Asal Usul dan Evolusi Hukum Islam ARTIKEL ini merupakan ringkasan (review) dari buku yang ditulis oleh Wael B. Hallaq yang bertajuk The Origins and Evolution of Islamic Law. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa selama masa kerasulan Muhammad, hukum sebagai sebuah doktrin dan sistem belumlah pernah terpikirkan. Konsep hukum Islam baru mulai dielaborasi beberapa tahun sebelum kematian Nabi. Dengan munculnya ahli hukum pada abad pertama Hijriyah, terjadi perkembangan dan peningkatan otoritas kenabian, yang diwakili oleh munculnya hadist yang merupakan ekspresi verbal dan perilaku Muhammad. Kita kembali ke dinamika perubahan otoritas hukum, yang menandai pergeseran praktik sunnah menuju proliferasi Hadis Nabi selama paruh kedua abad ke-10 secara bertahap. Asal Usul Masyarakat Arab memiliki dua kerangka hukum, yaitu; Pertama, hukum yang mengatur penduduk tetap Arab. Mereka adalah masyarakat petani dan pedagang; Kedua, hukum yang mengurusi masyarakat Arab nomaden dan bergantung pada hukum adat. 1 Misalnya dalam hukum pidana, baik masyarakat perantau Badui maupun penduduk tetap Arab, mereka sama-sama mengikuti aturan hukum Badui.2 Dalam hal ini, pengetahuan Muhammad mengenai praktik hukum sudah sangat maju. Hal itu terlihat dalam pembentukan al-Qur’an dan Konstitusi Madinah, dua dokumen yang keasliannya tidak dapat diragukan. Sebelum hijrah ke Madinah, Muhammad punya misi untuk memperbaiki iman dan etika, menyerukan kerendahan dan kemurahan hati, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat Madinah kepada Allah SWT.3 Sebelum datang ke Madinah, Muhammad punya pikiran ingin membentuk pemerintahan dan sistem hukum yang baru. Hingga beberapa saat setelahnya, Nabi lebih fokus pada peningkatan iman dan perbaikan moral masyarakat Madinah. Kaitannya dengan hal ini, al-Qur’an berulang kali menekankan kepada orang-orang 1
Lihat dalam Russ VerSteeg, Early Mesopotamian Law (Durham, N.C.: Carolina Academic Press, 2000), 107. 2 ibid. 3 Selengkapnya baca dalam Uri Rubin, ‘‘Ganifiyya and Kaqba: An Inquiry into the Arabian Pre-Islamic Background of Din Ibrahim,’’Jerusalem Studies in Arabic and Islam, 13 (1990): 85–112.
1
beriman supaya berhukum dengan hukum Allah. Hal tersebut sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya yang berbunyi: “Tidak ada hukum yang lebih baik daripada hukum Allah” (al-Maidah: 49-50).4 Beberapa ayat dalam Surat al-Maidah menjadi penanda awal keberadaan hukum substantif di dalam al-Qur’an. Muatannya berbicara tentang sejumlah hukum , seperti shalat dan haji. Dengan kata lain, sebagian besar hukum substantif itu muncul setelah tahun ke- 5 Hijriyah / 626 Masehi. Menurut literatur klasik, ayat yang berhubungan dengan hukum mencapai sekitar 500 ayat, tentu saja hukum ini berkembang secara alami. Salah satu contoh hukum yang mengadopsi dari tradisi masyarakat Makkah adalah penentuan mahar pernikahan. Keluarga pengantin wanita (biasanya ayahnya) mensyaratkan calon suami untuk membayar mahar. Tradisi ini berlangsung dengan tujuan mengamankan keuangan pihak wanita, dan ini diadopsi oleh al-Qur’an. Selanjutnya ditambah dengan pemberian hak waris bagi anak perempuan senilai setengah dari hak saudara lakilakinya.5 Pemberian hak perempuan ini nampaknya belum pernah terjadi sebelumnya di Arab. Hak mahar dan warisan yang menganut prinsip di luar Islam menjadi sentral dalam hukum Islam ke depan, yaitu kemandirian finansial istri: semua barang yang dibeli oleh wanita selama pernikahan, atau yang dia bawa ke pernikahan (termasuk mas kawinnya) tetap menjadi miliknya, dan suami sedikitpun tidak bisa mengklaim bagiannya.6 Aturan hukum baru yang lain adalah pengenalan prinsip iddah, masa tunggu dikenakan pada wanita yang bercerai. Padahal sebelum Islam datang di Tanah Arab, perceraian bisa dilakukan cukup dengan pernyataan suami. Namun, al-Qur’an menentukan penundaan sampai selesainya tiga siklus menstruasi atau sampai kelahiran anak jika sang wanita sedang hamil. 7 Selama masa iddah yang masih memungkinkan untuk rujuk ini, suami wajib menyediakan tempat tinggal dan kebutuhan finansial untuk istri. Selain itu, wanita yang bercerai dalam kondisi punya anak harus menyusui sampai anak tersebut berusia dua tahun, dan pihak ayah
4
Al-Qur’an 2:213; 3:23; 4:58, 105; 5:44–45, 47; 7:87; 10:109; 24:48. Qur’an 5:44. Lihat M. Stol, “Women in Mesopotamia,” Journal of the Economic and Social History of the Orient, 38, 2 (1995): 123–44. Untuk keterangan yang berhubungan yang lain, lihat dalam VerSteeg, “Early Mesopotamian Law, passim. 6 S. D. Goitein, “The Birth-Hour of Muslim Law”, Muslim World, 50, 1 (1960): 23–29. 7 “Iddah” (Arab: " ;ﻉعﺩدﺓةwaktu menunggu") dalam Islam adalah sebuah masa di mana seorang perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik diceraikan karena suaminya mati atau karena dicerai ketika suaminya hidup, untuk menunggu dan menahan diri dari menikahi laki-laki lain. 5
2
diharuskan memberi nafkah bagi istri dan anaknya selama masa itu. Dia bisa menikah lagi dengan suaminya setelah ia menikah (dan bercerai) lagi dengan orang lain. Hal ini bertujuan agar para laki-laki berpikir keras sebelum mereka terburu-buru menceraikan istri mereka. Al-Qur’an menyediakan berbagai maslah hukum, di antaranya yang berkenaan dengan hukum keluarga, ibadah, perdagangan, serta sistem keuangan. Namun, meski aturan ini bukanlah suatu sistem, cakupan yang cukup luas dalam waktu yang singkat menunjukkan kebutuhan elaborasi struktur hukum dasar.8 Penerapan hukum yang didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an yang mestinya dikhususkan untuk umat Islam, nyatanya juga berlaku bagi semua masyarakat yang berada di sekitar wilayah umat Islam. Pada 660 M, Uskup Sebeos mengakui kenyataan bahwa Muhammad menegakkan hukum tertentu kepada komunitas masyarakat yang baru, dan berbeda dari berbagai hukum yang sudah ada sebelumnya. Ekspansi Islam Ketika Islam berekspansi ke utara, barat laut dan timur laut, mereka tidak memasuki wilayah-wilayah tersebut dengan tangan kosong. Mereka berekspansi dengan mencari berbagai bentuk budaya dan identitas baru. Sebab umat Muslim sebagai penduduk yang bertempat tinggal di kawasan padang pasir (sebelum memulai penaklukan) menjalani hidup dalam keadaan miskin, nomaden dan tribalis. Kehidupan muslim awal ini dapatlah disimpulkan kalau semua itu bagian dari budaya Muslim, termasuk berbagai lembaga hukum yang berasal dari budaya kekaisaran tinggi dari utara, terutama Byzantium. Tentara Muslim yang terdiri dari para nomaden dan semi-nomaden lebih memilih tinggal di kota-kota yang baru dimenangkannya, seperti Fertile Crescent, Mesir dan Iran. Masjid didirikan di setiap kota yang ditaklukan, khususnya di kota-kota yang penduduknya memeluk Islam. Pada mulanya masjid-masjid itu hanya dijadikan tempat berkumpul untuk shalat Jumat dan khotbah (mengajarkan agama kepada suku Badui), kemudian difungsikan untuk melayani kebutuhan masyarakat Muslim. Khotbah memiliki peran penting dalam penyebaran etika Islam, termasuk ayat-ayat
8
Mengenai Konstitusi Madinah, lihat R. B. Serjeant, “The Constitution of Medina”, Islamic Quarterly, 8 (1964): 3–16.
3
al-Qur'an yang sejalan dengan pengalaman hidup masyarakat di kota yang ditaklukan.9 Untuk masing-masing kota taklukan, Umar bin Khattab menunjuk seorang komandan militer untuk melaksanakan tugas menyebarkan penyebar ide-ide baru keagamaan. Sebagian besar suku Arab, termasuk perantau padang pasir, masih sedikit yang mengenal tatanan politik baru. Umar bin Khattab membuat sejumlah peraturan yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan, keluarga dan ibadah. Selain itu, dia memberikan hukuman terhadap orang yang melakukan perzinahan dan pencurian; pernikahan kontrak (mut’a) sebagai ilegal; memberikan hak kepada budak yang melahirkan anak dari tuan-tuan mereka. Sementara itu, Abu Bakar dan Umar menjadikan al-Qur’an sebagai sumber penegakan hukum di tengah pemerintahan yang sedang berkembang. Tatanan baru itu sangat jelas untuk mengatur jalannya pemerintahan yang belum terpetakan sebelumnya, dan al-Qur’an memberikan bimbingan atas masalah ini. Sebelumnya (ketika Muhammad masih hidup dan segera setelahnya), teks hanya berupa kepingan-kepingan yang ditulis pada kulit (kadang-kadang bahkan di batang pohon dan permukaan batu) oleh sejumlah sahabat. Lebih dari itu, beberapa bagian al-Qur’an ada dalam hafalan para sahabat dan sejumlah kerabat Nabi. Sebab itu, Abu Bakar berusaha menyusun koleksi resmi berbagai ayat tersebut, tetapi rencana itu mengalami kegagalan. Pada masa pemerintahan Umar, usaha ini dilanjutkan, namun sejumlah versi masih tersebar di wilayah taklukan sehingga kontroversi bermunculan di tengah proses kodifikasi itu. Barulah pada era Ustman bin Affan, khalifah ketiga (644 - 655 Masehi), ia menugaskan Zayd bin Tsabit yang diriwayatkan telah menjadi juru tulis Nabi, untuk melakukan tugas menyusun ayat-ayat al-Qur’an, dan akhirnya berhasil. Beberapa salinan dari teks ini dibuat dan kemudian didistribusikan ke kota-kota taklukan. Namun, semua koleksi tersebut dilaporkan telah hancur sejak lama. Perlu dimengerti bahwa pengangkatan hakim pada awalnya bukanlah untuk mengurusi wilayah atau dimaksudkan untuk mengatur dan mengawasi urusan provinsi yang ditaklukan secara umum. Sebaliknya, mereka hanya mengurusi para tentara Arab yang tinggal bersama keluarga dan anggota lain dari suku mereka di kota-kota 9
Hoyland. Seeing Islam, 567–73.
4
taklukan.10 Dengan begitu, sangat jelas bahwa kebijakan pemerintah pusat di Madinah menekankan masyarakat yang ditaklukkan supaya bisa mengatur urusannya sendiri, persis seperti yang telah dilakukan sebelum kedatangan Islam.11 Surat Abu Bakar kepada jenderalnya mewakili kebijakan umat Muslim yang diadopsi selama seluruh periode penaklukan. Orang-orang Arab menyerang untuk ''membangun perjanjian dengan setiap kota, memberi jaminan perlindungan kepada penduduk setempat dan membiarkan mereka hidup sesuai dengan hukum mereka.'' Jadi, qadhi diangkat untuk memimpin provinsi selama beberapa dekade pertama kependudukan Islam. Setelah itu, qadhi merupakan pejabat negara yang wilayah kerjanya tidak meliputi suku di luar Arab penakluk. Fakta mengenai sejumlah qadhi yang bertugas mengurusi masalah keuangan, militer dan kepolisian adalah pendapat orang-orang yang buta huruf, karena wewenang qadhi sangatlah bersifat terbatas, baik dari segi geografi dan yurisdiksi. Secara geografis, wilayahnya terbatas pada kota-kota taklukan dan penduduknya, sementara secara yuridiksi terbatas pada sengketa dan konflik yang muncul di antara kelompok suku yang bekerja di militer. Selama dekade pertama Islam, ketika kegiatan militer berada di puncak kejayaan, tentara Arab tidak bisa mengalami kehidupan sosial dan ekonomi yang normal seperti yang dialami penduduk kota berkembang. Tetapi karena tentara ini menghuni kota-kota taklukan bersama dengan keluarga dan sesama suku, masalahmasalah yang mereka hadapi paling sering terkait dengan status keluarga, warisan dan kejahatan. Beberapa persoalan hukum ini cukup baik diatur dalam al-Qur’an, juga adat suku setempat. Narasi tentang Nabi Banyak qadhi mulai menunjukkan minat dalam narasi agama, termasuk cerita dan anekdot kepribadian Nabi Muhammad. Pada tahun 60 Hijriyah / 680-an Masehi, beberapa qadhi mulai mengemukakan berbagai cerita yang berkenaan dengan kehidupan Nabi. Awal ketertarikan terhadap narasi Nabi yang dimulai setelah hampir setengah abad wafatnya adalah masalah tersendiri yang patut dijelaskan, terutama mengingat 10
Wakiq, Akhbar, III, 223; Mugammad bin Yusuf al-Kindi, Akhbar Qudat Misr, ed. R. Guest (Cairo: Mupassasat Qurtuba, n.d.), 311–13. 12 Abu Zurqa al-Dimashqi, Tarikh, (ed.) Shukr Allah alQawjani, 2 vols. (n.p., 1970), I, 202. 11 Wakiq, Akhbar, III, 224–25.
5
begitu pentingnya otoritas hadist (narasi tekstual yang dikatakan dan dilakukan Nabi) bagi hukum dan teori hukum setelahnya. “Utusan Allah” (Rasul Allah) sebutan yang disematkan kepada Nabi Muhammad menjadi rumusan yang diakui bangsa Arab. Prasasti awal yang memuat formula ini terukir di depan Kubah Batu, persisnya di bagian selatan-barat dan timur Kubah, yang bertahunkan 72 Hijriyah / 691 Masehi.12 Berbagai sumber awal menjadi bukti untuk mendukung kewenangan hukum setelah abad pertama Islam, sehingga tampak bahwa hukum Islam tidak hanya ekslusif berlaku pada masa Nabi Muhammad ketika masih hidup.13 Tetapi setelah kematiannya, ketika misinya sudah mencapai kesuksesan besar, ia adalah tokoh paling penting yang diketahui orang-orang Arab hingga saat ini. Meskipun demikian, orang-orang Arab juga mengetahui tentang peran sentral Umar bin Khattab, Abu Bakar dan beberapa orang lain yang membantu Nabi, juga yang berkontribusi terhadap keberhasilan penyebaran Islam sebagai agama baru ketika itu. Perkembangan Sunnah Pada awal abad ke-5, bangsa Arab dari utara melihat Ismail sebagai orang suci yang menuntun mereka pada cara hidup yang baik.14 Pada masa Arab pra Islam, setiap orang yang terkenal karena kejujuran, berkarisma dan saleh di tengah keluarga dan sukunya, dianggap bisa memberikan sunan, perilaku yang patut dicontoh baik dari kelompok maupun individu yang dari waktu ke waktu menjadi model untuk ditiru dan diikuti oleh orang lain.15 Konsep sunan (berbeda pengertiannya dengan sunnah Nabi) sudah ada sebelum Islam datang di Tanah Arab. Sunan itu bermula dari perilaku individu, bukan hanya berasal dari perilaku kolektif masyarakat, seperti yang banyak disebut di dalam al-Qur’an. Muhammad dan para nabi sebelumnya mewakili sumber utama Sunnah. Jadi, dalam pengertian umum, sunnah tidak mengikat secara hukum naratif, tetapi gagasan subjektif dari keadilan yang diterapkan ke berbagai kegunaan. 12
The coins themselves are dated 66/685 and 67/686. See Hoyland, Seeing Islam, 694, no. 21; for the Umayyad–Sasanid coin of Basra’s governor Khalid b. qAbd Allah, minted in 71/690–91. see ibid., 695, no. 26. 42 Ibid., 696–97. 13 for the Umayyad–Sasanid coin of Basra’s governor Khalid b. qAbd Allah, minted in 71/690–91. see ibid., 695, no. 26. 42 Ibid., 696–97. 14 14 Irfan Shahid, Byzantium and the Arabs in the Fifth Century (Washington, D.C.: Dumbarton Oaks Research Library and Collection, 1989), 180. 15 M. Bravmann, The Spiritual Background of Early Islam (Leiden: E. J. Brill, 1972), 139. Lihat juga dalam, Zafar Ishaq Ansari, ‘‘Islamic Juristic Terminology before Syafi’I.
6
Selama beberapa dekade pertama Islam, praktik Sunnah merujuk pada kepribadian dan peristiwa yang melibatkan Nabi. 16 Sunnah menunjukkan cara bagaimana bertindak dan berperilaku di tengah masalah sosial tertentu. Namun pada intinya, Sunnah adalah cara dan tindakan Nabi Muhammad yang ditetapkan supaya diteladani umat Islam. Pada berbagai sumber yang bisa dibuktikan menjelaskan bahwa Sunnah Nabi muncul tidak lama setelah kematiannya. Ini adalah cara orang Arab untuk mengagungkan tokoh penting dari bangsanya. Akan sulit untuk menyatakan bahwa Muhammad, orang yang paling berpengaruh di komunitas Muslim yang baru lahir, tidak dianggap sebagai sumber praktik perilaku sosial yang normatif. Bahkan, alQur’an sendiri secara eksplisit dan berulang kali memerintahkan orang-orang beriman untuk menaati Nabi dan meniru tindakannya. Kenyataan itu juga merupakan konotasi yang melekat pada banyak referensi awal untuk sunan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan lain-lain. Dengan referensi seperti itu berarti bahwa orang-orang ini menjadi model perilaku yang baik dalam menghadapi masalah tertentu. Isu-isu penting yang diangkat dalam al-Qur’an merupakan potret nyata Sunnah Nabi. Selama beberapa dekade pertama setelah kematian Muhammad, Sunnahnya adalah salah satu di antara banyak sunan lain. Akan tetapi Sunnah Nabi menjadi semakin penting untuk membentuk perilaku sosial yang lebih baik. Dalam ratusan artikel yang diungkap para qadhi awal kepada umat Islam, ternyata Sunnah Nabi relatif lebih jarang daripada sunan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Tahap penetapan Sunnah dimulai pada tahun 60 Hijriyah / 680 Masehi. Tahap ini dimulai ketika sejumlah qadhi mengirimkan bahan materi tentang pribadi Nabi, yang secara teknis disebut oleh sumber setelahnya sebagai Hadist. Kegiatan penyebaran ini menjadi signifikan karena menandai awal dari tren adanya perhatian khusus terhadap Sunnah Nabi. Sunnah Nabi menjadi penting karena menjadi satu-satunya sunan yang dibedakan dari sunan lainnya yang berstatus independen.17 Tidak ada ulama atau qadhi yang diberitakan telah mempelajari, mengumpulkan atau meriwayatkan sunan Abu Bakar atau sunah Umar bin Khattab yang lebih disegani. Fakta bahwa Sunnah 16
Bravmann, Spiritual Background, 138–39. Untuk distingsi antara agama dengan bentuk otoritas hukum, lihat Wael Hallaq. Authority, Continuity and Change in Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), ix, 166–235. 17
7
Nabi memperoleh status independen dan khusus adalah simbol dari munculnya keteladanan Nabi sebagai wujud otoritas hukum, tidak hanya otoritas agama. Bahkan, munculnya “Rasulullah” pada uang koin masa Daulah Umayyah juga menunjukkan munculnya bentuk-bentuk otoritas Nabi. Bahkan, berbagai sumber non Muslim dari periode tersebut membuktikan perkembangan sunan ini. Artikel yang ditulis seorang penulis dari bagian barat Mesopotamia John Bar Penkaye pada tahun 68 Hijriyah / 687 Masehi berbicara tentang Nabi Muhammad sebagai teladan dan pembimbing hidup manusia. Bahkan, Sunnah ini ditegakkan oleh bangsa Arab, dan “mereka bisa menjatuhkan hukuman mati pada siapa pun yang berani melawan hukumnya.”18 Faktanya, setidaknya 60-an tahun dari abad pertama, keteladanan Sunnah Nabi telah mulai muncul. Dikotomi antara Sunnah Nabi dengan sejumlah sunan lainnya merupakan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pemisahan ini dapat dikatakan sebagai upaya transformasi fundamental. Sejalan dengan Sahabat Nabi, bahwa para periwayat ini berkontribusi terhadap perwujudan cerita nabi di tahap pertama perkembangan Sunnah. Kedua kelompok ini sama-sama memakai sumber asal biografi Nabi, baik dalam bentuk nyata maupun cerita yang terwariskan. Pada tahap awal perkembangan Sunnah ini, semua informasi kenabian bersumber dari perbuatan, lisan dan kebiasaan yang datang dari lingkungan sekitar Nabi, dan Nabi tidak melarangnya. Hukum yang telah ada pada beberapa dekade pertama setelah wafatnya Nabi, penerapannya masih berlaku untuk kota-kota taklukan Arab dan sejumlah daerah yang menjadi tempat tinggal petani di Hijaz, satu-satunya wilayah yang berada di bawah langsung kontrol khalifah awal. Di sisi lain, para perantau dari suku Semenanjung tidak bisa diperintah dengan hukum tersebut, sedangkan penduduk kota yang ditaklukan sengaja dibiarkan untuk independen dengan hukum kelompok mereka sendiri. Karena tidak memiliki status sumber hukum khusus yang akan diperoleh kemudian, maka tidak bisa dikatakan ada indikasi bahwa Sunnah Nabi harus dibedakan dari sunan-sunan lainnya selama periode ini, meskipun kedudukannya (mungkin) lebih bergengsi. Namun situasi ini segera berubah dimulai pada tahun 60 H/ 680 M, di mana banyak qadhi dan ulama mulai menceritakan cara berperilaku dan 18
Lihat Wael Hallaq. Authority, Continuity and Change in Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), ix, 166–235.
8
bertutur kata Nabi yang dibedakan dengan berbagai sunan Abu Bakar, Umar bin Khattab dan lainnya. Dikhususkannya Sunnah Nabi, pada awalnya dilakukan secara bertahap hingga menjadi disiplin ilmu sendiri. Proses ini menandai awal transformasi kejayaan Sunnah Nabi sebagai sumber hukum yang eksklusif. Kemudian, menyingkirkan hampir seluruh sunan yang lain pada sekitar dua abad setelah itu. Sementara itu, antara awal tahun 60 H/ 680 M dan akhir 80 H/ 700 M, terjadi pergeseran yang nyata dengan menadopsi Sunnah Nabi secara keseluruhan, meski sumber-sumber lain termasuk otoritas khalifah, sunan-sunan selain Nabi, dan kebebasan berpendapat, terus ada pada qadhi dan ulama ahli hukum. Apapun yang merubah kedudukan ini tentunya tidak dimulai secara tiba-tiba.19 Sentralisasi administrasi hukum di era dinasti Umayyah telah dimulai selama beberapa tahun terakhir abad pertama Hijriyah, khususnya kebijakan yang menandai perubahan dalam peradilan. Sulayman bin Abd al-Malik (96 H/714 M - 99 H/717M) menjadi khalifah pertama yang menunjuk hakim langsung dari Damaskus, dengan demikian dia memulai kebijakan menghapus kewenangan gubernur setempat untuk mengangkat hakim. Setelah itu, hingga jatuhnya dinasti Umayyah, sebagian besar hakim ditunjuk langsung oleh khalifah. Perubahan kebijakan ini sebagian mencerminkan kematangan kebijakan sentralisasi dan sebagian perubahan dalam lingkup fungsi hakim. Setelah kuartal ketiga abad pertama Hijriyah, jabatan hakim mulai diangkat ke kota-kota seperti Alexandria di Mesir dan Gims di Suriah, dan untuk beberapa kota besar di bekas dunia Sasanid, terutama Khurasan. Masuknya populasi Muslim ke kota taklukan membawa “sang tuan baru” ini untuk berhubungan langsung dengan orangorang Kristen (yang sebagian besar orang Arab), Yahudi dan agama lain. Selama periode itu, para ahli hukum terkemuka melakukan berbagai kegiatan di pusat-pusat kerajaan baru, seperti halnya di Madinah, Makkah, Kufah, Basra, Damaskus, Fustat, Yaman dan beberapa di Khurasan. Distribusi mereka di sejumlah pusat kerajaan tersebut sebagai berikut: Sebanyak 22 ahli hukum dari Madinah (26,2 persen); 20 dari Kufah (23,8 persen); 17 dari Basra (20,2 persen); 9 dari Suriah (10,7
19
Kindi, Akhbar, 322, 324, 325, 327, 332, 348 dan passim.
9
persen); 7 dari Makkah (8,3 persen); 5 dari Yaman (6 persen); 3 dari Mesir (3,5 persen); dan 1 dari Khurasan (1,2 persen).20 Di antara kepala ahli hukum Madinah, yaitu Qasim bin Muhammad, Sulayman bin Yasar (110H / 728M), Saqid bin al-Musayyab, Qabd al-Malik bin Marwan, Qabisa bin Dhupayb, Urwa bin al-Zubair (94H / 712M), Abu Bakr bin Abd al-Ragman (94H / 712M), Abd Allah bin 'Utba (98H / 716M), Kharija bin Zaid (99H / 717M) dan Rabiqat al-Ra'y; Di Makkah, mereka adalah Atap bin Abi Rabag (105H / 723M), Mujahid bin Jabr (Antara 100H / 718M dan 104H / 722M), Amr bin Dinar (126H / 743M) dan 'Ikrima (115H / 733M). Di Kufah, mereka adalah Saqid bin Jubayr (95H / 713M), Amr al-Shaqbi, Ibrahim al-Nakhaqi (96H / 714M) dan Gammad bin Abi Sulayman (120H / 737M). Di Basra, mereka adalah Muhammad bin Sirin (110H / 728M), Abu Abd Allah Muslim bin Yasar, Qatada bin Diqama dan Abu Ayyub al-Sakhtiyani (131H / 748M). Di Suriah dan Yaman, mereka Makgul (113H / 731M atau 118H / 736M) dan Tawus (106H / 724M). Para ahli hukum yang disebutkan di atas merupakan sumber yang diakui karena memiliki keunggulan di bidangnya, tetapi belum dalam yurisprudensi sebagai studi teoritis (disiplin ilmu hukum yang berkembang pada masa selanjutmya). Beberapa dari mereka memiliki penguasaan khusus hukum al-Qur’an, terutama mengenai hak pembagian harta waris, sementara yang lain dikenal karena kompetensi mereka yang luar biasa dalam hukum peribadatan. Kegiatan penulisan hukum ini menjadi miliik generasi yang dijelaskan di atas. Usaha ilmiah mereka terkonsentrasi pada dua dekade terakhir, yaitu abad pertama dan dua pertama dari abad kedua (35H / 700M). Penulisan hukum dilakukan secara bertahap. Pengetahuan dan praktik hukum inilah yang harus dilihat sebagai perkembangan besar dari sejarah penulisan hukum Islam. Selain itu, ini juga menjadi awal ditetapkannya bentuk hukum Islam, yang bertahan dan berkontribusi dalam pembentukan lebih lanjut hukum Islam setelahnya. Penyelarasan teks al-Qur’an menandai awal dari teori pembatalan hukum (naskh). Bila terdapat lebih dari satu keputusan al-Qur’an yang berhubungan dengan satu masalah, penetapan hukum seperti itu tidaklah mudah. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, penting menentukan urutan kronologis ayat-ayat yang berbeda. Secara umum, ketentuan ayat yang datang belakangan dianggap menggantikan ayat-ayat 20
Shirazi, Tabaqat, 54–94.
10
sebelumnya yang bertentangan. Ini terjadi pada generasi selanjutnya, yang diperkirakan terjadi antara 80 hingga 120 tahun kemudian (35H / 700M). Tahuntahun itu dapat dikatakan yang paling dekat dengan diskusi pembatalan hukum dan kontroversi tentang status ayat tertentu. Sifat teori ini menunjukkan bahwa kontradiksi atau masalah apapun harus diselesaikan, ini yang harus dilakukan dalam lingkup kewenangan al-Qur’an. Prinsip utama yang secara umum diterima adalah tidak ada yang bisa mencabut firman Allah kecuali firman lain yang datang dari sumber yang sama. Kewenangan al-Qur’an meluas hampir ke semua bidang kehidupan umat Muslim, termasuk peraturan administrasi khalifah. Karena itu, dapat ditegaskan bahwa kegiatan hukum dari generasi pertama ahli hukum ini menandai sebuah proses di mana otoritas hukum khalifah sebagai bagian sunnah mulai kehilangan kuasa. Yang kemudian mendukung para fuqaha, yaitu para ahli hukum Islam, untuk melahirkan teks-teks hukum berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadist. Tidaklah mengagetkan jika salah satu karya paling terkenal menyatakan bahwa Yazid bin Abd al-Malik (101 H/ 718M – 105H/ 723M) sebagai khalifah terakhir yang praktik dan keputusan hukumnya merupakan pernyataan dari seorang yang punya otoritas tinggi.21 Sejak saat itu, hukum khalifah bukan lagi menjadi sunan, meski ada keterlibatan hukum khalifah (dibantu oleh para ahli hukum) terus berlaku selama sekitar satu abad atau lebih sesudahnya. Sekitar tahun 120H/ 737M, otoritas Nabi mengalami kebangkitan. Tumbuh secara pasti dengan jenis yang berbeda dibanding dengan sejumlah sunan yang lain. Namun, yang meningkatkan nilai kepribadian Nabi sebagai pemimpin superior adalah desakan pada keteladanan yang bersifat ilahiyah. Dengan dipraktikannya hukum al-Qur’an secara penuh, maka kepribadian Nabi memperoleh status yang teristimewa dibanding yang lain. Memang proses “membangun” otoritas Nabi melibatkan asimilasi dari berbagai hal. Namun, pada akhir abad pertama (715M), Sunnah Nabi telah muncul sebagai otoritas dari semua sunnah. Posisi Nabi telah memperoleh prestise sejak awal, dan Sunnahnya sebagian besar telah saling terhubung dengan sunan lainnya. Sunnah ini juga dipandang sebagai sumber hukum yang nyata, terlebih mereka (sunan-sunan yang lain) dianggap 21
Karya ini milik Malik Muwattap, ditulis di Madinah sekitar tahun 150H/ 767M. Lihat Dutton. Origins… 121.
11
perpanjangan warisan Nabi. Sunan para sahabat dan khalifah --yang membentuk dasar dari praktek hukum di kota-kota taklukan dan provinsi-- yang dianggap mencerminkan pengetahuan pertama yang dikatakan Nabi atau dilakukannya ketika menyelesaikan kasus tertentu. Pada akhirnya, personaliti Nabi menjadi perhatian banyak orang, dari ahli hadist hingga para pakar di bidang hukum. Bahkan, Khalifah Umayyah tertarik dengan otoritas Hadist Nabi ini untuk meningkatkan legitimasi bagi kekuasaannya, dan melawan lawan-lawan pemerintah.22 Khalifah Umayyah meminta dukungan para ulama dan ahli hukum supaya bersedia mempromosikan setiap hadist yang mendukung pemerintahan, baik itu hadis asli maupun palsu.
Tradisionalis dan Rasionalis Rasionalisme dalam hukum Islam hanya menandakan persepsi sikap terhadap masalah hukum yang ditentukan oleh pertimbangan rasional, pragmatis dan praktis. Di sisi lain, kaum tradisionalis adalah mereka yang memegang hukum secara tepat seperti dalam Hadist Nabi, dan al-Qur’an diambil tanpa banyak berpikir oleh kelompok rasionalis (ahl al-ra'y) maupun tradisionalis. Dengan demikian harus dibedakan antara tradisionalis tradisionis, yang pekerjaan utamanya adalah mengumpulkan, mempelajari dan meriwayatkan hadist. Dengan kata lain, tradisionis bisa jadi termasuk rasionalis atau tradisionalis, tergantung sudut pandangnya. Semakin hadist tersebar dan menjadi penting, semakin tajam pula konflik antara kaum tradisionalis dan rasionalis. Harus diingat bahwa sebelum munculnya hadist, yang menandai semakin pentingnya Sunnah Nabi, penalaran kaum rasionalis telah dipandang positif. Istilah ra'y digunakan untuk menunjukkan pendapat yang dipertimbangkan, dan oleh karena itu kami membuat istilah “penalaran diskresioner”. Namun, konotasi positif ra'y berubah seiring berjalannya waktu. Tantangan yang dimunculkan oleh kaum tradisionalis berimbas pada berubahnya istilah ini ke arah negatif dari “penalaran diskresioner” menjadi “pemikiran yang keliru”, yaitu cara berpikir yang gagal untuk mempertimbangkan teks otoritatif yang terus memperoleh reputasi sebagai sumber pengetahuan hukum yang lebih aman. 22
Untuk membaca hubungan antara Khalifah dengan madzab agama sejak periode ini, baca K. Athamina, “The qUlama in the Opposition: The ‘Stick and the Carrot’ Policy in Early Islam,” Islamic Quarterly, 36, 3 (1992): 153–78.
12
Kaum tradisionalis berpendapat ucapan Nabi Muhammad lebih unggul dibanding pemikiran pribadi hakim karena memungkinkan membuat kesalahan. Hal tersebut dibuktikan dengan beragamnya pendapat mengenai suatu permasalahan. Singkat kata, semakin banyak hadist yang beredar, semakin besar kekuatan tradisionalis, dan tentu saja konotasi terkait ra’y yang lebih negatif. Dapat juga dikatakan bahwa semakin kuat kelompok tradisionalis, maka semakin banyak hadist yang tersebar. Karena itu, hubungan yang kompleks antara produksi hadist dan pertumbuhan gerakan tradisionalis saling mendukung satu sama lain. Karena sunnah terus berkembang menjadi inti pengetahuan, maka nilai-nilai agama
mulai
menempati
posisi
tertinggi.
Mereka
yang
mempelajari,
mengartikulasikan dan memberikan pengetahuan tentang sunnah akan memperoleh status sosial khusus. Dari sini, benih perkembangan sunnah yang signifikan mulai terbentuk. Para tradisionis, penyebar hadist Nabi dan sahabat, mulai melihat ra'y sebagai pihak yang mengesampingkan nilai agama. Sekitar tahun 120 H/ 740 M, keberadaan kaum ra’y ini membuat para tradisionis merasa tidak puas. Akan tetapi, dalam perkembangannya selama dua abad berikutnya, perdebatan keduanya menjadi salah satu “perang intelektual” yang paling intens dalam dunia Islam. Masalah ini pada akhirnya menentukan jalannya pembangunan agama, yaitu konflik tradisionalis-rasionalis. Ahli Hukum Islam Awal Pada akhir abad kedua (800M - 815M), struktur dan perbaikan pengadilan telah sampai pada bentuk akhir.23 Prestise dan otoritas pengadilan juga ditingkatkan dengan kehadiran orang-orang terpelajar di bidang hukum. Para ahli hukum (fuqaha dan mufti), yang sebagian besar tidak mempertimbangkan kesalehan, membuat studi dan pemahaman (secara harfiah disebut “fiqh”) atau hukum agama yang berfokus pada individu. Dalam tradisi Islam, Muhammad menjadi inisiator dari banyak sunnah yang terputus dari masa pra Islam untuk membentuk bagian integral dari Sunnah Nabi. Pengumpulan Hadist 23
Untuk karya yang lebih lengkap membahas tentang pengadilan qadhi pada periode posformatif, lihat dalam David Powers. Organizing Justice in the Muslim World, 1250–1750, “Themes in Islamic Law,” (ed.) Wael B. Hallaq, no. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, in progress).
13
Dalam mengumpulkan narasi Hadist dibutuhkan proses yang panjang dan rumit. Proses ini dilakukan dengan melihat dan memperhatikan kepribadian para sahabat, lalu dikembalikan lagi pada sumber utama, yaitu Nabi Muhammad. Narasi ini terdiri dari ingatan para sahabat yang bersumber dari perkataan dan perbuatan Nabi, tetapi ada bagian lain yang rantai periwayatannya sampai kepada Nabi, padahal awalnya periwayatan tersebut hanya berakhir pada sahabat. Tidak masuk akal untuk menyatakan bahwa matan (isi) hadist yang mulai tersebar pada pergantian abad kedua Hijriyah itu dipalsukan secara keseluruhan (untuk argumen ini akan mengabaikan sunnah-sunnah Nabi yang telah ada sejak awal). Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak hadist yang tidak otentik karena terdapat penambahan signifikan terhadap sirah Nabi dan sunnah-sunnah yang diketahui oleh Muslim awal. Pada awal abad ke-2 / ke-8, sebagian besar pemalsuan hadist terjadi di kotakota taklukan. Daerah-daerah ini diketahui mengalami pertumbuhan sehingga menjadi pusat kedatangan masyarakat urban. Tak pelak, bila saat itu, hadist tidak lagi bagian dari ekspresi otentik dari berbagai Sunnah dan sirah Nabi yang asli. Banyak hadist yang rantai periwayatannya beredar ke seluruh negeri Muslim, tetapi bertentangan dengan memori dan sunan-sunan masyarakat Muslim di beberapa daerah. Untuk hal ini, contoh paling jelas adalah yang terjadi di Hijaz, khususnya Madinah. Bagi cendekiawan Madinah, Sunnah Nabi yang sebenarnya dibuktikan dengan praktik mereka sendiri. Praktik sunan-sunan ini menjadi bukti akhir dari sunnah Nabi (sunna madiya), dan bukan oleh narasi literatur. Hadist memperoleh validitasnya hanya jika didukung oleh praktik beribadah umat Islam di Madinah.24 Lebih penting lagi, seperti halnya orang Madinah, orang-orang Irak melihat praktik mereka telah sesuai dengan Nabi melalui contoh sahabat, karena banyak sahabat yang telah meninggalkan Hijaz untuk menetap di kota-kota taklukan Irak selatan. Sehingga konsep Arab kuno tentang sunnah, tidak menutup kemungkinan bagi keum sekuler, berubah menjadi paradigma agama, menjalani proses dimana semakin berfokus pada Nabi sebagai orang biasa. Sunnah yang ada pada masa praIslam diadopsi Nabi yang disangsikan generasi pasca Nabi menjadi berfokus pada bidang otoritas Nabi. Tidak mengherankan bila pada waktu itu, Nabi muncul sebagai sumbu tunggal otoritas ini. 24
Malik bin Anas, al-Muwattap (Beirut: Dar al-Jil, 1414/1993), 664, 665, 690, 698 and
passim.
14
Pemusatan proses ini menjadi proliferasi hadist secara formal. Dengan munculnya kaum tradisionalis, yang pekerjaan utamanya adalah mengumpulkan dan mereproduksi narasi Nabi, transmisi literatur hadist menjadi cepat mendapatkan keunggulan. Pada akhirnya, proyek hadist yang mereka lakukan terbukti berhasil. Menurut Imam Syafi’I (meninggal 204H / 819M), yang merupakan salah satu ahli hadist paling vokal pada zamannya, Sunnah Nabi hanya dapat ditentukan melalui hadist formal. Dia menyerang praktik sunan yang didasarkan selain pada diri Nabi sebagai inkonsistensi. Menurutnya, praktik sunan tersebut jelas tidak otentik sebagaimana hadist yang bersumber langsung dari perkataan dan perbuatan Nabi. Pada waktu itu, para ahli hukum Islam merasa perlu untuk melabuhkan konsensus mereka ke dalam berbagai teks keagamaan. Shaybani menjadi salah satu di antara ahli hadist yang pertama kali melakukannya, dan menyerukan: “Apa saja yang baik menurut umat Islam, menjadi baik juga menurut Allah.”25 Selama paruh kedua abad ke-2 / ke-8, generasi baru ulama dibesarkan dalam lingkungan yang memegang hadist Nabi. Mereka datang untuk menegaskan otoritas pribadi Nabi lebih dari sebelumnya. Semakin jelas otoritas ini, semakin sedikit juga kebebasan para ahli hukum dalam menguraikan pendapat kaum diskresioner. Sejauh hal itu termasuk opini diskresioner dan pribadi, kelompok ra'y berdiri sebagai antitesis terhadap gagasan otoritas ini. Karena kaum ra'y tampaknya telah dipecah menjadi kategori argumen yang berbeda. Yang paling umum dari kategori ini adalah ijtihad. Selama abad pertama / ke-7 dan sebagian dari abad ke-2 / ke-8 sering muncul dalam hubungannya dengan ra'y, yaitu, ijtihad al-ra'y. Kategori argumen kedua dari kaum ra'y adalah qiyas yang mengedepankan kedisiplinan nalar secara sistematis atas dasar teks al-Qur’an dan al-Hadist. Di antara alasan mengapa teori ini tidak dijabarkan secara terperinci, karena penerapan hadist Nabi sebagai sumber eksklusif Sunnah, mengganti segala praktik sunan yang didasarkan tidak pada diri Nabi. Maka dari itu, untuk memberhentikan praktik sunan caranya hanya dengan mengenalkan hadist sebagai perwakilaan dari Sunnah yang dibenarkan. Kelompok rasionalis juga mengalami nasib yang sama dengan praktik sunan ini, sehingga mereka menekankan metode penalaran liberal secara bertahap. 25
Mengenai Shaybani dan luasnya isu kesepakatan mengenai pewahyuan, lihat Wael Hallaq, “On the Authoritativeness of Sunni Consensus,” International Journal of Middle East Studies, 18 (1986): 427–54.
15
Terbentuknya Madzhab Doktrinal Tidak sampai satu setengah abad, pertengahan kedua abad ke-4/ ke-10 bahwa kedua kaidah hukum sudah sampai pada bentuk akhir. Kedua kaidah tersebut adalah: Pertama, kemunculan dan terjadinya artikulasi dasar teori hukum; Kedua, terbentuknya madzhab doktrinal. Silsilah teori hukum, yang disebut Usul al-fiqh, terbentuk sebagai hasil dari konflik argumentasi antara kaum rasionalis (ahl al-ra'y) dan tradisionalis. Hingga pertengahan abad ke-2 / ke-8, kaum rasionalis merupakan tren kuat dalam penalaran hukum. Sementara kaum tradisionalis menegaskan diri dengan menjadi kekuatan untuk bersaing pada akhir abad ini. Pada pertengahan abad ke-3/ ke-9, kaum tradisionalis memenangkan perdebatan argumen hadist melawan kelompok ra'y. Jauh sebelum abad ini berakhir, muncul enam koleksi “Hadist Kanonik”, yang dirancang dalam isi dan pengaturan mereka untuk layanan hukum. Setelah Imam Syafi’I, gerakan tradisionalis mendapatkan kekuatan yang signifikan, dan menarik banyak ahli hukum, bahkan disebut sebagai lawan kuat rasionalisme. Imam Ahmad bin Hanbal (241 H/ 855M), pendiri sekolah hukum “Hanbalite” adalah di antara yang paling terkenal dari kelompok ini. Jadi, selama 7 dekade (antara era Imam Syafi’I dan Imam Abu Dawud), gerakan tradisionalis gigih melawan rasionalisme, termasuk penggunaan metode qiyas. Pada pertengahan abad ke-3 / ke-9, Hadis Nabi tetap bertahan dan tidak dipertanyakan sampai paruh kedua abad ke-19. Islamisasi daerah seperti Khurasan atau Transoxania, penerapan hukumnya tidak bisa bergantung pada praktik ibadah dan perilaku sosial dari orang Kufah, Basrah atau Madinah. Hadist yang disampaikan secara universal dari Nabi terbukti lebih menarik sebagai bahan dan sumber tekstual hukum daripada yang dipraktikan dipraktikan masyarakat di sejumlah kota tertentu, maka dengan perkembangan inilah teori hukum (ushul al-fiqh) dibuat. Akhirnya, melalui hadist Nabi yang menyatakan dasar pemikiran bahwa umat Islam secara keseluruhan tidak pernah bisa berbuat salah, Ijma' mendapat dukungan tekstual sebagai sebuah sumber hukum tertentu. Dengan munculnya teori hukum pada pertengahan abad ke-4 / ke-10, hukum Islam telah lengkap. Setiap mufti terkemuka akan mengambil murid untuk diajarkan ilmu fiqih darinya. Hakim yang pernah belajar hukum di bawah bimbingan seorang mufti cenderung menerapkan madzhab
16
yang dianut oleh muftinya. Dengan kata lain, madzhab doktrinal bersifat kolektif dan otoritatif. Dari banyak pemimpin madzhab, hanya empat yang disebut sebagai pendiri dari madzhab doktrinal: Imam Abu Hanifa, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam ibn Hanbal, berurutan sesuai masa mereka.
Daftar Istilah Kunci ahl al-Hadist: tradisionalis, mereka yang menyatakan bahwa hukum harus tepat sesuai al-Qur’an dan al-Hadis. ahl al-ra'y: kaum rasionalis, mereka yang menyatakan bahwa hukum dapat diperoleh melalui akal manusia, dibimbing oleh pengalaman sosial dan duniawi. faqih (jama': fuqaha'): seorang ahli dalam bidang hukum. Hadits: hadis Nabi; laporan tentang apa yang dikatakan Nabi, dilakukan atau disetujui; lihat juga sunan (sunnah-sunnah), Sunna. Ijtihad: proses penalaran hukum dan hermeneutika dimana ahli hukum mujtahid memperoleh atau merasionalisasi hukum atas dasar al-Qur’an dan al-Sunnah; selama periode awal, pengujian terhadap pendapat diskresioner seseorang (ra’y) atas dasar ‘ilm. Katib: juru tulis pengadilan. Ra'y: opini diskresioner atau penalaran berdasarkan preseden atau pertimbangan subjektif. Sirah: biografi Nabi. Sunan (tunggal: sunnah): perilaku yang patut dicontoh baik dari kelompok maupun individu yang dari waktu ke waktu menjadi model untuk ditiru dan diikuti oleh orang lain. Sunnah: lihat sunan. Sunnah: perilaku Nabi yang telah ditetapkan sebagai model untuk diikuti orang lain; perilaku ini bisa dinyatakan dalam praktek Nabi sendiri.
17