Archive Community Health Indonesian Journal of Public Health
Archive Community Health Indonesian Journal of Public Health
PENANGGUNGJAWAB dr. Putu Ayu Suwandewi Astuti, MPH (Ketua PS IKM Unud) Ni Made Utami Dwipayanti, ST., MBEnv) (sekretaris PS IKM Unud) dr. Partha Muliawan, M.SC (OM) (Ketua IAKMI Bali)
PIMPINAN REDAKSI Ir. I Nengah Sujaya, M.Agr Sc., Ph.D
WAKIL PIMPINAN REDAKSI dr.Pande Putu Januraga, M.Kes Sekretaris Redaksi Ni Luh Putu Suariyani, SKM,MHlth&IntDev
DEWAN REDAKSI Prof. dr. Suryadhi, PhD dr. T. Widarsa, MPH dr. Partha Muliawan, M.Sc(OM) dr. Made Sutarga, M.Kes dr. K. Suarjana, MPH dr. I Made Ady Wirawan, MPH dr Putu Ayu Swandewi Astuti, MPH Ni Md Utami Dwipayanti, ST, MBEnv Made Pasek Kardiwinata, SKM, M.Kes dr. LP Lila Wulandari, MPH
ADMINISTRASI Sang Gede Purnama, SKM, M.Sc M.A. Hita Pretiwi S., S.Si I Made Kerta Duana, SKM, MPH dr. Wayan Gede A.E.K, M. Epid
MITRA BEBESTARI PADA EDISI INI Prof. Dr. Ir. I Wayan Sandi Adnyana, MS Dr.dr. I Gede Ngurah Indraguna Pinatih, MSc, Akpt, SpGK Dr.dr. Diah Pradnya Paramita Duarsa Dr. Ir. Yenni Ciawi Dr. Yan Ramona, M.App.Sc. dr Putu Ayu Swandewi Astuti, MPH dr. T. Widarsa, MPH
ii •
Indonesian Journal of Public Health
Jurnal Arc. Com. Health merupakan jurnal resmi (Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat) PS IKM yang diterbitkan oleh PSIKM bekerjasama dengan IAKMI cabang Bali. Jurnal versi elektronik dapat diakses melalui : h!p://www. uphj.org/ Jurnal Arc. Com. Health terbit dua kali setahun, yaitu bulan Juni dan bulan Desember. Jurnal Arc. Com. Health menerbitkan hasil penelitian berhubungan dengan kesehatan masyarakat seperti kebijakan kesehatan, kesehatan ibu dan anak, kesehatan lingkungan, gizi kesehatan masyarakat, kesehatan kerja, promosi kesehatan, ekonomi kesehatan serta ilmu ilmu dasar yang berkaitan seperti bioteknologi kesehatan, biologi molekuler, bioinformatik dan genetik, tanaman, hewan, serta sel yang terkait dengan kesehatan masyarakat. Arc. Com. Health juga menerbitkan review, komunikasi singkat, tinjauan kasus, tinjauan buku terkait kesehatan masyarakat. Arc. Com. Health menerbitkan informasi terkait dalam bentuk promosi dan iklan mengenai kesehatan masyarakat dan teknologi terkait yang menarik minat peneliti kesehatan masyarakat. Untuk Pemasangan iklan dan promosi, naskah harus sudah diterima 6 minggu sebelum penerbitan. Segala bentuk komunikasi harus dialamatkan ke: PS IKM Universitas Udayana JL PB Sudirman Denpasar Bali Tlp/ Fax :+62 361 744 8773 Email: h!p://www.uphj.org/webapps/webmails atau
[email protected] Home page: h!p://www.uphj.org/
Vol. 1 No. 1 : iii
Arc. Com. Health • Juli 2012 ISSN: 9772302139009
DAFTAR ISI ARCHIVE COMMUNITY HEALTH ..........................................................................................
iv
PEDOMAN BAGI PENULIS .......................................................................................................
vi
EDITORIAL • Kampanye kondom, Kementerian Kesehatan, dan Determinan Sosial Kesehatan Pande Putu Januraga ..........................................................................................................
ix
ARTIKEL PENELITIAN • Pemanfaatan Limbah Cair Industri Pengolahan Tahu Untuk Memproduksi Spora Bacillus Thuringiensis Serovar Israelensis Dan Aplikasinya Sebagai Biokontrol Larva Nyamuk Sang Gede Purnama, Deny Silvina Pandy, I Gede. Sudiana ..........................................
1
•
•
•
•
•
•
•
•
Gambaran Faktor Yang Berhubungan Dengan Penderita Kusta Di Kecamatan Tamalate Kota Makassar Tahun 2012 Syamsuar Manyullei , Deddy Alif Utama, Agus Bintara Birawida .............................
10
Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Memetakan Distribusi Sasaran Pemantauan Kesehatan Ibu Di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan Ni Made Dian Kurniasari, Putu Ayu Swandewi Astuti, Ketut Tangking Widarsa, Hari Mulyawan ....................................................................................................................
18
Efek Suplemen Besi Terhadap Peningkatan Hb Dan Indek Eritrosit Ibu Hamil Kt. Tangking Widarsa, I Wayan Weta, Ida Ayu Alit Widhiartini ..................................
28
Status Anemia Gizi Besi Dan Konsumsi Zat Gizi Pada Anak Usia Sekolah Di Lima Panti Asuhan Di Kota Denpasar K. Melisa Listiana D, Ni Ketut Sutiari, Luh Putu Lila Wulandari ...............................
35
Kecukupan Asupan Gizi Remaja Vegetarian Dan Nonvegetarian Di Yayasan Sri Sathya Sai Bali Tahun 2011 Hildagardis Meliyani Ersita Nai, Kadek Tresna Adhi, Ni Ketut Sutiari, S.KM .........
43
Sistem Pemeliharaan Anjing Sebagai Salah Satu Hewan Penular Rabies Pada Penderita Rabies di Provinsi Bali Tahun 2011 Made Pasek Kardiwinata, I Made Sutarga, I Made Subrata, Ni Luh Putu Suariyani .........................................................................................................
50
Faktor Pengaruh Terhadap Ketersediaan Septictank Dan Sambungan Sewerage System Permukiman Pinggiran Kali, Kel. Dangin Puri, Denpasar I Dewa Gede Suwastika dan Ni Made Utami Dwipayanti ...........................................
55
Tingkat Pengetahuan dan sikap Remaja Putri Tentang Kehamilan Usia Dini di Kota Denpasar Dewa Ayu Dian Krisna Dewi, Dinar SM Lubis ...............................................................
63
Indonesian Journal of Public Health •
iii
Archive Community Health
Vol. 1 No. 1 : iv - v
ARCHIVE COMMUNITY HEALTH
Cakupan Jurnal Archive Community Health (Arc. Com. Health) adalah jurnal resmi PS IKM Universitas Udayana yang diterbitkan oleh PSIKM berkerjasama dengan IAKMI Cabang Bali yang mencakup topik yang luas terkait dengan isu kesehatan masyarakat. Jurnal ini didedikasikan untuk mensosialisasikan penemuan terkini di bidang kesehatan masyarakat serta meningkatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang kesehatan masyarakat seperti kebijakan kesehatan, kesehatan ibu dan anak, kesehatan lingkungan, gizi kesehatan masyarakat, kesehatan kerja, promosi kesehatan, ekonomi kesehatan serta ilmu ilmu dasar yang berkaitan seperti bioteknologi kesehatan, biologi molekuler, bioinformatik dan genetik, tanaman, hewan, serta sel yang terkait dengan kesehatan masyarakat. Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam Arc. Com. Health harus merupakan laporan yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya atau tidak sedang dalam proses penelaahan pada publikasi yang sedang diusulkan.
paper reguler sehingga ditulis kontinus dimana pendahuluan, metodologi, hasil dan pembahasan tidak terpisahkan. Jenis ini tidak melebihi empat halamam cetak. Review: review mencakup seluruh aspek kesehatan masyarakat, yang lebih menekankan pada pemikitan kritis tentang isu terkini dan isu khusus. Review ditulis dalam format bebas tetapi harus mengacu pada panduan umum penulisan Arc. Com. Health. Artikel lainnya; artikel seperti komunikasi singkat dengan editor, tinjauan kasus yang sedang terjadi di masyarakat, tinjauan buku terkini, informasi teknologi tentang kesmas yang menarik minat pembaca secara umum. Persyaratan penulis Semua peneliti, akademisi, pemerhati, pengambil kebijakan serta pihak-pihak yang terkait dapat berkontribusi dengan mengirimkan artikelnya ke Arc. Com. Health. Tidak ada persyaratan khusus, etnik dan gender yang ditentukan. Instruksi Pengiriman Naskah
Jenis Artikel Empat jenis artikel dapat dipublikasikan pada Arc. Com. Health yaitu: hasil penelitian, catatan penelitian, review, serta artikel lainnya yang meliputi komunikasi singkat, tinjauan kasus, tinjauan buku terkait kesehatan masyarakat. Hasil Penelitian (regular paper): harus dalam bentuknya yang sesingkat mungkin yang diperlukan untuk mendeskripsikan secara detail dan interptretasi yang jelas dari penelitian. Catatan penelitian (researh note) : merupakan laporan singkat penelitian yang mengandung materi tema khusus yang belum mencukupi kelengkapan
iv •
Indonesian Journal of Public Health
PS IKM Universitas Udayana JL PB Sudirman Denpasar Bali Tel Fax : +62 361 744 8773 Email : h!p://www.uphj.org/webapps/webmails atau
[email protected] Home page; h!p://www.uphj.org/ Proses Review dan Revisi Semua naskah yang masuk ke meja redaksi Arc. Com. Health akan direview oleh dua orang reviewer yang memiliki kompetensi dan keahlian sesuai dengan topik naskah. Penerimaan dan penolakan naskah untuk dipublikasikan pada Arc. Com. Health sepenuhnya didasarkan pada muatan ilmiah
Vol. 1 No. 1 : iv - v
Arc. Com. Health • Juli 2012 ISSN: 9772302139009
dari naskah serta kesesuaian dengan cakupan jurnal. Artikel dapat diterima dalam bentuk yang dikirim saat ini atau harus melalui beberapa revisi sesuai dengan telaah reviewer. Hasil review oleh reviewer akan dikembalikan kepada penulsi tanpa menyebutkan/ menyebutkan nama reviewer dan apabila berdasarkan pertimbangan reviewer dan editor naskah harus direvisi maka revisi harus dilakukan tidak lebih dari 3 bulan. Apabila lebih dari 3 bulan maka naskah akan direview ulang. Pengumpulan Naskah
gambar dan tabel yang dibuat dalam file terpisah. Naskah dan tabel harus disampaikan dalam bentuknya yang dapat diedit dalam format yang lazim seperti MS words, Excel. Gambar dalam format jpeg dengan resolusi tinggi. Biaya Cetak dan Cetak Lepas Setiap naskah yang diterbitkan dalam Arc. Com. Health akan dikenakan kontribusi sebesar Rp. 400.000. Cetak lepas diberikan 2 gratis kepada penulis dan selebihnya akan dikenakan biaya cetak lepas berdasarkan permintaan penulis.
Naskah dikumpulkan melalui email atau dalam bentuk CD yang memuat teks naskah, referensi, tabel, gambar, serta keterangan
Indonesian Journal of Public Health •
v
Pedoman Bagi Penulis
Vol. 1 No. 1 : vi - viii
PEDOMAN BAGI PENULIS
1.
Archive Community Health (Arc. Com. Health) adalah jurnal ilmiah dengan sistem peer-review untuk seleksi naskah.
2.
Naskah yang dikirim adalah naskah yang belum pernah dipublikasikan atau dipertimbangkan akan dimuat dalam media publikasi lain. Redaksi tidak mempunyai kewajiban untuk mengembalikan naskah kepada penulis.
3.
Arc. Com. Health menerima artikel original yang relevan dengan bidang kesehatan masyarakat dan ilmu terkait dalam bentuk artikel penelitian, tinjauan pustaka, laporan kasus, tinjauan buku, atau hal lain yang berkaitan dengan perkembangan ilmu dan teknologi di bidang kesehatan masyarakat dan ilmu terkait
4.
Naskah, termasuk tabel, da$ar pustaka, dan keterangan gambar diketik 2 spasi dengan program MS Word, huruf Times New Roman 12 pada kertas A4. Jarak dari tepi minimal 2,5 cm dengan jumlah halaman maksimum 20, menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kirimkan sebuah naskah asli dan 2 buah fotokopi naskah termasuk foto serta CD yang memuat naskah. Tulis nama file dan program yang digunakan pada label CD.
5.
Teks naskah disusun dengan sistematika: Judul (diketik dengan huruf kapital), nama lengkap penulis (tanpa gelar), alamat/institusi penulis disertai nomor telp, dan alamat e-mail), Abstrak, Pendahuluan, Tinjauan Pustaka (bila ada), Metode (bila hasil penelitian), Hasil, Diskusi/Pembahasan serta Simpulan dan Saran, Ucapan Terimakasih (bila ada), dan Da$ar Pustaka.
vi •
Indonesian Journal of Public Health
Untuk Publikasi Asli (original publication), naskah disusun seperti panduan di atas. Artikel yang besar sekali metodologi biasanmya dimuat dalam supplement (misal model PNAS). Untuk Review (hanya berdasarkan undangan oleh pihak editor) Asbstrak, isi, simpulan dan saran, ucapan terimakasih dan da$ar pustaka (tanpa metodologi). Catatan penelitian (research note); Abstrak, Pendahuluan, Hasil dan Pembahasan, Simpulan dan Saran, ucapan terimakasih dan da$ar pustaka (tanpa metodologi), halaman dibatasi maksimum 4 halaman. 6.
Abstrak dibuat dalam bahasa Inggris jumlah maksimal 200 kata. Artikel penelitian harus berisi Tujuan Penelitian, Metode, Hasil Utama, dan Kesimpulan Utama. Kata kunci dibuat sesuai dengan UNIFORM REQUIREMENTS yang diterbitkan oleh International Commi!ee of Medical Journal Editors di Vancouver, British Columbia pada tahun 1997. Br Med J 1998; 296: 401-5. Pilih 3-5 buah kata yang dapat membantu penyusun indeks.
7.
Tabel, gambar, atau grafik dibuat terpisah dari pembahasan dan diberi nomor, judul serta keterangan yang cukup. Judul tabel dan grafik diletakkan di atas tabel dan grafik sedangkan judul gambar diletakkan di bawah gambar. Jika perlu cantumkan sumber data yang digunakan. Gambar dan tabel dibuat dalam halaman atau file terpisah. Format table dalam excel/MS yang bisa diedit. Keterangan gambar dan tabel (legends) dibuat dalam file terpisah. Kalau ada gambar, penulis harus memastikan huruf yang ada harus tampak dengan baik saat dicetak. Hidari menggunakan keterangan (lambang, font) yang tidak lazim pada gambar. Persamaan
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : vi - viii
ISSN: 9772302139009
matematik harus dibuat dengan menggunakan lambang/font yang lazim dan bisa dicetak dengan baik dan terbaca. 8.
9.
10.
Cantumkan ukuran dalam unit/satuan System International (SI units). Jangan menggunakan singkatan tidak baku. Buatlah singkatan sesuai anjuran Style Manual for Biological Sciences misalnya mm, kcal. Laporkan satuan panjang, tinggi, berat dan isi dalam satuan metrik (meter, kilogram, atau liter). Jelaskan tentang metode statistik secara rinci pada bagian “Metode”. Metode yang tidak lazim, ditulis secara rinci berikut rujukan metode tersebut. Rujukan ditulis sesuai aturan penulisan HARVARD Pengacuan pada sumber informasi dapat merupakan bagian kalimat dengan mencantumkan nama penulis yang diacu, tahun serta halaman yang memuat informasi tersebut dalam tanda kurung. Sebagai contoh (Sampurno, 1992 : 15) atau Sampurno (1992 : 15) menyatakan bahwa “ .......” (dst). Contoh: Pencantuman da$ar pustaka untuk buku: Notoatmodjo, S. (1989). Dasar-dasar Pendidikan dan Pelatihan. Badan Penerbit Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta: 100-114. Phoon, W.O & Chen,W.H, P.C.Y (eds), (1986). Textbook of Community Medicine in South East Asia. John Wiley & Sons, Chichester: 609620. Bila seorang penulis menerbitkan dua buku di tahun 2005, tahun dari buku pertama (dalam urutan abjad dari
urutan) dikutip sebagai 2005a, dan yang kedua sebagai 2005b. Contoh: Smith, J. (2005a). Harvard Referencing. London: Jolly Good Publishing. Smith, J. (2005b). Dutch Citing Practices. The Hague: Holland Research Foundation. Pencantuman da$ar pustaka untuk buku yang ditulis oleh beberapa orang penulis atau sub bab buku: Mercenier, A. (1999). Lactic acid bacteria as vaccines. In: Tannock, G.W. (Ed).Probiotics: A Critical Review. Horizon Scientific Press. Norfolkm UK:113-128. Pencantuman da$ar pustaka untuk jurnal ilmiah: Sjaaf, A.C. (1991). Analisis Biaya Layanan Kesehatan Rumah Sakit. Medika, 17 (10): 819-824. Smith, John Maynard. (1998). The Origin of Altruism. Nature 393: 639–640. Thomson, M. P., Kingree, J. B. & Windle, M. (2008). Longitudinal Associations between Problem Alcohol Use and Violent Victimization in a National Sample of Adolescents. Journal of Adolescent Health, 42: 21-27. Jamison, D.T & Mosley, W.H. (1991). Disease Control Priorities in Developing Countries. Health Policy Responses to Epidimeological Change. Am. J. Public Health, 81(1): 15-22. Pencantuman da$ar pustaka dari halaman web atau perpustakaan elektronik (eLibrary): Nama keluarga penulis/editor, nama awal penulis/editor. (eds) [bila cocok] (tanggal last update atau copyright), “Judul halaman”, (Judul site), Available: URL (Accessed: tanggal akses).
Indonesian Journal of Public Health •
vii
Pedoman Bagi Penulis
Vol. 1 No. 1 : vi - viii
Contoh: Dunn, J.T. (2001, August 23 – last update), “Iodine”, (Linus Pauling Institute), Available: h!p://www.orst.edu/ dept/Ipi/infocenter/minerals/ iodine/iodine.html (Accessed: 2002, September 16)
Contoh: Pratomo, H. (1991). Pengantar riset kualitatif vs kuantitatif. Dalam: Jatipura, S & Yovsyah (eds). 1991. Prosiding Lokakarya dan Pelatihan Metodologi Penelitian Kesehatan, 22/3 - 12/4, 1991. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta: 5461. Catatan: Penulisan kata “Dalam” digarisbawahi atau dicetak miring dan diikuti tanda baca titik dua dan nama editor mendahului judul karya. Bila sumber informasi yang digunakan tidak mencantumkan nama penulis maupun editor, maka acuan menggunakan nama tim penyusun, atau lembaga yang bertanggung jawab atau yang menerbitkan karya tersebut.
Catatan: Tidak diperlukan (eds) karena hanya terdapat penulis saja. Bila tidak dijumpai nama penulis maupun editor, pakailah format berikut. Ingat, cara penulisan harus konsisten: “Judul halaman”, (tanggal last update atau copyright), (Judul site), Available: URL (Accessed: tanggal access) Contoh: “IQ linked with amount of grey ma!er”, (2001, November 5 – last update), (BBC News), Available: h!p:// news.bbc.co.uk/hi/english/sci/ tech/default.stml (Accessed: 2001, March 26). Bila sumber informasi merupakan karya ilmiah yang dimuat dalam suatu kumpulan karya, maka acuan menuliskan nama penulis yang karyanya digunakan, disertai keterangan lengkap mengenai himpunan karya yang menjadi asal acuan tersebut.
viii •
Indonesian Journal of Public Health
11.
Informasi biaya cetak ulang dapat diperoleh dari kantor editorial Arc. Com. Health, PS IKM Universitas Udayana
12.
Naskah dikirimkan pada: Pemimpin Redaksi ARCHIVE COMMUNITY HEALTH, h t t p : / / w w w. u p h j . o r g / w e b a p p s / webmails atau
[email protected].
Vol. 1 No. 1 : v - vii
Arc. Com. Health • Juli 2012 ISSN: 9772302139009
EDITORIAL KAMPANYE KONDOM, KEMENTERIAN KESEHATAN, DAN DETERMINAN SOSIAL KESEHATAN Pande Putu Januraga PSIKM Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
B
elakangan ini media sempat dihebohkan dengan pro dan kontra kampanye kondom. Menarik untuk membahas isu ini dari sudut pandang kesehatan masyarakat dan mengkaitkannya dengan topik yang sedang hangat: determinan sosial kesehatan. Laporan UNAIDS menunjukkan dalam sepuluh tahun terakhir epidemi HIV di Indonesia berkembang pesat dari kategori low level di tahun 90an hingga menginjak epidemi terkonsentrasi pada kelompok beresiko tinggi seperti penasun, pekerja seks perempuan (PSP) dan lelaki seks dengan lelaki (LSL) (UNAIDS 2009). Penularan HIV yang pada awalnya didominasi melalui jarum suntik telah bergeser menjadi utamanya oleh hubungan heteroseksual, hal ini tidak lepas dari rendahnya pemakaian kondom pada perilaku seksual beresiko utamanya di kalangan PSP dan pelanggannya (NAC of Indonesia 2007; Riono & Jazant 2004; UNAIDS 2009). Fakta bahwa PSP dan pelanggannya tersebar di seluruh pelosok negeri adalah sebuah realita yang sulit dipungkiri, sehingga upaya melindungi kelompok ini dari penularan HIV menjadi sangat penting. Mencegah penularan pada PSP berarti mencegah penularan ke kelompok masyarakat lebih umum, mesti diingat sebagian besar pelanggan pekerja seks dan bahkan pasangan waria atau LSL adalah pria beristri (Riono & Jazant 2004). Pendapat dari luar sektor kesehatan utamanya berputar pada pentingnya upaya menyadarkan kembali si pelaku seksual beresiko utamanya pekerja seks untuk kembali ke tengah-tengah masyarakat, 100% ini adalah opsi terbaik, tetapi apakah semudah itu? Jika ya maka sejak lama keberadaan pekerja seks hilang dari muka bumi Indonesia, disinilah kita perlu memamahi konteks sosial yang mempengaruhi keberadaan mereka serta perilaku seksualnya, ini dikenal sebagai determinan sosial (Baum 2008; Blankenship et al. 2006; D. & Knowlton
2005; De Zalduondo 1991). Sederhananya faktor sosial yang mempengaruhi keberadaan pekerja seks dapat dilihat dari dua kerangka pikir (Gupta et al. 2008). Yang pertama dari “continuum of distance” sebuah faktor terhadap situasi yang dihasilkan dalam hal ini keberadaan pekerja seks, misalnya tidak memiliki uang untuk bertahan hidup adalah faktor sosial terdekat (proximal) sedangkan ketergantungan ekonomi kepada lelaki merupakan faktor yang lebih jauh, sementara ketidakadilan gender misalnya adalah faktor sosial yang paling jauh (distal) mempengaruhi keberadaan pekerja seks. Kerangka pikir kedua adalah pada level struktur mana sebuah faktor sosial berpengaruh; misalnya tidak memiliki uang untuk bertahan hidup adalah faktor yang berada pada level individu, ketergantungan pada pasangan berada pada level lingkungan, sistem waris ada pada level struktur dan ketidakadilan gender ada pada level superstruktur. Tentu saja ada banyak faktor sosial lain yang saling terkait dengan contoh diatas, sebut saja agama, suku, budaya, dan politik yang membentuk jejaring faktor yang luar biasa rumit mempengaruhi keberadaan pekerja seks. Lebih jauh lagi terdapat 3 faktor konstektual yang mempengaruhi kemampuan seseorang atau kelompok mengakses layanan pencegahan atau kesehatan (Baum 2008; Blankenship, Bray & Merson 2000; Blankenship et al. 2006). Ketiga faktor kontekstual tersebut adalah availibility atau ketersedian alat, sarana, prasarana, perilaku, atau kondisi yang memungkinkan seseorang atau kelompok masyarakat menggunakan layanan pencegahan, dalam konteks diskusi kita ketersediaan kondom di lokasi dimana perilaku seks beresiko terjadi adalah salah satu contohnya. Yang kedua adalah acceptability atau penerimaan terhadap sarana pencegahan, jika secara norma sosial kondom sudah dianggap sebagai barang
Indonesian Journal of Public Health •
ix
Editorial
maksiat yang tidak boleh ada karena memicu perilaku “seks bebas” (stigmatisasi kondom) atau pemikiran kondom “tidak nikmat” maka jelas akan menimbulkan hambatan sosial dan psikologis yang secara langsung atau tidak langsung memicu rendahnya pemakaian kondom. Yang ketiga adalah accessibility atau kemampuan mengakses layanan pencegahan atau intervensi sosial, ini berbeda dengan availability karena jika availability hanya terfokus pada apakah layanan pencegahan tersebut tersedia di “pasar” maka accessibility juga mempertimbangkan apakah “konsumen” memiliki sumber daya yang memadai untuk “membeli” layanan pencegahan tersebut. Contoh accessibility adalah tindakan represif aparat “menangkap” pekerja seks sehingga terpencarpencar dan berpindah-pindah yang kemudian mengurangi kemampuan mereka mengakses kondom dan layanan pencegahan lainnya, atau posisi daya tawar pelanggan yang lebih kuat yang mengakibatkan pekerja seks sulit menolak jika pelanggan tidak menggunakan kondom. Tentu saja ketiga faktor tersebut dan posisinya dalam continuum of distance saling berinteraksi secara kompleks dan saling memperkuat faktor sosial yang mempengaruhi kerentanan kelompok beresiko di Indonesia. Melihat kompleksitas determinan sosial yang ada, Kementerian Kesehatan RI sangat sulit diharapkan mampu bekerja maksimal pada isu seputar budaya, ekonomi, politik, masalah hak-hak perempuan atau masalah bias gender untuk mempengaruhi keberadaan kelompok perilaku beresiko tinggi di masyarakat, tetapi justru memiliki segala prasyarat untuk berbuat maksimal memodifikasi faktor availibility, acceptability dan accessibility terhadap layanan pencegahan seperti kondom dan pelayanan kesehatan reproduksi lainnya. Kemkes dapat mengeluarkan kebijakan, bekerjasama dengan sektor lain dan mengkoordinasikan banyak pemangku kepentingan untuk menjamin ketersediaan kondom di lokasi dimana perilaku seksual beresiko terjadi (availibility). Dengan pemasaran sosial yang tepat maka kondom dapat diterima sebagai alat kontrasepsi yang berfungsi ganda melindungi dari kehamilan tidak diinginkan dan juga melindungi dari penularan penyakit menular seksual (acceptability).
x •
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : v - vii
Ditambah dengan jejaring sampai ke tingkat Puskesmas, melalui mobilisasi, kerjasama dan pemberdayaan kelompok beresiko diharapkan mampu memodifikasi faktor accessibility yang mempengaruhi kemampuan mereka mengakses layanan pencegahan. Jelas ada banyak contoh upaya berbasis bukti yang bisa dilakukan Kemkes RI untuk menjamin tersedianya layanan pencegahan yang bisa diakses kelompok beresiko dan tentu saja kelompok masyarakat lain yang membutuhkannya. Dibutuhkan kehati-hatian dan strategi komprehensif untuk memulai upaya ini, sebuah tantangan yang bukan baru tetapi mungkin kini baru disadari. Salam hangat, DAFTAR PUSTAKA Baum, F 2008, The new public health, Oxford University Press. Blankenship, KM, Bray, SJ & Merson, MH 2000, ‘Structural interventions in public health’, Aids, vol. 14, p. S11. Blankenship, KM, Friedman, SR, Dworkin, S & Mantell, JE 2006, ‘Structural interventions: concepts, challenges and opportunities for research’, Journal of Urban Health, vol. 83, no. 1, pp. 59-72. D., CLP & Knowlton, A 2005, ‘Micro-social structural approaches to HIV prevention: a social ecological perspective’, AIDS care, vol. 17, no. S1, pp. 102-13. De Zalduondo, BO 1991, ‘Prostitution viewed cross-culturally: Toward recontextualizing sex work in AIDS intervention research’, Journal of Sex Research, vol. 28, no. 2, pp. 223-48. Gupta, GR, Parkhurst, JO, Ogden, JA, Aggleton, P & Mahal, A 2008, ‘Structural approaches to HIV prevention’, The Lancet, vol. 372, no. 9640, pp. 764-75. NAC of Indonesia 2007, Country report on the Follow up to the Declaration of Commitment On HIV/AIDS, NAC of Indonesia, Jakarta. Riono, P & Jazant, S 2004, ‘The Current Situation of the HIV/AIDS Epidemic in Indonesia’, AIDS education and prevention, vol. 16, no. Supplement A, pp. 78--90. UNAIDS 2009, AIDS Epidemic Update, UNAIDS, Geneva.
Vol. 1 No. 1 : 1 - 9
Arc. Com. Health • Juli 2012 ISSN: 9772302139009
PEMANFAATAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PENGOLAHAN TAHU UNTUK MEMPRODUKSI SPORA BACILLUS THURINGIENSIS SEROVAR ISRAELENSIS DAN APLIKASINYA SEBAGAI BIOKONTROL LARVA NYAMUK Sang Gede Purnama, Deny Silvina Pandy, I Gd. Sudiana Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Udayana Email :
[email protected]
ABSTRACT Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) in Indonesia, was a public health problem that could not be handled properly until this. This ma!er was proven by always finding the number of dengue cases continued to increase each year and o$en cause death. Based on some study found that the use of the bacterium Bacillus thuringiensis serovar israeliensis (BTI) as bioinsektisida that was proven to be more safe, effective and selective in kill mosquito larvae of Ae. aegypti. Barrier of the use of this bioinsektisida was its price that was expensive, because of being produced by synthesis media. Therefore, researchers was interested to be able to produce Bti with soybean liquid waste knew that during this o$en coused water pollution. It is expected produced BTI with a relatively cheaper price compare than produced by BTI synthesis media. To be able to prove the liquid soybean waste could be used as a medium BTI than conducted trials with Bti 4Q1 inoculated in wastewater soybean and Nutrient Broth (synthetic media), and then compare the number of spores produced from both media. This study was conducted in the Bioscience and Biotechnology laboratory, Udayana University, for two months. The results of this study show the liquid soybean waste proved to be able to produce spores in greater numbers than NB. Apart from the pathogenicity test conducted BTI obtained results that was produced by the liquid soybean waste to have the power to kill a higher than NB. The advantages of this study include: media materials was cheap, reduce water pollution, and easy to get it. Keyword: The liquid soybean waste, B.t.i, Aedes aegypti
PENDAHULUAN
P
enyakit demam berdarah dengue (DBD) atau dengue hemorrhagic fever (DHF) ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, yang ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Kristina, 2005; Ester, 1998). Penyakit DBD di Indonesia semakin meningkat pada tahun 2009 terdapat 158.912 kasus dengan jumlah kematian 1.420 orang. Dengan demikian, IR DBD pada tahun 2009 adalah 68,22 per 100.000 peduduk dan CFR sebesar 0,89%. Angka-angka tersebut mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2008 dengan IR sebesar 59,02 per 100.000 penduduk dan CFR sebesar 0,86% (Kemenkes,
2010). Hal tersebut menunjukkan bahwa DBD masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia sehingga saat ini. Upaya pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada vektor penularannya, yaitu nyamuk Ae. aegypti. Pengendalian vektor nyamuk Ae. aegypti yang telah dilakukan adalah dengan cara penyemprotan dengan menggunakan insektisida, namun cara tersebut belum juga berhasil memberantas kasus DBD. Penggunaan insektisida kimia secara berulangulang dapat menimbulkan resistensi vektor, matinya hewan lain yang bukan sasaran dan pencemaran lingkungan. Karena itu perlu dicari cara alternatif lain yang lebih efektif untuk menanggulangi vektor DBD. Salah satu Indonesian Journal of Public Health •
1
Purnama, et.al
cara yang mulai banyak diteliti dan potensial serta dipandang mempunyai prospek yang baik, karena memiliki banyak kelebihan adalah menggunakan bakteri Bacillus thuringiensis serovar israeliensis (B.t.i) yang patogen bagi jentik nyamuk. Adapun kelebihannya adalah bersifat aman, efektif dan selektif dalam membunuh jentik nyamuk khususnya jentik nyamuk Ae. Aegypti (Soesanto, 1992). Bacillus thuringiensis serovar israeliensis memproduksi delta endotoksin yang bersifat patogen terhadap serangga dan sudah dikembangkan menjadi salah satu bioinsektisida untuk membunuh jentik nyamuk dan lalat hitam (WHO, 1979). Efek letal B.t.i terhadap jentik nyamuk disebabakan oleh aktifitas delta endotoksin yang terkandung dalam kristal protein toksin (Mardihusodo, 1991). Oleh karena itu untuk dapat menggunakan B.t.i sebagai bioinsektisida maka perlu diproduksi spora B.t.i dalam jumlah yang memadai. Untuk memproduksi spora B.t.i diperlukan medium pertumbuhan yang sampai saat ini masih menggunakan medium sintetis yang harganya relatif mahal. Oleh sebab itu perlu dicari suatu alternatif lain yang dapat dijadikan sebagai medium pertumbuhan B.t.i dengan harga yang lebih murah, dengan produksi spora B.t.i yang tinggi. Seiring perkembangan teknologi, limbah pertanian dapat dimanfaatkan sebagai subtrat untuk menumbuhkan mikroba untuk memproduksi berbagai jenis bahan yang bermanfaat bagi industri, seperti enzim dan zat antibiotika. Salah satu limbah pertanian yang cukup berlimpah adalah limbah cair tahu yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik tahu. Limbah cair tahu ini penggunaannya masih sangat terbatas dan umumnya dibuang ke sungai, yang dapat mengakibatkan pencemaran sungai. Limbah cair tahu mengandung protein, glukosa dan komponen lainnya dengan kadar yang relatif tinggi. Dengan kandungan nutrisi tersebut maka limbah cair tahu mempunyai potensi sebagai medium untuk memproduksi spora B.t.i. Mengingat bahwa limbah cair tahu
2 •
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 1 - 9
umumnya dibuang ke sungai, maka penelitian ini sekaligus akan memberikan manfaat dalam mengurangi pencemaran lingkungan. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti tertarik menggunakan limbah cair tahu sebagai medium alternatif bagi pertumbuhan B.t.i dalam memproduksi spora, dan sekaligus kemungkinan alternatif penggunaan B.t.i sebagai biokontrol larva nyamuk. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain mengetahui potensi limbah cair industri pengolahan tahu sebagai medium untuk memproduksi spora Bacillus thuringiensis serovar israeliensis dan mencoba pemanfaatan B.t.i sebagai biokontrol terhadap larva nyamuk. Serta mengetahui patogenesis Bacillus thuringiensis serovar israeliensis pada larva Ae. aegypti. METODE Variabel yang diamati pada penelitian ini ada dua yaitu: efektifitas pembentukan spora dan uji patogenisitas Rancangan penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola sederhana, dengan 3 kali ulangan. Adapun perlakuan yang dipakai adalah Limbah Cair Tahu (LT) dan medium sintetis Nutrient Broth (NB). Bahan-bahan yang dipergunakan pada penelitian ini antara lain : biakan murni Bacillus thuringiensis serovar israelensis 4Q1 (B.t.i 4Q1) yang diperoleh dari Bacillus Genetic Stock Center, Ohio State University, USA, limbah cair tahu yang diperoleh dari UD. Masmo, telur nyamuk Ae. aegypti diperoleh dari Department of National Education, Tropical Disease Centre, Airlangga University, larutan NaOH 10%, agar powder, NaCl0,85%, HCl, pewarna Gram set, metanol, tissue, kapas, etanol 70%, dan media Nutrient Broth (NB, Oxoid). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : tabung Eppendorf 0,5 ml, pipet tips, kain kasa, baskom, jerigen, Erlenmeyer 500 ml, tabung reaksi, gelas piala, autoclave, shaker (Eyela, Multi Shaker MMS), pH meter (TOA Ionmeter 1M-4OS), stirrer,
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 1 - 9
ISSN: 9772302139009
mikroskop, timbangan analitik, inkubator (Memmert), aluminium foil, jarum ose, cleanbench, sentrifuse, oven, ember, dan kain kristik. Adapun perincian kerja dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Persiapan kultur Bacillus thuringiensis serovar israelensis 4Q1 Stock Bacillus thuringiensis serovar israelensis dalam agar miring disegarkan dengan cara memindahkan satu mata loop biakan B.t.i 4Q1 ke dalam 5 ml media Nutrient Broth steril kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 300C. 2. Persiapan medium untuk produksi spora. Membuat media NB sebanyak 600 ml dan 200 ml masing-masing dimasukkan ke dalam 500 ml. Limbah cair tahu disaring sebanyak 600 ml, lalu pH nya diatur dengan cara menambahkan larutan NaOH 10% sampai pHnya 6,5-7,0. Kemudian sebanyak 200 ml ditempatkan pada 3 Erlenmeyer 500 ml. Selanjutnya NB dan limbah cair tahu tadi, disterilisasi dengan menggunakan autoclave pada suhu 1210C selama 15 menit. Pada tahap berikutnya, NB dan limbah cair tahu didinginkan sampai mencapai suhu 300C dengan cara direndam dalam air dingin. Setelah dingin, baik NB maupun limbah cair tahu diinokulasi dengan 2 ml kultur B.t.i 4Q1 secara aseptis di dalam cleanbench. Lalu keduanya dinkubasi pada suhu kamar (sekitar 300C) sambil digoyang (shake) dengan kecepatan 175 rpm selama 4 hari. 3. Persiapan bubuk spora kering Kultur cair diambil sebanyak 1 ml kemudian dipanaskan 800C dalam air panas selama 15 menit untuk membunuh sel vegetatif, lalu disentrifuse (pusing) pada kecepatan 5000 rpm selama 15 menit. Endapan massa sel dan spora yang terbentuk, kemudian dikeringkan dalam oven/pengering pada suhu 600C sampai kering.
Data pada penelitian ini dikumpulkan dengan cara menghitung jumlah sel hidup dan spora B.t.i yang dibiakan pada medium limbah cair tahu yang dilakukan pengenceran: 1. Perhitungan jumlah sel hidup Perhitungan jumlah sel hidup dilakukan dengan cara mengambil sebanyak 1 ml biakan B.t.i pada medium limbah cair tahu dan ditambahkan 9 ml akuades pada tabung reaksi, kemudian dikocok sampai homogen. Sesudah itu dibuat pengenceran seri 10-1-10-10 dalam larutan NaCl 0,85% steril. Dari masingmasing pengenceran diambil 0,1 ml dan diinokulasi pada 20 ml medium Nutrient Agar dalam cawan petri. Selanjutnya diinkubasi selama 48 jam pada suhu 300C dan dilakukan penghitungan jumlah koloni yang tumbuh pada cawan petri. Dari formulasi bubuk B.t.i 4Q1 yang diperoleh diambil sebanyak 1 gr dan ditambahkan 99 ml akuades steril dalam labu Erlenmenyer bervolume 250 ml dan dikocok sampai homogen. Sesudah itu dibuat pengenceran seri 102 -10-10. Selanjutnya adalah sama seperti perhitungan jumlah sel hidup formulasi cair B.t.i 4Q1 di atas. 2. Perhitungan jumlah spora Untuk menghitung jumlah spora, maka kultur bakteri formulasi cair dan bubuk B.t.i 4Q1 yang berada pada masing-masing pengenceran 10-1-1010 dipanaskan pada suhu 600C selama 30 menit. Pemanasan dilakukan untuk mematikan kuman bentuk vegetatif. Langkah selanjutnya adalah dari masing-masing pengenceran formulasi cair dan bubuk B.t.i 4Q1 diambil 0,1 ml dan diinokulasi pada 20 ml medium Nutrient Agar dalam cawan petri, lalu diinkubasi selama 48 jam pada suhu 300C. Sesudah itu dihitung jumlah spora B.t.i yang tumbuh pada cawan petri yang berisi agar nutrient. 3. Uji patogenisitas suspensi Bacillus thuringiensis 4Q1
Indonesian Journal of Public Health •
3
Purnama, et.al
4.
4 •
Uji patogenisitas dari suspensi B.t.i 4Q1 dilakukan dengan cara mensuspensikan 0,1 ml biakan B.t.i 4Q1 dalam limbah cair tahu dengan akuades sebanyak 99,9 ml, kemudian dikocok sampai homogen. Selanjutnya dari larutan tersebut diambil berturut-turut sebanyak 1 ml, 3 ml, 5 ml, 7 ml, 10 ml, 30 ml dan 50 ml menggunakan pipet lalu dimasukan ke dalam gelas plastik yang berisi 20 ekor larva nyamuk Ae. aegypti dan berturutturut ditambahkan dengan akuades sebanyak 99 ml, 97 ml, 95 ml, 93 ml, 90 ml, 70 ml, dan 50 ml untuk memperoleh konsentrasi akhir yang dibutuhkan yaitu 0,0001 ml/l, 0,0003 ml/l, 0,0005 ml/ l, 0,0007 ml/l, 0,001 ml/l, 0,003 ml/l dan 0,005 ml/l. Sebagai kontrol gelas plastik hanya diisi 100 ml akuades dan 20 ekor jentik Ae. aegypti, kemudian didiamkan selama 24 jam. Setelah 24 jam dilakukan pengamatan untuk menghitung berapa jumlah larva nyamuk yang telah mati dan setelah 48 jam akan diamati kembali untuk mengetahui hasil uji patogenesitas dari B.t.i 4Q1. Uji patogenisitas fomulasi bubuk Bacillus thuringiensis 4Q1 a. Uji patogenisitas formulasi bubuk B.t.i 4Q1 secara in vitro Uji patogenisitas formulasi bubuk B.t.i 4Q1 secara in vitro, dilakukan dengan cara membubuhkan formulasi bubuk B.t.i 4Q1 secara berturut-turut sebanyak 0,01 gr, 0,03 gr, 0,05 gr, 0,07 gr, 0,1 gr, 0,3 gr, dan 0,5 gr ke dalam gelas plastik . Selanjutnya masingmasing gelas plastik ditambahkan 100 ml akuades dan 20 ekor jentik nyamuk Ae. aegypti. Sebagai kontrol gelas plastik di isi 20 ekor jentik nyamuk Ae. aegypti lalu ditambahkan 100 ml akuades. Kemudian didiamkan selama 24 jam. Setelah 24 jam dilakukan pengamatan untuk menghitung berapa jumlah larva nyamuk
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 1 - 9
b.
yang telah mati dan setelah 48 jam akan diamati kembali untuk mengetahui hasil uji patogenesitas dari formulasi bubuk B.t.i 4Q1. Uji patogenisitas formulasi bubuk B.t.i 4Q1 dibandingkan dengan abate secara semi in vitro Dalam uji patogenisitas ini, dilakukan dengan cara membuat tiga kelompok percobaan untuk membandingkan daya bunuh antara B.t.i yang diproduksi dengan limbah cair tahu dan Nutrient Broth (NB) dengan abate pada konsentrasi sama. Kelompok percobaan satu diberi bubuk abate dan kelompok percobaan dua diberi fomulasi bubuk B.t.i 4Q1 yang dihasilkan dari limbah cair tahu. Sedangkan kelompok percobaan tiga diberi bubuk B.t.i 4Q1 yang dihasilkan dari NB. Ketiga kelompok percobaan tersebut diberi perlakuan yang sama dengan penambahan kansentrasi berturut-turut antara lain: 0,01 gr/l, 0,03 gr/l, 0,05 gr/l, 0,07 gr/l. Setelah ditambahkan jentik nyamuk Ae. aegypti sebanyak 25 ekor. Langkah selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap kematian jentik setelah 24 jam dan 48 jam.
Data yang telah dimasukan kedalam tabel akan dianalisis dengan menggunakan uji statistik menggunakan komputer. Uji t digunakan untuk menguji apakah rata-rata jumlah sel dan spora pada limbah cair tahu berbeda dengan menggunakan media NB. Hasil penelitian ini disimpulkan sesuai dengan hasil uji statistik antar dua perlakuan limbah cair tahu dan Nutrien Broth diatas. Perlakuan yang memberikan patogenisitas yang lebih menunjukkan bahwa semakin banyak spora B.t.i 4Q1 yang terbentuk. Jadi perlakuan tersebut lebih efektif dipergunakan untuk memproduksi spora B.t.i 4Q1. Untuk
Vol. 1 No. 1 : 1 - 9
Arc. Com. Health • Juli 2012 ISSN: 9772302139009
kemungkinan pemanfaatan B.t.i dalam mengontrol larva nyamuk dilakukan dengan membandingkan patogenisitas antara formulasi bubuk B.t.i 4Q1 dengan abate. HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah melakukan penelitian selama kurang lebih 2 bulan, data hasil perhitungan jumlah sel dan spora formulasi cair B. thuringiensis 4Q1 pada media limbah cair tahu dan Nutrient Broth (NB) selama tiga kali percobaan yang disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Perbandingan Jumlah Sel B. thuringiensis pada Nutrient Broth dan Limbah Cair Tahu
Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa rata-rata jumlah sel pada media NB sebesar 8,43 x 109 cfu/ml. Sedangkan jumlah sel pada media limbah cair tahu sebesar 8,96 x 109 cfu/ml. Analisa statistik sel hidup menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (t > 0,05) antara media limbah cair tahu dan NB.
Pertumbuhan sel B.t.i pada media limbah cair tahu dan NB terbukti sama. Hal ini dapat disebabkan oleh karena media limbah tahu dan NB sama-sama baik dalam memicu pertumbuhan sel. Gambar 2 menunjukan bahwa jumlah spora untuk NB sebanyak 4,43 x 109 spora/ ml dan jumlah spora pada media limbah cair tahu sebanyak 7,93 x 109 spora/ml. Dari hasil perhitungan statistik didapatkan hasil jumlah spora pada kedua media tersebut berbeda nyata (t < 0,05), dimana jumlah spora pada media limbah cair tahu lebih banyak dibandingkan dengan NB. Faktor yang menyebabkan banyaknya jumlah spora B.t.i pada limbah cair tahu diduga disebabkan oleh adanya asam amino tertentu yang menstimulasi pertumbuhan spora. Banyaknya jumlah spora yang diproduksi sangat penting dibandingkan dengan jumlah sel vegetatif. Hal tersebut dikarenakan dinding luar spora yang mengandung prototoksin jika dimakan oleh larva nyamuk maka dapat merusak usus larva dan meyebabkan kematian larva. Tabel 1. Patogenitas Formulasi Cair B. thuringiensis 4Q1yang diproduksi dengan Media Limbah cair tahu dan Nutrient Broth (NB)* Media NB
Konsentrasi (ml/l) 0,025
0,05
0,075
0,1
13,3
71,7
96,7
100
LT 76,7 98,3 100 100 Keterangan: *)Patogenitas persentase kematian jentik dari 20 ekor jentik Ae. Aegypti yang digunakan selama 24 jam pengamatan; NB: Nutrient Broth; LT: limbah cair tahu
Gambar 2. Perbandingan Jumlah Spora B. thuringiensis pada Nutrient Broth dan Limbah Cair Tahu
Pada Tabel 1 diatas, hasil uji patogenitas B. thuringiensis pada media limbah cair tahu dan NB menujukan hasil bahwa media limbah cair tahu mampunyai daya bunuh yang lebih baik dari NB. Untuk membunuh 100% jentik pada media limbah cair tahu hanya diperlukan dosis 0,075 ml/l. Sedangkan pada media NB dibutuhkan lebih banyak yaitu 0,1 ml/l. Perbedaan daya bunuh ini disebabkan karena pada media limbah cair tahu memiliki jumlah spora yang lebih banyak dibandingkan
Indonesian Journal of Public Health •
5
Purnama, et.al
media NB yang bermanfaat sebagai larvasida pada jentik. Uji patogenitas antara bubuk B.t.i yang diproduksi pada limbah cair tahu dan NB dibandingkan dengan abate diperoleh hasil bahwa pada konsentrasi 0,05 gr/l memiliki daya bunuh yang sama yaitu 100%. Sedangkan pada konsentrasi terendah yaitu 0,01 gr/l diketahui bahwa abate memiliki daya bunuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan bubuk B.t.i pada limbah cair tahu maupun NB. Hal ini dapat disebabkan karena abate merupakan larvasida yang mengandung bahan kimia sehingga memiliki daya bunuh yang lebih baik dibandingkan dengan B.t.i yang merupakan bioinsektisida alamiah. Pada konsentrasi 0,01 gr/l diperoleh hasil bahwa B.t.i yang diproduksi dengan limbah cair tahu memiliki daya bunuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan NB, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti: kebiasaan jentik, tersedianya toksin di daerah makan jentik, tingkat kerentanan jentik terhadap toksin yang dihasilkan dan kemampuan cairan usus untuk melarutkan kristal toksin. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PATOGENITAS JENTIK Ada beberapa faktor yang turut serta mempengaruhi kemampuan formulasi Bacillus thuringiensis dalam membunuh jentik. Adapun faktor-faktor tersebut adalah : 1. Kebiasan makan dari jentik Jentik Aedes aegypti mempunyai kebiasaan mengambil makanan di dasar dan dinding tempat penampungan air (bo!om feeders). Hal ini dapat mempengaruhi daya bunuh spora B.t.i dimana kebiasaan makan jentik tersebut dengan keberadaan endapan dari spora bacillus. 2.
6 •
Tersedianya toksin di daerah makan jentik (larval feeding zone) Keberadaan toksin dari B.t.i pada daerah makan jentik tersebut sangat
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 1 - 9
mempengaruhi daya bunuhnya. Jentik yang mengambil makan pada dasar penampungan akan lebih cepat mati dibandingkan yang makan di daerah permukaan saja. Dilaporkan bahwa jumlah spora bakteri B.t.i adalah sama banyak dipermukaan dan dasar air pada hari ke 3 dan ke 7 sesudah aplikasi (Blondine, 2004). Kemungkinan bahwa sebelum hari ke tujuh jumlah spora bakteri formulasi bubuk B.t.i sudah mulai mengendap di dasar perairan yang sepenuhnya mencapai sasaran makan jentik Aedes aegypti. 3.
Tingkat kerentanan jentik terhadap toksin yang dihasilkan Masing-masing jentik memiliki kerentanan yang berbeda-beda terhadap konsentrasi toksin dari B.t.i Tingkat instar jentik dari I, II, II dan IV memiliki daya tahan terhadap toksin juga berbeda. Hal ini juga menyebabkan perbedaan konsentrasi toksin yang harus diberikan terhadap jentik tersebut. Dilaporkan bahwa besar kecilnya konsentrasi B.t.i dalam mematikan jentik, tergantung pula pada tingkat kerentanan jentik sasaran terhadap toksin yang dihasilkan (J. Li, 1991). Kemampuan cairan usus untuk melarutkan kristal toksin
Kemampuan cairan usus dari jentik dalam melarutkan kristal toksin yang dimakan cukup berpengaruh terhadap daya bunuhya. Toksin yang dihasilkan oleh bakteri B.t.i akan dimakan oleh larva Ae. aegypti, dimana dalam saluran pencernaan prototoksin tersebut akan dihidrolisis oleh enzim protease. Setelah dihidrolisis prototoksin tersebut akan berubah menjadi toksin aktif dengan berat molekul 60 kD, yang disebut delta endotoksin. Delta endotoksin ini akan diikat oleh sel epitelium kemudian menempel dan menyebabkan lubang pada saluran pencernaan larva. Keadaan ini mengakibatkan terhidrolisisnya sel epitelium sehingga menyebabkan penurunan pH pada saluran pencernaan larva yang mempermudah
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 1 - 9
ISSN: 9772302139009
spora untuk berkembang, masuk kedalam sel dan menyerang larva sampai mati Daya tahan usus perut jentik dalam melarutkan kristal protein toksin dapat mempengaruhi waktu yang dibutuhkan untuk membunuh jentik tersebut. Semakin kuat kondisi usus perut larva terhadap toksin yang dihasilkan bakteri B.t.i semakin lemah juga daya bunuhnya. Keuntungan Penggunaan Media Limbah Cair Tahu Biokontrol B.t.i merupakan biokontrol yang efektif untuk membunuh jentik nyamuk tetapi harganya cukup mahal untuk negaranegara berkembang seperti Indonesia. Substansi aktif dari B.t.i adalah spora yang dibentuk oleh B.t.i dibuat dengan menggunkan media yang relatif mahal oleh karena itu penelitian ini digunakan untuk mencari media yang relatif murah, salah satunya dengan menggunakan media limbah cair tahu. Adapun keuntungan dari penggunaan media limbah cair tahu yakni : 1. Bahan Media yang Murah Saat ini biokontrol B.t.i dibuat dengan menumbuhkan strain B.t.i pada media sintetis yang biayanya relatif mahal, sehingga untuk 10 tablet dijual seharga 20 dollar. Sedangkan jika produksi B.t.i dengan menggunakan media Nutrient Broth (NB), yang dalam satu liternya mengandung 3 gr beef extract dan 5 gr tryptone maka perincian biaya yang dihabiskan sebesar Rp. 25.000 per liter. Sedangkan untuk membuat media NB sebanyak 100 liter maka biaya yang dibutuhkan sebesar Rp. 2.500.000. Penggunaan media limbah cair tahu adalah salah satu alternatif untuk memacu pertumbuhan toksin B.t.i yang lebih murah. Dengan menggunakan media limbah cair tahu ini biaya pembuatan toksin menjadi jauh lebih murah sebab tidak memerlukan media sintetis lagi. Sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat.
2.
Mengurangi Pencemaran Lingkungan Perairan Pemerintah akhir-akhir ini sangat menekankan era “sadar lingkungan” dan mengharuskan semua industri membuat analisis masalah dampak lingkungan (AMDAL) sesuai dengan SK Menteri KLH No.52 Tahun 1986 dan SK Menteri KLH No.29 Tahun 1986 serta SK Menteri KLH No.03 Tahun 1991 Tentang Peraturan Pembuangan Limbah. Bagi industri yang sudah beroperasi dan yang akan dibangun serta yang air limbahnya dibuang ke perairan harus memenuhi standar baku mutu air limbah yang telah ditentukan. Berdasarkan data dari statistik yang ada industri pengolahan tahu di Indonesia sebanyak 4.000 unit yang tersebar di Jawa Barat dan berbagai daerah lainnya. Ditinjau dari komposisi kimianya, ternyata air limbah cair tahu mengandung nutrien-nutrien (protein, karbihidrat, dan bahan-bahan lainnya) yang jika dibiarkan dibuang begitu saja ke sungai justru dapat menimbulkan pencemaran perairan. Selama ini limbah industri tahu dibuang begitu saja tanpa ada pengolahan lebih lanjut. Limbah cair tahu ternyata bisa digunakan sebagai media pertumbuhan B.t.i yang bermanfaat sebagai bioinsektisida larva nyamuk. Dengan ditemukannya manfaat limbah cair tahu tersebut maka diharapkan nantinya limbah tersebut dapat digunakan dan tidak lagi mencemari lingkungan sekitar.
3.
Mudah untuk Mendapatkannya Pertumbuhan industri tahu sebagai industri rumah tangga cukup banyak. Banyaknya industri pengolahan tahu tersebut menjadi cukup mudah untuk mendapatkan limbah buanganya. Sehingga dalam proses produksinya tidak terlalu mengalami kesulitan dalam mencari bahan sebagai media pertumbuhan B.t.i.
Indonesian Journal of Public Health •
7
Purnama, et.al
Vol. 1 No. 1 : 1 - 9
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Berdasarkan perhitungan sel diketahui perbedaan jumlah sel antara media limbah cair tahu dan NB tidak signifikan namun pada perhitungan spora perbedaannya signifikan. Hal ini disebabkan media tumbuh pada limbah cair tahu cukup baik untuk memacu pertumbuhan spora B.t.i. Uji patogenitas cair B.t.i didapatkan hasil dimana berdasarkan dosis media limbah cair tahu memiliki daya bunuh yang cukup baik dibandingkan media NB. Membunuh 100% jentik pada media limbah cair tahu hanya dibutuhkan dosis 0,025 ml/l sedangkan pada media NB dibutuhkan lebih banyak yakni 0,075 ml/l. Hasil uji patogenitas bubuk B.t.i membandingkan antara abate, penggunaan media NB dan Limbah cair tahu pada dosis 0,05 gr/l mempunyai daya bunuh 100%. Sedangkan pada dosis lebih rendah yakni 0,01 gr/l abate memiliki daya bunuh 85%, media NB mempunyai daya bunuh 30% dan media limbah cair tahu 55%. Adapun keuntungan yang didapat dengan menggunakan media limbah cair tahu sebagai media pertumbuhan spora B.t.i yakni bahan media yang murah, mengurangi pencemaran perairan, mudah untuk mendapatkannya. Penelitian ini akan dikembangkan lebih lanjut dengan menambahkan zat tertentu untuk meningkatkan jumlah spora Bacillus thuringiensis Serovar israeliensis pada media limbah cair tahu. Untuk selanjutnya diaplikasikan secara in vivo pada tempat perindukan jentik Aedes aegypti di daerah endemis.
Anonimus. (1998). Da$ar Komposisi Bahan Makanan, Direktorat gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: Penerbit Bharata. Anonimus. (2004). Mosquito control. Available at: h!p://www.comosquitocontrol.com/ Bti_Bs_MOA.htm. Akses: 27 Februari 2005. Becker, N., (1991)The use of Bacillus thuringiensis israeliensis in Germany. Proceeding of the 3rd Pacific Rim Conference on Biotechnology of Bacillus thuringiensis, held at Huazhong Agricultural University, Wuhan, China, 5-9 October. Blondine, C. (2004) Formulasi Bacillus thuringiensis H-14 galur lokal dalam media infus kedelai dan uji patogenitasnya terhadap jentik nyamuk vektor. Jurnal Kedokteran Yarsi. JanuariApril; 12 (1): 22-28. Deacon, J. (2005). “The Microbial World: Bacillus thuringiensis”, (Institute of Cell and Molecular Biology, The University of Edinburgh). Available at: h!p:// helios.bto.ed.ac.uk/bto/microbes/bt.htm . Akses: 27 Februari 2005. Dep. Kes. RI, (1992). Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Penular Demam Berdarah Dengue. Jakarta. Ditjen PPM dan PL. Dep. Kes. RI (1995). Pokok-Pokok Kegiatan dan Pengelolaan Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue. Jakarta. Ditjen PPM dan PL. Ester, M., 1998. Demam Berdarah Dengue : Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan dan Pengendalian. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Gorich. By-001-Aqua Resigen. (2004). Available at: h!p://www.ghgroup.com.hk/gorich/ english/product.asp. Akses: 20 April 2005. Gorich. TF 35-TF35 Thermal Fogger, IGEBA. (2004). Available at: h!p://www. ghgroup.com.hk/gorich/english/
8 •
Indonesian Journal of Public Health
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 1 - 9
ISSN: 9772302139009
product.asp. Akses: 20 April 2005. Herman. (1985). Pengolahan Kedelai Menjadi Berbagai Bahan Makanan, di dalam Somaatadja, S. Kedelai. Bogor. Pusat penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Imalusita. 1981. Studi pembuatan Kecap Ampas Tahu, di DaLam Laporan Seminar Akademik Pemanfaatan Limbah Industri Hasil Pertanian, Ikatan Mahasiswa THP, Fakultas Teknologi Hasil Pertanian. Bogor. IPB. Iskandar. 1985. Pemberantasan Serangga dan Binatang Pengganggu, Jakarta Pusdiknaskes. J. Li., Carroll, J., and Enlar. (1991). D. Image of the Toxin Strukture. Nature. 353 : 815821. Kemenkes. (2010). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009. Kemenkes RI. Jakarta. Kristina, Isminah, dan Wulandari, L. (2005). Kajian Masalah Kesehatan : Demam Berdarah Dengue. Available at: http://www.litbangkes.depkes.go.id/ meskes/5052004/demam berdarah1.htm. Akses : 20 April 2005.
Kuswardani, T. (1985). Mempelajari Kemungkinan Pemanfaatan Limbah Cair Tahu Sebagai Media Untuk Memproduksi Enzim Amiloglukosidase Dari Kapang Yang Diisolasi Dari Singkong (Manihot sp). Tesis Sarjana Jurusan TPG. Fakultas Teknologi Pertanian. Bogor. IPB. Mardihusodo, SJ., (1991). Sensitivitas Larva Nyamuk Aedes aegypti L. Terhadap Bacillus thuringiensis H-14 dan Bacillus sphaericus 1953. Yogyakarta. Fakultas Kedokteran, UGM. Soesanto. (1992). Initial Study of Production of Bacillus thuringiensis israelensis Using Locally Obtained Substrate. Berkala ilmu Kedokteran, 24 (3). Thomas, W.E and Ellar, DJ., (1983). Mechanism of action of Bacillus thuringiensis var. israeliensis insecticidal d-endotoksin, FEBS le!. 154 : 362-368. WHO, (1979). Data sheet on the biological control agent, Bacillus thuringiensis serotype H-14, WHO/VBC/79.750.1-13. WHO, (1995). Guidelines for dengue surveillance and mosquito control, Western Pacific Education in Action series No. 8.
Indonesian Journal of Public Health •
9
Manyullei, et.al
Vol. 1 No. 1 : 10 - 17
GAMBARAN FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENDERITA KUSTA DI KECAMATAN TAMALATE KOTA MAKASSAR Syamsuar Manyullei*, Deddy Alif Utama, Agus Bintara Birawida Bagian Kesehatan Lingkungan FKM Unhas, Makassar *Email:
[email protected]
ABSTRACT Leprosy is an infectious disease caused by Mycobacterium leprae. Based on data from Pemerintah Kota Makassar (2007), Tamalate sub district is an area in which new cases detection are quite high every year (Makassar as many as 15 cases per year). This research aims to explore the factors associated with lepers in the Tamalate District of Makassar. Determinants of lepers are knowledge, age, gender, physical contact and personal hygiene. This research is driven by observational study with descriptive approach. Study population includes all lepers living in Tamalate District and registered since January 2008 - December 2011 from four health centers in the district. The sample is lepers currently on treatment or have completed treatment (RFT) aged ≥ 15 years. Thus, sampling method uses exhaustive sampling with a sample size of 51 people and the data are analysed with univariate dan bivariate analysis. These results indicate that, 66.7% lepers have sufficient knowledge about leprosy, 78.4% lepers were 15 years old or older when they began to be diagnosed as lepers, 60.8% lepers are male, 84.3% lepers are at high risk of infected leprosy regarding to physical contact, and 49% lepers have good personal hygiene. Lepers have sufficient of knowledge about leprosy, lepers were 15 years old or older when they began to be diagnosed as lepers. Most of lepers are male, lepers have good personal hygiene. Thus, this research recommends to increase health promotion on leprosy, minimize physical contact with lepers, and improve personal hygiene such as maintaining to wash hands. Keyword: Lepers, Knowledge, Physical Contact, Personal Hygiene
PENDAHULUAN
K
usta adalah penyakit menular yang disebabkan Mycobacterium leprae. Penyakit ini dapat menyebabkan masalah yang kompleks, bukan hanya dari segi medis seperti cacat fisik tetapi juga sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Bila tidak ditangani dengan cermat, kusta dapat menyebabkan cacat dan keadaan ini menjadi penghalang bagi pasien kusta dalam menjalani kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonominya (Widoyono, 2008 : 95). Penyakit ini sendiri merupakan salah satu gambaran nyata kemiskinan di masyarakat Indonesia, karena kenyataannya sebagian besar penderita kusta berasal dari golongan ekonomi lemah.
10 •
Indonesian Journal of Public Health
Adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan sebagai salah satu bagian dari perilaku dengan proses penularan dan penyembuhan pada penderita kusta. Orang yang memiliki pengetahuan yang tinggi tentang kusta tentunya akan berusaha menjauhkan dirinya dari faktorfaktor yang dapat menjadi sumber penularan penyakit ini (Mukhlis, 2010). Selain itu, pengetahuan tentang penyakit juga harus sejalan dengan perilaku hygiene seseorang dalam kesehariannya. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa perilaku hygiene memiliki hubungan bermakna pada penularan penyakit kusta (Idris, 2008). Tingginya angka insidensi kusta pada orang-orang kontak serumah hampir sepuluh kali dibanding mereka yang tidak kontak serumah. Pada mereka yang kontak serumah
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 10 - 17
ISSN: 9772302139009
dengan penderita Multi Basiler (borderline dan lepromatosa) mempunyai risiko lebih tinggi daripada kontak serumah dengan penderita Pausi Basiler (tuberculoid dan indeterminate), yaitu antara empat sampai sepuluh kali pada kontak dengan penderita Multi Basiler dibandingkan hanya dua kali pada kontak dengan penderita Pausi Basiler. Seorang anak yang tinggal lama di daerah endemik kusta juga mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk melakukan kontak dengan penderita kusta bertipe menular. Faktor umur dalam penelitian ini sangat berkaitan dengan sistem imun yang belum berkembang dengan baik, kontak sekali saja atau beberapa kali kontak dengan penderita kusta menular yang banyak mengandung bakteri ini mungkin sudah cukup untuk tertular penyakit tersebut (Awaluddin, 2004). Selain itu, terdapat pula faktor jenis kelamin dalam penularan kusta. Pada penelitian lain, terdapat nilai kemaknaan 0,001 yang menandakan bahwa jenis kelamin berpengaruh pada penularan kusta (Winarsih, 2011). Mycobacterium leprae sebagai kuman penyebab penyakit ini sebenarnya sangat lambat dalam memperbanyak diri sehingga masa inkubasi penyakit ini sekitar lima tahun. Gejalanya dapat memakan waktu selama 20 tahun untuk muncul. Meskipun WHO telah mencanangkan program eliminasi kusta pada tahun 2000 dan melaporkan 118 dari 122 negara telah eliminasi, namun kenyataannya jumlah penderita kusta masih tinggi dan masih banyak temuan kasus baru yang dilaporkan setiap tahunnya. Situasi ini bahkan lebih serius jika mereka yang terkena dampak adalah anak-anak (Anonim, 2001). Indonesia telah mencapai target eliminasi kusta pada tahun 2001, dengan jumlah kasus tercatat pada akhir 2006 sebanyak 22.175. Angka prevalensi ini telah berhasil diturunkan dari 5,1 per 10.000 penduduk pada tahun 1991 menjadi 0,98 per 10.000 penduduk pada tahun 2005. Penurunan angka prevalensi kusta di Indonesia tidak disertai penurunan jumlah kasus baru terdeteksi (new case detection) yang merupakan proxy angka insidensi kusta.
Fakta ini menunjukkan adanya indikasi terus berlangsungnya transmisi kusta pada kantongkantong wilayah kusta dengan kecepatan pertumbuhan yang sama. Indikasi ini diperkuat dengan adanya kesenjangan antara jumlah kasus kusta tercatat (registered cases) yang menjadi proxy dari angka prevalensi kusta dengan angka prevalensi kusta berdasarkan survei (point prevalens). Angka prevalensi hasil survei ditemukan lebih tinggi dari angka kasus tercatat. Hal ini mengindikasikan adanya kasus tidak terdeteksi yang menjadi sumber penularan di masyarakat (Depkes RI, 2007). Kecamatan Tamalate merupakan daerah dengan penemuan kasus baru yang cukup tinggi tiap tahunnya di Makassar yaitu sebanyak 15 kasus per tahun (Anonim, 2007). Berdasarkan uraian di atas, diantaranya tentang pentingnya upaya pencegahan penularan kusta, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang gambaran faktor yang berhubungan dengan penderita kusta di Kecamatan Tamalate Kota Makassar. Variabel yang diteliti yaitu pengetahuan, umur, jenis kelamin, kontak fisik dan hygiene perorangan. METODE Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tamalate Kota Makassar. Pemilihan lokasi didasarkan karena Kecamatan Tamalate merupakan salah satu daerah endemik kusta tertinggi di Makassar dengan penemuan kasus baru tiap tahunnya yaitu sebanyak 15 kasus, berdasarkan pada profil kesehatan Kota Makassar tahun 2007. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012-Maret 2012. Jenis penelitian adalah penelitian observasional dengan pendekatan deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita kusta yang tinggal dan menetap di wilayah Kecamatan Tamalate dan teregistrasi sejak Januari 2008 – Desember 2011 di empat puskesmas di wilayah Kecamatan Tamalate (Puskesmas Tamalate, Puskesmas Jongaya, Puskesmas Barombong dan Puskesmas Mangasa), baik tipe Pausi Basiler maupun Multi
Indonesian Journal of Public Health •
11
Manyullei, et.al
Basiler, yang sedang dalam masa pengobatan maupun yang telah selesai pengobatan (RFT) dan berumur 15 tahun atau lebih dengan total 51 orang. Sampel diambil dengan teknik exhaustive sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah keseluruhan penderita kusta yang berjumlah 51 orang. Data Primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung kepada responden yang terpilih dengan menggunakan kuesioner yang tersedia secara door to door. Data sekunder berupa identitas pasien, diagnosis awal pasien, lama pengobatan dan riwayat pengobatan pasien diperoleh dari rekam medik di empat puskesmas di wilayah kerja Kecamatan Tamalate Kota Makassar yaitu Puskesmas Tamalate, Puskesmas Jongaya, Puskesmas Barombong dan Puskesmas Mangasa. Pengolahan data dilakukan secara elektronik dengan menggunakan program komputer SPSS (Statistical Package and Social Siences) versi 17. Model analisis data yang dilakukan adalah analisis univariat dan bivariat. Data yang telah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel distribusi, grafik dan narasi untuk mengetahui gambaran faktor yang berhubungan dengan penderita kusta di Kecamatan Tamalate Kota Makassar. HASIL Hasil analisis deskriptif variabel ditunjukkan pada Tabel 1, sedangkan hasil analisis antar variabel ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 1 terdiri atas tingkat pengetahuan, umur saat terdiagnosa, jenis kelamin, kontak fisik, hygiene perorangan sebelum terdiagnosa kustadan hygiene perorangan setelah terdiagnosa kusta. Tabel 2 terdiri atas hasil analisis antar variabel umur dengan tingkat pengetahuan, jenis kelamin dengan tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan, hygiene perorangan setelah terdiagnosa dengan tingkat pengetahuan dan jenis kelamin dengan kontak fisik. Dari 51 orang responden terdapat 34 responden atau sebesar 66,7% yang memiliki
12 •
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 10 - 17
tingkat pengetahuan cukup. Walaupun demikian, masih terdapat beberapa pertanyaan seperti pengertian kusta, saluran masuk kuman kusta ke dalam tubuh manusia, masa inkubasi kuman kusta dan tipe kusta menurut Depkes RI, yang menunjukkan jumlah dan persentase jawaban “tidak tahu” yang cukup tinggi. Sebagian besar yaitu sebanyak 40 responden (78,4%) yang berumur 15 tahun atau lebih saat pertama kali terdiagnosa menderita kusta. Sedangkan sisanya yaitu sebanyak 11 responden atau sebesar 21,6% adalah responden yang berumur kurang dari 15 tahun saat pertama kali terdiagnosa menderita kusta. Sebesar 60,8% atau 31 responden berjenis kelamin laki-laki. Variabel kontak fisik menunjukkan bahwa sebagian besar responden yaitu 43 responden atau sebesar 84,3% yang berisiko tinggi tertular kusta melalui kontak fisik. Sedangkan sisanya yaitu sebanyak 8 responden atau sebesar 15,7% adalah responden yang berisiko rendah tertular kusta melalui kontak fisik. Kontak fisik yang paling sering dilakukan responden adalah kontak kulit dan berbicara dengan penderita. Persentase responden berdasarkan kategori hygiene perorangan sebelum terdiagnosa kusta yang tertinggi berasal dari kategori sangat baik yaitu 18 responden (35,3%). Kategori hygiene perorangan setelah terdiagnosa kusta yang tertinggi berasal dari kategori baik yaitu 25 responden (49%). Praktik hygiene perorangan sebagian besar responden sebelum maupun setelah terdiagnosa kusta sudah tergolong baik. Walaupun demikian, masih terdapat beberapa praktik yang jumlah dan persentasenya sangat kurang. Praktik hygiene perorangan tersebut adalah tangan selalu dicuci bersih sebelum dan sesudah makan, bekerja dan setelah BAB serta membersihkan dan mencuci kasur/seprei tidur minimal seminggu sekali. Tahap ini dilakukan dengan menggunakan tabulasi silang untuk melihat perbandingan antar variabel penelitian sehingga dapat menggambarkan faktor yang
Vol. 1 No. 1 : 10 - 17
Arc. Com. Health • Juli 2012 ISSN: 9772302139009
berhubungan dengan penderita kusta secara lebih jelas seperti pada tabel 1.
3)
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Analisis Deskriptif Variabel N
%
Tingkat Pengetahuan 1. Cukup 2. Kurang
Karakteristik
34 17
66,7 33,3
Umur Saat Terdiagnosa 1. 15 tahun atau lebih 2. Kurang dari 15 tahun
40 11
78,4 21,6
Jenis Kelamin 1. Laki-laki 2. Perampuan
31 20
60,8 39,2
Kontak Fisik 1. Berisiko tinggi 2. Berisiko rendah
43 8
84,3 15,7
18 17 9 7
35,3 33,3 17,6 13,8
21 25 5
41,2 49,0 9,8
Hygiene Perorangan Sebelum Terdiagnosa Kusta 1. Sangat Baik 2. Baik 3. Cukup 4. Kurang Hygiene Perorangan Setelah Terdiagnosa Kusta 1. Sangat Baik 2. Baik 3. Cukup Sumber: Data Primer, 2012
1)
2)
Kategori Umur Dengan Tingkat Pengetahuan Dari 34 responden yang berpengetahuan cukup, persentase tertinggi berasal dari rentang umur 36-45 tahun yaitu 15 responden (44%). Sedangkan dari 17 responden yang berpengetahuan kurang, persentase tertinggi berasal dari rentang umur 36-45 tahun dan 46-55 tahun yaitu masing-masing 5 responden (29,4%). Jenis Kelamin Dengan Tingkat Pengetahuan Dari 34 responden yang berpengetahuan cukup, persentase tertinggi berasal dari jenis kelamin laki-laki yaitu 20 responden (58,8%). Sedangkan dari 17 responden yang berpengetahuan kurang, persentase tertinggi juga berasal dari jenis kelamin laki-laki yaitu 11 responden (64,7%).
4)
5)
Pendidikan Dengan Tingkat Pengetahuan Dari 34 responden yang berpengetahuan cukup, persentase tertinggi berasal dari jenjang Tamat SD yaitu 13 responden (38,2%). Sedangkan dari 17 responden yang berpengetahuan kurang, persentase tertinggi berasal dari jenjang tidak tamat SD yaitu 9 responden (53%). Hygiene Perorangan Setelah Terdiagnosa Kusta Dengan Tingkat Pengetahuan Dari 34 responden yang berpengetahuan cukup, persentase tertinggi berasal dari kategori hygiene perorangan baik yaitu 18 responden (52,9%). Sedangkan dari 17 responden yang berpengetahuan kurang, persentase tertinggi juga berasal dari dari kategori hygiene perorangan baik yaitu 7 responden (41,2%). Jenis Kelamin Dengan Kontak Fisik Dari 8 responden yang berisiko rendah tertular kusta karena kontak fisik, persentase antara laki-laki dan perempuan adalah sama yaitu masingmasing 4 responden (50%). Sedangkan dari 43 responden yang berisiko tinggi tertular kusta karena kontak fisik, persentase tertinggi berasal dari jenis kelamin laki-laki yaitu 27 responden (62,8%).
PEMBAHASAN Kusta sangat erat kaitannya dengan faktor pengetahuan. Dimana kejadian kecacatan kusta lebih banyak terjadi pada penderita yang mempunyai pengetahuan yang rendah tentang kusta. Karena ketidaktahuan maka mereka tidak segera berobat atau memeriksakan diri. Masa sebelum pengobatan tersebut merupakan saat yang rawan untuk menularkan kusta kepada orang lain. Hal inilah yang biasanya memicu terjadinya ledakan penderita baru di suatu kawasan yang berakibat semakin sulitnya memberantas kusta di masyarakat (Susanto, 2006). Sejalan dengan hal tersebut, pengetahuan yang rendah tentang penyakit kusta secara
Indonesian Journal of Public Health •
13
Manyullei, et.al
tidak langsung dapat menimbulkan stigma yang negatif terhadap penyakit kusta. Rendahnya pengetahuan tentang penyakit kusta, mengakibatkan penderita kusta tidak mengetahui akibat buruk yang ditimbulkan oleh penyakit kusta seperti cacat fisik. Stigma yang buruk disebabkan karena kecacatan fisik yang tampak jelas pada penderita kusta inilah yang menyebabkan para penderita dijauhi oleh masyarakat disekitarnya (Das, 2006). Disisi lain, pengetahuan yang baik hendaknya ditunjang dengan praktik yang baik pula agar pemberantasan kusta dapat terlaksana secara maksimal. Peningkatan pengetahuan masyarakat tentang kusta bisa dilakukan dengan optimalisasi penyuluhan. Penyuluhan kesehatan sebagai salah satu konsep pendidikan kesehatan memiliki tujuan untuk menambah pengetahuan dan mengubah perilaku masyarakat yang tidak sehat menjadi sehat (Soemirat, 2011 : 98). Umur pada penelitian ini sesuai dengan definisi operasional adalah umur responden pada saat pertama kali terdiagnosa menderita kusta. Umur manusia secara garis besar menurut WHO terbagi menjadi tiga tahap yaitu anak-anak (1-11 tahun), remaja (12-16 tahun) dan dewasa (di atas 16 tahun). Kelompok remaja dan dewasa sendiri masuk kedalam umur produktif. Pada umur ini, respon imun lebih aktif dan lebih sering terpapar faktor eksternal (lingkungan). Batasan umur yang dipakai pada penelitian ini yaitu 15 tahun atau lebih. Penelitian ini menunjukkan bahwa responden sebagian besar terdiagnosa menderita kusta sejak berumur 15 tahun atau lebih (78,4%). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa umur produktif dalam hal ini yang di atas 15 tahun adalah masa dimana seseorang lebih sering terpapar faktor eksternal (lingkungan). Umur saat didignosa kusta lebih dari 15 tahun merupakan faktor risiko terjadinya reaksi kusta, sedangkan umur kurang dari 15 tahun cenderung lebih sedikit mengalami reaksi kusta. Hal ini disebabkan karena dalam sistem imun anak, TH2 diduga
14 •
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 10 - 17
kuat mampu mengatasi terjadinya infeksi sehingga frekuensi reaksi kusta lebih kecil terjadi pada anak. Sedangkan pada orang dewasa ketersediaan sel T memori lebih banyak dan menyebabkan frekuensi terjadinya reaksi kusta lebih tinggi (Ranque, et.al, 2006). Berbeda dengan hal tersebut, didapatkan pula bahwa prevalensi kusta justru lebih tinggi terjadi pada umur 18 tahun ke bawah. Faktor umur dalam penelitian ini sangat berkaitan dengan sistem imun pada anak yang belum berkembang dengan baik. Kontak sekali saja atau beberapa kali kontak dengan penderita kusta menular yang banyak mengandung bakteri ini mungkin sudah cukup untuk tertular penyakit tersebut (Kumar, et.al, 2005). Perspektif gender diakui sangat penting dalam peranannya dalam hubungan sosial serta pengembangan praktik kesehatan. Dimana pada praktik kesehatan, laki-laki dan wanita memiliki kebutuhan yang sangat berbeda satu sama lainnya. Kusta dalam hal ini menghasilkan manifestasi yang berbeda pula antara pria dan wanita. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan angka kejadian kusta lebih sering terjadi pada jenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 68,8%, hal ini berbeda jauh dengan perempuan yang hanya 39,2%. Terdapat tiga hasil penelitian yang berbeda tentang jenis kelamin kaitannya dengan penularan kusta. Hasil penelitian pertama yang dilakukan oleh Prawoto (2008) menjelaskan bahwa jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya reaksi kusta karena tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada proporsi kasus yang ada dalam penelitiannya. Penelitian kedua oleh Christiana (2004) dimana hasil yang di dapatkan adalah jumlah penderita kusta berjenis kelamin perempuan lebih tinggi dibanding dengan laki-laki yaitu 62,2% dari total jumlah populasi sebesar 185 responden. Penelitian ketiga yang dilakukan Peter, et.al (2002) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan jumlah penderita kusta antara pria dan wanita. Kusta lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita dengan perbandingan masing-masing hampir 2:1.
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 10 - 17
ISSN: 9772302139009
Penularan pada pria berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan setiap hari. Sebagai salah satu faktor penularan kusta, laki-laki cenderung lebih banyak yang bekerja dibandingkan dengan perempuan. Hal ini sangat berkaitan erat dengan adat istiadat, dimana lelaki sebagai kepala keluarga dituntut untuk bisa bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun, seiring perkembangan zaman hal tersebut sedikit demi sedikit telah berubah di karenakan sudah banyak wanita yang kini menjadi tulang punggung keluarganya. Berbagai literatur tentang kusta memberikan definisi yang berbeda tentang “kontak” yang telah digunakan pada pertimbangan operasional. Hal ini dapat disimpulkan bahwa orang yang berisiko tertular kusta tidak terbatas pada kelompok anggota keluarga langsung hidup di bawah atap yang sama, yang merupakan grup kontak yang saat ini diperiksa selama survei kontak dalam banyak program kontrol kusta. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa peristiwa kontak cenderung lebih sering dan intens dalam kelompok ini dan risiko lebih tinggi telah ditunjukkan, tapi grup kontak tetangga dan kontak sosial tampaknya juga penting (Moet, et.al, 2006). Penelitian ini menunjukkan bahwa dari 51 orang responden terdapat 43 responden atau sebesar 84,3% yang berisiko tinggi tertular kusta melalui kontak fisik sedangkan sisanya yaitu sebanyak 8 responden atau sebesar 15,7% adalah responden yang berisiko rendah tertular kusta melalui kontak fisik. Sebagian besar kontak fisik terjadi dikarenakan kontak langsung dengan kulit penderita walaupun pada penelitan di lapangan didapati pula bahwa menggunakan barang-barang dan berbicara dengan penderita sebelumnya merupakan salah satu kegiatan yang sering dilakukan responden. Berkaitan dengan penjelasan di atas, sebagian besar penelitian juga mengungkapkan bahwa adanya kontak langsung dengan penderita baik berupa kontak kulit antar keluarga, tetangga maupun teman merupakan
sumber penularan utama antar manusia. Tidak hanya penderita dan orang disekitarnya, namun tenaga kesehatan juga rawan untuk kontak langsung dengan penderita bahkan mungkin lebih intensif jika bekerja di daerah endemik (WHO, 2001). Secara umum, baik dilihat dari segi umur maupun jenis kelamin, penderita dengan tipe kusta MB (Multi Basiler) memiliki risiko untuk menularkan kumannya melalui kontak fisik kepada orang lain sebesar lima sampai delapan kali dibanding dengan tipe PB (Pausi Basiler) yang hanya dua kali (Chisi, et.al, 2003). Berbagai hal dapat dilakukan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan pada penularan kusta, salah satunya dianjurkan untuk menghindari kontak langsung ke penderita kusta. Hal ini terbukti menurunkan angka kejadian kusta sekaligus mengurangi timbulnya kasus baru di berbagai daerah (Entjang, 2003). Hygiene perorangan adalah perawatan diri dimana individu mempertahankan kesehatannya dan dipengaruhi oleh nilai serta keterampilan. Di dalam dunia keperawatan, hygiene perorangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus senantiasa terpenuhi. Hygiene perorangan termasuk kedalam tindakan pencegahan primer yang spesifik. Hygiene perorangan menjadi penting karena hygiene perorangan yang baik akan meminimalkan pintu masuk (port of entry) mikroorganisme yang ada dimana-mana dan pada akhirnya mencegah seseorang terkena penyakit (Sari, 2007). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, kategori hygiene perorangan sebelum terdiagnosa kusta yang tertinggi berasal dari kategori sangat baik yaitu 18 responden (35,3%). Hygiene perorangan setelah terdiagnosa kusta yang tertinggi berasal dari kategori baik yaitu 25 responden (49%). Praktik hygiene perorangan yang paling sering dilakukan responden adalah mandi minimal dua kali dalam sehari, tidak buang air besar (BAB) di sembarangan tempat, menggunakan pakaian yang bersih dan tidak menggunakan alat mandi secara bersama-
Indonesian Journal of Public Health •
15
Manyullei, et.al
sama. Sedangkan praktik yang jarang dilakukan responden adalah tangan selalu dicuci bersih sebelum dan sesudah makan, bekerja dan setelah BAB dan membersihkan dan mencuci kasur/seprei tidur minimal seminggu sekali. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa responden sudah mulai sadar tentang pentingnya kebersihan diri. Walaupun hal-hal kecil seperti mencuci tangan masih belum dilakukan oleh sebagian besar responden dengan alasan lupa. Penelitian yang dilakukan oleh Malaviya (2005) menyatakan bahwa myasis pada kusta bisa diminimalisir dengan adanya penyuluhan tentang perilaku hidup bersih dan sehat. Hygiene perorangan yang tidak baik akan mempermudah tubuh terserang berbagai penyakit, seperti penyakit kulit, penyakit infeksi, penyakit mulut dan penyakit saluran cerna atau bahkan dapat menghilangkan fungsi bagian tubuh tertentu, seperti halnya kulit. Apalagi bagi orang-orang yang memiliki akses terbatas ke pelayanan kesehatan, tentunya tindakan pencegahan perlu dikedepankan. Namun, jika seseorang mampu menjaga kebersihan dirinya, maka tentunya akan berkaitan dengan tingkat kesehatannya pula. Dimana nantinya tingkat kesehatannya akan terus berkembang ke arah yang lebih baik. Untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan pada penularan kusta, dianjurkan untuk menghindari kontak langsung ke penderita kusta. Apabila kontak langsung tidak dapat dihindarkan, maka hygiene badan cukup menjamin pencegahannya (Entjang, 2003). SIMPULAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, tingkat pengetahuan penderita kusta tentang kusta adalah cukup, penderita berumur 15 tahun atau lebih saat pertama kali terdiagnosa kusta, sebagian besar penderita berjenis kelamin laki-laki, penderita kusta berisiko tinggi tertular kusta karena kontak fisik dan hygiene perorangan penderita adalah baik. Penelitian ini menyarankan perlunya peningkatan kegiatan penyuluhan tentang
16 •
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 10 - 17
kusta. Kontak fisik dengan penderita perlu diminimalkan. Hygiene perorangan seperti menjaga kebersihan tempat tidur perlu ditingkatkan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2001. WHO Seventh Expert Commi!ee (June 1997). Anonim. 2007. Profil Kesehatan Kota Makassar. Awaludin. 2004. Beberapa Faktor Risiko Kontak Dengan Penderita Kusta Dan Lingkungan Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Kusta Pada Anak. Universitas Diponegoro: Semarang. Chisi J.E, Nkhoma A, Zverev Y, Misiri H, Komolafe O. 2003. Leprosy in Nkhotakota District Hospital. East African Medical Journal. 80(12):635-639. Christiana, L. 2004. Lepra Subklinis dengan Pemeriksaan MLPA dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi. Universitas Diponegoro: Semarang. Das V. 2006. Stigma, Contagion, Defect: Issues in the Antropology of Public Health. Depkes RI. 2007. Rencana Aksi Nasional Pengendalian Kusta. Depkes RI: Jakarta. Entjang, I. 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi. PT. Citra Aditya Bakti: Bandung. Idris, F.I. 2008. Faktor Risiko yang Mempengaruhi Kejadian Kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Ngali Kabupaten Bima. Universitas Airlangga: Surabaya. Kumar A, Girdhar A, Girdhar B.K. 2005. Prevalence of Leprosy in Agra District. International Journal of Leprosy. 73(2):29-35. Malaviya, G. N. 2005. Myiasis in Leprosy. International Journal of Epidemiology. Vol. 73. No. 4: 277-279. Moet F.J, Pahan D, Schuring R.P, Oskam L, Richardus J.H. 2006. Physical Distance, Genetic Relationship, Age and Leprosy Classification are Independent Risk Factors for Leprosy in Contacts of Patients with Leprosy. J Infect Dis. 193(3):346-53 Mukhlis. 2010. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Keluarga dengan Proses Penyembuhan pada
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 10 - 17
ISSN: 9772302139009
Penderita Kusta di Kabupaten Bengkalis Riau. Universitas Sumatera Utara: Medan. Peters E.S, Eshiet A.L. 2002. Male-Female (Sex) Differences in Leprosy Patients in South Eastern Nigeria: Female Present Late for Diagnosis and Treatment and Have Higher Rates of Deformity.73:262-267. Prawoto. 2008. Faktor - Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Terjadinya Reaksi Kusta. Universitas Diponegoro: Semarang. Ranque B, Nguyen V.T, Vu H.T, Nguyen T.H, Nguyen N.B, Pham X.K, et.al. 2007. Age is an Important Risk Factor for Onset and Sequelae of Reversal Reactions in Vietnamese Patients with Leprosy. Clin Infect Dis. 44(1):33-40.
Sari, P.S. 2007. 876 Hubungan Faktor Predisposisi dengan Perilaku Personal Higiene Anak Jalanan Bimbingan Rumah Singgah YMS Bandung. Universitas Padjajaran: Bandung. Soemirat, J. 2011. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University Press: Yogyakarta. Susanto, N. 2006. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kecacatan Penderita Kusta (Kajian di Kabupaten Sukoharjo). Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta. Widoyono. 2008. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Penerbit Erlangga: Jakarta. Winarsih. 2011. Analisis Spasial Faktor Risiko Kejadian Penyakit Kusta di Kabupaten Jepara. Universitas Muhammadiyah Semarang: Semarang.
Indonesian Journal of Public Health •
17
Kurniasari, et.al
Vol. 1 No. 1 : 18 - 27
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK MEMETAKAN DISTRIBUSI SASARAN PEMANTAUAN KESEHATAN IBU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS I DENPASAR SELATAN Ni Made Dian Kurniasari, Putu Ayu Swandewi Astuti, Tangking Widarsa, Hari Mulyawan PS. IKM Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Email:
[email protected]
ABSTRACT Indonesian Maternal Mortality Rate (MMR) in 2007 was 228 per 100.000 live births. A program to reduce MMR was Local Area Monitoring of Maternal Health and was conducted by Public Health Centers (PHCs) throughout Indonesia. This study aims to apply geographic information system (GIS) as a tool to provide maps which describe the target of local area monitoring of maternal health, the distribution of maternity health centers, and level of poverty in the catchment area of South Denpasar I PHC in November to December 2010. This study used descriptive research with a cross sectional approach. Samples were pregnant women, mothers that had giving birth and maternity health centers in the catchment area of South Denpasar I PHC from November to December 2010. The results showed GIS can be used to create maps to describe various data of maternal health that relates to Local Area Monitoring. The type of maps that were generated for this study were choropleth maps, dot density maps, point location maps, a combination of choropleth maps with point location maps and buffering maternity health center maps. The recommendation is that PHCs should consider using GIS as a tool for presenting data related to local area monitoring of maternal health. More advanced uses of GIS as a tool to analyze data and to visualize the results of other research which is related to maternal health and geographic conditions is worth exploring. Keywords : Local Area Monitoring of Maternal Health, GIS, Maternity Health Center Poverty level.
PENDAHULUAN
K
ematian ibu atau maternal saat ini masih merupakan masalah kesehatan reproduksi yang sangat penting. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut masih jauh dari target Millenium Development Goals (MDG’s) 2015 yaitu penurunan AKI hingga 120 per 100.000 kelahiran hidup (Agustini, 2007). Penyebab kematian ibu 80 % disebabkan oleh penyebab langsung diantaranya komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas (komplikasi obstetri). Sebesar 20 % kematian ibu disebabkan oleh
18 •
Indonesian Journal of Public Health
and
faktor tidak langsung seperti akses pelayanan kesehatan dan status sosial ekonomi. Salah satu upaya untuk menurunkan angka kematian ibu adalah melalui program surveilens yang diimplementasikan dalam program Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA) (Depkes RI, 2009). Kegiatan PWS KIA dilakukan di tingkat Puskesmas di masing- masing daerah. Berdasarkan hasil analisis data PWS KIA khusus kesehatan ibu dari Januari hingga September tahun 2010, cakupan indikator PWS kesehatan ibu di masing-masing Puskesmas Denpasar Selatan (Densel) dapat dilihat pada Tabel 1.
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 18 - 27
ISSN: 9772302139009
Tabel 1. Data PWS Kesehatan Ibu Januari – September 2010 di Puskesmas Densel
43.58
Sasaran ibu bersalin Th 2010 1229
71.85
76.14
74.70
792
75.25
54.45
64.89
450
81.33
364
78.02
I Densel
Sasaran Ibu hamil Th 2010 1288
77.17
73.76
II Densel
830
76.27
III Densel
472
76.06
Puskemas
K1 (%)
K4 (%)
DD resti oleh nakes (%)
IV Densel 383 80.42 77.55 78.95 Sumber : Laporan PWS Dikes Kota Denpasar, September 2010.
Berdasarkan hasil observasi, masih ada kelemahan dari proses dan pemanfaatan data PWS KIA. Tabel dan grafik penyajian PWS KIA belum menggambarkan kejadian detail mengenai masalah kesehatan ibu. Peta yang dibuat juga belum disajikan dan dimanfaatkan secara optimal dalam kaitannya dengan proses pemantauan kesehatan ibu. Penyajian informasi dalam bentuk peta masih dibuat secara manual sehingga cenderung mengalami keterlambatan dalam penyajian informasi. Di satu sisi, perkembangan pemetaan dan teknologi memberikan kesempatan baru dalam hal perencanaan, analisis, pemantauan dan manajemen sistem kesehatan melalui pemanfaatan sistem informasi geografis (SIG) (Arozaq, 2010). SIG merupakan suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, menggabungkan, mengatur, mentranformasi, memanipulasi dan menganalisis data-data geografis (Aini, 2007). Tujuan penelitian ini adalah menggunakan SIG untuk membuat peta untuk memetakan distribusi ibu hamil kunjungan pertama (K1) dan kunjungan keempat (K4) ke pelayanan kesehatan, ibu hamil dengan faktor risiko tinggi, ibu yang akan bersalin, ibu bersalin dengan penolong persalinan, tempat dan jarak pelayanan kesehatan serta persentase kemiskinan di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan bulan November – Desember Tahun 2010. METODE Penelitian ini menggunakan rancangan crossectional deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu hamil, ibu bersalin,
Persalinan oleh nakes (%)
tempat pelayanan kesehatan, di tiga desa yang merupakan wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan dari bulan November – Desember 2010. Sampel dalam penelitian ini adalah total populasi. Data primer yang dikumpulkan yaitu titik (koordinat longitude dan latitude) ibu hamil dan titik ibu bersalin dan titik tempat pelayanan kesehatan diperoleh dari pendigitasian posisi (lokasi) menggunakan instrumen GPS, pendiqitasian dilakukan langsung kelapangan dan melalui Google Earth. Data sekunder yaitu peta administrasi Puskesmas I Denpasar Selatan (*shp) diperoleh dari Pusat Penelitian dan Lingkungan Hidup Universitas Udayana, data alamat dan status kesehatan ibu hamil dan ibu bersalin yang diperoleh dari buku register kunjugan ibu bersalin puskesmas, data alamat dan jumlah pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja puskesmas dan data jumlah penduduk miskin tahun 2010 di wilayah kerja puskesmas. Teknik pembuatan peta menggunakan instrument komputer dengan perangkat lunak seperti Microso$ Office Excel, Epi Info, Google Earth, Google Hybrid Maps Downloader, dan Global Mapper. Langkah pembuatan peta diawali dengan mempersiapkan peta citra satelit sebagai latar dari peta administrasi wilayah kerja puskesmas. Peta citra satelit diunduh dari Google Earth menggunakan aplikasi Google Hybrid Maps Downloader yang kemudian dilakukan proses registrasi (koreksi koordinat) keempat sumbu koordinat peta menggunakan aplikasi Global Mapper (Dharmaputeri, 2009). Tujuannya adalah untuk memberikan koordinat pada peta citra satelit agar sesuai dengan koordinat batas administrasi peta wilayah kerja puskesmas. Indonesian Journal of Public Health •
19
Kurniasari, et.al
Semua data yag menjadi variabel dibuatkan basis data menggunakan Microso$ Office Excel, data juga melalui proses data cleaning untuk mendapatkan data yang valid dan dapat ditransformasi ke dalam bentuk peta. Dalam setiap basis data yang dibuat, harus memiliki unsur geografis yaitu koordinat longitude dan latitude untuk peta point location atau nama wilayah bila ingin menghasilkan peta dot density dan choropleth (Geoscape, 2011). Setelah pembuatan basis data, selanjutnya memasukkan dan menganalisis basis data menggunakan so$ware Epi Info (CDC, 2009). Analisis data meliputi proses klasifikasi, proses geocoding, buffering, tumpang susun, modifikasi bentuk dan warna simbol, dan pembuatan legenda peta (Hutauruk, 2008).
Vol. 1 No. 1 : 18 - 27
2010). Terkait dengan data PWS, peta ini dapat digunakan untuk menyajikan data PWS ibu hamil K1 per bulan atau per tahun untuk membandingkan dan memantau keberhasilan program cakupan ibu hamil K1 antar wilayah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Ibu Hamil K1 di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan Bulan November 2010 Kunjungan Ibu Hamil K1 merupakan indikator dalam PWS KIA yang dapat digunakan untuk melihat tingkat aksesibilitas ibu hamil terhadap pelayanan kesehatan antenatal (Depkes RI, 2002). Dalam GIS, peta distribusi ibu hamil K1 yang dapat dihasilkan adalah peta jenis choropleth (Gambar 1). Peta ini menggambarkan perbedaan gradasi warna diantara tiga wilayah kerja dimana warna yang semakin gelap menunjukkan nilai variabel yang semakin tinggi. Angka dalam peta menunjukkan besar persentase ibu hamil K1. Sehingga dari peta dapat dilihat bahwa ibu hamil K1 pada bulan November 2010 paling banyak di wilayah Desa Sidakarya 8.74%, selanjutnya di Kelurahan Sesetan 8.25% dan yang paling rendah terdapat di wilayah Kelurahan Panjer 7.91%. Peta ini digunakan untuk membandingkan dengan cepat nilai variabel antara wilayah satu dengan lainnya hanya dengan melihat perbedaan warna (Ices, 2009). Peta choropleth hanya dapat digunakan untuk data rate, ratio dan proporsi tidak untuk data jumlah atau data individu (Indiemapper,
20 •
Indonesian Journal of Public Health
Gambar 1. Peta Cakupan Ibu Hamil K1 di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan Bulan November 2010
Ibu Hamil K4 di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan bulan November – Desember 2010. Ibu Hamil K4 merupakan suatu indikator PWS KIA yang menunjukkan kualitas pelayanan antenatal kesehatan ibu (Depkes RI, 2002). Jenis peta (Gambar 2) yang dihasilkan adalah dot density one-to-many maps untuk menggambarkan distribusi kepadatan ibu hamil dengan menggunkan titik sebagi simbolnya (Roth, 2009). Satu titik pada peta mewakili tiga ibu hamil K4. Dari peta dapat dilihat bahwa distribusi ibu hamil K4 bulan November – Desember 2010 paling padat terdapat di wilayah Kelurahan Sesetan dan paling sedikit di wilayah Desa Sidakarya.
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 18 - 27
ISSN: 9772302139009
Kepadatan ibu hamil K4 bulan November – Desember 2010 di Kelurahan Sesetan disebabkan karena jumlah ibu hamil yang ada di wilayah ini paling banyak dibandingkan dengan dua wilayah lainnya, yaitu Panjer dan Sidakarya.
Ibu Hamil Berisiko Tinggi di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan November – Desember 2010 Deteksi dini ibu hamil resiko tinggi (resti) merupakan kegiatan dalam PWS kesehatan ibu yang penting untuk menemukan dan melakukan pencegahan terhadap kejadian komplikasi obstetri (Depkes RI, 2009). Peta (Gambar 3) memberikan informasi sebaran ibu hamil K1 yang resti dengan non resti. Dilihat dari sebaran ibu hamil K1 secara keseluruhan, ibu hamil K1 pada bulan November – Desember 2010 lebih banyak ditemukan di sebelah utara Panjer dan Sesetan. Sedangkan ibu hamil K1 resti pada bulan November – Desember 2010 terlihat menyebar di setiap wilayah kerja puskesmas dan tidak menunjukkan pola pengelompokan tertentu.
Gambar 2. Peta Distribusi Kepadatan Ibu Hamil K4 di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan bulan November dan Desember 2010
Peta ini efektif jika digunakan untuk membandingkan kasus antar wilayah melalui distribusi global dari kasus dan untuk memvisualisasikan kepadatan kasus terutama untuk data kasus yang besar (Roth, 2009 ; Geog, 2004). Peta ini tidak dapat melihat letak atau lokasi spesifik dari kasus karena titik pada peta didistribusi secara acak menurut wilayah yang menjadi dasar geografisnya (desa/ kelurahan). Manfaat peta ini dalam program KIA adalah memberikan gambaran yang lebih visual tentang distribusi global jumlah ibu hamil K4 yang ada di wilayah kerjanya. Dengan tervisualisasinya data ibu K4 melalui peta digital, penyajian data akan lebih mudah dipahami dan mudah dibawa kemanapun untuk tujuan intervensi dan evaluasi program dengan sektor terkait.
Gambar 3. Peta Distribusi Ibu Hamil Resti dan Non Resti pada Ibu Hamil K1 di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan November – Desember 2010
Peta ini merupakan peta jenis point location yaitu peta yang menggambarkan lokasi geografi dari kasus yang sebenarnya. Peta ini cocok untuk memvisualisasikan sebaran kasus ibu hamil resti, melihat apakah terdapat Indonesian Journal of Public Health •
21
Kurniasari, et.al
Vol. 1 No. 1 : 18 - 27
pengelompokkan kasus secara geografis, pengambilan keputusan dan investigasi lebih lanjut (Endeca, 2010). Namun kelemahan peta ini adalah sulit untuk membandingkan kejadian antara satu wilayah dengan wilayah lainnya khususnya untuk data dalam skala yang besar (Endeca, 2010). Dalam penyajian data PWS, aplikasi ini dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai alat analisis dan pemantauan masalah kesehatan ibu yang berhubungan dengan lingkungan atau kewilayahan. Pembuatan peta ini membutuhkan data individu dan titik koordinat (x, y) alamat ibu hamil sehingga diperlukan data alamat ibu yang lengkap dan jelas. Ibu Hamil Resti Gizi dan Umur di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan November – Desember 2011 Ibu hamil resti dapat dikategorikan menurut penyebabnya. Peta (Gambar 4) yang dihasilkan yaitu peta point location yang menggambarkan sebaran ibu hamil resti menurut penyebab umur, resti gizi, resti umur dan gizi serta resti oleh sebab lainnya (jarak kehamilan) pada ibu hamil K1 bulan November – Desember 2010. Dilihat dari kasusnya, kejadian resti pada ibu hamil K1 bulan November – Desember 2010 tidak menunjukkan suatu pola pengelompokkan, baik itu pengelompokkan gizi, umur maupun kombinasi antara resti umur dan gizi. Hal ini disebabkan karena penduduk Kota Denpasar, khususnya Denpasar Selatan sangat heterogen. Pengelompokan mungkin saja tidak terlihat karena lokasi tempat tinggal penduduk sebagian besar tidak mengelompok berdasarkan kondisi sosial dan ekonomi. Selain itu untuk membuktikan adanya pengelompokan (clustering) secara geografis yang spesifik dan signifikan membutuhkan analisis statistik lebih lanjut. Dilihat dari aplikasinya, keuntungan proses SIG untuk membuat peta adalah dapat dihasilkannya informasi baru, yaitu informasi bumil resti menurut penyebabnya dengan menggunakan fungsi klasifikasi atau perluasan data (Hutauruk, 2008).
22 •
Indonesian Journal of Public Health
Gambar 4. Peta Distribusi Ibu Hamil Resti Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan November – Desember 2010
Taksiran Persalinan Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan Data lain terkait ibu hamil yang penting dalam proses pemantauan adalah data taksiran persalinan. Dalam penelitian ini data taksiran yang dipetakan adalah data ibu hamil yang akan bersalin pada bulan Juni minggu pertama, kedua dan ketiga tahun 2011 dari ibu hamil yang berkunjung bulan November – Desember 2010. Peta Gambar 5 menunjukkan lokasi ibu hamil yang akan bersalin pada bulan Juni 2011 minggu pertama, kedua dan ketiga menggunakan peta point location. Dapat dilihat bahwa ibu hamil yang akan bersalin pada bulan Juni minggu pertama hingga minggu ketiga paling banyak ditemukan di wilayah Sesetan. Dari peta juga dapat dilihat ada dua ibu hamil yang akan bersalin berada di luar batas administrasi Puskesmas I Denpasar Selatan. Hal ini dapat disebabkan karena faktor presisi akurasi pada saat pengambilan
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 18 - 27
ISSN: 9772302139009
titik menggunakan GPS, akurasi saat koreksi koordinat atau tingkat akurasi peta dasar yang digunakan.
2010 ditolong oleh tenaga kesehatan yang kompeten, dimana penolong persalinan oleh bidan jauh lebih banyak dibandingkan dengan ibu bersalin ditolong oleh dokter spesialis. Penolong persalinan selain tenaga kesehatan tidak ditemukan.
Gambar 5. Peta Taksiran Persalinan di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan Bulan Juni 2011
Dalam aplikasinya, puskesmas dapat menggunakan peta ini sebagai alat monitoring persalinan ibu hamil, monitoring laporan persalinan per wilayah kerja dan sebagai alat rujukan ibu hamil ke pelayanan kesehatan terdekat terutama apabila mengalami keadaan darurat dalam persalinan. Distribusi Ibu Bersalin Menurut Penolong Persalinan di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan November – Desember 2010 Dalam PWS kesehatan ibu dilakukan pemantauan ibu bersalin menurut penolong persalinan. Peta yang dihasilkan (Gambar 6) adalah distribusi ibu bersalin bulan November – Desember 2010 paling banyak ditemukan di wilayah Sesetan dan yang paling sedikit berada di wilayah Sidakarya. Menurut penolong persalinan, secara umum ibu hamil yang bersalin pada bulan November dan Desember
Gambar 6. Peta Distribusi Ibu Bersalin Menurut Penolong Persalinan di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan Bulan November – Desember 2010
Banyaknya ibu bersalin yang ditolong oleh bidan pada bulan November – Desember 2010 adalah karena laporan persalinan yang dilaporkan kepada puskesmas lebih banyak berasal dari bidan praktek swasta (bps). Laporan persalinan dari dokter spesialis dan rumah sakit swasta belum dilaporkan secara berkesinambungan kepada pihak puskesmas sehingga data penolong persalinan oleh dokter masih sangat minim. Pemilihan persalinan yang lebih banyak di bidan dapat dipengaruhi oleh karakteristik ibu hamil seperti sosial ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan keterjangkauan lokasi penolong persalinan (Manalu, 2007).
Indonesian Journal of Public Health •
23
Kurniasari, et.al
Distribusi Sarana Pelayanan Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan Sarana pelayanan kesehatan merupakan komponen terpenting dalam pengelolaan program KIA dan keberhasilan program PWS kesehatan ibu (Depkes RI, 2009). Pelayanan kesehataan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan kompeten dan diberikan di fasilitas pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2009). Berdasarkan peta point location Gambar 7, dapat dilihat bahwa distribusi sarana pelayanan kesehatan ibu (antenatal dan persalinan) di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan sudah merata. Posyandu dilaksanakan di setiap banjar dan sudah merata di setiap wilayah desa/kelurahan. Puskesmas terletak di wilayah Sesetan sedangkan puskesmas pembantu (pustu) masing-masing terletak di wilayah Panjer dan Sidakarya. Sektor pelayanan kesehatan swasta ada di setiap wilayah kerja Puskesmas. Bidan praktek swasta lebih banyak ditemukan di wilayah kerja bagian utara Panjer dan Sesetan. Klinik swasta yang melayani persalinan dan pemeriksaan kehamilan terdapat diwilayah selatan Sesetan. Ada empat pelayanan kesehatan yang terda$ar di wilayah kerja puskesmas berada di luar batas peta. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor presisi akurasi pada saat pendigitasian koordinat lokasi pelayanan kesehatan, presisi akurasi saat koreksi koordinat atau tingkat akurasi dari peta dasar yang digunakan. Terkait dengan PWS, aplikasi peta ini dapat memberikan informasi mengenai distribusi sarana pelayanan kesehatan yang dapat digunakan oleh pengelola program KIA sebagai dasar rujukan pemeriksaan kesehatan ibu hamil dan rujukan persalinan ke tenaga dan fasilitas pelayanan kesehatan yang kompeten.
24 •
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 18 - 27
Gambar 7. Peta Distribusi Sarana Pelayanan Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan
Jarak Pelayanan Kesehatan dengan Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan bulan November – Desember 2010 Proses SIG juga dapat menggambarkan akses pelayanan kesehatan ibu hamil terhadap sarana pelayanan kesehatan antenatal yang dinyatakan dalam satuan jarak (kilometer atau meter) yang dapat dilihat pada Gambar 8. Peta tersebut merupakan peta point location dari sarana pelayanan kesehatan dengan distribusi ibu hamil K1 pada bulan Novebmber – Desember 2010 yang dikombinasikan dengan membuat zona jarak melalui proses buffering dalam SIG. Berdasarkan peta dapat dilihat bahwa wilayah Panjer dan Sidakarya, bps dan pustu dapat ditemukan dalam jarak 500 meter (m) dari lokasi tempat tinggal ibu hamil. Hanya tiga ibu hamil K1 masing-masing di Panjer dan Sidakarya yang jarak pelayanan kesehatan dengan lokasi tempat tinggal ibu hamil lebih dari 500 m. Sedangkan di wilayah Sesetan, dengan jarak 500 m sebagian besar ibu hamil sudah dapat menemukan sarana pelayanan
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 18 - 27
ISSN: 9772302139009
kesehatan yaitu bps, puskesmas dan klinik. Hanya tujuh orang ibu yang membutuhkan lebih dari 500 m untuk menemukan sarana pelayanan kesehatan. Walapun untuk mencapai sarana pelayanan kesehatan membutuhkan jarak yang lebih dari 500 m, ibu hamil tetap dapat mengakses pelayanan kesehatan. Ketersediaan sarana transportasi menjadi hal penting yang dapat membantu mengakses sarana pelayanan kesehatan (Adri, 2008). Namun dengan adanya sarana kesehatan baik pemerintah maupun swasta yang dekat dengan lokasi ibu hamil memudahkan mereka untuk mengakses pelayanan kesehatan dengan cepat, terutama bila menghadapi keadaan darurat dalam kehamilan.
Persentase Kemiskinan dengan Distribusi Ibu Hamil Resti di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan Peta persentase kemiskinan dengan distribusi ibu hamil resti dapat dilihat pada Gambar 9 yang merupakan peta tumpang susun antara choropleth dengan peta point location. Peta choropleth memberikan informasi mengenai persentase kemiskinan wilayah. Dari peta, persentase kemiskinan paling tinggi tahun 2010 yaitu di wilayah Sidakarya yaitu dengan persentase lebih dari 1.12% sedangkan persentase kemiskinan terendah terdapat di wilayah Panjer yaitu dengan persentase antara 0.78% - 0.90%. Peta point location di atas adalah peta distribusi ibu hamil K1 resti pada bulan November – Desember 2010. Distribusi ibu hamil K1 resti bulan November – Desember 2010 tidak mengikuti pola tertentu. Di wilayah yang paling tinggi persentase kemiskinannya tidak ditemukan ibu hamil K1 resti yang paling banyak. Ibu hamil K1 resti justru lebih banyak ditemukan di wilayah Sesetan. Hal tersebut dikarenakan populasi ibu hamil tahun 2010 paling banyak berasal dari wilayah Sesetan. Untuk mendapatkan hubungan antara kemiskinan dengan kejadian ibu hamil resti maka perlu menggunakan uji statistik lebih lanjut.
Gambar 8. Peta Buffering Sarana Pelayanan Kesehatan dengan Ibu Hamil K1 di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan bulan November – Desember 2010
Dalam aplikasinya, peta ini dapat memperlihatkan sebaran dan jangkauan antara penyedia pelayanan kesehatan kompeten (swasta dan milik pemerintah) yang ada di wilayah kerja puskesmas dengan ibu hamil K1 bulan November – Desember 2010.
Gambar 9 Peta Persentase Kemiskinan Wilayah dengan Distribusi Ibu Hamil K1 Resti di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan Bulan November – Desember 2010.
Indonesian Journal of Public Health •
25
Kurniasari, et.al
Terkait dengan aplikasinya, peta kemiskinan dengan distribusi ibu hamil resti dapat digunakan oleh puskesmas untuk melakukan monitoring dan evaluasi serta analisis ibu hamil K1 resti berdasarkan kondisi wilayah setempat.
Vol. 1 No. 1 : 18 - 27
penelitian mengenai hubungan tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan terkait keterjangkauan lokasi dengan SIG sebagai alat untuk analisis dan memvisualisasikan hasil penelitian. UCAPAN TERIMAKASIH
SIMPULAN Kesimpulan penelitian ini bahwa SIG dapat diaplikasikan untuk memetakan distribusi sasaran pemantauan kesehatan ibu seperti distribusi ibu hamil K1, K4, ibu hamil resti, ibu hamil yang akan bersalin, ibu bersalin, sarana pelayanan kesehatan, jarak pelayanan kesehatan dengan ibu hamil serta persentase kemiskinan dengan ibu hamil resti di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan bulan November – Desember Tahun 2010. Jenis peta yang dapat dihasilkan adalah peta choropleth, dot density, point location, buffering dan peta kombinasi antara peta choropleth dengan peta point location. Manfaat peta dengan SIG ini yaitu peta jauh lebih cepat dihasilkan, lebih informatif, visual, variatif dan menarik serta mudah dipahami untuk dapat membantu proses monitoring dan evaluasi pencapaian program berdasarkan lokasi atau kewilayahan. Saran yang diberikan yaitu puskesmas dapat mempertimbangkan penggunaan SIG pada program KIA untuk menghasilkan peta sebagai alat monitoring dan evaluasi, menilai keberhasilan program dan analisis masalah kesehatan ibu berdasarkan kondisi wilayah. Hal – hal yang perlu disiapkan untuk mengaplikasikan SIG di puskesmas yaitu data alamat lengkap ibu hamil sehingga bila dipetakan dapat menggambarkan lokasi yang spesifik, mengembangkan dan menggunakan sistem komputerisasi data register kunjungan ibu dan pelatihan SIG kepada petugas puskesmas. Saran kepada pembaca dan peneliti adalah melakukan beberapa penelitian lanjutan seperti pengintegrasian sistem informasi kesehatan puskesmas dengan SIG dan hubungan kejadian ibu resti dengan kondisi sosial ekonomi wilayah. Selain itu
26 •
Indonesian Journal of Public Health
Pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: Segenap staff dan jajaran Puskesmas I Denpasar Selatan yang telah memberikan ijin dalam penyelenggaraan penelitian serta memberikan informasi dan data – data terkait penyusunan penelitian ini. Segenap staff dan jajaran di Kantor Kelurahan Sesetan, Kelurahan Panjer dan Desa Sidakarya yang membantu memberikan data dan informasi kependudukan. DAFTAR PUSTAKA Adri. (2008). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Cakupan Program Pemeriksaan Kehamilan (K1 dan K4) di Puskesmas Runding Kota Subulussalam Provinsi NAD. Universitas Sumatra Utara, Medan. Agustini, E. (2007 – last update), “Upaya Penanggulangan Angka Kematian Ibu: Agenda Mendesak bagi Pemerintah Pusat dan Daerah”, (WRI), Available: www. wri.or.id/files/Potret-Kemiskinan_05_ Tulisan_IV.pdf (Accessed : 2010, March 23). Aini, A. (2007, Agustus 13 - last update), “Sistem Informasi Geografis Pengertian dan Apl ikasinya”,(Amikom),Available: h!p:// p3m.amikom.ac.id/p3m/dasi/juni07/ 02%20%20STMIK%20 AMIKOM%20 Yogyakarta%20Sistem%20 Informasi% 20Geografi,%20Pengertian%20dan%20 Pemanfaatannya.pdf (Accessed : 2010, November 21). Arozaq, M. (2010, March 20 – last update), “Analisis Spasial Epidemiologi”, (Rozag Edublogs), Available: h!p://rozaq.edublogs.org/2010/03/20/analisisspasial-epidemiologi/ (Accessed : 2010, October 29).
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 18 - 27
ISSN: 9772302139009
“Cartography and Vizualization”, (2004, January 7 – last update), (Geog), Available : h!p://go.owu.edu/~jbkrygie/ krygier_html/geog_353/geog_353_lo/ geog_353_lo12.html. (Accessed : 2011, April 4). Depkes RI. (2002). Ibu Sehat Bayi Sehat. Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Depkes RI. (2009). Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA). Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Jakarta. Dharmaputeri, E. (2009, March 28 – last update), “Aplikasi Sistem Informasi Geografis Pelayanan Kesehatan Kota Depok Berbasis Web Menggunakan Quantum Gis”, (Gunadarma), Available: h!p:// www.gunadarma.ac.id/library/articles/ graduate/computerscience/2009/ Artikel_10105565.pdf (Accessed : 2010, November 21). Dikes Kota Denpasar. (2010). Laporan PWS Dikes Kota Denpasar 2010. Seksi Binkesga Dinas Kesehatan Kota Denpasar, Denpasar. “Epi Info™ Community Health Assessment Tutorial, (2009, November 18 – last update)”, (CDC), Available: www.cdc. gov/epiinfo, (Accessed : 2010, October 9). “Geocoding Services”, (2011 – last update), (Geoscape), Available: h t t p : / / w w w. g e o s c a p e . e u / c o n s u l t i n g /
geocoding-services/ (Accessed : 2011, April 22). Hutauruk, L. (2008). Analisis Spasial dan Faktor Risiko Kasus TBC Paru dengan BTA (+) di Kabupaten Bantul Tahun 2008. Universita Gadjah Mada, Jogyakarta. “Ices Atlas : Guide to Atlas Maps”, (2009 – last update), (Ices), Available: h t t p : / / w w w. i c e s . o n . c a / f i l e / T D A _ Appendix%20A_press.pdf (Accessed : 2011, March 21). “Indiemapper Tutorial : Choropleth Maps”, (2010 – last update). (Indiemapper) Available: h!p://indiemapper.com/ education/labs/1/Choropleth_Lab_ Indiemapper.pdf (Accessed : 2011, April 21). Manalu, H. (2007). Pengaruh Karakteristik Ibu terhadap Pemanfaatan Penolong Persalinan di Wilayah Kerja Puskesmas Sunggul Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2007. Universitas Sumatera Utara, Medan. “Point Location Map”, (2010– last update), (Endeca), Available: http://patterns.endeca.com/content/library/ en/home/patterns/pointLocationMap, (Accessed : 2011, April 4). Roth, Robert E. (2009 – last update). “Dot Density Maps”, Available: h t t p : / / w w w. p e r s o n a l . p s u . e d u / r e r 1 9 8 / publications/Roth_2009_EG.pdf (Accessed: 2011, April 4).
Indonesian Journal of Public Health •
27
Widarsa, et.al
Vol. 1 No. 1 : 28 - 34
EFEK SUPLEMEN BESI TERHADAP PENINGKATAN HB DAN INDEK ERITROSIT IBU HAMIL Kt. Tangking Widarsa*, I Wayan Weta, Ida Ayu Alit Widhiartini Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Jl PB Sudirman Denpasar Bali *Email:
[email protected]
ABSTRACT To study the effect of iron supplement equivalent to 60 mg elemental iron and 0.25 mg folic acid to the erythrocyte indexes and anemia among pregnant mothers.A pretest-pos!est community trial was carried out among pregnant mothers who were absent of bleeding history and other blood disorders and gestation’s age were under 24 weeks. Iron tablets equivalent to 60 mg elemental iron and 0.25 mg folic acid were given to the mothers every day until 8 weeks long. Hb, MCV, MCH, and MCHC were evaluated twice before intervention and a$er intervention. The changes were analyzed using t-test and X2 test at 0.05 significance level. Before intervention, almost 78.23% of pregnant women suffering from iron deficiency (MCH < 27 pg/cell) and 35.28% were anemic (Hb < 11 g/dl). The proportion of suffering iron deficiency and anemia significantly decreased a$er intervention (p < 0.05). The proportion of suffering iron deficiency decreased to 27.43% and anemia decreased to 9.35%. The mean of Hb, MCH and MCHC significantly increased a$er intervention (p < 0.05), but there was no changes on MCV (p > 0.05). More then 2/3 of the pregnant mothers suffered from iron deficiency and 1/3 were anemic. Iron supplement significantly increased the erythrocyte indexes and reduced the prevalence of anemia among pregnant mothers. Therefore, it is important to continue iron supplement program and it will be more effective when first introduced at pre-maternal period. Keywords: Iron Supplement, Erythrocyte Indexes, Anemia of Pregnant Mothers
PENDAHULUAN
A
nemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin dalam darah rendah dan hemoglobin berfungsi untuk mengantarkan oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh termasuk pada tubuh janin (Hindmarsh, et al, 2000). Bila kadar hemoglobin pada darah rendah maka kebutuhan oksigen sel atau jaringan tubuh termasuk tubuh janin akan terganggu. Oleh karena itu, anemia pada ibu hamil dapat memberikan dampak negatif kepada ibu dan janin yang dikandungnya. Efek anemia pada ibu hamil dilaporkan dapat menyebabkan kelahiran prematur, meningkatkan risiko kematian ibu, meningkatkan kejadian berat badan lahir rendah (BBLR) dan penurunan status imunitas serta dapat menurunkan intelegensia anak (Allen, 1977; Allen, 2000; Amiri, 1997; Gha!as, et al, 2003). Beberapa penelitian
28 •
Indonesian Journal of Public Health
juga melaporkan bahwa anemia ibu hamil dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan dan pertumbuhan bayi. Anemia pada ibu hamil juga dilaporkan mempengaruhi produktivitas kerja wanita (Purwani, et al, 2002; Conrad, 2003). Anemia defisiensi besi pada ibu hamil disebabkan oleh banyak faktor antara lain intake besi yang kurang, kehilangan darah akut dan kronis, kebutuhan zat besi meningkat, hemodilusi, gangguan absorbsi besi, dan cadangan besi yang rendah. Kurangnya intake besi disebabkan oleh karena kurangnya jumlah besi dalam makanan atau kualitas besi dalam makanan mempunyai bioavaibilitas rendah atau dimakan bersama makanan yang banyak serat, rendah protein dan rendah vitamin C. Kehilangan darah koronis dapat disebabkan oleh tukak lambung, karsinoma lambung, karsinoma kolon, hemorhoid, infeksi cacing tambang dan kehilangan darah akut misalnya
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 28 - 34
ISSN: 9772302139009
karena perdarahan waktu melahirkan atau waktu menstruasi. Kebutuhan besi pada saat hamil dan menyusui hampir 4 kali dari kebutuhan waktu tidak hamil. Wanita dewasa yang tidak sedang hamil dan masih menstruasi membutuhkan sekitar 1,36 mg besi per hari dimana setengah dari jumlah tersebut dipakai menggantikan besi yang hilang waktu menstruasi. Diperkirakan kebutuhan besi per hari selama kehamilan trimester II dan III sekitar 5,6 mg dan total kebutuhan besi pada kehamilan diperkirakan sebesar 840 mg, dimana sekitar 350 mg dari jumlah tersebut ditransfer ke janin dan plasenta. Kebutuhan besi pada kehamilan meningkat karena jumlah eritrosit pada saat hamil bertambah sekitar 20%, deposisi besi ke fetus dan plasenta. Penambahan eritrosit pada ibu hamil mencapai puncaknya pada umur kehamilan 20-25 minggu dan sebagian besar deposisi besi pada fetus terjadi setelah umur kehamilan 30 minggu (Allen, 1977; Brunner, 1996; Hallberg, et al, 2000; Alper, et al, 2000). Program suplemen tablet besi yang dicanangkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia diberikan kepada semua ibu hamil dengan dosis 60 mg per hari selama 90 hari dan untuk wanita prematernal diberikan dengan dosis 60 mg per hari selama 16 minggu (Depkes RI, 2000). Dengan dosis tersebut diharapkan kebutuhan besi selama kehamilan terpenuhi, tetapi kenyataannya angka anemia pada ibu hamil masih tetap tinggi. Dari beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa angka anemia pada ibu hamil dalam satu dasa warsa terakhir masih tinggi. Kejadian anemia ibu hamil pada tahun 1995 sebesar 50,9%, tahun 2000 sekitar antara 46% sampai 80% (Suega, at al, 2002; Sastromidjoyo, 2003; Muhilal, at al, 2004). Sedangkan kejadian anemia di negara maju sekitar 18% (Baker, 2000). Lebih dari setengah kasus anemia pada ibu hamil termasuk anemia defisiensi besi (Conrad, 2003). Pada paper ini akan disajikan hasil penelitian efek pemberian 90 tablet besi sesuai dengan program dari Depkes terhadap kejadian anemia, peningkatan Hb dan indek eritrosit pada ibu hamil dengan
mengendalikan variabel pengganggu seperti riwayat perdarahan akut dan kronis, kepatuhan minum obat, kadar Hb sebelum diberi tablet besi, dan umur ibu. METODE Efek pemberian suplemen besi dengan dosis satu tablet setiap hari terhadap penurunan kejadian anemia, peningkatan Hb dan indek eritrosit pada ibu hamil diteliti pada ibu hamil di Puskesmas Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali, dimana lokasi penelitian merupakan laboratorium lapangan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Penelitian dirancang sebagai penelitian trial komunitas dengan rancangan pretest – pos!est dan ibu hamil sebagai subjek penelitian. Rancangan ini dipilih karena semua subjek harus mendapatkan suplemen besi. Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan Hb dan indek eritrosit dilakukan dua kali yaitu sebelum dan sesudah perlakuan diberikan. Dari hasil review beberapa survei anemia di Bali diketahui bahwa angka kejadian anemia berkisar antara 35% sampai 45%. Menggunakan asumsi kejadian anemia pada ibu hamil sebesar 35%, power penelitian sebesar 80%, tingkat kemaknaan α sebesar 5%, penelitian mampu mendeteksi penurunan kejadian anemia paling sedikit menjadi setengahnya, kemungkinan drop out sebesar 5%, dan penelitian dilakukan dengan rancangan pretest-pos!est, diperlukan sampel minimal sebanyak 55 dan pada penelitian ini dipakai sampel sebanyak 65 ibu hamil (Colton, 1974 dan Pocock, 1986). Subjek penelitian adalah semua ibu hamil dengan umur kehamilan kurang dari 24 minggu yang melakukan antenatal care pada periode tahun 2003 di puskesmas dan 6 puskesmas pembantu di wilayah Abiansemal. Terdapat 100 ibu hamil yang memenuhi kriteria umur kehamilan 24 minggu. Kepada semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi di atas diundang ke puskesmas atau puskesmas pembantu dan diwawancara oleh
Indonesian Journal of Public Health •
29
Widarsa, et.al
tim peneliti mengenai riwayat hemorhoid, tukak lambung, batuk darah dan kelainan darah lainnya. Subjek tidak diikutsertakan sebagai sampel bila ada riwayat hemorhoid, tukak lambung, batuk darah, menderita penyakit kelainan darah dan tidak bersedia ikut dalam penelitian setelah kepadanya diberikan inform consent. Seleksi subjek dengan cara tadi dilanjutkan sampai jumlah sampel terpenuhi. Dari 100 ibu hamil yang diundang, sebanyak 75 orang yang datang dan 65 orang dari jumlah tersebut memenuhi kriteria subjek penelitian. Subjek dikeluarkan dari penelitian bila terjadi efek samping yang berat setelah diberikan perlakuan atau pindah alamat sehingga tidak dapat dilacak atau menderita sakit yang menyebabkan mereka tidak dapat melanjutkan minum tablet besi, dan atau menyatakan pengunduran diri dari penelitian. Setelah diberikan penjelasan mengenai penelitian dan inform consent dibacakan, dilakukan pengambilan sampel darah oleh petugas laboratorium sebanyak 2cc pada vena radialis untuk pretest. Sampel darah diberi label dan dibawa ke Laboratorium Patologi Klinik RSU Sanglah. Selanjutnya, kepada subjek penelitian diberikan suplemen 200 mg tablet besi setara dengan 60 elemental besi ditambah 0,25 mg asam folat untuk satu minggu. Kepada subjek diberikan penjelasan cara minum tablet, yaitu setiap hari sebanyak satu tablet. Kepada subjek juga dijelaskan efek samping yang mungkin terjadi dan gejalanya. Bila efek samping yang terjadi tidak terlalu berat, kepada subjek diminta untuk terus meminum tablet besi yang diberikan atau mengunjungi puskesmas/pustu terdekat. Setiap minggu dilakukan kunjungan rumah oleh tim peneliti untuk memonitor kepatuhan minum obat, kejadian efek samping dan sambil memberikan suplemen tablet besi untuk minggu berikutnya. Data hasil monitoring dicatat pada kartu monitoring tablet besi. Pemberian tablet besi diteruskan sampai akhir minggu ke VIII dengan total suplemen besi sebanyak 56 tablet. Pada akhir minggu ke VIII dilakukan pengambilan
30 •
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 28 - 34
sampel darah untuk pos!est dengan prosedur yang sama seperti yang dilakukan pada saat pengambilan darah untuk pretest. Sampel darah diambil sebanyak dua kali yaitu sebelum diberikan perlakuan dan sesudah perlakuan. Sampel darah diambil oleh petugas dari Laboratorium Patologi Klinik RSU Sanglah. Pengambilan sampel darah dilakukan di puskesmas/puskesmas pembantu dan di rumah ibu hamil bagi ibu yang tidak datang. Sampel darah diperiksa di Bagian Patologi Klinik RSU Sanglah. Pemeriksaan Hb menggunakan metode cyanmet dan status anemia ditetapkan berdasarkan katagori WHO. Indek Eritrosit yang diperiksa meliputi MCV, MCH dan MCHV. Karakteristik subjek yang meliputi umur, paritas, umur kehamilan, status gizi dan kadar Hb serta Indek Eritrosit dianalisis secara deskriptif. Sedangkan efek pemberian suplemen besi terhadap peningkatan Hb dan Indek Eritrosit dianalisis dengan uji t-paired pada tingkat kemaknaan α sebesar 0,05. Penurunan kejadian anemia dan penurunan proporsi ibu dengan defisiensi besi (MCH < 27 pg/sel dan MCHC < 30 g/dl) sesudah perlakuan diuji dengan uji Z dengan tingkat kemaknaan α sebesar 5% (Armitage, 2002 dan Daniel, 1999). HASIL Sebagian besar sampel adalah memiliki paritas 2, berasal dari beberapa profesi, kontak dengan tanah tanpa memakai alat pelindung. Selain itu, masih ada ibu hamil yang porsi makan selama hamil lebih sedikit dari sebelum hamil. Data yang lebih rinci disajikan pada Tabel 1. Dari hasil pemeriksaan Hb sebelum perlakuan didapatkan sebanyak 23 orang dari 65 sampel (35,28%) menderita anemia (Hb < 11 g%) dan setelah perlakuan menurun menjadi 6 (9,23%). Setelah mendapatkan tablet besi selama 8 minggu, terjadi penurunan kejadian anemia sebesar 26,05% yaitu dari 35,28% menjadi 9,23%. Secara statistik, penurunan kejadian anemia tersebut sangat bermakna
Vol. 1 No. 1 : 28 - 34
Arc. Com. Health • Juli 2012 ISSN: 9772302139009
Tabel 1. Paritas, aktivitas fisik, perilaku berisiko terinfeksi cacing, status gisi dan pola konsumsi responden n = 65 orang Karakteristik Paritas 1 2 3 atau lebih Pekerjaan Petani PNS/ABRI Karyawan swasta Wirausaha Buruh Lainnya Perilaku berisiko Kontak dengan tanah tanpa pelindung Buang air tidak di WC Tidak biasa mencuci bahan makanan Tidak biasa memakai alas kaki Biasa mengkonsumsi lalapan mentah Tidak rutin minum obat cacing Status gizi Lingkar lengan < 22 cm Konsumsi makanan * Bertambah Sama Berkurang Tidak tahu
Frekuensi
Persen
19 29 17
29,2 44,8 26,0
10 7 14 5 21 8
15,4 10,8 21,5 7,7 32,3 12,3
29 6 11 2 5 12
44,6 9,2 16,9 3,1 7,7 18,5
8
12,3
18 25 11 11
27,7 38,5 16,9 16,9
*konsumsi makanan saat hamil dibandingkan sebelum hamil
Tabel 2. Kadar Hb dan indeks eritosit ibu hamil sebelum dan sesudah perlakuan menurut status anemia sebelum perlakuan Status anemia sebelum perlakuan Anemia (n=23)
Normal (n=42)
Total (n=65)
Indek Eritrosit Hemoglobin (g/dl) MCV (fl) MCH (pg) MCHC (%) Hemoglobin (g/dl) MCV (fl) MCH (pg) MCHC (%) Hemoglobin (g/dl) MCV (fl) MCH (pg) MCHC (%)
dengan p = 0,000. Selain itu, sampel yang tidak anemia sebelum perlakuan, tidak ada yang menjadi anemia setelah perlakuan. Secara kuantitatif terjadi peningkatan yang signifikan pada rerata kadar Hb, MCH dan MCHC pada ibu hamil setelah mendapatkan asupan besi setara 60 elemen
Sebelum Perlakuan Mean (SD) 9,9 (0,9) 90,6 (9,3) 25,4 (2,3) 28,3 (2,4) 12,2 (1,1) 80,4 (6,9) 25,8 (1,4) 32,3 (1,1) 11,2 (1,5) 84,1 (9,7) 25,6 (1,8) 30,7 (3,4)
Sesudah Perlakuan Mean (SD) 11,7 (1,1) 90,7 (9,2) 29,1 (2,6) 32,2 (2,4) 12,8 (0,9) 82,7 (7,4) 28,2 (2,3) 34,2 (2,0) 12,4 (1,2) 85,5 (9,4) 28,5 (2,5) 33,4 (2,4)
P 0,000 0,979 0,000 0,000 0,016 0,181 0,000 0,004 0,000 0,362 0,000 0,000
besi perhari selama 8 minggu, sedangkan kadar MCV tidak berubah. Peningkatan rerata kadar Hb, MCH dan MCV lebih tinggi pada ibu hamil yang anemia dibandingkan yang tidak anemia. Secara keseluruhan, rerata kadar Hb meningkat sebesar 1,2 g% dari 11,2 g% sebelum perlakuan menjadi 12,2 g% Indonesian Journal of Public Health •
31
Widarsa, et.al
setelah perlakuan. Peningkatan rerata kadar Hb didapatkan lebih tinggi pada ibu yang anemia yaitu sebesar 1,8 g% sementara pada ibu yang tidak anemia sebesar 0,6 g%. Rerata MCH juga meningkat sekitar 3,7 pg/sel pada ibu yang anemia dan 2,4 pg/sel pada ibu yang tidak anemia dan rerata MCHC meningkat sebesar 3,9 g/dl pada ibu anemia dan 1,9 g/dl pada ibu yang tidak anemia (Tabel 2). Secara kualitatif, proporsi ibu dengan MCH < 27 pg/sel dan MCHC < 30 g/dl menurun secara signifikan setelah mendapat asupan besi setara 60 elemen besi perhari selama 8 minggu secara kontinyu, sebaliknya proporsi ibu dengan MCV < 80 tidak berubah. Secara keseluruhan, proporsi ibu dengan MCH < 27 pg/sel menurun dari 78,23% sebelum perlakuan menjadi 27,43% setelah perlakuan, dan proporsi ibu dengan MCHC < 30 g/dl menurun dari 41,68% sebelum perlakuan menjadi 7,78 % setelah perlakuan. Penurunan proporsi ibu dengan MCH < 27 pg/sel dan MCHC < 30 g/dl setelah perlakuan, lebih tinggi pada ibu yang anemia dari pada yang tidak anemia. Data yang lebih rinci disajikan pada Tabel 3. PEMBAHASAN Pada pemeriksaan sebelum perlakuan didapatkan sekitar 78% ibu hamil memiliki sel eritrosit yang hipokromik atau mengalami
Tabel 3.
Vol. 1 No. 1 : 28 - 34
defisiensi besi (MCH < 27 pg/sel), akan tetapi yang mengalami anemia sebesar 35%. Ini menunjukkan bahwa banyak ibu hamil memiliki risiko anemia tetapi belum anemia. Tidak sekaligus ibu yang mengalami defisiensi besi menderita anemia, karena defisiensi besi terjadi duluan dan bila berlangsung terus akan menyebabkan jumlah hemoglobin dalam eritrosit menurun maka akan terjadi anemia. Oleh karena itu, pada fase awal dari anemia sering bersifat asimptomatis (Bakta, 2000). Pemberian suplemen besi setara dengan 60 elemen besi per hari selama delapan minggu tampak memberikan efek yang signifikan terhadap penurunan kejadian anemia dan peningkatan kualitas indek eritrosit. Kejadian anemia setelah perlakuan menurun dari 35% sebelum perlakuan menjadi 9% setelah perlakuan dan kemungkinan ibu hamil dengan kadar MCH < 27 pg/sel menurun dari 78% sebelum perlakuan menjadi 27% setelah perlakuan. Keberhasilan tersebut terjadi karena sebagian besar ibu hamil mengalami defisiensi besi dan dengan diberikan suplemen besi dengan dosis yang adequat dapat memperbaiki cadangan besi dalam tubuh. Perbaikan cadangan besi akan berdampak terhadap indek eritrosit dan Hb ibu hamil. Selain itu, dari beberapa penelitian diketahui bahwa anemia pada ibu hamil banyak disebabkan oleh intake besi yang kurang. Dengan suplemen besi diharapkan
Proporsi ibu hamil dengan MCV <80, MCH <27 pg/sel, dan MCHC < 30 g/dl sebelum dan sesudah perlakuan menurut status anemia sebelum perlakuan Sebelum Sesudah Status anemia sebelum Indek Eritrosit Perlakuan Perlakuan p perlakuan (%) (%) Anemia MCV <80 47,21 35,20 0,5000 (n=23) MCH < 27 pg/sel 75,49 20,90 0,0000 MCHC <30 g/dl 76,11 17,88 0,0000 Normal MCV <80 12,00 12,00 0,0571 (n=42) MCH < 27 pg/sel 80,51 30,15 0,0000 MCHC <30 g/dl 15,21 1,78 0,0034 Total MCV <80 35,36 27,76 0,1635 (n=65) MCH < 27 pg/sel 78,23 27,43 0,0000 MCHC <30 g/dl 41,68 7,78 0,0000
32 •
Indonesian Journal of Public Health
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 28 - 34
ISSN: 9772302139009
kekurangan tersebut dapat teratasi sehingga indek eritrosit membaik dan anemia menurun (Allen, 1977; Purwani, et al, 2002; Bakta, 2000) Kalau dilihat dari volume sel eritrositnya, sebagian besar ibu hamil memiliki eritrosit yang hipokromik normositer yaitu sekitar 63% dan yang memiliki eritrosit hipokromik mikrositer sekitar 8,7%. Hal ini menandakan bahwa tingkat defisiensi besi ibu hamil tidak terlalu parah, sehingga dengan suplemen besi setara 60 elemen besi sudah cukup berhasil menanggulangi anemia pada ibu hamil. Oleh karena itu, asupan suplemen besi setara dengan 60 elemen besi per hari masih cukup relevan dan bermanfaat. Walaupun asupan besi setara 60 elemen besi per hari sudah dapat menurunkan kejadian anemia dan meningkatkan kualitas indek eritrosit, akan tetapi masih ada ibu hamil yang anemia sampai umur kehamilan trimester III dan masih ada yang memiliki kadar MCH < 27 pg/sel. Ini merupakan satu indikasi bahwa suplemen besi dengan dosis setara dengan 60 elemen besi belum dapat menuntaskan masalah anemia pada ibu hamil. Selainitu, masih terdapat ibu hamil yang mengalami defisiensi besi berat sebelum mendapatkan suplemen besi. Oleh karena itu, akan menjadi lebih efektif bila suplemen besi diberikan lebih awal, yaitu sejak sebelum hamil atau pada masa pre-maternal. Keuntungan memberikan suplemen besi secara lebih awal adalah dapat meningkatkan cadangan besi ibu sebelum hamil. Cadangan besi yang cukup pada saat sebelum hamil akan dapat mencegah terjadinya anemia pada ibu hamil beserta segala akibatnya baik terhadap ibu sendiri dan bayi yang dikandungnya. Aspek edukasi tentang tablet besi juga perlu ditingkatkan baik secara kuantitas dan secara kualitas yang ditujukan untuk meningkatkan pemahaman dan pengertian ibu terhadap segala aspek dari anemia dan program tablet besi. Dengan pemahaman yang benar diharapkan ibu akan melakukan upaya pencegahan anemia defisiensi besi dengan mengkonsumsi makanan kaya besi dengan cara yang optimal.
SIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ibu hamil mengalami defisiensi besi dan pemberian asupan besi setara dengan 60 elemen besi dapat meningkatkan kualitas indek eritrosit dan menurunkan kejadian anemia ibu hamil. Mengingat sebagian besar ibu hamil mengalami defisiensi besi sebelum mendapat asupan besi, maka disarankan agar pemberian asupan besi diberikan sejak pre-maternal dan kepada ibu juga perlu diberikan KIE tentang manfaat tablet besi dan cara konsumsi tablet besi yang benar agar efeknya optimal. UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu penelitian ini, khususnya terhadap kontribusi dari Kimia Farma dalam pembuatan materi tablet besi, Laboratorium Klinik Rumah Umum Sakit Sanglah yang melakukan pemeriksaan Hb dan indek eritrosit, Kepala Puskesmas Abiansemal beserta staf dan semua sampel, serta Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang membiayai penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Allen, LH. (1977). Pregnancy and iron deficiency: Unresolved Issues. Nutr Revs 55 (4): 91-101. Allen, LH. (2000). Anemia and Iron Deficiency: Effects on Pregnancy Outcome, Available: h!p://www.AJCN.com. Last modified: May 2000. (Accessed: 10 April 2003) Alper, B.S, Kimber Reddy AK. (2000). Using Ferritin Level to Determine IronDeficiency Anemia In Pregnancy. J Fam Pract 14 (4): 27-29. Amiri, S. (1997). A comparative study on the outcome of pregnancy in adolecense and adult women. Available: h!p://mwia. Regional. Org. au/papers/papers/01
Indonesian Journal of Public Health •
33
Widarsa, et.al
amiri, html. (Accessed: 10 April 2003) Armitage, P., Berry G., Ma!hews J.N.S. (2002). Statistical Methods in Medical Research. Massachuse!s: 208-215. Baker, WF. (2000). Iron Deficiency in pregnancy. Hemat Onc Clin North Am 14 (5): 106177. Bakta, IM. (2000). Hematologi klinik ringkas. Percetakan Universitas Udayana, Denpasar. Brunner. (1996). Benefits of iron? Even in absence of anaemia, iron supplementation improve some aspects of cognitive functioning in iron deficient adolescent girls. Lancet 348 (9033): 240-45. Colton, T. (1974). Statistic In Medicine, First Edition, Litle Brown and Company, Boston: 99-172. Conrad, ME. (2003). Iron deficiency anemia. E Med com, Inc (17): 276-69. Daniel, WW. (1999). Biostatics: A Foundation for Analysis in The Health Sciences. John Wiley & Sons.Inc, New York: 204-228. Depkes RI. (2000). Pedoman pemberian tablet besi folat dan sirop besi bagi petugas. Depkes: 1-16. Gha!as, H., Fulford, T., Prentice, A. (2003). Effect of moderate anaemia on later mortality in rural African children. Lancet 361 (9374): 49-51.
34 •
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 28 - 34
Hallberg, L., Huthen, L. (2000). Prediction of dietary iron absorption: An algorithm for calculating absorption and bioavailability of dietary iron. Am J of Clin Nutr 71 (5): 1147-60. Hindmarsh MP, Geary P, Rodeck CH, Jackson MR, Kingdom JCP. (2000). Effect of early maternal iron stores on placental weight and structure. Lacet 356 (9231): 719-23. Muhilal, Sumarno I, Komari. (2004). Review of surveys and supplementation studies of anemia in Indonesia. Pocock, S.J. (1986). Clical Trial A Practical Approach. John Wiley & Sons, New York: 123-141. Purwani, RD dan Hadi, H. (2002). Pengaruh pemberian pil besi folat dan pil vitamin C terhadap perubahan kadar hemoglobin anak Sekolah Dasar yang anemia di desa nelayan Kabupaten Rembang. J. Kedokt Yarsi 10 (3): 8-18. Sastroasmoro, S., Ismael, S. (2002). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. CV Sagung Seto, Jakarta: 144-164. Sastromidjoyo, S. (2003). Anemia pada wanita, khususnya wanita hamil. MOGI suppl 12: 2-5. Suega, K., Dharmayuda, TG, Sutarga, IM., Bakta IM. (2002). Iron deficiency anemia in pregnant women in Bali, Indonesia: A profile of risk factors and epidemiology. Southeast Asean J Trop Med Public Health.
Vol. 1 No. 1 : 35 - 42
Arc. Com. Health • Juli 2012 ISSN: 9772302139009
STATUS ANEMIA GIZI BESI DAN KONSUMSI ZAT GIZI PADA ANAK USIA SEKOLAH DI LIMA PANTI ASUHAN DI KOTA DENPASAR K. Melisa L. Dewi, Ni Ketut Sutiari, M.Si*, Luh Putu Lila Wulandari (PS.IKM, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana) *Korespondensi: Gedung PS.IKM, Fak.Kedokteran Universitas Udayana, Jl.P.B Sudirman, Denpasar. Telp/fax: (0361) 7448773, Hp: 081338718750, email:
[email protected]
ABSTRACT Iron deficiency, anemia, cause a negative impact on health such as lowering levels of endurance, lowering concentration power of learning and child development disorders. This research aims to identify iron deficiency, anemia, status and nutrient intake in school age children at five orphanages in Denpasar. The design of this research was cross-sectional study conducted at five orphanages in Denpasar. The 48 school age children were assigned using a systematic random sampling. Data of hemoglobin level were coollected using Cyanmethaemoglobin; nutrient intake and iron inhibitors using a SQFFQ and questionnaire. Data were analyzed descriptively and presented in tables and narrative. From examination of 48 samples, results of anemia proportion in school age children at five orphanages amounted to 29.16%. Most sampeles (> 80%) already got sufficient recommended RDA, except for vitamin A that still far below recommended RDA. From 48 of 28 samples (58,33%) have a habit of consuming milk and as many as 38 samples (79,16) consume tea. The conclusion of this study is that school age children are vulnerable to iron deficiency, anemia, and have the habit of consuming iron inhibitors. Keywords: Anemia, Iron Deficiency, Nutrient Intake, School-Age Children
PENDAHULUAN
A
nemia defisiensi besi merupakan defisiensi yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia. Anak-anak merupakan salah satu kelompok yang paling rentan terkena anemia defisiensi besi di samping kelompok usia subur. Kondisi ini tentu sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia karena masa anak merupakan masa vital bagi pertumbuhan dan perkembangan tubuh yang besar dan menurunkan prestasi belajar sehingga berpengaruh terhadap pembentukan kualitas sumber daya manusia pada masa produktif (Wijaya, 2004); (Depkes RI, 2001). Organisasi kesehatan dunia (WHO, 2004) memperkirakan sekitar 40% dari penduduk di dunia terkena anemia defisiensi besi.
Kelompok yang paling tinggi prevalensinya adalah ibu hamil sekitar 55% dan usia lanjut yaitu sekitar 45%. Prevalensi anemia defisiensi besi pada bayi dan anak usia dua tahun 48%, anak usia prasekolah 40%, anak usia sekolah 25% dan wanita tidak hamil 35%. Prevalensi anemia di negara yang sedang berkembang empat kali lebih besar dibandingkan dengan negara maju. Diperkirakan prevalensi anemia pada anak sekolah di negara berkembang dan maju adalah 42% dan 17%. Prevalensi anemia pada anak bawah lima tahun (balita) di Indonesia adalah sebanyak 33,7% anak lakilaki dan 49,2% anak perempuan. Prevalensi usia 5-14 tahun 42,8% anak lelaki dan 49,2% anak perempuan. Anemia defisiensi besi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan menurunnya kadar zat warna merah dalam sel darah merah Indonesian Journal of Public Health •
35
Dewi, et.al
atau eritrosit yang disebut sebagai hemoglobin. Anemia defisiensi besi dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi kejadian anemia, antara lain pengetahuan tentang gizi khususnya anemia, tingkat pendidikan orang tua, tingkat ekonomi, infeksi, dan kebiasaan hidup. Faktor intrinsik yang mempengaruhi kejadian anemia, antara lain kehilangan darah secara kronis, seperti pada penyakit ulkus peptikum, hemoroid, infestasi parasit, asupan zat besi tidak cukup dan penyerapan tidak adekuat, peningkatan kebutuhan akan zat besi untuk pembentukan sel darah, yang berlangsung pada masa pertumbuhan bayi, masa pubertas, masa kehamilan dan menyusui (Siswono, 2004). Anak usia sekolah merupakan fase yang sangat penting dalam pertumbuhan. Periode anak usia sekolah ini disebut juga dengan istilah latency, yakni periode dimana proses pertumbuhan berlanjut dari masa balita, namun dengan efek pertumbuhan yang tidak sebesar pada periode sebelumnya. Pada fase ini, tubuh dengan optimal menyimpan cadangan nutrisi yang diperlukan anak pada fase pubertas nantinya. Selain itu, anak usia sekolah merupakan fase dimana aktivitas anak berlangsung sangat dinamis dan aktif sehingga membutuhkan asupan nutrisi yang memadai. Dengan demikian kecukupan zat gizi menjadi hal utama yang harus dipenuhi oleh keluarga (Akhmadi, 2009). Siswono (2004) menyatakan pada anak usia prasekolah dan sekolah, anemia defisiensi besi dapat mengganggu proses tumbuh kembang, menurunkan daya konsentrasi belajar, dan memudahkan anak terserang penyakit. Penelitian menunjukkan adanya kolerasi erat antara kadar hemoglobin (status anemia) dengan kesanggupan anak untuk belajar. Anemia defisiensi besi dapat menurunkan konsentrasi belajar sehingga prestasi anak akan menurun (Depkes RI, 2001); (Sediaoetama, 2006). Panti asuhan adalah wadah yang menampung anak yatim piatu. Di dalam panti asuhan, anak yatim piatu (tidak memiliki ibu
36 •
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 35 - 42
dan atau ayah), anak yang dititipkan orang tuanya karena tidak mampu, biasanya tinggal, mendapat pendidikan, dan juga dibekali berbagai keterampilan agar dapat berguna di kehidupannya nanti. Di Kota Denpasar terdapat 12 panti asuhan yang menampung lebih dari 210 anak usia sekolah. Panti asuhan adalah salah satu institusi yang harus mendapatkan perhatian penuh karena anakanak yang ada di panti asuhan memerlukan perlindungan kesejahteraan dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya. Kecukupan konsumsi zat gizi yang seimbang harus dipenuhi oleh anak usia sekolah dan zat gizi yang perlu diperhatikan pada anak usia sekolah adalah energi, protein, Fe, vitamin A, vitamin C dan Ca. Mengingat dampak dari anemia defisiensi besi dapat menimbulkan penurunan konsentrasi belajar maka diperlukan deteksi dini pada anak usia sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan status anemia defisiensi besi dan tingkat kecukupan zat gizi (energi, protein, vitamin A dan zat besi) serta mengetahui konsumsi pendorong dan penghambat penyerapan zat besi anak usia sekolah pada lima panti asuhan di Kota Depasar. METODE Rancangan penelitian ini adalah penelitian crossectional yang dilakukan di lima panti asuhan yaitu Panti Asuhan Bala Keselamatan, Panti Asuhan William Both, Panti Asuhan Darma Jati II, Panti Asuhan Tunas Bangsa, dan Panti Asuhan Puka Usaha Mulia, dengan alasan bahwa lima panti asuhan tersebut mempunyai populasi anak usia sekolah yang paling banyak diantara 12 panti yang ada di Kota Denpasar. Penelitian dilaksanakan selama lima bulan (FebruariJuni) tahun 2010. Populasi adalah anak usia sekolah yang tinggal pada lima panti asuhan yang berjumlah 75 anak dan telah memenuhi kriteria inklusi (berusia 9-12 tahun dan bersedia diteliti serta dalam keadaan sehat) dan eksklusi penelitian
Vol. 1 No. 1 : 35 - 42
Arc. Com. Health • Juli 2012 ISSN: 9772302139009
(anak dalam keadaan sakit dan menstruasi saat penelitian). Sampel dihitung berdasarkan besaran sampel penelitian crossectional (Sastroasmoro&Ismael, 2002) dan diperoleh 48 sampel anak usia sekolah yang diambil dengan metode systematic random sampling (acak sistematik). Pada penelitian ini data yang dikumpulkan adalah: 1. Status anemia yang dinyatakan dengan kadar Hb diperoleh dengan melakukan pemeriksaan terhadap darah sampel. Pemeriksaan dilakukan dengan metode Cyanmethemoglobin yaitu dengan cara mengambil darah kapiler sampel oleh petugas yang dalam penelitian ini dibantu oleh petugas Laboratorium Kesehatan Provinsi Bali, dengan membuat luka pada ujung jari atau pada tumit dengan blood lancet sedemikian rupa sehingga darah kapiler dapat keluar dengan sendirinya tanpa dipijat. Selanjutnya darah diambil dengan pipet mikro dan kadar Hb diukur dengan alat spektrometer. 2. Asupan zat gizi energi, protein, dan Fe yang diperoleh dari konsumsi makanan melalui wawancara yang berpedoman pada formulir SQ-FFQ. 3. Tingkat kecukupan zat gizi diperoleh dengan menghitung jumlah asupan zat gizi kemudian membandingkan dengan AKG tahun 2004 dan dinyatakan dalam bentuk persentase. 4. Asupan yang mendorong penyerapan yaitu vitamin C, dan asupan yang menghambat penyerapan yaitu tanin dan Ca, yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi dikumpulkan dengan jalan wawancara yang berpedoman pada formulir SQ-FFQ. Data yang telah dikumpulkan diolah dengan perangkat computer dan dianalisis secara deskriptif serta disajikan dengan tabel atau narasi.
HASIL Sampel dalam penelitian ini adalah 48 anak dengan rata-rata umur 10 tahun (SD ± 1,14). Umur terendah yaitu 9 tahun dan umur tertinggi yaitu 12 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak usia sekolah di lima panti asuhan paling banyak berjenis kelamin laki-laki yaitu 28 orang (58,33%) dan paling banyak pada kelompok umur 10-12 tahun yaitu 34 anak (70,83%). Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1. Distribusi sampel berdasarkan umur dan jenis kelamin Kategori
N
Persentase (%)
Umur 7 – 9 tahun
14
29,17
Umur 10 – 12 tahun
34
70,83
Laki-laki
28
58,33
Perempuan
20
41,66
Kelompok Umur (n=48)
Jenis kelamin (n=48)
Anemia adalah keadaan dimana kadar hemoglobin di bawah normal sesuai umur dan jenis kelamin. Pada anak usia di atas satu tahun hingga masa pubertas dikatakan anemia jika didapatkan kadar hemoglobin kurang dari 12 g/dl (WHO, 2001). Kadar Hb diukur dengan menggunakan metode cyanmethemoglobin. Rata-rata kadar hemoglobin dari 48 sampel adalah 12,51 ± 1,01 dengan kadar Hb terendah yaitu 9,90 dan tertinggi yaiu 15,00. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar (70,84%) tidak anemia dan sebanyak 14 sampel (29,16%) mengalami anemia. Zat gizi yang diteliti meliputi energi, protein, vitamin A, dan zat besi, yang berasal dari makanan yang di konsumsi. Bahan makanan yang di konsumsi meliputi makanan pokok, sumber protein hewani dan nabati, sayur-sayuran, buah-buahan, jajan dan minuman. Berdasarkan hasil penelitian semua sampel mengkonsumsi nasi setiap hari dengan ferekuensi 2-3 kali sehari. Sebanyak 15 Indonesian Journal of Public Health •
37
Dewi, et.al
Vol. 1 No. 1 : 35 - 42
(31,25%) sampel mengkonsumsi mie dengan fekuensi 1 kali setiap hari, bukan sebagai makanan pokok tetapi sebagai pendamping lauk pauk nasi. Sumber protein hewani dan nabati yang di konsumsi yaitu daging ayam, telur ayam, ikan segar, ikan teri segar, tempe, tahu, kacang tanah, kacang merah. Sebanyak 15 sampel (31,25%) mengkonsumsi tempe setiap hari dengan frekuensi 1-2 kali sehari, dan sebanyak 8 sampel (16,67%) mengkonsumsi telor ayam setiap hari. Rata-rata semua sampel mengkomsumsi sayuran seperti bayam, kol, kangkung, buncis, kacang panjang, dan wortel dengan frekuensi 2-4 kali dalam seminggu. Semua sampel hanya mengkonsumsi buahbuahan dengan frekuensi 1-2 kali seminggu, biasanya buah yang di konsumsi seperti apel, jeruk, pepaya, dan melon. Sebanyak 22 sampel (45,83%) mengkonsumsi susu setiap hari dan sebanyak 6 sampel (12,50%) mengkonsumsi teh setiap hari. Pemakaian bahan makanan dalam seminggu dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa semua sampel mengkonsumsi nasi
sebagai sumber karbohidrat selain mie. Sumber protein hewani sebagian besar berasal dari daging ayam, dan tahu, tempe sebagai sumber protein nabati selain kacang-kacangan. Jenis sayuran yang di konsumsi sampel seperti bayam, kol, wertel, kangkung, buncis dan kacang panjang. Sebagian besar sampel tidak mempunyai kebiasaan mengkonsumsi buah setiap harinya, namun buah yang biasanya di konsumsi sampel seperti apel, jeruk, dan melon. Jajanan yang sering di konsumsi yaitu biskuit, coklat, wafer dan makanan ringan lainnya dan hal ini merupakan jenis jajanan yang digemari anak usia sekolah (pada umumnya). Analisis zat gizi terhadap makanan yang dikonsumsi sampel meliputi rata-rata asupan energi, protein, vitamin A, dan zat besi yang dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa semua sampel (100%) sudah mencukupi energi sesuai AKG yang di anjurkan LIPI (2004), sedangkan dalam hal protein dan zat besi sebagian besar (>80%) sudah mencukupi
Tabel 2. Distribusi sampel berdasarkan jenis bahan makanan yang dikonsumsi dalam seminggu Bahan makanan % Bahan Makanan % Kol 83,33 100,00 Nasi 72,91 Kangkung 81,25 Mie Buncis 39,58 20,83 Roti 52,08 Kacang panjang 31,25 Jagung Wortel 77,08 22,91 Singkong 83,33 Apel 45,83 Daging ayam 68,75 Jeruk 62,50 Telor ayam Pepaya 31,25 54,16 Ikan segar Melon 41,66 25,00 Ikan teri segar 58,33 100,00 Susu Tempe 100,00 Teh 79,16 Tahu Bubur kacang ijo 60,41 27,08 Kacang tanah 91,66 16,66 Biskuit/coklat/wafer Kacang merah 62,50 Bayam
Tabel 3. Asupan zat gizi makanan sampel Zat gizi Energi (Kkal) Protein (gram) Besi (mg) Vitamin A (RE)
38 •
Tertinggi
Terendah
Rata-rata
SD
2238,96 85,78 29,28 824,59
1646,12 30,50 7,85 124,32
1931,75 61,59 19,38 400,84
133,15 16,90 7,83 210,53
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 35 - 42
Arc. Com. Health • Juli 2012 ISSN: 9772302139009
AKG yang dianjurkan kecuali vitamin A yang masih berada dibawah AKG yang dianjurkan. Tabel 4. Tingkat kecukupan zat gizi sampel Asupan Zat Gizi Energi (Kkal) Protein (gram) Vitamin A (RE) Besi (mg)
Tingkat Kecukupan < AKG
≥ AKG
n
%
n
%
0 8 30 9
0 16,66 62,50 18,75
48 40 18 39
100,00 83,33 37,50 81,25
Vitamin C merupakan unsur yang dapat mendorong penyerapan zat besi. Jumlah asupan vitamin C yang dikomsumsi dibandingkan dengan AKG dan di kelompokan menjadi kurang apabila tingkat konsumsi vitamin C kurang dari 80% dan cukup apabila tingkat konsumsi vitamin C lebih dari atau sama dengan 80%. Rata-rata konsumsi vitamin C yaitu 27,45 mg ±7,22 dengan konsumsi vitamin C tertinggi yaitu 40,12 mg dan terendah yaitu 14,57mg. Berdasarkan hasil penelitian diketahui sebanyak 45 sampel (93,5%) asupan vitamin C masih kurang dari AKG. Susu adalah bahan makanan yang mengandung kalsium, sedangkan teh mengandung tanin, kedua unsur tersebut dapat menghambat proses absopsi besi. Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 48 sampel sebanyak 28 sampel (58,33%) mempunyai kebiasaan mengkonsumsi susu setiap hari bersamaan dengan makan utama dan sebanyak 38 sampel (79,16%) mempunyai kebiasaan mengkonsumsi teh setiap hari, diantaranya 12 sampel (25%) mempunyai kebiasaan lebih dari 1 jam sesudah atau sebelum makan utama dan 26 sampel (54,16%) bersamaan dengan makan utama. Rata-rata konsumsi kalsium (Ca) yaitu 2475,21 mg ± 2542,58 dengan konsumsi kalsium (Ca) tertinggi yaitu 8217,79 mg dan terendah yaitu 156,78 mg.
PEMBAHASAN Anemia merupakan suatu gangguan hematologis dengan adanya penurunan jumlah sel darah merah, jumlah hemoglobin atau jumlah volume paket sel (hematokrit) atau suatu keadaan dimana kadar Hb dalam darah kurang dari normal (WHO, 2001). Kadar hemoglobin merupakan parameter yang digunakan secara luas untuk menetapkan prevalensi anemia. Berdasarkan hasil pemeriksaan kadar hemoglobin dengan menggunakan metode cyanmethemoglobin pada anak usia sekolah di lima panti asuhan diketahui bahwa kadar Hb anak panti asuhan 12,51 (SD=1,01). Kadar Hb dalam penelitian ini tidak jauh beda dengan rata-rata kadar Hb hasil Riskesdas (2008) pada anak ≤14 tahun 12,67 (SD=1.58). Proporsi anemia pada anak usia sekolah di lima panti asuhan yaitu sebesar 29,16%, lebih besar dibandingkan dengan kejadian anemia berdasarkan hasil Riskesdas (2008) pada anak usia sekolah dan remaja (usia 5-14 tahun) mencapai angka 9,4%. Anemia defisiensi besi anak usia sekolah dapat disebabkan oleh kekurangan asupan zat besi dan zat gizi lainnya yaitu energi, protein, vitamin A dan faktor penghambat serta faktor pendorong penyerapan zat besi (vitamin C, kalsium, konsumsi teh, susu), disamping juga dipengaruhi oleh status gizi anak tersebut. Defisiensi besi dalam makanan merupakan salah satu penyebab penting terjadinya anemia defisiensi besi. Pemasukan besi dalam tubuh dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas besi dalam makanan. Hal ini dapat terjadi pada orang yang mengkonsumsi makanan yang kurang beragam. Jumlah besi dalam makanan di negara berkembang pada umumnya rendah sekitar 12-19 mg/hari, lebih rendah dari jumlah yang dianjurkan (Bakta M, 1992). Faktor utama yang menjadi penyebab anemia gizi besi adalah kurangnya asupan zat besi yang berasal dari makanan sehingga tidak mencukupi kebutuha tubuh. Pala makan yang kurang beragam seperti menu yang hanya terdiri nasi dan kacang-kacangan saja turut
Indonesian Journal of Public Health •
39
Dewi, et.al
menunjang kekurangan asupan zat besi bagi tubuh (Wirakusumah, 1999). Arisman (2004) menyatakan bahwa anak usia sekolah merupakan salah satu golongan yang rawan mengalami anemia. Faktor utama timbulnya anemia adalah karena faktor pangan yang tidak seimbang dan kurang beragam. Akibat dari anemia untuk anak usia sekolah adalah penurunan kapasitas dan kemampuan belajar dan juga anak menjadi lebih mudah terinfeksi. Berdasarkan penelitian rata-rata asupan zat gizi makanan yang meliputi energy (1931,75 Kkal), protein (61,59 gram), zat besi (19,38 mg ) dan vitamin A (400,84 RE). Kecukupan zat gizi adalah ratarata asupan gizi harian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi semua orang sehat bagi kelompok umur, jenis kelamin, dan fisiologi tertentu. Menurut Hardinsyah dan Tambunan (2004), nilai asupan harian zat gizi yang diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan zat gizi mencakup 50% bagi orang sehat bagi kelompok umur, jenis kelamin, dan fisiologi tertentu. Dari 14 anak di lima panti asuhan Denpasar yang mengalami anemia (29,16%) diketahui 11 anak (71,5%) memiliki tingkat kecukupan protein yang baik dan ada 8 anak (57,1%) tingkat kecukupan besi (Fe) yang baik. Penelitian ini menemukan bahwa ada beberapa kemungkinan anak mengalami anemia defisiensi besi, yang pertama faktor pendorong yang kurang baik (konsumsi vitamin C yang kurang) dan adanya faktor penghambat yang tinggi (dari 14 sampel yang mengalami anemia 13 sampel mempunyai faktor penghambat) dan faktor lain di luar penelitian ini. Asupan protein yang dikonsumsi sebagian besar berasal dari protein nabati (non hem) seperti kacang merah, kacang tanah dan kacang hijau yang memungkinkan dapat menghambat penyerapan zat besi ketika dikonsumsi secara bersama-sama dengan makanan sumber heme. Penyerapan zat besi di dalam tubuh manusia dipengaruhi oleh faktor pendorong dan penghambat. Salah satu fungsi vitamin
40 •
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 35 - 42
C adalah membantu penyerapan zat besi, sehingga jika terjadi kekurangan vitamin C, maka jumlah zat besi yang diserap akan berkurang dan bisa terjadi anemia, sedangkan faktor penghambat dapat dilihat waktu kebiasaan mengkonsumsi susu dan asupan kalsium. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan hampir semua anak mempunyai asupan vitamin C yang kurang dari AKG yang dianjurkan. Asupan yang kurang tersebut disebabkan oleh kurangnya konsumsi buahbuahan sehingga tingkat kecukupan vitamin C kurang dari AKG yang dianjurkan. Ratarata frekuensi dalam seminggu, anak panti asuhan tersebut hanya mengkonsumsi 12 kali buah. Susu sapi merupakan bahan makanan yang banyak mengandung kalsium sedangkan teh merupakan bahan makanan yang mengandung tanin. Kalsium dan tanin dapat menghambat penyerapan zat besi. Penyerapan zat besi dapat dihambat oleh asupan yang mengandung kalsium. Sejumlah studi menyatakan bahwa kalsium yang terkandung dalam makanan dapat menghambat penyerapan zat besi. Konsumsi tinggi kalsium dalam jangka panjang, seperti yang dinyatakan Minihane dan FairweatherTait (1998) tidak akan mengurangi status besi (simpanan besi) tubuh pd individu yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi diit tinggi kalsium. Akan tetapi hal ini perlu dijelaskan dengan mekanisme yang jelas efek kalsium pada mereka yang defisiensi besi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (>50%) mempunyai kebiasaan mengkonsumsi susu setiap hari bersamaan dengan makan utama dan begitu pula halnya dalam mengkonsumsi teh. Menurut penelitian Besral dan Sahar (2007), ada pengaruh yang signifikan antara kebiasaan minum teh terhadap kejadian anemia pada usila. Dalam penelitian ini juga menyebutkan usila yang memiliki kebiasaan minum teh setiap hari mempunyai resiko 92 kali lebih tinggi untuk menderita anemia dibandingkan dengan usila yang tidak mempunyai kebiasaan minum teh setiap hari.
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 35 - 42
ISSN: 9772302139009
Anemia kekurangan zat besi pada anak-anak di Arab Saudi dan di Inggris juga dilaporkan berhubungan dengan kebiasaan minum teh (Gibson, 1999). Dilaporkan juga bahwa dampak dari interaksi teh dengan zat besi ini bergantung pada status konsumsi zat besi dan karakteristik individu. Berbicara tentang penyerapan zat besi terhadap timbulnya defisiensi besi dan anemia dapat dijelaskan oleh Ma et al (2002) bahwa status besi (iron status) dan penyerapan zat besi terkait dengan zat gizi yang terdapat dalam makanan. Dan mengingat faktor pemicu (enhancers iron absorption): vitamin C, retinol dan karoten dalam penelitiannya sangat rendah sehingga prevalensi anemia masih ditemukan pada ibu wanita hamil, anak-anak dan orang tua. Hasil penelitian pada anak panti asuhan ini tidak berbeda dengan penemuan Ma et al (2002). SIMPULAN Anak usia sekolah di lima panti asuhan Denpasar rawan mengalami anemia defisiensi besi, dengan proporsi sebesar 29,16%. Dari segi tingkat kecukupan zat gizi, sebagian besar (>50%) anak usia sekolah di lima panti asuhan Denpasar sudah mencukupi angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan. Bahan makanan pendorong penyerapan zat besi (konsumsi vitamin C) masih kurang dari AKG dan anak panti asuhan tersebut sebagian besar memiliki kebiasaan mengkonsumsi teh dan susu setiap hari (sebagai penghambat penyerapan besi) bersamaan dengan makan utama UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis kepada anak-anak panti asuhan yang mau berpartisipasi dalam penelitian ini. Terima kasih juga kami ucapkan kepada Ketua PS IKM, Fakultas Kedokteran Unud yang telah memberikan dukungan atas penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak petugas Laboratorium Daerah Provinsi Bali yang telah membantu mengukur kadar hemoglobin darah sampel.
DAFTAR PUSTAKA Wijaya, Sumitro. (2004). Fortifikasi Zat Besi pada Makanan Pendamping ASI. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi, Jakarta. Depkes RI. (2001). Program penanggulangan anemia gizi pada wanita usia subur (WUS). Direktorat Gizi Masyarakat Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Jakarta. World Health Organization. (2004). Iron Deficiency Anemia and Prevalence Anemia. h!p://www.who//html (Akses: 18 Desember 2009). Siswono. (2004). Waktu Terbaik Mengkonsumsi Vitamin. h!p://www.gizi.net/ (Akses: 8 Desember 2009). Akhmadi. (2009). Kebutuhan Gizi Anak Usia Sekolah dan Remaja. h!p://www.rajawan. com/ (Akses: 4 Januari 2010) Sediaoetama, Achmad D. (2006). Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I. Dian Rakyat, Jakarta. Sastroasmoro, S & Ismael, S. (2002). Dasardasar Metodologi Penelitian Klinis. CV. Sagung Seto, Jakarta. World Health Organization. (2001). Iron deficiency anaemia: assessment, prevention and control. World Health Organization, Geneva. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (2004). Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Di dalam: Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi daerah dan Globalisasi. LIPI, Jakarta. Riskesdas. (2008). Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, Jakarta. Bakta, M. (1992). Anemia Gizi. Lab/UPT Ilmu Penyakit Dalam Kedokteran UNUD/ RSUP, Denpasar. Wirakusumah, E.S. (1999). Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi. PT. Trubus Agriwidya, Jakarta. Arisman. (2004). Gizi dalam Daur Kehidupan. EGC, Jakarta.
Indonesian Journal of Public Health •
41
Dewi, et.al
Hardinsyah &Tambunan, V. (2004). Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Serat Makanan. Di dalam Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi daerah dan Globalisasi, 2004. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Minihane, A., M & Fairweather-Tait, S., J. (1998). Effect of calcium supplementation on daily nonheme-iron absorption and long-tern irons status. Am J Clin Nutr, 68: 96-102.
42 •
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 35 - 42
Besral, M., L & Sahar, L. (2007). Pengaruh Minum Teh Terhadap Kejadian Anemia Pada Usila Di Kota Bandung. Akademi Perawat Depkes, Bandung. Gibson, S. (1999). Iron Intake And Iron Status Of Preschool Shilderen. Public Health Nutrition: association with brekfast cereals vitamin C and meat. Ma A, Xuecun C, Mingci Z, Yu Wang, Rongxian Xu & Juesheng Li. (2002). Iron status and dietary intake of Chinese pregnant women with anaemia in the third trimester. Asia Pacific J Clin Nutr, 11(3): 171–175
Vol. 1 No. 1 : 43 - 49
Arc. Com. Health • Juli 2012 ISSN: 9772302139009
KECUKUPAN ASUPAN GIZI REMAJA VEGETARIAN DAN NONVEGETARIAN DI YAYASAN SRI SATHYA SAI BALI TAHUN 2011 Hildagardis Meliyani Ersita Nai, Kadek Tresna Adhi*, Ni Ketut Sutiari Program Studi IKM FK UNUD *Email:
[email protected]
ABSTRACT Vegetarian diet tends to have nutrient deficiencies in meat sources nutrient. The aim of this study was to analyze the differences in the level of nutrient consumption among teens vegetarian and non-vegetarian. This study was a cross sectional study. The sampling technique uses a consecutive sampling and consisting of 45 vegetarian and 51 nonvegetarian aged between 11-19 years. Food consumption data ware collected by interview using food recall form. The results showed that the level of nutrient consumption (energy, protein, calcium, iron, zinc, and vitamin C) in the majority of vegetarian and non-vegetarian are categorised into the low category. There was no significant difference in consumption levels of energy, protein, iron, zinc, and vitamin C among vegetarian and nonvegetarian (p>0,05). In addition, there was no significant difference in the level of calcium intake in vegetarians and non-vegetarian (p<0,05). Keywords: Teenager, Vegetarian, Consumption Level
PENDAHULUAN
R
emaja merupakan masa transisi anak dan dewasa. Selama remaja, perubahan hormonal mempercepat pertumbuhan. Pertumbuhan lebih cepat dari fase yang lain dalam kehidupan, kecuali fase satu tahun pertama kehidupan (bayi) karena masa ini terjadi kejar tumbuh (Kusharisupeni, 2008). Pertumbuhan yang sangat cepat ditandai dengan peningkatan berat badan dan tinggi badan (Badriah,2011). Untuk mengimbangi pertumbuhan dan perkembangan yang cepat serta mencapai tingkat kesehatan yang optimal, setiap remaja seharusnya mendapatkan asupan zat gizi yang seimbang dari makanan dan minuman yang dikonsumsi setiap hari baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dari segi kualitas, makanan yang dikonsumsi harus mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Mengingat tidak ada satupun bahan makanan yang mengandung zat gizi secara lengkap, maka keanekaragaman makanan yang dikonsumsi sangat penting untuk diperhatikan agar setiap
makanan dapat saling melengkapi zat gizi yang tidak terkandung dalam makanan tertentu. Sedangkan dari segi kuantitas, makanan yang dikonsumsi harus dalam jumlah yang cukup. Remaja dapat dikategorikan rentan dalam menghadapi masalah gizi. Beberapa alasan yang membuat remaja dikategorikan rentan adalah percepatan pertumbuhan dan perkembangan tubuh memerlukan energi dan zat gizi yang lebih banyak, perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan menuntut penyesuaian asupan energi dan zat gizi, dan aktivitas fisik yang tinggi meningkatkan kebutuhan energi dan zat gizi. Dewasa ini, terjadi perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan pada remaja. Para remaja cenderung memiliki kebiasaan makan yang berbeda dari sebagian besar remaja lainnya. Salah satunya adalah dengan memilih pola makan vegetarian. Menurut Arisman (2009) vegetarian ialah kelompok eksklusif yang tidak mau menyantap daging hewan. Perbedaan pola makan vegetarian dan nonvegetarian terletak pada ada tidaknya asupan makanan hewani dan proporsi asupan Indonesian Journal of Public Health •
43
Nai, et.al
makanan nabati. Pola makan vegetarian mengkonsumsi makanan kaya karbohidrat dan makanan berserat dengan proporsi yang lebih besar daripada nonvegetarian. Perbedaan pola makan tersebut mempengaruhi jumlah konsumsi makanan dan zat-zat gizi yang kemungkinan akan memberikan dampak yang berbeda terhadap status gizi dan kesehatan pada remaja vegetarian dan nonvegetarian. Penelitian yang dilakukan Widarini (2008) terhadap kelompok remaja putri vegetarian yang tergabung dalam salah satu perkumpulan vegetarian di Kota Denpasar menunjukkan rata-rata asupan protein 85,34% AKG, ratarata asupan zat besi 45,5% AKG, rata-rata asupan vitamin C 93,3% AKG, dan rata-rata asupan asam folat 48,96% AKG. Pola makan vegetarian bukan merupakan hal baru di kalangan remaja di Kota Denpasar. Terdapat kelompok vegetarian yang berkembang sesuai dengan aspek spiritual dan keagamaan. Salah satunya adalah di Yayasan Sri Sathya Sai Bali (Sai Study Group Denpasar). Di yayasan tersebut, ada kelompok khusus bagi remaja usia 519 tahun yang disebut Balvikas. Menjadi seorang vegetarian bukan merupakan syarat mutlak bagi para pemuja untuk melakukan pemujaan ke tempat tersebut, sehingga masih dijumpai remaja nonvegetarian. Berdasarkan hal ini maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah ada perbedaan kecukupan zat gizi remaja vegetarian dan nonvegetarian di Yayasan Sri Sathya Sai Bali. METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain cross sectional. Penelitian ini dilakukan di Yayasan Sri Sathya Sai Bali (Sai Studi Group Denpasar). Penelitian dilakukan selama 7 bulan yang dimulai dari November 2010 sampai dengan Mei 2011. Populasi penelitian ini adalah semua remaja usia 11-19 tahun yang datang melakukan pemujaan ke Yayasan Sri Sathya Sai Bali yang berjumlah kurang lebih 100 orang.
44 •
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 43 - 49
Sampel penelitian ini adalah remaja vegetarian dan nonvegetarian. Kriteria inklusinya adalah remaja sehat jasmani dan rohani, bersedia diwawancarai dengan mengisi inform consent. Khusus untuk remaja vegetarian, telah menjalani diet vegetarian selama ≥6 bulan (berdasarkan kriteria penelitian Larsson dan Johansson, 2002). Kriteria eksklusinya adalah remaja yang menderita penyakit tertentu seperti demam berdarah, TB paru, serosis hati, hemofilia, dan penyakit lain yang menimbulkan perdarahan. Khusus untuk remaja putri, sedang menstruasi, hamil, dan menyusui. Berdasarkan perhitungan besar sampel diperoleh sebanyak 96 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling. Jenis data adalah data primer dan data sekunder. Identitas sampel digali dengan menggunakan kuesioner. Data konsumsi makanan diperoleh dengan menggunakan formulir Food Recall 24 jam, food models, dan peralatan rumah tangga (gelas, sendok nasi, sendok sayur, sendok teh, gelas, dan mangkok). Data konsumsi zat gizi dianalis dengan so$ware Da$ar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) dan Nutrisurvey untuk mendapatkan rata-rata konsumsi energi, protein, kalsium, zat besi, seng, dan vitamin C sampel untuk satu hari kemudian dianalisis secara deskriptif dan analitik serta disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. Analisis perbedaan tingkat konsumsi zat gizi (energi, protein, kalsium, zat besi, seng, dan vitamin C) pada remaja vegetarian dan nonvegetarian digunakan uji Independent Sample t-test. HASIL Sampel penelitian adalah remaja vegetarian dan nonvegetarian yang berusia antara 11-19 tahun. Jenis vegetarian yang dijalani oleh remaja vegetarian berbeda-beda. Ada remaja yang menjalani vegetarian murni (vegan) dan vegetarian tidak murni (ovo vegetarian, lacto vegetarian, dan lacto-ovo vegetarian). Distribusi
Vol. 1 No. 1 : 43 - 49
Arc. Com. Health • Juli 2012 ISSN: 9772302139009
jenis vegetarian pada remaja vegetarian di Yayasan Sri Sathya Sai Bali disajikan dalam tabel berikut ini.
Konsumsi zat gizi diperoleh dari hasil analisis berat makanan dan minuman yang
Tabel 1. Karakteristik Remaja Vegetarian dan Nonvegetarian di Yayasan Sri Sathya Sai Bali Vegetarian (n=45)
Karakteristik Sampel
Nonvegetarian (n=51)
f
%
f
%
11-13 tahun
25
55,55
31
60,78
14-16 tahun
13
28,89
6
11,77
17-19 tahun
7
15,56
14
27,45
Laki-laki
20
44,44
24
47,06
Perempuan
25
55,56
27
52,94
Kelompok umur
Jenis Kelamin
Sebagian besar remaja vegetarian menjalani vegetarian tidak murni dengan jenis lacto-ovo yang paling banyak dijalani oleh remaja vegetarian, sedangkan sebagian kecil menjalani vegetarian murni (vegan). Tabel 2. Distribusi Jenis Vegetarian pada Remaja Vegetarian di Yayasan Sri Sathya Sai Bali Jenis Vegetarian
f
%
Vegetarian murni
11
24,4
Vegetarian tidak murni
34
75,6
Total
45
100,0
Remaja vegetarian menjalani diet vegetarian dalam kurun waktu yang berbedabeda. Pengelompokan lama vegetarian dikelompokan menjadi dua yaitu ≤ 3 tahun dan > 3 tahun dengan interval tiga tahun. Khusus untuk kelompok lama vegetarian ≤ 3 tahun, batas minimum lama vegetarian sesuai kriteria inklusi sampel adalah 6 bulan. Sebagian besar remaja vegetarian menjalani diet vegetarian dalam kurun waktu ≤ 3 tahun. Tabel 3.
Lama Vegetarian pada Remaja Vegetarian di Yayasan Sri Sathya Sai Bali
Lama Vegetarian
f
(%)
≤ 3 tahun
32
71,1
> 3 tahun
13
28,9
Total
45
100,0
dikonsumsi sampel selama dua hari berturutturut menggunakan DKBM dan Nutrisurvey. Dilihat dari rata-rata konsumsi diatas, menunjukan bahwa konsumsi energi, protein, kalsium, zat besi, seng, dan vitamin C pada remaja vegetarian lebih tinggi daripada remaja nonvegetarian. Kecukupan zat gizi diketahui dengan membandingkan rata-rata asupan zat gizi dengan AKG. Tabel 4. Rata-rata Konsumsi Zat pada Remaja Vegetarian Nonvegetarian Konsumsi Zat Gizi Energi (kcal)
Vegetarian (n=45) Mean ± SD
Gizi dan
Nonvegetarian (n=51) Mean ± SD
1.231 ± 633
1.108 ± 371
41,84 ± 27,65
34,75 ± 13,53
Kalsium (mg)
289,13 ± 294,80
181,22 ± 166,72
Zat Besi (mg)
10,18 ± 6,03
9,14 ± 4,06
Protein (g)
Seng (mg) Vitamin C (mg)
4,54 ± 2,64
4,10 ± 1,72
58,84 ± 102,90
48,70 ± 84,35
Hasil analisis tingkat konsumsi zat gizi dengan Independent Sample t-test, menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna tingkat konsumsi energi, protein, zat besi, seng, dan vitamin C pada remaja vegetarian dan nonvegetarian dimana nilai p > 0,05, sedangkan ada perbedaan yang bermakna tingkat konsumsi kalsium pada remaja vegetarian dan nonvegetarian dengan beda mean 11,02 dan nilai p < 0,05.
Indonesian Journal of Public Health •
45
Nai, et.al
Vol. 1 No. 1 : 43 - 49
Tabel 5. Analisis Perbedaan Rata-rata Tingkat Konsumsi Zat Gizi pada Remaja Vegetarian dan Nonvegetarian Tingkat Konsumsi Zat Gizi
Vegetarian (n=45)
Nonvegetarian (n=51)
Mean ± SD
Mean ± SD
t
Beda mean
p
Energi
56,65% ± 29,31
49,83% ± 16,39
1,38
0,17
6,82
Protein
78,92% ± 52,46
64,26% ± 25,01
1,71
0,09
14,64
Kalsium
29,44% ± 29,60
18,43% ± 16,68
2,21
0,03
11,02
Zat Besi
60,98% ± 44,56
50,88% ± 26,86
1,32
0,19
10,09
Seng
32,70% ± 19,51
28,77% ± 12,19
1,17
0,25
3,93
97,86% ± 161,83
77,52% ± 124,53
0,69
0,49
20,34
Vitamin C
Tingkat konsumsi zat gizi dibagi menjadi dua kategori yaitu yaitu baik (≥100% AKG) dan kurang (<100% AKG). Sebagian besar remaja vegetarian dan nonvegetarian berada pada kategori tingkat konsumsi zat gizi kurang, dan sebagian kecil berada pada kategori baik.
PEMBAHASAN Vegetarian bukanlah semata-mata hanya mengkonsumsi makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan saja dan menghindari makanan yang berasal dari pangan hewani atau produk olahannya. Jenis vegetarian yang
Tabel 6. Kategori Tingkat Konsumsi Zat Gizi Berdasarkan Status Vegetarian Status Vegetarian Tingkat Konsumsi
Vegetarian f
Total
Nonvegetarian
%
f
f
%
%
Konsumsi Energi Baik
4
8,88
0
0,00
4
4,17
Kurang
41
91,11
51
100,00
92
95,83
Total
45
100,00
51
100,00
96
100,00
Konsumsi Protein Baik
13
28,89
3
5,88
16
16,67
Kurang
32
71,11
48
94,12
80
83,33
Total
45
100,00
51
100,00
96
100,00
1
2,22
0
0,00
1
1,04
Konsumsi Kalsium Baik Kurang
44
97,78
51
100,00
95
98,96
Total
45
100,00
96
100,00
96
100,00
9
20,00
36
80,00
45
100,00
2
3,92
49
96,08
51
100,00
11
11,46
85
88,54
96
100,00
Konsumsi Zat Besi Baik Kurang Total Konsumsi Seng Baik
0
0,00
0
0,00
0
0,00
Kurang
45
100,00
51
100,00
96
100,00
Total
45
100,00
51
100,00
96
100,00
Konsumsi Vitamin C Baik
10
22,22
12
23,53
22
22,92
Kurang
35
77,78
39
76,47
74
77,08
Total
45
100,00
51
100,00
96
100,00
46 •
Indonesian Journal of Public Health
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 43 - 49
ISSN: 9772302139009
hanya mengkonsumsi makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan disebut vegetarian murni (vegan), sedangkan jenis vegetarian yang masih mengkonsumsi makanan yang berasal dari pangan hewani seperti telur dan susu (ovo, lacto, dan lacto-ovo vegetarian) tergolong vegetarian tidak murni. Dalam penelitian ini, sebagian besar remaja vegetarian menjalani vegetarian tidak murni dengan jenis yang paling banyak adalah lacto-ovo vegetarian. Hebbelinck & Clarys (2001) menyatakan beberapa penelitian terhadap kelompok remaja Kristiani di California menemukan paling banyak remaja vegetarian menjalani lacto-ovo vegetarian. Dilihat dari kategori tingkat konsumsi zat gizi, sebagian besar remaja vegetarian dan nonvegetarian berada pada kategori tingkat konsumsi zat gizi (energi, protein, kalsium, zat besi, seng, dan vitamin C) kurang yaitu tingkat kecukupan zat gizi <100% AKG (setelah menambah konsumsi suplemen). Hal ini jelas menggambarkan adanya ketidakseimbangan antara konsumsi zat gizi harian dengan kecukupan zat gizi yang harus dipenuhi remaja untuk mencegah kekurangan zat gizi tersebut. Hasil analisis perbedaan rata-rata tingkat konsumsi energi pada remaja vegetarian dan nonvegetarian menunjukan tidak ada perbedaan yang bermakna rata-rata tingkat konsumsi energi pada remaja vegetarian dan nonvegetarian. Diet vegetarian cenderung kaya akan zat-zat gizi yang terkandung dalam biji-bijian, sayuran, serta buah-buahan. Diet ini kaya akan karbohidrat yang terkandung dalam biji-bijian selain zat gizi lain yang terkandung dalam sayuran dan buah-buahan. Karbohidrat merupakan salah satu zat gizi yang menjadi sumber energi selain protein dan lemak. Banyak jenis makanan vegetarian yang diolah menyerupai pangan hewani yang bahan dasarnya berasal dari biji-bijian. Selain itu, karena sebagian besar remaja vegetarian dalam penelitian ini menjalankan vegetarian tidak murni, maka konsumsi energi yang berasal dari protein dan lemak juga diperoleh dari telur dan susu. Sumber energi pada kedua
kelompok remaja tersebut tidak jauh berbeda. Hasil penelitian menunjukan tidak ada perbedaan yang bermakna rata-rata tingkat konsumsi protein pada remaja vegetarian dan nonvegetarian. Berdasarkan hasil wawancara, sumber protein yang sebagian besar dikonsumsi oleh remaja vegetarian adalah tahu, tempe, kacang panjang, dan susu kedelai. Protein nabati yang tidak lengkap dalam kandungan asam amino esensialnya, dapat diatasi dengan mengkombinasikan makanan yang dikonsumsi. Dua jenis protein yang terbatas dalam asam amino yang bebeda, bila dimakan secara bersamaan dapat menjadi susunan protein yang komplet (Altmatsier, 2003). Selain itu, konsumsi protein remaja vegetarian juga berasal dari susu dan telur karena sebagian besar remaja tersebut menjalani lacto-ovo vegetarian. Sumber protein bagi remaja vegetarian dan remaja nonvegetarian relatif sama. Hasil analisis perbedaan rata-rata tingkat konsumsi kalsium pada remaja vegetarian dan nonvegetarian menunjukkan ada perbedaan yang bermakna rata-rata tingkat konsumsi kalsium pada remaja vegetarian dan nonvegetarian. Sumber kalsium utama adalah susu dan hasil olahan susu, seperti keju. Serealia, kacang-kacangan dan produk kacang-kacangan, tahu dan tempe, serta sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga (Altmatsier, 2003). Jumlah remaja vegetarian dalam penelitian ini paling banyak menjalani vegetarian tidak murni yaitu masih mengkonsumsi susu dan telur sehingga mereka dapat memenuhi akonsumsi kalsium dari susu dan telur. Sementara itu, bagi para vegan, konsumsi kalsium diperoleh dari serealia, kacang-kacangan dan hasil kacangkacangan, tahu dan tempe, serta sayuran hijau. Sumber kalsium bagi remaja vegetarian dalam penelitian ini sama dengan remaja nonvegetarian. Adanya perbedaan tingkat konsumsi kalsium pada remaja vegetarian dan nonvegetarian disebabkan jenis bahan makanan sumber kalsium yang dikonsumsi remaja vegetarian lebih baik dibandingkan remaja nonvegetarian serta berat makanan
Indonesian Journal of Public Health •
47
Nai, et.al
yang dikonsumsi remaja vegetarian lebih banyak dibandingkan remaja nonvegetarian. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna ratarata tingkat konsumsi zat besi pada remaja vegetarian dan nonvegetarian. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian pada remaja di Swedia yang dilakukan oleh Larsson dan Johansson (2002) yaitu tidak ada perbedaan yang bermakna konsumsi zat besi pada remaja vegan dan nonvegetarian. Sumber utama zat besi pada remaja nonvegetarian adalah daging merah, ikan, dan daging ayam sedangkan sumber utama untuk diet vegetarian adalah sayur-sayuran berdaun hijau gelap dan kacang-kacangan beserta produk olahannya. Daging merah menjadi sumber zat besi yang paling baik bagi remaja nonvegetarian. Namun, berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar remaja nonvegetarian jarang yang mengkonsumsi daging sehingga zat besi didapatkan dari sumber-sumber lain yang sama dengan remaja vegetarian. Hasil analisis perbedaan rata-rata tingkat konsumsi seng pada remaja vegetarian dan nonvegetarian menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna rata-rata tingkat konsumsi seng pada remaja vegetarian dan nonvegetarian. Sumber seng untuk diet vegetarian adalah sereal yang difortifikasi, polong-polongan, kacang-kacangan, telur, dan makanan yang terbuat dari kedelai. Hasil analisis perbedaan rata-rata tingkat konsumsi vitamin C menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna rata-rata tingkat konsumsi vitamin C pada remaja vegetarian dan nonvegetarian. Walaupun tidak ada perbedaan, rata-rata tingkat konsumsi vitamin C pada remaja vegetarian (97,86%) jauh lebih tinggi daripada remaja nonvegetarian (77,52%) yakni 20% lebih tinggi dari tingkat konsumsi vitamin C remaja nonvegetarian. Sumber vitamin C adalah sayur-sayuran dan buah-buahan yang merupakan bahan makanan yang biasa dikonsumsi dalam diet vegetarian sehingga cenderung kaya akan vitamin C. Pada penelitian ini, ada remaja vegetarian vegan
48 •
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 43 - 49
yang hanya mengkonsumsi bahan makanan nabati yang diantaranya adalah sayur-sayuran dan buah-buahan. Di samping itu, vitamin C pada kedua kelompok remaja tersebut juga dipenuhi dari konsumsi suplemen. Remaja yang menjalankan diet vegetarian bisa mendapatkan konsumsi zat gizi yang tidak jauh berbeda dengan remaja nonvegetarian jika memperhatikan kuantitas makanan harian. Keberhasilan menjalani diet vegetarian seperti juga diet umumnya dapat dicapai dengan merencanakan dengan baik apa yang akan dimakan. Seorang harus menentukan apa yang akan dimakan untuk setiap jadwal makan agar dapat dijamin kekurangan zat gizi yang dibutuhkan tidak terjadi (Sudiarti, 2010). Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai (Fikawati & Syafiq, 2008). Oleh karena itu, pengetahuan tentang gizi pun sangat penting. SIMPULAN Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan kecukupan gizi antara remaja vegetarian dan nonvegetarian. DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2003. Arisman. Gizi dalam Daur Kehidupan, Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC); 2009. Badriah, DL. Gizi Dalam Kesehatan Reproduksi. Bandung: Refika Aditama; 2011.p.96-109 Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Depkes RI;2008. Fikawati S, Syafiq A. Konsumsi Kalsium pada Remaja. Dalam Depertemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, FKM UI, editor. Gizi Dan Kesehatan Masyarakat. Edisi Revisi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada; 2008.p.169-194.
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 43 - 49
ISSN: 9772302139009
Gibson RS. Principles of Nutritional Assessment, 2nd Edition. New Zealand: Oxford University Press; 2005. Hebbelinck M, Clarys P. Physical Growth And Development of Vegetarian Children and Adolescents. Dalam Joan Sabate, editor. Vegetarian Nutrition. New York: CRC Press; 2001.p.173-193. Kusharisupeni. Gizi Dalam Daur Kehidupan (Prinsip-Prinsip Dasar). Dalam Depertemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, FKM UI, editor. Gizi Dan Kesehatan Masyarakat. Edisi Revisi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada; 2008. p.149-168. Kusharisupeni. Zat Gizi pada Diet Vegetarian. Dalam Kusharisupeni, Asih S, editors. Vegetarian Gaya Hidup Sehat Masa Kini. Yogyakarta: Penerbit Andi Yogyakarta; 2010.p.3-6. Larsson CL, Johansson GK. Dietary Intake and Nutritional Status of Young Vegans and Omnivores in Sweden. Am J Clin Nutr
2002; 76 :100-6. Rosyidah S. Evaluasi Konsumsi Makanan Vegetarian dan Nonvegetarian. (Diakses 12 Januari 2011). Available from: URL: HYPERLINK h!p://iirc.ipb.ac.id/jspui/ bitstream/123456789/39450/2/A93SRO_ abstract.pdf Sudiarti T. Perencanaan Menu Vegetarian. Dalam Kusharisupeni, Asih S, editors. Vegetarian Gaya Hidup Sehat Masa Kini. Yogyakarta: Penerbit Andi Yogyakarta; 2010.p.87-88. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC); 2002. Suyanto. Nutritional Concerns of A Vegetarian Diet Among Adolescent in Indonesia. (Diakses 26 Maret 2011). Available Available from: URL: HYPERLINK: h!p://www.search4dev. nl/document/185315 Widarini, NP. Asupan Zat Gizi dan Kejadian Anemia Pada Remaja Putri Vegetarian di Kabupaten Badung Propinsi Bali. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Yogyakarta; 2008.
Indonesian Journal of Public Health •
49
Kardiwinata, et.al
Vol. 1 No. 1 : 50 - 54
SISTEM PEMELIHARAAN ANJING SEBAGAI SALAH SATU HEWAN PENULAR RABIES PADA PENDERITA RABIES DI PROVINSI BALI TAHUN 2011 Made Pasek Kardiwinata*, I Made Sutarga, I Made Subrata, Ni Luh Putu Suariyani PS IKM FK Universitas Udayana *Email:
[email protected]
ABSTRACT The number of cases of dog bites in the province of Bali has been a rise high enough. 2009, the number of dog bites 21 806 bite, the amount of gain VAR as many as 18 825 people, as many as 27 people died. October 16, 2010 the number of bites as much as 44 629 bites, which get the VAR as many as 38 982 people, as many as 62 people died. According Disnak (2010) maintance system of dog conducted by the Balinese tend to be untied so the dogs are freely to enter and out of the house. An objective to be achieved in this study was to determine the system of dog maintance which is one of the animals transmi!ing rabies (HPR) in patients with rabies in Bali. The study design used was descriptive cross-sectional. The population in this study were all patients who die from the bite of HPR in Bali in 2010-2011, the sample was part of the patient population rabies recorded in Bali Provincial Health Office in 2010-2011 with a porpusive sampling technique People with rabies who had HPR were 35.4%, HPR which were not given VAR about 63.6%, and mostly were detachable cages. The reason of had dogs were to guard the house and hobbyists. Dogs that bite the sample were not known who were the owner / wild, so a$er the bite were not known its existence, it is difficult to observe, there were also death but were killed only a small part due to illness It showed that the mantaince system of dog were not good. The results of this study can be used as a reference to the stakeholders in order to prevent disease, especially rabies in dogs and the maintenance system. Future studies on rabies vaccination coverage in dogs and the prevention model in order to reduce the incidence of rabies in the Bali. Keyword: HPR, Rabies, Bali
PENDAHULUAN
P
enyakit rabies adalah penyakit infeksius akut yang disebabkan oleh virus rabies (Aksono,2007), penyakit ini bila sudah menunjukkan gejala klinis selalu diakhiri dengan kematian, sebesar 40% dari seluruh kematian dari orang-orang yang digigit oleh hewan tersangka rabies adalah anak-anak di bawah 15 tahun. Anjing merupakan penyebab dari 99% kematian rabies pada manusia (WHO, 2010). Berdasarkan data Departemen Kesehatan RI, di Indonesia rabies menelan korban jiwa lebih dari 90 orang dengan CFR 100% (Disnak Provinsi Bali, 2008). Provinsi Bali merupakan daerah tertular baru dengan penyakit rabies, dulunya
50 •
Indonesian Journal of Public Health
secara historis belum pernah terjangkit rabies, kemudian ditemukannya kasus kematian akibat rabies sebanyak 4 kasus sehingga dinyatakan sebagai daerah KLB rabies oleh Pemerintah Provinsi Bali yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian pada 1 Desember 2008 (Kepmen Pertanian, 2008). Kasus rabies di Bali pertama kali muncul di Kabupaten Badung pada bulan Oktober tahun 2008 akibat gigitan anjing, sampai tahun 2010 seluruh kabupaten/ kota di Provinsi Bali telah dinyatakan sebagai status daerah yang terinfeksi rabies, dengan jumlah kematian sampai September 2010 sebanyak 94. Kasus gigitan anjing di Provinsi Bali cukup tinggi yaitu pada tahun 2008 jumlah gigitan sebanyak 1.103, mendapatakan
Vol. 1 No. 1 : 50 - 54
Arc. Com. Health • Juli 2012 ISSN: 9772302139009
VAR sebanyak 266 dan meninggal dunia 5 orang, tahun 2009 jumlah gigitan 21.806, mendapatkan VAR sebanyak 18.825 orang, meninggal dunia 27 orang sedangkan sampai tanggal 16 Oktober 2010 jumlah gigitan sebanyak 44.629 gigitan, mendapatkan VAR sebanyak 38.982 orang, meninggal dunia 62 orang (Dinkes Prov. Bali 2010) Kegiatan yang dilakukan selama ini oleh sektor peternakan berfokus pada hewan penular rabies yang dilakukan dengan cara memberi vaksinasi, eleminasi, observasi hewan tersangka rabies, dan sosialisasi kepada masyarakat. Pelaksanaan vaksinasi oleh Dinas Peternakan Kabupaten Badung bekerjasama dengan kelompok penyayang binatang BAWA (Bali Animal Welfare Association), sedangkan eliminasi dilaksanakan secara selektif dengan cara melakukan eliminasi di daerah tertular rabies dan mengeliminasi hewan tersangka rabies yang menunjukkan gejala klinis. (Disnak Badung, 2010). Menurut Kepala Kesehatan Hewan Kabupaten Badung peran masyarakat relatif rendah dalam program pencegahan rabies, hal ini ditandai dengan sistem pemeliharaan anjing yang masih dilepas oleh pemilik anjing (Disnak Badung, 2010). sistem pemeliharaan anjing, status vaksinasi, pengetahuan tentang rabies, pengalaman memelihara anjing, asal anjing memiliki asosiasi positif terhadap kejadian rabies (M.Kamil, dkk, 2003). Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian sistem HPR pada penderita rabies di Provinsi Bali. METODE
dilakukan sesuai dengan kriteria penelitian dan diambil secara porpusive sampling. Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Bali, waktu penelitian dilaksanakan selama 6 bulan yaitu dari bulan April – September 2011. Alat pengumpulan data yang digunakan berupa kuesioner terstruktur yang telah divalidasi. Data dianalisis secara deskriptif. HASIL Berdasarkan karakteristik, penderita rabies di Bali lebih banyak terjadi pada laki - laki yaitu 59,4%, kelompok umur tertinggi terjadi pada lansia yaitu 40,6%. Berdasarkan wilayan kabupaten/ kota, kasus rabies tertinggi terjadi di Badung dan Karangasem yaitu masing - masing sebesar 31,3%, kemudian Denpasar, Gianyar, dan Klungkung masing - masing sebesar 12,5%. Berdasarkan Tingkat pendidikan, paling tinggi lulusan SMA/MA sebesar 28,1% penderita. Penderita rabies yang terjadi di Provinsi Bali lebih banyak tidak bekerja, hal ini dapat dilihat dari ketegori pekerjaan, sebesar 31,3 % penderita rabies tidak memiliki pekerjaan (didominasi oleh anak-anak dan remaja). Tabel 1. Karakteristik Penderita Rabies di Provinsi Bali Karakteristik Penderita Jenis Kelamin Laki – laki Perempuan Kelompok Umur Anak-anak Orang muda/ Remaja Dewasa Lansia Karakteristik Penderita
Rancangan penelitian ini adalah deskriptif cross-sectional, mengenai sistem pemeliharaan HPR, pencarian pengobatan, status vaksinasi pada penderita rabies di Bali. Populasi penelitian seluruh penderita yang meninggal oleh karena gigitan HPR di Bali tahun 2010-2011, sampelnya adalah total sampling yaitu penderita yang tercatat di Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun tahun 20102011 sejumlah 32 penderita, pemilihan sampel
Alamat (Kabupaten/Kota) Badung Denpasar Gianyar Karang Asem Klungkung Pekerjaan Pedagang Pegawai Swasta Pelajar Petani PNS Tidak Bekerja Buruh
Frekuensi
Persentase (%)
19 13
59,4 40,6
3 4 12 13
9,4 12,5 37,5 40,6 Persentase (%)
Frekuensi 10 4 4 10 4
31,3 12,5 12,5 31,3 12,5
5 9 4 1 1 10 2
15,6 28,1 12,5 3,1 3,1 31,3 6,2
Indonesian Journal of Public Health •
51
Kardiwinata, et.al
Vol. 1 No. 1 : 50 - 54
Berdasarkan kepemilikan HPR, 34,4 % penderita rabies memiliki HPR, HPR yang dimiliki atau dipelihara dengan alasan untuk menjaga rumah, sekedar hobi, sayangnnya dalam sistem pemeliharaan masih dilepas keluar masuk halaman rumah yaitu 45,4%, 27,3% dilepas hanya di halaman rumah, hanya sebagian kecil saja yaitu 18,2% diikat, dan 9,1% dikandangkan. Berdasarakan HPR yang menggigit, sebagian besar HPR yang menggigit tidak diketahui pemiliknya (liar) yaitu 46,9 %. Tabel 2. Kepemilikan HPR dan status Gigitan Kepemilikan HPR
Frekuensi
Persentase (%)
Kepemilikan HPR Ya
11
34,4
21
65,6
7
21,9
10
31,3
15
46,9
Tidak HPR yang Menggigit Milik sendiri Milik orang lain liar/ tidak diketahui pemiliknya
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa dari 11 penderita yang memelihara HPR, sebagian besar HPR yang dipelihara tidak diberikan VAR yaitu 63,6% HPR. Tempat pemberian VAR dilakukan di pos hewan milik pemerintah dan ada bukti peneng pada HPR yang telah diberikan VAR. PEMBAHASAN Penderita rabies yang memelihara HPR yaitu 35,4, HPR yang dipelihara sebagian besar tidak diberikan VAR yaitu 63,6%, tidak dikandangkan dilepas keluar masuk rumah dibiarkan berkeliaran bebas. Alasan memelihara anjing adalah untuk penjaga rumah dan sekedar hobi. Kondisi HPR yang tidak dipelihara dengan baik, liar atau diliarkan merupakan suatu kondisi yang sangat kondusif untuk menjadikan suatu daerah menjadi daerah endemis rabies. HPR liar atau yang diliarkan dapat saling menggigit satu sama lainnya,
52 •
Indonesian Journal of Public Health
apabila salah satu yang menggigit tersebut positif (+) rabies, maka akan terjadi kasus – kasus positif (+) rabies yang semakin tinggi (Malahayati, 2009), senada dengan Darmawan (2009) menyatakan bahwa anjing peliharaan yang merupakan salah satu HPR juga merupakan faktor yang berperan dalam kasus gigitan, hal ini dapat terjadi bila HPR yang dipelihara tidak sesuai dengan prosedur pemeliharaan, disisi lain masih rendahnya cakupan vaksinasi (VAR) kurang dari 70% berdapak terhadap lemahnya imunitas HPR sehingga menyebabkan semakin meningkatkan penularan rabies di masyarakat, senada dengan Kamil dkk (2003) menyatakan bahwa sistem pemeliharaan HPR yang dilepas keluar masuk halaman rumah memberikan peluang yang lebih besar terjangkit rabies dibandingkan HPR yang diikat. Sistem pemeliharaan HPR yang selalu dilepas berkeliaran sepanjang waktu akan memberikan peluang kontak yang lebih besar dengan HPR liar yang terinfeksi rabies. Penelitian ini juga menunjukan bahwa HPR yang tidak diberikan vaksinasi kemungkinan besar akan terjangkit rabies daripada HPR yang telah divaksinasi. Menurut Tioho (2009) yang memegang perannan penting terkait dengan tingginya kasus gigitan HPR pada manusia adalah adalah kepemilikan, cara pemeliharaan, dan status vaksinasi HPR yang kurang baik (Tioho, 2009). Raperda Provinsi Bali tentang penanggulangan rabies di Bali dinyatakan adanya peran serta masyarakat dalam penanggulangan rabies, dalam rancangan tersebut peran masyarakat khususnya yang memiliki hewan penular rabies diantaranya adalah melakukan pemeliharaan hewan penular rabies secara baik, vaksinasi, pembatasan kepemilikan hewan penular rabies, melaporkan korban gigitan hewan penular rabies, melaporkan dan menangkap hewan penular rabies yang menggigit. Selain itu disebutkan juga tentang cara pemeliharaan hewan penular rabies yang baik yaitu setiap pemilik hewan penular rabies harus memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan hewannya, memiliki kartu registrasi hewan,
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 50 - 54
ISSN: 9772302139009
memvaksinasi hewannya secara berkala dengan vaksin rabies, memiliki tanda bukti vaksinasi, memelihara hewannya di dalam rumah atu di dalam pekarangan rumah, mengandangkan/mengikat hewannya agar tidak berkeliaran di jalan - jalan umum dan tempat - tempat umum, serta memakai alat pengaman apabila membawa hewan keluar dari pekarangan rumah (Raperda Prov. Bali, 2009), hasil penelitian ini belum sesuai dengan hasil raperda tersebut karena masih tingginya HPR liar atau diliarkan di Bali. Data akurat mengenai populasi HPR tidak ada hal ini merupakan salah satu kendala dalam pemberantasan rabies, apabila tidak dilakukan penertiban HPR liar atau yang diliarkan, maka rabies dapat berkembang secara luas di Bali. Ada baiknya pihak terkait rutin memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai penyakit dalam upaya pencegahan penyakit rabies yang lebih menekankan pada pemilik HPR untuk lebih memperhatikan HPR peliharaannya dengan cara mengikat dengan rantai, atau mengandangkannya, memberangus muncongnya bila hendak dibawa keluar rumah, dan memberiakn VAR sebanyak 1-2 kali dalam setahun serta memberiakan bukti VAR. Untuk mencapai keberhasilan vaksinasi dibutuhkan vaksin yang berkualitas baik, tersedia dalam jumlah cukup dan tetap waktu pendistribusiannya. SIMPULAN Penderita rabies yang memelihara HPR yaitu 35,4%, HPR yang dipelihara sebagian besar tidak diberikan VAR yaitu 63,6%, tidak dikandangkan dilepas keluar masuk rumah dibiarkan berkeliaran bebas. Hasil penelitian ini sebagai acuan untuk (1) mencegah penularan rabies di masyarakat dengan penekanan pada sistem pemeliharaan HPR yang baik dengan cara mengandangkan, tidak meliarkan, menvaksinasi, eleminasi selektif, (2) untuk penelitian selanjutnya mengenai cakupan dan kelengkapan vaksinasi rabies pada HPR, serta pebuatan model pencegahan.
UCAPAN TERIMA KASIH Dengan selesainya penelitian ini, perkenankan saya mengucapakan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. dr Pt. Ayu Swandewi Astuti selaku ketua PS IKM FK Unud yang telah membantu dalam pendanaan, fasilitas dalam pnyelesaian penelitian ini. 2. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, beserta staf yang telah memberikan kesempatan dalam mengambil data skunder dan membantu kelancaran penelitian ini 3. Temen sejawat di Bagian Epidemiologi, dan segenap civitas akademika PS IKM FK Unud, atas kerja keras dan bantuannya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan tepat waktu.
DAFTAR PUSTAKA Akoso, BT. 2007. Pencegahan dan Pengendalian Rabies Penyakit Menular pada Hewan dan Manusia. Yogyakarta : Kanisius Departemen Pertanian RI. 2010. Situasi Daerah Tertular Rabies di Indonesia, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Available: h!p: //www.keswan.ditjennak.go.id/ statusdaerah.php (accessed : 2010, 19 November) Depkes RI. 2009. Pedoman Pelaksanaan Program Penanggulangan . Dirjen P2 dan PL Departemen Kesehatan RI : Jakarta Dinas Kesehatan Kabupaten Badung. 2010. Laporan Seksi Pengamatan dan Pencegahan Penyakit. Dikes Kabupaten Badung, Badung Dinas Kesehatan Provinsi Bali. 2010. Laporan Bidang P2PL Seksi Bimbingan dan Pengendalian Penyakit. Dikes Provinsi Bali, Denpasar Dinas Peternakan Kabupaten Badung. 2010. Laporan Bidang Kesehatan Hewan. Disnak Badung, Badung Hiswani, 2003. Pencegahan dan Pemberantasan Rabies.Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Indonesian Journal of Public Health •
53
Kardiwinata, et.al
USU. Available : h!p://library.usu.ac.id/ pdf Lawnga, S.K and Lameshow, S. Sample Size Determination in Health Studies. World Health Organization. Malahayati, E. 2009. Pengaruh Karakteristik Pemilik Anjing terhadap Partisipasinya dalam Program Pencegahan Penyakit Rabies di Kelurahan Kwala Bekala Kecamatan Medan Johor Kota Medan Tahun 2009. Skripsi. Univeritas Sumatera Utara : Medan. Available: h!p://repository.usu.ac.id/pdf (accessed : 2010, 18 August) Raperda Prov.Bali, 2009. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 15 Tahun 2009 Tentang Penanggulangan Rabies. Bali
54 •
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 50 - 54
Surat Kepu. tusan Menteri Pertanian Nomor : 1637.1/Kpts/PD.640/12/2008 tentang Pernyataan Berjangkitnya Wabah Penyakit Anjing Gila (Rabies) di Kabupaten Badung Provinsi Bali Tioho, Hanna. 2009. Implementasi Kebijakan Pemberantasan Rabies di Provinsi Sulawesi Utara, Tesis, UGM, Yogyakarta.Available: h!p://etd.ugm.ac.id WHO. 2010. The Journal Rabies-Bulletin-Europe. Information Surveillance Report. Vol 32:2 Available : h!p://www.who-rabiesbulletin.orgjournal( accessed : 2011, 1 January)
Vol. 1 No. 1 : 55 - 62
Arc. Com. Health • Juli 2012 ISSN: 9772302139009
FAKTOR PENGARUH TERHADAP KETERSEDIAAN SEPTICTANK DAN SAMBUNGAN SEWERAGE SYSTEM PERMUKIMAN PINGGIRAN KALI, KEL. DANGIN PURI, DENPASAR I Dewa Gede Suwastika dan Ni Made Utami Dwipayanti* Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Gd. PS IKM, Kampus Sudirman Unud, Jl. PB Sudirman, Denpasar-Bali *Email:
[email protected] ABSTRACT At dangin puri, sub distric of denpasar timur, most of communities that live at streamside do not have basic sanitation facilities such as septic tank or sewerage system connection, thus the wastewater is directly flowed into the stream. This study was aimed to identify the risk factors that influence septic tank ownership and sewerage facilities utilization by streamside communities in dangin puri. Some risk factors included in this study were knowledge, education, income, occupant density, house ownership, house position towards the stream, distance of toilet to stream and backyard size. The study was a cross-sectional study where the samples were families that live at the streamside in dangin puri. Data were analyzed using logistic regression in order to identify the most influencing factor of septic tank ownership and sewerage facilities utilization. The results illustrate that only one factor that proves the correlation that is distance of toilet to stream (or=8,733; p=0.006; α=0.05), whereas other factors do not role as risk factors. The communities with short distance of toilet to stream have a potential of 8.733 times to not have septic tank and sewerage system connection compare to others. The data analysis also demonstrates that there are other factors other than that included in this study with more influencing roles. The regulation and the participation of all stakeholders such as communities and private sectors will improve the coverage of basic sanitation in order to achieve the target of MDGs. Keywords: Risk Factors, Septic Tank, Sewerage System
PENDAHULUAN
H
ampir 50% populasi penduduk negara berkembang atau sekitar 2,5 miliar penduduk dunia tidak memperoleh fasilitas sanitasi yang layak, dan lebih dari 884 juta orang masih menggunakan sumber air minum yang tidak aman (UNICEF, 2009). Sedangkan Antara(2008) menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan sistem sanitasi pengelolaan air limbah domestik terburuk ke tiga di Asia Tenggara setelah Laos dan Myanmar. Menurut data Status Lingkungan Hidup Indonesia tahun 2002, tidak kurang dari 400.000 m3/hari limbah rumah tangga dibuang langsung ke sungai dan tanah tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Laporan Asian Development Bank menyebutkan pencemaran air di Indonesia berpotensi menimbulkan kerugian 45 triliun
rupiah lebih per tahunnya, atau 2,2% GDP (Gross Domestic Product) negara. Kerugian itu besarnya sama dengan hilangnya pendapatan tiap rumah tangga Indonesia sebesar 100 ribu rupiah per bulan (BAPPENAS, 2006). Angka kerugian itu semakin membesar bila dimasukkan nilai kerugian dari dampak tidak langsung yang berupa terganggunya sektor pariwisata, terhambatnya minat investasi, turunnya harga lahan, atau ditolaknya produk ekspor karena kebersihannya diragukan. Hal yang paling merugikan adalah rusaknya citra bangsa kita.Selain kota-kotanya dianggap kotor, bangsa kita juga dianggap tidak mementingkan pola hidup sehat. Data Bappenas menunjukkan hampir 24 juta penduduk perkotaan Indonesia belum memiliki akses sanitasi dasar.Jumlah itu merupakan angka terbesar diantara negaranegara Asia Tenggara. Kelurahan Dangin Puri merupakan Indonesian Journal of Public Health •
55
Suwastika dan Dwipayanti
Kelurahan yang terletak dipusat Kota Denpasar yang memiliki jumlah penduduk sekitar 6968 jiwa atau 1500 kepala keluarga (Anonim, 2010). Data pada Puskesmas 1 Denpasar Timur menunjukkan cakupan jamban keluarga di Kelurahan Dangin Puri adalah sebesar 83,83% dan cakupan SPAL (Sarana Pengolahan Air Limbah) sebesar 98% (Anonim, 2010).Hasil observasi dilapangan memperlihatkan ratarata penduduk Kelurahan Dangin Puri yang tinggal dipinggiran kali membuat jamban yang dibangun didekat kali. Hal ini dilakukan supayalimbah yang berupa air bekas cucian atau mandi dan tinja dapat dialirkan langsung ke kali, karena kemungkinan keterbatasan lahan untuk membuat septictank. Kelurahan Dangin Puri dilalui satu buah kali, yaitu kali Wongan yang merupakan anak sungai Wongan. Kali ini, dulunya, digunakan untuk pengairan sawah dan saluran drainase kota yang airnya masih tergolong bersih dan dapat dipakai untuk mandi oleh warga. Tapi setelah tahun 90-an, dengan berubahnya lahan pertanian menjadi permukiman,kali, selain sebagai saluran drainase kota, juga digunakan untuk membuang limbah dari rumah penduduk yang bermukim disekitarnya sehingga tidak ada warga yang berani mandi di kali tersebut lagi karena kondisi badan air yang sudah tercemar. Biota air seperti ikan juga sudah tidak dapat ditemukan disepanjang aliran kali, yang dulunya digunakan warga untuk memancing.Secara visual, kondisi kali memang telah tercemar, yang dilihat dari warna air yang kuning kehitaman dan berbau yang diakibatkan oleh air limbah dari jamban/WC penduduk yang bermukim disekitarnya. Hasil wawancara awal sebelum penelitian dengan beberapa KK bahwa tidak semua penduduk pinggiran kali memperoleh sarana jaringan air limbahakibat rendahnya posisi rumah jika dibandingkan dengan sambungan pipa atau bentuk bangunan yang tidak memungkinkan untuk dipasang instalasi saluran air limbah. Dengan demikian, dengan mengetahui faktor–faktor yang mempengaruhi kesadaran masyarakat pinggiran kali Wongan tersebut untuk memiliki sarana pengolahan air
56 •
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 55 - 62
limbah domestik, baik itu septic tank maupun sambungan sewerage system yang dimiliki kota Denpasar, dapat kemudian ditinjau kembali strategi untuk memperluas cakupan sarana pengolahan limbah domestikdi wilayah pinggiran kali di Kota Denpasar umumnya. METODE Penelitian ini dirancang sebagai penelitian deskriptif cross sectional analisis. Keberadaan atau kepemilikan jamban dan faktor resikonya diukur pada waktu yang sama. Tempat penelitian ini adalah masyarakat pinggiran kali di Kelurahan Dangin Puri, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari sampai April 2010. Populasi dalam penelitian ini adalah semua KK (Kepala Keluarga) yang bertempat tinggal didekat kali yang ada di Kelurahan Dangin Puri, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar yang terdiri atas 158 KK yang terbagi dalam lima banjar. Empat KK terdapat di Br. Kaliungu Kelod, 95 KK terdapat Br. Abasan, 55 KK terdapat di Br. Tegal Sari, dan empat KK terdapat di Br. Batumas.Dalam penelitian ini, kemudian, diambil 58 KK sebagai sampel. Penentuan sampel dilakukan dengan cara sampling random proporsional sedangkan pengumpulan data identitas dan observasi responden dilakukan dengan pengisian checklist yang dilakukan dengan mengunjungi rumah responden dan dinilai langsung oleh peneliti. Pengumpulan data tingkat pengetahuan diperoleh dengan melakukan observasi dan wawancara terhadap KK (responden). Wawancara dilakukan dengan cara pengisian formulir kuesioner yaitu dengan tanya jawab secara tatap muka.Data kemudian dianalisis secara deskriptif yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.Analisis faktor resiko dilakukan dengan menggunakan metode analisis regresi logistik dengan variabel tergantung (Y) dengan kategori: 1) Tidak mempunyai septic tank/sewerage system dan 2) Mempunyai septic tank/sewerage system. Kemudian, variabel bebas atau risk factor yang
Vol. 1 No. 1 : 55 - 62
Arc. Com. Health • Juli 2012 ISSN: 9772302139009
meliputi: x1= pengetahuan, x2= pendidikan x3= penghasilan, x4= kepadatan penghuni rumah, x5= status kepemilikan rumah, x6= posisi rumah terhadap kali, x7= jarak jamban dengan kali, dan x8= luas halaman rumah.
berpenghasilan dibawah 18.000 rupiah per hari. Dilihat dari kepadatan penghuni rumah, sebanyak 3,4% KK memiliki tingkat kepadatan lebih kecil dari 8 m2 per orang. Dilihat dari status kepemilikan rumah, sebanyak 31% KK berstatus tidak milik sendiri. Dilihat dari letak rumah KK dengan kali, sebanyak 81% KK rumahnya membelakangi kali. Dilihat dari jarak jamban KK dengan kali, sebanyak 74,1% KK jarak jambannya dengan kali kurang dari 10 meter. Dilihat dari luas halaman rumah,sebanyak 37,9% KK memiliki luas halaman dibawah 4 m2. Dari jumlah cakupan sarana sanitasi dapat dilihat bahwa sebanyak 82,8% KK tidak memiliki septic tank dan 17,2% KK memiliki septic tank (Tabel 1). Tentang cakupan layanan sewerage system, terdapat 89,7%KK tidak memperoleh pelayanan sarana sewerage system, sisanya sebanyak 10,3% KK memperoleh pelayanan sarana sewerage system. Dengan demikian, KK yang tidak memiliki sarana pembuangan limbah tinja yang layak, yaitusejumlah 72,4%, baik berupa septic tank atau mendapatkan fasilitas sewerage system, sehingga limbah tinja tersebut langsung dialirkan ke kali. Dengan analisisfaktor resiko menggunakan uji logistic regression dengan menggunakan metode
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian terhadap 58 KK yang tinggal di pinggiran kali Wongan menunjukkan bahwa KK dengan tingkat pengetahuan mengenai pengertian dan dampak negatif tinja, pengertian, persyaratan, dan cara merawat kebersihan WC/jamban, pengertian, fungsi, dan syarat septic tank, serta fungsi DSDP yang tergolong rendah adalah sebanyak 8,6%. Tingkat pendidikan KK menunjukkan bahwa sebanyak 81% KK berpendidikan rendah. Dilihat dari penghasilan, sebanyak 10,3% KK
Tabel 2. Uji Koefisien Regresi Binary Logistik Faktor Resiko Tingkat Pengetahuan Tingkat Pendidikan Tingkat Penghasilan Kepadatan penghuni rumah Status kepemilikan rumah Letak kali dengan rumah Jarak kali dengan jamban Luas halaman rumah
P 0.388 0.236 0.135 0.29 0.218 0.38 0.006 0.66
Exp (B) 0.279 2.72 0.139 0.145 3.903 0.348 8.733 1.449
C.I 95% Lower Upper 0.015 5.067 0.52 14.231 0.01 1.847 0.004 5.187 0.447 34.051 0.273 30.262 1.889 40.37 0.277 7.578
Indonesian Journal of Public Health •
57
Suwastika dan Dwipayanti
enter,didapatkan output Omnibus Test of Model Coefficients dengan signifikansi sebesar 0,034 < 0,05, yang artinya penambahan variabel bebas mampu memperbaiki model sehingga model dapat digunakan. Nilai Nagelkerke R Square sebesar 0,360 yang berarti bahwa delapan variabel bebas mampu menjelaskan varians ketersediaan sarana septic tankserta pemanfaatan sarana sewerage system sebesar 36% dan sisanya yaitu 64% dijelaskan oleh faktor lain. Faktor lain yang belum dimasukkan dalam penelitian ini diperkirakan diantaranya adalah faktor pemerintah yang menyangkut program dan peraturan tentang pembuangan limbah dan pihak swasta yang ikut berkontribusi dalam pembuangan limbah ke kali. Dari hasil wawancara, diketahui bahwa pengetahuan masyarakat mengenai pengertian, fungsi dan syarat septic tank masih rendah, sehingga walaupun masyarakat paham akan dampak dari pencemaran kotoran manusia, tetapimereka kurang memahami bahwa sarana septic tank atau sewerage system berperan penting untuk menanggulangi hal tersebut. Basilius (2008) menyatakan bahwa penyehatan lingkungan dan higienitas tidak hanya ditentukan oleh jumlah sarana sanitasi yang dibangun, tetapi juga oleh pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat (Basilius, 2008). Secara statistik, diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan ketersediaan sarana septic tank. Namun, tingkat pendidikan rendah berpotensi 2,720 kali untuk tidak memiliki septic tank dibandingkan dengan tingkat pendidikan tinggi. Sedangkan uji terhadap tingkat penghasilan menunjukkan KK dengan penghasilan dibawah Rp 20.000 per hari beresiko 0,139 kali tidak memiliki septic tank atau memanfaatkan sewerage system dibandingkan dengan KK dengan tingkat penghasilan tinggi, tetapitidak terdapat hubungan yang bermakna antara kedua kelompok tersebut (OR= 0,139; P= 0,135; α= 0,05).Tidak adanya perbedaan resiko antara KK berpenghasilan rendah dengan KK berpenghasilan tinggi karena
58 •
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 55 - 62
KK dengan penghasilan yang tinggi juga memiliki kecenderungan yang sama yaitu tidak memiliki sarana pembuangan tinja yang layak, karena KK yang bersangkutan dapat memanfaatkan keadaan lingkungan pinggir kali untuk tidak mengalokasikan dana untuk pembangunana sarana tersebut. Jika dikaitkan dengan teori yang ada bahwa hal ini terkait dengan pernyataan dari Bappenas, bahwa setiap orang tahu tinja dapat membawa banyak permasalahan, tetapi sayangnya tidak semua orang mau dan mampu berbuat yang tepat (BAPPENAS, 2006). Hasil uji statistik regresi logistik terhadap kepadatan penghuni rumah menghasilkan nilai OR 0,145 dan nilai P= 0,290, artinya secara statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat kepadatan penghuni rumah dengan ketersediaan sarana septic tank. Namun, tingkat kepadatan penghuni rumah diatas 8 m2 per orang berpotensi 0,145 kali tidak memiliki septic tank dibandingkan dengan tingkat kepadatan penghuni rumah dibawah 8 m2 per orang.Di lokasi rumah dengan penghuni yang padat sering ditemukan jamban yang tidak memenuhi syarat, tiap KK tidak memiliki jamban pribadi, dan jamban bersama memiliki ratio satu jamban untuk 10 pemakai. Pada umumnya,kloset dilokasi tersebut berjenis plengsengan atau tidak dengan leher angsa tersambung dengan pipa PVC namun tidak melaluiseptic tank atau tersambung sarana sewerage system sehingga pembuangan tinja langsung menuju kali. Hubungan yang tidak bermakna juga ditunjukkan oleh status kepemilikan rumah dengan ketersediaan sarana septic tank dengan nilai OR=3.903 dan nilai P= 0.218.Akan tetapi status kepemilikan rumah tidak ber-hak milik berpotensi 3,903 kali tidak memiliki septic tank dibandingkan dengan status kepemilikan rumah dengan hak milik sendiri.Hasil penelitian menunjukkan bahwa KK yang mengontrak tanah tapi membuat bangunan sendiri cenderung untuk membuat rumah semi permanen dan jamban dibuat sekedarnya.Sedangkan warga, yang mengontrak bangunan lengkap, pada umumnya sudah memiliki sarana septic
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 55 - 62
ISSN: 9772302139009
tankyang sudah dibangun oleh pemilik tanah dan bangunan. Demikian halnya dengan letak kali dengan rumah juga bukan merupakan faktor resiko karenanilai OR=0,348 dan nilai P=0,380. Hal ini karena mayoritas rumah warga membelakangi kali sehingga warga yang posisi rumahnya menghadap kali tetap akan menerima dampak pemandangan yang tidak enak walaupun mungkin berkeinginan untuk tidak membuang limbah tinja kekalisehingga mereka juga ikut membuang limbah kekali. Satu-satunya faktor resiko dalam penelitian ini yang menunjukkan hubungan bermakna dengan ketersediaan septic tank atau sambungan sewerage system adalah jarak kali dengan jamban dengan OR=8,733; P=0,006; α=0,05. Hasil tersebut menunjukkan bahwa KK dengan jarak jamban kurang dari 10 meter berpotensi 8,733 kali untuk mengalirkan limbah tinja kekali dibandingkan dengan KK dengan jarak jamban lebih dari 10 meter dengan kali. Jadi, dapat disimpulkan bahwa jarak jamban dengan kali berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketersediaan septic tank atau pemanfaatan sarana sewerage system. Jika jamban dibangun dekat dengan kali biasanya tinjanya akandialirkan langsung ke kali tanpa melalui septic tank. Warga menyatakan sengaja membuat jamban dekat dengan kali agar mudah mengalirkan tinja ke kali. Dengan mengalirkan tinja ke kali, warga tidak perlu lagi mengeluarkan dana untuk membuat atau menguras isi septic tank. Data ini juga didukung dari banyaknya warga yang membuat jamban dekat kali yaitu sebanyak 74,1%. Data Bappenas menunjukkan bahwa 35% jamban di kawasan perkotaan dibangun di dekat kali dan tidak tersambung septic tank(BAPPENAS, 2006). Lahan minimal yang diperlukan untuk membuat septic tank adalah 4 m2, dengan ukuran ideal 1.5 x 1.5 x 2 meter ditambah dengan bak peresapan dengan ukuran 1 x 1 x 2 meter(Djabu, 1990).Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara luas pekarangan rumah dengan ketersediaan sarana septic tank ataupun sambungan sewerage system(OR= 1.449 ; P= 0.660
; α= 0,05). Namun, terdapat kecenderungan bahwa KK dengan luas halaman dibawah 4 m2 beresiko 1,449 kali tidak memiliki septic tank dibandingkan dengan KK dengan luas pekarangan diatas 4 m2. Masih rendahnya kualitas bangunan tangki septik di perkotaan disebabkan oleh semakin terbatasnya lahan diperkotaan yang menyulitkan banyak pihak membangun sistem pengolahan tinja individual dengan menggunakan septic tank yang memenuhi syarat(Paskah, 2007). Septic tank yang buruk menyebabkan kebocoran sehingga meningkatkan pencemaran pada sumber air minum. Namun,saat iniseptic tankmerupakan sarana yang tidak ideal lagi di perkotaan yang padat penduduk(BAPPENAS, 2006). Jika setiap bangunan dilengkapi dengan septic tank, maka jumlah septic tank akan bertambah banyak dan dapat menyebabkan kualitas air tanah menurun, apalagi jika septic tank tidak memenuhi standar teknis yang ditetapkan (BAPPENAS, 2006). Telah disebutkan diatas bahwa hasil uji statistik regresi logistik menghasilkan nilai Nagelkerke R Square sebesar 0,360 yang berarti bahwa delapan variabel bebas mampu menjelaskan varians ketersediaan sarana septic tank dan pemanfaatan sarana sewerage system sebesar 36% dan sisanya, yaitu 64%, dijelaskan oleh faktor lain. Faktor lain yang belum dimasukkan dalam penelitian ini diperkirakan adalah unsur pemerintah dan swasta. Masalah sanitasi dasar termasuk pencemaran sungai juga dipengaruhi oleh faktor pemerintah karenapemerintah menganggap isu persoalan sanitasi dasar bukan merupakan isu penting, sehingga sedikit anggaran dana yang disediakan untuk pembangunan sanitasi dasar (Paskah, 2007). Menurut Jaja (2009), penelitian tentang masalah pencemaran sungai di daerah aliran sungai Citarum Jawa Barat, permasalahan sungai terjadi akibat tidak adanya koordinasi yang baik diantara setiap stakeholder (pemerintah, masyarakat, dan swasta). Setiap stakeholder berusaha untuk mementingkan kepentingannya sendiri dalam pemanfaatan sungai tanpa dibarengi dengan integrasi dan keteguhan kesepakatan untuk
Indonesian Journal of Public Health •
59
Suwastika dan Dwipayanti
memelihara kelangsungan sungai.Dengan demikian, untuk mensukseskan pembangunan sarana sanitasi atau program sanitasi lainnya harus melibatkan masyarakat dalam hal perencanaan dan pembiayaan sehingga timbul rasa memiliki dan secara otomatis akan terjadi perubahan perilaku(BAPPENAS, 2006).Di Sukabumi, kasusnya adalah Pemerintah Kota Sukabumi tidak menyediakan anggaran untuk program kali bersih (Prokasih) karena menganggap tingkat pencemaran sungai di kota tersebut tidak terlalu tinggi (Anonim, 2010). Sedangkan di DKI Jakarta, evaluasi program Prokasih masih belum memuaskan karena banyaknya keterbatasan, yang meliputi anggaran, tenaga professional, dan faktor lingkungan seperti sistem politik, hukum, dan globalisasi yang terlihat jelas berkaitan dengan kebijakan pemerintah setempat(Abdul, 2005). Salah satu program MDGs yang dibentuk oleh PBB adalah memastikan kelestarian lingkungan hidup. Negara Indonesia diwajibkan untuk meningkatkan akses sanitasi dasar yang ditargetkan pada tahun 2015 sebesar 72,5%. Untuk mewujudkan hal ini, Bappenas menyatakan bahwa diperlukan alokasi dana sekitar 50 triliun rupiah untuk mencapai target akses sanitasi 72,5%. Target 72,5% ditentukan karena pada tahun 1990, tahun perhitungan MDGs baru 45% penduduk Indonesia yang memiliki akses jamban (cubluk atau septic tank)(BAPPENAS, 2006). Ini berarti 55% penduduk Indonesia belum memiliki akses sanitasi dasar. Untuk mewujudkan target tersebut, telah ada beberapa program pemerintah yang menangani permasalahan tersebut yang dibantu oleh lembaga donor dari negaranegara maju. Salah satu program tersebut adalah Waspola yang dibantu oleh Ausaid dan Bank Dunia melalui program WSPEAP(WASPOLA, 2010). Waspola merupakan suatu program berjangka waktu 5 tahun, yang fokus utamanya diarahkan pada peningkatan fasilitas air bersih dan penyehatan lingkungan permukiman skala kecil dan menengah yang dikelola sendiri oleh masyarakat pengguna. Untuk Denpasar, program yang telah
60 •
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 55 - 62
dijalankan adalah pembangunan sewerage system yang dilakukan oleh pemerintah kota bekerjasama dengan pemerintah pusat. Untuk daerah permukiman yang tidak terjangkau sewerage system, pemerintah kota bekerjasama dengan kelompok warga membangun Sanimas sistem komunal (IPAL skala wilayah kecil). Keterlibatan masyarakat terbukti dapat mengurangi biaya perawatan pembuangan limbah rumah tangga dan suksesnya program Sanimas(Dwipayanti dan Putri, 2009). Karena masyarakat mengetahui, memahami, dan ikut terlibat didalamnya maka timbul rasa memiliki, menggunakan, dan memelihara fasilitas tersebut.Hasil akhir program Sanimas adalah suatu sistem sanitasi komunal yang terdiri atas sambungan rumah, jaringan pipa saluran tinja, dan instalasi pengolahan tinja anaerobik yang cakupan layanannya berkisar antara 75200 rumah. Sanimas merupakan jalan tengah antara sistem sanitasi setempat (septic tank atau cubluk) dengan sewerage system terintegrasi. Dengan program ini, masyarakat yang tidak terjangkau oleh sewerage system mendapat pelayanan pembuangan tinja dengan sistem sanimas tersebut sehingga populasi septic tank dapat ditekan. Winayanti (2009) dan Yuwono (2009) menyatakan bahwa perkotaan akan terus mengalami pertumbuhan urbanisasi dengan konsekuensi negatifnya, yaitu meningkatnya kepadatan penduduk, kemiskinan, dan perkembangan permukiman kumuh, yaitu kota tidak siap memenuhi pelayanan sanitasi dasar sehingga warganya tidak memperoleh sarana pembuangan tinja yang layak.Untuk mengatasi masalah permukiman kumuh tersebut, diperlukan pembangunan perumahan yang layak.Hal yang dapat dilakukan adalah dengan pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) atau rumah susun sederhana milik (rusunami)(Paskah, 2007). Dengan ini, masyarakat tidak lagi membuang limbah tinja ke kali, karena bangunan ini telah dilengkapi fasilitas sanitasi dasar.Rendahnya laju pembangunan pembuangan limbah, pada umumnya, disebabkan semakin mahalnya nilai konstruksi dan semakin terbatasnya
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 55 - 62
ISSN: 9772302139009
lahan yang dapat dimanfaatkan sebagai jaringan pelayanan. Sementara itu dilain pihak, kesediaan membayar (willingness to pay) dari masyarakat masih rendah sehingga tidak dapat menutupi biaya pelayanan (Paskah, 2007). Salah satu strategi nasional yang juga dalam scheme yang sama adalah STBM (DEPKES, 2008). Dalam strategi nasional ini, disebutkan bahwa ada lima pilar utama yang harus dicapai dalam Sanitasi Total adalah apabila masyarakat tidak membuang air besar (BAB) sembarangan, mencuci tangan dengan sabun, mengelola air minum dan makanan yang aman, mengelola sampah dengan benar, mengelola limbah cair rumah tangga dengan aman. Dalam strategi ini, suatu upaya perubahan perilaku berusaha dicapai terlebih dahulu yang diawali dengan proses pemicuan. Kesadaran akan kebutuhan sarana sanitasi yang tumbuh dari proses tersebut kemudian akan mendorong masyarakat untuk mulai meletakkan sarana sanitasi sebagai prioritas kebutuhannya. Strategi ini telah membuahkan banyak hasil dengan dicapainya open defecation free (ODF) oleh desa yang telah dipicu.Sejak tahun 2006, telah 10.000 desa menerapkan STBM (Kemenkes, 2010), dan hal ini secara langsung meningkatkan cakupan akses sarana sanitasi di daerah tersebut. Tidak tertutup kemungkinan juga bahwa pendekatan STBM ini dilakukan di daerah perkotaan, dengan mengajak masyarakat berkumpul dan secara bersama-sama melihat kondisi lingkungannya dan menyadari apa yang harus mereka lakukan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakatnya. SIMPULAN Di permukiman pinggiran kali di Kelurahan Daning Puri, Denpasar, sebanyak 72,4% KK tidak mempunyai sarana pembuangan limbah tinja yang layak, baik berupa septic tank atau mendapatkan fasilitas sewerage system dan limbah tinja tersebut dialirkan ke kali.Dari analisis statistik diketahui terdapat hubungan yang signifikan antara
jarak jamban dan kali terhadap ketersediaan septic tank dan pemanfatan sarana sewerage system.Jamban yang dibangun dekat dengan kali berpotensi 8,733 kali tidak memiliki sarana septic tank dan limbah tinja tersebut dialirkan ke kali. Namun, faktor resiko yang tidak signifikan terhadap ketersediaan septic tank dan pemanfaatan sarana sewerage system adalah tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, kepadatan penghuni rumah, status kepemilikan rumah, letak rumah dengan kali, dan luas halaman rumah. Adanya faktor lain yang mempengaruhi ketersediaan septic tank dan pemanfaatan sarana sewerage system yaitu peran pemerintah sebagai regulator terhadap program-program sanitasi dasar. Diperlukan strategi dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi program sanitasi total untuk mempercepat peningkatan cakupan akses sanitasi sesuai dengan target MDGs.Sebagai saran, IPAL komunal dapat menjadi alternatif pembuangan limbah tinja, mengingat terbatasnya lahan untuk dibangun jaringan sewerage system. Upaya yang dapat dilakukan dari pihak pemerintah adalah penegakan kembali aturan, yang antara lain mengharuskan warga buang air dijamban, larangan kepada warga agar tidak mengalirkan limbah tinja ke kali, mengatur penggunaan septic tank, baik jumlah maupun perawatannya. Selain itu adalah mengatur kebijakan mengenai pembangunan sektor sanitasi, yaitu kebijakan sanitasi untuk kawasan kumuh, pengaturan penyediaan sarana pembuangan limbah RT seperti tempat sampah, septic tank atau sewerage system, peluang keterlibatan stakeholder perlu dibuka selebar-lebarnya, pengaturan alokasi anggaran untuk pembangunan fasilitas sanitasi, dan mengadakan lomba kebersihan lingkungan sebagai stimulus dalam berperilaku hidup bersih dan sehat. Pendekatan STBM juga dapat dipertimbangkan untuk diterapkan diperkotaan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai sarana sanitasi dan perilaku hidup sehat sebelum pemberian bantuan dana penyediaan fasilitas sanitasi.
Indonesian Journal of Public Health •
61
Suwastika dan Dwipayanti
Pembenahan di sektor kelembagaan juga penting, yaitu perlu diperjelas tugas berbagai institusi pemerintah yang terlibat dalam pengembangan dan pengelolaan sanitasi, termasuk tugas dalam mengawasi ketaatan penduduk dalam mengimplementasi aturan dan kebijakan sanitasi yang ada.
DAFTAR PUSTAKA Abdul, M. R. (2005). ”Evaluasi Kinerja Pelaksana Program Kali Bersih di DKI Jakarta: Sebuah Analisa Sistem Dinamis”, (Digilib UI), Avaliable: h!p:// www.digilib.ui.ac.id. (Accessed: 2010, April 4). Anonim. (2010). Data Monografi Desa / Kelurahan Kelurahan Dangin Puri, Denpasar. Kelurahan Dangin Puri Denpasar. BAPPENAS. (2006). Sanitasi Perkotaan, Potret, Harapan, dan Peluang. BAPPENAS dan Water and Sanitation Program-East Asia and the Pasific (WSP-EAP) Bank Dunia. Jakarta: 10-12. Basilius, C.K. (2008). Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (In: International Year Of Sanitation). PT. Aceh Grafika. Aceh: 1. Departemen Kesehatan. (2008). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no 852/MENKES/SK/IX/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Departemen Kesehatan, Jakarta. Djabu.(1990). Pedoman Bidang Studi Pembuangan Tinja dan Air Limbah Pada Institusi Pendidikan Sanitasi Atau Kesehatan Lingkungan.Departemen Kesehatan RI Pusat Kesehatan. Jakarta: 109. Dwipayanti, U. dan Putri (2009). Perception of Sanimas User Community and Sanimas Program Facilitator on The Implementation of Sanimas Program in Denpasar. In: Prosiding seminar International Conference on Sustainable Infrastructure and Built Environment in Developing Countries November, 2-3, 2009, Bandung, West Java, Indonesia. FTSP ITB. Bandung.
62 •
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 55 - 62
Jaja,
R.S. (2009). Analisis So$ System Methodelogy (SSM) Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai: Studi Pada Sungai Citarum Jawa Barat.Bumi Lestari 9 (1): 20-29. ”Kementerian Kesehatan RI.(2010). Sejak 2006 Sudah 10.000 Desa Terapkan STBM”, available at h!p://www.depkes.go.id/ index.php/berita/press-release/441sejak-2006-sudah-10000-desa-terapkanstbm.html, (Accessed: 28 Novemver 2010). Bataviase. (2010). ”Paksi Sesalkan Penghapusan Anggaran Prokasih 2010”, , Available: h!p://bataviase.co.id. (Accessed: 2010, April 4). Paskah, H. S. (2007). Laporan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2007. BAPPENAS.Jakarta: 90-95. Unicef. (2009).“Water, Sanitation, and Hygiene”, Available: h!p://www.unicef. org/wash(Accessed: 2010, January 15). ANTARA (2008) ”Sanitasi”.Available: h!p:// www.dimsum.its.ac.id/id/?page_id=8. (Accessed: 2009, December 16) WASPOLA. (2010).“Proyek Penyusunan Kebijakan dan Rencana Kegiatan Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan”, (Waspola), Available: h!p://www. waspola.org. (Accesed: 2010, Maret 4). Winayanti, L. (2009).Merencanakan Masa Depan Kota.Cipta Karya. 8 (7) : 4-7 Yuwono, B. (2009). Memantau Pembangunan Perkotaan dengan RPIJM. Cipta Karya(7) : 9-10.
Vol. 1 No. 1 : 63 - 68
Arc. Com. Health • Juli 2012 ISSN: 9772302139009
TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA PUTRI TENTANG KEHAMILAN USIA DINI DI KOTA DENPASAR Dewa Ayu Dian Krisna Dewi, Dinar SM Lubis* Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK, Universitas Udayana
ABSTRACK Adolescence pregnancy is a pregnancy among teenage aged between 15-19 years, which commonly occur due to increase of sexsual behaviour before marriage among teenage which may cause unwanted and unintended preganacy. Adolescence pregnancy have a serious impact on health and psychosocial of the adolescents herself and the offspring. The aim of this study is to know the level of knowledge, a!itude and behavior of Adolescent girls in Denpasar towards adolescence pregnancy. The information is important to understand the risk behavior of teenage girls towards adolescence pregnancy. This study was a descriptive study, using cross sectional method, with samples of 284 teenage girls grade 3 in one private intermediate school in Denpasar. Data was collected by self administered questioner. The results showed that the majority of respondents have high knowledge level (98.6%; n = 280) and moderate knowledge level (1.4%; n = 4) towards adolescent pregnancy. Proportion of good a!itude was 77.8% (n = 221), moderate a!itude is 21.5% (n = 61) and poor was 0.7% (n 2). The result indicate there is a gap beween percentage of students who has a good knowledge (98.6%) with students who has good a!itude level with 98,6% compared to 77,8%. This study showed that the knowledge as predisposing factor of a!itute was not always significantly related with a!itude. Therefore, it is suggested that the school needs to provide counseling program, peer education program and IEC (Information, Education and Communication) to increase skill of the Adolescent girls to prevent adolescent pregnancy. Keywords : Knowledge, A!itute, Adolescence Female, Adolescence Pregnancy
PENDAHULUAN
K
ehamilan usia dini merupakan salah satu permasalahan yang dialami oleh remaja. Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan, tingkat kehamilan pada usia remaja mencapai 18.582 kasus pada tahun 2008 (BKKBN, 2009). Kehamilan usia dini tidak jarang menyebabkan tindakan aborsi tidak aman yang dapat mengancam nyawa ibu dan anak yang di kandung. Data BKKBN melaporkan setidaknya 20% dari 2,3 juta kasus aborsi yang terjadi di Indonesia dialami oleh remaja (BKKBN, 2003). Penelitian di 9 kota di Indonesia menunjukkan bahwa dari 37.685 klien yang melakukan tindakan aborsi tidak aman, 27% dilakukan oleh klien yang belum menikah dan 21,8% dilakukan oleh klien dengan kehamilan
lanjut yang permintaan aborsinya tidak dapat dilayani (PKBI, 2005). Perilaku seksual merupakan faktor yang sangat mempengaruhi terjadinya kehamilan usia remaja. Pola pacaran yang tidak sehat seperti telah melakukan hubungan seksual merupakan permasalahan yang saat ini juga dialami oleh remaja di Denpasar. Laporan kasus oleh Kisara, menunjukkan bahwa ada peningkatan konseling KTD dari 41 kasus di tahun 2007 meningkat menjadi 177 kasus di tahun 2008 dan menjadi 359 kasus pada tahun 2011 (Kisara Youth Clinic, 2011). Dampak kehamilan usia dini meliputi seluruh aspek kehidupan remaja seperti mempengaruhi aspek kesehatan, fisik, psikologis dan sosial. Keselamatan dan kesehatan remaja dan anak yang dikandungnya berada dalam risiko sendiri yang disebabkan karena otot-otot rahim
Indonesian Journal of Public Health •
63
Dewi dan Lubis
masih lemah, belum berkembang sempurna, dan secara mental juga belum dewasa. Banyak remaja yang melakukan pernikahan terpaksa, yang terkadang berakibat pada perceraian dan aborsi tidak aman (Zikri, 2010). Informasi mengenai tingkat pengetahuan dan sikap remaja terhadap kehamilan usia dini merupakan bagian penting untuk dapat memahami fenomena peningkatan jumlah kasus kehamilan usia dini. Informasi ini juga merupakan feedback terhadap program kesehatan reproduksi yang diadakan di sekolah selama ini. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa pada tahun 2007, terdapat 5 orang siswi mengalami kehamilan usia dini, yang membuat siswi tersebut berhenti bersekolah. Banyaknya kehamilan usia dini pada remaja dapat menimbulkan dampak kesehatan dan sosial di masyarakat. Untuk itulah penelitian ini ingin mengetahui faktor pengetahuan dan sikap kehamilan usia dini pada remaja di Kota Denpasar. METODE Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan deskriptif crossectional untuk melihat gambaran tentang tingkat pengetahuan dan sikap remaja putri terhadap kehamilan usia dini. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 284 orang dan bertempat di salah satu SMP swasta yang berada di kota Denpasar. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara nonprobability purposive sampling (PPS), dimana seluruh remaja putri kelas 3 SMP X dipilih untuk dijadikan sampel. Hal ini dikarenakan di sekolah tersebut sebelumnya telah terjadi beberapa kasus kehamilan pada angkatan atau periode sebelumnya. Alat pengumpulan data adalah kuesioner, yang terdiri dari sejumlah pernyataan atau pertanyaan. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan dari beberapa penelitian sebelumnya. Seperti : kuesioner pada faktor yang mempengaruhi perilaku
64 •
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 63 - 68
seks pranikah pada remaja SMA di Surakarta (Putriani, 2010), kuesioner pada gambaran perilaku seksual dengan orientasi heteroseksual mahasiswa kos di Kecamatan Jatinangor-Sumedang (Wanti Mutiara et al., 2008), dan kuesioner pada hubungan antara persepsi tentang seks dan perilaku seksual remaja di SMA Negeri 3 Medan (RH Martina and Suza, 2007). Sebelum digunakan, kuesioner di uji cobakan pada 3 orang remaja putri sesuai kriteria sampel. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan kata dalam pertanyaan kuesioner dapat dimengerti oleh responden pada saat digunakan dalam penelitian nantinya. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 16.0 for windows. HASIL DAN PEMBAHASAN Range umur responden dalam peneltian ini adalah 14-16 tahun dengan persentase umur 14 tahun (43,3%, n = 123), umur 15 tahun (54,9%, n = 156), dan umur 16 tahun (1,8%, n = 5). Pekerjaan orang tua responden meliputi wiraswasta (43,7%, n = 124), petani dan sopir (9,2%, n = 26) dan yang paling sedikit adalah buruh (1,8%, n = 5). Rata rata uang jajan responden per-hari rata-rata adalah Rp.5.000,-. dengan range (Rp.3.000- Rp.15.000,). Mayoritas responden tinggal bersama orang tuanya (97,2%, n = 276), hanya (3,8%, n = 8) yang kost. Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Hasil Penelitian Tingkat Pengetahuan F % Baik 280 98,6 Cukup 4 1,4 Kurang Jumlah 284 100 Seluruh responden dalam penelitian ini telah pernah mendengar informasi mendapatkan mengenai kesehatan reproduksi. Sumber informasi lebih dari satu sumber
Vol. 1 No. 1 : 63 - 68
Arc. Com. Health • Juli 2012 ISSN: 9772302139009
antara lain teman (38,0%, n = 108), TV (36,9%, n = 105), Internet (28,8%, n = 82), dan lainnya seperti orang tua dan media lainnya (31,7%, n = 90). Penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden 98,6% (n = 280) mempunyai tingkat pengetahuan baik, 1,4% (n = 4) tingkat pengetahuan cukup dan tidak ada yang mempunyai pengetahuan kurang (tabel 1)
persentase menjawab benar dibawah 90%, yakni usia pubertas remaja lebih dini (89,4%, n = 254), berciuman atau berenang di kolam sperma dapat mengakibatkan kehamilan (72,7%, n = 205), kondom dapat mencegah terjadinya kehamilan (86,3%, n = 245), aborsi adalah upaya penyelamatan ibu dan calon bayi agar terhindar dari dampak sosial dan psikologis (87,7%, n = 249), dampak melakukan aborsi (89,1%, n = 253) dan pengertian perkawinan (26,1%, n = 74).
Tabel 2. Pengetahuan Responden Terhadap Kehamilan pada Usia Dini Hasil Penelitian No. 1
Pernyataan Pengetahuan
Benar
Salah
F 280
% 98,6
f 4
% 1,4
283
99,6
1
0,4
2
Menstruasi sebagai tanda kedewasaan pada remaja putri. Frekuensi Remaja Putri mengalami menstruasi
3
Pengertian menstruasi
282
99,3
2
0,7
4
Umur mengalami menstruasi pertama kali
254
89,4
30
10,6
5
Siklus mestruasi teratur dan kehamilan
256
90,1
28
9,9
6
Dampak psikologis dari perilaku seksual sebelum menikah Fungsi Kondom sebagai pencegah terjadinya kehamilan Pengertian kehamilan
268
94,4
16
5,6
245
86,3
39
13,7
282
99,3
2
0,7
Melakukan hubungan seksual pada usia remaja tidak akan menyebabkan kehamilan Tanda-tanda kehamilan
263
92,6
21
7,4
262
92,3
22
7,7
263
92,6
21
7,4
12
Melakukan hubungan seksual pada usia remaja tidak akan menyebabkan kehamilan Risiko melakukan Aborsi
253
89,1
31
10,9
13
Pengertian perkawinan
74
26,1
210
73,9
14
Akibat Perkawinan di usia remaja
272
95,8
12
4,2
7 8 9 10 11
Tabel 2 menunjukkan pengetahuan responden tentang kesehatan reproduksi. Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa hampir seluruh pernyataan pengetahuan dijawab benar (di atas 90%) oleh responden, misalnya pertanyaan tentang tanda kedewasaan pada remaja putri (98,6%, n = 280), pengertian menstruasi (99,3%, n = 282), dampak psikologis dari perilaku seksual sebelum menikah (94,4%, n = 268) serta pengertian kehamilan (99,3%, n = 282). Namun ada beberapa pernyataan yang
Hasil analisis data menunjukkan bahwa mayoritas responden (70%), mempunyai sikap tidak mendukung (unfavour) kehamilan dini. Pernyataan yang tidak mendukung kehamilan dini antara lain pendidikan seks agar diberikan sejak dini (sangat setuju (SS) = 46,1%, setuju (S) = 24,6% ), tidak berpacaran di usia remaja (SS = 22,9%, S = 32,7% ), dan kehamilan pada usia remaja merupakan sesuatu yang memalukan (SS = 64,8%, S = 22,5% ). Responden sangat tidak setuju (STS) serta tidak setuju (TS) dengan pernyataan yang mendukung terjadinya Indonesian Journal of Public Health •
65
Dewi dan Lubis
Vol. 1 No. 1 : 63 - 68
kehamilan seperti melakukan hubungan seksual sebelum menikah (STS = 85,2%, TS = 13,0%) dan melakukan aborsi untuk menutupi kehamilan (STS = 52,5%, TS = 29,9%). Selanjutnya, walaupun persentasenya kecil, masih ada remaja yang mempunyai sikap mendukung kehamilan dini, antara lain melakukan hubungan seksual sebelum menikah SS (0,4%) dan S (0,4%), melakukan oral seks pada saat pacaran dijawab SS (0,4%)
dan S (1,4%), melakukan anal seks pada saat pacaran dijawab SS (0,7%) dan S (0,4%), dan melakukan aborsi untuk menutupi kehamilan dijawab SS (2,1%) dan S (4,6%). Selain itu juga terdapat responden yang bersikap ragu-ragu terhadap pernyataanpernyataan yang diberikan. Sikap ragu-ragu responden yang paling besar (47,9%) terdapat pada pernyataan teman sebagai informan terbaik dalam memberikan informasi seputar
Tabel 3. Distribusi Responden berdasarkan sikap terhadap kehamilan usia dini No.
Keinginan atau kebutuhan seksual wajar, tetapi bukan berarti bebas untuk melakukannya.
2
Khayalan seks seharusnya dapat dihindari. Tidak berpacaran pada usia remaja untuk mencegah terjadinya kehamilan. Berpegangan tangan (salim) pada saat pacaran. Berpelukan pada saat pacaran. Berciuman kening atau pipi pada saat pacaran. Berciuman bibir pada saat pacaran. Meraba-raba (dada maupun kemaluan) pada saat pacaran. Melakukan pe!ing pada saat pacaran. Melakukan anal seks pada saat pacaran. Melakukan oral seks pada saat pacaran. Melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Pemakaian kondom yang benar tidak menyebabkan kehamilan. Kehamilan pada usia remaja merupakan sesuatu yang memalukan. Melakukan aborsi untuk menutupi kehamilan. Melakukan perkawinan apabila mengalami kehamilan pada usia remaja.
3
4 5 6 7 8
9 10 11 12 13
14
15 16
66 •
SS
Pernyataan
1
Hasil Penelitian Sikap Responden S RR TS
F 137
% 48,2
20
% 7,0
8
% 2,8
% 117 41,2
154
54,2
105
65
22,9
48
f
37,0
7
93
32,7
16,9
143
12
4,2
13
f
2,5
10
82
28,9
50,4
72
87
30,6
4,6
95
4
1,4
1
STS 2
% 0,7
3,5
8
2,8
41
14,4
3
1,1
25,4
14
4,9
7
2,5
114
40,1
52
18,3
19
6,7
33,5
81
28,5
68
23,9
27
9,5
43
15,1
74
26,1
98
34,5
65
22,9
0,4
1
0,4
10
3,5
61
21,5
211
74,3
1
0,4
-
-
31
10,9
46
16,2
206
72,5
2
0,7
1
0,4
4
1,4
35
12,3
242
85,2
1
0,4
4
1,4
42
14,8
56
19,7
181
63,7
1
0,4
1
0,4
3
1,1
37
13,0
242
85,2
40
14,1
107
37,7
111
39,1
14
4,9
12
4,2
184
64,8
64
22,5
2
0,7
7
2,5
27
9,5
6
2,1
13
4,6
31
10,9
85
29,9
149
52,5
20
7,0
104
36,6
117
41,2
26
9,2
17
6,0
Indonesian Journal of Public Health
f
f
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 63 - 68
ISSN: 9772302139009
pendidikan seksual atau kesehatan reproduksi. Melakukan perkawinan apabila mengalami kehamilan pada usia remaja dijawab raguragu oleh 41,2% responden, berpelukan pada saat pacaran (40,1%), pemakaian kondom yang benar tidak menyebabkan kehamilan (39,1%), tidak berpacaran di usia remaja (28,9%), berciuman kening/pipi (28,5%) dan berciuman bibir (26,1%). Informasi ini selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 3 dibawah ini: Tabel 4 menunjukkan distribusi responden berdasarkan tingkat sikap setelah dikatagorikan pada sikap baik, cukup dan kurang. Persentase responden dengan tingkat sikap baik 77,8% (n = 221), tingkat sikap cukup 21,5% (n = 61), dan tingkat sikap kurang 0,7% (n = 2). Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Sikap Tingkat Sikap
Hasil Penelitian F
%
Positif
221
77,8
Ragu ragu
61
21,5
Negatif
2
0,7
Jumlah
284
100
PEMBAHASAN Pengetahuan merupakan bagian penting dalam pembentukan perilaku. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoadmodjo, 2007). Demikian juga dengan tingkat pengetahuan seksual sangat mempengaruhi perilaku seksual pranikah (Amrillah, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden 98,6% (n = 280) mempunyai tingkat pengetahuan baik terhadap kehamilan dini. Hal ini dapat dilihat dari pengetahuan tentang persoalan seputar menstruasi (98,6%), risiko kehamilan pada usia dini (95,5%) dan risiko melakukan aborsi (89,1%). Walaupun mayoritas responden telah mempunyai tingkat pengetahuan baik, namun ada beberapa area masih tetap harus
diperhatikan, misalnya hampir seluruh responden (92%) tidak mengetahui bahwa remaja dapat hamil jika melakukan hubungan seksual, lebih dari seperempat responden (27,8%) menganggap bahwa berciuman atau berenang di kolam renang yang tercemar sperma dapat mengakibatkan kehamilan, 13,7% (n = 39) responden tidak mengetahui bahwa kondom dapat mencegah terjadinya kehamilan, dan 10,9% (n = 31) responden tidak mengetahui risiko aborsi serta hampir 2/3 dari responden menjawab salah pengertian perkawinan. Hasil penelitian lainnya di Medan juga menunjukkan bahwa 40,6% responden menganggap bahwa berenang di kolam yang tercemar sperma dapat menyebabkan kehamilan, 28% responden membenarkan pernyataan wanita hamil ketika menstruasi, 92,7% percaya bahwa penyakit menular seksual dapat diminimalisasi dengan kondom, dan 13,3% menganggap bahwa aborsi merupakan hal yang legal (RH Martina and Suza, 2007). Sikap merupakan kesediaan atau kesiapan untuk berperilaku (Notoadmodjo, 2007). Sikap dan norma sosial merupakan bagian penting dalam kehidupan remaja dalam mengambil keputusan untuk berperilaku berisiko. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden sudah memiliki sikap yang baik terhadap perilaku pencegahan terhadap terjadinya kehamilan dini. Selain pernyataan bercium bibir (16%) responden setuju, kurang dari 5% respondent menjawab sangat setuju dan setuju terhadap pernyataan perilaku risiko tinggi terhadap kehamilan usia dini seperti pernyataan meraba raba dada, melakukan pe!ing, melakukan anal seks, melakukan oral seks, melakukan hubungan seksual sebelum menikah dan melakukan aborsi untuk menutupi kehamilan. Namun perlu diperhatikan bahwa untuk pernyataan yang dapat mengarah pada risiko tinggi seperti berpelukan pada saat pacaran, bercium kening pada saat pacaran lebih dari 30% responden menjawab sangat setuju dan setuju. Penelitian oleh Kisara PKBI menunjukkan hasil yang lebih tinggi dari hasil
Indonesian Journal of Public Health •
67
Dewi dan Lubis
yang diperoleh dalam penelitian ini, dimana 21.58% responden menjawab (ya) untuk ciuman bibir (21,58%) dan cium kening/pipi (55,85%). Hanya saja pada survei ini tidak ada satupun responden yang menyatakan bahwa hubungan seksual sebelum menikah itu boleh dilakukan (PKBI, 2005). Penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang mempunyai tingkat sikap positif sebesar 77,8% (n = 221), tingkat raguragu 21,5% (n = 61), dan tingkat sikap negatif sebesar 0,7% (n = 2). Data ini menunjukkan adanya kesenjangan antara pengetahuan dan sikap dari remaja tentang kehamilan dini. Jika hampir seluruh responden (98.6%), memiliki tingkat pengetahuan baik sebaliknya, responden yang mempunyai tingkat sikap positif berkurang menjadi 77,8%. SIMPULAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan baik. Untuk tingkat sikap juga demikian, mayoritas responden mempunyai sikap yang baik. Namun demikian, pengetahuan responden tentang penyebab kehamilan dan pencegahan kehamilan masih kurang. Responden dengan pengetahuan yang baik ternyata tidak secara konsisten menunjukkan sikap yang baik terhadap kehamilan pada usia remaja. Untuk dapat memahami kesenjangan antara pengetahuan dan sikap tersebut disarankan untuk melakukan studi lebih lanjut dengan menggunakan metode kualitatif. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlu memberikan informasi yang lebih intensif terhadap pemberian informasi mengenai penyebab kehamilan dan informasi seksual sehat. Namun perlu di perhatikan bahwa sampai saat ini, kampanye safe sex dengan cara pemakaian kondom bagi kalangan remaja masih mengandung kontroversi dan debat di kalangan masyarakat di Indonesia, termasuk di Bali.
68 •
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 63 - 68
DAFTAR PUSTAKA Amrillah, A. A., Prasetyaningrum, J., Hertinjung, W.S. 2007. Hubungan Antara Pengetahuan Seksualitas Dan Kualitas Komunikasi Orang Tua – Anak Dengan Perilaku Seksual Pranikah. Eprints.Ums.Ac.Id. Bkkbn. 2003. 2, 3 Juta Kasus Aborsi Per Tahun, 30 Persen Oleh Remaja. 2011. Bkkbn 2009. Satu Dari Lima Orang Indonedia Adalah Remaja. Kisara Youth Clinic 2011. Data Konseling Remaja Tahun 2007. Denpasar: Pkbi Bali. Notoadmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku, Jakarta, Rineka Cipta. Pkbi 2005. Study Retrospektif Induksi Haid Di 9 Kota Di Indonesia: 2000-2003. Jakarta: Pkbi. Putriani, N. 2010. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan Remaja Tentang Kesehatan Reproduksi Di Sma Negeri 1 Mojogedeng. Universitas Diponegoro. Rh Martina, E. & Suza, D., Elizaadiani, 2007. Hubungan Antara Persepsi Tentang Seks Dan Perilaku Seksual Remaja Di Sma Negeri 3 Medan. Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, 2, 48-55. Wanti Mutiara, Maria Komariah & Karwati 2008. Gambaran Perilaku Seksual Dengan Orientas Heteroseksual Mahasiswa Kos Di Kecamatan Jatinangor-Sumedang, Jawa Barat, Bandung, Psw Uiii. Zikri, N. 2010. Mendidik Tanggung Jawab, Jakarta, Universitas Paramadina Dan Universitas Nasional.