudah panen) dan pitrah sesudah puasa), maka hal2 ini diurus oleh pegawai dusun urusan agama. Bagaimanapun juga pentingnya pembentukan hukum dalam ma syarakat2 kecil2 itu, namun masyarakat2 itu tidak merupakan ma syarakat Indonesia seluruhnya. Di samping hukum adat di masyarakat2 itu ada hukum adat dari asal lain, ialah yang tidak terbentuk di masyarakat2 kecil2 itu, walaupun ada keharusannya bertalian dengan itu. Karena di samping — walaupun juga berhubungan — lingkungan hukum daripada orang2 luar masyarakat (gemeenschapsvreemd e n ). 2. L IN G K U N G A N R A JA 2. * W alaupun satu sama lain bertalian erat, namun lingkungan raja2 dapat dipandang berhadapan dengan lingkungan rakyat di masya rakat2 hukum yang kecil2 ; baik raja berasal keturunan dari bangsa penghulu2 di wilayah sendiri, bangsa mana bertumbuh menjadi bangsa raja2, maupun dia seorang Indonesia berasal dari luar daerah situ ataupun bahkan dia seorang berasal dari luar Indonesia, namun di mana2 lingkungan raja2 itu mempunyai corak2 yang sama jenis-
nya. Pribadi raja itu adalah sebagai pemilik kekuasaan, titik pusat daripada kekajaan daya sakti dalam kerajaan itu, beserta lembaga. (kerajaan), perhiasan2 kerajaannya, ialah apa yang disebut upacara. Dapat dikatakan juga, bahwa raja itu di waktu naik takhta mewarisi benda2 keramat itu, atau bahwa benda2 keramat itu (sebagai perwujudan kesatuan kerajaan) mewarisi dia. Raja dan kerajaannya adalah satu, se-gala2nya dalam kerajaannya adalah miliknya, dalam theori kekuasaannya tak terbatas, ia dihormati secara ham ba (By zantijns) , ia di-dewa2k an ; akan tetapi, karena kesejahteraan kera jaan adalah kesejaJhteraannnya (dan sebaliknya) dan dalam prakteknya kekuasaannya terbatas, maka dari itu ia tak me-nyinggung2nya dan membiarkannya saja imbangan timbal-balik antara kerajaan dan dirinya itu. Sekitarnya berkerumunlah kerabat raja (bangsawan) dan pegawai2 kerajaan tinggi. Martabatnya terhadap satu sama lain dari atas sampai ke bawah di-beda2kan dengan saksama, untuk per kawinan2 maka soal martabat ini sangat pentingnya, gelar akademi atau lain2 tanda2 sukses dalam kehidupan jnemungkinkan m em a suki golongan2 bangsawan tadi, kepada mereka pula yang pada awalmulanya tak termasuk golongan2 itu. Tanda2 lahir daripada kebesaran itu dihormati dengan cermatnya. Di Jawa misalnya jangan se-Valv* orang timbul kehendaknya menyajikan air teh kepada seorang pangeran dengan mempergunakan alat2 yang dapat dipergunakan juga untuk seorang tumenggung; tetapi di kalangan m ereka yang sudah modern hal sedemikian itu sudah tmakin 'hilang. D i Bali, maka kebangsawanan kasta ( ± 8 % dari penduduk) itu dap at di anggap sebagai golongan yang hidup di luar desa. D i m ana organisasi raja2 berasal dari ketumbuhannya susunan rakyat, seperti di Sulawesi Selatan, dan di mana karena pertalian perkawinan terjadi perhubungan erat antara keturunan raja2 dan penghulu2 rakyat (volkshoofden), maka di situ perbedaan antara penghulu2 rakyat dan bangsawan raja2 -adalah lebih beda dalam tingkatannya (gra dueel) daripada dalam dasarnya (principieel) walaupun kedua go longan itu tetap dapat di-silah2kan sebagai „golongan” dan „ g o longan disisi”, walaupun raja dan kerabatnya berada d i luar, dan penghulu2 rakyat rendahan di dalam masyarakat2 kecil2 itu (peng hulu2 rakyat atasan kadang2 di tengah2n ya ). Termasuk bangsawan dan pegawai tinggi juga ialah mereka yang menjalankan pemerintahan
atas penduduk, yang
m enyam paikan
perintah2 dan yang menerima dan meneruskan pembayaran pajak2 (mereka dari tingkat atasan berpangkalan di ibukota, m ereka dari tingkat bawahan di pedalam an). Pegawai bawahan raja di pedalam an segera sedikit banyak memperoleh sifat penghulu rakyat (volks-
h o o fd ). Seluruh golongan digaji oleh raja, karena mereka diberikan hak menarik penghasilan raja dari wilayah yang tertentu. Alam raja dan bangsawan istana dengan bahasa istananya, dengan keseniannya bunyi2an, tari2an dan sandiwara dengan seni pandai, ukiraij. kayu dan ukiran kulitnya, dengan sasteranya yang telah dilazimkan, mereka semuanya bertinggal di ibukota, maka alam tadi mempunyai adat2 sendiri dan aturan2 hukum sendiri. Tentang pembagiau su sunan kota2 kerajaan, hubungannya pembagian itu dengan „klassifikatie primitief” , yang juga meliputi persusunan seluruh bentuk kerajaan, dan susunan kepegawaian, maka soal2 ini adalah suatu kenyataan yang menarik perhatian tapi belum cukup diselidiki seluruhnya (Gorontalo, Tawaili, Ngayogyakarta dan sebagainya) . Adalah suatu organisasi dan susunan ber-tingkat2, yang memberikan kesempatan kepada para kepala untuk campur tangan dalam urusan kehi dupan hukum daripada pegawai2 bawahannya; di waktu kematian, di waktu perkawinan, di perjanjian2 atas tanah, dalam urusan hutang piutang wang, dan seterusnya. Hak2 atas tanah di ibukota adalah sebagian hak2 tempat tinggal jabatan (ambtelijke woonrechten) atas tanah halaman, yang makin cenderung ke arah hak yasan, seba gian pula adalah hak2 sementara buat orang asing (misalnya di kampong2 tempat tinggalnya pedagang2 dari luaran). Penduduk lambat-laun memperoleh hak2 bebas yang dapat diperdagangkan, atas bidang2 kecil2 tanah pekarangan sebagaimana di pedalaman tanah Jawa kadang2 bagian2 kecil2 daripada tanah halaman rumah kabupaten yang luas2 dipindah-tangankan, sehingga jatuh di tangan lain sebagai tanah yasan. Raja adalah hakim tertinggi, ia menyuruh mengadili liwat pengadilan2nya, yang membina hukum kerajaannya berwujud keputusan2nya dan selain daripada itu mengadili juga perselisihan2 di antara hamba2 raja yang tak dapat diputuskan di masyarakat2 kecil2 sehingga ia oleh karenanya ikut memelihara dan mempengaruhi hukum adat daripada masyarakat2 itu. Sebagai pe» doman (instruksi), raja menyampaikan kepada pengadilan2nya suatu undang2 (In d ), suatu nawala (J .), suatu „kitab undang2 hukum” , yang kesemuanya berasal dari dalam negerï sendiri atau dari luarnya. Kemudian — lebih2 karena pengamh Barat — tumbuhlah kebiasaan pembikinan undang2 berupa pranatan (J .), peswara (B a l.), undang2, sehingga terdapatlah suatu hukum adat ter tulis, yang dalam alam rakyat rupa2nya hanya dapat sekedar bertumbuih di dusun2 di Am bon dan Bali. Aturan2 desa di Jawa adalah buatan2 pegawai2 pemerintah. Raja adalah kepala agam a; ia memerintahkan diaturnya urusan2 agama dan dalam sementara hal juga diadilinya perkara, kepada pegawai tertinggi urusan agama, ialah
kepala masjid kota istana. Di bawah hakim2 urusan2 keduniawian dan keagamaan dari pusat ini, maka terbentuklah susunan hakim2 bawahan di tempat2 pemerintahan yang tak begitu penting dalam daerah kerajaan. Buat orang2 luar masyarakat (penduduk kota, pegawai2) maka pemegang hukum itu lebih pentingnya daripada buat rakyat di luar tempat2 situ. Alam raja2, walaupun di satu fihak berkedudukan jauh rakyat, namun berhubungan dengan itu juga. Raja itu runan dari pahlawan sakti di alam gaibnya rakyat; arti benda2 pusaka kerajaan disadari oleh segenap rakyat dari
dari alam asal ketukesaktian tingkatan
atas sampai ke bawah; pesta2 dan kenduri2 dengan pembagiannya makanan2 mengeratkan persatuan antara raja dan rakyat dengan cara mutlak dan jitu buat kedua fihak; dalam urusan perselisihan antara masyarakat2 yang dapat menimbulkan perang saudara antara dusun2, pula dalam urusan pengaduan melawan penghulu2 rakyat, maka pengaduan dihadapkan raja, yang keputusannya ditaatinya. Acapkali raja dalam kedudukan sedemikian itu dimohon menjadi wasit di daerah2 pedalaman; sebaliknya sekali tempo dengan sengaja pengadilan2 raja dan kekuasaan raja untuk mengadili, dijauhkan dari lingkungan dusun, itupun untuk menolak pengaruh ra\a (sebagaimana dulu terjadi oleh Tnganan Pagringsingan me lawan Karangasem, B ali). Selaku perseorangan si orang kecil dapat menerobos semua instansi2 dan dengan berpakaian putih mexnohon keadilan tertinggi dari raja sendiri (pépé J,) ; juga dalam rom bongan2 besar rakyat dapat mengadu tentang sesuatu ketidakadilan kepada raja (massa klacht). Perempuan2 dari golongan rakyat dipungut oleh lelaki2 bangsawan sebagai isteri (atau bini m uda); pertalian kekerabatan antara penghulu2 rakyat dan bangsawan raja2 memperkokoh persatuan satu sama lain. Raja pada umumnya membiarkan masyarakat2 itu melangsungkan kehidupannya (hukum) sendiri2 ; titik pertemuan ialaJi p e m u n g u t a n 2 wang, hasil bumi dan tenaga. Pungutan2 raja acapkali dapat sesuai benar dengan kewajiban2 menurut hukum adat daripada anggauta2 masyarakat terhadap penghulu2nya, misalnya : tolong-menolong (hal. 128) dan bila demikian maka dipakai terus namanya, misalnya : kasuwiyang (Sulawesi Sela tan) . Dalam urusan pungutan itu maka penghulu2 itu adalah perantara daripada rakyat dan raja.
Penaikan beban
pekerjaan
rodi
adalah suatu kenyataan yang terkenal, begitu juga sebaliknya pencegahan tuntutan2 raja yang tak sesuai dengan adat di kalangan rakyat. Lebih2 di mana pegawai2 digaji dengan
pungutan2 tadi
(„lungguh
hal. 96) maka pungutan itu ber-ulang2 mengacaukan
atau membinasakan masyarakat- hukum (para pemborong mendesak kedudukan penghulu2) . Dalam lebih dari satu wilayah (Sulawesi Selatan, Sumbawa, Jawa) dulu terdapat suatu organisasi luas da ripada tukang2 kerajinan tangan hamba raja yang satu sama lain dipersatukan dengan pertalian turun-temurun (ikatan pertukangan hamba2 raja) . Tim bulnya alam raja2 ini berarti juga timbulnya golongan pertama daripada orang2 Indonesia yang hidup di luar masyarakat2 ; apa yang dulu banyak terdapat, pada sekarang sudah banyak yang tidak ada lagi, dan banyak setengaihnya berlangsung terus tapi dalam suatu bentuk yang berlainan: raja2 dan priyayi di Jaw a; raja2 dan keturunan raja2 di Aceh, bangsawan2 Aceh di Padang, bang sawan2 Jawa dan bangsawan2 pribumi di Palembang dan Jambi, di daerah Melayu dan Sumatra, di Kalimantan, Sulawesi, Ternate, Tidore, kepulauan Tim or, Bima dan Sumbawa, Bali dan Lombok. 3.
P E D A G A N G 2.
Tepat disebut orang2 asing dalam masyarakat (gemeenschapsvreemden), juga asing di luar alam raja2, ialah orang2 dagang. Mereka di kota2 kerajaan mengadakan kampung2 sendiri, hal mana penting sekali buat perekonomian kerajaan. Untuk menghadapi alam rakyat, maka mereka berlindung di bawah kekuasaan raja atau pembesar2 rendahan, sebagaimana di Toraja Barat, seorang musafir asing mendapat jaminan bantuan pembesar daerah situ de ngan jalan imemberikan persembahan kepadanya. Kadang2 mereka mempersatukan diri di alam rakyat di tempat kediamannya bersama, misalnya di pasar yang berdiri sendiri di Sumatra Selatan, di Tapanuli Selatan ; di Simeuluë orang2 asing itu merupakan suku sendiri, ialah suku dagang. Mereka berdiam selaku perseorangan2 asing (terhadap masyarakat), campur dengan orang2 dari suku2 bangsa lain di tempat2 kediaman pemerintahan dan di tempat2 pelabuhan. Hukum tak tertulis yang berlaku atas perhubungannya dengan pen duduk masyarakat2 Pribumi adalah tergantung bulat2 di satu fihak dari hukum adatnya persekutuan kecil itu, tapi juga di lain fihak sangat di pengaruhi oleh kebutuhan2 yang mengandung hukum dari pada hakim2 jabatan, (kadang2) juga dari hakim2 agama dan dari pada pemeliharaan hukum oleh advocaat2 dan notaris2 — itupun sepanjang penjabat2 tadi sadar akan sudut konstruiktief daripada tugasnya. Terhadap ketertiban hukum daripada gubernemen (atau daripada ra ja ), maka mereka tidak dikecualikan dari perlindungan,
p e m D fla a n aan pelonggaran yang DefiaTtu atas KetertfUan ftuRum
di dusun2. Persoalan2 hukum seperti soal timbulnya bunga m en u ru t hukum (wettelijke interessen), hal2 di m ana harus d ian ggap ada tergugurnya hak (rechtsverwerking), perlindungan kepentingan pemberi2 hutang bilamana si peminjam tak m am pu sama sekali untuk membayar dan banyak soal2 laijtnya lagi, m aka kesem uanya itu ada patokannya sendiri buat perhubungan2 hukum di kalangan mereka. 4.
M E LA N TA SN YA SU SU N AN P E M E R IN T A H A N R A JA 2 D A N G U B E R N E M E N -KE D A L A M M A S Y A R A K A T 2.
Antara kehidupan hukum masyarakat2 hukum Pribum i d a n keterriban hukum daripada raja2 dan daripada gubernem en sebagaimana dapat dimengerti selalu terdapat ketegangan yang tertentu. Masyarakat2 itu, bilamana tak tercekek mati tetap berdiri sendiri sebagai lingkungan2 hukum, ke luar dari ketertiban hukum yang m enyelubunginya. Yang menyebabkan ketegangan ialah karena keduanya bersangkutan dengan obyekt yang sama. Vengaruh -yang m e r u s a k dari pusat kerajaan2 terutam a m emmpa masyarakat yang terletak sekitar kediaman raja2, itu pu n karena pemenntahan raja* sendiri yang intensief, karena penghuta- rakyat diganti dengan pegawai raja, karena pem indahan tangan daripada tanah untuk di miliki sendiri, pemberian „ lu n g g u h " (apa nages) kecil2 kepada orang^ lain (yaitu pegawai2 atau sanak -saud ara diberi hak memungut hasil daripada beberapa kerabat atau daripada beberapa bidang sawah dari masyarakat2 (gemeenschappen) , yang batas2nya diabaikan, untuk diri sendiri, pungutan m ana semustinya kepunyaan dan diperurttukkan raja yang memberikannya („lu n g guh)” itu. Pengaruh2 sedemikian itu meresap ke dalam kesultanan Aceh, Palembang, Jambi, kesultanan2 Sumatra T im u r, meresap ke da lam kerajaan2 yang kuat di Sulawesi Selatan (Bone, G ow a dan sebagainya), Ternate dan Tidore, Bali dan Lombok dan di Jawa di nagaragung. Tidak selalu masyarakat itu menjadi rusak seluruhnya karenanya; desa di Bali tetap suatu masyarakat hukum w alaupun letaknya di daerah „lungguh” , namun dusun2 di situ toch berbeda dengan desa di lain2 tempat, antaTa lain karena „raja m elantas ke dalam desa” . Kemudian — karena pengaruh Belanda — m aka di wilayah2 situ kadang2 masyarakat2 itu dipulihkan lagi, h al m ana sebagai misal yang jelas ialah penyusunan kembali (reorganisatie) di daerah2 swapraja di Jawa.
Kedua : kekuasaan pemerintahan raja dari luaran terhadap ma syarakat2 berpengaruh m e m p e r k o k o h , yaitu terhadfp masyarakat2 yang jauh^ letaknya, yang oleh karena dianggapnya sebagai kesatuan2 wilayah pungutan pajak dan pekerjaan rodi, maka dari itu dengan sendirinya bentuknya ke dalam mestinya dijadikan lebih kokoh, misalnya : Banten terhadap marga dan bandaria Lam* pong Palembang terhadap sikep marga — Ternate (barangkali) ' terhadap negory 2 di Am bon, terhadap clan di daerah clannya sendiri di kepulauan Sula — Karaijgasem dan kerajaan2 lain^iya di Bali •terhadap desa d i' luar daerah lungguh — Jawa terhadap desa di daerah mancanegara. Kekuasaan penghulu2 masyarakat bertambah; kepentingan2 masyarakat mendesak sehingga buat anggauta2 masya rakat lapangan hidupnya pribadi hanya tinggal sedikit; kepentingan masyarakat h a r u s didahulukan, lebih2 mengenai soal tanah. Ditambah pula kedudukan raja2 sebagai hakim dalam perselisihan2 masyarakat3 itu satu lawan lain, pula berhubung dengan itu keba nyakan lantas diberikan piagam sebagai surat pengesahan, maka kesemuanya itu adalah daya yang memperkokoh masyarakat2 itu dalam bentuknya ke dalam. Namun di dalam masyarakat2 itu maka selainnya kepentingan masyarakat sendiri adalah kepentingan lain yang tak dapat diabaikan. Kepentingan dan kehendak raja menjadi faktor2 yang dapat dibandel oleh masyaTakat itu, tapi se-tidak2nya toch merupakan faktor2 yang harus diperhitungkan juga. Juga gubernemen Belanda sampai pada tingkatan tertentu dan sejalan dengan pemerintahan raja2 mempengaruhi bentuknya su sunan rakyat. Di beberapa tempat — di kota2 besar — pengaruhnya m e r u s a k ; di Jakarta, Surabaya dan di kota serupa itu — tapi dalam batas sempit — masyarakat hukum Pribumi tak tampak sama sekali. Hanya sekali — yaitu di Lampung — masyarakat di situ tak diakui, lalu dihapuskan, tapi buat siapa yang meninjaunya lebih dalam masih ternyata tegas berlangsungnya terus masyarakat itu tapi berada dalam kekacauan — maka masyarakat itu sejak tahun 1928 dipulihkan kembali menurut hukum adat. Di samping itu pengaruh gubernemen juga bersifat m e m p e r kokoh, di mana gubernemen itu seperti raja2, menetapkan masyarakat2 itu sebagai kesatuan2 untuk pungutannya pajak dan pekerjaan r o d i; kadang2 sama halnya dengan raja2 cocok dengan pungutan pekerjaan untuk penghulu2nya, ialah adat tolong-menolong ; contohnya yang tertua ialah barangkali tuntutan Compagnie mengenai pekerjaan dinas buat perjalanan2 hongi atas dasar pekerjaan dinas di Am bon untuk penghulu2nya yaitu apa
yang disebut pekerjaan kwarto. Pengaruh gubernemen dulu kadang2 juga bersifat m e m b a n g u n di mana di wilayah2 yang tak ter atur timbul dusun2 yang bertumbuh dan seterusnya hid up langsung dalam suasana Pribumi, ialah suatu proses yang acapkali terjadi, yang penting sekali ialah dipertahankannya hak2 dalam masyarakat2 itu terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh penghulu2 rakyat. Cara2 untuk membela diri yang dulu ada pada rakyat (pindah ke lain tempat, mengamuk) makin sukar buat dijalankan. M aka dari itu tambah perlu, bahwa hakim (orang pemerintah) yang berada di atas masyarakat2 melindungi hak2 anggauta2 masyarakat itu ter hadap tindakan se-wenang2 dari penghulu2 ; tapi justru dalam hal ini maka tindakan melindungi yang sangat (kesangatan) m eluas dapat menyendi benar2. T ujuan pemerintahan gubernemen ialah pemeliharaan kesejahteraan positief, menyebabkan pelancaran ke dalam dusun2, hal m ana lebih hebatnya daripada pemerintahan raja2 Pribumi, dan oleh karenanya mengakibatkan perobahan2 dalam kehidupan masyarakat Dalam pada itu adalah terlalu sukar mem-beda2kan antara sernu dan sungguh, karena dengan dicatnya baru yang sesuai dengan undang2 haminte Bumiputera (Inlandse gemeenteordonnanties) lama itu, kehidupan hukum yang sebeua.xw^ denman Üengan pengurusannya tanah, dengan •ïEÜföi«g-menolongnya satu sama lain, berlangsung terus atau dapat berlangsung terus dengan tiada atau hampir tiada gangguannya. Undang- Haminte Bumiputera untuk luar Jawa tahun 1938 (Staats blad no. 490) dengan terang2an memberi kesempatan u n tu k itu. Bahkan gabungan2 dan pemecahan2 persekutuan2 yang acapkali mengerikan dalam caranya melaksanakannya, bahkan pengangkatan penghulu2 oleh fihak gubernemen dan bikinan2 pangrehpraja yajig dijalankan sebagai „aturan desa” (dorpsregeling), kesemuanya itu kebanyakan adalah sebagai kulit luar, bukannya bagian dalam , walaupun tak dapat diungkiri pengaruhnya tindakan2 tadi bahkan kadang2 pengaruh itu sangat mendalamnya. Bagaim ana kejadiannya perpaduan di masing2 wilayah antara bentuk m enurut kelengkapannya di satu fihak dan daya hidup masyarakat dengan pengaruh2 dari luar yang sudah meresapnya dan sedang meresapnya d i lain fihak, maka perpaduan itu muda!i2an lebih banyak daripada sekarang, dilukiskan orang dalam risalah2 (monografieën) m asyarakat2 h u k u m* ) . Dalam pada itu hendaknya di-sendiri2kan lukisan ten♦)
Seperti
buah
sirigan” oleh K om .
tangan
Friedericy :
„P on ré” ,
dan
„T n gan an
Pagring-
tang lembaga2 dan hubungan2 sosial dan cara2 berjalannya itu di satu fihak dan pencatatan adanya b e n t u k 2 h u k u m , adanya h u k u m p o s i t i e f yang disvmpulkan dari këputusan2 dan aturan2 di lain fihak, bentuk2 hukum mana pula dapat menjadi bahan2 buat penyelidikan ke arah nilai2nya functioneel. Mengenai kedua persoalan itu ; ialah lukisan kenyataan2 sosial menurut cara functioneel dan pencatatan berdasar hukum adat dari adanya hukum yang berlaku, maka masing2 dari keduanya itu janganlah diabaikan hendaknya ; buat hakim maka k e * d u a 2n y a adalah penting (hal. 275).
BAB K E D U A . H U K U M T A N A H . 1.
H A K P E R T U A N A N (B E S C H IK K IN G S R E C H T ) D A R IP A D A M A S Y A R A K A T 2.
Hubungan hidup antara ummat manusia yang teratur susunannya dan bertalian satu sama lain di satu fihak dan tanah di lain fihak yaitu tanah di mana mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanah di mana mereka dimakamkan dan yang men jadi tempat kediaman orang2 halus pelindungnya beserta arwah leluhurnya, tanah di mana meresap daya2 hidup, termasuk juga hidupnya ummat itu dan karenanya tergantung dari padanya, maka pertalian demikian itu yang dirasakan dan berakar dalam alam pikirannya „serba berpasangan” (participerend denken) itu dapat dan seharusnya dianggap sebagai p e r t a l i a n h u k u m (rechts betrekking) ummat manusia terhadap tanah. Sebagaimana kita telah maklum, maka ummat manusia itu ada yang berdiam di suatu pusat tempat kediaman — dengan atau tiada pedukuhan2nya — yang lantas disebut masyarakat dusun (dorpsgemeenschap), atau mereka ada yang berdiam tersebar di pusat2 kediaman yang sama nilainya. satu sama lain, di suatu wilayah yang terbatas, maka bila demikian mereka merupakan masyarakat wilayah (streekgeineenschap). Gerombolan itu berhak atas tanah itu, mempunyai hak tertentu atas tanah itu, dan melakukan hak itu baik ke luar maupun ke da lam. Berdasarkan atas berlakunya haknya ke luar, maka gerombolan itu sebagai kesatuan berkuasa memungut hasil dari tanah itu dengan menolak Iain2 orang berbuat sedemikian itu, pula sebagai kesatuan ia bertanggung jawab terhadap orang2 luaran masyarakat at a* per buatan2 pelanggaran (delikten) di bumi masyarakat situ yang sudah dilakukan oleh orang2 yang tak dapat diketemukan. Berdasarkan atas berlakunya hak ke dalam maka masyarakat itu mengatur pemungutan hasil oleh anggauta2nya, yang berdasarkan atas hak dari pada masyarakat itu bersama, dan agar supaya masing2 anggauta mendapat bagiannya yang sail, maka masyarakat itu juga b e r h a d a p a n dengan anggauta2nya, dengan jalan m em batasi tuntutan2 dan hak2 perseorangan3 (untuk kepentingan masyarakat) dan dengan
jalan
melepaskan
tanah2 yang langsung
diperuntukkan
kepentingan2 masyarakat2 dari usaha2 perseorangan yang memungut hasilnya untuk diri sendiri. Hak daripada masyarakat atas tanah itu, yang dalam lukisan2 kuno disebut dengan sebutan2 „hak eigendom’' (eigendomsrecht) dan „hak yasan kominal” (communaal bezits recht) , hal mana menyebabkan jalman2 yang ruwet, maka oleh Van
Vollenhoven diberi nama „ b e s c h i k k i n g s r e c h t” (hak pertuanan), nama mana sebelufflnya itu oleh lain2 orang sudah pernah dipakai dengan sambil lalu saja, tapi sejak itu telah menjadi istilah tekhnis. Menurut ilmu sastera istilah tadi mudah menimbulkan salah tafsiran, oleh karena hak untuk „beschikken” (menguasai mutlak) dalam arti kata memindahkan tangan, justru hak sedemikan itu t i d a k ada pada masyarakat itu (hal. 8 1 ). T api menurut sejarahnya tidak mungkin menimbulkannya salah faham, karena Van Vollenhoven seketika di waktu pemberian nama itu pada tahun 1909 (dalam tulisannya „miskenningen”, hal. 19, 20) dan sesudahnya itu ber-ulang2, enam tanda2 „beschikkingsrecht” (liak pertuanan) itu — di antara mana „tidak boleh dipindahkan tangan
—
dengan tegas dilukiskan. B e r l a k u n y a ke d a l a m . Masyarakat itu, dalam arti kata anggauta2nya bersama, mempergunakan hak pertuanan (beschik kingsrecht)-nya berupa dan dengan jalan meraungut keuntungan dari tanah itu dan dari binatang2 dan tanaman2 yang terdapat dengan tak terpelihara di situ. Masyarakat itu, dalam arti kata kesatuan daripada anggauta2nya, fmembatasi kebebasan berbuat da ripada anggauta2 perseorangan berdasarkan atas haknya atas tanah itu dan untuk kepentingannya sendiri (kepentingan masyarakat.). Hubungan hak pertuanan terhadap hak2 oran^ seorang adalah menguncup-mengembang bertimbal-balik dengan tiada hentinya. Besarnya perbedaan — dipandang dari sudut nilai sosial — hak orang seorang terhadap hak masyarakat mengakibatkan sama besarnya kekuatannya hak masyarakat untuk mempertahankan diri terhadap hak orang seorang itu, demikian juga sebaliknya. T indakan2 dari luar, hal mana nanti dibicarakan lebih lanjut, mempengaruhi de ngan pelbagai cara berlakunya hak. masyarakat itu. H am pir tiada tempat di Nusantara ini (kecuali mungkin di kepulauan Banggai, di Ngada di Flores) yang tiada sama sekali terdapat ta.nda2 adanya „beschikkingsrecht” itu ; isinya — dalam arti kata hukum positief - ada berbeda sangat satu sama lain, ialah karena faktor2 termaksud di atas. Apa yang di sini terutama akan diuraikan, adalah melukiskan tokoh dasar di Indonesia sini daripada hak pertuanan itu. cifnf reristimewa daripada hak pertuanan, sehingga m em butuhkannya nama tersendiri itu, ialah terletak pada daya tim bal-balik dari pada hak itu terhadap hak2 orang seorang. Makin m emperkuat ang gauta masyarakat (karena pengolahnya tanah) hubungannya perseorangan dengan sebidang tanah yang tertèncu daripada bum i yang diH f"lfl 7 h^ hllckingsrecht”, makin mem perdalam ia hubungannya
hukum perseorangan (terhadap tanah itu ), maka makin surutlah jiak-nya masyarakat terhadap sebidang tanah pertanian, kolam ikan atau tanah pekarangan itu. Bilamana hubungan perseorangan atas tanah itu berkurang atau bila hubungan itu diabaikan terus-menerus, maka pulihlah hak2nya masyarakat, dan „beschikkingsrecht” atas tanah itu berlaku kembali dengan tiada gangguannya. Mengenai tanah2 pertanian di Tapanuli Selatan yang dicabut kembali karena orang2nya penumpang yang mengolahnya meninggalkan kuria, ma ka tanah- itu (salipi na tartar) dibagikan kepada orang2 baru atau orang2 miskin -dengan „hak pakai” . Di beberapa lingkungan hukum maka hak2 perseorangan daripada anggauta2 atas sawah yang ditinggalkan, bertahan sampai lama lawan hak masyarakat itu. Di Minahasa- pada pokoknya hak2 perseorangan atas tanah yang terbuka itu bertahan se-lama2nya sampai abadi, di sana tidak ada pencabutan kembali secara pelan2 atau cepat daripada tanah2 yang ditinggalkan, untuk kepentingan ,;besohikkingsrecht” yang utuh ; tetapi sebaliknya dalam lingkungan hukum situ masyarakat ada kekuasaan (berdasarkan atas „beschikkingsrecht” ) untuk memberikan hak2 sementara (hak2 pakai) kepada sesama anggauta atas tanah „hak miliknya” lain2 orang, sebagaimana terdapat di Batak atas sawahnya anggauta marga yang „meraja”
(de heersende marga)
disitu.
Di beberapa lingkungan hukum maka kesadaran mengenai adanya hubungan masyarakat dengan tanah itu terbukti dari adanya selamatan2 pada waktu yang tetap di tempat2 selamatan dusün di bawah pimpinan penghulu2 masyarakat pada permulaan mengerjakan ta nah ; sedangkan keyakinan dari adanya pertalian hidup antara ummat dan t^nah juga kentara di waktu pesta2 pembersihan dusun sesudah panen dan di waktu upacara2 sebagai itu. Anggauta2 masyarakat yang sebagai perseorangan memungut hasil dari tanah itu, dalam kebanyakan lingkungan hukum pada pokokselama penggarapan tanah itu se-mata2 diperuntukkan buat nafkahnya masih diakui bahwa mereka mempergunakan hak masyarakat, keluarganya atau kerabatnya sendiri. Bila anggauta2 itu melewati batas (misalnya menggarap tanah itu untuk maksud perdagangan) maka mereka diperlakukan seberapa jauh sebagai orang2 luaran masyarakat, dan hak masyarakat „ke luar” berlaku terhadap mereka itu (seberapa ja u h ). Sebagai (sesama)
pendukung hak masyarakat maka anggauta itu
mempunyai hak untuk berburu dan mengumpulkan hasil hutan untuk dipakai sendiri dan dengan demikian ia memperoleh hak milik atas apa yang diperolehnya; selanjutnya ia ada hak meng-
ambil buat dimilikinya pohon2 yang tumbuh sendiri di hutan2 itu. Perbuatan sedemikiaji itu menimbulkan pertalian perseorangan da lam hukum antara anggauta dan pohon itu ; dan meskipun perbuatan tadi dijalankannya berdasar atas keanggautaannya daripada masya rakat pemilik „beschikkingsrecht” itu, namun pertalian hukum se cara perseorangan yang telah ditimbulkan itu selanjutnya menera* patkan si anggauta itu sedikit banyak berhadapan dengan masyara kat itu. Pertalian pribadi itu diselenggarakan setelah si anggauta itu mengadakan pujaan dan menempelkan sesuatu tanda, ialah tan da larangan dan tanda milik, dalam pada itu misalnya juga dipancangnya pasak2 untuk dapat dipanjatnya pohon itu atau ditebangnya tanaman2 sekitar pohon itu supaya menjadi bersih. Sejak itu maka pohon itu buat sementara dilepaskan dari kekuasaan anggau ta2 lainnya untuk dipungut hasilnya ; hak masyarakat m enjadi terlekuk, setengahnya terdesak ke luar, namun hak masyarakat itu masih tetap meliputi hak pribadi, sebagaimana perseorangan diliputi oleh ummat seluruhnya, pujaan (offer) perseorangan diliputi oleh pujaannya masyarakat. Bila tanda2 itu menjadi tidak kentara lagi karena kulit pohon atau cabang2 itu bertumbuh kembali, maka hak masyarakat herpulih kembali sepenuhnya pula dengan menghapuskan hak perseorangan itu, maka masing2 anggauta dapat lagi memiliki pohon itu menurut hukum. Akhirnya anggauta masyarakat itu ada hak membuka tanah (ontginningsrecht), yaitu ia dapat menyelen'ggarakan hubungan sendiri terhadap sebidang tanah sebagai sebagian dari lingkungan hak pertuanan (besehikkingskring). Hak membuka tanah itu m enurut hu kum adat adalah hanya salah satu daripada tanda2 lahir daripada „beschikkingsrecht” dan hanya ada pada anggauta2 masyarakat atas tanah2 di lingkungan hak pertuanan sendiri (walaupun pada pokoknya hak membuka tanah itu dapat diperoleh oleh orang2 luaran saban2 buat satu panen). Bila pembukaan tanah itu dilaksanakan di bawah pimpinan penghulu2 ber-sama^ dan mereka yang m cm bagi2kannya menjadi tanah2 pertanian perseorangan, kem udian di tahun berikutnya lagi terjadi demikian, sedang bagian yang ditinggalkan itu telah tertutup oleh semak2, maka di situ hubungan per seorangan adalah tidak-berapa lama dan lemah, sedangkan pertalian masyarakat yang meliputinyj adalah kuat. Bila si anggauta sendiri memilih sebidang tanah hutan dan di sana m enaruhkan tandanya dengan setahunya penghulu, dan di sana mengadakan pujaan pula, maka dengan demikian
ia telah melaksanakan pertalian
hukum
dalam lingkungan ketertiban masyarakat; hal itu berarti, bahwa di antara anggauta2 hanya dialah yang berhak m engerjakan tanah
itu sebagai tanah pertanian, ialah tanah pertanian buat dia sekeluarga, asal selalu dikerjakannya penebangan, pembakaran dan penanaman ; jikalau dia melewatkan musimnya yang tertentu maka dapatlah ia oleh anggauta lainnya dipaksa memilih (berdasarkan „beschikkingsrecht” ) : di antara „terus mengerjakan tanah itu untuk diri sendiri” atau „menyerahkannya kepada orang lain” . Dengan perkataan lain ia sementara hanya mempunyai h a k t e r d a h u l u , (voorkeursrecht) atas tanah itu. Bila ia meneruskan pekerjaannya membuka dan menanami tanali itu sampai selesai, maka ia sebagai perkecualian menurut hukum hanya mempunyai hak perseorangan selama satu tanaman, sampai panennya, jadi ia hanya mempunyai hak m e n i k m a t i (genotrecht). Acapkali ia mempunyai „hak menikmati” m e n u r u t
kenyataannya,
karena tanahnya se-
sudah panert sudah „habis” , tak dapat menghasilkan sama sekali, setelah ia meninggalkan tanali itu, maka masih tetap ada padanya „hak terdahulu” (voorkeursrecht) atas tanah itu, selama pohonJan dan semak- yang tumbuh liar belum mencapai besar batang yang tertentu, tapi sesudah mencapainya itu, maka hubungan hak perse orangan itu lenyaplah (di Minahasa tidak, hal. 74) dan „beschik kingsrecht” timbul kembali dengan tiada gangguannya. Ia dapat memegang teguh haknya itu dengan jalan menanaminya dengan pohon2 buah2an atau pohon2 karet ; bukannya dengan jalan menanam satu pohon atau beberapa polion, karena bila demikian ia hanya memperoleh hak milik atas pohon2 itu belaka, tapi harus ia menanam pohon2 sebegitu banyaknya sehingga tanah itu meiupakan kebun buah2an, kebun karet atau kebun kopi. Dengan demi kian haknya atas tanah seharusnya disebut
hak
milik
atau
„Inlands bezitsrecht” (busuran di kebun2 kopi di Jawa T im u r ), walaupun tanah itu bila tak dipelihara dapat haknya beralih ke „hak terdahulu” dan selanjutnya lenyap sama sekali. Akhirnya ia dapat mencetak tanah2 pertanian yang saban tahun dikerjakannya dan tanda2 daripada tujuannya itu berupa tanggul, saluran air atau saluran serupa itu dan halaman2 rumah, yang didiami terusmenerus, maka di atas tanah itu ia tetap mempunyai hak milik, selama, biarpun sedikit, masih nampak sisa2 daripada tanggul- sawah dan tiang2 rumah itu. Tanah2 pertanian dan halaman2 rumah sede mikian itu dapat diwariskan dan pemiliknya Pribumi kebanyakan dapat menjualnya dalam lingkungan masyarakat itu sendiri. Apakah ia dapat menjualnya kepada orang2 di luar daerahnya, hal ini tergantung dari apakah „beschikkingsrecht” dalam berlakunya ke luar tetap menolaknya atau sudah tak berdaya lagi akan menolaknya.
Mungkin juga yang tinggal hanya h a k t e r d a h u l u untuk beli (tanah tetangga) ( n a a s t i n g s r e c h t) u n tu k se sama anggauta, yang untuk mencegah jangan sampai orang asing membeli tanah tetangganya itu, berhak ia m em belinya sendiri seharga sama dengan tawaran si asing. Terhadap ladang2 dan kebun2 buah2an yang sudah tetap, m aka masyarakat itu tetap melakukan hak pertuanannya pada pokoknya dengan jalan mengambil kembali tanah2 pertanian itu sesudah m atinya pemunjanya dan selanjutnya diberikannya kepada seorang penduduk dusun yang diangkat menjadi penduduk inti dari dusun situ, atau diberikannya (kebanyakan) kepada warisnya yang terpilih (hal. 2 5 0 ); dengan jalan menggantikan kedudukan ayah oleh anaknva lelaki sesudah ia kawin ; dengan jalan menjaga jangan sam pai seseorang penduduk inti dari dusun itu m empunyai lebih dari sebi dang tanah pertanian yang biasa luasnya, jadi diadakan larangan raenjual tanahnya dalam lingkungan dusun itu, sehingga dalam pokoknya semua penduduk dusun secara sama rata dalam m em u n g u t hasil tanah itu ; dengan jalan mengambil kembali tanah itu d i m ana pemegangnya bertindak buruk terhadap golongannya atau b ila ia mernnggalkan dusunnya, dalam hal mana tanah2 itu lantas diberikan kepada orang2 lain : dadal (J .), salipi na tartar (T a p . Sel.) . Tekanan yang berat dari fihak kekuasaan pusat atau kekuasaan masyara at yang karena sebab2 lain menjadi amat kuat atau tetap . amJ.. U„at, (T n g3nan di Bali) dapat mengakibatkan, bahwa pengambilan- kembali tanah2 itu menjadi aturan yang berkala ; aturan2 sedemikian itu disebabkan .baik oleh pajak2 dari fihak raja2, m au pun oleh beban2 yang diletakkan oleh gubernemen kesemuanya itu lebih2 terjadi di desa di Cirebon dan di Tawa Tengah ; begitulah timbul aturan pembagian berkala daripada tanah2 pertanian, hal mana tidak sedikn inendapat sokongan dari fihak pabrik2 gula, supaya memperoleh tanah2 sewaan yang u tuh tidak ter-pisah2. D e ngan cara demikian maka tercapailah suaitu aturan, sehingga penduduk desa sejauh mungkin dapat hasilnya tanah secara sama rata sama rasa ; aturan itu kadang= tetap berlaku, manakala ada perbedaan dalam kurus atau gemuknya tanah dalam satu'desa ataupun karena sebab2 lain ; tapi aturan itu kadang2 tetap ham pir semua dengan sendirinya cenderung akan lenyap bilamana desakan dari luar berkurang. Pembagian2 berkala daripada tanah itu tidak di jalankan terus hal ini telah nampak dilebih dari satu tem pat ser jak pengurangan pabrik2 gula di Jawa sejak 1933) maka pertalian hukum dengan perseorangan menjadi erat. Bila percampuran tangan
dari desa terhadap tanah mepjadi lenyap maka akhirnya tidak ada halangannya bahwa seseorang mempunyai lebih dari sèbidang tanah pertanian, pula tak ada halangannya menjual tanah* pertanian kepada orang dari lain2 tempat secara besar2an (misal yang terken a l : di K ed u ), dan dengan demikian maka „beschikkingsrecht” desa dalam geraknya ke dalam (dan ke luar) hampir seluruhnya „tertahan” . Hak mencabut kembali tanah bilamana si pemunya tidak baik kelakuannya, hal jatuhnya kembali tanah kepada desa bilamana ditinggalkan atau pemunyanya mati dengan tidak ada ahli warisnya, bantuan dari fihak kepala2 desa dalam urusan perjanjian2 mengenai tanah, itu semuanya adalah bekas2 yang terakhir yang masih ada, ialah bekas- daripada adanya „beschikkingsrecht” . Adanya orang menamakan hak desa itu dengan istilah „communaal bezit” (tanah „pekulén” tanah „gogolan” , dsb.nya) dengan bagiannya „giliran” atau „tetap” („wisselende” of „vaste” aandelen), itupun karena orang tak dapat menangkap dan mengakui proses yang diuraikan di atas tadi (walaupun dalam praktek proses itu berjalan terus) ; pula orang menyebut „individueel recht” (hak perseorangan), pada ■ hal bila orang itu mengakui adanya hak desa mestinya harus menye'■ butnya „hak pakai aitas satu bagian” (gebruiksrecht op een aan; deel) ; atau ada orang yang menyebutnya „hak-milik perseorangan : turun-temurun” (erfelijk individueel bezitsrecht), dalam sebutan Smana sudah tidak diakui lagi adanya hak desa, pula ada lagi yang menyebutnya „hak milik campuran” (gemengd bezit), maka semua nya sebutan2 itu mengakihatkan kesalah fahaman theoritis yang sebesar2nya, dan menyebabkan tindakan2 sosial yang sangat keliru pula. Percampuran tangan
dari fihak negory
mengenai tanah2 dati
(yang dihubungkan dengan dikenakannya pekerjaan rodi atas kerabat2 di Ambon) merupakan suatu persamaan yang jitu dengan percampuran tangan desa mengenai tanah2 pertanian yang telah dilukiskan di atas tadi. Di Ambon oleh penjabat2 pemerintahan negory untuk pekerjaan negeri dipergunakan tenaga3 dari kerabat^ yang tertentu yang dari fihak dusun telah diberi bagian tanah2 dati, se-akan2 buat upahnya atas pekerjaannya dinas itu. Ke dalam, maka „beschikkingsrecht” itu juga berlaku karena ba gian2 tertentu daripada daerah sendiri dipakai buat tanah tempat kediaman umu-m atau buat keperluan2 masyarakat sebagai kesatuan (pekuburan, cadangan kayu untuk pertukangan, penggembalaan umum, tanah2 arajang di Sulawesi Selatan, tanah „bengkok ) atau karena dipergunakan untuk dipungut hasilnya buat masyarakat
sebagai kesatuan (sawah buat kas desa, suksara, titisara, J. kolam perikanan yang diborongkan untuk mengisi kas marga di Palembang, kas dusun negory di Ambon) dan oleh karenanya tertutup untuk dipetik hasilnya oleh sesama anggauta. Pencadangan ini da pat diselenggarakan dengan jalan melarang memotong dan memetik; pula larangan memetik buat sementara (sasi di Am bon) atau larangan mengambil ikan buat sementara (di kalangan orang2 Toraja) adalah termasuk aturan2 pencadangan itu. Pemakaian tanah sebagai „bengkok” yang dipetik hasilnya oleh kepala atau pegawai masyarakat hukum selama mereka menjabat dinas, adalah terdapat di daerah2 yang telah ada sedikit banyak kekurangan tanah; di lain2 tempat kepala2 desa juga dapat2 niencapai hasil yang sama yaitu dengan jalan memiliki tenaga kerja daripada sesama anggautanya. Pengertian tanah bengkok itu jangan dicampur adukkan dengan tanah yang oleh sesuatu kerabat diserahkan kepada salah seorang anggautanya yang ditugaskari untuk menjalankan kewajiban kerabat itu, pula jangan disamakan dengan tanah yang kadang2 dibuka oleh kepala2 dusun untuk dim iliki sendiri se-Iama2nya dengan mempergunakan tenaga2 yang didinaskan Vepadanya (dusun di Ambon yang dicetak dengan tenaga orang2 yang dikenakan dinas kwarto, hutan2 rotan yang luas yang diseenggara an oleh kepala2 Dayak d e n g a n mempergunakan tenaga2 >U(.i\ Imtan- mana dimiliki dan dipelihara untuk diri sendiri. (Ian sebagainya). Karena tidak membeda2kan kemungkinan2 ini maka akibatnya acapkali ialah pertengkaran2 yang berlangsung sampai lama. Tanah- bengkok (ambtsvelden) daripada masyarakat2 itu (saba na bolak di Batak, galung arajang di Sulawesi Selatan, dusun dati raja di Ambon, bukti di Bali, dan sebagainya) berbeda pula de ngan tanah2 bengkok yang kadang2 diberikan oleh fihak raja ke pada pegawai rendahan daripada raja2 itu — dengan tak menghiraukan adanya „beschikkingsrecht” daripada masyarakat2 kecil2 — dan oleh karenanya aturan ini termasuk aturana di alam raja2. T a n a h 2 bengkok di Jawa (bengkok, dsb.-nya) sekarang adalah sebagian dari pada tanah masyarakat yang diperuntukkan gaji kepada desa : asalusulnya mungkin berpangkal di alam raja2 : tanah2 halaman rumah jabatan (ambtserven) di zaman dulu daripada para bekel di daerah swapraja adalah benar2 termasuk berpokok tadi. Istilah „g a d u h " yang di Jawa juga terdapat untuk maksud bengkok, adalah sangat m em bingungkan karena
istilah itu ada maksudnya
bungan dengan tanah „lungguh” (apanages).
juga^ yang berhu-
Berlakunya „beschikkingsrecht” ke dalam seluruhnya ada di bawah pengawasan daripada penghulu2 rakyat, kadang2 juga daripada wali2 tanah
(grondvoogden)
tersendiri,
hal mana
lebih lanjut
nanti
(hal. 85). Berlakunya
ke
luar.
Hak pertuanan atau „bescliikking-
recht” itu ternyata berlaku k e l u a r karena orang2 luaran masya rakat, orang2 dari lain2 tempat termasuk juga orang2 dari masyarakat tetangga, hanya boleh memungut hasil dari tanah selingkungan „beschikkingsrecht” sesudah mendapat izin untuk itu dari fihak masyarakat, pula sesudah membayar wang pengakuan di muka be serta wang penggantian di belakang; di situ si asing tadi pada pokoknya tak dapat memperoleh hak orang seorang atas tanah lebih lama daripada tempo untuk menikmatinya, ialah satu panen ( g e n o t r e c h t) ; pula ternyata berlakunya hak pertuanan ke luar itu ialah batyva orang2 luaran- tak boleh mewaris, membeli atau membeli gadai tanah2 pertanian, pula bahwa mereka malahan menurut hukum adat dapat dilarang dibata-si dengan perjanjian- untuk menginjak daerah lingkungan „beschikkingsrecht” itu (ini terlepas dari soal mungkin atau tidaknya demikan itu menurut ketatanegaraan pada sekarang ini) . Mereka yang datang dari luar harus berhubungan dengan peng hulu2 rakyat untuk mendapat izin. Permohonan izin itu menuiut cara Indonesia patutnya disertai dengan sekedar pemberian untuk membuka jalan ke arah jawaban (yang b a ik ). Selanjutnya maka di beberapa lingkungan hukum terdapat tanda yang kelihatan mata sebagai pendahuluan, wang pemasuqan
(Aceh), mesi
(Jawa), di-
bayarkan pada permulaan mempergunakan tanah oleh si asing, ya itu suatu tanda daripada kenyataan bahwa ia dengan kesadarannya mendatang di tanah
milik orang lain untuk memungut hasilnya.
Mereka yang bukan golongan jnarga yang „meraja
(heersende mar
ga) misalnya di Angkola, dapat memperoleh izin mendirikan dusun dalam daerah beschikkingsrechtnya suatu kuria; disebut; huta na r o ) ; penghulunya
(si
(dusun itu lantas
pembangun dusun,
mja
sioban ripé) harus membayar dengan enam ekor kerbau, yang diperuntukkan buat masyarakat seluruhnya di induk dusun dan dusunlainnya — yang merupakan se kuria — dan karena demikianlah maka di Bali seluruh penduduk padukuhan immigrant- Kastala (termasuk juga pegawai2 raja yang dipekerjakan buat sementara di sana) di tanah Tnganan (Bali) tak lain dan tak bukan hanya pemaroh2 (deelbouwers) atas tanah2 pertaniannya orang2 Tnganan.
Ketiga : adalah kebiasaan umum pemungutan biaya di belakang-, juga dengan akibat, bahwa dengan demikian diakui telah m em u ngut hasil dari tanah orang lain (maka dari itu boleh lah kadang2 jumlah pembayaran senyatanya kalau perlu araat sedikitnya, asal ada pembayaran apa2 saja) sepulüh satu (1 0 % ) sewa b u m i, bunga kayu, dan sebagainya. Di Minangkabau maka amsal adat „lem ba g a dituang, adat diisi” kadang2 ditafsirkan, bahwa pajak d a n biaya dibayar oleh orang2 luaran masyarakat. Bukannya p e n g h u lu 2 saja mendapat bagian dari pemungutan2 itu, melainkan ju g a orang2 ba nyak yang berhak atas tanah itu, seperti paung asal, yaitu golon gan i T f 37* ^USUn2 camPuran di tepi
sungan Barito
(K a lim a n ta n ),
Terhadap orang2 luaran itu, maka masyarakat dengan sadarnya tetap memegang haknya atas tanahnya ; orang2 luaran itu tak dapat mendesak kembali hak itu, mereka tak dapat berakar d alam tanah itu, mereka tetap duduk kendur2 di atasnya (orang m e n u m p a n g ber hadapan dengan orang asal, R e j.). Hanya bila dan d i m a n a orang2 „luaran asli itu sepanjang masa, turun-temurun, m en etap d i masyarakat, maka mereka (sebagai suatu bagian dari proses jalannya w ans \uaran ^menjadi anggauta berdasarkan atas lam anya ia mew an* iT* “ cmperoleh pemakaian tanah yang bersifat lebih p, a an tetapi pemakaian tanah sedemikian itu pada saat2 gentmg juga tak dapat dipertahankan terhadap haknya masyarakat, karena itu adalah tetap „pemakaian oleh orang asing (bila m eninggalkan masyarakat, bila ada kecenderungan akan m en ju a l tanah itu) .^Berhubung dengan itu, maka terdapatlah keadaan, bahw a kadang- dalam dusun2 atau kesatuan2 wilayah anak cucu daripada pembentuk atau pembentuk2 dusun merupakan suatu golon gan inti, yang hanya dapat hak se-bulat2nya atas tanah, sedang sesama ang gauta wilayah lainnya tentang itu hanya menempati kedudukan yang berkurang, walaupun mereka tak dapat disebut orang2 luaran lagi. Demikian dapat dimengerti pertimbangan kedudukan m engenai tanah antara marga tanah (heersende marga) terhadap p e n u m pang-nya di Batak (hal. 4 2); penumpang2 yang m enjadi sanaksaudara karena perkawinan dan yang mendatang dari lain 2 d a e r a h dapat (lambat-laun) di sana suatu hak milik yasan atas tanah tertentu, yang dihadiahkan karena perkawinan anaknya perem puan, walaupun kedudukannya mengenai hak atas tanah itu m u la2 lem ah. Dalam lebih dari satu lingkungan hukum terdapat, bahwa masyarakat2 itu dengan cara perjanjian bertimbal-balik m enghapuskan kedudukannya „asing terhadap satu sama lain
(voor elkaar vreern*
den zijn) (misalnya berhubung dengan suatu pertalian perkawinan di antara penghulu2n ya ), maka oleh karena itu aturan2 pembukaan tanah baru dan pengumpulan hasil2 hutan didasarkan atas berlakunya „beschikkingsrecht” ke dalam, bukannya atas berlakunya ke luar. Bertanggung-jawablah masyarakat yang mempunyai „beschikkingsrecht” itu terhadap reaksi adat mengenai pelanggaran atau kejahatan yang terjadi di daerah „beschikkingsrecht” nya dan yang diperbuat oleh seseorang yang tak dikenal; ini dapathih disebut sudut yang tak menguntungkan daripada „beschikkings recht” dalan; berlakunya ke luar. Pertanggungan-jawab tadi ber dasarkan atas hubungannya dengan tanah dan ini ternyata dari hal2 yang telah kejadian di mana orang2 dapat melepaskan diri dari pertanggungan-jawabnya dengan jalan menyerahkannya sebagian tanah lingkungan „beschikkingsrecht” , di mana mayat siterbunuh cliketemukan orang; teranglah, bahwa di satu fihak per tanggungan-jawab itu'berdasarkan atas alam pikiran „serba berpasangan” (participerend denken) dan di lain fihak timbul dari suatu siasat licin yang dipandang perlu dari fihak raja2 atau fihak ke kuasaan gubernemen. Bilamana pert'anggungan-jawab tadi h a n y a berdasarkan itas maksud terakhir ini, maka sifatnya sudah berubah. Di samping pertanggungan-jawab tadi adalah pertang^ gungan-jawab lain yang lain pula dasarnya, ialah pertanggunganjawab daripada segolongan sanak-saudara terhadap seorang dari pada anggauta2nya. Pada lahirnya mungkin kedua macam pertang gungan-jawab itu luluh menjadi satu nampaknya, bilamana satu golongan sanah-saudara sebagai masyarakat hukum mendiami territoir sendiri; namun kedua lembaga yang berbeda mutlak satu sama lain ini dalam hukum adat tetap tertampak berdampingan. T u g a s p e n g h u l u 2 rakyat. Oleh karena itu maka penghulu2 rakyat mempunyai tugas rangkap sesuai dengan berlaku nya „beschikkingsrecht” yang rangkap pula, ialah ke luar sebagai wakil2 masyarakat menghadapi orang2 luaran masyarakat, dan ke dalam sebagai pengatur bagaimana anggauta2 sebagai sesama pendukung „beschikkingsrecht” melakukan hak perseorangannya dan menanam hak2nya atas tanah itu ; ia bertugas sebagai pemelihara tanah yang dipergunakan langsung untuk kepentingan masyarakat. Barangkali „wali2 tanah” (grondvoogden) itu hanya mempunyai tu gas ke dalam ini. B e n d a r e c h t ”.
(o by ekt)
daripada
„beschikkings-
Hak pertuanan berlaku baik atas tanah, maupun atas
perairan (sungai2, perairan pantai laut) dan juga atas tanaman yang tumbuh sendiri (pohon2 lebah, pohon2 buah2an, pohon2 untuk pertukangan) beserta atas binatang2 yang hidup liar. Karena berbagai keadaan maka berlakunya „beschikkingsrecht” dalam lingku ngan „beschikkingsrecht” yang tertentu dapat sangat ber-beda2. Di Jawa „beschikkingsrecht” itu, mungkin hanya sebagai perkecuali an, dapat ternyata terhadap tanah yang belum terbuka (hutan2) , terhadap dasar2 sungai yang menjadi kering, pulau2 yang timbul dan lain2nya, terhadap tanah yang dipungutnya dari perairan, maka „beschikkingsrecht” itu sebagaimana diseluruh Nusantara selalu berlaku dengan tertibnya ; terhadap pembawaan2 lumpur (aanslib bing) pada tanah pertanian maka biasanya diakui juga haknya terdahulu (voorkeursrecht) si pemilik tanah pertanian itu atasnya. Pula berlakunya „beschikkingsrecht'' atas tanah yang sudah dikerjakan itu tidak selalu sama. Dalam pelbagai lingkungan2 hukum (misal nya di Tapanuli Selatan, Ambon, Bali, Jawa) dapatlah orang mem-bedaakan tingkatan dalam kehebatannya, di beberapa dusun Pertama : hak masyarakat itu paling kuat atas tanah2 yang sebagai tak bertuan jatuh kembali kepada dusun dan lantas oleh dusun itu kepada pemilik baru angkatan dusun itu sendiri ; perta'.iannya hukum perseorarfgan atas tanah itu buat sementara itu mengizinkan ia membuat perjanjian suatu apa mengenai tanah itu dan kedudukannya lemah sekali terhadap tindakan dari fihak kekua saan dusun, misalnya bila tanah itu diambil kembali karena peker- jaan dinas dilalaikan. Kedua : „beschikkingsrecht” itu berlakunya juga mendalam atas tanali yang menjadi milik inti daripada ang gauta2 dusun; selama seorang keturunan (anak lelaki) m emiliki tanahnya leluhur2nya, maka pertalian hukum perseorangan daripa da penduduk inti dusun dalam lingkungan dusun itu m em ang kokoh, tapi kepentingan dusun menjaga jangan sampai ada perubahan dalam kedudukan hukum tanah2 inti itu, pula jangan sam pai tanah2 dikenakan perjanjian2, jangan sampai di-bagi2 di antara ahli waris, jangan sampai jatuh terkumpul di satu tangan ; bila mana anggauta inti dusun meninggal tanpa anak-cucu, m aka dursun mengangkat pemilik baru atas tanah2 pertanian atau kebun2 (Ambon) yang laraa-kelamaan memperoleh kedudukan yang sama seperti pemilik2 semula. Ketiga : di masyarakat sedemikian itu — di samping tanah2 yang sudah dibagikan oleh dusun dan di sam ping tanah2 milik penduduk inti dusun — mungkin juga terdapat hak milik atas tanah2 pertanian atau atas kebun2, terhadap m ana hak masyarakat sudah terdesak lebih jauh lagi ke -belakang; pem ilik2 ini dapat menggadaikan dan menjual tanah2nya, jarang sekali ta-
nan2 itu jatuh kembali kepada dusun dan tindakan2 dusun terhadap tanah2 itu adalah jarang p u la ; di Jawa disebutnya sawah yasa (berhadapan dengan sawah pekulen, gogolan), di Am bon disebutnya dusun pusaka (berhadapan dengan dati) dan seterusnya. Inilah berlakunya hak dusun yang lipat tiga atau lipat dua, hal mana kadang2 disebut dengan istilah (yang umumnya tidak tepat) : „milik campuran” („gemengd bezit”), (hal. 77). Terhadap tanah pekarangan berlakunya hak masyarakat itu ka dang2 juga berlainan dengan terhadap tanah2 pertanian dalam dusun yang sama, itupun karena dari fihak dusun lebih mudah di jalankan tindakan2 untuk mencetak pekarangan baru dari pada tin dakan2 untuk memiliki tanali2 pertanian baru. L in gk u ng a n „ b e s c h i k k in g s r ec h t” yangran.g-, kap. Dengan dua jalan orang dapat menjumpai lingkungan „beschikkingsrecht” yang rangkap (dubbele beschikkingskring). Pertama (sebagai perkecualian) suatu lingkungan „beschikkings recht” daripada sebuah dusun di pedalaman yaitu daerah sesungguhnya yang didiami dan dipungut hasilnya untuk Jiidup, dan di samping itu — kadang2 jauh jaraknya dari situ — lingkungan „beschikkingsrecht” sepanjang laut, dari mana dusun itu mengambil hasil2 laut dan garam yang sangat dibutuhkannya. Selanjuitnya dan yang lebih sering terdapat, yaitu lingkungan „beschikkingsrecht rangkap yang bertokoh sedemikian rupa, sehingga suatu lingkungan tanah2 termasuk lingkungan „beschikkingsrecht” baik daripada du sun, maupun daripada masyarakat wilayah, di mana dusun itu ter letak. Sebagai pangkal pikiran hendaknya orang gambarkan süatu wilayah yang sudah didiami oleh gerombolan2, atas dasar persamaan kedudukan, tersebar di beberapa tempat kediaman. Dan j urusan raasing2 dusun dilaksanakan pembukaan tanah yang lantas ditanami dan kemudian ditinggalkan, sehingga tertutup lagi ditumbuhi semakdan dalam pada itu penduduk meladang lagi di lain tempat. Bila atas tanah2 pembukaan pertama ini hak terdahulu sudah lenyap, maka tanah2 itu jatiffi kembali kepada dusun dalam „beschikkingsrecht” nya yang mutlak ; di samping itu tanah2 itu masih tetap ter masuk lingkungan „beschikkingsrecht” daripada masyarakat wilayah yang melakukan haknya lebih tinggi dan yang tetap berwajib memutusi perselisihan2 antara penghulu2 dusun dan anggauta2 dusun nya, memutusi perkara boleh atau tidak bolehnya masuknya orang2 luaran dan sebagainya ; anggauta2 masyarakat wilayah (streek ge meenschap) dalam dusun tak dipandang sebagai orang2 luaran. Tanah2 terletak antara wilayah2 dusun2 adalah se-mata^ termasuk
„beschikkingsrecht” masyarakat wilayah sendiri. H ak2 atas tanah3 belum terbuka daripada suku atau kampuang di dalam sebuah Jiagari di Minangkabau atau daripada dati di dalam negory di A m b o n , m engaki'batkan imbangan semacam itu juga (familie beschik kingsrecht). Pembatasan d a e r a h „ b e s c h i k k i n g s r e c h t ” . Pembatasan yang tegas daripada lingkungan „beschikkingsrecht” di semua lingkungan2 hukum adalah akibat daripada bertemu dengan gerombolan2 lain dan pemagaran dari gerombolan2 itu, gerom bolan2 mana sudah menetap di atas tanah situ sebagai kesatuan yang berdiri sendiri atau sebagai demikian sudah memisahkan diri dari in* duk dusun ; pembatasan yang samar2 dapat berlangsung terus bila tanah2 kosong itu sangat luasnya. P e r l i n d u n g a n n y a . Selama tidak ada kekuasaan lebih tinggi meliputi masyarakat2 itu, maka pertahanan kedudukan terhadap daerah sendiri itu tergantung dari daya pembelaan sendiri atau dari hormat-menghormati hak masing2. Maka dari itu terdapatlah dalam pemerintahan2 masyarakat : penjabat2 yang terutama ditugaskan untuk melindungi pembatasan2, ialah di M inangkabau ; rmg, di Mtnahasa: teterusan, di Ambon : kepala kéwang, di T n g a n -
an A u J pt Sl6m bukït Üuga di Jawa:
reksabumi ?). Seketika sesudah ada kekuasaan yang meliputi masyarakat2 kecil itu dan sepanjang pengaruh kekuasaan itu — baik pem erintahan ga bungan dusun2, maupun kekuasaan raja2 atau pem erintahan gubernemen pusat - maka timbullah suatu suasana di m ana perta lian antara gerombolan dan tanah dapat berlaku sebagai hubungan hukum. Keinginan ke arah situ adalah bukan sekali saja m en jad i sebab daripada timbulnya pemerintahan raja2 Pribumi (Bali, Indragiri). Di samping perlindungan yang berupa penjaga2 batas, patroli2, perang2 dusun, terdapat surat2 pengakuan dari raja (ptegam), keputusan2 hakim2 serikat, hakim2 raja2, hakim 1 guberne men dan penjabat2 pemerintahan. K a r e n a didiamkannya „beschikkingsrecht” ini da lam perundang-undangan, maka akibatnya dulu dan sekarang ialah pelbagai pertentangan yang mustinya tak perlu ada. N a m a. Nama untuk „beschikkingsrecht” sendiri yang tnenunjukkan adanya suatu hubungan rupa*nya dalam bahasa Indonesia tidak atau jarang terdapat - namun buat lingkungan „ b e s c h i k kingsrecht” (beschikkingskring) 'sendiri sebagai lingkungan d i mana2 praktis ada istilahnya ; istilah itu adalah sebutan untuk lingku-
ngan „beschikkingsrecht” baik sebagai milik — patuanan (Ambon) — m aupun sebagai daerah penghasil makanan — panyampeto (Ka limantan) — atau sebagai lapangan yang terpagar — pawatasan (K alim antan), weivengkon (Jawa), prabumian (Bali), atau seba gai tanah terlarang buat lain orang — tatabuan (Bolaang Mongondow) . Selanjutnya terdapat istilah2 seperti torluk (Angkola). lim po (Sulawesi Selatan), nuru (Buru), payar (Baili), paer (Lom bok) , ulayat (M inangkabau). Selanjutnya „hak ulayat’* ini bermaksud „beschikkingsrecht” sebayai hak subyektif dalam arti „technisch adatrechtelijk'’, tapi terbenturlah orang pada kenyataan, bahwa orang tak mengatakan haq ulayat nagari, melainkan „lingkungan” daripada nagari. Apakah perkataan2 golat di Batak dan édikio di Enggano sudah betul disalin dengan „beschikkingsrecht” dalam arti subyectief, maka hail ini harus diselidiki lebih lanjut. Di samping apa yang tersebut tadi masih banyak lagi istilah2 untuk „beschikkingsrecht” itu. W a l i - t a n a h (grondvoogd). Perkataan wali tanah ter dapat dipakai dalam kesusasteraan dalam dua macam arti. Pertama yang dimaksudkan ialah seorang kahin masyarakat (gemeenschapswïchelaar) yang terutama mengetahui syarat2 supaya kekuatan2 gaib membiarkan saja perbuatan2 manusia mengenai tana:h. K ed ua: maksudnya ialah seorang yang di samping pemegang2 pemerintahan umum menjalankan kekuasaan2 yang timbul sebagai akibat dan . ^beschikkingsrecht” yang ada pada masyarakat. Dalam hubungan hukum adat maka perkataan itu harus dipakai dalam arti yang terakhir ini. Pemisahan antara pemerintahan umum dan pekerjaan2 yang bersangkut-paut dengan adanya „'beschikkingsrecht” bisa ter dapat manakala kekuasaan asing memasuki atau dimasukkan dengan •kekerasan ke dalam masyarakat itu. Dalam hal ini mungkin terdapat tiga jabatan yang sejajar : kahin, wali tanah, dan penghulu2 pemegang pemerintahan umum. Namun selalu atau ha-rapir selalu da lam pada itu jabatan kahin dan wali tanah jadi satu sebagaimana — bila tidak ada kekuasaan asing — jabatan wali tanah dan peng hulu rakyat ada di satu tangan. Dalam makna hukum adat maka wa li tanah itu adalah tanda daripada hubungan mutlak daripada tanah dan ummat manusia, yang berlangsung terus walaupun pemerintahan um um direbut oleh orang2 asing atau diserahkan kepada mereka ; dan justru oleh karena wali tanah itu se-olah2 adalah penjelmaan dari hubungan ibadat sihir (magisch religieus) antara ummat dan tanah, maka ia merangkap sebagai kahin (wichelaar) pada upacara2 tanah. D i Sumba T im u r misalnya pemerintahan direbut oleh go longan2 yang datang dari luar, tetapi penghulu2nya (kepala2nya)
yaitu maramba menyerahkan urusan2 tanah kepada penghulu pen duduk asli sebagai mangu tanah (grondvoogden = w ali2 tanah) . W a li tanah yang dapat disamakan dengan itu di Savu disebut D é o rai, dan seterusnya. Tetapi di wilayah2 situ sering sekali kekuasaan wali tanah yang sesungguhnya adalah terletak lebih pada „perkataan2nya” ( = „tuan” , „pemilik” tanah) dari pada kenyataannya, dan sebenarnya ia hanyalah kahin. Selama perubahan2 yang m en d a lam berlangsung, yang di Am bon mengakibatkan bentukan n e gory dengan pemerintahan negory nya bikinan kekuasaan asing, maka kepala2 clan lama — upu aman — tetap m enjalankan tugas2nya yang berdasarkan „beschikkingsrecht” sebagai tuan tanah (grondvoogden = wali2 tanah). Di beberapa dusun di Pasem ah masih terdapat jurai tua, keturunan langsung dari pem bangun d u sun dengan kekuasaannya dalam urusan tanah di samping p e n jabat yangbertugas kepala dtwun. Hal serupa ini dikhabarkan ora n g pula. tentang dusun2 campuran sepanjang sungai Barito di K alim a n tan . Bila di situ lambat-laun mendatang dan menetap sedemikian banyak orang2 asing, sehingga dari seorang di antaranya terpilih dan dipakai oleh pemerintah pusat sebagai kepala dusun, nam un p engh ulu m e nurut hukum adat daripada golongan a9li tetap m enjabat p en g u lu dengan kewajiban2 dan kekuasaan2nya dalam urusan2 tanah ; ju ga di sini nampak adanya „wali tanah” pula. Demikian juga kadang2 timbul jabatan wali tanah bilam an a dalam masyarakat pemerintahan penghulu oleh fihak luaran diserahkan kepada seorang keturunan kerabat yang lebih m uda daripada kerabat yang menurut hukum adat mestinya melahirkan p engh ulu it u ; berhubung dengan itu maka dalam sebuah negari di w ilayah Kampar timbul perpisahan petigulu andiko - yaitu p en gh u lu 2 rakJrfil — dan tuo ulayat, ialah wali2 tanah. Pokok pikiran daripada lembaga wali tanah, yaitu tak ter-pisah2nya ummat — tanah — masyarakat, kentara juga d engan jalan lain. Dahulukala dikhabarkan orang dari Minahasa bahwa peram pasan tanah (daerah) sesudah peperangan oleh si pem enang perang, adalah „mustahil” , hal mana boleh disebut suatu pernyataan yang . terkuat daripada pokok pikiran tadi agaknya. Acapkali dapat dikenalnya digahungan administratief daripada daerah2 : desa baru di Jawa, negoiy baru di A m bon, huta baru di Batak biarpun ditempatkan di bawah seorang kepala, dan ad m in i stratief dianggap satu daerah, namun dua atau tiga desa lam a, huta atau negory* lama, yang digabungkan jadi satu dusun tadi, m a-
sing2 tetap memiliki daerah2 ,,beschikkingsrecht” nya sebagai dae rah2 persekutuan yang berdiri sendiri terlepas satu sama lain. Seseorang dari sesama dusun gabungan baru, tapi bukan dari sesama dusun lama, adalah dan tetaplah orang asing bagi dusun lama itu ; malahan kepala desanya jangan coba2 tanpa izin dari dusun lama menaxuh sesuatu hak atas tanah dalam lingkungan dusun itu, di mana ia bukan anggautanya, walaupun dusun lama itu sudah menjadi sa tu bagian daripada dusun gabungan yang dikepalainya. D i samping banyak gejala2 yang masih dapat dikenal daripada faham wali tanah itu, maka banyak juga terdapat kenyataan bahwa kekuasaan (pemerintahan) baru bertumbuh menjadi satu hubu ngan yang erat dengan tanah. Di kalangan Toraja Barat maka bangsawan, yaitu rupa2nya golongan yang mendatang dari lain daeiah justru disebut : puee tampo, ialah tuan tanah. T a k d a p a t n y a di p i n dah t a n g a n (onverv r e e m d b a arheid). Menyerahkan sebagian daripada daerah „beschikkingsrecht” sebagai suatu perbuatan yang disengaja, pernah juga terjadi, walaupun jarang. Hal ini tadi sudah pfernah disinggung berhubung dengan pertanggungan-jawab ^ter' hadap kejahatan yang penjahatnya tak dikenal, dan bekas-nya terdapat di daerah pertuanan (beschikkingsgebied) daripada suatu masyarakat. Menyerahkan sebidang tanah, di mana mayat orang yang terbunuh itu terdapat, berarti membebaskan diri dari pertanggunganjawab. Sekali tempo ada dikhabarkan, ba'hwa ada sebidang tanah yang diserahkail bcrsamaan dengan pengoperan barang2 sebagai gantinya, ialah untuk tidak mengganggu kesetimbangan ,magisch ' yang sudah ada, (di kalangan beberapa suku Dayak disebut manjawi), penyerahan mana dianggap sudah selesai bilamana gerom o an baru itu sudah mulai memakai tanah yang diterimanya itu untuk mengubur mayat2 anggauta2nya yang mati (bantai, hal. 42). Karena peperangan dusun atau karena tekanan pemerintahan pusat maka telah acapkali terjadi penyerahan banyak tanah, hal mana mengakibatkan terlepasnya tanah benar2, juga t’erlepasnya faham wali tanah itu, walaupun faham itu tadinya masih lama berlangsung terus dalam keadaan tertidur. Kaidah : „daerah pertuanan (beschikkings gebied) tidak dapat dipindah tangan” tetap per-tama2 berlaku, wa laupun ada beberapa perkecualian2nya. M e n j a d i n y a perseorangan daripada „ bes c h i k k i n g s r e c h t ” ( de v e r p e r s o o n l i j k i n g v a n h e t b e s c h i k k i n g s r e c h t ) . Bentuk dasar da ripada „beschikkingsrecht” dengan demikian telah dikemukakan se-
bagai suatu hak daripada golongan atas tanah yang dilakukan di satu fihak oleh golongan itu dan di lain fihak oleh penghulu2nya atas nama golongan. Di sinilah terletak sudah kemungkinan besar akan menjadinya perseorangan daripada „beschikkingsrecht” itu. Kejadian ini nampak benar2 dalam pelbagai jenis. Janganlah orang menggambarkan sedemikian rupa, ba'hwa pada „asal-mulanya” dulu di mana2 di Indonesia yang terdapat hanya bentuk dasar hak masyarakat atas tanah sebagai tersebut di atas dan bahwa di sana-sini lalu timbuil perubahan2, pertumbuhan atau perusakan perangai, tapi seharusnya digambarkannya sedemikian saja, bahwa andaikata orang dalam satu eerana menyajikan tokoh pokok daripada hak2 golo ngan manusia atas tanah, maka di samping itu orang dapat nampak juga pelbagai hubungan2 hukum, di mana perseorangannya penghu lu berkedudukan yang lebih tinggi. Tokoh luar biasa daripada „be schikkingsrecht” yang menjadi perseorangan ialah suatu negara kecil di mana raja adalah tuan tanah (domeinheer) — tidak hanya nama saja — daripada seluruh daerahnya, dan di m ana tanda2, yang menunjukkan golongan manusia sebagai rechts subjectnya, adalah hanya lemah, tersembunyi dan tak tampil ke m uka, sebagaimana halnya di kalangan Batak Simalungun ; di tanah Batak bagian Selatan ternyata selailu ada niat daripada penghulu2 supaya dirinya diakui sebagai pendukung2 „beschikkingsrecht” . Juga desa (merdeka) di Jawa, yang dikepalai oleh seorang kepala yang „digaduhi” desanya itu oleh raja (in apanage) yaitu desa m i jen , adalah dipandang dari sudut dusun suatu contoh daripada m enjadinya ke arali perseorangan ialah : menarik orang2 luaran supaya mengexploitatie gosong2 mutiara atau tanah2 hutan ; menarik biaya dari sesama anggauta2 golongannya, dalam pada itu lebih rendah jutnlahnya daripada biaya2 buat orang2 luaran m asyarakat; menetapkan tempo yang pendek, yang bila sudah lalu, berakibat tanah yang terlantar kembali kekekuasaan „beschikkingsrecht” (untuk selekasnya dapat diarahkannya kepada lain orang dengan pembayaran bia ya lagi) dan seterusnya. P e n g a r u h k è k u a s a a n l ebi h tinggi. Dari fihak2 kekuasaan raja2 dan gubernemen „beschikkingsrecht” itu mendapat tidak hanya perlindungan yang telah diuraikan tadi (dan pengingkaran) melainkan juga diterobos, dihapuskan dan dibubungkan (opschroeven) juga olehnya (sejalan dengan pengaruhnya atas masyarakat2 tadi) hal. 66. Dapat disebut penerobosan „beschikkingsrecht” oleh fihak alam raja- juga, ialah kewajiban mempersembahkan (dengan sedikit wang penggantian) hasil3 yang sangat berharga (cula badak, mus-
tika, kapur barus, gading dan sebagainya) dan yang sudah terkumpul sebagai barang raja ; pula pengambilan tanah2 pertanian (atau penerimaan) oleh raja, yang terlepas dari masyarakat dipakainya sebagai m ilik raja (tanah pemburuan, tanah pertanian atau tanah „bengkok” bagi sanak-saudara raja atau bagi kepentingain2 raja lainnya). Perbuatan serupa itu oleh fihak gubernemen berupa pernyataannya dengan undang2, bahwa hutan jati adalah milik negeri. Termasuk penghapusan „beschikkingsrecht” ialah apa yang telah dibentangkan di muka tadi tentang apa yang terjadi di pusat2 ta nah2 lungguh (apanage centra) di daerah swapraja di Jawa, be gitu juga di kota2 pantai besar dan apa yang di m uka tadi telah diuraikan sebagai suatu pelantasan ke dalam masyarakat2 sendiri. Pro ses ini mengakibatkan kepribadian (dalam pelbagai arti Jcata : baik daripada raja, maupun daripada pemegang2 lungguh atau daripada petani2) mengenai hubungan2nya dengan tanahnya, sehingga pertaliari hidup dari golongan dengan tanah (golongan dalam arti ummat manusia) sudah lenyap karenanya. Dapat disebut pembubungan (opschroeven) ialah akibat2 yang telah diuraikan di halaman 7ö tadi karena peri'maii- dan raja* a cat/ dari gubernemen yang memaksa supaya tanah2 dikerjakan sesaksama mungkin untuk. penduduk desa sebanyak mungkin, se-akan- ta nah itu adalah upah atas pekerjaan2 dinas yang sudah dijalankan atau se-akan2 tanah adalah bahan buat pemberian hadiah, pada hal mestinya se-akan2 tanah itu, — dan memang sesungguhnya — adalah suatu object hak daripada lingkungan dusun. Dalam bentuk luar biasa yang sedemikian itu, maka hak desa di Jawa adalah suatu *alat untuk mencapai tujuan2 raja2 atau pemerintahan pusat; dalam bentuk luar biasa itu maka hak dati di Ambon mendekati pengganti kerugian untuk pekerjaan2 dinas (kwarto). 2. \.
H A K P E R SE O R A N G A N .
Dalam kctertiban hukum masyarakat2.
Hubungannya dengan hak pertuanan (be schikkingsrecht). Bilamana orang melukiskan tam’ ciri isinya hak2 perseorangan atas tanah dan keadaannya hak2 itu, maka orang akan dapat mengulangi lagi apa yang diuraikan tad. mengenai „beschikkingsrecht” daripada masyarakat atas tanah, tapi ditinjaunya dari sudut lain. Sebagaimana „beschikkingsrecht” dalam berlakunya ke dalam dibatasi oleh hak2 perseorangan atas tanah, begitupun hak perseorangan terbatas oleh kelonggaran yang ditentukan (yang harus ditentukan) oleh „beschikkingsrecht” itu.
H ak mili' k (het I n l a n d s b e z i t s r e c h t ) . B ila m a n a seorang anggauta masyarakat m enaruh hubungan perseorangan atas pekarangan atau ladang (pembukaan tanah sebagai p erb u a ta n h u kum a'kan dibicarakan berikut ini) , ialah berdasarkan atas , .beschik kingsrecht” yang ia ikut mendukungnya, m aka d a la m p o k ok n y a haknya itu disebut hak m ilik (Inlands bezitsrecht) , w a la u p u n la m a nya ia menaruh hubungannya itu praktis tak lebih dari satu atau dua tahun panenan ; 'bilamana hubungan itu tak b erlan gsu n g leb ih lama darisatu tahun panenan — sebagaimana halnya d e n g a n ta n a h akuan di Jawa Utara, tanah2 teleng di Sulawesi Selatan, b e g itu ju g a dengan aturan yang terkeras daripada tanali2 di beberapa desa di Jawa, dan seterusnya — maka haknya itu dapat disebut h a k m e nikmati ( g e n o t r e c h t ) . Batas yang nyata antara h a k m ilik daripada sesama anggauta, dan hak m enikmati daripada sesama 'anggauta tidaïk ada ; di sini ternyata bahwa „genotrecht itu suatu tanda yang menyolok mata daripada kuatnya berlakunya „b esch ik kingsrecht” atas tanali2 pertanian, sehingga berakibat bahw a sesudah setiap panenan — baik berliubung dengan adanya b a n jir2 taliunan maupun karena tekanan keras dari luar atau karena k eadaan2 apapun juga — -maka \enyaplah hak perseorangan itu dan tanali jatuli kembali kepada „beschikkingsrecht” se-bulat2nya d arip ad a dusun atau wilayah masyarakat. Juga untuk hak milik ini rupa2nya jarang ada istilahnya ; d a la m bahasa Pribumi maka cukup disebutnya : saw ah saya, saw ahnya, la dang saya, ladangnyz, kepunyaan saya atau kepunyaannya d a n sebutan2 serupa itu adalah suda'h cukup dalam bahasa P rib u m i' Perkataan „milik’' berasal dari perkataan Arab ke-banyakan dipakai untuk menunjukkan bendanya umpama : „sawali itu m ilik saya » yang bermaksud : atas sawah itu saya ada „Inlands bezitsrecht . Perkataan Jawa wewenang bukannya bahasa bicara dan ya n g dim aksudkan tidak hanya „ha'k «milik” saja. Masyarakat2pun d a p a t m e m punyai „hak milik” atas tanah. Bila masyarakat itu beli tanah u n tu k dipakai buat kepentingan-nya sendiri, maka di sini dapat disebut „hak milik” nya dusun atau wilayah. D i mana — sebagaim ana k a d an g " terdapat — perkataan2 dalam bahasa Pribumi m engandung arti b a ik > tanah „beschikkingsrecht” desa, maupun ; tanah „Inlands bezitsrecht desa, (misalnya istilah druwé desa (B a li), namun bahasa B elanda orang harus tetap mem-beda2kannya. Halaman2 distrik yang terkenal di ibukota Menado (kintal kalakéran) adalah salah satu dari banyak misal2 mengenai milik masyarakat. Pun kerabat2 d a n cabang2 clan adalah pemunya2 hak milik dan dalam hal ini dipakai sebutan yang tertuju kepada bendanya (harta pusaka, M in .) .
H ak menikmati (genotrecht). Hak menikmati yang se-benar2nya ialah haknya seorang luaran masyarakat yang telah diizinkan membuka sebidang tanah dalam lingkungan „beschikingsrecht” dan yang hubungannya dengan tanah itu menurut hukumnya berakhir sesudah panenan ; pun juga bila pemakaian tanah secara nyata ada berlangsung lama, namun menurut hukum adat haknya hanya suatu rangkaian „genotrecht” ber-turut2 terdiri dari „genot recht” yang berakhir sesudah setiap panenan. Sebagaimana „Inlands bezitsrecht” terbatas oleh berlakunya „beschikkingsrecht” ke dalam demikian juga „genotrecht” terbatas oleh berlakunya „beschikkings recht” ke luar. H ak terdahulu (voorkeursrecht). Permulaan dan penghabisan daripada hak milik sesama anggauta, dan sebaliknya : menguncupnya dan dengan pelan2 pulihnya „beschikkingsrecht” masyarakat, kesemuanya itu ternyata oleh tanda h a k t e r d a h u l u atas tanah ( v o o r k e u r s r e c h t o p g r o n d ) ; suatu hu bungan hukum yang mcmbcri hak untuk meiigerjakan tanah itu (terus) dan untuk memilikinya (dengan „hak milik”) , tetapi tuntutan hak serupa itu lenyap sama sekali, bilamana ada lain orang sesama anggauta yang menginginkamvya dan mendesak dia memilih satu antara d u a ; benar2 (terus) mengerjakan tanah itu, atau menyerahkan tanah itu kepadanya (hal. 72). Demikianlah hukum adat memberikan hak terdahulu kepada orang yang dulu menaruh tanda pelarangannya atau mula2 membuka tanah ; bilamana fa tidak me ngerjakan pekerjaan2 pènebangan dan pembakaran menurut musimnya, maka orang lain dapat mendesaknya supaya memilih ; menger jakan terus atau menyerahkan tanahnya kepadanya ; tanah2 hutan yang ada haknya terdahulu dengaivada tandanya pelarangan, misal nya di Minahasa di sebut : kaxoak, apar, palau; tanah2 apar atau tanah2 palau itu rupa2nya karena penyalahgunaan menjadi tanah2 cadangan tetap buat sesuatu kerabat karena hasil2 hutannya. Di lain tempat keadaan demikian itu tidak diperbolehkan, sistimnya tidak mengizinkan hak perseorangan yang berlangsung terus atas tanah2 yang belum terbuka. Dikalangan beberapa suku Dayak maka tanah2 terbuka dalam masa permulaan itu disebut: pupuh, siruan (nama buat „voorkeursrecht” yang mengandung makna bendanya). Kedua, maka dalam
hukum adat terkenallah „voorkeursrecht”
daripada
pemilik tanah pertanian yang dahulu ; bilamana orang itu membiarkan tana'k itu dalam keadaan tandus, jadi dalam proses pemulihan kembali „beschikkingsrecht”, maka — sebelum proses itu selesai — setiap orang yang menginginkan tanah itu buat pertanian
harus memberi kesempatan kepada si pemilik yang dulu itu untuk mengerjakannya tanah itu sendiri. Selama „voorkeursrecht” masih ada atas tanah itu, maka dilarang membukanya tanpa izin dacri pemilik yang dulu yang dapat menyatakan tak akan m e n g e r ja k a n tanah itu lagi dan dapat memberjkan izinnya, kadang2 dengan pemungutan pembayaran; pun tanah sedemikian itu ada namanya tersendiri, misalnya burukan (Kalim antan). Akhirnya „voorkeurs recht” ada pada orang yang memiliki ladang terletak di perbatasan tanah yang belum terbuka di situ itu di Sumatra Selatan lalu di sebut ekor tanah (ekornya tanah pertanian itu) atau hapuan, di Boalemo disebutnya yali yalilio (anaknya tanah pertanian itu) .-Setokoh dengan ini ialah „voorkeursrecht” daripada pem ilik tanah pertanian atas tanah pembawaan lumpur (aanslibbing) pada tanah pertaniannya itu hal. 72. H ak
terdahulu
untuk
beli
(naastingsrecht).
Di samping apa yang dilukiskan sampai sekarang ini maka terdapat\aY> hak terdahulu untuk beli (naastingsrecht) sebagai suatu hubung an hukum yang bertokoh sendiri. Maksudnya ialah suatu hak untuk membeli tanah2 pertanian, halaman2 dan empang2 i'kan dengan harga yang ditawarkan oleh lain orang calon pembeli dengan m engesampingkan orang calon pembeli itu. Pun dalam hal „naastings recht” ini dapat di-beda2kan tiga tokoh. Pertama hak daripada s a n a k 2 - s a u d a r a untuk membeli tanah yang m elebihi hak2nya orang2 lain yang juga menginginkannya tapi bukan sanak-saudara ; selanjutnya hak daripada s e s a m a a n g g a u t a m a s y a r a k a t untuk membeli tanah dusun dengan mengalahkan tawaran2 dari orang2 luaran masyarakat (inilah berlakunya paling lem ah daripada „beschikkingsrecht” atas tanah2 pertanian dan tanah2 lainnya) , dan akhirnya: ialah hak daripada p e m i l i k tanah tetangga membeli tanah2 berdampingnya dengan mengalahkan pem beli2 lain nya (se-akan2 kelanjutan daripada „voorkeursrecht” , setelah tanah berdampingan itu menjadi tanah yang sudah terbu ka). H ak p u n g u t h a s i l k a r e n a j a b a t a n n y a (ambte1 ij k p r o f.ij t r e c h t ) . Suatu hak macam lain atas tanah di tangan penghulu2 dan pengurus2 masyarakat, adalah hak pungut hasil karena jabatannya (ambtelijk profijtrecht), yaitu hak atas bagian2 tanah dalam lingkungan „beschikkingsrecht” yang oleh tnasyarakat diberikan kepada penjabat2 golongannya, perlu untuk nafkahnya, ialah : tanah2 „bengkok” (ambtsvelden). Bila jabatan nya itu berakhir karena penjabatnya mati atau diberhentikan, m aka tanah bengkok itu jatuh kembali kepada masyarakat „beschikkingsrecht” lagi se-utuh2nya, (hal. 71).
m en jadi
H ak pakai (gebruiksrecht). Selanjutnya dapat di anggap sebagai suatu hak saluran (afgeleid recht) ialah hak pakai perseorangan atas tanah11, empang2 dan -halaman2 yang berdasar „Inlands bezitsrecht” dimiliki oleh suatu .golongan (golongan sanak■saudara) yang juga golongannya si pemakai itu. Suatu kerabat Minangkabau ada haknya „Inlands bezitsrecht” atas sawah pusaka, sedang anggauta2 dari kerabat itu (keluarga2) mempunyai hak pakai atas tanah2 bagian sawah pusaka yang dibagi'kan untuk mereka buat dipungut hasilnya ialah yang disebut ganggam bauntuiq sebagaimana di Minahasa anggauta2 kerabat juga mempunyai „hak pakai” atas tanah2 kerabat yang tak ter-bagi2, dan tokoh2 hukum serupa itu di tempat2 lain. D i daerah2 Batak dan di Minahasa dapat juga disebut „hak pakai” hak daripada sesama anggauta masyarakat atas pekarangan atau atas tanah pertanian yang dengan izin masyarakat dicetak atas tanah2 „hak m ilik” kepunyaan orang2 atau kerabat2 lain (hal. 72, 136). H a k g a d a i dan hak sewa (pand en huur r ec ht ) . Akhirnya ada juga apa yang dapat disebut hak2 yang timbul ka rena perjanjian atas tanah (terlepas dari adanya hak2 asing) yaitu; hak gadai daripada si pemegang gadai, pula haknya seorang yang menyewa tanah dengan pembayaran wang sewanya lebih dulu ; me ngenai sifat daripada transaksi2 atas tanah itu berikutnya akan dibicarakan panjang lebar (di bab ke-3). W a k a p. Bilamana orang hendak menganggap yayasan „saleh” ini („vrome stichting”, wakap), sebagai suatu badan yang berdiri sendiri dalam hukum, maka tanah yang disendirikan buat pendirian wakap itu adalah „hak milik” nya wakap itu ; andaikata tidak be gitu maka tanah yang disendirikan untuk wakap itu tanpa rechts subject, hal mana mungkin juga karena kedudukan hukum dari pada tanah wakap itu ditentukan se-sempurna2nya dengan surat akte penyendirian tanah itu, di mana juga ditunjuk siapa yang diharuskan mempertahankan kedudukan hukum khusus atas tanah wa kap itu. T a p i tokoh hukum yang tersebut pertama tadi, ialah mempunyai rechtssubject, adalah yang seharusnya lebih baik dipilih orang. Sekianlah pembicaraan mengenai hak2 perseorangan dalam hu bungannya dengan ketertiban hukum yang layak dalam masyarakat2 hukum kecil2 itu. T elah diutarakan betapa suatu tekanan dari satu pusat
(raja atau gubernemen)
atas masyarakat2 itu dapat meng-
akibatkan akan dibatasinya hak2 perseorangan oleh masyarakat du-
sun sedemikian rupa sehingga pem akaian tanah d a la m d u s u n itu se-akan2 sebagai penggantian upah buat pekerjaan-2 u n tu k ï a j a a ta u pekerjaan rodi pada hal sebenarnya pem akaian tan ah itu h a iu s tetap suatu pelaksanaan daripada suatu hak (hal* 7 7 , 9 6 ) ; in ila h suatu hal yang m elam paui batas m engenai „h a k m ilik y a n g su d ah lemah di desa. Bila kekuasaan pusat mengurangi tekanannya m ak a p e r tu m b u h a n hak2 atas tanah dalam ketertiban hukum di d u su n 2 m e n ja d i leb ih leluasa, sebagaimana diuraikan tadi, nam un ketertiban h u k u m d ip u sat tetap melingkupi ketertiban hukum m asyarakat- k e c il- d a n teta p mempengaruhinya ; tambahan pula ia m en jad i pen g u ru s h a l - y a n g timbul dari terlepasnya hubungan2 dari m a s y a r a k a t 2 itu (h a l. 5 8), pula — ini yang penting dalam kehidupan h u k u m — pu sa t ta d i niengurus hubungan2nya penghulu2 dengan anak bu ah n y a , b ila tim b u l perselisihan. D i mana haknya masyarakat atas tanah su d a h h ap u s dan masyarakat2nya lenyap, atau di m ana „besch ik kin gsrech t” sudah patah, maka di situ isi liak2 perseorangan atas tanah d ite ta p k a n o leh ketertiban hukum raja2 atau ketertiban h u k u m g u b ern em en . B. Haft.2 perseorangan dalam ketertiban hu ku m jaan.
di d a era h 2 kera
Dalam alam raja2 maka ketegangan seperti yang telah d iu ra ik a n tadi, yaitu antara masyarakat beserta ,,beschikkingsrecht” nya, dan hak2 perseorangan, juga terdapat antara raja dan p erseo ra n g a n 2 pemunya hak tanah. Bilamana dipakai untuk p an gkal peninjaTian kekuasaan pemerintahan raja2 (jadi bukannya suatu h a k atas tanahnya ra ja ), maka hak perseorangan daripada k au la2 n egara ada lah h a k m i l i k ( I n l a n d s b e z i t s r e c h t ) , yang begitu berat bebannya sehingga tak selalu dapat d ih a rg a k a n tinggi dan oleh karenanya mudah menjadinya lenyap (dan karena goyah nya kedudukan maka juga disebutnya „ h a k m e n g g a r a p ”) ( b e w e r k i n g s r e c h t ) — atau h a k p n ngut hasil k a r e n a j a b a t a n (ambtelijk p ro f ij t r e c h t) , m ungkin juga, h a k p u n g u t h a s i l ” k a r e n a k e k e r a b a t a n (familie p r o f ij t r e e h t) atas tanah pertanian atau pekarangan. Milik raja ( v o r s t e n d o m e i n ) . Sudah cu k u p la h kiranya peninjauan tentang susunan hukum atas tanah ialah : kekuasaan pemerintahan raja2 dan hak2 perseorangan yang telah diu raikan tadi, dan seharusnya cukup sampai sedemikian saja ; karena hanya dengan rumusan itu dapat difahami sampai pada h ak ikinya segala
im b a n g a n 2 dalam pertaliannya satu sama lain, dalam seluruh lïngkarn ya (jadi termasuk juga imbangan2 yang meliputi masyarakatk e c il2 itu) , pula dapat difahami bagaimana reaksinya terhadap fakt ° r 2 sosial, dan bagaimana gerak-geriknya. Tiga hal yang mengakiba tk a n faham milik raja (vorstendomein) dan hak milik raja (vorsteneigendomsrecht) toch dapat timbul dengan kuatnya di tengah» im b a n g a n 2 itu. Hal pertama, yang tak membahayakan, ialah bahwa m e n u ru t adat bahasa secara hamba (byzantijns) tanah itu disebut ■ ta n a h R aja, milik Raja, milik khusus Raja, sebagaimana se--ala2nya a d a la h kepunyaan Raja dan untuk Raja (hal. 6 2 ). Hal kedua ialah b a h w a dalam hubungannya dengan orange asing tokoh hukum In la n d s bezitsrecht” daripada raja^ atas tanah kosong merupakan ben tu k meruncing daripada „beschikkingsrecht” yang sudah menjadi perseorangan, hal mana memudahkan pemberian tambahan (com p le m en t) (pura2) pada hak2 yang lemah yang diluluskan kepada o ra n g 2 asing2 m.salnya „hak^ pikukuh” di daerah Swapraja2 di Taw, d a n hak» sewa di Kalimantan, R iauw, dan d; lain2V m n a t Jn„ * „ h a k 2 izin” (grantrechten) di Sumatra Timnr. Adalah menariic h , t* (w alaup un tak usah dem.k.an) pemberian lu k tambahan s e d e m i k i a n it., buat pemegang2 tanah2 bengkok (tanah2 d a n tanah2 dipakai sekerabat yang dianggap adalah sepenuhnva m ilik R aja dalam „domemreoht ; dalam pada itu konstruksi hak m ilik R aja atas tanah (eigendomsrecht van de vorst) , menimbülkan k e s u k a r a n 2 besar, b»a hak- kerabat, hak2 pegawaiJdan hak asing, kesemuanya ma s w g ' JMenijjeiXUaf (lirt (ifilf/ m enjadi hakdapat d ip indahkan tangan, sebagaimana misalnya dulu di ibu kota Yogyakarta ; jadi „domeinrecht" (hak milik raja-’ ) yang theoretis itu , justru karena d.anggap mutlak dalam pada itu menimbülkan fa h a m 2 hukum dan hubungan- hukum yang sama sekali tak masuk akal, lain halnya dengan .beschikkingsrecht'’ yang menyisi bila terdesak hak2 perseorangan Hal ketiga, yang memperkuat faham hak m ilik raja atas tanah ialah karena pertumbuhan ke arah hak'ner seorangan yang diserta. dengan beban2 pajak faerat |*r pengusiran2 yang kejam dl satu fihak dan hak2 yang tipis lagi tidak bebas atas tanah sebagai upah atas pekerjaan2 roli di l a i f fihak m aka hal ini semua hampir sama dengan „ paroh hasil (deelbouw ) di mana yang mengerjakan - di sini Pribumi “ m em akai tanah - hampir sama dengan petani Qh ™ Q dan r aja hampir sama kedudukannya dengan ^ ™ er)
bezitter), dan keadaan m., ialah tekanan atas „Inlands bezitsrecht" diperkuat karena aturan pembenan tanah „lungguh.. (a^ na“ hal. 96).
8 ’
, l u u g g u h" dan m i l i k t a n a h (a p a n a g e e n g r o n d bezit). Seorang pemegang „lungguh” atau „apanage" (pegawai atau anggauta kerabat) atas daerah kecil dengan perantaraan pemborong-nya (bekel,. J.) yang diberinya sekedar kekuasaan, atau de ngan perantaraan penghulu2 rakyat yang bekerja untuknya, adalah dulu seorang tuan yang lebih keras dan lebih banyak tuntutannya daripada raja sendiri; sebagai pengecualian, maka dulu dalam da erah „lungguh” kecil2, tanah2 pertanian yang lowong dapat dikerjakan oleh pemegang „lungguh” sendiri, sehingga ia sendiri men* jadi petani yang bayar pajak kepadanya sendiri, jadi keadaannyft tanah mirip tanah jabatan (ambtsgrond) yang dipungut hasilnya karena jabatannya dengan hak „ambtelijk profijtrecht” . Kesamaan yang hampir sempurna ini diperkuat karena suatu tokoh lain yang timbul sebagai akibat aturan lungguh ini. Seorang pemegang lungguh yang berhak atas sebagian hasil tanah sama de ngan dulu haknya raja, seumpamanya dua per lima, m aka ia dapat juga menyediakan dua per lima luas tanahnya untuk dirinya sendiri sehingga dengan jalan demikian hasil penuh daripada dua per lima yang ia suruh kerjakan oleh rakyat dalam pekerjaan rodi, diperuntukkan buat dia sendiri dan hasü penuh dari tiga. per lima lainnya uittuk petani- yang mengerjakannya. Bilam ana pemegang JungguJi itu sebagaimana di masa akhir2 ini b a n y a k terjadi di daerah Swapraja di Jawa, tambahan pula menyewakan tanah b a g ia n n y a itu kepada perkebunan atau penanam tebu, maka tim bullah suatu keadaan di mana se-akan2 dia, yaitu pemegang lungguh, adalah tuan tanah, dan perkebunan (onderneming) se-akan2 pemakai tanah dan akhirnya si orang kecil yang bekerja rodi dengan pemakaian sebidang tanah sebagai upahnya se-akan2 petaninya. Lebih2 un tu k memahami latar-belakang riwayatnya aturan2 hukum tanah ini, maka pengertian tentang berjalannya lembaga „lungguh” ' ini adalah perlu sama sekali. Di Jawa, di mana sistim lungguh ini du lu dijalankan paling sempurna masih terdapat desa yang telah diberikan sebagai „lungguh” kepada seorang anggauta kerabat raja yang istime wa dikasihinya. maka desa itu sebagai desa „m erdeka” (desa mijen, hal. 60)-dipertahankan oleh gubernemen dan m erupakan sisa2 daripada sistim lungguh, dan hubungan2 hukum yang tim bu l karenanya harus ditafsirkan atas dasar sistim tadi. H a m p ir sejenis dengan desa mijen itu rupa2nya adalah dusun2 yang oleh raja2 Kaili dan Sigi di Toraja Barat dihadiahkan kepada pengantin perempuan buat selama hidupnya di waktu perkawinannya supaya ia dapat memungut hasil pajak2 dari dusun itu untuk diri sendiri. Pun terhadap hubungan2 hukum atas tanah dalam alam raja2 di Su
matra, Kalimantan, Sulawesi dan Ternate, maka „lungguh” itu penting artinya. Di daerah2 Swapraja di Jawa maka susunan lungguh (apanage stelsel) itu dihapuskan, yaitu dengan jalan perubahan organisasi yang memang sengaja di adakan, di lain tempat karena hapusnya pemerintahan raja2, atau karena perubahan2 ber-angsur2 dalam imbangan2 intern. Karena reorganisasi2 di daerah2 Swapraja di Jawa maka hapuslah „lungguh” itu dan bersama itu hapus pula pemborong2nya dengan sawah2 jabatan dan halaman2 rumah jabatannya ; sebagai pengganti muncullah desa2 dengan „beschikkingsrecht” yaflg lemah, hak milik petani2 dan hak pungut hasil karena jabatan (ambtelijk profijtrecht) atas tanah2 pertanian untuk penjabat2 desa. P e k a r a n g a n 2 di ibu k o t a . Keadaan ibu kota Yogyakarta di bawah pemerintahan raja2 Jawa ada lebih terkenal dari pada keadaan di lain kota2 kerajaan, tapi rupa2nya dalam garis besarnya merupakan macam khas (typerend) buat keadaan di lain2 tempat. Pekarangan2 itu diliputi oleh susunan hak pakai sebagai penja bat dan sebagai kerabat (ambtelijk- en familie gebruiksrecht) de ngan hak2nya pengliuni2 dan penumpang2, pula dikuasai oleh makin lama makin mendesaknya pengaruh hak2nya orang2 asing, ru mah2 tembok, kenaikan harga tanah, dan sebagainya. Bentuk dari pada perkembangan hukum yang sejalan dengan perkembangannya kota kerajaan menjadi kota tempat tinggal (faham Barat), adalah pengakuan hak2 atas „rumah dan tanaman” , hak mana dapat dijual, (yang akhirnya sama dengan menjual pekarangannya) sehingga pada hakekatnya hak penghuni (opwoners recht), hak pakai sebagai kerabat (familie gebruiksrecht) dan hak pakai karena jabatan (ambtelijk gebruiksrecht) sudah mendekati hak milik (Inlands bezitsrecht) atas tanah, dengan pura2 dipakai sebagai obyek ialah : rumah dan tanaman, sedangkan kepada orang2 asing diberikan hak2 Belanda „opstal” atau „erfpacht” atau suatu hak yang dapat disamakan dengan itu, ialah hak pikukuh. Di waktu reorganisasi itu maka hak m ilik penuh atas pekarangan2 di kota di akui (atau dicetak). C.
H aks perseorangan dalam ketertiban hukum gubernemen. Bilamana tadi telah diuraikan pokok2 daripada hukum tanah da
lam ketertiban hukum di masyarakat2 hukum yang kecil2, pula dalam ketertiban hukum di daerah2 kerajaan2 Pribumi, maka uraian ten-
tang garis2 pokok hukum tanah k e t e r t i b a n l i u k u m g u b e r n e m e n akan menyinggung sebagian daripada p e ru n d an g -u n d an g an tanah. X idak dibicarakan di sini percobaan a ia n m e lin ta n g k a n ketertiban hukum tadi terus menerobos „beschikkingsrecht , la n g sung meliputi hak2 perseorangan atas tanah. *) P ercobaan itu m e n g akibatkan banyak kekacauan yang tak terhingga — la lu dip ertan gguhkannya dan sejak itu dihentikan, ialah karena daya kekuatan kehidupan hukum Pribumi dal.am masyarakat2 keciil karen a b e b e ' rapa instansi2 gubernemen (pegawai2 Pangreh P raja d a n h ak im ) dan karena ilmu pengetahuan. Sekarang yang d i-n a n ti2k a n h an ya pemakaian perkataan „beschikkingsrecht” yang ke luar dari m u lu t pembuat undang2, dan yang di tahun2 akhir3 ini seperti di m asa yang lampau, sudah mengakui dan m engatur hak p ertu an an itu dalam kenyataannya, walaupun belum sampai pada seluruhnya. Ketertiban hukum gubernemen mencengkang d a n m enyokongper-tama2 imbangan2 hukum atas tanah sebagaimana telah terlukis dalam ketertiban hukum masyarakat2 tadi, itu p u n d engan ja la n peradilan hakimnya, pula pemerintahannya. Dasar daripada im b a n g an itu terletak dalam Indische Staatsregeling (het R egeeringsreglement) di mana Koning dan Staten Generaal sejak aw al m ulanya sudah menetapkan bahwa ketertiban hukum P ribu m i di I n d o n e s i a akan dipakai sebagai dasar dan titik pangkal dalam hubungan*hukum antara orang2 Indonesia satu sama lain, pun ju g a m e n g e n a i hubungannya dengan tanah. Di luar masyarakat2 hukum kecil2, di pulau2 kosong, di k o tabesar, dan di daerah tak bertuan, yang berlaku se-mata2 dan secara langsung ialah ketertiban hukum gubernemen (perundang-undang-* an, peradilan gubernemen, hukum tak tertulis) . D i situlah terdapat „hak milik” yang tak terbatas oleh „beschikkingsrecht” atau oleh hak raja2, namun oleh pembuat undang2 dibatasi d alam l a l u - l i n tasnya hukum dengan lain2 bangsa; rupa2nya tanah2 jabatan (ambtsgronden) tak terdapat, begitu juga „ha;k terd ah ulu” (voor keursrecht) , „hak menikmati” (genotrecht) dan „h a k terdahulu untuk beli” (naastingsrecht) pun tak ada pula ; kesem uanya itu langsung berhubungan satu sama lain 'dengan ketertiban hukum daripada masyarakat2 kecil2, namun di luar m asyarakat2 itu tak mendapat dasar apapun dan di manapun juga. Dalam .A dvies der Agrarische Commissie” yang tercetak, L a n d s d r u k k e r i j 1930, terdapat segala sesuatu yang menurut pendapat saya m eru pakan kecamar» sehat terhadap masalah ini. Keberatan2 vang menentang advies tadi, adalah terdapat dalam Verslag dari Panitya untuk mempelajari A d v ies d er A g r a r i s c h e Commissie 1932, panitya mana dibentuk oleh perkum pulan „In d ië -N e d e rla n d ”
Tanah2 partikelir (particuliere l a n d e r ij e n ) . Dapat disamakan dengan „lungguh" di alam raja2 — dipandang dari sudut penekanan atas hak milik — ialah tanah2 partikelir di ling kungan gubernemen. Karena menduduki tanah partikelir itu maka penduduk mendapat suatu hak yang seharusnya disebut „hak m ilik’' (Inlands bezitsrecht) andaikata tanah partikelir itu tidak sama sekali bakal d iju a l; dan seharusnya menjadi „hak milik”, bilamana tanah partikelir itu dibeli kembali atau dicabut haknya (ontei gend) oleh pemerintah ; tetapi bilamana karena pembatasan2 dari fihak tuan tanah selama masih status „tanah partikelir” itu, orang tak suka menyebutnya „hak milik” , maka hak itu dapat disebut »>h a k m e n g e r j a k a n ” (bewerkingsrecht), dan dalam undang2 namanya „hak erfpacht” (erfpachtsrecht). Hak mengerjakan ini untuk daerah sebelah Barat sungaii Cimanuk dibatasi oleh hukum tertulis (Stbl. 1912 N o. 422) dan untuk sebelah T im ur sungai Cimanuk oleh hukum tak tertulis. Tentang tuan tanah (yang perhubungannya dengan tanah tidak dapat mengikat perkembangannya perhubungan gubernemen- dengan tanah, dan yang dalam lalulintas hukum civiel mendapat perlindungan sebagai pemilik atau „eigenaar”) , maka ia di samping mempunyai hak untuk memungut pajak (cuke) dan hak2 lain2nya terhadap penduduk yang menger jakan tanahnya, mempunyai juga beberapa bidang tanah yang luas2 dalam hak „eigendom” yang u>tuh. H ak Pribumi a g r a r i s c h e i g e n d o m sama sekali ditetapkan dengan suatu aturap tertulis, yang juga menjadi dasarnya pula, yaitu Staatsblad 1872 N o. 177. Ber-ulang2 terjadi, bahwa kewajiban untuk „overschrijving” lebih2 bila tanah agrarisch eigendom itu diterimanya sebagai warisan seorang mati dilalaikan sama sekali, sehingga kedudukannya hukum lantas amat sangat goyahnya ; itu pun. kecuali bila kiranya dapat dianggap bahwa melalaikan „over schrijving" daripada tanah yang di tangan orang2 Indonesia itu mengakibatkan bahwa tanah itu jatuh kembali ke status „Indands bezits recht” , hal mana akan dapat merupakan „jalan ke luar” yang se-baik2nya.
BAB K E T IG A . PERJAN JIAN T E N T A N G T A N A H . Setelah dikemukakan ciri- daripada hukum tanah dalam keadaan diam, maka sekarang menyusul suatu percobaan membahas dalam garis2 besarnya hukum tanah dalam keadaan bergerak. Ini berarti, bahwa harus diikhtisarkan menurut rangkanya, perbuatan2 menaruh dan memindahkan hak2 atas tanah. Dalam perincian lebih lanjut maka usaha itu meliputi : pendirian dusun, pembukaan tanah oleh perseorangan, penjualan tanah (tukar-menukar tanah), penggadaian tanah, pemberian sewa tanah dengan wang sewa yang dibayar lebih dulu ; pencadangan tanah untuk dijadikan benda hu kum tersendiri; pemberian tanah dan penghibahan tanah (toescheiding van gron d ). I.
P E N D IR IA N D U SU N .
Sebagaimana pembahasan pertalian hukum atas tanah yang su dah2 itu dimulai dengan membahas hak2nya khalayak (groepsrecht) yaitu hak pertuanan (beschikkingsrecht), maka lukisan mengenai hukum tanah dalam keadaan bergerak harus memulai dengan per buatan hukum yang mengakibatkan timbulnya hak2nya khalayak tadi. Tidak mungkin dikatakan, bahwa suku2 bangsa Jawa dan Sunda dulu memasuki pulau Jawa, bahwa suku2 bangsa Batak, Nias, M i nangkabau atau suku manapun juga memasuki Sumatra, bahwa suku2 bangsa Bugis, Toraja dan Minahasa memasuki Sulawesi, dan sebagainya. Sebagai pangkal, harus dianggap lingkungan2 hukum yang sekarang ini, yang didiami oleh suku2 bangsa dengan jenis2nya sendiri dan dengan kesatuan2 siisunan rakyatnya sendiri . masinglingkungan hukum itu mengalami proses pertumbuhan yang ajaib, ialah bahwa masyarakat2 hukum baru timbullah dengan jalan perumpunan (uitstoeling) yang berlangsung dengan tertibnya. Sebagaimana dalam suatu golongan sanak<saudara kerabat- menimbulkan cabang2 kerabat, ialah dalam proses dari abad ke abad berwujud penambahan dan pemisahan ummat manusia, tanah, gelar dan benda lain2nya, selanjutnya cabang2 kerabat itu menimbulkan kerabat2 baru dan golongan2 sanak-saudara b a ru , sebagaimana keluarga2 menimbulkan keluarga2 baru karena menyiarnya anak2 dengan membawa sebagian dari kekayaan keluarga, demikian jugk orang2 penduduk dusun membentuk dusun2 dan masyarakat2 wila yah baru, tersusun menurut unsur2 sejati daripada bangunnya sen diri. Masyarakatnya sendiri sudah menjadi kesempitan. Dalam jarak
yang patut sudah tidak dapat diperoleh lagi hasil2 h u ta n yang mencukupi, begku juga tiada tanah pertanian cu k u p b u at semua anggauta2; perselisihan satu sama lain m enyebabkan keadaan h id u p berkumpul tak tertahan lagi ; keinginan akan kem egahan m en-dorong orang mencari kalangan kekuasaan dan kalangan h u k u m n ya sendiri, mendorong dia ingin membentuk gerombolan anak cucu ya n g berdiri sendiri atau apa saja lain2nya. Lalu pergïlah serom b on gan kecil untuk membuka tanah dan untuk berdiam di sana (m en y u su q . R ej» truka, J.) bila mungkin, pada jarak yang tertentu dari masyarakatnya sendiri; yang memimpin ialah saudara lelaki m u d a daripada penghulu rakyat, atau sepuluh orang lelaki dan perem puan , bekerja atas dasar pfrsamaan satu sama lain. D idirikan p o n d o k 2 kecil» diadakan pujaan untuk meletakkan hubungan dengan tanah, orang menebang, membakar dan menanara ; bilam ana panennya berhasil baik, maka rumah2nya diperkokoh, m akin banyak o ran g m endatang, didirikan dan dibuat balai dusun, tempat pem ujaan, pagar dusun, tanah lapang dusun, dan rumah sem/bahyang; m asih terg o lo n g se‘ bagian daripada masyarakat asal sendiri, nam un pekerjaan pendirian dusun berlangsung terus ; buat tahun kedua tanah2 pertanian dibuka di lam tempat, terhadap tanah2 pertanian dari tahun pertama yang ditinggalkan, maka rombongan baru itu berkedudukan i^timewa- Mula2 orang2nya yang mati masih dikubur di in d u k dusun nya, tapi di belakang di tempatnya sendiri yang baru itu ( p e r i s t i w a penting) ; angkatan kedua dilahirkan di tempat baru itu (peristiwa yang tak kurang pentingnya), mereka se-akan2 m em punyai p e r ik a t a n yang terwujud nyata dengan tanah kelahirannya. R o m b o n g a n *tu sedari awal-mulanya merupakan suatu ketertiban sendiri ; si p e n d i n dusun dan anak cucunya sebagai orang2 terkemuka dan di bawahnya : kepala2 kerabat2 lainnya, aitau; rapat yang terdiri dari pendiri2 dusun dan anak cucunya, kemudian diperkuat oleh kepala2 kerabat2 yang datang di belakang. Rombongan yang memisah dan mengembang m enurut keadaan bangunnya sendiri sedemikian itu, bertumbuh jadi satu dengan tanahnya menjadi persekutuan hidup, ialah karena kelahiran dan kematian, pujaan2 dan tanda2, penebangari dan pem ulihan m e n j a d i semak kembali, penanaman dan panen, dan pekerjaan2 den gan mandi keringat. Pada suatu hari maka sisa2 hubungan dengan tempat asal dipu' tuskanlah ; dalam pada itu diselenggarakan upacara2 yang bermaksud memperkuat kedudukan kesetimbangan dalam alam raya (kos misch) daripada dusun baru itu di lingkungan yang lama ; batas2nya
ditetapkan, kedaulatannya dinyatakan, hak pertuanannya (beschik kingsrecht) baru terlahir, dan dengan itu maka pendirian dusun sudah selesailah. Pendirian dusun dalam masyarakat wilayah sendiri atas tanah yang telah dimiliki oleh pendirinya dengan „hak milik’’ (seperti di kalangan orang2 Batak) pada umumnya adalah suatu proses yang kurang hebatnya dan yang hanya memakan tempo pendek saja. Dalam lebih dari satu lingkungan hukum maka di sana banyak keadaan yang mengurangi dan menghentikan proses perumpunan dusun- ; terjadilah kekurangan tanah, karena daerah2nya masyarakat2 itu berbatasan satu sama lain dan tiada lagi terdapat ruangan yang kosong, atau karena. tanah tak terbuka itu tidak diperbolehkan lagi diperuntukkan buat pendirian dusun sebab disediakan buat cadangan tanah liutan dan tanah erfpacht. Lalu-lintas cepat membuka banyak kemungkinan2 bagi' orang2 yang bertabiat dinamis, kemungkinan2 mana mengganti kemungkinan di zaman dulu yang hanya berupa satu saja, ialah : mengembara ke luar dan lalu mendirikan dusun ; kota2 besar meriyerap mereka, yang dulu sama mencari nafkahnya ke dusun baru ; pembentukan dusun2 yang besar mendapat sokongan dari fihak pemerintahan pusat. Meskipun demikian, namun perbuatan pedirian dusun itu adalah dasar daripada ribuan masyarakat2, di mana sekarang penduduk melangsungkan kehidup an hukumnya. 2.
P E M B U K A A N T A N A H PERSEORANGAN.
Bilamana pendirian dusun dan peletakan hak pertuanan itu da pat disebut suatu perbuatan ber-„segi satu” (eenzijdig) daripada rombongan orang atas tanah, maka dengan tepat perbuatan segi satu dari individu ialah pembukaan tanah sebagian dari daerah hak pertuanan (beschikkingskring) oleh seorang anggauta masyarakat. Menurut hukum adat maka hak membuka tanah (ontginningsrecht) itu tidak dapat ditempatkan di sisi hak pertuanan (beschikkings recht) , melainkan lebih baik disebutnya sebagai haknya si anggauta sendiri untuk melakukannya dengan cara tertentu atas „beschik kingsrecht” yajig dia ikut mendukungnya juga. Melakukannya itu terjadi secara gerombolan atau secara perseorangan, dengan ketahuannya penghulu masyarakat lebih dulu, jadi : dalam ketertibanhukum masyarakat. Tentang pembukaan tanah oleh bukan anggauta masyarakat, yang bukannya berdasar hak membuka tanah yang dia ikut mendukungnya, melainkan karena ia sudah mendapat izin dari masyarakat yang ber-„beschikkingsrecht” itu, maka soal ini telah dibicarakan di waktu meninjau „beschikkingsrecht" di muka ; maka
perbuatan orang itu dapat dianggap perbuatan atas dasar perjanjian, bukannya. perbuatan berdasar suatu hak yang didukung sen diri oleh perseorangannya si pembuka tanah itu. Pembukaan tanah oleh sesama anggauta gerombolan dalam lingkungannya sendiri berlangsung dengan ketahuan penghulu masya rakat lebih d u lu ; dengan cara demikian maka ini ternyatalah suatu perbuatan hukum yang menimbülkan hubungan2 yang berhak menuntut perlindungan dalam ketertiban hukum masyarakat itu. Penghulu (kepala) menjaga jangan sampai hak2nya orang2 Iain — ialah hak2 terdahulu (voorkeursrecht) — dilanggarnya (pemeliharaan hukum pencegahan *= preventieve rechtszorg), pula ia menjaga jangan sampai terlanggar-: tanah yang disedia'kan untuk kepentingan masyarakat — atas dasar „beschikkingsrecht” masyarakat — atau tanah yang dilepaskan dari pemakaian perseorangan (perbuatan terakhir ini dia sebagai perwakilan dari masyarakat yang ber-„hak pertuanan” it u ). Tanah yang akan dibuka oleh orang-seorang itu diasingkan dengan jalan dibubuhinya suatu tanda larangan ; dengan demikian diberitahu'kan kepada orang2 lain, bahwa tanah yang ditandai sede mikian itu adalah taiiah larangan, si calon pembuka dengan syarat tertentu sudah menghubungkan diri -dengan tanah itu, melanggar tanah itu berarti melanggar dirinya si calon. T an d a2 larangan itu kadang2 berupa kelar3 di pohon2 pembatasan, kadang2 galah* yang ditaruhkan daun2, kadang2 dua batang canggah berpalang yang di* gantungi sekian kait2 dari kayu sejumlali bidang2 sama dengan tanah yang akan dibuka, atau digantungi sekian singat2 kerbau yang menunjukkan sekian dendanya bila orang melanggar larangan itu (sebenarnya berarti; sekian ekor kerbau liarus si pelanggar membayar sebagai dendanya) . Si calon pembuka tanah mempersembahkan pujaannya selaku perseorangan, bila perlu dengan bantuannya kahin tanah, perlunya supaya memperoleh suasana sedemikian rupa sehingga ia merubah keadaan itu dimungkinkan dengan tiada kena bahaya maut, pula untuk berdamai dengan orang2 halus yang jahat dan untuk meminta tolong kepada orang2 halus yang baik. Pada saat yang telah ditetapkan oleh musimnya maka dapatlah dan haruslah tindakan2 pertama ke arah pembukaan itu ialah menebang, dim ulai; perhubungan hukum dengan tanah adalah „hak terdahulu (voorkeursrecht) daripada pembuka tanah yang memulai itu. Membuka tanah di daerah bukannya daerah masyarakat hukumnya sendiri jalannya sama saja, hanya harus ada izin sebelumnya, yang
diberikan oleh kepala (penghulu) sebagai wakil daripada masyara kat yang mempunyai „beschikkingsrechtMnya itu ; untuk menyelenggarakan pujaan perseorangan, maka harus ada bantuannya seorang anggauta daripada masyarakat yang berhak pertuanan tadi. Pembukaan tanah di daerah tak bertuan aturannya se-mata2 menu rut aturan kerajaan Pribumi atau gubernemen. Undang2 pembu kaan tanah (ontginningsordonnanties) di daerah gubernemen de ngan demikian tidak di-halang2i berlakunya oleh hak pertuanan da ripada masyarakat2. Undang2 itu berlaku juga terhadap lingku ngan- „beschikkingsrecht” sepanjang tak menyalahi hak pertuanan itu. A k i b a t h u k u ill n o m o r d u a ( s e c u n d a i r ) d a r i p a d a p e m b u k a a n tanah. Karena tindakan hukum segi satu perseorangan itu, ialah pembukaan tanah, maka diletakkanlah hubungan perseorangan oleh si pembuka tanah atas tanah pertanian yang dibuka itu, ialah hubungan sihir (magisch) dan hubungan hukum dalam lingkungan keseluruhan siliir dan keseluruh hukum yang ada pada ummat dan tanah. Tapi hubungan antara tanah pertanian dan manusia itu tidak terbatas tegas sampai ke manusia dan tanah saja, melainkan juga berlangsung terus dari manusia ke keluarganya dan ke kerabatnya (ini tergantung dari foko/i susunan kesanak-saudar<(3nnj'3), ke bagian clannya yang berdiri sendiri, dan ke iwamnya ; pula berlangsung terus dari tanahnya itu ke tanah tetangganya (hak terdahulu atau „voorkeursrecht ) . Hubungan itu se-konyong2 dapat menjadi se-erat2nya antara kerabat dan tanah, bila kejadian (demikianlali di kalangan Daya'k Maanyan di Kalimantan) si pembuka meninggal dunia di lapangan situ (tanah itu lalu disebut taneh kauhi) atau bilamana seorang perem puan melahirkan anak di tanah situ ; pembukaan tanah itu dapat pula menyebabkan milik kerabat, bilamana pembukaan itu memang untuk kerabat. Bilamana seorang lelaki yang tidak kawin — seorang pengembara yang terlepas dari sanak-saudaranya — di suatu tempat membuka sebidang tanah tak bertuan (mungkin dengan menepati aturan2 suatu undang2 pembukaan tanah) maka yang timbul tak lain hanya hubungan hukum antara si pembuka dan tanah pertani an itu saja. 3-
PER JAN JIAN 2 T A N A H SEGI D U A D I D A L A M M A S Y A R A K A T 2.
Untuk memahami hakikinya perjanjian2 tanah segi dua (twee zijdig) menurut hukum adat, maka perlulah (dan logislah) mema-
kai sebagai pangkal : hubungan (hukum) yang m engandung ibadat sihir (magisch religieus) antara manusia (dan warisnya) dan tanah (beserta tanah berdampingannya) di dalam ketertiban hukum (dan ketertiban menurut sihir)
masyarakat, hubungan m ana yang
timbul karena pembukaan tanah oleh perseorangan itu. Andaikata kesatuan masyarakat itu dapat digambarkan sebagai suatu lingkaran, maka di dalamnya itu hubungan2 sendiri2 daripada manusia ta nah masyarakat merupakan lingkungan2 kecil2 yang satu terhadap lain berkedudukan yang tertentu, pula misalnya terhadap bidangtanah kerabat, di mana tanah2 serupa itu ada terdapat. Maka ternyata mungkin juga melepaskan
,,apa2”
dari
satuan
yang digambarkan secara kongkrit tadi, pula m ungkin juga memindahkan ,,apa2” tadi kepada lain satuan, asal pem indahan itu diselenggarakan dengan ber-hati2s secukupnya dan
asal dijaga ja
ngan sampai kesetimbangan itu terganggu, ialah dengan jalan me* mindahkan suatu tara (equivalent) dengan serentak dari satuan ke satuan, ke juruan kebalikannya.
Unsur daripada perbuatan itu
ialah peralihan yang serentak — pembayaran tunai — sehingga per buatan hukum semacam itu kiranya dapat disebut p e r b u a t a n tunai
(kontante
handeling) .
Ini
terdapat
di
hukum
sanak-
saudara, di mana orang jnemungut anak yang bukan karibnya de ngan disertai pembayaran (berupa barang2 berkhasiat atau wang, hal. 182), pula terdapat di waktu kepindahan anak2 dari sukunya ibu ke sukunya bapa disertai pembayaran menurut adat (pedaul, Rej. hal. 185) ; terdapat di hukum perkawinan di waktu kawin ju jur (bruidschatfhuwelijk, hal. 195) ; terdapat di ,.hukum kekayaan” (vermogensrecht) di waktu menyerahkan (hak atas) tanah ; pula terdapat di waktu menyerahkan barang2 yang berkhasiat benar dan yang berhubungan erat dengan orang yang membuatnya atau yang memilikinya (tanduk menjangan terukir, senjata tertempa, gigi2 macan atau azimat lain, dan sebagainya). Inti kesemuanya itu ialah penyera'han untuk terima pembayaran tunai; faham sedemikian .itu dinyatakan dengan perkataan Indonesia „m cnjual” , perkataan Ja wa ,,adol” (bahasa tinggi : sade) , istilah2 mana dalam hubungannya ini jadi tidak boleh disalin dengan bahasa Belanda : „verkopen”, selainnya bila, dari sesuatu hal, ternyata bahwa yang dimaksudkan : penyerahan buat se-lama2nya. Dalam hukum tanah maka perjan jian2 jual itu dapat mengandung tiga jenis maksud : A. menyerahkan tanah untuk terima pembayaran tunai sejumiah wang, sedemikian rupa, sehingga orang yang menyerahkannya
tetap ada hak atas kerabalinya lagi tanah itu kepadanya dengan jaJan membayar kembali sejumlah uang yang sam a; antara lain menggadai (M in .), menjual gadé jual akad atau gadé (Sund.);
(Ind.), adol séndé
(].), nga-
B. menyerahkan tanah untuk terima tunai pembayaran wang, tanpa hak menebusnya, jadi buat se-lama2nya (menjual lepos (In d .), adol plas, runtumurun, pati bogor (J.), menjual jaja, (Kalimantan) ; C. menyerahkan tanah untuk terima tunai pembayaran wang dengan janji bahwa tanah akan kembali lagi kepada pemiliknya tan pa perbuatan2 hukum lagi, itupun sesudahnya berlalu beberapa tahun panen (menjual tahunan (Ind.), adol oyodan (J.). Dalam bahasa Belanda disebutnya: A. „grondverpanding” , B. „grondverkoop” dan C. „grondverhuur met vooruitbetaalde huurschat” . Juga di mana dasar yang mengandung ibadat dynamisme tidak ada (atau mulai tidak ada) pada imbangan2 tanaih atau perjanjian2 tanah ini, jadi imbangan2 tanah ini bukannya hasil daripada faham fikiran „participerend” , melainikan hasil dari perhitungan sadar dan analystis, namun perjanjïan2 jual ini dalam susunan hukum adat hanya dapat difahami sebagai perjanjian2, di mana hak2 dipindahkan dengan jalan perbuatan2 tunai (perjanjian2 riil =
reële overeenkomsten).
P e m b a n t u a n dari p e n g h u l u 3 r a k y a t . U n tuk melaksanakan suatu perbuatan hukum (rechthandeling) yang menimbülkan suatu perubahan yang diinginkan dalam ketertibanhukum dan yang berhak atas perlindungan hukum, maka ia harus dilaksanakan dengan pembantuan penghulu2 rakyat atau kepala2 dusun yang tugasnya itu (di Jawa) disebut dengan perkataan yang menunjukkan bahwa mereka itu dengan pembantuannya itu menanggung (tanggung) bahwa perbuatan itu sudah cukup tertib dan cukup sah menurut hukumnya. Mereka menjadikan perbuatan itu sampai kelihatan oleh umum, mengangkatnya sampai ke ketertiban hukum umum, menjadikannya terang dan tidak gclap, peteng (J .), menjadiikannya di bagasan adat (Bat.) di lalu-lintas hukum yang bebas dan terjamin. Tugas penghulu2 masyarakat itu meliputi juga kewajiban menjaga hak2 wan'jnya terjamin, begitu juga hak2nya pemilik2 tanah2 berdampingnya, pula hak2nya sesama ang gauta masyarakat. Bila ada tanah dijual lepas atau dijual gadai, maka — bila pertalian antara anggauta3 kerabat (waris) masih cu-
kup eratnya — harus ada pernyataan baiiwa mereka m enyerujuinya (atau mereka hendak m engoper tanah itu sendiri) ; dan di beberapa wilayah harus juga ada pernyataan baiiwa pem ilik2 tanah2 yang berdampingan menyetujuinya ; dan bila dipindahnya tangan kepada seorang di luar dusun harus ternyata bahwa anggauta2 masyarakat tidak mempergunakan ,,naastingsrecht"nya (hak terdahulu untuk beli, halaman 76, 92) ; kadang2 pembuatan kepala dusun itu juga menjamin berlakunya tanah itu sebagai tanggungan pinjam an (hal. 143) ; dengan cara demikian dijaga supaya jan gan tim bul perselisihan2 hukum di belakang, bantuan kepala2 d u su n itu me* ngandung nilai sama dengan suatu keputusan di luar perselisihan, misalnya dengan demikian sudah' diputuskan apakah perjanjian dengan orang luaran masyarakat diperbolehkan apa tidak oleh „be schikkingsrecht” (dalam berlakunya ke luar) ; dan bila m em a n g di perbolehkan, maka pembantunya penghulu masyarakat itu se-olah2 membuka pintunya Iingkaran tadi untuk orang luaran itu ; dan da lam lingkungan situ si asing tadi ilaimbait-lauTi dapat dipuTigut masulk sebagai anggauta, atau „si asing tetap asing yang harus membayar biaya (sewa bumi) terus sesudah terlaksananya perjanjian tanah itu . W ang pengakuan yang harus dibayarkan kepada penghulu2 di w-iViu diadakan perjanjian2 tanah itu, berupa sejum lah kecil, 1 a anSati orang2 Batak disebut pazo-pago tapi biasanya disebut : saksi saja. Bila perjanjian itu dilaksanakan di luar pengetahuan penghulu masyarakat maka ia tak ditingkatkan sampai ketertiban hu ku m , tak er aku terhadap fihak ketiga, dan si penerima oleh dunia luar tak diakui sebagai yang berhak atas tanah. Juga dalam hubungan antara kedua fihak maka bila timbul perselisihan m engenai hak atas tanah2 risikonya ada pada si penerima, yang tidak m enerimanya de ngan „terang” . Pengabaian pembantuan penghulu rakyat itu dapat dibetulkan lagi dengan jalan melakukan tempo yang lam a, pula engan perbuatan2 pengakuan langsung atau tidak langsung, ke semuanya itu lalu dapat mengakibatkan bahwa hubungan2 hukum atas tanah yang baru — yaitu berdasar perjanjian2 tadi — dapat u sePer>uhnya. Andaikata ternyata bahwa kepada dusun sudaJi pernah menolak permintaan pembantuannya maka bila toch tanpa pembantuannya dilaksanakan suatu perjanjian tanah, m aka per janjian sedemikian itu tidak se-kali2 akan mendapat pengakuan oleh hukum. Jadi menurut hukum adat m aka, penggadaian tanah, penjualan tanah dan penyewaan tanah dengan pembayaran wang sewa lebih dulu, adalah penyerahan tanah di muka penghulu masyarakat dan
dengan setahunya waris dan pemilik2 tanah berdampingnya, untuk menerima tunai sejumlah wang, dan penyerahan sedemikian itu un tuk se-Iama2nya, atau, dengan permufakatan di belakang baik untuk dapat ditebusnya kembali, maupun untuk kembalinya tanah sesudah lewat tempo tertentu. Kebanyakan perjanjian sedemikian itu dibuat dengan tertulis, ialah di atas surat perjanjian atau „akte” . O b y e k n y a p e r j a n j i a n 2 tanah. Mengenai perbuatan2 tuna^ (kontante handelingen) dalam hukum kekayaan maka tanahlah yang paling digemari sebagai obyeknya. Dapat disamakan dengan tanah adalah empang2 ikan dan perairan lainnya yang dapat ditaruhkan hak2 perseorangan. Selanjutnya juga pohon2 menjadi obyek, pula rumah2, itupun bila dijualnya atau digadaikannya ber-sama2 dengan halama'nnya. Rumah2 batu pun hanya semata2 dapat pindah tangan dengan jalan perjanjian jual (itu pun bila rumah2 batu itu senyatanya menjadi obyek perjanjian yang berlangsung sendiri, lepas dari lain2 perjanjian, hal mana amat jarang akan terjadinya). Kemudian maka hanya dengan jalan perjanjian jual (jual transaksi) itu sajalah dapat dimiliki benda2 yang sangat berhubungan dengan khasiat dan sangat me ngandung khasiat, sebagaimana telah diuraikan tadi, misalnya : azimat2, obat2, tanduk terukir, kadang2 keris* dan sebagainya. Barang2 lainnya, termasuk juga rumah2 bambu dan ternak, dapat juga di serahkan dengan pembayaran tunai, juga dapat bila perlu dijual dengan kredit. Dalam pada itu maka wang pembelian itu bukannya suatu syarat supaya memungkinkan pemindahan tangan barang2 itu berdasarkan atas hukum adat, tapi wang pembelian itu hanya berarti sebagai „tara” dalam arti ekonomis — seketika atau ber-angsur2 — bu^t ganti serentak apa yang diterimanya, masalah mana akan dibentangkan di bab kelima berikut. A 1 a s a n. Alasan untuk perjanjian tanah itu lazimnya ialah bahwa si pemilik tanah butuh wang. Bilamana ia tak dapat mencukupi kebutuhannya itu dengan jalan meminjam wang (membuat perjanjian w a *n g) maka ia dapat mempergunakan t a n a h nya untuk memperoleh w ang-itu dengan jalan membuat p e r j a n j i a n tanah (grond transac tie). Acapkali urutannya demikian: seseorang membutuhkan 'vvang dan meminjam wang dan buat mengembalikannya maka tanahnya pertanian-atau pekarangannya dijadikan tanggungan (hal in-, dibicarakan nanti), artinya, orang itu berjanji — bila dalam tem po yang sepatutnya wang itu belum dapat dikembalikan — maka ia melunasi hutangnya itu dengan jalan membuat jual transaksi
(perjanjian jual) dengan tanahnya itu sebagai obyeknya (m em buat perjanjian ini dengan si pemberi hu tan g sendiri atau dengan lain orang). Bilamana sampai sekian, dan yang berh u tan g m em bu at perjanjian jual (menggadaikan, m en jual lepas, m enyew akan dengan wang sewanya dibayar lebih dulu) dengan si p em beri p in jamannya, maka di srni adalah suatu kontrak pelunasan (delgingskontrakt) ; dengan demikian jum lah wang yang dibayarkan itu m en jadi gantinya pembebasan hutang, atau sama dengan pengakuan „wangnya sudah saya (penyerah tanah) terima dengan bark . D i ka langan orang2 Batak X o b a penggadaian tanah sebagai kontrak pc lunasan hütang itu disebut sindor, sebutan m ana berlainan dengan penggadaian tanah karena kebutuhan wang, h al m a n a disebut . dondon. P e m b a y a r a n s e ba ha g i a n. A d a la h sukar untuk. ditetapkan, apakah adakalanya dapat terjadi dalam suatu perjan jian yang jujur, bahwa si pemilik menyerahkan tanahnya dan un tuk itu dia dibayar wang hanya sebagian, sedang sisanya akan dibayar pada lain waktu. Bila memang pernah ada kejadian dem ikian, m a ka hal ini adalah suatu perkecualian yang jarang terdapat, karena penghulu2 masyarakat menuntut pembayaran penuh daripada wangharga yang sudah dimufakati, itupun sebagai syarat untuk m em berian P^hantuannya. Andaikata toch timbul perselisihan hukum kana tidak terbayarnya sisanya wang gadai, wang ju al, atau w a n g ? Wa tat^* maka menurut hukum adat perkara ini harus ditinjau an sudut „perbuatan tunai” (kontante handeling) sepenuhnya, ja i wang tunggakan itu seharusnya dianggap sebagai suatu p m jaman wang biasa, se-akan2 sesudah „perbuatan tu n a i" penuh tadi, sebagian wangnya pembayaran dipinjamkan lagi kepada si pembayar wanS ialah si penerima tanah. S a a t t e r l a k s a n a n y a p e r j a n j i a n . Pada saat dinyataikan di hadapan penghulu (kepala) : sayam engaku sudah menyerahkan tanah dan untuk itu sudah m enerima wang harganya,. maka saat itulah saat ditaruhnya hak fihak lain itu atas tanah yaitu baik hak gadai atau hak milik, maupun hak sewa. Sejak saat itulah - sampai ditebusnya, atau buat se-lama2nya, atau sampai lewatnya tempo tertentu — sipembayar wang itu m enjadi p e mu n y a h ak a t a s tanah (grondgerechtigde)an terletak padanya „pertanggungan-jawab” , sebagaimana peribaasa Batak mengatakannya. Pemilik tanah semula yang m enggadaikannya sejak itu hanya dengan jalan menebus berhak atas kernbalinya tanahnya; pemilik tanah semula yang menjualnya lepas s e j a k itu ta-k berhak lagi atas tanahnya ; p e m ilik yang menyewakannya
ngan pembayaran wang sewa lebih dulu, hanya sesudah lewat temP ° yang tertentu berhak atas kembalinya (menuntut kembali) ta nahnya. Bilamana dalam hal yang pertama dan yang ketiga hak milik atas tanah itu orang suka menamakan „hak milik yang sudah terbuka” (bloot inlandsch bezitsrecht) — misalnya untuk memenuhi peraturan „landrente” — maka rupa2nya sebutan yang sedemikian itu tak ada keberatannya ; orang yang menggadaikannya atau menyewakannya, bila perlu, dapat memperoleh pengakuan hukum, bahwa tanahnya itu dapat ditebus kembali atau bahwa hak2 gadai dan sewa itu hanya berlaku untuk sementara saja ; pula hukum adat mengenal cara2 lain, yang akan disebutkan berikutnya, yang mengingatkan bahwa ,/haik m ilik” masih ada di tangan pemiiliik semiula. Apakah sisa2 haik yasng masih ada di tangam si penjual gadai itu dapa't dipindah ta ngan, maka soal ini rupa2nya tidak terang dan tidak boleh jadi. Hakwn dengan -kekuasaainnya ikut membentuk hukum baru harus sa ngat hati2 terhadap kemungkinan2 serupa itu yang taik bersambung dengan alam pikiran hukum daripada rakyat Pribum i; ada kekhawatiran yang beralasan terhadap kemungkinan main kongkalikong. T api hak si penjual gadai dan si penjual se%va benar- dapat diwariskan. P e n u n d a a n
p e n y e r a h an
t a n a h.
Penundaan
pemakaian tanah secara nyata oleh si penerima gadai, si pembeh tanah atau- si penyewa tanah dapat terjadi karena tiga macam kea daan. Pertama kali — yaitu di Jawa — dapat dibuat persetujuan dalam perjanjian jual, bahwa hak yang diperoleh karena transaksi tadi baru berlaku sesudaihnya satu atau dua tahun atau lebih ' yang akan datang; sesudah habis tempo tadi, maka tak usah diadakan tindakan kedua, namun haknya sipenerima tanah mulai ber laku pada saat yang telah dimufa:kati. Ini disebut: digangsur setahun, rong tahun dan sebagainya. Kedua, seketika sesudahnya dibuat perjanjian maka dapatlah seseorang, yaitu orang yang menyerah kan tanahnya, diizinkan memakai tanah itu secara nyata, misalnya berdasarnya atas perjanjian paruh hasil tanam (deelbouw). Dan ketiga, penundaan pemakaian tanah secara nyata itu dapat disebabkan karena pemakaian yang tidak sah oleh seseorang, misalnya oleh si penyerah sendiri. S a k s i. Mereka yang selaku jabatannya dalam masyarakat, yang selaku kedudukannya sebagai xoaris atau sebagai pemilik tanah berdampingnya dan mereka yang memang se-mata- sebagai saiksi, jadi kesemuanya itu yang menghadiri pembuatan perjanjian, maka
mereka itu biasanya disebut saksi. Jadi istilah ini tidak boleh disamakan begitu saja dengan perkataan „getuige” dalam bahasa Belanda, namun harus diterangkan juga menurut kedudukannya khusus di waktu hadir itu. G a d a i t a n a h b e r h a d a p a n d e n g a n ' j u a l tanah. Jadi bila gadai tanah dan jual tanah harus dianggap sebagai per janjian2 tanah yang pada hakekatnya sangat karib satu sama lain, namun k e m u n g k i n a n untuk mengembalikan tanah yang digadaikan kepada si penjual gadai lagi, itulah yang kadang2 menyebabkan perbedaan penting dalam kedudukannya perjanjian itu, ditimbang dengan : penyerahan tanah untuk se-lama2nya ; perbedaan ini timbul dengam se-terang^nya di mana — seperti di daerah Batak ada larangan tidak diperbolehkan memberikan tanah sebagai „jujur” (bruidschat) karena dengan cara apapun juga kerabat fihak perem puan (bapanya) tidak boleh menjadi pemilik tanah dalam masyarajkat itu, tapi di situ juga benar2 boleh tanah digadaikan kepada kerabat fihak perempuan untuk di belakang ditebusnya kembali dengan „jujur” itu ; dan di Iain2 tempat di mana „beschikkings recht masih berlaku ke luar terhadap tanah2 pertanian, hak pertu anan itu melarang gadai tanah dan jual tanah ke-dua^nya, tapi adakalanya buat sekali tempo hanya „jual tanah” yang terlaraiDg, „gadai tanah” tidak. Pada umumnya terdapat kecenderungan yang sangat ada pada „gadai tanah” dibanding dengan „jual tanaU" ; itu disebabkan karena pengertian, bahwa perjanjian terhadap segala tanah yang dijunjung tinggi sebagai tanah kerabat atau tanah warisan itu — bila perjanjian gadai — dapat ditinjau kembali. Di banyak wilayah oleh karenanya gadai tanah itu lebih ber-ulang* terdapatnya daripada jual tanah menurut hukum adat ini adalah sama sekali lain wujudnya daripada „jual” („verkoop”) yang terkenal dari susunan2 hukum lain, yang menimbulkan kewajiban2 penyerahan dan pembayaran. Sesudahnya membicarakan corakL ’nya yang bersama, maka seka rang dapat ditinjau masing2 daripada tiga perjanjian2 jual itu sendiri2. A.
Gadai tanah.
P e m b e r i a n n a m a . Perjanjian yang menyebabkan bahwa tana inya diserahkan untuk menerima tunai sejumlah wang, dengan ■ permufakatan bahwa si penyerah akan berhak mengembalikan tan itu ke diiinya sendiri dengan jalan membayarkan sejumlah wang yang sama, maka perjanjian (transactie) sedemikian itu oleh V an
Vollenhoven dengan konsekwen dinamakan gadai tanah (— sawah) (grond (-sawah) verpanding). Perjanjian itu juga masih acapkali disebut dengan istilah „jual dengan perjanjian beli kembali” (ver koop met beding van wederinkoop), tapi istilah itu seharusnya dibuang jauh2 dan dalam bahasa hukum murni seharusnya dihindari. Pertama kali bukankah ini terjemahan yang salah, yaitu perkataan j , m enjual” , dalam „m enjual sende ” , )}m enjual akad” dan sebagainya disalin menjadi „verkopen” ; di sini arti „m enjual” ialah : „menye rahkan” sebagaimana dalam „m enjual lepas” perkataan „ m enjual ” berarti „menyerahkan” dan „lepas” berarti „p o c o t” buat se-lama2nya dari si pemilik; maka dari itu istilah tersusun „m enjual lepas” adalah bermaksud „verkopen” dalam bahasa Belanda. Kedua kalinya, maka „koop met beding van wederinkoop” mengandung saran pemindahan hak milik, bila permufakatan „dibeli kembali” (wederinkoop) ini digantungkan pada tempo yang tertentu lamanya dan lantas diabaikan tempo ini, jadi hak membelinya kembali lenyap, hal mana menurut hukum adat tidak demikian (lihatlah di bawah) ; dan akhirnya pemakaian dua perkataan Belanda yang ber-beda2 menimbulkan kesan, bahwa se-akan2 ada terdapat dua macam perjanjian (transakties) yaitu „verpanding” dan „verkopen met beding van wederinkoop” ; inipun tidak benar. Terjemahan „grondverpanding” (gadai tanah) menguntungkan karena' perjanjian ini dijadikan per janjian macam tunggal (eensoortig) dan macam sendiri (eigen soortig) , di hadapan kedua perjanjian2 jual lainnya, namun juga ada dua keberatannya yang besar. Pertama kali terjemahan sedemikian itu menyarankan se-akan2 perjanjian tanah itu ada sifatnya „acces soir” , pada hal perjanjian itu adalah suatu perbuatan hukum yang berdiri sendiri (zelfstandige rechtshandeling) seperti „mertjual dan „menyewakan” ; selanjutnya — hal mana sama dengan tadi — terje mahan tadi menyarankan pikiran se-akan2 berdasar atas p i n j a ma n u a n g yang terus-menerus, atas pembayaran kembali suatu pinjaman uang dan karenanya lantas mendapat kembali tanah yang tergadai itu. Ini semua membingungkan. Gadai tanah sama sekali bukan (lagi) pinjaman uang ( s u a t u perjanjian uang) ; t a n a h l a h yang menjadi obyeknya perbuatan hukum ini sebagai diuraikan di atas ; orang d a p a t menarik kembali tanah itu kepada dirinya sendiri dengan jailan membayarkan uang yang sudah diterimanya, tapi untuk itu ia tidak se-kali2 diwajibkan ; perbuatan hukum itu adalah •perjanjian tanah yang bersifat sendiri. Se-kali2 janganlah dipakai lebih dari satu istilah buat menycbut perjanjian itu, dan karena tidak ada yang lebih baik, maka hendaknya tetap dipakainya istilah „grondverpanding”
(„gadai tanah” ) , dan dalam pada
itu harus dihindari kecenderungan untuk meng-hubung2kan dalam pikiran istilah itu dengan „pandtransaktie” Belanda yang „accessoir" itu. W e w e n a n g si pembeli g a d a i . Si pembeli gadai sesudahnya ditaruhkan hak gadainya atas tanah di hadapan penghulu rakyat dapat memetik hasil tanah itu sepenuhnya, mengerjafoannya atau mendiaminya, menyuruh mengerjakannya atau mendiaminya, raembuat perjanjian mengenai mengerjakan tanah itu (memaruhnya dan sebagainya) perjanjian2 mana berakhir atau dapat berakhir setiap panen. Ia dalam memperlakukan tanah itu hanya terbatas oleh kemungkinan 'kewajibannya menyediakannya untuk dikembalrkan kepada si penjual gadai bila ditebusnya kembali. Jadi bilamana ia membuat perjanjian jual atas tanah itu maika dalant pada itu kemungkinan mengembalikan tadi harus tetap diadakan, artinya, ia hanya boleh menggadaikan terus (doorverpandexi) tanah itu. Kemungkinan ini adalah suatu pertolongan juga bagi si pembeli gadai bila dia butuh uang. Walaupun ia per-tama2 da pat menemui si penjual gadainya-dengan permintaan supaya tanah pertaniannya ditebus kembali (untuk menolong dia w ang), tapi bilamana si penjual gadai itu tidak dapat atau tidak mau menebus, maka si pembeli gadai sama sekali tidak akan dapat menuntut kembalinya wang gadai, tapi memang boleh ia menggadaikan tanah itu kepada orang lain. Ia dalam pada itu bertindak atas tanggungjawabnya sendiri mengenai jumlah uang yang ia peroleh yaitu sama atau kurang dari pada uang gadai semula ; yang terakhir ini dise but gadai di bawah harga (ondervenpanding), bila kelak ia terima uang tebusan, maka dia dapat menebus sendiri ; ia juga dapat ambil orang lain, untuk mengganti dia sebagai pembeli gadai, sedemikian sehingga ia lenyap ke luar dari urusaji gadai ini (sesudahnya ia menerima uang gadainya dari pembeli gadai baru itu ), ini disebut m e n ggadai terus (doorverpanding). Dalam hal ini menjual gadai harus dibéritahu. Menuntut kembalinya uang gadai tak m u n g ki n. Si pembeli gadai sebagai telah diutarakan tadi menurut hu kum sama sekali tidak boleh menuntut kembali uang gadainya dari si -penjual gadai. Sedemikian itu akan sama sekali bertentangarr dengan sifat hukumnya perjanjian gadai (dengan susunan hukum adat) dan — yang lazimnya ber-sama2 jalannya — dengan funksi sosial daripada gadai tanah. Sebab seandainya si penjual gadai dihukum mengembalikan wang gadainya, tapi tak dapat atau tak suka membayarnya, maka sudah tentu barang2nya bergerak (roerende goederen) dan sesudah itu barang2nya tetap (onroerende goederen)
disita, dan dijual seandainya hasil penjualan itu dipakai buat menebus kembali tanah yang digadaikan ta d i; dengan demikian maka yang dicapai justru kebalikannya apa yang dituju di waktu pembuatan perjanjian gadai, yaitu : mencukupi kebutuhan wang dengan mempergunakan tanah pertaniannya, dan membatasi risiko hanya sampai tanah pertanian itu saja. Sedang sekarang (oleh karena keputusan hakim) ia terpaksa menjual dan membelanjakan segala harta bendanya, kecuali tanah pertanian i t u; dengan cara demikian maka perjanjian gadai itu akan terpaksa menjadi perjanjian w a n g ( g e l d transactie) pada hal mestinya perjanjian t a n a h ( g r o n d transactie). Ini tak mungkin dalam ketertiban sistim hukum. Jadi kepada si pembeli gadai. sama sekali tidak dapat diberikain hak dan kekuasaan menuntut kembali wang gadainya (sehingga de ngan demikian menjadikan wang sebagai obyek perjanjian) bagaimanapun juga persetujuannya antara kedua fihak itu ialah selainnya hak dan kekuasaan yang sudah diberikan, yaitu berupa boleh memu ngut hasilnya tanah dan boleh memakai tanah secara apa saja ; tapi dapat juga pembeli gadai itu diberi hak dan kekuasaan berdasarkan atas persetujuan khusus dan sesudah lewat tempo tertentu, untuk mengambil inisiatief bu at, mengakhiri perjanjian gadai ini. T e m p o p e m b a t a s a n l a ma n y a gadai. Bila mana tentang ini tidak ada persetujuan suatu apa (dalam hail ga dai tanah macam biasa) maika hak menebus tetap ada di tanga» pemilik tanah (semula) dan beralih kepada waris2nya, begitu ju ga kewajiban membuka kemungkinan ditebus keir^alinya tanah itu — „milik yang dapat ditebus kembali” — beralih kepada waris^nya si pembeli gadai. Sampai di mana tempo yang lama toch adaikalanya berpengaruh atas lenyapnya kemungkinan ditebus kembali, maka masalah ini dibicarakan tersendiri di bab kesebelas. T api dalam banyak lingkungan huikum ber-ulang2 terdapat, bahwa di waiktii ditaruh hak gadai itu, dijanjikan suatu tempo, dalam mana si penjuail gadai harus sudah m enebus; kebanyakan ditambahkan syarat,. bahwa bila dalam tempo itu tidak ditebus, maka tanahnya jatuh menjadi hak m ilik (yang tak dapat ditebus lagi) si pembeli gadai. T api berlakunya janji itu senyatanya hanyalah bahwa sesudahnya: lewat temponya, si pembeli gadai itu hanya dapat m e n u n t u t supaya perjanjian gadai itu dapat diakhiri. Ini berarti, bahwa bila si penjual gadai tidaik dapat atau tidak mau menebus, maka si pem beli gadai dapat menuntut supaya tanah diserahkan kepadanya de ngan „hak milik” dengan jalan perbuatan hukum kedua, dan mungkin dengan tambahan bayaran bila wang gadainya lebih rendah daripada harga penjualan tanah itu.
Bilamana tentang ini kedua fihak tidak m encapai persetujuan satu sama lain, maka si pembeli gadai dapat m em oh on kepada hakim supaya ditetapkan dengan vonnis, bahw a pada saat dijatuhkannya vonnis atau saat yang berikutnya tanah gadai sudah beralih kepadanya dengan „hak m ilik” , m ungkin dengan ditam bah pem bayaran supaya wang gadai m enjadi wang pembelian. Bila selewatnya tempo menebus si pem beli gadai tak m em pergu nakan haknya untuk ambil inisiatief m engakhiri p erjanjian gadai, maka h u b u n g a n g a d a i ' tetap berlaku terus; n a m u n si* penjual gadai tetap berhak menebus tanahnya dan si pem beli gadai tetap berhak mengakhiri hubungan gadai ini dengan cara yang di uraikan tadi. T e m p o t i d a k b o l e h m e n e b u s . Pada perjanjia n gadai di antara kedua fihak dapat dijan jik an suatu tempo, sama sekali lain jenisnya, yaitü untuk m enetapkan saat sebelum mana si penjual gadai tidak akan boleh m enebus. B ila m engenai saat ini tidak ada perjanjiannya,' maka buat penebusan berlaku dua aturan ini : tidak boleh menebus sèbelum si pem beli gadai paling sedikit satu kali sudah m emungut panen dari tanah itu (atau tidak boleh menebus dalam satu tahun it u ), dan boleh m enebus pada saat tajnah itu tidak dikerjakan dan tidak ditanam i, jadi di waktu pendek sesudah panen yang terakhir. Sebab tanam an itu adalah miliknya orang yang menanamnya ; bila ditebus sebelum panen maka pemilik tanah im akan harus memperbolehkan si bekas pem beli ga* dai berada di tanahnya untuk m emungut panemnya. D i waktu pembuatan perjanjian adakalanya dijanjikan bahwa si pem beli ga dai akan memegang tanah gadainya tidak hanya buat satu tahun saja, tapi misalnya buat tiga atau lima tahun. M e n ge m b a 1i k a n t a n a h . D i waktu ditebusnya, maka tanah itu harus dikembalikannya dalam keadaannya di waktu itu ju ga. Kenaikan harga tanah atau perbaikan2 yang sudah dikerjakan, tidak mendapat ganti. Tanam an2 berumur lebih dari satu tahun yang ditanam tidak seizin si penjual gadai menjadi m iliknya tersebut terakhir ini b ik tidak sudah diambilnya di waktu pengem balian ta nah, itupun bilamana (sebagaimana di kalangan orang2 Batak) menurut aturannya si penjual gadai tidak kehilangan haknya menebus karena ia diam2 membiarkan saja ditanamnya dan bertum buhnya pohon2an serupa itu. Kerusakan tanah yang m em ang diperbuat de ngan niat jahat harus diganti kerugiannya untuk si penjual gadai. Pada saat wang gadai itu diterima kembali, maka pada saat itu juga berakhirlah haknya si pembeli gadai. Tanggungnya (J.) ke-
pala masyarakat (hal. 115) sudah barang tentu di sini sudah tak beraku lagi. Untuk si penjual gadai sudah barang tentu adalah pen ting bahwa ia memberitakan penebusan kembali ini kepada kepala
dusun. P e n g e m b a l i a r i wang gadai s e k a l i g u s W a n g gadai itu harus dibayar kembali sekaligus, pembayaran se bagian demi sebagian harus diartikan baiiwa sebagian dari wang gadai diserahkan lebih dulu kepada si pembeli gadai sedangkan ba ru ada penebusan bila pembayaran bagian yang terakhir sudah terlaksana. Dalam pelbagai lingkungan hukum adalah terdapat suatu per janjian yang memakai nama „gadai tanah” (dengan ada tambahannya la g i), yang pada hakekatnya adalah suatu „perjanjian sewa dengan pembayaran wang sewa'nya lebih dulu”, akan tetapi di SIni disebut : gadai tanah dengan janji bahwa wang gadainya ber-angsur2 dibayar kembali clengan sebagian daripada hasil tanah sehingga sesudah wang gadai dilunasi (secara demikian itu) maka tanah itu dengan tiada pembayaran lagi harus dikembalikan kepada si penjual gadai tadi ; misalnya dondon susut di Mandailing, ngajual tutung di Jawa Barat; oleh karenanya maka di samping tokoh ini tidak ada terdapat „penyewaan tanali dengan pembayaran wang sewanya .lebih dulu” sebagai tokoh tersendiri. C o r a k 2 s e t e m p a t . Gadai tanah itu adalah suatu perjanjian yang banyak terdapat boleh dikatakan di masing2 ling kungan hukum ; sudah barang tentu di mana2 terdapat padanya ragam dan sifat2nya setempat, yang bertalian dengan keadaan2 sosial di lingkungan masing2. Demikianlah — sebagai beberapa misal — di Aceh dalam per janjian terdapat secara, formeel „penawaran dan penerimaan” (ijaab kabul) yang berasal dari agama Islam ; di kalangan orangBatak haruslah perjanjian itu, seperti segala perjanjian yang penting, dilaksanakan di atas nasi yi
rus ada kata sepakat kerabat untuk berbuat itu (harus sekato) ; di Minangkabau juga terdapat aturan kcwajiban si pem beli gadai untuk setiap tahun menyampaikan sedikit hadiah berupa padi kepada si penjual gadai sebagai pengakuan, bahwa yang terakhir ini ada hak menebus Vembali (pilungguh gadai), buat m enyatakan maksud sedemikian itu maka orang2 Batak T o b a juga m cm pcrsilahkan sipenjual gadai m e m i m p i n upacara pujaan tanah tahunan ; di Bah ditaruh janji juga bahwa bilamana tanahnya lenyap wang gadainya harus dibayar kembali ; di Jawa dan di lain2 tem pat maka kekuasaan untuk menggadaikan tanah itu adakalanya terhalang oleh „beschikkingsrecht” desa; .kemungkinan yang di m a n a - terkenal, yaitu menaikkan wang gadai secara lambat-laun sam pai ke tingkat harga pembelian tanah, di Banten disebut : n d a l a m i gadai, ialah „memasukkan gadai lebih dalam” ; sebagai syarat hukum untuk te tap ingat adanya hubungan gadai itu (sama dengan gunanya pitu n § guh gadai di Minangkabau) maka di sana dan di lain tem pat pula terdapat aturan mengulangi (dalam angan2) perjanjian di hadapan kepala dusu/2.
Jual tanah. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka si pem beli itu pada saat dilaksanakan perjanjian beli' (pembayaran w ang p>embelian di hadapan penghulu rakyat) memperoleh hak m ilik atas'tanah yang ■dibelinya. B e l i d e n g a n ha t i j u j u r (té g o e d e r t r o u w ) d a r i o r a n g tak berhak. D alam praktek acapkali terdapat, bahwa seorang tak berhak (misalnya seorang wakil atau salah seorang dari sesama pemilik-) m enjual sebidang tanah pertanian atau pekarangan dengan bantuannya penghulu rakyat (yang mungkin ia sendiri mengira berhadapan dengan orang yang be nar2 berhak) . Bilamana si pembeli (penerima) di waktu beli tanah itu bertindak dengan hati jujur maka ia terhadap peniihk seja-ti yang kerugian, diperlindungi sebagai orang yang berhak atas tanah, tapi hanya s e b a g a i p e m b e l i dengan tem po yang ditetapkan dala.m vonnis hakim (yang dijatuhkan dalam perkara yang timbul antara dia dan si pemilik yang kerugian) , itupun menurut suatu keputusan baru2 ini, yang dipandang dari sudut sosial aniat memuaskan, pula sangat cocok dengan sistimnya. Si pem ilik tanah itu lantas dapat memilih antara menebus kembali dan inelepaskan tanah itu buat se-lama2nya dan ia sendiri dapat mencoba dapat kembalinya uang pembelian dari penjual tanah yang curang itu.
Lel a n g (openbare v e r k o o p ) . Perumyaan yang timbul sejalan dengan itu ialah, bagaimanakah hukumnya bilamana ada tanah pertanian kejadian dijual lelang untuk kepentingan bukan pemilik tanah itu ? Lelang berdasarkan vonnis yaing memerintahkan pemisahan dan pcmbagian harta, atau berdasarkan pelaksanaan von nis atau akte notaris tidak diatur sedemikian, sehingga bersambung dengan azas2 hukum ad at; ia menerobosnya. Tegasnya tidak ada aturan2 penjagaan supaya penjualan lelang itu dapat berlaku seba gai suatu penjualan dalam ketertiban hukum dusun. Maka dari itu si pembeli di lelangan, walaupun ia beli dengan berhati jujur, tidak dapat mempertahankan haknya atas „pembelian di lelangan itu melawan tuntutannya pemilik tanah yang sejati, ia tak dapat menuntut berlakunya hak mutlak (onaantastbare titel), atas tanah itu dari peristiwa pembelian di lelangan itu. Apakah orang yang ter akhir ini tidak sudah kehilangan haknya untuk menuntut kembali tanahnya itu, maka pertanyaan ini adalah pertanyaan yang terlepas dari lain2nya, dan yang harus dijawab dalam hubungan berlakunya lamanya tempo (tijdsverloop) dan tergantung dari apa yang sudah t'ïrjadi dalam tempo tadi (hal. 265). C o r a k 2 s e t e m p a t . Keistimewaan* itu tidak hanya terdapat pada gadai tanah saja, tapi juga pada jual tanah (tjaab kabul yang telah disebut tadi di Aceh, dengan tiada menentang sifatnya ke Indonesiaan daripada jual tanah; perkara2 adat di Minangkabau, dan sebagainya) . Menurut sumber lama, maka dulu «harga pembelian itu juga terdiri dari beberapa benda : nasi, mangkok, tikar, kendi, yang menandakan sifat khasiat (magisch) daripada taranya itu ; pada sekarang adakalanya dengan sengaja ditambahkan pada harga pem belian itu sekeping -uang tembaga, di lain tempat sebilah pisau atau secarik kain. Penanaman batu3 di~pojok2nya tanah (tanam atu) i Minangkabau, pemasangan tanda tambah (plus teken) yang dalam, sebagai tanda tanah sudah dibeli di Rejang dan pemasangan tonggak2 tetap (tunggaq biulo) di pojok ke empat tanah pertanian di wilayah situ juga, penunju’kan batas2 di kalangan orang- Batak, maka kesemuanya itu adalah misal2 daripada syarat2 dan usaha- untuk kepentingan pelindungan hukum. C.
Persewaan tanah dengan pembayaran uang sewa lebih dulu.
A d ol taunan, oyodan, trowongan dan sebagainya adalah cara per sewaan tanah yang biasa di kalangan rakyat Jawa ; di luar Jawa rupa-nya perjanjian semacam.ini kurang dikenal orang, atau dianggap sebagai semacam gadai, ialah dondon susut (hal. 117). Cara pitung-
£uh gadai 'di Minangkabau adalah scjalan dengan kcbiasaa.ii di Jawa vang kadang'- terdapat. ialali bahwa yang menycwa cmpat kali setahun memberikan sedikit liadiah (seckor ayam, beberapa butir buah-an) sebagai tanda pengakuan. kepada yang menyewakan. Me n v c w a k a n t e r u s (cl o o r v e r h n r e 11) (pindah sewa) juga terdapat di Jawa sebagai sejajar dengan pindah gade. Sebutan Simda : ngajual pitch dmrit (ngajual tutung) niengandung angan2 vans sama densran istilah Batak vang tersebut tadi : dondon susut.# O O r* Lamanva tempo persewaan adalah dalam hal ini tergantung dari j
besar kecilnya hasil yang terpungut setiap tahun.
4.
PEN G ASIN G AN T A X A H U N T U K B E N D A H U K U M (R ECH TSG O ED ) V A N G BERDIR1 SE N D IR I.
Di tempat sini „untuk peringatan" (pro memorie) harus disebut* nya sebagai perjanjian tanah ; masalah ini akan dibicarakan 'di bab keenam. 5.
P E M B E R IA X T A N A H .
Pemberian tanah kepada orang2 luaran, di mana hak m ilik seketika itu juga berpindah tangan, menurut berita, terdapat terutama di Sulawesi. Lebih2 terdapat atau dulu terdapat pemberian tanahpertanian kepada raja (raja Bolaang Mongondo w misalnya) atau kepada penghulu2 (Minahasa) supaya mendapat rela kasih, pula pembayaran dengan tanah sebagai denda atau sebagai hadiah untuk pekerjaan2 hakim. Di Minahasa tanah pertanian juga diberikan sebagai tanda ambil anak (adoptie teken), sebagai jujur (bruid schat) dan sebagainya, demikian juga di Sulawesi Selatan. T anah2 yang diterima sedemikian itu kadang^ mempunyai nama2 yang menunjutkan asalnya (tanah pei pamoya = „tanah yang diberikan sebagai jujur”, Minahasa). Jadi di sini itita harus menyebutkan „pemberian” dan „pembayaran menurut adat” sebagai perjanjiaTi2 tanah. Di samping itu terdapat „gadai tanah" sebagai aturan semenr tara ke arah pembayaran menurut adat, jujur, atau maskawin. D i be lakang tanah itu ditebus dengan pembayaran uang sesungguhnya ('daerah2 liatak, Sulawesi Selatan). Di Sulawesi disebutnya sunrang wnra, yaitu maskawin scmentara. Pelbagai macam pemberian2 tanali di kalangan orang- Batak J'oba, dari fihak bapanya isterinya dan rJari kérabamya isterinya, kepada dia (istej-i) dan suaminya (bangunan, pauseanv, tndahan anun, dan sebagainya) ada bersifat hibahan ('toeschc-iding; sebagian harta benda dari bapak kepada anaknya
perempuan (dan menantu lelaki), hal. 241 - di daerah Batak sebe lah Selatan pemberian2 semacam itu jarang sekali berupa tanah.
6.
PEN G H ÏB A H A N T A N A H .
Ke Indonesiaan umum ialah penghibahan (toescheiding) tanah. hal mana di belakang akan dibicarakan ; sudah barang tentu soal itu harus disebutkan ber-sama2 perjanjian2 tanah, tapi akan dibicarakannya di golongan hukum waris di bab ikesepuluh : masalah ini dipandang dari satu sudut yang tertentu adalah kebalikan dari pada perjanjian tanah sebagai „perbuatan tunai” , yaitu sepanjang pengertian bahwa ia dalam pokoknya adalah suatu perkisaran (ver schuiving) dalam lingkungan para waris, bukannya suatu pelepasan tanah ke luar lingkungan wairis itu dengan akibat2nya sebagai terlukis di atas. Karena sebab2 yang tertentu maika penghibahan serupa itu dapat juga menguntungkan orang2 bukan karib, ialah si suami.
7. . S U R A T
(A K T E ) U N T U K PERJANJIAN2 T A N A H .
Perjanjian tanah di hadapan penghulu rakyat itu daJam kehanyakan lingkungan hukum di Nusantara sini sering sekali — malahan adaikalanya selalu — ditulis dalam surat (akte). Surat akte itu di mana2 menampakkan pelik2 yang sama, ia dapat disimpulkan menjadi tokoh yang tetap dan memuat pernyataan segi satu dari orang yang menyerahkan tanahnya : saya yang bertandatangan ini menyatakan menjual tanah pertanian saya, nama begini, batas2nya begitu ; yang menerima penyerahan tanah ialah si Fulan dan si Anu, dengan harga sekian, jumlah mana sudah saya terima penuh dengan baik; perjanjian kita ialah ; tanah buat se-lama2nya tetap milik si penerima penyerahan, atau, tanah dapat saya tebus kembali de ngan harga sejumlah uang yang sama, atau tanah akan dikembalikan kepada saya sesudah sekian tahun. Memang sifat sebenarnya daripada perbuatan hukum itu tidak selalu terdapat seperti yang sudah dilukiskan di atas tadi, ialah terpisah menjadi dua bagian ; surat akte itu juga dapat m em ulai; saya yang bertandatangan ini meniyatakan menggadaikan (menjual gadai atau menggadai) — tapi lukisan yang terpisah ini adalah gamb a f potret yang murni daripada peristiwa hukum ini. Surat akte itu ditandatangani oleh orang yang menyerahkan; „ditandatangani” ini berarti, bahwa orang yang bertindak itu meng-gores2kan namanya dengan sesuatu macam huruf di bagian bawah surat
ïtu, atau, bahwa dia menaruh palang perempatan di sisi namaïiyayang telah dilukiskan di situ oleh orang lain, atau dia menaruh cap jempol dengan sedikit tirnta di bawah namanya itu. Selanjutnya surat akte itu secara demikian tadi dkandatangani oleh kepala rakyat dari masyarakat di mana letaknya tanah itu, dan boleh jadi juga oleh penjabat- masyarakat lainnya yang hadix di situ ; kadang ditandatangani oleh golongan xuaris yang sudah dimintakan persetujuannya
kadang2 oleh pemilik» tanah'berdampingnya ; kadang3
oleh orang yang hadir sebagai sa-ksi untuk menambah kepastian» dengan kata* lain : oleh segala macam saksi. Surat akte yang tersusun sedemikian itu diterimakan kepada orang yang membeli lepas tanah itu, atau yang membelinya gadai, atau y
g menyewanya, atau yang dihibahinya atau diberinya. Dengan rat akte itu dia dapat membuktikan sahnya (menurut hukum)
te r h ! Z nnVa
dC n gan ta n a h U u ’ te r h a d a P ^
hakim fah°railgu
W
1Uar masyarakatnya sendiri, lebih* terhadap
membuüL an>: ual mana naml dibi— lebih lanjut. la d a p * memperoleh h a t " * perbuatannya hukum yang mengakibatkan memaraatastan\ tetaP' ^ yang dapat dihaPuskan atau hak *e™ telah berikht* ^ berllak j uSa mendapat perlindungan, karen* d- e l e n l a r a w r
Perbuata™ y a Itu menjadi terang, Pula’ Maka surat itu disebut j u *
M at k e te l "
bahwa Surat ifu dal I * * * ' T a k daPat ^ r a g u 2kan W mempunyai tempat T h>" la.kunya antara fihak* yang bersangkuta"; (participerend)
al3m alam Pikiran -serba berpasanga1*
dari
* « P « c^jeSkln sa P itu dianggapnya alat Pengikat, atau, ngan tanah, alat mano
a ;= tCmPat mana * u . maka b e l* » SekaranS’ Tentang terkaan2 bahwa sur» terlihat mata- artinya ®eba^ • & untuk memindah’kan pertalian
a-
terkaan2 itu tidak sama s e ^ a i n ^ 11- ^ end.a (gematerialiseerd), * peristiwanya sendiri lahir ma slnSgung yang perlu deng ;Lt,U tidak beralasan. Bila ™ akte itu dengan lemhatr ” a dipandang sebagai tanda n
^ ^ = maka dari itu terkaa° oranS hendak membandingkan sur3 «sU akan seharusnya surat
t a k iy d i Rejang d a „ t a t ^ ? " ^ tanda p e n g e n a l» . bu kti. Lebih m udah “ • ' * M ^a n g k a b a u , ja d i sebagai : ^participerend” funksinya 1 rakyat itu. Iaiah
baht
rUPa2nV^ dalam alam P * ’r3‘ tanSanan surat akte oleh Peng
rusnyam engakui hubungan v a l 1,1 n yata b e rja n ji b u a t s e *' ° 7M g baru itu ^ b a g a i h u b u n g a n h u * " *
Pendirian dusun atas perintah raja sebagai
sy a ra t
^rluasan ke
kuasaan atau sebagai tanda kasih sayang yang di,tenma dan raja, sudah terkenal, misalnya di Jawa dan di Bah ; dusun itu kebanyakan lamas mendapat kedudukan hukum yang is v Buat pembukaan2 tanah di luar masyarakat-, maka atu- a t u y an hukum yang berlaku ialah aturan* ketertiban hukum raja
tur_
attiran2 ketertiban hukum gubernemen (hal. Vo)• •••, - , ' > hukum seffi dua dapat dikatakan pada Mengenai perjanjian- hukum = kecil2 sudah lenyap atau umumnya, bahwa - di mana m ^ Ungsung at
tak pernah ada, sehingga hak p dikuasai oleh ketertiban _hukum ^
. u^a ^
euber^
nemen - di situ perjanjianP6 fihak pengUndang-umlang aturan2 yang mungkin dikeluark < ^ - ^ - a k a t 2 yang melakukan (wetgever) . Oleh karena orang- i dengan lingkungan haka tanah itu kebanyakan sel kembali ke masyarakat masyarakat2 itu dan kepentingan2nya di situ «u , mempunyai pertahan-nya , pmestmYa bersambung dengan Pula - maka peraturan* itu sudal ^ diinginkan aya hukum
a d a t
y a n g
terbentang di
y
men^apa
dapat dimengertinya. Itulah sc a ny< Mengenai perjanjian2 tanah di 1 u o ^J
disebut suatu jasa yang besar. Sep
maka dapat dikatakan dengan Past1’ . ^genai perdagangan tanah beserta e 1 « » . a d a la h ^ s e s u a i d e n g a n
»
kenyataan sosial me2
adat2nya tentang masyarakat2 ; sehingga
^ ern em en
^P utusan2 hakim2 kerajaan dan n
®
Ungan ini seharusnya mener it an engan kaidah2 yang berlaku
peraturan Yogya
reorganisasi dapat ada peraturan2nya
len)
. un
d a la m lin g -
yang sama
rakyat itu. Maka
a
adanya reorganisasi, di
antor rijksbestuurders di daera ^ fta r a n oleh pegawai2 kerajaan
kesemuanya uu adalah L w angan .tadi. Pendaf-
f n d a £ ta ra n , d i L a
s e b e lu m
Ja w a " p u l a
1
misap yang tepat daripada Peleng ***“
pen-
yang belum ada, tapi
saran SerUpa kU di IinStUnSanvg kota2 besar yang tidak ada lagi a°gat dibutuhkan ialah untuk llidup di luar masyarakat epala2 dusunnya dan untuk golongan ^ usaha setempat untuk (Priyayi). Sekali tempo maka died a *®*edar mencukupi kebutuhan mi J ^ g Pandang); sampai di mana ■ pada Praja buat daerah d * kemungkinannya untuk itu o P
[
„Inlands notariaat” dicukupi dengan penyang suda] dibu. tanah (agrarische reg-
lem enten), maka soal ini cukup berguna untuk sengaja diseUdiki tersendiri. T entang m . e n a n g g a l k a n hak2 atas tanah sebagai perbuatan segi satu, agar supaya sebidang tanah pertanian m en jad i „vrij landsdomein” (tanah negeri yang sudah bebas) dan dengan demikian lantas m ungkin dialihkannya kepada seorang bukan P ribu m i, maka sebagai perbuatan hukum sedemikian itu sudah semestinya tepat berasal dan berada dalam ketertiban hukum gubernem en. Juga bagian itu daripada „hukum tanah” (agrarisch recht) m em butuhkan dengan mendesak peninjauan kembali se-daïam2nya.
BAB K E E M P A T . PE R JA N JIA N 2 Y A N G B E R S A N G K U T -P A U T D E N G A N T A N A H . Pokok pikiran perjanjian2 tanah segi dua ialah : „saya melepaskan tanah seterimanya sejumlah uang yang tertentu,- tuan adalah (buat se-lama2nya, atau selama saya tak menebusnya, atau buat be berapa tahun) pemunya hak atas tanah itu” , maka dari itu sudah semestinya perjanjian sedemikian itu digolongkan dalam perjan jian2 riil (reële overeenkomsten) atas tanah (dan atas obyek2 yang dalam hal ini dapat disamakan dengan itu) b e r h a d a p a n dengan perjanjian2 macam lain. Yaitu pertama kali berhadapan dengan perjanjian2 yang biasanya dilukiskan segolongan dengan perjanjian2 tanah (grondtransacties), di mana tanah adalah faktor penting tapi tak dapat disebut obyek perjanjian dan t i d a k bermaksud seperti pada perjanjian2 ju a l; dan selanjutnya ber hadapan dengan perjanjian2, di mana tanah tak pegang peranan dan di mana tiada perbuatan tunai (kontante handeling), melainkan „perbuatan2 kredit” (crediet handelingen) ; hal terakhir ini akan dibicarakan di bab kelima. 1.
PERJANJIAN
PARUH
H ASH , T A N A M
(D E E L B O U W O V E R E E N K O M S T ). Perjanjian berperangai tepat yang bersangkutan dengan tanah, tapi yang tidak dapat dikatakan berobyek tanah dalam arti kata hu kum adat tekhnis, ialah perjanjian paruh hasil tanam (deelbouw transactie), yaitu suatu perjanjian yang terkenal dan lazim dalam segala lingkungan2 hukum. Dasarnya perbuatan hukum dan funksinya tiada sama sekali perbandingahnya dengan perjanjian2 jual. D a s a r perjanjian paruh hasil tanam ialah : saja ada sebidang tanah tapi taik ada kesempatan atau kemauan mengusahakan sendiri sampai berhasilnya; tapi walaupun begitu saya hendak memungut hasil tanah itu dan saya membuat persetujuan dengan orang lain supaya ia mengerjakannya, menanaminya dan memberikan kepada saya sebagian hasil panennya; padahal dasar daripada perjan jian jual ialah : saya ada sebidang tanah yang saya pergunakan untuk mencukupi kebutuhan saya akan wang yang mendadak (atau saya lebih suika (buat sementara) mempunyai w a n g ; dari pada ta n a h ).
F u n k s i
perjanjian
paruh
to il
tanam
ia lah : mem
buat berhasilnya milik tanah tanpa pengusahaan tanall sendiri dan mempergunakan tenaga pekerjaan dari orang lain yang tanpa mi lik tanah sendiri ; funksi daripada perjanjian jual, ialah mem-
pergunakan tanah untuk segala kebutuhan2 hidup, dan bahwa mi lik wang dibikin berhasil
(productief)
dengan jalan milik tanah.
Dalam bahasa Belanda kebalikan antara perjanjian
tanah se-
jati dan perjanjian paruh hasil tanam paling tegas dapat dinyatakan dengan jalan dem ikian: di sajnping „menjual lepas . „menggadaikan" dan „menyewakan dengan pembayaran wang sewa lebih dulu” j a n g a n mengatakan „memberikan tanah untuk dikerjaltan atas dasar paruh hasil tanam", tapi seharusnya perjan jian terakhir ini dilukiskan dengan kata2 m e m b i a r k a n sipemaruh ditanahnya pemilik tanah atau pemunya hak atas tanah itu, agar supaya si pemaruh itu di sana mengerjakan tanah, menanaminya dan memaneninya. O b y e k perjanjian bukannya tanah, tapi tenaga pekerjaan dan tanaman. Pelbagai corak2 bertalian de ngan sifatnya perjanjian ini : pertama kali, bahwa pembantuan penghulu2 rakyat tidak pernah menjadi syarat untuk sahnya ; untuk berlakunya tak usah ada pengisaran (verschuiving) yang hairus tcrang, perjanjian iitu terlaksana di antara kedua fihak saja ; selanjutnya bahwa jarang dibuatnya surat akte daripada perbuatan hu kum itu ; lebih2 baihwa perjanjian paruh hasil 'tanam itu diadakam buat satu tahun panen, dari musLm tanam saimpai musim panen — itupun bilamana tak ada hal lain yang ditetapkan karena ada sebab2 istimewa — dan kalau demikian bahkan menurut prinsipnya lama perjanjian hanya satu tahun panen itu ; kemudian : bahwa per janjian semacam ini dapat dibuat oleh siapa saja yang menghaki tanah itu, ialah : si pemilik tanah .si pembeli gadai, si penyewa atas perjanjian jual taunan, dan malahain juga si pemakai ta nah kerabat atau si pemunya hak pungut 'hasil karena jabatannya (ambtelijk profijt gereohtigde) ; betul ia tidak memiliki tanah, tapi ia •menjalankan suatu usaha — yang pada asasnya selalu diperbolehkan — mengenai mengerjakannfya tanah dan memperhaisilkannya. Juga tak pernah ada berlakunya „beschikkingsrecht” terhadap perbuatan hukum itu — bukan sesama anggauta2 selalu boleh men jadi „pemaruh itu (bila mereka sudah diizinkan masuk daerah masyarakat, hal. 79), mereka toch tidak menaruh hubungan perse orangan atas tanah, tapi hanya berada di tanahnya orang lain untuk bekerja di sana guna kepentingan kedua fihak. Perjanjian itu lebih mendekati „menyuruh mengerjakan tanah pertanian atas upah , daripada sesuatu perjanjian tanaih yang sesungguhnya. Le'tak perbedaan antara ke-dua2nya ialah ibaihwa si pemilik tan all sesudah terjadi perjanjian paruh ihasil tanam tidak campur tangan lagi dengan penggarapan tanahnya — ia menyerahkan peng garapan tanahnya sepenuhnya kepada si pemaruh, menyerahkan bi
bit padi dan lembu untuk membajak, itupun bila dijanjikan de mikian, dan menerima seperdua, sepertiga atau sebagian lain dari pada hasil tanaman yang ditanam oleh si pemaruh ; sedangkan bila ia menyuruh menggarap tanahnya dengan upah, ia memberikan perintahnya buat setiap tindakan, memungut hasil panen sepenuhnya buat dirinya sendiri dan membayarkan upahnya berupa apapun. juga. Jadi perjanjian paruh hasil tanaman itu terlaksana dengan jalan mengizinkan orang lain masuk ke tanah pertanian di mana ia melakukan haknya dengan permufakatan bahwa orang yang diizin kan masuk tadi — si pemaruh — akan menanam tumbuh2an dan akan menyerahkan sebagian hasil panennya kepada sipemunya hak atas tanah itu. Tentang permufakatan2 lebih lanjut mengenai bibit padi, lembu untuk membajak dan mengenai bagiannya tepat dari pada hasil panen yang akan diserahkan kepada si pemunya hak atas tanah dan lain2nya lagi, maka hal2 ini biasanya disebutkan dengan tepatnya dalam perjanjian itu. Di Minangkabau perjanjian itu disebut memperdnai, di Mina hasa toyo. Di Sulawesi Selatan : tésang.' di Jawa Tengah maro (separuh lawan separuh) atau merlelu (satu lawan dua) di Priangan nengah (setengah lawan setengah) dan jejuron (satu lawan dua) dan sebagainya. Pe rhubungan2 paruh hasil t anam. Tentang buah pikiran, bahwa siapa yang mengerjakan tanahnya orang lain harus menyerahkan setengah dari hasilnya kepada si pemilik tanah, maka buah pikiran itu adalah asas umum dalam hukum adat ; hal mana 'tak terbatas sampai hubungan yang teratur oleh persetujuan saja, melain'kan juga berlaku atas tanah yang dipakai tidak sah (onrechtmatige occupatie) yang tidak hanya berlaku atas tanah per tanian yang ditanami saja, melainkan juga atas kebun2 yang harus dipelihara, suatu asas yang juga berlaku atas penangkapan ikan dan atas peternakan. S r a m a dan plais. Dua lembaga di samping, yang ter dapat pada paruh hasil tanam, harus disebutkan di sini sebagai sambungannya. Yang pertama ialah pembayaran sedikit wang pada perraulaan perjanjian. Ini se-mata2 terdapat di Jawa Tengah dan disebutnya srama atau mesi. Pembayaran ini mengandung arti suatu persemibahan yang disertai dengan permohonan (srama) atau me ngandung pengakuan bahwa ia berada di tanahnya orang lain (mesi). Lembaga di samping yang kedua ialah perhubungan yang diletakkan orang di antara pinjaman wang dan perjanjian paruh hasil ta-
nam. Si pemilik tanah pinjam wang tanpa bunga dari pemaruhnya, dan untuk itu si pemaruh tetap boleh memegang haknya mengerja kan tanah sebagai pemaruh selama wang pinjaman itu belum dilunasi (balango di Sulawesi Selatan, plais di B a li), atau lebih tepat : wangnya si pemaruh tak dapat dituntut kembalinya, selama dia diperbolehkan sebagai pemaruh, tapi seketika dapat dituntutnya kembali bila ia dilarang terus mengerjakan tanahnya si peminjam wang. Kadang2 diadakan perhitungan daripada liutangnya dan keuntungan2nya yang sudah terpungut, sedemikian, sehingga sesudah pemu ngutan hasil setiap tahun wang pinjaman itu dikurangi dengan jumlah tertemu, adakalanya juga jumlah wang pinjaman itu tetap saja besarnya sampai dilunaskan penuh sekaligus. K e i e n g a h an. Andaikata si pemaruh tak diperbolehkan me ngerjakan tanah itu, maka ia berhak menuntut kerugian dari si pe milik tanah, ia tak dapat menuntut mendapat tanahnya — sebagaima na orang yang mendapat 'hak2 atas tanah atas suatu perjanjian ju a l; di sini pula ternyata 'bedanya perjanjian tanaih dan paruh hasil tanam ; yang terakhir ini berakhir atau dapat diakhiri sesudah se tiap panen ; si pemaruh ada hak atas hasil tanaman (yang ia sebagian harus menyerahkannya) bukannya atas tanah ; ia dapat dianggap se bagai pemilik tumbuh2an yang dkanamnya. 2.
SEW A.
Adalah tetap janggal nampaknya — itupun dalam kebanyakan lingkungan2 hukum — tokoh daripada persewaan tanah2 pertanian dengan pembayaran wang sewanya di belakang, yaitu : „sewa” . Telah disadari, bahwa perkataan ,^ewa” itu menunjukkan suatu transaksi dengan o r a n g 2 l u a r a n . Rupa2nya cocok dengan maksud itu, bahwa misalnya di Tapanuli Selatan dipakainya perkataan mengasi baik buat persewaan tanah (sewa), maupun buat hak menikmati (genotrecht); bahwa di Sumatra Selatan perkataan }jew a ” dalam istilah ,jew a bumi” terkenal juga, yaitu bermaksud pajak yang harus dibayar oleh orang luaran untuk pemungutan hasil dari daerah lingkungan „beschikkingsrecht” ; bahwa perkataan cukai di Kalimantan bermaksud baik pembayarannya orang luaran un tuk pemungutan hasil dari daerah lingkungan „beschikkingsrecht”, maupun bermaksud pembayarannya orang yang menyewa tanah; bah* wa memperoleh hak mengumpulkan hasil hutan dalam lingkungan hak pertuanan negory di Ambon oleh orang2 luaran, disebut sewa ewang, dan bahwa di Bali menyewakan tanah pertanian disebut ngupeUnin, dan upeti itu adalah istilah buat pajak yang dibayarkan
oleh orang2 lu aran (sewa bumi tersebut t a d i), terpungut b erdasar atas „beschikkingsrecht” . Persew aan tanah oleh ondernem ing2, lebih2 ondernem ing2 gula, p a d a khususnya d iseb ut „sewa” , „nyew a". T a p i b ila dalam p ad a itu diberikan „voorschot” atas w ang sewa buat tem po yang lam a, m aka tim b u l san gat banyak persam aannya dengan adol taunan. D alam p ergau lan 2 di an tara Pribum i d i Ja w a ru p a2nya d ik atak an orang, bahw a sewa atas tanah2 pertanian tak ad a terdapat, atau, bahwa „sew a” itu sam a sa ja dengan adol taunan. Persewaan tanah2 beng* kolt di Ja w a itu — b agaim anapun ju g a nam anya — selalu diang* g a p sebagai persew aan yang d ap at diberhentikan setiap tahun dan w ang yan g terbayar lebih du lu (kepada k epala2 desa yang begitu se rin g kekurangan wang) itu dian ggap sebagai „voorschot” (yang ditu n tu t kem balinya b ilam an a kepala desa itu karena diberheniikannya tak d ap at m em berikan pem akaian tanahnya kepada oran g yang se wa) . M enyewakan pekarangan2 dan rum ah2 sedem ikian itu adalah b u k an ad at P r ib u m i; d i m an a itu sudah m en jadi kebiasaan m ak a istilah sew a akan cocok d a p a t terpakai. Sewa sebagai m acam per ja n jia n tersendiri karena itu seharusnya d ap at d iartlk an : m engi* zinkan oran g lain berada di tanahnya yang ia berhak atasnya supaya oran g itu m engerjakannya atau m endiam inya dengan keharusan m em bayax seju m lah w ang tertentu sebagai w ang sewa sesudah se* tiap b u lan , setiap panen atau setiap tahun d an — seperti paruh hasil* tanah — setelah setiap pem bayaran persewaan berakhir, atau se-tidak2nya, d a p a t diakhiri. D alam bentuk itu m aka perjan jian ini dap at disebut se ja ja i dengan paru h hasil tanam , d a n sebagai kebalikan darip ad a „per* ja n jia n 2 tanah” d alam arti k ata yang se*benaxsnya. 3.
B E R B A R E N G N Y A P A R U H H A S IL T A N A M D A N SEW A D E N G A N G A D A I T A N A H D A N „P E R SE W A A N T A N A H D E N G A N P E M B A Y A R A N W A N G SEW A L E B I H D U L U ".
P erjan jian 2 p aru h h asil tanam (dan sewa) m en dapat arti isti* m ewa d ari kenyataan, bahw a perjan jian 2 tadi acapk ali d ik aitk an p ad a „g a d a i tan ah ” , y aitu sedem ikian, bahw a seketika sesudah diletakkan haknya si pem beli gad ai atas tanah yang digad aik an , m ak a ia, pem beli gad ai, m em perbolehkan si pen ju al gad ai b e rad a d i tan ah yang b aru sa ja d iju a l ga d ai itu, sebagai pem aruh h asil tan am a ta u sebagai penyewa tan ah itu. Sebagaim an a telah dibicarakan, m ak a ia boleh b ertin dak sedem ikian itu , begitupun di Ja w a si penyewa yan g telah m em bayar w ang sew anya lebih dulu juga boleh bertin dak se-
rupa itu, dan terhadapnya uraian di atas tadi berlaku pula. Pembeli gadai itu tidak boleh membuat perjanjian jual atas tanah yang dibelinya gadai itu, juga tak boleh m enjual (nya) taunan, oleh karena dengan demikian ia (buat sementara) melanggar haknya sipenjual gadai untuk menebusnya ; hanya diperbolehkannya untuk ' menggadaikan terus (doorverpanden). T api tentang mengizinkan orang2 lain masuk di tanah itu supaya mengerjakamnya atau mendiaminya atas -dasar kontrak yang dapat diputuskan bolehlah ia. Bilamana ia seketika mengizinkan si penjual gadai di tanah yang digadaikan itu, maka kombinasi kedua perjanjian ini menempati funksi ekonomis dalam kehidupan masyarakat, yaitu, bahwa dia yang menyerahkan tanahnya untuk mendapat uang, sekarang ada kelebihan tenaga pekerjaan tapi tanpa memiliki tanah, maka selanjut nya ia dapat mencurahkan tenaganya tadi kepada pengerjaan tanah, yang diterima oleh si pembeli gadai (yang tidak diperlukannya karena ia sudah punya kebanyakan tanah), sehingga tanah itu ke luar hasilnya. Juga bila ada pekarangan2 digadaikan, maka kekurangan tempat untuk berdiam yang disebabkan oleh perjanjian itu dapat dipenuhi pula karena tanah pekarangan itu ditawarkan kepada si penjual gadai itu, untuk tetap didiaminya. Di samping itu barangkali lebih pentingnya lembaga itu dipandang dari sudut funksinya dalam masyarakat (dan sentimen) yaitu bahwa si pemilik yang manja kepada tanahnya dapat tetap bekerja atau berdiam di tanah yang dicintainya itu. A k i b a t 2 hukum. Menurut hukum adat, maka akibat2nya hukum daripada perbuatan2 hukum gabungan tadi sudah jela s; paruh hasil tanam dan hubungan sewa dapat diakhiri dalam tem po pendek; bila timbul kelengahan dari fihak pemaruh atau pemberi paruh hasil tanam atau dari fihak penyewa atau pemberi sewa dalam arti kata perjanjian sewa, dapat timbul hak m enuntut kerugian, bukannya hak menuntut tertuju kepada tanah. Hubungan gadai itu hanya dapat diakhiri dengan cara yang terlukis di bab ketiga di bawah 3. A. Menilik kejadian lahir maka kombinasi „gadai sawah” dengan „paruh hasil tanam , atau „gadai pekarangan” dengan „sewa” ba nyak mirip perjanjian uang (geld transactie) dengan tanah seba gai penjaminan (zekerheid). Karena dipandang dari sudut lahir terjadi hanya demikian, bahwa seorang memberi uang kepada orang Jain dan selama uang itu belum dikembalikan oleh orang lain itu, ia menerima dari dia sebagian dari hasil panen tanah pertaniannya, atau pembayaran- Derkala. Perjanjian semacam itu d a p a t I
juga diselenggarakan sebagai p e r j a n j i a n u a n g di mana tanah disangkutkan sebagai penjaminan, akan tetapi menurut hukum adat perjanjian sedemikian itu adalah lain tokohnya. Persewaan tanah dengan pembayaran uang sewa lebih dulu, digabungkan dengan „memperbolehkan si pemberi sewa sebagai penyewa di tanahnya sendiri” , adalah lahirnya mirip dengan „voorschot” , atas tanaman atau „pinjam uang” dengan menyicil saban tahun berupa padi (pa ruh) atau berupa uang (sewa). Menurut hukum adat maka juga di sini sudah tentu ada perbedaan2 yang jauh sekali dalam artinya, antara perjanjian2 tanah (grond transacties) di satu fihak dan per janjian2 uang (geld transacties) di lain fihak. 4.
P E N JA M IN A N (ZEK ER H EID STE LLIN G ) DENGAN TA N A H .
Mempergunakan tanah sebagai penjaminan adalah persetujuan ..accessoir” pada perjanjian pokok pinjaman ua n g ; rupa2nya bersifat persiapan, dalam pengertian demikian, bahwa di waktu menerima uang pinjaman — jadi di waktu mencukupi kebutuhan uang dengan jalan perjanjian uang — seketika sudah ditetapkan sebidang tanah pertanian, yang bila perlu atau bila dikehendaki akan dipakai un tuk perjanjian pelunas (delgingskontrakt), judi dengan demikian pinjaman uang diganti dengan perjanjian tanah (hal. 118); di be* berapa lingkungan2 hukum (Bali, daerah2 Batak) tanah yang ditunjuk sebagai penjamin itu — bilamana bunganya sudah meningkat sampai tingkatan tertentu, jadi hutangnya sudah bertambah — di» g a d a i ”-kan kepada si pemberi pinjaman uang (atau haruskah digadaikan kepadanya ?) . Di Jawa maka „gadai” itu (sebagai per buatan hukum) acapkali disusuli dengan penjaminan (zekerheid stelling) . T itik inti perjanjian penjaminan ialah : saya berjanji, selama hutang saya belum lunas, tidak akan membuat perjanjian tanah atas tanah saya, kecuali. untuk kepentingan si berpiutang saya (perjanjian tanah dengan dia atau dengan orang la in ). Perjanjian sedemikian itu di mana2 ada namanya sendiri : tahan (B at.), babaring (Dayak Ngaju) , makantah (Bali), tanggungan, jonggolaii (J.) dan seterusnya, dan di samping itu rupa2nya istilali petikan „borroh” , „ borg”, „borrot” terdapat sangat bertaburan. Penjaminan
di
bawah
heidstelling), Perjanjian ini -
tangan
(onderhandse zeker
itupun di Jawa — sering diselengga
rakan di antara fihak2, tiada setahlinya kepala dusun atau lain peng hulu rakyat ; oleh karenanya sama sekali tidak berlakil terhadap fihak ketiga. Ini berarti per-tama2, bahwa perjanjian jual ygng di-
selen ggarak an den gan m e'n gak ib atk an p e r se tu ju a n se la m a m a sih ada h u tan g atas tan ah y an g d ija m in k a n (d i b a w a h ta n g a n ) ta d i, adalah sah m en u ru t h u k u m ; d a n k ed u a, b ah w a ta n a h y a n g d ib u a t penja m in tad i d a p a t d iju a l atas d asar v o n n is h a k im u n tu k m em enuhi p in ja m a n 2 u an g la in sed an gkan si p e m b e ri h u t a n g d e n g a n pen ja m in an d i b aw ah tan g an itu ta k a d a h a k m e n d a h u lu i (voorrecht) te rh ad ap p en agih 2 h u tan g lain n ya. In i tid a k b e ra rti, b ah w a p en ja m in an di baw ah tan g an in i o leh k aren an y a te rh a p u s g u n a n y a sam a sekali, seb agaim an a k ad an g 2 d ik a ta k a n o ra n g — u n tu n g n y a penepatan ja n ji tersim p u l d alam p e n ja m in a n itu b e rd a sa rk a n a la sa n 2 yang la in d ari p ad a k ein gin an „ ja n g a n sa m p a i k a la h b ila terseret perkara ke dep an h ak im ” ; b agin y a k ek alah an d a la m p e rse lisih a n d i m asyara k at (tidak d i d ep an hakim ) s a ja d alam p rak te k n y a a k a n tid a k kuran g beratnya b u at d ir a s a k a n ; n am u n tid a k d a p a t d ir u m u sk a n suatu k a i d a h h u k u m (rechtsregel) y an g d a p a t d ip a k a i u n tu k melindu n gi si pen erim a „p e n ja m in a n d i baw ah ta n g a n ” itu te rh a d a p fihak ketiga. P e n ja m in a n d e n g a n s e t a h u n y a k e p a l a dusun. B ilam an a p erjan jian itu d iselen ggarak an d en gan setah u n y a p en gh u lu 2 rakyat — seb agaim an a se la lu te rjad i m isaln y a d i d a e ra h 2 B a ta k dan d i B ali — m ak a d a p a t d ik a ta k a n baihwa si p e m ilik ta n a h tid a k dap at dan tid ak boleh m em in d ah k an tan gan tan ah n y a a t a u m enggadaikannya den gan tia d a m em peru n tu k kan h a sil ta n a h it u b u a t mencicil hutangnya. P en gh u lu rak yat itu h aru s m e m b e rita h u k a n p erjan jia n yang akan d iselen gg arak an itu k e p a d a si p em b eri h u tan g , andaik ata si pem in jam u a n g m e le n g ah k an n y a; b ila m a n a d i a ta k herb u at b egitu m ak a ad a k ecuran gan d a n si p e n e rim a p en jam in an m enurut h u k u m b erh ak atas p e r lin d u n g a n ; fa k to r2 m asy arak a t d a lam hal2 sedem ikian itu b erlak u ten tu s a ja le b ih k u a t d a r i p ad a pen jam in an d i baw ah tangan. P e rja n jia n tahan B a ta k , b e g itu ju g a mnkantah B a li m en gak u i h a k m en d ah u lu (voorrecht) u n tu k si pern* beri h u tan g dengan pen jam in an in i, b ila m a n a tan a h n y a d iju a l u m um a tas perin tah vonnis hakim . B a g aim an ak ah d i J a w a dalam h al2 d i m an a fihak2 d i w aktu m em b u at p e r ja n jia n m e m a n g m en da p at bantuan nya k epala dusun d a n p e rja n jia n itu tertu lis dalam su rat ak te (sebagaim an a selalu terjad i d i B a li) ? A d a te rd a p a t kep u tu san 2 d an penulis2 yan g kesem uanya b e rp e n d a p a t b ah w a d alam h aI2 itn toch tak d ap at d iaku i h ak m en d ah u lu k a re n a p en d aftaran p a d a k e p a la dusun itu tid ak (belum ) m eru p ak an su a tu atu ran, d ari in a a a d a p a t tergan tun g berlakunya su atu tran sak si d alam ^alw-lintas h u k u m ;. a d a ju g a kepu tu san 2 d a n p e n u lis2 y a n g mengakui» b ah w a p em b eritah u an seru p a itu k e p a d a (d an p en d afta ran
oleh) kepala du su n — b ila ini sem ua terselenggara sukarela oleh fihak2 itu - sunggu'h m engakibatkan su atu hak m en dah ulu yang dap at diw ujudkan dengan jala n hukum positief. Penyelesaian secara wet dalam hal ini du lu sudah ada dalam persiapan, tap i ru p a 2nya kandas di tengah jalan . Kem ungkinan secara wet untuk „m em egangkan ” tanah dengan cara c r e d i e t v e r b a n d — su atu atu ran hypotheek ciptaan B arat — hanya berguna terh ad ap p in jam an 2 yang diberikan oleh „volkscredietbank” dan beberapa badan 2 lain (Stbl. 1908 N o. 542). Perbedaan2 menurut hukum adat di antara: gadai tanah disusul dengan paruh hasil tanaim . d a n p i n j a m a n u a n g a t a s p e . n j a m i n a n . Peng gadaian tanah, seketika disusuli dengan m em biarkan si p en ju al ga dai d i tanahnya yang di gadai kan, sebagai pem aruh atau penyewa (sewa), w alaupun lahirnya d a n ter-kadang2 m enurut berlakunya di m asyarakat tidak berbeda banyaik dengan „p en jam in an tanah buat pin jam an w ang yang berbunga, tapi kenyataannya ialah bahw a gadai tanah” itu su atu „p erjan jian juaV’ dan „p en jam in an ’' (zeker heidstelling) bukan, m ak a kenyataan ini m enurut hukum adat m engakibatkan beberapa titik2 perbedaan yang pen ting (dengan kata2 l a i n : perbedaan dalain sistim nya d i an tara k edu a tokoh2 h u kum itu, yang d ap at dinyataikan dengan sebutan bahw a „gad ai tanah” itu ad alah perjan jian jual dan „p en jam in an ” itu bukan.. m aka perbedaan itu an tara lain ternyata d ari hal2 yang berikut ini) ; untuk gad ai tanah m ak a bantuan penghulu rakyat adalah selalu m en jadi syarat m u tla k ; b ila ga d ai tanah m ak a u an g gadai tidak d ap at sam a sekali d itu n tu t kem bali, sedangkan u ang yang dipinjam kan atas .penjam inan itu b ila tim bul kelengahan m em ang d ap at ditu n tu t k e m b alin y a; si pem beli gadai dap at m en ggad aik ar terus tanahnya, sedangkan si penerim a penjam inan tak d ap at b erb u at apa2 terh ad ap tan a h n y a; b ila tim b u l kelengahan — dan b ila d alam perjan jian su d ah ditetapkan teraponya h aru s m enebus — m ak a si pem beli ga d ai d a p a t taen un tut supaya tanah diserahkan kepadanya u ntuk m en jad i m iliknya dengan ha!k m ilik, sedangkan -bila p in jam an u an g atas pen jam in an haityaiah u an g yan g d a p a t d itu n tu t k em b alin y a; b ila tim b u l kelengahan tentang penyerahan separuhnya-hasil pan en atau penyerahan u an g sewanya, m aka si pem beli ga dai d a p a t m en olak si pen ju al gadai untuk terns m en jad i pem aruh atau penyewa, sedangkan b ila ad a kelengahan m engenai pem bayaran bunganya u an g p in jam an atas penjam inan, m ak a biasan ya p in jam an pokok lantas d ap at d itu n tu t kem balinya. B ila tan ah n y a m u sn ali karena a ir b ah m isalnya, m ak a si pem beli ga d ai (yang m em berfkan
uang) tak ada hak menuntut sama sekali atas si penjual gadai, sedangkan si pemberi piutang atas penjaminan tetap haknya me nuntut dengan se-utuh2nya. Di Bali dengan tegas memang ditaruh janji bahwa bila tanahnya musnah maka uang gadamya dapat dituntut kembalinya, di situ ternyata bahwa kalau tiada janji khusus ini, akibatnya ialah kebalikannya. Sudah barang tentu titik2 perbedaan menurut hukum adat itu baru menjadi persoalan, sesudah ditetapkan senyatanya, tokoh hukum yang mana yang dihadap.i itu. 5.
P E R B U A T A N P U R A 2 (S C H IJ N H A N D E L IN G ).
Tentang suatu kebiasaan yang banyak terdapat, dan menyuramkan perjanjian (uang), pula saban2 mengkhawatirkan akan bercam* pur-aduknya perjanjian uang dengan perjanjian tanah, maka kebia saan itu dalam hubungan ini membutuhkan ditinjaunya lebih lanjut. Kebiasaan itu ialah, bahwa di samping pinjaman uang yang d is e m b u n y i ik a .n dimunculkan k e p a d a umum jual ta nah (atau gadai tanah, atau sewa tanah dengan pembayaran uang sewa lebih dulu) yang seketika disusuli dengan paruh hasil tanam atau sewa; soal ini disebabkan oleli dua keadaan. Keadaan pertama ialah keseganan yang berdasar agama Islam untuk meminjamkan uang atas perjanjian bunga. Namun orang hendak mcmperhasilkan kekayaannya uang dan membelanjakannya pura2 buat perjanjian2 tanah, pada hal ia kenyataannya tak lain dan tak bukan memin jamkan uang. Dalam praktek adalah ini suatu soal kenyataan yang sulit, ialah apakah ada perjanjian pura2 serupa itu apa tidak. DaPat juga duduknya perkara dulu sedemikian, bahwa si keku rangan uang minta pinjam uang, tapi si pemunya uang berdasarkan atas alasan- agama tidak mau meminjamkan uangnya, tapi bersedia untuk menyelenggarakan perjanjian tanah (dengan „paruh hasil tanam ) . Maka .bila demikian, tak lain dan tak bukan yang terseIenggara itu ialah suatu perjanjian tanah. Akan tetapi bila dulu si per,iunya uang itu berkata ; baik, saya kasih pioijam kepadamu seribu rupiah atas bunga sepuluh persen, tapi marilah 'kita simpulkannya dalam surat akte jual-beli tanah yang disusuli dengan per janjian sewa, karena saya hendak benpura2 kepada um um se-olah3 saya menaati larangan agama Islam mengenai meminjamkan uang dengan pungut bunganya, maka ‘bila demikian adalah dua permufa’katan, satu yang disembunyikan dan satu yang diumumkan, jadi semacam pura2 yang relatif (relatieve sim ulatie). Pada hernat saya, maka dalam hal ini hakim harus memutuskan berlakunya perjan-
jian yang sungguli2 di antara dua fihak itu, dengan tak menghiraukan kesalehan yang hanya pura2 it u ; hanya bila ada orang2 lain sebagai fihak ketiga yang membela hak2nya berdasarkan atas adanya perjanjian yang diumumkan itu, maka adanya perjanjian terakhir ini harus menjadi bahan pertimbangan juga. Perbuatan
pura2 sebagai
p e n j a m i n a n . Suatu hal
lain yang mendorong ke perbuatan pura2 relatif yaitu keinginan untuk memberikan sepucuk surat kepada si pemberi piutang yang — b i l a t i m ' b u l k e l e n g a h a n — memberikan kepada si pem beri piutang itu suatu hak mendahulu terhadap penagih2 hutang lainnya, pula terhadap lain2 orang yang memperoleh sesuatu hak atas tanah itu. Jadi, suatu usaha untuk melengkapi sesuatu kekurangan tertulis atas surat perjanjian, perlunya untuk dapat dipakainya buat membela haknya melawan fihak ketiga. Orang mau meminjamkan uang kepada orang lain, tapi perjanjiannya disimpulkan dalam perjanjian „jual tanah” atau „gadai tanah’', perlunya supa ya bila ada kelengahan dapat diperlakukan menurut hukum suatu penerkaman ke arah sebagian daripada kekayaannya si pemunya hutang yang berupa tanah. Kebanyakan perjanjian2 pura2 ini dapat dikenal dari cara memper/iitungkan uang kerugian (harus diartikan sebagai bunga, tidak sebagai uang sewa), pula kcntara dari seba.b sesudah „jual tanah” , si pembeli tak memperdulikan pemakaian tanah olehnya secara nyata, dan sebagainya. Perjanjian2 berlipat serupa itu mudah diminta dengan keras oleh pemberi* uang, karena memang orang yang mefnbutuhkan uang itu bertalbeat kurang timbang-menimbang dan dapat di-ramas2. Pada hemat saya -hakim tidak boleh sama sekali mengakui berlaikunya p e m b e l i a n
pura2 itu,
karena dengan demikian si peminjam uang akan terjerumus dalam rumus dalam genggaman si pemburu hutang sampai melewati batas. Bila perjanjian pura2 itu berupa „gadai tanah” , maka hakim yang memutuskan berlakunya itu dapat mendamaikan semua fihak yang bersangkutan dan fihak ketiga dengan cara yang memuaskan. Da lam pada itu (ini terlepas dari kemungkinan mengusahakan supaya fihak2 berdamai sendiri atas tanggung-jawabnya sendiri) ia dalam menentukan akibat2nya hukum harus berpedoman pada perjanjian gadai sebagai perjanjian tanah, dan seharusnya ia hanya mengakui akibat2nya hukum „gadai tanah ditambah paruh hasil tanam atau sewa” dalam hubungan cmenurut susunan hukum adat — pembingkaian yang tetap daripada lembaga2 serupa itu dalam keputusan2 adalah syarat nomor satu untuk kepastian hukum.
6.
PENUM PANG R U M A H DAN PEN U M PA N G PEKARANGAN.
Serupa sifatnya dengan paruh hasil tanam dan sewa ialah perjan jia n yang banyak terdapat yaitu m engirinkan oran g lain m en din kan dan m endiam inya sebuah rum ah di atas pekarangannya, d i raan a ter letak rum ahnya yang ia diam i sendiri; ja d i m e n g i z i n k a n m a s u k o r a n g l a i n di p c k a r a n g a n n y a s e b a g a i penumpang pekarangan (b ijw o n e r). B ila seseorang secara demiikian diizinkan berdiam di pek aran gan d alam ru m ahnya sendiri yang tidak ditin ggal (oleh p em ilik tan ah itu ) sendiri (m engizinkan seseorang sebagai pen um pang ru m ah (opw oner) d i pe karangannya) , m ak a m iripnya kepada sewa ad alah lebih terang; pem bayaran kerugian tidak ada, tapi p en u m pan g pek aran gan itu diharuskan m em berikan bantuannya. Ju g a izin m em u n p an g itu d a p a t dicabut kem bali oleh si pem ilik tanah, w alau pu n ia h aru s bayar wang kerugiannya untuk ongkos pin dah (tukon tali, J .) itu p u n b ila bu kannya si penum pang pekarangan atau si p en u m pan g ru m ah sendiri yang •menimibulkan sebab pencabutan -kembali izin u n tu k m en diam i nya pekarangan itu. Pen um pang pekarangan dan p en u m p an g ru m ah itu disebut indung, lindung, magersari ( J . ) , num pang (ju g a I n d .) . 7.
M E M B E R IK A N T A N A H U N T U K D IP A K A I.
Perihal m engizinkan orang2 lain yang tak b erh ak u n tu k m em akai tznah selanjutnya agak sering terdapat terutam a k aren a d u a sebab. Pertam a kali oran g yang b u at sem entara m eninggalikan tem p at kediam annya ter-kadang2 m engizinkan k ep ad a san ak-sau daran ya atau sesam a anggauta du su n lainnya — selam a ia tid ak a d a — u n tu k menanam i tanah pertaniannya d an dengan d em ikian u n tu k „menyinfc* pannya” b u at d ia (titip, J . ) . K edu a kalinya m aka kerabat2 atau golongan 2 w aris m em berikan tanah kerabat atau tanah2 pertanian d ari h arta p en in gg alan yang m asih tak terbagi, biasanya kepada sesam a an g g au ta2 k erab at atau kepadr sesam a waris2 u n tu k dip ak ai. D i h alam an 93 b a g ia n a ta s berh u b u n * dengan ini m ak a hu bu n gan si pem ak ai den gan tan ah itu d iseb u . hak p a k a i; b aran gkali lebih tertib m en uru t su su n an hukum ad at, b ila dalam h al tersebut tadi per-tama2 cüpilih kan ru rau s : diizin k an m asuk tanah oran g la in dengan kem u n gkin an izin itu d ic ab u t kem bali, seketika b ila itu diïtehendakicya oleh si p em ilik tan ah . D a la m h u b u n g a n : -kerabat p em ilik dengan sesam a a n g g a u ta k erab at p em ak ai, m a k a nrnnis itu su dah baxang te n tu k elem ah an — k aren a
di sini si sesama anggauta kerabat itu m enurut kaidah 2 hukum ad at dap at m elindungi hak pakainya m elaw an se-wenang2 yang m u ngkin tim bul. D i l u a r m a s y a r a k a t 2, yaitu d i kota2 r a ja 8 d a n d i ko ta2 pan tai yang besar, m aka h al diizinkan u n tu k m en u m p an g di pe karangan, b aik berdiam sendiri m au pu n berdiam di sisi rum ah si pem ilik tanah atau oran g yang berhak atasnya karena jab atan n y a, (amSbtelijk profijigerechtigde) m ak a h al yang sedem ikian itu adalah su atu tokoh yang ber-ulang2 terdapat di sana. D i halam an 97 b ag ian atas, sedem ikian itu telaih disebut sebagai su atu bentuk u n tu k menyim pulkan sesuatu hak atas tanah, perlunya supaya kelih atan um um bahw a hak m ilik r a ja (dom ein recht van de vorst) m asih dihorm ati. „Persew aan tanah Ja k a rta ” (de Bataviasche grondhuur) term a su k dalam golongan ini. G un a m elindungi penum pang2 m ak a timbullah daripadan ya dengan jala n peraturan2 wet su atu m acam hak yang tertentu (Staatsblad- 1918 N o. 287). Persew aan ru m ah 2 b iasa (sewa) adalah sebetulnya hanya kota2 besar lazim ju g a di kalan gan orang2 Indonesia.
di
D i san a „m en jual pekarangan” d a n „m enggadaikan pekarangan” disusuli dengan penyewaan oleh si pen ju al atau si penggadai sen diri kebanyakan — lebih banyak bila d ib an din g dengan tem pat2 lain — adalah perbuatan pu ra2 buat pem injam an wang atas pen jam inan.
BAB
1.
KELIM A. H U K U M P E R H U T A N G A N ( S C H U L D E N R E C H T ). H A K 2 A T A S R U M A H 2, T U M B U H 2A N Y A N G T E R T A N A M , T E R N A K , B E N D A 2.
D i waktu melukiskan hak2 atas tanah, maka hak masyarakatlah (gemeenschapsrecht) diterkemukakan, pada hal terhadap jenis2 benda yang tersebut di atas hak yang nomor satu dilakukan atasnya, ialah „ h a k m i l i k ( he t I n l a n d s bezitsrecht); suatu hak daripada masyarakat sebagai kesatuan susunan rakyat, ya itu hak yang lebih tinggi, tidak terletak atas benda2 tersebut selainnya sebagai perkecualian saja ; di kalangan suku2 Dayak seperti suku Maanyan Siung tidaklah boleh barang2 pusaka diwariskan kepada orang2 di luar daerah suku, juga tidak boleh dibawanya ke luar, dan dalam republik dusun Tnganan Pagringsingan (Bali) rupa2nya ha rus dikemukakan dahulu, bahwa segala milLk orang2 dusun, lembu2nya, ayam2nya dan perkakas rumahnya, kesemuanya itu ada di bawah hak dusun, sedangkan di beberapa dusun lainnya di pulau situdapatlah dusun itu menuntut sebagai ternak dan barang2 untuk keperluan masyarakat tanpa penggantian kerugian suatu apa. Hak milik atas rumah dan atas Uunbufi2an tertanam adalah pada asasnya terpisah dari hak atas tanah, di mana benda- itu berada . se seorang dapat menjadi pemilik pohon2 dan rumah2 yang berada diatas pekarangan orang lain ; menanam pohon2 atas tanah geromfoolannya itu (misalnya di Ambon hal itu sering terjadi), maka mereka menjadi pemilik2 pohon2 itu ; terhadap hak untuk mempunyai rumah — hak mana dapat dicabut kembali — atas pekarangan orang lain di samping rumahnya si pemilik pekarangan itu sendiri, maka untuk itu adalah istilah2 hukumnya yang tersebut di halaman 125; istilah numpang (demikian juga terhadap orang luaran yang berdiam di tanah daerah hak pertuanan) menunjukkan bahwa oiang itu ti dak ada sama sekali sangkut-pautnya dengan tanah dan berada terlepas di atasnya (hal. 80) walaupun ia ada rumah di atasnya, pohon2, buah2an dapat dijual dan digadaikan sendiri2. T a p i pemisaihan yang principieel di antara hak atas tumbuh2an, rumah2 di sa'tu fihak dan hak atas tanah di lain fihak, ada juga pembatasan2nya. Pertama kali bila ada perjanjian2
(transacties)
mengenai
pe
karangan, maka dalam prakteknya selalu termasuk situ juga rumah2 dan tanaman2nya ; jadi dengan demikian maka rumah2 dan tana-
m an 2 b ersam a pek aran gan n ya a d a lah ob y ek p e r ja n jia n ju a l, se d an gk an d i sam p in g itu ad alah m u n g k i n b ah w a, ru m a h 2- dan pohon 2 d ip erd agan gk an terlepas d ari tanahn ya, ia la h se c a r a oran g m en ju al benda2 ; n am un h a l terakh ir in i, b ila m e n g e n ai rum ah, biasan ya berarti bahw a ru m ah itu d ip in d ah k an n y a. D e m ik ia n la h da lam b ah asa Ja w a di Sw apraja terdapat d u a istilah y an g b erh ad a p an satu sam a lain, ialah adol ngebregi d a n adol b e d o l : m en ju al rum ah supaya d id iam i oleh si pem beli d i tem p at situ ju g a , berh ad a pan dengan : m en ju al ru m ah supaya d ian g k u tn y a oleh si pem beli dari tem pat situ. K edu a kalinya hak atas pohon 2 (dan atas ru m a h 2) itu terkadang m em bawa serta hak atas tanah. Su atu m isal p a lin g tep at d alam hal ini ialah peristiwa, bahw a seseorang an gg au ta m asy arak at telah menanam pohon2 (buah2an) di tanah p ertan ian cetakan n ya, m ak a se sudah dipanennya tanah itu terpaksa d itin gg alk an n y a b u at w aktu yang lam a, itupun karena gersangnya tanah. K aren a itu p a d a umumnya, d an berhadapan dengan hak pertu an an m u tlak y an g sed an g pulih kem bali, m aka ia kehilangan haknya p erseoran gan a tas tanah itu, tetapi ia tetap m em egang hak m ilikn ya atas po h o n 2 y an g ditanam nya itu, pu la di beberapa lin gku n gan 2 hulkum d itam b ah h ak atas sekian tanah seluas yang din au ngi oleh d au n -an poh on 2 itu . B ila m ana pohon2 itu tertanam sedem ikian dekatn ya satu sam a la in sedi antaranya tak ada lagi sisa2 ruangain y an g p a tu t b u a t a p a 2 lain, m aka hak m ilik atas tanah itu — atas k ebun 2, b u ah 2a-n itu — tetaplah ada pada si pem ilik pohon2 itu ; ja d i d alam h a l2 sedem ikian itu m aka hak atas tanah m engikuti hak atas tu m b u h 2an y an g lebih dari sa-tu tahun umurnya (ha-1. 76). K arib den gan tokoh in i ialah •bahwa hak m enebus (hak m ilik) si p en ju al gad ai lenyap, k aren a d ia sudah mem-biarkan si pem beli gadai m en anam i tan ah p ertan ian yang tergadai itu dengan pohon2 (hal. 125). Selanjutnya m aka hak atas tanali itu dengan tiad a d a p a t terputus bertalian dengan haJc atas seb u ah ru m ah b atu , yan g m em an g begitu, tak dap at dipindahkan (lain halnya dengan ru m ah 2 b am b u atau rum ah2 k ay u ). M aka dari itu atu ran 2 hu k u m m en gen ai pek a rangan2 (ju ga aturan2 wet seperti laran gan m em in dah kan tangan tanah kepada orang2 bukan Pribum i ialah „vervreem din gsverbod” ) terpaksa harus ju ga berlaku atas ru m ah 2 b atu (bersam a tan ah yang iK*rkenaan dengan i t u ) ; tentamg ketidakpasrian 2 b erd asark an kenyataan, yaitu apakah harus dian ggap rum ah b atu a p a tidak , b e rap a luas tanah yang harus dianggap pekarangannya ru m ah itu , m ak a perso alan 2 ini adalah tim bul, ta p i tid ak m en gurangi sam a sek ali pokokpangkalnya.
Suatu kebiasaan aneh dalam hubungan antara hak atas rumah bersama tanaman3nya dan hak atas tanah, sudah pernah tersebut •dalam lain nasabah. Ialah kebiasaan dalam alam raja2 yang tetap menyebut liak atas tanah i t u : liajk Raja, tanahnya disebut tanahnya Raja (kagungan dalem, J .), akan tetapï hak2 perseorangan atas tanah seperti se-nya>ta2nya diakui juga sedemikian rupa, •sehingga disebutnya ; hak atas rumah dan tanamannya ; di sini asalTiya istilah tersebut di atas tadi b u a t: menjual rumah dengan hak untuk pembelinya untuk mendiami pekarangannya sekali (ngedol ngebregi) . Tindakan2 dan pembatasan2 hak dari fihak pemerintahan, dalam hubungan2 mengenai hak pura2 daripada raja atas tanah ini, adalah pada hakekatnya berdasarkan atas kekuasaan besar daripada raja dalam menjalankan pemerintahannya (hal. 9 4). Orang yang telah menanamnya, yaitu pemilik tumbuh-an yang ditanamnya, dapat juga menjadi pokok pangkal daripada imbangan’ hukum yang timbul bilamana ia menanam padi atau hasil bumi serupa itu atas tanahnya lain orang. Si penanam yang melanggar hak itu dapat diwajibkan menyerahkan kepada si pemilik tanah itu se bagai pembayaran kerugian baik seperduanya, maupun sebagian lainnya daripada panennya ; bedanya di antara mengei jakan tanah de ngan melanggar hak „dengan itikad baik” (te goeder trouw) dan „dengan itikad jahat” (te kwader trouw) rupa’ nya dmyatakan se demikian rupa, bahwa penanam beritikad baik dipeibolehkan memu ngut sebagian yang pa tut sebagai pengganti usahanya dan biaya yang telah dibelanjakannya (biasanya separuh liasil panennya), dan bah wa si penanam beritikad jahat diwajibkan nomor satu berusaha supaya si pemilik tanah tidak merugi - walaupun yang terakhir im tidak usali lantas mendapat keuntungan ber-lebih-an* enanam yang sah atas tanah orang lain yang telah dengan izinnya pemilik ada d i situ menurut persetujuan, misalnya pemaruh hasil tanam menurut hukum adat dapat juga dianggap sebagai pemilik hasil panen yang sebagian harus ia menyerahkannya kepada pemilik tanah. Bila sebi dang tanah pertanian yang ada tanamannya padi yang sedang menghïjau di Tnganan (Bali) harus dikembaïikan kepada dusun, maka hasil panen adalah untuk dusun (apakah ini suatu gambaran daripa da suatu perkecualian ? ). M ilik ternak ter-kadang2 terikat pada aturanS tersendiri mengenai menyembelihnya dan memindahkannya tangan, tapi tidak sedemikian sehingga haik atas ternak itu tidak dapat disebut hak milik. Di bebe rapa daerah, ialah di daerah2 Batak, terdapatlah karena adanya pa ruh hasil pelihara (deelwinning), banyak milik paruhan (deelbezit) atas terna'k; seseorang oleh karenanya adalah pemilik atas misalnya
seperempat lembu. Milik kapal2 (acapkali milik kerabat atas perahu2, misalnya di Sulawesi Selatan) dipandang dari sudut hukumadat tidaik ada keistimewaannya suatu a p a ; bila fatsal 1 dari Staats blad 1933 No. 49 ditafsirkan menurut suatu tafsiran yang tertentu, maka kewajiban untuk mendaftarkan menurut fatsal 1 dari Staats blad 1933 No. 48 yang mengakibatkain berlakunya hukum bagi orang2 Eropah atas Pribumi, dapat mengakibatkan kesukaran2 besar. Mengenai benda2 yang ada hubungan khasiatnya dengan pemiliknya telah sedikit dibicarakan di halaman 98 ialah bahwa benda2 tadi hanya dengan perjanjian jual dapat diserahkan ke lain tangan. Pen jualan benda2 dari tangan satu ke tangan lain, berlangsung biasa saja; juga istilah menjual yang dipakai untuk itu menunjukkan selalu penjualan (tunai), lain halnya dengan m enggad ai ka n (ver panden) atau „menyewakan" (verhuren). Menggadaikan benda2 (megangkan, Ind., nyekelakê, J.) itu berlangsung dengan jalan menyerahkan barang-nya ke tangan lain. Barang gadainya harus disimpan sampai lama. Bila si pemberi gadai kelamaan lengahnya un tuk menehusnya, maka barangnya dapat dijual untuk diperhitungkan, atau dapat jatuh ke tangan si penerima gadai. Bila barang ga dainya -hanya disimpan saja, maka biasanya harus dibayar .bunganya wang gadai itu ; bila barang dipakainya, maka tak usah dibayar bunganya.
mu as
a(^a aIasannya (dan tidak mungkin dapat) untuk meu ungan2 hukum atas tanah dan benda2 yang telah dilukis-
311 ml f3 suatu Pembagian dua (tweedeling) dengan jalan me-misah kan barang2 itu menjadi barang2 bergerak dan barang2 tetap apakah terpisah atau tidak terpisah hak atas tanah dengan a a as tanamannya, maka pertanyaan sedemikian itu — suatu kebalikan yang berpangkal pada susunan hukum asing - rupa2nya membmgungkan (bukankah tanal. dan tanaman ke-dua2nya dapat disebut „barang- tetap”, tapi walaupun b itu atas masjn^ Iamlah yang mempunyai hak miliknya) . Bilamana orang .karena se suatu aturan wet terpaksa mem-beda^kan barang* tetap dari ba rang bergerak dalam suatu harta kekayaan yang dlmiliki orang me nurut hukum adat seperti misalnya aturan2 Reglemen Bumiputera (Inlands Reglement) mengenai penyitaan, maka bila terjadi tumbukan hukum tertulis (wettenreoht) dan hukum adat, maka lantas tim bul pertanyaan bagaimanakal, tafsirannya yang menurut sesuatu cara yang past, (methodische interpretatie). Cara yang tepat untuk me„afsirkan rupa-nya begini: tanah tidak syak lagi sebagai barang tetap dipasang berhadapan dengan ternak dan benda2 yang pasti barang2 bergerak ; tap, di antara keduanya harus diakui segolongan
„benda2 kesangsian” (twijfelgoederen) ; ruraah2 kayu, rumah2 bambu, pohon2, buah2an, padi yang masih beraxla di tanah pertanian, dar» sebagainya. Jenis barang2 ini karena itu seharusnya digolongkan dalam golongan barang tetap atau barang bergerak, tergantung dari maksud yang logis daripada peraturan yang ditafsirkan, dihubungkan dengan sifat2 istimewa barang2 itu, jadi penggolongan itu tidak usah selalu secara sama buat masing2 barang. Tentang pertanyaan : „Apakah pohon kelapa itu menurut hukum adat barang tetap atau barang bergerak Y’ bilam&na dikemukakan dahulu dan selanjutnya diinginkan jawabannya yang bersifat umum, maka persoalan demi kian itu pada hernat saya tidak masuk di akal. Hak pencipta (auteursrecht) atas perhiasan perahu di kepulauan Kei adalah sejaik dahulukala asli Bumiputera; hak pencipta atas bunga2 di sarong2 Minangkabau adalah rupa2nya di zaman modern, ini timbulnya. . 2.
P E R B U A T A N K R E D IT , T O L O N G -M E N O L O N G A N T A R A S A T U SA M A L A IN D A N B E R T IM B A L -B A L IK (C R E D IE T H A & D E L IN G , O N D E R L IN G EN W E D E R K E R IG H U LP B E TO O N ) Bila pokok pikiran untuk perbuatan tunai (kontante handeling)
adalah : saya hanya dapat melepaskan tanah, benda2 dan orang2 yang semuanya bertalian dengan saya, ke luar dari lingkaran hidup saya yang terikat, hanya bilamana pada saat saya melepaskannya itu de ngan serentak ada taranya yang menggantinya (dalam arti magis, ekonomis dan hukum adat) - namun pokok pikiran untuk p e r b u a t a n kredi t adalah sama sekali laan, ialah ; sayamemberikan apa2 kepada orang lain atau saya bekerja buat orang lain , hal ini memberikan hak pada saya atas balasan budi pada waktu di belakangnya ; hal ini memberikan — hairus dikataikan di sini — ke pada orang lain tadi suatu keharusan atas balasan budi (yang di inginkan olehnya dan pada waktu di belakangnya) dari fihaknya kepada saya ; perbuatan2 kita adalah suatu bagian dari pergaulan segolongan kita, atau pergaulan orang seorang, yang kesemuanya menu ju k e s e i m b a n g a n ( e v e n w i c h t ) , yang menyebabkan kemenangan kepada siapa yang memberi lebih dari pada menerima, sehingga memberikan kembali (mengembali'kan kelebihan) itu menjadi suatu keinginan, suatu kewajiban, suatu aonalan untuk mempertahankan derajatnya, malahan untuk mempertahankan hidupnya sendiri (bivkankah itu menjaga jangan sampai ia dijadikan budak) (pandeling) karena tak dapat melunasi hutangnya. Tiada alasan-
nya untuk mempersoalkan pokok pikiran mengenai perbuatan tunai ini menurut waktunya mula2 terjadinya sebelum atau sesudahnya perbuatan kredit. Ke-dua2nya adalali bentuk2 dasar, tokoh2 asli sejaik purbakala, yang terdapat di dasar peristiwa hukum ke Indonesiaan. Juga soal p e m b e r i”, „menerima” dan „mem ber! kem bali'1 ini berlaku ke dalam masyarakat dan berlaku ke luar sebagai halnya ju ga dengan hubungan hukum mengenai tanah. Sesama anggauta menolong satu sama lain bertimbal-baliik; golongan2 ialali golongan2 kerabat, ke jurusan luar berhubungan secara tertib dengan jalan saling tukar barang2, ihal mana digandengkan pada penukaran perem puan ; dalam hal ini maka ter-kadang2 bagian2 clan exogaamlah yang menjadi pelaku2-nya. Tolong-menolong di antara satu sama lain (onderling hulpbetoon). Tolong-menolong bertimbal-balik di dalam masyarakat dapat dibedaka-n dari pada tindakan ber-sama2 buat satu maksud untuk masyarakat, ialah tolong-menolong d i a n t a r a s a t u s a m a l a i n (onderling hulpbetoon). Kewajiban untuk ikut berbuat sedemikian itu, berdasarkan langsung atas kaidah hukum adat, bukannya atas dasar „-karena sudah menerima apa2” , atau „karena mgin menerima pembalasan budi nanti” . Batasnya adalah samar- akan tetapi tokohnya mudah dapat dikenal. Bila misalnya harus didirikan sebuah rumah masyarakat, atau harus dicetak suatu pekuburan untuk masyarakat, maka orang2 lelaki yang kuat menyumbang untuk iiu berupa tenaganya dan benda. Bila orang2 du sun ber-sama2 membuka sebidang tanah hutan di bawah pirnpinan kepalanya, yang lantas oleh kepala itu di-bagi2kannya di antara me reka sebagai tanah2 pertanian perseorangan, maka di sini dapat di anggap adalah tokoh „tolong-menolong di antara satu sama lain". Bila tanah2nya terlebih dulu sudah dipilih dan di-bagi2kan, dan sesudah itu satu menolong yang Iain dalam pembukaan tanah itu, maka di sini harus disebut tolong-menolong bertimbal-balik (we-, d erk eiig); perincian2 ini hanya berguna buat kepentingan susunan yang theoietis. Bila penghulu2 mendapat pertolongan dari segenap masyaiakat dalam hal mendirikan rumahnya dan menanami tanah2nya jabatan, maka di sini da:pat dianggip pertolongan sesama anggota2 di antara satu sama lain untuk kepentingan penjabat peme rintahan masyarakatnya, juga dapat dianggapnya pula pemberian tenaga sebagai penukaran pekerjaan2 penghulu tadi untuk kepentingan masyarakat. Pekerjaan2 untuk penghulu2 itu di sana-s-ini da pat terkenal sebagai lembaga tersendiri: pancen (J .), resayo (Min.), kwarto. (A m b .).
D i Jawa dan di tempat2 lain maka tolong-menolong di antaxa satu sama lain ini masili 'berlangsung terus berupa pekerjaan2 desa; sebagai kebalikan pekerjaan2 untuk penghulu2, maka biasanya disebutnya dengan istilah yang sama dengan „tolong-menolong bertimbal-balik” . P e n u k a r a n b a r a n g 2 d i a n t a r a g o l o n g a n 2 o r a n g 2. Penukaran barang2 berupa „jujur” (bruidschat) dan pemberian2 pada waiktu peristiwa2 penting dalam kehidupan, ter-kadang2 pada azasnya berlangsung menurut jalan yang sudah menjadi adat, hal mana mengakibatkan kepindahan tangan barang2 ke satu jurusan, dari satu bagian clan ke bagian clan lainnya; begitu juga halnya dengan perempuan (asymmetrisch connubium). Di kalangan orang2 Batak dan di bagian Tim ur daripada Nusantara (hal. 49, 52), maka banyak daripada adat ini masili terdapat di sana, walaupun hal ini baru akhir2 ini saja dikenal orang. Perjanjian berupa cara daripa da orang2 Euri di Nias dulu mengandung persetujuan2 mengenai penetapan takaran Beras, ukuran berat untuk babi2, ukuran ikadar untuk campuran mas, persetujuan mana tentunya diadakan berhubung dengan faliam penukaran barang2 tersebut ta d i; apa yang disebut „peralatan2”, upacara2 adat dan lebih2 upacara peralihan (overgangsriten) adalah terdiri dari „memberi dan menerima” itu, dan dari „jamuan2 dan pemborosan2” itu, kesemuanya sebagai sya rat mutlak. Tentang artinya funksioneel, pula sebagai faktor da lam penetapan aturan2 mengenai tingkah-laku di antara golongan2 satu sama lain ditepatL — tidak mengundang buat datang di suatu upacara, tidak datang di suatu peralatan yang diadakan pada waktu ada perselisihan tentang tingkah-laku mereka satu sama lain — maka arti funksioneel sedemikian itu tidak dapat diabaikan begitu saja. Masih amat sangat ktirangnya penyelidikan yang se-mata2 diadakan tentang berlakunya faktor2 lersebut tadi. Tolong-menolong b e r t i m b a 1- b a 1i k (weder k e r i g h u l p b e t o o n ) . Tolong-menolong bertimbal-balik di da lam masyarakat, di dalam dusun, persekutuan wilayah, gerombolan genealogis, pula penukaran tenaga dan barang2 dari keluarga satu ke keluarga lainnya kesemuanya itu selalu terdapat di mana3 di Nusantara ini, hanya saja tidak sama nilainya. Untuk itu juga ma-ka sangat pentingnya: slamatarij peralatan2 khitanan dan perkawinart dan sokongan di waktu ada kelahiran dan kematiart. Siimbangan2 tamu2 (sumbang, J., panyambung, Sund. passoloq, Bug, dan sebagai nya) itu terkadang benar2 ada di bawaili pengawasan tertib mengénai apakah sama nilainya atau tidak. Selanjutnya lebih2 peristiwa2 seperti mengerjakan tanah2 pertanian dan mendirikan rumah2, me-
nyebabkam. penukaran tenaga: adat ini disebut sambat-sinambat (J.)^* resaya (Sund.), marsiadapari (Bat.), seraya (Ind.), tulung-menulung (In d .), masohi (Am b.) dan sebagainya. Mendekati „tolongmenolong bertimbal-bali'k’' ialah pemberian kecil2 yang sebegitu banyak kali di antara sanak-saudara dan tetangga baik satu sama lain, yang kesemuanya berdasarkan atas anggapan pada suatu waktu nanti si terberi akan membalas budi secara patut berhubung dengan sudah diterimanya pekerjaan atau barang dari orang lain itu ; pula mendekati itu, ialah hubungan2 satu sama lain, d i mana diwajibkan mengamalkan kesabaran se-
P E R K U M P U L A N 2.
Suatu azas lain terdapat bilamana terjadi, bahwa lingkungan yang di dalamnya orang2 bertolong-menolong satu sama lain,, menjadi terIepas. Dengan maksud untuk pertukaran tenaga dan barang2 ber- i timbal-balik, maka timbullah golongan2 yang bercenderung aikan I bertindak ke luar sebagai ikesatuain2 yang berdiri sendiri. Makin lema-h atau makin menjadi lemah dusun2 atau masyarakat2 lain itu karena sebab2 dari dalam atau dari luar, atau makin suka orang akan bertindak ke luar batas dusun, maka makin teranglah peristiwa ini menampakkan diri. Acapkali adalah kepentingan2 tertentu, yang sedang dipelihara orang dalam pelbagai macam kerjasama. Sebagai misal ialah cara pinjam uang — yang rupa2nya ditirunya dari orang2 Tionghoa — yang disebut hiue, yaitu di mana beberapa orang setiap bulan membayar sejumlah uang yang tertentu dan masing2 dari mereka ber-gilir- boleh memakai jumlah uang sekaligus seluruhnya (sarikat di Jakarta, jula-jula di Minangkabau, mohaqka di Salayar). Pula kongsi2 kecil untuk potong lembu2 di Aceh dan misalnya apa
yang disebut perkumpulan2 kematian yang sangat tersebar seluruh tanah Jawa. Di Minahasa namanya ialali perkumpulan2 mapalus, dalam hal mana perkataan m a p a l u s berarti baik tolongmenolong bertimbal-balik, maupun gerombolan:2 yang dibentuik untuk beraneka tujuan, misalnya untuk memberikan bantuan di waktu mengerjakan tanah — tidak hanya oleh anggauta2nya saja dalam hubungan tolong-menolong bertimbal-balik, tapi juga ditujukan bantuannya kepada orang2 luaran dengan memungut upah ; juga untuk pemberian pinjaman (mapalus uang) dibentuk perkum pulan2 serupa itu juga, yang paling terkenal dan paling meningikat ialah pembentukan gerombolan merdeka yang ditujukan kepada kepentingan benda di Bali. Di sana sakaha itu seperti di Minahasa dapat mengandung dua arti, ialah suatu gerombolan yang akan me* nunaikan suatu tugas dalam lingkungan ikatan desa dan karenanya ter-kadang2 — tapi tidak selalu begitu (seperti perkumpulan banjar, perkumpulan pemuda2) — memperoleh kepribadian sebagai „per kumpulan” , atau artinya yang kedua ia lah ; suatu perkumpulan yang iterbentuk dengan sukarela juga di luar ikatan d e s a , yang bertujuan menggali tembusan2 bukit, memanen tanaman di tanah pertanian, menyelenggarakan permainan musik, meminjamkan uang. Persekutuan2 pengairan yang tersohor iaïah subak Bali, dengan dasarnya benda (milik sawah) dan sifatnya dinas sedikit banyak te lah disebut di halaman 58.
Demikianlah lembaga tolong-m enolong bertimbal-balik di satu fihak dapat dianggap sebagai dasarnya perbuatan k re d it; yaitu „m em beri” agar supaya nanti dapat menerima penggantiannya yang senilai, hal mana dipribadikan (geindividualiseerd) dan dikhususkan menjadi „pem injam an uang” , „pem belian barang2 dengan kre dit” dan sebagainya, m e n ja d i : titang-piutang, yang ditentukan sam pai se-cermat2nya dan kebanyakan kurang cermatnya pula, terikat oleh tem po2nya, di lain fihak dapat diamggapnya sebagai dasar daripada kerjasama yang beraneka warna bentuknya, yang kesemua nya tim bul dari pelbagai kebutuhan masyarakat Pribumi. Pada umumnya ini tidak berarti, bahwa segala bentuk2 kerjasa ma yang tetap, berpangkal pada tokoh „tolong-m enolong bertimbalbalik” itu. Suatu lembaga seperti apa yang disebut s a s i m odel baru di A m bon, yaitu kerjasama antara pem ilik2 kebun kelapa untuk penjagaan dan penjualan hasilnya, berdiri sendiri terlepas daripadanya, demikian juga perkumpulan2 yang m encontoh kooperasi Eropah, Koorram2 pribum i yang telah mendaftarkan diri adalah di bawah peraLuran^ wei iliciniinit Staatsblad 1927 Xo. 91.
P a r u h h a s i l t a n a m sebagai kongsi. Dalam bab keempat maka paruh hasil tanam (deelbouw) diberrkan sebagai suatu perjanjian yang bersangkut-paut dengan tanah, agar supaya perjanjian itu per-tama2 ditempatkan dalam hubungan menurut susunannya dengan perjanjian2 tanah.
Paruh hasil ta
nam harus dibicarakan di sini juga karena perjanjian itu juga dapat dipandang sebagai suatu bentuk kerjasama — dikatakan orang juga semacam kongsi (maatschap) — antara pemilik tanah ■dan pekerja, di mana jasa si pemilik ialah mengizinkan sipekerja masuk di tanahnya dan jasa si pekerja terdiri dari mengerjakan, menanami dan memaneni tanah itu, sedangkan satu atau lainnya yang menyediakan padi bibit dan lembu pembajak, dan selanjutnya hasil kerjasama itu dibagi menjadi bagian2 yang ditetapkan atas persetujuan lebih dulu atau oleh kebiasaan. P a r u h l a b a (deelwinning). Kerjasama berbentuk serupa itu terdapat di seluruh Nusantara mengenai ternak. Pemilik ternak - karena beberapa sebab — menyerahkan ternaknya ke tangan orang iain yang memeliharanya dan memungut ber-sama2 si pemilik masing2 separuhnya dari hasil atau tambahnya liarga dari pada hewan yang diserahkan itu. Perjainjian sedemikian itu dalam bahasa Belanda disebut „deelwinning van vee” . Dengan sangat banyak cara sedemikian itu maka sapi2 dan kerbau2 diserahkan orang lain dan diperhasilkan; anak2nya dibagi menurut urutan tertentu antara si pemaruh laba dan si pemilik ternak, atau anak2nya dijual dan pendapatannya dibagi, atau hewannya sendiri pada permulaan perjanjian ditetapkan harganya kemudian dijualnya dan kelebihan* harganya dibagi, atau pada akhimya, anak2nya tetap dalam imbangan tertentu menjadi milik bersama (milik paruhan) daripada si pemiJik induk dan si pemelihara hewan2, itu. Maka di mana2 karena seringnya dijatuhkan .keputusan2, sudah timbul aturan3 yang pasti mengenai hak2 dan ikewajiban2 kedua fihak. Bilamana hewannya mati di tangan pemaruh laba, maka dialah yang memikul tanggungjawabnya tentang kerugiannya, bila ia lalai dalam pemeliharaannya dan ma'tinya hewan itu disebabkan oleh kelalaian itu. Bilamana hewannya diambil kembali oleh pemiliknya sebelum beranak, pada hal si pemaruh laba tidak menyebabkan pengambilan kembali itu, maka dia, pemilik, harus mengembalikan segala biaya yang telah diperuntukkan pemeliharaan hewan itu, kecuali bila si pemaruh laba sampai saat itu sudah memungut hasil dari .tenaga hewan itu ; persetujuan2 beraneka warna pada umumnya tiap2 kali membubuhi corak setempat atau corak perseorangan pada perjanjian ini. Isti-
laih2 Pribumi untuk itu ter-ikadang2- sama dengan istilah* un'tuk pa ruh hasil tanam. Tidak hanya temak besar, melairakan juga kambing, ayam dan itik dipelihara dan diperhasilkan dalam kerjasama satu sama lain secara demikian itu. 4.
P E R B U A T A N 2 K R E D IT PER SEO R A N G AN (IN D IVID U ELE C R E D IE T H A N D E L IN G E N ).
M e m i n j a m k a n wang dengan berbunga atau tidak, ada lah sudah menjadi kelaziman di masyarakat Pribumi, tidak hanya sebagai perbuatan hukum dengan orang2 Arab, Tionghoa, India dan Eropah saja, melainkan juga sebagai pembuatan hukum orang2 Indonesia satu sama lain, dan tidak jarang untuk memenuhi kewajibannya membayar kepada pemerintah. Dalam pada itu memang benar terdapat sekedar daya penghambat karena larangan memungut buiiga dari agama Islam, tapi walaupun demikian jumlah peminjamkan wang dan perkumpulan2 peminjamkan wang Pribumi adalah banyak sekali. Orang Batak merabedakan manganahi — meminjam dengan membayar bunga — dari morsali, ialah meminjam tanpa bayar bunga. Di samping itu maka „meminjam” (utang, meminjam) barang2, barang2 toko, makanan dan sebagainya ber-ulang2 terdapat, begitu juga sebaliknya, ialah meminjam' wang dengan permufakatan mengembalikannya berwujud buah2an, tanaman, kulit- hewan dan barang perdagangan serupa itu. Bilamana dalam bahasa Belanda faham2 „beli (dan jual) dengan harga tunai” dan „beli atas kredit" ke-dua^nya satu sama lain disambung dengan
perkataan „beli
persekutuan yang terbesar
(dan jual) ”
sebagai pembagi
(grootste gemene deler), maka dalam
bahasa hukum Indonesia kedua faham itu pada hakekatnya berlainan berhadapan satu sama lain, ialah sebagai membeli menjual berha dapan dengan meminjam (meminjamkan). Karena meminjamkan wang dengan bunga itu sudah begitu lazimnya sehingga wang itu dihargai sebagai bagian harta yang dapat menghasilkan bunga, maka hakim bila ada kelalaian membayar mungkin akan memutuskan su paya yang lalai itu juga membayar bunga kepada si peminjamkan wang sebagai pembayaran kerugiannya, yaitu pembayaran „ b u n g a karena
k e l a l a i a n ”
(moratoire
interessen).
Tapi di kalangan orang2 Batak penggantian bunga itu sama sekali tidak diizinkan oleh -hukum adat, malahan bunga buat tempo sejak jatuhnya vonnis sampai pelunasan hutangpun tidak diizinkan pula.
Menagih hutang harus dijalankan dengan kesopanan terhadap si pemmjam ; menagih seseorang begitu saja di jalan umum ada lah tidak senonoh (di daerah2 Batak, Bali dan sebagainya) . M e n a n g g u n g pri badi buat hutangnya orang lain per-tama2 mungkin disebabkan karena adanya ikatan sekerabat berhadapan dengan dunia luar. Hutangnya seorang daripada sesama anggauta clan — lebih2 bila mengenai kewajiban adat yang harus dipenuhi — adalah hutangnya rombongan, penagihan dapat ditujukan kepada masing2 dari anggauta rombongan itu : tanggung-menanggung. Seorang anggauta yang menyebabkan beban keharusan membayar yang sangat keberatan buat sesama anggauta2nya, dapat dikucilkan atau dibuang ke luar adat (sebagaimana sebagian tanah dari lingkungan beschikkingsrecht dapat ditanggalkan bila ummat semasyarakat situ tidak dapat atau tidak mau memenuhi pembayaranadat karena ada terjadi kejahatan atau pelanggaran di situ sedangkan yang berbuat itu tidak dapat diketemukan). Ini adalah soal ber lakunya hubungan kredit ke luar (dipandang dari sudut golongan sekerabat). Tanggung-jawab ahli waris terhadap hutang2nya si mati — jika memang meninggalkannya hutang (hal. 252) — barangkali bertalian dengan faham tadi. Menanggung pribadi buat hutangnya orang lain mungkin juga berdasarkan atas rasa kesatuan daripada sanak-saudara2, seperti misalnya di daerah2 Batak. Di kalangan orang2 Batak Karo maka se seorang lelaki selalu bertindak ber-sama2 atau dengan penanggungnya anak beru seninanya, yaitu sanak-saudaranya semenda dan kerabatnya sedarah, yang se-akan2 mewakili golongan2 mereka berdua yang bertanggung-jawab (hal. 52). Ber-sama2 menanggung hutangpun ada juga, yaitu di antara suami dan isteri, itupun bilamana kesatuan harta perkawinan ada ber dasarkan atas adanya bekerja ber-sama2 untuk keluarganya. Kemudian juga dalam hukum adat terdapat perjanjian, di mana seseorang menjadi penanggung hutangnya orang lain. Si penanggung itu disebut dalam bahasa Indonesia jamin, perkataan borreg, ialah perkataan yang sudah berubah menjadi perkataan Pribumi, adalah penjaminan berupa tanah (hal. 131). Si penanggung dapat ditagili bila dapat dianggap bahwa pelunasan piutang tak mungkin lagi diperoleh dari si peminjam sendiri. Menurut susunannya maka dalam hukum adat tidak banyak kemungkinannya untuk perkembangan tokoh perjanjian semacam ini. Tentang diperhambakan ke pada si peminjamkan wang karena tak dapat mengembalikan wang
pinjamannya — sedemikian •rupa sehingga si peminjamkan wang berkuasa penuh atas diri sipeminjam — maka hal ini adalah lembaga yang terkenal umum dalam hukum adat Indonesia: „perbudakan karena berhutang” (pandelingschap). Lebih2 bila hutang2 adat (wang perdamaian dan sebagainya) tidak dapat dilunasi oleh yang bersalah atau oleh golongan. kerabatnya, maika yang bersalali itu kehilangan pribadinya untuik keuntungan si penagih pinjaman, ialah sebagai satu2nya cara untuk memulihkan kembali kesetimbangan (evenwicht) yang telah dirusaknya. Siapa yang mencari pertolongan kepada seorang penghulu yang kaya dalam mengliadapi penagih2nya hutang yang memusuhi dia, maka dia menjadi budaknya (pande ling) penghulu itu. W alaupun lembaga ini sudah terlarang, tapi bu ah pikiran yang menjadi dasarnya masih terus berlaku dalam per gaulan2 Pribumi, ter-kadang2 dalam bentuik yang tak terlarang yaitu melunasi hutang dengan jalan bekerja untuk si penagih hutang. Sebagaimana meminjam wang dan barang sebagai penbuatan kredit perseorangan dapat dipandang dalam hubungan memben apa2 satu sama lain dalam tolong-menolong bertimbal-balik, pun per janjian bekerja (arbeidsovereenkomst) dengan bekerja untuk satu sama lain bertimbal-baliknya dapat dihubungkan dengan bentuk perbuatan ikredit yang telah berkepribadian (geïndividualiseerd). Tentang menumpang di rumah orang lain dengan mendapat makan cuma2 tapi harus bekerja untuk tuan rumah, maika tokoh sedemi kian itu ber-ulang2 terdapat dan dengan bercampur-baur dengan memberikan penumpangan kepada sanak-saudara yang miskin de ngan imbangan tenaga bantuannya di rumah dan di ladang (rayat,
J)Perihal bekerja sebagai buruh dengan mendapat upah di ladang, di pertenunan2, di pembatikan2 dan sebagainya juga banyak terdapat di Jawa dan di lain2 tempat, itupun bilamana tak dapat diselesaikan dengan caira tolong-menolong bertimbal-balik. Hubungan pekerjaan mulai berlaku dengan terbayarnya sedLkit wang pengikat (pari jer, hal. 156), yang mungkin dijadikan persekot atas upah, seba gaimana pembayaran di muka sebagian dari wang jujur ter->kadang2 dijadikan hadiah pertunangan. Suatu sisa dari zaman buta hukum adat dengan kebodohannya menyebabkan berlakunya formeel hukum perdata Belanda (Staatsblad 1879 No. 256) atas kebanyakan hu bungan2 pekerjaan (tidaik atas pekerjaan yang bertingkatan lebih tinggi) . T idak kurang seringnya terdapat pengupahan untuk ber^macam2 pekerjaan (pekerjaan2 perantaraan, pertolongan, pengobatan, pe kerjaan orang ahli sihir, dan sebagainya) .
Saksi2 yang didatangkan di waktu perjanjian dibuat biasanya diberi sejumlah wang sedikit sebagai tanda sudah tersangkut-paut dengan urusan itu (di kalangan orang2 Dayaik disebutnya turns) atau sebagai „wang kenang2an” (orang2 Batak menyebutnya : ingot~ingol pula, di tempat2 lain juga terkenal sebagai wang saksi). Beberapa perbuatan2 krediit rupa2nya sudah lazim (endemisch) di wilayah2 yang tertentu. Misalnya p e r j a n j i a n kom is i (commissie kontract) (k e m p i t a n) di Ja wa, yaitu menyerahkan barang2 kepada orang2 lain untuk dijual dengan perjanjian bahwa sesudah Iewat tempo yang tertentu baik barang2nya, maupun harganya yang sudah ditetapkan sebelumnyar diterimak&n kepada pemiliknya. Orang harus ber-hati2 terhadap anggapan bahwa perjanjian2 serupa itu terdapat khusus dalam ling kungan2 hukum yang tertentu, karena anggapan sedemikian itu mungkin berdasarkan atas ketidaktahuam tentang soal serupa ini di daerah2 lain. D i Jawa terdapat wilayah2 di mana perjanjian ijon atau ijoan, penjualan tanaman padi yang masih muda, sama sekali tidak ada, melainikan di mana biasaniya hanya tanaman padi yang sudah tua dan sedang berada di sawah dijual (tebasan), sedangkan di tempat2 lain kedua cara penjualan ini sudah lazim, dan sebagainya. Mempunyai kedudukan istimewa dalam hukum kekayaan adat adalah p e r j a n j i a n pel i hara (verzorgingskontract) Minaihasa. Nama „verzorgingskontrakt” ini asalnya dari Van Vollenhoven, di Minahasa sendiri perjanjian ini di sebut „adoptie”, tapi menurut isinya sesungguhnya ternyata bukannya perbuatan di lapangan hukum kesanak-saudaraan; istilah2 Pribumi antara lain ialah ngaranan dan tnengara anak. Isinya perjanjian ini ialah baihwa fihak yang satu — pemelihara — (zorggever) m enanggung nafkahnya fihak yang Iain - terpelihara (zorgtrekker) lebih2 selama masa tuanya, pula menanggung pemakamannya dan pengurusan harta peninggalannya, sedangkan sebagai imbangan si pemelihara mendapat sebagian dari harta peninggalannya si terpeli hara ter-'kadang2 sebagian sama dengan seorang anak. Bilamana ti dak ada anak, maka si pemelihara adalah satu2nya waris. W alau pun perjanjian ini dapat diselenggarakan di antara orang2 dari sebarang umur dan malahan juga dengan orang yang tak berkawin. sebagai si terpelihara, namun sampai tingkat tertentu funksinya ialah funksi „adoptie” (ambil anak) di -mana lebih2 suami-isteri yang tak mempunyai anak dengan cara demikian mengikat orang2 muda sebagai pemelihara2nya hal mana lebih2 dalam bahasa Indonesia
disebutnya mengaku anak. Tapi hubungan menurut hukum kesanak saudaraan di antara anak dan orang2 tuanya sendiri oleh karenanya tidak terputus ; si terpelihara tidaik mewaris dari si pemelihara. Meskipun kesemuanya itu, namun rupa%ya kebalikan yang menyolok mata — yaitu perjanjian pelihara bersifat hukum kekayaan dibandingkan dengan „adoptie” yang berdasar perbuatan hukum menurut hukum fcesanak-saudaraan — itu menguirangkan unsur kepribadian dalam hubungan si terpelihara dan si pemelihara dan oleh karena nya hubungan ini tidak memuaskan hal mana dulu timbul di waktu pembicaraan tentang hukum perkawinan untuk orang2 Indonesia Kristen. Dari dekat dapat dibandingkani dengan perjanjian pelihara Mina hasa ini ialah suatu adat di Bali di mana seseorang menyerahkan dirinya bersama segala harta bendanya kepada orang Iain (makehidang raga). Orang yang menerima penyerahan sedemikiain itu wajib menyelenggarakan pemakamamnya dan pembaskaran mayatnya si penyerah, pula wajib memelihara sanak-saudaa-anya yang ditinggaUcan; untuk itu kesemuanya maka ia ada hak atas harta peninggalannya. Suatu alamat bahwa di tempat2 lain juga terdapat hubungan3 pelihara: seperti di Minahasa itu, ialah misalnya khabar, bahwa di Am bon terdapat surat2 wasiat yang memberikan bagian juga kepa da orang yang telah memelihara si peninggal warisan sampai pada saat ajalnya. 5.
M E R U G IK A N P E N A G IH 2 H U T A N G .
Sampai di mana barang2 milik seseorang tetap dapat diperuntukkan guna membayar hutang3nya pemiliknya walaupun barang2 itu sudah dipindahkan tangan kepada fihak ketiga, maka soal ini haruslah dijawab dengan tertibnya menurut hukum tak tertulis rakyat Pribumi. Dalam banyak hal maka pemecahannya soal pasti dapat diperoleh, jika orang berpedoonan pada syarat yang mutlak, ialah bahwa harus dibela -kepentingan mereka yang disangkut-pautnya da lam lalu-lintas hukum dan bahwa harus ada kejujuran hati (goe de 'trouw) dalam lalu-lintas hukum tadi. Tidak termasuk di sini percabaan2 akan merugikan penogih2 hutang dengan jalan perbuatan3 pura2 (schijnhandelingen) yang disengaja benar2 (absolute simula tie) ; perbuatan2 itu dapat dituntut khusus sebagai perbuatan2 pura2
beia&a, Merugikan
penagih2 hutang
dengan jalan hibahan2 kepada
bakal waris, pembagian halt a porkawhlïlft bevStUfla, pemberian3, ja d i; perbuaitan2 yang dapat dijauhi, dan karena sudah dijalankan-
nya, perbuatan2 itu hampir2 menyebabkan gagalnya tuntutan2 si penagih -hutang atas barang2 itu — maka oleh keputusan2 hakim2 gubernemen dianggap batal. Begitu juga tidak diakuinya sail per buatan2 menjual atau menggadaikan barang dalam keadaan sede mikian rupa sehingga fihak lainnya patut harus mengerti bahwa penagi.h2 hutang karena perbuatan2 itu akan menjadi korban, ialah merugi. Hal yang sudah diketahui umum bahwa telah ada masuk gugat penagilian terhadap si penjual itu, hal adanya hubungan kesanaik-saudaraan yang kairib di antara si pembeli dan si penjual, dan hal2 lain serupa itu, 'kesemuanya itu sudah ber-ulang2 dijadikan dasar untuk keputusan, yang bermaksud bahwa perbuatan hukum tadi tidak melenyapkan haknya si penagih hutang untuk menumtut haknya atas ibarang2 tadi. Tetapi bila fihak 'ketiga yang tersangkut dalam perjanjian dalam hal itu iberhati jujur, maka i harus dilindungi juga lawan si penagih hutang itu. Dalam hal2 serupa itu harus ada ikemungkinan pemecahan soal yang mempertahankan baik kepentingan si penagih hutang, maupun si fihak ketiga tadi wa laupun tidak seluruhnya (misalnya hasil tanah buat selama tempo tertentu -diperuntukkan si penagih hutang yang patut dapat mengharapkan hasilnsya setimbang dengan piutangnya — tapi hak atas tanah ditetapkan menjadi haknya si pembeli, ialah fihak ketiga tadi) . Boleh jadi pemecahan2 soal serupa itu dapat diselenggarakan dengan jalan perdamaian (minnelijke schikkingen). Juga bilamana harta si peminjam dalam keadaan terjepit oleh „beschikkingsrecht ’ masyarakat, atau termasuk harta benda yang be lum 'di-bagi2 atau karena sesuatu hal masiih terikat, maka dalam lial2 ini banyak timbul kesulitan2 karena peraturan executie yang masih mengandung -kekurangan2. Dalam keputusan2 harus diusahakan agax supaya kepentingan2 si penagih hutang dikawinkan secara patut dengan kepentingan2 mereka untuk guna siapa milik2 itu jatuh dalam keadaan terikat tadi. Ternyata- bahwa kebanyakan si pena gih hutanglah yang kalah, tapi sebaliknya sekali tempo kepentingan2 fihak2 yang turut 'berhak juga dilanggar dengan kekerasan yang melampaui batas oleth penagih2 hutang itu. 6.
A L A T P E N G IK A T , T A N D A Y A N G K E L I H A T A N (H E T BIN D M ID D E L , H E T Z IC H T B A R E T E K E N )
Bedanya di antara perjanjian dengan wang pengikat dan perbuatan tunai sudah terang — ke-dua2nya se-olah2 adalah kebalikannya saitu sama lain ; ke-di>a2nya dapat diharapkan satu lawan lain se bagai : perjanjian „consensueel” lawan perjanjian „reëel” , yaitu yang
portama suatu perjanjian yang menimbulkan akibat2 karena perse tujuan kemauan, lawan yang kedua yaitu suatu perjanjian yang terdiri dari perwujudan perobahan2 yaing memang dituju ; jadi de ngan demikian tidak akan .timbul lagi kewajiban2 urnuk berbuat jasa2 (prestaties) nanti, tapi jasa2 i'tu sudali terselenggara pada saat dibuat perjanjian itu juga. Kedua macam perbuaitan- itu — per buatan tunai dan perjanjian dengan wang pengikait — dapat juga, sebagaimana adakalamya terjadi, disebut „reëel1' karena dalam keduaenya itu ada barang dipindahkam tangan dari seorang ke seorang walaiupun diperjanjian pertama; aigar supaya serentaik terwujud ma-ksudnya dan diperjanjian kedua ; agar supaya masing2 teriikat secara nyata untuk mewujudkan apa yang dijanjikan, pada tempo yang akan datang. Maka dari itu pada hakekatnya perjanjian de ngan memakai pengiikat itu lebih karib dengan perbuatan kredk. Bedanya di antara ke-dua2nya terletak di sini, ialah bahwa dalam hal perbuatan ikredit maka salah satu fihak sudah seketika mewu judkan jasanya, jasa mama mempunyai daya akan mewaji;bkan fihaik lainnya untuk mewujudkan juga jasa imbangan nya (tegenprestatie) yang sudah dipersiskan lebih lanjut dalam perjanjian itu atau tida)k; sedangkan dalam hal perjanjian dengan memakai wang- pcngikat, jasa2 .kedua fihak yang sudah ditetapkan dalam persetujuan sama5 harus diwujudkan di masa datang dan kedua fihak itu ma sing2 berjanji untuk melaksanakan itu. Nam un perjanjian2 dengan memakai wang pengiikat sudah semestinya tidak boleh disebut „consensueel” begitu saja, sebab dalam pada itu p e r m u f a k a t a n d e n g a n k a t a 2 s a j a belum mewajibkan apa2. Pada saat sesudah terselenggara suatu hubungan — dalam mana persetujuan harus berlaku — di antara kedua fihak, ialah dengan jalan menerimakan di tangan sekeping mata wang kecil atau sebuah benda lain, baharulah terlahir kewajiban2 tertentu dari persetujuan itu ; amat acapkaili persetujuan itu mengenai suatu perbuatan tunai yang mereka akan menyelenggarakan : yang satu fihak a k a n membeli sawahnya, pekarangannya dan juga lembunya, dan fihak yang lain a k a n menjual tanahnya dan sebagainya kepadanya. Bila kedua fihak sudah mencapai kata sepakat, maka si calon pembeli memberikan kepada si calon penjual sejum lah uang sebagai panjer, tanda. Bila tidak diterimakan panjernya itu, maka orangnya menganggap dirinya tidak terikat; bila
sudah diTjerikail dan
a panjernysL itu, (wis dipanjeri, be-
gitulah disebutnya perjanjian iLii dalam bfthasa JïW?) m <*ka orangnya merasa dirinya sudah terikat. Ini mengandung arti yang sebenarnya dalam pergaulan se-hari2, ba/hwa orangnya j u m e n e p a t i
/ persetujuan itu — terdorong oleh rasa terikait oleh hubungan sihir dan oleh rasa kesopanan. Menurut hukum adait artinya hanyalah demikian, bahwa si calon .pembeli kehilangan panjenvys. bila ia se sudah menerimakannya toch tidak menepati persetujuannya, atau dalam hal terakhir ini fihak lainnya diberinya suatu alas an yang patut untuk tidak menepati persetujuannya; sedangkan sebagai kebalikannya, si calon penjual bila timbul kelengahan dari fihaknya sendiri wajib mengembalikan panjer itu dan biasanya diharuskan pula membayar sejumlah uang sebesar panjer itu sekali lagi. Dikha barkan, bahwa di kalangan orang2 Toraja sesuatu perjanjian seke tika mengikat setelah diucapkan dengan formil perkataan ,,ya” , hal mana berarti, bahwa ia menanggung kewajibannya untuk raembayar. Di tempat2 lain rupa2nya tidak terdapat hal serupa itu. Tentang m e m a k s a -untuk m e n e p a t i persetujuannya, ma ka hal ini (hampir) tetap tak mungkin. Kerugian yang diderka (kebanyakan) dapat dituntut dari fihak yang bersala/h kelengahan. W ang pengikat itu tim bul tidaik hanya dalam persetujuan akan menyelenggarakan perbuaitan tunai di masa datang saja, melainkan juga misalnya bila jasa dari satu fihak, walaupun seketika dimulainya, penyelenggaraannya akan memakan tem po yang lama, se dangkan jasa dari fihak lainnya harus diselenggarakan di masa da tang; demikianlah halnya dengan perjanjian kerja (arbeidskontrakt). Orang yang masuk kerja menerima panjer sejumlah kecil dari majiikannya yang membayarkan upahnya di .belaikang. Panjer itu dipotongkan dari pembayaran -upah, maka dari itu panjer itu mendapat sebutan ekonomis sebagai persekot (voorschot), dan oleh karena itu artinya menurut hukum adat, -pula menurut alam pikiran „serba berpasangan” (participerend) menghilang di belakang sebu tan ini. H a d z a h p e r t u n a n g a n . Suatu ikejadian yang benar2 sejalan dengan itu dalam hukum perkawinan ialah ihadiah pertunangan (verlovingsgeschenk). Terikatnya bertimbal-balik m em ulai pada saat menerimakan pemberian pertunangan aitau perianth pertunangan (verlovingspand). Di mana pertunangan itu merupakan pengantar daripada perkawinan jujur dalam masyarakat berhukum bapa, maka hadiah pertunangn itu luliih menjadi satu dengan pembayaran di muka daripada sebagian dari jujur. Di Minangkabau d a n d i tempat2 lain 'terdapat tukar-memikar tanda2 pertunangan (mempertimbangkan tanda); namun kebanyakan lelakilah yang memberikan hadiah pertunangan - fyang ter-kadang3 lurusnya disebut ^pengilkat” juga (bandinglah dengan sebutan2 tercantum di halaman 189), dan pe-
rempuanlah yang menerimanya. D i Krinci tanda paletak itu adalah petaruh pertunangan (verlovingspand,) yang dikembalikan sesudah perkawinan. Terikatnya adalali sesuai dengan terikatnya dalam hu kum kekayaan; siapa yang memutuskan atau menyebabkan alasan patut untuk memutuskan pertunangan, maka kehilanganlah ia hadiah pertunangannya (kerabat fihak pemuda) atau harus mengembalikannya secara berlipat (kerabat fihak pemudi) dan harus membayar kerugiannya (karena sudah memberikan hadiah2 berhubung dengan perkawinan yang akan datang). B e n t u k 2 lain. D i Minahasa ma'ka hubungan ikatan antara bapa, yang 'tak berkawin sah, dengan anaknya, diselenggarakan dengan jalan pemberian hadiah adat ikepada ibunya anak itu (lilikur); begitu juga pertalian antara si pemungut anak dan si terpungut anak diselenggarakan dengan jalan pemberian hadiah tamah (paradé). Juga tanda2 yang kelihatan tadi rupa2nya dapat ditafsirkan artinya sebagai pernyataan dengan benda buat hubungan da lam angan2, yang berlaku di masa datang. Kebiasaan2 lain yang begitu banyak jumlahnya berdasaxkan atas buaJi pikiran, bahwa penyerahan sesuatu benda dari seorang ke se orang lainnya itu, menyelenggarakan ikatan yang diinglnkan di waktu penyerahan benda itu. Sedikit pemberian, biasanya terdiri dari makanan, yang disertakan dengan suatu permohonan kepada seseorang yang berkuasa atau berpengaruh (di mata Barat terlalu keseringan dianggap suapan); sedikit pemberian berupa daging, yang unenyer* tai undaugan; petaruh untuk pemeriksaan perkara (proces-pand), mungkin juga pemberian untuk pemeriksaan perkara (proces-geschenk) yang oleh si penggugat ditambahkan pada jumlah dalam gugatannya, maka kesemuanya. itu harus ditafsirkan secara semacam itu j u g a ; pemberian2 itu membuka jalan, sepanjang mana akan diletakkan hubungan sementara yang diinginkan, dan sepanjang •mana jawabannya — ialah keputusannya — dapat mendatang. Da lam makna sedemikian itu juga dapatlah pemberian srama dalam paruh hasil tanam (hal. 127) kiranya dihubungkan dengan perjan jian tersebut terakhir ini. Saya sudah menerima apa2 dari lain orang, saya sekarang wajib .memenuhi apa yang dikehendaki dari saya, m i salnya mem enuhi undangan, memberikan jawaban (walaupun juga jawaban m en olak), memberikan keputusan (walaupun keptitusam m enolak), mengizinkan d ia mengerjakan tanaih saya. sebagai pemaruh, dan sebagainya. Ini tidak seluruhnya sama dengan panjer, tapi sangat karib sekali padanya, dan rupa2m T a dipandang dari sudwt sihir (magisch) sama alamnya. Dalam hal panjer, dan paning*
set, maka persetujuannya disusuli dengan suatu tanda yang kelihatan, dan memberi dan menerima itu menyebabkan persetujuan men jadi mengikat bertimbal-balik; dalam hal suatu pem beiian yang menyertai suatu permohonan, maka orang yang diberi karena mene rima pemberian itu mewajibkan dirinya untuk memberikan suatu jawaban ; ter-kadang2 juga wajib memenuhi permohonan itu (da lam hal undangan, dalam hail sram a?); „pemberian” itu merigandung sedikit banyak unsur paksaan (walaupun m ungkin lemah) . Orang dapat mengikat dirinya pada keputusan2 yang dij&tuhkan pada hal ia sendiri tidak hadir, ialah karena suatu „tanda yang ke lihatan” juga, sebagai halnya dengan orang di Bali yang membawakan kerisnya kepada seorang penduduk inti dusun ke rapat desa, bilamana ia sama sekali berhalangan datang ; sebagai halnya janda di Bali yang mempergunakan keris suaminya yang m ati sebagai wakilnya untuk mengambil anak (adopteren) buat almarhum ; atau me ngikat dirinya pada perbuatan2 hukum yang terselenggara selama ia taik hadir, seperti halnya dengan raja (di Jawa) yang untuk perkawLnannya dengan bini muda diwakilinya oleh seorang pegawai yang di'bawakannyL kerisnya; dapat juga orang — seperti tuan2 besar Mandar di Sulawesi Selatan — mengikat dalam a T t i kata sihir se orang gadis pada dirinya dengan jalan mengirimkannya sepucuk keris, dan haruslah gadis tadi „ditebus kembali” dari pemberian ke ris itu supaya dapat memperoleh kemerdekaannya kembali kalau ia menghendakinya. T a n d a l a r a ng a n. Dengan jalan ini kentara karibnya di antara „tanda yang kelihatan” sebagai hubungan dari seorang dengan seorang, dengan tainda yang kelihatan sebagai hubungan dari seorang dengari tanah atau dengan pohon : tanda larangan (hal. 104) yang sudut positifnya menimbulkan hubungan hukum, sedangkan sudut negatifnya yaitu mencegaih supaiya mereka lain orang te tap menjauhkan diri dari padanya. Dengan jalan demikian — dipandang dari sudut lebih umum — terdekatilah salaih saitu dari dasar2 hubungan hukum perseorangan atas benda yang sudah dikerjakan sendiri : sebidang itanah atau sebuah sungai kecil di Kalimantan yang telah dibersihkan sendiri, sebatang pohon yang sudah ditarah sen diri, dan seterusnya. Menurut alam pikiram „serba berpasangan” (participerend), maika dengan jalan demikian iitu rupa2nya terse lenggara pertalian gaib (metajuridisch) yang menimbulkan pencerminannya yuridis dalam hukum adat. Surat
akte.
Surat ini sudah barang ten/tu adakalaaiya di
anggap sebagai „tanda yang kelihatan” serupa itu juga. Bukannya
surat akte perjanjian jual, karena anggapan serupa tadi menurut sistimnya tak dapat dipertanggung-jawabkan (hal. 1 21 ); juga tidak (dianggap sebagai tanda yang kelihatan) suatu surat tanda bukti dari sesuatu perbuatan kredit perseorangan, karena dalam hal ini daya yang mengikat itu berpancar dari jasa (prestatie) sen diri yang sudah ditunaikain (jadi „prestatie” ini sendiri dalaan berla kunya, ada karib dengan „.tanda yang kelihatan” ) ; tapi benar da,pat dianggap sebagai „tanda yang kelihatan” ialah misalnya penandatanganannya surat akte oleh kepala dusun, dengan mana ia memperlihatkan umum hubungan masyarakat dengan kedudukan hukum yang baru ini buat masa datang; atau juga secarik surat yang oleh se orang diberikan kepada seorang lainnya yang lantas berjanji (me ngikat dirinya) untuk memberikan suaranya untuk si pemberi surat tadi, atau surat yang dipakai untuk mengambil orang lain sebagai pekerjanya, dan sebagainya. Dalam a l a m r a j a 2, maka „tanda yang kelihatan” itu adalah suatu tokoh hukum yang di mana2 sudah lazim, sebagai pernyataan dan perkuatan pertalian hukum antara raja dan raja angkatan, antara raja dan penghulu rakyat. Buat maiksud itu maka di berikan oleh raja2 kepada raja2 di bawah kekuasaannya satu setel pakaian, sepucuk senjata, sebatang tongkat, juga pernyataan pengakuan yang digoreskan dalam logam (piagem), dan benda2 itu diterima oleh yang berkepentingan dengan kesadaran akan maksudnya tadi. Boleh jadi diperkemankan juga menyamakannya seluruhnya dengan „tanda2 yang kelihatan” serupa itu ialah : gelar2 yang oleh raja dikaruniakan kepada penghulu2 yang mengabdi padanya. Persembahan2 yang dihaturkan ke hadapan raja sebaliknya kebanyakain bersifat persembahan'pengantar yang disusul dengan permohonan ke arah pengaikuan.
BAB
KEENAM.
Y A Y A S A N 2 ( S T IC H T IN G E N ). l.
W AKAP.
Suatu perbuatan hukum yang bersifat /tersendiri dan dipandang dari suatu sudut tertentu bersifat rangkap dan oleh karenarmya harus di sini dibicarakan tersendiri, ialah mexvakapkan tanah atau benda. Maksud „bersifat rangkap” ialah bahwa perbuatan itu di satu fi hak. adalah suatu perbuatan mengenai tanah atau benda, yang menyebabkan obyek itu mendapat kedudukan hukum yang kihusus (hal. 93), tetapi di lain fihak seraya itu, perbuatan tadi menimbülkan suatu badan dalam hukum adat, ialah suatu badan hukum (rechtspersoon) yang bersanggup ikut serta dalam kehidupan hukum sebagai subyekhukum (rechtssubject) . Lembaga hukum Islam waqf, yang telah terterima (gerecipieerd) di banyak daerah2 di Nusantara sini, dan yang disebut dengan istilah Belanda „vrome stichting” , sudah sering mengakibatkan kekacauan karena sebutan itu ; dikiranya, bahwa perbuatan serupa itu hanya diperkenankan buat tujuan tertentu, yang bersifat ibadat -dan saleh ; menurut kenyataannya orang dapat mewakapkan tanah dan barang untuk sebarang tujuan, yang tidak menyalalii hukum suci. Nanurn dapat juga di-beda2kan dua macam wakap} yang paling seringkali terdapat; per-tama2 memperuntukkan tanah perumahan buat masjid atau surau (jika perlu ditambah dengan tanah pertanian yang ha silnya diperuntukkan buat pemeliharaan mesjid itu dan buat nafkah pegawainya, ditambah lagi dengan kitab2 Quran untuk dipakai di mesjid) ; kedua, memperuntukkan sebagian daripada ikekayaannya, bagian mana ta'k dapat dipindahkan tangan buat se-lama-nya, buat anak-cucu yang diperkenankan memungut hasilnya. Sebagaimana dikatakan tadi, maka lembaga hukum ini terterima (gerecipi eerd) oleh orang2 Indonesia Islam dari hukum Islam sefoagaimana tela'h diaturnya di situ. Artinya ; pembuat wakap harus mempunyai hak dan kuasa penuh (ditinjau menurut hukum adat) atas barang yang d'nuakapk.a.n.;
barangnya harus ditunjuk
dengan jelas dan
tidak boleh dipakai ke arah larangan Islam ; tujuannya (yang halal itu) harus dilukiskan dengan kata2 yang terang, itupun bilamana tu juan yang tidak dilahirkan, tidak kentara dengan sendirinya; tu juannya itu sifatrrya harus tetap; orang2 yang diwakapi harus ditunjuk se-terang2nya dan seberapa mungkin mereka menyatakan menerima baik perwakapan itu (kabul), si pembuat wakap dapat me netapkan pengurusannya dengan jalan mengangkat seorang pengu-
ru s; bilamana pengurusnya'tidak ada maka kepala pegawai mesjid menurut hukum diharuskan mengurusnya, itupun di Jawa. Bilama na pembuatan wakap itu sudah terlaksana sepenuhnya, (untuk itu kebanyakan dibuait surat akte) maka kedudukan hukum daripada barang itu diatur oleh hukum adait (óleh unsur 2 agama dari padanya) ; segala sesuatu yang harus ditindaikkan untuk mencapai tujuannya aidalah kewajiban si pengurus, termasuk juga menuntut perkara. Anda.ika.ta wakap itu se-mata2 hanya bersangkutan dengan hu kum tak tertulisnya orang 2 Pribumi saja, maka akan cukuplah de ngan tokoh hukum (rechtsfiguur) demikian, yaitu pada suatu benda yang tidak ada pemunyanya dan tujuannya ditentukan dengan Iengkap dan tujuan itu daipat dicapai sepenuhnya bila perlu dengan memaksa supaya aturan2 yang ditentukan oleh pembuat wakap itu dijalankan, aturan2 mana berlaku sebaigai hukumnya wakap itu. Tetapi pada saat bilamana wakap itu berstnggungain dengan sistim hukum tertulis, yang berdasarkan faham, bahwa semua baramg2 da lam pergaulan hukum harus ada pemiliknya (ambillah sebagai m is a l: Kitab Undang 2 Hukum Pidana) maka haruslah dianggap, bahwa memang ada seorang pemilik atas barang yang diwakapkan itu,
1 f W \ü ^ mempu«yai seorang pengurus sebagai wakilnya Oleh karenanya tokoh ku menjadi lebih Iengkap, perbuatan 2 hukum mengenai wakap (misalnya menjual sesuatu „kepada ^ ) dapat dilaksanakan juga dalam hukum taik tertulis dengan uada kesukaran. Dipandang dari sudut demikian, maka wakap itu a am a erdiiinya sendiri (zelfstandigheid) menurut hukum adait sama dengan perkumpulan yang bertindaik sebagai badan hukum (rechtspersoon, hal. 165), hanya bedanya antara dua itu ialah bahwa wakap itu bukannya kebanyakan (veelheid) yang bertindak sebagai kesatuan, maka dari itu seharusnya dimasukkannya golongan ba dan hukum Pribumi (Inlands rechtspersoon) . 2.
YAYASAN
(S T I C H T IN G ).
Demikianlah wakap yang ditaifsirkan seperti tadi benar 2 dalam sistim hukum adat adalah suatu jembatan yang memungkinkan pencadangan tanah, benda, wang sebagai suatu badan hukum adat yang berdin sendin, ialah sebagai yayasan (stichting), terlepas dari pembatasan2 yang ada pada wakap menurut agama Islam oleh karenainya terïahulah suatu badan hukum (rechtspersoon) yang dapat lkut serta dalam pergaulan hukum dalam batas2 yang ditetapkan di waktu mendinkannya, yaku dalam surat a'ktenya. Sudah ber-
ulang 2 ternyata, bahwa kemungkinan tadi dibutuhkan, misalnya bila orang ingin menyendirikan suatu dana (fonds) yang berbunga (yang karena melanggar hukum agama tak dapat dibuat wakap) dan yang hasilnya diperurotukkan anak-cucunya. Perbuatan sedemikian itu harus diitafsirkan sama sekali lepas dari aturan2 Islam ya.ng telah terterima (gerecipieerd), dan dipertimbangkan menurut kebutuhannya sendiri- ; adalah sebagai cara „methodisch” tidak tepat bilamana orang meletakkan perhubungan buatan dengan perkecualian2 antara „yayasan dan lembaga wakap, sedemikian itu akan mengakibatkan „pokrol 2an” (juristerij) yang kosong belaka. Bilamana orang2 Indonesia Kristen andaikata melaksanakan perbuatan 'hukum serupa itu, maka hal ini seharusnya akan ditafsirkan menurut ukuran yang sama dengan orang2 Islam tadi. Mengapakah tokoh hukum (rechtsfiguur) sedemikian itu, yang tumbuh dalam keadaan sosial yang nyata dan yang dapat diduikung oleh sistim hukum adat, tidak dapat dimasukkam dalam hukum tak tertulis dengan jalan keputusan2 ? Tetapi dalam keputusan2 itu ha rus secara sistim disusun kaidah2 yang bertalian satu sama lain dan yang menyajikan bentuk hukum yang tepat untuk memenuhi kebu-
tuhan2 masyarakat.
BAB
K ETU JU H . H U K U M P E R S E O R A N G A N (P E R S O N E N R E C H T ).
Tentang kedudukan orang2 asing (lari masyarakat dan pengaruhnya perbedaan2 kelas, maika kesemuanya itu telah dibicaraikan da lam bab pertama ; mengenai yayasan2 sebagai badan hukum dalam bab keenam. 1.
K E B A D A N A N H U K U M (R E C H T SP E R SO O N L IJK H E ID ) D A R IP A D A P E R K U M P U L A N 2.
Bagaimana kedudukannya hukum daripada gerombolan 2 yang te lah menggabungkan diri dalam perkumpulan2 (hal. 146, 147), maka karena kenyataannya yang bercorak beraneka warna, hal itu tak da pat diitangkap dalam satu rumusan. Dalam sangat banyak hal maka suatu perkumpulan serupa itu merupakan kesatuan yang berdiri sendiri, atas nama siapa pengurusnya juga bertindak hukum, pula vang dapat mempunyai wang, sebuah gedung dan tanah2, dan sebagai kesatuan sedemikian itu dalam pethubungaii liukum jugu diakui oleh masing2 orang, yang tidak tahu-menahu akan persoalan2 kebadanan hukum Barat (hal teraikhir ini tak dapat dikatakan ter hadap semua instansi2) . Diakui pula tanggung-jawab miliknya per kumpulan terhadap kewajiban2 perkumpulan itu dan haknya per kumpulan untuk menggugat dan membela diri sebagai kesatuan di muka hakim. Persoalan2 seperti : apakah ada tanggung-jawab „sub sidiair” (sebagai penggarttii) (subsidiaire aansprakelijkheid) pada anggauta 2 pengurus (yang bertindak hukum ), atau pada anggauta2 perkumpulan, dan apakah anggauta2 bila ke luar dari perkumpulan dapait menuntut haknya atas sebagian daripada milik perkumpulan (hal ini sudah lazim di kalamgan orang2 Batak T o b a ), maka per soalan2 ini saban 2 aikan dipecahkan oleh instansi2 yang berkuasa memutuskan dan saban2 akan tergantung pada faktor2 setempat yang nyata. Dalam peraturan2 wet maka adanya badan 2 hukum Pribumi ini sudaih sejak lama mendapat pengakuan (landsohap2, masyarakat2 wilayah, dusun2, jemaah 2 Kristen, bagian2 berdiri sendiri daripada gereja, kerabat2 Minangkabau, perkumpulain2 koperasi). Suatu peraturan (untungilah)
sudah ada dalam persiapan (1938), yaitu yang
akan bermaiksud mengakui perkumpulan 2 dan 'kongsi2, asal saja memenuhi syarat2nya yang bersifat materieel dan formeel. Peraturan2 yang sejajar dengan itu selanjutnya juga tentu akan disusun mengenai yayasan2 (stichtingen), untuk menjaga jangan sampai bentuk
„yayasam” itu dipakai untuk menghindarka/n diri dari syarat2 yang harus dipenuhi oleh sesuatu perkumpulan yang dap at di akui berdirinya sendiri, syarat2 mana diperlukan untuk pemeliharaan hukum. Di lapangan ini, maka demi susunan tertib daripada hukum, harus tidak mungkin 2.
ada pengaturan sebagian
dem i sebahagian.
P E R S E O R A N G A N 2 M A N U S IA , K E C A K A P A N U N T U K BERB U A T (N A T U U R L IJ K E /P E R S O N E N , H A N D E L I N G S B E K W A A M H E ID ).
Menurut hukum adat, maka yaing ca'kap untuk berbuat (handelingsbekwaam) ialah lelaki dewasa dan perem puan dewasa, itupun sudah barang tentu dalam batas ikatan m ilik kerabat dan milik keluarga, ikatan mana — sebagaimana acapkali sudah ternyata dalam -pelbagai lingkungan 'hukum tidak sama sifatnya dan tidak sama kekuatannya. Juga dalam suasana hukum bapa maka perempuan yang sudah kawin biasanya dapat berbuat dengan bebas dalam lingkungannya sendiri, walaupun keunggulan (overwicht) suanii dalam perkawinan jujur (bruidsohathuwelijk) amat besar. Tapi dalam perkawinan ambil anak (inlijf huwelijk) keunggulan suaani tak ada sama sekali, .mal ah an sebaliknya. Halnya si suami diharuskan memberi pembantuannya kepada perbuatan si isteri dalam urusannya partikelir — misalniya dalam mengajukan perkara di muka pengadilan berhubung dengan perdagangannya yang dijalankan sen diri — maka rupa^nya keharusan sedemikian itu hanya terdapat da lam suatu wilayah belaka.
Menurut hukum adat masyarakat h ukum kecil2 ibu, m aka saat seseorang m enjadi dewasa ialah, saat ia (lelaki atau perem puan) sebagai orang yang sudah berkawin m eninggalkan rum ah ibu-bapanya atau ibu-bapa mertuanya untuk benunah lain sebagai laki-bini m uda yang merupakan keluarga yang berdiri-sendiri. Beruinah bebas berdiri sendiri da,pat juga 'terlaksana dengan jalan m en gh u n i bilik tersendiiri dalam rufmah kerabat atau m en gh uni sebuah rum ah di pekarangannya ibu-bapanya atau m enghuni sebuah rum ah di pekarangannya sendiri. Ter-kadang2 terganitung dari keadaan yang senyatanya, apakah sesuatu cara penghunian rum ah dapat dianggap siii mem im pang ataukah sudah dapat disebut „beru m ah sendiri" ; anggapan orang2 di lingkungan situ sudah barang tentu sangat pentingnya untuk penetapan ini. Anggapan o r a n g ? setempat situ justru dapat tei nyata dairi perlakuan mereka terhadapnya di waktu tolongm enolong di antara satu sama lain bertimbal-balik d a n di waktu selamatan2 dalam lingkungan dusun situ. Bukankah di situ kelihat-
an apakah orang 2 itu masih bekerja untuk lain2 orang sebagai pen duduk penumpang atau sudah sebagai orang2 yang 'berdiri sendiri dan bekerja umtu-k diri sendiri dan kelihatan juga apafeaih mereka dmndang sendiri untuk ikut serta pada sedekah atau slamatan. Ke adaan belum sampai uimur menurut hukum adat berakhir dengan berakhirnya keadaannya sebagai anaik isi rum ali; bukan asal sudah kawin begiitu saja. Dalam lebih dari satu lingkungan hukum penganitin- baru selama 'tahun atau ‘tahun2 yang pertama tetap tergolon-g keluarga orang tuanya, yang ditumpanginya dalam rumahnya ; mereka selanju triya dididik -ke arah bakal berdiri nya sendiri dan m endapat milik sendiri di waiktu meninggalkan rumah orang tuareya itu umtuik beriHnah sendiri (mencar, J. manjaé, B a t.). Bila ada stmpangan (afwijking) dari jalan yang normal (-kolot) dalam sesuatu, maika dapaitlah timbul pelbagai persoalan. Bagaimana jiika dalam suatu keluarga ibu-bapa meninggal dunia dan anak laki2 tertua yang mengoper pimpinan, sedangkan ia tetap tak ber kawin dalam tempo lebih lama dari pada lazimnya; bagaiimana ji’ka'ada pemuda diangkat menjadi pejabat desa, dan ia berdiam di rumah dan berdiri sendiri, tapi belum juga kawin ; bagaimana jiika ada pemuda 2 yang mendapat dititkan <3i jaivh dari iceluargamya dan sebagai mahasiswa hidup berdiri sendiri daui sesudah itu sebagai -bujang ihidup berdiri semlivi dan dahm keadaan demi kian menerima suatu jabatan? Buat menjatuhkan keputusan2 dalam soal2 serupa ini maka orang harus menemukan patokan2 dan ciri2nya apa yang dapat dianggap cakap berbuat" .(handelingsbekwaam) dan sampai di mana pembatasa'n2rl'>'a- Bilamana batas itu diletakkan pada soal, bila masih ta'k catkap berbuat itu wajib segala perbuatannya dengan setahunya sana^-sau-dara2nya (waris), ma.ka baitas antara „caskap berbuat” dan Sta'k caikap berbuat" yang sedenuikian itu sudah barang tentu tidaik t eas Agar supaya dapat diliindarkan kesiikaran2, maka dalam hal2 yang masing 3 boleh jadi akan -merupalkan soal2 yang me-ragu'kan maka kewajiban tadi dilaksanakan dengan setahunya lebih dulu daripada golongan sanak-saudaranya. Dalam pergaulan hukum yang sudah lepas dari masyarakat yang bersiFat „serba um um ” (commuun) maka soal apa/kah seseorang „cakap berbuat” atau „tak cakap ber buat” harus ditetapkan dengan pasbi. Dalam ILngkimgan yang sudah maju sedemikian itu — juga .berhubumg dengan pencatatan sipil atau burgerlijke stand — maka umurlah, yang dihitung tahunan (18 tahun), mulai menjadi pertiunbangan penting. Dengan ordonnan tie
(Staatsblad 1931 N o. 54)
sudah ditetapkan, bahwa perkataan
„minderjar” (belum cukup um ur) yang terdapat dalam keterrtuan2 wet, berarti : belum mencapai penuh um u r 2 1 tahun (kecuali bila sudah berkawin sebelum i t u ) . Mereka yang berada dalam perwalian (onder voogdij gestelden) atas keputusan landraad -di Jawa dapat m emohon vonnis kepada landraad di m ana di'tetapkan bahwa .ke* adaan di bawah um ur mereka sudah berakhir (fatsal 3 0 ayat 2 daripada ordonnantie tanggal 31 Januari 1931, Staatsblad N o . 5 3 ). Orang 2 gila, selama mereka tidak m em bahayakan, dibiarkan saja ; namun terhadapnya dapat dituntut pernyataan gila, dan dengan sendiri nya pernyataan tak cakap berbuat. H akim ada bertugas me netapkan dalam keputusannya, apa akibat2nya h u k u m bilam ana orang 2 yang tak cakap berbuat, tapi walaupun begitu ternyata sudah berbuat apa 2 sendiri. A kan menyesatkan belaka bila didahulukan dalam gambaran, bahwa perbuatan 2 mereka tadi selalu akan dianggap batal (n ietig), hal mana diakiui juga oleh pengundang-undang dalam fatsal 29 ayait 2 dari Staatsblad 1931 N o . 53 tersebut. Perempuan yang akan kawin diwakili oleh bapanya atau bila ia tidak ada, oleh 'karibnya lelaki dari 'keturunan garis lelaki (wali), dan masalah ini mempunyai sifat sendiri yang ditetapkan o leh h u k u m I s l a m yang sudah terterima (gerecipieerd) (hal. 209). O rang yang berdasarkan hukum adait taimpil ke m u k a untuik orang lainnya. disebut pada sangat um umnya w akilnya.; di Jaw a m isalnya juga disebut jugul. T en tan g pemeliharaan oleh orang 2 lain, y anë meliputi orang2 yang tak cakap berbuat, m aka untuk pem eliharaan itu di Am bon ada istïlahnya, ialah perlindungan. Keharusan (orang yang tak cakap berbuat) untuk diw ak ili menimbulkan perbuatan hukum m e w a » k i l k a n d i r i n y a (ke.pada orang yang cakap berbuat) . D alam hal2, di m ana kedatangan sen diri ada suatu kehaa-usan, namun karena sebab 2 yang saingat penting ter-kadang 2 masih dapat juga mewaikïlkan buat dirinya ; ter-kadang 2 kepada wakilnya itu (juga disebut : wakil) dibawakan suatu tanda yang kelihatan, yaitu sepucuk keris (hal. 158). Aroat seringnya 'terjadi bahwa sanak-saudara 2 m en jadi wakilnya satu ïama lain, begiitu juga halnya dengan suam i yang m ew akili isterinya ; 'tidak ditanyakan apakah ada surat 'kuasanya atau a,pak,ah ada perbuatan pemberian perintah tegas untuk perwakilan itu ; rupa^nya hal2 'teraikhir inii hanya perlu, bila yang akan m en jad i w akil 2 itu or*i.ng2 a sin g ; maka hal terakhir ini d i pengadilan daJam lebih dari satu lingkungan hukum adalah terlarang, tapi sebaliknya 'terkadang 2 diharuskan. D i pengadilan gubernemen sudah barang tentu diharuskan oleh w e t ; pemberian kuasa khusus yang tertuïis (bijzon dere schrijftelijke v o lm a ch t).
Bila ada terjadi sekali tempo, bahwa seseorang buat menghadap pengadilan proatin mewakilkan untuk dirinya sendiri seorang peng hulu raikyat di Lampung (dan di lain2 tempat), atau seseorang (yang patut yang dengan begitu saja menghadap untuk dia, maka hal sedemikian itu diperbolehkan, sebagaimana juga di Jawa orang boleh mengiriiiïikam wakilnya ke rapat desa. Angkatan seorang wa.kil tetap (di Lampung disebutnya pegang penyambut) adalah suatu perbuatan liukum yang formeel, hal mana adakalanya ada hubung annya dengan keseganan penghulu rakyat yang tidak suka menjadi alatnya perintah pangreh praja; suku Daiyak Ngaju menyebut alat sedemikian itu aso blanda, ialah anjing kecil kepunyaan Belanda. Tentang wakil2 tetap (merangkap menjadi pembantu2) daripada pemegang2 pangkat adat (beudeul, Gay., tungkat. Min.) buat pe kerjaan yang kurang penting, atau untuk menggantinya. di waktu mereka sendiri. tidak ada,- maka hal ini sudah. dikenal di mana2. Mengirimkan wakil bua/t naiik haji bilamana orangnya sendiri tak dapat pergi, adalah suatu perbuatan saleh.
BAB KEDELAPAN. H U KU M KESAN AKS A U D A R A A N (V E R W A N T S C H A P S R E C H T ). Sebagai acara mengenai hukum kesanak-saudaraan dapat diketmukakan lebih dulu, apakah alkibat-nya sosial daripada kesanak-satudaraan biologis itu, dan seketika yang merayolak mata ialah bahwa di Nusantara ini kesanak-saudaraan biologis dari satu cmacam, mungkin juga amat ber-bagaii2 dalam akibat^nya 'hukum. Pada umumnya di mana 2 terdapat suatu hubungan hukum yang berdasarkan atas kesaniak-saudaraan orang tua terhadap anaik-nya, tapi isi daripada hubungan itu adalah ber-bagai2 dan dapat tergamtung dari macam perkawinan orang tuanya. Di mana 2 terdapat akibat2 hukum yang disebabkan karena berasal dari keturunan sesama nenek moyang, akan tetapi sampai berapa jauh berlakunya, atau apakah berlakunya ke arah ke dua fiihak aitau hanya ke satu fihak, dan apakah ketunm an dari satu fihak sama akibatanya hukum dengan keturunan dari fihak lainnya, hal 2 serupa itu tidak dapat ditentukan terlebih dulu dan harus diselidiki tersendiri untuk suku bangsa masing2. Bila disebuitkan semua macam perhubung-anS hnkttm di mana ke-
sanak-saudaraftn
arti bagimya, maka sedemikian itu akan meng-
akibatnya ulangan 2 daripada apa yattg W V ^ tak ada gunanya d i sini. Ikatan kesanak-saudaraan sebagai faktor daAani susunamnya masyarakat2 hukum telah dibicarakan dalam bab pertama ; mengenai hubungan 2 kesanak-saudairaan yang mengakibaitkan perintang perkawinan atau kecenderungan perkawinan, maka hal ini ke sanak-saudaraan sebagai dasarnya hukum waris seharusnya dibicaT a k a n dalam bab : hukum w aris; tentang ikatan ikesanak-saudaraan sebagai dasar buat pertanggungan-jawab bersama terhadap suatu kejahatan atau pelanggaran, maka soal ini termasuk bab : hukum pelanggaran (delictenrecht) dan mengenai timtutan- hak daripada seorang waris benhubung dengan hak2nya salah seorang dari mereka atas sebidang tanah pertanian atau pekarangan, maka hal ini telah disinggung dalam bab : hukum tanah. D i sini yang akan dibicarakan sendiri2 hanya soal2 :
1 . kapan dan sampai di mana anak di waktu lahirnya terhadap seorang perempuan dan seorang lelaki berkeduduikan sebagai kecluêlukannya anak terhadap ibu dan bapa ; 2 . bagaimana kedudukan anak di waktu lahirnya terhadap golo 3.
ngan 2 sanak-saudara ibunya dan bapauya; bagaimana caranya pemeli'haraa/n anak yang ditinggalkan m ad kedua orang tuanya (atau salah seorang daripada orang tu anya);
4.
bagaimana caranya orang dengan ja la n suatu p erbu atan huikunr dapat m enim bulkan 'hubungan- h u k u m yang sam a dengan h u b u ngan 2 huikum kesanaJc-saudaraan biologis yang ditetapkan oloh keadaan sosial.
Pembicaxaan soal 2 in i bertem u dengan ketegangan ya n g terdapat d i kalangan banyaik steku2 bangsa Indonesia antara keluarga d a n ke rabat (su k u ; bagian c la n ), ketegangan m a n a ju g a nan ti ajkan ter nyata d i pem bicaraan teratang h u k u m perkaw inan, h u k u m k e k a j y a a m perkawinan dan h u ku m waris ; yaiftu ketegangan ya n g sedari d u lu selalu terdapat, tapi pada m asa akhir 2 ini m e n ja d i leb ih kua-t karena keadaan penghidupan, d a n pengem baraan ya n g m ak in m elu as m eli puti seluruh N usantara dan m a k in m eningkatnya kesadaran akan kemerdeikaan d i kalangan pem ud a karena pendidi'kannya sekolah se cara Ba rat. O leh karena itu m aka m akin tam bahlah arti keluarga* h al m ana m enyebabkan m a k in m erosotnya airti 'kerabat. 1.
PERHUBUNGAN
ANAK
DENGAN
ORANG
TUANYA
D alam persoalan yan g telah dirum uskan di atas tadi telah di-beda2kan antara hu bu n gan kesanak-saudaraan sebagai pengertian u a n t u n dan hubungan khusus daripada anak terhadap orang tuanya. In i adalaJi perlu antara lain ikarena dalam susunan h u k u m bapa, sanak-saudara 2 daii fihak ibu terhadap si anak berrailai lain dari pada ib u itu sendiri terhadap anaknya dan dalam susunan h u k u m ib u sanak-sau dara2 bapa juga lain nilainya dari pada bapa itu sendiri terhadap anaknya itu. Pelbagai perhiubungan (kewajiban memelïJiara, haJc untuk dipelihara, wewenaing untuk m engaw inkan, perh u bu n gan 2 berdasarkan hukum waris) tim bu l ber-sama 2 ibunya sebagai ibu atau ber-sama 2 bapamya sebagai bapa, jadi tidak sebagai m ereka ora n g yang pah ng karib d i antara sesama angga.uta2nya kerabat. Artaik yajng lajhir dalam perkawinan beribu orang perem puan yang me n anniya dan berbapa orang laiki2 suam i perem puan itu , ya n g ai\ n 8 en)
^ a'*am uraian ini sudah termasuk sim pangan 2 (afari,pada keadaan biasa (norm aal), yang m u n g k in tear-
i y a n S l a h i r di lu a r p e r k a w i n a n dalam beberapa lingkungan hukum beribu serupa tadi, ialah ora n g jserempuan tak berkawin yang melahirkannya, sebagaim ana seorang ana/k terla-hir dalam perkawinan beribu si perem puan yang m elahirkan dia. (M inahasa, A m b o n , T im o r , M entaw ai). T a p i di tem pat 2 lain terdapat perlawanan -keras terliadap ibu yang tak berkaw in beserta
anaikiirya, dulu pada awal-mulanya mereka ke-dua2nya (karena takut akan adanya kelahiran yang tidak didahului oleh upacara- pexkawinan ?) diasingkan dari masyarakat, dibumih (dimatrkan lemas) atau dipersembah'kan kepada raja sebagai budak, jadi mereka itu dipin■dahikan ke golongan : orang2 asing buat masyarakat. Tapi berhubung dengan itu dulu dan sekaraing ada aturan2 untuk mencegah supaya ibu dan anaknya jangan tertimpa nasib yang malangku, yaitu : k a ■ wi n p . a k s a yang dipaksa-kain kepada si lelaiki, yang ditunjuk ■oleh si perempuan - yang memang tuinainganinya atau bukan - se bagai yang menurunkan anaik yang masih ada dalam ikan ungannya itu dan lelaki itu dipa;ksa supaya kawin dengam perempuan itu (rapat anarga di Sumatra Selatan misalnya dalam hal mi masih saja meniatuihkan hukiimam supaya si lelaiki mengawini perempuan mikian itu, demi'kian juga hakim di Bali, yang meng u um si e bila ia tidak mau mengawini si perempuan, sedangkan kepala2 desa di Tawa pada liakekatnya dalam foal ini mencoba memaksakan perfe w in a n ) , dan k a w i n d a r u r a t, i a la h perkawinan sebarang lelaki (umpama : kepala desa) dengan perempuan >an h supaya narnti kelahirannya bayi ja u h di d a ta , perkawm*».(m kah tambelan, J. = laphuwelijk, pattongkoq sinq, Bug. P«™ui P m alu = sohaamte^bedehking). Karena sekarang pembuangan ke luar masyarakat itu sama sekali tidak atau jarang (Nias) a ’ m dan anak diluluskan, walaupun si anak tetap disebut dengan human sebagai anak di luar perkawinan atau astro. (Bali), haram ]adah (J.), kecuali bila ada alasan2 tertentu umbuik mengesahkan anak itu (B ali), ter'kadang2 perlu dilaksanakan pembaiyaran adat supaya diperbolehkan tetap tiraggal dalam masyarakat. Perhubungan an dengan ibunya yang talk berkawin, selamjutnya sama dengaml perhu bungan anak terlahir dalam perkawinan, dengan ibunya. Di Bah ma ka anaik2 yang terlaiiir dalam suatu masa berhidup kumpu se e um perkawinajn, adalah sah. D i Miniahasa, maka perhubungan seorang anak dengam lelaki talk berkawin yang menurumkannya, samaa dengan perhubungan dengan bapanya. Bilamana si bapa ibuait dia sendiri menghendaki su paya perhubungan itu tidak di-ragu^kan maka ia memberikan kepa da ibuinya anaik itu — bila ia (lelaki) 'tidak berhidup kumpul dia (perempuan) - suatu hadiali, yang disebut lilikur (hal. 157). D i tempat2 lain, maka anak terlahir di luar perkawinan menurut hu kum a d a t: tidak berbapa. Anak2 daripada Bumiputera Kristen ter k.adang2 (juga berdasarkan atas ordonnantie tahun 1933 Staats a no. 74) dapat disahkam di waktu perkawinan (dierken, Am bon).
Bilamana seorang anaik ditrururukan dalam perkawinan oleh seo rang lelaki yang bukan suaminya si perempuan, m aka m enurut hu kum adat ba;panya anak itu ialah lelaki suamircya perem puan itu, kecuali bila ia menolaik kebapaannya dengan alasan 2 yang dapat diterima, hal mana se-tidak2n/ya mungkin di Jawa ; lagi berlainan halnya di Minahasa, di mana dalam hal itu bapa di luar perkawinan tetap diaikui sebagai bapa, tentu saja sepanjang kebapaannya ini sudah dapait ditetapkan. Menurut hukum adat rupa2rrya tidak menjadi soal
tempo be-
rapa lama s e s u d a h n y a perkawinan anak itu Ia h ir; hukum Islam meruimtut lahirnya anak harus dalam tempo lebih dari enam bulan sesudah perkawinan supaya anak itu dapat dianggap sah ; aturan ini boleh jadi di sana-sini (tapi se-tidak-nya jarang) berpengaruh atas hukum adat ; naunun dengan pasti aturan tadi tidaik memgubaih aturan kawin paiksa dan 'kawin dai'urat tersebut tadi. Menurut hukum adat, maka anak yang lailiir s e s u d a h t e r p u t u s perkawinan, berbapa lelaki bekas suami, itupun bilamana lahirnya itu dalam tempo lamanya orang ham.il ; tempo empat tahun yang ditetapkan oleh hukum Islam tidaik pernaJi diam bil oper di manapun juga. Anak 2 keturunan bini2 selir adalah terbelakang dibanding dengan anak- keturunan bini tua, ialah mengenai haik atas warisan dan hak atas derajat bapanya. ,u Afcjbat hllkum daripa
Iï^a * j lan (toesche^ ) menryebabkan secara prakitis ban/yak perubahan dalam hal ini, misalnya untuk menguntunigikan p erh u bungan antara seorang bapa Minangkabau dengan anaknya (hal.
Tentang pengh'apusan dan penanggalan perhubungan orang tua — anak2 dengan jalan suatu perbuatan hukum, pula pengusiran seorang anak lakr2 oleh bapanya maka kesemuanya itu secara for m ed muingkiin juga di pelbagai lingkungan2 hukum : mangaliplip (Ang.kola), pegat mapianaq (B ali). Mengenai menitipkan seorang anak kepada orang lain untuk dipeliharanya sebagai anaq piara, maika untuk ini seorang tua di mana2 dipe.rkenankan sebagai suatu caxa untuk memenuhi kewajibannya melihara anak. Ini adalah sama sekali bukannya menyerahkan anak untuk diambil anak (adoptie) oleh orang lain, masalah mana akan dibicarakan nanti, walaupun ter-kadang2 menurut kenyataannya suuntuk di-beda^kan apakah adoptie atau apakah penitipan saja. Anak yaing dititipkan dapat se-waktu2 diambil kembali oleh orang tuarnya dengan penggantian biaya2n>ya pelèhara. 2.
PERHUBUNGAN ANAK TERHADAP GOLONGAN2 s a n a k -s a u d a r a
^w
.v
Masih kurang diselidiki orang, apakah anak terlahir di luar per kawinan, yang ibunya tak berkawin itu bersama anaknya hampir2 ti dak diperbolehkan dalam masyarakat, apakah anak sedemikian itu perhubungannya dengan golongan sanak-saudara fihak ibunya sama sekali seperti anak yang sah. Di Rejang tidak demikian, anak terla
telah disebutkan sebagian dalam bab pertama, maka
sanak-saudara sosial (pernilaian sosial daripada perhubung
an kesanaik-saudaraan bialogis) adalah sangat ber-beda2nya. Di sini hanya beberapa soal2 pokok saja -dapa/t diulangi dan dibicarakan. D a la m
beberapa lingkungan hukum maka periiubungan antara
g o lo n g a n sainaik-saudaaa fih a k b a p a d a n an ak, a d a la h sam a sekali sa
ma dengan perhubungan antara anak itu dan golongan sanak-saudara fihak ibunya, inilah susunan sanak-saudara berhukum ibu-bapa (ouderrechtelijk) atau „parentaal” , atau juga „bilateraal” . Menge nai larangan2 perkawinan, kecenderungan2 perkawinan, hukum wa ris, kew ajiban pelihara, maka perhubungan2 hukum kesemuanya itu
berlaku ke jurusan ke dua fihak. dengain m utu yang sama. Dala/m pa da itu harus di-bedaakain dua tokoh satu sama lain. Pertama : suku 2 misalnya di daerah2 pedalaman Kalimantan dan Sulawesi Tengaih, di mana dipertahanikan sistim iberhukum ibu-bapa (ouderreohtelijk) tadi, ialah karena „endogamie” (kebiasaan berkawin dalam lingkungan suku di daerah kediaman sendiri) dan karena terpencilnya suiku2 ini dari orang 2 asing. Mungkin dalam lingkungan sirtu sudah menjadi kebiasaan bahwa suami2 berdiam ‘kumpud serumah dengan kerahat2 isterinya, sehingga anaknya itu lebih banyalk m enam pak kerabat ibunya dari pada kerabat bapajnya, tapi menurut hukum adat tidak ada perbedaan antara ke-dua2nya itu. Kedua : suku 2 baingsa yang hidupnya tidak dalam ikatan genealogis yang agak besar, melainkan secara sekeluarga demi sekeluarga susunannya di masyaraikat2 terrrtoriaJ seperti di Aceh, di Jawa dan sebagainya. D i sana sudah semestinya tidaik ada lagi „exogamie” atau „endogamie” berdasarkan atas penggolongan 2 sanak-saudara (tapi ter-kadang2 ada „endogam ie” dusun2) ; larangan2 perkawinan, kecenderungan per-kawman, hukum waris, kewajiban pelihara adalah ke jurusan ke dua fihak ; sama. Hanya bila diamat-amati dengan saksama, maika terdapatlah kebiasaan 2 yang mungkin berasal dari zaman susunan sanak-saudara yang segi satu (eenzijdig) atau dari zaman yang sudah dipengaruhi oleh susunan * sanaksaudara segi satu, yang berasail dari dasar hukum Islam ; na m un ugaan mengenai asal serupa itu adalah terlepas dari perta nyaan . apa.kah funksi dan nilai menurut hukum daripada kebiasaan3. VU W3i.ktu sekarang. Di pulau 2 Kalimantan dan Sulawesi terlihatlah d a n pedalaman ke jurusan pantai2 peralihan dari sua*u susunan yang terikat dalam masyarakat2 suku, kaum dan kerabat ? anS berhukiim ibu-bapa ke arah suatu gerombolan berhukum ha° y a terdiri dari keluarga2 saja (dalam lingkungan
Dalam lingkungan2 hukum ladnntya maka susunan .sanak-saudara sosial butkannya segi dua (tweezijdig), melainkan segi satu (eenzij dig) ialah unilateraal dan betrhu/kuim bapa atau berfnikum ibu. Ini berarti pertama . bahwa golongan 2 sanak-saudara (kerabat2, bagian- clan) yang dapat diikenal sebagai kesatuan2 sosial - ialah arena susunannya ke dalam dan karena sebagai kesatuan tersangkut pada tanah, rumah 2 dan benda2 lainnya, pula pada nama, gelar, pangkat adat atau apapun juga - adalah terdiri atas dasar keturunain segi satu, dan oleh karenanya golongan2 itu hanya meliputi mereka yang berasal keturunan menurut garis lelaki dari sesaana bapa leluhur, atau, hanya meliputi mereka yang berasal keturunan
menurut garis perempuan dari sesama ibu leluhur. Bila dalam satu masyarakat kedua dasar susrunan yang segi satu itu menyebahkaji timibulnya kesatuan sosial yang nyata — j a d i ; golongan 2 sanak-saudaira segi campuran — masing 2 dengan penghulunya sendiri, namanya sendiri, m ilik 2 dan kepentingan 2 sendiri, jadi di cmana masing* (de ngan saudaTa2nya laki2 dan perempuan seibu-bapa) termasuk dua clan yaitu clan sanak-saudara seibu leluhur menurut garis perem puan dan clan sanak-saudara (lain sekali) sebapa leluhur menurut garis lelaki, maika dalam hal ini dapatlah susunan ini diberi nama yang terkutip dari ilm u ethnologie, ialah susunan „dubbelunilateraal” (segi saitu rangkap) . Betapa patutnya dan mudahnya susunan rangkap serupa itu buat anggauta2 yang bersangkutan, tapi mungkin sangat ruwetnya buat si peninjau dari lu a r; dalam ketertiban hu kum masyarakat2 di N usantara sekarang ini, maka susunan sedemi kian itu jarang terdapat. H al menurut naluri diwariskannya barang 2 tertentu dari bapa kepada anak2 dan di samping itu barang2 lainnya dari ibu kepada anak perempuan, adalah boleh jadi suatu corak „dubbelunilateraal” (Aceh, Savu ). N am u n di kalangan banyak suku2 bangsa Indonesia dasar susun an segi satu belaka itu mengakibatkan penggolongan sosial yang kentara dan baik clan „matrilineaal” maupun clan „patrilineaal” ada lah satu2nya dasar susunan sana'k-saudara; ,exogaimie”
lebih2 dengan
jalan
dapaitlah dipertahankan kesegisatuannya itu.
Jadi ikesegisatuan susunan sanak-saudara itu berarti, kedua ; bahwa daL.-.: susunan serupa itu perhubungan sosial anak yang menurut susunar. termasuk golongan kesanak-saudaraan ibu berada dalam sur-ii perhubungan sosial lain terhadap golongan sanak-saudara dari frhak bapanya. Dalam susunan berhukum ibu maka golongan samvkisaudara. fihak ib u buat si anak adalah penting dalam sosialnya, m elebihi se-galaanya ; seketika anak itu dalam segala perhubunga/n2nya hidup m e n ju m p a i; larangan perkawinan, begicu juga exogam ie, berlalu di golongan situ ; dalam susunan berhukum bapa m aka clannya bapalah sedemikian juga pentingnya. T a p i itu t i dak berarti, bahwa dalam susunan berhukum ibu bagian clannya bapa (berhukum ibu) buat si anak se-akan2 t i d a k a d a artinya ; juga tak
berarti, bahwa dalam
clannya ibu
(berhukum bapa)
susunan berhukum
bapa bagian
buat si anak se akan2 tak berarti.
D i M inangkabau misalnya golongan kerabat bapa (bako baki) di pelbagai upacara 2 ada wakilnya, ter-kadang- golcngan tadi datang m enolong untuk nafkah si anak,
ada kecendvatng.ui teg as untuk
perkawinan dengan golongan itu, dan mereka dipat dengan men-
dahului orang 2 asing lainnya m en gop er barang2nya suatu
kerabat
yang akan habis m ati. D i daerah 2 B atak d i m an a bagian clan nya ibu (patrilineaal) per-tam a 2 adalah pen tin g b u at seorang p e m u d a r kafrana dia cenderung akan memiliih bakal isterinya dari bagian clan situ, dan selanjutnya buat dia adalaih nilai sosialnya terleta/k d i perhubungan h u la -h u la — bora (T o b a ) y a n g telah dib ica ra k a n (hal. 50). D i Sum ba m aka sanak-saudara fihak p erem p u a n (b erh u k u m bapa) m em berikan sum bangannya un tu k p em bayaran ,,ju ju r ” nya anaknya dan seterusnya. Jadi w alaupun hareya satu dari k ed u a golongan sana'k-saudara (biologis) bersegi satu itu ya n g m e n ja d i penting dalam sosialnya di suatu masyarakat, n a m u n bu at seoran g anak, golongan 2 (segi satu)
daripada bapa' d a n ib u k e d u a n y a m e m -
punyai arti sosial, biarpun golongan bapa artinya ja u h lebi'h besar dalam suatu susunan berhukum bapa d a n g o lo n g a n ib u ja u h lebih' besar dalam suatu susunan berhukum ibu. T a p i apa ya n g d ik e m u kakan d i sini ini hanya lengkap, bila di kalangan suku bangsa b e rsusunan sanak-saudara segi satu (tunggaii) itu , hanya m em p u n y a i satu m acam cara perkawinan, seperti di M in a n gk ab au d a n d i kalang* an orang- Batak T o b a (hal. 195) . N a m u n ada ju g a suku 2 bangsa P ribum i, di m ana terdapa-t (p alin g sediikit) d u a cara perkaw inan,. ialah perkawinan ju ju r (bruidschathuwelijik) yang mengakiba-tikart si anak termasuk bagian clannya bapa (berhukum bapa) , d a n per kawinan am bil anak (inlijBhuwelijk) yang m en gak ibatk an si anak termasuk bagian clannya ibu (berhukum bapa) . D i sini ib u (k erabatnya) adalah penting seluruhnya d a la m arti- sosial bu at si anak. Bila perkawinan- am bil anak itu hanya m erupakan perkecualian saja, m aka susunan sanak-saudara itu teta p bersifat h u k u m bapa ; bila andaikata perkawinan 2 am bil anak itu m en ja d i atu ran tetap(Saparua ? ) , maka ini m au tidak m au akan m en im b u lk a n susunan berh-u'kum ibu. Bilam ana perkawinan 2 „ ju ju r ” dain p erk aw inan 2 „a m b il anak sama seringnya terdapat (seperti di R eja n g , hal. 31), m aka golon gan- sanak-saudara, yang sosial kentara nyata, (terdiri dari sanak-saudara keturunan dari sesama leluhur bapa atau sesama leluihur ibu dan tergantung dari bentuknya perkaw inan o ran g tua nya keturunannya itu diukur apakah m en uru t garis lelaki a ta u m enurut garis perem puan. D engan dem ikian b elu m diperoleh s u sunan „parentaal \ belum pula susunan „du'bbehmilaiteraail” dan tidak dapat juga disebut segi bapa atau segi ibu , karena perkecualiannya akan sama dengan ajturannya pokok yang toch d a p at ditetapka-n lebih dulu dengan sebarangajn saja (w alaup un d i R e ja n g terdapat alarmat2 ke arah patrilineaal) — akan tetapi di sini adalah golon gan 2 sanak-saudara (suku) yang tersusun segi satu, yang satu
berdampingan dengan yang lain, sedangkan garis yang menetapkan macam kesegisatuan itu saban2 meloncat dari segi bapa ke segi ibu (tergantung dari bentuk perkawinanny a) ; jadi dapat disebut nya susunan sanak-saudara „ ber-ganti* (alternerend). Juga dalam pada itu maika sudah barang tentu kedua golongan- sanaVsaudara, dari fihak bapa dan dari fihak ibu, penting dalam sosialnya buat si anak, tapi selalu salah satu dari keduanya adalah primair, yang lain : sangat secundair. Suatu susunan „ber-ganti2” (alternerend) (di mana rupa2nya sebagai gejala pengantar (begeleidend verschijn sel) : ialah lembaga penyerahan anak dari bagian clannya ibu ke pada bagian clannya bapa) boleh jadi di sana-sini di kepulauan Tim ur Besar ada terdapat. Suatu susunan sanak-saudara segi satu dapat memperoleli corak. hukum ibu-bapa yang tertentu, biiamana (seperti di Bali) exogamie tidak ada atau menjadi tak terpakai lagi (Mentawai) atau perka winan di dalam lingkungn bagian clan diperkenankan untuk menghindari biaiya2 yang besar (Timor Tengah), atau bila ada perkawinam unacaim ketiga yang mengakibatkan si anak kedudukamnya ter hadap susunan2 sanak-saudaranya bapa dan ibu Jce-dua-nya sama saja rajo rajo, Rejang; tambik anak jurat duwa negen duwa, Pasemah). Di kalangan orang2 Semendo dan Rejang di Sumat ra Selatan yang susunannya berhukum ibu, maka anak yang tertua bersama inti kekayaannya kerabat atau kekayaan keluarganya mempem hankan hukum ibu dengan jalan bentuk perkawinan yang dipilihnya (tunggu tubang), tapi buat lain2nya di s i t u susunannya berhukum ibu-bapa, kupun karena terjadinya perkawinan semen-
(semendo
da anaq tengah. Suatu perkara yang penting tapi masih kurang diselidiki orang ialah soal sampai di mana penmtusan ikatan2 kesanak-saudaraan sebagai akibat pendirian dusun (hal. 35 103) ada pengaruhnya atas exogamie (pasti tidak „selalu” dan pasti tidak jtak pemah ) . Me ngenai kemungkinan membelah golongan exogaam itu karena diadakan suatu perkawinan, maka hal ini sebagaimana di bawah inir di halaman 192. Soal di mana suatu keluarga berdiam, di kerabatnya bapa (patrilokaal) ataukah di kerabatnya ibu (matrilokaal) adala h m e n u r u t k e n y a t a a n n y a penting sekali buat si anak, tapi perhubungan2 menurut hukum adat dengan (golongan2) sanaksaudara dapat juga menerobosnya; di Kalimantan misalnya maka walaupun di sana ada perhubungan2 menurut hukum ibu-bapa, tapi si isteri Jiarapir selalu, se-tidak^nya sesudah lahir anaknya )ang pertama, suka berdiam dalam lingkungannya sendiri.
Corak umum daripada susunan sanak-saudara Indonesia ialah apa yang disebut pernilaian sanak-saudara secara m enurut „abu nya (klassifikatorisch). Seluruh angkatan (generatie) dari fihak orang tuanya terhadap si anak dalam beberapa hal berkedudukan sama seperti bapanya atau ibunya sendiri terhadapnya. Perbedaan angkatan (generatie) menyebab-kan larangan perkawinan. 3.
P E M E L IH A R A A N A N A K 2 P I A T U .
Bilamana dalam suatu keluarga tiada salaih seorang dari orang tuanya, pada hal di situ ada anak2nya yang belum dewasa, maka dalam sifatu wilayah yang susunan sanak-saudaranya b e r h u k u m i b u - b a p a seorang, orang tua yang masih ada itu meneruskan memegang kekuasaan ibu-bapa — melainkan bila anak 2 itu diserah kan kepada kerabat daripada yang mati itu, sebagai halnya di ka langan suku Dayak N gaju jiika suaminya iifcu adalaih orang asing. Bila mana dalam wilayah berihukum ibu-.bapa sedemi'kian itu kedua orang tuanya tidak. ada, maka wajiblah sanak-saudara2 (kerabat2) yang terdekat daripada salaih satu segi yang berkesempatan paling baik, memelihara anak2 pra/tiu itu. Justru dalam pada itu sudah ba rang temitu sangat pentingnya soal dalam suasaina apa anak 2 iitu terdidik dd masa orang tuamya masi'h (hidup. Juga soal .pembayaran di waiktu perkawinan orang tuarvya dulu ber pengaruh pula atas soal pemeliharaan tadi, sebagaimana halnya di kalangan beberapa suku2 Dayak di Kalimantan. Anak 2 yang sudah agak besar meng ambil keputusan sendiri menurut sukanya sendiri. Bagaimana saban 2 penyelesaiaawiya yang concreet sebagai akibat kedua faktor tadi, ia lah : sanak-saudara terdekat dan soal kesempatan terbaik (terlepas dari kecenderungamnya anak2) , maka hal ini adalah urusan kerabat. Jika tentang hal ini ada timbul kesitkaran2 atau bilamana tiada seoraingpun yang tersedia ataupun yamg tersedia itu adalah seorang yang tak cakap, maka di Jawa dan Madura untuk iitu diangkat seorang wali (voogd) oleh pengadilan landraad (bab II ordonnantie 31 Januari 1931, Stbl. no. 5 3 ). Bila di kalangan suatu suku bangsa bersusunan sanak-saudara s e g i s a t u salah. seorang orang tua meninggal durnia, yang t i d a k men/yera'hkan anak2nya di bawaih kekuasaan kepala 2 kerabartnya sen diri — jadi di Minangkabau yang maci itu bapanya dan di Batak, Lampung -dan Bali yang mati dan ibunya dalam perkawinan jujur — maka seorang orang tua yang masih hidup meneruska/n dengan seorang diri pegang kekuasaan kerabatnya. Bila dalam keadaan se demikian itu meninggal dunia juga seorang orang tua lainnya itu —
jadi dia yang menyerahkan anaknya dalam lingkungan kekuasaan kerabatnya sendiri — maka lantas nampaknya tegas ketegangan an tara keluarga dan kerabat. Di Minangkabau anak2 itu 'tetap berada. di bawah kekuasaan kerabat ibunya (yang mati) ; bapanya akan perdulikan kepada mereka sedemikian rupa sepanjang keadaan2 senyatanya mengizinkannya. D i kalangan orang 2 Batak, begitu juga di BaU maka ibunya anak2 sesudah matinya bapanya tetap sebagai pendidik anak2nya itu bertinggal dalam kerabat bapanya baik se bagai isteri daripada adik lelaki bapanya anaik2 (perkawinan ipar = zwagerhuwelijk), maupun sebagai janda. Bila ia ingin akan kem bali ke kerabatnya sendiri atau akan kawin dengan seorang lain, maka dapatlah ia bercerai dari 'kerabat suaminya, tapi anak2nya tetap berada di bawah kekuasaan kerabat bapanya tadi. Bila ter jadi hidup kékeluargaan menjadi lebih kokoh dari pada apa yang biasa sebelum itu, ialah sebagai aklbat pengembaraan atau keadaan2 lainnya, maka keadaan2 yang sudah benuibah itu dapat melanggar aturan pokok tadi dengan jalan memperguaiaikaji aturan pej-kecuaJia/ï demikian : „kecuali bila kepenitlngan anak2 mengharuskan mereka sampai dewasanya bersama ibunya merupakan suatu keluarga di’ bawah kekuasaan orang tua yaitu ibunya, dan dalam suasana kehi dupan di mana mereka sudah biasa” . T a p i barang-nya dapajt tetap diurus oleh kerabat fihak bapa itu, walaupun hasilnya harus diperuratuikkan buat anak2 itu. Bila kedua orang tua meninggal dunia, maka di susunan sanaksegi satu kekuasaan atas anak2 — artinya baiik petmeliharaan dirinya maupun barang2nya — jatuh (tetap) pada 'kepala2 ke r a b a t atau ter-t.ua2 'kerabat yang sudah menguasai keluarga itu selu ruhnya (ialaih berhubung dengan perkawinan orang tuanya) . sau dara
M e n g e n a i a k ib a t p e rc e r a ïa n p e rk a w in a n b a g i anak2, hal. 220.
4.
P E N G A M B IL A N A N A K .
0 j atas tadi sudah tersinggung, bahwa dengan jalan suatu per buatan hukum dapatlah orang mempengaruhi adanya pergaulan2 yang berlaku sebagai ikatan"2 'kesanak-saudaraan biologis yang dalam sosialnya telah ditentukan. Yaitu pertama ; halnya kawin ambil anaik (irdijfhuwelijk). Dalam susunan berhukum bapa, di mana kepala2 kerabat berkuasa atas dan akan diganti oleh anggauta2 kerabatnya yang bersanak-saudara dengan mereka menurut garis keturunan le laki, maka dalam hal ini dengan jalan perkawinan tanpa „jujur” kesanak-saudaraan biologis itu liwat si ibu dapat diberinya terus sedemikian rupa, sehingga anak2 yang akan lahir termasuk golong-
an kerabatnya si ibu (yang berhukum bapa) . T en tan g masalah ini di belakang lebih lanjut di ruangan „hufkum perkaw inan". Tentang memungut seorang ana/k yang 'tak termasuk golongan ■kerabat, ke dalam kerabat, sedemikian sehingga tim bul suatu hu bungan yang sama -dengan hubungan yang telaih diitetapkan dalam sosialnya atas dasar kesanaik-saudaraan biologis, maka perbuatan sedemikian itu adalah sangat umum di Nusarutara sini ; perbuatan itu diseibuit dalam bajhasa Belanda : „kindsaannem ing” ialali „adop tie”
(ambil anak).
Per-tama2 harus dikemukakan a m b i l ke dalam suatu golongan sanak-saudara
anak orang2 asing yang ‘kokoh ialah bagian
clan, atau kerabat. Anaik itu dilepaskan dari Hngkunganinya lama dengan serentak di-berikan taranya, beru.pa benda 2 berkhasiat (ma gisch) , dan setelah pembayaran sedemikian itu anak dipungut masuk ke dalam keraibat yang mengambil anak ; inilah am bil anak sebagai perbuatan tunai (hal. 106). Alasannya ialah kekhawatiran akan habis mati 'keraibatnya; keluarga yang taik beranaik itu dalam j>ada itu berbuat dalam lingkungan kekuasaan kerabaitnya dam ber sama kerabatnya ; si anak dipungut oleh sejodoli ibu-bapa, tapi perbuatan itu adalah urusan kerabat. Anak itu mendudwki seluruh■nya kedudukan anak kandung daripada ibujbapa yang mengambil anak dan ia adalah terlepas dari golongan sanak-saudaranya semula. Pengambilan anak itu dilaksanakan dengan upacara 2 (rites de passage) dan dengan pembamtuannya penghulu2, hal in i harus te■rang, harus ditingka/tkan dalam keterdban hukum masyara/kat (Nias, Gayo, Lampung, juga Kalimantan). D i M in a n g k a b a u rupa2nya „adoptie” itu tidak ada, di daerah perbatasan antara M in a n g k a b a u dan Mandailing ter-kadang2 sekali tempo ada, di Angikola tidak ada. K edua:
adoptie
di
Bali,
(nyentanayang)
terselenggara
hampir selalu d a l a m lingkungan clan besar daripada kaum ke luarga, yang kari'b menurut naluri (punisa), walaupun di masa akhir 2 ini lebih (lagi) diperbolehkan memungut anak2 berasal di luar lingkungan itu ; dalam be'berapa dusun juga sanak-saudaranya siisteri (daripada pradana) diambil anak. Bila bini tua tak m em pu nyai anak, tapi bini selir mempunryainya, maka anak2 itu ter-ikadang2 dengan jatlan adoptie dijadiikan anak^nya si bini tua. Bila tidak ada sanak-saudara lelaki yang dapat diambil ana;k, maika dapat juga seorang anak perempuan dipungut sebagai sentana. Anak itu dipu ngut dengan jalan perbuatan hukum rangkap, yaitu pertama dipisaihkan dari kerabatnya sendiri (dengan jalan membakar seutas benang sampai putu 6) dan dilepaskan dari ibu kandungnya dengan jalan pembayaran adat berupa seribu képéng beserta satu setel pa-
kaian perem puan, sesudah itu ia dihubung-kan dengan kerabat yang m em ungutnya : diperas. Suami yang mengambil anaik bertindak un tuk itu dengan persetujuan kerabatnya ; diumumkannya dalam de sa (siar), dari filiale raja harus dikeluarkan izin untuk itu, pegawai2 raja m enyusun sepucuk surat akte (surat peras). Alasannya ialah kekhawatiran akan meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan a'kan kehilangan garis keturunannya sendiri. Hadiah diberikan ke pada anaik itu sendiri, A n ak itu sesudahnya dipungut se-bulat2nya karib dengan anggauta 2 kerabatnya baru, pula mengenai hukum waris m aka ia sudah terputus dari kerabatnya yang lama. Sesudah m atinya si suami maka jandanya dapat mengambil anak atas nama dia (hal. 158). K e tig a : harus disebutkan bentuk pengambilan a n a k kemen a k a n 2 I a k i 2 (dan k . e m e n a k a n 3 p e r e m p u a n) di Sulawesi, Jawa dan di lain 2 tempat, bentuk mana ter-kadang 2 terdapat di sam ping pengambilan anak asing dan dapait di-beda2kan satu sama lain karena perbedaan sebu/tannya dan karena ciadanya pembayaran (Gayo, Pasemah, golongan 2 pepadon di Lam pung) . A dop tie kemenakan 2 ini adalah perkisaran dalam kerabat da lam arti luas (dapat dibandingkan dengan perkisaran milik tanah karena -penghibahan); pembayaran2 biasanya -tidak ada. Tetapi ter nyata di Jawa T im u r masih terdapat suatu aturan yang menyatakan bahwa adoptie di sana itu adalaih perbuatan tunai (kontante handeKng) yaitu pembayaran mata wang (berkhasiat) sejumlah rong wang sagobang (17Vi sen) kepada orang tua kandung sebagai senjatta penghobat untuk memutuskan ikatan anak dengan orang tuan
itu jarang dengan setahunya kepala2
dusun ; di tempat2 lain ter-kadang2 juga kepala2 kerabat dan penghulu 2 rakyat diberitahukannya tentang pengambilan anak itu ; di Pa' semah tindakan itu dibikin terang dengan jalan diberitahukannya ke-
pada segenap penduduk dusun yang terkumpul untuk itu, ialali : laman dusun. D i Jawa terdapat juga adoptie anak 2 asing, tapi adoptie kemenakan 2 sangat meJebiihi lazimnya ; hal ini m em peiH kakoh ikatan kekarabatan. Anak yang telah dipungut itu diperlakukan sama sekali sama dengan anak kandung, perihal ia telaih diam bil anak itu tidak di-sebut2 lagi. N am un jnengenai huikuim waris ia tetap berhaik atas warisannya orang tua kandungnya. Atas barang peninggalannya orang tuanya yang mengambilnya anak, m aka ia ada juga liak yang tertentu, tapi boleh jadi (juatru karena di sini adoptie ini bukannya urusan kerabat dan perbuatan itu tidak dibikin terang) tidak ber hak atas barang2 pusaika berasal dari warisan yang harus di.kemba^ liikan kepada kerabatnya si suarai sendiri atau -kerabatnya si isteri sendiri (hal. 247). D i Sulawesi Selatan terdapat juga dalam prakteknya penghibahan (toescheiding) .kepada anak angkat itu, tapi rupa2nya ia tak ada haik sebagai seorang waris di m ana tiada wasiat (abintes-taa t erfgenaam). Pada akihirnya harus disebut juga aturan ambil ana'k oleh seorang suami yang tak beranak dan yang di „adopteer” ialah anak2nya tiri (analk2 isterimya), sebagaimana antara lain terdapat di Rejang (mulang jurai) dan di sana perbuatan ini tidak diperkenanikan se lama bapanya anak2 tadi masih hiduip ; pula aturan itu terdapat di kalangan suku Dayak Maanyan Siung (ngukup anaq). Pengangkatan anaknya la'ki2 bini selir m enjadi anaknya laki2 bini tua membawa perubahan kedudukannya hulkum dan memberikan kepadanya hak atas penggaratian bapanya dalam martabatnya (L am p u n g ); di Bali, maka bila bini selir itu mempunyai tempait pemujaan sendiri, pemindaihan anak itu harus dengan upacara ambil anak lengikap, sebagaimana diuraikan di atas tadi. D i wilayah2 berhukum bapa sudah barang tentu anak 2 la'ki2 yang: diambil anak, melainkan (seperti benar2 terjadi di kepulauan Kei); bila memungut analk perempuan untuk memberi kesempatan supaya seorang anak la'ki2 dapait menempuh perkawinan anak 2 saudara bertianbal-balik (cross-cousin huwelijk) yang diharaipkan. Sama halnya dengan ini terjadi di Sumba ; adoptie anak perempuan ke dalam bagian clan berhukum bapa (kabisu) untuk kemungkinan suatu perkawinan dengan seorang pemuda dari kabisu lain yang ter tentu ; dan rupa2nya dapat dibandingkan dengan ini ialali halnya pemungutan seorang perempuan calon isteri raja pendeta Batak Si Singamangaraja dimasuikkan ke dalam marga go)ong:»n Lontung, ka rena Singamangaraja itu seharusnya kawin dengan pe* ^mpuan dari marga serupa itu. Mengenai pengambilan Oicrk0 pcrernpi.an oleili suk11 Semendo di Sumatra Selatan atau ololi suku- DctyaV Larvdak dan
Dayak T ayan , agar supaya mompunyai seorang anak perempuan yang tetap dapat mengurusi kekayaannya inti (hal. 234), anak perem puan m ana m endapat kedudukan-di atasnya anak2 laki2, maka per buatan sedemikian itu juga mudah dapat dimengerti. A doptie seorang laki 2 yang lantas kawin dengan anaknya perem puan si pengambil anak terdapat di Bali dan di T im u r Besar (di samping perkawinan ambil anak tanpa adoptie) ; terlepas dari pada hal itu tadi, maka biasanya yang diambil anak itu ialah anak2 yang tak berkawin ; pada umumnya yang mengaimbil ana'k itu berkawin (di Bali sekali tempo yang mengambil anak itu juga mereka yang tidak berkawin) dan yang sekian lebih tua dari mereka yang diambil anak sehingga yang terakhir ini — menililk perbedaan umurnya — andaikata dapait disebutkan anak2 kandungnya sendiri. M em batalkan adoptie itu pada asasnya mungkin daiam hal- di ma na ada kemungkinan mengusir anak (hal. 174) ; di Bali itu mungkin, karena banya'k sebab 2 lain lagi yang taik menyenangkan, begitu juga di Kalimantan, tapi di sini diharuskan pembayaran pelanggaran (deliots-betaling) yang tinggi. Suam perbuatan hukum yang harus disebutkan dalam hubungan ini ialah halnya seorang anaik perempuan yang dijadtkan „pelaniut keluarga (sentana) di Bali. Hanya anaV- laVi- stpemnggal ba panya dapat menerima harta peninggailannya dan dapat melanjutkan kedudukannya sebagai kepala keluarga (hal. 234). Bilamana ti dak a>da anak laki2- maka dapatlah seorang anak laki2 diambil anak, baik oleh si bapa, maupun oleh jandanya atas nama c^ia, bila si baHu niati. T a P* a^an gantinya itu dapatlah si bapa mengangkat ^ a k n y a perempuan menjadi sentana dan dengan demikian diberinllya hak 2 dan kewajiban 2n
pem indahan itu terjadi ba ik karena sudah ada pembayaran adat yang ditetapkan d i waktu dilangsungkan perkawinan, m aupun karena terlaksananya suatu pembaiyaran di belakang sesudah itu ( pedant, R e j . ) ; hal ini termasuk perbuatan2 tunai (hal. 106).
f
BAB
K E S E M B IL A N . H U K U M 1.
P E R K A W IN A N
B E N T U K 2 P E R K A W IN A N .
D apat dikatakan, bahwa m enurut hukum adat maka perkawinan itu adalah urusan ikerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, uru san derajat d a n urusan pribadi, satu sama lain dalam hubungannya yang sangat ber-beda2. Buat golongan 2 sanak-saudara, yang merupakan kesatuan2 atau masyarakat 2 hukum (bagian 2 dan , su/ku2, 'kerabat2) maka perkawi nan anggauta2nya itu (perkawinan lelaki2nya, perkawinan wanita2nya atau perkawinan ke-dua 2nya) adalah suatu usaha yang menyebabkan terus berlangsungnya golongan dengan tertibnya, suatu syarat yang menyebabkan terlahirnya angkatan baru yang meneruskan golongannya itu. N am u n dalam lingkungan masyarakat2 kerabat maka perkawinan itu juga selalu merupakan syarat untuk meneruskaai (berharap meneruskan) silsilahnya sendiri -cli masa datang buat keluarga yang tertentu yang termasuk dalam jnasyarafc.?* -itu, jadi ini adalah urusan keluarga, urusan Jbu-bapa. Bilamana golong an 2 kerabat 2 itu tidak merupakan nilai masyarakat2 hukum, tapi keluargalah yang primair (atau menjadi primair) dalam kehidupan hukum , m aka perkawinam itu — walaupun pengaruh sanak-saudara dapat terus terasa — adalah per-tama 2 urusan keluarga; anak- dan keluarga itu karena :perkawinannya, juga meneruskan garis hidup (sosial) orang >tuanya (atau salah seorang dari orang tuanya). Dalam hubungan 2 'kerabat yang segi satu, maka perkawinan itu adalah ju ga suatu syarat yang mengatur kesanak-saudaraan semenda (aanver wantschap) daripada golongan 2 itu ; perkawinan adalah suatu ba gian daripada lalu-lintas clan, yang menyebabkan bagian2 dan mempertahankan atau merobah kedudukannya keseimbangan dalam sukunya dan dalam lingkungan masyarakatnya seluruhnya, yang bersifat sudafh puas dengan seorang dirinya (zelfgenoegzaam). Dari sebab itulah perselisLhan2 hukum antara dua kerabat, perseteruan2 keraibat yang sudah berlangsung lama, ter-kadang2 diherotikan dengan jalan perkawinan lelaki dari kerabat yang satu dengan p e r e m p u a n dan kerabat yang lain (daerah2 Batak). Dalam masyarakat2 hukum yang merupakan kesatuan2 susunan rakyat, ialah masyarakat2 dusun dan wilayah, maka perkawinan ang gau
lalu mendapat hak 2 dan kewajiban 2 sepenuhnya dan sepenuhnya pula ber ta/nggung-jawab mereka atas keselamatan masyarakat da lam arti kata kebendaan maupun 'kerakhanian. Dengan jalan perkawinan (yang tepat) iitu juga maka kelas2 atau derajat2 di dalam dan di luar masyaraikat2 dipertaihankan ; de ngan demikian maka perkawinan itu adalaih urusan derajat atau kelas. Pelbagai funksi perkawinan itu kesemuanya ternyata dalam lia-1 bagaimana kepala2 «kerabat (kepala- clan ), orang tuanya dan kepala 2 dusunnya bercampur tangan dalam pemilihan perkawinan, dalam bentuknya perkawinan dan dalam pelalcsanaaimya perkawinan. Per kawinan sebagai peristiwa hukum harus mendapat tempatnya dalam ketertiban huikum, perbuatan itu haruslah terang, penghulu 2 masvarakat yang bersangkutan dalam pada itu juga menerima pembayaran 2 penetapannya. Namun — walaupun urusan keluarga, urusan kerabat dan urusan masyarakat — penkawinan itu senantiasa tetap urusan hidup perse orangan juga daripada fihak2 perseorangan yang kebetulan ber sangkutan dengan itu, urusan yang diingirtkan atau disegankan. Jalannya segala sesuatu daripada perkawinan pinang (aanzoekhuwelijk ), lebih2 bentuk3nya perkawinan lari bersama (vluchfchuwelijk) dan perkawinan bawa lari (schaakhuwelijk) imencerminkan kete gangan tadi antara golongan ummat manusia dan manusia sebagai perseorangan. Upacara2 mengenai perkawinan itu di m ana 2 mengandung faham 2 dan kebiasaan2 dari peribadatan „dynamisme” dan „anim isme” ; te tapi kesemuanya itu merupakan juga titik2 siinggung bagi agama2 wahyu Islam dan Kristen ke-dua2nya, yang mempengaruht adat2 per kawinan dan hukum perkawinan, masing2 dengan caranya sendiri2. A.
Perkawinan2 pinang, — lari bersama, — bawa lari (aanzoek xvegloop — , schaakhuwelijk).
Menurut cara bagaimana perkawinan itu dilaksanakan, maka da pat dipasang satudi samping yang lain dan satudi hadapan yang lain: p e r k a w i n a n pinang (aanzoekhuwelijk), per kawinan lari bersama (vlucht — of w e g l o o p h u w e 1 ij k) dan p e r k a w i n a n bawa lari (schaakh u w e 1 ij k ) . P e r k a w i n a n
pinang
{meminang, Ind., nglamar, J.)
mempunyai corak2 Indonesia yang sangat umum.
Fihak kesatu — kebanyakan fihak pemuda — dengan menghidangkan sirih mengajak fihak lainnya mengadakan perkawinan yang tertentu. Peminangan sedemikian itu hampir selalu dijalankan oleh seorang utusan atau seorang wakil, biasanya dalam pada itu dipakainya banyak2 peribahasa2 kiaisain yang muluk2. Fihak yang bertindak adalah golongan sekerabat, atau orang-tuanya dengan per setujuannya golongan sekerabatnya, atau juga orang tuanya sen diri, kesemuanya kebanyakan sesudah perundingan dengan mereka yang bersangkutan, atau yang ibersangkutan sesudaih perundingan dengan mereka. Saban2 disebutkan, bahwa baikal suami-isteri itu berpengaruh yang menentiakan atas pemilihan baikal jodohnya itu. Terhadap kebanyakan lingkungan 2 hukum maka bahan2 untuk soal ini adalah panjang lebar. Bila peminangannya itu diterima baik, maka ini bias'a-nya tidak sekaligus mengakibatkan perkawinan, me lainkan mengaikibatkan p e r t u n a n g a n dulu, yaitu persetujuan antara kedua fihak, di mana mereka satu sama lain bertimbalbalik berjanji mengadakan perkawinan yang tertentu ; ter-kadang2 — ini bukannya suatu keharusan — ditetapkan pada saat pertuna ngan itu hari bakal perkawinarinya, ditetapkan pula besar kecilnya pembayaran 2 perkawinan, dan dibuat perjanjian mengenai pemba yaran denda pelanggaran,' bilamana pertunangain dibaftalkan. Per janjian ini .baru mengikat kedua fihak pada saat diterimakannya hadiaih pertunangan (verlovingsgesohenk) ialah alat pengikat atau tanda yang kelihatan, yang .ter-kadang2 diberikan oleh fihak lelaki kepada perempuan, ter-kadang2 dari kedua fihalk, satu kepada yang lain (Batak,- Minangkabau, kebanyakan suku Dayak, beberapa 9uku Toraja dan suku T o Mori) ; mengenai alat pengikat dalam hu bungan umum lihatlah halaman 133. Di Miinahasa rupa2nva hal ini tidak terdapat. Di Aceh hadiah pertunangan itu. disebut tanda kong naritj ya-iitu tanda bahwa ,perjanjian -telah m engikat; di N ia s : bobo mibu, pengikat ranubut; di kepulauan Men'tawai: sesere, berasal dari sere yang berarti m engikat; di Sulawesi Selatan: passikkoq berasal dari sikkoq yang berarti m engikat; di kalangan suku Tobelo di Halmahera : tapu, yang berarti: jangkar; di kepulauan K e i : mas aye, mas pengikat; dalam bahasa Jawa : panjer dan paningset alat untuk mengikat (dari perkataan singset) , dalam bahasa Sunda: panyangcang, juga berarti alat pengikat, selanjutnya: tanda, cengkerem dan perkataan3 serupa itu. Hadiah rm menjadi milik kerabatnya, atau orang tuanya, atau si perempuan sendiri. Se kali tempo rupa2nya hadiah pertunangan dan sebutannya ini didasarkan atas tujuan la in ; demikianlah di kalangan suku Toraja, yang menyebutnya pujonpo dan di Bali, di mana sirih peserta 'hadiah
itu disebut basé panglarang, perkataan 2 m ana b e ra rti: alat untuk m encegah (orang 2 lain jangan sampad m engaw in pem u d i itu) . H adiah pertunangan selurilhnya d i Bali biasanya disebuit paw ew eh begitu saja, artinya p e m b erian ; d i desa T n g a n a n Pagringsingan pertunangan itu disebut masawen, artinya : m en aruh tanda larangan (dengan jalan m enghidangkan sirih) ; bu ah pikiran ya n g sam a terkandim g juga dalaun perkataan p o u gossi di kalangan T o L ain an g di Sulawesi T enggara. Sekali tem po perhiasan yang telah diterim akan kepada orang tuanya pem udi itu sesudah pelaksainaan perkawi nan dikem balikan, m aka sedem ikian itu disebut petaruh pertunangan (verlovmgspand) (Krinci). Tanda rasan orang 2 R e ja n g adalah bagian pertama daripada hadiah pertunangan yang diterim a o leh sipemudi sebelum ia m em berikan jaw abannya dan harus dikem balikaninya bila ia m enolak pem inangan, maika dari itu disebutnya juga gadai. Sudah barang tentu peraiSaan terhadap daya khasiatnya barang hadiah sedemikian itu sudah berkurang d a n tanda itu berobah arti nya m enjadi b u k t i, bahwa pertunangan sungguh 2 sudah ter jadi ; tapi m enurut pengalam an janganlah ldkas2 m engan ggap, bahwa kepercayaan 'terhadap daya 2 khasiat itu sudah lenyap. Kepercayaa-n itu di m ana 2 tetap ada artinya, bilam ana pertunangan m en jadi batal dan karenanya harus diurus pem batalan itu. Bilam ana pertunangan itu untuk mereka yang b elu m akil baliq, maka sudah barang tentu yang berbuat ialaih orang tuanya atau ke pala 2 kerabatnya : dalam halnya mereka yang sudah akil b a liq , m aka biasanya mereka yang bersangkutan ada hak bersuara. A 1 a s a n untuk bertunangan itu dapat am at ber-beda2. O rang dengan segera m enghendaki sudah adanya kepastian akan perkawin an yang diinginkan ; ter-kadang 2 orang mendapait pertolongan dari ba'kal menantunya ; di m ana pergaulan kelam in d i kalangan pem u d isebelum pertunangan ada bebas, m aka dikehendaki supaya pem udi itu segera m enjauhkan diri dari pergaulan itu, dan selanjutnya ka rena pertimbangan 2 lain 2 lagi yang bertalian dengan keadaan sosial. Biasanya berhubungan dengan pertunangan ini diadakan perjam uan makan, di m ana sanaik-saudara2 turut duduk berhadir, sedangkan per tunangan diberitahukan kepada penghulu 2 masyarakat agar supaya masyarakat turut m engikuti juga peristiwa hukum baru ini dan un tuk m endapat jam inan
perlindungan h u ku m
dengan ja la n
pem-
bantuannya penghulu 2 tadi. Pertunangan itu, lebih 2 orangnya yang bersangkutan, dalam bahasa Indonesia disebut tunangan, di B ali : buncing, d alam bahasa Jawa : pacangan d a n seterusnya. M em ancang anak peremuan yang masih m uda umurnya untuk dipinangkan
(misek) dengan anak laki2 yang tertentu - semacam pertunangan di muka - di kalangan suku Dayak Ngaju disebut mamupuh. Di beberapa lingkungan2 hukum mereka yang berkepentingan da pat memaksa dengan jalan istimewa, yaitu dengan cara „meminang dengan paksa" sehingga dengan demikian hampir tak dapat disebut ,,meminang” lagi. Di kalangan suku Dayaik Ngaju misaJnya si pentnda naik tangga masuk rumah si pemudi dengan membawa hadiah yang berharga dan ia tidak pergi lagi daxi situ, sebelum dimufa'kati bakal perkawinannya, atau sebelum di'bayar denda yang harganya sama dengan hadiah tadi. Dalam hal ini perkawinan seketika diadakan tanpa pertunangan. Sekali tempo pemudi juga dapat me maksa supaya dikawin, ialah dengan jalan mengurung si pemuda dalam rumahnya dan membabairkan barang2 hadiah, itupun bilamana ia.sudah hamil. Sepasang anak muda memaksa ke arah perkawinan (antara lain di kalangan Toraja) dengan jalan terus tinggal berkumpul satu sama lain di waktu pagi2 dalam rumahnya si pemudi. Sudah barang tentu pada saat terlaksananya pertunangan maka seketika berlaiku aturan2 mengenai larangan perkawinan dan kecenderungan perkawinan : lairaragan berkawin dalam lingkungan (bagi an) clannya sendiri (exogaimie), larangan untuk mengadakan hu bungan perkawinan yang berttmbal-balik, larangan2 mengenai antara pupu 2 kesanak-saudaraan mama yang tak boleh berkawin satu sama lain, larangan berkawin dengan bini yang sudah 'tercerai daripada sesama anggauta2 clan, kecenderungan ke arah anak perempuannya sa>udara laki2 ibunya, yaitu ke arah perkawinan „cross-cousin (per kawinan anaik saudara laki2 dengan anaik saudara 'perempuan) se gi satu, desaikan supaya berkawin dengan pemudi dari dusunnya sen diri, dan seterusnya. -Tambahan pula di banyak wilayaih seorang sau dara perempuan yang muda tidak boleh kawin sebelum saudaranya perempuan yang lebih tua sudah kawin. Larangan2 sedemikian itu adalah keras benar dan harus dijalamkan, atau dapat dicabut de ngan jalan pembayaran adat, yang menjadikan tawarnya akibat2 buruk yang ditakuti itu. Demikianlah ter-kadang2 dengan mudah (dan ter-kadang2 tak mungkin) berkawin dengan seorang sanak-saudara dari lain cabang kerabat dalam sesama lingkungan bagian clannya yang exogaam, sedemikian rupa sehingga sejak saat itu hanyalah cabang kerabat itu saja yang exogaam, bukannya lagi bagian clan yang lebih besar itu ; untuk itu perlu diadakan pemba yaran2
istimewa,
dan
perkawinan
itu
juga
dengan
terang2an
disebut penkawinan dengan membelah golongan yang exogaam (pecah suku, Rej., mcrubuh sumbai, Pas. dan seterusnya).
A k ib a t pertu n an gan itu ialah per-tam a2, bahw a satu fihak terikat p e rja n jia n u n tu k berkaw in dengan fih ak la in n ya ; tapi paksaan langsun g u n tu k berkaw in adalah ja ra n g sekali terdapat. A k ib a t2 h u k u m lainn ya darip ada pertu n an g an itu ialah : tim b u ln y a k eharusan m em berikan h ad iah 2 yang a m at .ber^beda2 m e n u r u t setem p at, ja d i : bilam an a tidak ada p em berian h a d ia h maika p e rtu n a n g a n d ib a ta lkan ; p erlin d u n gan terh adap si p ere m p u a n su-paya te rh in d a r dari pergaulan k elam in y a n g bebas, serupa caranya dengan terh adap pe rem puan yang telah 'berkawin (tapi bersetubuh dengan p e m u d i yang bertu nan gan tidaik di m a n a 2 tem pat disaimakan d e n g a n zinah) ; m u la i tim bu ln ya (ter-kadang2) pergaulan segan2 antara m e n a n tu lelaiki dan kedua m ertua. P em batalan pertunangan dengan ja la n perm u fak a ta n satu sama lain adalah urusan kerabat d a n urusan m asyarakat. Y a n g dianggap sebagai p em batalan pertu n an gan dari satu fihak (eenzijdig), m u n g k ir (Ind.) , ialah. b a ik m en g u ru n g k a n perkaw inan dengan ja la n m em berikan alasan2 ya n g patut kepada fih ak yang lain, m a u p u n m en gun durkan d iri dengan tiiada seb a b 2nya y a n g d i anggap patut. Y a n g bersalaih karenanya k e h ila n g a n tandanya. atau ia harus m engem balikannya berlipat, atau harus m em bay air d e n d a pe langgaran lainnya. Jum lah w an g pem bayaran itu diteta p k a n ju g a di waktu pertunangan. In i disebu t -dalam sebua'h b u k u kecil tentang M in an gk abau : kecil tanda ged a n g ikatan : h a d ia h pertu n an g a n sekecil itu m engakibatkan (b ila pertunangan batal) keharusan un tu k m em bayar denda yang leb ih besar. B ilam an a k e d u a fiihak d ia n gg a p iaima salalinya, m aka di m an a2 sebanyak m u n g k in d ip u lih k a n ke araih keadaan semula (tanda dik em balik an begiftu saja, da-n sebagainya) . D alam h u ku m Islam tidak ada pertunangan sebagai aturan hu ku m , jadi hakim agaffna tak tahu-m enahunya pu la . A tu r a n 2 h u k u m untuik orang2 Indonesia Kris-ten biasanya m en g a n d u n g ju g a suatu peraturan tentang pertunangan ; tapi u n dan g-u n dan g d alam Staats blad 1933 no. 74 tidak. Pada hari yang tertentu dilangsungkanlah perkaw inan itu . D a la m lingkungan h u ku m m an ap u n juga tidak dapat den g a n saksama ditu nju k saat m anakah saat terjadinya perkaw inan itu ; apakah pada saat m enerim akan hadiah2 perkawinan yang tertentu (di Sulawesi Selatan) , apakah perarakan kem antin laki2 ke ru m ah k em a n tin pe rem puan dengan d iirm g i oleh banyak orang dan berr-bagai2 baran g2 ; tentang pertem uan dengan upacara daripada k em an tin laki2 dan perem puan, penyelenggaraan pujaan dan serapah2, m a k a n ber-sam a2 (pembaiharuan hu bu n gan di antara daya2 yang h id u p ) , pem baya-
ran jujur, berkumpul sebagai suami dan isteri, itu semuanya adalah penstiwa2 yang di pelbagai wilayah2 ternyata termasuk sebagai saat pelaksanaan perkawinan. Sebaliknya hulkum Islam dan hukum Kris ten ada satu saat tertentu yang dianggap sebagai saat pelaksanaan perkawinan itu. Pe r ka w in an lari bersama (w e g 1 o o p jj u w e I ij k ) . Bakal sejodoh lari bersama dengan tiada peminangan atau pertunangan secara fomieel, ialah .penkawinan lari bersama atau sama2 melarikan diri (wegloophuwelijk of vluohthuweliik), maka hal m i, sudah cara umum dalam susunan 'kesanak-saudaraan yang berhukum bapa, dan juga terdapat dalam wilayah2 berhukum ibu-bapa, malaihan juga yang berhukum ibu. Maksudnya ialah untuk menghmdarkan diri dari ber-bagai2 keharusan2 sebagai akibat per kawinan pinang, lebih2 untuk menghindarkan diri dari rintan-an= dari fihak orang tua dan sanak-saudara2. Tapi perbuatan itu tidak selalu sungguh2 dicela oleh permilinya. Keduanya meninggalkan se pucuk surat atau suatu benda atau pula sejumlah wang d a b * rumahnya si pemudi (pemnggalan, Lampung), lalu menvelamatkan din di rumah seorang sanaJt-saudara atau di rumah seorang p c ^ uJ" masyarakat, dan perundingan* mengenai „jujur" dan sebagainya dimulai atas dasar kenyataan sudah adanya peukawinan itu (walau pun .pergaulan suami-isteri ter4adang2 ditunda, dan perundingan2 mungkin menghasiLkan : „perkawinan ambil anaik" (mLijfhuwelijk) ). Sdkali tempo — misalnya di kalangan2 suku Rejang di Lampung dan di kalangan beberapa suku Dayalk — rupa2nya penkawinannya masiih juga dapat dicegah oleh kerabat si pemudi (di mana si pe muda harus aikan menumpang dalam rumahnya). Karena perkawinan lari bersama ini, maika acapkali -pembayaran2 perkawinan (jujur, .pemberian perkawinan dan sebagainya) menjadi kurang; tapi 'ter-
dang2 raembawa lari perempuan dengan paksaan. H al yang pertama ini khaibarnya lerda-pat misalnya di Kalimantan; si pembawa lari diharusikan membayar denda kepada fill 2 k yang tersinggung, dan se lanjutnya harus membayar pembayaran3 perkawinan biasa. H al yang kedua ini adalah maksud „perkawinan bawa lari” misalnya di Lam pung dan Bali. Acapkali bedanya dengan perkawinan lari bersama sangat sukarlah untuk ditentukan. Bilamana pemudi itu dibawa lari sungguh-, maka si pemuda itu dapat dibunuh sebelum ia sampai di tempat sembunyiannya atau di tempat perlindungannya. Sesudah sampai di tempat perlindungannya itu, maka sem pa perkawinan lari bersama, diselenggarakan upacaranya, yaitu menerimakan jujurnya, semuanya itupun bilamana sudah terjadi pergaulan secara suami-isteri. Jalannya penyelesaian adalah sama dengan halnya per kawinan lari bersama ; dalam hal ini maka acapkali pembayarannya amat tinggi. Karena itu di Sulawesi Selaitan pelarian pemuda dan pemudi biasanya disebut „bawa lari” (schaking), dan kaiena perbuatan itu senantiasa menimbulkan perlawanan hebat dari fihak sanak-saudara si pemudi, yang lalu memperoleh hak untuk m em bumih si pemuda. B.
Perkawinan- jujur, — mengabdi, — bertukar, — mengganti, — meneruskan (bruidschat —, dien ruil —, vervang —, en vervolg huw elijk); perkawinan dengan pembayaran2 lain atau tanpa pembayaran ; perkawinan ambil anak (inlijfhuwelijk).
Tentang hubungan bemtuk perkawinan dengan susunan sanaksaudara maka hal ini sudah dibicarakan dalam uraian yang sudah2,. di lebih dari satu ruangan ; berhubung dengan itu per-tama2 akan ditinjau di sini beda2nya, macam2 perkawinan yang tercantum di atas. T a p i terlebih dulu 'harus di sini dipasang peringatan um um, ialah bahwa rupa2nya di seluiruh Nusantara karena upacara peralihan (overgangsrite)
yang
terpenting
ini,
terjadi
pertukaran2 hadiah.
vang tertentu. Di mana2 da/lam pada itu ada pembayaran2 menurut naluri di waktu perkawinan, terdiri dari wang atau benda ; arti isti mewa daripada masing2 hadiah itu adalah jauh daxi pada di/ketahui orang, kebanyakan juga sudah menjadi samar2 dan lenyap dise* babkan oleh perobahan2 yang mendal&m dalam susunan sosial, tapi di tempat2 lain arti ini masih ada terang dan bening. Perkawinan tanpa pembayaran adat apapun juga adalah suatu bentuk istimewa seperti „perkawinan ambil anak” , atau, rupa2nya suatu perkecuali an yang jarang sekali
a d a ; yaitu suatu gejala
daripada
proses
kepribadian yang kuat atau daripada pengaruh agama Kristen. Ju-
ga di sini oleh karenanya ada bahayanya menyama-ratakan, pula di sini dibutuihkan peristilahan yang hati2. D i antara ber-bagai2 bentuk2 perkawinan adalah kebalfkan yang pa lin g luas artinya : di satu fihaik perkawinan untuk mempertahankan susunan sanak-saudara2 berhukum bapa yang konsekwen, yaitu si perem puan dilepaskan dari golongan sanak-saudaranya dan berpisah (sebagai anggauta keluarga semenda) ke golongan sanak-saudaranya si suaxni, anak2nya termasuk dalam clannya, cara perkawinan lain tidak ada, misalnya : di kalangan suiku Batak T o ba ; berhadapan de ngan itu (di lain fihak) perkawinan yang mempertahankan susunan sanak-saudara2 yang konsekwen berhukum i b u ; si isteri tetap tinggal dalam golongan penmiliroya (suaminya tetap tinggal di golongannya sendiri) anak2nya termasuk clannya si isteri, perkawinan secara lain tak ada, misalnya : orang2 Minangkabau. Perkawinan yang pertama itu selalu disertai dengan pembayaran2, sedangkan orang insyaf benar2 akan maksudnya itu, yaitu dengan demikian memiing-kmkan beralithnya si perempuan, dan melepaskannya beserta anak2nya nanti dari hubungan clannya, membebaskan dia dari kekuasaan dewarumahnya (B a li). Oleh karena itu boleh jadi sifcc rangkap azi-ip*da perkawinan ini dapat dipandang demikian : dari
sa tu
sudut, pe
rempuan dan pembayaran2 lainnya itu adalah bagian ( an pusa daripada lalu-lintas clan, yaitu pertukaran nilai (waardenruil), yang menggerakkan segala sesuatu ; dari sudut lainnya, pembayaran de ngan m ata wang dan barang2 itu adalah syarat „magisci untu melepaskan perempuan itu dan mengalihkannya (bersama anak-nya) dengan üada mengganggu keseimbangan2 „.kosmisch dan sosial. Perkawinan yang tersebut di nomor dua nu (berhukum ibu) barangkali juga disertai dengan pertukaran hadiah2 tapi si Pe™m'P“ * dalam pada itu bukannya bagian daripada pertukaran nilai, dia tidak dilepaskan dengan syarat barang2 yang dipindahkan tangan, per tukaran hadiah2 dalam suatu perkawinan itu dalam masyarakat- yang tersusun berdasarkan hukum ibu adalah suatu urusan yang tak se berapa artinya. P e n y e r a h a n wang dan barang- dari fi a suaini pada kerabatnya a isteri dengan maksud memasukkan m .sten ke dalam golongan si suami, sedemikian rupa sehingga anak-nya yang akan lahir sebagai angkatan mudanya bagian clannya s. suami untuk meneruskan clannya, itulali j u j u r T U ' , „h a yang se-itepat2nya (dalam arti tekhnis hukum adat). ^ r t u t a a n £ ' rang2 atau hadiah2 lainnya selain dari pada itu, yang diadakan k rena perkawinan, seharusnya diberi sebutan dengan istilah lain^ ja di perkawinan jujur itu
(untuk mempertahankan susunan huk
bapa) adalah perbuatan tunai (kontante handeling) d alam arti ter sebut di atas (hal. 106). Perkawinan untuk m em pertahankan susunan hukum ibu dapat disebut (negatief) perkaw inan tanpa pem bayaran2 (d an tan pa lain 2nya) ; si suam i diizimkan m asuk kepada (kerabat) isterinya, dengan tiada beralih m en jad i satu dengan golongannya , si perem puan dengan anak2nya tetap berada d alam lingkungannya sendiri, si suam ipun begitu juga. Suatu kebali'kan dalam bentuk2 perkaw inan dengan tidak sebegitu jauh m aksudnya, ialah : d i satu fihak .perkawinan ju ju r dan di lain fihak perkawinan tanpa ju ju r, ,pada h a l 'ke-dua-nya d a l a m lingkungan susunan sanaik-saudara berhukum bapa, yaitu p e r k a w i n a n a m b i l a n a k (i n I ij f h u w e 1 ij k ) , yang (kadang2) bermaksud m en gam bil si suam i itu sebagai anak laki2nya dan supaya (selailu) anak2nya si isteri yang akan lahir m eneruskan clannya bapanya si isteri, yang berh u ku m bapa (hal. 178). D alam pada itu sekali tem po orang dapat m em baca, bahwa si lelaki dilepaskan dari clannya secara seperti apa yang terjadi diperkawinan jujur terhadap si perem puan (B ali, Sum ba) , ya itu den g a n pem ba yaran juju r untuk kem antin lelaki (bruidegom schat) ; kadangjuga dapat terbaca, bahwa si lelaki d ia m b il anak (adoptie) dan masuk. dalam clannya si perem puan (hal. 1 8 4 ); si lelaki (orang luaran atau orang sesama anggauta masyarakat) kebanyakan diizinkan masuik ke kerabat si isteri (yang berhukum bapa) tanpa pem ba yaran suatu apa. D i halam an 178 bagian atas telah dibentangkan, bahwa bila perkawinan ju ju r ber-ulang2 terjadi sam a seringnya dengan perkawinan am bil anak terjadi, m aka -hal ini m engakibatkan susunan sanak-saudara segi satu ber-ganti2 (alternerend een zijdige verwantenorde) dan bila perkawinan a m b il anak ini m en jadi lazim, maka hal ini pasti m engakibatkan susunan h u k u m ibu (yang tidak berarti ditetapkan di sini, bahwa susunan huikum ibu itu selalu secara dem ikian terjadinya, w alaupun deng.in cara dem ikianlah tim bulnya susunan hukum ibu di Saparua dan d i kalangan suku Semenda d i Palem bang, suku m an a berasal keturunan dari suku Pasemah, yang berhukum bapa) . Kebalikan yang m engandung m aksud paling sem pit yaitu ; d i satu fihak perkawinan ju ju r yang „tu n a i” , di lain fihak suatu perkawi nan yang pembayarannya ditunda, atau, suatu perkaw inan di m ana suami dan isteri sudah m em ulai h id u p berkum pul, tapi si suam i be kerja m engabdi kerabat .mertuanya sam pai ju ju rnya terbayar lunas ( p e r k a w i n a n m e n g a b d i =* d i e n h u w e l i j k ) , atau di lain fihak suatu perkawinan dalam suatu susunan, di m ana
diperbolelikan mengadakan hubungan2 perkawinan bertimbal-balik (jadi^dt mana tidak ada „asymmetrisch connubium"), di mana seakan2 pembayaran2 jujur yang harus dipenuhi bertimbal-balik diperhitungkan satu dengan yang lain sehingga menjadi hapus keduaanya ( p e r k a w i n a n bertukar — r u i lh u we 1 ij k) ; atau, pada akhirnya, bila seorang lelaiki dari sesama clan meneruskan perkawinannya saudaranya laki2 yang mati (sesama ang gauta clan), atau, bila seorang perempuan mengganti perkawinannya saudaranya perempuan yang mati, kesemuanya tanpa pembayaran jujur baru ( p e r k a w i n a n mengganti dan p e r k a w i n a n m e n e r u s k a n = v e r v a n g - en v e r v o l ® , h u w e 1 ij k ). Dtia (tiga) jenis pokak bentuk perkawinan, yang telah dibicarakan sampai sekarang in i: perkawinan jujur (berhu kum bapa), perkawinan tanpa atau dengan lain pembayaran (berhu kum ibu) dan perkawinan aunbil anak (berhukum bapa), kesemua nya ada pada susunan sanak-saudai'a segi'satu, dengan bagian clannya (kerabatnya) sebagai masyarakat hukum. Di mana bagian clan itu tidak (tidak lagi) merupakan masyarakat hukum, namun di situ dapat dikenal kembali suatu susunan sanak-saudara berhukum bapa, misalnya dalam hal larangan2 perkawinan dan dalam hal cara2 mewarisnya nama, kedudukan dan barang2 (Ambon, Bali), walaupun dalam pada itu ada corak2nya hukum ibu-bapa, misalnya persamaan hak si suami dan si isteri atas barang2 yang diperoleh dalam perka winan ; dalam hal ini terdapat ju g a : perkawinan jujur beserta bentuk- yang termasuk situ, pula perkawinan ambil anak. Bilamana dalam susunan berhukum bapa titiknya pangkal: dengan jalan >,jujur anak- (jadi sungguh2 semua anak2) beralih ke pada kerabat si suami —, dengan jelasnya di Sulawesi Tengah titik nya pangkal ialah : dengan jalan pembayaran jujur (yang juga perlu agar supaya anak2nya itu tidak menjadi pandir) maka si su ami mendapat hak atas anak2 yang sama dengan haiknya si isteri atas mereka (jadi tergalang di sini susunan berhukum ibu-bapa) ; bila tiada pembayaran jujur, maka anaik2 tetap berada sama sekali di luar kerabat si suami. Itulah sebabnya mengapa misalnya sanak-saudara si suami sematinya suami itu dengan lekas2 melunasi jujurnya, bi* lamana jandanya akan kawin lagi, yaitu untuk menjaga jangan sampai suaminya nomor dua — dengan jalan seketika membayar penuh jujur tadi — mengambil untuk dirinya anak2nya suami per tama itu. Namun dalam kebanyaikan daerah2 yang berhukum ibu-bapa, ma ka funiksi bentuk2 perkawinan yang dibicaraikan tadi, sudah lenyap dasarnya. Walaupun demikian hampir di mana2 terdapat aturan pem-
bayaran2 perkawinan, yang beberapa d> antaranya past, bers.fat ju jur, yaitu sisa daripada susunan hukum bapa d . zam an am pau ; atau terdapat penukaran hadiah* yang berasal dar, susunan clan dulukala ; kese^uanva itu dalam susunan hukum ibu-bapa yang berlaku pada sekarang s u d a h m e m p e r o l e h arti sen d u i dan t o lam , yang hanya dapat dimengerti dalam lingkungannya send.ri^ Pem bayaranitu seharusnya tidak d i s e b u t dengan istilah : ju ju r. Bilam ana duerimakannya kepada si perempuan pribadi, m aka pem bayaran- itu di sebut p e m b e r i a n p e r k a w i n a n (huwelijksgift), sebagaimana mas kawin b e r a s a l . d a r i hukum Islam , yang telah terterima (gerecipieerd) oleh orang2 Islam di mana* ; selanjutnya dapat disebutnya hadiah perkawinan atau pembayaran perkawinan, w alau pun dalam istilahnya Pribum i tetap m engandung kenangan akan „ ju ju r ” sebagai bagian daripada perbuatan tunai (tukon, J.) . M engenai beberapa dari bentuk2 perkawinan yang tersebut tadi perlulah diadakan peringatan2 lebih lanjut. Istilah2 untuk ju ju r dalam arti tekhnis ialah m isalnya : beuli niha (N ias e atan) , unju (G ayo) , unjung, sinamot, pangoli, boli, tuhor (Batak), juju r (T a p a m ili Selatan dan Sumatra Selatan ), seroh (L a m p u n g), kule (Pasemah), wilin, beli (M a lu k u ), belis (T im o r ), patukun luh (Bali) . Sepanjang istilah2 tadi berasal dari a'karnya perkataan2 yang m e ngandung m a k su d : „b e li” , „w ang pem b elian " (d a n p a d a ta n a h ), maka sedemikian itu m enunjukkan ciri yang bersama (yaitu ciri yang menyebabkan kedua perbuatan - perkawinan ju ju r dan per janjian tanah - disebut perbuatan2 tunai) : ialah m elepaskan se suatu bagian dari suatu hubungan kehidupan, yaitu suatu lingkungan kehidupan, dengan jalan suatu perbuatan yang m encegah bakal kelemahan dan ba'kal kerusakan dalam keseimbangan (evenwichtsverstoring) sebagai akibat pelepasan bagian tadi. Istilah2 „w ang antaran” di daerah M elayu dan „ tu k o n " di Jawa adalah ter-kadang2 dalam arti pada masa sekarang berm aksud : pem bayaran2 perkawinan yang tidak ada (tidak ada lagi) hubungannya dengan berlakunya „ju ju r” sesungguhnya. Pem berian2 p n a m ee di Aceh, pekain di kalangan suku2 Dayak di Kapuas U d ik , sunrang dan som pa di Sulawesi Selatan, hoko di M inahasa, kesemuanya itu rupa2nya adalah
(menjadi)
pemberian perkawinan
(huwelijksgift)
belaka. Pembayaran2 perkawinan daripada orang2 Dayak pada um um nya bersifat
pertukaran
hadiah2 dan
penguat
bertim bal-balik,
tanpa
daya pelepas yang ada pada juju r ; m alahan tali pusernya si suami
yang telah dipotong dan tersimpan, sesudah pembayaran2 perka winan dikumpulkan jadi satu dengan potongan taili puser si isteri (dan ini perbuatan tidak terbalrk) untuk menyatakan kerukunaimya dengan jalan kebendaan ini. Barang2 yang dkerimakan sebagai pembayaran perkawinan harus juga disimpan jadi satu dengan benda-2 tersebut di atas. Juga di akhirat anak2 tetap'kuinpul ibunya, se-tidak2nya mereka ditaruh dalam peti penyimpanan tulang2 ibunya, melainfkan bila si suami menambah lagi dengan pembayaran istimewa (di suku Maanyan di-sebutnya pangidaran para) hal mana berakibat bahwa tulang-’ anak2nya dikumpulkan dalam peti penyimpan tula*;g2 si bapa. Pembayaran i t u l a h barangkali sungguh2 harus disebut: jujur. Pemberian perkawinan (huwelijksgift), begitupun jinamee di Aceh, sunrang di Sulawesi Selatan dan mas kawin di kalangan Is lam ter-kadang- adalah syarat sahnya perkawinan, walaupun di Su lawesi Selatan pembayaran itu dapat dilaksanakan dalam angan2 saja (fictief) dengan jalan meminjam sunrang (sunrang niinrang) itu , dalam perkawinan jujur maika jujurnya itu sukar untuk dapat disebut syarat mutlak buat sahnya perkawinan, tanpajujur tidaik ada peikawinan jujur. Ttikon di Jawa itu tidak pernah se-kali- mengandung inaiksud lain dari pada suatu pertolo ngan dari fihak lelaki dalam pengeluaran belanja untuk pesta per kawinan, demi'kiarclah dianggapnya orang. Jujur (dan pembayaran- pevkavanan lainnya) di mana2 mem punyai cora'k setempat, yang disebabkan oleh'. perbedaan dalam su sunan jujur, pengaruh bedanya kelas, caranya mengumpulkan dan mem-bagi2 jujur itu dan perbedaan dalam banyak keadaan2 lain lagi. Acapkali jujur itu terdiri dari benda2 yang tinggi nilainya da lam arti khasiat „magisch" (tengkoralk2 hasil pengayauan, budak2, tanah, porselein, tenunan, mas); ter-tkadang2 dan kemudian terdiri dari sejumlah wang. Karena benda2 yang dipergunakan untuk pembayaran jujur itu dinilai ekonomis (wang), maka jujur itu mendapat si fat yang memedihkan hati, yaitu jujur lantas disamakan dengan wang pembelian dan perempuan disamakan dengan barang yang dibeli, walaupun anggapan kolot — ialah bahwa seolaih2 perempuan dalam daerah2 berhukum bapa karena perkawinanjujur itu sebagai „barang belian” berkedudukan rendah dalam masyarakat — di masa sekarang kenyataannya sudah lenyap. Usaha2 melarang dan mengesampingikan pembayaran jujur itu dalam ketertiban hukum gubernemen — usaha2 arana bertalian dengan ang-
ga,pan 2 salah tadi - di mana* tak b e r i i a s i l dan tak m enghapuskan aturan ju ju r itu dari ketertiban hukum di masyarakat- atau dt ke1»*» atasan. A pakah tarip= yang disusun oleh fihak raja- dan fihak gubernemen pernah ada pengaruhnya atau m asih erpengaru 1 , m a a hal ini talk dapat diketahui dengan pasti. H a m p ir se a tl ao ia I1 tentu daripada ju ju r ada penguiitukannya sen iri , yaitu ai a rang2 itu diberikan se-mata2 untuk (golongan ) sana sau ara ter tentu daripada si pem udi (dengan ma'ksud m enguraikan lepas pe m udi itu dari hubungan2nya satu dem i satu, -dan dengan ja an demikian se-akan2 m em ulihkan >kerugian2nya sam pai pada perinct a n n y a), m aupun seperti dikatakan bahwa pem bayaran2 itu dicukup! untuk apa yang dikatakan „m enaïk tangga , „a la t pengikat kera bat2” , „pengganti pisau pem otong tali puser si perem puan di wak tu lahirnya” dan sebagainya. Jum lah wangnya adalah di m ana2 ber-beda2 m en uru t derajat siperempuan (hal. 38). M alahan di daerah yang perbedaan kelas kurang nampaknya, nam un orang2 kebanya'kan tidak boleh m em bayai dan m enerima ju ju r yang lebih dari pada yang sudah ditetapkan buat golongan mereka ; ini adalah dianggapnya pelanggaran terha dap haik2nya orang2 besar secara tak halal, h al m ana m em bahayakan ketenteraman masyaraikat. Ter-kadang2 ju ju r itu besar-kecilnya jumlahnya tergantung dari besar-kecilnya ju ju r yang da h u lu dibayarkan untuk ibunya si pem udi. Jujur untuk perawan adalah selalu lebih tinggi dari pada ju ju r untuk perem puan yang telah tercerai atau untuk janda. D alam lingkungan h u bu n g a n 2 perka winan segi satu seperti d i kalangan orang2 Bataik, di M a lu k u dan di kepulauan T im o r , maika dalam perkawinan yang diselenggaraikan tidak dalam lingkungan hubungan2 kesanafc-saudairaan sem enda yang sudah ada — jadi mengafcibatikaTi hubungan sanak-saudara semen da yang baru — m aka dalam hal ini jumlaihnya ju ju r yang harus dibayarkan ada sangat lebih tinggi dari pada ju ju r biasa. B ila ke adaan2 sosial berubah sedemi'kian sehingga bahan2 yang asli daiipada suatu ju ju r tidak dapat dihasilkan lagi (tengkorak2 hasil pengayauan, budaik2 dan seterusnya) atau sehingga ju ju r itu m e nurut perim bangan sudah m enjadi ketinggian sam pai tak dapat dipertahankan dalam arti ekonomis, maka amat acapkali dipertahankanlah sampai lama ju m la h 2 dan bahan2 lam a itu, tapi hanya d a lam p e r k a t a a n 2 saja, dan pada kenyataannya digantinya dengan 'benda2 yang kurang nilainya atau benda2 lain (barang2 ramban, Lam pung) atau dengan w a n g : kebiasaan sedem ikian itu dapat juga ada pertaliannya dengan penguntukan khusus daripada bagian2 tertentu daripada ju ju r itu.
Suatu jujur sesudah „pembawaan lari” adalah lebih tinggi, se sudah „pelarian bersama” . seringkali lebih rendah, tapi juga ’adakalanya lebih tinggi, dibandingkan dengan jujur biasa. Mengenai siapa yang berusa’ha mengumpulkan jujur dan siapa yang menerimanya, maka hal ini sudah barang tentu lagi ada hubu ngannya erat dengan -keadaan masyarakatnya pada umumnya ; ter-kadang2 suatu golongan besar sanak-saudara2 (clan seluruhnya atau suku) memberikan sumbangannya untuk itu, tapi ter-kadang2 hanya orang tuanya si suami yang menghasiikan jujur itu seluruhnya. Di kalangan pelbagai suku2 bangsa terdapat pengaruh bertim bal-balik yang selalu berlaku dan dipelihara baik2, antara : ikut membayar jujur, hak atas ikut menikmati jujur dan hak atas meminta bantuan untuk pembayaran ju ju r; ini adalah juga : bagian dari pada lalu-lintas clan. Di samping akibat hukum daripada pembayaran jujur (kepindahan si isteri ke golongan sanaik-saudara2 si suaoni dan masuknya anak2nya ke golongan situ) timbullah akibatnya keuiasyajafkatau, falah kewajiban akan pembayaran kembali jujurnya bila perkawi nan terputus, hal mana menyebabkan kokohnya ïkatan perkawinan itu.' Tentang pengembalian sebagian daripada pembayaran, (misalnya menurut khabar dari Pasemah dan Bali : sebagian daripada jujur, di Aceh menurut kebiasaan sebagian daripada hadiah perkawinan, hal mana juga terdapat di Minahasa dan di tempat2 lain, pula de ngan sengaja tetap dipinjamnya sebagian daripada jujur atau hadiah perkawinan (misalnya di Pasemah, beberapa suku2 Dayak, Toraja, di Halmahera, Timor dari Jawa), ‘begitu juga pembe rian kecil setiap tahun dari si isteri kepada kerabatnya asal (Am bon) , maka kesemuanya itu berarti suatu pernyataan daripada suatu hubungan menerus sesudah perkawinan antara perempuan tadi de ngan kerabatnya asal — makin mendalam diarti'kan demikian ju jur itu, sudah barang tentu maikin mendalam pula funksirrya ; dapat juga jujur ku sudah menjadi naluri (traditie) yang kosong. Hadiah pembalasan dari fihak perempuan, yang misalnya dikhabarkan dari Sumba (sepotong kain bereulamkan benang mas, seekor lembu, seefcor kuda) dan dari Roti (hewan2 dan kain2) barangkali berarti sebagai bagian daripada pertukaran barang3 dalam lalu-lin tas, seperti juga ragi-ragi di kalangan suku Bataik Toba. Hadiah pembalasan yang ber-ulang2 terdapat di Kalimantan rupa2nya harus diartikan sebagai bersifat sama dengan pembayaran2 biasa dari fihak
lelaki, y a itu : m em ulihkan keseïmbangan sihir (m agisch), pengaruh „m a g is" yang m enim pa anggauta kera a i a e a
,
rena ia m enyentuh si perempuan. T en ta n g barang2 yang dibawakan si perem puan di waktu perka winannya dan dalam lingkungan im bangan2 ber um apa kuat si suami m endapat hak atasnya, tapi di tem pat ain tetap 1 si isteri sendiri dan juga adakalanya, tapi jarang, m en jadi m ilik bersama jadi : b a ra ng b a w a a n n r y a (uitzet) dalam arti ekonomis ter-kadang2 m erupakan suatu penggantian dar. pada jujur itu : dalam arti hukum adat m aka barang baw aan 61 isteri itu sama sekali lain sifatnya dari pada ju ju r. Barang baw aan ini artinya ham pir sama dengan sebagian kekayaan keluarga yang dihibahkan kepada si pem udi, yang toch ikut m em punyai hak atasnya tapi karena perkawinannya, ia kehilangan hak2 atas kekayaan keluarga tadi (hal. 240) . Sebagaimana telah dikatakan, m aka p e r k a w i n a n me n g a b d i (d i e n h u w e 1 ij k) itu adalah suatu ragam d a n pada perkawinan jujur, suatu cara berkawin yang diluluskan ber dasarkan atas sebab2 yang ipraktis bilam ana orang tidak m am p u membayar jujurnya sekaligus (mandinding, Batak ; ering beli, di kalangan Paminggir d i Lam pung ; nunggonin d i B ali, dan sebagai nya) . Si suami tidak dipungut masuk dalam kerabatnya si isteri . anak2 yang terlahir dalam masa pengabdian itu biasanya termasu golongan sanak-saudara2 si isteri dan bukannya golongan si suam i , tapi mereka di belakang pindah ke golongan si suam i bila jujurnya kelak dibayar lunas. T a p i di kalangan Batak T o b a , m aka dalam per kawinan mengabdï atau perkawinan m enum pang rum ah (inw oonliuwelijk) anak2 sekaligus termasuk dalam marga bapanya. Suatu ben tuk daripada perkawinan mengabdi, ialah disebut ngisiq terdapat di kalangan Paminggir di Lam pung, di sini m aka jasa si suami terdiri dari pemberian nafaqaih kepada anggauta2 kerabat si isteri. Perka winan mengabdi di Bali dapat m engandung isi semacam itu juga. D i T apanu ii Selatan terdapat kemungkinan bahwa salah seorang da ripada anak2 perempuan diberikan kepada kerabat si isteri, bilam ana perkawinan diputuskan sebelum jujurnya terbayar, itupun supaya juju r yang kelak akan dibayarkan untuk anak perem puan itu dapat dianggap sebagai juju r untuk ibunya. D apat disamakan. dengan in i ialah aturan antara lain di kalangan salah satu dari suku2 kecil di T im o r, di m ana seorang anak perempuan diberikan kepada kerabat si isteri, bila tiada pembayaran jujur. D i mana pada um um nya tim bul suatu ketidakmampuan untuk menghasilkan ju ju r, m aka ada-
kalanya perkawinan mengabdi itu dapat beralih menjadi perkawin an yang lazim sebagai pengganti bentuk perkawinan jujur, dengan akibat2rrya yang mendalam terhadap hukum kesanak-saudaraan yang telah dibentangkan di atas (hal. 178, 196). P e r k a w i n a n bertukar (r u i lih u we 1 ij-k) ada lah lazim dalam lingkungan di mana hubungan2 perkawinan bertimbal-balik sudah ada; sudah barang tentu hal itu tidak mungkin da3am lingkungan „asymmetrisch connubium”. Di mana bentuk tadi ter larang atau ditakuti dalam lingkungan susunan sanak-saxidara berhu kum ibu-bapa, maka haruslah orang menyadari bahwa ia di sini menjumpai suatu bentuk perkawinan yang 'ie\ah tidak terpakai lagi, di mana larangan itu dulu ada artinya. Di Jawa misalnya hal itu tidak •diinginkan dan ditakuti, yaitu rentetan perkawinan2, yang menyebabkan orang tua kedua fihak jadi dua 'kali berhadapan satu sama lain sebagai: orang tuanya kemantin la!ki-perempuan ialah sebagai bésan; suatu kebésanan yang rangkap membawa .kecelakaan. Akan tetapi ter-kadang2 orang sangat cenderung kepada suatu petfkawinan yang menyebabkan bahwa orang tua kedua fihak dua kali menjadi bésannya. satu sama lain (Begelen) asal saja jangan sampai anak sulung berkawin dengan anaik bungsu dan anak bungsu dengan anak sulung. Di Ambon ada (menjadi ?) kecenderungan terhadap perkawinan berganti atau perkawinan bertukai (uisse of ruilhuwelijk) ini, sebagaimana juga halnya misalnya di ka angan T o Lainang di Sulawesi Selatan bagian Timur, di pulau
a' u’
Iria n Barat d a n di tem pat2 lain lagi.
^r t u * .
M en gen ai perkawinan
dalam artikata bahwa suami2 menukarkan isteri-nya, m a'a *a sefkali tempo pernah dikhabarkan orang dari K alim an tan , a tapi rupa2nya tak penting untuk diindahkan. Perkawinan seorang lelaki dengan saudara perempuan isterinya yang meninggal dunia, di mana isteri kedua ini tanpa pem jujur se-akan2 menduduki tempat isteri yang pertama, p e r k a w i n a n meneruskan ( v e r v o l g h u W e »J ) — di Pasemah misalnya disebut timgkat; di Jawa Tenga i Pei -winan dengan ipar perempuannya itu disebut karang widuKebalikan dari pada itu, ialah p e r k a w i n a n me n g g an ti — (leviraathuwelijk atau v e r v a n g i u we 1 ij k) — (pareakhon di kalangan Batak Toba, ** j^ i^ ia n an win anggau di Palembang dan Bengkulen, nyemalang i ^da^segolongan2 pepadon di Lampung, dan sebagainya) terJa 1 orang janda yang menetap dalam kerabat suaminya yang te Itawin dengan adik laki2 dalqm arti kata menurut „abunya
katori5oh) daripada suaminya yang m eninggal unia tadi. Jems, perkawinan ini adalaJi perangai daripada lingkungan hukum apa dan sebagai penyiku (complement) daripada perkawinan juju r. m adalah ter-kadang2 ditujukan untuk m endapat seorang ana 1 terlahir dari janda itu sebagai pengganti m enurut u um anpa a almarhum suami tadi (nyemalang negikan, L am pung) Barangka i istilah m edun ranjang di Jawa adalah suatu kenangan an ma cam perkawinan itu. Perkawinan serupa ini dapat m enja 1 em baga yang ama-t bermanfaat untuk si janda bersama ana nya, tapi juga dapat m enjum pai keberatan2 perseorangan. P e r k a w i n a n t i ba n
h u k u m
y a ng i b u
m em pertahankan
keter
tidak disertai pembayaran* serupa ju
ju r atau hadiah kem antin. Si suami tetap berada dalam golongan sanak-saudaranya, tapi diluluskan bergaul dalam lingkungan kera at si isteri sebagai urang sum ando ( M in .), ialaih ipar. D i waktu pelaksanaan perkawinan ia dijem put ke luar dari rum ahnya (dijapuiq, dijem put) dengan sekedar diadatkan upacara untuk m eluluskan dia pergi (alat melepas mem pelai) dan setelah itu dibawanya „kerum ah” , yaitu ke rumahnya isterinya. Juga diadakan sekedar pem berian hadiah2 untuk memperkua* perhubungan perkawinan bertim balbalik : bako, perhubungan m ana diusahakan berlangsungnya terus sejauh m ungkin dengan jalan perkawinan2 berikutnya. H al p e r k a w i n a n aimbil a na k ( i n l i j f h u w e 1 ij k ) , telah dibicarakan beberapa kali (hal. 39, 178, 181, 196). H ubungan kesanak-saudaraan biologis daripada anak terhadap ibunya oleh karenanya memperoleh ndlai sosial yang pada um um nya — m enurut susunan — ada pada hubungan kesanak-saudaraan de ngan si bapa. Perkawinan itu antara lain d ise b u t: anggap (G ayo), semando ambil anaq, nangkon, cam bur sumbai, dan sebagainya (Sumatera Selatan) , kawin ambil piara (A m bon), nyeburin (B ali). D i kalangan beberapa suku bangsa, maka seringkali si suam i itu seorang-orang dari lain tempat atau seorang-orang berasal dari kelas rendahan, di kalangan lainnya kebanyalkan seorang-orang sesama su ku bangsa dan sesama kelas. Jarang sekali terdapat terbaca bahw a si lelaki dilepaskan dari golongan sanak-saudaranya dengan jalan sesuatu pembayaran, sebagaimana dalam beberapa hal terjadi di Bali (1000 duit atau satu bantal, dan padi sebagai ju ju r kem antin lelaki (bruidegomschat)), dan jarang pula terdapat terbaca adanya sesuatu pembayaran buat seorang lelaki yang beralih dari kabisu di Sumba ke kabisu isterinya (hal. 196). D i kalangan golongan2 pepadon di Lam pung, maka seorang penjabait kebesaran adat (p en yim -
bang) yang bini tuanya (bini ratu) hanya mempunyai anak2 perempuan, dapat mempertahankan kebesarannya (negikan) buat cabang kerabatnya sendiri (kxirung) dengan jalan mengawinkan anaknya perempuan secara Ikawin ambil anak itu. Ini dapat dengan jalan : (1) suatu perkawinan yang menyebabkan anak-saudaranya (kawin tegaq-tegi), — atau (2) seorang lain dipungut masuk dalam kerabat si bapa dan sebagai anak menantu laki2 memperoleh kebesaran dan warisanrrya, agar supaya kelak diwariskannya kepada anaknya laki2, tegasnya anak laki2 dari menantu dan anaknya perempuan si bapa tadi (kawin ambil anaq);
ibu-
bapa (semendo rajo-rajo) adalah mungkin juga, misalnya di Su m a tra Selatan. Mengenai memasuk'kan seorang gadis ke dalam kerabat suaminya dengan maksud supaya ia bersama suaminya memiliki harta peninggalan inti, yang mestinya kelak dimiliki terus oleh seorang anak pe rempuan, maka hal ini disebut perkawinan — semendo ngangkit dan menurut khabar terdapatnya di wilayah Semendo di Sumatera Sela tan ; perkawinan serupa itu rupa2nya juga terdapat di daerah perbatasan Minangkabau dan Mandailing, di mana seorang lelaki dari kerabat yang tak mempunyai perempuan2 lagi sebagai pelanjut2 Sukunya
jujur untuk
dengan jalan demikian memasukkan
perempuan itu dalam kerabat Minangkabaunya.
Perkawinan2 yang baik kemantinnya perem puan m au pu n kem antinnya laki2 belum balig adalah diperbolehkan m enurut hukum adat dalam kebanyakan lingkungan2 hukum ; tapi ternkadang- — seperti di Krinci, di suku X oraja, di R oti — sedemikian itu -tidak terdapat : di Bali siapa kawin dengan seorang pem udi yang belum balig dap at dihukum . Agam a Islam tidak m erupakan halangan terhadap perka winan2 anak2. Acapkali jalannya sedemikian, bahwa bila diinginkan perkawinan anak2, ma'ka perkawinan secara Islam dilaksanakair lebih dulu (kawin gantung, Ind.) dan baru m enyusul perkawinan secara adat seketika sesudah hidup berkuimpul secara suami-isteri telah m ungkin. Sesudah segala sesuatunya yang 'telah dikaitakan m engenai betapa besar kemungkinan kepentingan2 buat golongan2 sanak-saudara yang tim bul dari hubungan yang -terselenggara dengan perkawinan itu, maka dapat dimengerti, bahwa ter-kadang2 m alahan anak2 yang belum lahir sudah dijanjikan akan dikaw inkan dengan. fihak yang diinginkan dan bila sudah lahir dalam um ur yang m asih m uda sudah dikawinkan. T etap i agama Kristen yang dipeluknya m e netapkan bahwa perkawinan hanya m ungkin bi'la kem antin2nya su dah balig, begitu juga fatsal 4 „Ghristen-Inlainders-regeling bu at Jawa, A m bon dan Minahasa, Staatsblad 1933 no. 74. H arus d ibedakan dari perkawinan2 anak2 yang telah diuraikan di atas (kedua fihak belum ’akil-balig) ialah p e r k a w i n a n 2 k a n a k 2 p e r e m p u a n ( m e i s j e s - h u w e l i j k e n ) , di m ana si suami sesudah terlaksana perkawinan terus m enum pang di rum ah mertuanya dan bekerja untuk mereka (hal mana acapkali m em a n g m enjadi alasan perkawinan serupa ini), tapi pergaulan suami-is teri ditunda sampai ana*k perempuan itu — isterinya — sudah balig. D.
Permaduan.
D i kalangan sangat kebanyakan suku2 bangsa di Nusantara ini dan. buat sangat kebanyakan orang dari lapisan rakyat ma
Bila bini2 itu bukannya sederajat dengan si suami, maka berulang2 mereka berkedudukan sebagai bini kedua, ialah selir. Bini yang sama derajaitnya adalah bini tua. Seorang laki2 dapat juga hanya berkawin dengan seorang selir dan di belakang tarnbah ber kawin dengan bini tua. Biasanya hanya anak2nya bini tua atau yang dipungut anak olehnya (Lampung, Baili) berhak penuh atas warisan atau jabatan bapanya. Di mana perkawinan permaduan ini masing2 bini dengan anak2nya sendiri tinggal rumah sendiri2 dan masing2 merupakan satu ke luarga dengan barang2nya keluarga sendiri3, maka keluarga2 itu teta>p terpisaih seluruhnya satu dari yang lain E.
Pengaruh agama Islam dan agama Kristen atas hukum perka winan.
Setelaih agaima Islam atau agama Kristen dipeluk oleh suatu bang sa yang berhukum tak tertulis, maka timbullah karenanya suatu ketegangan di lapangan hukum perkawinan. Tidak begitu karena, se perti telaJi diutarakan tadi, ada pertentöïig&ïï anlara kepercayaan2 dan kebiasaan dari alam peribadatan s-ihir yang sudah mendarah da ging di satu fihak dan ketentuan2 agama tentang perkawinan di lain fihak.; ini adalah lain soal, lambat-laun dapat ditetapikan a.pa yang dipertaharikan dari unsur2 lama di sisi atau di dalam agama dunia yang baru itu, pula bagaimana unsur2 dari kedua fihak bila perlu melengkapi atau mempengaruhi satu sama lain. Tapi letaknya ketegangan itu ialah bahwa perkawinan menurut syarat2 Islam atau Kristen itu memberi kemungkinan kepada pemuda dan pemudi akan menghindarkan diri dari paksaan fihak2 kerabat dan masyarakat, paksaan mana mestinya dikenakan pada mereka bila perkawinannya menurut adat. Kemungkinan tadi dengan tiba2 memberikan kemenangan ke arah kepribadian kemanusiaan, kemenangan mana diperoleh tidak secara merebut apa2 dalam lingkungannya sendiri dengan jalan perjoangan melawan alam serba umum' (het commune) melainikan diperoleh dengan jalan m e n e r o b o s apa2 yang la ma. Orang dapat kawin menurut aturan2 hukum agamanya sendiri di bawah perlindungan pemuka2 agamanya dengan tidak usali memperdulikan exogamie, kecenderungan perkawinan, endogamie dusun atau apa2 lain lagi. Di satu fihak dijumpai perlawanan benar2 oleh kekuatan yang dahsyat daripada alam pikiran tradisionil sendiri, pu la oleh kekuatan penghulu2 raikyat dan teptua2 kerabat, kesemuanya berdasarkan adat naluri, dan oleh karenanya toch masih amat banyak perkawinan2 terlaksana dalam batas2 hu'kum adat; dan mala-
han ter-kadang2 (misalnya di T apanu li Selatan) harus disebut penerimaan (receptie) tak lêngkap daripada hu'kum perkawinan Islam, sedangkan pem uka2 agama, baik Islam m aupun Kristen, terjkadang2 berusaha m enjalankan tugasnya dalaan lingkungan hubungan adat, tetapi orang2 Kristen selalu dengan m udahnya sudah ibertubrukan dengan kekuasaan adat naluri, lantas mereka ditinggalkan di luar masyarakat lama yang serba um um (commuun) sifatnya dan ditaklukkan kepada ketentuan2 hukum 'tertulis yang resmi atau setengah resmi mengenai hukum perkawinan Kristen ; dan buat orang2 Islam maka, di mana ada hakim 2 agama, sah atau tidaknya sesuatu perka winan diukur hanya menurut peraturan Islam se-mata2. O leh karena itu kanm progresip dan kaum radikal m endapat senjata yang kua-t di tangannya, yang berdaya baik atau busuik menurut keyakinan pemegangnya sendiri2. Kemungkinan menerobos apa yang lama itu adalah termasuk faktor2 yang semuanya melanggar kekuasaan peng hulu2 adat. Cukup dikenal um um : peristiwa2 .pemuda2 Batak yang duluikala di luar tempat kediamannya dan bertentangan dengan h u kum adat, mereka kawin secara Islam ; kesukaran2 serupa itu di Minangkabau ; perubahan pelanggaran ,/membawa lari perem puan” di Sulawesi Selatan dengan bantuan aturan Islam nikah m enjadi suatu cara perkawinan yang diakui, walaupun ini mereka pandang lebih 'baik diatur lagi di kemudian hari, dan sebagainya. Perkawinan secara agama terjkadang2 m enjum pai ti-tik singgung dalam 'bentuk2 perkawinan yang memungkinkan perkawinan secara tidak keras atau secara ra.mah-tamah di sampiing perkawinan resmi m enurut hukum adat, ialah : porda diwipang di T apanu li Selatan, dan baku piara di Minahasa, dan sebagainya. Bila perkawinan terputus m aka tirnbullah pertikaian yang sama. Adalah buat maaing2 perigundang-undang suatu tugas yang genting (precair) akan m emegang peranan dalam ttibmkan daya2 masyarakat ini, akan tetapi m ungkin juga m enjadi sama gentingnya, bilamana daya2 ini dibiarkan saja mencari penyelesaiannya sendiri. Sebagai sekedar percobaan untuk mengatur masalali ini adalah fatsal 4, ayat 26 Staatsblad 1932 no. 482 yang — buat M inangkabau dan daeraih2 Batak — melarang pegawai urusan perkawinan M us lim mem-berikan .bantuannya, bilamana perkawinan tidak mem enuhi syarat2 hukum adat. A dalah terdapat perbedaan umum di antara caranya agama Islam mempengaruhi hukum perkawinan dan caranya agama Kristen mem.pengaruhinya. Perkawinan Islam adalah suatu perjanjian (kontrakt) antara pengantin laki2 dan wakilnya (wali) pengantin pe-
rempuan, disaksikan oleh paling sedikit dua orane saj.si di m dengan kata* keramat diucapkan penawaran dan l ! (,aab kabul) dan jumlah , p L beri £ ^ ^ ( m T Z T j ditetapkan (sedang b^asanya pengantin laki3 menambahnya dengan mengucapkan talaq bergantung). Wali itu adalah bapanya keman tm perempuan dan bilamana ia tidak ada, sanak-saudaranyaTaS yang pa-Ung karib dan garis keturunan laki3 Hanya bapanyl / at u kakeknya) ben^ewenang mengawinkan anaknya perawan walaupun -bertentangan dengan kemauan pemudi itu (wali mudzjbir) BUa tiada seorang wali maka penguin, yaitu kepala pegawai* urusan agama, dapat bertindak sebagai wali darurat, atau fihak» yan, her kepentmgan dapat mengangkat seorang wali pembantu (haL m j" Saksi- itu 'harus memenuhi syarat* yang tertentu. Pemberian ner kawinan, kaiotn (mahr) adalah pembayaran sedikk jumlahnva ter-kadang- lima rupiah) dari si lelaki kepada si perempuan ada kalanya juga digabungkan jadi satu dengan pembayaran? lain mT salnya di Jawa dengan tukon, di Sulawesi Selatan dengan sunrantr di Aceh dengan jinamec, sampai menjadi jumlah yans? lebih tinggi. Adalah seringkali suatu kelaziman mas kawin itu dipinia buat selamanya. Ordonansi perkawinan buat Jawa tahun 1929 Stbl. no. 348 dan ini buat luar Jawa tahun 1932, Stbl. no. 482 ada’ lah bukannya peraturan2 sipil (burgerrechtelijk), melainkan perat!' ran* administratif, yang mewajibkan supaya meminta p ertolon ga n nya seorang pemuka agama yang telah ditetapkan dalam hal perkawin an-” yang terselenggara menurut pelajaran agama Islam ; itllpun untuk ikepastian hukum dan untuk ketertiban dengan ada ancaman nya hukuman terhadap siapa yang melalaikannya. Di samping pelaksanaan perkawinan menurut pelajaran Islam dapat tetap bertahan perkawinan secara adat; hal terakhir ini me. rnang tetap masih bertahan dalam tingkatan2 „hampir lenyap sama sekali
sampai „hampir masih utuh seluruhnya”. Di kalangan3 yang
beragama kuat ter-kadang3 terdapat penolakan terhadap keadaan de mikian itu, akan tetapi dalam kehidupan hukum di masyarakat2 maka pelaksanaan perkawinan Islam itu adalah suatu bagian daripada pe laksanaan perkawinan seluruhnya, di samping unsur2 Pribumi asli dan ■dengan ter-kadang2 masih tetap memakai sifat Pribumi tadi. Demikianlah bahkan di Minangkabau tak dapat dikatakan bahwa bapanya si kemantin perempuan sebagai walinyz menurut peraturan Is lam berkedudukan lebih penting dalam hal perkawinannya anak2 pexempuan itu daripada mamaq kepala u/omnya, — yaitu walinya menurut hukum adat, justru kebalikannya.
T eta p i hukum perkawinan daripada orang2 Indonesia Kristen tidak meluluskan disampingi oleh perkawinan a d a t; hukum itu berusaha mengatur perkawinan seluruhnya dan dalam pada itu m em biarkan berlangsung hanya unsur2 perkawinan Pribum i asli saja, yang: se-nyata2nya dapat dihubungkan dengan agama Kristen. Sejak orang telah menyadaxi betapa „ju ju r” itu berarti m engham bat per ceraian, maka pembayaran juju r itu terJkadang2 turut termasuk unsur2 yang dibiarkan berlangsung terus ; akan tetapi pengaruh aga m a Kristen terhadap unsur2 dan *perangai Pribumi asli adalah lebih menghancurkan daripada pengaruh agama Islam terhadapnya. M e ngenai perkawinan Bumiputera2 Kristen maka oleh orang2 K atholik dilangsungkannya oleh kedua fihak yang berkepentingan dalam gereja, di kalangan orang2 Protestan dilarigsungkan oleh seorang pem uka agama. Perkawinan serupa ini biasanya didahului oleh pemberitahuan yang diharuskan. Buat mereka di A m bon, M inahasa dan Jawa maka oleh ordonnantie tanggal 15 Pebruari 1933, Staatsblad no. 74 diaturnya suatu perkawinan sipil ; di situ d i antara lain - dite tapkan secara hukum syarat2 perkawinan yang harus dipenuhi m enu rut agama Kristen, pula dirumuskan beberapa aturan yang bersambung pada hukum adat. Perbedaan dalam bekerjanya pengaruh Islam dan pengaruh Kris ten yang dibentangkan di sini ini terdapat juga di luar lingkungan hukum perkawinan ; misalnya di A m bon — yaitu baihkan di H itu yang Islam — masih terdapat penjabat masyarakat yang bertalian dengan alam pikiran ibadat sihir seperti : paderi perkebunan (tuin priester) dengan sebutan mauwin, penjabat mana tak terdapat lagi di A m bon bagian Kristen ; pula pada umumnya perbedaan termaksud di atas terdapat bila dibandingkan satu sama lain : A m bon. bagi an Kristen dan bagian Islam. 2. A.
PERPUTUSAN
P E R K A W IN A N .
Perceraian perkawinan menurut hukum adat.
Perkawinan sebagai urusan keluarga dan kerabat m em punyai funksi untuk memungkinkan pertumbuhan secara tertib daripada masyarakat2 kerabat ke arah angkatan2nya baru ; anak2 yang lahir dalam perkawinan itu meneruskan masyaraka-t sanaik-saudara itu, m eneruskan pula bagian clan, suku, kerabat dan keluarga. Selanjutnya perkawinan itu mempertahankan masyarakat2 dusun dan wilayah sebagai kesatuan2 susunan rakyat. Sebagaimana m asing2 perbuatan tambahan baru dalam proses kehidupan di alam besar (cosmisch)
yang keramat dan tiada terduga maika perkawinanpun adalah suatu. upacara ibadat (tite) ; tentang kepindahan sejodoh yang baru berkawin ke kelas masyarakat baru dan ke masa -hidup yang baru, tiimbukiya hubungan untuk menemukan -kedudukan keseimbangan ter hadap masyarakatnya sendiri dan terhadap dunia luar, maka kese muanya itu adalah peristiwa upacara ibadat; dalam pada itu ma nusia dengan kemauannya dapat menentmkan jurusan proses pertumbu'liannya dengan jalan pemili'hnya bentuk perkawinan, pula da pat mendorong kebiakan yang diinginkan dengan jalan perbuatan2 sihir. Di samping itu maka perkawinan sebagai urusain kerabat dalam. beberapa lingkungan hu-kum mempertahankain hubungan golongan2 sanak-saudara satu sama lain, dan meneruskan hubungan yang bertimbal-bali'k atau liubungan perkawinan yang segi satu (eenzijdige huwelijksbetrekking). Terlepas dari kesemuanya itu, maka berkumpulnya dua orang un tuk pergaulan suami-isteri dan untuk berumah kumpul buat selama» nya, adalah urusan yang sangat ibersifat perseorangan. Berbagai3 funksi yang telah disebut dalam pembicaraan tadi di sini harus direnungkan fcembali, -karena fun'ksi2 itu ber.pengaruli pu la atas alasan2 dan kemungkinan2 untu/k perceraian. Pada umumnya kerabat dan masyarakat mengirnginkan agar supaya perkawin an yang sekali telah dilangsungkan dapat bertahan buat se*Iama2nya. Tapi dapat timbul keadaan3, di mana kepentingan kerabat dan ma syarakat «ïenghendaki perputusan perkawinan itu; di samping itu ada hal2 yang bersifat perseorangan oleh masyarakat dianggap sebagai alasan2 untiuk bercerai. Makin terdesaik ke belakang masyarakat (ba ik kerabat maupun dusun) dalam hal ini sehingga juga kekuatannya sebagai pengikat menjadi berkurang, makin berubahlah fafctor2 lain bertalian dengan pentingnya 'kedudukan keluarga (dan berhubungan dengan peraturan2 agama2 wahyu) yang menguasai perihal perceraian perkawinan itu. t
Dalam susunan sanak-saudara berhu'kum bapa maka perputusan perkawinan „jujur” berarti kembalinya si isteri dan jujurnya. Alasan2 seperti majir (tak beranak laiki3) , cacat2 badan dan seba gainya, yang menghalangi berlangsungnya funksi perkawinan seba gai urusan masyarakat, dapat per-tama2 mengakrbackan perceraian i t u ; bercerai dengan alasan2 sedemikian itu adalah suatu perkara yang sudah semestinya dianggap patut, dan yang diurus oleh ter-tua* kerabat dan penghulu2 masyarakat. Hubungan kesanak-saudaraan semenda dari golongan terhadap lainnya yang telah dikuatkan (atau bahkan telah ditimbuikan) karena perkawinan itu dapat dilangsung-
"kan terus dan. bila diinginkan dapat diperbaharui dengan jalan per kawinan lainnya lagi. Mengenai perkawinan ambil anak maka sudah barang tentu alasan2 yang tersebut di atas itu sudah cukup untuk bercerai: perkawinannya ternyata gaga!, tidak mencapai tujuannya. Bilamana perkawinan serupa itu menimbulkan kemungkinan ada harta perkawinan milik bersama, maka karena perceraian itu barang2nya lantas di'bagi antara lelaki dan perempuan. Khusus dari Kalimantan dikhabankan bahwa di sana terdapat perceraian perkawinan yang bahkan dituntut denu kepentingan ma syarakat, berdasarkan atas keadaan yang membahayakan dipandang dari sudut sihir (magie), hal terakhir ini khusus ternyata dari impian2 buruk daripada salah seorang suami-isteri i t u ; di waktu berce rai tidak diadakan pembayaran2 dan segala sesuatunya dapat pulih kembali bilamana sihir buruk itu telafi berialu. Pada umiwnnya dianggap sebagai alasan untuk perceraian ialah : zinah daripada si isteri. Karena perbuatan sedemikian itu maka ia melanggar baiik kepentingan2 masyarakattnya maupun perasaan2 si suami yang di masing2 lingkungan hukum berhalk atas perlindungan. Hanya sekali tempo orang dapat tmeiribaca, bahwa bilamana dendanya sudah terbayar, maka perbuatan zinah itu Ialu tak mengandung alasan lagi untuk perceraian perkawinan (misalnya di ‘kalangan be berapa suku Dayak). Tapi pada lunumtiya di masing2 susunan kera bat si suami dengan alasan perbuatan zinah oleh fihak perempuan, dapat melangsungkan terus perputusan perkawinannya, yang dalam se-gala2nya merugikan fihak isteri itu : bilamana ia terpergok dan terbunuh, maka tak usah dibayar wang perdamaian (zoengeld) atas kemaitiannya itu ; bilamana ia tak terbunuh -maka haruslah ia (ke rabatnya mengeluarkan pembayaran pelanggaran (delictsbetaling), (ter-kadang2 sebesar jumlah ju ju m ya), harus mengembalikan jujurnya (pemberian perkawinan di Sulawesi Selatan tidak usah dikembalikan) dan ia .kehilangan haknya atas harta perkawinan (huwelijksgoed). Buat peri9tiwa seorang perempuan yang „dilempar ke luar perkawinan dengan tidak diperbolehkan membawa apa2” ada ipei
fihak itu, sehingga di beberapa wilayah perceraian serupa itu adalah jarang, ta>pi lama-kelamaan karena segala sesuatu dapat diselesaikan dengan permufakatan satu sama lain — di m ana akibat2 keuangan dan aki’bat2 bertalian dengan nasib anak2nya dapat ditetap kan pula — maka cara penyelesaian secara itu toch dapat juga mengakibatkan perceraian. T etap i cara ini sudah barang tentu sama sekali lain soalnya dari pada ‘bercerainya suami-isteri sebagai dua orang seorang masing2 karena kekerasan hatinya dan kemauannva sendiri2, hal mana dalam rangka wataik sosial daripada hukum adat sudah barang tentu tak dapat dibenarkan. Kemudian kebanyakan adalah mungikin juga, 'bahwa salah seoirang daripada suami-isteri — karena sebab2 yang bertalian dengan pergaulannjya perseorangan — meminta cerai dengan keras dengan jalan apapun juga. Perceraian tadi, justru karena urusan per seorangan, selalu ada hubungannya dengan p e r s o a l a n s i a p a y a n g s a l a h (schuldvraag). Ter-kadang2 tentang apakah ia ada hak atau tidak untuk meramta cerai itu tergantung dari „schuldvraag” irii. Demikianlah di Pasemah dengan perkawinannya juju r si isteri dapat m enuntut cerai hanya bila suaminya bersalah karena melanggar salah satu dari larangan2 adat (memotong abah-abah tenun, m em otong ram but si isteri, dan sebagainya, ialah : larangan kule). D i tempat2 lain dalam theorie tak mungkin seorang isteri menuntiut perceraian dari perkawinan ju jur, walaupun ia dapat menimbulkan keadaan2 yang nyata, sehing ga ia toch mendapat lulus -kehendaikniya. T a p i persoalan siapa yang salaih itu lebih2 m eliputi a'kibat cmenurut 'hukum kekayaan daripada perceraian, yaitu siapa yang harus membayar wang pelanggaran (delictsbetaling) sebagai reaksi adat atas kelakuan ta'k senonoh, apakah juju m ya harus dikembalikan (seluruhnya atau sebagian) ataukah tetap di tangan flcerabat si isteri (sebagai pembayaran pe^anggaran dari fihak si suami), apakah yang harus dikerjakan ter hadap harta benda perkawinan, dan sebagainya. Soalnya dalajn kesemuanrya itu ialah bahwa suami isteri yang tidak rukun 'hidupnya, acapkali memaksa lawannya ke arah fiha'k yang bersalah (suami mem aksa dengan jalan : bepergian sampai sekian lamanya, si isteri memaksa dengan jalan bertingkah laku secara mengusi'k dia, dan sebagainya). Ter-*kadang2 perkara perceraian itu juga didahului dengan kepergian si isteri kepada orang tuanya dan ia tidalk kem bali kepada suaminya, sehingga beraikibat mereka hidup tercerai satu sama lain dalam tempo lama. Para hakim dan para penghulu rakyat pada akhirnya bertugas menetapkan siapa yang salah (sesudah usaiia2 yang memakan tempo banyak untuk mempert ah ank a n utuh-
nya perkawinan) dan memutuskan perkawinan. D . mana ada ke mungkinan memaksa putusnya perkawinan atas dasar keseganan dari satu fihak saja dengan tiada alasan* lain yang sah -
misalnya
yang memaksa itu si suami dalam perkawinan jujur - maka fihak yang bertindak demikian ku terhadap akibat* mengenai harta bendanya dianggap fihak yang salah. Buat si isteri yang dengan cara de mikian memutus'kan perkawinan ambil anak maka perbuatannya itu toch tidak mengakibatkan kerugian apa3 baginya. Ter-kadang2 di adakan perbuatan2 secara kiasan
(syonbolisch) seperti menjatuh-
kan ke tanah sepotong bambu tiga kali, memotong seutas rotan sam pai putus, dan sebagainya, begitu juga di kalangan beberapa suku bangsa (Batak, Toraja Barat) diberikan suatu 'tanda yang kelihatan mata, kesemuanya benmaksud bahwa .perkawinan sudah putus de ngan se-nyata2nya. B.
Pengaruh agama2 besar. Apa yang diutarakan di atas tadi mengenai perputusan perkawinan
menurut hukum adat hanya terdapat jarang dalam perangainya u tu h ; ihampir selalu sudah dimasukinya aturan2 keaga-maan. Agama Islam dan agama Kristen dalam berlakunya atas soal perceraian itu mendapat kecocokan satu sama lain pada dua titik. Per^tama- kedua agama ini mencela se-keras2nya perceraian. Kedua, maka kedua agaima ini mompersoalkan sudut perseorangan daripada perputusan perkawinan, dan bukannya perkawinan sebagai urusan masyarakat. Oleh karena itu peraturan2 agama tadi menggali dari bawah (ondermijnen) kekuatan pengaruh ter-tua2 kerabat dan kepala2 dusun, ke kuatan mana bersifat mengatur dan memulihkan, itupun meskipun kedua penjabat tadi mendorong keras atas pribadi kemantin
agar
supaya mereka tetap berki'blat kepada mereka penjabat2 tadi. W a laupun titik pangkalnya sama, namun agama Islam dan agama Kris ten itu atas perceraian perkawinan menurut hukuim adat berpengaruh berlawanan satu sama lain dalam tiga hal. Peraturan2 Kristen bila ditinjau pada umumnya memperkecii kemungkinan praktis unituik perceraian, sedangkan peraturan2 Islam momperbesar ke mungkinan Lta; peraturan2 Kristen menempabkan suami dan isteri di kedudukan yang sama terhadap alasan2 untuk cerai dan terhadap tuntutan cerai, sedangkan peraturan2 Islam kepada suami membe rikan kelonggaran yang lebih dari pada kepada isteri; peraturan2 Kristen selalu membutuhkan percampuran tangan pemerintah dan hampir selalu perceraian ditetapkan dengan keputusan hakim, se-
dangkan peraturan 2 Islam ‘m enimbülkan kemung'kinan' untuk membikin poitus perkawinan di luar percampuran tangan penja-bat2 pemerintah. T indakan penyusunan .peraturan dengan jalan undang-undang, peraturan mengenai perputusan perkawinan keduniawian buat Bu m iputera 2 Kristen di Jawa, A m bon dan Minahasa, peraturan tentang pendaftaran adanya perceraian di kalangan orang 2 Islam, kesemuanya itu di samping adat dan peri'badatan merupakan unsur yang ketiga daripada gambaran 'huikuim yang ruwet tentang perputusan perkawinan di antara anak 2 negeri. Dengan pelbagai cara maka 'berkumpullah jadi satu ketentuan 2 yang ber-jenis2 dan kemungkinan 2 yang ber-beda 2 ipula dalam berbagai 2 lingkungan 2 hukum dan kalangan 2 (huikum. H al ini per-tama 2 ternyata dari caranya menjalankan aturan 2 Islam mengenai perpu tusan perkawinan dalam praktek ; kedua : ternyata dari kelonggaran 2 (consessies) yang di'beri'kan oleh aturan 2 iperkawinan Kristen untuk menyesuaikan diri dengan ikeadaan2 yang nyata. C.
Perceraian perkawinan secara Islam.
Talaaq ialah pengusiran terhadap si isteri oleh si suami. Sesudah jatuh satu talaaq, m aka m ulailah masa iddah : tiga masa haid (10 0 hari) atau, bilamana si isteri ham il, sampai 40 liari sesudah melahirkan anak. Selama masa iddah perempuan itu tidak boleh kawin lagi, sedangkan si lelaki tidak 'boleh menaiwbah jum lah isterinya sampai lebih dari empat orang terhitung bininya yang ditalaaq itu, pula selama masa itu si perempuan ada hak atas kehidupan, ialah nafaqah dari bekas suaminya, dan suami ini dapat cabut kembali talaaqnya — rujuq — dan am’bil kembali isterinya. Sesudah talaaq kedua, maka aki-bat2 huikum yang sama dengan yang tersebut tadi mulai berlaiku, tapi sesudah talaaq ketiga ma'ka rujuq sudah tak m ungkin lagi. Meskipun lelaki dapat m em berikan talaaq itu sebagai perbuatan segi satu (eenzijdig) se-
untuk
perceraian
perkawinan
kepada
Chul’. Talaaq itu dapat juga diucapkan oleh suami atas permtntaan isteri, ialah sesudah si isteri membawa hati suaminya ke situ de ngan jalan suatu pembayaran kepadanya. Perputusan perkawinan demikian ku disebut chuV (kuluqj (membuka pakaian) ; pemba yaran dari fihak isteri ini disebut penebus talaaq (Ind.), pemancal (J.), (penola'kan dengan sodokan kaki), pengiwal (J-). (tara), dan sebagainya. Pembayaran tadi dapat terdiri dari sejumlah wang, tapi juga dapat dengan jalan menanggalkan haknya atas sebagian dari harta benda hasil mereka bersama dalam perkawinan atau atas mas kawin yang masih „dipinjam" oleh suaminya itu. Aki-batnya ialah perkawinan putus dengan tiacla kemungkinan untuk iitjitq sesudahnya ; melainkan lantas berlangsung masa iddah, dalam tem po mana suami masih berkewajiban memberi nafaqah kepadanya. Juga lembaga ini ter-kadang'-* adalah seperanggu pa-kaian Islam (yang tembus cahaya) untuk menutupi kemungkinan ke Indonesiaan yang telah dipermudah, yaitu ikemungkinan perceraian atas inisiatif si isteri tanpa ada kesalahan dari fihak suami, jadi harus fihak isteri mengembalïikan pembayaran2 perkawinan
(jujur, ha
diah perkawinan). Demikian terdapatlah misalnya di Sulawesi Se latan „membeli ketidakmauan” (—nya si isteri terhadap suaminya) pammali kateang (M ak.): si isteri imemperoleh perceraian atas pembayaran kembali olehnya
(dalam keadaan2 biasa) pembelian
perkawinannya sebagai „harta pengganti ketid akmauan nya (si isteri) lagi terhadap suaminya” . Hubungan dengan p e m 'b e n a n peikawinan dan dengan jujur ada tersebut juga di lain tempat (se-
,
bagaimana juga da-hulu chul’ berhubungan dengan mahr> yaitu
jujur)-
Adalah suatu corak ke Indonesiaan asli yang tegas ialah ke mungkinan yang di sana-sini diperbolehkan, yaitu si isteri mengaduikan tuntutan di muka hakim bermaksud memaksa suaminya untuk menerima sejumlah wang (dalam pada itu justru sejumlah jujurnya) sebagai harga talaaq. Bila si suaimi tetap tak mau menerimanya, maka hakim menetapkan bahwa dia dianggap sudah mengucapkan talaaqnya, atau hakim dengan mudah bikin putus perka winan tanpa talaaq ; jumlah wang yang dipandang sudah patut tetap atas kemauan si isteri tersimpan pada hakim untuk disediakaa akan dibayarkan kepada si suami. Pengaduan dari fihak isteri se demikian itu di Solo disebut „rapaq lumuh”, yaitu pengaduan, bah wa ia sudah enggan terhadap perkawinannya; mengadakan pemba yaran yang bermaksud memaksa untuik perceraian perkawinan itu
di daerah 2 pedalaman Bengkulen disebut : m em beli talaaq, tapi di Salayar (Sulawesi Selatan) disebut : panggali kaiindaang, ialah harga pengganti ketidakmauan ( -n y a si isteri terhadap suaminya). Ta lieq. Bercorak ke Indonesiaan umum. ialah perceraian per kawinan berdasarkan atas pengaduan si isteri, bahwa syarat2 untuk m enalaaq yang dulu digantungkan oleh si suami, sudah dicukupi : taqléq. Kem ungkinan untuk mencerai isteri dengan jalan menggantungkannya pada sudah atau belum dipenuhinya suatu syarat itu m em ang betul berdasar atas hukum Islam, akan tetapi aturan yang praktis mengharuskan m asing 2 orang Islam di waktu dilangsungkan perkawinannya m engucapkan sebuah ruraus, — bahwa bila ia m eninggalkan isterinya sekian ibulan dengan tiada diberinya nafaqahnya (atau bila ia m emperlakukan isterinya secara kurang baik se bagai tersebut dalam fatsal perjanjian) dan isterinya itu tidak terima, lalu mengadukannya kepada hakim (pemerintah) maka ia, is terinya, dianggap sudah dkalaaqnya — aturan sedemikian itu ada lah suatu penyesuaian hukum Islam dengan hukum adat, sepanjang menurut hukum -terakhir ini inisiatif untuik bercerai dapat diajukan dari fihak si isteri. H akim agama di wilayah 2 yang terdapat haikim serupa itu dan bila tidak terdapatnya ter-kadang 2 'hakim Pribumi (inheemse rechter) atau (misalnya di L am pung, d i M inahasa) se orang pegawai urusan agama, adalah instansi pemerintah di mana isteri harus mengemukaikan pengaduannya (rapaq g a ib ); fihak pernerintah sebetulnya harus m enyatakan saja (sesudah mendengarkan aturannya dua orang saksi) baiiwa syarat talaaq yang digantungkan dulu, sudah dicukupi dan oleh karenanya perkawinan dianggap sudah putus
(karena
talaaq dari
fihak
si suam i).
Tapi
banyak
hakim beranggapan lain tentang ini (dan inilah suatu 'bukti bahwa piaiktek peraturan ini berkedudukan di alam Pribum i asli) dan m em bikin putus sendiri iperkawinan itu berdasarkan atas kelakuan si suami. Agar supaya dalam hal 2 tadi dapat dicegah kemungkinan untuk n tju q , maka ter-kadang 2 wewenang untuk m em buat rujuq itu dengan tegas disingkirkan ; pula ternkadang2 di dalam runius sendiii ditetapkan, bahwa mas kawin yang d ip injam suam i itu akan diperuntu'kkan sebagai wang pem beli talaaq, sehingga talaaq yang sudah dijatuhkan itu dengan sendirinya m enjadi chuV
di mana
rujuq tidak diluluskan. D alam bentuk ini ada terdapat sambungannya pada lembaga 2 hukum adat dan letaknrya sarrabungan itu ada dalam isinya perjanjian2, tmisalnya : bila saya abah 2 tenun atau m enggunting ram but
(suami)
isteri saya
m em otong
(B an yu m as);
bandingkanlah dengan larangan kule dari Pasemah, hal. 213.
,, „ . Tciam yaitu faskh (pasah) dilakukan Faskh. Lam aturan agama Islam, y I [r / ju -a secara yang menyimpang dengan pelajaran agama Islam Lurni, tap; lebih menyesuaikan lembaga Islam dengan bukum adat. Pasah adalah perceraian perkawinan oleh hakim berdasarkan atas cacat’ yang sudah ada di waktu dilangsungkan perkawinan, misalnya ketidaksanggupan s. suam. un tuk memberi nafaqah isterinya. Tetapi seringkali di Indones.a ter dapat tuntutan pasah yang diajukan oleh seorang perempuan dengan alasan kenyataan, bahwa suaminya pada saat men^a u i u tidak memberikan k e h i d u p a n kepadanya (meninggalkan dia) Lalu suami it?u dipanggil dan (walaupun dia tak datang) dibennya esem patan dalam tempo tiga hari supaya membuktiikan, ibahwa ia apat memeliharakan isterinya. Bila si isteri datang menghadap agi e ngan bukti bahwa suaminya belum saja memberi nafaikah ^epa a nya, maka perkawinan lalu dinyatakan putus karena pasa . Ja i inilah juga suatu bentuk daripada perceraian perkawinan Pribumi atas permintaan si isteri. Perbuatan murtad terhadap agamanya tidak memberikan hak 'ke pada orang perempuan yang murtad itu untuk memakai alasan ba 1 wa menjadi putuslah perkawinannya karena murtadnya itu. Boleh jadi buat ha'kim - dalam keadaan2 yang tertentu yang membuktikan cukup ba'hwa peristiwa itu benar2 berdasar kesungguhannya dalam peribadatan — perbuatan murtad itu dipandang sebagai su atu alasan cukup untuik membikin putus perkawinannya atas per mintaan dari sala'h satu fi-hak. Lembaga2 lainnya daripada agama Islam tidak begitu pentingnya buat kehidupan huikum Pribuimi untuk dituturkan di sini. Mengenai lembaga huikum terdiri dari wasit- yang keputusannya mengikat, ialah hakam, bilamana dmbul percederaan yang tak dapat diserukunkan lagi (syiqaaq), ma'ka pemakaian lem baga ini oleh maihkamah urusan agama Islam telah disahkan ; se belum itu usaha serupa itu hanya dibenarkan oleh suatu aliran kecil. Aki'bat sosial yang mendalam daripada pengaitan perceraian per kawinan pada lembaga2 Islam ialah, bahwa penyelesaian2 yang me nurut hukum adat melalui penghulu2 rakyat — yang dengan permufakatan kerabat2 mempertimbangkan mencegah atau mengatur perceraian — maka cara penyelesaian itu tercantum berlangsungnya dan terhapus oleh karenanya. Hal ini menyebabkan suatu ketegang* an serupa dengan apa yang tersebut di atas, hal. 207 terhadap pe laksanaan perkawinan : kemungkinan terbuka untuk secara me-lom* pat2 memenangkan keinginan2 dan pendapat2 perseorangan — yang bertalian dengan peribadatannya pribadi sendiri — dengan menga-
t
lahkan syarat2 daripada masyarakat yang serba um um (com m une samenleving). Misalnya talaaq yang diucapkan oleh seorang laki 2 yang berkawin secara perkawinan am bil anak adalah suatu misal yang tegas daripada gangguan 2 sosial serupa tadi. K em udian ma>ka oleh pengundang-undang diwajibkan supaya dilaporkan kepada pegawai urusan perkawinan adanya talaaq 2 yang sudah terjadi, dengan ancaman hukum an atas kelalaian m elaporkannya itu. D.
H tikitm Kristen tenlang perputusan perkawinan.
Buat orang- Indonesia yang beragama Katholik maka percerai an perkawinan itu menurut hukum gereja tidak. m ungkin. Apakah buat mereka harus dianggap ada kemungkinan untuk m emutuskan perkawinan kedum awian m enurut hukum tak tertulis (sebagaimana kemungkinan ini betul 2 ada dalaan banyak pergaulan 2 hutkum ber dasarkan atas aturan 2 hukum tak tertulis) maka soal ini adalah su atu pertanyaan ngan : ya).
(yang menurut pendapat saya harus dijawab de-
O rang- Indonesia yang beragama
Protestan
biasanya
mengaikui beberapa perkara yang berat sebagai alasan 2 buat perce raian : zinah (oleh lelaki dan oleh perempuan), penganiayaan berat, peninggalan
dengan
niat jahat,
ter-kadang 2 juga
kemajiran.
M inahasa perceraian dinyatakan atas dasar perm ohonan
Di
bersama
untuk itu oleh suami-isteri, di A m b o n atas dasar -keadaan bercerai satu samia lain dalam tempo yang agak lama. Biasanya badan yang dianggap beiwewenang untuk memeriksa tuntutan 2 perceraian ialah Iandiaad atau lialum Pribumi (inheemse rechter); dulu di Jawa sampai masa lama yang berwewenang untuk itu ialah dewan gereja (kerkeraad). ^ Dengan ordonnantie tertanggal 15 Pebruari 1933, Staatsblad no. 74, maka diadakan peraturan 2 wet mengenai perceraian perkawin an (keduniawian) di kalangan (semua) Bumiputera 2 Kristen di Jawa dan M adura, di Am'bon dan di Minahasa. D i antara enam alasan untuk perceraian terdapat percederaan yang ta'k dapat dipulilikan kembali — bukannya kemajiran — dengan kata2 lain : hanya kemajiran yang m enim bulkan percederaan yang tak dapat dipulihkan kembali. T ela h diusahakan supaya bersambung pada hukum adat ialah dengan jalan diperintahikan dengan peraturan agar su paya ha'kim meyakinkan diri dari adanya kemustahilan pulihnya per cederaan i-tu dengan jalan menanyai sana:k-saudara2 dan orang 2 yang biasa bergaul dengan suami-isteri itu.
Akibat2nya perceraian perkawinan buat sebagian telah dibicara kan. Sesudah perceraian si perempuan bebas untuk kawin lagi. Bark menurut hukum adat, maupun menurut hukum Islam ia tidak dapat menuntut nafaqahnya dari bekas suaminya, tapi menurut hukum Kristen dapat, ialah berdasarkan atas fatsal 62 dari ordonnantie tahun 1933. Anaik2 yang masih menyusu (di bawah 2 a 3 tahun) se lalu mengïkuti ibunya. Sesudah itu mereka tetap berada dalam kera bat yang semestinya menurut susunan kesanaik-saudajraan, atau bi lamana susunan kesanak-saudaraan itu tidak mengizinkan sedemi kian itu - mereka berkumpul pada salah seorang dari ibu-bapanya yang diserahinya atas keputusan di waktu pefrkawinan dinyatakan ce rai. Kesalahan daripada salah seorang laki-bini menyebabkan se orang lafki-bini lainnya yang tak bersalah memperoleh hak lebih atas ana'k2 itu ; pili'hannya anak2 sendiri adalah seringkali penting ^ pen ting juga siapa dari laki-bini yang memberi nafaqah anak itu. Mengenai pemberian nafaqah ini maka bapalah (juga dalam tem po anak2 itu masih menyusu) yang berwajib. Tapi dalam susunan berhukum ibu-bapa maka dapatlah si ibu yang mendidik anak2 dan mampu untuk memberi nafaqah kepada mereka, diwajibkan untuk itu di samping si bapa. Bila ada perselïsihan tentang 'hal ini dan dalam pada itu harus diambil keputusan, maka kepentingan anaklah yang menjadi faktor yang berat. Pengaruh daripada kesalahan atas akibat2 yang timbul menurut hukum kekayaan perkawinan su dah disebutkan ta d i; akibat2 perceraian perkawinan mengenai ba rang2 daripada kekayaan itu saban2 akan disebutkan dalam hukum harta perkawinan (huwelijksgoederenrecht). 3.
H U KU M H A R T A PERKAW INAN. (H UW ELIJKSGOEDERENRECHT).
Keluarga2 yang timbul karena perkawinan membutu'hkan dasar kebendaan ; suami dan isteri (bersama anak2nya) sebagai kesatuan keluarga yang terwujud 'karena perkawinan, harus hidup ber-sama2 dan untuk itu harus memiliki barang2. Di mana -kesatuan kerabat se bagai masyarakat berarti sosial yang penting, maika kekayaan keluar ga tertampak tegas terhadap kekayaan ; keraibat; ter-kadang2 batas2nya tipis2 dan samar2, ter-kadang2 terang kelihatan benar2. Di mana 'kerabat2 tidaik timbul sebagai kesatuan2 yang tersusun, maka keluarga2 dengan kekayaan2nya merupakan inti2 masyarakat yang terbatas dengan tegas, tetapi walaupun demikian, ikatan kerabat masih meliputi keluarga2 itu, dan mempengaruhi keadaan hukum da-
ripada m ilik keluarga. T erh ad ap kerabat2 sebagai masyarakat2, m aka keluarga itu meloloskan diri untuk berdiri sendiri, dengan golongan 2 yang lebih besar itu -maka keluarga setiap hari berada dalam keseim bangan, tapi juga berada dalam ketegangan yang tertentu ; dalam pergaulan 2 yang sudah m aju , m aka keluarga itu sedang melepaskan diri atau sudah melepaskan diri dari i'katan kerabat yang m engurungnya ; tapi terhadap keluarga 2 yang berdiri sendiri sebali'knya kerabat2 sebagai golongan sanak-saudara tak tersusun saban 2 m engem ukakan tuntu>tan2 hak 2nya. Dengan jalan h u k u m harta perkawinan itu <maka harta keluarga itu terpaku pada tem patnya antara kedua kutu'b yang tidak .sama kuatnya, ialah kerabat dan keluarga. D apat dikatakan pada mmimnya bahwa kekayaan keluarga dapat di-beda2kan dalam empat bagian : A . harta hibahan atau warisan yang diikutkan kepada salah seorang suami-isteri oleh kerabatnya ; B. harta yang oleh salah seorang suami-isteri tadi masing 2 diperoleh atas usahanya sendiri sebelum atau selama perkawinan ; C . harta yang diperoleh oleh suami-isteri dalam masa perkawinan atas usaha nya bersama ; D . harta yang di waktu perkawinan dihadiahkan ke pada suami-isteri bersama. A.
Harta xvdrisan.
Suatu asas yang sangat um um berlakunya daripada hukum adat Indonesia ialah bahwa mengenai hartanya kerabatnya sendiri yang berasal dari warisan atau hibahan, maka harta itu tetap menjadi miliiknya salah seorang dari suami-isteri yang kerabatnya menghibalikan atau mewariskan barang 2 itu kepadanya. Harta serupa itu dise b u t pim bit (Dayak N gaju ), sisila (M ak.) babaktan (Bal.) asal, asli, pusaka (J., Ind.), gana, gawan (J.) dan sebagainya. Bila terjadi perputusan perkawinan karena perceraian maka harta itu tetap m engikuti si suami atau si isteri yang m em ilikinya semula, dan sesudah m atinya si pem ilik maka harta itu tida'k pindah tangan di luar kerabatnya, artinya tidak jatuh sebagai harta warisan ke tangan se orang daripada suami-isteri yang m asih hidup dan barangkali di Jawa oleh karena itu juga tidak diwaris oleh anak 2 angkat, agar supaya barang 2 itu jangan sampai hilang, kata orang. D i M inang kabau harta benda ikerabat tidak m ungkin dapat di'hibahkan dan tak dapat diwaris oleh anggauta kerabat orang seorang. D alam soal ini maka di sana keluarga atau cabang kerabat tidak begitu tertampak tam pil'ke muka, ialah karena mereka m empunyai hak pakai atas har ta benda kerabat, yaitu mereka mempunyai ganggam bauntuiq atas
harta pusaka (hal. 93 , 137),.sama dengan hak keluarga atas barangpusaka di Ambon. Akan tetapi hampir di semua tempat- lamxi)a iar ta benda kerabat yang sudah dijadiikan harta benda keluarga itu nampak terpisaJi lebih terang. Harta yang diikutikan kepada pengantin perempuan sebagai „bekal” (uitzet) dalam susunan beihukum bapa (di Pasemah misalnya) ter-kadang2 tetap menjadi miliknya si isteri dan diwaris oleh anak-nya dan bila ia mati tidak meninggal kan anak2, diwaris oleh suaminya, walaupun bila terjadi percerai an barang2 itu dibawanya kembali ke keraibat tempat asalnya. Ta nah2 yang di kalangan su'ku Batak diberikan kepada pengantin perem puan sebagai harta pemberian kemantin perempuan (bruidsgift) dimilikï oleh si suami (dan oleh si isteri) dengan hak mïli'k, walaupun setiap tindakan untuk menguasainya (beschikking) ‘harus dida'hului dengan permufakatan dengan kerabat si isteri. Bila ada anak-nya, maka mereka ini adalah pelanjut2 sewajarnya dalam angikatan berikutnya mengenai barang2nya orang tuanya yang berasal dan wa risan atau hibahan (hal. 241, 253). Anak2 itu adalah tempat di ma na pelbagai macam harta benda 'keluarga kepunyaan orang tuanya berkumpul jadi satu sebagai satu macam harta benda (ialah yang dise'but barang asal), dan begitulah seterusnya. Di 'kalangan Dayak arti pusaka itu di samping barang2 warisan juga meliputi 'barang(berkhasiat) yang diterimanya di tangan misalnya sebagai pemba yaran perkawinan atau pembayaran denda dan barang2 mana diperuntukkan buat diwariskan kepada ahli waris. Berhadapan dengan pusaka dalatm pengertian umum sebagai „milik yang keramat ter* dapat harta yang diperoleh atas usaha sendiri — buat pengusaha sendiri harta itu jauh dari pada ,,keramat” — ialah harta benda yang di 'kalangan Dayak Ngaju disebut dengan istilah „ nu kar dan yang di tempat2 lain juga disebut (dalam arti kata umum) : pencarian. B.
Harta yang dipcroleh sendiri.
Kemungkinan buat seorang lelaki berkawin atau seorang perempuan berkawin untu'k mempunyai harta sendiri buat diri sendiri, ada lah tergantung di satu fihak dari daya serap (absorberende kraoht) daripada (harta benda) kerabatnya (kerabat fihak lelaki atau fihak perempuan), di lain fihak juga tergantung dari daya serap kekayaan umum daripada keluarga. Di mana ikatan kekerabatan masih kuat, maka harta yang baru dapat di
anak2nya sendiri yang termasuk dalam ikatan kekerabatan situ ju ga. Seorang lainnya daripada suami-isteri yang bukan si pem eroleh me nurut hukum adat tetap di luar m ilik harta serupa itu, sudah barang tentu ia sebagai satu bagian daripada keluarga turut merasakan buah hasil harta itu bila ada ; untuk menguasainya se-bulat2nya halu s ada persetujuannya, se-tidak2nya setahu warisnya, yaitu sesama anggauta kerabat. Bark harta yang diperoleh sebelum per kawinan, m aupun selama perkawinan, dapat berkedudukan hukxuu sebagaimana yang di'bentangkan tadi. D em ikianlah misalnya harta yang diperoleh oleh suatu keluarga Batak m enjadi miiiknya si suami dalam ikatan kerabatnya, artinya,. bahwa si isteri atau kerabatnya tidak m ungkin mendaipat hak sedikitpun untuk dirinya sendiri atas sebagian harta, walaupun si isteri itu selama perkawinan ikut merasakan hasilnya kekayaan 'keluai-ga itu. Perempuan Batak dapat juga meimiliki harta bendanya sendiri misalnya sebidang tanah yang dulu oleh bapanya dthadiahkan kepa danya sebagai gadis (tano atau saba bangunan), akan tetapi ba rang 2 itu termasuik dalam ruang „liarta hibahan” , yang tetap terikat (walaupun dengan pengikat yang dapat direnggangkan) pada ke kayaan kerabat aslinya. Dem ikianlah di satu fihak terikatnya pada kerabat sendiri dari fihak suami atau isteri membatasi m ilik atas ke kayaan sendiri ; di lain fi'hak justru karena terikatnya pada golongan kerabat-
itu
dapat
campur
jadi
sa-tu
dicegah m enjadi
jangan m ilik
sampai
dalam
ada
harta
barang 2 benda
jatuh
keluarga
um um . D i Minangikabau m aka harta pencarian — barang 2 yang di peroleh atas usahanya sendiri — baik daripada si isteri, m aupun dalipada si suami, kena daya penarik (coliaesie) nya harta benda ke rabat, dan menghadapi itu maka daya penarik (adhesie) nya hartabenda ikeluarga um um dapat bertalian, bilamana suami dan isteri ke-dua2nya ikut berjasa dalam memperoleh harta benda tadi, itu pun kecuali perkisaran2 dalam hukum adat yang akan disebutkan beri'kut ini. Terlepas dari berlakunya ikatan kerabat yang bersifat m em ba tasi, maka barang yang sebelum perkawinan dipei'oleh oleh si lelaki atau si perempuan sendiri, tetap ada miiiknya' suami atau isteri sen diri, sebagaimana juga pinjam an 2 sebelum perkawinan 'tetap ada lah pinjam an perseorangan2. D i Sumatera Selatan barang 2 serupa itu disebut harta pembujangan (dari si suami) dan harta pcnantian (dari si isteri), di Bali baik dari si isteri m aupun si suami : guna kaya.
T a p i barang- yang diperoleh pada masa perkawinan serupa itu — lagi terlepas dari berlakunya ika'tan kerabat yang telah dibemangkan di atas tadi — tergolong dalam gabungan harta daripada suami dan isteri yang akan disebutkan berikut ini, walaupun ada keadaanyang menyebabkan barang- yang diperoleh di masa perkawinan itu menjadi miliknya suami atau isteri sendiri; misalnya di Aceh penghasilan suami menjadi miliknya sendiri, bilamana si isteri dulu tidaJk memberikan dasar materieel kepada keluarga beruipa tanali halaman atau kebun, atau tidak memberikan si suami bakal untuk perjalanannya (atau apaikah ini bukannya usaha masyarakat untuk membenaitkan adatnya terhadap pelajaran agama Islam yang tak mengenai aturan sedemikian itu ? ) ; di Jawa Barat misalnya maka penghasilan 2 yang diperoleh di masa perkawinan menjadi miliiknya si isteri sendiri, itupun bila isteri tadi di waktu perkawinan adalah kaya dan lakinya miskin ; rupa2nya misalnya di kalangan priyayi di Jawa dapat dianggap (bahwa penghasilan si suami menjadi mi liknya sendiri. Kemudian tetap menjadi miliknya si isteri sendiri ter-
Harta perkaivinan bersama antara suami dan isteri.
Begitu lazimnya aturan tentang barang asal sebagai yang dibentang'kan di atas, yang tetap terikat pada kerabatnya asli, begitu la zimnya pula aturan bahwa harta benda yang diperoleh di masa per-
kawinan menjadi 'harta -bersama antara suami dan isteri, sehingga merupakan 'harta benda (sebagian daripada kekayaan keluarga) di mana kalau timbul keperluannya (terutama -bilaperkawinan putus) suami dan isteri (masing2 buat sebagian) ada hak atasnya. Adalah suatu perkecualian besar, bila ada terdapat aturan yang tidak. luluskan kesempatan untuk mewujudkan harta bersama serupa tersebut di atas itu. Hanya di mana terdapat masyarakat2 yang tersusun menu rut hulkum bapa, maJka kekayaan kerabat dari fihak suami (dalam perkawinan jujur) atau kekayaan kerabat fihak isteri (dalam perkawinan ambil anak) tidaik meluluskan kesempatan untuk me wujudkan harta bersama berdasarkan hiïkum, walau sedi)kitpun juga. T api dalam pada itu dapat diperhatikan suatu kecenderungan, bahwa makin berkurangnya pengurungan oleh kerabat, berakibat makin bertambah terikatnya harta benda kepada keluarga. Dan hanya di mana (terlepas dari pengaruhnya kerabat) terdapat suatu keunggulan (overwicht) yang besar pada sala'h seorang dari pada suami-dsteri — seperti yang telah dituturkan di atas tadi tentang perkawinan2 di wilayah Sunda daripada perempuan >kaya dengan le laki miskin (nyalindung ka gelung) atau seibaliknya (manggih kaya) dan sebagainya — maka keunggulan pribadi itulah mencegaih terwujudnya harta bersama. Lain daripada itu praktisnya di mana2 masing 2 kekayaan keluarga sebagian terdiri dari harta suarang (Min.), barang perpantangan (Kalimantan), cakkara (Bug. dan Mak.), druwé gabro (B a l.), barang gini, gana-gini (J.), guna kaya (Sund.) dan sebagainya. Ter-kadang 2 daya penariknya barang kerabat itu tergantung dari besar-kecilnya harta bersama itu. Mengenai harta bersama dalam perkawinan ini yang paling terbatas maiknanya ialah terdapat di Mi nangkabau. D i sana rupa2nya yang dianggap harta suarang hanya barang2 yang diperoleh 'benar2 karena pekerjaannya suami dan isteri ber-sama2. Akan tetapi juga di sana perubahan sosial — yang berwujud penggantian rumah kerabat menjadi rumah keluarga — membawa pengaruh sedemikian rupa sehingga batasnya sebutan har ta bersama ini menjadi lebih luas. Biasa yang digolongkan dalam harta bersama di antara suami dan isteri iala'h barang2 yang diperoleh selama perkawinan dan dalam pada itu keduanya, suami dan isteri, dalam artikata umum, beker ja untuk kepentingan keluarga sehingaa memperolehnya itu ; juga syarat yang terakhir ini — yaitu bekerja untuk kepentingan keluar ga — dapat diaibaikan, sehingga barang2 yang diperoleh dalaim per kawinan, selalu adalah kekayaan bersama keluarga; sekali tempo
terdapat suatu peralihan dalam hal ini, seperti di Bali, di mana ba rang2 yang diperoleh selaku perseorangan (di sana „guna kaya’’) sesudah tiga tahun dianggap harta bersama di antara suami dan iste ri (druwé gabro). Demikianlah di lapangan milik atas barang 2 ter nyata ada perkisaran titik berat, ialah dari kerabat ke keluarga. Ha diah 2 kepada kedua pengantin karena perkawinannya (lembaga mo dern) menjadi milik bersama di antara suami dan isteri. T im bullah ber-bagai2 persoalan hu/kum yang istimewa. Bua'h hasil daripada harta benda perseorangan ter-kadang2 disebut harta bersa ma bila seorang daripada suami-isteri yang tak mempunyai barangasal itu turut bekerja untuk memperhasilkannya (turut memelihara ternak asal daripada isterinya atau 9uaminya, misalnya di Ja wa), terjkadang2 buah hasil itu selalu ada miliknya pemilik barang asal itu. Pendapatan daripada barang asal yang dijual atau ditukarkan adalah barang asal. Bila barang-barang asal diperguna>kan buat mencuikupi keluarga, maka pemiliknya, si suami atau si isteri, 'biasanya tak berhak menuntut penggantinya, juga tak berhak sedemi'kian itu bila perkawinan putus. Ter-kadang 2 terdapat pemberitaan2 tentang harta perkawinan daiam istilah2 yang seraya mengandung petunjuk siapa yang harus membuktikan (bewijsrisico) bila timbul perselisihan : barang2 itu adalah harta bersama, kecuali bila diibnktrkan, bahwa si isteri tida-k memegang rumah tangganya. Sedemikian itu dapat membingungkan : buat menetapkan siapa yang harus membuktikan dulu (verde ling van de bewijsrisico) yang menjadi soal ialah bagaimana keadaannya yang normaal dan oleh karenanya dengan sendirinya sudah dapat dianggap benar dan bila yang jadi perkara itu menyimpang dari keadaan normaal, simpangan mana terutama yang harus dibuktikan : tapi soalnya sendiri semestinya termasuk soal hukum madi (materieel recht). Selama masa perkawinan maka suami-isteri ber buat dengan harta bersama itu dengan permufakatan yang layak, terang2an atau diaom2, masing2 dalam lingkungan kekuasaannya sendiri2 yang Iayak. Bila diada'kan perjanjian 2 (transacties) yang penting, maka ter-kadang2 kedua orang tampil ke muka, akan tetapi bilamana si suami yang bertindak maka dianggap dahulu, bahwa isterinya sudah rnufakat tindakannya itu dan perbuatan si suami itu sudah sah walaupun ia untuk itu tidak berbicara dengan isterinya. T api andaikata si isteri tetap menentang secara terang2an, maka si suami tak berkuasa bertindak sendiri, kecuali dalam keadaan memaksa ; fihak ketiga hendaknya mempertimbangkan kemungkinan ini. Sama halnya dengan membuat pinjam an; 'kewajiban2 membayar yang telah dijanji'kan oleh suami atau isteri harus ditunaikan
dengan mempergunakan harta bersama sebagai kewajiban 2 keluar ga. Hutang 2 sedemikian itu harus dibayar dengan harta bersama, bila tak cukup, dengan barang asal milik suami atau isteri yang su dah bertindak memrbuat hutang tadi ; malahan di Makasar dapatlah barang- asal (atau barang2 sisila) dijual untuik melunasi hutang 2 bersama sebelum dijual harta bersama untuk itu ; tetapi barang2 asal dari.pada seorang yang telah mati tidak dapat diperlakukan de mikian. Andaikata si suami atau si isteri mempunyai hutang sendiri — misalnya hutang yang terjadi sdbelum dia kawin — maka hutang itu per-tama2 harus di'bayar dengan barang asalnya. si jodoh yang bersangkutan dan nomor dua : dengan harta bersama seluruhnya. Selama perkawinan tak dapat dikatakan adanya suatu bahagian suami atau isteri daripada harta bersama yang tak ter-bagi2, dan penyitaan atas suatu bahagian dari seluruhnya yang tak ter-bagi2 untuk membayar hutang adalah (dan praktisnya) suatu kemustahilan, ka rena harta benda itu selama perkawinan tak daipat di4bagi2 bila tidaik dikehendakinya oleh siapa yang berkepentingan. Pembagian barang2 perkawinan itu terjadi bila perkawinan putus karena perceraian hidup. Bilamana tidaik ada peristiwa, bahwa sa lah seorang dari suami-isteri berkelakuan begitu buruk sampai kehilangan segala haknya atas sebagian harta perkawinan oleh karena nya, atau bahwa si isteri meninggalkan bagiannya sebagai pemba yaran kerugian atas talaq yang dijatuhkan atasnya (hal. 229, 233), maika biasanya masing2 dari suami-isteri mengambil kembali barang2nya asal, mungkin ditambah juga dengan barang milik yang diperolehnya pribadi dan bagiannya dari harta benda dalaim perka winan. Selanjutnya harta bersama itu dibagi dua sama bagiannya atau kalau tidak, dalam 'perimbangan dua bagian buat si suami dan satu bagian buat si isteri. Perimbangan pembagian yang terakhir ini rupa2nya adalah patokan Indonesia untuk menilai berapa tenaga si suami yang dianggap sudah disumbangkan buat harta bersama tadi dan berapa sumbangan tenaga si isteri; dikatakannya orang: sapikul sagéndong (J.) susuhun sarembat (Bal.). Tentang anggapan bahwa pembagian itu berasal dari huikum Islam, maka anggapan sedemikian itu talk dapat dipertahankan karena ada wilayah2 di ma na agama Islam tak berpengaruh sedikitpun tapi toch patokan pem bagian yang sama dengan tadi sudah lazim di antara Pribumi. Mengenai anggapan bahwa patokan pembagian serupa itu juga harus diperlakukan atas peristiwa2 lainnya (misalnya bila ada pem bagian harta peninggalan), maka anggapan sedemikian itu mengabai-kan adanya perbedaan dalam dasar2 pembagian, ialah dasar pem bagian harta perkawinan dan dasar pembagian menurut hukum
waris. Di lapangan hokum waris maka pernilaian : lelaki dua bagian terhadap perempuan satu bagian, adalah barangkali berasal dari hukum Islam, barangkali juga karena rakyat meniru cara pembagiannya harta perkawinan, tapi jarang sekali menurut suatu kaidah hukum adat setempat. Bila perkawinan menjadi putus karena matinya suami atau isteri maka jodoh yang masih tinggal hidup itu menguasai harta bersama secara seperti sebelum terputusnya perka winan ; jodoh yang ditinggal mati itu berhak atas harta bersama itu untuk nafaqahnya sendiri; bilamana nafaqah ini telah dipenuht secara patut, maka dapat di-bagi2nya harta tadi antara dia dan alili warisnya jodoh yang m a ti; 'bilamana ada anak2 yang Ialhir dari per kawinan tadi, maka pada akhirnya mereka mewaris harta bersama itu sebagai barang asal; bilamana tidak ada anaik2, maka rupa2nya sematinya jodoh yang terlama hidup ini, harta bersama tadi di-bagiJ di antara sanak-saudara si suami di satu fihak dan sanak-saudara si isteri di lain fihalk dengan memakai patokan yang akan dipakai andaikata suami dan isteri dulu di waktu hidupnya membagikannya di an tara mereka satu sama lain. Bilamana di waktu hidupnya si jodoh yang ditinggalkan mati suami atau isterinya itu diadakan pembagian harta, maka di Jawa misalnya, tidak diadakan perhitungan yang saksama, ialah anak2 bersama ibunya atau bapanya mendapat -bagian sama ma-sing2 dari harta selurulhnya, yang terdiri dari jumlah semua barang2 dijadikan satu ; di Sulawesi Selatan si isteri di sam ping bagiannya daripada harta bersama mendapat juga porsinya sebagai janda (weduwe-portie), si suami mendapat bahagiannya sebagai janda laki2 (weduwnaarsdeel) (tawa kabaluang). Sedang pembagian harta bersama semasa suami dan isteri masih hidup secara paksa di mana 2 menurut hukum adat tak m u n g k in sama sekali, namun pembagian barang2 itu dengan permufakatan satu sama lain ada juga terdapat, dan pembagian serupa itu berlaku di antara suami dan isteri bersama ahli w a risn y a . P ela k sa n a a n n y a pembagian ialah menurut patokan yang dikehendaki mereka sendiri, kalau tidalk begitu, dengan jalan penghibahan oleh mereka bersama kepada salah seorang daripada ahli warisnya. Alasannya untuk itu mungkin misalnya karena si suami akan naik haji dengan seorang diri saja.
Dalam
pada
itu
terhadap
penuntut2 pinjaman
lama
(bila kepentingannya dirugikan) pembagian semacam tadi akibatnya tidak berlaku atas mereka, dan terhadap penuntut2 pinjaman baru pembagian itu hanya berlaku aikibatnya atas mereka bilamana pembagian harta dalam lingkungan keluarga sendiri itu sudah cukup diumumkan sepatutnya, sebelum timbul hutang baru itu.
Mengenai perbuatan menolak hak untuk ikut memiliiki harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan (uitsluiten van de gemeen schap van goederen) pada mulanya, maka perbuatan sedemikian itu — sebagai perbuatan hukum — tidak terdapat dalam hukum adat. Sebaliknya karena pengaru'h Kristen (Kaoholik) rupa-nya ter-kadang2 terdapat juga kejadian, bahwa sejak mulanya sudah ditetapkan — ini adalah satu2nya perkecualian yang jarajig ada — ba'hwa juga barang2 asal akan menjadi harta bersama di antara suami-isteri (fatsal 50 daripada ordonnantie tanggal 15 Pebrtiari 1933 Stbl. no. 74). D.
Harta benda yang dihadiahkan kepada suami-isteri bersama.
Di Madura ada terdapat, bahwa di sana di waktu perkawinan dilangsungkan, 'kepada suami-isteri diberikan hadiah barang2 (barang pembawaan) yang pembagiannya di antara mereka berdua ada berlainan caranya daripada pembagiannya harta benda yang diperoleh di masa perkawinan (ghuna ghana). Sedang barang2 yang tersebut terakhir ini pembagiannya : dua bagian untuk suami, satu bagian untuk isteri, namun barang pembawaan ini pembagiannya: suami dan i-steri mendapat bagian sama, yaitu masing2 separuh.
BAB K E SE PU LU H . H U K U M
W A R IS .
Dalam hubungan yang sangat eratnya dengan apa yang telah dibicarakan dalam ba/b2 lainnya maka hukum waris adat itu meliputi aturan2 hukum yang bertalian dengan prosés dari abad ke ajbad yang menari’k perfiatian, ialah proses penerusan dan peralihan kekayaan materieel dan immaterieel dari turunan ke turunan. Hanya tinggal ditunjukkan saja sampai di mana berlakunya pengaruh lain 2 atur an2 hukum atas lapangan hukum waris dalam masing2 lingkungan hukum. Hak pertuanan (beschikkingsrecht) membatasi pewarisan tanah ; perjanjian 2 tanaih seperti penggadaian tanaih harus dilanjuukan oleti ahli waris ; kewajiban2 dari hak2 yang ti-mbul dari per buatan 2 kredit tetap berlaku terus sesudah matinya orang yang su dah berbuat itu ; bangunnya susunan sanalk-saudara2, begitu juga bentuknya perkawinan, kesemuanya ada pentingnya dalam hukum waris. Perbuatan2 hukum seperti ambil anaik (adoptie), perkawinan ambil anak (inlijf-huwelijk), pemberian bekal kepada pengantin pe rempuan (uitzet-verstrekking), kesemuanya itu dapat juga dipan dang sebagai tindakan2 dalam lingk-ungan huikum waris -> ialah hu kum waris dalam arti luas tersebut di atas ia lah ; penyelenggaraan pemindaihan tangan dan peralihan kekayaan 'kepada turunan berik.utnya. Bilajnana proses termaksud di atas itu di-gunting2 menjadi potongan2 kecil2 dengan jalan : menempatkan „penghibahan (toescheiding) di samping „wasiat” (uiterste wilsbeschikking) dan di samping „pewarisan tanpa ada wasiat" (abintestaatvererving) — menempatikan „harta peninggalan yang tetap tak ter-bagi2 di hadapan „pem'bagian harta peninggalan” — pula dengan ja la n : memibandingkan bagian2 warisan menurut undang-undang (legi tieme porties) dengan „wewenang untuk menolak seseorang waris dari warisan” (ontervingsbevoegheid), — maka penyaringan dan pemisahan sedemikian itu di sini juga talk dapat dihindarkan untuk mendapat ikhtisar dan pengertian yang seJbaik2nya, — tapi pengguntingan dalam artikata di atas tadi adalah juga suatu penyerangan atas pengertian tentang keseluruhan peristiwa hidup tadi. Dalam kenyataannya orang tidaik cukup dengan bertanya saja ba gaimana suatu kekayaan tertentu sudah diperlakukan semestinya oleh pemiliknya, dengan jalan demikian itu orang akan 'memperoleh gam baran yang pincang; namun dalam pada' itu orang dapat dan ha rus memisahkan tokoh hukum „kepindahan milik kekayaan di waktu mati” dari tokoh hukum „penghibahan (toescheiding) di waiktu hidup” , dan sebagainya.
D i lapangan hukum waris dapat mudah ditunjukkan adanya kesa tuan dan ber-jenis2an dalam hukum adat Indonesia. Dapat disusun aturan 2 pokok dan asas2, yang sangat umum -berlakunya, tapi tak dapat disusun satu aturan, yang di semua lingkungan hukum berperangai lahiryang sama. Kaidah : „bila seorang pemilik Bumiputera mati maka per-tama 2 ana/k2nya mewaris dari dia” adalah hanya se tengah betul terhadap daerah2 Batak, ialah „benar” hanya terhadap anak2 laki2 (walaupun dalam pada itu barang2 yang telaih dibawakan kepada anak2 perempuan tidak boleh diabai/kan begitu sa ja ); di Minangkabau kaidah itu setengah betul, artinya „betul” bila yang mati itu ibunya ; bila yang mati itu bapanya, maka yang mewaris dari dia ialah angkatan muda keturunan saudara2 perempuan si mati, bukannya angkatan muda keturunan (dia 'bersama) isterinya (wa laupun dalam pada itu penghiibahan2 berkala dari bapa kepada anak2nya tida/k boleh diabai'kan ibegitu saja) ; di daerah 2 Lampung kaidah itu seterigaih betul, dalam pengertian ba'hwa di sana hanya ana/k yang tertua mewaris — tapi dengan dibebani kewajiban memperlaikukan keluarganya bapanya seperti keluarganya sendiri. Me ngenai kaidah yang menyebutkan bahwa harta peninggalan sesudah matinya pemiliknya dalam keadaan2 tertentu masih tetap tidak di-bagi2, maka aturan ini di Minahasa mengalkibatkan keadaan yang lain dari pada di Minangkabau, lain pula dari pada di Bali atau di Ja wa, dan sebagainya. Aturan 2 hukum waris tidak hanya mengalami pengaruh perubaihan2 sosial dan semakin eratnya pertalian keluarga yang beraikibat semakin longgarnya pertalian clan dan suku saja, melainkan, juga mengalami pengaruhnya sistim2 huikum asing, yang mendapat kekuasaan berdasarkan atais agama ikaxena ada 'hubungannya lahir yang tertentu dengan agama itu : dan kekuasaan tadi misalnya dipraktekikan atas soal2 yang concreet oleh hakim 2 agama, wailau.pun pengarulh itu atas hukum waris tidak ibegitu kentara seperti atas hukum perkawinan ; adalah tergantung dari ikekuatan bentuk2nya hukum waris sendiri apakah ia dapat tetap menolak pengaruh itu, ataukah pengaruh itu dapat menyebabkan perubahan2 yang mendalam atasnya. Per-tama2 di sini akan dibicarakan hal harta peninggalan yang tetap tidak di-bagi2; sesudah itu ; hal perbuatan2 hukum yang mengaki'batkan atau mempengaruhi pembagiannya; selanjutnya hal aihli waris di mana tiada wasiat (abintestaat) dan kemudian h a l : diwarisnya bagian 2 yang tertentu daripada harta peninggalan dan hutang2. Mengenai kebiasaan membawakan kepada si mati barang2
ke liang kuburnya — barang2 mana menurut alam pikiran „serba berpasangan” (participerend) sedemikian erat hubungannya dengan pribadinya si mati, sehingga orang lain tak dapat memilikinya tanpa mendapat ba'haya oleh karenanya — maka hal itu harus dianggap sebagai suatu kebiasaan yang sudah lenyap atau sedang menjadi lenyap. 1.
D A R I H A L T E T A P T A K T E R -B A G F N Y A H A R T A P EN 1N G G ALAN .
Adanya harta peninggalan tetap tinggal tak di-bagi2 itu dalam be berapa lingkungan hukum ada hubungannya dengan aturan bahwa harta benda yang ditinggalkan oleh kakek2 (dan nenek2) itu tidak mungkin dimiliki, melainkan secara milik bersama beserta waris la innya, yang satu dengan lain merupakan suatu kebulata.n yang tak da pat ter-bagi2. Harta keraibat di Minangkabau ialah harta pusaka, dan tana'h2 kerabat dati di jazirah Hitu di pulau Ambon ke semuanya itu dapat dipakai sebagai contoh. Masing2 anak yang lahir adalah peserta dalam gabungan perseorangan2 yang memiliiki barang2 kerabat, tanah2 pertanian, pekarangan dengan rumah dan ternaiknya, tkeris2 dan perliiasan2 mas intan ; masing2 lela ki atau perempuan yang meninggal dunia meninggalkan gaibungan perseorangan2 (personen-complex) tadi untuk berlangsung terus dengan tiada gangguannya. Sepanjang seseorang di waktu liidu p nya telah memperoleh harta benda atas usahanya sendiri (harta pencarian) raaka bila ia mati barang2 itu jatuh ke tangan anak-cucunya yang berhak atasnya sebagai warisan yang bulat dan tak ter-ba gi2, anak-cucu mana sewaktu hidupnya dulu juga sudah ada hubungannya terhadap barang2 tadi sebagai waris (hal. 205). Bila mana misalnya di Minangkabau ada seorang perempuan mati yang mempunyai sawaih sebagai milik perseorangan, maka sawah itu men jadi milik bersama yang tak ter-bagi2 daripada anak2nya ; itu dise but harta pusaka angkatan pertama (oleh karena rupa2nya juga disebut harta saka, atau harta pusaka rendah). Dengan cara serupa itu juga maka harta pencariannyz seorang laki2 menjadi harta (pn)saka daripada saudara2nya laki2 dan perempuan dan anakcucunya saudara2nya perempuan, kesemuanya menurut garis ketu runan perempuan. Demikianlah ada pada harta pusaka itu s e n d i2 nya (geledingen). Harta benda terkuno berasal dari banyak angkatan2 leluhur yang lampau, yaitu dari nenek2 yang dulu membantu pembentukan nagari, ialah disebut harta pusaka tinggi, di bawah pengurusannya kepala daripada kesatuan kerabat yang terbesar, ialah pengulu andiko, dan harta benda yang termuda berasal
dari seseorang lelaki atau perempuan dari angikatan yang baru lalu yang meninggal dunia ; di antara dua2nya terdapat gabungan2 harta benda berasal dari leluhur2 dari beberapa angkatan yang lalu. Kese muanya itu dalam prakteknya menjadi lebih gampangdari pada nampaknya, ialah karena adanya golongan2 yang 'habis mati, dan pergabungan harta2 menjadi satu oleh karenanya, dan sebagainya. Bila mana suatu gabungan kerabat menjadi kebesaran, maka lantas membelaihlah juga kekayaan yang tadinya tak ter-
d a n tak diusahakan gantinya dengan jalan negikan, yang berarti : m en dirikan caibang, m aka cabang itu m ati habis (m upus) dan har ta peninggalan jatu h ke tangan cabang yang paling karib dengannya. K em ungkinan bahwa anak 2 yang lebih m uda m inta biaya nafaqah un tu k dirinya berupa sebagian harta sekaligus — ialah baihwa m ereka un tu k itu ingin m endapat sebagian dari harta tadi sekaligus (zich laten uitboedelen) — dapat mengakibatkan tim bulnya suatu lia k atas sebagian 'harta dan dapat mengakibatkan hapusnya hukum waris berdasar anak yang tertua (majoraatserfreoht). D i Bali proses pengfiapusan sedemikian itu rupa2nya m akin m endapat kem ajuan. T e n ta n g kedudukan istimewa daripada anak perempuan tertua di Ttalangan suku Semendo, yaitu tunggu tubang (di bawah pengawasan anak laCki2 tertua, ialah payung jurai) dan kedudukan anak perem pu an tertua di kalangan suku 3 Dayak Sandak dan Dayak T a ya n : anaq pangkalan, kesemuanya juga m engandung maksud dan m em beri kekuatan untuk memegang bagian 2 pokok daripada harta itu m en jadi satu sebagai kebulatan yang tak ter-bagi2, terdiri dari satu daripada m asing 2 jenis ; sebidang tanah pertanian, sebidang tanah pekarangan, seekor kerbau, sebatang pohon kelapa ; sekumpulan harta ini buat sekalian anak 2 tetap m enjadi „pangkalan” mereka pergi m engem bara dan juga „pangkalan” mereka pulang untuk m em peroleh perlindungan. Secara semacaan itulah rupa2nya harus ditaEsirkan kedudukan yang dilebifokan dalam hukum waris daripa d a anak laki 2 termuda di kalangan sebagian rakyat Batak ; dia yang p alin g laima tinggal di rumah mendapat sebagian dari budel yang Tnasi-h dalam keadaan tak ter-bagi2 yang dulu ada di tangan si peningg al warisan agar supaya dipertahankannya terus (buat dirinya). K ew ajiban2nya terhadap saudara2nya perempuan yang belum kawin (kew ajiban 2 m ana dipikulnya bersama dengan kakak2nya laki2) adalah seim bang dengan kedudukannya yang dilebihkan itu. H arta 2 kerabat tak ter-bagi2 yang terkenal di M inahasa ialah barang kalakéran, berbeda dengan harta kerabat M inangkabau — in i terlepas dari tata-susunan rakyat Minahasa yang berhukum ibuba-pa dengan kelebihan di fihak bapa — dalam pengertian, bahwa harta tadi m ungkin dan boleh di-bagi 2 asalkan semua orang yang berhak menyetujuinya. Mengenai keadaan tetap taik ter-.bagi2nya barang yang diperoleh atas usa'ha perseorangan, yaitu barang pasini, m isalnya : tanaman 3 di atas tanahi kalakéran, maka bila pemiliknya itu m ati lantas diwaris sebagai harta bersama daripada golongan anak-cucunya orang yang meninggal dunia itu — jadi golongan anak-cucu yang merupakan sebagian kecil dari kerabat seluruhnya, yang m em iliki harta kalakéran — m aka keadaan itu juga menye-
babkan timbulnya semacam sendi2 dalam susunan kerabat seperti di Minangkabau, hanya saja urusan ini m enjadi amat lebih ruwet disebabkan oleh perkawinan 2 endogamie di sana. D i sinilah letaknya kekacauan dalam hal hulkum tanah di Minahasa, dan orang berkehendak mengatasinya dengan jalan memungkinkan dan mengesahkan pembagian 2 harta peninggalan itu tanpa persetujuan bu* lat daripada anggauta 2 kerabat (yang tidak selalu bisa didapatnya hubungan). Penyelesaian masalah ini buat sementara tidak mung kin karena kurang baiknya organisasi peradilan (gubernemen), ku rang tepatnya pengertian tentang funiksi yang m au tidak m au harus dimiliki oleh peradilan untuk mengadili perkara serupa itu dan oleh karenanya timbul usaiha yang kurang tepat pula untuk memperbaiki peradilan tadi. D i Am bon maka tanah 2 di luar golongan tanah 2 dati diwaris oleh anak-cucu peninggal2 warisan dalam arti hukum ibu-bapa ; warisan itu menjadi milik pusaka yang tetap tak ter-bagi2, walaupun dapat juga diusahakan untuk di-bagi2nya. Juga sekitar m ilik ini timbul sendi2 di antara gerombolan 2 kecil daripada mereka yang berhak atas pusaka ini (anak-cucu anggauta kerabat yang sudah memper oleh milik — perusahaan — sendiri, ialah karena ia telah membuka tanah sendiri atau menaimbah jumlah tanaman sendiri) dalam lingkungan golongan kerabat yang lebih besar dan yang memilitki tanaman) yang lebih tua ; juga di sana timbul permudahan yang praiktis mengenai penggolongan para ikut berhak, penggolongan mana semula teoritis menjadi sangat ruwet sekali nampaknya. D i luar bentuk2 daripada keadaan tetap tak ter-bagi2nya harta peninggalan yang tersebut di atas itu, maka adalah perangai ke Indonesiaan umum, bahwa harta peninggalan itu sematinya si pening gal tetap diteruskan sebagai kebulatan harta yang tak ter-bagi2 dan sebagai kekayaan keluarga ; dasar daripada tak terjbagai2nya itu adaIah pokok pikiran, bahwa harta yang diperoleh itu memang tersedia untuk mencukupi kebutuhan2 dan keinginan 2 materieel daripada k e l u a r g a nya. Adalah disadari sebagai perkara yang sudah semestinya, bahwa — bila pemimpin daripada keluarga itu meninggal dunia - harta bendanya (harta benda keluarganya) tetap berlang sung dalam keadaan tak ter-bagi2 di bawah pimpinan orang lain (yaitu anak laki2 yang tertua, jandanya) untuk kepentingan keluarga, sam pai pada siiatu waktu kelak di-*bagi%iya di antara anggauta2 keluarga perseorangan untu'k dipakai lagi sebagai dasar daripada keluarga2 yang dibentuk oleh mereka. Juga dalam pada itu harus selalu diingat, bahwa pembagian itu tidak perlu dan acapkali tidak terdiri
dari satu perbuatan sekaligus pada satu saat, melainkan pembagian itu terdiri dari satu proses ber-angsur2 daripada pemberian tanah2 pertanian, pekarangan2, rumah 2 kepada anak2 yang pergi raenyiar (berkawin), dan sisanya jatuh ke tangan anak yang termuda — yang terlama tinggal di rumah — ialah sesudah kedua orang tuanya meninggal dunia. Dalam proses ini maka kematian orang tua mungkin merupakan suatu insiden yang taik berpengaruh nyata atas jalannya urusan menurut hukum a d a t; mungkin juga kematian itu menjadi alasan untuk mem-bagi2 harta benda itu sam pai habis secara pasti. Dalam hubungan ini maka pertanyaan yang menjadi soal dalam hukum adat ialah, apakah — bila seseorang yang dianggap sebagai pemilik harta benda itu meninggal dunia — seorang warisnya, limpama anaknya yang sudah dewasa, dapat m e n u n t u t pembagian sekaligus dan pasti daripada harta peningga lan itu. Jawaban atas pertanyaan ini ialah, bahw a: bilamana keadaan tak ter-bagi2nya dan kumpulan jadi satu daripada harta peninggalan itu perlu dan dibutuhkan untuk mencapai tujuan harta itu sebagai kekayaan keluarga — bilamana misalnya seorang janda atau anak2 yang belum dewasa harus mendapat nafaqahnya daripa danya dan pemberian nafaqah ini akan kurang dapat terlaksana andaikata diadakan pembagian — maka pembagian itu tidak (be lum) boleh dituntut oleh seorang waris itu. Tentang sampai di mana orang dengan permufakatan satu sama lain segera atau tidaik segera mem-bagi2 harta peninggalan itu, maka hal ini tergantung dari banyak faktor2 ekonomis dan peribatan sihir (magisoh-religieuze factoren). Putera2 Batak yang bapanya sudah mendapat sukses ba nyak, dengan secepat mungkin memiliki bagiannya dalam harta benda yang berasal dan diperoleh sendiri oleh si m a ti; bagiannya itu seraya akan memberkahi dia juga dengan keuntungan- yang ada pada .barang2 itu sebagai kekuatan gaib ; tapi mereka akan membiarkan misalnya ladang2 yang diwarisinya dari kakek2 leluhurnya dalam keadaan tak ter-bagi2 di antara mereka satu sama lain seumur hidupnya. Sebaliknya orang2 Dayak membiarkan dalam keadaan- tak ter-bagi2 di antara golongan2 ahli waris : barang" yang mengandung banyak khasiat „magis” seperti gong2, senjata2 kuno dan pakaian2 k u n o ; orang2 ahli waris yang pegang pimpinan adalah hanya pemakai2 atau pengurus2 (beheerders) barang2 itu. Di kalangan su ku Toraja Barat maka sekumpulan harta benda kerabat tak disinggung2 dan berada dalam keadaan tak ter-bagi2 di bawah pengurusan salah seorang dari perempuan2 yang tertua ; si lelaki bila ia "kawin pindah ke rumah isterinya dengan tidak membawa barang apa 2 yang berharga. Di Jawa pembagian harta peninggalan itu
dapat segera dilaiksanakan karena misalnya kebutuhan akan wang dan berttiubung dengan ini, karena keharusan untuk memiliki tanah2 pertanian sendiri agar supaya dapat dipakai jaminan pinjaman kepada „volkscredietbanlk” ; andaikata soal ini tidak ada,' maka. pembagiannya harta itu sampai lama akan tak terlaksana. Di lain fihaik, maka dalam alam pikiran „serba berpasangan” (par ticiperend) adanya milik bersama atas kekayaan tak ter-bagi2 itu — misalnya sebidang tanah yang tak ter-bagi2 — adalah juga suatu. syarat yang riil untuk memegang jadi satu pertalian kerabat sendiri.. Juga oleh' karena itulah maka orang dengan sengaja membiarkam harta peninggalan sampai lama dalam keadaan tak ter-bagi2 dan oleh sebab itu, maka — bila toch diadakan pembagian — dibiarkan sejengkal tanah yang praktis tak ada harganya di luar pembagian se bagai sauh yang konkrit yang mengekalkan rapatnya pertalian kera bat (misalnya : tanah wawakes un teranak di Minahasa, terjemahannya Jurus: alat pengikat kerabat). Adalah menurut hukum adat mustahil andaikata ada seorang waris yang tak rela lantas diperbo'lehrkan menuntut pembagiannya sejengkal tanah tersebut; juga tak mungkin sama sekali dikurangi sedikitpun berlakunya aturan2 adat yang telah diuraïkan tadi, bilamana ada orang meminta berlaku nya aturan hukum Barat yang menetapkan „bahwa seseorang tak dapat dipaksa tetap ikut memiliki harta peninggalan yang berada dalam fceadaan tak ter-bagi2”, ataupun bila ia meminta berlakunya ilmu f&ih (plichtenleer) agama Islam, yang meluluskan pembagian harta peninggalan dengan seketika. Pemakaian dan pengurusan harta peninggalan tak ter-bagai? itu ter-kadang- terlaksana ber-grlir2 di tangan salah satu dari keluarga* yang berhak (giliran, }.), ter-kadang2 di tangan masing2 dari mere ka sebagian2 dan ter-kadang2 di tangan salah satu dari mereka. Bila mana tidak ada perjanjian, maka tidak ada kewajiban untuk membagi atau menyeralh'kan hasil daripada harta itu, dan sudah barang^ tentu di kemudian hari (bila diadakan pembagian harta) tidak dapat dituntut oleh ahli waris bersama penggantian daripada hasil harta peninggalan yang sudah dipungut oleh si waris yang memegangnya untuk dirinya sendiri itu, tuntutan mana, seperti telah kejadian, sekali tempo dicobanya diajukan ke muka Landraad2 di Jawa. 2.
PENGHIBAHAN 2 DAN W ASIAT 2 (TOESCHELDINGEN EN UITERSTE WILSBESCHIKKINGEN).
Kebalikan benar- daripada tetap tak ter-bagi2nya harta peninggal an, tetapi walaupun demikian berdasarkan atas pokok pikiran yang;
sam a ('kekayaan sebagai kekayaan keluarga, diperuntukkan buat da sar kehidupan m aterieel anggauta 2 keluarga dalam keturunan 2 berikutnya), adalah pem bagian 2 harta peninggalan di waktu m asih hidupnya pemitiknya. D i waktu anak m enjadi dewasa, dan pergi me* ninggalkan rum ah orang tua untuk menyiar, dan m em ulai berum ah tangga dan m em bentuk keluarga yang berdiri sendiri (mencar, J., m anjaé, Bat. hal. 167) maka sangat acapkali anak 2 itu sudah dibekali sebidang tanah pertanian, sebidang tanah pekarangan de ngan rum ahnya, dan beberapa ekor ternak, harta benda m ana per-ta m a 2 m erupakan dasar materieel buat 'keluarga baru itu, dan barang 2 itu sudah m erupakan bahagiannya dalam harta benda keluarga, yang kelak diperhitungkan pada pembagian harta peninggalan sesudah m atinya kedua orang tuanya. M engingat keadaan biasa daripada peninggalannya orang tani keoil, maka apa yang diterima itu juga tetap sama dengan bahagiannya d i kem udian hari ; hanya di kalangan yang ’-ada^sedikit m am pu, sesudah anatinya orang tua masih ada ketinggalan barang untu'k di-bagi2, walaupun semua anak- itu dengan cara^ tersebut di atas sudah m endapat bahagian m asing2. Seorang lakia yang n a ik 'h a ji acapkali di waktu hidupnya m em -bagi 2 harta b e n d a n y a /M en g en a i sering atau tidaknya penghibahan sewaktu h i d u p (imarisaké, papassang, Sulawesi Selatan) tidak laan hanya dapat dituturkan bahwa itu acapkali ada terjadi dan acapkali ju g a tidak. Penghibahan tanah kepada seorang anak laki 2 atau anak perem puan di waktu ia kawin adalah suatu perjanjian tanah (grondtransactie), tapi suatu perjanjian tana'h d i a a m lingkungan sanaik-saudara, jadi : suatu perkisaran (verschuiving), suatu kepindahan tangan menerus sebagaimana mustinya dari se orang ke seorang lainnya di dalam lingkungan sanak-saudara yang sudah ada, lingkungan mana m eliputi si pemberi dan si terberi kedu a2nya (hal. 120) . O leh karenanya ia bukannya perjanjian jual, di m ana pembayaran sejumlah wang dengan tunai adalah jasa pem balasan (tegenprestatie) sebagai syarat m utlak untuk melepaskan tanahnya. Pemberian bantuan dari penghulu- rakyat adalah perlu sekali buat berlakunya ke luar, terhadap masyarakat dan terha dap fihak 2 ketiga lainnya. Juga penghibahan ini 'haruslah „teia n g supaya m endapat perlindungan lalu-lintas hukum di luar lingkungan kerabat, misalnya terhadap penagih 2 hutangnya si penghibah menge nai
pinjam an2nya sesudah
penghibahan. T a p i
sebagai perbuatan
berdasarkan hukum waris penghibahan itu berlaiku dalam lingkung an kerabat tanpa di „terang” kan sedemikian itu dan di sini pem berian bantuan dari fihak penghulu yang dibutuhkan tadi dapat diganti dengan pelaksanaan dan pengakuan m enurut kenyataannya
(feitelijke vestiging en erkenning) daripada hubungan hukum yang baru ini selama waktu yang tertentu (hal. 1 07 ); pembantuan atau dengan setahunya golongan kerabat yang berkepentingan, ialah warisnya, ter-kadang- adalah syarat untuk sahnya perbuatan penghi bahan itu, dengan pengertian bahwa masing 2 waris dapat menuntut haknya dengan berhasil atas alasan bahwa penghibahan itu terjadi dengan tidak setahunya dan merugi'kan dia — kecuali bila tempo yang lama dan berhubung dengan apa yang kejadian dalam tempo itu membenarkan keadaan penghibahan itu. Perbuatan penghibahan itu juga dikenakan pembatasan yang diadakan karena hak pertuanan (beschikkingsrecht) masyarakat (ha nya sesama anggauta masyarakat dapat memiliki tanah, tidaik boleh dua bidang tanah pertanian di tangan seorang sesama anggauta, dan sebagainya). Terhadap semua perbuatan lainnya yang berdasarkan hukum wa ris, maka penghibahan itu tanda cirinya ialah, bahwa penyerahan barangnya berlaku dengan seketika. Perbuatan penghibahan yang paling sederhana ialah penyerahan tanah kepada seorang anak yang berhak ata$ warisan ; dalam pada itu orang tua itu terikat pada aturan, bahwa semua anak harus men dapat bahagian yang patut daripada harta peninggalan (bahwa mencria'k dari warisan (onterven) adalah terlarang menurut hukum adat), akan tetapi selain dari pada itu ia bebas dalam hal caranya membagi dan menentukan besar-kecilnya bahagian masing2. Namun ' perbuatan penghibahan itu mempunyai funksi lain di luar perkisaran dalam lingkungan aturan2 hukum waris di mana tiada wasiat (abintestaat erfrecht) ; karena dengan jalan penghibahan ini, maka tim bul kemungkinan untuk sedikit banyaik membetulkan (korrektie) aturan- hukum waris tanpa ada wasiat yang sudah tepat dipandang dari sudut struktureel atau traditioneel atau saleh (religieus), tapi yang tidak atau tidak lagi memberikan kepuasan. Demikianlah ‘ aturan hukum waris Batak Toba — ialah bahwa hanya anak2 la'ki2 yang dapat bagian harta peninggalan bapanya — diperlunak dengan jalan penghibahan tanah pertanian atau ternak oleh bapa kepada anak2nya perempuan yang belum kawin atau selagi kawin, pula ke pada ana'k daripada anak perempuan ini, yang nomor satu lahirnya (saba bangunan, pauséang, indahan arian) ; demikianlah aturan hu kum iVfinangkabau, bahwa seorang lela'ki hanya mewariskan kepada keturunan ibunya, dapat tetap diterima baik, ialah karena dalam prakteknya hampir masing2 bapa menghibahkan kepada anak2nya sendiri sebagian sedikit atau semua harta benda hasil usahanya sen-
diri; demikianlah di Am bon yang berhukum bapa, bapanya kemantin perempuan biasanya menghibahkan sebuah kebun buah2an (dusun lélépéello) kepada keluarga baru itu ; demikianlah dulu di Jawa orang dapat membela diri melawan liakim 2 agama yang tak mengakui liak2nya „anak angkat” atas warisan, ialah dengan jalan menghibahkan harta bendanya atau sebagian daripadanya kepada anak angkatnya itu (hal mana memang terjadi juga dengan iertibnya). Orang 2 yang tidak beranak dapat memiliki dan menguasai harta bendanya sendiri dengan tiada pembatasan2nya menurut hu kum waris, itupun kecuali bila pertalian kerabat sebegitu kuatnya, sehingga harta benda itu semua atau sebagian harus diwariskan ke pada golongan ahli waris yang lebih besar; untuk menjamin kedu dukan materieel daripada isteri acapkali juga diadakan 'penglilbahan. Akhirnya apa yang dinamakan pembekalan kemantin perempuan (uitzet) yang diberikan untuk dibawa oleh anak- perempuan yang baru kawin (ter-kadang2 dengan upacara besar2an seperti peungklèh di Aceh) dapat juga dipandang sebagai (semacam) penghi bahan. Jujur yang dibayarkan kepada kerabat fihak perempuan untuk kepentingan anak2 laki2 yang baru kawin itu memang betul berarti pemakaian kekayaan keluarga atau kerabat untuk bentukan "keluarga salah seorang dari anak2, akan tetapi meskipun begitu — sebagaimana ternyata dari uraian di atas tadi — menurut hukum adat hal itu tidak karib dengan penghibahan. Tentang tanah hibahan jatuh kembali kepada si penghibah bila mana orang yang dihibahi itu meninggal dunia dengan tak meninggalkan anak, maka hal ini bukannya suatu aturan yang tersendiri, -akan tetapi berdasar atas berlakunya aturan2 hukum waris atas barang asal. W
a s i a t2
( u i t e r s t e
wilsbeschikkingen).
Pemilik harta benda sewaktu hidupnya dapat juga dengan cara lain mempengaruhi dan oleh karenanya menyebabkan pembagian harta itu. Per-tama2 dengan jalan perbuatan yang bertujuan agar supaya sebagian tertentu daripada kekavaannya diperuntukkan bagi salah seorang dari ahli waris seja.k saat matinya si peninggal wa risan kelak. Pada salah satu kesempatan di hadapan para waris, maka tanah pertanian atau pekarangan disebut olehnya bahwa diperuntu-kkannya buat anaknya yang diiunjuk dengan namanya pula. Bilamana si peninggal warisan tidak mencabut kembali wasiatnya itu, maka orang yang diwasiati ada hak atas bahagian kekayaan da ripada harta peninggalan yang diperuntukkan buat dia, itupun sepanjang keadaan harta peninggalan itu raengizinkannya mengi-
ngat pinjaman 2 yang harus dibayar dari padanya, pula mengingat larangan menolak dari warisan (ontervingsverbod). D i mana per buatan ini ada terdapat, maka rupa2nya disebutnya dengan istilah Islam : hibah wasiat. Wasiat secara lain, yang sangat lebih lazimnya dan di mana 2 di Nusantara sini terkenal dan dipraktekkan, ialah pada saat terakhir di waktu sakitnya atau se-tidak2nya pada waktu pendek sebelum ajalnya maka peninggal warisan itu menjumlah harta bendanya dan menyatakan keinginan2nya terhadapnya. Di Jawa maka wasiat serupa itu disebut wekas (bahasa tinggi : weling), di Minangka bau : um anat; di lain2 tempat juga disebutnya dengan istilalinya sendiri2. Maksudnya setengah ialah memberikan pernyataan yang mengi:kat terhadap sifat daripada barang2 Jiarta peninggalan (ba rang berasal dari warisan, barang yang diperoleh sendiri, barang yang diperoleh selama perkawinan, dan sebagainya) setengah lainnya maksudnya ialah untuk memaksakan kepada ahli waris pembagian yang oleh si peninggal warisan dianggap adil, dan untuk mencegah perselisihan tentang harta peninggalan itu. Juga umanat itu tergantung dari aturan2 tentang pembayaran pinjaman si mati dan tentang menolak dari warisan (onterving) dan sebagainya. Rupa2nya dalam kebanyakan lingkungan 2 hukum di kalangan go longan yang termampu mirlai menjadi kelaziman menyuratkan wasiat si peninggal warisan itu dalam testament. Juga terhadap soal ini berlaku sudah barang tentu pembatasan2, berdasarkan hukum madi (materieel recht) . p i mana testament itu masi'h lembaga yang baru, maka haruslah diluluskan masuk menjadi hukum dengan jalan pembentukan hukum dalam tokoh yang sudah di mana 2 sesuai de ngan susunan hukum a d a t; masalah ini sudah ada titik2 sambungannya berupa hibah wasiyat dan umanat. Hanya sekali tempo ter dapat larangan tegas untuk membikin wasiat3 seperti di Tnganan Pagringsingan di Bali, di mana masyarakatnya masih sangat bersemangat serba umum dalam segala hal (commune samenleving). Penyusunan testament itu menurut hukum adat tidak usaii memakai perantaraan seorang notaris, dan bila toch memakainya perantaraansedemikian itu untuk kepastian hukum hanya ada baiknya, bila notaris itu berpendidikan hukum adat. 3.
P E M B A G IA N H A R T A P E N IN G G A L A N .
Bilamana si peninggal warisan sewaktu hidupnya tidak memberi kan semtia harta bendanya dengan jalan penghibahan, dan bila mana — sesudah dipotong hutang2nya, hal mana di bawah ini akan
dibicarakan — masih ada sisanya, maka harta peninggalan itu lan tas dapat dibiarkan dalam keadaan tak ter-bagi2 secara yang diurai kan di atas atau bila tidak demikian, pada suatu waktu kemudian da pat di-bagi2. Pembagian ini adalah suatu perbuatan daripada ahli waris bersama, biasanya tidak menurut aturan2 yang keras apalagi menurut tuntutan 2 keinginan, melainkan biasanya terselenggara da lam suasana kebaikan hati, pemberian bantuan dan pemberian kelebihan kepada siapa2 yang paling kurang untung nasibnya. Karena perbuatan itu maka terletaklah liak2nya perseorangan daripada w aris; bila menurut liukum tanah diharuskan, maka pembagian ini diberitahukan kepada penghulu 2 rakyat, itupun bilamana mereka du lu tak hadir pada waktu ada pembagian harta peninggalan itu : di Jawa hadirnya itu adalah suatu perkecualian. Bilamana salah seorang waris atau beberapa orang waris menghendaki mem-bagi2 harta peninggalan, sedangkan waris2 lainnya tak mau menurutinya, maka lantas timbullah perkara — itupun bila pa ra waris tak dapat didamaikan satu sama lain — perkara mana membutuhkan keputusan hakim, ialah hakim dusun (dorpsrechter) atau hakim jabatan (beroepsrechter). Bilamana tak ada alasan2 menga>pa mereka berkeberatan tentang pembagian ini, maka mereka yang berkeberatan ®tadi dapat dipaksa untuk turut me-misah2kan dan mem-bagi2kan harta benda itu. Sayang sekali pekerjaan hakim 2 gubernemen mengenai pembagian harta peninggalan ini menurut hukum acara adalah salah satu daripada bagian2 hukum acara yang paling tak memuaskan. Bila tetap adanya pembandelan, maka vonnis itu disusul dengan penjualan paksa kepada umum, malahan ter-kadang2 (tapi ini tidak tepat) disusul dengan campur tangan oleh instansi2 yang pada umumnya justru harus dijauhkan dari pemba^ian harta peninggalan itu. Perlu dan mendesak sekali diadakannya perbaikan dalam masalah ini. 4.
A H L I W AR IS.
lernyata dari apa yang telah diuraikan tadi, bahwa pada umum nya mereka yang paling karib dengan generasi berikutnya, ialah me reka yang menjadi besar dalam keluarga si peninggal warisan, me reka itulah ahli waris; per-tama2 anak-lah yang mewaris. Sebagaimana juga telah tercatat tadi, maka ikatan keluarga dalam bebe rapa lingkungan2 hukum diterobos oleh ikatan golongan kerabat yang segi satu susunannya. Di kalangan kerabat2 yang merupakan ba gian 2 clan
(segi bapa atau segi ibu) maka dalam hal ini menjadi
tertampaklah ketegangan di antara hak2 daripada ikatan keluarga
dan hak 2 daripada ikatan kerabat. Seketika sesudah keadaan2 sosial berubah yang misalnya menyebabkan meninggalnya pengembaraan yang mengakibatkan pula kehidupan kekeluargaan yang berdiri sen diri, atau perubahan tadi menyebabkan tak terpakainya lagi rumah 2 kerabat yang sangat berharga itu, yang berarti tambahnya rumah 2 keluarga dan oleh karenanya pula tambah kokohnya kehidupan kekeluargaan yang berdiri sendiri, maka oleh karenanya ikatan hukum yang berdasarkan hubungan kekeluargaan (harta perkawinan bersa ma, berhaknya anak2 atas warisan dari k e d u a orang tua) lebih kokoh dari pada ikatan liukum yang berdasarkan ikatan kekerabatan (hal. 224). Dengan jalan prakteknya penghibahan maka terjadilah dalam hukum waris tanpa ada wasiat berhaknya anak2 atas harta benda keluarga se-bulat2nya. Hanya anak2 berhak atas warisannya kedua orang tuanya ada lah suatu tanda daripada susunan kesanak-saudaraan yang berhu kum ibu-bapa, susunan mana baik berdasarkan atas susunan suku yang bersegi dua (Dayak dan Toraja) , maupun susunan yang ter jadi sebagai akibat terpecahnya susunan kerabat menjadi ikatan2 keluarga, seperti misalnya di Jawa. Dalam susunan sanak-saudara yang bersegi satu, sebagaimana telah tercatat di atas, adala'h terdapat dua halangan terhadap mewarisnya anak2 dari (kedua) orang tuanya. Per-tama2 anak2 tidak mewaris dari salah seorang orang tuanya yang dengan seorang diri nya tetap tergolong lingkungan kerabatnya sendiri, di mana anak2nya itu tidak termasuk, misalnya : Minangkabau, di mana anak2 ter masuk bagian clan ibunya sedangkan si bapa tidak turut tergolong di situ melainkan tetap terikat dalam golongan kerabatnya sendiri ; hak warisnya anak2 menurut hukum waris tanpa ada wasiat atas harta peninggalan bapanya dalam pada itu menurut sistimnya sama sekali tidak mungkin ; prakteknya penghibahan mengoreksi ketidakmungkinan itu ; perkisaran2 dalam keadaan2 sosial dapat menghapuskannya buat sebagian atau seluruhnya. Di mana anak2 perempuan mewaris harta ibunya dan anak2 laki2 mewaris harta bapanya, seperti di Savu, maka halangan sementara itu juga dapat diatasi dengan jalan penghibahan ; walaupun demikian maka si bapa dari harta benda pusakanya yang anak perempuannya tak mungkin akan
dapat
hak
waris
atasnya, dapat
menghibahkan
sebidang
kebun misalnya kepada anaknya perempuan (dan iketurunannya perempuan) itu (haru kaballa). Kedua : yang merupakan ha* langan lain sama sekali untuk anak2 yang akan mewarisi harta dari kedua
orang
tuanya
dalam
lingkungan
susunan
sanak-sajidara
segi satu, ialah bentuknya perkawinan, yang mengakibatkan anak yang baru 'kawin itu terlepas dari golongan sanak-saudaranya; yaitu perkawinan „jujur” dalam arti yang se-bulat2nya, dan per kawinan ambil anak (inlijfhuwelijk) dalam bentuk2nya yang terten tu : misalnya golongan 2 pepadon di Lampung dan di kalangan Batak. T oba, dan di kalangan terakhir ini anak perempuan karena perka winannya ke luar dari kerabat. bapanya, sehingga ia ta'k dapat hak su atu apa sebagai waris di mana tiada wasiat (seperti juga seorang anak perempuan di Bali misalnya yang sudah kawin tiada berhak. atas sebagian daripada harta peninggalan bapanya). Suatu praktek daripada penghibahan2 di waktu dan sesudah perkawinannya mem beri 'koreksi atas pengucilan i n i ; dan bahwa di kalangan Batak (T o ba) anak perempuan — walaupun ia bukannya waris yang berfaak — dengan menyajikan makanan dan memakai sopan-santun adat yang sudah menjadi aturan, sesudah matinya bapanya meminta sekedar bagian dari harta peninggalan bapanya, permintaan mana bila masih ada dalam batas kepatutan anak2 laki2 dan sanak-saudara2 yang ber hak itu tak dapat menolaknya. Dalam golongan anak2 yang berhak atas warisan di beberapa ling kungan hukum timbullah suatu perbedaan yang berhubungan dengan keadaan tetap tak ter-bagi2nya harta (inti) orang tua yang berupa hak milik (Inlands bezit) daripada anak laki2 yang tertua (beberapa kalangan Batak, Lampung, Pasemah, Bali) daripada anak perem puan yang tertua (Semendo, Dayak Sandak dan Dayak T a ya n ), da ripada anak laki2 yang termuda (kalangan Batak lainnya, di laintempat di Bali), daripada anak laki2 yang tertua dan yang termuda, dan sebagainya (hal. 234). Perbedaan di wilayah2 yang berhukum ibu-bapa di antara anak2 laki2 dan anak2 perempuan, dalam pengertian bahwa anak2 laki2 berhak sebesar dua kali dari bagiannya anak2 perempuan, rupa2nya di mana-manapun tidak berasal dari Pribumi asli ; aturan sapikul sagèndong (dua lawan satu) sebagai patokan Pribumi untuk pembagian, se-mata2 berlaku atas perimbangan da lam harta bersama dalam perkawinan (huwelijksgemeenschap), walaupun rupa2nya secara kiasnya rakyat — dan diperkuat oleh hukum agama Islam — di sana-sini (tapi jarang) sudah mendapat tempat untuk berlaku atas hukum waris setempat (hal. 228). T itik pangkal: kekayaan keluarga sejak awal mulanya diperuntukkan buat dasar kehidupan materieel daripada mereka yang muncul terlahir dari keluarga itu, ternyata ditetapkan dengan adanya aturan hukum adat p e n g g a n t i a n tempat (plaatsver vulling). Anak 2 daripada anak2 yang mati lebih dulu sebelum mati-
nya si peninggal warisan mendapat bahagiannya orang tuanya dari. harta peninggalan kakeknya. Hanya peradilan agama ter-kadang2 tnenerobos pokok pikiran ini. Tentang kedudukan j a n d a terhadap harta peninggalan maka titik pangkal hukum adat ialah bahwa perempuan itu sebagai o r a n g a s i n g tak berhak atas warisan tapi sebagai i s t e r i ia ikut memili’ki harta benda yang diperoleh selama perkawinan, dalam batas2 yang telah ditetapkan sebagaimana dibentangkan di atas (hal. 2 2 8 ); ditambah pula bahwa ia di mana 2 ada hak atas nafaqahnya dari harta peninggalan itu seumur hidupnya, kecuali di mana aturan sedemikian itu tidak diperlukan lagi berhubung dengan susunan ber hukum ibu. Di Bali, maka selama anaknya laki2 di hadapan jenazah bapanya belum diresmikan sebagai penggantinya, maka janda itu menurut hukum adalah penguasa atas harta peninggalan, m e nurut k e n y a t aa n ny a i a d i lain 2 tempat acapkali juga bertindak sebagai penguasa sedemikian itu juga. Jadi janda itu sebagai waris tidak mendapat bagian dari barang2 suaminya yang b e r a s a l dari warisan tapi, di mana perlu, ia dapat te tap memungut hasilnya harta benda itu (sebagai harta dalam keadaan tak ter-bagi2) seumur hidupnya, atau ia dapat menerima sebagian daripadanya sebagai pemberian nafaqahnya sekaligus. Bilamana ia dalam susunan berhukum bapa dipungut masuk dalam kerabat si suami, maka dapatlah ia tetap tinggal di sana dengan mendapat na faqahnya, ter-kadang2 juga mendapat sebagian dari harta peninggal an buat dirinya sendiri (B a li). Tapi bila ia memisahkan diri dari ke rabat suaminya yang mati tadi, maka ia tidak pernah membawa untuk dirinya sesuatu barang daripada suaminya, se-akan2 ia sudah mendapatnya sebagai barang warisan. Juga suami tidak mewaris dari is terinya ; ada beberapa perkecualiannya, misalnya bahwa di wilayah2 berhukum bapa seperti Pasemah, yaitu bahwa barang pembakalannya (uitzet) perempuan yang didapatnya dari orang'tuanya di waktu dia kawin jujur dan yang dia tetap memilikinya bila ia bercerai dari lakinya, maka barang2 itulah jatuh ke tangan suaminya sebagai wa risan bila ia — si isteri — meninggal dunia ; atau, bahwa — seperti di Bali — bahagiannya daripada harta perkawinan, begitu juga barang2 yang diperolehnya sendiri atau barang2nya sendiri yang dibawanya di waktu kawin, bila ia mati, diwaris oleh suaminya.
i
Mengenai harta perkawinan bersama (gemene huwelijksboedel), di mana ini ada, maka bilamana tiada anak2, seorang jodoh sematinya jodoh lainnya mewaris harta warisan seluruhnya, dan sematinya jodoh
tepakhir harta tadi menjadi harta warisan, yaitu separoh
jatuh kepada sanak-saudaranya jodoh yang seorang dan separoh kepada sanak-saudaranya jodoh lainnya, atau, dua per tiga kepada sanak-saudaranya si suami, satu per tiga kepada sanak-saudaranya si isteri (sapikul sagendong). Pembagian sedemikian itu dapat juga diselenggarakan sebelum -matinya jodoh yang hidup terlama dan barangkali ter-kadang2 juga dapat dipaksakan untuk diselenggara kannya bila ia kawin lagi atau karena sebab2 'lain, pada waktu sebe lum itu. Banyak terjadi (dalam wilayah2 berhukum ibu-bapa), bah wa haknya janda atas nafakah dan atas bahagiannya dari barang2 yang diperoleh bersama dalam perkawinan, — bilamana ada anak2 nya — di waktu pembagian dinilai hak2 itu dan diwujudkan, ialah dengan jalan diberikan kepadanya bahagian yang kira2 seharga de ngan itu, sedangkan — sebagaimana telah dituturkan — juga sua m i itu sendiri ber-ulang2 menjamin nafaqah isterinya dengan jalan penghibahan. Juga adakalanya terdengar (Sulawesi Selatan, Ja wa Tengah), bahwa di samping bahagiannya dari harta perkawinan bersama, ada porsi (portie) janda atau porsi janda laki2 (yang sebagai demikian diselesaikan tersendiri). Barangkali pengaruh hu kum Islam yang berlaku di sini. Anak angkat berhak atas warisan sebagai anak, bukannya seba gai orang asing. Sepanjang perbuatan ambil anak (adoptie) telah menghapuskan perangainya sebagai „orang asing dan menjadikannya perangai „anak” , maka anak angkat berhak atas warisan se bagai seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum adat. Namun bo leh jadi, bahwa t e r h a d a p k e r a b a t n y a kedua orang tua yang mengambil anak itu anak angkat tadi tetap asing dan tidak mendapat apa2 dari barang2 asal daripada bapa atau ibu angkatnya — atas barang2 mana kerabat2 sendiri tetap mempunyai hak nya yang tertentu —, tapi ia mendapat barang2 (semua) yang diper oleh dalam perkawinan, hal. 183. Demikianlah misalnya di Purworejo (Jawa) — masalah ini masih kurang diselidikinya dan masih tiada kepastian. Di Pasemah maka berhaknya anak angkat atas wa risan itu dibicarakan pada waktu ambil anak dengan sesama ang gauta 2 dusun. Dalam hal ambil anak kemenakan2 (neefjes-adoptie) anak angkat itu tetap berhak atas warisannya orang tuanya sekandung, sedangkan di lain 2 tempat (misalnya di Sumatra Selatan) ma ka segala hubungan hukum waris dengan orang tuanya dan kerabat nya sekandung karena pengambilan anak ini terputus. Ambil anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak sepenuhnya atas warisan. Keinginan agar supaya dapat memberikan terus harta bendanya . kepada si anak angkat (mempertahankan garis keturunannya sendiri dalam proses umum daripada penggantian ke-
turunan3) itulah biasanya yang menjadi alasannya pengambilan anak itu. Tentang pengaruh yang bersifat mengganggu 2 daripada ha kim 2 yan^ mengadili menurut hukum Islam, juga hal ini dulu (dan sekarang) ditiadakan dengan jalan penghibahan2. H al diwarisnya harta peninggalan bilamana tiada anak — ini terlepas dari hak2nya jodoh yang terlama hidupnya, begitu juga haknya anak angkat — adalah mudah, Harta benda itu kembali satu langkah di silsilahnya si mati dan menjadi warisan untuk anak-cucunya dia yang terda pat di silsilah itu ; bila keturunan termaksud tadi tidak ada, maka te rus kembali satu langkah lagi dan begitulah seterusnya. Yang dimaksudkan dengan perkataan silsilah ini sudah barang tentu silsilah segi bapa (vaderzijdig) atau segi ibu (moederzijdig) atau pula ,,berganti2” (alternerend), kesemuanya tergantung dari wataknya susu nan sanak-saudara, dan sekali tempo (di T im u r Besar) malahan : mengenai beberapa barang2 tertentu ialah silsilah segi bapa, menge nai barang2 lainnya : silsilah segi ibu. Generasi yang tertua umurnya dan yang masih hidup mengecualikan (uitsluiten) generasi2 yasg le bih muda umurnya, kecuali bila di sini juga berlaku penggantian tempat (plaatsvervulling) yang telah dibentangkan tadi. Di mana anak2 karena berlakunya ikatan kerabat dikecuali'kan dari warisan — seperti bila ada seorang laki2 mati di Minangkabau — maka liartapeninggalan diwaris secara demikian juga : per-tama2 ibunya lelaki itu beserta anak-cucunya (saudara2 laki2 dan perempuan daripada si peninggal warisan itu) ; bila mereka tidak ada, neneknya si mati beserta anak-cucunya (jadi praktis : saudara2 s e p u p u n y a si peninggal warisan laki2 dan perempuan, yang dilahirkan oleh bibi2nya dari garis keturunan ibunya), dan demikianlah seterusnya. Bilamana sama sekali tiada ahli warisnya, maka harta peninggalan jatuh ke pada masyarakat territoriaalnya si mati dan jatuh di bawah pengurusan penghulu masyarakat. 5.
B A H A G IA N 2N Y A H A R T A P E N IN G G A L A N .
D an apa yang telah dibicarakan sudah ber-ulang2 ternyata, bahwa harta benda yang ditinggalkan oleh si mati itu ta'k boleh dipandang sebagai kesatuan yang bulat dan yang diwaris secara yang sama. Da lam harta peninggalan itu mungkin ada barang2nya yang masih terkait pada ikatan kerabat, berhadapan dengan barang 2 yang masih terkait pada ikatan keluarga, atau barang2 yang termasuk golongan martabat kebesaran (waardigheid) yang tertentu. Dalam harta pe ninggalan mungkin ada barang2nya yang masih terkait pada ikatan tertentu daripada masyarakat hukum, pada kesatuannya susu nan rakyat; dan terhadapnya, maka sematinya orang seorang yang
berliak, hak pertuanan (beschikkingsrecht) di masyarakatlah berlaku dengan cara tertentu. Dalam harta peninggalan itu mungkin ada hutangnya (schulden) di samping labanya (baten). Tapi di samping perbedaan dalam kedudukan hukum barang2 itu, adalah keadaan menurut 'kenyataannya daripada bahagian harta peninggalan itu acapkali
berpengaruh
atas
jalannya
perwarisannya.
Pekarangan
orang tuanya misalnya, di Aceh terutama diwaris oleh anak perem puan (yang tertua), di daerah2 Batak terutama oleh anak laki2 yang termuda atau tertua. Buat daerah2 Batak sudah pernah disebutkan di sini perbedaan di antara barang2 yang mengandung daya khasiat daripada si mati berhadapan dengan barang2 biasa — perbedaan serupa itu terdapat juga di tempat2 lain (di Kalimantan misalnya), tapi dengan akibat2 lain. B . a r a n g 2
k e r a b a t .
Perbedaan dalam hal diwarisnya
barang2 berasal dari ikerabat (barang2 berasal dari warisan) dan barang2 diperoleh sendiri dalam keluarga, lebih2 keHhatan bilama na si peninggal harta tidak mempunyai anak; barang asal lantas kembali kepada kerabatnya sendiri (agar supaya jangan menjadi „hilang”) sedangkan barang2 keluarga jatuh kepada jodoh yang terlama hidupnya. Telah pernah dituturkan, bahwa dalam beberapa lingkungan 2 hukum hal diwarisnya barang2 yang diperoleh dalam keluarga itu juga dapat dipengariihi oleh ikatan kerabat yang kuat (hal. 222). Tanah 2 yang di kalangan Batak Toba dihadiahkan se bagai pemberian kepada kemantin perempuan (beserta suaminya), bila si isteri mati betul tetap ada di tangan suaminya dan kerabatnya, tapi secara demikian rupa, sehingga sampai beberapa turunan lamanya tidak diperbolehkan memindah tangan (besdhikken) tanah2 itu oleh kerabat mertua (boru) dengan tiada setahunya fihak si isteri (hula-hula) dan dengan tiada memberi kesempatan kepada yang ter akhir ini untuk mendahului membelinya (naastingsrecht). B a r a n g 2
m a r t a b a t
kebesaran.
Benda2 yang
keramat dalam lingkungan sesuatu kerabat mungkin terkait pada kedudukannya orang yang memakainya, misalnya barang2 pusaka kra ton dari kasepuhan Cirebon dapat terkait dengan siapa yang menda pat (mewaris) martabat Sultan Sepuh. Dengan cara demikian rupa juga dapatlah suatu nama diwaris hanya oleh seorang waris yang berkedudukan
cocok dengan
nama itu.
Dapat
dikatakan juga,
bahwa waris yang mewaris barang inti kerabat itu menjadi pemegangnya yang sah.
B a r a n g 2 keluarga. Perbedaan dalam jalan diwarisinya barang 2 ini dapat timbul berhubung dengan perkawinan kedua. A nak 2 dari perkawinan pertama mewaris barang 2 yang diperoleh selama perkawinan itu, anak 2 dari perkawinan kedua tidak menda pat bahagian apa2 dari padanya (Kalimantan). Maka sesuai dengan itu di Muna di Sulawesi Selatan dikatakan, bahwa barang 2 dari ru mah yang satu tidak boleh beralih ke ruimah yang lain; di lain 2 tempat dalam lingkungan situ terdapat peribahasa hukum adat yang bermak sud sama dengan itu. D i Jawa biasanya kesukaran2 yang timbul bi la ada lebih dari satu perkawinan dicegah secara demikian juga, ialah dengan jalan prakteknya penghibahan2. Bilamana misalnya anak2nya dari perkawinan pertama sudah dikawinkan sehingga me reka sudah tidak termasuk lagi sebagai anggauta2 keluarga yang terbentuk oleh perkawinan noraor dua, maka mereka sematinya bapa nya tidak mewaris harta peninggalannya yang terdiri dari barang 2 di peroleh dalam perkawinan nomor dua, — artinya „tidak” di sini ialah bilamana mereka itu sudah mendapat bahagiannya barang 2 keluarga dari perkawinan pertama ; mereka tetap berhak atas barang 2 asal bapanya. Bilamana dua orang isteri daripada seorang suami dengan anak2nya merupakan keluarga2 tersendiri, maka harta benda kelu arga2 itu tetap terpisah satu sama lain (hal. 207). M akin ruwet im4>angan2nya dalam sesuatu keadaan yang istimewa, akan makin te*pat penyelesaiannya dengan jalan perdamaian (schikking); tapi penyelesaian2 dengan jalan perdamaian sedemikian itu hanya me-m uaskan, bilamana bernada dasar dan berasas kaida'h2 bentuknya hukum waris yang berlaku. B a r a n g 2 m i l i k masyarakat. H ak pertuanan (be schikkingsrecht) masyarakat atas tanah dalam berlakunya ke dalam ter-kadang2 menghalangi diwarisnya tanah2 pertanian, oleh karena sematinya penduduk inti dusun maka tanahnya (se-tidak2nya baha giannya tanah menurut patokan berhubung dengan kedudukannya sebagai penduduk inti) jatuh kembali ke hak pertuanan se-bulat2nya daripada dusun dan oleh dusun itu lantas diserahkannya kepada sesama anggauta dusun kelas dua yang sudah tiba gilirannya untuk i t u ; bilamana tanah semacam itu biasanya diserahkan kepada seo rang warisnya si mati, maka ini menimbulkan — itupun bila keada an2 sosial tidak menghalanginya — hak mewaris atas tanah milik penduduk inti dusun ; namun ter-kadang2 hak mewaris tanah sedemikian itu tetap menghadapi berlakunya ke dalam daripada „beschik kingsrecht”, yaitu di mana berdasarkan „beschikkisgsrecht” hak perseorangan atas tanah pertanian hanya dapat diperbolehkan sam pai suatu keluasan yang tertentu, tidak boleh lebih dan tidak boleh
kurang. Ini berarti (di beberapa desa di Jawa dan di beberapa desa di Bali) bahwa tanah si peninggal warisan tidak boleh dengan ja lan mewaris ini ditambahkan pada tanah yang sudah ada semula pa da waris itu, dan sebaliknya, tidak boleh tana'h daripada si peninggal warisan di-bagi2 di antara para ahli waris sampai menjadi bidang2 tanah yang lebih kecil. Larangan penggabungan dan larangan pembagian bahagian tanah menurut patokan yang ada pada masya rakat berdasarkan atas hak pertuanannya adalah suatu tanda kenyataan daripada berlakunya hak pertuanan ke dalam. Dalam pada itu dapat timbul banyak keadaan2 yang tanggung2 sebagai akibat mempertahankan pada 'lahirnya pokok2 kaidah itu karena salah satu sebab, tapi dalam batinnya membiarkan pelanggaran2 terhadapnya. Misalnya : waris yang sudah mempunyai bahagian tanah pertanian se bagai penduduk inti dusun membalik nama tanafoi itu atas nama iste rinya atau anaknya laki2 yang tertua dan dia sendiri menerima tanahpertanian tinggalan bapanya yang m a ti; atau : dua orang saudara mendaftarkan tanah pertanian tinggalan bapanya atas nama sau dara yang tertua, tapi selanjutnya seumur hidupnya keduauya berlaku sebagai orang2 yang berhak atas tanah itu, masing2 atas separohnya ; pembesar2 dusun memang membantu tindakan itu dengan jalan mendaftarkan tanah itu atas nama laki2 yang tertua „c.s." — cumsuis — perkataan Latin imana sudah memasuki banyak desa, tapi tak lain dan tak bukan 'hanya sebagai séès. Hak waris atas tanah itu ter-kadang2 bertemu dengan berlakunya ^beschikkingsrecht” -ke luar, ialah karena yang terakhir ini menghalangi diwarisnya tana'h pertanian bahagiannya penduduk inti dusun oleh waris2 yang tidak bertempat tinggal dalam dusun situ. Juga di sini keadaan2 peralihan : mengangkat seorang .kuasa buat pekerja an2 desa, mendaftarkan tanah itu atas nama seorang sanak-saudara, dan sebagainya. Bilamana timbul perselisi'han haruslah keputusannya itu menghormati juga arti yang dalam daripada keadaan peralihan sedemikian itu. B a r a n g 2 yang tertentu karena kenyataan k e a d a a n n. y a . Pengaruhnya keadaan yang senyatanya daripada bahagian2 harta itu tidak berwujud suatu larangan atau anjuran, tapi berwujud suatu cara yang dicenderungi untuk membaginya. Harus disesalkan, bahwa bila ada ketidakmauan dari pada seorang waris atau lebih — karena jalannya segala sesuatu seperti biasa saja menurut yang sudah2 — tidak dapat diperguna kan pengaruhnya hakim gubernemen untuk menuruti kecenderungan
tadi, walhasil harta peninggalan seluruhnya dilelang dan wang pendapatannya di-bagi2 ; ini adalah tindakan yang merusak, pada hal mestinya : membangun
(constructief), hal. 243.
H u t a n g 2. Kewajiban 2 untuk membayar hutang yang ada atau yang timbul di waktu matinya atau karena matinya si peninggal warisan itu akhirnya termasuk juga bahagian 2 daripada harta pe ninggalan, walaupun sebagai bahagian2 negatif. Laba, (baten) yang ada pada harta peninggalan si mati boleh dan harus per-tama2 dipergunakan untuk memeli'hara jenazah dan untuk menguburnya. Bila seorang waris yang atas tanggung-jawabnya sendiri dan dalam batas2 kepatutan menjual sesuatu bahagian tertentu daripada harta peninggalan untuk keperluan itu, maka tindakannya itu adalah sah menurut hukumnya. Biaya2 pemakaman itu mendapat hak terdahulu (preferent). Aturan ini berlaku di mana2. Selanjutnya dibiayai dari harta peninggalan itu pesta2 kematian, selamatan2, pembakaran 2 mayat atau upacara2 mayat atau upacara2 apa saja yang lazimnya harus diselenggarakan untuk orang yang meninggal dunia di waktu sesudah matinya. T a p i pembelanjaan un tuk ini tidak ada hak mendahului atas pembayaran hutang2nya si peninggal warisan, pengeluaran2 wang itu jadi bukannya hutangnya harta peninggalan yang berhak terdahulu (preferente boedelschul den) , melainkan dapat dibayar dari sisanya harta peninggalan — laba dipotong hutang — sebelum sisa itu di-bagi2nya. Selamatan2 juga adakalanya dibiayai oleh waris2 sendiri dengan atau tiada diperhitungkan dengan harta peninggalan kelak. Dari Sulawesi dikatakan, bahwa siapa yang turut membiayai perongkosan2 pemaka man dan pesta2 kematian, oleh karenanya lantas menjadi waris. Tentang persoalan, apakah hutang2nya si peninggal warisan juga diwaris oleh ahli waris (atau — sama soalnya — sampai di mana ahli waris bertanggung-jawab atas hutang2nya si peninggal warisan yang pada saat matinya masih belum terbayar lunas), maka dalam hal ini harus di-beda3kan : per-tama2 dari lebih dari satu ling kungan hukum terdapat sebagai titik pangkal untuk menjawab pertanyaan ini, dengan tiada perkecualiannya, ialah pokok kaidah demikian : ahli waris adalah bertanggung-jawab atas hutang2nya peninggal warisan (Batak Toba, Dayak, Bali). T a p i dalam pada itu kekuasaan si penagih hutang diperlunak karena penagih 2 hutang itu diwajibkan (dengan ancaman hapusnya haknya untuk menuntut pembayaran) dalam tempo 40 hari sesudah matinya si peninggal warisan atau sebelum selamatan yang akan diselenggarakan untuk si mati (nyekoh di Bali) mengajukan penagihannya kepada para
ahli waris, se-tidak2nya memberitahukannya kepada mereka; pula dalam hal ini memperlunak kekuasaan penagih2 hutang juga, bah wa terhadap ahli waris dalam keadaan demikian dianggap sungguh2 ada alasan yang istimewa supaya sabar dalam penagihannya atau su paya diluluskan membayar pinjaman itu tidak buat seluruhnya. T en tang bagaimana hubungannya pada ahli waris satu sama Iain bila ada perselisihan mengenai pembayaran hutang si mati ini, maka soal ini tak ada terdapat di-sebut2. T itik pangkal lainnya — lebih sempit dari pada yang disebutkan tadi tapi rupa2nya lebih umum — ialah, bahwa hanya harta pening galan yang tinggal tak ter*bagi2lah yang harus dipergunakan untuk membayar hutang2nya si peninggal warisan. Titik pangkal ini meng akibatkan perumusan kaidah hukum a d a t: hanya sisa harta pening galan dapat.diwaris. Dalam pada itu bukannya saat matinya si pe ninggal warisan, melainkan saat pembagian harta peninggalan diang gap sebagai saat diwarisnya harta itu. Pembagian (jadi : diwarisnya harta) tidak dija'lankan sebelum semua hutang dibayar lunas. Jalannya penyelesaian sedemikian itu memang boleh disebut bentuk dasar daripada diwarisnya harta peninggalan menurut hukum adat. Dalam lingkungan rakyat di-masjarakat2 hukum kecil maka si pe ninggal warisan sebelum matinya acapkali tentunya sudah menjumlah hutang 2nya, bilamana itu memang ada, atau dalam tempo empatpuluh hari sesudah matinya, penagih2 hutangnya akan menemui ahli waris untuk mendapat pelunasan dari harta peninggalan yang tak terbagi itu. Juga dalam hubungan ini dapat terbaca pula, bahwa penagih2 ftutang yang dalam tempo empatpuluh hari tidak muncul, akan kehilangan haknya untuk menuntut kembali wangnya dari harta peninggalan. Di mana aturan sedemikian itu tidak ada dan titik pangkal „waris bertanggung-jawab penuh atas seluruh hutangnya si mati” tidak ada pula, maka patut di sini dikemukakan pertanyaan : bagaimanakah hukumnya, bilamana ada penagih hutang daripada si peninggal warisan muncul sesudahnya harta pening galan itu ter-bagi2 habis ? Dalam kebanyakan lingkungan hukum, di sini misalnya di Jawa, liaruslah pertanyaan itu dijawab : ahli wa ris itu bertanggung-j-awab atas hutang^nya si peninggal warisan sepanjang mereka sudah mendapat laba dari pembagian harta pe* ninggalan itu. Di sini harus ditambah : pada prinsipnya atas perimbangan yang sama dengan perimbangan yang dipakai mem-bagi2 warisan di antara ahli waris itu satu sama lain. Bilamana laba2nya harta peninggalan itu tidak mencukupi, maka hutang itu untuk se bagian tetap tak terbayar. Penghibahan2 (toescheidingen) dari wa risan sesudaih terjadinya hutang2 rupa2nya dapat dituntut untuk
pelunasan hutang. Penghibahan- sebelum itu : tidak. D alam prakteknya ternyata acapkali hal ini diurus sedemikian sehingga seorang waris menanggung beres tentang pelunasan hutang 2 yang di waktu diadakan pembagian warisan belum terbayar dan oleh karenanya ia : lalu mendapat bahagian yang seimbang dengan itu ; atau ia menda pat segala laba2nya dan melunasi segala 'hutang2nya (atau seba gian hutang-nya bila terdapat banyak selisihnya yang tak menguntungkan). Sudah barang tentu pembagian warisan yang se-nyata2nya itu tergantung dari ber-macam 2 watak dan pertimbangan 2 — kebaikan ha ti, loba, kasihan — ; bila timbul perselisihan per-tama 2 dicoba oleh semua instansi untuk mendamaikannya, dan diusahakan supaya fi hak 2 yang berselisi'han itu mendapat penyelesaian secara damai atas tanggung-jawabnya sendiri2 ; tapi bilamana usaha2 ini gagal, maka harus perkara ini diputus atas dasar kaidah 2 dan sistim hukum wa ris adat Indonesia.
BAB
KESEBELAS. H U K U M P E L A N G G A R A N (D E L IC T E N R E C H T ).
Dalam ketertiban hukum di masyarakat2 hukum kecil rupa2nya yang dianggap suatu pelanggaran (delict) ialah setiap gangguan segi satu (eenzijdig) terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu pada barang2 kehidupannya materieel dan imaterieel orang-seorang, atau daripada orang2 banyak yang merupakan satu kesatuan (segerombolan) ; tindakan sedemikian itu menimbülkan suatu reaksi — yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat — ialah r e a k s i a d a t (a d a t r e a c t i e ) , karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kem bali (kebanyakan dengan jalan pembayaran pelanggaran berupa barang2 atau uang). Lukisan tersebut di atas mengemukakan terdahulu kemungkinan orang untuk dapat menggambarkan dalam angan2nya suatu masya rakat di mana ada hubungan di antara manusia, kekuatan2 gaib, ta nah, barang2 dan lain2nya lagi yang berada di dunia ini — hubung an mana dalam alam pikiran di masyarakat situ dianggap sebagai biasa (normaal), dan sebagai syarat mutlak untuk kehidupan yang bahagia dan harmonis, pula hubungan mana dapat disebut „kese imbangan” (evenwicht). Oleh karena baik umat manusia, maupun masyarakat itu masing2 adalah pusat daripada gabungan hubungan) — sehingga orang dapat mengatakan lingkaran hidupnya manusia (levenskring) atau lingkungan hidupnya masyarakat — maka kea daan yang „biasa” (normaal) itu ialah keadaan keseimbangan di antara lingkungan2 hidup tadi satu sama lain. Benar juga isi dari pada lingkaran hidup orang-seorang boleh jadi tak sebegitu berdaan yang „biasa” (normaal) itu ialah keadaan keseimbangan di mana2 lingkaran hidupnya perseorangan ada isinya juga, walau pun sedikit; tentang proses memperkuat dan memperbesar lingka ran hidup perseorangan atas kerugiannya lingkaran hidup masyara kat, ma'ka soal ini telah disebut beberapa kali (proses kepribadian = individualiseringsproces). Gabungan2 yang di sini disebut ling karan2 hidup itu meliputi lingkaran termaksud di halaman 106 dari pada hubungan2 manusia tanah barang2, ditambah apa saja yang ada hubungannya dengan manusia secara lain dari apa yang terse but ta d i; atas setiap kemerajalelaan dari luar dan atas setiap pe langgaran yang tak senonoh, penyinggungan, bahkan pembicaraan secara tak patut, mengenai lingkaran hidup tadi beserta apa yang berhubungan dengan itu, maka reaksi daripada manusia ialah bah wa ia lantas merasa malu dan lantas berkehendak menghilangkan
malunya (atau sebab2 daripada malunya itu). Taimbahan pula lukisan di atas itu mengemukakan terdahulu bahwa apa saja yang men jadi subyeknya hubungan 2 tadi oleh alam pikiran masyarakat dijunjung-tinggi, sehingga oleh karenanya ada nilainya yang dapat disamakan dengan nilai2 lainnya ; maka dari itu benda 2 materieel dan benda2 immaterieel dapat digantikan satu dengan yang lain untuk pemulihan kembali keseimbangan yang diinginkan. Yang dimaksudkan dengan „alam pikiran dalam masyarakat ialah paduan daripada alam pikiran „serba berpasangan” (partici perend) (mengalami) dan alam pikiran akalJbudi (analyserend), sebagaimana alam pi'kiran itu dalam setiap masyarakat menguasai anggapan umum daripada gerombolan ummat manusia (represen tations collectives) itu. Kemudian lukisan tadi mengemukakan terdahulu adanya suatu kesadaran, bahwa mempertahankan diri itu tidak hanya suatu ke mungkinan saja, melainkan juga suatu k e h a r u s a n , bila lingkaran hidup itu terlanggar, dan untuk mengganti nilai yang ter langgar itu dengan cara yang sama (reprociteitsidee). Bila dipandang dari sudut situ, maka penuntutan pembayaranpelanggaran (delictsbetalingen) itu termasuk tugas untuk mengembalikan keseimbangan „kosmisch” yang dalam masyarakat yang hi dup sudah barang tentu saban2 harus ditentukan ; dari keseimbang an mana tergantung kebaliagiaan manusia dan ummat manusia. Gangguan tetap daripada keseimbangan itu akan melemalikan ti dak hanya obyek yang terlanggar saja, melainkan juga masyarakat selurulmya. Maka dari itu pembayaran delik itu — bila yang dilanggar itu obyek2 daripada hubungan „magisch” —- sangat karibnya dengan pembayaran untuk „perbuatan tunai” (hal. 1 0 6 ); yang per tama itu memulihkan kembali, sedang yang kedua mencegah gang guan keseimbangan (evenwiditsverstoring). Pembayaran delik itu buat sebagian ada hubungannya juga dengan pembayaran untuik perbuatan kredit (crediethandeling), yang menyebabkan terpelLharanya „memberikan, mengambil dan mengembalikan” sebagai seba gian daripada pi'oses keseimbangan. Jadi perkataan „ p e l a n g g a r a n ” (delict) itu bermaksud suatu perbuatan segi satu — yang oleh fihak yang lain tidak dibenarkan secara terang2an atau diam 2 — m enuju ke arah gangguan keseimbangan (evenwichtsverstoring). T api
alaszfn2 untuk gangguan2 keseimbangan
(yang obyektif)
dan pemulihan kembali keseimbangan itu, juga di waktu ada pe-
langgaran, dijelajahi oleh suatu unsur yang sangat pribadi sifatnya ialah unsur „dibikin m alu” yang telaih dituturkan tadi, atau un sur ,,disinggung perasaannya sehingga menjadi malu” (in een maZu-complex) ; unsur : rasa tidak enak, kemarahan atau balas dendam daripada orang yang terkena di satu fihak dan unsur : kelalaian dan maksud sengaja daripada si penyinggung di lain fihak. Perseli sihan, permus.uhan dan rasa benci antara dua orang sesaima anggauta (penyinggung dan tersinggung) itu melemabkan gerombo lan — hubungan yang baik harus dipulihkan kembali, rasa dendam harus dilenyapkan demi kepentingan masyarakat, si tersinggung menuntut ganti maka di sini alasan2 perseorangan dan alasan2 masyarakat bercampur-aduk satu sama lain dan bergabung men jadi satu. Pada bentuk dasarnya maka hukum pelanggaran itu sama, serba samanya (homogeen) dengan hukum adat bagian2 lainnya ; karena perbedaan dalam pernilaiannya barang2 materieel dan immaterieel dan perbedaan dalam imbangan2 nilai satu sama lain, maka hukum pelanggaran itu dalam berlakunya sangat ber-jenis2nya. Kehormatan dan kesopanan, hidupnya anggauta2 keluarga dan kerabat, tubuhnya sendiri, kesehatan dan syarat2 hidup „magisch” , milik ba rang2, hubungan dengan anak2 dan bini, kesemuanya itu termasuk lingkaran hidupnya perseorangan2, yang harus dilindungi terhadap pelanggaran ; penyinggungan terhadapnya menyebabkan gangguan keseimbangan, menimbulkan rasa malu, kemarahan dan dendam, pula melemahkan perseorangannya, golongan sanak-saudaranya dan masyarakatnya sekali. Penyinggungan2 itu yang mempunyai nama2nya yang tersendiri, •acapkali juga meliputi sejumlah perbuatan2 yang mirip satu sama lain — misalnya membuat ber-macam2 pencurian, walaupun sebutan Pribumi daripada delik itu dapat mengandung maksud2 yang dapat meregang, seperti dago-dagi (Min.) terhadap pembandelan melawan pemegang2 kekuasaan adat kagau-gau (Bug.) terhadap perbuatan a;pa2 yang buruk. Pembayaran2 pelanggaran itu mempunyai hubungan yang khas — yang tak dapat dijelaskan lebih lanjut — dengan apa yang dilanggar, misalnya : tiga piring buat pelanggaran „penghinaan biasa” , tiga piring dan seekor babi buat „penghinaan berat” , sepuluh piring buat „penghinaan terhadap seorang penghulu rakyat”. (di kalangan Dayak Lawangan), inilah sebuah sembarang misal daripada hubung an pelanggaran dan pembayarannya, misal mana terambil dari ribuan dan ribuan misal2 lainnya, yang kesemuanya juga tak dapat diterangkan seperti misal yang tersebut tadi.
Pembayaran 2 pelanggaran itu acapkali m enandakan sifatnya yang „magisch” , ialah ternyata dari kegemaran a'kan m enyebutkan nama2nya barang2 yang harus diberikan sebagai pem bayaran oleh si pelanggar (misalnya sekian ekor lem'bu, sekian orang budak), pula ternyata dari halnya mereka dengan tiada keberatan meluluskannya, bahwa barang 2 tadi pada kenyataannya diganti dengan benda- yang sedikit harganya dalam nilai wang, atau dengan sejaimlah wang. Pembayaran 2 delik itu dalam beberapa lingkungan hukum mengandung petunjuk yang khusus, misalnya bosi sebelas kepala tajau (Kalimantan Barat), yang artinya : sebuah periuk seharga 10 susun mangkok dan 12 mangkok lepas, pembayaran delik mana ditetap kan bukannya buat suatu jenis pelanggaran2, melainkan buat sekumpulan ber-macam 2 pelanggaran 2 (yang menurut nilainya rupa2nya sederajat satu sama lain). Suku T oraja mem-beda2kan : buat kejahatan dengan m ulut suatu pembayaran dengan memakai seekor ayam sebagai dasar, buat kejahatan dengan tangan suatu pem bayaran delik dengan memakai seekor ka.mbing sebagai dasar, buat kejahatan 2 dengan badan seluruhnya suatu pembayaran dengan memakai seekor Iembu sebagai dasar. Tergantung dari berat atau tidaknya kejahatan yang diperbuat maka pembayaran delik yang sebenarnya adalah misalnya : seekor ayam ditambah tiga benda, atau seekor lembu ditambah lima benda, dan seterusnya. D i desa Bali banyak kesalahan2 dihukum dengan denda wang. Demikianlah ma sing2 lingkungan hukum mempunyai peta pelanggarannya dan reaksinya yang khas. Rupa^nya adalah suatu corak umum, bahwa untuk pencurian (dan delik2 kekayaan lainnya) psmbayarannya deliknya adalah dua kali atau beberapa kali lipat harganya benda yang tercuri. . . Bilamana si tersinggung dan si penyinggung tergolong dalam se sama masyarakat, maka kebaliagiaan masyarakat itu menuntut penye lesaian, baik hanya atas permintaan si tersinggung (karena main?), maupun terlepas dari itu ; penghulu 2 bergerak menuju ke pemulihan kembali pelemahan -masyarakat itu dan untuk .mencegah jangan sampai menjadi keterlaluan, pula mencegah malapetaka dan men cegah kebinasaan seluruhnya. Kelakuan sesama anggauta masyara kat yang melanggar nilai2 materieel dan immaterieel daripada masya rakat sendiri dengan tiada menyinggung orang-seorangnya, misal nya : pergaulan kelamin di antara orang2 yang perkawinannya satu sama lain akan dapat niengganggu ketertiban susunan daripada masyarakat, melahirkan anak dengan tiada perkawinan lebih dulu, melanggar bagian2 tanah pertuanan (beschikkingsrecht) yang diperuntuk'kan kepentingan2 masyarakat, tidak datang di suatu kumpulan
dusun, dan sebagainya, meilggerakkan penghulu 2 (—masyarakat) yang lantas berusaha melindungi nilai yang -terlanggar itu. Pemba yaran2 delik untuk penyelesaian peristiwanya itu diterima oleh sitersinggung sendiri atau bersama masyarakat (atau hanya oleh ma syarakat saja). Oleh karena daya hidup yang „magisch” dalam ma syarakat itu dengan jalan istimewa berpusat di penghulunya dan olehnya dipancarkannya kepada masyarakat, maka dari itu pemba? yaran kepada penghulu2 adalah suatu syarat untuk memperkuat ma syarakat yang sudah menjadi 'lemah (dan dipandang dari sudut situ maka pembayaran denda kepada pemerintah atau kepada sesuat>u kas, di kalangan banyak suku2 bangsa, tidak ada gunanya). Di pandang dari sudut ekonomis maka denda2 serupa itu adalah penghasilan yang dihargakan sekali oleh penghulu2. Tentang membersihkan masyarakat (dengan jeritk) yang sudah dibikin kotor, menyajikan selamatan kepada si tersinggung dan kepada penghulu2 masyarakat dan di situ mengakui salah dan minta maaf, menjanji- kan dengan kata2 akan memulihkan kembali segala sesuatu sebagai reaksi daripada tindakan yang menyebabkan seseorang mendapat kemenangan untuk dirinya dengan cara, tidak sah, kesemuanya itu adalah cara2 kc Indonesiaan umum untuk ményatakan reaksi2 atas delik2, cara2 mana rupa 2nya, sangat serasinya untuk mengembalikan rasa harga diri dariipada orang yang sudah dibikin malu itu. Juga di sini terdapat cara2nya yang khusus, seperti : memberi makan dari tangan, tarian dengan diiringi bunyi-an di waktu menerimakan pembayaran pelanggaran di kalangan Batak, dan sebagainya. Si sesama anggauta yang tetap berkepala batu, oleh karena itu de ngan sendirinya berada di luar adat atau dibuang ke luar adat. Ia dipersukar dalam hidupnya di masyarakat sampai ia tak tahan lagi. Bila keterlaluan diusirla'h dia. Bilamana penyinggungan dari luar masyarakat dilujukan kepada sesama anggauta masyarakat maka terlanggarlah keseimbangan da ripada masyarakat2 ito (daripada si tersinggung dan si penyinggung), masyarakat itu merasa terkena dan dalam penuntntan penyelesaiannya timbullah reaksi dari masyarakat lawan masyarakat. Re aksi ini berlaku baik terhadap golongan sanak-saudara, bagian clan, maupun terhadap masyarakat dusun. Bilamana kepentingan masya rakat dilanggar dari fihak luar (pelanggaran atas tanah yang terma suk lingkungan „beschikkingsrecht” misalnya) maka sudah barang tentu penghulu 2 daripada masyarakat yang merugilah yang membuat reaksi terhadapnya. Bila perselisihan ini tidak menjadi perang dusun (seperti dulu) maka diusahakan penyelesaiannya dengan syarat2 yang sama dan atas dasar2 pernilaian yang sama, seperti penyelesaian di
dalam masyarakat. Di mana ada kekuasaan yang melingkupinya, baik berwujud gabungan dusun2 (dorpenbond), maupun pengadilan ra ja atau pengadilan gubernemen, maka penyelesaiannya dapat dipaksa:kan dengan. vonnis : perseorangan2 dari pelbagai masyarakat lalu berhadapan satu sama lain sebagai orang-seorang. Orang tak usah membuat gambaran yang ber-lebi'h2an daripada reaksi masyarakat yang timbul dengan sendirinya (spontaan); ba nyak hal yang tak „direaksi”, melainkan terserah kepadanya sendiri, terserah juga kepada berlakunya celaan sesama anggauta-, bahkan biarpun keburukan tidak dapat lenyap oleli karenanya. Demikianlah misalnya dulu masing2 orang tahu (di jazirah Tenggara Sula wesi), -bahwa sudah ber-tahun2 lamanya ada hubungan2 sumbang (bloedschennige verhoudingen) yang berat dalam suatu masyarakat dan orang tahu sejak dahulukala apa seharusnya reaksi adat terhadapnya, akan tetapi para penghulu membiarkannya saja. Di lain fihak terdengar lagi reaksi- yang timbul dengan sendirinya (spon taan) dari masyarakat dan penghulu2, tapi lantas dihubungkan orang’ dengan pembayaran denda yang menguntungkan penghulu2 itu- . Uiika. dari itu sukarlah untuk ditunjukkan pada umumnya samp5,i di mana arti daripada unsur perseorangan itu dalam proses: pcmuhhan keseimbangan, p e m e lih a r a a n nilai- iperseorangan dan pe meliharaan nilai2 masyarakat. Ter-kadang2 pelanggaran2 tetap tidak diusut, bilamana si tersinggung menahan perasaannya dan tinggal diam. T e r -k a d a n g 2 sebagiai) daripada gabungan pembayaran- pe langgaran (samengestelde delictsbetaliu^y aVau suatu pe* o\eYv penyinggung ditujukan se-mata2 untuk melenyapkan kesusahan si tersinggung, ter-kadang2 pembayaran tunggal (enkel voudig) berakibat majemuk (meervoudig). D i lain fihak ter-kadang2 hanya orang yang berbuat itu sendiri diiharuskan mengadakan re aksi adat, bilamana kesalahan ada padanya ; ter-kadang- reaksinya lebih berat bilamana kesalahan ada padanya dibanding dengan bila mana tiada kesaladian padanya. Suatu keruwetan yang penuh kesulitan2 yang tak dapat diselesaikan timbul, bilamana hukum pelanggaran daripada masyarakat hukum ikecil2 itu bjertetnu dengan hukum pelanggaran (hukum pidana) daripada lingkungan raja2 dan daripada lingkungan guber nemen. Raja melindungi nilai2 materieel dan immaterieel dalam lingkungannya dengan jalan ancaman hukuman. Pelanggaran2 dan hukuman2 itu (yang ter-kadang2 lain dari pada yang dikenal di masya rakat2 tersebut tadi) adalah tertulis dalam buku undang-undang.
A k a n tetapi pengadilan antara sesama anggauta2 dapi delik - yang terjadi sehingga ju g a ketertiban
raja= m enghadapi delik yang t e r j S P l masyarakat satu sama lain, atau m engha m elaw an anggauta2 dari masyarakat Iain, h u ku m pusat terlanggar karenanya. Peng
a d ila n - itu dalam m enjalankan piagam 2 raja sebagai reaksi atas d e lik - itu m em akai pernilaian2 daripada lingkungan raja2, yang dalam ketertiban hukum di masyarakat2 kecil2 itu tidak cocok. L ebih tak cocok lagi halnya dengan peradilan pidana dalam ketertibanhu'kum gubernem en yang dijalankan dengan pengaruh nya pegawai2 pangreh praja atau pegawai2 kehakiman. G ubernem en sam a ju ga m elin d u n g i nilai2nya sendiri dengan jalan m enjatuhkan huk u m an 2, tetapi seraya itu ia m encam puri tangan sampai m endalam dalam ketertiban hukum daripada masyarakat2, ialah karena pelang garan2 yang m enurut hukum pidana Barat termasuk perbuatan yang dapat dihukiïni lantas diperintahkan untuk dihukum nya dengan tu ju a n 2 m en uru t asa-s2 dan pernilaian2 h u ku m pidana Barat., D engan kecil2 itu tidak sama sekali dipadukan dengan hubungannya yang organis. Seluruh „ilm u pernilaian” („waardeleer” ) daripada masya rakat2 kecil2 itu tetap tidak dimengerti ; sebagai gantinya disorongkan ke dalam sebuah kitab undang-undang hukum pidana dari luar yang berdasar „ilm u pernilaian” perimbangan2 Barat dan hukum pidana Barat. Pertemuan ini adalah suatu tubrukan, kekuasaan gu bernem en meneruskan caranya, walaupun cara itu merusak bagian2 penting daripada apa yang hendak dipertahankannya (ialah masya rakat kecil2 itu sendiri). H ak im hukum pidana gubernemen boleh dikatakan tidak berdaya un tu k berbuat apa2 buat kepentingan hukum pelanggaran adat ; di waktu ak'hir2 ini ditunjukkan sebagai pintu darurat akan kem ungkinan m en jatuh kan hukum an bérsyarat (voorwaardelijke veroorde ling), di m ana syaratnya itu terdiri dari reaksi a d a t; hakim dalam perkara sipil tidak berkesempatan berbuat apa2 di Iapangan hukum delik ini. H ak im dusun (dorpsrechter) sejak tahun 1935 m enurut wet da,pat m enjatuhkan hukum an berupa reaksi2 adat yang bukannya h ukum an m enurut K itab U ndang-undang H uk um Pidana, akan teta pi dalam hal ini ia terbatas hanya sampai reaksi2 adat tambahan (bij kom ende adatreactie) m em inta maaf, m engadakan selamatan dan sebagainya), bilam ana oleh hakim gubernemen sudah dijatuhkan hukum an. D alam lingkungan peradilan Pribumi (Inheemse rechtspraak) delik2 adat itu dapat seluruhnya diadili m enurut hukum adat (ja-
di : baik misalnya pembunuhan dengan direncanakan lebih dulu, pembunuhan biasa, pencurian dan zinah, maupun menyentuh tangan seorang perempuan, sumbang, makan apa2 dari pinggan kuningan berka'ki (di kalangan suku Batak Karo) di hadapan kalimbuhunya. (seseorang dari marga yang menghasilkan pengantin perempuan) dan ribuan perkara semacam itu. Baik reaksi2 untuk kepentingan masyarakat, maupun reaksi untuk kepentingan perseorangan dapat keduanyi dijalankan ber-sama2. T api kebanyakan dijatuhkan hu kuman2 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, jadi dikenakan hukuman secara Barat, yang drkehendaki oleh lingkungan guber nemen ; mengenai sampai di mana sedemikian itu tak dapat dihindarkan lagi maka soal ini sangat sukarnya untuk dikirakan. Kebia saan2 yang sejalan dengan itu diikuti pula oleh hakim landschap (landschapsrechter). Maka dari itu juga buat hakim2 Pribumi dan hakim2 landschap timbüllah persoalan tersendiri, hukuman2 apa yang mungkin dapat dibarengkan dengan hukuman dari undang-undang hukum pidana yang telah dijatuhkan itu, agar supaya di samping „menghukum ”
(„straffen” )
sebagai
kehendak ketertiban
hukum
Barat, juga memuaskan. hati orang-seotang yang bevtujuan akau pemulih-an kembali kesetimbangan atas dasar pernilaiannya, pun juga membantu masyarakat2 kecil itu untuk mempertahankan keterti'bannya hukum dengan caranya sendiri. T api ancanian hukuman (sanctie) atas dipenuhinya usaha2 perdamaian dan pemulihan kem bali ini (menyelenggarakan selamatan, meminta maaf dari penghu lu2 dan orang2 terkemuka, dan sebagainya) ter-kadang- nanti akan terdiri lagi dari hukuman Barat, oleh karena sanksi adat — dibuang ke luar masyarakat, dikeluarkan dari lingkungan bantu-membantu satu sama lain dan ditaruhkan di luar adat — kurang dapat dijalankan ialah karena makin longgarnya hubungan dan karena banyaknya jalan2 ke luar yang disajikan oleh laiu-lintas dan oleh kota yang besar. Tapanuli dan Am boina sudah pernah mencoba mengadakan sanksi adat serupa itu dengan jalan peraturan „keur” . Penuntutan ganti rugi beruipa wang, karena kerugian yang diperbuat dari sebab kelalaiannya terhadap kepentingan orang lain (atau karena disengaja lalai) menurut huikum adat seharusnya di mana2 dimungkinkan. Bila didapat kerugian karena perbuatan binatang ternak yang terlepas misalnya, maka di banyak wilayah orang boleh membunuh ternak itu. Bila ia tidak membunuhnya, tapi ia minta ganti kerugian, maka permintaan sedemikian itu dapat juga diluluskan. Kerugian yang disebabkan di luar salahnya seseorang —
itupun bila kerugian itu bersifat ekonomis dan bukannya „magis” — tak dapat menyebabkan baliwa orang itu dihukum untuk menggantinya. Persoalan, siapakah yang bertanggung-j:nvab atas kerugian yang telah ditimbulkan — apakah pengemudinya kendaraan, ai '*j (juga) pemiliknya Bumiputera — sudah pernah dua, ’■iga kali. timbul berhubung dengan terjadinya kecelakaan2 mobil. Pemilik Bumiputera daripada mobil di Jawa menurut beberapa keputusan dipertanggung-jawabkan untuk itu, hal mana rupa2nya secara sistim sesuai dengan misalnya pertanggungan-jawab pemilik ternaik terhadap kerugian2 yang disebabkan oleh lembu2 yang dilepaskan oleh anak2 penggembalanya yang ada di bawah pemeliharaannya, akan tetapi keputusan sedemikian itu tidak di mana2 sesuai dengan keinsyafanhukum Pribumi. Tanggung-jawaib daripada masyarakat yang ber „beschikkings recht'’ atas delik2 yang terjadi di lingkungan „beschikkingsrecht” nya itu, tapi tak dapat diketemukan pelanggar2nya, adalah suatu misal daripada kewajiban untuk pemulihan kesetimbangan - de ngan jalan pembayaran delik — dengan sedikitpun tiada unsurnya perseorangan, melainkan hanya atas dasar pertalian „ummat manu sia dan tanah” saja.
BAB K E D U A B E L A S . P E N G A R U H L A M A N Y A W A K T U (IN V L O E D V A N T IJ D S V E R L O O P ). Baik hak2 atas tanah, maupun hubungan2 hukum di antara per seorangan2 adalah menurut hukum adat tergantung dari pengaruh lamanya waktu. Jangka waktu yang ditetapkan dengan tahunan se sudah mana sesuatu hak dapat diperoleh atau menjadi lenyap, ha nya terdapat di mana penetapan jangka waktu sedemiikian itu sungguh2 terjadi, ialah oleh perundangan desa (Bali), oleh peraturan raja2, oleh pengaruh pangreh praja, atau oleh keputusan2 hakim2 kerajaan atau hakim2 gubernemen. Dalam hukum tak tertulis dari pada masyarakat2 liukum, maka yang menyebabkan seseorang tak dapat melakuikan hak2 yang ia katakan ada padanya — dan yang sebaliknya menyebabkan fihak lainnya menjadi aman oleh karenanya — ialah : perubahan2 yang nyata disebabkan karena lamanya waktu, misalnya perubahan keadaannya tanah, atau kalau tidak demikian : karena sudah tak teringatnya lagi letaknya peristiwa2 sebenarnya yang terjadi pada waktu yang sudah „lama” lampaunya. H ak2 perseorangan atas tanah tidak dapat dipertahankan terha dap hak2nya sesama anggauta2 atas tanah itu yang berakar dalam hak masyarakat, dan hak2 itu lenyap, bilamana bekas2nya pengolahan tanah sudah hilangdan bilamana tanah ketunibuhan lagi oleh semak2 sampai menutupinya. Hak atas pohon-pohonan yang tumbuh di rimba menjadi lenyap bilamana tanda2 yang diparangkan padanya itu telah tertutup kembali oleh kulit kayunya yang baru tumbuh kem bali. Hak terdahulu (voorkeursrecht) daripada si pembuka tanah dapat menjadi lenyap bilamana tanda larangannya (verbodsteken) sudah hilang. Bilamana hak pertuanan (beschikkingsrecht) itu menjadi hak perseorangan, maka pernah terjadi, bahwa penghu lu2 rakyat yang lalim lantas menentukan jangka waktu yang pendek, dalam tempo mana hak2 perseorarigan itu tidak laiku lagi bilamana tanah itu ditinggalkannya (agar supaya dapat diserahkannya lagi kepada orang lain atas pembayaran kepadanya). Dalam pelbagai lingkungan hukum terdapat istilah2 hukum Pri bumi, yang menunjukkan pengertian : sudah kelamaan lampaunya, sudah menjadi kabur karena lamanya, sehingga sudah lampau, ia lah : ranan kotor (Batak Karo), prakara lama (Batak Toba) kadaluwarsa (J.). Tentang perihal penggadaian tanah ter-kadang2 me nurut yurisprudensi Pribumi (daerah2 Batak, Gorontalo) dan yurisprudensi gubernemen ada terdapat diputuskan, bahwa karena sangat lamanya di-tunda2 penebusan tanah yang digadaikan itu, ma ka hak si penjual gadai dikatakan sudah menjadi hapus. Tapi
menurut hukum adat justru hak menebus itu tidak dapat dilanggar karena ditundanya sampai lama ; sebelum h'a'kim da'Iam 'hal ini menentuikan bahwa ada pengaruh lamanya waktu yang melenyapkan hak menebus itu, maika ia barang sepuluh kali mempertimbangkannya lebih dulu hendaknya. Demi-kian juga halnya dengan hak2 per seorangan atas harta peninggalan yang tak ter-bagi2. H al mem'biarkan harta peninggalan dalam keadaan tak ter-bagi2 telah dilukiskan dalam bentuk2nya menurut hukum adat (hal. 233) ; dalam waktu yang sangat lama beberapa waris dapat diluluskan menikmati terus ba'hagian2 harta itu, yang tida'k ter-bagi2 dan oleh karenanya tidak ada hak2 perseorangan atasnya ; akan teta'pi mungkin keadaan yang senyatanya itu lama-kelamaan dengan diam2 diakui oleh para sesa ma waris sebagai suatu pengaturan yang definitif. Bilamana tim bul perselisihan karena segolongan waris menolak melawan tindadcan mengehaki sebahagian harta itu dengan ha’k perseorangan, dengan alasan bahwa harta itu masih dalam keadaan belum ter-ba gi2 — atau karena perkawinan yang tak diinginkan atau karena pertikaian kerabat lainnya yang menyebabkan orang membongkar-bangklr keadaan „yang sebenarnya” di antara anggauta2 kerabat — maka apa yang telah terjadi dengan se-nyata2nya toch harus dinilai juga dalam hukum. Adalah suatu pekerjaan yang halus serta sukar buat mencari apa yang harus dipandang penting untuk di'berlakukan atas perimbangan hukum, dan apa yang tidak, halus dan sukar pula buat mencari batasnya antara : membiarkan sebagaimana kenyataannya dengan membiarkan ma,sih tetap dipegang 'ha'k2nya di satu fihak dan „rechtsverwerking” (penghilangan hak sendiri) di lain fihaik. Dalam pada itu maka suatu vonnis daripada landraad Tulungagung pada tahun 1923 (adatrechtbundel X X I I hal. 27) memiberi tauladannya secara mahir. Mengenai penagihan hutang2 terhadap sesama anggota dusun dan kenalan2 di lingkungan rakyat Pribumi, maka hak menagih tidak lenyap karena ketiadaan menagih dalam jangka waktu yang ditentu■kan dengan tegas, karena sedemikian itu akan menyalahi kewajiban pertama daripada setiap penagih h u ta n g : yaitu ia waj-ib sabar, panjang hati dan lemah-Iembut (sabar, J.) ; di sini terdapat buntut pengaruh 'tolong-menolong bertimbal-balik. T a p i di luar suatu batas yang tertentu dan dalam hubungan2 di luar situ — lebih2 juga ter hadap pembayaran2 berkala — maka memang terdapat ada pengaruh nya siikap diam2 dan sikap dingïn daripada si periagih hu tan g; aturan2 hukum yang berlaiku dalam pada itu seharusnya lebih lanjut ditentukan dalam keputusan2.
T elah ber-ulang2 terjadi -dalam lingkungan raja2 — dan seba gai akibat pengaruh pegawai pemerintah bangsa Eropah — bahwa diadakan tindakan2 (Batak, Kalimantan, Bali, Jawa) yang menye babkan dibatalkannya dan tak dapat diterimanya (onontvangkelijk) perkara2 yang berasal dari masa tidak ada kepastian hukum (mengliadapi pecah perang, menghadapi pendudukan sesuatu daerah). Dalam keputusan2 hakim2 (yang karena kewajibannya untuk memelihara kepastian yang patut daripada hak-nya subyektif seseorang, dan yang di mana2 mereka memperhatikan — walaupun de ngan perhatian yang kurang bersistimnya — lembaga : penghilangan liak sendiri (rechtsverwerking), dikenakan (aantasting) lamanya waktu), orang harus mem-beda2kan adanya tiga garis. Per-tamae memang dianggap benar, bahwa hak2 madi (materiële rechten) atas tanah dapat menjadi lenyap misalnya karena dilalaikannya da lam waktu yang lama, atau hak2 itu dapat terbit karena berlangsungnya j>ampai lama keadaan yang senyatanya, keadaan mana sesuai de ngan pelaksanaan sesuatu hak ; juga, bahwa hutang2 tidak dapat ditagïh lagi karena si penagih hutang kelamaan berdiamkan dïri. D alam hukum adat selalu akan diperhitungkan lamanya waktu dan apa yang telah terjadi dalam waktti itu — setelah dipertimbangkan menurut kepatutan - ; dan tidak diperhitungkan jumlahuya tahun yang pasti, walaupun tidak mustahil bahwa di kalangan yang:penduduknya makin lama makin banyak menghitung dengan almanak dan tahun2, keputusan2 atas soal terakhir ini akan dianut orang ju ga. D i mana dalam hal perjanjian2 tanah diharuSkan adanya pembantuan dari penghulu rakyat agar supaya diperoleh hak mendapat perlindungan hukum dari fihak masyarakat, maka bilamana permintaan bantuan ini dilalaikan, rupa2nya kelalaian serupa itu dapat dipermaaf bila berdasarkan atas lamanya waktu dan atas perbuatan2 pengaikuan langsung atau tidak langsung daripada penghulu tadi dalam jangka waktu itu
(hal.
109, 239). Begitu juga lamanya
waktu itu dapat melenyaipkan haknya seorang waris, yang mustinya diminta setahunya dalam sesuatu .perjanjian (transactie), pada hal tidak, tapi ia juga tidak melawannya dalam jangka waktu yang patut (hal. 107). Hakim dapat menghindarkan diri dari bahaya yang sangat riilnya sebagai akibat daripada ter-gesa2nya menganggap adanya berlaku lamanya waktu, ialah dengan jalan memaksa dirmya untuk memberi alasan panjang-lebar pada dasar sistim keputusan
itu. Kedua, acapkali pengaruh lamanya waktu itu dipakai sebagai persangkaan (vermoeden) tentang adanya atau lenyapnya suatu pe-
ristiwa hukum (rechtsfeit) atau suatu hak. nyangkal (tegenbewijs) masih mungkin, kal itu tidak berhasil, maka dalam perkara dalam keputusan, dianggap sudah terang „reohtsfeit” atau hak itu.
Pada asasnya bu'kti peselama bukti penyangsengketa dan kemudian adanya atau lenyapnya
Ketiga, liajkim dalam pemeriksaan perkara dapat menganggap ti dak perlu lagi si penggugat sampai membuktikan gugatnya, ialah berdasarkan hanya atas satu-satunya pendirian si penggugat sendiri, bahwa ia dalam perkara itu menuntut suatu hak yang timbul dari suatu peristiwa di masa yang sudah amat lama lampau ; hakim dalam pada itu dapat menolak memeriksa perkaranya itu karena prakara lama, karena kadaluivarsa. Adalah menyebabkan kebingungan belaka bilamana masalah ini dibicarakan dengan memaikai istilah „verjaring” (lewat waktu). Anggapan : „verjaring itu memang ada dalam hukum adat” menye babkan kesalah-fahaman se-akan2 tempo „verjaring” tigapuluh, atau sepuluh atau lima tahun sudah dikenal sebagai lembaga umum di kalangan rakyat Indonesia di sesuatu lingkungan hukum ; angga pan : „verjaring itu tidak ada” menyebabkan salah pengertian, seakan- menurut hukum adat tiada sama sekali atau tak mungkin sa m a sekali ada pengaruh lamanya waktu atas hubungan2 hukum. M aka kedua anggapan ini salah. Maka dari itu dalam hal ini yang menjadi soal tak Iain dan tak bukan ialah soal umum yang di fat sal2 berikutnya dikupas lebih lanjut, yaitu : bahwa hakim yang berpendidikan a'kademis harus secara patut berusaha (dalam perumusan pertimbangannya dan dalam ikeputusannya) menyadari apa yang diberlakukan, dulu dan sekarang, oleh hakim rakyat dengan intuisinya (intuïtief) untuk menciptakan keputusan2nya ; dalam pada itu nilai daripada perubahan2 sosial harus diperhitungkan juga sebaik2nya.
BAB
K E TIG AB E LA S. B A H A S A
HUKUM.
Sebuah lukisan hukum adat dalam bahasa Belanda harus dengan susah payah menempuh kesukaran yang disebabkan karena bahasa Belanda adalah satu-satunya bahasa yang „memang” cocok buat hu kum Belanda saja. Suatu pembangunan lanjutan secara keilmuan daripada susunan hukum Belanda yang berdasarkan atas pengertian2 tentang hukum Belanda, dalam pada itu dengan sendirinya musti bertujuan membersihkan bahasa hukum Belanda. Lebih tegas lagi (karena keduanya ini adalah satu) : untuk selalu menyadarkan diri lebih dalam dan untu'k membuat dirinya sadar tentang bagian2 umumnya dan bagian2 khususnya kesatuan hukum Belanda (sebagai sudut khusus daripada liukum dalam arti kata yang umum) yangdynamis dan yang berlaku, maka orang harus mempergunakan baha sa hukum Belanda yang oleh karena itu selalu menuju ke kemurniannya. Pekerjaan ini dijalankan dalam hubungan bertimbal-balik oleh rakyat dan oleh para ahli hukum (yang termasuk golongan rak yat) sebagai bahasa hukum rakyat dan bahasa hukum teknis, yang di Nederland menimbülkan bahasa undang-undang dalam susunan nya yang istimewa dan yang ber tak kebebasan yang nisbi (betrek kelijkheid) di samping berkemerdoka:m yang nisbi (b&tnekkel-jjk-c zelfstandigheid) pula. Suatu bahasa hukum yang murni itu bukan nya suatu barang yang dapat diperoleh dan dipertahankan sebagai m ilik tetap sekaligus pada suatu hari, melainkan adalah ia suatu proses yang berlangsung terus dan tak pernah berakhir. Apa yang dalam bahasa rakyat sebagai keinginan hukum dan yang dalam ke* putusan2 hakim rakyat sebagai hukum yang berlaku dinyatakan de ngan bahasa yang tak sempurna dipikirnya itu, dipikirkan lebih lan ju t, difahami dan ditentukan lebih lanjut dalam bahasa yang telah disaring oleh ahli hukum, oleh hakim jabatan, Oleh pengundangundang (bila ia ada seorang ahli hukum) dan oleh ilmu pengetahuan. Apa yang disumbangkan kepada hukum yang berlaku oleh para ahli hukum, -hakim2 dan para pengundang-undang, adalah sumbangan berupa bahasa hukum yang telah disaring, itupun sepanjang pengertian mereka mengizinkannya. Tentang adnnya ketidak■cermatan sebagai akihat sifat ber-ubah2 daripada hukum, di samping banyak ketidak-cermatan karena pengertian yang kurang sem purna (dari fihak rakyat dan fihak yurist (semua)) maka hal ini da pat dimengerti, di mana2 dan selalu akan terus begitu keadaannya. O leh karena itu istilah2 hukum Belanda yang ada pada waktu se karang ini penting artinya per-tama2 clalam. proses yang tersebut tadi.
Dem i pekerjaan pikiran seorang ahli hukum (jurist) Belanda ditujukan kepada hukum asing — kepada hu'kumnya bangsa Indone sia — maka timbullah persoalan baru. Istilah2 hukum dalam makna Belanda tak dapat dialpakan dan juga tak dapat dioper olehnyaIa tidak dapat mengopernya, karena dalam suatu hukum yang berpengertian2 begitu „asing” dan dalam suatu lingkungan sosial yang begitu „asing” pule, makna Belanda tidak dapat berlaku seba gai makna Belanda ; dengan demikian istilah itu nanti akan memasukkan suatu unsur „asing” dalam hukum a d a t; ia tidak dapat mengalpakannya, oleh karena ia dapat melahirkan pikirannya secara. yang dimengerti orang hanya dengan mempergunakan istilah2 hukum. Belanda, atau dengan kesadaran dengan jalan menyingkirkan isti lah2 tadi. Ia harus mema'hami hakeikatnya 'hukum adat (pada akhirnya selalu dengan mempergunakan bahasa hukum rakyat Pribumi) dan untuk melukiskannya itu ia harus memakai perkataan2, kalimat2,. halaman2 dan kitab2, yang menunjukkan makna yang tepat terha dap pengartian yang telah dïperolehnya itu. Jadi istilah2 yang terpilih itu per-tama2 dalam hubungannya satu sama lain dan batas2nya satu sama lain harus serasi buat susunan hukum adat, seraya harusdibata&i yang tetap dari makna. istilah2 hukum Belanda. Beginilah cara mengerjakanrrya : dari pengartian hukum yang khusus (kopen, eigendom, vruchtgebruik, pand) orang melangkah ke suatu pe ngartian yang lebih umum ; ,,'kopen” (beli) dan seterusnya ; pengar tian umum tadi selanjutnya dikhususkan lagi sampai ke pengartian mengenai perbuatan2 hukum tertentu atau hubungan2 hukum dalam hukum adat. Baik terhadap pengartian umum, maupun terhadap pengartfian Belanda, maka yang khusus itu (het bijzondere) dapat dinyatakan dengan jalan ditambahnya sepatah kata nama sïfait (bij voeglijk naamwoord) atau dengan jalan uraian (omschrijving) r misalniya dïnyatakan : „beli” (kopen) adalah menurut hukum adat bukan perjanjian „consensueel” melainkan perjanjian „reëel” . Betapa banyak kesalah-fahaman dan pokroI2an (juristerijen) sudah tim bul hanya dari perkataan itu saja, maka di sini hanya diperingatkan saja akan itu ; khusus mengenai „sifat reëel daripada perjan jian jual-beli itu oleh yuris2 sudah dikemukakan kebodohan2 yang tak terbilang banyaknya, yang merupakan sekian banyak lintang2 an* tara hukum adat dan perumusan pengartiannya dalam bahasa Be landa ; apa yang terbentang di atas ini sama juga berlakunya atas : „eigendom , „bezit , „communaal bezit” , „pand”, „koop met bening; van wederinkoop , „verloving” , „koophuwelijk” , bruidschat”,, „voorschot , „vrome stichting, „ihuur” , „roerend goed” , „verja ring-”, dan sebagainya.
Pemakaian bahasa Belanda untuk melukiskan hukum adat Indo nesia secara berfikir dengan kesadaran dan ketenangan, mengaki batkan pekerjaan „menterjemahkan’’ bahasa hukum Pribumi ke pada bahasa Belanda itu menjadi pekerjaan yang bersusah-payah — pekerjaan mana oleh Van Vollenhoven dengan sekaligus telah diangkat sampai ke tingkatan keilmuan — hal mana lambat-laun menyebabkan banyak perbaikan, tapi selalu terserang dan terancam (secara lebih hebat daripada dalam pembentukan 'bahasa hukum baru) oleh perkisaran hukum sendiri dan oleh keserampangan2 kuasa2 perkara (zaakwaarnemers) yang berbicara dan berpikir da lam sama bahasanya rakyat ialah fihak2 yang berkepentingan; pula diserang dan diancam — ini sayang — ’pula oleh keserampangandan kesementaraan2 — yang tidak dapat dielakkan juga — da ripada bahasa yurist. Peringatan2 tentang ba'hasa Belanda sebagai bahasa hukum untuk hukum adat sekarang disusul dengan dua peringatan tentang ba hasa hukum Pribumi. Per-tama2 : perkembangan tekhnis secara sadar daripada bahasa yang dipakai untuk menyebutkan hubungan2 hukum dan per buatan2 hukum adalah memang di sana-sini (Bat*k, Minangkabau, Sunda) sudah berlangsung dengan caranya sendiri2 tapi di mana= ada ketinggalan dibanding dengan pem'bentukan kelas ahli hukum (juristenstand) anak2 negeri pada masa sekarang, itupun, sudah barang tentu, karena bentukan itu berlangsung dalam bahasa Be landa dan inisiatif untuk menyadur bahasa sendiri sampai sekarang tidak ada. Untuk ini maka buah tangan Vergouwen tentang Batak T o b a yang berisi kata2 buat bagian2 hukum yang penting lebih berjasa dari pada lain orang, dan K om minta perhatian untuk bahasa hukum Bali yang sudah berkembang sampai suatu tingkatan terten tu, pula ia minta perhatian untuk pengaruh yang merusak daripada bahasa Melayu sekaTang yang terpakai di 'pengadilan2 Pribumi. Pada suatu saat maka para ahli hukum Indonesia akan harus mengerti bahasa Pribumi tadi dan mereka akan harus berusaha mempelajari* nya apa yang perlu untuk dapat lebih memahami cara pembedaan2nya Pribumi dan faham2 hukum Pribumi. Diperingatkan kiranya misalnya akan sekian banyak sebutan2 mengenai delik2 dan pem bayaran2 delik, yang orang2 Belanda yang mempelajari hukum adat masih sedikit dapat mempergunakannya. Selanjutnya: semustinya (hampir selalu) ada pertalian yang sungguh („wezenlijk” ) di antara lembaga2, hubungan2 atau per buatan2 yang disebut dengan istilah2 yang sama, dan ada perbedaan
yang sungguh di antara iembaga2, hubungan2 atau perbuatan2 yang disebut dengan istilah2 yang ber-beda2 ; mestinya dapat dipungut makna yang lebih dari istilah2 mengenai .tanah dan benda2, ialah foerhubung
yang dipetik dari perkataan2 Arab seperti ,,milik”, „haq”, atau dari kata2 Belanda seperti : „borrch” ? Apakah riilainya (dan maksudnya) pepatah hukum seperti : „haq bamilieq, harato bapunya” dan sete rusnya dan seterusnya ? Hanya menyebut obyek2 hukum, dengan is tilah2 adat yang bersangkutan dengan obyek2 itu, adalah lebih dari terkenal : patuanan, ulayat, panyampéto, nuru, prabumian dan seba gainya terhadap lingkungan hak pertuanan (beschikkingskring) ; harta pusaka untuk harta benda kerabat: harta pencarian, pasini untuk harta benda perseorangan; barang kalakéran untuk harta benda yang menjadi haknya orang banyak (kerabat, dusun, atau masyarakat manapun ju g a ); harta saka, harta pusaka rendah, harta suarangt barang gana, gi'ni, gana-gini dan ratusan lain2nya lagi. Dalam setiap lingkungan hukum adalah di hadapan kita soal2 : pernilaian istilah2 hukum rakyat serupa yang tersebut tadi menurut nilainya yang sejati, ,pemakaian istilah2 itu dalam bahasa hukum adat Pribumi yang sudah disaring, dan penemuan kata2 yang paling cocok dengan istilah2 hukum adat tadi dalam bahasa Belanda, ke semuanya itu ada di hadapan kita sebagai sebidang tanah lapang pe kerjaan, yang tidak (seperti ladang) menjadi habis sesudah be berapa tahun dan tak menghasilkan apa2 lagi, melainkan (seperti sawah) — bila dikerjnkannya terus-menerus — setiap tahun meng-hasilkan panennya juga.
BA B
K E E M P A T B E L A S . PE M B E N T U K A N HUKUM ADAT.
Tiada suatu alasanpun jua untuk menyebut barang sesuatu de ngan nama „hukum ” selainnya apa yang diputuskan sebagai „hu kum ’ oleh penjabat2 masyarakat yang bertugas menetapkan dalam keputusan-'nya bagaimana hukumnya — kira2 dengan kata2 demiki an itu orang Inggris Gray pada hemat saya, juga terhadap hukum adat, memberi jawaban yang tepat atas pertanyaan, bilamanakah .. secara theoritis orang dapat menamakan h u k u m adat yang berlaku (geldend adat r e c h t) (berhadapan dengan a d a t ) , dan kaidah2 h u k- u m tak tertulis yang berlaku (geldende ongeschre ven r e c h t s - normen) (berhadapan dengan kaidah2 tak tertulis macam lain) (ongeschreven normen van anderen aard). Keputusan2 yang diambil oleh pendukung2 kekuasaan, ialah penghulu2 rakyat, — keputusan2 mana selalu dapat dan harus ditafsirkan tidak hanya sebagai keputusan yang kongkrit, melainkan juga sebagai suatu kaidah untuk perkara2 yang „sama” (yaitu perkara2 yang mengandung kejadian2 yang bersangkutan dengan itu, jadi perkara2,, yang s e b e r a p a jauh sama) — menunjukkan adanya kaidah2 hukumnya yant^ berlaku tlai.-mi masyarafcac ; y . 3&n>>ssAr'hukum daripada nilai2 dan pernilaiaiv* masyarakat, bentuk- hukum mana timbul dari beraneka gejala2 hidup yang bebas. Tapi kaidah3 hukum serupa itu tidak semua sama padatnya ; bertanibah dan berkurang padatnya itu tergantung dari : apakah disokongnya oleh soal ada pertaliannya atau tiada pertaliannya secara sistim dengan kai dah2 lainnya (karena sistimnya), apakah disokong oleli penghargaan baik atau kurang baik oleh kenyataan sosial (sociale werkelijkheid) dan oleli syarat2 perikemanusiaan, atau apakah disokong oleh kepu tusan2 yang sama sejumlah besar atau sejumlah kecil, faktor2 ma na kesemuanya dapat memperkuat atau memperlemah satu sama lain. Barang siapa yang bertugas memberi keputusan oleh karena itu ha rus benar2 sadar akan tanggung-jawabnya bahwa dia adalah un sur dalam hal pembentukan hukum. Karena funksinya haruslah ia, dari s e b a b ia adalah pcmbesar masyarakat, memberi kepu tusan sedemikian rupa sehingga dapat disalurkan dari padanya : kaidah (keputusan yang ditafsirkan sebagai kaidah) yang menurut keyakinannya akan berlaku dalam lingkungan di mana ia mengadili itu, yaitu per-tama2 untuk perkara yang kongkrit itu, tapi juga un tuk semua perkara2 lainnya yang seberapa jauh mengandung ke jadian- yang sama dan yang bersangkutan (relevant) (dalam ke adaan2 sosial yang sama dan yang bersangkutan pula). Masing2
pembesar yang bertugas memberi 'keputusan — ialah masing2 hakim — oleh karena itu harus mema,klumi keputusan2 yang dahulu dalam perkara2 yang sama, yang belkwaliteit istimewa karena tanggungjawab istimewa dari orang yang dahulu memberi keputusannya itu. Tam bahan pula karena perkara itu oleh keputusan dan dalam kepu tusan selalu dilukiskan dengan ‘t e p a t h e t u 1 (presies e r i ng ) dan d i r u r a u s k a n (formulering), maka dari itu akibatnya ialah, bahwa setiap keputusan memberi sedikit-banyak suiribangan pengertian terhadap apa yang harus „berla ku” (gelden). Jadi secara psykhologis dan secara functioneel se tiap keputusan mengakibat'kan suatu daya pengaruh yang tertentu. T a p i juga hanya suatu
daya
pengaruh
yang
terten-
t u. Karena justru tanggung-jawab terhadap masyarakat yang diberikan kepada hakim (atau pemegang kekuasaan lainnya) karena funksi memutuskan itu, menyebabkan ; bahwa dia (untungnya karena ia tidak terikat formeel pada sesuatu keputusan yang dahulu atau „precedent”) dalam perkara2 yang sama baru boleh (tapi juga lantas 'harus) memperkuat -keputusan2 yang dahulu2 itu hanya bilamana keputusan itu ternyata dapat dipertahankan ; yaitu dapat dipertahankan sesudahnya diujinya atas seluruh sistimfiya hukum adat seba gaimana yang bersambung dengan kenyataan sosial (sociale werke lijkheid), sehingga hukum adat itu adalah perwujudan sendiri dari pada kenyataan sosial-itu, yang tak ada hentinya ber-ubah2 dan yang dalam keputusan dahulu2 mungkin mendapat tafsiran yang „salah” ; selanjutnya diuji atas syarat2 perikemarbusiaan yang harus dipenuhi bila hakim berkehendak memberi keputusan yang dia dapat mempertanggung-jawabkannya. Penghargaan secara kritis terha•dap keputusan2 yang dahulu2 itu sudah barang tentu tak dapat dipisah-kan dari penghargaan secara kritis daripada hakim yang mem beri keputusan dulu, yaitu bagaimana dia pada umumnya dan apakah ia terkenal sebagai cakap apa tidak dalam menunaikan tugasnya. Jadi peradilan menurut hukum adat itu adalah per-tama2 : membangun terus mewujudkan hukum dalam masyarakat. Bilamana hakim tidak mendapatkan keputusan dari tempo dahulu dalam perkara •sama yang mengandung kejadian2 yang bersangkutan, ataii bila m ana keputusan2 itu ternyata tak tahan oiji, maka ia toch harus m emberi keputusan juga yang menurut keyakinannya harus berlaku sebagai keputusan hukum, jadi juga sebagai kaidah hukum, da lam lingkungan tempat ia mengadili. Untuk mendapatkan keputusan itu haruslah ia melantas ke dalam susunan hukum selunlhnya, haruslah ia mengenai kenyataan sosial dan mengerti syarat2 perikemanusiaan. Oleh karena itu kewajiban untuk mengadili iüenurut hukum
adat berarti : memberikan bentuk kepada apa yang dibutuhkan se bagai keputusan «hukum yang berlaku (kaidah hukum) dengan se bagai bahan ialah faktor- tadi (sistim hukum, kenyataan sosial dan syarat2 perikemanusiaan), kesemuanya dengan cara yang da.pat dipertanggung-jawabkan pada waktu sekarang; bila dikatakan se cara subyektif : memberi bentuk kepada apa yang dibutuhkan me nurut kèinsyafan keadilan rakyat Pribumi sebagai keputusan hukum (kaidah hukum) yang berlaku, kèinsyafan hukum mana dengan keinsyafan hukum hakim sendiri pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Kedua bagian daripada tugas hakim yang telah di-beda2kan tadi, dalam prakteknya peradilan yang selalu beraneka-warna, tidak muncul sebagai dua kc-mungkinan yang tegas hatasnya aptara satu de ngan yang laio, melainkan kadang2 hanya muncul sebagai unsur2 yang setengah dikenal dan yang bercampur-baur satu sama lain, daripada pekerjaan kehakiman. Demikianlah tugas hakim menurut hukum adat; baik tugas ha• ki-m rakyat, maupun tugas hakim pemerintah. Pada hakekatnya tiada perbedaan dalam fuirksi mereka — bagaimana bes&i-nys» mungkin pei bedaaiinya dalam kesadaran mereka mengenai apa yang ditindakkan (yang harus ditindakkan). Penghulu rakyaP-hakim masyarakat yang tumbuh dari dalamnya — bertindak (kalau dikatakan dengan tajam) menurut intuisi (intuitief) ke arah kaidah2 yang dirumuskan di atas tadi ; hakim pemerintah yang datang dari luar dan yang berpendidikan akademis (kalau dikatakan dengan tajam) menjadi sadar akan kaidah2 yang berlaku untuk dia karena insyaf akan t'ugasnya secara theoritis. Kekuatan struktureel daripada hukum adat, pertahanan diri yang ulet daripada hukum adat terhadap pengingkaran dan pelanggaran bahkan dari pihak peng-undang2 pusat, hakim2 dan penjabat2 pemerintah, kesemuanya itu tidak dapat diterangkan sebab apa, selainnya oleh karena adanya ketertiban hukum masyarakat2 ke cil2, yang dipelihara dengan jalan keputusan2 penghulu2 rakyat dan pendukung2 kekuasaan adat dalam prakteknya se-hari2 bila. ada suatu perbuatan hukum atau bila timbul perselisihan. Kewajiban yang dibebankan atas pundak hakim pemerintah untuk mengadili menurut hukum adat berarti kewajiban untuk melakukan apa yang d a l a m k e t e r t i b a n hukum Pri bumi sudah menjadi „hu kum yang berlaku" dengan sendirinya, yang olehnya difahami me nurut sistimnya dan olehnya dibangun terus menurut sistimnya pu la ; berarti juga dalam menyelidiki dapat bertahan atau tidaknya suatu kaidah yang sudah diketemukan — begitu juga dalam hal
membuatnya keputusan sepanjang belum ada pembentukan hukumnva — memakai sebagai titik pangkal : kenyataan sosial daripada penduduk rakyat Pribumi. Oleh karena ahli hukum yang berpendidikan terlalu ke Baratan belum cukup siap untuk tugas °itu, oleh karena organisasi daripada kekuasaan kehakmian kurang menyokong terlaksananya tugas itu (walaupun dalam hal ini sudah ada perbaikan banyak), maka dari itu akibatnya ialah : kurangnya pengtiargaan dan ketiada-pengakuannya nilai hukum yang sebenarnya daripada keputusan2 hakim (lebih2 keputusan- Land raad2) hal mana walaupun demikian tak mengurangi sedikitpun arti keputusan2 itu vang principieel. Harus dipikirkan, bahwa hakim gubernemenpun nomor satu juga
h a r u s
memutuskan (dalam
rangka wewenangnya) i) itupun baik berdasarkan hakiki funksinya» maupun berdasarkan peraturan undang-undang. Ia dilarang engganmengadili (rechtsweigering) . la harus memutus - m e n u r u t h u k u m, ia liarus memberi keputusan hukum dalam perhubu- 1 ngan, di mana ia menjalankan tugasnya. Kewajiban tersebut, ialah memberi keputusan hukum, membuat keputusannya menjadi (kai dah—) hukum dan menuntut dari padanya cara bekerja yang diurai kan di atas tadi. Dari uraian ini Lak dapat sama sekali diambil kias — jangankan diam bil kias secara patut — suatu dalil, bahwa hakim itu cukup hanya meninjau keputusan2 dahulu2 saja, cukup mengambil kumpulannya yurisprudensi saja untuk dibacanya. Juga tidak dikatakan dalam uraian itu, bahwa se-akan2 tugas hakim itu se-mata2 hanya terdiri dari pembikinan keputusan2 hukum, dan tidak terdiri dari mengusahakan (dengan segala daya-upaya) tercapainya penyelesaian2 perdamaian (schikkingen) ; hal itu adalah di luar acara pembicaraan dalam soal ini. Bila orang membantah, bahwa hakim harus memasuki desa untuk menemukan hukum adat di sana berupa kaidah2 yang dilengkapi de ngan ancaman hukuman (sanctie) dan bahwa hakim itu bila memu tus sering sekali cukup memutus peristiwa2nya (feiten) saja, ma ka ia tak dapat menegaskan apa yang dima-ksudkan dengan : „menenuikan” , „kaidah2” dan „yang dilengkapi dengan ancaman huku m an” itu ; pembantah itu juga tidak memikirkan dalam2, apakah funksinya setiap keputusan itu (ialah — selainnya mengusahakan perdamaian, bila peristiwa2nya tidak terang — selalu per-tama2 un tuk menetapkan hubungan hukum (rechtsbetrekking) dan bantah1 ).
dan m olam pau i batas w ew enangnya.
an itu bila dijelaskan lebih lanjut pada hemat saya jatuhnya sama saja dengan uraian yang dibantah tersebut di atas. Adalah buat peradilan yang dijalankan oleh ahli2 hukum penjabat (beroepjuristen) syarat nomor satu untuk menginsyafi perhubungan yang ada di antara „hukum adat” dan tugasnya hakim ; perhatian .tidak boleh oleh perumpamaan (beeldspraak) lantas dibelokkan dari nilai fuijctionoel keputusan itu dan dari tanggung-jawab hakim yang bertalian dengan itu. Adalah tak mungkin untuk mendidik „yurist” sebagai hakim pen jabat untuk mengadili Bumiputera, seraya membela semboyan; .„jangan melakukan hukum yurist („juristenrecht” ) atas Bumiputera” . Pertentangan yang tak terdamaikan ini sudah herakibat tidak baik dan akan terus berakibat tidak baik, selama pertentangan itu tidak di atasi. Semboyan Van Vollenhoven dari tahun 1905 tersebut sebagai suatu unsur dalam perjoangan melawan penyatuan hukum (unificatie) dan melawan penyodoran hukum Barat adalah dalam maknanya yang terbatas itu cukup dapat dimengerti dan cukup serasi pula. Semboyan tadi, yang dalam suasana yang sekarang sudah men jadi jernih berkat Van Vollenhoven, harus diganti dengan : buat -orang Indonesia hukum yurist (juristenrecht) ynng baik
Tnau begitu, maka hakim, liar us memutus sendiri aUis unv»§ui\§*ja\\'ab sendiri, dan berlakulah apa yang terbentang di atas ladi mengenai cara membuat keputusan hukum. Adalah praktisnya tidak mungkin bahwa hakim berhubungan (contact), dengan tertibnya dengan lingkaran hukum (rechtsmillieu) untuk setiap keputusan hukum : buat sebagian sebabnya itu ter letak pada sifatnya perkara dan sifatnya persoalan- yang timbul (mi salnya : kebadanan hukum (rechtspersoonlijkheid) daripada suatu perkumpulan dan akibat2nya terhadap tanggung-jawabnya pengurus atau anggauta-nya ; tanggung-jawabnya buat seperdua atau buat seluruhnya bagi seorang saksi yang menuliskan kcterangannya. atas surat tanda kedatangan surat „tercaiat"
(aangetekend), surat
tanda mana ternyata ditan-datangani oleh seorang bukan yang dialamati ; pengejaran2 penggantian kerugian yang disebabkan kakarena perbuatan2' yang merugikan penagih2 h u ta n g ; akibat2 penju alan lelang yang diselenggarakan oleh seseorang yang tak berhak, dan sebagainya dan sebagainya). Buat sebagian pula ketidak-mungkinan tadi juga terletak pada : kekurangan tempo, kekurangant pengetahuan tentang bahasa dan keadaan2 serupa itu lainnya. S e p a n j a n g hubungan (contact) tadi tak mungkin dan oleh ka renanya hakim tak memperoleh bahan pengujian dari padanya, ma ka h a r u s 1 a h ia menuruti keputusan2 yang dulu2 yang tahan uji atas sistim dan syarat2 perikemanusiaan, hal2 mana didapatnya tahu dari buku2. Bila timbul kesangsian atau bila ada kurang lengkap pengertian, maka kaidah2 yang lebih padat (dichtheid) dan. yang disokong oleh keputusan2 yang banyak, ada lebih bertahan ter hadap simpangan2nya dari pada kaidah2 yang sedikit padatnya (mi salnya "kaidah itu hanya terdapat dalam satu keputusan saja pada tempo yang baru lalu). Lebih panjang-lebar tentang masalah ini : De rechtspraak van de landraden naar ongeschreven recht (Peradilan landrad2 menurut hukum tak tertulis), pidato Jakarta 1930 d a n : Het adatredit en de volkenkunde in wetenschap, praktijk en onderwijs (Hukum adat dan ilmu bangsa2 dalam ilmu pengetahuan, praktek dan pelajar an), pidato Jakarta 1937; Holleman, W .P .N .R . 3557 (1938). Ind. Tijdschrift van het Reoht, jilid 147 (1938) hal. 428 ; Logemann, Ind. Tijdschrift van het Recht, jilid 148 (1938) hal. 27 de ngan kata menyusul dari Holleman di hal. 36 ; Van Hattum dalam W .P .N .R . 3587 dengan kata menyusul dari Holleman. Lihatlah ju ga : Adaterfrecht op Java (Hukum waris adat di Jawa) Ind. T ijd schrift van het Recht, jilid 148 (1938) hal. 201.
Dalam buku
ini telaïl dicoha untuk melukiskan susunan (stelsel)
hukum adat Indonesia. Lukisan susunan itu saban2 diperkuat de ngan jalan penyebutan kaidah2 hukum adat sebagai kaidah2 yang *
berlaku. Hanya buat sebagian dapat disebutkan keputusan2 yang menjadi dasar kaidah2 i t u ; buat bagian terbesar maka pemberitaan kaidah2 hukum adat itu berdasarkan atas pengetahuan dari kesusasteraan, jadi dari tangan kedua dan ke berikutnya, yang sudali ba rang tentu setelah saya saring dan saya pilih hanya pemberitaan2 yang pada hemat saya tahan uji terhadap dapat atau tidak dapat diterimanya, itupun berhubung dengan susunan hukum, kenyataan so sial dan syarat2 perikemanusiaan, sebagaimana kesemuanya itu nampak pada saya dan menimbulkan penghargaan saya terhadapnya. Adalah sudah semestinya termasuk tugasnya pelukisan hukum adat secara keilmuan, ialah untuk memilih dan untuk menyatakan apa yang harus berlaku menurut pendapatnya penulis, bilamana harus diambil keputusan2. Hakim yang bertanggung-jawab pada kongkritnya harus selalu bertanya lagi pada dirinya apakah pendapatnya itu tahan uji dan apakah kaidahnya hukum adat itu sudah dirumuskan dengan tepatnya.
B A B K E LIM ABELAS. K E S U S A S T E R A A N HUKUM ADAT. Pusat kesusasteraan hukum adat — buku penutup daripada masa lampau, pondamen buat masa depan — adalah akan tetap buat selamanya buah tangan yang agung daripada V A N V O L L E N H O : V E N : „H et adatrecht van Nederlandsch-Indië jilid I 1906 — 1918. U ntuk setiap lingkungan hukum terdapatlah kesusasteraannva (literatuur), dari mana bahan2nya diambilnya buat lukisan lingkung an itu yang disusun secara ikhtisar dan menurut sistim : dalam kitab itu di bagian belakang terdapat waktunya membahas setiap lingkungan hukum itu, ialah dalam tahun berapa di antara tahun 1906 — tahun 1918 itu. Ilmu ethnologie hukum dari masa sebelum tahun itu dan yang hanya sekali tempo saja pada waktu itu mendekati ilmu hukum adat, dalam kitabnya Van Vollenhoven ternyata sudah ada tafsirannya menurut hukum adat. Tidak dapat sama se kali dikatakan tidak penting — berhubung dengan kemajuan ilmu hukum adat dalam tempo 20 — 30 tahun sejak itu — untuk meninjau sekali lagi bahan2 (gegevens) yang lebih tua (SNOUCK. H U R G R O N J E , W IL K E N , LIEFERINCK, K O O R E M A N , DE R O O Y , het „Eindresumé”
dan sebagainya), tapi dapat dikatakan pada
umumnya, bahwa bahan2 dari tahun2 sebelum 1906 — 1918 sudah termasuk dalam kitab baku Van Vollenhoven tadi; hanya beberapa saja dari tulisan2 itu nanti akan disebut lagi di sini. Bila ditinjau ke arah lainnya maka jilid pertama daripada kitabnya Van Vollen hoven itu tetap dapat disebut pusatnya pelukisan hukum adat dan kesusasteraan hukum adat, karena kesusasteraan yang terbit sesudah itu seluruhnya berdasarkan atas uraiannya yang secara sistim itu ; peristiwa2 dan pengelihatan2 baru yang mendatang benar juga memperluas sistimnya, menambahnya, di sana-sini sekedar mempertegaknya, akan tetapi pada hakekatnya tidak sedikitpun dapat merombaknya. Jilid
II
daripada „Adatrecht van Nederlandsch-Indië''nya Van
Vollenhoven 1918 — 1931 membahas hukum adatnya golongan T i mur Asing
(Vreemde Oosterlingen), hukum agama, dan terutama
„pemeliharaan dan pembentukan hukum adat oleh hakim” , dan „pembingkaian”
(„inlijsting” ) daripada hukum adat, dan nasabah2
yang tak terbilang banyaknya daripada hukum adat dengan hukum (undang-undang) gubernemen.
D i samping itu terdapatlah sekumpulan karangan2 dalam jilid III (1904 — 1931) (di antara mana „Indonesische rechtstaal” 1922), dan empat buku2 kecil yang tak termasuk jilid itu : „Miskenningen van het adatrecht” (1909) 1. Inlandsche gemeente, 2. beschikkings recht, 3. adatrechtsystematiek, 4. adatrecht van Java ; „Een adatwetboekje voor heel Nederlandsch-Indië 1910; „D e Indonesiër en zijn grond” ; „De ontdekking van het adatrecht” 1928. Dalam pidatonya dalam bulan Agustus 1932 di aula gedung „rechtshoge school” ; „D e poëzie in het Indisch recht” dibicarakan juga bebe rapa lembaga hukum adat. Bersandar atas dan disokong oleh pekerjaannya yang keilmuan itu maka di antara kitab2nya Van Vollen hoven yang kecil2 itu terdapat banyak tulisan2 persoalan (strijd schriften) ; empat garis2 pokok menjadi tanda-ciri perjoangannya, ialah : 1. menentang penyatuan hukum (unificatie) dan menentang desakan secara lain terhadap hukum adat oleh hukum Barat; 2. membela agar supaya arti peradilan adat diakui ; 3. menentang peringkaran (miskenning) hak2 masyarakat hukum Pribumi dan hak2 perseorangan atas tanah ; 4. menentang .peringkaran terhadap watak masyarakat2 Pribumi sendiri. Di ke-empat2nya front ini sudah dapat didudukinya banyak medan, walaupun apa yang telah direbut secara keilmuan itu belum seluru-hnya berlaku dalam prakteknya pe merintahan, peradilan dan perundang-undangan. Suatu kumpulan daripada bahan2 yang senyatanya ada (feitelijke gegevens) dalam surat2 arsip, keputusan2 daripada hakim2 ma cam apa saja di seluruh Nusantara, beberapa karangan2 asli me ngenai hukum adat, kesemuanya itu dengan pimpinan Van Vollen hoven sejak tahun 1910 (sejak 1933 dengan pimpinannya Van Ossenbruggen) dihimpun jadi satu dalam „adatrechtbundels”, yang diselenggarakan oleh „commissie voor het adatrecht” (panitya mana sejak 1917 mengurus „Adatrechtstichting), dan diterbitkan oleh Koninklijk Instituut voor Taal - Land - en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië- Sudah terbit empatpuluh berkas (1938) ; berkas yang penghabisan memuat pelukisan secara panjang-lebar (260 'halaman) isi2nya berkas2 lainnya, yang disusun oleh Mr. Van Ossenbruggen ; daftar2 daripada istilah2 hukum Pribumi terdapat dalam berkas X X X buat 29 berkas2 yang pertama dan dalam berkas X L buat berkas2 yang berikutnya. Sejak tahun 1914 maka dengan pimpinan Van Vollenhoven dan dalam 9 jilid (10 buku) bahagian2 dari kesusasteraan ethnologie (hukum) dihimpun jadi satu secara hukum adat dalam ruangan yang beracara sama dengan masalah2 yang terbahas oleh bahagian2
kesusasteraan
tadi. Rangkaian itu disebut: „Pandecten van het
adatrecht” dan meliputi : Het beschikkingsrecht over grond en wa ter (hak pertuanan atas anah dan air) (1), het voorkeursrecht op grond en het genotrecht van grond (hak terdahulu atas tanah dan hak menikmati tanah) (2), het inlands bezitsrecht van grond en het bewerkingsreoht van grond (hak milik atas tanah dan hak mengerjakan tanah) (3), de overige rechten op grond en water (hak2 lain2nya atas tanah dan air) (4), het erfrecht (hukum waris) (5), het recht om te huwen en het recht inzake verloving (hak untuk ka- . win dan hukum mengenai pertunangan) (6), het recht inzake hu welijkssluiting (hukum tentang kelangsungan perkawinan) (7), het recht inzake gezinsleven en huwelijks-ontbinding (hukum me ngenai
kehidupan
dalam
keluarga
dan
perceraian
perkawinan)
■(8), schuldenrecht (hukum perhutangan) (9), ditambah dalam ta hun 1936 dengan pimpinannya ID EM A, dengan : het adatstrafrecht (hukum pidana adat) (10). Dalam tahun 1927 terbitlah cetakan kedua daripada „Literatuur lijst voor het adatrccht 'van Indonesië"» yang saban tahun dilengkapkan dengan jalan tambahan-, yang sekarang (sampai' ï Sep tember 1937) sebagai iklnisar drhimpun dalam supplement-lijst oleh Mr. H O L L E M A N dan dicetak kembali dalam adatreclubundel XI. Dalam tahun 1923 (cetakan ke 3 dalam tahun 1934) dengan pimpinannya Van Vollenhoven dihimpunlah segala peraturan2 wet mengenai hukum sipil Pribumi, yan£ bersambung pada hukum adat : «Verordeningen inlandsch privaatrecht” . Dalam tahun 1932 maka atas desakan Van Vollenhoven tersusunlah oleh V A N H IN L O O P E N LABBER TO N „Dictionaire des terroes du droit indonesien” yang diterbi-tkan oleh „Koninklijke akaderoie voor wetenschappen” di Amsterdam. Keputusan2 menurut hukum adat yang terdapat dalam het Indisch Tijdschrift van het Recht (dulu : het Recht in Nederlandsch Indië) (sejak 1849), dalam Indisch weekblad van het Recht (dari 1864 — 1914), dalam W et en adat (1897 — 1899) dan dalam Adatrechcbundels (sejak 1911) barulah dalam tahun 1912 diikhtisarkan dalam disertasinya Mr. K.L.J. E N T H O V E N (dengan pimpinan Van Vollenhoven) „H et adatrecht der Inlanders in de jurisprudentie” 1849 - 1912, diteruskan oleh Mr. J.C. V A N DER M EU LEN (1912 - 1923) dan oleh Dr. E.A. BOERENBEKER 1923 - 1933. Sejak 1929 maka vonis2 daripada hakim2 pengadilan untuk Bumiputera terhimpun oleh : het Indisch tijdschrift van het Recht, sebagai pe-
nerbitan2 tersendiri yang disebut „landraadsnummers , nomor yang ke 18 terbit dalam bulan Agustus 1938 (lihatlah Van Vollenhoven. Adatrecht I. hal. 83 (1907) : „Pembagian daripada kedua majalah hukum yang tersebut itu dalam ruangan „wettenrecht" dan dalam ruangan tetap adatrecht” mungkin akan menambah kebaikannya (mengumumkan bahan* pembangun yang mungkin dapat ditambahkan oleh peradilan gubernemen) yang sudah ada itu. Bagian „Inlandsch recht” daripada daftar kartu2 (kaartregister) nederlandsindïsche jurisprudentie sejak tahun 1937 memudahkan orang untuk mengaji keputusan2 yang ada sejak tahun 1929. Sebuah himpunan „Indonesische dorpsakten” disusun dan disalin oleh Dr. Mr. T IR T A W IN A T A dan Mr. W .A. MULLER (atas saran Van Vollenhoven) ter bit dalam tahun 1933 di Jakarta. Barang siapa melihat sekitar ini semua dan dalam pada itu mengingat pula duapuluh buah disertasi tentang soal2 hukum adat (buat sebagian buah tangan pegawai2 pangreh praja yang berpraktek sendiri) yang disusun dengan pimpinannya Van Vollenho ven, maka orang dapat sekedar menggairibarkan betapa arti peker jaan beliau itu untuk ilmu hukum adat. Barang siapa telah kenal pada beliau tahu bahwa penjumlahan tulisan2 ini hanya merupakan gambaran yang jauh dari sempurna dari apa yang telah diamalkan beliau dengan lisan dan perbuatan. Daftar kesusasteraan 1927 tersebut di atas dan tambahannya sam pai 1 September 1937 dalam adatrechtbundel X I yang disusun baik secara sistim maupun secara abjad, memungkinkan dalam seke jap mata untuk menyelidiki buat setiap lingkungan hukum (ana lingkungan ‘hukum) apa saja yang sudah terbit mengenai hukum adat sesudahnya (dan sebelumnya) tahun di waktu „peitingga („legger”) membicarakan lingkungan itu. Juga sebagai penun jukan sumber2 yang terutama yang sudah ditim'ba untuk „Pen a huluan” ini, menyusul di sini sebuah ikhtisar menurut sistim daripada buku2 tadi. Mengingat arti daripada kesusasteraan hukum adat da patlah lingkungan2 hukum (dan anak2 lingkungan hukum) sekiranya dibagi menjadi tiga golongan. 1.
Per-tama2 wilayah2 yang sudah ada pembahasannya secara de
ngan sengaja dan menurut sistim seluruh hukum adat atas dasar keadaan sekarang daripada ilmu hukum adat; sebagai demikian maka haruslah disebut: A. anak lingkungan hukum (recKtsgouw) Batak Toba oleh bu kunya J.C. VERGOUW EN „Het rechtsleven der töba-bataks”, 1933
ialah sebuah bu ku yang di sini ditaruh p alin g atas, karena lin.sfungan-- h u k u m selalu disebut dalam urutan yang tetap (Aceh, daerah2 G ay o , A la s dan Batak, dan sebagainya sampai Jawa Ba rat), tapi anak lin gk u n g a n h u ku m tadi juga tentu akan dapat tem pat p a lin g atas seandainya urutan tersebut digantungkan pada baik atau tidaknya cara m elukiskan suasana hukum adat sampai m endala m den ga n disertai pem bahasan persoalan- hukum adat ; savang sekali b u k u itu m engenai h u ku m tanah tidak lengkap dan hanya men u n ju k kepada buah tangan Y PES yang terbit pada tahun 1932 dan ya n g nanti akan disinggung di sini ; B. lin g k u n g a n hukum K alim antan oleh disertasinya J. M A I,L I N C K R O D T „ H e t adatrecht van Borneo” , dua jilid, 1928, ialah sebuah bu ku yang lebih m em beri penerangan mengenai suasananya daripada m engenai persoalan2 hukum yang khusus ; G. anak lingku ngan hukum Bali dan lingkungan Bali dan Lom b o k o leh disertasinya, kem udian bukunya Dr. V .E . K O R N „H et adat recht van B ali, tweede druk” . 1932, ialah sehuah buku yang mengand u n g b a h a n 2 yang sudah dikerjakan secara ikhtisar dan dalam ju m la h yang mengagutnkan banyaknya : mengenai suasana hukum adat B ali dinyatakannya lebih tepat betul luki^nnya fic) p cm ilis itVi : ,,I)e dorpsrepubliek ”1 nganan Pagi ingsingan 1933 ; D. lingkungan hukum jawa Barat, oleh bukunya Rd. Mr. SOEP O M O „ H e t adatprivaatrecht van Wcst-Java” , 1933, di mana per soalan2 h u k u m dan jawabannya, yang disimpulkan dalam kaidah2, dititik-beratkan sepenuhnya, sedangkan suasananya menjadi terasa, karena saban2 diberitakan juga pengalaman2 daripada penyelidikan di m edan m engenai keinsypfan luikum di lingkungan (milieu) situ. B u k u - yang tersebut tadi kesemuanya juga berdasarkan atas pe nyelidikan penulis2nya sendiri tentang hukum di tempat situ. 2. .Selanjutnya wilayah2, yang pembahasannya hukum adat di situ m elipu ti persoalannya seluruhnya, tapi pembahasan itu hanya meru pakan satu bahagian daripada pelukisan mengenai tanah dan bangsa (land - en volksbeschrijving) oleh seorang penulis yang tidak khusus berpendidikan hukum adat ; mengenai itu harus disebutkan di sini : A. lingku ngan hukum Aceh oleh bukunya Dr. C. S N O U C K H U R G R O N J E „ D e Atjehers” , 1893, jadi terbitnya sebelum „legger” , akan tetapi w alaupun demikian tidak boleh tiada ada. Bukunya J-J. K R E E M E R „ A c e h ” , 1922 tidak mendatangkan bahan baru sesu dah terbitnya bu ku 2nya Snouck Hurgronje dan V an Vollenhoven ;
B. anak lingkungan hukum Gayo, oleh bukunya Dr. S N O U C K H URGRONJE „Het Gayoland”, 1930 ialah catatan2 dari p e m b e n i a - ;an2 orang2 Gayo yang mengembara ; C. anaknlingkungan hukum Batak Toba dan Batak Dairv terha dap apa yang mengenai susunan rakyat dan hukum adat, oleh bu kunya W .K.H. YPES, „Bijdrage tot de kennis van de s tam v e rw a n t schap, de inheemsche rechtsgemeenschappen en het gron d en rech t der Toba - en Dairi Bataks”, 1932 (daftar mengenai ini dalam A d . B. X X X VIII hal. 467); D.
anak
lingkungan
hukum
Nias,
oleh
bukunya
E .E .W .G .
SGHRÖDER „Nias”, dua jilid, 1917 ; E. lingkungan hukum daerah Toraja oleh bukunya Dr. N. AD RIANI dan ALB. C. K R U YT „De Barèe-sprekende Toraja'’, tiga jilid 1912 dan bukunya Dr. ALB. C. K R U YT „De West Toraja op M»dden-Celebes”, empat jilid 1938. 3. Pada akhirnya wilayah2 yang ada pembahasannya secara de ngan sengaja mengenai bahagian-* daripada hukum adat, ditulis oleh tenaga2 yang berpendidikan hukum adat: A. anak lingkungan Batak, terhadap apa yang mengenai : susu nan rakyat oleh „Nota omtrent de inlanclsche rechtgemeenschappen in liet gewest Tapanuli”, buah tangan Dr. B.J. H AG A 1930, Lands drukkerij, dan hukum tanah, oleh disertasinya A. ENDABOEMI „Het grondenrecht in de Bataklanden”, 1925 ; B. lingkungan hukum daerah Minangkabau, mengenai : gadai tanah, oleh disertasinya Mr. H. G U Y T „Grondverpanding in Mi nangkabau”, 1936, Jakarta ; C. lingkungan hukum Sumatra Selatan mengenai : Hukum kesanak-saudaraan Pasemah, oleh disertasinya W . HOVEN „De Pase mah en haar verwantschaps —, huwelijks — en erfrecht”, 1927, Leiden; Susunan rakyat dan hukum kerabat Rejang, oleh disertasinya Mr. H AZAIRlN „De Rejang”, 1936, Jakarta ; Susunan rakyat dan hukum tanah Palembang, oleh disertasinya Dr. J.W. VAN ROYEN „De Palembangsche marga en haar grond — en waterrechten”, 1927, Leiden; Susunan rakyat di Lampung, oleh „Nota over Lampoengsche marga's" buali tangan Dr. J.W. VAN ROYEN, 1930, Landsdrukkerij ; D. lingkungan hukum daerah Melayu, mengenai : susunan rakyat Riouw, oleh nota : „Erkenning en vorming van de rechtsge meenschappen in het gewest Riouw en onderhoorigheden”, buah tangan P. W IN K , 1929, Landsdrukkerij ;
£. lingkungan hukum Minahasa, mengenai : hukum tanah, oleh Verslag van een ondercoek inzake adatgrondenrecht in de M inaha"•> o le h Mr. F .D . H OLLEM AN, 1930 9 S3 ' f. lingkungan hukum Sulawesi Selatan mengenai : susunan rakya t oIeIi disertasinya H.J. FR IE D E RICY „D e standen Vi'} ö.e 'Rosgmeezefi en Makassaren", 1933, Leiden ;
0.
lingkungan hukum Am boina, mengenai
:
hukum tanah Am -
t o n , o le h b u k u n y a M r. F .D . H O L L E M A N , „ H e t a d a tg ro n d e n re c h t
van A m b o n en d e O e lia sse r s” , 1 9 3 3 ; H-
a n a k lin g k u n g a n h u k u m L o m b o k , m e n g e n a i: h u k u m ad a t o ra ^ ë' Sasak, o le h d ise r ta sin y a T h . N I E W E N H U Y Z E N „ S a s a k s c h adatrecht” , 1932 ;
1.
lin g k u n g a n h u k u m J a w a T e n g a h d a n J a w a T i m u r b e r sa m a
^jadura, m en g en a i :
p e r ja n jia n - tan ah dan h u k u m p erh u ta n ga n , o le h b u k u n y a M r. f .D . H O L L E M A N agoeng” , 1927 ;
„H et
adatrecht van de afdeeling T o e lo e n g -
H u k u m a d a tn ya u ju n g y * » g T im u r daripada Jawa, oleh disertasi ST O PPELA A K *
nya J-W . D E dan : Susunan
rakyat, oleh „E in d v e rsla g over h e t d esa-au to n o m ie-o n derzoek o p J a v a en M a d o e r a ” o leh F .A .E . L A C E U L L E , 1 9 2 9 ;
K . s e b a g a i ta ittb a h a n u n t u k lin g k u n g a n h u k u m J a w a B a r a t a t a s b u k u n y a M r. S o e p o m o d a p a tla h d ise b u t d ise rta si d a r ip a d a D r. A . K N O T T E N B E L T ,,V e r p a n d in g en zek erh eid stellin g in d e n O ostP re an g e r” , 19 2 4 , J a k a r t a . I,. M e n g e n a i hukum raja? d a p a tla h k ira n y a d ise b u t d i sin i : D r. P .H .S. V A N R O N K E L „ H e t m aleisch e ad a tw e tb o e k v a n K o e t a i” (M ed. K o n . A k .) 1935 ; M r. L . J . J . C A R O N „ H e t H an d els- e n Z ee recht in d e a d a tr e c h tsr e g e le n v a n den rec h tsk rin g Z u id -C ele b es” , d i sertasi, U t r e c h t , 1937 ; R d , M r. S O E P O M O „ D e r e o r g a n is a tie v a n h et a g r a r is c h ste ls e l in h e t gew est S o e ra k a rta ” , d ise r ta si. L e id e n , 1927 ; R .A . K E R N „ J a v a a n s c h e re c h tsb e d e e lin g ” , 1927 d a n R d . M . M r. S O E R I P T O „ O n tw ik k e lin g s g a n g d e r v o rste n lan d sc h e w e tb o e k e n ” , d isertasi, L e id e n , 1929. K a r a n g a n 2 m a ja l a h d a n r isa la h 2 d a la m a d a tr e c h tb u n d e ls ta d i ti d ak d is e b u t ; u n t u k itu d ip e r sila h k a n m e n ca rin y a d i d a f t a r 2 k e su sas teraan y a n g b e r - u la n g 2 te rse b u t t a d i ; te r h a d a p e m p a t b u a h d a r ip a d an y a d ia d a k a n p e r k e c u a lia n di sin i, ia la h o le h k a r e n a p e n tin g n y a se b ag a i p e n g is i d a r ip a d a k e k u ra n g a n n y a k e su sa ste r a a n h u k u m adat,
jadi : sebagai sumber dari buku pendahuluan ini : „Hobfdlijnen van het huwelijksrecht in de Lampungs”, oleh Mr. H. G U Y T dalam „Ind. Tijdschrift van het Recht”, jilid 145 (1937) „U it en over de Minahasa” oleh Dr. L. A D A M dalam. Bijdragen Koninklijk Instituut”, jilid 81 (1925); „Huwelijk en Huwelijksrecht in Zuid-Celebes” oleh Mr. C .T BE R T LIN G dalam „Ind. Tijdschrift van het recht”, jilid 147 (1938) dan : „Ponré, bijdrage tot de kennis van adat en adatrecht van ZuidCelebes”, oleh H.J. FRIEDERICY dalam „Bijdragen Koninklijk Insti tuut”, jilid. 89 (1932). Dari tulisan2 yang bersifat mengikhtisarkan harus disebutkan lagi di sini: Disertasi2 Leiden : „Indonesisch waterrecht” oleh W .G . JO U ST R A 1922 ; „De autonomie van het indonesisch dorp”, oleh L. A D A M 1924 ; „Indonesische en Indische democratie” oleh B.J. H A G A ; „Indonesische sawahverpanding”, oleh SO E BR O TO , 1925 ; „De rechtstoestand van de getrouwde vrouw volgens het adatrecht van Ned. Indië", oleh S.R. B O O M G A A R D 1926 ; „De Indonesische Bruidschat” , oleh L.B. V A N S T R A T E N 1927 ; „De vrouw in het indonesisch adatrecht” , oleh E .A . B O E R E N U E K ER 1931 ; „Het gewas in Indonesië, religieus adatrechtelijk beschouwd’ » oleh SOEKANTO, 1933 ; „Het adatdelictenrecht in de magishe wereldbeschouwing” , oleh N .W . LESQUILLIER, 1934; „Inlandsche gemeente en indonesisch dorp”, oleh W .P . V A N D A N , 1937, di mana pada khususnya harus disebut di sini apa yang dikemukakan dalam buku itu mengenai faktor genealogis dan t e r r i t o r i a l dalam susunan rakyat, dan apa yang mengenai dusun Sunda (dalam kata2 istilah lain dari pada yang dipakai dalam pendahuluan ini). Disertasi Wageningen : „Deelbouw in Nederlandsch-Indië”, oleh A.M .P.A. S C H E L T E M A , 1931. Buku kecilnya Dr. J.H. BOEKE „Dorp en desa”, 1934, dipelopori oleh „Dorpsherstel” (dalam Ind. Gen.) 1931 dan disusul dengan „De grenzen van het indonesisch dorp”, dalam T . Aardr. Gen. 1937 yang terutama membahas soal ummat manusia dalam masyarakat2 territorial.
Mengenai T im u r Besar dan kepulauan T im o r maka kesusasteraan hukum adat dalam arti kata~*sempit, adalah jarang. Kesusasteraan ilmu bangsa2 yang memuat aneka warna tentang hukum adat adalah hampir semuanya se-mata2 tercantum dalam karangan2 majalah, kecuali bukunya pater H . G E U R T JE N S „U it een vreemde wereld” , tentang pulau Kei, dan beberapa buku lainnya. T a p i sangat pentingnya untuk pengetahuan tentang susunan rakyat, hukum, kesanak-saudaraan dan hukum perkawinan di daerah situ (yang mengenai pulau Seran) ialah disertasinya J.P.H. D U Y V E N D A K „ H e t kakeangenootschap van Seran”, 1926 ; lebih2 disertasinya F.A.E. V A N W O U D E N „Sociale structuur-typen in de Groote Oost”, 1935 dan apa yang ditulis oleh Mr. F.D.E. V A N O SSEN BR U G G EN tentang itu dalam „H et economisch-magisch element in Tobasche verwantschapsverhoudingen” . Kon. Ak. 1935 yaitu catatan 29, ka rangan mana sudah barang tentu terutama penting buat anak ling kungan hukum Batak T oba. Mengenai susunan kesanak-saudaraan parentaal (dalam Kol. Tijdschrift 1934), kesanak-saudaraan semenda (dalam Mensch en Maatschappij 1935), perkawinan cross-cousin yang asymmetrisch (dalnm Tijdschrift Bat, Gen. 1936) maka Dr. H .T .H . F IS C H E R lah yang mcnulisnya. Mengenai hubungan antara hukum adat dan alam pikiran „serba berpasangan” (participerend) maka Mr. F.D. H O LLE M A N menguraikannya dalam pidatonya perguruan tinggi Leiden „De commune trek in het Indonesisch rechtsleven” , 1935. Tulisan2 Pribumi yang penting untuk pengetahuan hukum adat adalah antara lain : U ntuk anak lingkungan hukum Batak „Patik Dohot Uhum ni Halak Batak” , 1899, disalin oleh Vergouwen dalam adatrechtbundel X X X V , hal. 1 dstnya ; Untuk lingkungan hukum daerah Minangkabau : buku2 kecil da ripada D . S A N G G O E N O D IR A D J O , „Kitab coerai paparan adat lem baga alam Minangkabau” , 1919 dan „Kitab atoeran adat lembaga alam Minangkabau” , 1924 (tentang ini : Ind. T.v.h.R., jilid 140 (1934) hal. 1 52 ); U ntuk lingkungan hukum Jawa Barat : HADJI H ASAN MOEST A P A : „Balb adat-adat oerang Priangan jeung oeraiig Soenda lian ti eta” , 19l3, permulaan terjemahan dalam „Jawa” , 1931. Hasil negatief daripada penjumlahan ini ialah, bahwa beberapa lingkungan2 hukum sangat membutuhkan pelukisan secara ikhtisar
daripada hukum adatnya, pula suatu penguraian daripada apa yang tersebut dalam pertinggal (legger-) tentang masalah2 tadi. Juga bila ada karangan2 secara bahagian demi bahagian yang melukiskan hanya bahagian2 daripada hukum adat, maka timbullah suatu kekurangan yang dapat terasa se-hari2 : ialah suatu penguraian se cara sistimnya daripada masalah seluruhnya dalam hubungannya satu sama lain. Untuk anak lingkungan hukum Jawa Tengah adalah sebuah buku tentang hukum sipil adat hampir selesai ; naskahnya sebagian besar telah dapat saya baca untuk saya pungut hasilnya; di Tapanuli Selatan, Minangkabau, Lampung, Minahasa dan Sulawesi Se latan — di sini sekedar disebutkan hanya lingkungan2 yang ada peradilannya gubernemen atas penduduk Pribumi — tidak kurang kebutuhannya akan kitab serupa tadi. Adalah pekerjaan cukup ba nyak untuk kaum yuris hukum adat. Penyusunan daftar „kesusasteraan tambahan” yang sekarang berikut ini pada garis besarnya didasarkan atas pembagian dan aturan yang telah dipakai oleh Ter Haar tadi. Kesusasteraan sesudah pekarena alasan2 praktis di sini dinyatakan dengan lebih panjarig-lebax daripada kesusasteraan sebelum perang. Adatrechtbundels no. 41 dan 42 terbit di waktu perang ; no. 43 dapat diharap terbitnya sedikit waktu lagi. Dua „pemberitaan kesusasteraan untuk hukum adat” telah diterbitkan yang ke-dua2nya meliputi masa 1 September 1937 sampai akhir bulan April 1943, jadi bersambung dengan daftar kesusaste raan yang termuat dalam adatreohtbundel no. 40. Dalam kata pengantar landraadnummer ke 24, T . 154 hal. 85 dan seterusnya diberitakan oleh redaksi „Indisch Tijdschrift van het Recht”, bahwa ini adalah landraadnummer yang penghabisan dan bahwa selanjutnya keputusan2 yang penting buat hukum adat akan dimuat dalam nomor3 biasa di samping vonnis2 hukum sipil Eropah, hukum pidana dan lain2nya. Orang berpendapat, bahwa landraadnummers itu sudah selesai menjalankan tugasnya yaitu . membangkitkan minat terhadap hukum adat. Dalam pertengahan tahun yang pertama pada tahun 1947 di Yogya terbitlah nomor pertama daripada „Hoekoem” , ialah majalahnya para ahli hukum Republik. Dalam tahun 1940 maka Jawa Tengah memperoleh „pembahasannya secara dengan sengaja dan menurut sistimnya hukum
adat selu ru h n y a " b eru p a „H e t adatrecht van M iddei-Java” oleh Mrs. D J O J O D I G O E N O dan T I R T A W I N A T A . Jumlah „pelukisan2 secara dengan sengaja daripada bahagian2 hukum adat oleh para ahli yang berpendidikan hukum adat”, bertambah sebagai berikut, yaitu m engenai: A . anak lingkungan hukum B atak: 1. J. K E U N IN G „Verwantschapsrecht en volksordening, huwe lijksrecht en erfrecht in het Koeriagebied van Tapanoeli”, disertasi Leiden, 1948. 2. M .H . N A S O E T IO N , G E L A R S O E T A N O L O A N „De plaats van de vrouw in de Bataksche Maatschappij” , disertasi Utrecht 1945. B. daerah M inangkabau: V .E . K O R N „De vrouwelijke mama’ in de Minangkabause familie , Bijdragen, jilid 100. C. lingkungan hukum Sumatra Selatan : 1- W .F . L U B L IN K W E D D IK , „A d a td e lic te n r e c h t in d e Rapat- . marga-rechtspraak van P a i e n i *3iser
e i”, d ise rta si J a k a r t a 1940 E. lingkungan hukum Minahasa: > J.J. D O R M E IE R , „Banggaisch Adatrecht” , disertasi Leiden m a . T entang hukum Islam terbitlah buah tangan : 1. V .E . K O R N , „Mohammedaansch recht en adatrecht in Britsch en Nederlandsch-Indië” , Bijdragen, jilid 104. 2. J. PR IN S, „Adat en Islam itiesch e P lich ten leer in Indonesië” . disertasi Leiden, 1948. Hukum tanah dibahas oleh : 1. E .H .s’ JAC O B , „L a n d s d o m e in en adatrech t” , disertasi Utrecht, 1945. 2. V.E. K O R N d a n R. V A N DIJK, „A d a tg r o n d e n r e c h t en Domein fictie” , Gorinchem 1946. 3. M . SO N IU S, „Over de keuze van het recht op de grond” , T . 1947 p. 152. Dari tulisan2 yang bersifat ikhtisar haruslah disebut di sini : 1. H . K A M P E N , „De regeling van het rechtswezen in deBuitengewesten” , disertasi Leiden 1939. 2. R . V A N DIJK, „Samenleving en adatrechtsvorming” , disertasi Leiden 1948.
Pada tahun2 yang akhir2 sebelum perang maka menjadi tambah pentingnya buat hukum adat ialah siaran2 daripada Mrs. SOEK-^-S N O , SO EN AR IO dan lain2nya berhubung dengan ,,de schuldbevrij' dingsactie op Java” (usaha pembebasan dari hutang di Jawa), dal^111 „Volkscredietwezen” . Mereka yang berkehendak mengetahui politik pemerintah ine' ngenai hukum adat, yang dijalankan sebelum perang, dipersilahkan membaca tulisannya B. T E R H A A R „Halverwege de nieuwe adatrechtpolitiek”, Kol. Studiën 1939. Ini adalah uraian lanjutan dari' pada „Een keerpunt in de adatrecbtpolitiek”, ialah buah tangan pe' nulis itu juga dalam Kol. Studiën 1928. Bahan2 lebih lanjut tentang soal ini dapat diperoleh dari prae' advies2 dalam Juristen Congres ke V tahun 1939 daripada Mrs. H* G U Y T dan M. SLAMET. mengenai „De betekenis van de term adat recht in de wetgeving” . Pedoman2 di masa sesudah perang terdapat dalam kedua pidato SOEPOMO, yang diucapkan dalam tempo singkat ber*turut2 : 1. „Soal2 politik hukum dalam pembangunan negara Indonesia vang terbit dalam nomor pertanïa daripada majalah „Hoekoem • 2. „Kedudukan hukum adat di kemudian hari” , termuat dalam „Hoekoem”, nomor 2, April 1947 dan sebagian dalam terjemahan dimuat dalam T . 1948 hal. 43 ; dan dalam tujuh buah dalil2 SOE PO M O mengenai „Hoekoem sipil Indonesia di kemudian hari dalam „Hoekoem” , April 1947. Bahan2 menurut kenyataan sesudah masa perang mengenai susu nan kehakiman dan mengenai hukum acara terdapat dalam tulisan . 1. R. OERIP K A R T O D IR D JO , „De rechtspraak op Java en Madoera tijdens de Japansche bezetting 1944 — 1945” , T . 1947, hal. 8. 2. H.K.J. C O W A N , „De indische rechtsbedeling na de bevrijding”, „Indonesië”, th. ke 2 hal. 64. Sebuah sumbangan dari fihak ilmu bangsa2 yang penting untuk lebih memahamkan istilah hukum adat adalah buah tangan J.P.B. DE JOSSELIN DE JONG, „Customary law, a confusing fiction”, penerbitan „Indisch Instituut” 1948 (Mededeling No. L X X X . Afd. Volkenkunde no. 29). Tentang hubungan antara hukum adat dan alam pikiran-„serba berpasangan” (participerend), maka masalah ini dibahas oleh : 1. B. T E R H A A R , „De betekenis van de tegenstelling participerendkritisch denken en rechtspraak naar adatrecht” . Mededelingen
der Nederlandsohe Akademie van Wetenschappen, Afd. Letterkun* de, Amsterdam 1941. 2. R. SO E P O M O dalam pidatonya pengantar, „De verhouding van individu en gemeenschap in het adatrecht” , Jakarta 1941. Pada akhirnya harus disebutkan di sini suatu minat yang ma-kin bertambah dari fihak Amerika terhadap hukum ad at: 1. R . K E N N E D Y menyiarkan sebuah „Bibliography of Indone sian peoples and cultures”, Yale University Press, New Haven 1945. 2. A .A . S C H IL L E R dalam Congres „Institute of Pacific Relations” ke 9 tahun 1945, melaporkan tentang „Legal and administrative problems of the Netherlands Indies” ; ber-sama2 E.A. H OEBEL maka ia menyalin buah tangan B. T E R H A A R „Bèginselen en stelsel van het adatrecht” ke dalam bahasa Inggris dengan memakai judul „Adatlaw in Indonesia” , Institute of Pacific Relations 1948.
SINGKATAN-SINGKATAN IJntuk menunjukkan asalnya istilah2 Indonesia maka ter-kadang2 nama daripada suku bangsa atau bahasa disingkat sebagaimana tercantum di bawah in i; amb. • =
ambons ( terj. : Ami). =
bal. bat. boeg.
= = =
balies ('terj. : Bal. = B ali) bataks (te r j.: Bat. === Batak) boeginees ( terj.: Bug. = Bugis)
Ambon )
day. gay.
= —
dayak (terj. : Day. = Dayak) gayoos ( terj. : Gay. = Gayo)
yav. mak.
= =
yavaans ( terj. : J. =» Jawa ) makassaars (t e r j.: Mak. = Makasar)
mal. min. pas.
= = =
maleis ( terj. Mel. = Melayu) minangkabaus ( terj. : Min = Minangkabau) pasemahs ( terj. : Pas. = Pasemah)
rej. soend.
= =
rejangs (te r j.: Rej. = Rejang) soendaas (terj. : Sund. = Sunda).
D A F T A R D A R IP A D A LIN G K U N G AN 2 HUKUM . A N A K - L IN G K U N G A N H U KU M D A N LAIN 2 W IL A Y A H 2. T E M P A T 2 A T A U SUKU2 BANGSA. Abung (suku bangsa di Lampung) 267, 271. 38, 55. Batavia = Jakarta 67, 137, 146. Agam (di Minangkabau) 47. Batin-bevolking = penduduk Batin Alasland (Daerah Alas). 44. (di Jambi) 42, 48. Ambon 23, 24, 29, 39, 40, 48, 56, Belitung 29, 60. 63, 67, 77, 82, 84, 86 , 89, 139, Bengkulen 23, 35, 55, 203. 144, 146, 147,153, 172, 173, 197, Bima (di Sumbawa) 65. 201, 203, 204,206, 210, 215, 219, Boalemo (di lengan Utara Sulawesi) 222, 234, 236,241, 262. 92. Anak lakitan (suku bangsa di Suma Boeginezen = orang* Bugis 42, 145 tra Selatan) 55. 173, 257. Angkola (di Tapanuli Selatan) 32, Buleleng (di Bali) 57. 79, 85, 175, 182. Buru (Maluku) 34, 45, 85. Aru-eilanden = kepulauan Aru (di Bolaang Mongondow (di lengan Uta Maluku) 28. ra Sulawesi)" 60, 85. Aceh 24, 29, 40, 54, 60, 65, 66 , 79, Bone (di Sulawesi Selatan) 66 . 117, 119, 146,176, 177, 189, 198, Borneo = Kalimaniaa ^4, 2&. 30, 31, 36, 37, 52, 60, 63, SO, 85, 199, 201, 209,224, 241, 249. S6, 92, 95, 97, 105, 128, 158, 176, Bali 28, 30, 32, 37, 40, 42, 57, 62, 179, 180, 185, 201, 203, 212, 224, 64, 65, 6 6 , 67, 78, 79, 82, 84, 90, 118, 123, 128,131, 132, 147, 150, 225, 240, 267. 153, '158, 173,175, 179, 180, 182, Boven-Kapuas = Kapuas Udik (Ka limantan) 198. 184, 189, 190,194, 195, 197, 198, 201, 202, 204,206, 221, 223, 226, Boven-Mahakam = Mahakam Hulu (Kalimantan) 23. 227, 232, 234,245, 246, 250, 252, 258, 265, 267,271. Celebes = Sulawesi 31, 37, 65, 97, Baligè (di Tapanuli) 51. 120, 176, 183, 252. Banda (Maluku) 23. Dayak 78, 87, 91, 139, 152, 189, Banjarezen (orang2 Banjar) 42. \ 193, 198, 201, 212, 222, 237, 244, Banggai archipel = kepulauan Bang252, 272. gai (sebelah Timur Sulawesi) 60, Jambi 23, 24, 42, 65, 66 . 72. Jelma daya (suku bangsa di Sumatra Bangka 29, 60. Selatan) 55 Banten 59, 67, 118. Jembrana (di Bali) 57. Barè sprekende Toraja = suku ToEnggano (di Barat Sumatra) 45, 85. raja yang berbahasa barèe 38, 53. Flores 45. Barus (daerah* Batak) 51, 52. Gayo Lueus 43, 61. Batak 28, 30, 32, 34, 37, 49, 78, 80, Gayoland = daerah Gayo 29, 30, 43, 85, 86 , 86 , 88 , 93, 108, 112, 117, 51, 169, 182, 198, 204. 120, 131, 132,141, 1'45, 146, J49, Gedongtataan (di Lampung) 42. 150, 152, 167,180, 184, 187, 189, Gorontalo 23, 60, *63, 265. 198, 200, 202,214, 222, 223, 232, Gowa (di Sulawesi Selatan) 66 . 237, 239, 240,245, 249,259, 265, Groot Aceh = Aceh Raya 23.
Grote Oost = Timut Besar 30, 43, 52, 179, 185, 248. Halmahera 201. Hitu (jazirah daripada Ambon) 48, 210, 234. Indragiri (Sumatra Tengah) 42, 84. Java = Jawa 24, 29, 32, 37, 40, 54, 58, 63, 66 , 76, 78, 79, 82, 84, 86 , 89, 90, 98, 101, 106, 107, 111, 118, 119,123, 129, 131, 132, 136, 142, 144,145. 147;. 151, 155, 158, 167, 168,169, 173, 175, 183, 184, 189, 190, 198. 199, 201, 203, 204, 206, 209, 210, 212, 215, 216, 219, 221,224, 228, 237, 244, 247, 250, 253, 263,264 , 267, 272. Kaili (Toraja Barat) 96. Kampar-streek = wilayah Kampaf (di Minangkabau) 86 . Karangasem (di Bali) 57, 64, 67. Karo Batak = Batak Karo 51, 52, 150, 262, 265. Kastala (Bali) 79. Kedu 77. Kei-eiianden = kepulauan Kei (Ma luku) 28, 39, 143, 184, 189. Kenya-dayak = Dayak Kenya 52. Kisar (kepulauan Barat Daya) 26. Klemanten-dayak = Dayak Klemanten 52. Kodi (suku bangsa di Sumba) 31. Kubu (suku bangsa di Sumatra Se latan) 55. Korinci, Krinci (Pantai Barat Suma tra) 23, 30, 48, 157, 190, 206. Laguboti (di Tapanuli) 51. Laikang (Sulawesi Selatan) 23. Lampungs = Lampung 28, 30, 38, 44, 67, 169, 180, 182, 184, 193, 194, 198, 200, 202, 203, 204, 207, 217, 232, 234, 245. Landak — en Tayan dayak = Dayak Landak dan Dayak Tayan 184, 234, 245. Lawangan-dayak = Dayak Lawangan 42, 52, 257. Lepo alim (suku bangsa di Kaliman tan) 53.
Lepo timei (suku bangsa di Kaliman tan) 53. Lima-puluh-kota ( d i M in a n g k a b a u ) 48. Lingga-Riouw 23, 45. Lombok 23, 42, 58, 65, 85. Long glatt (suku bangsa di Kalim311* tan) 53. Maanyan-patai-dayak = Dayak Maanyan Patai 53. Maanyan-siung-dayak = Dayak Maanyan siung 42, 52, 105, 199. Madura 24, 29, 33, 59, 180, 219Makasar 123, 227. Manado 24, 90. Mandailing (di Tapanuli Selatan) 32, 117, 182, 205. Mandar (di Sulawesi Selatan) 56, 158. Mentawai 23, 30, 172, 179, 189. Middel-Celebes = Sulawesi Tengah 36, 176, 197. Middel-Java = Jawa Tengah 76, 127, 247. Middel-Sumba = Sumba Tengah 35. Middel-Timor = Timor Tengah 179. Minahasa 29, 39, 40, 54, 73, 75, 84, 86 , 91, 93, 120, 127, 147, 152, 157, 172, 173, 174, 189, 198, 201, 206, 208, 210, 215, 219, 224, 232, 235, 238. Minangkabau 30, 33, 34, 35, 37, 39, 42, 45, 46, 47, 48, 51, 54, 80, 84, 90, 93, 107, 117. 118,119,122, 127, 143, 144, 146, 156, 169, 177, 178, 180, 182, 189, 192, 195, 204, 205, 209,221, 223, 225, 232, 234, 235, 242, 244, 248, 257, 271. Muna (Tenggara Sulawesi) 250. Molo (di Timor) 31. Molukken = Maluku 23. 28, 30, 54, 198, 200. Ngada (suku bangsa di Fiores) 61, 72. Ngaju-dayak = Dayak Ngaju 28. 53, 131, 169, 191. 221, 222.
Ngayogyakarta 63, 95, 97, 123. Nias 2 } , 30, 34, 48, 51; 145, 173, 182, N ieu w ,
189. G uinee
=
Irian Barat 45,
203. Noord-Java = Jawa Utara 90. Noord-Tapanuli = Tapanuli Utara 23. de Oeliasers = kepulauan Uliaser 23, 39, 56. Oost-Java = Jawa Timur 76, 183. Oost-Sumba = Sumba Timur 35, 75. Ot-danum-dayak = Dayak Ot Danum 53. Padang 24, 65. Padang Lawas (daerah 2 Batak) 23, 44, 50. Pagaiers = orang2 Pagai (Mentawai) 28. Pak-pak-gebied = daerah Pak-pak (di daerah 2 Batak) 52. Palembang 23, 24, 55, 65, 66 , 67, 78, 203. Pasemah (Palembang) 37, 86 , 179, 183, 191, 196, 198, 201, 203, 213, 217, 245, 246, 247. Pasir (Kalimantan) 23. Peminggir (suku bangsa di Lampung) 55,. 202. Pengulu-bevolking = penduduk Pe ngulu (Jambi) 42. Penyabung (suku bangsa di Kaliman tan) 52. Pubian (suku bangsa di Lampung) 44. Punan-dayak = Dayak Punan 52. Purworejo (Jawa Tengah) 247. Ponré (di Sulawesi Selatan) 55. Preanger = Priangan 59, 127. Rebang (suku bangsa di Lampung Utara) 193. Rejang (Bengkulen) 31, 34, 35, 55, 80, 102, 106, 119, 122, 175, 178, 179, 184, 185, 190, 191. Riouw 23, 45, 95. Roti (kepulauan Timor) 44, 201, 206. Sadan-toraja — Toraja Sadan (Sula w esi Tengah) 53.
Sayurmatinggi (Tapanuli Selatan) 42. Salaiar (sebelah Tenggara Sulawesi) 146. Samosir (pulau di danau Toba) 51. Saparua V7S, 1%.
Savu (kepulauan Timor) 86 , 177, 203, 244. Semendo (Palembang) 30, 196, 205, 235, 245. Seram (Maluku) 45. Sigi (Toraja Barat) 96. Simelungun (daerah2 Batak) 51, 88 . Simeuleé (sebelah Barat Aceh) 44, 65. Singkel (Aceh) 23. Sula-eilanden = Pulau2 Sula 67. Sumba (kepulauan Timor) 28, 178, 184, 196, 201, 204. Sumban Julu (Tapanuli) 51. Sumbawa 65. Sundalanden = daerah2 Sunda 29, 107, 120, 145, 189, 212, 225, 271. Surabaya 67. Solo 216. Sumatra 37, 97Sumatra’s Oostkust = Sumatra Ti mur 60, 66 , 95. Tanah datar (di Minangkabau) 48. Tano sepanjang (di Padanglawas) 44. Tapanuli 262. Tawaili (Sulawesi Barat) 63. Ternate 24, 65, 66 , 67, 97. Tidore 65, 66 . Timor 37, 172, 198, 201, 202. de Timorgroep = kepulauan Timor 30, 31, 65. Cirebon 76, 249. Tnganan Pagringsingan ( di B ali) 64, 69, 76, 79, 84, 139, 141, 190, 206. Toba-batak = Batak Toba 35, 42, 51, 110, 178, 195, 201, 203, 240, 245, 249, 252, 271. Tobelo (di Halmahera) 189. Tulungagung (Kediri, Jawa) 266. Tulungbawang (Lampung) 55. Tolainang (di lengan Timur Sulawesi) 190, 203.
Tomori (suku bangsa di Sulawesi Tengah) 53, 189. Toraja (Sulawesi Tengah) 28, 30, 53, 156, 189, 201, 206, 244, 258. Vorstenlanden = daerah swapraja di Jawa) 24, 89, 95, 96, 97, 123, 140. Westerafdeling van Borneo = Kali mantan Barat 23, 24, 258. West-Java = Jawa Barat 117, 224. Westkust van Aceh = Pantai Barat Aceh 42. West-toraja (Toraja Barat) 65, 87, 96, 214, 237. Zuid-Celebes = Sulawesi Selatan 24,
28, 29, 38, 40, 54, 56, 62, 64, 66 , 77, 78, 85, 90, 120, 127, 142, 184, 189, 192, 194, 198, 199, 208, 209, 212, 217, 224, 228, 239, 247. Zuid-Nias' = Nias Selatan 198. Zuid-Oost-Borneo = Kalimantan Tenggara 25. Zuid-Oost-Celebes = Sulawesi Teng gara 190, 260. Zuid-Sumatra = Sumatra Selatan 29, 30, 32, 40, 41, 44, 54, 65, 92, 128, 173, 179, 198, 204, 205, 223, 247. Zuid-Tapanuli = Tapanuli Selatan 42, 51, 65, 73, 76, 82, 128, 198, 202, 208, 272.
Ikhtisar daripada lingkungan- hukum dalam urutannya yang lazira dengan nama anak* lingkungan hukum, suku bangsa, tempat dan wilayah , yang terdapat dalam daftar tersebut di atas. 1.
A ce b
2.
Daerah Gayo, Alas dan Batak.
(Aceh Besar, Pantai Barat Aceh, Singkel, Semeuluë)
A. Daerah Gayo (Gayo Luëus). B. Daerah Alas. C. Daerah Batak (Tapanuli).
'
I. Tapanuli Utara. a. Batak Pak-pak (Rarus). b. Batak Karo. c. Batak Simelungun. d. Batak Toba (Samosir, Baligé, Laguboti, Lumban Julu). II. Tapanuli Selatan. a. Padang Lawas (Tano sapanjang). b. Angkola. c. Mandailing (Sayurmatinggi). 2a. Nias (Nias Selatan). 3. Daerah Minangkabau (Padang, Agaro, Tanahdatar, Limapuluh kota, wilayah2 Kampar, Korinci). 3a. Mentawai (orang- Pagai). 4. Sumatra Selatan. A'. Bengkulcn (Rejang). B. Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulüng Bawang). C. Palembang (Anak-Lakitan, Yelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo). D. Jambi (penduduk Batin dan penduduk Pengulu). 4a. Enggano. 5. 6.
7.
8.
9. 10.
11. 12.
Daerah Melaytt (Lingga-Riouw, Indragiri, Sumatra Timur, orang2 Banjar). Bangka dan Belitung. Kalimantan (Dayak, Kalimantan Barat, Kapuas Hulu, Kalimantan Tenggara,
Mahakam Hulu, Pasir (Dayak Kenya, Dayak Kleroanten, Dayak Landak dan Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyabung Punan). Minahasa (Menado). Gorontalo (Bolaang Mongondouw, Boalemo). Daerah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja berbahasa barée, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, kepulauan Banggai). Sulawesi Selatan (orang2 Bugis, Bone, Gowa, Laikang, Ponré, Mandar, Makassar, Salaiar, Muna). Kepulauan Ternate (Temate, Tidore, Halmahera, Tobclo, pulau
Sula),
13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
(Ambon, Hint, Banda, pulau2 Uliaser, Sapurua, Buru, De rain, pulau- Kci. pulau2 Aru. Kisar).
Maluku Ambon Irian Baru/.
(kepulauan Timor, Timor. Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Savu. Bima)Bali dan Lombok, (Bali, Tnganan Pagringsingan, Kastala, Kurangascm. I5uléléng, Jambrana, Lombok, Sumbawa). Jawa Tengab dan Jawa Timur beserta Madura (Ja\ra Tengah, Kcdu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madina). Daerah1 Sw.ipraja di Jawa (Solo, Yogyakarta). Jawa Barat (Priangan, daerah2 Sunda, Jakarta, Banten). Kepulauan Timor
D A F T A R SOAL aansprakelijkheid beschikkingsgerechtigde gemeenschap — tanggung-ja wab masyarakat yang ber „hak pertuanan” 79, 87, 150. aansprakelijkheid voor handelingen van anderen = tanggung-jawab terhadap perbuatan 2 lain orang 150, 262. aansprakelijkheid voor schade door vee = tanggung-jawab terhadap kerugian disebabkan oleh ternak 263. absolute simulatie = pura2 yang disengaja benar2 153. adatjuristen = para ahli hukum adat 268, 292. adatreaktie = reaksi adat dst. 213, 255. adel = bangsawan 37, 62, 63. adoptie = ambil anak 182. advocaten = adpokat2 65. agrarische commissie 98 noot. agrarisch eigendom 99. agrarische reglementen = peraturan2 tanah 124. agrarische wetgeving = perundangundangan tanah 84, 99, 123. akte 122, 159. alternerende verwantenorde = susu nan sanak*saudara secara „berganti2” 32, 179, 196, 248. ambstvelden = tanah2 bengkok 77, 89, 92, 129. animistische gebruiken = kebiasaan2 animistis 188. apanage (gebied) = lungguh (daerah) 55, 57 , 65, 66 , 67, 89, 96, 97. arbeidskontrakt = perjanjian kerja 151, 156. asymmetrisch connubium 50, 52, 145, 197, 203, 291. bataviase grondhuur = persewaan ta nah Jakarta 137. begeleidingsgave = pemberian penghantar 127, 157.
begrafeniskosten = biaya pemakaman 252. begrafenisvereniging = perkumpulan kematian 147. beheer (van een boedel) = . pengurusan (harta peninggalan^ 238. bemiddelen = menyelesaikan secara damai 250,’ 254, 279. beschikkingsgebied = daerah ber hak pertuanan 51, 72, 89, 101, 103, 104, 139, 240, 250. beslissingen = keputusan2 28, 61, 108, 123, 146, 163, 243, 254, 263, 270, 275. bevestigingsgeschenk = hadiah pengakuan 155, 156, 188. bewerkingsrecht = hak mengerjakan tanah 99. boete (deliktsbetaling) = denda (pembayaran pelanggaran) 212, 224, 258, 260. borgtocht = penjaminan 150. bruidegomschat = wang jujur yang dibayar oleh fihak perempuan 195, 202.
bruidschat = jujur 106, 120, 166, 178, 180, 181, 193, 195, 210, 211, 213, 216, 225, 241, 245. buitenechtelijk kind = anak terlahir di luar perkawinan 172, 175. bijvrouwen = bini2 selir 174, 184, 207. christendom (werking van het —) — agama Kristen (daya daripada —) 60, 173, 188, 193, 206, 207, 214, 229. christengemeenten = jemaah2 Kris ten 60, 165. clan, clan-gedeelte = clan, bagianclan 29, 34, 35, 36, 42, 50, 105, 145, 172, 176. commissie-kontrakt = perjanjian komisi 152. „communaal bezit” = hak yayasan kominal 71, 77.
corps adat-juristen = kaum ahli hu kum adat 292. cross-cousinhuwelijk = perkawinan anak saudara laki2 dengan anak saudara perempuan 184, 191. cum suis (c.s) = dengan lairAiya 251. deelbezit = milik paruhan 141, 148. deelbouw verhoudingen = perimbangan2 paruh hasil tanam 127, 148. deelwinning — paruh laba 148. delictsbetaling (boete) = pembayaran pelanggaran (denda) 212, 224 255 dsb. * ' desadiensten = pekerjaan? dinas buat desa 145. desaoudsten = ter-nia2 desa 60. dienhuwelijk = perkawinan mengabdi 196, 202. jatibos (Iandsdomein) = hutan jati (tanah milik negeri) 89. jual transactie = perjanjian jual 106, 125, 128, 133, 142, 159, 239. doorbreking = penerobosan 88 , 207, 208. dorpenbond = gabungan dusun2 32, 33, 84, 260. dorpsgemeenschap = masyarakat du sun 29, 32, 33, 37, 40, 184, 211. dorpsgodsdienstbeambten = pegawai2 urusan agama dusun 61. dorpsjustitie = pengadilan dusun 23 , 57, 68 , 262, 277. dorpsofferplaats = tempat pemujaan dusun 74. dorpsregelingen = peraturan2 dusun 68 , 265. dubbele beschikkingskring = ling kungan hak pertuanan rangkap 83 dubbelunilateraal orde = susunan „dubbelunilateraal” 31, 177, 178. dynamistische (magische) gebruiken = adat2 yang dinamistis (sihir) 188, 191, 195, 199. eenheid van Indonesisch adatrecht = kesatuan hukum adat Indonesia 231.
endogamie 31, 38, 39 , 207, 236. „erfelijk individueel bezit” = hak milik perseorangan yang dapat diwariskan 77. erkenningsgeschenk = hadiah pengakuan 157. ethnologie 27, 177, 283, 284. evenwicht = kesetimbangan - 143, 187, 195, 198, 211, 221, 255. excommunicering — dibuang ke luar adat 145, 174. exogamie 31,-34, 176, 177 191, 205, 207. familiebeschikkingsrecht = hak per tuanan daripada kerabat 84. familiebezit = milik kerabat 93, 105, 136, 221, 233, 250. fictieve waardering van goederen = pernilaian dalam angan2 daripada harta benda 200 , 257. gebruiksrecht = hak pakai 93 126, 140. gedwongen huwelijk = perkawinan paksaan 173. geldlening = pinjcman wang 109, 131, 133, 149. geldlening en deelbouw = pinjaman wang dan paruh hasil tanam 127. geledingen in familiebezit = sendi2 dalam milik kerabat 233, 236. gemeenschapshuizen = rumah2 ma syarakat 28. gemeenschapsvreemden = orang2 lu aran masyarakat 36, 39, 40, 41, 53, 55, 65, 79, 80, 85, 88 , 104, 108, 126, 128, 139, 173. „gemengd bezit” = milik campuran 77, 83. genealogische faktor der volks-ordening = faktor genealogis daripada susunan rakyat 29, 30. genotrecht = hak menikmati 75 , 79 , 90. geslacht = kerabat 36, 37, 52. gewas = tanaman 75, 116, 139, 140, 141, 143. gezinsgoederen = harta benda ke luarga 250.'
godsdienstige reschtspraak = peradil an agama 24, 64, 193, 207 , 217, 218, 233, 241., 246. gouvcmementsrcchtorde = ketertiban hukum gubernemen 21, 65, 67, 68, 84, 89, 94, 98, 105, 123, 168, 199, 236, 243, 261, 265. grantrechten = hak2 izin 95. grenswachters = penjaga2 batas 84. grondverhuur met vooruitbètaalde huurschat = persewaan tanah de ngan pembayaran wang sewa lebih dulu 107, 117, 119. gtondvcrkoop — penjualan tanah 106, 118, 135. grondverpanding — gadai tanah 106, 113, 131, 133, 135. grondvoogd = wali tanah 76, 81, 85. grondwichelaar = kahin tanah 85, 105. heersende (regerende) marga = mar ga yang merajaï (memcmifai») 35, 37, 49, 51, 80. heffingen = pungutan2 63, 64, 67, 76, 88. herinneringsgeld = wang kenang2an 152. heilige voorwerpen (der gemeenschap) = barang2 keraroat (daripada ma syarakat) 27, 28. heilige voorwerpen (in de vorsten sfeer) = barang2 keramat(di alam raja2) 62, 64. heilmaaltijden (slametan) = slametan 64, 145, 167, 190, 192, 245, 252. hoofdendiensten = pekerjaan2 dinas untuk penghulu 144. hoofdenstand = kelas penghulu 35, 37, 38. hoofdplaatsen = ibu2 kota 62, 67, 95, 97, 123, 137. huiskind = anak isi rumah 167. huur van diensten = pemakaian tenaga2 atas upah 151. huwelijksgift = pemberian di waktu perkawinan 120, 193, 198, 212.
huwelijksvoorkeur = kecenderungan perkawinan 49, 177, 190, 208. huwverbod = larangan petkareriaan 174, 177, 180, 191, 197. inheemse rechtspraak = peradilan Pribumi 23, 217, 219, 261, 262, 265. inkomsten der godsdienstbeambten = penghasilan2 pegawai2 urusan aga ma 61. inkomsten der hoofden = penghasil an2 penghulu2 63, 80, 107, 145. ' inlands bezitsrecht — hak yasan 90. inlandse-gemeente-ordonnantie = un dang2 haminte Bumiputera 68. inlijfhuwelijk = perkawinan ambil anak 39, 178, 182, 185,196,204, 205, 212, 214, 219, 225,231,245. islam (werking van den—) = Islam (berlakunya—) 134, 149,161,174, 176, 188, 192, 206, 207,214,218, 224, 227, 238, 241, 247. iskmistiscfi at&awJwirt = hukum fikh Islam 24. Kapungutan (di Palembang) 55. kasten-adel (op Ball) = bangsawan kasta (di Bali) 62. katholieken = Kaum Katholik 210 219, 229. kinderen = anak2 167, 172, 220. kinderloosheid als reden voor adop tie = kemajiran sebagai alasan ambil anak 182, 183. kinderloosheid als reden voor huwelijksontbinding = kemajiran seba gai alasan untuk perceraian 2 l i 212, 220.
klassifikatie — pembeda^n 27, 3 g klassifikatorische verwantschaps ‘waar dering = pernilaian kesanak-sau daraan menurut „abu”-nya 32 180, 203. koffietuinen (O-Java) = kebun2 kopi (Jawa Timur) 75. kolonisatie 41. Kontante handeling = perbuatan tu nai 106, 125, 143, 156, 183 18* 196, 198, 247, 256. ‘ A
kooperative verenigingen (inlandse) = perkumpulan2 koperasi (Bumiputera) 147, 165. koo^ci te gbedei txauv = pembeli dengan hati jujur 118. krankzinnigen = orang2 gila 168. credietfiandeling tegenover kontante handeling = perbuatan kredit ber hadapan perbuatan tunai 143. landschappen = landschap2 33, 165. landschapsrechtspraak = peradilan landschap 23, 63, 67, 84, 261, 266. leviraat-huwelijk = kawin menerus dengan adik marhum suaminya 203. magische (dynamistische) gebruiken = kebiasaan2 yang magis (dynamistis) 188, 190, 199, 201, 207, 212,. 214, 237, 256, 257. majoraat-erfrecht = hukum waris berdasar atas haknya anak laki2 yang tertua 234. malu zijn = menjadi malu 255, dst. massaklacht =pengaduan rakyat de ngan jalan menghadap ber-sama2 64. matrilokaal = kediaman keluarga dikerabat ibu 179. minderjarig = belum cukup umur 168. meisjes-huwelijk = perkawinan pe mudi2 yang masih muda 206. monografieë = lukisan2 68 . moratoire interessen =s bunga karena kelalaian 149. naastingsrecht = hak terdahulu un tuk beli (tanah tetangga) 76, 92. navelstreng = tali puser 199, 200. neefjes-adoptie = pengambilan anak kemenakan2 182. „nietigheid” van handelingen = „batalnya” perbuatan2 168. noodhuwelijk = kawin darurat 173, notariaat (inlands) 123. notaris 65, 243. offer = pujaan 51, 74, 104, 192. onderhoudsplicht = kewajiban memelihara 174, 175.
onheelbare tweespalt = percederaan yang tak dapat dipulihkan kembali 218, 219. tetap dan barang goyang 142. ontginningsrecht = hak membuka ta nah 74, 103, 104, 123. openbare verkoop = penjualan lclang 119, 243, 252. opzet = sengaja 257, 262. ornamentschap (in Zuid-Celebes) = persekutuan perhiasan (di Sulawe si Selatan) 56. overeenkomst in woorden = perjan jian lisan 155. overgangsriten = upacara2 peralihan 145, 1.65, 182, 183, 194. overschot (van den boedel) = sisa (daripada harta peninggalan) 253. overspel = zinah 212 . pandelingschap = pembudakan kare na hutang 143, 151. parentele orde = susunan menurut hukum ibu-bapa 31, 36, 175, 176, 179. participerend denken = alam pikiran „serba berpasangan” 122, 158, 233, 238, 256. particuliere landerijen = tanah2 partikelir 96. patrilokaal = kediaman keluarga di kerabat bapa 179. pleegkind = anak piara 175, 176. prauwen = perahu2 142. protestanten = kaum Protestan 210, 219. recht op grond en gewas (samenhang van) = hak atas tanah dan tana man (hubungannya dengan) 75, 117, 126, 139, 140, 141. rechtsgemeenschap = masyarakat hu kum 27, 28, 29, 33, 34, 165, 176, 187, 197. rechtspersoon = badan hukum 162, 165. rectsverwerking = penghilangan hak sendiri 266.
rechtsweigering = enggan mengadili 278, 279. reprociteit = pembalasan 256; registratie van grond transacties = pendaftaran perjanjian^ t&ft&h 123. rente = bunga 149, 150. reorganisatie der Vorstenlanden = perubahan organisasi di daerah2 Swapraja di Jawa 6 6 , 97. roerend en onroeroend goed = ba rang goyang dan barang tetap 143. ruilhuw elijk — perkawinan bertukar 197, 203. rijkssieraden = perhiasan 2 kerajaan 62, 64. samenvoeging dorpen — penggabungan dusun 2 33, 68 , 66 . schaamte verhouding = perhubungan yang mengandung keseganan 192. schenken van grond = memberi ha diah tanah 120 . schepen = kapal2 142. schikken — menyelesaikan secara damai 250, 254, 268, 279. schuld = hutang 192, 213. schuld (onachtzaamheid) = salah (kelalaian) 149, 256, 262. schulden (vererving, van) = hutang2 (diwarisnya) 252. schuldig blijven van huwelijksgift = tetap masih meminjam pemberian perkawinan 199, 201. sewa vergeleken met retributie = se wa dibanding dengan pungutan biaya 128. slavenstand = kelas budak 38, 53. sociale werkelijkheid — kenyataan sosial 69, 278. solidaire aansprakelijkheid = tanggung-menanggung 150. stam = suku 35, 36, 52. stand = kelas, martabat 35, 36, 37, 38, 58, 59, 62, 188, 200. stenen huizen = rumah2 tembok 97, 140. stichters (van een dorp) = pendiri2 (dusun) 35, 37, 46, 50, 101.
streekgemeenschap = masyarakat wi layah 32, 33, 187, 210. streken zonder gemeenschapsvorming = wilayah 2 tanpa bentukan masyarakat 61, 72.
-industrie = perincfasman g a 76, 96. symbolische handeling — perbuatan simbolis 214. taak der volkshoofden = tugasnya penghulu2 rakyat 61, 81, 104, 107, 117, 118, 126, 132, 133, 144, 169, 173, 182, 183, 188, 190, 193, 207, 212, 213, 218, 243, 258, 260. tegengeschenk = hadiah pembalasan s u ik e r
la
201.
territoriale faktor (der volksordemng) = faktor territorial (daripada su sunan rakyat) 28, 31. territorialisering = menjadi territoria! 36, 44, 53, 54. teruggeven van deel van bruidschat of huwelijksgift = mengembalikan sebagian daripada jujur atau dari pada pemberian pcrkaxrir& n 3 ü l. testament 241, 242. titel = gelar 159. 176. toelaicn t o t grondgebruik = TTx^iiJnskan untuk pemakaian tanah 126 dst. toenemend gezinsleven = kehidupan kekeluargaan yang makin meningkat 172, 181. toescheiding = penghibahan 121 174. trouw-marga — marga perkawinan 35, 50. tijdsverloop = lamanya waktu 109 240, 265, dst. uitzet = pembekalan kemantin pe rempuan 202, 223, 241, 245, 246 uitzwerming = pengembaraan 4i 102 , 181. verbodsteken = tanda larangan 104 158, 190. verdeling van huwelijksgoed = pem bagian harta perkawinan 227, 228
vergoeding van vruchten = pehggantian daripada hasil yang telah dipakai habis 238. verjaring = kelewat waktu 268. verloving = pertunangan 190. verlovingsgeschenk = hadiah pertu nangan 156, 189. verpersoonlijking _yan het beschik kingsrecht = menjadinya perse orangan daripada hak pertuanan 87, 265. verscheidenheid van indonesisch adat recht — beraneka warnanya hu kum adat Indonesia 231. vervanghuwelijk = perkawinan mengganti 197, 203. verstoting van een kind = pengusiran seorang anak 175, 185. vertegenwoordiging = perwakilan 168. vervolghuwelijk = perkawinan menerus 197, 203. verzorgingskontrakt = perjanjian pelihara 152. volkshoofden : z ie : taak der — = penghulu2 rakyat : lihatlah : tugasnya —. volkshoofden versus génoten = peng hulu2 rakyat lawan sesama ang gauta 68 , 88 . volwassen worden = menjadi dewasa 166. voogdij = perwalian 180, 181.
voorkeursrecht = hak terdahulu 75, 92. voorwaardelijk verstoting = ta’lieq 217. vorstendomein = tanah milik raja 2 95, 97, 98, 137, 141. vorstenverering = penghormatan terhadap raja 2 62, 95. vrome stichting = yayasan saleh 93, 119, 161. vrije desa = desa meraeka 60. 88 . waardigheidsgoederen = barang2 tan da kebesaran 249. weduwe = janda 225, 246. welvaarstzorg = pemeliharaan kemakmuran 68 . wetgeving (van het governement) = perundang-undangan (daripada gu bernemen) 84, 208, 214, 284. wetgeving (in de vorstensfeer) = perundang-undangan (dalam alam raja2) 64, 265zamelrecht = hak mengumpulkan (hasil hutan) 73. zekerheidstelling vergeleken met grondverpanding plus deelbouw = penjaminan dib?nding dengan ga'd ai tanah, ditambah paruh hasil tanam 133. zelfstandige pasar = pasar yang berdiri sendiri 65^ zoengeld = pembayaran wang untuk perdamaian 212 .
D A F T A R ISTILAH 2 H U K U M PRIBU M I adol adol adol adol adol adol adol adol adol
106, 277 bedol 140. ngebregi 140. oyodan 107, 119 pati bogor 107. plas 107. run tumurun 107. séndé 107. taunan 119, 129.
adol trowongan 119. akuan 90. alat melepas mempelai 204. alim 59. aman 56. ampian 59. anaq beru senina 150. anaq pangkalan 235. anaq piara 152.
anaq samang 39. anawanua 56. anggap 204. / aur 51. apar 91. apél 59. arajang 56. aru 57. asal 221, 224, 226, 241, 247, 250. asli 22 1 . aso blanda 169. astra 173. atan 39. babaktan 221 . babaring 131. bagasan adat 107. bahu 59. baileo 28. bayo-bayo na godang 50, 51. bako 204. bako-baki 177. baku 58. baku piara 208. balai 28, 47. balango 128. balé 28. balik taranjang 212 . bandaria 67. banjar 58, 147. bang mégo 35. bangunan 120. banua 56. bantai 42, 87. barang asal 222, 224, 249. barang gana 273. barang gana-gini 225. barang gini 225. barang-kalakeran 235, 273. barang pembawaan 229. barang perpantangan 225. barang raja 89. basé panglarang 190. bekel 59, 96. bélan 28. beli 198, 272. belis 198. bengkoq 77. < beru 52.
beru sanina 52. beudeul 169. beuli niha 198. bésan 203. bini ratu 204. bius 51. Bodi Caniago adat 47. buah 53. bukti 78. bunga kayu 80. buncing 190. buruh 151. burukan 92. busuran 75. boli 198. borg 131. boru 50, 178, 249. borreg 150. borrot 131. borreh 150, 273. bosi sebelas kepala tajau 258. khul’ 216, 217. dadal 76. dago-dagi 257. dati 56, 77, 83, 84, 89, 234, 236. datuq parauncaq 45. déo rai 86 . depati 55. désa 37, 57, 58, 59, 62, 147 258 265. désa 29, 32, 33, 58, 59, 66 , 77 86 88 , 94, 96, 167, 251, 278. ’ * désa mijen 96. dijapuiq 264. dijemput 204. dièrkèn 173. diperas 183. jadah 173. jakat 61. jamin 150. jaring 84. jaro 59. jejuron 127. jeng mirul 205. jinamée 198, 199, 209, 224. jual 106, 109, 110, 113, 125, 130 133, 140, 159, 239, 272. jual sèndé 113.
jual taunan 126. jujur 198. jugul 168. jula-jula 146. jurai tua 86 . jurutulis 59. jonggolan 131. dubalang 48. dusun 30, 32, 35, 47, 48, 55, 56, 78, 247. dusun dati raja 78. dusun Ièlépèello 241. dusun pusaka 83. dondon 110. dondon susut 117, 119. druwé désa 90. druwé gabro 225. fasch 218. édikio 85. ékor tanah 92. ering beli 202 . euri 30, 48, 122. gadai 190. gadang manyimpang 234. gaduh 78. galarang 57. galènggang 47. galung arajang 78. gampong 29, 60. gana 48, 221. gana-gini 273. ganggam bauntuiq 93, 221. gangsur 111. ganti tikar 203. gaukang 56. gawan 221 . gelap 107. ghuna-ghana 229. giliran 238. gini 225, 273. guhangia 60. guna kaya 223, 226. guntung 234. gogol 58.
golat 85. hadat 57.
'hakam 209, 218. hakim 217. hapuan 92. haq 273. hak bamilieq harato bapunya 273. haq ulayat 85. haru kaballa 244. harta pembujangan 223. harta penantian 223 harta pencarian 223, 233, 273. harta pusaka 90, 222, 233, 273. harta pusaka rendah 233, 273. harta pusaka tinggi '233. harta saka 233, 273. harta suarang 225, 273. héna 56. hibah wasiyat 242. hukum tua 54. hula-hula 50, 178, 249. huta 30, 32, 51, 86 . huta na ro 79. . hoko 198, 224. horja 51. hwé 146. iddah 215. ijaab kabul 117, 119, 209. ijoan 152. ijon 152. imeum 43, 60. indahan arian 120. jndo buah 53. indung 136. induq semang 39. ingot-ingot 152. iriri 39. isi ni huta 37, 49. yali yalilio 92. kabisu 184, 204. kabuaian 44. kabul 117, 119, 161, 209. kadaluwarsa 265, 268. kagau-gau 257. kagungan dalem 141. kahanggi ni raja 51kalakéran 235. kalimbuhu 262.
kalompoan 56. kamitua 59. kampong mèji 59. kampuang 48, 84. kampong 43, 44, 59. kanöman 57. karaèng 57. kasepuhan 249. kasuwiyang 64. kawak 91. kawin ambil anaq 205. kawin ambil piara 204. kawin anggau 203. kawin gantung 20 ó. kawin tegaq tegi 205. kawom 60. kebayan 59. kejuron 43. kejuron pctiambang 43. kelebu 48. kemenakan di bawah lutuiq 47. kempitan 152. kepala dati 234. kepala désa 59. kepala juga 54. kepala kcwang K4. kepala soa 49, 56. kerapatun nagari 48. kèrèt 45. kesain 51, 52. ketib 59. kecil tanda gedans ikatan 192. keujmèn 43. keuciq 60. kimelaha 60. kintal kalakcran 90. klèbun (kalébtin) 59. klian 58. kule 198. kuli 58. kuluq 216. kuria 30, 32. 50. 51, 73. 79. kurung 205. kuta 51. kutai 55. kuwu 59.
kokolot 59. korano 45. kota 47, 67. Kota Piliang adat 48. krajan 59. krama désa 58. kria 55. kwarto 68 , 78, 89. 144. laman 28. laman dusun 37, 184. larangan kule 213, 217. laras 33. lebé 59. lelèpccllo 241. lelipi slem bukit 84. lembaga dituang adat diisi 80 lembur 59. lepas 113. limpo 85. lindung 136. lingkungan 85. linyap 234. lurah 48, 59. mado 48. mn&ersari 136. mahr 209, 216. makantah 131, 132. makehidang raga 153... malim 48. malu 255, 257, 258. mamaq kepala waris 47., 209, mamupuh 272. mamékat 272. mamili 272. mandinding 202 . manjaé 167, 239. manjawi 87, 272. mandor 59, mangaliplip 175. manganahi 149. manggadai 107. 121. manggih kaya 225. mangku 55. manggu tanah 86 . manti 48. mancanagara 67.
mauwin 210 . mapalus 147. mapalus wang 147. maradia 57. maramba 86. marapu 28. marga 30, 32, 35, 37, 49, 50, 51, 54, 55, 67, 78, 79. marga tanah 49, 51, 52. marisaké 239. mama 39. maro 127. marsaolèh 60. marsiadapari 146. mas aye 189. mas kawin 198, 199, 209, 217, 224. masawèn 190. medun ranjang 204 megangkan 142. meJetakkan suatu pada tempatnya 61. mèlinèl 39. ^membeli 149. membeli talaaq 217. merninang 188. meminjam 149. memupuh (mamupuh) 191. memperduai 127. memperrimbangkan tanda 156. mendapo 48. menjual 106, 121, 149. menjual jaja 107. menjual gadai 121. menjual lepas 107. menjual taunan 107. mengaku anaq 153. mengara anaq 152. mengasi 128. menginjem jago 205. menyusuq 102. mencar 167, 239. merga 44. merubuh sumbai 191. mertelu 127. mesi 79, 127. metu pinjungan 212 . meunasah 29, 60.
mewètèng 54. mijèn 60, 88 . miliq 90, 273 misek 191. modin 59. mulang jurai 184. mungkir 192. mupus 235raohaqka 146. mora 50. morsali 149. nafaqah 215, 218. nagaragung 66 . nagari 30,. 33, 35, 44, 46, 47, 50, 84, 85. nagari baimpèq suku 47. nangkon 204. natoras 51. nawala 63. ndalami gadé 118. negari 50. negikan 205. negory 29, 54, 56, 67, 78, 84, 86 . negory dusun 78. nengah 127. ngajual akad 107. ngajual gadé 107. ngajual paéh duwit 120. ngajual tutung 117, 120. ngaranan 152. ngedol ngebregi 141. ngisiq 202 . nglamar 188. ngukup anaq 184. ngupetènin 128. nikah 208. nikah tambelan 173 nyalindung kagelung 225. nyeburin 204. nyekelakè 142. nyekoh 252. nyemalang 203. nyentanayang 182. nukar 222. numpang 59, 136. nunggonin 202.
nuru 85, 273. nusup 59.
ulayat 85, 273. uléebalang 60. uli 56. ulu-ulu 59. uma 30. umanat 242. undang-undang 63. unjuk 198. unjung 198. upah 151. upacara 62. upeti 128. upu aman 86 . urang ampèq jinih 48 urang sumando 204. ureung tua 60. urung 50, 52. utang 149. utang-piutang 147. orang asal 8Q. orang dagang 65. orang kaya 49. orang menumpang 80. padukuan 59. paèr 85. pago-pago 108. payar 85. payung jurai 235. paksi 44. palau 91. pammali katcang 216. panjer 151, 155, 157, 189. pangaUi kaandaang 217. pangcran 55, 62. pangidaran para 199 pangoli 198. paningset 157, 189. panyambung 145. panyampéto 85, 273. pancen 144. paung asal 37, 53, 80. pauséang 120. papasang 239. parade 157, 183.
pareakhon 203. parékor-ékor 52. parisang-isang 52. parèngé 53. parripé 49. partulan tengah 52. pasah 218. pasar 65. pasek 57. pasini 235, 273. pasirah 55. pasikkoq 189. passoloq 145. paswara (peswara) 63. patinggi 59. pacangan 190. patuanan 85, 273. patukuh n luh 198. pattongkoq siriq 173. pawatasan 85. pawèwèh 190. pedaut 106, 185. pedot 183. pegang penyambut 169 pegat mapianaq 198. pekain 198. pekuncèn 60. pemangku 55. pemancal 216. pembarep 55 penanian 53. penebus talaaq 216. penggawa 55. pengiwal 216. pengulu 52, 86 . pengulu andiko 46, 47, 48, 86 117 233. pengulu yang memegang adat 61. pengulu suku 48. peninggalan 193. penyimbang (panyimbang) 38, 44 , 234 pencarian 222 pepadon 38. pèpé 64. perdika 60. perlindungan 168.
perusahaan 236. pcrut 48. persekot 156. pesantrèn 60. peteng 107. penyimbang 44. pecah suku 191 petuéu 43. peungklèh 241 peutua 60. piagem 67, 84, 159 pikukuh 95, 97. pimbit 221. pindah gade 120. , pindah séwa 120. pitungguh gadai 118, 120. pitrah 61. plais 127. pujonpo 189. pue tampo 87. punah 234. punduh 59. punèn 28. pupuh 91. purusa 182. pusaka 28, 93, 117, 222, 236. pusaka laman 28. pucuq nagari 48. politie (polisi) 59. porda dumpang 208. portahian 50. pou gossi 190. prabumian 85, 273. pradana 182. prakara lama 265, 268. pranatan 63. priyayi 40, 58, 123. pribumi 58. proatin 55, 169. raja 51, 159. raja doli 52. raja panusunan 51. raja parjolo 52. raja portahi 52. raja sioban ripé 79. ragi-ragi 201 .
ramban 200 . ranan kotor 265. rapaq gaib 217. rapaq lumuh 216. reksabumi 84. rènrèn 39. resaya 146. resayo 144. reujeu 43. rejeu mudeu 43. rujuq 215, 217. rukunan 146, 279 rumatau 49, 56. rong wang sagobang 183. saba bangunan 223, 240. saba indahan arian 240. saba na bolak 78. saba pauséang 240. sabar 266. sabuah paruiq 46. sadé 106. sakaha 147. saksi 111 , 122. salipi na tartar 73, 76. sambat-sinambat 146. sampingan 58. sanda 272. saniri raja pati 56. sapikul sagèndong 227, 245, 24 sarikat 146. sasi 78, 147. sasuhun sarembat 227 saudeureu 43. sawah gogolan 83. sawah yasa 83. sawah pekulèn 83. sedekah 167. sekato 118. sembarur 51. semendo ambil anaq 204. semendo anaq tengah 179. semendo ngangkit 205. semendo rajo rajo 179, 205. sentana 182, 185. sentana tarikan 185. sepuluh satu 80. seraya 146.
scroh 198. *esat 28. sesfctfc 189.
tanggung 107 — 116. tanggung-menanggung 150. tanggungan 131.
séwa 128 — 131, 134, 136, 137. séwa bumi 80, 108, 128. séwa èwang 128. • « 183. tikep 38. sikep-marga 67 sinamot 198. sindor 110. siruan 91. sisila 221, 227. syiqaaq 218. slametan 167. soa 56. subak 58, 147. suku 35, 44, 47, 48, 50, 55, 65, 84, 106, 178, 185, suku dagang 65.
taao
suku „nan ampeq” 48. suksara 78. sumbang 145. sunrang 198, 199, 209, 224 . Sunrang niinrang 199. sunrang sanra 120. surat keterangan 122. surat peras 183. solari bainenna 212. sompa 198. sop o 28. srama 127, 157 tahan 131, 132. takal aur 52. talaaq 215, 219. ta’Iieq 217. tambiq anaq 179. tambiq anaq jurai duwa ncgeri duwa 179. tanah pei pamoya 120. tanah wawakes un teranak 238. tanam batu 119. tanda 155, 189, 192. tanda kong narit 189. tanda paletak 157. tanda rasan 190. taneh kauhi 105.
^
223.
tapian 47. tapu 189. taqléq 217. tawa kabaluang 228. tebasan 159. tegi (negikan) 235. teleng 90. tenggol 60. terang 107, 108, 122, 126, 159, 182 184, 188, 239. tésang 127. teterusan 84 teungku 60 tiuh 44. titisara' 78. cakkara 225. cambur sumbai 204 carik 59. cengkerem 189. cèq 43. d q 60. cukai 128. cuké 99. dosor 59. tua un teranak 54. tuan 272. tuan tanah 86, 272. tuan wang 272. tuhor 198. tuku 272. tukon 198, 199, 209, 272. tukon tali 136. tulung-jnermlung 146. tumenggung 62. tunangan 190. tunggaq biuto 119. tunggu tubang 179, 235. tungganai 47. tungkat 169, 203. tuo ulayat 86. tuo suku 55. turun kaïn sehelal sepinggacg 212 turus 152. tuwa-tuwa 45.
toyo 127. tomakaka 53. torluk 85. totabuan 85. toto 272. tratraq 47. truka 102. van 54. wakap 93, 161, 162, 163. wakèl 43. wakil 168. walak 54. wali 168, 174, 209. wali mudzybir -209 wanua 56.
wang adat 40. wang antaran 198. wang pemasuqan 79. wang saksi 108, 152. waqf 161. waris 105, 107, 111, 121, 122, 167, 171, 233, 240, 243, 266. wekas 242. weling 242. wewenang 90. wewengkong 85. wilin 198. wis dipanjeri 155. wuhru 39. wong akèh 37.
BUKU-BUKU HUKUM keluaran PRADNYA PARAMITA Ny. E tty A goes, SH — A nthony Lewis. PERANAN MAHKAMAH AGUNG D I A .S .....................................
.
152 him.
M r SJM. A m ir. HUKUM ACARA PENGADILAN N EG ERI. ...........
280
P ro f M r D r L .J. van Apeldoorn. PEN G AN TA R ILM U HUKUM .....................................
492
B a saru d d in N asution SH. PENYELEW ENGAN TERHADAP UUD 1945;...........
36
ft
D rs G.W. B aw en gan , SH. PSY C H O LO G I K R IM IN IL ............................................
212
ff
118
M
99
99
D rs G.W. B aw en gan , SH. P EN Y ID IK A N PERK A RA PIDANA d a n P rof. B u sh a r M uh am m ad, SH. A SA S-A SA S H UKUM ADAT. 240 M r B . ter H aar & K . Ng. So eb ak ti Fusponoto. A SA S-A SA S DAN SU SU NAN HUKUM ADAT
320
ft
H a rie f H arah ap , SH. H IM PUNAN PERA TURA N -PERA TU RAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN R I. B u k u ke B u k u ke
I ; II;
; ................................................... ; ( A d a n B ) ..........................
A ch m ad Ic h sa n , SH. Iraw a n S u jito . T E K N IK M EM BUAT UNDANG-UNDANG.............. K arto n o , SH.
376 352 358 232
ff ff
527 200
tf
52 *
K a r to n o , SH . K E P A IL IT A N DAN PEN G U N D U R A N P E M B A Y A R A N ;.....................................................................................
112
K a r to n o , SH . P E R S E T U JU A N JU A L B E L I M EN U R U T K U H P E R D A T A ; .............................................................................
48
P ro f. K ra n e n b u r g — T k . B . S a b a ru d d in , SH . IL M U N EG A R A U M U M ; ...................................................
280
M r W. P r in s & R . K o sim A d lsap o etra. P E N G A N T A R ILM U H U K U M AJDMINTSTRASI N EG A R A . ; ...............................................................................
154
P ro f. R . S u b e k ti SH . & R . T jitro su d ib io . KXTA B UN D A N G -U N D A N G H U K U M P E R D A T A ; ■.............................................. .................. ...................................
472
P ro f. R- S u b ek ti, SH . & R . T jitro su d ib io . K 1 T A B UN D A N G -U N D A N G H U K U M D AG A N G D AN K E P A IL IT A N ................................................................
292
P ro f. R . S u b ek ti, SH . H U K U M F E M B U K T IA N ; .................................................
64
P ro f. R . S u b ek ti, SH . P ER BA N D IN G A N H U K U M PER D A TA ............................................................................................. ..........
68
F r o f. D r Is m a il S u n n y & R u d io ro R o c h m a t 6 H T IN JA U A N D AN PEM BA H A SA N U N D A N G -U N D A N G PENAN AM AN M ODAL A SIN G D AN K R E D IT L U A R N EG ER T ; .......................................................
16Q
P r o f. Im a m S u p o m o , SH . H U K U M P E R B U R U H A N — B ID A N G K E SE H A T A N K E R JA ; ........................... ....................................* * ' P ro f* Im a n Su p o m o , SH . H U K U M P E R B U R U H A N — B ID A N G P U T U S A N (P 4) ; ............................
M8
ANIt v a
....................................
Prof. R- Supomo, SH. H U K U M ACAR A PER DATA PENGADILAN NE
212
K a r to n o , SH .
KEPAILITAN DAN PENGUNDURAN PEMBAYARAN ;.....................................................................
112 him.
K a r to n o , SH . P E R S E T U JU A N JU A L B E L I M EN U R U T KUHPER DATA ; ..............................................................................
48
P ro f. K r a n e n b u r g — T k . B . S a b a r u d d in , SH . IL M U N E G A R A U M U M ; ...................................................
280
M r W. P rin s & R . K o sim A d isap o e tra. PE N G A N T A R IL M U H U K U M A ,D M IN IST R A SI N E G A R A . ’ ....................................... ........................................
If
11
11
P ro f. R . S u b e k ti SH . & R . T jitro su d ib io . K IT A B U N D A N G -U N D A N G H U K U M F E R D A T A ; 1........................................................................................................
472
P ro f. R . S u b ek ti, SH . & R . T jitro su d ib io . K IT A B U N D A N G -U N D A N G H U K U M D AG A N G D A N K E P A IL IT A N ................................................................
292
11
11
P ro f. R . S u b ek ti, SH .
HUKUM PEMBUKTIAN ; ........................................
64 11
P ro f. R . S u b ek ti, SH . P E R B A N D IN G A N H U K U M PER D A TA
............................................................................. ........
68
F r o f. D r I sm a il S u n n y & R u d io ro R o c h m a t, tSH. T IN JA U A N D A N P E M B A H A SA N U N D A N G -U N D A N G P E N A N AM AN M O D AL A S IN G D AN K R E D IT L U A R N E G E R I ; .........................................................
160
1f
ft
P ro f. Im a m S u p o m o , SH . H U K U M P E R B U R U H A N — B ID A N G K E S E H A T A N K E R JA ; ........................... .................................... " 11
P ro f. I m a n S u p o m o , SH . H U K U M P E R B U R U H A N - - B ID A N G A N EK A P U T U S A N (P 4 ) ; ...............................................
............... .
P ro f. R . Su p o m o , SH . H U K U M ACA RA P E R D A T A P EN G A D ILA N N F
GERI:.........................................................
156
1
4
Perpustakaan Ul
0 1 -1 0 -0 9 0 1 7 9 4 9
*v?>M«,-... ’*
«M p .t.p « r(|