ARSITEKTUR DUNIA KETIGA Tri Harso Karyono Harian Sinar Harapan, 27 April 2002 What can we do? We can do much! We can inject the voice of reason into world's affairs. We can mobilize all the spiritual, all the moral, all the political strength of Asia and Africa on the side of peace. Yes, we! We, the peoples of Asia and Africa, 1,400,000,000 strong, far more than half the human population of the world, we can mobilize what I have called the 'Moral Violence of Nations' in favour of peace. (Harris, N, 1990, The End of the Third World)
Gambar 1.1.. Bung Karno berpidato di salah satu acara kenegaraan Sumber: http://www.hadud.cz.cc/gmni_jatim/sukarno_speech.jpg
Gelegar pidato Bung Karno pada pembukaan Konferensi Asia Afrika I di Bandung, 18 April 1955 di atas mengawali munculnya dunia baru: Dunia Ketiga. Dunia yang secara fisik satu, sejak saat itu secara politis terbagi tiga: dunia pertama, kedua, dan ketiga. Disadari atau tidak, seluruh negara peserta Konferensi secara otomatis kemudian menjadi anggota kelompok dunia yang terakhir, dunia ketiga. Istilah dunia ketiga mulanya hanya sekadar merujuk pada pengertian politis, yakni sekelompok negara yang tidak terkategorikan sebagai blok barat (kapitalis) maupun blok timur (sosialis). Kelompok ketiga ini biasa disebut nonblok, sebagai indikasi tidak tergolong ke dalam blok barat maupun timur. Ciri mula yang bersifat penggolongan aliran politik ternyata kemudian memberikan indikasi-indikasi lain menyangkut perbedaan tingkat ekonomi, tingkat ilmu pengetahuan, tingkat teknologi, tingkat pendidikan, tingkat kesejahteraan sosial masyarakat, tingkat
1
penegakan hukum, tingkat peradaban dan sebagainya. Dunia pertama adalah kategori di muka sementara dunia ketiga berada di belakang.
Sumber: http://www.nationsonline.org/bilder/third_world_map.jpg Gambar 1.2. Peta Dunia secara politis: Dunia Pertama, Kedua dan Ketiga
Pengaruh, atau lebih tegasnya 'penjajahan' dunia pertama terhadap dunia ketiga tidak selesai ketika satu persatu negara-negara dunia ketiga tersebut lepas dari tangan negara penjajah yang notabene adalah negara dunia pertama, tidak juga selesai ketika Bung Karno secara berapi-api menyatakan bangsa Asia Afrika adalah bangsa yang kuat dengan jumlah melebihi separuh penduduk dunia. Penjajahan politik secara formal selesai namun penjajahan secara informal masih berjalan hingga saat ini, dan secara langsung atau tidak langsung merambah pada penjajahan sektor kehidupan lain: ekonomi, teknologi, budaya dan lainnya. Arsitektur Dunia Ketiga Arsitektur-pun tidak mau ketinggalan untuk dijajah. Bangunan-bangunan modern di negara dunia ketiga dalam banyak hal merupakan adopsi dari pemikiran para arsitek dunia pertama. Konsep rancangan, teknologi membangun, material bangunan, standar ruang, standar kenyamanan, hingga pada 'wujud' luar - estetika banyak meniru dunia pertama. Karakter budaya setempat, kondisi iklim lokal terabaikan. Segala sesuatu yang menyerupai atau berasal dari dunia pertama seolah sah yang terbaik dan menjadi panutan negara dunia ketiga. Sejumlah standar kenyamanan bangunan, seperti ISO, ASHRAE, dan lainnya yang dikembangkan di negara dunia pertama yang
2
seharusnya diperuntukan bagi manusia di negara tersebut, 'secara resmi' dijadikan acuan kenyamanan di Indonesia. Akibatnya bukan saja karyawan yang bekerja di bangunan tersebut menjadi kedinginan karena standar tersebut terlampau rendah bagi manusia Indonesia, namun juga berkonsekuensi terhadap pemborosan energi untuk keperluan mesin AC. Berbagai standar yang berasal dari dunia pertama digunakan secara apa adanya dengan membayar licence yang tidak murah. Berbagai standar ISO laris dipasarkan di Indonesia sementara di negara asalnya tidak banyak digunakan. Standar ISO-7730 untuk kenyamanan - yang belum digunakan di Indonesia – belum lama berselang digugat kembali keberlakuannya melalui seminar internasional kenyamanan termal beberapa waktu lalu di Windsor, Inggris. Penampilan fisik negara dunia pertama banyak dipanut dijadikan model. Manusia tropis Indonesia latah menggunakan pakaian tebal, sweeter, jas, jaket dan sebagainya agar berpenampilan mirip dengan rekannya di dunia pertama yang beriklim dingin. Agar tidak berkeringat, suhu dalam ruang yang ber-AC diturunkan ke titik rendah, menyedot energi listrik lebih banyak lagi. Bangunan tinggi menggunakan dinding luar kaca tanpa penghalang sinar matahari pada sisi-sisi yang berhadapan langsung dengan matahari, seperti barat dan timur, mengakumulasikan panas di dalam bangunan akibat efek rumah kaca. Mesin pendingin (AC) perlu bekerja dengan kapasitas maksimum untuk 'membuang' panas yang terakumulasi ini sehingga diperlukan energi listrik ekstra. Bangunan pencakar langit dibangun tanpa memikirkan konsekuensi tidak terjangkau satuan pemadam kebakaran jika terjadi kebakaran di lantai bagian atas. Standar parkir bangunan kantor di DKI 60 meter persegi lantai per mobil menciptakan bangunan-bangunan parkir yang membebani ruas jalan raya di mukanya.
Gambar 1.3. Kawasan sekitar Roxi, Jakarta Barat: Tipikal kota dunia ketiga, dengan sungai yang kotor, permukiman kumuh yang dilatarbelakangi gedung-gedung tinggii Sumber: Tri H. Karyono
3
Kota dunia ketiga dirancang dengan konsep kota dunia pertama, Amerika terutama, prioritas utama diberikan kepada pengguna kendaraan pribadi. Jalan-jalan lebar, gedunggedung pencakar langit, pedestrian yang sempit dan tidak terlindung dari cuaca bagi pejalan kaki. Mayoritas masyarakat yang berpenghasilan rendah dan menggunakan angkutan umum kota atau berjalan kaki diabaikan. Pemandangan manusia berlari kocar-kacir saat hujan lebat di kawasan pusat kota merupakan adegan biasa yang seolah tidak perlu dipecahkan oleh perancang atau penguasa kota. Kota tidak dirancang dengan titik tolak permasalahan setempat namun dirancang agar mirip secara 'visual' dengan kota-kota negara dunia pertama yang dianggap maju, menciptakan banyak persoalan baru yang tidak pernah dipikirkan solusinya. Kemacetan, pemborosan bahan bakar minyak, polusi udara, masalah perparkiran, dan sebagainya muncul. Kebutuhan utama kota semacam air bersih, angkutan umum kota, sarana olah raga dan rekreasi murah, dan lainnya justru terabaikan. Penguasa dan perancang kota lebih mengutamakan pelayanan bagi yang berpunya. Sengaja atau tidak, kota dirancang tanpa memikirkan segi kenyamanan pejalan kaki dan pengguna angkutan umum. Pelayanan minim terhadap mayoritas warga yang berpenghasilan rendah akan memicu peningkatan tindak kriminal dalam kota.
Gambar 1.4. Bandung, Simpang Dago: Tipikal pusat kota Dunia Ketiga; Kendaraan bermotor mendominasi jalan, kemacetan dan kesemrawutan selalu terjadi Sumber: Tri H. Karyono
Penjajahan terhadap Dunia Ketiga Dalam buku klasiknya The End of The Third World, Profesor Nigel Harris - akhli ekonomi pembangunan negara dunia ketiga, menyatakan bahwa era dunia ketiga sudah selesai. Harris mengisyaratkan bahwa dunia ketiga sudah bangkit dan tidak pantas lagi disebut sebagai dunia ketiga. Sayangnya Harris mengambil contoh kasus Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Singapore di mana keempat negara tersebut memang tidak layak lagi menyandang predikat dunia ketiga yang serba terbelakang. Namun bagaimana dengan
4
negara dunia ketiga lain yang ternyata masih belum beranjak dari tempatnya semula seperti halnya Indonesia? Setelah sekian tahun sejak Bung Karno mendengungkan pidatonya dalam Konferensi Asia Afrika I bahwa kita bangsa yang kuat, ternyata kita masih sangat lemah. Dari sisi fisik ada beberapa kemajuan namun dari sisi moral, sisi kebanggaan terhadap bangsa dan kebanggaan terhadap budaya sendiri sudah jatuh jauh ke jurang yang dalam. Mengekor nilai-nilai yang ada di negara dunia pertama mengakibatkan pelonjakkan tingkat ketergantungan ekonomi dan teknologi terhadap negara tersebut. Keinginan untuk 'mirip' secara visual dengan apa yang ada di negara dunia pertama di satu pihak memunculkan ketergantungan baru, di lain pihak menimbulkan persoalan-persoalan baru yang tidak terbayangkan solusinya. Arsitektur-pun, yang semestinya dapat bercorak lokal Indonesia karena mewadahi aktifitas khas lokal Indonesia akhirnya mengadop arsitektur dunia pertama. Arsitektur dunia ketiga yang semestinya mewadahi dan menjawab masalah-masalah ekonomi, teknologi, dan budaya masyarakat dunia ketiga akhirnya dipaksa secara visual 'mirip' dengan arsitektur dunia pertama yang dirancang untuk menjawab kebutuhankebutuhan manusia dunia pertama. Setelah sekian tahun Bung Karno mengumandangkan pidatonya bahwa kita bangsa yang kuat, ternyata sampai saat ini 'we are not strong enough'. Hingga arsitekturnyapun tidak cukup kuat melahirkan bentuk dan ruang khas yang mampu mengakomodir keberlangsungan hidup serta penyelenggaraan aktifitas manusia Indonesia di dalam konteks iklim dan budaya Indonesia yang khas pula. Sumber Bacaan Harris, N (1987,The End of the Third World, Ivan R. Dee, Publisher, Amsterdam, 1987
5