Addplasm.com
ariff 2014 Addplasm.com
Daftar Isi Daftar Isi .............................................................................................................. i Prakata ................................................................................................................ ii Secangkir Kopi di atas panggung sandiwara ..................................... 1 Dialog dua wajah ............................................................................................ 4 Sisi lain sebuah dialog ................................................................................... 8 Segenggam kacang asin dan sepotong donat almond ................ 12 Monolog sang pemeran pengganti ....................................................... 18 Sayembara para Pemirsa ......................................................................... 23 Si gadis sang penunggang kuda ............................................................ 26 Berjalan di tempat ....................................................................................... 31 Sebuah kunci dari sang perjaka mapan ............................................. 42 Tangis sayatan tak berluka ..................................................................... 46 Sebuah tamparan dari si gadis bagi sang gadis ............................. 52 Bangunkan aku jika mentari pagi tlah hangatkan hati ............. 59 Aku bukanlah seorang sutradara ......................................................... 65 Pamitnya sang gadis dari ladang pertempuran.. ........................... 72 Fatamorgana di kota gersang ................................................................ 80 Dialog menjelang tidur…. ......................................................................... 85 Sembunyi diantara jendela-‐jendela pecah ........................................ 91 Luruhnya sebuah impian semu .............................................................. 97 Akhir sebuah pentas .................................................................................. 101
i
Prakata Secangkir Kopi dan Panggung Sandiwara adalah novel prosa yang terinspirasi dari pengelaman penulis di tempat kerja bersama 3(tiga) orang rekan kerjanya. Satu orang adalah anak buahnya, satu orang lagi adalah teman dekat yang masih dalam satu perusahaan namun berbeda ruang kerja, dan satu lagi adalah seorang mahasiswa yang sedang praktik kerja lapangan. Cerita ini ditulis sedemikan rupa sehingga hampir keseluruhan alur cerita dibungkus dalam puisi prosa hiperbolis atau segala sesuatunya terkesan dilebih-‐ lebihkan sehingga kisah non fiksi yang terkandung hampir tidak terlihat dan terbaca lagi. Meskipun demikian esensi cerita berdasarkan kisah lama diharapkan masih dapat dibaca. Pada beberapa bagian cerita ini penulis sengaja mengaburkan beberapa hal yang bersifat personal, sebagai nilai tanda tanya dari latar belakang kenapa tulisan itu muncul dalam beberapa kalimat. Namun diharapkan dengan adanya kalimat tersebut dapat menimbulkan kepenasaran akan ketidak tahuan. Terima kasih kepada seluruh rekan dan teman yang telah membantu penulisan Novel prosa ini.
ii
Dari hatiku untuk ku, 3 orang adik-‐adiku dan mimpi indah yang ada dibenak kami
Secangkir Kopi di atas panggung sandiwara Dukduklah, lupakanlah hari-‐hari pedih yang baru saja kau lalui Nikmatilah secangkir kopi hangat yang telah kau pegang itu Bersandarlah, tenangkan sejenak semua benang kusut yang selalu bergumul diatas kepalamu lihatlah kedepan, ada sebuah panggung sandiwara kecil menanti seorang tamu yang dapat mengatur dialog dan gerakan yang menjadi sebuah alur cerita para pemeran drama adalah anak-‐anak muda yang benar benar haus akan cinta. dua orang perjaka tampan dan satu orang gadis cantik yang akan beraksi untuk memperjuangkan cinta pribadi ini bukanlah cinta segitiga, bukan pula cinta berantai seperti cinta picisan yang selalu dijajakan dalam sebuah cerita rakyat saat ini “Ini adalah idealisme para pemuda untuk memperlihatkan perasaan cintanya, namun bukan cinta satu dengan yang lainnya namun cinta terhadap apa yang sedang mereka impikan” mereka hanyalah pertemanan yang sama-‐sama menanti cinta
1
teguklah air kopi itu dulu, wanginya akan menentramkam pikiranmu seorang pria, kau tau orang itu, dia memang sudah matang dan dia sedang mencari -‐ cari… seorang pria yang lain, kau tau orang itu, terlalu banyak gadis yang dirayunya namun bukan berarti dia memiliki perasaan, dia hanya sedang mencari gadis yang terbaik seorang gadis, kau masih asing dengan gadis ini, tapi kau berharap gadis itu dapat jatuh ke salah satu dari dua orang pemuda yang selalu menemaninya di panggung itu namun gadis itu sudah memiliki mimpi pula yang selalu ia tunggu dengan sabar teguklah air kopinya, hangatnya akan membuatmu terjaga kau memang seorang tamu yang ditunggu namun kau bukanlah sutradara, terkadang alur sandiwara ini selalu kau coba arahkan, dan kau menikmatinya tiga pemeran terkadang tidak nyaman ketika tanganmu mulai menggeser-‐ geser karakter yang telah mereka miliki dan mereka jiwai maaf mungkin dirimu memiliki impian cinta juga dan akhirnya cerita ini kau upayakan membuat para pemeran bahagia tidak selalu terus memimpikan apa yang diharapkan masing-‐masing.
2
tapi sudahlah skenario yang telah berjalanpun sudah membuatmu tertawa, lucu, terbahak-‐ bahak, senyum dan menangis sekarang kau biarkan mereka jalani perannya masing-‐ masing teguklah air kopi itu, rasa manis dari gula akan membuatmu tenang mereka ternyata masih menunggu, kau mulai bosan dengan alur yang terus menggantung…. seperti hidupmu saat ini….. sadarkah kau?, ternyata kau sendiri berada disebuah panggung.. dan banyak yang sedang memperhatikanmu, termasuk tiga pemeran panggung yang selalu kauperhatikan biarlah kau berjalan dengan mimpi-‐mimpimu berharaplah semua mimpi yang ada dibenak para seniman panggung ini berjalan semestinya.. teguklah air kopi itu, bila ampasnya terasa lebih pahit, janganlah terkejut itulah yang akan membangunkan mu dari kantuk dan bosannya mimpimu karena inilah dunia yang nyata, terkadang terasa manis, pait dan kasat bangunlah, berdirilah.. jalankanlah dramamu sendiri biarkan mereka menari, berlari dengan pemikiran mereka dan dirimu pun harus tetap menari dan berlari..
3
Dialog dua wajah hmmm… malam ini latihan drama di atas panggung kecil segera dimulai sepertinya naskah drama tak pernah mereka pegang sayang, salah satu pemeran tidak hadir disini hanya tinggal berdua, sepertinya mereka sempat menunggu kedatangan satu orang sahabatnya lalu aku berdiri dan berteriak dari tempat dudukku.. hei… waktu kita sangatlah pendek.. sudahlah jangan tunggu sahabatmu mainkanlah peran yang kau suka, meskipun berdua akhirnya mereka memainkan peran itu dengan sepenuh jiwa sang gadis yang semula angkuh, kucoba tuk diperlunak setidaknya romantisme akan muncul disini dan sang perjaka yang semula terlalu menggoda, kucoba tuk dipertegas setidaknya akan membawa cerita ini lebih bermakna sementara kubuatkan dulu secangkir kopi baru untukku dan kuletakan di atas meja kecil disamping tempat dudukku ku hirup hmmm harum .. seharum romantisme gombal dari kedua pemuda-‐pemudi itu..
4
dan mulailah mereka bermain dengan perannya masing-‐masing… sang perjaka … dengan ungkapan menggoda memperkenalkan diri pada sang gadis.. bahwa dia adalah seorang pekerja keras… yang siap menjadi sang guru… sang gadis sempat meragu akan apa yang terucap dari sang perjaka… ucapannya terlalu mengganggu telinga… seolah-‐ olah si perjaka mau memangsa.. aku potong dialog itu dan mengingatkan pada sang gadis untuk tetap menerima ajakan sang guru sang guru hanyalah seorang pemuda yang selalu mengumbar kata mesra agar berharap kau terbuai dan mau berteman dengannya.. akhirnya sang gadis ikuti alur itu.. semula aku dan si perjaka pemain drama tidak tahu, peran apa yang sedang dimainkan sang gadis tapi perannya sungguh membuat si perjaka kesal setiap dialog sang gadis selalu menyisipkan kata-‐kata ejekan sang perjaka seolah-‐olah mulai terpancing dan kehabisan kata-‐kata buaian hingga munculah puncak-‐ puncak dimana dialog seperti tak terkendali keluarlah rasa benci, saling berseteru dan adu domba (sayup -‐ sayup sebuah lagu.. mulai terdengar)… tidak ada habisnya, aku sempat kesal dengan
5
dialog yang penuh kata benci dan sempat mengusir keduanya dari atas panggung… namun mereka memaksaku untuk melanjutkan adegan demi adegan itu secangkir kopi.. aku lupa dia telah menungguku, rasa penasaranku terhadap para tokoh peran membuat ku lupa dengan kopi ku.. kopi ini terasa mulai dingin… tapi manisnya masih cukup nyaman tuk dinikmati seperti cerita drama ini yang mulai terasa tidak hangat namun masih nikmat di cermati. dan merekapun melanjutkan cerita drama ini melewati pagi sepertinya keduanya mulai lelah.. dan mulai saling ketergantungan mereka sepertinya memiliki sisi cinta realita yang terkikis oleh waktu dan terhabiskan oleh masa-‐masa kebersamaannya canda demi canda tergelontar dari masing-‐ masing mulut panggilan benci tanpa sadar berubah menjadi panggilan cinta… aku ikut terlarut .. alur cerita menjadi berubah .. dan aku bertanya-‐tanya apa yang terjadi dengan kedua orang itu? bukankah masing-‐ masing dari mereka telah memiliki tambatan hati ? pertanyaankupun mulai terhenti ketika mereka jelaskan padaku
6
bukan kah ini hanya sebuah drama ? hmm… akupun berdecak kagum.. benarkah?.. sang perjaka mulai tertarik oleh ikatan dan buaian sang gadis… suasana menjedi terbalik.. seolah-‐olah sang gadis sedang mencoba menjebak sang perjaka agar mengaku takluk dibawah kaki-‐kakinya.. sang perjaka bukanlah seorang lelaki yang baru jatuh cinta kemarin sore.. hahaha.. ketika sang gadis mencoba merayu.. dia coba nikmati masa-‐masa itu tapi dia terus berhati-‐hati.. apa yang sedang si gadis perbuat padanya.. kembali ke secangkir kopi manis yang sudah dingin.. aku habiskan teguk demi teguk hingga tetesan terakhir.. seperti biasa ampasnya tidak perlu ku jilati.. meskipun ada sisa-‐sisa manisnya namun tetap saja ujungnya akan pahit.. aku berharap ujung dari drama ini tidak sepahit tetes-‐tetes akhir dari kopi yang sedang ku teguk.. dialog diatas panggung ini sepertinya akan berlanjut.. tidurlah adik-‐adikku.. esok kita kembali dengan naskah baru, aku berharap cerita ini tidak cepat berakhir, tidak juga tanpa batas.. jika sempat ajaklah sahabatmu yang tidak hadir saat ini..
7
Sisi lain sebuah dialog .. sebuah prequel “Dialog dua wajah” …. sebenarnya panggung kecil itu masih gelap.. meskipun jam dinding menunjukan waktu sedang menuju petang.. aku baru saja masuk ke gedung ini sambil memegang secangkir kopi.. kemudian satu demi satu lilin-‐lilin penerang mulai aku nyalakan.. aku terkejut.. ternyata diatas panggung sudah terjadi dialog sebagian isi gelas tumpah ke dadaku.. panasnya aku abaikan, karena disini ternyata telah terjadi dialog tanpa sepengetahuan ku.. mereka adalah sang gadis dan sang perjaka mapan sedang duduk diatas lantai panggung kayu yang dingin.. aku berusaha tidak menghentikan dialog mereka.. mereka berbicara namun .. sangat perlahan.. sehingga beberapa kata sulit aku mengerti spertinya sang perjaka mapan .. tidak membutuhkan cinta dari sang gadis.. hanya saja sang perjaka ingin berbagi cerita saja.. sang gadis dengan setia dan sabar mendengarkan apapun itu yang terucap.. aku tidak tau apakah si gadis menikmati
8
perbincangan ini atau tidak.. setidaknya sang gadis berusaha memberikan semangat yang tinggi pada sang perjaka mapan.. hmmm.. secangkir kopi masih ku genggam.. sepertinya harum dari asap yang masih mengepul ini secepatnya harus ku hisap dalam.. dalam.. dan ku cicipi sedikit demi sedikit manis dan hangat.. disni cukup dingin.. sesekali kedua tanganku memeluk cangkir ini. sepertinya sang gadis mulai banyak bertanya tentang diriku dan dan siperjaka pembual yang tidak hadir disini… sang perjaka mapan dengan polos menceritakan apa adanya dan segala sesuatunya tentang aku dan si perjaka sepertinya si gadis mulai tertawa…. keras aku tidak tau apa yang mereka bicarakan.. tapi apa pun itu, aku anggpa hal ini menjadi sebuah skenario yang untuk sementara para penonton tidak ada yang boleh tahu.. suatu saat aku pastilah tau.. sepertinya sang gadis secara tidak sengaja mendapatkan cerita-‐cerita yang membuat dia penasaran terhadap si perjaka “gemuk” itulah panggilan si gadis kepada si perjaka yang kaya akan rayuan.. si mapan memang seorang tampan dan apa adanya .. membuat si gadis tersenyum-‐senyum dan sang gadispun mulai memberikan penghargaan pada sang perjaka mapan.. “Tahukah kamu? semalam aku memimpikanmu
9
menikahi seorang putri cantik”..’ Ucapan lembut si gadis membuat si perjaka mapan terpesona dan melayang sepertinya jika mau si perjaka mapan mampu mengambil satu bintang untuk di berikan kepada sang gadis.. “Hei!!!” sang gadis mengingatkan , putri itu bukan aku!, dia pastinya lebih cantik dari pada aku! sang perjaka mapan tersenyum..dan mengatakan aku ambil bintang ini memang bukan untuk mu.. ini untuk ku katanya sang gadis pun tertawa .. lepas melihat lugunya si perjaka mapan.. akupun ikut tertawa karena aku sadar, sepertinya si gadislah yang memegang naskah drama ini!! sebelumnya aku kira siperjaka “gendut”, tidak mungkin siperjaka mapan yang memegang kendalinya sebuah alunan biola yang membawakan lagu modern terdengar.. seperti musik klasik…… seteguk kopi .. kunikmati lebih dalam… sang gadis mulai terbalik banyak bercerita dan berkeluh kesah kepada sang perjaka mapan.. tentang si perjaka gendut dan berhidung panjang .. semua cerita yang ada pada diriku dan si gendut dia tampilkan desubuah layar berpenerang lilin-‐ lilin sayang dia hanya memperlihatkan itu membuat si gendut berhidung panjang (aku percepat
10
panggilannya yang cukup panjang) menanggapnya mengadu domba mungkin inilah salah satu penyebab munculnya keributan -‐ keributan kecil.. ada prasangka adu domba yang ditujukan kepada si gadis… tapi disini aku tahu sebenarnya tidak ada adu domba.. hanya cemburu dan curiga sajalah yang membuat suasana sepertinya menjadi terasa lebih panas.. kemudian tanganku kembali memegang cangkir yang berisi sisa-‐sisa yang akan ku habiskan dalam satu kali tegukan ku minta untuk menghentikan terlebih dulu dialog ini karena di satu sisi ternyata si perjaka gendut telah duduk disudut gelap sedang memperhatikan dialog yang dingin ini dan si perjaka mapan meminta ijin padaku untuk mengerjakan hal lain yaitu realita yang menurutnya lebih penting dibandingkan drama ini..
11
Segenggam kacang asin dan sepotong donat almond Badanku terasa tidak nyaman, rasanya waktu-‐ waktu ku untuk membaringkan tubuhku yang sejenak ini begitu kurang sehingga tubuh ini mulai menggigil. terpaksa panggung ini kututup semenjak pagi tuk pulihkan peredaran darah ini dan menghangatkannya hingga waktu yang tepat dan pasti. kulihat merekapun mulai lelah dengan perannya tak terlihat mereka saling bersapa lagi seolah-‐olah tidak ada hubungan pertemanan lagi diantara mereka. Aku tahu terkadang para merpati masih membantu saling bertukar pesan untuk mereka. Berbagi idealisme tentang skenario yang akan terjadi pekan mendatang Sang perjaka mapan masih sibuk dengan apa yang ada di atas meja menghabiskan berlembar-‐lembar kertas dan tinta yang bertuliskan sesuatu yang menjenuhkan tanpa puisi ataupun fiksi. Sang perjaka gendut masih sibuk dikota gersang, terkadang kutemani dia meskipun aku tahu tak banyak yang kulakukan
12
untuk dia disana, tapi setidaknya dia berusaha menikmati, sambil menunggu pesan-‐pesan merpati dari sang gadis manja. Sang gadis sedang menikmati masa-‐masa liburan dengan orang-‐orang tercinta dan berpetualang ketempat-‐tempat indah bernuansa sejarah sepertinya dia begitu bahagia meskipun… aku melihat secara tersirat dia rindu panggung sandiwara itu.. Setiap pesan yang terkirim para pemeran selalu berusaha berbagi denganku Seluruh pesan menggambarkan kerinduan yang begitu mendalam.. sebetulnya sudah kutetapkan masa-‐masa untuk bergabung kembali di panggung sandiwara ini namun ternyata mereka masih asik dengan dunianya.. dan terpisah diberbagai kota Akhirnya mereka telah kembali… panggung sandiwara ini terlihat begitu berdebu.. ketika ku buka pintu masuknya, panggung ini begitu menyesakkan lilin-‐lilin yang menerangi panggung ini sudah tidak pada tempatnya lagi sepertinya untuk pagi ini lilin-‐lilin takkan ku gunakan lagi biarkan jendela -‐ jendala ku buka.. jika ada yang mengintip dari jendela akan ku biarkan, kuanggap mereka adalah orang-‐orang yang menunggu
13
babak demi babak setiap penggalan cerita berganti. sepertinya sang gadis telah berjanji akan membawakan sesuatu untuk si perjaka gendut pagi-‐pagi kami telah siap, hanya saja si perjaka tampan belum terlihat oleh mataku ok dimulai saja, secangkir kopi tetap menemaniku. sementara aku lebih baik berdiri, kulihat kursi tempatku duduk begitu kusam biarkan orang lain membersihkan kursi itu terlebih dahulu.. si gadis langsung menghampiriku dan memberikan sepotong donat almond seharusnya donat ini bukan untukku tapi untuk siperjaka gendut kulihat di sudut panggung.. si perjaka gendut sepertinya memendam rasa rindu, sehingga dia ragu dialog apa yang harus terucap dari mulutnya. sementara sudut mata si gadis begitu tajam melihat diamnya si perjaka gendut akhirnya sebungkus kacang campur yang dibawa dari negeri sebrang dilemparkan ke dekat kaki perjaka, percakapan “benci” pun dimulai oleh sang gadis “Kok bisu… tidak kah kau senang dengan kedatanganku?”, “aku tlah bawakan satu bungkus kacang beraroma cinta yang kau pesan!” Sang perjaka masih diam membisu.. dan kata hatinya berbicara :
14
“Masih saja bicaramu selalu menantang, tapi aku betul-‐betul menikmati nada ucapan seperti itu” “Aku sama sekali tidak menunggu kacang ataupun sepotong donat yang kau bawa” “yang aku tunggu adalah rasa benci mu! sudah lama kita tidak bertengkar” “Sungguh aku menikmati masa-‐masa pertengkaran itu” Sang gadis dengan langkah demi langkahnya yang begitu melambat berpamitan padaku….. tapi di depan pintu langkahnya terhenti… dan berucap kepada perjaka gendut … “Kejarlah aku, jika kau memang rindu masa-‐ masa itu…” “Aku pun demikian adanya, seperti dirimu.. aku senang..” “Namun aku malu.. dan akhirnya kutumpahkan dengan kata-‐kata benci seperti yang kau mau..” Akhirnya sang perjaka gendut mulai mengikuti langkah sang gadis.. dan merekapun berucap “maaf panggung sandiwara disini masih berdebu.. lebih baik bapak istirahat dulu” “Kami akan berlatih dialog ditempat lain dimana makanan segar tlah menanti” “Nikmati saja sepotong donat itu” Baiklah akan kunikmati terlebih dahulu donat ini, sebuah makanan yang tepat menemani secangkir kopi ku, akan kunikmati keduanya dihalaman luar.. dimana udara segar masih selimuti dingin dan cerahnya pagi ini.
15
tak lama donat telah habis di ujung mulutku dan seteguk kopi telah menutup istirahatku sepertinya tubuh ini mulai lebih baik dapat kurasakan perubahannya.. namun donat yang kumakan terlalu manis.. manisnya melebihi romantisme yang terjadi hari ini sepertinya aku membutuhkan sesutu yang asin……. hahaha… sebungkus kacang masih tergeletak di sudut panggung.. warna warni kacang itu sungguh menggoda perutku.. tak lama si perjaka gendut kembali kepanggung.. dengan wajah tersenyum … membawa angin segar yang begitu kencang.. sehingga debu-‐debu tersapu hingga panggung kembali bersih.. aku tanya dia… “bagaimana dialog di tempat makan tadi ?” sang perjaka gendut menjawab dengan senyuman.. pertanyaanku dijawab dengan jawaban lain : “Kacang yang bapak pegang.. makanlah… ” “besok akan kuceritakan semuanya di panggung ini” akupun membuka bungkusan kacang ini dan mengambil dengan tangan kananku .. akhirnya butir demi butir kacang warna warni nan asin ini membuat lidahku tidak terlalu manis seperti donat almond yang telah ku makan..
16
cukup segenggam yang kumakan.. sisanya biarlah habis dimakan penonton lain yang melihat dari jendela gedung ini.. kututup drama hari ini dengan menghabiskan secangkir kopi yang tersisa.. sepertinya akan ada monolog dari sang perjaka gendut esok hari…
17
Monolog sang pemeran pengganti dipengasingan tepat diantara bulan terbelah 3 di malam hari … cukup lelah perjuangan kami hari ini, sepertinya terus dipaksa memegang layar sebuah kapal yang tidak henti-‐hentinya diterpa badai laut yang berputar.. tidak seperti di kotaku cuacanya dingin… disini tak ada sisa untuk menempatkan dinginnya malam.. semua telah terkepung oleh panasnya kota industri.. memang tempat ini melewati beberapa ruang bermesin pendingin yang sejuk.. namun kamar ini hanya tersisa angin-‐angin yang menambah kembung perut kenyangku kulihat si perjaka gendut lebih lelah dibandingkan aku dia masih mengusap-‐usap sang merpati.. hari ini lalu lalalang pesan dari para merpati begitu cepat silih berganti… terkadang senyum misterinya membuatku terjaga aku senang jika romantisme yang dia pilih membuat dia bahagia meskipun aku tahu senyum yang dikeluarkan dia terkadang memunculkan dua tanduk kecil dikepalanya
18
sementara dia mengirim pesan kepada sang merpati.. aku siapkan sebuah panggung kecil beralas karpet yang empuk.. agar dia bisa memainkan peran sambil berbaring tuk rebahkan lelahnya.. perjalanan dan perjuangannya hari ini… selanjutnya ku ambilkan sebuah cangkir untuk sang kopi hangat yang telah menanti.. siperjaka gendut telah siap dengan monolognya.. sambil tersenyum dan menundukan kepala dia menghampiri panggung kecil lalu dibaringkanlah tubuhnya yang sudah lemas terkulai meskipun aura yang ada masih merah menyala.. pertanda dia masih memiliki semangat tuk berbicara.. seperti biasa aku duduk dengan sesksama mencoba menikmati pentas ini… si perjaka mulai mendekap tubuhnya dengan kedua tangannya…. sepertinya dia kesulitan untuk mengeluarkan kata-‐kata dari mulutnya sebenarnya sejumlah kata sudah terbentuk dalam hatinya.. napas panjang ditarik dan dikeluarkan perlahan.. “Pak bolehkah saya memohon ijin?” “Saat ini aku ingin bernyanyi!” Aku belum pernah mendengar suara si perjaka gendut, sedikit tertawa kecil “Ayo lakukanlah apa yang kamu mau” …
19
“Aku disini… memendam rindu..” “Aku disini… tak sanggup tuk berdusta…” “Permainan ini…. tak sanggup ku lewati …” “Pengalaman ini… membuatku menepi…” “Aku disini… memejamkan mata..” “Dan berharap … bermain cinta..” “Namun rasa ini… mulai terombang cinta..” “Dan aku tahu ini.. hanyalah dusta belaka…” “Apakah setitik cinta yang kurasa…” “Hanyala kembang gula yang kujilat semata…” “Aku tak sadari semua yang terjadi membunuh angkuh ku….” “disini…. aku bertanya adakah drama yang menjadi nyata?” aku tak menjawab nyanyian si perjaka gendut… “Aku berharap kau bisa mendapatkannya..” “Namun kau pun tahu dan merasa curiga dengan apa yang kau rasa” “Aku tidak percaya jika si gadis mempermainkan cinta dalam drama ini begitu dalam” “Pastinya dia memiliki rasa dan penjiwaan setiap berhadapan denganmu” “Meskipun hanya merpati yang menghubungkannya” si perjaka masih merasa habis akal romantis yang ada di otaknya “Aku selalu memendam curiga, bahwa pesan ini hanyalah sebuah balasan belaka!” “Namun apa yang dia lakukan mendobrak naluri gombal ku” “Dia bahkan bertanya apakah kita sedang berjalan di tempat?”
20
“aku tak dabat menjawabnya… karena aku merasa ini pertanyaan jebakan!!” “Dia sepertinya memandangku orang bodoh !, aku tahu dia telah memiliki tambatan hati” “dan aku tidak nyaman setiap sang tambatan hati tak terkabari di telingaku” “Dia selalu manja mengharap kasih sayangku disini” “Apakah si tambatan hati sang perjaka yang tidak payah itu ikut menjadi pemain drama di panggung kita?” “Jika ya… aku hanyalah seorang pemeran pengganti…” “Aarrrrggggghhhhhhhh…” “Bagai mana bisa di setiap lembaran cintanya tidak memperlihatkan lukisan sang tambatan hati” “aku tahu dia sengaja menyembunyikan lukisan itu agar aku tidak mencurigainya” “Sungguh aku sadari itu!!!, aku hanya pemeran pengganti..” “Namun aku sangat menikmati itu….” “Meskipun demikian aku berharap semua dapat terlihat jelas secepatnya” “Aku tak dapat memalingkan para dewi-‐dewi yang selama ini menantiku…” “Karena aku lebih memilih menjadi seorang pemeran pengganti……” Sang perjaka gendut sungguh berbicara dengan lantang.. namun dia tetap saja memperlihatkan wajah yang begitu menyenangkan
21
dan dia tetap berharap melanjutkan sandiwara ini… Perutku sedikit mual… angin yang panas.. membuat aku malas meminum kopi yang sudah ku buat aku cukup puas dengan monolog yang terjadi saat ini… aku jadi ingin bertanya pada sang gadis… apa yang sedang dia rencanakan terhadap drama ini aku abaikan saja si perjaka mapan.. sepertinya dia tidak terlalu berperan dalam sandiwara ini ada beberapa pertanyaan dari benakku mengapa si perjaka gendut terbawa ombak mungkin jawabannya di panggung sandiwara yang lain… saat ini lebih baik kulanjutkan untuk menulis lembaran kertas bayangan yang sudah lama kutinggalkan sementara si perjaka gendut masih asik dengan merpati-‐merpati yang selalu bertukar pesan..
22
Sayembara para Pemirsa prequel “monolog sang pemeran pengganti” …. cerita ini sebenarnya terjadi pada masa-‐masa tenggang dimana semua pemeran drama masih sibuk dengan dunianya dan sang gadis belum membawa kacang dan donat. Ada sebuah pertanyaan bagi si sang perjaka gendut… Mengapa seorang perjaka sang raja perayu.. mulai luruh.. seperti puing-‐ puing beton cinta yang jatuh sebagian, patahannya begitu rapuh.. sepertinya hari ini tidak akan ada pentas drama panggung sandiwara … jendela-‐ jendela gedung ini masih terbuka… cahaya matahari masuk begitu penuh… ada beberapa orang yang sudah terbiasa melihat adegan disini melalui kaca-‐kaca jendela itu mengetuk jendela cukup keras… deeennnggggg!!!! Mereka memaksa agar aku berdiri diatas panggung…. aku turuti apa yang mereka mau.. sementara dua orang pemeran baru saja yang hadir ….Tanpa… si gadis… mereka tidak menaiki panggung, melainkan duduk dikursi-‐kursi penonton.. dan salah satu orang menempati kursiku.. si perjaka mapan… dua orang yang selalu setia dibalik jendela ikut memasuki gedung sandiwara ini…. mereka adalah pemilik gedung sandiwara ini…….
23
mereka tidak menyukaiku berada di gedung ini… sepertinya apa yang telah kulakukan adalah merusak setiap adegan yang seharusnya mengalir tanpa skenario… Sang pemilik gedung ternyata ingin ikut terlibat lalu dia ikut menaiki panggung… seperti sebuah sidang.. “Sementara drama ini aku ambil alih!!!, kalian harus mengikuti apa yang aku mau…” “Si Gadis… mana si gadis itu !!!!!” Sebuah pertanyaan tegas dari sang pemilik gedung membuat kedua pemeran drama perjaka gugup…. “Sepertinya kalian terlalu lambat dan terlalu pesimis dengan apa yang kalian impikan!!!” “Aku ingin drama ini lebih cepat selesai agar drama ini dapat dipentaskan dimuka pemirsa lebih cantik mengharukan dan membahagiakan..” “Aku berikan sebuah sayembara kecil… Siapa saja diantara kalian yang dapat menaklukan hatinya” “Sejumlah hadiah yang dapat disamakan dengan sebuah merpati.” “Perjaka Mapan!!! jika kau berminat … majulah terlebih dahulu…” Si perjaka mapan sepertinya tidak tertarik sama sekali dengan sayambara tersebut Demikian pula dengan si perjaka gendut.. dia hanya tertawa terbahak-‐bahak mendengar sayembara itu
24
tekanan memang lebih terasa oleh siperjaka gendut… semua lebih mendukung pada dia termasuk aku… memang hal ini membuat siperjaka seperti dipaksa mengikut gelombang isi drama.. padahal hatinya tidak pernah menyentuh ketepian itu… dia hanya ingin mencari tambatan hati yang terbaik… bukan mengarah kepada si gadis.. tekanan itulah yang membuat terjebak.. bukan karena apa yang dia rasakan melainkan apa yang dibebankan kepada dia.. seolah itu adalah sebuah kewajiban yang harus dia tuntaskan.. akhirnya aku dan sang pemilik gedung turun dari panggung… karena aku dan si perjaka gendut akan kembali ke kota gersang… menanti kacang warna warni nan asin .. itulah alasannya mengapa monolog sang pemeran pengganti berbicara apa adanya… sementara itu aku dan siperjaka gendut telah kembali ke kampung halamannya
25
Si gadis sang penunggang kuda Ada baiknya saat ini aku memanggil si gadis sudah cukup banyak cerita yang kudapatkan tentang si gadis dari para pemeran sang perjaka setiap cerita bisa jadi sebuah persepsi aku ingin cerita ini terus mengarah klimaks sang gadis…. seorang perempuan yang mencoba mencari sepenggal ilmu … berlabuh di dermaga dan mendaki keatas lima bukit.. ditemani sahabat yang sebelumnya sempat tertaut ditempat ini dia menghadap kepadaku.. seperti seorang murid yang akan mengadu dan berharap gugup.. pucat.. takut… sebuah pandangan pertama yang selalu tidak membuatku kecut aku memang selalu memasang muka seperti ini kepada orang asing dan dia merasakannya… tidak hanya itu sepertinya dia melihatku sebagai seorang sosok yang tangguh .. seperti seorang tanpa cacat yang harus di takuti.. meskipun kemudian hari si gadis akan tertawa dan menyadari siapa sebenarnya aku.. haha……
26
dia mulai banyak memperkenalkan dirinya … dia seperti anak kecil bagiku.. atau seorang adik… yang ingin dimanja agar dia dapat menikmati membantu dan melihat pertarungan di tempat ini secangkir kopi .. ku coba taburkan serbuk putih agar pekatnya kopi tercampur dengan aroma lain sepertinya akan lebih nikmat… kesan pertama di tempat ini dia seperti penakut… terlebih -‐ lebih dimana ketika waktu menunjukan untuk berdoa bagi para perjaka.. dia terjaga dengan kesendiriannya .. dan kurang tenang dengan bayangan-‐ bayangan masa silam yang tertangkap oleh fikirannya begitu menakutkan… kesan kedua di tempat ini dia seperti penakut… terlebih -‐ lebih ketika sang guru yang aku tunjuk berlebih mengutarakan kata-‐kata mesra yang penuh bualan membuat si gadis lebih takut dengan apa yang dia ucapkan… begitu menakutkan… kesan ketiga.. ada seseorang yang membuat dia lebih semangat bertahan ditempat itu.. seorang perjaka tampan nan mapan.. dia melihat aura-‐aura kejujuran yang tersimpan dibalik seseorang itu
27
ada keluguan dan kelucuan yang tersirat dibalik sosok sang perjaka itu.. dan akhirnya dia mampu bertahan hingga terbangunlah sebuah panggung sandiwara… “Aku siap tuk berdiri di panggung ini” “Akan aku bawakan peran yang akan mempengaruhi seisi gedung ini” “Aku berharap aku dapat belajar disini” ucapan sigadis begitu penuh dengan semangat dia memang seorang anak dari para tokoh yang bersahaja terlihat dari perangkat perang yang dia bawa.. pastilah bukan perangkat para pecundang yang terpaku di depan kotak kerjanya dan dia mengaku bahwa dia adalah seorang penunggang kuda dan kereta sepertinya dia terlalu dimanja.. pastilah pandangan itu beralasan jika terdengar dari rengekannya.. ucapannya terlalu kasar buatku aku pernah memakinya karena saat itu, aku merasa seperti seorang kakak yang sedang lelah dan dia berbicara seolah-‐olah aku teman sebayanya… dia memang sedang belajar untuk berubah dari apa yang telah dia lalui… dia cukup berani bermain di panggung ini sementara ini aku belum tau peran yang dia bawakan .. apakah itu memang hidupnya
28
atau hanya sebuah peran yang siap disajikan di panggung saja minumlah secangkir kopi itu … sepertinya kata-‐kata tentang secangkir kopi akan lebih nikmat jika aku meminum sedikit demi sedikit.. sepertinya perasaan-‐ perasaan yang tertuang memang hanyalah sebuah cerita drama… namun aku meliihat apa yang dia bawakan begitu sempurna dan dapat membodohi para pemeran yang lain.. dia memang tangguh.. dia layak untuk tetap menunggang kuda.. aku berharap dia mulai lebih banyak berfikir.. bahwa dia sudah cukup dewasa tuk lebih mengerti dan berperasaan.. dengan apa yang akan di lakukan yang pasti kejujuran yang aku tangkap adalah dia telah memiliki tambatan hati yang tak tergantikan.. itulah si gadis sang penunggang kuda .. yang semangatnya selalu berkobar.. dia memang bukan perempuan biasa.. tapi dia tetap seorang manusia secangkir kopi tidak seperti biasanya.. cangkir masih terisi lebih dari setengahnya… kucoba nikmati sisa ini .. dan memikirkan apa yang akan terjadi antara si gadis, perjaka gendut dan perjaka mapan…
29
semuanya masih memiliki rahasia yang belum terungkap…
30
Berjalan di tempat Musim kemarau masih cukup lama berganti… kota ini memang berbeda dengan kota besar lainnya panasnya mentari tak sanggup membakar dinginnya ruangan ini.. meskipun.. mentari telah masuk keatas panggung melalui celah-‐celah dan jendela2 yang terbuka aku memang datang terlalu pagi.. ku melihat kertas-‐ kertas dan sampah berceceran diantara perangkat perang yang dijajakan disetiap dindingnya… menambah dingin ketika angin berhembus perlahan-‐lahan dan mendorong pintu menutup kembali begitu keras… yang memecahkan sepi-‐sepi disini… cangkir… aku coba mencari sebuah cangkir… sebagai tempat dimana sebuah minuman kan kuteguk kutemukan diantara rak-‐rak pecah belah.. yang memang sangat rapuh dan mudah pecah kopi dan gula… aku ingin minumam yang akan kuteguk adalah kopi manis hitam pekat… dan… gula putih manis nan halus telah kutemukan diantara berbagai serbuk yang ada .. ku dapat
31
mengenalinya dari wanginya… dan rasa manisnya air panas yang akan membaurkan kopi dan gula kedalam sebuah cangkir dan sebuah sendok kecil yang akan mengaduk bahtera didalam dunia cangkir ini… aku masih sendiri…. sementara jarumjam terus mendetakkan jantung rinduku.. tuk melihat sebuah pentas yang lebih indah. Daun pintu secara perlahan terbuka.. muncul sosok bayangan yang sudah tidak asing lagi dia adalah si perjaka mapan yang sudah siap dengan cerita terbaru dan terindah di kota ini mukanya masih pucat.. terlihat sisa bayangan di setiap malam-‐malamnya yang lebam oleh setumpuk pekerjaan yang tak pernah habis… dengan perlahan dia berjalan .. malas… menaiki panggung.. dan menyimpan perangkat perangnya diatas meja… lalu menarik sebuah kursi di samping panggung dia duduk termenung… aku bertanya padanya…. “Sepertinya kau cukup lelah….?” akhirnya dia menumpahkan isi hatinya… “Aku bosan… hari-‐hari ku sepertinya selalu dijejali oleh pekerjaan” “Dan semua tidak peduli dengan apa yang kurasakan dan kuharapkan” “Aku sama sekali tidak pernah diberi waktu
32
untuk belajar” “Aku ingin mempelajari siapa diriku” “Aku ingin mencari tambatan hatiku…..” “Namun… sepertinya.. waktuku telah habis tuk berjuang membawa pedang.. kemanapun aku tuju..” “Aku sama sekali tidak bergerak…… seperti berjalan ditempat bersama setumpuk beban..” “Sepertinya aku telah mengorbankan waktu-‐ waktu dimana perasaan dapat terbagi…” “Setiap malam cukup banyak yang kusapa… tidak terkecuali si gadis…” “Aku memang cukup senang dengan keberadaanya, dia sepertinya senang” “Dan aku tau dia setia dengan tambatan hatinya.. dan akupun tidak begitu suka dengan kehidupannya” “Dan aku tahu diri tidak seperti si perjaka gendut yang terus bergumul… sayang dia hanya dijadikan umpan!!” “Harusnya dia tidak terlalu dalam dengan si gadis… apa yang dia lakukan hanyalah sia-‐sia” hmmm.. ucapan si perjaka mapan seperti suatu ucapan dari sang pesaing dari dalam pagar dan rumput-‐rumput hijau tapi aku tangkap ucapannya bahwa dia sama sekali tidak mengharapkan si gadis.. aku menoleh ke belakang… si perjaka gendut dan si gadis baru saja memasuki ruangan ini… si perjaka mapan turun dari atas panggung…. aku bertanya “Perjaka mapan!!! mengapa kau turun dari panggung?”
33
perjaka mapan menyahut “Sudahlah aku tidak mau di gabungkan tuk bercengkrama dengan dua orang itu…” Baiklah ku biarkan si perjaka mapan turun dan duduk disebelahku.. seperti biasa… dia membawa bekal setumpuk pekerjaan… Lalu si gadis dan si perjaka gendut menaiki panggung itu… keduanya begitu mesra… pantas saja.. siapa yang melihat sepertinya akan terkejut… mereka berjalan saling berpegangan tangan.. seolah-‐olah .. dunia memang sekecil ruangan yang dapat diisi oleh sepasang merpati… Si perjaka gendut… matanya masih lelah… dia baru saja lalui perjalanan yang begitu panjang.. melelahkan kakinya.. sehingga dia tak cukup kuat untuk berjalan jauh hanya dengan kedua kakinya.. namun senyumnya masih saja berbicara “Sungguh aku nikmati suasana ini … ” sang gadis dengan mata berbinar dan tajam sepertinya ikut menikmati perjalanan “semu” ini…. Nyanyian suara biola dari lagu.. lagu.. yang bertajuk “mimpi indah” terlantun begitu mesra…. dan si gadis mulai bersenandung…… “Sayang…. sepertinya kau cukup lelah…..” “Apakah kau rindu dengan diriku sayang…..” Sang perjaka gendut sedikit gugup dengan perkataan itu…
34
“Aku memang lelah sayang.. namun lelahku telah terobati oleh tatapan mu…” “Aku tau kau memang sulit tuk tersenyum.. namun ucapan yang keluar dari mulutmu telah menyadarkanku..” “Kau memang sungguh cantik….., aku tahu senyuman yang kau sembunyikan bukan untukku…” “Namun sungguh aku menikmatinya… aku senang…” perlahan… mereka saling berhadap-‐hadapan… dan berpandangan begitu tajam… si perjaka gendut dengan senyuman “nakalnya” mendekatkan wajahnya kepada sang gadis… begitu perlahan-‐lahan……. namun….. “Ehmm!!!!!!!!!!” dari samping tempat dudukku, si perjaka mapan sepertinya berusaha menghentikan adegan diatas panggung…. “Sahabat ku!!! perjaka gendut!!!… hati-‐hati!!! jangan sampai kau terjebak oleh rayuan si gadis!!!” Tersentak adegan itu terpotong…. keduanya malu… sambil memalingkan muka…. si Gadis sepertinya merasa sangat terganggu dengan ucapan si perjaka mapan… “Kamu…. sadarkah dirimu…. aku harus berucap apa untuk mu? !!!!!” “Sudahlah aku sudah lelah dengan dirimu… aku tak sanggup menasehatimu…!!!”
35
“Lebih baik kau pergi!!!! Carilah gadis lain yang kamu suka…!!!! jangan ganggu kami berdua!!!!!” sementara si perjaka gendut masih terdiam……. wajahnya senyumnya mulai terbias oleh rasa kecewa yang dalam… dan dia pun berucap kepada si perjaka mapan “Aku tau itu kau tidak perlu menasihatiku…!!!!” “Aku hanya ingin menikmati drama ini itu saja!!!!!” “Ah kau arggghhhhhhhhhh!!!! ” tarikan nafas si perjaka begitu cepat , dia sepertinya tidak sanggup menasihati si perjaka mapan…. kursi yang ada diatas panggung diangkatnya keatas kepalanya…. seolah-‐olah akan dilemparkan ke muka seseorang…. si perjaka gendut masih dengan nafas cepat… senyum .. sudah tidak ada jejak di mukanya… hanya murka yang ada…… kursi masih ada diatas kepalanya… dia mengarahkan kepadaku…. aku diam… aku hanya bisa menikmati sambil meneguk kopi yang masih ku pegang ini…. pandangan si perjaka gendut dialihkan kepada si perjaka mapan…… si perjaka mapan… diam… sepertinya dia tidak mau disalahkan dengan kejadian ini… lalu siperjaka mapan berdiri….. “Arggghhhhh…. aku benci drama ini!!!!” sepertinya di ruangan ini mulai penuh dengan dilema………. tidak seperti biasanya….
36
“Aku bosan dengan sandiwara ini…!!!!!” “Sudah lah aku keluar dari kelompok ini!!!!!” “Sepertinya semuanya selalu menyalahkan aku…!!!!!” Si perjaka mapan menendang kursi yang ada disampingnya…. lalu dia meninggalkan ruangan ini…. dengan berjalan cepat dia keluar dan membantingkan pintu… lebih keras!!! sepertinya angin yang bertiup ikut membantu dalam upaya membuat ruangan lebih tegang draakkkkkkkkkkkkkkkkkk!!!! Aku biarkan dia pergi… si perjaka gendut… masih mengangkat kursi keatas kepalanya…… mengalihkan pandangannya kepada .. si gadis.. si gadis .. menatap si perjaka gendut dan bertanya “Mengapa kau arahkan beban itu kepadaku sayang?” Si perjaka mapan melemparkan kursi itu keluar panggung…… kaki-‐kaki kursi itu tidak ada yang patah… hanya terguling dan mungkin sedikit goyah.. nafas panjang si perjaka gendut begitu dalam…. lalu dia kembali memandang sang gadis… senyumannya kembali terlihat… “maafkan aku sayang…” “mungkin aku terlalu lelah.. padahal dirimu sedang menemaniku….” si gadis bernafas lega.. “syukurlah aku merasa takut… lupakanlah
37
ucapan si perjaka mapan…” “Aku tak menyangka si perjaka mapan mengucapkan kata-‐kata itu..” “Sulit dipercaya.. ” si perjaka gendut… tersenyum dalam hatinyapun teriakan-‐teriakan tak sunyi menggema… hanya aku yang mendengarkannya “Diam…. yang tidak dipercaya tidak hanya siperjaka mapan…” “Dirimu lebih keji … aku tahu, semua salinan sang merpati kau jajakan kepada dia!!!” Sepertinya si gadis mendengar sayup-‐sayup suara hati itu.. “Kau…!!!!!” “Kau pun sulit ku percaya!!!! semua pesan dan ucapan kita kau tebarkan pada… dia!!!” Telunjuk tangan si gadis mengarah kepada muka ku… Aku sedikit gugup… untuk menutupi kegugupanku .. ku teguk kembali kopi ini…dan mukaku terus ku tundukan.. sang gadis sepertinya ikut lelah dengan dialog hati yang begitu dalam kemudian dia menepi di ujung panggung sepertinya dia sudah bosan berdiri.. duduk ditepi panggung.. kedua tangan memegang ujung kayu-‐kayu panggung kedua kaki digoyang… dan kepala tertunduk lesu….
38
sang perjaka gendut mengikuti arah gerakan si gadis.. duduk disamping sang gadis.. dalam hatinya berseraya “Seandainya aku dapat memelukmu saat ini…” Sang gadis dengan terbata-‐bata ternyata membalas harapan sang hati siperjaka gendut… “Peluklah… aku kedinginan saat ini…” Sang perjaka terkejut dengan ucapan itu.. sepertinya dia memendam sesuatu… “Sepertinya tambatan hatimu sedang tidak tertaut di ujung hatimu…” Aku memang sang pemeran pengganti… kuturuti apa maumu… perlahan-‐lahan tangan kanannya mencoba merangkulkan ke badan sang gadis.. Sang gadis lalu mengutarakan sebuah pertanyaan…. “Sebenarnya hubungan kita seperti apa…?” Serentak tangan sang perjaka gendut terlepas dari tubuh sang gadis… bergegas berdiri dan berjalan menuju sudut panggung… si perjaka menguap begitu panjang… kedua tangannya menutupi mukanya… sang gadis mengulangi pertanyaan itu lagi… “Sebenarnya kita itu apa……….? maksudku hubungan.. kita?” sang perjaka tetap diam…. “Aku mulai marah………” “Pertanyaan bodoh apa itu!!!! ”
39
Akhirnya dia bersuara…. “Tidak Ada Komentar!!!!” sang gadis.. menatap sang perjaka gendut, “Apakah kita akan berjalan ditempat saja!!!!!” “Tidak ada komentar!!!!!” potong sang perjaka gendut….. “Pertanyaan mu sudah beberapa kali terucap!!!!!” “Kau anggap aku seperti orang bodoh!!!!” Aku mengerti ucapan si perjaka gendut… Jika saat-‐ saat sang gadis sepi… seolah-‐olah dia memang sendiri dan sepi.. Kusimpan cangkir ini diatas meja terdekat… Aku berdiri…. ku regangkan seluruh badanku… sementara mereka begitu hening… tidak ada suara-‐suara lain selain suara tulang-‐tulang ku yang dersinggungan sesaat ku regangkan… Tiba-‐tiba si gadis meloncat dari duduknya…. berjalan perlahan dan meninggalkan ruangan… si perjaka gendut sepertinya membiarkan si gadis berjalan meninggalkan ruangan ini… Siperjaka gendut lalu duduk.. ditempat dudukku.. kursinya diputar sedikit menghadap ke meja kakinya disandarkan diatas meja… sepertinya aku sudah tidak tertarik lagi dengan minumanku yang masih tersaji diatas meja itu… sang perjaka lalu berucap… “Maaf aku ngantuk.. aku lelah.. sepertinya aku sakit…..”
40
“Baiklah istirahatlah…. besok kau harus bertarung kembali di kota gersang….” ucapku, panggung sandiwara ini sepertinya mendekati pentas… ku tinggalkan si perjaka gendut tertidur pulas dengan mimpi-‐mimpi yang menggantung diatas lampu-‐lampu panggung sandiwara….
41
Sebuah kunci dari sang perjaka mapan sebuah perjalanan.. selepas tragedi kecil… di panggung sandiwara… ku melihat si perjaka mapan sedang duduk.. diatas kursi taman… dengan pandangan kosong … menatap pintu gedung dimana panggung sandiwara beridiri… mencoba dekati, duduk dan ikut menatap pintu gedung dimana panggung sandiwara berdiri.. akupun mulai berucap… “Ada kalanya kita memang mengucapkan sesuatu yang telah kita dengar…” “Itu adalah kejujuran….” “Namun jika kita mengucapkan sesuatu yang benar ” “Namun jika kita tidak menempatkan ucapan kita tepat pada tempat dan waktu yang tepat,” “Itu akan memancing sebuah kesalahan… ” “Itu adalah kepolosan….” “Kepolosan memanglah bukan sebuah dosa….. namun mungkin akan mengundang permusuhan…” Siperjaka mapan sepertinya masih terlihat kesal… “Aku sadar.. mungkin aku seperti demikian……” “Bukan berarti aku tidak ingin merubah apa yang biasa kulakukan…”
42
“Mungkin aku seperti ini karena aku belum menemukan sesorang yang mampu mengubahku..” “Saat ini aku sedang bosan, jenuh dan hatiku dipenuhi oleh singgungan-‐singgungan… setiap ucapan… membuatku terpancing tuk mengucapkan kepolosan…” “aku selalu ditekan bahwa saat ini sudah waktunya ku temukan seseorang itu” “Itu yang membuat ku menjadi terus mencari…” “Namun aku memiliki batasan yang hingga saat ini belum ada seorang pun yang melewati batasan itu…” Aku menepuk bahu si perjaka mapan…. “Sudahlah … kau begitu baik…. dan penuh pengorbanan…..” “Itu terlihat dari semua daya yang kau korbankan termasuk jalannya panggung ini” “Masihkah kau bergabung dengan panggung ini?….” Sang perjaka mapan… kemudian bangun dari duduknya… menaiki kursi rapuh berdiri dan kedua tangannya direntangkan dan jemari dikepalkan … “Aku muak dengan panggung ini….. ” “Aku tedak pernah merasa bergabung dengan panggung sandiwara ini…” “Jika aku selalu berbagi perasaan dengan si gadis… ” “Bukan berarti aku jatuh hati padanya….” “Aku bahkan selalu mendukung dia dengan
43
tambatan hatinya….. “Dan aku tidak sebodoh si perjaka gendut dengan seribu rayuannya…” “Aku tahu itu… si gadis selalu memberikan semua pesan yang dikirim si perjaka gendut…” “Dan aku tahu pesan-‐pesan yang dikirim si gadis kepada siperjaka gendut…” “Tidak semuanya ditulis oleh kata hatinya…..” “Namun itu bisa saja ditulis oleh para hantu-‐ hantu disekeliling si gadis…” “Tidak terkecuali sang tambatan hati….” “Si gadis hanyalah seseorang yang merasa terganggu dengan ungkapan si perjaka gendut..” “Dan dirimulah yang memaksa si gadis untuk menjalankan tantangan-‐tantangan…” “Agar semuanya terjadi seperti air yang mengalir……” “Sia-‐sialah apa yang dirasakan si perjaka gendut……” Angin dalam sekejap.. berhenti…. Aku terdiam kaku dan terkejut….. Ternyata semua yang telah terjadi tadi didalam panggung adalah sebuah sandiwara… dimana para pemeran membawa para hantu tuk mengikuti dialog…. sebuah rahasia … mulai terungkap dari sang perjaka mapan…. tak kuduga … selama ini aku meremehkan eksistenti sang perjaka mapan… padahal semua kunci si perjaka gendut dan si gadis ada padanya…
44
jika aku sampaikan kunci ini , apakah siperjaka gendut akan terluka? oleh tajamnya isi dari sebuah kotak rahasia yang selalu digenggam si gadis.. perjalan pulang akhirnya kulanjutkan dengan perasaan iba.. hampa.. ohh.. mungkin saat ini si perjaka gendut masih bermimpi.. “Is that you inside my head……..” Aku berharap mimpi-‐mimpi dan dialog semu sebelumnya tetap menjadi kenangan… bagi si perjaka gendut…. Sebuah kunci telah ku pegang..
45
Tangis sayatan tak berluka pagi dingin di musim kemarau mentari sedikit terhambat tuk hadir di antara jendela-‐jendela ruang ini sepertinya kedatanganku bukanlah yang pertama tuk hari ini ternyata memang benar… si perjaka gendut masih terkulai tidur dikursi.. sementara salah satu kaki sudah terjatuh ke lantai dan kaki kanannya masih bertahan diatas meja .. beserta sang kopi basi.. tak kusangka dia bisa tertidur pulas… aku bangunkan dia…. “Hei!!!!!!!!!” suara kerasku menggema diruangan ini, pantualnnya membuat getaran-‐ getaran keseluruh ruangan.. tidak terkecuali tubuh si perjaka gendut tersentak bersama kaki-‐kaki kursi yang goyah oleh tubuh yang lemas… drukkk….. si perjaka gendut terjatuh… kaki kanannya ikut mendorong secangkir kopi basi kearah depan dan akhirnya membasahi setengah badan kebawah…. “Aduh…..” si perjaka gendut sangat terkejut oleh suara ku… “Kau… ” sepertinya siperjaka gendut sedikit kesal kepadaku…
46
“Kau datang dan pergi sesukamu…” “Tidak seperti diriku….. kau pasti berharap aku selalu siap kapanpun” “Hingga aku kehabisan waktuku…. tuk menjaga jati diriku” Aku berbalik bertanya “Tidakkah kau merasa takut terkulai di ruang asing ini sendiri?” Siperjaka gendut menjawab dengan sedikit menyindir “Aku sudah terbiasa ditinggal sendiri oleh dirimu….” “Dimana seharusnya hari-‐hari itu kau bertarung bersamaku tuk memperjuangkan harga dirimu” Aku akui pernyataan si perjaka gendut…. Dia memang begitu penuh perjuangannya.. padahal perjuangan itu lebih bernilai karena kehormatanku ada di puing-‐puing yang sedang dia jaga sekuat tenaga…. “Lihatlah aku …..” “Sepertinya aku sudah terjatuh oleh dua sisi sempit……” “Sisi kiriku telah terhimpit oleh perangkat perang yang kian lama kian usang…” “Satu sisi ku terimpit oleh uraian cinta yang tidak pasti…” “Dan kau telah merusak mimpi-‐mimpiku dengan si gadis….” “Kau bangunkan aku ketika aku sedang bercinta dengannya…” “Lihatlah celanaku basah oleh air hitam basi
47
sisa-‐sisa mimpi-‐mimpiku” “Jadi terlihat jika aku semalam mimpi basah…..” Ucapan siperjaka gendut membuatku tertawa…….”Hahahaha…” “Maafkan aku…. aku terpaksa membangunkanmu” “Semakin lama kau bermimpi.. aku hawatir kau akan Terjatuh” “dan semakin dalam mimpimu, semakin dalam pula jarak yang kau tempuh untuk terjatuh..” “Aku hawatir lukanya akan lama untuk sembuh…” si perjaka gendut membalik bertanya… “Bukankah kau mengharapkan demikian….?” “Aku seperti ini karena mencoba menjalankan peran yang kau berikan padaku…” “Sebuah peran yang menjiwai ganda….” “Dan kau pun tau aku menikmati peran itu.. bahkan terkadang ku undang kata-‐kata hati..” “Bermain diantara… bualan, rayuan dan seribu mimpi…” Aku terdiam .. berjalan mendekati si perjaka gendut … kuambil cangkir kotor dimana tetesan kopi sudah tak terlihat.. hanya ampas-‐ampasnya saja yang masih tersisa… Ku tempatkan di kursi lain yang masih berdiri… aku takut cangkir itu terinjak dan pecah… bisa jadi sayatannya melukai kaki ku, kaki siperjaka gendut.., kaki sigadis atau kaki si perjaka mapan…
48
ku tawarkan tanganku.. kepada siperjaka gendut… tuk membantu dia bangun dan bangkit… “Duduklah…. ada sesuatu yang harus kusampaikan” “Tentang apa?” tanya si perjaka gendut… kedua tangannya menepuk pantatnya… celananya sudah kotor dan berdebu …. lalu mengikuti permintaanku untuk duduk.. Akupun ikut duduk disampingnya…. “Sepertinya drama ini harus segera berakhir……” “Aku khawatir dengan dirimu… ” siperjaka gendut terdiam…. dan kulanjutkan ucapanku.. “Kegundahanmu akan si gadis… memang benar adanya….” “Apa yang kau takutkan tentang ucapan sigadis memang benar….” si perjaka gendut berdiri dari duduknya…. “Sudah berapa lama kau mengetahu ini…….” Aku menjawab “Tidak terlalu lama sejak dialog semu nan mesrta antara kau dan si gadis terjadi…” “Aku menerima pesan ini dari si perjaka mapan…” “Dia cukup banyak tau tentang rahasia-‐rahasia yang terjadi…” Siperjaka gendut berjalan perlahan ke arah panggung… namun arahnya seperti seorang perjaka mabuk… perlahan lahan kedua tangannya memegang
49
ujung panggung… dan badannya diangkat… sehingga dia dapat berdiri di atas panggung teriakan keras begitu memekakan telinga….. “Aaaaaarrrrggggggghhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh hhhhhhhhh…..” tiga buah kaca jendela ikut pecah… memandang keatas lampu-‐lampu yang menggantung…. aku bertanya ? “Apakah kau baik-‐baik saja ? ” dia menjawab dengan keras…. “Dia mencoba membuat sayatan-‐sayatan di dadaku….” “Tapi dadaku sama sekali tidak tergores dan terluka sedikitpun…….” aku bertanya dengan nada heran… “Lalu kenapa kau seperti kecewa ? mengapa matamu mulai berlinang air mata?” si perjaka gendut mengusap air mata itu…… “Aku menangis karena mimpiku harus berakhir….. ” ini adalah mimpi-‐mimpi terbaiku…. ini adalah sandiwara dimana sigadis berperan begitu fantastis…. ini adalah drama yang membuat ku miris… akhirnya aku … menangis… aku coba menghibur si perjaka… “Sudahlah.. lupakanlah si gadis itu ….” “Memang akhir dari drama ini sepertinya tidak seperti cerita dongeng hayalan” “Atau cerita rakyat picisan yang terjaja di kotak
50
kaca… tapi ini realita..” “Ayo lah dewi-‐dewi mu masih banyak yang menunggu mu….” “Bahkan Kau sepertinya berlebih, dan harus berbagi dengan siperjaka mapan…” dia tidak membalas ucapanku…. siperjaka gendut turun dari atas panggung….. mulutnya masih berucap dengan nada rendah “Aku tidak percaya dengan ucapan si perjaka mapan…” “Aku tidak percaya si gadis berani memerankan peran itu…” “Aku tidak percaya si “sutradara” dia hanya lelah dengan panjangnya drama ini…” dia melewatiku.. dan berjalan keluar dari ruangan ini… “Kau mau kemana? ini masih pagi…..” Tanya ku.. “Aku ijin.. istirahat… aku demam…. aku butuh waktu.. tuk pulihkan tenagaku” “Lebih baik aku mainkan dramaku di kota gersang…” “Jika kau bertemu dengan si gadis tanyakanlah… seperti apakah layaknya aku ini…” Aku .. menjawab “Baiklah… Istirahatlah di rumahmu…” “Kau butuh itu…. ”
51
Sebuah tamparan dari si gadis bagi sang gadis perjaka gendut…. sungguh.. sesuatu hal yang tak pernah terfikirkan telah terjadi di ruangan ini membuat dia …. terjatuh… menukik…. seperti seekor burung yang menukik tiba-‐tiba seolah sayap-‐ sayapnya terluka oleh seribu panah-‐ panah yang menghujani tubuhnya… tapi aku yakin tidak akan terlalu lama tuk pulihkan lukanya esok dia pasti tersenyum… mungkin saja dia belum menyerah… sayup-‐ sayup suara bsing keluar dari nyanyian-‐ nyanyian parade hitam… mengantarkan si gadis masuk keruangan ini … berjalan perlahan …. sorot mata yang tajam… dan seperti biasanya wajahnya tidak pernah memberikan senyuman … sedikitpun tidak ada kata ramah yang membuat ruangan membiru… semuanya hitam… sejalan dengan lantunan dari musik jalanan yang perlahan menghilang … “maaf pa…” “bagaimana kabar si perjaka gendut ? ” si gadis bertanya begitu lurus tanpa nada kata-‐ kata…
52
Aku jawab “dia baik-‐ baik saja…..” “Saat ini dia terkulai lemas…. demamnya melebihi demam cinta yang saat itu dia rasakan” “dia hanya butuh waktu untuk istirahat.. tuk pulihkan luka-‐luka” “luka itu tidak semuanya terjadi dari anak panah yang kau tembakkan” “mungkin luka jenuh yang selama ini dia pendam di kota gersang…” si gadis sepertinya mencoba menyalahkan diriku “kau terlalu tega tuk membiarkan dia sendiri….” “otaknya terkuras habis untuk menuliskan kata-‐ kata mesin bercampur rayuan gombal” “mungkin aku tersinggung… ” “sepertinya dia mengucapkan sesautu bukan oleh hati… tapi oleh rintihan kejenuhan dia” “dan dia melimpahkannya pada diriku agar aku dapat menghibur dia ketia dia sepi dengan sendirinya..” “seharusnya kau tidak meninggalkannya sendiri terkulai disana…” aku diam… lalu mengajak si gadis tuk menaiki panggung sesegera mungkin… sejenak aku mengerutkan dahi dan melirikan mata dari pandangan dia ke arah panggung.. dia mengerti isyaratku… dan dia melangkah menaiki panggung.. sendiri.. aku duduk… dan mempersilahkan si gadis membawakan perannya… si gadis bertanya kepadaku….. “Mana secangkir kopinya?”
53
“kau belum menyiapkan secangkir kopi untuk mu sendiri…” lalu aku jawab… “tidak ada cangkir.. semua cangkir masih kotor… ” “mungkin semalam disini terjadi drama lain..” “dan menghabiskan bercangkir-‐ cangkir kopi…” si gadis melihat ke tempat dimana aku sedang duduk matanya melihat dan dalam hati si gadis berucap… “sepertinya sebelum aku datang ada sesuatu yang terjadi…” “kursi yang sudah terbalik jatuh seolah telah terodorng oleh beban luka yang dalam…” “dan tumpahan air kopi.. hitam … tercecer di lantai….” lalu si gadis bertanya pada diriku “apa yang telah terjadi ?” “sepertinya ada sesuatu yang terlewatkan oleh ku, sebelum aku tiba disini..” aku jawab ya…. “tadi si perjaka gendut ada disini…” “dia pulang lebih awal… berurai air mata….. sudahlah kau jangan hiraukan” “apa yang terjadi tadi… bagian dari kisah drama yang telah masuk kedalam daftar sketsa..” aku alihkan pertanyaan dia … “sepertinya kau menghindar adeganmu yang harusnya kau bawakan hari ini…” “aku sudah menunggu …. cepatlah…. waktuku tak banyak tuk mendengarkanmu…”
54
si gadis dengan sedikit gugup bercerita… “aku sedang tidak pada tempatku……” “ada perasaan lain dalam diriku…….” “ada sesuatu yang menamparku… dan itu aku…..” peran ini sungguh kunikmati… kulampiaskan kata benci kepada seorang lelaki namun…. mengapa kata-‐kata benci ini berubah wujud jadi nyanyian-‐nyanyian kecil.. penuh nuansa pagi… menyejukan.. dan rayuan demi rayuan menjadi sesutau yang indah dalam hati.. aku sempat tersentuh… dan melayang begitu tinggi… tiba-‐ tiba dari atas langit.. kulihat sang tambatan hati sudah kembali… lalu aku menjatuhkan diri…..” “meninggalkan si perjaka pemuja diri….” “aku akui pastilah sakti … seolrah olah dia mengajakku terbang yang tinggi…” “lalu aku sembunyi….. dan berucap maaf pada sepi…” “aku harus kembali… seolah-‐olah busur jiwa diarahkan pada sang perjaka penunggu hati…” “anak panah.. bertubi-‐ tubi… mengangkasa memecah udara pagi…” “dan salah satunya melukai si perjaka mimpi…..” “dia lah… siperjaka gendut…..” “aku menangis….. namun yang aku tangisi adalah pujaan hati….” “aku hampir menjauhi dan mendekap si perjaka pencari mimpi….”
55
“lalu ketika aku menepi atap langit-‐ langit…” “aku hanya bisa teriak ” “dia tak kan tergantikan… dialah tambatan hati…..” “dia tak kan tergantikan… dialah tambatan hati…..” “hiksss…..” “dia … tak kan tergantikan… dialah … tambatan hati…..” “dia … tak kan tergantikan… dialah … tambatan hati…..” air mata setetes demi setetes.. jatuh perlahan… begitu lambat… tetesannya pecah menghantam kayu panggung yang sudah berdebu…. debu-‐ debu berhamburan seperti tertembak oleh curahan sedih yang menjiwa… dia lanjutkan ucapannya…. “aku tak pernah tersenyum pada si perjaka pengejar mimpi…” “aku takut senyumanku menambah panjang mimpi -‐ mimpi yang ia selami…” “karena aku tegaskan aku memang benar-‐ benar benci….” “benar-‐ benar benci….” “semua sahabatku sudah tahu…. sayang adalah sebuah nama tengah yang ditanamkan kepada dia… “dan sitambatan hati tau aku sedang bermainkan si perjaka pengejar mimpi..” “dia … tak kan tergantikan… dialah … tambatan hati…..”
56
“dia … tak kan tergantikan… dialah … tambatan hati…..” aku bertanya padanya… “lalu apakah si perjaka gendut adalah sosok yang tergantikan ? ” dia membalikan badannya … berjalan menjauh dari depan panggung…. duduk sementara kedua kakinya dilipat ke dada dan dipeluk oleh kedua tangannya… dia tidak menjawab apa-‐ apa… dia hanya berteriak “dia … tak kan tergantikan… dialah … tambatan hati…..” “dia … tak kan tergantikan… dialah … tambatan hati…..” aku tak meneruskan pertanyaanku, biarlah semunya pesan-‐pesan yang terjadi membuat cerita ini penuh dengan berjuta mimpi-‐mimpi tentang kata-‐ kata indah lalu aku berkata padanya … “kau menangis.. karena kau merasakan sakitnya tamparan” “sebuah tamparan yang telah kau lakukan sendiri padamu’ “agar kau tersadar dengan apa yang telah terjadi…..” “kau takut…. cerita drama ini berhenti dengan membawa drama baru pada duniamu…” lalu dia menjawab… “bukan…. ini bukan itu maksudku…” “maaf aku lelah… aku sedang kesal dengan apa yang terjadi padaku di mana aku tinggal…”
57
“maaf aku pulang… aku tidak mau melanjutkannya…. aku berharap.. cukup sampai disini…” si gadis kemudian menuruni panggung dan berlari meninggalkan aku…. bibirku mengecap-‐ngecap… mulutku tidak nyaman… sepertinya kantuk begitu menggoda diriku.. hari ini tidak ada secangkir kopi rupanya… aku berharap besok si perjaka gendut sudah pulih dari demamnya.. karrena kami harus bersiap ke kota gersang…
58
Bangunkan aku jika mentari pagi tlah hangatkan hati sebuah perjalanan.. menelusuri jalan lurus dan panjang… aku dan si perjaka gendut… begitu malas tuk melangkah menuju kota gersang… apa lagi kulihat aura yang menguap dari tubuh si perjaka gendut begitu gelap.. amarah dari sayatan dan rindu begitu terasa.. kami tidak duduk sebangku… kami sama-‐ sama membutuhkan ruang tuk manjakan lamunan … lamunan dirinya… dan lamunan diriku… kami tak saling bertanya tuk sesaat.. sepertinya dia sedang kecewa terhadapku… orang yang mendorong untuk tidak menyerah.. sekaligus orang yang mencoba menghentikan lelahnya sandiwara ini… memang dia belum menyerah.. apa lagi mengubur cerita ini… petualangan ini bagi dia sesuatu yang baru… dan berbeda.. biasanya dia lah yang memegang kendali.. namun pada panggung ini … di dikendalikan seorang gadis… “sayang….” suara itu masih terdengar dalam lamunannya…
59
“sayang….” suara itulah yang terkadang membuatnya tersenyum… “sayang….” tiba-‐tiba lamunannya terbagi “gendut!!!” suara si gadis memanggil dengan penuh benci… tapi tetap saja suara-‐suara itu membuatnya senyum dan tertawa kecil… telingaku masih mendengarkan lagu-‐lagu kenangan ketika aku muda.. bangunkan aku jika september berakhir…. lagu itu sebenarnya bukan yang aku cari… tapi dia menemukannya… dan terasa… sangat tepat dengan alur romantisme yang ia rasakan saat ini… bisikan sang gadis masih ia coba tuk dibayangkan… “sayang……” matanya memejam dan kembali berharap ini bukan mimpi diatas panggung namun panggung di dalam mimpi “sayang…..” cukup banyak pertanyaan yang masih dirasakan si perjaka “jika memang berhenti mengapa kau tetap mencari…..” terkadang sang merpati dia pegang, berharap ada merpati lain yang sudi bertukar tempat…. “aku tidak ingin mengirim pesan… tapi aku
60
memang menunggu pesan…” “dan pesan itu memang masih berjalan…..” bisikan sigadis kembali menghampiri… “sayang…” tapi dia begitu terkejut… bisikan si gadis pecah tiba-‐tiba seperti sebuah cangkir berisi kopi yang dipukul oleh bola besi bisikan berganti menjadi bisikan si perjaka mapan “kau sia-‐sia…….” “kau sia-‐sia…….” si perjaka mapan berteriak “aargggghhhhh……………… d**n” berujung tertawa… keras “heuheheu heuheueueu………” “mengapa si perjaka mapan ada dalam mimpiku…? ” “baik akan kuulangi mimpi ini….” perjalanan masih jauh… aku coba sapa dia….. “sudahlah… janganlah kau terus berada dalam mimpi lama” “ini adalah sebuah panggung… kita berada di atas panggung” si perjaka gendutpun memotong… “maaf… aku tidak mau berbicara…..” “aku masih lelah oleh demamku…..” “cuaca diluar memang panas .. namun di sini dingin….” “aku lelah.. aku ingin tidur….” “bangunkan aku jika mentari pagi tlah hangatkan hati ku”
61
aku tak bisa memaksakan apa yang ku sarankan… karena aku memang bukan sutradara…. perjalanan mulai lewati ujung hijau… dimana rumah-‐rumah berhimpit dengan cerobong asap mulai terlihat perlahan debu jalanan…. panas… mulai terasa… tempat yang membosankan untuk ku jika ingin menikmati suasana… namun bagi para pengeruk harta… inilah tempatnya……. kemudian akhirnya kami sudah sampai di medan perang… dimana nyawa kami.. cinta kami dilepas tuk sementara… saat ini kamu sudah bersiap dengan tameng dan pedang… kami hanya berusaha bertahan…. akhirnya malam telah tiba.. kami coba rebahkan tubuh ditempat dimana rerumputan hijau sempat kami lewati…. ada sesuatu yang lain ketika kami lewati tempat itu…. si perjaka tersenyum kepada seorang penyaji kata, cantik dan manis… senyumnya tersambut begitu dalam… aku sungguh terkejut… sejak kapan si perjaka gendut menangkap sosok baru!!!! tapi sepertinya itu akan menghibur dia…… aku tanyakan kepada dia “sejak kapan kau…”…
62
dia menolak tuk menjawab pertanyaanku .. “bangunkan aku jika mentari pagi tlah hangatkan hati ku..” malam begitu sepi… tidak ada pesan.. atau merpati yang hinggap… kulihat siperjaka gendut tertidur pulas… senyuman dari mulutnya menyiratkan dia masih sedang bermimpi… tapi senyuman yang terlihat seperti sebuah senyuman perang dalam mimpi yang ia menangkan hanya dalam hitungan pagi… pagipun mulai datang kembali…. cerah… hangatnya mulai menyinari si perjaka gendut ku bangunkan dia…… “Hai…. bangun..!!!!!!!!” akhirnya dia terbangun dengan wajah tersenyum……… secangkir kopi pagi bersambut… dan diapun mulai berbicara…. “aku sudah lama mendekati dia… namun aku tidak pernah memiliki hasrat untuk memiliki dia..” “sepertinya dia begitu nyaman dengan rayuanku…” senyuman manusia bertanduk dua mulai terlihat… aku coba nasihati “kalau begitu kau sudah melupakan sigadis…” si perjaka gendut tertawa “maaf… aku tak kan pernah melupakan sigadis…” si perjaka gendut sepertinya tidak mengambil pelajaran
63
dari siksaan yang dibuat oleh si gadis……. dia tetap saja kembali dengan para dewi-‐ dewi…. hanya sekedar penghibur hati… tanpa hasrat tuk memiliki…. pagi ini memang cerah…. semangat si perjaka gendut kembali berseri…. penuh misteri..
64
Aku bukanlah seorang sutradara ku coba berlari-‐ berlari…. sepertinya aku terlambat memasuki ruang dimana panggung tlah menunggu sementara perangkat pengangkut tertahan di bukit ke empat penuh ragu sedangkan aku berharap di bukit ke lima yang ku tuju akhirnya kuhentakan kaki sekeras palu berlari berlari bukit ke bukit lewati tangga-‐ tangga seru aku mencoba tuk mendapatkan cerita, cerita yang selalu kuburu apakah itu senang , tertawa atau sedih bercampur haru.. nafaspun di desak untuk bekerja cepat menekan paru-‐paru…. akhirnya gerbang yang selalu ku tunggu tlah hampiri masa-‐masa yang penuh deru ku masuki ruangan pengap dan penuh debu ternyata mereka telah setia menunggu… kedatangan ku…. secangkir kopi telah tersedia diatas panggung.. “Diatas panggung?… harusnya diatas meja seperti biasa..” aku pun berjalan menuju atas panggung tuk mengambil secangkir kopi lantunan lagu mulai menyambutku menaiki
65
panggung… sebuah lagu sendu… yang mengingatkanku pada masa-‐masa lalu dengan pesan agar aku berharap dia tak melupakan ku…. itu membuatku rindu… rindu pada masa-‐masa yang syahdu akhirnya aku pegang secangkir kopi itu, namun aku lemas malas tuk menuruni panggung dan kembali bersandar di kursi yang biasa ku tempati… aku diam… aku nikmati lagu itu… sambil menghirup asap secangkir kopi… perlu kujelaskan bahwa aku tidak pernah menyukai kopi…… secangkir kopi adalah masa-‐masa sulitku.. yang terjadi hari ini… dia selalu ku bawa dalam lambung sisi hatiku… aku sulit tuk melapaskan pahitnya butiran kopi sisi hidupku… setiap adegan masa sulit itu seolah selalu kubawa pergi… senantiasa selalu menjadi beban dipundakku yang sengsara.. sebenarnya itulah kopi yang selalu kunikmati… rasa manis… rasa harum itu kupaksa diciptakan… sejalan dengan romantisme drama yang terjadi di sekilingku.. si perjaka mapan… si gadis… dan si perjaka gendut….
66
duduk hening.. memperhatikanku… mereka tidak ada yang menangis, sedih apa lagi terharu… mereka seperti biasanya.. semangat.. tegak… meskipun lebam itu bukan karena iba melihat diriku.. namun lelah dengan apa yang sedang mereka jalani.. si gadis memulai menyemangati ku “Ayo…. utarakan saja apa yang akan kau utarakan…!!” “sepertinya misteri drama ini tidak cukup hanya mengungkap misteri dari kami..” “sepertinya ada misteri dibalik ini semua…. termasuk yang ada pada sang sutradara” aku mengelak….. “Aku bukanlah seorang sutradara…!!!!” “Jika aku sutradara tentunya aku arahkan agar cerita begitu bahagia.. dimataku” “Aku hanya seorang pelukis… aku lukis kalian semua.. pada sebuah kertas semu” “dan kutulis apa yang terjadi dengan memberikan warna warni.. kehidupan…” “Jika kau mau panggil aku.. sebenarnya lebih tepat aku dipanggil sang pelukis..” “Bukanlah sang sutradara….” Si perjaka mapan … bergabung menambah kata-‐ kata…. “Mengapa kau tidak melukis dramamu sendiri!!!” “Sepertinya dramamu lebih syahdu dibandingkan drama kami yang selalu membosankan..”
67
Aku diam kemudian berjalan mengelilingi meja.. sementara secangkir kopi selalu ku pegang perlahan ku minum satu tegukan… “Puahhhhhhh…. kopi apa ini? kental… hitam… begitu pekat…” “Membuat jantungku bertambah berdebar cepat…..” “Memang kantuk tiba-‐tiba mati terkubur duri….” Si perjaka gendut tertawa “heheuuuuu…. itu esspresso!!!!!!” “kopi kental yang akan membuat dirimu lebih tersadar….” “janganlah terlalu berduka dengan masa lalumu!!!” aku malu di tertawai oleh si gendut… mengingatkan aku bahwa dulu pun si gendut pernah mencicipi secangkir kecil esspresso “Justru itu!!. aku tak mau melukis hidupku yang baru saja kulalui..” “Aku berharap dari kalian… dengan cerita ini…. ” “dapat menggantikan mimpi-‐mimpi sedih ku…” “dan aku rasakan kebahagiaan itu.. muncul dari sosok-‐sosok seperti kalian” Si perjaka gendut tersenyum nakal…. “lalu bukankah banyak juga para dewi yang menanti dirimu” “sepertinya kau mencoba belajar dari ku heuehuu!!!” aku diam.. tersenyum… “ya aku akui mereka ikut menghiburku…” “namun tidak ada yang dapat menggantikan kisah lamaku…”
68
“semua tak sama…” “mereka tidak ada bedanya dengan kalian…” kemudian aku kembali duduk dan menyimpan cangkir kopi yang aku peggang… sepertinya kopi ini tidak akan ku minum lagi… “ketika aku mulai tergoda….” “selalu saja hati ini terhimpit… seolah-‐olah aku takut… kenangan lamaku meninggalkanku..” “hingga aku terjatuh.. berteriak dan menangis….” si perjaka mapan mencoba menghibur ku “Jika seperti itu.. sepertinya kau harus nikmati kesendirianmu” “lukisanmu membuat aku terkesan…” “nikmatilah hasil karyamu.. jangan terlalu cepat mengejar mimpi akan cintamu” “aku berharap kau tidak mendahului aku lagi… hahahah….” aku ikut tersenyum kepada dia “ucapanmu membuat ku tertawa… ” “baiklah aku coba tuk menunggu, agar kau terlebih dahulu memiliki seseorang yang kau cintai..” aku mulai ungkapkan isi hatiku kepada ke tiga pemeran drama ini.. yang selama ini sebagai objek-‐objek semuku yang selau ku lukis…. “Perjaka gendut….” “kau telah banyak membuatku berubah.. lebih terbuka.. lebih berani…” “dan mencoba mengajakku bermain ke duniamu…. mungkin dikepalaku mulai terlihat dua tanduk”
69
“seperti yang ada pada kepalamu.. namun tidak terlalu terlihat.. hahaha” si perjaka tersenyum .. berdiri dan mengangkat kedua tangan sambil mengacungkan jempolnya kemudian memutar arah jempol yang sebelumnya di atas menjadi ke bawah… kemudian dia kembali duduk…. tertawaku terhenti.. aku tau itu ejekan dari dia.. sepertinya aku kurang berani …… “perjaka mapan…” “aku tau jalanmu dengan jalanku memang berbeda” “aku hanya mencoba mempengaruhimu dan berharap angin sepi tak memporak porandakan anganmu” si perjaka mapan hanya tersenyum sesaat.. “gadis kecil…” “pertama kali aku meihat seorang perempuan setangguh kamu” “mungkin kamu terlalu tangguh sehingga membuat penasaran si perjaka mapan dan si perjaka gendut..” “maaf jika dunia mimpimu terusik.. oleh harapan romantisme dari diriku tentang si perjaka gendut” si gadis tidak memperlihatkan apapun senyumpun tidak… dia hanya melirik ke si perjaka gendut… tanpa senyuman atau lengkungan satu derajatpun untuk si perjaka gendut
70
si perjaka gendut merasakan tatapan itu.. namun tatapan itu tidak di balasnya dia hanya menunduk sambil tersenyum… kulanjutkan perkataanku “sebenarnya drama ini kubuat untuk membuktikan cintaku kepada kekasihku” “bahwa aku sanggup lewati hari-‐ hari..” “tanpa harus melihat kembali masa-‐ masa indah yang telah terlewati” “memang seharusnya tema yang kuambil bukan dari sosok-‐sosok seperti kalian” “namun aku khawatir kesedihan para penonton drama akan menjatuhak aura hidup dan mematikan pancaran semangat hati” aku bangun dari dudukku.. dan menaiki meja… sambil menendang secangkir kopi espresso… crak …. cangkir itu terhempas….. secara perlahan terbang keluar dari meja… keluar dari panggung… sementara cairan hitam memuncrat…. kesekeliling arah….. akhirnya cangkir tersungkur ke lantai dan pecah….tetes demi tetes … sepertinya si cangkir menangis , meringgis…. dengan tindakan ku….. lalu aku perlahan turun dari meja kemudian turun dari panggung.. sementara para pemeran berdiri, tangan kiriku dipegang oleh si perjaka gendut… tangan kananku ditopang oleh si perjaka mapan….. sedangkan si gadis menyiapkan kursi…tanpa secangkir kopi….
71
Pamitnya sang gadis dari ladang pertempuran.. aku terduduk… diam tertunduk.. tanganku seolah ingin memegang cangkir kopi… namum.. hari ini tidak akan ada secangkir kopi.. sementara … tiga pemeran drama masih berdiri memandangiku.. semua harus kembali bertarung…. si perjaka mapan menyimpan perangkat perangnya.. dan pergi ke bukit seberang, karena disana telah menunggu perangkat perang lain.. dia memang harus berjuang diantara dua bukit.. selalu berlari kasana dan kemari siperjaka gendut selalu menemaniku mempersiapkan peperangan di kota gersang si gadis mencoba menaiki panggung dan mengajakku tuk mempersoalkan akhir cerita drama ini “maaf aku meminta drama ini secepatnya diselesaikan…” si gadis terdiam menunggu aku berkomentar.. sebenarnya aku masih hampa.. sulit tuk lepaskan rasa malasku tuk membicarakan adegan ini… namun aku berusaha menghargai apa yang si gadis harapkan “drama ini sebenarnya sudah selesai”
72
“namun naskah ini harus di rampungkan, sebelum layak tuk dipentaskan” si gadis menunduk… sambil memainkan kedua tangannya… seolah sudah tak sabar tuk mengakhiri lamunan panjang di bukit ke lima. “maaf.. aku sudah lelah..” “lelah dengan ungkapan kata sayang kepada dia” sepertinya si perjaka gendut sedang melamun… aku sadarkan dia agar dia ikut mendengarkan apa yang dikatakan sigadis “Perjaka gendut… sadarlah…” “si gadis sudah mengeluarkan pesan…” “dia sudah bosan… memanggil kata-‐kata romantis dengan dirimu…” si perjaka mengerutkan alis sebagai pertanda dia bingung… seolah-‐olah dia sedang berdiri diatas perahu tanpa layar ditengah lautan… “mengapa?… mengapa dia tak berhadapan denganku untuk dialog ini?” “padahal aku selalu menunggu… ” “aku akan mendengarkan.. ” “dan aku tidak akan membantah apa yang dia inginkan..” “itu mudah…” “pertanyaanku… mengapa dia tidak mengucapkannya dihadapanku ?” aku jelaskan pad si perjaka.. meskipun sigadis ada didepanku.. “mungkin si gadis malu tuk ungkapakn ini ..”
73
“sepertinya ada rasa takut yang selalu menghantui dia” lalu aku bertatap muka kembali kepada si gadis.. “Baik aku karena cerita ini sudah berakhir… ” “nanti akan kusampaikan kepada si perjaka gendut..” si gadis terkejut….. “kau memberitahukan dia? agar tidak lagi mengungkap rayuan dan kata-‐kata mesra? termasuk sayang?” aku sedikit tersenyum dan heran “apakah itu menjadi sesuatu beban bagi mu?, jika aku tak sampaikan bagaimana dia tahu?” “atau dirimu yang akan mennyampaikan permintaanmu itu?” kemudian dia sedikit ragu dan memperlihatkan gerakan-‐ gerakan gugup.. “ehm.. tidak , bukan itu maksudku.. iya terima kasih telah menyampaikannya..” aku melihat si gadis sebenarnya seperti menyesali ucapan yang telah ia lambaikan kepadaku untuk si perjaka gendut seolah semua kata ingin ditarik kembali kedalam mulut lalu masuk kedalam rongga-‐ rongga yang berujung di hatinya ada ribuan aura yang keluar dari dalam diri si gadis…. aku tau … ada banyak hal si gadis ingin menjalani hidupnya berjalan apa adanya.. tanpa dimasukan kedalam skenario sebuah drama bersama si perjaka
74
gendut… namun… saat-‐ saat itu memperlihatkan banyak hati yang dikecewakan.. pesan-‐pesan sang merpati dari si gadis sudah tidak ada yang diindahkan oleh siperjaka gendut.. sepertinya kekesalan ini mulai dirasakan… di atas panggung si gadis turun….. kemudian si perjaka menaiki panggung…. si perjaka gendut berdiri tidak jauh dari tangga… lalu ku palingkan pertanyaanku kepada si perjaka gendut… “Mengapa kau palingkan semua merpati dari si gadis?” si perjaka tak ragu menjawab… “aku ingin tahu sepenting apakah pesan yang akan dia kirim” “sepertinya pesan-‐pesan yang akan dia tulis untukku hanyalah sampah beraroma bunga yang penuh warna-‐warni” “sebenarnya aku ingin menerimanya.. namun untuk apa?” “aku teringat ucapan si perjaka mapan… itu hanyalah sia-‐sia..” tidak lama dari itu… si gadis meskipun penuh keraguan kembali menaiki panggung si perjaka gendut begitu terkejut… dia memalingkan tubuhnya hanya punggungnya lah yang memandang tajam kepada si gadis… sementara si gadis perlahan menaiki panggung berusaha menjauhi si perjaka.. dan dia memaki dalam hatinya
75
“Mengapa kau berdiri dekat tangga ini… aku sulit tuk menghindari punggungmu…” kemudian si gadis mengambil jarak beberapa langkah dari si perjaka gendut dan berusaha untuk tidak langsung berhadapan dengan si perjaka gendut… aku tertawa.. lucu… “hahahahahahahahaha………” tapi aku tidak berkomentar dengan dua pemeran itu…. mereka benar-‐ benar menjaga jarak, seperti terasing disebuah negeri dimana mereka belum pernah bertemu .. meskipun dalam hatinya masih saling bersapa terlihat kedua bayangan pemeran bertegur sapa dan berpelukan “hai sayang…..” lalu si gadis menyerahkan sebuah buku…. aku kira itu adalah buku panduan bagaimana cara berperang di ladang pertempuran yang dia buat tapi ternyata buku itu adalah buku yang ia pinjam… sementara … buku panduan yang ia buat cukup tebal… itu adalah hasil perjuangan di pertempuran bersama si perjaka gendut tergeletak begitu saja di ujung meja … seolah …. tidak memperlihatkan sebagai saksi bisu dari perjuangan bersama… si gadis kemudian bicara “mungkin.. ini akhir dari perjuangan ku disini… ”
76
“aku cukupkan masa-‐masa berguru kepada si perjaka gendut” “ijinkan aku tuk melanjutkan sisa perjuanganku di kota ini” “aku akan tetap memabantu sandiwara ini hingga siap diatas pentas” “namun untuk bertarung di bukit ke lima….” “sudah selesai…..” aku.. mengijinkan dia tuk berpamitan dari medan pertempuran…. tidak ada yang perlu di sesali atas kepergian si gadis… kemudian si gadis … melangkahkan kakinya untuk turun dari atas panggung… dia mencoba turun tidak mengarah ke tangga… sepertinya dia mencoba menjauhi si perjaka gendut… yang masih berdiri terpaku membelakangi si gadis… si gadis mencoba turun melalui pintu belakang yang ada diatas panggung… namun dia terkejut, kecewa, malu dan gugup… ternyata pintu itu terkunci… aku pun menyorakinya… “hei… hahaha… pintu itu saat ini selalu terkunci!!!” “turunlah melalui tangga ini” “jika sempat, berpamitanlah kepada si perjaka gendut… ” si gadis akhirnya berbalik arah… perlahan berjalan kearah tangga turun mata tajamnya sesekali memandangi si perajak gendut…
77
begitupun si perjaka gendut… membisu tidak dapat mengeluarkan kata-‐kata…. meskipun dibalik mulutnya…. dia mencoba mengeluarkan seribu kata “jangan turun dari panggun ini…… ku mohon, ” “aku masih menikmati keberadaanmu disini ” aura kata-‐ kata si perjaka gendut terbaca oleh mata hati si gadis…. “Terlambat… aku menunggumu dari tadi… tapi kau hanya bisa membisu…” “aku kecewa… sudah jauh kutempuh tuk berada disini…” “tapi dirimu membiarkanku … aku terhina…. tapi sudahlah” akhirnya si gadis menuruni tangga dan meninggalkan pesan tersirat di wajahnya dengan sebuah kata “selamat tinggal… sayang…” air mata tak dapat tertahan tuk menetes ke setiap anak tangga yang dituruninya si perjaka gendut begitu kecewa.. dengan apa yang terjadi… dia masih tetap berdiri membelakangi… sambil tertunduk… dan mata berkaca-‐kaca…… sebuah lagu menjalar lurus keatas dan kedepan…… menghiasi perpisahan si perjaka gendut dan si gadis…. kaulah awan kelabu yang terbaik yang pernah ku miliki……
78
kamipun kembali bertarung… saat ini tidak akan ada si gadis lagi ikut bertarung di ladang pertempuran…..
79
Fatamorgana di kota gersang antara pertempuran dan mimpi-‐mimpi indah di kota gersang… si perjaka gendut dengan setia mencoba bertahan dengan segala perangkat yang ada.. memang.. di kota ini segalanya tidak sejalan dengan apa yang kuharapkan.. namun si perjaka gendut tetap bertarung.. dan melayang…. sesekali sebenarnya dia berteriak… “Hei….. tolong aku… aku sudah terdesak…. ” “Hai…. apa ada orang dirumah!!!!!” “Aku lelah……” sebuah lagu… menemani sendu.. dan sepinya si perjaka ku kan pergi jauh……. saat itu aku belum menepi ke kota gersang… aku masih mempersiapkan pertempuran lain dikota negara…. kutinggalkan si perjaka mapan sendirian diantara … puing-‐puing dan gersangnya kota… sementara aku sendiri masih duduk diam menunggu kapan aku harus turun tuk ikut bertarung di kota negara ini dua kota itu dekat… sama panasnya .. hanya saja tempat dimana ku bertarung lebih nyaman
80
namun tetap saja aku tidak pernah menikmatinya… karena aku selalu memikirkan siperjaka gendut yang terus didera tekanan anatara pertempuran dan mimpi-‐mimpi indah panggung sandiwara si perjaka gendut berusaha bersembunyi dibalik meja besi dimana tombak dan tameng baja berserakan…. seakan semua mimpi akan berakhir dengan belenggu luka-‐luka tajamnya pedang pedang pertempuran dan pedang cinta… dia membisu.. dan berteriak “I’m falling.. i’m ready to crash… perhaps………” Aku, Setelah pertempuran di kota negara…. berselang satu putaran bumi terhadap cahaya mentari… akhirnya mengejar si perjaka gendut… dalam benakku bukan pertempuran yang ingin ku selesaikan namun cerita drama yang masih menggantung di benak si perjaka gendut… aku sudah tidak menunggu si gadis… jawaban dia sudah pasti… akhirnya aku sampai di kota gersang…. sementara si perjaka gendut masih bersembunyi di balik jeruji.. sepertinya dia lelah dan ketakutan dengan pertarungan ini… namun akhirnya dapat ku kendalikan meskipun aku sendiri ikut terluka
81
terluka oleh tombak yang menghantam kakiku dan tombak lain yang melukai punggungku… dia pun kembali … membiarkan panggung disana tidak terisi oleh para penghuni drama yang mampu pecahkan sunyi sepi tanpa dialog… si perjaka gendut berjalan sempoyongan….. perlahan .. sementara… kedua tangannya mencoba meraba dinding-‐ dinding yang dapat di jadikannya tumpuan agar dapat menghampiriku… akhirnya si perjaka gendut dapat duduk diiringi rintihan luka mimpi… ada yang lain di ruangan ini…. seorang putri raja datang menghampiri kami…… aku terkejut dengan kedatangannya… dia seorang putri raja yang di takuti termasuk aku…. aku gugup…. tertekan … mulutku terbata… aku hanya bisa memberikan hormat, maaf dan meminta belas kasihan…. sementara si perjaka gendut bertolak belakang dengan ketakutanku… matanya berbinar.. senyumnya terbuka lebar…. luka-‐luka yang ada perlahan hilang… aku pukul pipi si perjaka gendut…. deuag… tanganku begitu sakit .. namun si perjaka gendut tidak memperlihatkan pukulanku telah membuatnya sadar dan sakit…. akhirnya si perjaka gendut berbicara…. “dia sangat persis dengan si gadis…..” “lihatlah… kau akan menyadarinya..
82
perhatikan…” “sorot matanya yang tajam…., senyuman yang tidak pernah terbit di wajahnya” “hanya saja dia seorang putri raja… lebih putih dan lebih dewasa…” kami berdua sesaat merasakan gelombang panas yang tinggi… mata mulai berembun… kedua sayap muncul dari punggung-‐punggung… kepakan lambatnya membuat kami terbang aku tersadar.. panasnya kota membuat si perjaka gendut mengajakku berhayal…. “Sadarkah kau… dia seorang putri raja….” “Dan dia telah memaki dan merendahkan diriku……” si perjaka gendut dengan senyum nakalnya… bukankah sigadis pun demikian lalu aku teringat ucapan si gadis… “Payah!!!!!!..” ku coba menempelkan kedua tanganku pada mukaku… “baiklah aku akui memang dia memang putri raja apa yang kau terangkan padaku benar adanya” “dia memang mirip dengan si gadis bahkan lebih cantik …” “tapi janganlah kau bermimpi lebih dalam… jika si gadis ” “dapat digantikan perannya oleh putri raja” “sang pangeran pastilah akan menghukum gantung kita !!” si perjaka gendut lalu tertawa… “heuheu..Aku tau itu… aku hanya terkesan … mungkin aku sudah lelah…”
83
“sehingga mata hati ku selalu tertuju kepada si gadis…” “aku tidak akan mendekati seorang putri raja….” aku dengan wajah kecewa… dari pertarungan ini dan si perjaka gendut… dengan wajah berseri dan sempoyongan… mengakhiri pertarungan… di kota gersang.. dengan penuh bayangan yang tak terbagi…
84
Dialog menjelang tidur…. malam ini dingin…. aku tak sanggup tuk jalani perjuangan ini sendiri…. bebanku sepertinya begitu berat… meskipun aku menyadari ada yang lain yang merasakan beban melabih beban yang ku pikul.. ku coba masuki ruangan dimana panggung berdiri… sendiri… tak terlihat merpati berlalu lalang … disini… sebenarnya aku sungguh ingin tertidur pulas… namun suara jantung hati terus berdetak kencang ku coba memandang panggung kecil ini… berharap selalu menjadi penghiburku… para pemeran drama yang kutunjuk memang memainkan perannya dengan baik.. terutama si gadis yang penuh dengan misteri dan tanda tanya… ternyata ada sesuatu yang terjadi malam ini… si perjaka gendut dan si gadis… belum tertidur… mereka berdua tidak berharap bersapa jua di ruangan ini… aku melihat mereka berdua sudah hadir di tempat ini sebelum aku tiba… dan aku yakin jika mereka bertemu disini dengan ternecana… maksudku sesuai skenario yang telah disepakati
85
mereka berdua… semalam ini…. dimana semua penonton telah tertidur lelap.. mereka berbicara tidak terlalu jelas… terlihat sebenarnya mata mereka sudah setengah menuju mimpi… namun rasa rindu keduanyalah yang mampu menahan setengah kantuk menjadi sebatang korek yang mengganjal kedua mata mereka.. si perjaka berbicara tanpa ada lagi kata sayang yang menjadi sisipan tiap dialog… “apa yang akan kau bicarakan kepadaku.. bukannya semuanya telah jelas..?” si gadis dengan sedikit gugup dan kaku berucap “maaf.. dialog kita memang sedikit janggal, namun aku lebih menikmati percakapan ini…” “dalam diriku sedang terjadi gejolak… semua yang terjadi ditempat dimana aku tinggal” “sepertinya semuanya sedang menekanku.. aku bingung apakah kemelut dalam diriku layak” “layak tuk dimasukan dalam dialog ini dengan dirimu” si perjaka dengan nada tegas.. menjawabnya “aku sudah sulit tuk dapat mendengarkan ucapanmu..” “terkadang diriku bimbang menempatkan dimana aku ini dihadapanmu…” “yang jelas aku masih rasakan sayatan yang tak berluka dari ulahmu” si gadis mencoba membela dirinya “aku tidak pernah merasa bahwa diriku
86
permainkan mimpi-‐mimpimu” “aku hanya merasakan bahwa dirimu selalu membuatku terusik, kau terlalu keras mengusik hatiku” si perjaka gendut mencoba untuk tidak memperpanjang perdebatan lama “baiklah aku sudah tidak terlalu penting dengan apa yang terjadi sebelumnya” “mengenai duniamu… aku sama sekali tidak peduli…” “aku rasakan dialog kita sudah tidak seperti dialog benci yang menyenangkan” “ataupun dialog gombal yang mulanya menyenangkan namun memalukan” “aku sudah tidak terlalu mementingkan itu.. apa yang kau ucapkan” “tentang gelisah jiwamu… tidak lah penting bagiku” “jika kita memang akan mengubur perasaan ini dalam drama ini” “aku sudah siapkan tubuh ini untuk menjadi seperti apa yang diharapkan dalam naskah” “naskah masing-‐maisng diri” kemudian si gadis tidak terlalu banyak berharap dari si perjaka gendut dan dia mulai menjauhi perjaka gendut kemudian menaiki panggung… berhadapan denganku.. sementara si perjaka gendut masih duduk di sudut ruangan yang sedikit gelap…. aku coba bertanya pada si gadis… meskipun aku tahu dia telah meninggalkan medan
87
pertempuran.. aku berharap dalam drama ini dia tetap ikut membantu… “bagaimana perasaan hatimu saat ini?” tanya ku… si gadis kemudian menjawab diantara bimbang dan kantuk… “aku membutuhkan selembar tisu…” “Untuk apa ?” tanya ku, sigadis kemudian .. berharap tangisannya akan selalu ditemani selembar tisu dia merasa parade peti mati hitam selalu saja hinggap diatas apa yang saat ini terjadi padanya.. yang siap mengubur cerita drama yang sedang dia bawakan… “aku sedih terlalu banyak masalah yang sedang ku hadapi” “bukanlah lika-‐liku dengan si perjaka gendut…” “aku ingin mecahkan cermin-‐cermin yang ada didepanku.. aku sedang murka.. entah kepada siap…” lalu aku mencoba meredam emosi yang selalu terikat ambisi si gadis… “kau sudah lelah.. akupun sudah lelah.. .lebih baik malam-‐malam yang tersisa saat ini” “kau gunakan tuk mendinginkan hati.. tidurlah…” si gadis kemudian merengek kepadaku seperti seorang anak kecil yang ingin di timang dan tertidur dalam nyanyian sang ayah…
88
“baiklah aku tidur…. bolehkah kau kecup keningku…” aku sedikit terkejut dengan permintaan yang begitu manja… lalu aku menyanggupinya… “baiklah adikku…” “selamat tidur.. ” perlahan-‐lahan ku kecup keningnya….. dan si gadis menutup matanya dan tersenyum.. “terima kasih kakak…” akhirnya si gadis tertidur pulas aku terjaga… dengan si gadis… lalu kulihat si perjaka gendut….. dia telah tertidur… pulas… sebelum mendengarkan apa yang ku utarakan… namun sepertinya wajahnya masih sulit tersenyum kepada si gadis… dia masih memendam tanda tanya akan sebuah jawaban yang jelas dari sigadis.. aku tahu si gadis menjawab dengan nyanyian yang tidak terlalu tegas kepada si perjaka gendut, membuat si perjaka gendut curiga bahwa si gadis ingin menjalani drama ini ke putaran bumi dilain mentari baiklah ku coba mencium kening si perjaka… namun dengkurannya membuatku benci tuk mencium keningnya… “perjaka gendut.. maaf aku tidak akan mencium keningmu” “kau sudah tertidur pulas dengan dengkuran dan mimpi-‐mimpi asing mu”
89
“yang datang dan silih berganti bersama para dewi….” akhirnya akupun sudah tak tahan lagi… tertidurlah aku… esok pagi aku harus kembali ke kota gersang …
90
Sembunyi diantara jendela-‐ jendela pecah hari sudah kembali pagi…. si perjaka gendut sudah pergi meninggalkan kota dingin… menuju kota gersang hari ini aku lelah.. lelah sekali sepertinya aku sudah malas bertempur dimedan ini para prajurit sepertinya sudah terbiasa ditinggal oleh diriku… ku berharap mereka tidak pernah membenci ku… sebenarnya aku ingin membisu… aku memiliki beban yang lebih berat dibandingkan hari-‐hari laluku.. di ladang pertempuran ini aku merasa sedang sendiri… semua panglima tak perlu mengetahui apa yang sedang ku sesali… aku sudah membawa dua buah cangkir kopi ke mejaku, ditempatkan seperti hari-‐hari dimana sang kopi tersaji disini… salah satu cangkir ku pegang.. aku masih berdiri.. melihat sekeliling ruang yang begitu .. kusam.. hari ini sebenarnya tidak ku rencanakan ada adegan yang akan di pentaskan… namun ternyata si perjaka mapan… datang tiba-‐ tiba
91
tanpa banyak sapa dan bicara… dia langsung menaiki panggung… aku kagum kepada si perjaka mapan… “Tidak seperti biasanya kau begitu semangat menaiki panggung” “Wajahmu begitu penuh selera… dengan senyuman yang membangkitkan semangat jiwa..” ku teguk air kopi yang harum dan nikmat…. beberapa kali… tuk melampiaskan kepenasaranku… si perjaka mapan dengan napas yang tergesa-‐ tegas memasang badan tegak.. kedua tangannya memegang pinggang… “Sungguh… aku menikmati drama ini.. ” “namun aku sama sekali tidak menikmati peranku disini…” “ternyata adegan demi adegan lebih nikmat dan indah jika dilihat dari kejauhan” “kau melukis berlebih sehingga ceritanya sangat jauh dari apa yang sebenarnya terjadi” “warna warnimu begitu menyejukan mata” “ketika warna gelap datang… kau lukis dengan warna gelap yang begitu tajam..” “sebuah hiperbola yang kulihat…” “namun itulah yang membuatku betah melihat drama ini namun tidak diatas panggung ini..” aku terheran -‐ heran.. “lalu kau melihat dari mana…?” “selama ini kemana saja kau…” “kau cukup lama meninggalkan dua sahabatmu
92
yang selalu berusaha menunggumu diatas panggung” si perjaka mapan .. senyumnya perlahan-‐ lahan terhapus… hembusan angin sepoi .. dia rasakan angin itu… dapat masuk ke dalam ruangan ini… melalui celah-‐ celah yang selama ini tak terpikirkan oleh ku… “Ada banyak yang kupelajari disini…” “Namun lebih terasa jika aku melihat dari jarak yang tidak terlalu dekat…” “apakah aku seperti itu?…” “baru pertama kali aku tidak membantah sebuah pandangan seseorang terhadap diriku…” “akan lebih masuk kedalam otak dan hatiku.. setelah melihat dari sebuah tempat..” aku masih bertanya-‐ tanya dari manakah dia melihat? aku merasa diruangan ini tidak pernah ada yang lain… si perjaka mapan kemudian menyuruhku… “Simpan cangkir itu” aku coba teguk cangkir itu sebelum ku simpan… hingga ampas yang tersisa… tuk…. kusimpan cangkir itu si perjaka mapan melanjutkan perintahnya.. “Tutuplah matamu….. rasakan… apa yang kau rasakan” aku masih bingung…. “tidak.. tidak ada apa-‐apa yang kurasakan.. kecual…. angin…” “angin… baik aku merasakan nyanyian angin menerpa mukaku..”
93
si perjaka kemudian memainkan sebuah nyanyian sendu nan indah tentang satu cinta dan satu kehidupan…. aku merasa melayang dan berputar berlawanan dengan arah angin …. sungguh indah… akhirnya si perjaka mapan menyuruh aku “bukalah matamu..” kubukakan mataku … perlahan…. mataku tertuju kepada sebuah jendela .. dimana kacanya telah pecah.. oleh teriakan si perjaka gendut… “kau.. melihat dari luar ruangan ternyata….” si perjaka mapan kemudian menuruni panggung…. “ya.. aku melihat dari luar ruang ini bahkan dari luar gedung ini….” lalu si perjaka berlari.. keluar ruangan… dan muncul dibalik jendela dimana kaca-‐ kacanya sudah pecah oleh suara-‐ suara kekecewaan…. itulah yang membuat si perjaka mapan lebih tersentuh hatinya… bahkan bekas-‐bekas teriakan suara siperjaka mapan masih terlihat pada tajamnya pecahan kaca yang tersisa… aku kembali duduk dan memutarkan kursi ku kearah jendela dimana si perjaka berdiri dan melihat kedalam ruangan.. kuambil satu cangkir kopi yang mesih terisi penuh.. sudah dingin…
94
namun tetap kan kunikmati….. kumulai dengan tegukan pertama… si perjaka mapan.. memulai berlirih kata….. di depan jendela… “aku mulai merasakan apa yang telah terjadi…” “aku terkadang membuat kesalahan…” “dan terkadang aku membuat keputusan yang ingin tak terbantahkan” “ada kejadian yang membuat aku malu…” “maksud hatiku tidak seperti yang aku uraikan…” “namun dampaknya tak terlakan… aku rasakan… aku malu…” “sifatku selalu menutupi rasa malu ku dengan tanpa mengakui perbuatanku…” “aku lebih memilih berlari meninggalkan panggung…” “aku sedang menikmati bagaimana indahnya sebuah diam….” “meskipun hal itu tidak semudah yang aku inginkan….” “aku mencoba mencari kenikmatan tersendiri” “dari sisi.. sisi.. sepi..” “aku dapat belajar dari alur cerita ini.. lebih mudah dilihat dari sini” “sebuah jendela dengan kaca-‐ kaca pecah… ” aku tertegun… kuteguk beberapa kali kopi yang masih terasa manisnya… aku tidak akan banyak komentar… sementara lantunan lagu itu masih terus terdengar… si perjaka mapan sungguh menikmati cerita apa
95
yang telah terjadi…. setidaknya dia banyak belajar dari apa yang telah terjadi hari ini dan masa lalunya…. kembali ke air kopi yang tersisa. . ku teguk perlahan hingga ampas yang tersisa… namun ketika ku akan berkata “lalu apakah kau dianggap” …. “pemain atau….” si perjaka mapan sudah tak terlihat di balik jendela pecah…..
96
Luruhnya sebuah impian semu melayang .. bayanganku sepertinya tidak mengikuti diriku… aku harus mengejar si perjaka gendut yang sudah menunggu di kota gersang disana hari ini aku harus berjalan dengan panglima yang tak sejalan menghadapi penghuni yang tak sejalan, sedangkan penopangku sedang tak sejalan… apa pun itu akhirnya harus kulalui….. dengan kesendirianku … akhirnya aku harus bertarung sendiri terlebih dahulu ada salah dalam pesan suratku… dengan si perjaka gendut… dia masih tertidur ditampat dimana rumput hijau dia lewati… emosiku disini sangat kental … aku seolah harus memutuskan… sesuatu yang sebenarnya belum matang tuk diputuskan… si perjaka gendut akhirnya datang membantuku tuk bertarung… pada masa-‐masa jeda sebuah pertempuran… kami dibawa pergi oleh seorang panglima bodoh yang selalu membodohiku bersama si perjaka gendut… akhirnya kami mengatur strategi pertempuran 7 putaran bumi kedepan…
97
akhirnya kami membuat panggung kecil ditengah… pasar dan jajanan…. si perjaka gendut sepertinya sudah tidak sabar mengutarakan beberapa hari dia berada di kota gersang…. “Aku telah kembali berpetualang dengan dewi-‐ dewi di tempat ini..” “Bahkan aku telah menjamu seorang dewi.. pada saat hari terindahnya…” “sepertinya aku kembali dengan rayuan dan gombalnya..” “heuheuhehu…..” aku terkejut dengan petualangannya yang secepat itu tuk dapat menjerat dewi-‐dewi di kota ini.. lalu aku membelokan petualangannya.. dengan meningingatkan tentang petualangannya dengan si gadis.. si perjaka gendut begitu kecewa “Jangalah kau ingatkan aku tentang si gadis…” “aku sedang tidak ingin membahas si gadis…” “aku ingin memberikan pelajaran kepada dia tuk buktikan bahwa aku penakluk dewi-‐dewi..” panglima bodoh.. ikut berseru dengan dialog yang dilakukan aku dan si perjaka gendut… “Kau sudah cukup tua tuk bermain dan berpetualang dengan dewi-‐dewi..” “sadarkah kau itu akan menghancurkan cintamu di kemudian hari..” “kejarlah apa yang kau cari… carilah kepada Tuhanmu..”
98
“janganlah bermain terlalu lama…” “dan minta maaflah kepada semua dewi-‐dewi yang telah kau gantung diantara pohon… kenari” panglima bodoh.. terus tanpa henti menggurui kami…. seolah dia memang paling mengerti dan berpengalman… aku hampir tertidur dengan ucapannya yang bergumul membusa di mulutnya… dan aku terkadang tidak peduli dengan apa yang sedang di bicarakan… tidak dengan si perjaka gendut…. sepertinya dia terpesona dengan guratan-‐ guratan pensil yang tertulis tepat pada kepalanya…. akhirnya pertarungan di lanjutkan saat mentari mulai bersembunyi dibalik cerobong-‐ ceorbong industri lalu dia pun mulai menyadari… “apa yang dikatakan panglima bodoh sepertinya benar didalam benak dan fikiranku..” “hingga kin aku terus saja mengejar mimpi-‐ mimpi yang belum pasti…” “sepertinya aku harus melupakan apa yang telah terjadi antara aku dan si gadis… ” “lebih baik kami lanjutkan apa adanya tanpa bermain dengan hati…” “aku sudah lelah…” “aku belajar dari si gadis… dan aku harus lebih hati-‐ hati lagi mengungkapkan rayuan-‐ rayuan” aku tidak banyak berkomentar… seharusnya hari ini waktunya ke ladang pertempuran..
99
sepertinya aku dan si perjaka gendut sudah malas dengan suasana hari ini akhirnya aku harus meninggalkan si perjaka gendut kembali sendiri…
100
Akhir sebuah pentas saat itu pertempuran di kota gersang begitu keras waktu di paksa tanpa kantuk tuk tetap bertahan dari gempuran yang deras mereka begitu membenci dengan apa yang telah kami lakukan.. kami sudah terluka dengan sayatan -‐ sayatan pedang-‐ pedang para penguasa namun kamu tidak pernah membawa bendera putih diatas punggung kami menyerah hanyalah kata-‐kata yang terkubur dibalik batu nisan para pecundang saat itu kami memang benar-‐benar bertarung untuk melanjutkan kebaikan sebuah nama persahabatan dan cinta.. tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di kota dingin yang selalu terlewatkan semua perangkat perang selalu siap tanpa sedikitpun waktu tuk mematikannya memang cobaan dan tantangan di putaran bulan purnama bersinar terhadap bumi begitu banyak mereka sanggup bertahan dan mampu menyerang meskipun diriku tak sanggup tuk menggapai atau paling tidak menjadi penopang mereka kami benar -‐ benar harus melupakan semuanya semua hal yang bernafas akan rindu dan cinta……..
101
-‐)=(-‐ ketika pertarungan akan sebuah kehormatan terjadi ada sisi yang tetap indah tuk selalu di bagi seorang gadis yang telah pergi sejak pagi… dari medan pertempuran sedang menanti-‐ nanti.. dibelakang panggung sandiwara yang telah dipenuhi para penanti dia begitu rindu dengan panggung sandiwaranya… si gadis berharap panggung ini menjadi bagian terpenting dalam hidupnya panggung ini dapat memberikan pesta-‐ pesta kecil yang dapat menyejukannya saat saat yang begitu gersang namun bunga-‐ bunga mengembang keatas langit dan putaran bumi meniti sang mentari begitu cantik hari ini sebuah tanggal baru saja terlewati ini memang hari teristimewa bagi si gadis… dia menanti di balik panggung… menanti para perjaka tuk menemani memasuki panggung bersama -‐ sama namun waktulah yang belum pasti.. karena mereka sedang berjuang.. bahkan mereka sedang mempertaruhkan hidup dan mati.. dan menantikan sebuah cinta hakiki saat kembali… si gadis berputar -‐ putar di balik layar panggung berjalan langkah demi langkah hingga ujung
102
layar .. kemudian kembali berputar dan melangkah menjauhi layar berulang-‐ ulang dia lakukan berharap sesuatu terjadi suara detik dari jarum jam sepertinya melambat .. sangat lambat membuat detak jantung si gadis bergerak lebih cepat.. menekan semua rongga dada berharap apa yang akan terjadi akan membuatnya bahagia… dan si gadis pun berbicara pada hati “kemanakah mereka? sedang apakah mereka? aku sangat merindukan mereka” “aku menantikan mereka… hari ini hariku yang istimewa” “apakah mereka lupa.. padahal para merpati sepertinya telah memberikan pertanda ” “pertanda yang pasti bahwa ini adalah hari istimewa…” sesekali si gadis begitu memperlihatkan suara detik waktu.. yang sama sekali suaranya tidak sanggup menenangkan hati -‐)=(-‐ pada waktu yang bersamaan .. aku dan perjaka gendut… mengalami begitu banyak goncangan…. suara teriakan -‐ teriakan kekecewaan.. lebih terdengar seperti suara dari meriam-‐ meriam yang meledak menembakan peluru besi yang diarahkan
103
kepada kami kami begitu terhimpit .. sebuah pertempuran yang tidak seimbang telah terjadi aku sempat ragu jika apa yang harusnya terjadi hari ini bukanlah sebuah pertempuran akan lebih bijaksana jika aku mengakui aku belum siap tuk langkahkan kaki diatas ladang pertempuran namun jika kami terus bersembunyi sepertinya aku tidak akan dapat menyelesaikan perjuangan kami di kota gersang lebih cepat… aku selalu berharap.. bahwa apa yang sedang kami perjuangkan adalah sebagian kecil dari perjuangan yang sama seperti para serdadu yang sedang bertempur di kota dingin… ada saat-‐saat yang begitu menegangkan seperti memegang seutas tali bergelantungan diatas gunung berketinggian 7000m dpl, berdua. memang kami sudah lelah, namun kami yakin mampu melewatinya.. di sela-‐sela pertempuran, pada saat kamu bernaung dibawah porak peronda gedung dan suara-‐ suara dentuman meriam… kami sempatkan tuk tetap bercengkrama tentang panggung sandiwara.. panggung sandiwara adalah sebuah panggung yang penuh dengan mimpi-‐mimpi berlapis zat cair yang penuh dengan kata dan nada surgawi “hari ini kau tidak pernah menyempatkan tuk menutup matamu sejenak”
104
“kau begitu terjaga dengan perangkat perangmu…” “aku sangat hargai begitu besar upayamu tuk menyelesaikan pertarungan ini” “namun aku khawatir kau terlalu keras menghadapinya..” “jangan sampai pecahan-‐ pecahan pertempuran menusuk jiwa mu dari segala arah” “sempatkanlah kau tuk tetap mengetahui dengan apa yang telah terjadi di panggung sandiwara” “hari ini adalah hari teristimewa bagi sigadis” “ungkapkan saja jika ada perasaan semu yang masih melanda pada hatimu..” si perjaka sepertinya sedang menikmati pertempuran.. dan tidak sedikit dia mengutarakan kekecewaannya terhadap apa yang telah dilakukannya sendiri.. “maaf, aku sedang menikmati indahnya sebuah pertarungan” “aku sempat tidak yakin dan ketakutan dengan akan terjadinya pertempuran disini” “namun setelah aku selami ladang pertempuran ini” “sarat akan muatan petualangan yang sebelumnya belum pernah kurasakan” “hingga pulihkan perasaan matiku oleh sayatan dari si gadis..” “aku tahu hari ini hari istimewa baginya, namun aku merasa disini aku merasa lebih istimewa” “dibandingkan harus melihat pesta-‐ pesta,
105
yakinlah hari ini jika pesta itu terjadi ” “akan lebih istimewa jika dia bersanding dengan tambatan hati” “waktu yang tidak tepat jika aku masuk, sedangkan dia lebih berharap dari yang paling istimewa” memang ada beberapa pesan merpati yang sempat tak terlukis olehku pesan para merpati yang saling bertukar antara si perjaka gendut dengan si gadis ada emosi yang akhirnya terkuak bahwa si gadis akhirnya meminta maaf… berulangkali kepada si perjaka gendut… sehingga si perjaka gendut berusaha mengatur irama perhubungannya dengan si gadis lalu aku bertanya “baiklah sepertinya dirimu dengan dirinya sudah tidak pernah mengumbar kata benci” “aku rasa masa-‐masa dimana kau dan dia saling berseturu telah berakhir” “kau memang sudah tidak layak disebut si perjaka gendut…” “aku tahu kau sempat berpura-‐ pura mengirimkan pesan atas nama merpati dari mentari” “kau iri dengan panggilan si perjaka mapan dan si gadis begitu indah terlantun” “sedangkan kau tesebut sebagai siperjaka gendut yang tidak pernah nyaman terdengar dalam balutan puisi ” “sebuah panggilan yang diciptakanku tuk
106
mewakili panggillan benci dari si gadis” “hari ini kuputuskan kau berganti nama.. menjadi si perjaka tampan….” “jika tidak tampan para dewi tidak mungkin dengan mudah hinggap hanya dengan ” “kedipan kata rayuan gombal yang keluar dari angan dan kepala bertandukmu!” si perjaka tampan tersenyum dan bangga.. seolah akhir dari pentas drama ini akan memberikan kesan bahagia yang begitu lengkap… lalu aku kirimkan beberapa merpati tuk mengabari si gadis bahwa kami tidak lupa dengan hari istimewa yang terjadi…. -‐)=(-‐ kembali ke bukit tertinggi… di balik kaca yang tersembunyi si perjaka mapan pun masih tetap dengan setia berdiri… menanti beribu kesunyian yang telah dia bangun sendiri berharap inspirasi dapat dia genggam selama mungkin… seharusnya si perjaka mapan sanggup tuk temani si gadis… namun sayang si gadis sepertinya tidak begitu memperhatikan lagi si perjaka mapan apa lagi si mapan jarang sekali mempergunakan para merpati untuk berbagi perasaan hati dia memilih bersembunyi dan menikmati apa yang terjadi di panggung sandiwara.. namun sepertinya dia kebingungan.. hari ini
107
banyak sekalai mata yang menanti dan duduk di setiap kursi yang tersaji.. kursi yang biasa kududuki bersama sebuah meja kecil dimana secangkir kopi tersaji berpindah tempat menjadi di atas panggung… di letakan tepat di depan meja besar yang memang selalu berdiri ditempat itu.. meja besar itu cukup banyak memberikan cerita termasuk bagi si perjaka mapan.. si perjaka mapan.. sesat tersenyum.. jika mengingat-‐ingat apa yang terjadi ditempat itu.. “sepertinya hari ini akan menjadi hari istimewa.. sayang … para pemeran utama masih bertarung” “lebih baik aku tinggalkan dulu tempat ini akupun harus tetap bertarung di bukit sebrang..” si perjaka mapan akhirnya meninggalkan jendela sebagai tempat persembunyiannya dia sedang semangat dengan perangkat perangnya mengejar ambisinya yang telah lama terpasung oleh pertempuran yang terjadi di bukit ke lima. -‐)=(-‐ kota gersang, aku dan si perjaka tampan… mulai merasakan bahwa pertempuran akan segera usai… harapan meninggalkan kota gersang sepertinya mulai ditemukan… kamu sanggup menguasai meriam-‐ meriam yang sebelumnya telah menembaki kami.. setidaknya tiga perempat lahan pertempuran ini telah kami kuasai…. para panguasa mulai mengerti bahwa
108
perjuangan untuk merubah tidak mudah namun tetap harus dihadapi meskipun tragedi bisa saja terjadi… kapan pun… dan mereka diajak berpacu bersama kami….. kamu sudah siap menggulung seperempat daratan yang belum terkuasai… pasukan kami mulai bertambah… mereka para musuh terus makin terdesak mereka mulai mengerti apa yang sedang kami tuju… si perjaka tampan pun semakin bersemangat… begitu banyak semangat… hingga kami lupa bahwa kami belum sempat meregangkan tubuh ini tuk di baringkan… akhirnya kami memang memutuskan bahwa ladang pertempuran telah kami kuasai jika masih terjadi dentuman -‐ dentuman… itu pertanda kami memang harus terus berjuang… sepertinya aku harus kembali melihat kota dinginku dan panggung sandiwara yang cukup lama kutinggalkan.. sebelum aku pulang rasanya kami harus rebahkan tubuh ini tuk memberikan waktu berharap esok pagi dapat melihat sinar mentari tanpa harus menutupi perihnya mata… kami pun tertidur lelap seiring nyanyian -‐ nyanyian biola berlantun merdu… -‐)=(-‐
109
tengah malam di balik panggung… seseorang telah tertidur bersandar kepada tingginya kayu-‐ kayu panggung… dia tersadar dan dibangunkan oleh seekor merpati membawa pesan … pesan dari si perjaka mapan yang berbunyi : “maaf aku tau ini hari istimewa mu… sebelum detik-‐detik berganti berubah hari….” “ijinkan aku untuk mengecupmu dalam impian semu .. sebagai tanda penghibur mesra bahwa aku tidak lupa akan hari istimewamu…” “maafkan aku .. belum dapat menghibur tepat dihadapanmu.. aku masih bertarung… ” “berharap dapat lewati segala tantangan terberat di hari-‐ hari yang panas ini” “salam hangat…perjaka tampan” … si gadis.. begitu bahagia .. sebelumnya dia merasa takut jika si perjaka tampan telah mengutuknya dan mengusirnya dari panggung sandiwara ini namun sepertinya kata maaf yang tlah terucap dari si gadis bersambut hangat oleh siperjaka mapan… berarti mereka telah sepakat tuk lalui hari-‐ hari sebagai sahabat setia… sudah tidak ada lagi kata sayang… tidak ada lagi rayuan-‐ rayuan dan kata benci….. si gadis pun berguman “baiklah akan ku tunggu kau disini… aku sungguh merindukanmu….”
110
dan akhirnya si gadis kembali bersandar dan tertidur pulas menanti esok pagi… -‐)=(-‐ tidak jauh dimana si gadis tertidur… diluar ruang panggung.. tepat dibawah sebuah jendela si perjaka mapan tertidur pulas… dan lelah…. menanti para pemeran utama naik ke atas pentas… dia memang cukup lelah… dia benar-‐ benar sembunyi .. dari para merpati… seperti seoarang pertapa yang sedang melakukan metamorfosis hingga berubah menjadi seorang mapan yang lebih baik.. dimana para gadis akan banyak yang menanti indahnya cinta “tidurlah sahabatku…istirahatlah… esok pagi akan menantimu” ungkapku.. -‐)=(-‐ malam menjelang pagi… aku terbangun tuk wujudkan lukisan terakhirku….. sementara si perjaka tampan sudah terlelap ditenggelamkan mimpi-‐ mimpi… tuk kembali… ke bukit tertinggi.. dimana sebuah panggung telah menanti… malam menjelang pagi.. aku memang sedang mendapatkan inspirasi.. begitu indah.. masuk melalui lubang telingaku
111
dalam bentuk nyanyian-‐ nyanyian rindu..akan masa silam… hari ini mengingatkanku pada hari istimewa berselang satu putaran bumi dari hari istimewa si gadis tepat tujuh tahun lalu aku ungkapan sebuah kata cinta yang seharusnya terungkap pada saat penjamuanku pada sang kekasih ditempat indah nan romantis yang dengan susah payah ke persiapkan namun ternyata ungkapan cinta itu tak terucap meskipun gejolak dan teriakan hati sudah terdengar oleh sang terkasih… aku urung ucapkan kata itu.. namun akhirnya ucapan tersebut bergema ketika aku mengantarnya dipersimpangan jalan menuju pulang .. sebuah tempat kumuh yang tak terpikirkan olehku untuk mengungkapkan kata cinta .. tempat itulah yang menjadi tempat terindah dan romantis bagiku dan terkasih meskipun terkejut, akhirnya dia mengerti dan menyambut ungkapan cintaku ah aku tersadar.. dengan linangan air mata ini… aku harus kembali dengan lukisanku.. hari semakin pagi… dan akhirnya aku telah siap tuk bergegas pergi… bersama kantukku yang terus mengikuti… mungkin diperjalanan nanti, tubuhku dapat terpuaskan oleh mimpi-‐mimpi sepi…
112
-‐)=(-‐ sebuah pagi yang sebelumnya selalu dinanti dengan panggilan kata esok pagi…. mentari begitu cerah.. telah membangunkan seluruh pemeran … di balik panggung si gadis terbangun oleh suara-‐ suara yang keras sehingga dia bergegas bersihkan diri dan berdandan secantik mungkin.. bermandikan bunga-‐ bunga… pagi .. yang telah lama bersemi… sepertinya si perjaka mapan pun demikian terangunkan oleh suara riuh didalam ruangan… membuatnya penasaran , dia kahwatir ada cerita di atas panggung yang terlewatkan olehnya.. di dikejutkan oelh sesuatu… kota dingin… tempat yang tak tergantikan… aku cinta kota ini… setiap aku meninggalkan kota ini.. selalu saja aku berharap agar aku cepat kembali… tibalah aku di atas bukit tertinggi bukit kelima…. ada yang lain hari ini.. semua telah dipersiapkan oleh sang pemilik panggung ini……. segala sesuatu telah berubah… sudah terlihat dari luar ruangan… si perjaka mapan masih terpukau dan terkejut dengan apa yang terlihat didalam…. kemudian aku menepuk punggungnya… “Mengapa kau masih diluar? masuklah… ” si perjaka mapan menurunkan tanganku yang masih memegang pundaknya… “lihatlah….”
113
kemudian aku melihat dari jendela pecah…. memang akupun terkejut dengan apa yang telah terjadi di ruangan dimana panggung kusam selalu berdiri… semuanya telah berubah…. si perjaka mapan kemudian duduk diatas lantai bersandar di dinding dimana jendela terpaku pada dinding itu.. dia tertunduk lemas… “aku… mungkin tidak akan masuk lagi keruangan itu……..” aku mencoba merangkulnya… “ayo ikutlah bersamaku.. kita masuk melalui pintu belakang… kau tetap harus naik keatas pentas..” tidak seperti biasanya si perjaka mapan tanpa peralawanan ataupun bantahan… mau mendengarkan ajakan ku…. kami berdua memasuki pintu belakang dimana tersambung ke belakang panggung… ketika aku membukakan pintu… suara keras memanggil dari si gadis… “Kakak…!!!!” aku tak terbiasa disebut kakak… namun itu adalah sebuah penghormatan bagiku aku senang si gadis kemudian tak sabar bertanya “mana? ke mana si perjaka tampan?, bukankah kau pulang membawa dia?” yang muncul selanjutnya hanya si perjaka
114
mapan… si gadis kemudian menghentikan pertanyaan-‐ pertanyaan penasaran kepada ku… dengan membalikan badan penuh kecewa….. aku mencoba menghiburnya…… “maaf aku tak sanggup tuk membawanya hari ini…………” lalu dengan nada heran akupun bertanya “mengapa kau begitu kecewa ? bukankah setiap dia ada saat ini kau tak pernah bersapa?” si gadis mulai memperlihatkan kembali.. nada gugup kakunya… “aa..ku .. hanya ingin bertemu saja.. karena ini pentas terakhir kita….” “panggung ini harus berakhir hari ini!!!” “aku sudah lelah… harus berperan sebagai si gadis…” “lihatlah diruangan itu” si gadis sambil menunjuk kearah tirai panggung…. kemudian aku mendekat … ternyata ruangan itu sudah dipenuhi oleh para penunggu cerita…. aku sempat panik… memang aku tetap harus mengajak semua pemeran naik keatas panggung… lalu aku membujuk si gadis untuk tetap masuk keatas pentas….. “janganlah kau terlalu kecewa..” “perjaka tampanmu masih harus bertarung disana… ” “seharusnya aku tidak meninggalkannya.. dia masih membutuhkan ku..”
115
“namun jantung hatiku terus memanggilku agar aku cepat kembali ke kota dingin ini” si perjaka mapan sendiri tidak membantuku tuk merayu sigadis dia sedang mengendalikan emosinya.. karena dia telah berjanji akan mengubah kebiasaan lamanya.. ku tawarkan tanganku tuk menopangnya agar si gadis mau berdiri.. “kita akhiri pentas ini meskipun si perjaka tampan tidak hadir disini…” “aku tau mereka mengharapkan kita naik keatas pentas bersama…” “tapi yang lebih berharga bagi mereka adalah akhir dari drama ini…” si gadis akhirnya mau berdiri “baiklah kak.. demi sebuah akhir dari pentas.. kita naik bersama..” akhirnya kami bertiga membuka tirai pangngung.. dan memasuki panggung… sedangkan aku langung menuruni panggung mencoba duduk bersama para penunggu drama… si gadis dan perjaka mapan dengan kaku berdiri diatas panggung… si perjaka mapan berteriak kesal “kau tak perlu turun !!! tempat mu diatas panggung” aku sempat menjadi bingung ketika melihat kursi dan meja yang biasa ku tempati.. tidak ada….. “dimana? dimana kursi dan mejaku…?”
116
si perjaka mapan dan si gadis menunjukan kursi dan mejaku telah siap diatas panggung… ohh.. aku baru menyadari bahwa aku bukanlah sang sutradara.. pemeran drama ini memang ada empat orang dan aku adalah salahseorang pemeran, ya seorang pelukis.. akhirnya aku naik kepanggung itu… dan duduk di kursiku.. sementara dua pemeran lain masih berdiri dan belum memberikan aba -‐ aba.. untuk membungkukkan badan… secangkir kopi hangat telah tersedia diatas meja ku teguk perlahan.. saat ini tempat ini lebih nyaman begitu rapih… layak untuk di tempati… tiba-‐ tiba seekor merpati tlah membawa si perjaka tampan hadir .. dengan sempoyong.. wajahnya kusam.. matanya memerah … dengan nafas yang begitu lemas… disertai batuk-‐ batuk “Tunggu!!! aku harus ke atas panggung…” si gadis begitu bahagai.. akhirnya menampakan senyumnya yang tak pernah diberikannya… mengejar si perjaka tampan… turun dari panggung… memeluknya.. “begitu lelahnya dirimu… sayang… aku rindu padamu…..” aku begitu terkejut… ketika ucapan sayang .. keluar dari mulut sigadis… sudahlah.. ini adalah akhir dari sebuah pentas… mungkin seperti inilah akhir dari sandiwara
117
ini….. tidak ada yang jatuh hati… si gadis membantu si perjaka tampan menaiki panggung… si perjaka meskipun lelah.. dia begitu senang… dia memang seorang pahlawan… yang telah lama menghilang… di ladang pertempuran kota gersang… kembali dengan membawa kemenangan…. akhirnya ketiga pemeran.. dapat berdiri diatas panggung.. disaksikan oleh para penunggu cerita.. “Tunggu dulu!!!” si perjaka tampan ikut berbicara , “aku ingin si pelukis ikut berdiri bersama kami..” ku simpan cangkir kopi ini…. tanpa debat.. ku ikuti pesan merpati dari si perjaka tampan… kemudian kami berbicara .. satu persatu.. “aku si pelukis, seorang kakak dan sang sutradara” lalu si perjaka mapan menggantikan ku “aku si perjaka mapan…” si gadis bergerak lebih cepat tuk mengungkapkan jati dirinya “aku si gadis, sang penunggang kuda” dan akhirnya si perjaka mapan memperkenalkan nya “aku…………………..” dia terdiam cukup lama………… “si perjaka tampan ..”
118
aku menutup sandiwara ini… “inilah akhir sebuah pentas… semua mengalir begitu adanya dengan balutan puisi hiperbolis” “berharap.. makna hidup dapat lebih dinikmati….” “kemelut hatiku yang terbuai rindu-‐ rindu sebelum luka” “akan menjadi jiwa-‐ jiwa baru.. ” saling berpegangan tangan membungkukan badan .. dihadapan para penunggu cerita…. para penunggu cerita berdiri dan memberikan tepuk tangan yang panjang.. menandai akhir dari sebuah pentas….. selama suara tepukan tangan berjalan seperti riuh pemberi semangat kehidupan aku bertanya pada si perjaka tanpan. “kau akan kemana setelah dari sini..” si perjaka tampan dengan terbatuk-‐ batuk.. menjawab “aku akan kembali ke kota gersang tentunya berharap dirimu.. seluruh ladang sudah kita kuasai” “selanjutnya kita hanya menjaga agar ladang itu tidak sunyi dan tetap bersemi..” aku berucap “baiklah kita tetap lanjutkan perjuangan kita diladang” kemudian aku memandangi si gadis… “bagaimana dengan mu?” si gadis dengan tersenyum malu bicara “aku akan selesai kan tugasku dikota ini”
119
“setelah itu aku akan kembali kepulau dimana ku dilahirkan..” sedangkan si perjaka mapan tidak terlalu banyak bicara.. aku tau aku dan dia sedang menunggu.. kabar dari para dermawan kapankah kami akan dapat melanjutkan perjuangan kami mencari ilmu… akhirnya aku dan siperjaka mapan meninggalkan si gadis dan si perjaka tampan berdua… sudahlah saat ini sudah tidak ada sandiwara lagi.. aku tidak memperdulikan apa yang mereka rasakan si perjaka mapan kemudian bertanya kepadaku… “apa yang akan kau lakukan jika para dermawan tidak mengijinkan kita masuk ketempat mereka?” aku menjawab “aku akan mencari ke negeri seberang” “aku ingin sekali melukis keindahan negeri seberang……” saat ini mungkin aku hanya ingin sendiri…. “mengenang masa-‐masa indahku sebelum masa-‐ masa indah lain mebaharui diriku” sementara kunikmati cerita ini.. mereka si gadis dan si perjaka tanpan telah mengisi kekosongan jiwa romantisku…… suara tepukan perlahan berbaur dengan hening dan sepi….. panggung.. pun kembali sepi.. bersiap-‐siap diisi
120
oleh peran-‐peran yang lain… hanya secangkir kopi yang masih hangat terdiam.. hanya baru satu teguk tercicipi….. hening…. diantara panggung dan tempat duduk para penunggu cerita…… “mainkanlah dramamu sendiri ambilah secangkir kopi berharaplah duniamu akan membawamu menjadi lebih baik untuk saat ini dan hingga saatnya nanti………..”. Tamat
121