TINJAUAN PUSTAKA
ARMD (Age-Related Macular Degeneration) Erry Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem & Kebijakan Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, Indonesia
ABSTRAK ARMD (Age-Related Macular Degeneration) merupakan suatu kelainan degeneratif yang mengenai polus posterior retina khususnya makula lutea, yang ditandai dengan adanya drusen, biasanya tanpa keluhan bila belum mengenai makula bagian sentral. ARMD terdiri dari 2 tipe yaitu: non-neovaskuler (tipe kering) dan neovaskuler (tipe basah); perbedaan ini berdasarkan penanganan dan prognosis tajam penglihatan. Penyebab ARMD belum diketahui pasti; sering dihubungkan dengan berbagai faktor risiko, seperti usia, jenis kelamin, ras, riwayat keluarga ARMD, merokok, pajanan sinar matahari, faktor kardiovaskuler, tekanan darah, kolesterol, body mass index, dan nutrisi. Kata kunci: ARMD, patofisiologi, faktor risiko, diagnosis
ABSTRACT ARMD (Age-Related Macular Degeneration) is a degenerative disorder involving posterior pole of retina, especially macula lutea, characterized by the presence of drusen, usually asymptomatic if the cental of macula is preserved. ARMD consists of 2 types: non-neovascular (dry type) and neovacular (wet type); this difference is made based on the treatment and the prognosis of visual acuity. The cause is not clearly defined; it is often related to various risk factors such as age, sex, race, family history of ARMD, smoking, exposure to sunlight, cardiovascular factors, blood pressure, cholesterol, body mass index, and nutrition. Erry. Age-Related Macular Degeneration. Key words: ARMD, patophysiology, risk factors, diagnosis
PENDAHULUAN Membaiknya sistem pelayanan kesehatan disertai pesatnya kemajuan bidang kedokteran meningkatkan usia harapan hidup (di Indonesia tahun 2004: perempuan 68 tahun, laki-laki 63,8 tahun).1 Di sisi lain akan muncul berbagai penyakit degeneratif antara lain yang mengganggu tajam penglihatan seperti ARMD (Age-Related Macular Degeneration). ARMD menye-rang makula, yang dapat menyebabkan kebu-taan; upaya pengobatan, laser, dan operasi tidak dapat menjanjikan tajam penglihatan yang lebih baik. Saat ini ARMD merupakan masalah sosial di negara-negara barat. Di dunia, penderita ARMD diperkirakan telah mencapai 20-25 juta jiwa yang akan bertambah tiga kali lipat akibat peningkatan usia lanjut dalam waktu 3040 tahun mendatang. Pada tahun 2003, WHO memperkirakan 8 juta orang akan mengalami kebutaan akibat ARMD.2 Dampak psikososial akibat ARMD cukup besar karena penderita akan mengalami gangguan penglihatan sentral sehingga sulit melakukan aktivitas resolusi tinggi, seperti membaca, menjahit,
CDK-194/ vol. 39 no. 6, th. 2012
CDK-194_vol39_no6_th2012 ok.indd 431
mengemudi, dan mengenali wajah.3 Selain itu, penanganannya juga membutuhkan biaya tinggi dan sering hasilnya tidak dapat diprediksi. Berikut akan dibahas anatomi, definisi, patofisiologi, klasifikasi, keluhan, faktor risiko, diagnosis, penanganan, dan pendidikan rehabilitasi ARMD. Anatomi Makula Makula terletak di retina bagian polus posterior di anta-
ra arteri retina temporal superior dan inferior dengan diameter ± 5,5 mm. Makula adalah suatu daerah cekungan di sentral berukuran 1,5 mm; kira-kira sama dengan diameter diskus; secara anatomis disebut juga dengan fovea. 4,5 Secara histologis, makula terdiri dari 5 lapisan, yaitu membran limitan interna, lapisan fleksiformis luar (lapisan ini lebih tebal dan padat di daerah makula karena akson sel batang dan
Gambar 1 Istilah klinis untuk daerah polus posterior dan hubungannya dengan istilah anatomis serta ukurannya4
431 6/8/2012 2:33:49 PM
TINJAUAN PUSTAKA Tanda awal ARMD berupa drusen kekuningan yang terletak di lapisan retina luar di polus posterior.8-11 Drusen ini ukurannya bervariasi; dapat diperkirakan dengan membandingkannya dengan kaliber vena besar di sekitar papil (± 125 mikron). Menurut ukurannya, drusen dapat dibagi dalam bentuk kecil: <64 mikron, sedang: 64-125 mikron, dan besar: >125 mikron.3 Sedangkan menurut bentuknya, dibagi menjadi drusen keras: berukuran kecil dengan batas tegas dan drusen lunak: berukuran lebih besar dengan batas kurang tegas.2,3,8-11 PATOFISIOLOGI Patofisiologi ARMD belum diketahui pasti, ada teori yang mengaitkannya dengan proses penuaan dan teori kerusakan oksidatif.12 Gambar 2 Lapisan makula secara skematik Sumber: Johnson RN, Schatz H, McDonald HR, Ai E. Fluorescein angiography: basic principles and interpretation. In: Ryan SJ, Schachat, penyunting. Medical retina. Edisi ke-3. Volume 2. Singapore: Mosby; 2001:893
sel kerucut menjadi lebih oblik saat meninggalkan fovea dan dikenal sebagai lapisan serabut Henle), lapisan nukleus luar, membran limitan eksterna, dan sel-sel fotoreseptor.6 Sel batang dan kerucut merupakan sel fotoreseptor yang sensitif terhadap cahaya. Selsel ini memiliki 2 segmen yaitu segmen luar dan segmen dalam.7 Segmen luar (terdiri dari membran cakram yang berisi pigmen penglihatan) berhubungan dengan epitel pigmen retina. Sel epitel pigmen retina akan memfagositosis secara terus menerus membran cakram, sisa metabolisme segmen luar yang telah difagositosis oleh epitel pigmen retina disebut lipofusin.4,6,7
Sel epitel pigmen retina memiliki aktivitas metabolisme yang tinggi; dengan bertambahnya usia, pigmen lipofusin makin bertambah, akibatnya akan mengganggu pergerakan nutrien dari pembuluh darah koroid ke epitel pigmen retina dan sel fotoreseptor.4-7 DEFINISI ARMD merupakan degenerasi makula yang timbul pada usia lebih dari 50 tahun; ditandai dengan lesi makula berupa drusen, hiperpigmentasi atau hipopigmentasi yang berhubungan dengan drusen pada kedua mata, neovaskularisasi koroid, perdarahan sub-retina, dan lepasnya epitel pigmen retina. 8-11
Gambar 3 Diagram fagositosis segmen luar sel fotoreseptor oleh mikrofili EPR Sumber: Kincaid MC, Green WR. Anatomy of the vitreous, retina, and choroid. Dalam: Regillo CD, Brown GC, Flynn HW, penyunting. Vitreoretinal disease the essentials. New York: Rhieme Medical Publisher; 1999:29
432 CDK-194_vol39_no6_th2012 ok.indd 432
1. Proses penuaan Bertambahnya usia maka akan menyebabkan degenerasi lapisan retina tepatnya membran Bruch; degenerasi membran Bruch menyebabkan lapisan elastin berkurang sehingga terjadi penurunan permeabilitas terhadap sisa-sisa pembuangan sel. Akibatnya terjadi penimbunan di dalam epitel pigmen retina (EPR) berupa lipofusin.13,14 Lipofusin ini akan menghambat degradasi makromolekul seperti protein dan lemak, mempengaruhi keseimbangan vascular endothelial growth factor (VEGF), serta bersifat fotoreaktif, akibatnya akan terjadi apoptosis EPR. Lipofusin yang tertimbun di dalam sel EPR menurunkan kemampuan EPR untuk memfagosit membran cakram sel fotoreseptor.14,15 Lipofusin yang tertimbun di antara sitoplasma dan membran basalis sel EPR, akan membentuk deposit laminar basal yang akan menyebabkan penebalan membran Bruch. Kerusakan membran Bruch juga akan menimbulkan neovaskularisasi koroid.11,14,15 2. Teori kerusakan oksidatif Sel fotoreseptor paling banyak terkena pajanan cahaya dan menggunakan oksigen sebagai energi, kedua faktor tersebut akan menyebabkan terbentuknya radikal bebas. Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan, yang bersifat sangat reaktif dan tidak stabil. Bila produksi radikal bebas berlebihan dan anti-oksidan yang ada tidak mampu meredamnya, akan timbul suatu keadaan stres oksidatif yang selanjutnya akan memicu kerusakan oksidatif tingkat selular.10,17
CDK-194/ vol. 39 no. 6, th. 2012
6/8/2012 2:33:50 PM
TINJAUAN PUSTAKA Kerusakan oksidatif retina dapat terjadi karena terbentuknya reactive oxygen species (ROS) oleh oksidasi di mitokondria. Makula sangat rentan terhadap kerusakan oksidatif karena banyaknya sel fotoreseptor yang bagian dalamnya sangat banyak mengandung mitokondria sedangkan bagian luarnya banyak mengandung asam lemak tidak jenuh ganda sehingga dapat membocorkan ROS. Oksigenasi yang tinggi di koroid mempermudah kerusakan oksidatif. Selain itu, terpajannya makula dengan sinar ultraviolet juga akan menimbulkan proses oksidatif. Sel EPR yang mengalami kerusakan oksidatif ini akan menghasilkan vascular endothelial growth factor (VEGF) sehingga akan memicu terjadinya choroidal neovascularization (CNV).10,19 KLASIFIKASI ARMD terdiri dari 2 bentuk klinis yaitu: ARMD non-neovaskuler (non-eksudatif ) atau dikenal dengan tipe kering dan ARMD neovaskuler (eksudatif ) atau tipe basah.3,8,9,16 Bentuk nonneovaskuler lebih sering ditemui dan merupakan 90% kasus ARMD.16,18,20 Bentuk neovaskuler hanya ditemui <10%,18 akan tetapi 85% menyebabkan gangguan penglihatan berat.9,21
ARMD neovaskuler (tipe basah) ditandai dengan adanya choroidal neovascularization (CNV), sel endotel CNV ini mudah bocor sehingga mudah pecah. Kerusakan membran Bruch menyebabkan pembuluh darah neovaskularisasi yang berasal dari kapiler koroid akan menembusnya, dan berproliferasi di antara membran Bruch dan sel epitel pigmen retina (EPR). Pembuluh darah neovaskuler ini disertai jaringan fibroblas, miofibroblas, limfosit dan makrofag membentuk kompleks fibrovaskuler yang dapat mengganggu dan merusak membran Bruch, kapiler koroid, serta EPR.8,9,15,23 Secara klinis dapat terlihat EPR terangkat berbentuk kubah dengan batas tegas, perdarahan subretina masif, pendarahan vitreus, robekan EPR dan sikatrik makula disiformis. Apabila prosesnya hanya sampai perdarahan subretina maka akan membentuk sikatrik makula disiformis. Akan tetapi sikatrik ini dapat terus berproliferasi dan dapat menimbulkan transudasi masif cairan subretina, yang dapat mengakibatkan terlepasnya retina (ablasio retina). 8,9,15,23
Gambar 5 Foto fundus ARMD neovaskuler15
Gambar 4 Foto fundus ARMD geografikan11
ARMD non-neovaskuler (tipe kering) terlihat sebagai atrofi retina geografik berupa hipopigmentasi atau depigmentasi akibat atrofi sel Epitel Pigmen Retina (EPR) sehingga pembuluh darah koroid di bawahnya dapat terlihat serta lapisan retina di atasnya tampak menipis. Atrofi sel EPR dapat mengakibatkan atrofi sel fotoreseptor yang berada di atasnya, sehingga menimbulkan gangguan penglihatan. 8,9,11,22
CDK-194/ vol. 39 no. 6, th. 2012
CDK-194_vol39_no6_th2012 ok.indd 433
KELUHAN/GEJALA Awalnya ARMD sangat jarang menyebabkan keluhan. Keluhan baru dirasakan apabila telah terjadi neovaskularisasi koroid (choroidal neovascularization, CNV) atau drusen lunak di sentral makula yang menyebabkan gangguan lapang pandang sentral, penurunan tajam penglihatan sehingga sulit melakukan pekerjaan yang membutuhkan resolusi tinggi seperti membaca, menjahit, mengemudi, membedakan warna dan mengenali wajah.3 Hal ini sangat mempengaruhi kualitas hidup penderita sehingga akan menimbulkan gangguan emosional dan depresi.
FAKTOR RISIKO 1. Usia Makin tinggi usia, makin besar risiko menderita ARMD. Framingham Eye Study menunjukkan risiko ARMD 28% pada usia 75-85 tahun dibandingkan hanya 11% pada usia 64-74 tahun.21 Meskipun demikian, tidak setiap orang tua akan mendapatkan ARMD.16,10,20,22 2. Jenis kelamin Penelitian Beaver Dam Eye Study dan Framingham Eye Study menyimpulkan bahwa wanita lebih berrisiko menderita ARMD dibandingkan pria; wanita berusia lebih dari 75 tahun 2,2 kali lebih berisiko dibandingkan dengan pria pada kelompok usia sama.10,20,21,22 3. Faktor herediter Penelitian Gass dkk. menunjukkan 10%-20% penderita ARMD mempunyai riwayat keluarga berupa hilangnya penglihatan sentral. Beberapa laporan kasus juga menunjukkan adanya hubungan dengan ibu atau saudara kandung yang menderita ARMD.22 4. Ras Kejadian ARMD eksudatif lima kali lebih sering di kalangan kulit putih dibandingkan dengan di kalangan kulit hitam.24 Juga ada perbedaan kehilangan tajam penglihatan pada penderita kulit hitam dengan kulit putih. Baltimore Eye Survey menemukan 30% kebutaan bilateral terjadi pada kulit putih, sedangkan pada kulit hitam tidak ditemui (0%).21 5. Keadaan bola mata Iris, bagian mata yang banyak mengandung melanin dapat melindungi retina dari kerusakan oksidatif akibat pajanan sinar ultraviolet.18,21 Prevalensi ARMD non-neovaskuler dan ARMD neovaskuler ternyata secara bermakna lebih banyak ditemukan pada orang yang warna irisnya terang.25 Penderita hipermetropia (hiperopia) juga berrisiko ARMD, karena penderita hiperopia mempunyai rigiditas sklera yang tinggi sehingga menghambat aliran darah.26 Hiperopia lebih dari 0,75 D dipertimbangkan sebagai risiko ARMD.22 Diduga ada hubungan lemah antara hiperopia dan ARMD awal, tidak pada ARMD yang lanjut.21 Banyak ahli menduga bahwa ekstraksi katarak dapat meningkatkan risiko ARMD, sebab lensa yang keruh dapat menghambat kerusakan retina dari cahaya ultraviolet; reaksi inflamasi pasca-bedah juga dapat mempercepat pro-
433 6/8/2012 2:33:50 PM
TINJAUAN PUSTAKA gresivitas ARMD.10,21 Pada penderita afakia, risiko ARMD dua kali lebih besar dibandingkan penderita pseudofakia.21 6. Merokok Penelitian prospektif Nurses Health Study menyimpulkan adanya hubungan antara kebiasaan merokok dan risiko relatif ARMD. Perempuan yang merokok 25 batang per hari atau lebih dan perempuan yang telah berhenti merokok memiliki risiko relatif ARMD yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan yang tidak pernah merokok.9,11,21 Selain itu, Physicians Health Study menemukan bahwa laki-laki yang merokok lebih dari 20 batang per hari mempunyai risiko ARMD 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak merokok, selama 12 tahun pemantauan.27 7. Pajanan sinar matahari Epitel pigmen retina dapat rusak apabila terpajan sinar matahari berlebihan, tetapi beberapa penelitian sebelumnya melaporkan tidak ada hubungan antara pajanan sinar matahari dengan kejadian ARMD.18,21,22 Mata akan terpajan sinar UVA, UVB, dan cahaya biru. Dikatakan ada hubungan positif dengan pajanan cahaya biru dalam waktu 20 tahun dengan kejadian ARMD lanjut (OR 1,36).21 8.
Kardiovaskuler, tekanan darah, kolesterol, dan body mass index Masih belum jelas hubungannya dengan kejadian ARMD. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ARMD neovaskuler berhubungan erat dengan tekanan diastolik tinggi (>95 mm/Hg), kadar High Density Lipoprotein (HDL) tinggi dan kadar kolesterol tinggi.10,16,18,22 Sedangkan antara diabetes dengan risiko ARMD tidak ditemukan hubungan bermakna.28 Blue Mountains Eye Study menyimpulkan risiko ARMD geografikan akan meningkat 16% untuk setiap kenaikan 10 mg/dL kolesterol total dan turun 10% setiap kenaikan 2 mg/dL kolesterol HDL.10,16,18,22 Menopause dan diabetes meningkatkan risiko ARMD geografikan.27 Penderita dengan body mass index besar akan menurun aktivitas fisiknya sehingga berhubungan dengan risiko tinggi ARMD neovaskuler, dan tidak pada atrofi geografikan.26 9. Genetika ARMD akan lebih sering pada mereka yang orang tuanya penderita ARMD.10,18,21 Diduga kelainan gen penyakit Stargat, yaitu gen ABCR yang terletak pada kromosom 13q dan
434 CDK-194_vol39_no6_th2012 ok.indd 434
6q, sama dengan kelainan gen penyebab ARMD.29 10. Nutrisi Mikronutrien diduga ikut berperan dalam terjadinya maupun progresivitas ARMD. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya kadar mikronutrien tertentu yang lebih rendah pada penderita ARMD dibandingkan dengan bukan ARMD.10,18,22 Seddon dkk. menyimpulkan bahwa diet tinggi karotenoid dapat menurunkan risiko ARMD neovaskuler sampai 43% dibandingkan kelompok kontrol. Hanya betakarotene dan lutein/zeaxanthin yang mempunyai hubungan paling bermakna.30,31
toma sentral. Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk pemantauan oleh penderita sendiri sehingga tindakan dapat dilakukan secepatnya.5
Penelitian Eye Disease Case Control Study (EDCCS) juga menyebutkan bahwa risiko ARMD neovaskuler akan turun sampai 70% bila kadar lutein plasma ≥0,67 μmol/L dibandingkan dengan kadar lutein plasma ≤0,25 μmol/L.32 Lutein Antioxidant Supplementation Trial (LAST) melakukan penelitian tahun 2004 pada 90 orang penderita ARMD atrofikan berusia rerata 74,7 tahun selama 1 tahun dengan pemberian 10 mg lutein non-ester dan kombinasi lutein non-ester 10 mg dengan anti-oksidan dan vitamin lain. Terlihat peningkatan densitas pigmen makula, perbaikan tajam penglihatan sebanyak 5,4 huruf pada kartu Snellen, perbaikan sensitivitas kontras, dan skotoma. Sedangkan pada kelompok kontol (plasebo) tidak terdapat perbaikan.33 DIAGNOSIS Selain pemeriksaan klinis melihat gambaran fundus, pemeriksaan lain adalah dengan kartu Amsler (Amsler grid), foto fundus dengan fundus fluorescein angiography (FFA), indocyanine green angiography (ICGA) dan optical coherence tomography (OCT).5,8,9,15
Gambar 6 A. Amsler normal, B. Amsler dengan skotoma dan metamorfopsia3
3. Fundus fluorescein angiography (FFA) Pemeriksaan FFA merupakan gold standard bila dicurigai CNV. Gambaran FFA dapat menentukan tipe lesi, ukuran dan lokasi CNV, sehingga dapat direncanakan tindakan selanjutnya. FFA juga digunakan sebagai penuntun pada tindakan laser dan sebagai pemantauan dalam menentukan adanya CNV yang menetap atau berulang setelah tindakan laser.15,16,34
1. Funduskopi Pada pemeriksaan funduskopi dengan oftalmoskop direk atau indirek akan terlihat di daerah makula berupa drusen, kelainan epitel pigmen retina seperti hiperpigmentasi atau hipopigmentasi yang berhubungan dengan drusen pada kedua mata, neovaskularisasi koroid, perdarahan sub-retina, dan lepasnya epitel pigmen retina.8-11 2. Kartu Amsler Pada awal ARMD neovaskular dapat terlihat distorsi garis lurus (metamorfopsia) dan sko-
Gambar 7 FFA tipe okult dan klasik15
CDK-194/ vol. 39 no. 6, th. 2012
6/8/2012 2:33:51 PM
TINJAUAN PUSTAKA Dari gambaran FFA, dapat ditentukan beberapa tipe lesi, yaitu (a) CNV Klasik: gambaran hiperfloresin berbatas tegas pada fase pengisian awal arteri, dan pada fase lambat tampak kebocoran fluoresin sehingga batasnya menjadi kabur, (b) CNV Tersamar (Occult): pada fase lambat terlihat gambaran hiperfloresin granular dengan batas tidak tegas, (c) Predominan klasik: lesi klasik lebih dari 50% dibandingkan dengan tipe tersamar, dan (d) Minimal klasik: lesi klasik kurang dari 50% dibandingkan dengan tipe tersamar.15,34,35 4. Indocyanine green angiography (ICGA) ICGA sangat lambat mengisi kapiler koroid sehingga struktur koroid dapat terlihat lebih detail. Hal ini memberi gambaran yang baik pada kelainan koroid dan menghilangkan blokade yang terjadi pada FFA, sehingga sering digunakan dalam diagnosa CNV tersamar.15,23,34 5. Optical coherence tomography (OCT) Teknik imaging dengan potongan sagital dua dimensi resolusi tinggi dapat memperlihatkan gambaran perubahan setiap lapisan retina.8 Dapat menilai secara kuantitatif ketebalan makula, akan tetapi masih perlu evaluasi manfaatnya dalam menentukan CNV.9 PENANGANAN Tujuan pengobatan ARMD neovaskuler adalah untuk mempertahankan tajam penglihatan yang ada dan menurunkan risiko penurunan tajam penglihatan yang lebih berat.9,15,16 Tindakan laser bertujuan untuk merusak CNV tanpa menyebabkan kerusakan jaringan yang berarti. 1. Fotokoagulasi laser Laser argon hijau atau kripton merah dapat digunakan; laser kripton merah lebih sedikit diabsorpsi oleh pigmen xantofil dibandingkan laser argon hijau, sehingga memungkinkan dilakukan lebih dekat dengan daerah sentral fovea. Besarnya spot adalah 100-200 μm dengan durasi 0,1-0,5 detik. 9,15,16 Menurut Macular Photocoagulation Study (MPS) penderita yang akan menjalani laser dibagi dalam 3 kelompok: 1. CNV ekstra-fovea: laser akan sangat efektif karena tidak mempengaruhi tajam penglihatan. 2. CNV juksta-fovea: CNV akan melebar ke daerah foveal avascular zone (FAZ) tetapi
CDK-194/ vol. 39 no. 6, th. 2012
CDK-194_vol39_no6_th2012 ok.indd 435
jarang sampai ke daerah pusat makula. Karena risikonya cukup tinggi, terapi laser masih kontroversial. 3. CNV sub-fovea: karena CNV di sub-fovea, fotokoagulasi laser berisiko menyebabkan kehilangan tajam penglihatan permanen. Beberapa kasus jika diseleksi dengan benar dapat juga diterapi bila ukurannya kecil dan penderita disiapkan untuk risiko penurunan tajam penglihatan sesudah terapi.9,15,16 2. Photodynamic therapy ( PDT) PDT adalah teknik pengobatan mengaktifkan zat verteporfin menggunakan sinar laser (fotosensitizer). Terapi ini tidak merusak EPR, fotoreseptor, dan koroid karena laser yang digunakan tidak menimbulkan panas dan zat aktif hanya bekerja pada jaringan CNV. Hal ini karena vertoporfin berikatan dengan low density lipoprotein (LDL) yang banyak terdapat pada sel endotel pembuluh darah yang sedang berproliferasi.23 PDT merupakan pilihan terapi CNV sub-fovea tipe klasik dan predominan klasik.15,34 Terapi ini dapat diulang setiap 3 bulan bila masih terlihat kebocoran. Hindari pajanan matahari secara langsung selama 24-48 jam setelah injeksi vertoporfin.23 3. Transpupillary thermotherapy (TTT) TTT merupakan terapi iradiasi rendah dengan sinar laser inframerah (810 nm) sehingga panas yang dihasilkan tidak merusak jaringan dan dapat digunakan pada CNV subfovea dengan lesi okult.36,37
treal, yang dikatakan dapat menstabilkan visus atau meningkatkan tajam penglihatan secara temporer.38,39 Sering pula anti-angiogenesis dikombinasikan dengan anti-inflamasi (dexamethasone) intravitreal dan dapat pula dikombinasikan setelah PDT. 5. Radiasi Beberapa penelitian kecil mengungkapkan terapi radiasi dapat menstabilkan ARMD eksudatif atau meregresi CNV.40 Radiasi okuler dengan sinar proton dosis rendah <20 gray dalam 200 centigray relatif aman dilakukan pada CNV subfovea.41 6.
Pembedahan
a. Translokasi makula Merupakan pengobatan yang menjanjikan, karena dapat memperbaiki tajam penglihatan sampai tingkat dapat membaca dan mengendarai mobil. Meskipun demikian tindakan ini juga mengandung risiko.42 Translokasi makula merupakan suatu tindakan pembedahan memindahkan neurosensoris retina fovea dari daerah neovaskularisasi subfovea ke daerah EPR membran Bruch kompleks koriokapilaris yang masih sehat sehingga CNV dapat diterapi dengan fotokoagulasi laser. Pemindahan ini bertujuan untuk mempertahankan fungsi sel fotoreseptor.23,40,42,43 Tindakan ini dapat dilakukan apabila visusnya relatif masih baik, perdarahannya belum terlalu lama, dan sebelumnya belum pernah dilakukan tindakan laser.42
TTT merupakan tantangan bagi operator untuk menentukan power yang akan digunakan karena setelah TTT tidak terlihat perubahan warna pada retina sehingga tidak diketahui apakah telah terjadi suatu oklusi atau belum.37
b. Transplantasi EPR Beberapa peneliti melakukan eksisi CNV atau pengangkatan jaringan fibrovaskuler subfovea, yang kemudian dilanjutkan dengan transplantasi EPR.23,40,44
4. Terapi anti-angiogenesis Anti-angiogenesis dapat digunakan untuk terapi CNV karena dapat menghambat vascular endothelial growth factor (VEGF) sehingga CNV menjadi regresi dan juga mencegah terbentuknya CNV baru.38
7. Pendidikan dan Rehabilitasi Pendidikan pada penderita berusia 50 tahun ke atas yang pada makulanya terdapat drusen sangat perlu, agar mereka mampu memantau sendiri penglihatan sentralnya menggunakan kartu Amsler.15
Dapat digunakan secara primer atau tambahan pada saat terapi laser.23 Saat ini anti VEGF yang sedang berkembang ialah ranibizumab, pegabtanib sodium, dan bevacizumab intravi-
Penderita gangguan penglihatan sentral permanen dapat memanfaatkan sisa penglihatannya dengan menggunakan alat bantu optik seperti lensa, teleskop, kaca pembe-
435 6/8/2012 2:33:53 PM
TINJAUAN PUSTAKA sar, kaca mikroskopis (kacamata baca positif tinggi) atau alat bantu elektronik (CCTV/ close circuit television). Selain itu, dapat digunakan alat bantu non-optik seperti buku dengan cetakan huruf besar, tiposkop, pencahayaan tambahan untuk membantu membaca dan memodifikasi lingkungan dengan pemberian warna yang kontras di dalam rumah.45
SARAN Risiko ARMD dapat diperkecil dengan menghindari faktor risiko yang dapat dicegah dan berupaya hidup sehat. Diharapkan setiap oftalmolog dapat melakukan skrining pemeriksaan fundus karena kebanyakan kasus ARMD tanpa keluhan tajam penglihatan bila belum melibatkan penglihatan sentral. Berisiko CNV
apabila dijumpai lima atau lebih drusen, terdapat satu atau lebih drusen berukuran besar, adanya hiperpigmentasi fokal dan adanya riwayat hipertensi sistemik.15 Apabila terdapat risiko CNV, penderita dididik untuk memantau sendiri penglihatannya dengan menggunakan kartu Amsler.
DAFTAR PUSTAKA 1.
BPS Susenas 2004. http:// www.datastatistik.indonesia.com.
2.
Chopdar A, Chakravarthy U. Age-related macular degeneration. BMJ. 2003;326:485-8.
3.
Bressler NM. Early detection and treatment of neovascular age-related macular degeneration. JABFP. 2002; 15:142-52.
4.
Kincaid MC, Green WR. Anatomy of the vitreous, retina, and choroid. In: Regillo CD, Brown GC, Flynn HW, editors. Vitreoretinal disease: the essentials. New York: Thieme Medical
5.
Yanoff M. Macular pathology. In: Yannuzzi LA, Gitter KA, Schatz H, editors. The macular: A comprehensive text and atlas. SA: Baltimore; 1979:3-13.
6.
Cavallerano AA. Anatomy, histology, and morphology. In: Cavallerano AA, Gutner RK, Oshinskie LJ, editors. Macular disorder and illustrated diagnostic guide. Boston: Butterworth-
7.
Liesegang TJ, Deutch TA, Grand MG.ed. In: Basic and clinical science course, fundamentals and principles of ophthalmology. Section 2.USA. The Foundation of the American Academy of
8.
Liesegang TJ, Deutch TA, Grand MG, editors. Basic and clinical science course, fundamentals and principles of ophthalmology. Section 12.USA. The Foundation of the American Academy
9.
O’Connel SR, Bressler NM. Age-related macular degeneration. In: Regillo CD, Brown GC, Flynn HW, editors. Vitreoretinal disease the essentials. New York: Thieme Medical Publisher;
Publisher;1999:11-24.
Heinemann;1997:3-8.
Ophthalmology;2001-2002:77-386.
of Ophthalmology; 2001-2002:7-70.
1999:213-40. 10. Richer SP. Prevention and medical management of age-related macular degeneration. In: Cavallerano AA, Gutner RK, Oshinskie LJ, editors. Macular disorder and illustrated diagnostic guide. Boston: Butterworth-Heinemann; 1997:245-58. 11. Sarks SM, Sarks JP. Age-related maculopathy: Non-neovascular age-related macular degeneration and the evolution of geographic atrophy. In: Ryan SJ, editors. Medical retina. Edisi ke-3. Volume 2. Singapore: Mosby;2001:1064-96. 12. Cai J, Nelson KC, Wu M, Jr Paul S. Oxidative damage and protection of the RPE. J. Progr. in Retinal and Eye Res. 2000;19:205-21. 13. Guymer R, Bird AC.Bressler NM. Age changes in Bruch membran and related structures. In: Ryan SJ, editors. Medical retina. 3rd ed. Vol. 2. Singapore: Mosby; 2001. 14. Burns LF, Burns RP, Gao CL. Age-related macular changes in humans over 90 years Old. Amer. J. Ophthalmol. 1990;109:265-8. 15. Bressler NM, Bressler SB, Fine SL. Neovascular (exudative) age-related macular degeneration. In: Ryan SJ, editors. Medical retina. 3rd ed. Vol. 2. Singapore: Mosby;2001:1100-31. 16. American Academy of Ophthalmology. Age-related macular degeneration, preferred practice pattern. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2003 (dikutip 10 Desember 2004). Tersedia dari:URL: http:// www. aao.org/aao/education library/ppp/index.cfm. 17. Frank RN, Amin RH, Puklin JE. Antioxidant enzymes in the macular retinal pigmen epithelium of eyes with neovascular age-related macular degeneration. Amer. J. Ophthalmol.1999;127:694709. 18. Evans J. Age-related macular degeneration. In: Johnson GJ, Minassian DC, Weale RA, West SK, editors. The epidemiology of eye disease. Edisi ke-2. London:Arnold;2003:356-68. 19. Bartlett H, Eperjesi F. Age-related macular degeneration and nutritional supplementation: a review of randomized controlled trials. Ophthal. Physiol.Opt.2003;23:383-99. 20. Pratt S. Dietary prevention of age related macular degeneration. J. Amer. Optometric Assoc. 1999; 70:39-47. 21. Seddon JM. Epidemiology of age-related macular degeneration. In: Ryan SJ, editors. Medical retina. Edisi ke-3. Volume 2. Singapore: Mosby;2001:1039-47. 22. Cavallerano AA. Age-related macular degeneration. In: Cavallerano AA, Gutner RK, Oshinskie LJ, editors. Macular disorder and illustrated diagnostic guide.Boston: ButtorworthHeinemann;1997:111-34. 23. Deutman A. Age-related macular degeneration. In: Boyd BF, Boyd S. editors. Retinal and vitreoretinal surgery. Panama: Highlights of ophthalmology; 2002:237-95. 24. Javitt JC, Zhou Z, Maguire MG, Fine SL. Incidence of exudative age-related macular degeneration among elderly Americans. Amer. Acad. Ophthalmol. 2003;110:1534-9. 25. Hyman LG, Grimson R, Oden N, Schachat AP, Leske MC.Age-related macular degeneration risk factor study. Invest Ophthalmol VisSci.1992;33: 801-7. 26. AREDS research group. Risk factors for incidence of advanced age-related macular degeneration in the Age-Related Eye Disease Study (AREDS). AREDS Report No.19. Am. Acad. Ophthalmol. 2005; 112:533-9. 27. Tomany SC, Wang JJ, Leeuwen RV, Klein R. Risk faktors for incident age-related macular degeneration, pooled finding from 3 continents. Amer. Acad. Ophthalmol. 2004; 111:1280-7. 28. Hyman LG, Schachat AP, He Q, Leske MC. Hypertension, cardiovascular disease and age-related macular degeneration risk factor study. Arch Ophthalmol 2000; 118: 351-8. 29. Pakasi NH, Age-related macular degeneration, genetika dan faktor risiko, In: Kumpulan makalah seminar ‘Update on age-related macular degeneration’. Malang, FK UNIBRAW; 2001:1-22. 30. Seddon JM, Ajani UA, Sperduto RD, Hiller R, Blair N, Burton TC. Dietary caratenoids, vitamins A, C, and E, and advanced age-related macular degeneration. JAMA 1994; 272:1413-20. 31. Schalch W. Lutein and zeasantin, the carotenoids of the human macular. Sight and Life Newsletter 2000; 2:3-10. 32. Moeller SM, Jacques PF, Blumberg JB. The potential role of dietary xanthopylls in cataract and age-related macular degeneration. J. Am. Coll. Nutr. 2000; 19: 522-7. 33. Richer S, Stiles W, Statkute L, Pulido J, Rudy D. Double masked, placebo-controlled, randomized trial of lutein and antioxidant suplementation in the intervention of atrophic age-related macular degeneration: the Veterans LAST study (Lutein Antioxidant Supplementation Trial). Optometry 2004; 75(4):216-30.
436 CDK-194_vol39_no6_th2012 ok.indd 436
CDK-194/ vol. 39 no. 6, th. 2012
6/8/2012 2:33:53 PM
TINJAUAN PUSTAKA 34. Amin HI, Donald HR, Johnson RN, Ai E, Schatz H. Age-related macular degeneration. In: Tasman W, Jaeger EA, editors. Duane’s Clinical Ophthalmology (CD-Rom). Baltimore:Lippincott Willians & Wilkins;2003. 35. Olsen TW, Feng X, Kasper TJ, Rath PP, Steuer ER. Fluorescein angiographic lesion type frequency in neovascular age-related macular degeneration. Ophthalmology 2004;111: 250-5. 36. Lanzetta P, Michieletto P, Pirracchio A, Bandello F. Early vascular changes induced by transpupillary thermotherapy of choroidal neovascularization. Ophthalmology 2002;109: 1098-104. 37. Reichel E, Berrocal AM, Kroll AJ, Desai V, Duker JS, Puliafito CA. Transpupillary thermotherapy of occult subfoveal chroidal neovascularization in patients with age-related macular degeneration. Ophthalmology 1999;106: 1908-14. 38. The Eyetech Study Group.Anti-vascular endothelial growth factor therapy for subfoveal choroidal neovascularization secondary to age-related macular degeneration. Phase II study result. Ophthalmology 2003;110: 979-86. 39. Jonas JB, Kreissig I, Hugger P, Sauder G, Jonas SP, Degenring R. Intravitreal riamcinolone acetonide for exudative age related macular degeneration.Br J Ophthalmol. 2003;110: 979-86. 40. Ciulia TA, Danis RP, Harris A. Age-related macular degeneration: a review of experimental treatments. Surv Ophthalmol. 1998;43:136-46. 41. Char DH, Irvine AI, Posner MD, Quivey J, Phillips TL, Kroll S. Randomized trial of radiation for Age-related macular degeneration. Am J Ophthalmol. 1999; 127:574-8. 42. Fuji GY, de Juan, Jr Eugene, Hartranft CD, Jensen PS. Limited macular translocation.In: Ryan SJ, editors. Surgical retina. 3rd ed. Vol. 3. Singapore: Mosby;2001:2580-95. 43. Lewis H, Kaiser PK, Lewis S, Estafanous M. Macular translokasi for subfoveal choroidal neovascularization in age-related macular degeneration: A prospective study. Am J Ophthalmol. 1999;128:135-46. 44. Del Priore LV, Kaplan HJ, Tezel TH, Hayashi N, Berger AS, Green WR. Retinal pigment epithelial cell transplantation after subfoveal membranctomy in age-related macular degeneration: Clinicopathologic correlation. Am J Ophthalmol. 2001;131:472-80. 45. Kraut JA. Vision rehabilitation. In: Tasman W, Jaeger EA, editors. Duane’s Clinical Ophthalmology (CD-ROM). Baltimore: Lippincott Willians & Wilkins;2003.
CDK-194/ vol. 39 no. 6, th. 2012
CDK-194_vol39_no6_th2012 ok.indd 437
437 6/8/2012 2:33:54 PM