HUBUNGAN ANTARA KELENGKAPAN INFORMASI MEDIS DENGAN KEAKURATAN KODE DIAGNOSIS PADA DOKUMEN REKAM MEDIS RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR TAHUN 2013
ARTIKEL PUBLIKASI ILMIAH
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat
Disusun Oleh : ASTRI SRI WARIYANTI J410121019
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014
HUBUNGAN ANTARA KELENGKAPAN INFORMASI MEDIS DENGAN KEAKURATAN KODE DIAGNOSIS PADA DOKUMEN REKAM MEDIS RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR TAHUN 2013 Astri Sri Wariyanti Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta (
[email protected])
ABSTRAK RSUD Kabupaten Karanganyar merupakan salah satu dari tiga rumah sakit di kabupaten karanganyar dengan tingkat ketidakakuratan kode diagnosisnya paling banyak. Tujuan Penelitian adalah mengetahui hubungan antara kelengkapan informasi medis dengan keakuratan kode diagnosis pada dokumen rekam medis rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Karanganyar tahun 2013. Jenis penelitian menggunakan observasi analitik dengan pendekatan Cross Sectional. Populasi penelitian ini adalah dokumen rekam medis rawat inap sebanyak 657. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik Sistematis Random Sampling dan besar sampel sebanyak 44. Uji statistik menggunakan chi square dengan menggunakan SPSS. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara kelengkapan informasi medis dengan keakuratan kode diagnosis pada dokumen rekam medis rawat inap di RSUD Kabupaten Karanganyar tahun 2013 dengan nilai p = 0,012. Kata kunci
: Kelengkapan Informasi, Keakuratan, ICD-10
ABSTRACT General Hospitals Karanganyar is one of three Hospitals in Karanganyar inaccuracies level diagnosis codes most. The purpose of research was to determine the relationship between the completeness of medical information to document the accuracy of the diagnosis codes on inpatient medical records at the General Hospital in 2013 Karanganyar. Kind of research using observational analytic cross-sectional approach. The population was inpatient medical record documents as much as 657. Technique of sampling using Systematic Random Sampling and sample size of 44 document. Statistically using chi-square test using SPSS 16. Results showed no relationship between the completeness of medical information on the accuracy of diagnosis codes inpatient medical record documents in Karanganyar Hospital in 2013 with a value of p = 0.012. Keywords: Information Completeness, Accuracy, ICD-10
1
PENDAHULUAN Rekam medis merupakan berkas yang berisikan informasi tentang identitas pasien, anamnese, penentuan fisik laboratorium, diagnosa segala pelayanan dan tindakan medik yang diberikan kepada pasien dan pengobatan baik yang dirawat inap, rawat jalan maupun yang mendapatkan pelayanan gawat darurat (Depkes, 2006). Rekam medis digunakan sebagai acuan pasien selanjutnya, terutama pada saat pasien itu berobat kembali, rekam medis pasien harus siap apabila pasien berobat kembali. Tenaga kesehatan akan sulit dalam melakukan tindakan atau terapi sebelum mengetahui sejarah penyakit, tindakan atau terapi yang pernah diberikan kepada pasien yang terdapat di dalam berkas rekam medis. Hal penting dalam berkas rekam medis adalah ketersediaannya saat dibutuhkan dan kelengkapan pengisiannya. Kelengkapan pengisian berkas rekam medis oleh tenaga kesehatan akan memudahkan tenaga kesehatan lain dalam memberikan tindakan atau terapi kepada pasien. Selain itu juga sebagai sumber data pada bagian rekam medis dalam pengolahan data yang kemudian akan menjadi informasi yang berguna bagi pihak manajemen dalam menentukan langkahlangkah strategis untuk pengembangan pelayanan kesehatan (Hatta, 2010). Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 269 tahun 2008 tentang rekam medis menyebutkan bahwa syarat dari rekam medis untuk pasien rawat inap sekurang-kurangnya memuat tentang identitas pasien, pemeriksaan, diagnosis/masalah, persetujuan tindakan medis (bila ada), tindakan/pengobatan, dan pelayanan yang telah diberikan kepada pasien. Informasi medis akan digunakan dalam pengodean ICD-10. Koding berdasarkan ICD-10 yaitu proses pemberian kode dengan menggunakan huruf dan angka yang mewakili komponen data yang bertujuan untuk memastikan ketepatan kode terpilih mewakili sebutan diagnosis yang ditegakkan dokter (Depkes,2006). Sedangkan keakuratan kode adalah pemberian kode yang sesuai dengan ketentuan atau aturan ICD-10.
2
Keakuratan dalam pemberian kode diagnosis merupakan hal yang harus diperhatikan oleh tenaga perekam medis, ketepatan data diagnosis sangat penting dibidang manajemen data klinis, penagihan kembali biaya, beserta hal-hal lain yang berkaitan dalam asuhan dan pelayanan kesehatan (Kasim, 2011). Hasil penelitian Rohman (2011) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keakuratan kode diagnosis adalah informasi medis. Informasi medis yang dimaksud adalah pengisian kode diagnosis. Penelitian Astuti (2008) juga membahas tentang kode, dimana kode yang akurat didapatkan salah satunya dengan memperhatikan informasi yang mendukung atau penyebab lain yang mempengaruhi kode diagnosis utama. Rumah sakit Umum Daerah Kabupaten Karanganyar merupakan salah satu dari tiga Rumah Sakit di Kabupaten Karanganyar dengan tingkat ketidakakuratan diagnosisnya paling banyak. Berdasarkan observasi awal di Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar, dari 20 dokumen yang diteliti terdapat 35% dokumen rekam medis rawat inap yang informasinya tidak lengkap dan 45% tidak akurat dalam pengkodeannya. Hal ini berdampak pada keefektifan pengelolaan data dan informasi pelayanan kesehatan tersebut. Selain itu sistem BPJS yang mulai diterapkan tahun 2014, pengkodean yang benar merupakan kunci sukses sistem tersebut. Apabila kode yang dicantumkan pada berkas rekam medis tidak tepat, maka dapat berdampak terhadap biaya pelayanan kesehatan. Oleh karena itu berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melaksanakan penelitian dengan judul “Hubungan Antara Kelengkapan Informasi Medis dengan Keakuratan Kode Diagnosis pada Dokumen Rekam Medis Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Karanganyar tahun 2013”. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan kelengkapan informasi medis pada dokumen rekam medis rawat inap, mendeskripsikan keakuratan kode diagnosis, dan menganalisis hubungan antara kelengkapan informasi medis dengan keakuratan kode diagnosis pada dokumen rekam medis rawat inap di RSUD Kabupaten Karanganyar Tahun 2013.
3
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2004. Populasi dalam penelitian ini adalah dokumen rekam medis rawat inap sebanyak 44 dokumen. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah Sistematis Random Sampling. Variabel bebas dalam penelitian ini kelengkapan informasi medis, sedangkan variabel terikatmya adalah keakuratan kode diagnosis. Instrumen penelitian ini berupa checklist observasi. Checklist observasi digunakan untuk mengetahui kelengkapan informasi medis dan keakuratan kode diagnosis. Analisis yang digunakan adalah uji Chi Square untuk mengetahui hubungan antara kelengkapan informasi medis dengan keakuratn kode diagnosis pada dokumen rekam medis rawat inap.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kelengkapan Informasi Medis Penelitian dilaksanakan di RSUD Kabupaten karanganyar pada bulan April 2014 dengan jumlah sampel yaitu dokumen rekam medis pasien rawat inap sebanyak 44 dokumen rekam medis. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kelengkapan Informasi medis No.
Kategori
Jumlah DRM
Persentase
1. 2.
Lengkap Tidak Lengkap Total
15 29 44
34,10 65,90 100
Tabel 1 menggambarkan bahwa tingkat kelengkapan dokumen rekam medis dengan kategori lengkap berjumlah 15 (34,10%) dan dokumen rekam medis
dengan
Ketidaklengkapan
kategori informasi
tidak
lengkap
terbanyak,
berjumlah pada
hasil
29
(69,10%).
pemeriksaan
laboratorium/rontgen serta pengobatan. Hal ini akan berdampak pada dokumen rekam medis yang tidak lengkap Contoh : Pada lembar resume keluar ditulis telah dilakukan pemeriksaan lab GDS, tetapi tidak ada lembar
4
pemeriksaan laboratoriumnya. Pada lembar rekaman asuhan keperawatan, apabila pasien dirawat selama 4 hari, informasi tentang pengobatannya hanya ditulis 2 hari. Kelengkapan penulisan informasi medis pada setiap formulir rekam medis memiliki peranan yang penting dalam menentukan kode yang akurat melalui diagnosis yang ditetapkan oleh dokter. Sesuai yang disampaikan oleh Astuti (2008) bahwa kode yang akurat didapatkan salah satunya dengan memperhatikan informasi yang mendukung atau penyebab lain yang mempengaruhi kode diagnosis. Diperkuat dengan pernyataan Hatta (2010) bahwa kelengkapan pengisian berkas rekam medis oleh tenaga kesehatan akan memudahkan tenaga kesehatan lain dalam memberikan tindakan atau terapi kepada pasien. Selain itu juga sebagai sumber data pada bagian rekam medis dalam pengolahan data yang kemudian akan menjadi informasi yang berguna bagi pihak manajemen dalam menentukan langkah-langkah strategis untuk pengembangan pelayanan kesehatan. Dalam penelitian ini kelengkapan informasi yang digunakan meliputi identitas pasien (umur, jenis kelamin, berat badan), anamnesa, pemeriksaan, pemeriksan laboratorium/rontgen, diagnosa, tindakan, dan pengobatan yang diberikan. Hal ini merujuk pada Permenkes No. 269 tahun 2008 tentang rekam medis yang menyebutkan bahwa syarat dari rekam medis untuk pasien rawat
inap
sekurang-kurangnya
memuat
tentang
identitas
pasien,
pemeriksaan, diagnosis/masalah, persetujuan tindakan medis (bila ada), tindakan/pengobatan , dan pelayanan yang telah diberikan kepada pasien. Kegunaan dari masing-masing informasi medis tergantung dari diagnosisnya, dengan contoh yaitu diagnosis Gastritis. Informasi yang diperlukan antara lain : anamnesa, pemeriksaan, pemeriksaan laboratorium, diagnosa, dan pengobatan yang digunakan. Informasi umur, jenis kelamin, dan berat badan dan tindakan tidak dipertimbangkan dalam penentuan kode diagnosis gastritis. Dalam ICD-10 Gastritis juga tidak dibedakan menurut umur, jenis kelamin, dan berat badan. Untuk tindakan, selain tidak ada dalam klasifikasi kode gastritis di ICD-10, juga tidak dilakukan tindakan operasi.
5
1. Anamnesa : tahap awal seorang pasien datang ke rumah sakit, ditulis anamnesa atau keluhan untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan. Datang seorang pasien ke rumah sakit dengan keluhan perut panas dalam waktu 2 hari, BAB tidak lancar, muntah terus menerus. 2. Pemeriksaan : setelah dilakukan anamnesa, selanjutnya dilakukan pemeriksaan,
yaitu
meliputi
suhu,
nadi,
tensi,
dan
pemeriksaan bagian perut. 3. Pemeriksaan laboratorium : sebagai pemeriksaan pelengkap untuk mendapatkan diagnosis, dan sebagai informasi apakah dilakukannya tidakan atau tidak. Sebagai contoh dilakukan lab hematologi dan GDS. 4. Pengobatan yang digunakan : setelah dilakukan anamnesa dan pemeriksaan maka dilakukan pengobatan yang dilakukan oleh dokter dan perawat bangsal. 5. Diagnosa : yaitu penulisan diagnosa yang ditulis dokter apakah tepat atau tidak karena penulisan diagnosa ini akan digunakan sebagai dasar dalam menentukan kode diagnosis. Contoh lainnya yaitu diagnosis Ketuban Pecah Dini/ Amniotic Fluid and Membranes. Informasi yang diperlukan antara lain : umur, berat badan, anamnesa, pemeriksaan, pemeriksaan laboratorium, diagnosa,tindakan, dan pengobatan dan pengobatan yang digunakan. Pada diagnosis ini item jenis kelamin tidak dipertimbangkan dalam penentuan kode diagnosis Ketuban Pecah Dini/ Amniotic Fluid and Membranes karena diagnosis ini sudah pasti dialami oleh perempuan. 1. Umur
: sebagai informasi pelengkap untuk dilakukan tindakan medis dapat dilihat dari umurnya, karena dari umur dapat untuk pertimbangan mengenai tingkat kerawanan pasien yang akan melahirkan. Umur pasien ini 33 tahun.
2. Berat badan : sebagai acuan seorang tenaga medis apakah berat badan pasien dengan kasus tersebut dan dengan kondisinya dapat
6
melahirkan secara normal atau tidak. Berat badan pasien ini 60kg. 3.
Anamnesa : tahap awal seorang pasien datang ke rumah sakit, ditulis anamnesa atau keluhan untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan. Datang seorang wanita ke rumah sakit hamil 34 minggu dengan ketuban pecah dini.
4. Pemeriksaan : setelah dilakukan anamnesa, selanjutnya dilakukan pemeriksaan,
yaitu
meliputi
suhu,
nadi,
tensi,
dan
pemeriksaan bagian perut, ternyata tekanan darahnya tinggi 5. Pemeriksaan laboratorium : sebagai pemeriksaan pelengkap untuk mendapatkan diagnosis, dan sebagai informasi apakah dilakukannya tidakan atau tidak. Sebagai contoh dilakukan lab hematologi dan GDS. 6. Tindakan : setelah dilakukan anamnesa dan pemeriksaan maka dilakukan tindakan apa yang akan dilakukan. Indikasi tindakan dari diagnosis ini adalah saecaria section. 7. Pengobatan yang digunakan : setelah dilakukan pemeriksaan dan tindakan maka dilakukan pengobatan yang dilakukan oleh dokter dan perawat bangsal. 8. Diagnosa : yaitu penulisan diagnosa yang ditulis dokter apakah tepat atau tidak karena penulisan diagnosa ini akan digunakan sebagai dasar dalam menentukan kode diagnosis. Contoh ini digunakan sebagi acuan seorang coder dalam menentukan kode diagnosis. Selain melihat diagnosisnya, juga perlu melihat informasi yang terdapat dalam setiap lembar rekam medis yang ditulis dokter untuk menghasilkan kode yang akurat. Hal ini sesuai dengan Permenkes No.269/MENKES/PER/III/2008 tentang rekam medis bahwa tulisan pada rekam medis merupakan tanggungjawab yang mengisi yaitu dokter.
7
B. Keakuratan Kode Diagnosis Tabel 2. Distribusi Frekuensi Keakuratan Kode Diagnosis No.
Kategori
Jumlah DRM
Persentase
1. 2.
Akurat Tidak Akurat Total
18 26 44
40,90 59,10 100
Tabel 2 menggambarkan bahwa tingkat keakuratan kode diagnosis pada dokumen rekam medis dengan kategori akurat berjumlah 18 (59,90%) dan dokumen rekam medis dengan
kategori tidak akurat berjumlah 26
(40,10%). Faktor yang menyebabkan ketidakakuratan kode diagnosis diantaranya adalah kesalahan dalam menuliskan kode karena tidak sesuai dengan diagnosisnya sebanyak 14 buah kode, kesalahan dalam penulisan digit keempat dan kelima sebanyak 18 buah kode, dan tidak mengisi kode yang seharusnya diberi kode sesuai diagnosisnya sebanyak 2 buah kode. 1. Kesalahan Penentuan Kode Diagnosis Beberapa kode diagnosis menjadi tidak akurat dikarenakan kesalahan dalam penentuan kode diagnosis. Kesalahan penentuan kode diagnosis disebabkan ketidaktelitian coder dalam menentukan kode diagnosis seperti kode untuk diagnosis Vertigo yang seharusnya diberi kode R42 tetapi diberi kode G45.9 yang mana kode G45.9 digunakan untuk penyakit kematian pada otak yang bersifat sementara / transient cerebral ischaemic attack. Selain itu karena informasi yang terdapat dalam setiap lembar dokumen rekam medis tidak lengkap dan tidak jelas coder salah memberikan kode diagnosis. 2. Ketidaklengkapan Kode Diagnosis Ketidaklengkapan kode diagnosis yaitu diagnosis dikode tanpa karakter keempat dan kelima. Hal ini disebabkan ketidaktahuan coder mengenai ketentuan penggunaan karakter kelima untuk kode diagnosis tertentu seperti pada penyakit kanker yang terdapat kode morphologinya, sehingga tidak diisi. Hal ini belum sesuai dengan Protap No.5105.5582
8
yang menyebutkan bahwa penulisan kode (coding) nomor harus jelas didalam kotak yang telah disediakan pada lembar rekam medis (RM 1), termasuk
memperhatikan
klasifikasi
Morphologi
Of
Neoplasma.
Ketidaktahuan tersebut merupakan salah satu kekurangtelitian seorang coder dalam menentukan kode karena untuk menentukan kode diagnosis tidak hanya mengacu pada ICD-10 Volume 3 saja, namun juga harus merujuk pada ICD-10 Volume 1. Seperti pernyataan Kasim (2011), bahwa setelah menentukan kode pada ICD-10 Volume 3, perlu melihat daftar tabulasi (ICD-10 Volume 1) untuk mencari kode yang paling tepat. Untuk penggunaan kode karakter keempat selain ketidaktelitian seorang coder juga karena dalam pemberian kode diagnosis tidak menggunakan buku ICD-10 baik volume 1 ataupun volume 3. Coder memberikan kode diagnosis dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa lalu atau didasarkan pada hal-hal yang biasanya terjadi (kebiasaan). Dengan kata lain, pemberian kode dilakukan secara berulang, menjawab karena kebiasaan melihat diagnosis yang sering ada pada dokumen rekam medis, sehingga hal ini juga akan mempengaruhi tingkat ketepatan pemberian kode diagnosis. sebagai contoh, pada diagnosis Gastroenteritis Acute kode diagnosis di RSUD Kabupaten Karanganyar yaitu A09, padahal kode berdasarkan ICD-10 A09.0. Coder memberikan kode diagnosis Gastroenteritis Acute ini A01 karena kebiasan, diagnosis ini merupakan 10 besar penyakit di RSUD Kabupaten Karanganyar sehingga banyak dokumen rekam medis dengan diagnosis Gastroenteritis Acute. Untuk mendapatkan kode diagnosis utama yang akurat, ada petunjuk sederhana dalam menentukan kode yaitu: a. Identifikasi pernyataan yang ingin dikode dan lihat pada indek alfabetik yang sesuai. b. Cari letak lead term pada ICD-10 Volume 3. c. Baca dan ikuti setiap catatan yang ada di bawah lead term. d. Baca istilah yang terdapat dalam tanda kurung sesudah lead term
9
e. Ikuti secara hati-hati setiap tunjuk silang (cross references) dan lihat “see” dan “see also” yang terdapat dalam indek. f. Rujuk pada daftar tabulasi/ ICD-10 Volume 1 untuk kesesuaian nomor kode yang dipilih. g. Ikuti inclusion dan exclusion term dibawah kode atau dibawah chapter. h. Cantumkan kode yang dipilih. Faktor lain yang menyebabkan tidak adanya kode karakter keempat dan kelima adalah ketidaklengkapan data dan informasi pada berkas rekam medis pasien. Ketidaklengkapan tersebut misalnya pada berkas rekam medis pasien febris tidak terdapat keterangan tentang spesifikasi atau febris yg tidak diketahui penyebabnya sehingga coder sering tidak memberi kode karakter keempat. Padahal apabila dijumpai kasus seperti ini seharusnya tetap diberi kode karakter keempat dengan kode 9 yaitu kode untuk hal yang tidak terspesifikasi/unspecified. Hal ini selaras dengan pernyataan Sugiarsi (2013) bahwa dalam menetapkan kode diagnosis pasien selain memperhatikan terminologi medis dari suatu diagnosis penyakit, coder harus memperhatikan informasi pendukung yang terdapat dalam dokumen rekam medis. Contohnya diagnosis Bronchitis acute pada pasien umur 12 tahun, pada ICD Volume 3 Bronchitis -under 15 years of age J20.9 dan pada pada ICD Volume 1 J20.9 Acute bronchitis, unspecified. Jika coder tidak memperhatikan informasi umur maka kode akhir tidak akurat adalah J40. Tenaga rekam medis sebagai pemberi kode bertanggungjawab atas keakuratan kode dari suatu diagnosis yang ditetapkan oleh tenaga medis. Oleh karena itu, untuk hal yang kurang jelas atau tidak lengkap sebelum kode ditetapkan, perlu dikomunikasikan terlebih dahulu kepada dokter yang membuat diagnosis tersebut (Rustiyanto, 2009). 3. Diagnosis tidak diberi kode Ketidakakuratan kode berupa diagnosis tidak diberi kode disebabkan ketidaktelitian coder dalam menganalisis berkas rekam medis, sebagai contoh menganalisis lembar catatan perkembangan atau lembar
10
resume keluar yang diisi oleh dokter yang merawat. Pada lembar catatan perkembangan paling akhir terdapat hasil pengobatan dan perkembangan pasien yang menunjukkan penyakit yang diderita pasien namun terkadang diagnosis tersebut tidak tertulis pada lembar RM-1 (Lembar Ringkasan Masuk dan Keluar). Begitu juga dengan catatan dokter pada lembar resume keluar, terkadang dokter hanya menulis pada lembar tersebut dan tidak menuliskan di lembar RM-1. Terkadang coder hanya melihat diagnosis dalam lembar lembar RM-1 saja, jika tidak ada diagnosis pada lembar tersebut maka tidak diberi kode. Contohnya pada kode E14.5 yang digunakan untuk diagnosis Diabetes Mellitus Ulcer. Pada lembar RM-1 dokter tidak menulis diagnosisnya sehingga coder tidak menulis kode diagnosisnya, padahal di lembar catatan perkembangan dan di resume keluar terdapat diagnosis DM Ulcer. Faktor lain diagnosis tidak diberi kode yaitu coder tidak bisa membaca diagnosis yang ditulis dokter, kemudian informasi medisnya juga tidak lengkap. Karena kurangnya komunikasi antara coder dengan dokter maka diagnosis dalam dokumen rekam medis tersebut tidak diberi kode. Hal ini belum sesuai dengan Protap No.5105.5582 yang menyebutkan bila petugas yang mengkode menemui kesulitan, harus dikonsultasikan ke dokter yang merawat termasuk istilah diagnosa pada lembar rekam medis yang tidak dapat menentukan pada buku ICD-10.
C. Hubungan Antara Kelengkapan Informasi Medis dengan Keakuratan Kode Diagnosis Tabel 3. Hubungan antara kelengkapan informasi medis dengan keakuratan kode diagnosis dokumen rekam medis rawat inap Kelengkapan Informasi Medis Lengkap Tidak Lengkap Total
Keakuratan Kode Diagnosis Akurat Tidak Akurat N % N % 10 66,67 5 33,33 8 27,59 21 72,41 18 40,91 26 59,09
Total N 15 29 44
% 100 100 100
Nilai p
Nilai X² hitung
0,012
4,734
11
Tabel 3 menggambarkan bahwa dokumen rekam medis dengan tingkat kelengkapan informasi medis lengkap dan pemberian kode diagnosis akurat sejumlah 10 (66,67%), dokumen rekam medis dengan tingkat kelengkapan informasi medis lengkap tetapi pemberian kodenya tidak akurat sejumlah 5 (33,33%), dokumen rekam medis dengan tingkat kelengkapan informasi medis tidak lengkap dan pemberian kode diagnosis akurat sejumlah 8 (27,59%), dan dokumen rekam medis dengan tingkat kelengkapan informasi medis tidak lengkap dan pemberian kode diagnosis tidak akurat sejumlah 21 (72,41%). Hasil uji statistik hubungan antara kelengkapan informasi medis dengan keakuratan kode diagnosis dengan menggunakan uji statistik Chi Square diperoleh nilai p sebesar 0,012 Hal ini terdapat hubungan antara kelengkapan informasi medis dengan keakuratan kode diagnosis pada dokumen rekam medis rawat inap. Dokumen rekam medis dengan kelengkapan informasi medis lengkap tetapi pemberian kodenya tidak akurat. Ini disebabkan bahwa dokumen rekam medis telah lengkap diisi oleh tenaga medis tetapi coder kurang teliti dalam melakukan pengkodean ditambah sebagian diagnosis dikode dengan mengulang kebiasaan seperti yang telah dijelaskan diatas. Sedangkan dokumen rekam medis dengan tingkat kelengkapan informasi medis tidak lengkap dan pemberian kode diagnosis akurat sejumlah 8. Ini disebabkan coder tidak memperhatikan informasi medisnya tetapi langsung memberi kode sesuai diagnosis yang tertulis dalam lembar RM-1 dengan kebiasaan tetapi kodenya tepat. Contohnya untuk diagnosis Thypoid, karena ini juga masuk dalam 10 besar penyakit jadi banyak dokumen rekam medis dengan diagnosis tersebut. Coder langsung mengkode karena hafal dan kodenya tepat yaitu A01.0. Berdasarkan hasil uji statistik dapat diketahui bahwa kelengkapan informasi medis dan keakuratan dokumen rekam medis sangatlah penting dan berhubungan. Jika informasi medis dalam suatu dokumen rekam medis tidak lengkap, maka kode diagnosis yang dihasilkan menjadi tidak akurat. Kode diagnosis tidak akurat akan berdampak pada beberapa hal diantaranya
12
pembayaran dengan sistem casemix, pendidikan, penelitian, statistik kesehatan, mutu rumah sakit, dan akreditasi rumah sakit. Contoh : Dalam bidang pembayaran, kode diagnosis yang salah akan menghasilkan tarif yang salah. Dalam bidang pendidikan dan penelitian, apabila kode diagnosisi salah maka pengambilan data untuk penelitian tersebut tidak akurat sehingga dapat menimbulkan kesalahan pada hasil penelitian. Dalam statistik kesehatan akan menghasilkan laporan yang tidak akurat sehingga tidak bisa digunakan sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan dan berpengaruh terhadap mutu rumah sakit. Dalam penyelenggaran akreditasi rumah sakit, akan mengurangi nilai akreditasi karena data yang ditampilkan tidak tepat dan tidak relevan. Hal ini selaras dengan pernyataan Anggraini (2004) bahwa tujuan koding salah satunya adalah menyediakan informasi diagnosis dan tindakan bagi riset, edukasi dan kajian asessment kualitas keluaran atau outcame, (legal dan otentik).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
Dokumen rekam medis dengan tingkat kelengkapan informasi medis lengkap sejumlah 15 (34,10%) dan tidak lengkap sejumlah 29 (65,90%).
2.
Dokumen rekam medis dengan tingkat keakuratan diagnosisnya akurat sejumlah 18 (59,90%) dan tidak akurat berjumlah 26 (40,10%).
3.
Dokumen rekam medis dengan tingkat kelengkapan informasi medis lengkap dan pemberian kode diagnosis akurat sejumlah 10 (66,67%), sedangkan dokumen rekam medis dengan tingkat kelengkapan informasi medis lengkap tetapi pemberian kodenya tidak akurat sejumlah 5 (33,33%), dokumen rekam medis dengan tingkat kelengkapan informasi medis tidak lengkap namun akurat sejumlah 8 (27,59%), dan dokumen rekam medis dengan tingkat kelengkapan informasi medis tidak lengkap serta tidak akurat sejumlah 21 (72,41%).
13
4.
Terdapat hubungan antara kelengkapan informasi medis dengan keakuratan kode diagnosis pada dokumen rekam medis rawat inap di RSUD Kabupaten Karanganyar dengan nilai p = 0,012.
Saran 1.
Bagi tenaga medis (dokter dan perawat ) agar dilakukan evaluasi secara berkala agar melengkapi dokumen rekam medis mengingat pentingnya kelengkapan informasi yang dapat digunakan oleh berbagai pihak.
2.
Dalam pemberian kode diagnosis sebaiknya coder menggunakan buku ICD10 baik volume 3 dan volume 1, tidak dengan mengulang kode yang selama ini telah ada dalam dokumen rekam medis agar didapatkan kode yang tepat berdasarkan ICD-10.
3.
Sebaiknya coder berkomunikasi dengan dokter sebelum mengkode diagnosis jika coder kesulitan membaca diagnosis dan informasi dalam dokumen rekam medis tidak lengkap agar kode yang dihasilkan akurat.
4.
Pihak manajemen sebaiknya membuat kebijakan dengan cara menempelkan protap atau tata kerja tentang pemberian kode diagnosis di ruang rekam medis agar coder selalu melihat protap tersebut sehingga dapat melakukan pengkodean sesuai langkah-langkah yang tertulis dalam protap.
14
DAFTAR PUSTAKA Arief TQ, M. 2009. Pengantar Metodologi Penelitian Untuk Ilmu Kesehatan. Edisi ke-2. Surakarta : LPP UNS dan UNS Press. Hal: 54-76 Anggraini, M. 2004. Morbidity ICD-10 Volume 2. In : Training of Trainers (TOT) ICD-10. PORMIKI. (Tidak dipublikasikan). Yogyakarta. hal : 1-3 Astuti RD, Riyoko, Lena D. 2007. Tinjauan Akurasi Kode Diagnosis Utama Pasien Rawat Inap Berdasarkan ICD-10 Bangsal Dahlia Di RSUD Sukoharjo Triwulan IV Tahun 2007. Jurnal Rekam medis ISSN:1979-9551 Vol 2 No 1 (Maret 2008) DepKes, RI. 2006. Pedoman Pengelolaan Rekam Medis Rumah Sakit Di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Hatta, G. 2010. Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta: UI-Press Kasim, F. 2011. Sistem Klasifikasi Utama Morbiditas dan Mortalitas. Dalam Hatta, G, Editor. Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta: UI Press Murti, B. 2006. Desain dan Ukuran Sampel Untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di bidang kesehatan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Notoatmodjo ,S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta PerMenKes RI. Nomor 269/MenKes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis. Jakarta Rohman H, Hariyono W, Rosyidah. 2011. Kebijakan Pengisian Diagnosis Utama Dan Keakuratan Kode Diagnosis Pada Rekam Medis Di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Jurnal Kesmas UAD ISSN.1978-0575 Vol 5 No 2 (Juni 2011) Rustiyanto, E. 2009. Etika Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sugiarsi S, Ninawati. 2013. Pengaruh Beban Kerja Coder dan Ketepatan Terminologi Medis Terhadap Keakuratan Kode Diagnosis Utama Penyakit. Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia ISSN:2337585X Vol 2 No 1 (Oktober 2013) Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : ALFABETA
15