APLIKASI SLUDGE LIMBAH INDUSTRI KERTAS TERHADAP SIFAT KIMIA DAN BIOLOGI TANAH GAMBUT
ANDRI SURYADINATA A14052768
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
APLIKASI SLUDGE LIMBAH INDUSTRI KERTAS TERHADAP SIFAT KIMIA DAN BIOLOGI TANAH GAMBUT
ANDRI SURYADINATA A14052768
SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA PERTANIAN pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi
: APLIKASI SLUDGE LIMBAH INDUSTRI KERTAS TERHADAP SIFAT KIMIA DAN BIOLOGI TANAH GAMBUT
Nama Mahasiswa : ANDRI SURYADINATA NRP
: A14052768
Menyetujui Pembimbing,
Ketua
Anggota
Ir. Fahrizal Hazra, MSc NIP. 19631120 198903 1002
Dr. Enny Widyati NIP. 710 028 930
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP. 19571222 198203 1002
Tanggal Lulus :
RINGKASAN ANDRI SURYADINATA. Aplikasi Sludge Limbah Industri Kertas Terhadap Sifat Kimia dan Biologi Tanah Gambut. (Dibimbing oleh Fahrizal Hazra dan Enny Widyati) Banyak kendala yang dihadapi ketika akan mengembangkan usaha budidaya kehutanan pada tanah gambut. Kendala tersebut antara lain ketebalan gambut, kesuburan rendah, kemasaman tinggi dan lapisan pirit yang menyebabkan produktivitasnya rendah. Untuk meningkatkan produktivitas tanah gambut dapat ditempuh melalui ameliorasi tanah. Salah satu bahan amelioran yang dapat digunakan adalah sludge industri kertas. Ameliorasi tanah gambut dengan sludge tersebut diharapkan dapat memperbaiki sifat-sifat kimia dan biologi tanah gambut. Pada penelitian ini ditambahkan perlakuan sludge dengan dosis 25 % dan 50 %, kompos sludge dengan dosis 25 % dan 50 % pada tanah gambut yang diambil dari Kalimantan dan Riau. Sebagai bahan pembanding digunakan bahan amelioran tanah mineral (Latosol) dengan dosis 50% dan kompos komersial dosis 25% dan 50 %. Untuk mengetahui perbaikan sifat-sifat tanah gambut pada hari ke-1, 6, 11, dan 16 setelah inkubasi dilakukan pengukuran N, P, K, pH, KTK, KB, total fungi dan total mikrob. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa perlakuan yang pling efektif adalah kompos sludge dengan dosis 50% yang dapat meningkatkan N (0.81%) , P (143,5 ppm) dan K (4,26 me/100gr) ; meningkatkan pH hingga 6,6, KTK hingga 118.8 me/100gr dan KB hingga 145.64 % pada tanah gambut Kalimantan dengan waktu inkubasi 16 hari, perbedaan tersebut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada tanah gambut Riau. Tetapi perlakuan tersebut berbeda nyata terhadap perlakuan tanah mineral (Latosol) dan kompos komersial. Kata Kunci : ameliorasi, lahan gambut, sludge industri kertas
ABSTRACT ANDRI SURYADINATA. Application of Paper Mills Sludge to Improve Chemistry and Biology characteristic of Peat Soil. (Supervised by Fahrizal Hazra and Enny Widyati). There are many constraints to develop forestry on peat lands, such as peat thickness, low of soil fertility, low of soil pH, that cause low of land productivity. To improve soil fertility is can be achived by doing soil amelioration. One of soil ameliorant is paper mill sludge. Sludge amelioration on peat soil is expected will increase chemical and biological characteristic of the soil. This experiment consist of paper mill sludge in dosage of 25% and 50%; compost sludge in dosage 25% and 50% applied to peat soil taken from Riau and Kalimantan. As controls are amelioration with mineral soil (latosol dramaga) in dosage 50% and comercial compost in dosage 25% and 50%, respectively. To observe the soil improvement, in the days of 1, 6, 11 and 16 after incubation were accessed N, P, K, pH, CEC, base saturation and total microbes and fungy. The result showed that the most effective ameliorant is composed sludge in dosage 50%. It increase availability of N to 0.81% ; P (143.5 ppm) and K (4.26 me/100gr) ; pH until 6.6, CEC until 118.8 me/100gr and base saturation until 145.64 % when applied to Kalimantan peat. This treatment give non significant impact when applied on Riau peat. On the other hands, it is significantly different compare to latosol and comercial compost treatment. It is suggested that to achieve optimal productivity of peat soil can be ameliorated with composted of paper mill sludge. Keyword : amelioration, peat soil, paper mill sludge
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kotabumi, Lampung Utara pada tanggal 29 Agustus 1987, penulis adalah anak ke-4 dari 4 bersaudara pasangan (alm) Tri Wahyu Herawan dan Sumiati Pada tahun 1999 penulis menyelesaikan studi di SD N 3 Beringin Raya, kemudian lulus dari SMP N 14 Bandar Lampung pada tahun 2002. Selanjutnya penulis meneruskan ke SMU N 7 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2005 Pada tahun 2005 penulis diterima di IPB, Fakultas Pertanian, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan melalui jalur USMI. Pengalaman penulis selama menempuh pendidikannya antara lain menjadi anggota dari Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Pertanian selama dua tahun masa jabatan 20072008 dan 2008-2009 , anggota Unit Kegiatan Mahasiswa CENTURY dan INKAI selama tiga tahun pada tahun 2006 s/d 2008, anggota HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) masa jabatan 2007-2008 dan 2008-2009, asisten praktikum mata kuliah Bioteknologi Tanah dan Sosiologi Umum pada tahun 2008 serta salah satu finalis PKM (Program Kreatifitas Mahasiswa) bertemakan Pengabdian Masyarakat.
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini. Penelitian ini dibuat untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bekerjasama dengan Pusat Penelitian Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan masukkan, kritikkan, dukungan dan semangat selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada : 1. Ir. Fahrizal Hazra, MSc selaku dosen pembimbing I yang telah membimbing saya dalam penelitian dan penulisan skripsi ini. 2. Dr. Enny Widyati selaku dosen pembimbing II yang telah membimbing saya dalam penelitian dan penulisan skripsi ini serta atas izinnya untuk menggunakan koleksi foto pada skripsi ini. 3. Dr.Ir Lilik Tri Indriyati, MSc yang menjadi dosen penguji dan memberikan banyak masukan bagi penulis. 4. Kedua orang tua saya (alm) Tri Wahyu Herawan dan Sumiati yang telah memberikan support dan doanya hingga penelitian dan skripsi ini selesai. Khususnya untuk Ibu saya yang selalu mendoakan agar semua anakanaknya selalu berhasil dalam menggapai cita-citanya. 5. Dr.Ir Komaruddin Idris selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan selama masa perkuliahan penulis. 6. Segenap staf laboran, Ibu Asih, Bapak jito, Ibu Juleha, Mba Nia, Mba Dian, Bapak Koyo, Ibu Yani, Ibu Oktori dan pegawai departemen tanah, Mba Hesti, Mba Iko, Ibu Siti, Bapak Suratman yang telah banyak memberikan bantuannya dalam melaksanakan penelitian. 7. Teman-teman satu pembimbing: Adi, Reni dan Xenia terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Sukses selalu buat kita semua. 8. Semua teman-teman satu lab Bioteknologi, ex: Mba sirri. Maria ulfa, Nui, Santi, Ari, Putri, Miza, Ayu, Windi, Ichad, Esta, Via, Boby, dan Acid. i
Semuanya terima kasih atas semua masukan-masukan yang telah diberikan kepada saya. Semoga persahabatan kita tetap ada sampai kapanpun 9. Semua anak-anak soil’42, kakak-kakak kelas dan adik-adik kelas saya yang tidak dapat disebutkan satu-satu namanya 10. Sahabat-sahabatku, Heri, Verry , Nanang , Agung untuk Affan terima kasih atas dukungannya selama ini dan yang lainnya yang telah memberikan banyak saran untuk kemajuan penelitian ini
Bogor, September 2009 Penulis
ii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI………………………………………………………………..
iii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………..
v
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………….
vii
I.
II.
PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang…………………………………………………
1
1.2.Tujuan Penelitian…………………………….…………………
2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Tanah Gambut………………………………………………… 2.1.1. Pembentukan Tanah Gambut di Indonesia……………...
3 3
2.1.2. Bahan Induk dan Tingkat Kematangan Tanah Gambut
III.
di Indonesia......................................................................
4
2.1.3. Penyebaran dan Jenis Tanah Gambut di Indonesia……..
5
2.2. Sifat Kimia Tanah………………………………………………
7
2.2.1. Kemasaman Tanah (pH)………………...………………
7
2.2.2. Kandungan Nitrogen, Fospat dan Kalium (N, P, K)…….
7
2.2.3. Kandungan Basa-Basa (Ca, Mg, Na)……………………
8
2.2.4. Kapasitas Tukar Kation (KTK)………………………….
9
2.2.5. Kejenuhan Basa (KB)…………………………………...
9
2.3. Sifat Biologi Tanah……………………………………………..
10
2.3.1. Bakteri…………………………………………………...
10
2.3.2. Fungi ……………………………………………………
11
2.4. Bahan Amelioran…………………………………………….…
11
2.5. Sludge Industri Kertas………………………………………….
12
BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian………………………………..…
14
3.2. Bahan dan Alat…………………………………………………
14
3.3. Metode Penelitian………………………………………………
14
iii
IV.
3.3.1. Analisis Pendahuluan……………………………………
14
3.3.1.1. Penetapan N-total, P-tersedia dan pH........................
14
3.3.1.2. Penetapan KTK, K dan Basa-Basa............................
15
3.3.1.3. Penetapan Total Fungi dan Total Mikrob..................
16
3.3.2. Uji Ameliorasi.......……………………………...………
17
3.3.3. Analisis Data……………………………………………
18
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil………………………………………..…………………...
19
4.1.1. Karakteristik Tanah Gambut……………………………
19
4.1.2. Karakteristik Bahan Amelioran…………………………
21
4.1.3. Perubahan Sifat Kimia Tanah Gambut Setelah Penambahan Bahan Amelioran………………………...
22
4.1.3.1. Perubahan Nilai pH………...………………………
23
4.1.3.2.Ketersediaan N-total……..………………...……….
23
4.1.3.3. Ketersediaan P-tersedia…….……..……………….
24
4.1.3.4. Ketersediaan Kalium…………………..……………
25
4.1.3.5.Perubahan Nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK)…..
26
4.1.3.6. Ketersediaan Basa-basa (Ca, Mg, Na)…………….
27
4.1.3.7. Perubahan Nilai Kejenuhan Basa (KB)……………
30
4.1.4. Perubahan Sifat Biologi Tanah Gambut Setelah
V.
Penambahan Bahan Amelioran…………………………
31
4.2. Pembahasan………………………………………..…………...
34
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan………..……………………………………………
42
5.2. Saran………………..…………………………………………..
42
DAFTAR PUSTAKA
43
LAMPIRAN
46
iv
DAFTAR TABEL Nomor
Teks
Halaman 5
1.
Penyebaran tanah gambut di Indonesia……………………….
2.
Perlakuan tanah gambut terhadap pemberian bahan amelioran………………………………………………………..
17
3.
Sifat kimia dan biologi tanah gambut Kalimantan……………..
19
4.
Sifat kimia dan biologi tanah gambut Riau…………………….
19
5.
Sifat kimia dan biologi bahan-bahan amelioran ……………….
22
6.
Pengaruh pemberian bahan-bahan amelioran terhadap N-total (%) pada tanah gambut Kalimantan dan Riau………………….
24
Pengaruh pemberian bahan-bahan amelioran terhadap basa-basa (me/100g) pada tanah gambut Kalimantan dan Riau……..
28
Pengaruh pemberian bahan-bahan amelioran terhadap KB (%) pada tanah gambut Kalimantan dan Riau ……………………...
30
Pengaruh bahan amelioran terhadap total fungi (103 SPK/gram BKM)…………………………………………………………….
31
Pengaruh bahan amelioran terhadap total mikrob (105 SPK/gram BKM)…………………………………………………………….
32
7. 8. 9. 10.
LAMPIRAN 1.
Kriteria berdasarkan penilaian sifat-sifat kimia tanah (Pusat Penelitian Tanah 1983)……………………………………………
47
2.
Komposisi media untuk penetapan total fungi tanah…………
47
3.
Hasil analisis varian total fungi pada tanah gambut Kalimantan……………………………………………………......
48
Hasil analisis varian total fungi pada tanah gambut Riau…….
49
4.
v
5.
Hasil analisis varian total bakteri pada tanah gambut Kalimantan…………………………………………………...........
51
6.
Hasil analisis varian total bakteri pada tanah gambut Riau……….
52
7.
Hasil analisis unsur fosfor selama 16 hari masa inkubasi………..
57
8.
Hasil analisis unsur kalium selama 16 hari masa inkubasi………..
57
9.
Hasil analisis pH selama 16 hari masa inkubasi………………...
58
10.
Hasil Analisis KTK Selama 16 Hari Masa Inkubasi………….......
59
vi
DAFTAR GAMBAR Nomor 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Teks
Halaman
Pengaruh pemberian bahan-bahan amelioran terhadap pH tanah gambut Kalimantan dan Riau pada hari ke-16 setelah aplikasi…………………………………………………………
23
Pengaruh pemberian bahan-bahan amelioran terbesar dan perbedaan waktu pengamatan terhadap P-tersedia (ppm) pada tanah gambut Kalimantan dan Riau…………………………...
25
Pengaruh pemberian bahan-bahan amelioran dan perbedaan waktu pengamatan terhadap ketersediaan kalium tanah gambut Kalimantan dan Riau………………………………………….
26
Pengaruh pemberian bahan-bahan amelioran dan perbedaan waktu pengamatan terhadap ketersediaan KTK tanah gambut Kalimantan…………………………………………………….
26
Pengaruh pemberian bahan-bahan amelioran dan perbedaan waktu pengamatan terhadap ketersediaan KTK tanah gambut Riau…………………………………………………………….
27
Pengaruh pemberian bahan-bahan amelioran terhadap ketersediaan Ca tanah gambut Kalimantan dan Riau pada hari ke-16 setelah aplikasi…………………………………………..
29
Pengaruh pemberian bahan-bahan amelioran terhadap ketersediaan Mg tanah gambut Kalimantan dan Riau pada hari ke-16 setelah aplikasi…………………………………………..
29
Pengaruh pemberian bahan-bahan amelioran terhadap ketersediaan Na tanah gambut Kalimantan dan Riau pada hari ke-16 setelah aplikasi…………………………………………..
30
LAMPIRAN 1.
Hutan alam rawa gambut di Kalimantan Tengah (kiri) dan hutan tanaman pada lahan gambut di Riau (kanan)…………..
vii
55
2.
Tumpukan sludge hasil industri kertas (foto oleh Enny Widyati, 2009)…………………………………………………….
55
3.
Uji amelioran pada tanah gambut………………………………...
55
4.
Total fungi tanah pada pengenceran 10-3 dan 10-4………
56
5.
Total mikrob tanah pada pengenceran 10-5 dan 10-6……..
56
viii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Luas lahan rawa gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia. Dari luasan tersebut sekitar 7,2 juta hektar atau 35%-nya terdapat di Pulau Sumatera dan 5,76 juta ha atau 27,8%-nya terdapat di Kalimantan (Wahyunto, 2005). Tanah gambut mempunyai potensi yang cukup baik untuk usaha budidaya kehutanan. Namun tidak seluruh lahan rawa gambut tersebut sesuai dan layak dimanfaatkan karena adanya berbagai kendala. Kendala tersebut antara lain ketebalan gambut, kesuburan rendah, kemasaman tinggi, lapisan pirit, dan substratum
subsoil (di bawah gambut) berupa pasir kuarsa yang dapat
menyebabkan produktivitas rendah. Faktor
lain
yang
menyebabkan
ketidakberhasilan
pengembangan
kehutanan di tanah gambut diantaranya perencanaan yang tidak matang. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyak
pemanfaatan lahan yang tidak sesuai
peruntukannya, kurangnya implementasi kaidah-kaidah konservasi tanah gambut, dan kurangnya pemahaman terhadap perilaku lahan rawa gambut
sehingga
penggunaan teknologi reklamasi cenderung kurang tepat (Najiyati, 2005). Untuk mengoptimalkan usaha kehutanan di tanah gambut diperlukan upaya-upaya yang tepat, efisien dan murah. Upaya tersebut untuk memperbaiki sifat-sifat tanah gambut sehingga dapat digunakan untuk usaha budidaya kehutanan secara berkelanjutan. Salah satu usaha yang dapat digunakan adalah penggunaan bahan-bahan amelioran sebagai salah satu bahan pembenam tanah yang cukup murah dan efisien disamping penggunaan pupuk. Salah satu bahan amelioran yang dapat digunakan adalah sludge pabrik kertas. Sludge sebagai hasil buangan pabrik kertas ternyata memiliki kandungan yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Menurut hasil penelitian sludge industri kertas dapat memperbaiki tanah bekas tambang batubara, aplikasi bahan ini dapat menaikan pH, KTK dan menurunkan konsentrasi kadar sulfat (Widyati, 2006). Diharapkan dengan aplikasi penambahan sludge pabrik kertas dapat memperbaiki sifat-sifat kimia dan biologi tanah gambut. Ketersediaan Sludge
2
tidak akan menjadi masalah karena limbah sludge dihasilkan oleh industri kertas dalam jumlah yang cukup banyak yaitu rata-rata sekitar 10% dari total pulp yang diproduksi (Widyati, 2006). Sludge merupakan limbah organik yang mengandung unsur-unsur seperti N, P, K dan basa-basa. Selama ini pemanfaatan sludge tersebut belum optimal. Sebagian kecil sludge hanya dimanfaatkan sebagai tanah urugan pada area di sekitar pabrik, sedangkan sisanya ditimbun begitu saja. Apabila keadaan ini dibiarkan terus menerus, maka semakin lama pabrik akan kekurangan lahan untuk penimbunan limbah sehingga dimungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan. Oleh karena itu penggunaan limbah sludge pabrik kertas sebagai bahan amelioran tanah merupakan alternatif penanggulangan limbah yang sangat baik (Supriyanto, 2001). 1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan mendapatkan informasi apakah sludge pabrik kertas dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesuburan tanah gambut. Disamping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mendapatkan jenis dan dosis yang paling optimum dari bahan-bahan amelioran dalam memperbaiki sifatsifat tanah gambut.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanah Gambut Soepardi (1983) menjelaskan bahwa berdasarkan kandungan bahan organik dalam tanah dikenal dua kelompok tanah, yaitu tanah mineral dan tanah organik. Tanah organik adalah tanah-tanah yang komposisi penyusunnya didominasi oleh bahan organik dan dicirikan oleh kandungan bahan organik yang tinggi, umumnya tanah organik dikenal juga sebagai tanah gambut. Di Indonesia istilah gambut telah umum dipakai untuk padanan peat. Arti peat secara ringkas menurut Whitten dan Boorks (1987) adalah massa nabati yang terombak sebagian yang semula tumbuh dalam danau dangkal atau rawa. Menurut Driessen (1978) dalam Notohadiprawiro (1986), tanah gambut adalah tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari 65% (berat kering) dan ketebalan gambut lebih dari 0,5 m. Menurut Soekardi dan Hidayat (1988) tanah gambut (tanah organik) atau tanah organosol adalah tanah yang berasal dari bahan induk organik seperti dari hutan rawa atau rumput rawa, dengan ciri dan sifat tidak terjadi diferensiasi horizon secara jelas, ketebalan lebih dari 0,5 meter, warna coklat hingga kehitaman, tekstur debu lempung, tidak berstruktur, konsistensi tidak lekat-agak lekat, kandungan organik lebih dari 30% untuk tanah tekstur lempung dan lebih dari 20% untuk tanah tekstur pasir, umumnya bersifat sangat masam (pH 4,0) dan kandungan unsur hara rendah. 2.1.1. Pembentukan Tanah Gambut di Indonesia Pembentukan gambut di beberapa daerah pantai Indonesia diperkirakan dimulai sejak zaman glasial akhir sekitar 3.000 - 5.000 tahun yang lalu, sedangkan proses pembentukan gambut pedalaman diperkirakan lebih lama, sekitar 10.000 tahun yang lalu (Wahyunto, 2005). Seperti gambut tropis lainnya, gambut di Indonesia dibentuk oleh akumulasi residu vegetasi tropis yang kaya kandungan lignin dan selulosa. Akibat lambatnya proses dekomposisi, di ekosistem rawa gambut masih dapat dijumpai batang, cabang, dan akar tumbuhan yang besar. Secara umum, pembentukan dan pematangan gambut berjalan melalui tiga proses yaitu pematangan fisik,
4
pematangan kimia dan pematangan biologi. Kecepatan proses pematangan tersebut dipengaruhi oleh iklim (suhu dan curah hujan), susunan bahan organik, aktivitas organisme, dan waktu (Andriesse, 1988). Pematangan gambut melalui proses pematangan fisik terjadi dengan adanya pelepasan air (dehidrasi) karena drainase, evaporasi (penguapan), dan dihisap oleh akar.
Proses ini ditandai
dengan penurunan dan perubahan warna tanah, sedangkan pematangan kimia terjadi melalui peruraian bahan-bahan organik menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana.
Proses pematangan ini akan melepaskan senyawa-senyawa
asam-asam organik yang beracun bagi tanaman dan membuat suasana tanah menjadi asam. Gambut yang telah mengalami pematangan kimia secara sempurna akhirnya akan membentuk bahan organik baru yang disebut sebagai humus. Terakhir adalah pematangan biologi yang merupakan proses yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme tanah. Proses ini biasanya akan lebih cepat terjadi setelah pembuatan saluran drainase karena tersedianya oksigen yang cukup menguntungkan bagi pertumbuhan mikroorganisme. 2.1.2. Bahan Induk dan Tingkat Kematangan Tanah Gambut di Indonesia Sekitar 14,55 juta ha wilayah Indonesia memiliki bahan induk tanah berupa bahan organik. Di Pulau Sumatera wilayah yang berbahan induk bahan organik luasnya sekitar 6,59 juta ha, yang sebagian besar berada di Provinsi Riau, Sumatera Selatan dan Jambi. Di wilayah provinsi lain di Pulau Sumatera luasnya kurang dari 250 ribu ha. Di Pulau Kalimantan terdapat sekitar 4,31 juta ha yang tersebar di daerah Kalimantan Barat seluas 1,66 juta ha, Kalimantan Tengah 1,98 juta ha, Kalimantan Selatan 113 ribu ha dan Kalimantan Timur 500 ribu ha (Subagyo et al., 2000). Subagyo et al.(2000) juga menjelaskan bahan organik pembentuk tanah gambut merupakan sisa-sisa jaringan tumbuhan pada berbagai tingkat pelapukan. Bahan organik biasanya terkumpul di cekungan atau depresi alam yang memiliki drainase yang sangat terhambat atau tergenang air. Umumnya bahan organik terakumulasi di cekungan dataran rendah, daerah lahan rawa, baik rawa lebak maupun rawa pasang surut dan pada kubah gambut (peat dome). Akibat sebagian besar atau seluruhnya tersusun dari bahan organik, tanah yang terbentuk disebut tanah organik.
5
Menurut Wahyunto (2005), berdasarkan tingkat kematangan atau dekomposisinya, bahan organik dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu bahan organik fibrik, hemik dan saprik. Bahan organik yang tingkat dekomposisinya baru dimulai atau masih awal, disebut bahan organik fibrik yang mempunyai ciri jaringan-jaringan (fibers) tumbuhan masih tampak jelas atau mudah dikenali. Bahan organik hemik adalah bahan organik yang sekitar separuhnya telah mengalami dekomposisi (hemi = separuh/ pertengahan). Bahan organik saprik adalah bahan organik yang sebagian besar telah mengalami dekomposisi. 2.1.3 Penyebaran dan Jenis Tanah Gambut di Indonesia Menurut Soekardi dan Hidayat (1988) luas tanah gambut di Indonesia diperkirakan antara 15,5 – 18,5 juta hektar yang tersebar di Kalimantan, Sumatera dan Irian Jaya. Dari luas gambut 18,5 juta hektar, diantaranya terdapat sekitar 4,61 juta ha (24,9%) di Kalimantan Barat, 2,61 juta ha (11,7%) di Kalimantan Tengah, 1,48 juta ha (8%) di Kalimantan Selatan dan 1,05 juta ha (5,7%) di Kalimantan Timur. Tabel 1. Penyebaran tanah gambut di Indonesia(dikutip dari berbagai sumber) Penyebaran gambut (dalam juta hektar) Penulis / Sumber
Sumatera
Kalimantan
Papua
Lainnya
Total
Driessen (1978)
9,7
6,3
0,1
-
16,1
Puslittanak (1981)
8,9
6,5
10,9
0,2
26,5
Euroconsult (1984)
6,84
4,93
5,46
-
17,2
Soekardi & Hidayat (1988)
4,5
9,3
4,6
<0,1
18,4
Deptrans (1988)
8,2
6,8
4,6
0,4
20,1
Subagyo et al. (1990)
6,4
5,4
3,1
-
14,9
Deptrans (1990)
6,9
6,4
4,2
0,3
17,8
Nugroho et al. (1992)
4,8
6,1
2,5
0,1
13,5*
Radjagukguk (1993)
8,25
6,79
4,62
0,4
20,1
Dwiyono & Racman (1996)
7,16
4,34
8,40
0,1
20,0
* tidak termasuk gambut yang berasosiasi dengan lahan salin dan lahan lebak (2,46 juta hektar)
Berdasarkan penyebaran topografinya, Famulya, dan Wonoprojo (1983) membedakan tanah gambut menjadi tiga yaitu, gambut ombrogen, gambut topogen, dan gambut pegunungan. Gambut ombrogen terletak di dataran pantai
6
berawa, mempunyai ketebalan 0,5 – 16 meter, terbentuk dari sisa tumbuhan hutan dan rumput rawa, hampir selalu tergenang air, bersifat sangat masam. Contoh penyebarannya di daerah dataran pantai Sumatra, Kalimantan dan Irian Jaya (Papua). Gambut topogen terbentuk di daerah cekungan (depresi) antara rawarawa di daerah dataran rendah dengan di pegunungan, berasal dari sisa tumbuhan rawa, ketebalan 0.5 – 6 meter, bersifat agak masam, kandungan unsur hara relatif lebih tinggi. Contoh penyebarannya di Rawa Pening (Jawa Tengah), Rawa Lakbok (Ciamis, Jawa Barat), dan Segara Anakan (Cilacap, Jawa Tengah). Sedangkan gambut pegunungan terbentuk di daerah topografi pegunungan, berasal dari sisa tumbuhan yang hidupnya di daerah sedang (vegetasi spagnum). Contoh penyebarannya di Dataran Tinggi Dieng. Berdasarkan susunan kimianya Famulya, dan Wonoprojo (1983) juga membedakan tanah gambut menjadi : (a) gambut eutrop, bersifat agak masam, kandungan O2 serta unsur haranya lebih tinggi, (b) gambut oligotrop, sangat masam, miskin O2 , miskin unsur hara, biasanya selalu tergenang air, (c) mesotrop, peralihan antara eutrop dan oligotrop. Radjagukguk (2003) menjelaskan bahwa tanah gambut tropika yang terdapat di Indonesia dicirikan oleh : (1) keragaman hayati yang khas yang memiliki banyak jenis flora dan fauna, (2) Fungsi hidrologisnya yang dapat menyimpan air tawar dalam jumlah yang sangat besar. Satu juta tanah gambut tropika setebal 2 m diperkirakan dapat menyimpan 1,2 juta m3, (3) Sifatnya yang rapuh (fragile) karena dengan pembukaan lahan dan drainase akan mengalami pengamblesan (sub-sidence), percepatan peruraian dan resiko pengerutan tidak balik (irreversible) serta rentan terhadap bahaya erosi, (4) Sifatnya yang tidak terbarukan
karena
membutuhkan
waktu
5000
-
10.000
tahun
untuk
pembentukannya sampai mencapai ketebalan maksimum sekitar 20 m, sehingga taksiran laju pembentukannya adalah 1 cm/ 5 tahun, di bawah vegetasi hutan, (5) Bentuk lahan dan sifat-sifat tanahnya yang khas, yakni lahannya berbentuk kubah keadaannya yang jenuh atau tergenang pada kondisi alamiah serta tanahnya mempunyai sifat-sifat fisika dan kimia yang sangat berbeda dengan tanah-tanah mineral.
7
2.2 Sifat Kimia Tanah Sifat kimia tanah merupakan aspek yang sangat penting, umumnya sifatsifat kimia tanah dijadikan sebagai indikator tingkat kesuburan tanah. Beberapa sifat kimia tanah yang penting antara lain : 2.2.1. Kemasaman Tanah (pH) Pemasaman tanah adalah suatu proses alamiah yang disebabkan oleh pembentukan asam-asam anorganik dan organik melalui aktifitas mikroorganisme tanah, serta oleh hilangnya basa-basa di dalam kompleks koloid tanah melalui pertukaran kation dan pencucian (Hardjowigeno, 2003). Di beberapa daerah kemasaman tanah merupakan masalah yang serius dalam usaha pertanian, kemasaman tanah ini pada dasarnya dapat diperbaiki dengan usaha pengapuran (Sabiham, 1996). Menurut Hardjowigeno (2003) pH tanah umumnya berkisar dari 3,0 - 9,0. Di Indonesia umumnya tanah bereaksi masam dengan pH 4,0 – 5, 5 sehingga tanah dengan pH 6,0 – 6,5 sering dikatakan cukup netral meskipun sebenarnya masih agak masam. Pada umumnya tanah gambut tropis bereaksi masam, dengan pH berkisar 3,0 – 4,5. Gambut dangkal mempunyai pH 4,5 – 5,1 lebih tinggi jika dibandingkan dengan gambut dalam yang mempunyai pH sekitar 3,1 – 3,9. Hasil pengukuran pH di laboratorium biasanya lebih rendah 1-3 unit jika dibandingkan dengan hasil pengukuran lapangan. Hal ini disebabkan karena adanya oksidasi pirit dan terbentuknya asam-asam organik selama proses pemindahan dari lapangan ke laboratorium (Anonim, 1978). 2.2.2. Kandungan Nitrogen, Fosfor dan Kalium (N, P, K) Nitrogen, fosfor, dan kalium merupakan unsur-unsur makro yang esensial bagi tanaman. Unsur-unsur ini dibutuhkan dalam jumlah yang relatif banyak dibandingkan unsur-unsur lainnya, sehingga ketersediaannya di dalam tanah sangat penting. Unsur nitrogen di dalam tanah dapat berada dalam bentuk gas (N2, N2O, dan NH3), ion (NO3 dan NH4), bentuk organik (Urea (CO(NH2)2), protein dan humus. Leiwakabessy (1996) menjelaskan bahwa nitrogen yang tercuci di dalam tanah mempunyai peranan penting dalam bidang pertanian dan lingkungan.
8
Banyaknya N yang tercuci akan sangat tergantung dari iklim terutama curah hujan, tekstur dan tingkat kemiringan tanah serta pengelolaan lahan. Fosfor dalam tanah terbagi atas dua jenis yaitu P-organik dan P-anorganik, bentuk fosfor dalam tanah berada dalam bentuk : P yang terlarut dalam air tanah, P dalam bentuk yang dijerap oleh liat (bentuk retensi P), P dalam bentuk terfiksasi dan terimmobilisasi, dan P dalam bentuk bahan organik. Kelarutan P dalam tanah ditentukan oleh pH, saat pH masam Al-P dan Fe-P sangat stabil dan pada pH tinggi Ca-P sangat stabil (Leiwakabessy, 1996). Pada tanah gambut, ketiga unsur ini sangat sedikit tersedia untuk tanaman. Kandungan N total termasuk tinggi, namun umumnya tidak tersedia bagi tanaman, oleh karena rasio C/N yang tinggi. Ketersediaan sejumlah unsur hara P dan K yang rendah, unsur hara makro fospat berada dalam jumlah yang rendah karena gambut sulit mengikat unsur ini sehingga mudah tercuci (Wahyunto et al., 2005). Rachim (1996) menjelaskan pada tanah gambut, N tersedia kurang dari 3% dan selebihnya terdapat dalam bentuk bahan organik yang kompleks. Umumnya kandungan N-total tanah organik lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Sebagian besar N-total tanah ada dalam bentuk senyawa organik dan setelah mengalami proses aminisasi, amonifikasi, atau nitrifikasi, terbentuk senyawa NH4N dan NO3-N yang tersedia bagi tanaman. 2.2.3. Kandungan Basa-Basa (Ca, Mg, Na) Kalsium didalam tanah dapat berasal dari mineral-mineral primer seperti mineral plagioklas, karbonat (CaCO3 dan CaMg(CO3)2), dan garam-garam sederhana. Umumnya kalsium diambil tanaman dalam bentuk Ca++, sedangkan magnesium didalam tanah berasal dari mineral kelam (biotit, augit, horenblende, amfibol), garam (MgSO4), dan kapur (CaMg(CO3)2). Magnesium juga diserap tanaman dalam bentuk Mg++ (Hardjowigeno, 1987). Kandungan basa-basa (Ca, Mg, Na) di dalam tanah gambut terdapat dalam jumlah sedikit, dengan semakin tebal gambut, kandungan abu (ash) semakin rendah, kandungan Ca dan Mg menurun dan reaksi tanahnya menjadi lebih masam (Leiwakabessy dan Wahyudin , 1979).
9
Menurut Wahyunto et al. (2005) kadar Na, Cl dan sulfat sangat dipengaruhi oleh jarak dari laut, pengaruh pasang surut, dan terdapatnya bahan sulfidik (pirit) pada lapisan marin atau lapisan bawah gambut. 2.2.4. Kapasitas Tukar Kation (KTK) Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan salah satu sifat kimia tanah yang penting. Tan (1991) mendefinisikan KTK sebagai kapasitas tanah untuk menjerap dan mempertukarkan kation. KTK biasanya dinyatakan dalam miliekuivalen per 100 gram. Akan tetapi, kadang-kadang bagian survei tanah departemen pertanian AS menggunakan satuan miliekuivalen per 100 gram liat. Tan (1991) juga menjelaskan jerapan dan pertukaran kation memegang peranan yang sangat penting dalam penyerapan hara oleh tanaman, kesuburan tanah, retensi hara dan pemupukan. Kation yang terjerap umumnya tersedia bagi tanaman melalui pertukaran dengan ion H+ yang dihasilkan oleh respirasi akar tanaman. Hara yang ditambahkan kedalam tanah dalam bentuk pupuk akan ditahan oleh permukaan koloid dan untuk sementara waktu terhindar dari pencucian. Kation-kation yang dapat mencemari air tanah dapat tersaring oleh kegiatan jerapan koloid tanah. Tanah gambut memiliki KTK yang tinggi, KTK ini akan semakin meningkat sesuai dengan meningkatnya kandungan bahan organik. Di beberapa tempat adanya intrusi garam dapat meningkatkan nilai KTK, kenaikan ini kemungkinan disebabkan karena adanya kenaikan pH (Anonim, 1984). 2.2.5. Kejenuhan Basa (KB) Tan (1991) menjelaskan terdapat korelasi positif antara persen (%) kejenuhan basa (KB) dan pH tanah. Umumnya, terlihat bahwa KB tinggi jika pH tanah tinggi, oleh karena itu tanah-tanah daerah iklim kering (arid) biasanya mempunyai KB yang lebih tinggi daripada tanah-tanah di daerah iklim basah. KB yang rendah berarti terdapat banyak ion H+. Kejenuhan Basa (KB) sering dianggap sebagai salah satu petunjuk tingkat kesuburan tanah. Kemudahan pelepasan kation terjerap untuk tanaman tergantung pada tingkat KB. Suatu tanah dianggap sangat subur jika KB ≥ 80%, berkesuburan sedang jika KB berada antara 80% - 50% dan tidak subur jika KB ≤
10
50%. Suatu tanah dengan KB 80% akan melepaskan basa-basa yang dapat dipertukarkan lebih mudah daripada tanah yang sama dengan KB 50% (Tan, 1991). Tanah gambut memiliki KB rendah. KB yang rendah karena jumlah kation basanya rendah. KB yang rendah menyebabkan pH rendah dan sejumlah pupuk yang diberikan ke dalam tanah sulit diambil oleh tanaman (Anonim, 1984). 2.3. Sifat Biologi Tanah Populasi mikrob tanah terdiri atas lima kelompok utama, yaitu: bakteri, aktinomisetes, fungi, algae, dan protozoa. Jumlah total mikrob yang terdapat dalam tanah dapat digunakan sebagai indeks kesuburan (fertility index). Populasi mikrob yang tinggi menggambarkan adanya suplai makanan dan energi yang cukup pada tanah tersebut ( Rao, 1982). Menurut Killham (1995) faktor-faktor yang mempengaruhi populasi mikrob tanah di alam antara lain kandungan mineral tanah (bahan anorganik), kandungan bahan organik tanah, struktur tanah, kandungan air dan water stress, atmosfer tanah, redoks, derajat kemasaman (pH), suhu dan cahaya. 2.3.1. Bakteri Bakteri merupakan mikrob prokariotik (tidak memiliki membran inti sel) dan mempunyai dinding sel yang tersusun atas peptidoglikan. Bakteri berkembang biak dengan membelah diri (pembelahan biner). Ukuran bakteri berkisar antara 12 µm dengan diameter 0,5-1 µm. Bakteri tanah menempati pori mikro ( < 10 µm) hal ini disebabkan kelembaban pada pori mikro lebih terjaga dan memberikan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan bakteri. Selain itu, pada pori mikro bakteri akan lebih terlindungi dari serangan protozoa (Killham. 1995). Alexander (1977) menjelaskan faktor lingkungan yang mempengaruhi keanekaragaman bakteri dalam tanah antara lain: kelembaban, aerasi, suhu, bahan organik, derajat kemasaman (pH), dan suplai hara. Sebagaian bakteri dapat tetap bertahan hidup pada kondisi ekstrim dengan membentuk endospora. Ali (2007) menyatakan sebagian besar bakteri tanah merupakan khemoheterotropik yang tergantung pada karbon-organik dan bersifat nonfoto-sintetik, berperan besar dalam siklus energi dan hara.
11
2.3.2. Fungi Fungi termasuk mikrob eukariotik yang berfilamen. Filamen ini merupakan jalinan dari hifa yang bergabung satu sama lain. Diameter hifa berkisar antara 2-10 µm. Tanah yang subur biasanya mengandung 10-100 meter filamen fungi yang aktif per gram tanah. Secara metabolik, fungi tergolong heterotrof dan mendapatkan energi dari oksidasi senyawa-senyawa organik (Killham, 1995). Faktor yang mempengaruhi jumlah fungi dalam tanah antara lain: kadar bahan organik, konsentrasi ion hidrogen (pH), pemupukan, regim kelembaban, aerasi, suhu, dan komposisi vegetasi. Fungi mampu berkembang pada kisaran pH yang lebar, dari pH sangat masam (pH <3) sampai alkalin (pH >9). Keberadaan fungi yang dominan pada tanah-tanah masam disebabkan oleh toleransi fungi yang lebih tinggi terhadap kemasaman dibandingkan bakteri dan aktinomisetes. Oleh karena itu proses dekomposisi material pada tanah-tanah masam lebih didominasi oleh aktifitas fungi. Sebagian besar fungi tergolong mesofilik dengan kisaran suhu optimum 25-35 ºC. Fungi yang umum terdapat dalam tanah antara lain berasal dari genus penicelium, trichoderma, aspergillus, fusarium dan mucor (Alexander, 1977). 2.4. Bahan Amelioran Rachim (1996) menjelaskan bahan amelioran adalah bahan-bahan yang diperlukan dalam jumlah banyak untuk memperbaiki sifat-sifat kimia tanah. Bahan ini umumnya harus diberikan dahulu sebelum usaha pemupukan dilakukan. Pada tanah-tanah yang memiliki kandungan Al dapat dipertukarkan tinggi, kadar pirit tinggi ataupun kadar Na tinggi, maka usaha peningkatan produktifitas didahului dengan penambahan kapur, bahan organik, terak baja, abu volkan, zeolit, bahan tanah mineral, dan sebagainya. Melalui penambahan bahan-bahan ini, masalah kimia tanah dapat diperkecil sehingga efisiensi pupuk akan meningkat. Bahan amelioran yang baik bagi tanah gambut memiliki kriteria: memiliki Kejenuhan Basa (KB) tinggi, mampu meningkatkan derajat pH secara nyata, mampu memperbaiki struktur tanah, memiliki kandungan unsur hara yang banyak
12
atau lengkap sehingga juga berfungsi sebagai pupuk, dan mampu mengusir senyawa beracun, terutama asam-asam organik. Meskipun tidak ada amelioran yang memenuhi seluruh kriteria tersebut, tetapi beberapa diantaranya mendekati kriteria tersebut (Rachim, 1996). Selain itu Wahyunto (2005) menerangkan amelioran dapat berupa bahan organik atau anorganik. Beberapa bahan amelioran yang sering digunakan di tanah gambut, antara lain: berbagai jenis kapur (dolomit, batu fosfat, kapur pertanian), tanah mineral, lumpur, pupuk kompos/bokasi, pupuk kandang dan abu. Masing-masing amelioran tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga penggunaan lebih dari satu jenis akan memberikan hasil yang lebih baik. Selain masalah kualitas bahan, faktor ketersediaan bahan dan biaya pengadaannya menjadi hal penting yang harus ikut dipertimbangkan. 2.5. Sludge Industri Kertas Pada proses pembuatan kertas, biasanya akan menghasilkan zat pencemar/limbah. Zat pencemar/limbah dari proses pembuatan kertas dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu : (1) Efluen limbah cair, limbah ini terdiri dari padatan tersuspensi; senyawa organik koloid; limbah cair berwarna pekat; bahan organik terlarut; limbah panas; dan mikroorganisme golongan bakteri coliform. (2) Partikulat, limbah ini terdiri dari abu dari pembakaran kayu bakar dan partikulat zat kimia terutama yang mengandung Na dan Ca. (3) Gas, limbah ini terdiri dari gas sulfur; oksida sulfur; dan uap. (4) Solid Waste, limbah ini terdiri dari sludge dari pengolahan limbah primer dan sekunder dan limbah padat (http :// www.edf.or) Menurut Supriyanto (2001) secara umum dapat dikatakan bahwa sludge merupakan limbah yang mengandung mikroorganisme yang bekerja untuk mengurai komponen organik dalam sistem pengolahan air limbah. Sludge akan selalu diproduksi sebagai hasil dari pertumbuhan bakteri/ mikroorganisme pengurai selama proses berlangsung. Jumlah sludge akan selalu meningkat sejalan dengan peningkatan beban cemaran yang terolah. Supriyanto (2001) juga menjelaskan kandungan utama dari sludge adalah pulp dan CaCO3. Pulp adalah serat selulosa yang dihasilkan dari proses penghilangan lignin pada tanaman tertentu. Serat selulosa adalah bahan organik
13
yang dapat mempengaruhi sifat-sifat tanah. Sifat fisika tanah yang dapat diperbaiki antara lain kapasitas untuk menahan air (WHC) dan merubah warna tanah menjadi coklat-kehitaman sehingga dapat menaikkan temperatur tanah dan menstimulasi pengumpulan butiran-butiran. Sedangkan untuk sifat kimia tanah antara lain dapat menaikan daya absorpsi dan kemampuan pertukaran kation, meningkatkan jumlah kation yang dipertukarkan, dan mengikat mineral N, P, S serta mencegah terjadinya pelepasan mineral tersebut. Untuk sifat biologi tanah antara lain meningkatkan jumlah dan aktivitas metabolisme organisme tanah yang berperan dalam proses dekomposisi bahan organik. Karena sifat-sifat sludge industri kertas tersebut maka diharapkan aplikasi penambahan sludge industri kertas dapat memperbaiki sifat-sifat tanah gambut.
III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan September 2008 sampai dengan bulan April 2009. Penelitian dilakukan di Rumah Kaca Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. Analisis biologi tanah dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanah dan analisis kimia dilakukan di Laboratorim Kimia dan Kesuburan Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. 3.2. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah gambut Kalimantan (GK1) dan Riau (GR1), sludge, aquades, alkohol, nutrient agar, martin agar, ammonium acetat, H3BO4 4%, H2SO4 pekat, 0,1 N larutan Bray1, NaOH 50% dan HCl 25%, pereaksi nessler, indikator conway, paraffin cair, asam borat dan lain-lain. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah autoklaf, shaker, cawan petri, pipet, timbangan analitik, tabung reaksi, gelas piala, labu takar laminar flow, spektofotometer, ASS, sentrifuse, polibag dan lain-lain. 3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Analisis Pendahuluan Sebelum mengadakan perlakuan di rumah kaca, dianalisis terlebih dahulu sifat biologi dan kimia contoh tanah gambut dan bahan-bahan amelioran seperti kompos sludge TEL yang selanjutnya disebut kompos sludge A, sludge IKPP yang selanjutnya disebut sludge B dan kompos sludge IKPP yang selanjutnya disebut kompos sludge B, kompos komersial yang dibeli di toko pupuk dan contoh tanah Latosol Dramaga. Analisis kimia meliputi N-total, P-tersedia, K, Basa-basa, pH, KTK, dan KB, sedangkan analisis biologi meliputi total mikrob dan total fungi. Contoh tanah dan bahan-bahan amelioran diambil sesuai kebutuhan, dikering udarakan dan disaring lalu dianalisis. 3.3.1.1. Penetapan N-total, P-tersedia dan pH a. Penetapan N-total Sebanyak 500 mg tanah (lolos saringan 0,5 mm) dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 25 ml. Setelah itu ditambahkan 1,9 g Se, CuSO4 dan Na2SO4, 5 ml
15
H2SO4 pekat dan 5 tetes parafin cair ke dalam labu, kemudian panasi labu di kamar asap dengan api kecil hingga diperoleh cairan bewarna terang (hijau biru) lalu ditambahkan aquades kira-kira 50 ml dan 5 ml NaOH 50% dan lakukan destilasi, kemudian hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi campuran 10 ml H3BO4 4% dan 5 tetes indikator conway. Terakhir titrasi destilasi dengan HCl 0,01 N sampai terjadi perubahan warna dari hijau ke merah. b. Penetapan P-tersedia Persiapkan larutan P-A (campuran 1,11 g NH4F dan 4,16 ml HCl 6 N per liter), kemudian larutan P-B (campuran larutan 3,8 g NH4 molibdat dalam 300 ml H2O dan 5 g H3BO4 dalam 500 ml H2O yang ditambahkan 75 ml HCl pekat) dan larutan P-C. Setelah semua larutan siap, sebanyak 1,5 g tanah (lolos saringan 0.5 mm) dimasukkan dalam labu ekstraksi lalu ditambahkan 15 ml larutan P-A dan kocok selama 15 menit, lalu disaring. Pipet 5 ml hasil saringan kedalam tabung reaksi dan ditambahkan 5 ml larutan P-B dan 5 tetes larutan P-C, lalu kocok hingga 15 menit, lalu diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 660 µm. c. Penetapan pH Sebanyak 10 g tanah (lolos saringan 0,5 mm) dimasukkan ke dalam botol kocok, lalu ditambahkan 50 ml H2O dan dikocok selama 30 menit di atas shaker, kemudian diamkan selama 5 menit lalu diukur menggunakan pH-meter. 3.3.1.2. Penetapan KTK, K dan Basa-Basa a. Penetapan KTK Sebanyak 5 gr tanah (lolos saringan 0,5 mm) dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse lalu tambahkan 20 ml larutan NH4OAc pH 7 dan kocok dengan ultrasoma (biarkan selama satu malam), kemudian kocok kembali dan sentrifuse selama 10 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Hasil ekstrak NH4OAc didekantasi, disaring lewat saringan dan filtrat ditampung dalam labu takar 100 ml (ekstrak ini digunakan untuk penetapan K dan basa-basa), kemudian tambahkan 20 ml alkohol 80% lalu aduk sampai merata, sentrifuse, dekantasi dan filtratnya dibuang. Setelah itu dipindahkan kedalam labu didih dan ditambahkan air kira-kira 500 ml, beberapa butir batu didih, 5 tetes parafin cair dan 20 ml NaOH 50%, kemudian
16
destilasi. Hasil destilat ditampung dalam erlenmeyer 250 ml yang berisi H2SO4 0,1 N dan 5 tetes indikator conway, kemudian setelah destilat mencapai 150 ml titrasi dengan NaOH 0,1 N hingga berubah warna menjadi hijau. b. Penetapan K dan Basa-Basa (Ca,Mg,Na) Diambil secukupnya ekstrak NH4OAc dari penetapan KTK lalu ditetapkan kandungan unsur Ca dan Mg dengan alat AAS, dan unsur K dan Na dengan alat flamephotometer. 3.3.1.3. Penetapan Total Mikrob dan Total Fungi Isolasi total mikrob dan total fungi menggunakan metode cawan tuang (Anas, 1989) dengan media NA untuk total mikrob dan MA untuk total fungi. Ada tiga tahapan yang dilakukan, yaitu : a. Penyiapan media Media NA yang digunakan utuk total mikrob adalah media NA yang siap pakai (oxoid). Komposisi yang digunakan adalah 28 gram media untuk 1 liter air. Setelah diambil 28 gram selajutnya dicampur aquades sampai volume 1 liter kemudian di sterilkan dalam otoklaf dengan suhu 121ºC tekanan 1 atmosfir selama 15 menit. Sedangkan untuk total fungi, komposisi media martin agar dapat dilihat pada tabel lampiran 2. Setelah semua bahan diambil selanjutnya dicampur aquades sampai volume 1 liter kemudian di sterilkan dalam otoklaf dengan suhu 121ºC tekanan 1 atmosfir selama 15 menit. b. Penyiapan seri pengenceran Terlebih dahulu disiapkan larutan fisiologis dengan konsentrasi 0,85% steril untuk pengenceran contoh tanah. Setelah larutan steril dingin, dimasukkan 10 gram cotoh tanah (BKM) kedalam 90 ml larutan sehingga didapat pengenceran 10-1. Dari pengenceran 10-1 diambil 1 ml larutan dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan fisiologis steril sehingga didapatkan pengenceran 10-2. Pengenceran dilakukan sampai pada pengenceran 10-6. c. Isolasi dan penghitungan total mikrob dan total fungi Untuk total mikrob diambil 1 ml dari seri pengenceran 10-5 dan 10-6, sedangkan untuk total fungi diambil 1 ml dari seri pengenceran 10-3 dan 10-4 dan
17
selanjutnya dituangkan ke dalam cawan petri. Kemudian dituangi masing-masing media, untuk meratakan maka cawan digoyang searah putaran jarum jam. Kemudian cawan di inkubasi pada suhu 27 ºC, setiap hari ke-3 dan ke-5 diamati jumlah populasi dari masing-masing cawan. Setelah 5 hari pengamatan dihentikan. 3.3.2. Uji Ameliorasi Setelah dua minggu, diadakan perlakuan tanah gambut di rumah kaca. Tahapan perlakuan pada tanah gambut adalah : contoh tanah dibersihkan dari sisasisa perakaran dan disaring dengan saringan berukuran 0,5 dan 0,1 cm. Selanjutnya contoh tanah dimasukkan kedalam polibag berukuran 15 x 15 cm dan dicampur dengan bahan-bahan amelioran dengan menggunakan perbandingan volume per volume (Tabel 2). Tabel 2. Perlakuan Tanah Gambut Terhadap Pemberian Bahan Amelioran KODE Gambut Kalimantan 1 (GK 1) Gambut Kalimantan 2 (GK 2) Gambut Kalimantan 3 (GK 3) Gambut Kalimantan 4 (GK 4) Gambut Kalimantan 5 (GK 5) Gambut Kalimantan 6 (GK 6) Gambut Kalimantan 7 (GK 7) Gambut Kalimantan 8 (GK 8) Gambut Kalimantan 9 (GK 9) Gambut Kalimantan 10 (GK 10) Gambut Riau 1 (GR 1) Gambut Riau 2 (GR 2) Gambut Riau 3 (GR 3) Gambut Riau 4 (GR 4) Gambut Riau 5 (GR 5) Gambut Riau 6 (GR 6) Gambut Riau 7 (GR 7) Gambut Riau 8 (GR 8) Gambut Riau 9 (GR 9) Gambut Riau 10 (GR 10)
PERLAKUAN Kontrol Penambahan Sludge B (50% v/v) Penambahan Sludge B (25% v/v) Penambahan Kompos Komersial (50% v/v) Penambahan kompos Komersial (25% v/v) Penambahan Kompos Sludge A (50% v/v) Penambahan Kompos Sludge A (25% v/v) Penambahan Kompos Sludge B (50% v/v) Penambahan Kompos Sludge B (25% v/v) Penambahan latosol (50% v/v) Kontrol Penambahan Sludge B (50% v/v) Penambahan Sludge B (25% v/v) Penambahan Kompos Komersial (50% v/v) Penambahan kompos Komersial (25% v/v) Penambahan Kompos Sludge A (50% v/v) Penambahan Kompos Sludge A (25% v/v) Penambahan Kompos Sludge B (50% v/v) Penambahan Kompos Sludge B (25% v/v) Penambahan latosol (50% v/v)
18
Dengan demikian, uji ini akan menghasilkan 20 satuan percobaan dengan tiga kali ulangan untuk masing-masing kode. Selanjutnya penyiraman dilakukan setiap tiga hari sekali untuk memelihara kadar air tanah. Pada hari ke-1, 6, 11, dan 16 dilakukan pengambilan contoh tanah untuk dianalisis sifat biologi dan kimia. 3.3.3. Analisis Data Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal. Data hasil pengamatan dianalisis dengan uji F( analisis ragam). Jika taraf berbeda nyata, dilanjutkan dengan analisis wilayah berganda dari Duncan pada taraf α 5%.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Hasil 4.1.1. Karakteristik Tanah Gambut Hasil analisis kimia dan biologi kedua sampel tanah dapat dilihat pada Tabel dibawah ini. Tabel 3 Sifat kimia dan biologi tanah gambut Kalimantan Parameter
Satuan
Nilai
Kriteria (PPT 1983)
4,6
Masam
pH H2O N-total
%
0,03
Sangat Rendah
KB
%
8,03
Sangat Rendah
P-bray 1
Ppm
87,27
Sangat Tinggi
K
me/100g
1,063
Sangat Tinggi
KTK
me/100g
80,4
Sangat Tinggi
Ca
me/100g
1,7
Sangat Rendah
Mg
me/100g
2,63
Tinggi
Na
me/100g
1,07
Sangat Tinggi
Total Fungi
SPK/gram BKM
3
Total Mikrob
SPK/gram BKM
11,27 x 10
0,89 x 105
SPK : satuan pembentuk koloni, BKM : Berat Kering Mutlak
Tabel 4 Sifat kimia dan biologi tanah gambut Riau Parameter
Satuan
pH H2O
Nilai
Kriteria (PPT 1983)
4,3
Sangat Masam
N-total
%
0,04
Sangat Rendah
KB
%
7,13
Sangat Rendah
P-bray 1
Ppm
23,63
Sedang
K
me/100g
0,231
Rendah
KTK
me/100g
38
Tinggi
Ca
me/100g
0,91
Sangat Rendah
Mg
me/100g
1,48
Sedang
Na
me/100g
0,09
Sangat Rendah
Total Fungi
SPK/gram BKM
3,89 x 103
Total Mikrob
SPK/gram BKM
15,94 x 105
20
Pada tanah gambut Kalimantan tingkat kesuburan tanah tergolong sedang, dimana pH tanah tergolong masam (4,6) dengan N-total (0,03%) dan KB (8,03 %) yang sangat rendah sedangkan KTK, unsur P dan K tergolong sangat tinggi. Ketersediaan basa-basa pada tanah gambut Kalimantan sangat beragam, ketersediaan Ca berkisar pada kriteria sangat rendah (1,7 me/100g) menurut kriteria PPT (1983), Mg menunjukkan pada kisaran tinggi (2,63 me/100g ), sedangkan untuk unsur Na sangat tinggi (1,07 me/100g). Hasil analisis biologi menunjukkan populasi mikroba pada tanah gambut Kalimantan sebesar 8,9 x 104 SPK/gram BKM, sedangkan fungi 1,13 x 104 SPK/gram BKM. Tingkat kesuburan tanah gambut Riau tergolong rendah, dimana pH tanah tergolong sangat masam (4,3) dengan N-total (0,04%) dan KB (7,13 %) yang sangat rendah, sedangkan KTK (38 me/100g) tergolong tinggi. Unsur P pada tanah ini berkisar pada kriteria sedang (23,63 me/100g) dan unsur K rendah (0,231 me/100g). Ketersediaan basa-basa pada tanah gambut Kalimantan sangat beragam, ketersediaan Ca berkisar pada kriteria sangat rendah (0,91 me/100g), Mg menunjukan pada kisaran sedang (1,48 me/100g ) sedangkan untuk unsur Na sangat rendah (0,09 me/100g). Hasil analisis biologi menunjukan populasi mikroba pada tanah gambut Riau sebesar 159,4 x 104 SPK/gram BKM sedangkan fungi 0,389 x 104 SPK/gram BKM. Hasil analisis beberapa sifat kimia dan biologi pada kedua jenis tanah gambut
menunjukkan
perbedaan
kandungan
unsur-unsur
hara
dan
mikroorganisme di antara keduanya. Hal ini mungkin disebabkan oleh pengaruh ilkim kedua tempat yang berbeda, proses pembentukan dan kandungan bahan induk masing-masing sampel tanah. Menurut Noor (2001) gambut di wilayah tropik, seperti Indonesia umumnya terbentuk pada ekosistem hutan rawa marin atau payau. Ekosistem ini dipengaruhi oleh pasang-surut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagian gambut dikenal dengan gambut ombrogen yang wilayahnya berada lebih tinggi daripada muka air sungai atau muka air tanah sehingga masukan hara hanya mengandalkan air hujan dan hasil perombakan bahan organik. Menurut Anderson (1976) dalam Noor (2001), tanah gambut Kalimantan lebih subur daripada tanah gambut Sumatera karena tumbuhan (flora) yang berada dikawasan gambut
21
Kalimantan lebih subur dan rimbun dibandingkan dengan yang ada di Sumatera, sehingga sumber unsur hara dan bahan organik di Kalimantan lebih banyak daripada di Riau. 4.1.2. Karakteristik Bahan Amelioran Hasil analisis sifat kimia dan biologi bahan amelioran yang digunakan sebagai perlakuan disajikan pada Tabel 3, dimana semua jenis bahan amelioran memiliki sifat kimia yang berbeda-beda satu sama lain. Kompos komersial memiliki pH agak masam 6,4 , sementara itu nilai N, KTK, K dan P tergolong kriteria sangat tinggi yaitu masing-masing 1,4 %, 47 me/100g, 18,297 me/100g, dan 45,45 ppm, sedangkan KB tergolong sedang (52,61%). Untuk ketersediaan basa-basa sangat beragam, dimana Ca masuk dalam kriteria sedang (5,85 me/100g), Mg rendah (0,5 me/100g) dan Na sangat rendah (0,09 me/100g). Sementara itu Latosol memiliki pH masam (5,3), N sangat rendah (0,09 %), KTK dan P sedang yaitu 22,8 me/100g dan 21,8 ppm sedangkan K tergolong pada kriteria rendah (0,295 me/100g). Untuk ketersediaan basa berkisar antara sedang sampai sangat rendah yaitu masing-masing Ca 1,46 me/100g, Mg 1,03 me/100g dan Na 0,09 me/100g. Bahan-bahan amelioran yang berasal dari limbah sludge, baik berupa sludge maupun kompos sludge ternyata memiliki sifat kimia yang beragam pula. Hal ini disebabkan karna proses dekomposisi bahan-bahan organik yang terjadi pada masing-masing limbah berbeda satu sama lain. Sifat kimia yang paling baik ditunjukan oleh kompos sludge B, dimana pada limbah ini memiliki pH yang netral (7), KTK dan K tergolong kriteria sangat tinggi yaitu 112 me/100g dan 4,899 me/100g, N tergolong tinggi (0,6%) sedangkan unsur P sedang (21,81 ppm). Ketersedian basa-basa untuk jenis limbah ini menunjukan nilai dari tinggi hingga sangat tinggi yaitu masing-masing Ca 41,8 me/100g, Mg 4,9 me/100g dan Na 7,07 me/100g. Untuk kompos sludge A memiliki pH tanah yang masam (5), KTK, K dan KB tergolong sedang yaitu masing-masing 23 me/100g, 36,36 me/100g, 37,43% dan N (0,88%) dan P (36,36 ppm) yang sangat tinggi. Ketersedian basa-basa sangat beragam, dimana Ca tergolong sangat rendah (0,45 me/100g), Mg sedang (1,98 me/100g) dan Na sangat tinggi (5,76 me/100g). Sludge B yang belum
22
terdekomposisi secara sempurna memiliki pH tanah yang agak masam (5,8) kandungan unsur N (0,56%) dan P (27,27 ppm) yang tinggi, KTK, KB dan K tergolong kriteria sedang yaitu masing-masing 32,6 me/100g, 24,78 %, 0,487 me/100g dan kandungan basa-basa yang sangat beragam dari sangat rendah hingga sangat tinggi (Ca 1,84 me/100g, Mg 2,83me/100g dan Na 2,92 me/100g). Tabel 5 Sifat kimia dan biologi bahan-bahan amelioran Kompos Parameter
Satuan
komersial
PH H2O
Latosol
Kompos
Kompos
Sludge A
Sludge B
Sludge B
6,4
5,3
5
7
5,3
N-total
%
1,4
0,09
0,88
0,6
0,56
KB
%
52,61
12,58
37,43
18,79
24,78
P-bray 1
Ppm
94,54
21,8
36,36
21,81
27,27
K
me/100g
18.297
0.295
0.423
4.899
0.487
KTK
me/100g
47
22.8
23
112
32.6
Ca
me/100g
5.85
1.46
0.45
41.8
1.84
Mg
me/100g
0.5
1.03
1.98
4.9
2.83
Na
me/100g
0.09
0.09
5.76
7.07
2.92
Total
SPK/gram
1.53
1.21
4.55
2.18
44.29
Fungi
BKM
x 103
x 103
x 103
x 103
x103
Total
SPK/gram
7.25
13.52
7.15 x
8.51
126.45
Mikrob
BKM
x 10 5
x 10 5
10 5
x10 5
x 10 5
4.1.3. Perubahan Sifat Kimia Tanah Gambut Setelah Penambahan Bahan Amelioran Perlakuan pemberian bahan-bahan amelioran menghasilkan pengaruh yang berbeda-beda terhadap tanah gambut, baik terhadap ketersedian unsur-unsur hara makro (N, P, K), basa-basa, pH, KTK, maupun KB. Analisis data sifat-sifat kimia tanah gambut dilakukan secara analisis deskriptif karena tidak dilakukan pengulangan data hasil penelitian. Secara umum pemberian bahan-bahan amelioran
dengan berbagai perlakuan memberikan kecendrungan untuk
memperbaiki sifat-sifat kimia tanah gambut yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman.
23
4.1.3.1. Perubahan Nilai pH Secara umum penambahan bahan bahan-bahan bahan amelioran meningkatkan pH tanah dibandingkan kontrol ontrol pada hari ke ke-16. Hal ini bisa dilihat pada Gambar 3 (Data Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 9).
7 6
pH
5 4 3 2 1
G.R 9
G.R 10
G.R 8
G.K 1 G.K 2 G.K 3 G.K 4 G.K 5 G.K 6 G.K 7 G.K 8 G.K 9 G.K 10 G.R 1 G.R 2 G.R 3 G.R 4 G.R 5 G.R 6 G.R 7
0
Perlakuan
Gambar 1
Pengaruh garuh pemberian bahan amelioran terhadap pH tanah gambut Kalimantan dan Riau pada hari ke ke-16 setelah aplikasii ( : Gambut Kalimantan ; : Gambut Riau).
4.1.3.2.Ketersediaan N N-total Secara umum penambahan enambahan bahan-bahan bahan bahan amelioran mampu meningkatkan ketersediaan N-total total didalam tanah (Tabel 6). Pada hari ke-6 6 sampai hari ke-11 ke semua perlakuan bahann amelioran meningkatkan ketersedian N-total total didalam tanah dibandingkan hari ri ke ke-0, tetapi menurun pada hari ke-16.
24
Tabel 6 Pengaruh pemberian bahan-bahan amelioran terhadap N-total (%) pada tanah gambut Kalimantan dan Riau Perlakuan
Hari ke-1
Hari ke-6
Hari ke-11
Hari ke-16
Kriteria
GK 1
0.25
0.51
0.52
0.45
Tinggi
GK 4
0.3
0.59
0.8
0.46
Tinggi
GK 5
0.34
0.66
0.15
0.5
Tinggi
GK 6
0.27
0.8
0.81
0.48
Tinggi
GK 3
0.28
0.33
0.5
0.43
Sedang
GK 7
0.32
0.69
0.6
0.43
Sedang
GK 2
0.19
0.59
0.5
0.25
Rendah
GK 8
0.11
0.22
0.03
0.18
Rendah
GK 9
0.22
0.33
0.41
0.28
Rendah
GK 10
0.18
0.29
0.25
0.28
Rendah
GR 1
0,71
0,76
1,04
1,15
Tinggi
GR 2
0,29
1,61
0,98
1,12
Tinggi
GR 3
0,35
0,88
1,27
1,22
Tinggi
GR 4
0,36
0,91
1,09
1,02
Tinggi
GR 5
0,34
1,06
1,23
0,80
Sedang
GR 6
0,47
1,17
1,43
1,01
Sedang
GR 7
0,59
1,24
1,23
1,01
Sedang
GR 8
0,22
0,33
0,22
0,27
Rendah
GR 9
0,46
0,51
0,42
0,45
Rendah
GR 10
0,31
0,33
0,31
0,34
Rendah
4.1.3.3. Ketersediaan P-tersedia Perbedaan jenis bahan amelioran dengan dosis yang berbeda-beda memberikan kecenderungan meningkatkan ketersedian fosfor dibandingkan kontrol didalam tanah (Gambar 1). Untuk tanah gambut Kalimantan, perlakuan yang memberikan peningkatan P-tersedia paling besar adalah sludge B (25%), kompos komersial (50%) dan kompos komersial (25%), sedangkan untuk tanah gambut Riau perlakuan yang memberikan peningkatan P-tersedia paling besar adalah kompos komersial (50%), kompos komersial (25%) dan kompos sludge B (25%) (data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 7 ).
25
P (ppm)
800 700
GK 1
600
GK 3
500
GK 4
400
GK 5 GR 1
300
GR 4
200
GR 5
100
GR 9
0 1
2
3
4
Pengamatan ke-
Gambar 2 Perlakuan amelioran yang memberikan pengaruh paling baik terhadap P-tersedia (ppm) pada tanah gambut Kalimantan dan Riau. 4.1.3.4. Ketersedian Kalium Kalium di dalam tanah tanah merupakan unsur yang mudah tercuci, dengan penambahan bahan-bahan amelioran diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan kalium di dalam tanah. Pengaruh penambahan bahan-bahan amelioran pada hari ke-11 dapat dilihat pada gambar 3 (data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 8).
26
K (me/100 gr)
10 8 6 4 2
G.R 10
G.R 9
G.R 8
G.R 6
G.R 7
G.K 1 G.K 2 G.K 3 G.K 4 G.K 5 G.K 6 G.K 7 G.K 8 G.K 9 G.K 10 G.R 1 G.R 2 G.R 3 G.R 4 G.R 5
0
Perlakuan
Gambar 3 Pengaruh pemberian bahan amelioran terhadap ketersediaan K tanah gambut Kalimantan dan Riau pada hari ke ke-11 11 setelah apli aplikasi ( : Gambut Kalimantan ; : Gambut Riau). 4.1.3.5. Perubahan Nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) Secara umum penambahan bahan amelioran dapat meningkatkan KTK tanah (Gambar 4 dan 55). Diharapkan dengan meningkatnya ngkatnya KTK tanah, tanah dapat menjerap kation--kation didalam tanah sehingga ketersedian etersedian unsur hara meningkat (data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 10).
KTK (me/100)
140
G.K 1
120
G.K 2
100
G.K 3 G.K 4
80
G.K 5
60
G.K 6
40
G.K 7
20
G.K 8
0
G.K 9 Hari ke-1
Hari ke-6
Hari ke-11
Hari ke-16
G.K 10
Gambar 4 Pengaruh pemberian bahan amelioran terhadap ketersediaan KTK (me/100g) tanah gambut Kalimantan.
27
140 120
G.R 1 G.R 2
KTK (me/100)
100
G.R 3 80
G.R 4 G.R 5
60
G.R 6 G.R 7
40
G.R 8 G.R 9
20
G.R 10 0 Hari ke-1
Hari ke-6
Hari ke-11
Hari ke-16
Gambar 5 Pengaruh pemberian bahan amelioran terhadap ketersediaan KTK (me/100g) tanah gambut Riau. 4.1.3.6. Ketersediaan Basa-Basa (Ca, Mg, Na) Ketersedian basa-basa merupakan salah satu hal yang penting didalam kesuburan tanah, dengan meningkatnya basa-basa didalam tanah diharapkan dapat menyuburkan tanah. Secara umum penambahan bahan amelioran dapat meningkatkan ketersediaan basa-basa didalam tanah (Tabel 6). Pada tanah gambut Kalimantan, perlakuan sludge B (50%), kompos komersial (50%) dan kompos sludge B (50%) memberikan pengaruh terbesar terhadap ketersediaan Na, kompos sludge A (50%), kompos sludge B (50%) dan kompos sludge B (25%) memberikan pengaruh terbesar terhadap ketersediaan Ca, dan sludge B (25%), kompos komersial (50%), dan kompos sludge B (25%) memberikan pengaruh terbesar terhadap ketersediaan Mg.
28
Tabel 7 Pengaruh pemberian bahan-bahan amelioran terhadap basa-basa (me/100g) pada tanah gambut Kalimantan dan Riau pada hari ke-1 dan ke-16 Perlakuan
Na
Ca
Mg
………………………(me/100g) G.K 1
0.31
0.31
0.45
0.56
1.28
2.75
G.K 2
3.8
5.65
1.52
4.66
1.37
1.85
G.K 3
3.8
2.38
3.85
1.16
4.95
8
G.K 4
4.89
4.89
3.44
4.58
9.83
5.65
G.K 5
1.62
2.38
15.28
3.01
2.88
4.18
G.K 6
1.83
1.83
17.26
29.7
3.73
3.63
G.K 7
0.75
0.96
5.85
14.77
2.7
1.96
G.K 8
5.87
4.56
29.8
33.4
5.35
5.2
G.K 9
3.9
4.12
26.5
25.7
5.5
6.16
G.K 10
0.53
0.09
0.75
0.57
1.6
1.1
G.R 1
0.2
0.75
2.52
2.2
3.2
3.28
G.R 2
2.92
5.87
3.57
4.8
2.43
3.95
G.R 3
1.62
2.67
3.66
3.41
2.93
4.05
G.R 4
3.8
4.67
7.14
9.73
7.66
8.33
G.R 5
4.02
2.49
1.99
5.83
5.1
5.83
G.R 6
1.29
2.67
20.4
33.3
2.4
4.46
G.R 7
1.18
1.51
11.92
17.03
2.95
4.53
G.R 8
3.8
7.29
22.8
39.6
3.7
6.5
G.R 9
3.8
6.09
23.7
37
5, .43
7
G.R 10
0.42
0.09
2.34
2.84
1.95
1.8
Sedangkan untuk tanah gambut Riau perlakuan yang memberikan pengaruh paling nyata terhadap ketersediaan Na adalah sludge B (50%), kompos sludge B (50%) dan kompos sludge B (25%), untuk Ca adalah kompos sludge A (50%), kompos sludge B (50%) dan kompos sludge B (25%), dan untuk Mg adalah kompos komersial (50%), kompos sludge B (50%) dan kompos sludge B (25%).
29
40 35
Ca (me/100gr)
30 25 20 Hari ke-0
15
Hari ke-16
10 5
G.K 1 G.K 2 G.K 3 G.K 4 G.K 5 G.K 6 G.K 7 G.K 8 G.K 9 G.K 10 G.R 1 G.R 2 G.R 3 G.R 4 G.R 5 G.R 6 G.R 7 G.R 8 G.R 9 G.R 10
0
Perlakuan
Gambar 6
Pengaruh pemberian bahan amelioran terhadap ketersediaan Ca (me/100g me/100g) tanah anah gambut Kalimantan dan Riau pada hari ke-16 ke setelah aplikasi.
10 9 8
Mg (me/100gr
7 6 5 Hari ke-0 ke
4
Hari ke-16 ke
3 2 1
G.K 1 G.K 2 G.K 3 G.K 4 G.K 5 G.K 6 G.K 7 G.K 8 G.K 9 G.K 10 G.R 1 G.R 2 G.R 3 G.R 4 G.R 5 G.R 6 G.R 7 G.R 8 G.R 9 G.R 10
0
Perlakuan
Gambar 7
Pengaruh pemberian bahan amelioran terhadap ketersediaan Mg (me/100g) tanah gambut Kalimantan dan Riau pada hari ke-16 setelah aplikasi.
30
8 7
Na (me/100gr)
6 5 4 Hari ke-0
3
Hari ke-16
2 1
G.K 1 G.K 2 G.K 3 G.K 4 G.K 5 G.K 6 G.K 7 G.K 8 G.K 9 G.K 10 G.R 1 G.R 2 G.R 3 G.R 4 G.R 5 G.R 6 G.R 7 G.R 8 G.R 9 G.R 10
0
Perlakuan
Gambar 8
Pengaruh pemberian bahan amelioran terhadap ketersediaan Na (me/100g) tanah gambut Kalimantan dan Riau pada hari ke-16 ke setelah aplikasi aplikasi.
4.1.3.7. Perubahan Nilai Kejenuhan Basa (KB) Secara
umum
penambahan
bahan-bahan bahan bahan
amelioran
memiliki
kecendrungan meningkatkan ingkatkan KB ttanah dibandingkan kontrol. Hal ini bisa dilihat pada Tabel 8 dibawah ini. Tabel 8 Pengaruh pemberian bahan-bahan bahan amelioran terhadap KB (%) pada tanah gambut Kalimantan dan Riau Perlakuan
Hari ke-1
Hari ke-6
Hari ke-11
Hari ke-16 ke
G.K 1
2.73
2.88
3.62
4.65
G.K 2
9.53
11.37
13.58
15.31
G.K 3
20.3
5.54
7.84
7.77
G.K 4
37.37
42.44
52.59
24.16
G.K 5
29.86
17.92
27.92
18.81
G.K 6
30.58
33.18
58.8
38.32
G.K 7
9.33
13.74
20.59
17.08
G.K 8
201.93
196.89
171.13
145.68
G.K 9
65.41
67.85
77.52
52.67
31
Lanjutan Tabel 8……… G.K 10
6.52
6.12
6.21
3.3
G.R 1
9.2
7.88
9.28
10.68
G.R 2
16.56
17.51
23.07
13.41
G.R 3
12.17
10.02
15.22
9.23
G.R 4
49.53
54.63
31.67
191.01
G.R 5
19.57
25.77
53.99
53.27
G.R 6
52.15
50.86
85.27
243.35
G.R 7
28.59
27.04
46.03
120.39
G.R 8
183.54
206.56
163.53
210.72
G.R 9
91.3
118.87
117.09
138.53
G.R 10
15.4
12.54
10.3
18.37
4.1.4. Perubahan Sifat Biologi Tanah Gambut Setelah Pemberian Bahan Amelioran. Secara umum perlakuan bahan ameliorasi tanah gambut memiliki kecendrungan meningkatkan populasi mikroorganisme di dalam tanah. Tabel 9 dan Tabel 10 menunjukan bahwa total fungi dan mikrob didalam tanah baik gambut Kalimantan maupun Riau mengalami peningkatan jumlah populasi. Untuk total mikrob pengamatan pada hari ke-1 sampai hari ke-4 masih mengalami peningkatan populasi (Tabel 9), sedangkan untuk total fungi pengamatan pada hari ke-4 mengalami penurunan jumlah populasi (Tabel 10). Tabel 9 Pengaruh bahan amelioran terhadap total fungi (103 SPK/gram BKM) Perlakuan
Hari ke-1
Hari ke-6
Hari ke-11
Hari ke-16
3
………..x 10 SPK/gram BKM G.K 1
12.41 ef
11.59 bc
10.06 cde
20.63 a
G.K 2
44.87 b
69.65 a
48.86 a
18.41 b
G.K 3
38.65 a
38.36 b
35.46 b
13.86 bcd
G.K 4
7.24 fg
7.19 e
14.65 e
7.27 ef
G.K 5
11.37 de
12.56 de
15.85 cd
11.09 cde
G.K 6
5.52 g
9.43 de
7.84 de
3.68 fg
G.K 7
17.91 d
8.39 cd
18.42 b
6.32 de
G.K 8
4.94 g
2.12 e
5.4 de
1.51 g
32
Lanjutan Tabel 9………... G.K 9
12.8 c
16.66 bc
15.33 b
6.03 de
G.K 10
12.02 e
9.61 cd
8.63 c
7.12 bc
G.R 1
1.41 d
3.97 efg
3.98 ef
4.54 b
G.R 2
79.06 a
66.09 b
85.13 a
37.33 a
G.R 3
23.05 b
54.24 a
68.34 a
28.81 a
G.R 4
14.1 c
15.47 c
11.94 b
7.46 b
G.R 5
4.63 d
9.84 d
11.66 bc
6.2 b
G.R 6
1.46 d
8.04 de
8.78 bcd
6.64 b
G.R 7
2.65 d
4.69 efg
6.97 de
9.19 b
G.R 8
0.92 d
1.37 fg
0.68 f
1.98 b
G.R 9
4.24 d
1.25 g
1.33 f
0.47 b
G.R 10
2.31 d
3.82 def
9.2 cde
3.68 b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan taraf α 5%
Tabel 10. Pengaruh bahan amelioran terhadap total mikrob (105 SPK/gram BKM) Perlakuan
Hari ke-1
Hari ke-6
Hari ke-11
Hari ke-16
………..x 105 SPK/gram BKM G.K 1
30.78 bcd
3.56 cd
5.22 e
4.36 de
G.K 2
10.86 f
17.04 bcd
12.03 de
8.85 cd
G.K 3
35.08 bc
5.75 d
7.83 e
5.65 de
G.K 4
12.97 ef
16.92 bc
42.69 c
12.39 b
G.K 5
13.39 def
9.82 bcd
18.17 d
7.72 cd
G.K 6
29.32 b
18.5 b
9.91 de
8.07 bc
G.K 7
65.67 a
5.44 bcd
7.91 de
3.36 de
G.K 8
19.13 cde
26.63 a
28.37 b
30.21 a
G.K 9
10.91 def
33.79 a
39.51 a
33.88 a
G.K 10
15.21 def
2.2 d
3.9 e
1.52 e
G.R 1
1.51 e
1.19 d
10.99 de
4.1 f
G.R 2
59.21 bcde
29.97 bcd
39.47 bc
57.75 b
G.R 3
10.7 de
2d
24.52 cd
10.66 de
G.R 4
37.49 abcd
22.57 b
15.32 d
16.93 c
G.R 5
7.25 e
16.74 bc
15.59 d
13.43 cd
G.R 6
5.349 e
17.15 bc
14.24 d
16.22 c
33
Lanjutan Tabel 10………. G.R 7
51.73 a
7.48 cd
5.95 e
9.6 de
G.R 8
21.63 abc
27.39 a
17.06 ab
37.89 a
G.R 9
35.98 ab
8.26 bcd
23.99 a
28.26 b
G.R 10
10.78 cde
0.65 d
5.13 e
3.83 ef
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan taraf α 5%
34
4.2 Pembahasan Hasil analisis beberapa sifat kimia dan biologi pada kedua jenis tanah gambut menunjukkan bahwa tanah gambut Kalimantan lebih subur bila dibandingkan dengan tanah gambut Riau, dimana gambut Kalimantan memiliki pH, P, K, dan basa-basa yang lebih tinggi dari gambut Riau (Tabel 3). Untuk bahan-bahan amelioran, kompos sludge B memiliki sifat kimia yang paling baik dibandingkan bahan amelioran lainnya yang diikuti oleh kompos komersial (Tabel 5). Penambahan bahan-bahan amelioran ternyata dapat memperbaiki sifatsifat kimia dan biologi tanah gambut. Dari analisis pendahuluan (Tabel 4) diketahui baik tanah gambut Kalimantan maupun tanah gambut Riau masingmasing berada pada kondisi masam dan sangat masam. Kondisi tanah gambut yang masam ini disebabkan akibat akumulasi bahan organik dan tanah dalam lingkungan anaerob sehingga banyak terbentuk asam-asam organik (senyawa fenolat dan karboksilat) dan akibatnya kemasaman tanah gambut meningkat (Madjid ,2009). Perlakuan kompos sludge, baik kompos sludge B maupun kompos sludge A ternyata dapat meningkatkan pH tanah gambut Kalimantan hingga di atas 5, sedangkan pada tanah gambut Riau perlakuan ini dapat meningkatkan pH hingga di atas 6 (Gambar 3). Peningkatan pH ini dipengaruhi oleh tingginya kandungan kalsium dan magnesium dalam bahan amelioran (Gambar 6 dan 7). Basa-basa tersebut akan membentuk ikatan koordinasi dengan ligan organik membentuk senyawa kompleks dengan reaksi sbb : 2R-OH + Ca2+
2R-Ca + 2OH-
2R-OH + Mg2+
2R-Mg + 2OH-
Berbeda dengan basa-basa monovalen (natrium dan kalium) kalsium dan magnesium merupakan kation divalen yang mampu melepaskan 2OH-, sedangkan kation monovalen hanya melepaskan OH-, sehingga jumlah ion OH- meningkat dan pH tanah meningkat (Madjid ,2009). Peningkatan pH ini akan mengakibatkan meningkatnya ketersediaan unsur hara makro (N-total,P-tersedia,K) di mana kompos sludge selain meningkatkan pH paling baik diantara bahan amelioran lain, juga merupakan bahan amelioran
35
yang paling baik untuk meningkatkan ketersedian unsur hara makro. Menurut Soepardi (1983) kemasaman tanah mempengaruhi serapan unsur hara dan pertumbuhan tanaman melalui pengaruh langsung ion hidrogen dan pengaruh tidak langsung terhadap ketersediaan unsur hara dan unsur-unsur yang beracun. Keadaan tanah dengan reaksi sedang (5,5-6,5) merupakan suasana rata-rata yang baik bagi tanaman, karena keadaan kimia maupun biologi berada pada titik optimum, nilai kisaran pH tersebut juga ditunjukkan pada perlakuan kompos sludge yang menaikan pH hingga 6,6. Pada tanah gambut Kalimantan, perlakuan bahan-bahan amelioran yang memberikan pengaruh terbesar terhadap ketersediaan unsur N adalah perlakuan penambahan kompos sludge A dosis 50%, yang meningkatkan N-total tanah hingga 0.81% pada hari ke-11 dibandingkan kontrol (Tabel 6). Sejalan dengan tanah gambut Kalimantan, pada tanah gambut Riau perlakuan yang memberikan pengaruh terbesar terhadap ketersediaan N adalah penambahan kompos sludge A dosis 50% yang meningkatkan N-total tanah hingga 1,43% pada hari ke-11 (Tabel 5). Pada tanah gambut Riau yang diberi perlakuan kontrol, ketersedian N terus meningkat terhadap perubahan waktu (Tabel 5), hal ini mungkin disebabkan karena tingginya tingkat dekomposisi yang dilakukan oleh mikroorganisme. Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa total fungi pada tanah gambut Riau kontrol meningkat seiring waktu dan mencapai puncak pada hari ke-11 sebanyak 8,78 x 103 SPK/gram BKM. Menurut Hardjowigeno (2003) proses awal dekomposisi bahan organik biasanya didominasi oleh cendawan/fungi. Pada penelitian ini tingginya tingkat ketersedian unsur N (Tabel 5) sebanding dengan total fungi dan bakteri didalam tanah gambut (Tabel 8). Karena mikrob didalam tanah melakukan dekomposisi bahan organik dan mineralisasi (aminisasi, amonifikasi, dan nitrifikasi). Penurunan jumlah nitrogen total pada beberapa perlakuan pada hari ke-11 mungkin disebabkan karena terjadinya denitrifikasi di mana nitrat yang terbentuk direduksi menjadi gas oksida nitrus (NO2). Perbedaan jenis bahan amelioran dan dosis yang berbeda-beda memberikan kecendrungan peningkatan ketersediaan fospat (Gambar 1). Peningkatan tersebut terjadi karena pengaruh dekomposisi bahan organik dan
36
kemungkinan adanya aktivitas mikroorgnisme pelarut fospat baik fungi maupun bakteri. Menurut Stevenson (1982) dalam Ali (2007) karena menghasilkan asamasam organik hasil dekomposisi, bahan organik mampu melarutkan P dan unsur lain dari pengikatnya, menghasilkan peningkatan ketersediaan dan efisiensi pemupukan P dan hara lainnya. Perlakuan Sludge B (25%) pada tanah gambut Kalimantan ternyata memberikan nilai tertinggi terhadap ketersedian unsur P sebesar 698,4 ppm (Gambar 1), sedangkan pada tanah gambut Riau perlakuan penambahan kompos sludge B dosis 25% memberikan nilai tertinggi terhadap ketersedian unsur P tanah sebesar 345,2 ppm (Gambar 1). Pada tanah gambut Kalimantan hal ini mungkin disebabkan Sludge B memiliki jumlah populasi total mikrob tinggi sehingga aktif melakukan dekomposisi dan meningkatkan ketersediaan P (Tabel 5). Pada tanah gambut Riau peningkatan ini mungkin disebabkan karena kompos sludge B memiliki pH yang tinggi (Tabel 4) sehingga ketersediaan unsur P juga tinggi. Pada penelitian ini tanah yang diberi perlakuan sebagian mengalami kenaikan dan penurunan jumlah kandungan unsur fosfor. Pada beberapa perlakuan bahan amelioran, terjadi penurunan kandungan P-tersedia dibandingkan pengamatan awal yaitu perlakuan kompos komersial (50%), kompos sludge B (25%) dan Latosol (50%) (Tabel Lampiran 9). Hal ini disebabkan meningkatnya jumlah populasi mikroba (Tabel 10) menyebabkan unsur P-tersedia menjadi berkurang akibat unsur tersebut digunakan oleh mikroorganisme (Tabel 10). Menurut Alexander (1977) bahan organik merupakan sumber beberapa unsur hara (N, P, K) yang sangat berperan, baik dalam sintesis sel-sel baru maupun untuk kelangsungan proses fisiologis sel mikroorganisme. Biomassa mikroba dapat mempengaruhi ketersediaan fosfat melalui immobilisasi, yaitu pengikatan ion ortofosfat menjadi bentuk organik yang terikat dalam organisme. Misalnya ortofosfat bereaksi dengan ADP (Adenosine diphosphate) dan masukan energi yang sesuai untuk membentuk ATP (Madjid ,2009). Unsur kalium juga merupakan salah satu unsur yang dibutuhkan dalam jumlah banyak oleh tanaman. Unsur ini berperan berbeda dibandingkan N dan P. Selain berfungsi sebagai penyusun komponen tanaman, seperti protoplasma, lemak dan selulosa, terutama berfungsi dalam pengaturan mekanisme (bersifat
37
katalitik atau katalisator) seperti fotosintesis, translokasi karbohidrat, sintesis protein dll (Ali, 2007). Pada tanah gambut Kalimantan dan gambut Riau, perlakuan kompos komersial dosis 50% dan 25% memberikan nilai ketersedian kalium paling besar yaitu 6,3 me/100gr dan 3,74 me/100gr untuk gambut Kalimantan, 5,538 me/100gr dan 3,108 me/100gr untuk gambut Riau diikuti oleh kompos sludge B dosis 25% dan 50% (Gambar 2). Hal ini disebabkan karena sejak awal kandungan kalium didalam kompos komersial sudah tinggi (Tabel 4). Perlakuan
penambahan
tanah
mineral
(Latosol)
ternyata
tidak
memperbaiki ketersedian unsur kalium tanah gambut, baik pada tanah gambut Kalimantan
maupun Riau dimana ketersedian unsur kalium menurun
dibandingkan hari pertama (Gambar 2). Hal ini mungkin disebabkan karena sejumlah besar dari unsur kalium hilang oleh pencucian, tanpa adanya suatu mekanisme pengembalian ke tanah yang efektif. Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah. Tanah dengan KTK tinggi bila didominasi oleh kation basa, Ca, Mg, K, Na (Kejenuhan Basa tinggi) dapat meningkatkan kesuburan tanah, tetapi bila didominasi oleh kation asam, Al, H (Kejenuhan Basa rendah) dapat mengurangi kesuburan tanah (Hardjowigeno, 2003). Untuk KTK tanah gambut, perlakuan kompos sludge A ternyata memberikan pengaruh yang nyata terhadap kenaikan KTK tanah gambut Kalimantan. Perlakuan kompos sludge A dosis 25% dan 50% meningkatkan KTK tanah gambut Kalimantan hingga diatas 95 me/100gr, sedangkan perlakuan sludge B meningkatkan kenaikan KTK tanah gambut Riau. Perlakuan sludge B dosis 25% dan 50% meningkatkan KTK tanah Riau hingga diatas 115 me/100gr (Gambar 4). Peningkatan KTK terjadi karena dekomposisi bahan organik sehingga menyumbangkan muatan negatif. Buckman dan Brady (1960) dalam Maulana (2005) menegaskan bahwa bahan organik dapat menyumbangkan KTK tanah melalui penambahan gugus fenol serta melalui substitusi hidrogen, sisa koloid
38
organik dan inorganik berionisasi sehingga terbentuk muatan negatif yang efektif menjadi tapak pertukaran. Peningkatan KTK ini juga dipengaruhi oleh meningkatnya pH tanah. Dengan meningkatnya pH tanah, hidrogen yang diikat oleh koloid organik dan liat berionisasi dan dapat digantikan, seiring dengan perubahan tersebut maka KTK tanah juga meningkat (Tan, 1991). Kandungan basa-basa tanah gambut secara umum mengalami peningkatan terhadap perlakuan. Untuk unsur Ca, perlakuan penambahan kompos sludge B dosis 50% dan 25% pada tanah gambut Kalimantan dan Riau ternyata meningkatkan ketersedian unsur Ca paling tinggi dibandingkan perlakuan lain dan kontrol. Penambahan kompos sludge B bisa meningkatkan ketersedian Ca hingga 33,4 me/100 gr pada tanah gambut Kalimantan dan 39,6 me/100 gr pada tanah gambut Riau dengan
dosis 50% dan 25,7 me/100 gr pada tanah gambut
Kalimantan dan 37 me/100 gr pada tanah gambut Riau dengan dosis 25% bila dibandingkan dengan kontrol yang hanya 0,56 me/100 gr pada tanah gambut Kalimantan dan 2,2 me/100 gr pada tanah gambut Riau (Gambar 5). Sedangkan untuk perlakuan tanah mineral (Latosol) ternyata tidak meningkatkan ketersediaan unsur kalsium. Kenaikan ketersedian Ca terjadi karena dekomposisi dan adanya humus sebagai hasil dari dekomposisi bahan organik tersebut. Menurut Soepardi (1983) ada satu sifat yang khas dari humus yaitu kemampuan humus bila dijenuhi H+ dapat menaikan jumlah unsur hara tersedia, seperti kalsium, kalium, dan magnesium. Humus jenuh dengan H+ mempunyai kemampuan menukar basa yang sangat kuat. Begitu basa itu bereaksi dengan humus maka basa-basa tersebut diikat dengan kekuatan yang sedang dan menjadi lebih tersedia bagi tanaman dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Perlakuan sludge B (25%) ternyata mampu meningkatkan ketersediaan unsur Mg paling tinggi pada tanah gambut Kalimantan dan kompos komersial dosis 50% mampu meningkatkan ketersedian unsur Mg paling tinggi pada gambut Riau. Pada tanah gambut Kalimantan pemberian sludge B (25%) meningkatkan ketersedian unsur Mg hingga 8 me/100 gr dan pemberian kompos komersial dosis 50% hingga 8,33 me/100 gr pada gambut Riau, diikuti oleh perlakuan kompos sludge B dosis 25% yang mampu meningkatkan ketersedian unsur Mg
39
sebesar 6,16 me/100 gr pada gambut Kalimantan dan 7 me/100 gr pada gambut Riau bila dibandingkan dengan kontrol yang hanya memberikan ketersedian unsur Mg sebesar 1,96 me/100 gr pada gambut Kalimantan dan 3,28 me/100 gr pada gambut Riau (Gambar 6). Kenaikan unsur Mg ini disebabkan bahan organik yang terkandung dalam bahan amelioran Pada pengamatan hari ke-1 dan ke-6 terjadi penurunan magnesium (Gambar 6), penurunan ini terjadi karena adanya pelapukan dari bahan induk tidak sebanding dengan pencucian yang terjadi, sehingga ion magnesium yang terbentuk akan hilang terbawa air siraman walaupun kehilangan unsur ini tidak terlalu banyak. Pada perlakuan menggunakan kompos komersial, ketersediaan magnesium juga menurun tetapi jumlah unsur magnesium masih tergolong pada kriteria yang mencukupi bagi pertumbuhan tanaman (nilai magnesium lebih dari 8 me/100 gr.) menurut kriteria Pusat Penelitian Tanah (1983). Pada tanah gambut Kalimantan, ketersedian unsur Na meningkat paling tinggi pada perlakuan sludge B dosis 50% hingga 5,65 me/100 gr diikuti oleh kompos komersial dosis 50% sebesar 4,89 me/100 gr. Sedangkan penambahan kompos sludge B baik dosis 50% maupun 25% juga mampu meningkatkan ketersediaan unsur Na hingga diatas 4 me/100 gr. Sedangkan pada gambut Riau perlakuan kompos sludge B ternyata mampu memberikan ketersediaan unsur Na paling tinggi dibandingkan perlakuan lain dan kontrol. Perlakuan dengan dosis 50% mampu meningkatkan ketersedian unsur Na hingga 7,29 me/100 gr dan dosis 25% mampu meningkatkan ketersediaan unsur Na hingga 6,09 me/100 gr (Gambar 7). Natrium merupakan bahan pereaksi utama pembuatan pulp yang digunakan dalam kustik soda. Senyawa ini digunakan dalam proses delegnifikasi untuk membebaskan selulosa dari bahan-bahan lain sehingga natrium dapat dijumpai dalam jumlah yang relatif tinggi. Pengaruh kustik soda yang berupa gabungan NOH dan NCO3, dalam tanah senyawa tersebut akan terhidrolisis menghsilkan ion Na dan OH, OH yang dihasilkan akan meningkatkan pH tanah, sedangkan Na akan menjenuhi kompleks jerapan (Casey, 1952 dalam Maulana, 2005). Hal ini menjelaskan mengapa terjadi kenaikan unsur natrium.
40
Tingginya kandungan basa-basa di dalam tanah gambut akibat perlakuan bahan-bahan amelioran mengakibatkan tingginya KB tanah gambut, perlakuan kompos sludge B dosis 50% mampu meningkatkan kejenuhan Basa hingga 145,68 % pada tanah gambut Kalimantan dan 210,7% pada tanah gambut Riau (Tabel 7). Pada tanah gambut Kalimantan dan Riau, perlakuan sludge B dosis 50% dan 25% ternyata meningkatkan jumlah total fungi paling tinggi dibandingkan perlakuan lainnya dan kontrol. Pada tanah gambut Kalimantan jumlah total fungi meningkat hingga 48,86 x103 SPK/gram BKM pada dosis 50% dan 35,46 x103 SPK/gram BKM pada dosis 25% sedangkan kontrol hanya mampu meningkatkan hingga 10,06 x103 SPK/gram BKM. Sedangkan pada tanah gambut Riau jumlah total fungi meningkat hingga 85,13 x103 SPK/gram BKM pada dosis 50% dan 68,34 x103 SPK/gram BKM pada dosis 25% sedangkan kontrol hanya mampu meningkatkan hingga 3,98 x103 SPK/gram BKM pada hari ke-11, selanjutnya jumlah total fungi menurun pada hari-hari berikutnya (Tabel 8), hal ini diperkirakan karena bahan organik yang terkandung didalam sludge B telah habis sehingga populasi fungi menurun. Perlakuan kompos sludge B dosis 50% dan 25% ternyata meningkatkan jumlah total mikrob paling tinggi dibandingkan perlakuan lain dan kontrol baik pada gambut Kalimantan, dosis 50% meningkatkan jumlah total mikrob hingga 30,21 x105 SPK/gram BKM dan 33,88 x105 SPK/gram BKM pada dosis 25% sedangkan kontrol hanya 4,36 x105 SPK/gram BKM pada hari ke-16. pada gambut Riau, perlakuan sludge B dosis 50% meningkatkan jumlah total mikrob paling tinggi sebesar 57,75 x105 SPK/gram BKM diikuti oleh kompos sludge B dosis 50% dan 25% sebesar 37, 89 x105 SPK/gram BKM dan 28,26 x105 SPK/gram BKM (Tabel 9). Perlakuan penambahan sludge B mampu meningkatan total mikroba paling tinggi dibandingkan bahan-bahan yang lain, hal ini dikarenakan sludge B merupakan bahan segar yang masih banyak mengandung bahan organik yang merupakan bahan makanan utama bagi mikroba didalam tanah. Hal ini bisa dilihat dari jumlah total fungi dan mikrob dari sludge B yang mencapai 4,429 x 103 dan 126,45 x 105 sebelum perlakuan, sehingga dengan menambahkan sludge B
41
didalam tanah dapat meningkatkan dekomposisi bahan organik didalam tanah dan meningkatkan total mikroba didalam tanah. Menurut Anas (1989) Jumlah total mikroba didalam tanah digunakan sebagai penciri (deskriptif) kesuburan tanah tanpa mempertimbangkan hal-hal lain, karena pada tanah subur jumlah mikrobianya tinggi. Populasi yang tinggi menggambarkan adanya suplai makanan atau energi yang cukup dan ditambah temperatur yang sesuai, ketersedian air cukup dan kondisi ekologi lain yang mendukung.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Sludge industri kertas dapat dimanfaatkan sebagai bahan amelioran untuk memperbaiki sifat-sifat kimia dan biologi tanah gambut. Kompos Sludge dengan dosis 50% dapat meningkatkan ketersedian unsur hara makro paling baik yaitu N (0.81%) , P (143,5 ppm) dan K (4,26 me/100gr) ; meningkatkan pH hingga 6, KTK 95 me/100gr dan KB 145,68 % pada tanah gambut Kalimantan dengan waktu inkubasi 16 hari, kecendrungan serupa juga terjadi pada tanah gambut Riau.
Diantara bahan-bahan amelioran, kompos sludge dosis 50% merupakan bahan amelioran yang paling baik dibandingkan bahan amelioran lainnya (kompos komersial dan Latosol) dalam memperbaiki sifat-sifat kimia dan biologi tanah gambut. Sedangkan perlakuan bahan amelioran tanah mineral (Latosol) memberikan peningkatan relatif paling rendah terhadap sifat kimia dan biologi tanah gambut. 5.2. Saran Perlu dilakukan penelitian penanaman untuk mengetahui pengaruh sludge industri kertas dalam meningkatkan sifat-sifat kimia dan biologi tanah gambut dan pengaruhnya terhadap produktivitas khususnya untuk tanaman kehutanan.
DAFTAR PUSTAKA Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology, 2nd. John Wiley and Sons. New York. Ali, H K. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Husada. Jakarta Anas, I. 1986. Penuntun Praktikum Biologi Tanah. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Andriesse, J. P. 1988. Nature and management of tropical peat soils. FAO Soils Bulletin 59. Food and Agriculture Organisation of The United Nations. Rome. ……… 2008. http://www.edf.org diakses November 2008 Anonim. 1978. Direktorat Jenderal Pengairan, Dept. Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik. Soil surveys and soil mapping of Mesuji Area, Sub P4S Jambi. Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut P4S. Anonim. 1984. Direktorat Jenderal Pengairan, Dept. Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik. Survei dan pemetaan tanah daerah Sibumbung, Sub P4S Sumatera Selatan. Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut P4S. Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Killham, K. 1995. Soil Ecology. Cambridge University Press. Cambridge. Tan, K. H. 1991. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Famulya, dan Suratman Wonoprojo. 1983. Pengantar Geografi Tanah. Erlangga. Yogyakarta. Leiwakabessy, F.M, dan U.M. Wahyudin. 1979. Ketebalan Gambut dan Produksi Padi. Makalah A3. Third Symp on Tidal Swamp Land Development Aspects; Palembang, Februari 5 – 10, 1979. Leiwakabessy F.M, U.M Wahjudin, dan Suwarno. 2003. Diktat Kuliah Kesuburan Tanah. Departemen Tanah, Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Madjid, A. R. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online untuk mata kuliah: (1) Dasar-Dasar Ilmu Tanah, (2) Kesuburan Tanah, dan (3) Pengelolaan Kesuburan Tanah Lanjut. Fakultas Pertanian Unsri & Program Pascasarjana Unsri. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.
44
Maulana, R. 2005. Perbaikan Kualitas Lahan Bekas Tambang Batubara Dengan Limbah Industri Kertas. (skripsi). Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Moore, W.G. 1979. A Dictionary of Geography. Penguin Books. New York. Najiyati S, Lili Muslihat, dan I Nyoman N Suryadiputra. 2005. Panduan pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut, Potensi dan Kendala. Kanisius. Yogyakarta. Notohadiprawiro, T. 1986. Pencirian Gambut di Indonesia untuk Inventarisasi. Ghalia Indonesia. Jakarta. Rachim, A. 1996. Diktat Pembinaan Uji Tanah dan Analisis Tanaman dalam Pelatihan Pembinaan Uji Tanah dan Analisis Tanaman. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Radjaguguk, B. 2003. Perspektif Permasalahan dan Konsepsi Pengelolaan Lahan Gambut Tropika untuk Pertanian berkelanjutan dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar. UGM. Yogyakarta. Rao, N.S. 1982. Biofertilizers in Agriculture. Mohan Primiani Oxford&IBH Publishing Co. New Delhi. Sabiham, S. 1996. Diktat Sifat-Sifat Tanah dan Tingkah Laku Hara Dalam Tanah. dalam Pelatihan Pembinaan Uji Tanah dan Analisis Tanaman. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soekardi, M. dan A. Hidayat. 1988. Extent and Distribution of Peats Soils of Indonesia. Paper presented at the Third Meeting of the Cooperative for Research on Problem Soils, August, 22-27. 1988. Bogor, Indonesia. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu Tanah. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Subagyo H, N Suharta, dan AB Siswanto. 2000. Tanah-tanah pertanian di Indonesia (h. 21-65) dalam Abdurachman A. (ed.). Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor. Supriyanto, A. 2001. Aplikasi Wastewater Sludge untuk Proses Pengomposan Serbuk Gergaji. http:// sinergyforum.net/ zoa/ paper/ html/ paperAgusSupriyanto.htm (diakses 28 agustus 2009)
45
Wahyunto S. Ritung, Suparto, dan H Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Widyati E. 2006. Bioremediasi Tanah Bekas Tambang Batubara dengan Sludge Industri Kertas Untuk Memacu Revegetasi Lahan (disertasi). Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Whitten, D.G.A, and J.R.V. Brooks. 1978. The Penguin Dictionary of Geology. Penguin Books. New York.
LAMPIRAN
47
Tabel Lampiran 1 Kriteria berdasarkan penilaian sifat-sifat kimia tanah (Pusat Penelitian Tanah, 1983) Sifat Tanah C (%) N (%) C/N P bray (ppm) KTK (me/100g) K-dd (me/100g) Na-dd (me/100g) Mg-dd (me/100g) Ca-dd (me/100g) KB (%) Kejenuhan Al (%)
PH H2O
Sangat Masam < 4.5
Sangat Rendah <1.00 <0.10 <5 <10 <5 <0.20 <0.10 <0.40 <2 <20 <10
Masam 4.5 - 5.5
Rendah
Sedang
Tinggi
1.00 - 2.00 0.10 - 0.20 5 - 10 10 - 15 5 - 16 0.20 – 0.30 0.10 – 0.30 0.40 – 1.00 2-5 20 - 35 10 - 20
2.01 - 3.00 0.21 - 0.50 11 - 15 16 - 25 17 - 24 0.40 – 0.50 0.40 – 0.70 1.10 – 2.00 6 - 10 36 - 60 21 - 30
3.01 - 5.00 0.51 - 0.75 16 – 25 26 – 35 25 – 40 0.60 – 1.00 0.80 – 1.00 2.10 – 8.00 11 – 20 61 – 75 31 – 60
Agak Masam 5.6 - 6.5
Netral 6.6 - 7.5
Agak Alkalis 7.6 - 8.5
Alkalis > 8.5
Tabel Lampiran 2 Komposisi media untuk penetapan total fungi tanah Bahan KH2PO4 MgSO4.7H2O Pepton Dektrose Agar Rose Bengal
gram/ liter 1 0.05 5 10 20 Secukupnya
Sangat Tinggi >5.00 >0.75 >25 >35 >40 >1.00 >1.00 >8.00 >20 >75 >60
48
Tabel Lampiran 3 Hasil analisis varian total fungi pada tanah gambut Kalimantan
Hari ke-0
Hari ke-6
Hari ke-11
Hari ke-16
Deskripsi Perlakuan Ulangan GK Kontrol 2 GK+Sludge B (50%) 2 GK+Sludge B (25%) 2 GK+Kompos Komersial (50%) 2 GK+Kompos Komersial (25%) 2 GK+Kompos Sludge A (50%) 2 GK+Kompos Sludge A (25%) 2 GK+Kompos Sludge B (50%) 2 GK+Kompos Sludge B (25%) 2 GK+Latosol (50%) 2 GK Kontrol 2 GK+Sludge B (50%) 2 GK+Sludge B (25%) 2 GK+Kompos Komersial (50%) 2 GK+Kompos Komersial (25%) 2 GK+Kompos Sludge A (50%) 2 GK+Kompos Sludge A (25%) 2 GK+Kompos Sludge B (50%) 2 GK+Kompos Sludge B (25%) 2 GK+Latosol (50%) 2 GK Kontrol 2 GK+Sludge B (50%) 2 GK+Sludge B (25%) 2 GK+Kompos Komersial (50%) 2 GK+Kompos Komersial (25%) 2 GK+Kompos Sludge A (50%) 2 GK+Kompos Sludge A (25%) 2 GK+Kompos Sludge B (50%) 2 GK+Kompos Sludge B (25%) 2 GK+Latosol (50%) 2 GK Kontrol 2 GK+Sludge B (50%) 2 GK+Sludge B (25%) 2 GK+Kompos Komersial (50%) 2 GK+Kompos Komersial (25%) 2 GK+Kompos Sludge A (50%) 2 GK+Kompos Sludge A (25%) 2 GK+Kompos Sludge B (50%) 2
Rata-Rata 80.40 240.25 266.75 56.00 105.35 45.95 115.85 40.95 171.45 88.30 157.30 313.45 198.55 198.55 82.15 68.95 115.40 24.80 159.70 110.70 73.95 221.50 174.45 50.55 87.45 62.60 177.50 63.75 150.30 102.70 112.75 85.90 68.75 42.15 60.15 26.95 52.65 15.45
Duncan Group e f b a g f e d g d g c e c b a b e e d e d c d e c b c d d c e a b e d e d e b d e b c a b c b d f e c e d f g e d g
49
Lanjutan Tabel 3……………... GK+Kompos Sludge B (25%) GK+Latosol (50%)
2 2
52.65 81.25
e d c b
Anova Total fungi pada gambut Kalimantan
Hari ke-0
Hari ke-6
Hari ke-11
Hari ke-16
Sumber Error Total Sumber Error Total Sumber Error Total Sumber Error Total
Jumlah Kuadrat 114526.5425 1297.195 115823.7375 129700.552 6377.6 136078.152 64257.3125 2268.825 66526.1375 14970.0205 1059.365 16029.3855
Derajat Bebas 9 10 19 9 10 19 9 10 19 9 10 19
Kuadrat Tengah 12725.1714 129.7195
P Nilai P Hitung 98.1 <.0001
14411.1724 637.76
22.6 <.0001
7139.70139 226.8825
31.47 <.0001
1663.33561 105.9365
15.7 <.0001
Tabel lampiran 4 Hasil analisis varian total fungi pada tanah gambut Riau Deskripsi
Hari ke-0
Hari ke-6
Perlakuan GR Kontrol GR+Sludge B (50%) GR+Sludge B (25%) GR+Kompos Komersial (50%) GR+Kompos Komersial (25%) GR+Kompos Sludge A (50%) GR+Kompos Sludge A (25%) GR+Kompos Sludge B (50%) GR+Kompos Sludge B (25%) GR+Latosol (50%) GR Kontrol GR+Sludge B (50%) GR+Sludge B (25%)
Ulangan 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Rata-Rata 9.15 217.80 124.10 81.80 27.95 9.50 16.40 10.20 38.70 20.60 22.15 136.15 250.60
Duncan Group d a b c d d d d d d e f g b a
50
Hari ke-11
Hari ke-16
Lanjutan Tabel 4……………. GR+Kompos Komersial (50%) GR+Kompos Komersial (25%) GR+Kompos Sludge A (50%) GR+Kompos Sludge A (25%) GR+Kompos Sludge B (50%) GR+Kompos Sludge B (25%) GR+Latosol (50%) GR Kontrol GR+Sludge B (50%) GR+Sludge B (25%) GR+Kompos Komersial (50%) GR+Kompos Komersial (25%) GR+Kompos Sludge A (50%) GR+Kompos Sludge A (25%) GR+Kompos Sludge B (50%) GR+Kompos Sludge B (25%) GR+Latosol (50%) GR Kontrol GR+Sludge B (50%) GR+Sludge B (25%) GR+Kompos Komersial (50%) GR+Kompos Komersial (25%) GR+Kompos Sludge A (50%) GR+Kompos Sludge A (25%) GR+Kompos Sludge B (50%) GR+Kompos Sludge B (25%) GR+Latosol (50%)
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
86.00 53.50 47.10 24.60 13.30 9.35 37.20 23.50 315.00 315.90 69.60 67.95 53.10 39.70 7.15 11.05 45.50 23.30 142.20 130.70 39.45 33.75 37.30 48.15 16.65 3.65 34.00
Anova Total fungi pada gambut Riau
Hari ke-0
Hari ke-6
Hari ke-11
Sumber Error Total Sumber Error Total Sumber
Jumlah Kuadrat 83686.542 2813.85 86500.392 100649.1545 1212.355 101861.5095 251429.7145
Derajat Bebas 9 10 19 9 10 19 9
Kuadrat Tengah 9298.50467 281.385
P Nilai P Hitung 33.05 <.0001
11183.2394 121.2355
92.24 <.0001
27936.6349
289.15 <.0001
e e g g e d f
c c b e
c e
c d d f f G f e A A B b d d F F d B A A B B B B B B B
51
Hari ke-16
Error Total Sumber Error Total
966.175 252395.8895 39548.9405 3874.945 43423.8855
10 19 9 10 19
96.6175 4394.32672 387.4945
11.34
0.0004
Tabel lampiran 5 Hasil analisis varian total bakteri pada tanah gambut Kalimantan Deskripsi Ulangan
Hari ke-0
Hari ke-6
Hari ke-11
Perlakuan GK Kontrol GK+Sludge B (50%) GK+Sludge B (25%) GK+Kompos Komersial (50%) GK+Kompos Komersial (25%) GK+Kompos Sludge A (50%) GK+Kompos Sludge A (25%) GK+Kompos Sludge B (50%) GK+Kompos Sludge B (25%) GK+Latosol (50%) GK Kontrol GK+Sludge B (50%) GK+Sludge B (25%) GK+Kompos Komersial (50%) GK+Kompos Komersial (25%) GK+Kompos Sludge A (50%) GK+Kompos Sludge A (25%) GK+Kompos Sludge B (50%) GK+Kompos Sludge B (25%) GK+Latosol (50%) GK Kontrol GK+Sludge B (50%) GK+Sludge B (25%) GK+Kompos Komersial (50%) GK+Kompos Komersial (25%) GK+Kompos Sludge A (50%) GK+Kompos Sludge A (25%) GK+Kompos Sludge B (50%) GK+Kompos Sludge B (25%) GK+Latosol (50%)
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Rata-Rata 199.45 58.15 242.00 100.35 124.05 270.70 424.75 158.45 146.10 111.75 48.35 76.7 29.75 105.4 64.2 135.35 74.8 311.05 323.8 25.3 38.35 54.55 38.50 147.30 100.30 79.15 76.20 335.10 387.40 46.45
Duncan Group c b d f c b f e f e d b a c e d f e d f e d c d c b d d c b c b d b c b d a a d e e d e c d e d e d b a e
52
Hari ke-16
Lanjutan Tabel 5…………. GK Kontrol GK+Sludge B (50%) GK+Sludge B (25%) GK+Kompos Komersial (50%) GK+Kompos Komersial (25%) GK+Kompos Sludge A (50%) GK+Kompos Sludge A (25%) GK+Kompos Sludge B (50%) GK+Kompos Sludge B (25%) GK+Latosol (50%)
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
23.80 41.30 28.05 71.85 41.90 59.00 27.90 308.40 295.65 17.35
e d c d e d b c d c b e d a a e
Anova Total bakteri pada gambut Kalimantan
Hari ke-0
Hari ke-6
Hari ke-11
Hari ke-16
Sumber Error Total Sumber Error Total Sumber Error Total Sumber Error Total
Jumlah Kuadrat 205634.3425 15524.755 221159.0975 215517.922 9131.46 224649.382 288853.002 3786.22 292639.222 226595.552 658.5 227254.052
Derajat Bebas 9 10 19 9 10 19 9 10 19 9 10 19
Kuadrat Tengah 22848.2603 1552.4755
Nilai P 14.72
P Hitung 0.0001
23946.4358 913.146
26.22 <.0001
32094.778 378.622
84.77 <.0001
25177.2836 65.85
382.34 <.0001
Tabel lampiran 6 Output analisis varian total bakteri pada tanah gambut Riau Deskripsi
Hari ke-0
Perlakuan GR Kontrol GR+Sludge B (50%) GR+Sludge B (25%) GR+Kompos Komersial (50%) GR+Kompos Komersial (25%) GR+Kompos Sludge A (50%)
Ulangan 2 2 2 2 2 2
Rata-Rata 9.80 163.10 57.60 217.45 43.80 34.85
Duncan Group e b d e c d e b d a c e e
53
Hari ke-6
Hari ke-11
Hari ke-16
Lanjutan Tabel 6…………. GR+Kompos Sludge A (25%) GR+Kompos Sludge B (50%) GR+Kompos Sludge B (25%) GR+Latosol (50%) GR Kontrol GR+Sludge B (50%) GR+Sludge B (25%) GR+Kompos Komersial (50%) GR+Kompos Komersial (25%) GR+Kompos Sludge A (50%) GR+Kompos Sludge A (25%) GR+Kompos Sludge B (50%) GR+Kompos Sludge B (25%) GR+Latosol (50%) GR Kontrol GR+Sludge B (50%) GR+Sludge B (25%) GR+Kompos Komersial (50%) GR+Kompos Komersial (25%) GR+Kompos Sludge A (50%) GR+Kompos Sludge A (25%) GR+Kompos Sludge B (50%) GR+Kompos Sludge B (25%) GR+Latosol (50%) GR Kontrol GR+Sludge B (50%) GR+Sludge B (25%) GR+Kompos Komersial (50%) GR+Kompos Komersial (25%) GR+Kompos Sludge A (50%) GR+Kompos Sludge A (25%) GR+Kompos Sludge B (50%) GR+Kompos Sludge B (25%) GR+Latosol (50%)
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
342.55 239.00 328.55 96.35 6.65 61.75 9.25 125.50 91.05 100.40 39.75 266.85 61.10 6.30 64.85 146.05 113.35 89.25 90.90 86.15 33.90 180.30 198.90 25.35 21.05 219.95 48.35 89.55 73.05 91.15 51.80 318.50 218.45 35.35
b a b d e c b
c c c c b d b d
b
d d d
f
a c a c d d d b b b d a d d e c c d d d e a a e f b e c c c e a b e
54
Anova Total bakteri pada gambut Kalimantan Jumlah Kuadrat Hari ke-0
Hari ke-6
Hari ke-11
Hari ke-16
Sumber
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
274197.1445
9
30466.3494
Error
51171.465
10
5117.1465
Total
325368.6095
19
Sumber
111101.298
9
12344.5887
Error
10540.99
10
1054.099
Total
121642.288
19
Sumber
60023.15
9
6669.23889
Error
4907.73
10
490.773
Total
64930.88
19
179365.172
9
19929.4636 127.75
Sumber Error
1277.5
10
Total
180642.672
19
Nilai P
P Hitung
5.95
0.005
11.71
0.0003
13.59
0.0002
156
<.0001
55
Gambar Lampiran 1 Hutan alam rawa gambut di Kalimantan Tengah (kiri) dan hutan tanaman pada lahan gambut di Riau (kanan).
Gambar Lampiran 2 Tumpukan sludge hasil industri kertas (foto oleh Enny Widyati, 2009).
Gambar Lampiran 3 Uji amelioran pada tanah gambut.
56
Gambar Lampiran 4 Total Fungi Tanah Pada Pengenceran 10-3 dan 10-4.
Gambar Lampiran 5 Total Mikrob Tanah Pada Pengenceran 10-5 dan 10-6.
57
Tabel Lampiran 7 Hasil analisis unsur fosfor selama 16 hari masa inkubasi
Perlakuan GK Kontrol Sludge B (50%) Sludge B (25%) Kompos (50%) Kompos (25%) Kompos Sludge A (50%) Kompos Sludge A (25%) Kompos Sludge B (50%) Kompos Sludge B (25%) latosol (50%) GR Kontrol Sludge B (50%) Sludge B (25%) Kompos (50%) kompos (25%) Kompos Sludge A (50%) Kompos Sludge A (25%) Kompos Sludge B (50%) Kompos Sludge B (25%) latosol (50%)
Hari ke-1 65.7 55 153.5 169.5 161.5 155.3 113.6 58.8 61.2 69.1 54.1 76.3 67.5 53.7 163.3 162.4 128.7 685 55 69.5
Nilai (me/100gr) Hari ke-6 Hari ke-11 65.02 621 82.04 100 56.76 433.9 103.6 362.9 61.81 141.9 129.52 96.8 102.17 119.4 64.5 129 117.13 337.1 51.08 232.3 63.98 146.8 85.66 75.8 16.36 350 107.27 332.3 110.42 198.4 132.1 67.7 125.9 77.4 67.08 191.9 51.6 274.2 73.27 91.9
Hari ke-16 590.3 133.9 698.4 296.8 448.4 150 119.4 143.5 32.72 137.1 116.1 66.1 93.5 311.3 269.4 71 82.3 221 345.2 127.4
Tabel Lampiran 8 Hasil analisis unsur kalium selama 16 hari masa inkubasi
Perlakuan GK Kontrol Sludge B (50%) Sludge B (25%) Kompos (50%) Kompos (25%) Kompos Sludge A (50%) Kompos Sludge A (25%) Kompos Sludge B (50%) Kompos Sludge B (25%) latosol (50%) GR Kontrol Sludge B (50%)
Hari ke-1 0.71 0.53 3.72 4.87 0.71 0.77 0.44 3.5 3.08 0.66 0.31 0.29
Nilai (me/100gr) Hari ke-6 Hari ke-11 0.9 0.935 1 1.318 0.8 0.935 6 7.201 4.2 4.515 0.8 0.935 0.8 1.19 4 3.62 3.8 3.748 0.4 0.295 0.6 0.807 0.6 0.551
Hari ke-16 0.935 1.638 0.935 6.306 3.748 0.999 0.935 3.748 4.26 0.423 0.999 0.807
58
Lanjutan Tabel 5………… Sludge B (25%) Kompos (50%) kompos (25%) Kompos Sludge A (50%) Kompos Sludge A (25%) Kompos Sludge B (50%) Kompos Sludge B (25%) latosol (50%)
0.33 3.91 4.29 0.38 0.52 2.82 2.63 0.51
0.6 6.3 3.5 1 0.8 3.4 3.4 0.4
0.551 2.341 8.607 1.063 1.063 3.62 4.002 0.423
0.679 5.538 3.108 0.935 1.254 4.771 4.771 0.231
Tabel Lampiran 9 Hasil analisis pH selama 16 hari masa inkubasi Nilai Perlakuan
Hari ke-1
Hari ke-6
Hari ke-11
Hari ke-16
GK Kontrol
2.9
3.7
3.4
3.4
Sludge B (50%) Sludge B (25%) Kompos (50%) Kompos (25%)
3 3.7 3.1 3.5
3.3 3.1 4.3 3.7
3.6 3.3 4.5 3.8
3.8 3.4 4.5 3.9
Kompos Sludge A (50%) Kompos Sludge A (25%) Kompos Sludge B (50%) Kompos Sludge B (25%)
4 3.1 5.8 4.4
4.6 3.8 6 4.3
5 4.2 6.6 5.3
5.1 4.4 6.6 5.1
latosol (50%) GR Kontrol Sludge B (50%) Sludge B (25%)
3.3 3 3.3 3
3.6 3.4 3.4 3
4.1 3.5 4.1 3.6
4.2 3.6 4 3.8
Kompos (50%) kompos (25%) Kompos Sludge A (50%) Kompos Sludge A (25%)
4.2 3.1 4.8 4
4 3.8 5.7 4.2
4.8 3.9 5.9 4.6
4.8 4.1 6.1 4.9
Kompos Sludge B (50%) Kompos Sludge B (25%) latosol (50%)
5.7 5.3 3.8
5.9 5.7 3.8
6.7 6.1 4.4
6.6 5.9 4.4
59
Tabel Lampiran 10 Hasil analisis KTK selama 16 hari masa inkubasi Nilai (me/100gr) Perlakuan GK Kontrol Sludge B (50%) Sludge B (25%) Kompos (50%) Kompos (25%) Kompos Sludge A (50%) Kompos Sludge A (25%) Kompos Sludge B (50%) Kompos Sludge B (25%) latosol (50%) GR Kontrol Sludge B (50%) Sludge B (25%) Kompos (50%) kompos (25%) Kompos Sludge A (50%) Kompos Sludge A (25%) Kompos Sludge B (50%) Kompos Sludge B (25%) latosol (50%)
Hari ke-1 109.02 78.68 81.77 63.41 69.77 78.49 107.02 22.17 59.05 58.43 68.86 56.4 70.86 46.15 81.77 47.24 58.51 17.99 38.77 35
Hari ke-6 115.56 94.85 96.3 64.32 93.03 83.22 108.29 22.89 55.96 50.15 83.22 80.67 97.03 57.78 67.96 52.69 74.5 17.81 35.98 34.52
Hari ke-11 92.8 98 103.6 65.8 64 63.8 96.6 28.2 57.4 59.2 83.6 57.2 77.6 59.2 56.8 59 64.8 26.6 46.4 43
Hari ke-16 81 96 81.4 98.4 78.6 95.8 118.8 32.2 76.4 66.2 67.8 115 117 14.8 32.4 17 20.2 27.6 39.6 27