APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DENGAN CITRA SATELIT QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN MANGROVE DI PULAU KARIMUNJAWA, KABUPATEN JEPARA, JAWA TENGAH
Oleh : Suseno Wangsit Wijaya C06400040
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :
APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DENGAN CITRA SATELIT QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN MANGROVE DI PULAU KARIMUNJAWA, KABUPATEN JEPARA, JAWA TENGAH adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.
Bogor,
November 2005
SUSENO WANGSIT WIJAYA C06400040
RINGKASAN SUSENO WANGSIT WIJAYA. Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra Satelit QuickBird Untuk Pemetaan Mangrove di Pulau Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Dibimbing oleh VINCENTIUS PAULUS SIREGAR dan MUJIZAT KAWAROE. Penelitian ini bertujuan untuk identifikasi mangrove dengan satelit QuickBird di Taman Nasional Karimunjawa. Selain itu juga dilakukan pemetaan ekosistem mangrove dan kajian Indeks Nilai Penting (INP) dari ekosistem mangrove tersebut. Survei lapang dilaksanakan pada 3-12 Juli 2004 di Taman Nasional Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah. Parametar yang diukur meliputi nama spesies dan diameter batang. Pengolahan citra dilakukan di Laboratorium Geomatic and Natural Recources, SEAMEO-BIOTROP, Bogor. Citra Satelit QuickBird yang akan digunakan telah mengalami berbagai tahap pengolahan awal, yaitu : koreksi geometrik, koreksi radiometrik dan penajaman citra menggunakan komposit 423. Setelah itu dilakukan pembuatan training area dan supervised classification dengan metode maximum likelihood. Ketelitian klasifikasi dapat diketahui dengan confusion matrix. Satelit ini mampu membedakan dua genus mangrove yaitu Avicennia dan Rhizophora. Genus lain yang terdapat di Karimunjawa tidak dapat dipisahkan karena luasannya kecil sehingga tidak dapat dibuat daerah latihnya. Untuk kerapatan mangrove ditentukan dengan indeks vegetasi. Citra hasil klasifikasi dari komposit 423 tersebut memiliki overall accuracy sebesar 84,33% dengan koefisien kappa 0,812. Hal ini berarti jumlah total piksel yang terkelaskan dengan benar adalah 84,33% dan proses klasifikasi yang dilakukan memiliki ketepatan 81,20% yang dihasilkan dari klasifikasi acak. Indeks vegetasi yang digunakan adalah yang memiliki koefisien determinasi dan koefisien korelasi tertinggi. Dari indeks vegetasi yang dicobakan, koefisien determinasi terbesar untuk Rhizophora adalah RVI dengan (R2) = 54,02% dan korelasi (r) = 0,73. Untuk Avicennia koefisien determinasi terbesar (R2) = 54,02% dan korelasi (r) = 0,73 dengan TNDVI. Setelah itu dilakukan proses overlay antara citra penutupan lahan dengan citra kerapatan dari indeks vegetasi. Hasil ini memberikan informasi mengenai genus mangrove dan tingkat kerapatannya. Pada hasil overlay kelas Rhizophora dengan kerapatan sedang memiliki luasan terbesar, dan kelas Avicennia dengan kerapatan sangat rapat memiliki luasan terkecil. Kecilnya koefisien determinasi dan koefisien korelasi antara Indeks Nilai Penting (INP) dan nilai spektral satelit menandakan satelit belum mampu mendeteksi hubungan antara nilai spektral dengan INP mangrove. Kesulitan ini disebabkan INP merupakan indeks ekologi, yang menyatakan peranan jenis mangrove dalam komunitasnya. Dari survei lapang hutan mangrove di P. Karimunjawa ditemukan delapan spesies mangrove, yaitu : Acanthus ilicifolius, Aegiceras corniculatum, Avicennia alba, Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, dan Sonneratia alba.
APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DENGAN CITRA SATELIT QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN MANGROVE DI PULAU KARIMUNJAWA, KABUPATEN JEPARA, JAWA TENGAH
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh : Suseno Wangsit Wijaya C06400040
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
Judul
Nama NRP
: APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DENGAN CITRA SATELIT QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN MANGROVE DI PULAU KARIMUNJAWA, KABUPATEN JEPARA, JAWA TENGAH : Suseno Wangsit Wijaya : C06400040
Disetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA NIP. 131 471 372
Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si. NIP. 132 090 871
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031
Tanggal lulus : 9 September 2005
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Topik yang diajukan adalah Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra Satelit QuickBird Untuk Pemetaan Mangrove di Pulau Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA dan Ir. Mukjizat Kawaroe, M.Si. selaku komisi pembimbing, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya skripsi ini. Penulis menyadari akan adanya kekurangan-kekurangan pada skripsi penelitian ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Bogor, November 2005
Suseno Wangsit Wijaya
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR .................................................................................. x DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xi 1. PENDAHULUAN ................................................................................... 1.1. Latar Belakang................................................................................... 1.2. Tujuan Penelitian ..............................................................................
1 1 2
2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 3 2.1. Definisi dan Ruang Lingkup Mangrove ........................................... 3 2.2. Penyebaran dan Luas Hutan Mangrove............................................. 3 2.3. Fungsi Ekosistem Hutan Mangrove ................................................. 5 2.4. Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Mangrove ................................. 6 2.5. Penggunaan Indeks Vegetasi Untuk Kerapatan Mangrove .............. 8 2.6. Karakteristik Satelit QuickBird ........................................................ 12 2.7. Keadaan Umum Wilayah Penelitian ................................................ 14 3. BAHAN DAN METODE ....................................................................... 3.1. Waktu dan Lokasi ............................................................................. 3.2. Alat dan Bahan ................................................................................. 3.3. Metode Penelitian ............................................................................. 3.3.1. Survei lapang ........................................................................... 3.3.1.1. Penentuan lokasi .......................................................... 3.3.1.2. Ukuran, jumlah dan bentuk petak contoh ................... 3.3.1.3. Parameter yang diukur ................................................ 3.3.2. Pengolahan data lapang ............................................................ 3.3.3. Pemrosesan data citra .............................................................. 3.3.3.1. Pemulihan citra .......................................................... 3.3.3.2. Penajaman citra .......................................................... 3.3.3.3. Klasifikasi citra .......................................................... 3.3.3.4. Ketelitian klasifikasi .................................................. 3.3.3.5. Algoritma yang digunakan ......................................... 3.3.3.6. Gabungan citra hasil klasifikasi dengan indeks vegetasi .......................................................................
17 17 17 17 18 18 19 20 20 22 22 24 24 26 27
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 4.1. Koreksi Radiometrik dan Geometrik ................................................ 4.2. Klasifikasi Citra Komposit ............................................................... 4.3. Ketelitian Klasifikasi ........................................................................ 4.4. Analisis Indeks Vegetasi ..................................................................
30 30 32 37 38
28
4.5. Overlay Klasifikasi Citra Komposit dan Indeks Vegetasi ................ 40 4.6. Hubungan INP dan Indeks Vegetasi ................................................. 43 4.6. Kondisi Ekosistem Mangrove .......................................................... 44 5. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 47 5.1. Kesimpulan ....................................................................................... 47 5.2. Saran ................................................................................................. 48 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 49 LAMPIRAN ................................................................................................ 51 RIWAYAT HIDUP .................................................................................... 71
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Karakteristik Satelit QuickBird ................................................................ 13 2. Bentuk Matriks Kesalahan (Confusion Matrix) ....................................... 26 3. Nilai Digital Citra Sebelum dan Sesudah Koreksi Radiometrik .............. 31 4. Luasan Penutupan Lahan Citra QuickBird Hasil Klasifikasi ................... 36 5. Hubungan Antara Indeks Vegetasi dengan Kerapatan Rhizophora dan Avicennia .................................................................................................. 39 6. Luasan Genus dan Kerapatan Mangrove ................................................. 41 7. Hubungan Antara Indeks Vegetasi dengan INP Rhizophora dan Avicennia .................................................................................................. 43
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Sifat Pantulan Komponen Vegetasi ......................................................... 6 2. Satelit QuickBird ..................................................................................... 12 3. Peta Lokasi Penelitian .............................................................................. 18 4. Bentuk Petak Contoh ............................................................................... 19 5. Diagram Alir Pengolahan Citra ............................................................... 29 6. Perbandingan Histogram Band 1 Sebelum dan Sesudah Koreksi Radiometrik ............................................................................................. 30 7. Citra Hasil Koreksi Geometrik dan Radiomertik .................................... 31 8. Penajaman Citra dengan RGB 423........................................................... 32 9. Histogram Citra Komposit 423 ............................................................... 33 10. Grafik Reflektansi Tiap Band Dari Beberapa Kenampakan Panjang Gelombang (ë) .........................................................................35 11. Hasil Klasifikasi Tutupan Lahan Citra QuickBird Komposit 423 ........ 36 12. Grafik Regresi Linear Antara Kerapatan Rhizophora dan RVI ............. 39 13. Histogram Citra Dengan Indeks Vegetasinya ........................................ 40 14. Peta Distribusi dan Kerapatan Mangrove di P. Karimunjawa................ 42
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Data Hasil Survei Lapang .......................................................................... 51 2. Perhitungan Statistik Nilai Rentang, Nilai Rata-Rata dan Standar Deviasi Nilai Digital................................................................................... 54 3. Grafik Rata-Rata dan Standar Deviasi Digital Number Tiap Band .......... 55 4. Contoh Perhitungan Uji Nilai Tengah (Uji T) .......................................... 56 5. Nilai Thitung Citra Komposit 423 ................................................................ 57 6. Confusion Matrix Klasifikasi Citra Komposit 423 ................................... 58 7. Nilai Kerapatan Vegetasi Mangrove dan Nilai Indeks Vegetasinya ......... 59 8. Nilai INP Mangrove dan Nilai Indeks Vegetasinya .................................. 60 9. INP Mangrove Tingkat Pohon, Anakan, dan Semai Tiap Stasiun ............ 60 10. Resample Karakteristik Spektral ............................................................. 64 11. Foto Mangrove di Sekitar Lokasi Penelitian ........................................... 70
1
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, yaitu diperkirakan sepanjang 81.000 km (Dahuri, et al., 1996). Pada garis pantai sepanjang itu terkandung potensi sumberdaya alam wilayah pesisir yang jumlahnya cukup besar. Salah satu sumberdaya pesisir di Indonesia adalah ekosistem hutan mangrove. Hutan mangrove memiliki berbagai fungsi ekologi, ekonomi dan sosial. Secara ekologis hutan mangrove berfungsi sebagai feeding ground, spawning grounds, dan nursery ground. Secara ekonomi hutan mangrove dapat dimanfaatkan kayunya untuk bahan bangunan dan arang, dikembangkan untuk lahan pertambakan dan pertanian, serta daerah ekowisata (eco-tourism). Luas hutan mangrove di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta ha atau 3,98% dari seluruh hutan Indonesia (Nontji, 1987). Pada tahun 1993 Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan (INTAG) memperkirakan bahwa luas hutan mangrove di Indonesia tinggal 3,73 juta ha. Taman Nasional Laut Karimunjawa merupakan kawasan konservasi yang memiliki ekosistem mangrove. Meskipun Karimunjawa merupakan taman nasional tetapi tetap terjadi kerusakan dan degdradasi hutan mangrove. Kerusakan hutan mangrove ini diakibatkan oleh pembukaan lahan tambak dan pemanfaatan kayu hutan mangrove oleh masyarakat setempat. Untuk mencegah dan menaggulangi kerusakan hutan mangrove diperlukan inventarisasi tentang distribusi, luas dan kerapatan magrove. Inventarisasi ini
2
berguna untuk pengelolaan dan penetapan kebijakan pada ekosistem mangrove dan daerah pesisir. Dalam melakukan pemantauan dan inventarisasi mangrove tidaklah mudah. Kesulitan pemetaan di lapangan merupakan kendala kelangkaan data mangrove. Sebagai alternatifnya dikembangkan teknik penginderaan jauh. Teknik ini memiliki jangkauan yang luas dan dapat memetakan daerah-daerah yang sulit dijangkau dengan perjalanan darat. Salah satu data penginderaan jauh yang dapat dimanfaatkan untuk memantau hutan mangrove adalah citra Satelit QuickBird. Citra ini memiliki lebar sapuan 16,5 x 16,5 km2 dengan resolusi spasial 2,44 m untuk sensor multispectral. Pengamatan hutan mangrove dengan citra satelit meliputi distribusi, luasan, dan kerapatan. 1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Identifikasi mangrove dengan satelit QuickBird 2. Mengkaji peranan spesies mangrove dalam komunitas mangrove 3. Pemetaaan ekosistem mangrove dengan menggunakan citra satelit QuickBird di Taman Nasional Karimunjawa
3
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Ruang Lingkup Mangrove Kata mangrove merupakan kombinasi antara Bahasa Portugis mangue dan Bahasa Inggris grove. Dalam Bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan dalam Bahasa Inggris kata mangrove menggambarkan komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut (Macnae, 1974). Menurut Nybakken (1982) hutan bakau atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan semua varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Sebutan bakau ditujukan untuk semua individu tumbuhan sedangkan mangal ditujukan bagi seluruh komunitas atau asosiasi yang didominasi oleh tumbuhan ini. Ciri khas yang dimiliki oleh spesies mangrove yaitu karakteristik morfologis yang terlihat pada sistem perakaran dan buahnya. Beberapa spesies mangrove memiliki sistem perakaran khusus yang disebut akar udara, cocok untuk kondisi tanah yang anaerobik dan spesies mangrove memproduksi buah yang biasanya disebarkan melalui air (Japan International Coorporation Agency/JICA, 1998). 2.2. Penyebaran dan Luas Hutan Mangrove Menurut Nybakken (1988), komunitas hutan mangrove tersebar di seluruh hutan tropis dan subtropis, mulai dari 250 Lintang Utara sampai 250 Lintang Selatan. Mangrove mampu tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari
4
gerakan gelombang, bila pantai dalam keadaan sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan menjatuhkan akarnya. Tumbuhan ini dapat tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur dan lingkungan yang anaerob. Mangrove juga dapat tumbuh pada substrat pasir, batu atau karang yang terlindung dari gelombang, karena itu mangrove banyak ditemukan pada pantai-pantai teluk, estuari, lagun dan pantai terbuka yang berhadapan dengan terumbu karang yang memecah gelombang datang. Luas hutan mangrove di seluruh wilayah Indonesia diperkirakan kurang lebih 3,7 juta ha (Direktorat Bina Program, 1982 in Kusmana, 1995). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh FAO/UNDP (1982) in JICA (1998), total areal mangrove di Indonesia adalah 4,25 juta ha. Menurut Nontji (1987) luas hutan mangrove di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta ha atau 3,98% dari seluruh luas hutan Indonesia. Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang termasuk tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 jenis; 35 jenis berupa pohon, dan selebihnya berupa terna (5 jenis), perdu (9 jenis), epifit (29 jenis) dan parasit (2 jenis) (Nontji, 1987). Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting atau dominan yang termasuk dalam empat famili Rhizophoraceae, Sonneratiaceae, Avicenniaceae, dan Meliaceae. Areal hutan mangrove yang luas antara lain terdapat di Pesisir Timur Sumatera, Pesisir Kalimantan dan Pesisir Selatan Irian Jaya. Hutan mangrove di Jawa banyak yang telah mengalami kerusakan atau telah hilang sama sekali karena aktivitas manusia.
5
Menurut Kusmana (1995) terjadinya proses pengurangan lahan mangrove di beberapa propinsi disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini : 1. Konversi hutan mangrove menjadi bentuk lahan penggunaan lain seperti pemukiman, pertanian, industri, pertambangan dan lain-lain 2. Kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkendali oleh perusahaanperusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) serta penebangan liar dan bentuk perambahan hutan lainnya 3. Polusi di perairan estuaria, pantai dan lokasi-lokasi perairan lainnya tempat tumbuhnya mangrove 4. Terjadinya pembelokan aliran sungai maupun proses abrasi atau sedimentasi yang tidak terkendali 2.3. Fungsi Ekosistem Hutan Mangrove Menurut Soegiarto (1982) manfaat hutan mangrove yang tidak langsung adalah : 1. Sebagai pelindung pantai 2. Sebagai pengendali banjir 3. Sebagai pengendali bahan pencemar, dan 4. Sebagai sumber energi atau bahan organik bagi lingkungan sekitarnya Manfaat hutan mangrove secara langsung adalah berupa kayu, bahan baku chips, pulp dan tanin. Mangrove juga memiliki peranan sebagai daerah asuhan (nursery grounds), daerah mencari makan (feeding grounds) dan daerah pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan ,udang dan biota laut lainnya. Disamping itu mangrove juga dapat dijadikan tempat pariwisata.
6
2.4. Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Mangrove Penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer, 1990). Menurut Lo (1996), aplikasi baru dari penginderaan jauh multispektral telah menitikberatkan pada estimasi jumlah dan distribusi vegetasi. Estimasi didasarkan pada pantulan dari kanopi vegetasi. Intensitas pantulan tergantung pada panjang gelombang yang digunakan dan tiga komponen vegetasi, yaitu daun, substrat dan bayangan. Daun memantulkan lemah pada panjang gelombang biru dan merah, namun memantulkan kuat pada panjang gelombang inframerah dekat (Gambar 1). Daun memiliki karakteristik warna hijau, dimana klorofil mengabsorbsi spektrum radiasi merah dan biru serta memantulkan spektrum radiasi hijau.
Sumber : Lo, 1996 Gambar 1. Sifat Pantulan Komponen Vegetasi
7
Menurut Susilo (2000) penginderaan jauh untuk vegetasi mangrove didasarkan atas dua sifat penting yaitu bahwa mangrove mempunyai zat hijau daun (klorofil) dan mangrove tumbuh di pesisir. Dua hal ini akan menjadi pertimbangan penting di dalam mendeteksi mangrove melalui satelit. Sifat optik klorofil sangat khas yaitu bahwa klorofil menyerap spektrum sinar merah dan memantulkan dengan kuat spektrum inframerah. Klorofil fitoplankton yang berada di air laut dapat dibedakan dari klorofil mangrove karena sifat air yang sangat menyerap spektrum inframerah. Tanah, pasir dan batuan juga memantulkan infra merah tetapi bahan-bahan ini tidak menyerap spektrum sinar merah sehingga tanah dan mangrove secara optik juga dapat dibedakan. Beberapa aspek lingkungan mangrove yang dapat dipelajari dengan menggunakan penginderaan jauh adalah spesies mangrove dan identifikasi zonasi, perubahan tata guna lahan mangrove, keberadaan mangrove dan distribusinya, serta lingkungan fisik mangrove (Hartono, 1994). Chaudhury (1985) manjelaskan bahwa informasi lebih lanjut yang dapat diperoleh dari penginderaan jauh untuk studi ekosistem mangrove adalah : 1. Identifikasi dan kuantifikasi hutan mangrove 2. Identifikasi dan kenampakan zona (tipe-tipe vegetasi) di daerah mangrove 3. Identifikasi keberadaan dan profil dataran berlumpur 4. Monitoring proses-proses dinamis (akresi, erosi) di lingkungan mangrove 5. Monitoring sedimentasi laut lepas, ekspor bahan organik dan sistem aliran 6. Identifikasi tipe-tipe tanah
8
7. Monitoring karakteristik air (contoh : salinitas, turbiditas) di dearah mangrove 8. Monitoring tata guna lahan mangrove (contoh : akuakultur, kehutanan) 9. Monitoring perubahan aktivitas penggunaan lahan di daerah mangrove Indeks vegetasi yang dapat diperoleh dari citra satelit dan digital airbone data untuk area mangrove menunjukkan hubungan yang dekat dengan Indeks Luas Daun (Leaf Area Index atau LAI) dan persentase penutupan kanopi mangrove. LAI didefinisikan sebagai area daun pada satu sisi tunggal daun di tiap unit area tanah. LAI dapat digunakan untuk memprediksi pertumbuhan dan buah, dan memantau perubahan kanopi yang diakibatkan oleh polusi dan perubahan iklim. LAI dapat digunakan untuk mengetahui status dan produktivitas ekosistem mangrove. Sama halnya dengan LAI, penutupan kanopi juga digunakan untuk mengukur densitas pohon (Green et al., 2000). Menurut Lo (1996), pantulan spektral dari kanopi vegetasi bervariasi menurut panjang gelombang karena adanya sifat pantulan hemispheric dari individu daun. Daun terbentuk dari tiga lapisan bahan organik serat yang berstruktur, dimana ketiga lapisan tersebut mempunyai pigmen, kandungan air, dan ruang udara. Ketiga sifat tersebut mempengaruhi sifat pantulan, penyerapan, dan transmisi. 2.5. Penggunaan Indeks Vegetasi Untuk Kerapatan Mangrove Carolita (1995) mengatakan indeks vegetasi adalah suatu formulasi pengolahan data inderaja secara digital yang dapat diarahkan secara khusus untuk mengkaji informasi tematik dari lahan bervegetasi. Indeks vegetasi ini adalah suatu metode
9
pendekatan yang bersifat matematis, dengan pendekatan tersebut hasil yang didapatkan mencerminkan keadaan vegetasi pada saat tertentu. Indeks vegetasi adalah persentase pemantulan radiasi matahari oleh permukaan daun yang berkorelasi dengan konsentrasi klorofil. Jadi banyaknya konsentrasi klorofil yang terkandung dalam suatu permukaan tanaman khususnya daun akan menunjukkan tingkat kehijauan tanaman tersebut. Pemantauan indeks vegetasi ini didasarkan pada karakteristik pantulan objek. Pada panjang gelombang inframerah dekat nilai pantulan dari objek (vegetasi) tinggi, sedangkan pada selang panjang gelombang merah nilai pantulannya rendah. Jika kedua kanal ini dikombinasikan akan dihasilkan data yang memiliki pantulan yang respon terhadap kehijauan vegetasi (Lillesand dan Kiefer, 1990). Fanani (1992) menyatakan bahwa dengan memahami perbedaan intensitas radiasi tenaga elektromagnetik yang dipantulkan dan dipancarkan maka akan dapat diidentifikasi jenis pohon atau tegakan hutan, umur, kesehatan, kerapatan dan tekanan kelembaban dari suatu kelompok hutan. Hasil penelitian Dirgahayu (1992) memperlihatkan adanya hubungan antara kerapatan tegakan dengan indeks vegetasi yang diperoleh dari data inderaja satelit (Landsat-TM dan SPOT). Penelitian tersebut diterapkan untuk menduga potensi hutan (volume tegakan dan biomassa hutan) pada hutan primer dan sekunder di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Penelitian dari Japan International Coorperation Agency (JICA) bersama Departemen Pekerjaan Umum menunjukkan korelasi yang kuat antara kerapatan tegakan dan LAI serta produksi biomassa vegetasi di sekitar Jabotabek dengan nilai-nilai indeks kehijauan dari data Landsat-TM (Dirgahayu, 1992).
10
Estimasi LAI didasarkan pada pantulan dari kanopi vegetasi (Lo, 1996). LAI daun berhubungan negatif dengan pantulan merah, tapi berhubungan positif dengan pantulan inframerah. Rasio pantulan merah dengan inframerah dekat menunjukkan kenaikan LAI. Berdasarkan keadaan tersebut maka dapat dibentuk model-model algoritma yang dapat menghasilkan nilai untuk menduga kehijauan vegetasi. Nilai inilah yang disebut dengan indeks vegetasi. Adapun beberapa formula indeks vegetasi yang digunakan untuk memantau vegetasi, antara lain : 1. Indeks Mangrove (IM) = NIR / (MIR)2 (Daniher dan Luck, 1991) 2. Difference Vegetation Index (DVI) = NIR - RED (Richardson dan Weigand, 1997 in Hariyadi, 1999) 3. Middle Infra Red Index (MIR) = (MIR-RED) / (MIR+RED) (Roy dan Shirish, 1994 in Hariyadi, 1999) 4. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) = (NIR-RED) / (NIR+RED) (Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999) 5. Ratio Vegetation Index (RVI) = NIR / RED (Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999) 6. Transformed Ratio Vegetation Index (TRVI) =
( NIR / RED)
(Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999) 7. Transformed Normalized Vegetation Index (TNDVI) = (Deering, 1974 in Hariyadi 1999) Keterangan : RED
= nilai digital pada citra kanal merah (kanal 3)
( NDVI + 0.5)
11
NIR
= nilai digital pada citra kanal inframerah dekat (kanal 4)
MIR
= nilai digital pada citra kanal inframerah menengah (kanal 5)
Secara kualitatif, Food and Agriculture Organization / FAO (1982) in Dirgahayu et al.(1992) telah mendefinisikan batasan mengenai kelas kerapatan hutan mangrove. Kerapatan tajuk dapat dikelaskan secara umum sebagai berikut : 1. Kerapatan tertutup (closed) dengan kerapatan > 80% 2. Kerapatan rapat (dense) dengan kerapatan antara 40% - 80% 3. Kerapatan sedang (open) dengan kerapatan antara 10% - 40% 4. Kerapatan jarang (sparse) dengan kerapatan antara 2% - 10% Di kawasan hutan Indonesia, kelas kerapatan hutan mangrove yang digunakan oleh FAO tidak seluruhnya dapat diterapkan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukannya Dirgahayu et al.(1992) membagi kerapatan hutan menjadi selangselang sebagai berikut : 1. Kerapatan 10% -20%; strata hutan jarang 2. Kerapatan 20% - 30%; strata hutan sedang 1 3. Kerapatan 30% - 40%; strata hutan sedang 2 4. Kerapatan 40% - 50%; strata hutan sedang 3 5. Kerapatan 50% - 60%; strata hutan rapat 1 6. Kerapatan 60% - 70%; strata hutan rapat 2 7. Kerapatan 70% - 80%; strata hutan rapat 3 8. Kerapatan 80% - 100%; strata hutan tertutup Identifikasi dan klasifikasi objek vegetasi menggunakan data satelit penginderaan jauh didasarkan pada interaksi kanopi vegetasi dengan spektrum radiasi elektromagnetik yang mengenainya (Harsanugraha et al., 1999).
12
Dewanti (1999) mengemukakan bahwa pada umumnya mangrove jenis Avicennia spp. dan Sonneratia spp. mempunyai nilai NDVI relatif rendah dibanding dengan Rhizophora spp. dan Bruguiera spp. Hal tersebut banyak dipengaruhi oleh bentuk, ukuran, kerapatan, warna daun dan asosiasi dengan tumbuhan bawah yang menutupi permukaan lahan. 2.6. Karakteristik Satelit QuickBird Satelit QuickBird diluncurkan pada Bulan Oktober 2001. Satelit ini merupakan salah satu satelit tercanggih, terbaru dan terbaik karena resolusi spasialnya yang sangat tinggi, dan datanya sudah bisa didapatkan di pasaran secara komersial. Satelit ini mempunyai berat 2100 pounds dan panjang 3,04 m (Gambar 2).
Sumber : Digital Globe, 2004 Gambar 2. Satelit QuickBird Satelit QuickBird memiliki dua macam sensor yaitu sensor panchromatic (hitam dan putih) dengan resolusi spasial 0,6 m (2-foot) dan sensor multispectral (berwarna) dengan resolusi spasial 2,44 m (8-foot). Tingginya resolusi spasial pada citra ini memberikan keuntungan untuk berbagai aplikasi, terutama yang
13
membutuhkan ketelitian yang tinggi pada skala area yang kecil. Contohnya adalah pemetaan secara detail dan perencanaan tata kota. Satelit ini mempunyai orbit polar sunsynchronus, yaitu orbitnya akan melewati tempat-tempat yang terletak pada lintang yang sama dan dalam waktu lokal yang sama pula. Satelit QuickBird melewati tempat yang sama untuk satu putaran kirakira 1-3 hari, ini merupakan kemajuan yang sangat hebat dibandingkan berbagai satelit yang diluncurkan tahun 1980-an dan 1990-an. Periode orbit dari satelit ini adalah 93,4 menit dengan sudut inklinasi 980 dan ketinggiannya 450 km di atas permukaan bumi. Minimum area yang terliput oleh citra satelit QuickBird adalah 8 x 8 km2. Karakteristik lebih lanjut dari Satelit QuickBird akan di berikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Satelit QuickBird Kanal (Band) Panjang Gelombang (µm) 1
0,45 – 0,52 (biru)
2
0,52 – 0,60 (hijau)
3
0,63 – 0,69 (merah)
4
0,76 – 0,89 (IR dekat)
PAN
0,45 – 0,90 (PAN)
Sumber : Digital Globe, 2004 Menurut Lillesand dan Kiefer (1994), karakteristik tiap kanal (spektrum energi) adalah sebagai berikut : a. Kanal 1, spektrum biru Baik untuk pemetaan perairan pantai karena penetrasinya dalam kolom air cukup tinggi. Sangat kuat diabsorpsi oleh klorofil sehingga berguna untuk membedakan tanah dan vegetasi.
14
b. Kanal 2, spektrum hijau Digunakan untuk mengukur pantulan warna hijau dari puncuk vegetasi untuk mengetahui seberapa sehat vegetasi tersebut dan menguji daya tegak vegetasi. Juga untuk identifikasi kenampakan kultur. c. Kanal 3, spektrum merah Energi pada spektrum ini sangat kuat diserap oleh klorofil sehingga membantu perbedaan spesies tanaman. Diserap oleh banyak vegetasi. d. Kanal 4, spektrum inframerah dekat Energi pada saluran ini diserap seluruhnya oleh air, sehingga berguna untuk mengidentifikasi badan atau kolom air. Dipantulkan seluruhnya oleh vegetasi, sehingga berguna untuk menentukan tipe vegetasi, daya tegak, dan kandungan biomassanya. Menghasilkan kontras yang nyata antara darat dan air. 2.7. Keadaan Umum Wilayah Penelitian Kepulauan Karimunjawa merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Taman Nasional Laut ini terletak 45 mil laut di sebelah barat laut kota Jepara. Secara geografis Karimunjawa terletak antara 5040’-5071’ LS dan 11004’-110041’ BT. Kepulauan Karimunjawa terdiri dari 27 pulau kecil dengan luas terkecil 0,5 ha (P.Batu dan P.Merica) dan terbesar 4.302,5 ha (P.Karimunjawa). Kepulauan ini membentang dari barat ke timur seluas 114.345 ha yang terdiri dari 107.225 ha perairan dan 7.210 ha daratan. Pulau Karimunjawa mempunyai topografi bergelombang dengan puncak tertinggi mencapai 506 m di atas permukaan laut. Substrat dasar tanah di P.Karimunjawa adalah kwarsa pasir putih, sedangkan substrat tanah di P.Kemujan
15
berupa pasir putih dan sedikit pecahan-pecahan karang yang termasuk substrat campuran (substrat berpasir dan campuran gravel). Temperatur udara di daerah ini antara 23° - 32° C, dengan musim hujan antara Bulan November sampai dengan Maret (Musim Barat). Pada musim ini angin cukup kencang dan terjadi gelombang yang besar. Umumnya pada musim hujan tersebut perhubungan kepulauan Karimunjawa dengan Pulau Jawa praktis terputus. Taman Nasional Laut Karimunjawa merupakan kawasan konservasi laut yang memiliki kandungan potensi keanekaragaman flora dan fauna dan ekosistem laut yang khas. Kandungan potensi tersebut serta letaknya yang berada pada lintasan wisata bahari antara Indonesia Bagian Barat dan Timur menjadikan wilayah ini sebagai obyek wisata bahari yang strategis (BTNKJ, 2004). Kawasan Taman Nasional Laut Karimunjawa dibagi ke dalam beberapa zonasi, agar berbagai kepentingan pemanfaatannya dapat berjalan selaras dan serasi. Pembagian zonasi adalah sebagai berikut : a) Zona Inti : zona ini diperuntukkan bagi upaya pelestarian sumber genetik dan perlindungan proses ekologi, meliputi P. Geleang dan P. Burung. b) Zona Perlindungan / Rimba : peruntukan zona rimba sama dengan zona inti tetapi dapat dilakukan kegiatan wisata terbatas, meliputi P. Krakal Besar, P. Krakal Kecil, P. Menyawakan, P. Cemara Besar, P. Cemara Kecil, P. Bengkoang dan sebagian P. Karimunjawa dan P. Kemujan.
16
c) Zona Pemanfaatan : pada zona pemanfaatan dapat dilakukan kegiatan yang dapat menunjang pengembangan taman nasional antara lain kepariwisataan. Zona ini meliputi P. Menjangan Besar, P. Menjangan Kecil, P. Kumbang, P. Kembar, P. Karang Katang, P. Karang Besi dan sebagian P. Parang, P. Karimunjawa dan P. Kemujan. d) Zona Penyangga : zona ini merupakan daerah pemanfaatan sumber daya alam secara tradisionil oleh masyarakat setempat dan merupakan tempat bermukimnya penduduk, meliputi P. Nyamuk, sebagian P. Karimunjawa dan P. Kemujan, P. Parang dan pulau-pulau lain di perairan sekitarnya. Hutan mangrove di Kepulauan Karimunjawa dapat dijumpai di Pulau Karimunjawa, Kemujan, Cemara Kecil, Cemara Besar, Krakal Kecil, Krakal Besar dan Sintok (BTNKJ, 2002). Pulau Karimunjawa dan Kemujan memiliki hutan mangrove yang paling baik dan paling lebar dibandingkan pulau lain. Data hasil penelitian hutan bakau tahun 1984 menunjukkan bakau yang dominan di P.Karimunjawa adalah bakau hitam (Rhizophora mucronata) dan bakau putih (Rhizophora conjugata). Jenis lain yang umum dijumpai di P.Karimunjawa adalah Avicenia sp dan Bruguiera sp.
17
3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ini meliputi beberapa pulau di Taman Nasional Karimunjawa, yaitu P. Karimunjawa, P. Menjangan Besar dan P. Menjangan Kecil. Survei lapang dilaksanakan pada tanggal 3-12 Juli 2004 di Taman Nasional Laut Karimunjawa, Kabupaten / DATI II Jepara, Jawa Tengah. Analisis citra dilakukan di Laboratorium Geomatic and Natural Resources, SEAMEO-BIOTROP, Bogor. 3.2. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang diperlukan dalam penelitian lapang maupun analisis data adalah : 1. Kompas bidik 2. Meteran 3. Buku identifikasi mangrove Kitamura 4. GPS Garmin 12 XL 5. Peta rupabumi skala 1 : 25.000 dari BAKOSURTANAL 6. Print out peta komposit citra QuickBird 7. Software ER Mapper 5.5 dan Arc View 3.1 8. Citra Satelit QuickBird 3 Juli 2003 3.3. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan analisis data penginderaan jauh. Untuk mendukung analisis yang akan dilakukan maka dilaksanakan survei lapang (ground check).
18
Gambar 3. Lokasi Penelitian 3.3.1. Survei lapang Survei lapang perlu dilakukan sebagai salah satu input data dalam menginterpretasi citra satelit di suatu daerah. Kegiatan survei lapangan ini meliputi berbagai kegiatan, baik pengukuran posisi dengan GPS, maupun pengumpulan data lapangan seperti identifikasi jenis mangrove dan pengukuran diameter batang. Pengambilan contoh dilakukan secara acak (random sampling), dimana tiap contoh mewakili beberapa tingkat kerapatan mangrove. 3.3.1.1. Penentuan lokasi Titik contoh ditentukan pada setiap lokasi pemetaan dengan prinsip penyebaran yang merata, keterwakilan dan dapat dijangkau. Tiap lokasi ditentukan beberapa titik contoh tergantung dari luas lokasi, keseragaman penutupan lahan, dan belum tuntasnya pengenalan penutup lahan dalam proses interpretasi. Pada penelitian ini terdapat 6 plot yang terdiri dari 24 stasiun.
19
3.3.1.2. Ukuran, jumlah dan bentuk petak contoh Ukuran, jumlah dan bentuk petak contoh tergantung pada strata pertumbuhan (pohon, semai, anakan), kerapatan dan keragaman jenis serta heterogenitas. Dalam penentuan ukuran petak pada prinsipnya adalah bahwa petak harus cukup besar agar mewakili komunitas, tetapi juga harus cukup kecil agar individu yang ada dapat dipisahkan. Metode yang digunakan untuk memperoleh data kerapatan mangrove adalah metode transek kuadrat (quadrate transect). Metode ini digunakan untuk menghitung jumlah tegakan mangrove di dalam transek berukuran 10 m x 10 m, 5 m x 5 m, dan 1 m x 1 m. Transek 1 m x 1 m dan 5 m x 5 m terletak di dalam transek 10 m x 10 m (Gambar 4).
1x1 m2
5x5 m2
10x10 m2 Sumber : English et al., 1994 Gambar 4. Bentuk Petak Contoh Transek 10 m x 10 m digunakan untuk menghitung jumlah tegakan mangrove pada tingkat pohon yang memiliki diameter batang > 4 cm. Transek 5 m x 5 m digunakan untuk menghitung jumlah tegakan mangrove pada tingkat anakan dengan diameter batang < 4 cm dan tingginya > 1 m. Transek 1 m x 1 m
20
digunakan untuk menghitung jumlah tegakan mangrove pada tingkat semai yang tingginya kurang dari 1 m. 3.3.1.3. Parameter yang diukur Dalam analisis vegetasi ada beberapa parameter yang diamati di lapangan, yaitu : a. Nama spesies b. Diameter batang, dengan cara mengukur kelilingnya, untuk mengetahui luas bidang dasar untuk menduga volume pohon dan tegakan 3.3.2. Pengolahan data lapang Data mengenai spesies, diameter batang, dan jumlah tegakan diolah lebih lanjut untuk mendapatkan kerapatan jenis, frekuensi jenis, luas area penutupan, dan indeks nilai penting. a. Kerapatan Jenis (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area : Di =
ni A
Di = kerapatan jenis i ni = jumlah total tegakan dari jenis i A = luas total petak pengambilan contoh (luas plot / transek) b. Kerapatan Relatif Jenis (RDi) adalah perbandingan antara jumlah tegakan jenis i (ni) dan jumlah total tegakan seluruh jenis ( ∑ n ) : n RDi = i x100 ∑n
21
c. Frekuensi Jenis (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam petak contoh / plot yang diamati : Fi =
pi
∑p
Fi = frekuensi jenis i pi = jumlah petak contoh / plot di mana ditemukan jenis i,
∑p
= jumlah total petak contoh atau plot yang diamati
d. Frekuensi Relatif Jenis (RF) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i (Fi) dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis ( ∑ F ) : F RFi = i x100 ∑F e. Penutupan Jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit area : Ci = BA =
∑ BA A
πDBH 2 (dalam cm) 4
ð = 3,14 DBH (diameter pohon dari jenis i) =
CBH π
CBH = lingkaran pohon setinggi dada A = Luas total petak pengambilan contoh (luas plot atau transek) f. Penutupan Relatif Jenis (RCi) adalah perbandingan antara luas area penutupan jenis i (Ci) dan luas total area penutupan untuk seluruh jenis ( ∑ C ) : C RC i = i x100 C ∑
22
Jumlah nilai kerapatan relatif jenis (RDi), frekuensi relatif jenis (RFi) dan penutupan relatif jenis (RCi) menunjukkan Indeks Nilai Penting (INP), yang dilambangkan dengan IVi : IVi = RDi + RFi + RCi Nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 dan 300. Nilai penting ini memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove. 3.3.3. Pemrosesan data citra Citra QuickBird diproses dengan menggunakan software ER Mapper 5.5 dan Arc View 3.1, sedangkan analisis visual dilakukan berdasarkan hasil identifikasi objek. Beberapa tahap yang akan dilakukan dalam pengolahan citra antara lain : pemulihan citra, penajaman citra dan klasifikasi citra. Dari tahapan inilah informasi mengenai kerapatan dan distribusi mangrove didapatkan (Gambar 5). 3.3.3.1. Pemulihan citra Pemulihan citra dilakukan dengan tujuan untuk memulihkan data citra yang mengalami distorsi ke arah gambaran yang tidak sesuai dengan keadaan aslinya. Proses pemulihan citra ini terdiri dari koreksi geometrik dan koreksi radiometrik. Distorsi geometrik terjadi karena adanya pergeseran piksel dari letak yang sebenarnya. Distorsi tersebut disebabkan oleh kurang sempurnanya sistem kerja Scan Deflection System dan ketidakstabilan sensor atau satelit, dimana untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan koreksi geometrik yang melalui dua tahap, yaitu : transformasi koordinat dan resampling.
23
Transformasi koordinat dilakukan dengan menggunakan Ground Control Point atau disebut juga GCP. GCP (titik kontrol tanah) adalah suatu kenampakan geofrafis yang unik dan stabil sifat geometrik dan radiometriknya serta lokasinya dapat diketahui dengan tepat, misalnya : persimpangan jalan, sudut dari suatu bangunan ataupun tambak dan sebagainya. GCP yang telah ditentukan ditempatkan pada citra dan pada peta topografi dengan tingkat akurasi satu pixel. Penempatan GCP yang benar akan menghasilkan matriks transformasi hubungan titik-titik pada citra dan sistem proyeksi yang terpilih. Pada tahap ini titik persamaan pada citra (u,v) ditransformasikan ke dalam koordinat peta (x,y) dengan menggunakan fungsi pemetaan (f dan g), seperti yang dijelaskan pada persamaan dibawah ini : u = f (x,y) v = g (u,v) Proses penerapan alih ragam geometrik terhadap data asli disebut resampling. Dalam melakukan resampling dapat dilakukan dengan tiga teknik, yaitu : nearest neighbour, bilenier dan cubic convolution. Pengaruh atmosfer (penghamburan dan penyerapan), noise pada waktu transmisi data, perubahan cahaya, radiasi dan buramnya bagian optik pada sistem pencitraan dapat menyebabkan distorsi radiomertik. Koreksi radiometrik biasanya dilakukan pada kanal visible (ë = 0,4 – 0,7 µm), sedangkan kanal inframerah (ë = > 0,7) sebagian besar bebas dari pengaruhnya.
24
Koreksi radiometrik dilakukan dengan metode penyesuaian histogram (histogram adjusment), yaitu dengan mengurangi nilai kanal terdistorsi ke arah kiri sehingga nilai minimumnya menjadi nol. Secara matematis, koreksi pengaruh atmosfer dengan penyesuaian histogram dapat dilihat pada persamaan di bawah ini : DNi,j,k(output:tekoreksi)= DNi,j,k(input:asli) – bias 3.3.3.2. Penajaman citra Penajaman citra digunakan untuk memperjelas penampakan objek yang terdapat pada citra sehingga dapat diperoleh citra yang informatif. Tujuan dari penajaman citra adalah untuk mempertajam interpretabilitas visual citra, baik untuk memperoleh keindahan gambar atau untuk analisis citra. Penajaman ini dilakukan sebelum menampilkan citra dengan tujuan meningkatkan informasi yang dapat diinterpretasi secara digital. Prosesnya melibatkan penajaman kontras yang tampak pada wujud gambaran yang terekam pada citra, sehingga dapat memperbaiki kenampakan citra dan meningkatkan perbedaan yang ada di antara objek yang ada dalam citra. Ada beberapa teknik yang dapat digunakan dalam penajaman citra khususnya untuk kerapatan dan distribusi mangrove. Salah satu tekniknya dengan False Colour Composit (FCC) yang merupakan penajaman dengan menggabungkan tiga warna primer, yaitu merah (red), hijau (green) dan biru (blue). 3.3.3.3. Klasifikasi citra Klasifikasi bertujuan untuk mengelompokan kenampakan yang homogen. Klasifikasi merupakan proses pengelompokan piksel-piksel ke dalam suatu kelas
25
atau kategori berdasarkan kesamaan nilai spektral tiap piksel. Nilai spektral merupakan gambaran sifat dasar interaksi antara objek dengan spektrum yang bekerja. Ada dua proses klasifikasi, yaitu : klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification). Pada penelitian ini digunakan supervised classification karena didukung dengan data lapangan. Klasifikasi terbimbing bertujuan mengelompokkan secara otomatis kategori semua nilai piksel dalam citra menjadi beberapa kelas didasarkan pada daerah contoh (training area). Daerah contoh pada citra didapatkan dari peta acuan, data sekunder dan data lapangan. Pengkelasan piksel pada supervised classification didasarkan pada kemiripan maksimum piksel dengan sekelompok piksel lainnya dalam citra. Pengkelasan ini dikenal dengan metode kemiripan maksimum (maximum likelihood). Dengan metode maximum likelihood piksel yang belum diketahui identitasnya dikelompokkan berdasar vektor dan matriks kovarian dari setiap pola spektral kelas. Nilai peluang piksel yang belum teridentifikasi akan dihitung oleh komputer dan dimasukkan ke dalam salah satu kelas yang peluangnya paling tinggi. Dari hasil klasifikasi dengan menggunakan supervised classification selanjutnya dilakukan pengkelasan kembali atau pengkelasan ulang (reclass) dengan berdasarkan pada peta dan data pendukung. Pengkelasan ulang ini bertujuan untuk mendapatkan citra yang lebih informatif mengenai daerah penelitian.
26
3.3.3.4. Ketelitian klasifikasi Ketelitian klasifikasi dilakukan dengan perhitungan matriks kekeliruan (confusion matrix). Matriks ini berordo (m x m) dan variabel A, B, C adalah kelas yang didapatkan dari proses klasifikasi. Baris dan kolom matriks menunjukkan jumlah piksel hasil pengujian pada kelas-kelas tersebut. Jumlah seluruh piksel yang terdapat pada setiap baris dan kolom adalah jumlah total piksel yang diuji. Tabel 2. Bentuk Matriks Kesalahan (Confusion Matrix) Total Classification Reference Baris Data A B C Xkk X+k A B Xkk C Xk+ N Total Kolom Xkk/X+k PA (%) X PA = kk × 100% X +k UA =
∑ OA =
r k =1
N
X kk
UA (%) Xkk/Xk+
× 100%
X kk × 100% X k+
Pada kasus yang ideal seluruh sel di luar diagonal utama bernilai nol, yang mengisyaratkan tidak ada penyimpangan dalam klasifikasi. Nilai dalam sel di bawah diagonal utama menunjukkan kekurangan jumlah piksel akibat masuk ke dalam kelas lain (comission error). Nilai dalam sel di atas diagonal utama merupakan kelebihan jumlah piksel (omission error). Produser’s accuracy (PA) adalah peluang (dalam %) suatu piksel akan diklasifikasikan dengan tepat, yang menunjukkan seberapa baik masing-masing kelas di lapangan telah diklasifikasikan. User’s accuracy (UA) adalah nilai
27
persentase peluang rata-rata piksel dari citra yang telah terklasifikasi secara aktual mewakili kelas di lapangan. Overall accuracy (OA) adalah nilai persentase dari piksel yang terkelaskan dengan sempurna. Selain itu dilakukan juga perhitungan koefisien kappa. Dalam koefisien kappa, off-diagonal tergabung sebagai total marginal kolam dan baris. Koefisien kappa akan mempunyai nilai lebih kecil dari overall accuracy. Koefisien kappa bernilai antara 0 – 1 (Edward, 2000). N ∑k =1 X kk − ∑k =1 ( X k + × X +k ) r
Kappa =
r
N 2 − ∑k =1 ( X k + × X +k ) r
Keterangan : r Xkk
= jumlah baris dalam matriks = jumlah pengamatan pada baris i dan kolom i
Xk+ dan X+k = total marginal dari baris i dan kolom i N
= jumlah total dari pengamatan
3.3.3.5. Algoritma yang digunakan Untuk penentuan tingkat kerapatan kanopi mangrove dilakukan analisis indeks vegetasi. Analisis ini dilakukan dengan cara mengurangkan, menambah, dan membandingkan nilai digital setiap saluran yang spektralnya berbeda. Beberapa algoritma yang digunakan untuk mengetahui kerapatan mangrove, antara lain : a) Difference Vegetation Index (DVI) = NIR - RED (Richardson dan Weigand, 1997 in Hariyadi, 1999) b) Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) = (NIR-RED) / (NIR+RED) (Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999) c) Ratio Vegetation Index (RVI) = NIR / RED
28
(Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999) d) Transformed Ratio Vegetation Index (TRVI) =
( NIR / RED)
(Rouse et al., 1974 in Hariyadi,1999) e) Transformed Normalized Vegetation Index (TNDVI) =
( NDVI + 0.5)
(Deering, 1974 in Hariyadi 1999) Keterangan : RED
= nilai digital pada citra kanal merah (kanal 3)
NIR
= nilai digital pada citra kanal inframerah dekat (kanal 4)
Dari lima algoritma diatas akan dipilih satu algoritma terbaik, yaitu yang memiliki koefisien determinasi dan koefisien korelasi terbesar. Koefisien determinasi dan koefisien korelasi didapatkan dari hubungan data lapang dengan nilai pantulan spektral. Selanjutnya algoritma tersebut akan diproses untuk menentukan tingkat kerapatan mangrove. 3.3.3.6. Gabungan citra hasil klasifikasi dengan indeks vegetasi Penutupan lahan berdasarkan hasil klasifikasi meliputi distribusi, genus, dan luasan mangrove, sedangkan kerapatan mangrove diperoleh dari klasifikasi indeks vegetasi. Proses selanjutnya adalah citra penutupan lahan hasil supervised classification dengan metode maximum likelihood ditumpang-tindihkan (overlay) dengan citra hasil analisis indeks vegetasi. Hasil overlay ini memberikan informasi mengenai genus mangrove dan tingkat kerapatannya.
29
Citra Satelit Koreksi Geometrik dan Radiometrik
Pemilihan Indeks Vegetasi
Citra Komposit 423
Training Area
Data Lapang
Pengujian Hasil Klasifikasi
Tidak
Hasil Baik
Avicennia
RVI = NIR/RED
Ya Citra Terklasifikasi
Overlay Citra Akhir Intrepretasi Gambar 5. Diagram Alir Pengolahan Citra
Rhizophora
TRVI =
( NDVI ) + 0.5
30
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Koreksi Radiometrik dan Geometrik Kesalahan geometrik adalah kesalahan distribusi spasial atau posisi lokasi dari nilai-nilai piksel yang diukur oleh sensor karena beberapa hal seperti : pergerakan satelit yang tidak stabil, rotasi bumi, dan perubahan posisi wahana terhadap objek. Untuk menanggulanginya maka pada citra perlu dilakukan koreksi geometrik. Pada dasarnya citra Satelit QuickBird sudah mengalami koreksi geometrik oleh stasiun penerima (Digital Globe TM). Untuk meningkatkan akurasi citra maka dilakukan koreksi geometrik dengan menggunakan GCP, koreksi ini dilakukan oleh BIOTROP. Koreksi radiometrik dilakukan terhadap kesalahan yang terjadi akibat pengaruh atmosfer. Koreksi radiometrik dilakukan dengan metode penyesuaian histogram (histogram adjusment), yaitu dengan mengurangi nilai kanal terdistorsi ke arah kiri sehingga nilai minimumnya menjadi nol (Gambar 6). Nilai digital tiap kanal sebelum dan sesudah koreksi radiometrik disajikan dalam Tabel 3.
Band 1 sebelum Koreksi Radiometrik
Band 1 sesudah Koreksi Radiometrik
Gambar 6. Perbandingan Histogram Band 1 Sebelum dan Sesudah Koreksi Radiometrik
31
Tabel 3. Nilai Digital Citra Sebelum dan Sesudah Koreksi Radiometrik Kanal Panjang Nilai Digital Awal Nilai Digital Gelombang (µm) Terkoreksi 1 0,45 – 0,52 46 – 252 0 – 206 2
0,52 – 0,60
34 – 254
0 – 220
3
0,63 – 0,69
16 – 253
0 – 237
4
0,76 – 0,89
8 – 254
0 – 246
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa semakin besar panjang gelombang pada kanal QuickBird, maka distorsi atmosfer terhadap kanal tersebut akan semakin berkurang. Pada panjang gelombang yang lebih pendek terjadi hamburan yang lebih kuat. Citra yang akan diproses haruslah citra yang telah terkoreksi secara geometrik dan radiometrik (Gambar 7).
Gambar 7. Citra Hasil Koreksi Geometrik dan Radiomertik
32
4.2. Klasifikasi Citra Komposit Sebelum proses klasifikasi dilakukan proses masking citra. Proses ini bertujuan untuk memudahkan proses klasifikasi dan meningkatkan akurasi klasifikasi. Pada penelitian ini dilakukan masking pada area awan dan laut untuk setiap kanal. Setelah itu dibuat terlebih dahulu citra komposit warna semu (False Colour Composit) pada kanal-kanal tertentu untuk mengetahui dan memperjelas objek pada citra. Citra komposit yang digunakan pada penelitian ini merupakan komposit dari kanal 4 (red), kanal 2 (green) dan kanal 3 (blue) (Gambar 8).
Gambar 8. Penajaman Citra dengan RGB 423
33
Pada citra komposit di atas, vegetasi mangrove tampak berwarna merah gelap yang terletak di pesisir pantai sedangkan vegetasi non-mangrove berwarna merah cerah dan terletak di tengah daratan. Pada citra tersebut laut yang berwarna biru dan awan yang berwarna putih telah dihilangkan (masking), untuk memudahkan dalam proses klasifikasi. Untuk menentukan jumlah kelas yang akan diklasifikasikan pada citra digunakan beberapa acuan, antara lain : visualisasi citra komposit, data lapang dan histogram citra komposit 423 (Gambar 9). Banyaknya puncak yang terdapat pada histogram dapat dianalogikan sebagai jumlah kelas yang dapat diklasifikasikan. Berdasarkan hasil pengamatan histogram, dapat diinterpretasikan bahwa citra komposit dapat dibagi menjadi 6 kelas, yaitu : 1.Pemukiman 2.Vegetasi lain 3.Bayangan Awan 4.Tambak 5.Avicennia 6.Rhizophora.
Gambar 9. Histogram Citra Komposit 423 Tiap kelas mempunyai selang nilai digital, yaitu : kelas pemukiman antara 45 – 56, kelas bayangan awan antara 41 – 52, kelas vegetasi lain antara 99 – 157,
34
kelas tambak antara 17 – 38, kelas Avicennia antara 81 – 95 dan Rhizophora antara 92 – 108. Dalam penentuan genus mangrove dilakukan dengan proses pembesaran (zoom) pada daerah tersebut, kemudian dilihat histogramnya. Berdasarkan histogram maka mangrove di P. Karimunjawa dapat dibedakan menjadi 2 kelas, yaitu Avicennia dan Rhizophora. Genus mangrove lainnya yang terdapat di P. Karimunjawa belum dapat dikelaskan. Hal ini dikarenakan kecilnya luasan mangrove tersebut, sehingga sulit untuk dibuat daerah contohnya (training area). Proses klasifikasi citra diawali dengan pembuatan training area pada daerah yang homogen. Training area tersebut didapatkan dari survei lapang, pengamatan visual citra dan peta rupabumi. Dalam klasifikasi tiap kelas diwakili oleh training area pada citra. Training area yang telah dibuat tersebut kemudian dihitung statistiknya untuk mengetahui ciri spektralnya sehingga dapat diketahui rata-rata, rentang atau distribusi digital number tiap kelas (Lampiran 2) dan tingkat keterpisahan spektral antar kelas (menggunakan uji nilai tengah / uji t). Secara visual keterpisahan spektral ditunjukkan oleh diagram kesesuaian spektral (Gambar 10). Distribusi atau sebaran pola tanggapan spekral daerah contoh dapat ditampilkan dalam bentuk grafik (Lampiran 3). Grafik ini merupakan pengecekan visual atas distribusi normal tanggapan spektral tersebut (Purwadhi, 2001). Grafik tersebut juga digunakan untuk memutuskan suatu band untuk memisahkan kelas tertentu agar tidak terjadi tumpang-tindih.
35
120 Digital Number
100
Avicennia Bayangan aw an
80
Pemukiman
60
Rhizophora
40
Tambak
20
Vegetasi lain
0 1
2
3
4
Band
Sumber : Diolah dari Lampiran 2 Gambar 10. Grafik Reflektansi Tiap Band Dari Beberapa Kenampakan Panjang Gelombang (ë) Sesuai Gambar 10 di atas, untuk memisahkan vegetasi non-mangrove dan mangrove digunakan kanal 4, karena kanal 4 memiliki respon spektral yang berbeda-beda tergantung banyaknya klorofil yang terdapat pada tanaman tersebut. Untuk memisahkan genus antara Avicennia dan Rhizophora juga digunakan kanal 4 sebagai kanal tunggal maupun dengan kombinasi kanal 3 dan kanal 4. Untuk mengetahui keterpisahan spektral tiap kelas dapat juga digunakan uji nilai tengah (uji t). Uji t (Lampiran 5) dapat memperkuat kesimpulan dari distribusi kesesuaian spektral. Dengan uji ini dapat diketahui apakah suatu band dapat memisahkan suatu kelas dengan nyata atau tidak pada selang kepercayaan tertentu. Training area yang telah dilihat karakteristik tiap kanalnya tersebut kemudian diproses dengan klasifikasi terselia / terbimbing (supervised classification) menggunakan metode kemiripan maksimun (maximum likelihood). Setelah itu dilakukan perhitungan statistik oleh software, dalam hal ini ER Mapper 5.5 untuk mengetahui luasan kelas dan akurasinya.
36
Peta hasil klasifikasi citra komposit 423 ditunjukkan pada Gambar 11. Klasifikasi citra komposit 423 memberikan informasi distribusi dan luas tutupan lahan. Luas tiap kelas tutupan lahan ditunjukkan pada Tabel 4.
Gambar 11. Hasil Klasifikasi Tutupan Lahan Citra QuickBird Komposit 423 Tabel 4. Luasan Penutupan Lahan Citra QuickBird Hasil Klasifikasi Kelas Jumlah Piksel Luas (ha) Pemukiman
23.400
13,93
Bayangan Awan
98.361
58,56
2.461.412
1.465,43
Tambak
51.223
30,49
Avicennia
40.537
24,13
198.117
117,95
Vegetasi Lain
Rhizophora
Pada P. Menjangan Besar dan P. Menjangan Kecil tidak berpenghuni, jadi tidak terdapat pemukiman. Di pulau tersebut tutupan lahan didominasi oleh
37
vegetasi lain non-mangrove dan hanya terdapat beberapa tambak serta sedikit mangrove. Pada P. Karimunjawa pemukiman banyak terdapat di pesisir selatan atau barat daya, hal ini dikarenakan pusat aktivitas penduduk seperti pelabuhan, sekolah dan pasar terkonsentrasi di daerah tersebut. Tambak terdapat di beberapa sisi pesisir pulau, dan untuk tutupan lahan didominasi oleh vegetasi lain non-mangrove karena relief pulau yang berbukit. Untuk mangrove Rhizophora banyak terdapat di pesisir bagian barat dan utara, sedangkan Avicennia banyak terdapat di pesisir bagian utara. Pemukiman memiliki areal terkecil sebesar 13,93 ha, sedangkan vegetasi lain memiliki luasan terbesar senilai 1.465,43 ha. 4.3. Ketelitian Klasifikasi Ketelitian hasil klasifikasi dilakukan untuk mengetahui kualitas citra hasil klasifikasi dengan cara membuat matriks kesalahan (confusion matrix). Confusion matrix untuk tiap kelas ditampilkan pada Lampiran 6. Dari matriks tersebut dapat diketahui beberapa parameter keakuratan, antara lain : overall accuracy, producer accuracy, user accuracy, dan koefisien kappa. Nilai produser accuracy berkisar antara 74% - 96%, dengan nilai terendah pada kelas Avicennia dan tertinggi pada kelas vegetasi lain. Nilai user accuracy berkisar antara 73,85% - 92,50%, dengan nilai terendah pada kelas vegetasi lain dan tertinggi pada kelas Avicennia. Produser’s accuracy (PA) adalah peluang (dalam %) suatu piksel akan diklasifikasikan dengan tepat, yang menunjukkan seberapa baik masing-masing kelas di lapangan telah diklasifikasikan. Nilai produser accuracy kelas
38
Rhizophora adalah 76%, artinya peluang suatu piksel Rhizophora yang terkelaskan dengan benar adalah 76%. User’s accuracy (UA) adalah nilai persentase peluang rata-rata piksel dari citra yang telah terklasifikasi secara aktual mewakili kelas di lapangan. Nilai user accuracy kelas Rhizophora adalah 88,64%, artinya setiap suatu area diberi label Rhizophora maka hanya 88,64% yang terwakili di lapangan. Overall accuracy (OA) adalah nilai persentase dari piksel yang terkelaskan dengan sempurna, sedangkan koefisien kappa adalah ketepatan yang dihasilkan oleh klasifikasi acak. Nilai Overall accuracy citra komposit 423 adalah 84,33% dengan koefisien kappa 0,812. Dari nilai tersebut dapat diinterpretasikan bahwa jumlah total piksel yang terkelaskan dengan benar adalah 84,33% dan proses klasifikasi yang dilakukan memiliki ketepatan 81,20% dari klasifikasi acak. 4.4. Analisis Indeks Vegetasi Untuk Kerapatan Mangrove Indeks vegetasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Difference Vegetation Index (DVI), Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Ratio Vegetation Index (RVI), Transformed Ratio Vegetation Index (TRVI), dan Transformed Normalized Vegetation Index (TNDVI). Dari kelima indeks vegetasi tersebut akan dipilih salah satu indeks vegetasi yang memiliki koefisien determinasi dan koefisien korelasi terbaik. Nilai kerapatan mangrove dan nilai indeks vegetasinya dapat dilihat pada Lampiran 7. Dari lima indeks vegetasi yang digunakan menghasilkan koefisien determinasi (R2) dan koefisien korelasi (r) yang dibedakan antara Rhizophora dan Avicennia (Tabel 5).
39
Tabel 5. Hubungan Antara Indeks Vegetasi dengan Kerapatan Rhizophora dan Avicennia Indeks Vegetasi Rhizophora Avicennia R2 (%)
r
R2 (%)
r
DVI
21,95
0,47
20,03
0,45
NDVI
31,23
0,56
66,45
0,81
RVI
54,02
0,73
56,90
0,75
TRVI
48,27
0,69
59,47
0,77
TNDVI
29,62
0,54
66,82
0,82
Dari indeks vegetasi tersebut yang memiliki koefisien determinasi terbesar untuk Rhizophora adalah RVI dengan koefisien determinasi (R2) = 54,02% dan korelasi (r) = 0,73. Untuk Avicennia koefisien determinasi terbesar (R2) = 54,02% dan korelasi (r) = 0,73 dengan TNDVI. Sebagai contoh nilai R2 RVI untuk Rhizophora adalah 54,02%, ini menunjukkan bahwa hubungan antara kerapatan Rhizophora dan RVI dapat dijelaskan sebesar 54,02%, nilai r sebesar 0,73 menunjukkan hubungan kerapatan Rhizophora dan RVI erat (Gambar 12).
16 14 12
y = 0.0015x + 7.4196 R2 = 0.5402
RVI
10 8 6 4 2 0 0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
Kerapatan (ind/ha)
Sumber : Diolah dari Lampiran 7 Gambar 12. Grafik Regresi Linear Antara Kerapatan Rhizophora dan RVI
40
Persamaan yang dihasilkan adalah : y = 0,0015x + 7,4196 Keterangan :
y = nilai indeks vegetasi x = kerapatan mangrove
Dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa nilai koefisien regresi bernilai positif. Ini berarti kerapatan Rhizophora dengan RVI berbanding lurus, yaitu semakin besar kerapatan Rhizophora maka semakin besar pula nilai RVI dan begitu pula sebaliknya. 4.5. Overlay Klasifikasi Citra Komposit dan Indeks Vegetasi Untuk menentukan jumlah kelas yang pada citra digunakan beberapa acuan, antara lain : visualisasi citra, data lapang dan histogram (Gambar 13). Banyaknya puncak yang terdapat pada histogram dapat dianalogikan sebagai jumlah kelas yang dapat diklasifikasikan.
Gambar 13. Histogram Citra Dengan Indeks Vegetasinya (a) TNDVI untuk Avicennia dan (b) RVI untuk Rhizophora Tiap kelas mempunyai selang nilai digital tertentu, untuk kerapatan Avicennia dengan algoritma TNDVI yaitu : kelas Avicennia sangat jarang < 1,1358,
41
Avicennia jarang 1,1359 – 1,1425, Avicennia sedang 1,1426 – 1,1529, Avicennia rapat 1,1530 – 1,1634, dan Avicennia sangat rapat > 1,1634. Untuk selang nilai digital kerapatan Rhizophora dengan algoritma RVI yaitu : kelas Rhizophora sangat jarang < 6,02, Rhizophora jarang 6,03 – 7,91, Rhizophora sedang 7,92 – 10,14, Rhizophora rapat 10,15 – 13,19, dan Rhizophora sangat rapat > 13,20. Klasifikasi citra komposit 423 menghasilkan kelas penutupan lahan dengan dua kelas mangrove, yaitu Avicennia dan Rhizophora. Citra algoritma TNDVI menghasilkan beberapa tingkat kerapatan Avicennia, dan citra algoritma RVI menghasilkan beberapa tingkat kerapatan Rhizophora. Overlay antara hasil klasifikasi citra komposit, kerapatan Avicennia dan kerapatan Rhizophora akan menghasilkan kelas mangrove berdasarkan kerapatannya (Gambar 14). Luas tiap kelas genus mangrove dan kerapatannya ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Luasan Genus dan Kerapatan Mangrove Kelas Jumlah Piksel
Luas (ha)
Avicennia sangat jarang
5.497
0,55
Avicennia jarang
6.188
0,62
Avicennia sedang
14.399
1 ,44
Avicennia rapat
9.786
0,98
Avicennia sangat rapat
2.876
0,29
Rhizophora sangat jarang
21.534
2,15
Rhizophora jarang
47.396
4,74
Rhizophora sedang
68.781
6,88
Rhizophora rapat
49.626
4,96
8.686
0,87
Rhizophora sangat rapat
42
E110026’00”
PETA DISTIBUSI DAN KERAPATAN MANGROVE DI P. KARIMUNJAWA
S5051’45”
E110025’45”
S5051’45”
Sumber : Citra Satelit QuickBird 3 Juli 2003 Dibuat oleh : Suseno Wangsit Wijaya / C06400040 Di Lab. Geomatic and Natural Resources BIOTROP
Gambar 14. Peta Distribusi dan Kerapatan Mangrove di P. Karimunjawa Dari gambar dan tabel di atas dapat dilihat bahwa luasan terbesar ada pada kelas Rhizophora dengan kerapatan sedang, sedangkan luasan terkecil terdapat pada kelas Avicennia sangat rapat. Hal ini sangat dimungkinkan karena Rhizophora banyak terdapat di sepanjang pesisir pulau sedangkan Avicennia hanya banyak terdapat pada pesisir utara saja. Avicennia merupakan tumbuhan pionir bagi mangrove, sedangkan Rhizophora tumbuh setelah mangrove mengalami suksesi. Di P. Karimunjawa ekosistem mangrovenya bukanlah suksesi primer, hal ini mengakibatkan Rhizophora terdapat jauh lebih banyak dibandingkan Avicennia.
43
4.6. Hubungan INP dan Indeks Vegetasi Pada penelitian - penelitian sebelumnya, penginderaaan jauh yang memanfaatkan citra satelit hanya dapat melihat distribusi, luasan dan kerapatan mangrove. Hal ini mengakibatkan belum diketahuinya apakah penginderaan jauh dengan satelit mampu mendeteksi suatu INP jenis mangrove. Sama halnya dengan kerapatan, untuk melihat INP dari citra satelit digunakan indeks vegetasi. Nilai INP mangrove dan nilai indeks vegetasinya dapat dilihat pada Lampiran 8. Dari lima indeks vegetasi yang digunakan menghasilkan koefisien determinasi (R2) dan koefisien korelasi (r) yang dibedakan antara Rhizophora dan Avicennia (Tabel 7). Tabel 7. Hubungan Antara Indeks Vegetasi dengan INP Rhizophora dan Avicennia Indeks Vegetasi Rhizophora Avicennia R2
r
R2
r
DVI
24,78
4,98
17,08
4,13
NDVI
29,08
5,39
12,82
3,58
RVI
30,11
5,49
7,17
2,68
TRVI
30,80
5,55
8,47
2,91
TNDVI
28,63
5,35
12,83
3,58
Indeks nilai penting suatu jenis mangrove ditentukan oleh kerapatan jenis, frekuensi jenis dan penutupan jenis. Nilai ini biasanya dihitung berdasarkan data survei lapang, untuk menghitung INP dengan citra satelit cukup sulit. Kesulitan ini disebabkan INP merupakan indeks ekologi yang memberikan gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove.
44
Satelit belum mampu mendeteksi hubungan antara suatu spesies dengan lingkungannya. Ini tercermin dari kecilnya koefisien determinasi dan koefisien korelasi antara INP dan nilai spektral satelit. Untuk Rhizophora koefisien determinasi terbesar R2 = 30,80 dengan r = 5,55, sedangkan untuk Avicennia koefisien determinasi terbesar R2 = 17,08 dengan r = 4,13. 4.7. Kondisi Ekosistem Mangrove Indeks Nilai Penting (INP) suatu jenis mangrove memberikan gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove. Indeks nilai penting ini berkisar antara 0 -300 untuk pohon serta anakan dan berkisar antara 0 – 200 untuk semai (Lampiran 9). Vegetasi mangrove yang ditemukan pada saat pengamatan dibedakan antara pohon, anakan dan semai. Jenis mangrove yang ditemukan mempunyai kerapatan dan luas penutupan jenis yang berbeda. Berdasarkan survei lapang hutan mangrove di P. Karimunjawa ditemukan delapan spesies mangrove, yaitu : Acanthus ilicifolius, Aegiceras corniculatum, Avicennia alba, Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, dan Sonneratia alba. Pada tingkat pohon hanya jenis Acanthus ilicifolius yang tidak ditemukan. Jenis ini hanya ditemukan di Stasiun 21 pada tingkat anakan dengan nilai INP sebesar 145. Jenis tumbuhan ini merupakan tumbuhan berduri dan dapat menjadi dominan di hutan mangrove yang rusak. Aegiceras corniculatum ditemukan pada tingkat pohon di Stasiun 10 dan 11, serta pada tingkat anakan di Stasiun 10 dan 12. Jenis ini berperan penting pada
45
tingkat semai di Stasiun 12 dengan nilai INP sebesar 156. Jenis tumbuhan ini sering tumbuh serempak membentuk semak belukar. Jenis Avicennia alba ditemukan pada tingkat pohon dan anakan di Stasiun 21, 22, 23, 24. Keempat staiun ini terletak di pesisir utara P. Karimunjawa yang letaknya relatif terlindung dari hempasan gelombang secara langsung. Jenis ini berperan penting di keempat stasiun tersebut. Excoecaria agallocha hanya terdapat pada tingkat pohon di Stasiun 2, 8, 11, 12. Jenis ini memiliki INP terendah di Stasiun 12 dengan nilai INP 52, dan memiliki INP tertinggi senilai 98 di Stasiun 11. Jenis ini memiliki getah yang berwarna putih susu dan dapat merusak mata. Jenis mangrove yang paling sering ditemukan adalah Rhizophora apiculata. Spesies ini ditemukan baik pada tingkat pohon, anakan maupun semai. Rhizophora apiculata berperan penting di beberapa stasiun, dengan nilai INP terendah sebesar 61 dan nilai INP tertinggi sebesar 300 untuk tingkat pohon. Rhizophora mucronata ditemukan pada tingkat pohon di Stasiun 2, 4 , 13, 14, 15, 16, 19, 20 dan pada tingkat anakan pada Stasiun 2, 4, 8, 14, 20. Jenis ini berperan penting pada tingkat pohon di Stasiun 13, 14, 15, 16 dengan nilai INP tertinginya sebesar 239. Pada tingkat anakan Rhizophora mucronata juga berperan penting di Stasiun 14 dengan INP sebesar 205. Jenis Rhizophora stylosa ditemukan pada tingkat pohon di Stasiun 6, 8, 10, 12, 16, 17, 18, pada tingkat anakan di Stasiun 5, 6, 7, 8, 10, 14, 18 dan semai di Stasiun 6. Spesies ini berperan penting pada tingkat pohon dan semai di Stasiun 6 dengan INP sebesar 192 dan 200. Untuk tingkat anakan Rhizophora stylosa berperan penting di Stasiun 6, 8, 10.
46
Sonneratia alba hanya dijumpai pada tingkat pohon di Stasiun 5, 20 dan 21, dengan nilai INP berkisar antara 77 – 187. Jenis ini merupakan vegetasi yang berperan penting di Stasiun 5. Masyarakat setempat banyak yang mengambil kayu dari hutan mangrove sehingga terjadi kerusakan di beberapa tempat. Luasan hutan mangrove di P. Karimunjawa semakin berkurang karena banyak dikonversi menjadi lahan tambak dan pemukiman.
47
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Salah satu kelebihan citra satelit QuickBird adalah resolusi spasialnya yang sangat tinggi, yaitu 2,44 m x 2,44 m. Dengan resolusi tersebut satelit ini mampu membedakan dua genus mangrove yaitu Avicennia dan Rhizophora. Genus lain yang terdapat di Karimunjawa tidak dapat dipisahkan karena luasannya kecil sehingga tidak dapat dibuat daerah latihnya. Nilai overall accuracy citra QuickBird komposit 423 adalah 84,33% dengan koefisien kappa 0,812. Avicennia memiliki nilai produser accuracy 72% dan nilai user accuracy 92,50%, sedangkan Rhizophora memiliki nilai produser accuracy 76% dan nilai user accuracy 88,64%. Kerapatan dan respon spektral memiliki hubungan linear, ini dapat dijelaskan dengan indeks vegetasi. Dari indeks vegetasi tersebut yang memiliki koefisien determinasi terbesar untuk Rhizophora adalah RVI dengan koefisien determinasi (R2) = 54,02% dan korelasi (r) = 0,73. Untuk Avicennia koefisien determinasi terbesar (R2) = 54,02% dan korelasi (r) = 0,73 dengan TNDVI. Untuk kerapatan Rhizophora dengan algoritma RVI memiliki persamaan regresi linear y = 0,0015x + 7,4196, dengan y = nilai indeks vegetasi, x = kerapatan mangrove. Dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa nilai koefisien regresi bernilai positif. Ini berarti kerapatan Rhizophora dengan RVI berbanding lurus, yaitu semakin besar kerapatan Rhizophora maka semakin besar pula nilai RVI dan begitu pula sebaliknya. Dari hasil klasifikasi penutupan lahan dan klasifikasi indeks vegetasi dilakukan proses overlay. Hasil overlay ini berinformasikan genus mangrove dan tingkat
48
kerapatannya. Pada hasil overlay kelas Rhizophora dengan kerapatan sedang memiliki luasan terbesar, dan kelas Avicennia dengan kerapatan sangat rapat memiliki luasan terkecil. Kecilnya koefisien determinasi dan koefisien korelasi antara Indeks Nilai Penting (INP) dan nilai spektral satelit menandakan satelit belum mampu mendeteksi hubungan antara nilai spektral dengan INP mangrove. Kesulitan ini disebabkan INP merupakan indeks ekologi, yang menyatakan peranan jenis mangrove dalam komunitasnya. Berdasarkan hasil survei lapang ditemukan delapan jenis mangrove, yaitu : Acanthus ilicifolius, Aegiceras corniculatum, Avicennia alba, Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, dan Sonneratia alba. Jenis yang paling banyak dijumpai adalah Rhizophora apiculata yang tersebar di pesisir bagian barat sampai utara pulau. Jenis Avicennia alba hanya dijumpai di pesisir utara pulau, hal ini dikarenakan wilayahnya yang relatif terlindung dari hempasan ombak secara langsung. 5.2. Saran Dalam menentukan reflektansi dari tanaman mangrove lebih akurat jika menggunakan spektroradiometri. Untuk penelitian lebih lanjut perlu dipilih suatu lokasi yang memiliki genus mangrove lebih beragam. Selain itu perlu dilakukan pengukuran biomassa, penutupan tajuk dan Leaf Area Indeks (LAI). Hal ini berguna untuk membandingkan faktor apa yang paling erat hubungnnya dengan indeks vegetasi.
49
DAFTAR PUSTAKA Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ). 2002. Inventarisasi dan Penyebaran Mangrove di Taman Nasional Karimunjawa. BTNKJ. Semarang. Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2004. Kawasan Taman Nasional Laut Karimunjawa. http://mofrinet.cbn.net.id/informasi/tamnas/karim_1.html Carolita, I., I Made P., Y. Erowati, dan Asikin A. 1995. Monitoring Keadaan Hutan dengan Menggunakan Data NOAA AVHRR di Daerah Kalimantan Barat dan Sebagian Kalimantan Timur. Warta LAPAN volume 43 Hal 32-42. Jakarta. Chaudhury, M. U. 1985. LANDSAT : Application to Mangrove Ecosystem Studies. UNDP/ESCAP Regional Remote Sensing Programme and SEAMEO-BIOTROP. Bogor. Hal 57-63. Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting, dan M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Dewanti, R. 1999. Kondisi Hutan Mangrove di Kalimantan Timur, Sumatra, Jawa, Bali dan Maluku. Majalah LAPAN edisi Penginderaan Jauh No.01 Vol. 01. LAPAN. Jakarta. Digital Globe. 2004. Standart Imagery. http://www.digitalglobe.com Dirgahayu, D., M. Kusumowidagdo, E. D. Djaiz, dan I Made P. 1992. Metode Penentuan Potensi Hutan dengan Menggunakan Data Satelit Penginderaan Jauh. (Prosiding Hasil-hasil Penelitian Proyek Pemanfaatan Satelit Lingkungan dan Cuaca). Pusfatja-LAPAN. Jakarta.Hal 16-25. English, S., C. Wilkinson dan V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institut of Marine Science. Fanani, Z. 1992. Pengantar Interpretasi Data Penginderaan Jauh. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Green, E.P., P.J. Mumby, A.J. Edwards, dan C.D. Clark. 2000. Remote Sensing Handbook for Tropical Coastal Management. Coastal Management Sourcebook 3, UNESCO. Paris.
50
Hariyadi. 1999. Pembentukan Algoritma Penduga Kerapatan Vegetasi Mangrove Menggunakan Data Landsat Thematic Mapper (Studi Kasus di Kawasan Segara Anakan, Jawa Tengah). Skripsi (Tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor Harsanugraha, W. K. dan Farid T. 1999. Transformasi Resolusi Spasial Citra Inderaja AVHRR dalam Proses Pengolahan Data Indeks Vegetasi. (Prosiding Hasil-hasil Penelitian Proyek Teledeteksi Sumber Alam TELSA – Pusat Teknologi Inderaja). Pusfatja-LAPAN. Jakarta. Hal 531544. Hartono. 1994. Penggunaan Penginderaan Jauh Menggunakan Landsat Thematic Mapper (Studi Kasus da Areal HPH PT. Bina Lestari Indragiri Hulu, Riau). Skripsi (Tidak dipublikasikan). Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Japan International Coorporation Agency (JICA). 1998. Pengertian Dasar Mangrove (Bakau). Ministry of Suistainable Mangrove and Estate Crops and Japan International Coorporation Agency. Bali. Kusmana, C. 1995. Ekologi Hutan. Lab Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Lillesand, T. M. dan R.W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Diterjemahkan oleh Dulbari et al. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Lo, C. P. 1996. Penginderaan Jauh Terapan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Macnae, W. 1974. Mangrove Forest and Fisheries. FAO/UNDP Indian Ocean Programme. Rome. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. PT Djambatan. Jakarta. Nybakken, J. W. 1982. Biologi Laut : Sautu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh H.M. Eidman, Koesoebiono, D.G. Bangen, M. Hutomo, dan S.Sukarjo. PT Gramedia. Jakarta. Purwadhi, F.S.H. 2001. Interpretasi Citra Digital. PT Grasindo. Jakarta. Soegiarto, A. 1982. Peranan Ekosistem hutan Bakau Khususnya Ditinjau dari Pengembangan Perikanan. Prosiding Pertemuan Teknis Evaluasi Hasil Survei Hutan Bakau. Direktorat Bina Sumber Hayati –Dirjen PerikananDeptan. Jakarta. Hal 33-35. Susilo, S.B. 2000. Penginderaan Jauh Terapan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
LAMPIRAN
51
Lampiran 1. Data Hasil Survei Lapang No. Stasiun 1
Posisi
Transek / Spesies Tingkat Rhizophora apiculata 05052'27,03" LS Pohon 110026’02,65” BT
Anakan Semai 2 05052'27,04" LS Pohon 110026’03,19” BT Anakan 3
Semai 05052'27,56" LS Pohon 110026’02,64” BT
Anakan Semai 4 05052'27,66" LS Pohon 110026’03,18” BT Anakan 5
05052'24,54" LS Pohon 110026’00,60” BT Anakan
6
05052'24,76" LS Pohon 110026’01,16” BT Anakan
7 8
Semai 05052'25,08" LS Pohon 110026’00,84” BT Anakan 05052'25,26" LS Pohon 110026’01,80” BT Anakan
05052'07,80" LS Pohon 110025’55,39” BT Anakan 10 05052'07,83" LS Pohon 110025’55,99” BT 9
Keliling (cm) 63,73,18,37,31,31,30,32,31, 22,43,21,19,15,37,24,25,54, 25,32,27 Rhizophora apiculata 7,5,7 Rhizophora apiculata 4 Rhizophora apiculata 14,49,17,55,54 Rhizophora mucronata 15,14 Aegiceras corniculatum 56 Excoecaria agallocha 57,43 Rhizophora apiculata 10,11,6,5 Rhizophora mucronata 11,5 Rhizophora apiculata 4,3 Rhizophora apiculata 31,21,24,29,44,35,21,28,18, 15,18,34,21,40,19,35,30,38, 24,27,31,25,20,22,17,20,14, 20,15,14,13,39,34,32 Rhizophora apiculata 6,5 Rhizophora apiculata 3 Rhizophora apiculata 18,17,33,17,17,17,17,49,51, 61,31,31,28,19,38,26,31,27, 26,20,23 Rhizophora mucronata 23 Rhizophora apiculata 8,8,6,8,7,8,7,7,8,7 Rhizophora mucronata 8 Rhizophora apiculata 14,24,14,16,14 Sonneratia alba 53,15,15,15,17,15,14,14 Rhizophora apiculata 8,8,11,12 Rhizophora mucronata 8,8,7,9,7,5 Rhizophora apiculata 14,13,13 Rhizophora stylosa 14,21,16 Rhizophora apiculata 5,6,9 Rhizophora stylosa 5,6,9,7,7 Rhizophora stylosa 4 Rhizophora apiculata 13,18,30,14,14 Rhizophora apiculata 8,7,8,8,6,10,5 Rhizophora stylosa 8,6,12 Rhizophora apiculata 14,15,17,18 Rhizophora stylosa 16 Excoecaria agallocha 26 Rhizophora apiculata 9 Rhizophora mucronata 11 Rhizophora stylosa 7,9,11,12,8,5 Rhizophora apiculata 14,21,23,13,14,20,17,18 Rhizophora apiculata 10 Rhizophora apiculata 15,24,18,18,14,27,15,21,20 Rhizophora stylosa 23 Aegiceras corniculatum 17
52
13
05051'41,28 " LS Pohon 110025’48,87” BT
Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Aegiceras corniculatum Rhizophora apiculata Aegiceras corniculatum Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Aegiceras corniculatum Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata
14
05051'41,30 " LS Pohon 110025’49,53” BT
Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata
Anakan 11
12
05052'08,28 " LS Pohon 110025’55,44” BT Anakan 05052'08,31 " LS Pohon 110025’55,97” BT Anakan
Anakan 15
16
17
05051'41,86 " LS Pohon 110025’48,88” BT
Anakan 05051'41,84 " LS Pohon 110025’49,51” BT
05050'04,51 " LS Pohon 110026’37,50” BT
Anakan 18 05050'04,54 " LS Pohon 110026’38,42” BT Anakan 19
05050'05,13 " LS Pohon 110026’37,47” BT
Anakan 20 05050'05,12 " LS Pohon 110026’38,31” BT Anakan
Rhizophora mucronata Rhizophora stylosa Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata
Rhizophora apiculata Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Rhizophora stylosa Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Rhizophora apiculata Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Rhizophora apiculata Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Rhizophora apiculata
8 12 7 13,19,17 19,19 18,23 11,11,7,9 22 14,16,19 15 10,7 7,12 19,34,37 26,27,26,20,31,31,22,26,38, 41,27,30,36,23 20,35,25,29,13,25 39,43,17,16,21,34,14,19,15, 25,22,14,26,14,17,21,17,21, 24,31 7,8,5,11,7 11 17,22,22 32,25,17,18,25,36,22,19,13, 19,2315,32,20,24,36,18,15, 15,13,26,24,23,19,17,18,15, 18,17,15,22,16,25,19,19,22, 21,46,21,18,22,13,27,18,13, 17 7,4 18,30,17,16,17,17,32,22,16, 27,19,23,34,25 20,18,18,17,19,16,16,17,15, 15,24,19,17,16,28,16,33 16 17,26,67,17,16,27,25,17,17, 25,31,18,15,15,17,17,68,25 20 8,11,12,7,11,9 21,17,38,60,18,16,36,31,16, 28,13,24,19,16,24,28,21,18 81,17,22,20,22 8,5,10,6 7,12 16,31,19,28,25,16,17,21,14, 13,14,19 23 7,11,8 19,21,24,26,15,13,37,19,14, 18,15,31,17,16,22,28,18,14, 17,13,11,23,24,18 18 8,9,7,5
53
21
05049'39,39 " LS Pohon 110028’01,71” BT Anakan
22
05049'39,40 " LS Pohon 110028’02,31” BT
Anakan 23 05049'40,02 " LS Pohon 110028’01,70” BT Anakan 24 05049'39,99 " LS Pohon 110028’02,32” BT Anakan
Avicennia alba Sonneratia alba Acanthus ilicifolius Avicennia alba Avicennia alba Sonneratia alba Avicennia alba Avicennia alba Avicennia alba Avicennia alba Avicennia alba
14,16,16,19,14,13,27,18,14, 26,13,14,17,16,17,14,16,15, 16,19,13 33,30 6,7,5 8,12 24,15,19,14,14,19,15,14,16, 13,14,14,14,13 17,18 12,5,10,8,9,6 19,13,13,13,24,31,14,16,13, 14,14,17,14,13,16,14,17,14 12,9,9,11,8 15,17,23,14,39,16,21,13,14, 14 10,8,8,11,8,7
54
Lampiran 2. Perhitungan Statistik Nilai Rentang, Nilai Rata-Rata dan Standard Deviasi Nilai Digital Citra Satelit QuickBird a. Tabel Rentang Nilai Digital Tiap Kelas Kelas Pemukiman Bayangan awan Vegetasi Lain Tambak Avicennia Rhizophora
Jumlah Piksel 31 381 929 764 30 239
Band 1 min maks 7 11 5 11 2 11 3 10 2 5 2 8
Rentang 2 Band Band 3 min maks min maks 9 16 18 31 4 11 5 12 6 22 7 33 4 16 8 21 7 10 8 13 4 15 6 15
b. Tabel Rata–Rata Nilai Digital Tiap Kelas Class / Region Avicennia Bayangan awan Pemukiman Rhizophora Tambak Vegetasi lain All
Band 1 3.30 6.40 8.61 4.60 6.35 6.05 5.83
Band 2 8.33 6.97 12.74 8.52 8.17 13.44 12.09
Band 3 8.87 7.21 24.42 8.90 13.71 13.91 12.52
Band 4 91.83 47.58 48.55 97.52 29.52 109.69 99.59
Band 3 1.20 0.96 4.18 1.49 2.27 4.04 4.23
Band 4 7.17 6.91 7.15 18.57 4.58 22.03 30.28
c. Tabel Standar Deviasi Nilai Digital Tiap Kelas Class / Region Avicennia Bayangan awan Pemukiman Rhizophora Tambak Vegetasi lain All
Band 1 0.60 0.85 1.05 1.40 1.11 1.55 2.24
Band 2 0.88 1.01 2.31 2.05 1.87 2.50 3.89
Band 4 min maks 40 60 31 64 49 157 17 38 74 107 49 152
55
Lampiran 3. Grafik Rata-Rata dan Standard Deviasi Digital Number Tiap Band
Band 1
Digital Number
12 10 8
•
6
• +•
4
• -•
2 0 1
2
3
4
5
6
Kelas
Band 2
Digital Number
20 15
•
10
• +• • -•
5 0 1
2
3
4
5
6
Kelas
DIgital Number
Band 3 35 30 25 20 15 10 5 0
• • +• • -•
1
2
3
4
5
6
Kelas
Digital Number
Band 4 140 120 100 80 60 40 20 0
• • +• • -•
1
2
3
4 Kelas
5
6
56
Lampiran 4. Contoh Perhitungan Uji Nilai Tengah (Uji T)
Diketahui nilai rata – rata (xi), simpangan baku (si) dan jumlah sampel (ni) dari kelas Avicennia dan Rhizophora, yaitu : Avicennia :
x1 = 91.83
Rhizophora :
x2 = 97.52
s1 = 7.17
s2 = 18.57
n1 = 30
n2 = 239
H0
:
ì 1=ì 2
H1
:
ì 1• ì 2
á
:
0.05
Wilayah kritik :
t < -1,96
dan
t > 1,96
Perhitungan : v=
2
2
( s1 / n1 + s 2 / n 2 ) 2
2
( s1 / n1 ) 2 ( s 2 / n 2 ) 2 + n1 − 1 n2 − 1
v = 91
t=
t=
x1 − x 2 − 2 2
2
( s1 / n1 ) + ( s 2 / n2 ) 91.83 − 97.52 − 2 (7.17 2 / 30) + (18.57 2 / 23)
t = -3.21
Interpretasi : Karena t hitung masuk dalam wilayah kritik, maka diputuskan tolak H0 dan disimpulkan bahwa tidak terjadi tumpang tindih antara rata-rata contoh dari kelas Avicennia dan Rhizophora.
57
Lampiran 5. Nilai Thitung Citra Komposit 423
a. Tabel Nilai Thitung Citra Komposit 423 untuk Band 1 Kelas Avicennia Avicennia Bayangan awan -26.44 Pemukiman -24.33 Rhizophora -9.16 Tambak -26.29 Vegetasi lain -22.89
B. awan
-11.42 17.87 0.81 5.18
Pemukiman Rhizophora
19.12 11.71 13.07
-17.64 -13.94
Tambak
Vegetasi lain
4.60
b. Tabel Nilai Thitung Citra Komposit 423 untuk Band 2 Kelas Avicennia Avicennia Bayangan awan 8.05 Pemukiman -9.91 Rhizophora -0.87 Tambak 0.93 Vegetasi lain -28.19
B awan
Pemukiman
Rhizophora
Tambak
-13.81 -10.84 -14.11 -66.64
9.71 10.88 -1.64
2.32 -31.52
-49.59
Vegetasi lain
c. Tabel Nilai Thitung Citra Komposit 423 untuk Band 3 Kelas Avicennia Bayangan awan Pemukiman Rhizophora Tambak Vegetasi lain
Avicennia B. awan 7.40 -19.90 -0.12 -20.74 -19.73
-22.88 -15.58 -67.73 -47.32
Pemukiman
Rhizophora
20.52 14.19 13.79
-38.03 -30.59
Tambak Vegetasi lain
-1.28
d. Tabel Nilai Thitung Citra Komposit 423 untuk Band 4 Kelas Avicennia Bayangan awan Pemukiman Rhizophora Tambak Vegetasi lain
Avicennia
B. awan
Pemukiman
Rhizophora
32.65 23.62 -3.20 47.24 -11.94
-0.73 -39.89 46.22 -77.19
-27.86 14.71 -41.51
56.08 -8.68
Tambak Vegetasi lain
-108.12
57
Lampiran 6. Confusion Matrix Klasifikasi Citra Komposit 423 Koefisien Kappa = 0,812 Classification
Reference Data
Total
UA
Baris
(%)
Data
Pemukiman
Bayangan Awan
Pemukiman
38
1
1
2
0
0
42
90,47
Bayangan Awan
6
45
1
0
3
3
58
77,58
Vegetasi Lain
1
2
48
2
7
5
65
73,85
Tambak
4
1
0
46
0
0
51
90,19
Avicennia
0
0
0
0
37
3
40
92,50
Rhizophora
1
1
0
0
3
39
44
88,64
Total Kolom
50
50
50
50
50
50
300
74,00
90,00
96,00
90,00
72,00
76,00
PA (%) Overall accuracy
Vegetasi Lain
Tambak
Avicennia
Rhizophora
84,33
(%)
PA = Producer accuracy UA = User accuracy
58
59
Lampiran 7. Nilai Kerapatan Vegetasi Mangrove dan Nilai Indeks Vegetasinya
DVI
NDVI
TRVI
TNDVI
12.166
3.483889
1.160543
9.974567
3.143865
1.145462
13.35007
3.634429
1.163534
0.839693
12.14063
3.461595
1.157298
0.722829
6.928323
2.591619
1.105168
59.6875
0.771258
8.780134
2.917778
1.126769
500
65.1875
0.772578
8.220089
2.845995
1.127856
600
76.25
0.823342
10.5307
3.236042
1.150321
9
800
56.1875
0.624967
5.267035
2.238459
1.056779
10
1100
86.5
0.80643
9.446023
3.068542
1.142953
11
700
53.375
0.607483
5.120414
2.200021
1.047192
12
500
86.5625
0.804064
9.412349
3.058457
1.141895
13
1700
86.5625
0.804064
9.412349
3.058457
1.141895
14
2600
78.125
0.827967
10.7872
3.277548
1.152342
15
4900
98.5
0.866488
14.1529
3.755782
1.168953
16
3200
79.6875
0.823422
10.41753
3.223722
1.15038
17
1900
112.0625
0.846414
12.11092
3.476573
1.160338
18
2300
105.0625
0.8469
12.1101
3.478108
1.160554
19
1300
94
0.817905
10.09977
3.172947
1.147972
20
2500
113.5
0.850878
12.49867
3.53203
1.162261
21
2300
83.0625
0.809334
9.781833
3.115408
1.144164
22
1600
86.0625
0.827832
10.73958
3.272193
1.152288
23
1800
79.6875
0.815877
9.954167
3.150984
1.147094
24
1000
85.125
0.83314
11.05191
3.321725
1.154604
Stasiun
Kerapatan
1
2100
93.625
0.846893
2
1000
90.9375
0.812276
3
3400
84.9375
0.854111
4
2200
77.6875
5
1300
45.5
6
600
7 8
RVI
60
Lampiran 8. Nilai INP Mangrove dan Nilai Indeks Vegetasinya
TRVI
TNDVI
3.483889
1.160543
3.143865
1.145462
3.634429
1.163534
3.461595
1.157298
2.591619
1.105168
2.917778
1.126769
2.845995
1.127856
3.236042
1.150321
2.238459
1.056779
3.068542
1.142953
2.200021
1.047192
3.058457
1.141895
3.058457
1.141895
3.277548
1.152342
3.755782
1.168953
3.223722
1.15038
3.476573
1.160338
3.478108
1.160554
3.172947
1.147972
20
300 93.625 0.846893 12.166 173 90.9375 0.812276 9.974567 300 84.9375 0.854111 13.35007 300 77.6875 0.839693 12.14063 113 45.5 0.722829 6.928323 300 59.6875 0.771258 8.780134 300 65.1875 0.772578 8.220089 215 76.25 0.823342 10.5307 300 56.1875 0.624967 5.267035 251 86.5 0.80643 9.446023 110 53.375 0.607483 5.120414 248 86.5625 0.804064 9.412349 300 86.5625 0.804064 9.412349 300 78.125 0.827967 10.7872 300 98.5 0.866488 14.1529 300 79.6875 0.823422 10.41753 300 112.0625 0.846414 12.11092 300 105.0625 0.8469 12.1101 300 94 0.817905 10.09977 300 113.5 0.850878 12.49867
3.53203
1.162261
21
216
83.0625
0.809334
9.781833
3.115408
1.144164
22
223
86.0625
0.827832
10.73958
3.272193
1.152288
23
300
79.6875
0.815877
9.954167
3.150984
1.147094
24
300
85.125
0.83314
11.05191
3.321725
1.154604
Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
INP
DVI
NDVI
RVI
Lampiran 9. INP Mangrove Tingkat Pohon Tiap Stasiun Jenis 2 3 4 5 6 7 8 Total
1 0 0 0 300 0 0 0 300
2 53 0 74 126 47 0 0 300
3 0 0 0 300 0 0 0 300
4 0 0 0 243 57 0 0 300
5 0 0 0 113 0 0 187 300
6 0 0 0 138 0 162 0 300
7 0 0 0 300 0 0 0 300
8 0 0 85 152 0 63 0 300
9 0 0 0 300 0 0 0 300
10 49 0 0 196 0 55 0 300
11 92 0 98 110 0 0 0 300
Stasiun 12 13 0 0 0 0 52 0 150 87 0 213 98 0 0 0 300 300
14 0 0 0 98 202 0 0 300
15 0 0 0 61 239 0 0 300
16 0 0 0 130 132 38 0 300
17 0 0 0 242 0 58 0 300
18 0 0 0 190 0 110 0 300
19 0 0 0 233 67 0 0 300
20 0 0 0 243 57 0 0 300
21 0 216 0 0 0 0 84 300
22 0 223 0 0 0 0 77 300
23 0 300 0 0 0 0 0 300
24 0 300 0 0 0 0 0 300
Keterangan : 1. Acanthus ilicifolius 2. Aegiceras corniculatum 3. Avicennia alba 4. Excoecaria agallocha 5. Rhizophora apiculata 6. Rhizophora mucronata 7. Rhizophora stylosa 8. Sonneratia alba
61
Lanjutan (Lampiran 9). INP Mangrove Tingkat Anakan Tiap Stasiun Jenis 1 2 3 5 6 7 Total
1 0 0 0 300 0 0 300
2 0 0 0 181 119 0 300
3 0 0 0 300 0 0 300
4 0 0 0 231 69 0 300
5 0 0 0 153 0 147 300
6 0 0 0 124 0 176 300
7 0 0 0 183 0 117 300
8 0 0 0 57 64 179 300
9 0 0 0 300 0 0 300
10 0 87 0 92 0 121 300
11 0 0 0 300 0 0 300
Stasiun 12 13 0 0 156 0 0 0 144 0 0 0 0 0 300 0
14 0 0 0 0 205 95 300
15 0 0 0 300 0 0 300
16 0 0 0 0 0 0 0
17 0 0 0 300 0 0 300
18 0 0 0 171 0 129 300
19 0 0 0 300 0 0 300
20 0 0 0 0 300 0 300
21 145 0 155 0 0 0 300
22 0 0 300 0 0 0 300
23 0 0 300 0 0 0 300
24 0 0 300 0 0 0 300
Keterangan : 1. Acanthus ilicifolius 2. Aegiceras corniculatum 3. Avicennia alba 4. Excoecaria agallocha 5. Rhizophora apiculata 6. Rhizophora mucronata 7. Rhizophora stylosa 8. Sonneratia alba
62
Lanjutan (Lampiran 9). INP Mangrove Tingkat Semai Tiap Stasiun Jenis 5 7 Total
1 200 0 200
2 200 0 200
3 200 0 200
4 0 0 0
5 0 0 0
6 0 200 200
7 0 0 0
8 0 0 0
9 0 0 0
10 0 0 0
11 0 0 0
Stasiun 12 13 0 0 0 0 0 0
14 0 0 0
15 0 0 0
16 0 0 0
17 0 0 0
18 0 0 0
19 0 0 0
20 0 0 0
21 0 0 0
22 0 0 0
23 0 0 0
24 0 0 0
Keteranagn 1. Acanthus ilicifolius 2. Aegiceras corniculatum 3. Avicennia alba 4. Excoecaria agallocha 5. Rhizophora apiculata 6. Rhizophora mucronata 7. Rhizophora stylosa 8. Sonneratia alba
63
64
Lampiran 10. Resample Karakteristik Spektral a. Nilai Piksel Kelas Pemukiman No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Band 1 10 10 11 9 10 10 10 10 10 9 9 7 8 9 9 7 5 6 7 9 9 7 8 8 11 9 9 7 8 8 8 7 9 9 9 9 9 9 10 10 11 10 7 6 4 4 5 6 3 4
Band 2 16 12 14 14 15 14 14 13 12 12 12 8 9 15 12 10 9 8 10 11 11 6 11 11 13 13 13 11 11 12 11 12 12 12 12 12 12 12 16 16 18 15 10 8 6 5 6 7 5 5
Band 3 25 22 22 26 21 20 25 23 20 21 21 10 17 27 20 15 15 15 17 17 18 12 18 18 21 24 28 20 19 22 20 16 20 21 20 21 22 19 25 25 31 29 20 15 11 8 7 14 7 7
Band 4 40 44 37 51 59 42 42 39 41 46 41 56 41 55 50 38 38 39 40 50 45 43 42 42 42 55 47 48 51 46 49 52 42 47 42 47 47 39 49 49 59 49 45 48 30 47 57 42 44 45
65
b. Nilai Piksel Kelas Bayangan Awan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Band 1 5 6 6 7 5 6 8 9 6 6 9 11 6 7 9 11 6 7 9 11 8 9 10 11 2 3 4 4 3 4 3 3 4 3 3 3 3 3 4 3 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3
Band 2 7 8 8 8 7 8 10 12 7 8 11 12 9 10 12 12 9 10 12 14 12 12 14 15 4 5 5 6 4 6 5 5 5 5 6 5 6 6 7 5 5 6 5 4 5 3 4 4 5 4
Band 3 8 9 8 10 7 9 13 15 8 9 11 14 9 10 12 14 9 10 12 14 11 11 13 16 4 7 7 7 6 7 5 5 6 5 6 5 5 6 6 5 5 5 4 5 5 4 5 4 5 4
Band 4 43 46 46 43 40 41 42 43 41 40 44 44 54 54 60 44 54 54 60 58 61 61 64 59 36 41 43 36 29 36 47 47 49 43 42 40 49 42 44 39 39 48 36 33 44 33 35 37 40 37
66
c. Nilai Piksel Kelas Vegetasi Lain No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Band 1 5 5 4 4 6 6 3 3 4 4 4 4 3 4 11 11 3 4 3 3 3 4 3 3 3 3 3 3 4 4 4 3 5 4 5 3 4 3 4 4 4 4 3 9 8 8 10 8 9 9
Band 2 10 10 11 13 12 12 9 9 10 10 10 11 11 11 20 18 7 10 8 8 9 11 10 8 9 10 9 10 9 14 14 11 12 12 15 12 13 12 11 13 10 13 8 18 17 17 19 17 19 14
Band 3 12 12 11 11 13 13 9 10 9 10 10 11 11 10 32 31 8 8 8 8 9 9 9 8 9 10 9 10 9 11 11 10 11 11 11 10 11 11 9 12 8 12 8 15 14 13 18 14 15 15
Band 4 113 113 113 116 109 109 112 115 111 119 109 121 104 119 70 69 103 121 107 100 117 118 118 100 117 98 105 104 105 118 118 98 96 104 120 98 110 112 113 99 115 99 101 104 106 116 105 116 114 97
67
d. Nilai Piksel Kelas Tambak No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Band 1 4 5 5 8 7 7 7 7 8 7 7 6 6 7 8 4 9 5 9 6 6 6 5 5 5 5 6 6 5 6 6 6 7 7 6 6 6 5 5 6 7 6 6 6 6 7 11 8 8 9
Band 2 6 6 7 8 9 9 9 10 9 8 9 8 11 7 9 7 15 8 12 11 11 10 9 9 9 10 12 11 10 9 9 11 11 13 11 11 10 10 10 12 12 10 11 11 10 9 15 9 9 9
Band 3 10 11 11 15 14 14 14 16 15 14 15 14 16 14 15 14 22 13 18 18 17 16 14 14 15 15 17 17 16 15 15 17 18 20 18 18 16 16 16 18 18 16 18 16 16 13 22 13 14 14
Band 4 24 25 26 28 28 28 28 34 34 31 36 31 39 32 35 31 33 31 41 27 29 29 28 28 29 31 34 28 28 29 29 32 34 37 28 28 28 29 29 30 32 28 28 26 25 36 33 37 33 33
68
e. Nilai Piksel Kelas Avicennia No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Band 1
Band 2 2 3 5 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 3 4 3 3 5 3 3 4 4 4 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 5 3 4 3 3 3 3 4
7 7 10 8 8 8 9 8 9 8 8 8 9 9 8 9 9 10 11 9 9 8 7 10 10 7 9 9 8 8 10 7 7 9 7 8 7 8 8 7 7 7 13 7 8 8 8 7 7 7
Band 3 8 8 11 9 9 9 10 9 8 9 8 8 10 10 9 8 9 13 13 9 9 10 9 13 10 8 9 9 8 8 9 9 8 9 7 8 7 8 8 7 7 7 12 8 9 9 9 8 8 8
Band 4 87 87 93 87 88 87 96 96 88 87 92 92 89 92 84 92 92 91 84 92 92 94 85 93 95 85 89 91 89 89 82 93 91 89 90 94 86 94 94 86 95 95 96 86 89 89 91 93 90 87
69
f. Nilai Piksel Kelas Rhizophora No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Band 1 5 5 6 6 6 5 6 6 4 6 6 5 5 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 6 4 5 5 4 4 5 4 4 4 4 4 4 6 7 7 7 6 7 7 8 7 6 7 8 7
Band 2 9 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 7 7 7 6 7 7 7 7 7 7 7 9 8 8 11 8 8 10 8 8 9 10 9 9 10 12 11 11 9 10 11 12 11 10 10 12 11
Band 3 8 7 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 7 7 8 8 7 7 7 7 8 8 8 8 10 9 9 11 10 8 9 9 9 9 9 8 9 11 12 12 11 10 11 10 12 11 10 10 12 11
Band 4 99 102 99 99 97 101 99 99 95 99 99 98 96 104 106 102 103 104 99 97 100 97 98 97 97 94 98 101 101 103 102 97 98 104 108 111 98 106 101 100 108 100 102 102 97 101 104 107 97 110
70
Lampiran 11. Foto Mangrove di Sekitar Lokasi Penelitian
Salah Satu Kondisi Mangrove di Pesisir Utara P. Karimunjawa
Salah Satu Kondisi Mangrove di Pesisir Barat P. Karimunjawa
Salah Satu Kondisi Mangrove Rusak di P. Karimunjawa
71
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sleman, pada tanggal 4 Januari 1983 sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Drs. Suharto Widjojo, MA. dan Dwi Siwi Yudiarti, S.Pd. Tahun 1997-2000 penulis menyelesaikan pendidikan di SMUN 3 Bogor. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2000 dan memilih program studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama di IPB penulis aktif di Organisasi HIMITEKA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan) sebagai staff Hubungan Luar periode 2001-2002 dan Kepala Departemen PSDM periode 2002-2003. Penulis pernah melakukan magang kerja di PT. Sea World Indonesia pada bulan Juni 2003. Penulis juga pernah menjadi asisten pada Mata Kuliah Avertebrata Air (2002), Persamaan Differensial Biasa (2003), Oseanografi Kimia (2003), dan Oseanografi Umum (2004-2005). Penulis pernah mengikuti pelatihan MST-Course (Marine Science TrainingCourse) kerjasama antara FPIK-IPB dan DAAD. Penulis juga pernah mengikuti pelatihan selam dari TNI-AL pada Bulan April-Mei 2004 untuk mendapatkan sertifikat selam internasional ONE STAR SCUBA DIVER. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul ” Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra Satelit QuickBird Untuk Pemetaan Mangrove di Pulau Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah”.