Pemetaan Lanskap Habitat Bentik Menggunakan Data Penginderaan Jauh Multispektral di Pulau Kemujan Kepulauan Karimunjawa Pramaditya Wicaksono Penginderaan Jauh dan SIG Sekolah Vokasi UGM
[email protected] Intisari — Penelitian ini bertujuan untuk memetakan kenampakan lanskap bawah air habitat bentik di Pulau Kemujan, Kepulauan Karimunjawa, dengan menggunakan data penginderaan jauh multispektral. Representasi lanskap habitat bentik mampu memberikan informasi distribusi spasial ecomorphology dari habitat bentik, yang dapat digunakan lebih lanjut untuk keperluan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dengan semakin berkembang dan intensifnya aktivitas manusia pada wilayah pesisir yang memiliki habitat bentik, informasi tersebut menjadi kebutuhan mendasar dan utama. Informasi landskap habitat bentik yang disajikan dalam penelitian ini adalah variasi geomorfologis habitat bentik, variasi ekologis habitat bentik, dan topografi dasar perairan habitat bentik hingga batas kedalaman dari laut dangkal optis. Citra penginderaan jauh multispektral yang digunakan adalah Worldview-2. Variasi geomorfologis habitat bentik diperoleh melalui interpretasi visual pada komposit warna asli. Variasi ekologi habitat bentik dipetakan melalui integrasi data lapangan dan pengolahan citra digital Worldview-2 yang mencakup koreksi radiometrik, transformasi citra, dan klasifikasi multispektral. Topografi dasar perairan dimodelkan secara semi empiris menggunakan data batimetri hasil pengukuran lapangan. Masing-masing parameter lanskap tersebut diuji akurasi dengan menggunakan sampel independen sebelum diintegrasikan. Akurasi yang dihasilkan sangat baik yaitu lebih dari 40% untuk 24-28 kelas habitat bentik. Integrasi ketiga informasi tersebut akan memberikan gambaran utuh dari lanskap bawah air habitat bentik. Keywords— Worldview-2, lanskap, habitat bentik, batimetri
I. PENDAHULUAN Saat ini tekanan di wilayah pesisir akibat dari aktivitas manusia semakin meningkat, yang utamanya disebabkan oleh aktivitas keluar masuk kapal, eksploitasi sumberdaya alam, pembangunan infrastruktur, budidaya perikanan, dan pariwisata ([4],[9]). Semua kegiatan diatas merupakan bagian dari pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Untuk dapat mengevaluasi kesesuaian pengelolaan dan melihat bagaimana dampak lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas pengelolaan tersebut, maka perlu dibangun sebuah informasi dasar mengenai sumberdaya alam yang berada di wilayah tersebut. Lanskap habitat bentik adalah salah satu informasi sumberdaya alam yang
mampu menampilkan sumberdaya alam habitat bentik secara komprehensif. Salah satu wilayah pesisir di pulau-pulau kecil yang mulai mengalami tekanan-tekanan tersebut adalah Kepulauan Karimunjawa. Saat ini pulaupulau di Kepulauan Karimunjawa mendapat tekanan dari aktivitas pariwisata yang mulai meningkat sejak tahun 2008 [3]. Meningkatnya aktivitas pariwisata ini juga diiringi dengan meningkatnya pembangunan infrastruktur di wilayah pesisir Karimunjawa. Kondisi ini berpotensi untuk memberikan dampak negatif terhadap komposisi dan kesehatan habitat bentik di wilayah tersebut, seperti yang terjadi di wilayah pesisir lain ([4],[6]). Karenanya, perlu dilakukan inventarisasi data habitat bentik, dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran utuh dari kondisi lanskap sumberdaya alam habitat bentik di Pulau Kemujan, yang dapat dijadikan baseline dalam menilai dan mengevaluasi kebijakan pengelolaan di masa mendatang. Perolehan informasi dasar sumberdaya alam di Pulau Kemujan dan pulau-pulau kecil lainnya secara umum membutuhkan suatu pendekatan yang cepat, akurat, aman, terjangkau, dan dapat diulangi secara rutin. Penggunaan data penginderaan jauh multispektral merupakan solusi terbaik dalam menjawab kebutuhan tersebut [5]. Citra penginderaan jauh multispektral berbasis satelit mampu menyediakan informasi spasial secara rutin multitemporal, menjangkau area yang sulit diakses, mencakup area yang luas, menyediakan data pada berbagai tingkat kedetilan dan mengurangi jumlah data yang harus dikumpulkan melalui survei lapangan. Sistem multispektral lebih ditekankan karena saat ini datanya jauh lebih banyak tersedia, serta biaya, waktu dan sumberdaya yang dibutuhkan untuk memperoleh dan mengolahnya jauh lebih rendah dibanding data hiperspektral. Tujuan lain dari penggunaan data multispektral adalah agar supaya penelitian ini dapat diterapkan secara luas, yang artinya dengan menggunakan data multispektral maka prosedur dan hasil penelitian ini dapat diulangi untuk diterapkan di daerah lain dengan hasil yang relatif sama karena datanya tersedia. Data penginderaan jauh yang digunakan untuk mewakili data multispektral pada adalah Worldview-2 (WV2). Saat ini WV2 dan WV3
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2015
57
merupakan data multispektral resolusi spasial tinggi dengan resolusi spektral dan kualitas data terbaik. Dengan melihat potensi data penginderaan jauh yang telah dijelaskan diatas, maka perlu dilakukan penelitian untuk melihat sejauh mana data penginderaan jauh mampu digunakan untuk memberikan gambaran lanskap habitat bentik secara utuh dan komprehensif. Tujuan dari penelitian ini adalah merepresentasikan kenampakan lanskap bawah air habitat bentik di Pulau Kemujan, Kepulauan Karimunjawa, dengan menggunakan data penginderaan jauh multispektral. II. METODE PENELITIAN A. Skema Klasifikasi Lanskap Habitat Bentik Lanskap mempunyai arti yang sangat luas dan bervariasi tergantung dari sudut pandang keilmuan yang menerjemahkannya. Menurut [2], secara geografis ada tiga unsur pembentuk lanskap yaitu bentuk permukaan bumi, flora dan fauna alami yang menempatinya, dan penggunaan lahan. Dari penjelasan diatas maka lanskap bawah air habitat bentik yang dimaksud pada penelitian ini mencakup topografi bawah air habitat bentik beserta informasi geomorfologis dan ekologis yang berada diatasnya. Informasi geomorfologis habitat bentik mengacu pada kelas geomorfologis habitat bentik yang dikembangkan oleh [8], yaitu back reef, reef flat, lagoon, reef crest, reef cut, fore reef, spur and groove, escarpment, shelf, dan patch reef. Skema klasifikasi ekologis habitat bentik level Major berisi variasi: 1) terumbu karang, 2) lamun, 3) makro alga, dan 4) substrat terbuka, yang ada di Pulau Kemujan. Untuk skema klasifikasi habitat bentik level Detil, terumbu karang didetilkan berdasarkan life-form-nya i.e. branching, tabular, digitate, massive, foliose, sub-massive. Lamun dibedakan berdasarkan komposisi spesiesnya i.e. Ea, Th, Cr [15]. Makro alga dipisahkan berdasarkan warna pigmennya [13]. Substrat terbuka dibedakan berdasarkan jenis tutupannya i.e. sand, rubble. B. Survei Lapangan Survei lapangan habitat bentik dan batimetri dilakukan di laut dangkal optis Pulau Kemujan pada rentang waktu 2011-2014. Proses pengambilan sampel habitat bentik dilakukan melalui metode photo-transect [10]. Alat yang digunakan antara lain peralatan snorkel, kamera underwater, drybag, dan GPS 76Csx. Total sampel yang diperoleh sebanyak 1920, dibagi menjadi 1138 sampel untuk proses klasifikasi multispektral dan 820 untuk uji akurasi. Jumlah sampel ini akan diekstrapolasikan jumlah dan distribusi spasialnya melalui pendekatan yang dijelaskan pada sub-bab 2A. Topografi bawah air habitat bentik berisi informasi batimetri. Informasi kedalaman untuk pemodelan batimetri diperoleh melalui Echo
Sounder GPSmap 178c yang dipasang pada kapal survei. Jumlah total sampel batimetri yang diperoleh adalah 257 yang mencakup kedalaman 0 – 25 m. Namun, untuk penelitian ini, pemodelan hanya dilakukan hingga kedalaman 10 m dengan mempertimbangkan distribusi vertikal dari habitat bentik. Mayoritas habitat bentik di Pulau Kemujan berada di perairan dengan kedalaman kurang dari 10 m. Sebanyak 97 sampel digunakan untuk pemodelan empiris dan 98 digunakan untuk uji akurasi. C. Koreksi Radiometrik Citra WV2 yang digunakan dalam penelitian ini direkam pada tanggal 24 Mei 2012. Perbedaan waktu rekam citra dan survei lapangan diasumsikan tidak mempengaruhi proses integrasi karena berdasarkan survei lapangan, dalam rentang waktu tersebut tidak terdapat perubahan signifikan terhadap konfigurasi habitat bentik di wilayah kajian. Citra ini mempunyai enam saluran tampak (cyan, biru, hijau, kuning, merah, dan red-edge) dan dua saluran inframerah dekat (NIR1 dan NIR2). Resolusi radiometriknya adalah 16-bit dan resolusi spasialnya adalah 2 m. Koreksi radiometrik citra mencakup kalibrasi sensor, koreksi atmosferik, koreksi sunglint, dan koreksi kolom air. Kalibrasi sensor adalah konversi nilai Digital Number (DN) menjadi nilai radiansi spektral [11]. Koreksi atmosferik bertujuan untuk menghilangkan path radiance dari nilai TOA reflectance. Metode yang digunakan adalah Dark subtract [1]. Koreksi sunglint dilakukan dengan memanfaatkan kuatnya hubungan pantulan spektral tubuh air antara saluran tampak dan inframerah [7]. Koreksi kolom air dilakukan dengan metode Depth Invariant Bottom Index [5] dengan input pantulan spektral pasir pada berbagai kedalaman. D. Principle Component Analysis (PCA) Transformasi PCA diterapkan dengan tujuan untuk mengumpulkan informasi yang terdapat pada tiap saluran spektral kedalam beberapa komponen yang lebih efektif. Transformasi PCA dapat memberikan informasi yang tidak dapat diberikan oleh saluran spektral tunggal, terutama untuk objek bawah air seperti habitat bentik yang variasi pantulan spektralnya dipengaruhi oleh kolom air dan kedalaman [14]. E. Masking Habitat Bentik Piksel selain habitat bentik, yaitu laut dalam optis dan daratan di hilangkan melalui proses Masking agar tidak ikut terproses saat klasifikasi. Proses masking dilakukan dengan mencari threshold batas laut dangkal optis pada citra hasil transformasi PCA. F. Klasifikasi Multispektral Tiga
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2015
algoritma
klasifikasi
multispektral
58
digunakan untuk memetakan kondisi ekologi habitat bentik. Ketiga algoritma itu adalah Minimum Distance to Mean, Mahalanobis Distance, dan Maximum Likelihood. Input proses klasifikasi adalah citra WV2 terkoreksi sunglint, training area hasil integrasi antara intepretasi visual dan data hasil survei lapangan. G. Uji Akurasi Uji akurasi klasifikasi habitat bentik dilakukan dengan teknik confusion matrix. Input dari confusion matrix adalah training area yang tidak digunakan dalam proses klasifikasi multispektral. Uji akurasi pemodelan batimetri dilakukan melalui analisis Standard Error of Estimate (SE), dengan menggunakan sampel batimetri yang tidak dilibatkan dalam pemodelan empiris. Semakin rendah nilai SE, maka pemodelan batimetri tersebut semakin akurat. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pemetaan Ekologi Habitat Bentik Pemetaan ekologi habitat bentik diawali dengan melakukan interpretasi visual pada citra hasil koreksi sunglint, koreksi kolom air dan transformasi PCA, untuk mendapatkan training area dalam rangkaian proses klasifikasi multispektral habitat bentik. Interpretasi dilakukan dengan bantuan komposit warna asli pada citra WV2 Deglint (R,G,B 532), kolom air (DII R,G,B DII35, DII25, DII23), dan hasil transformasi PCA dari citra Deglint dan DII (R,G,B 123, 234, 341). Interpretasi dilakukan dengan membatasi tiap fitur habitat bentik yang berbeda secara visual pada masing-masing citra. Hasilnya adalah poligon – poligon tentatif dari kelas-kelas habitat bentik. Proses selanjutnya adalah dengan memberikan label pada tiap-tiap poligon tersebut dengan menumpangsusunkan data lapangan hasil survei photo-transect diatas poligon tersebut. Poligon tersebut kemudian diberikan label dengan mendasarkan pada dominansi kelas habitat bentik pada data lapangan yang masuk didalamnya. Tiap poligon akan memiliki dua label kelas habitat bentik, yaitu kelas pada skema major dan kelas pada skema detil. Poligon yang terlabeli dijadikan training area untuk proses klasifikasi multispektral dan uji akurasi klasifikasi. Dengan menggunakan pendekatan ini maka jumlah dan variasi training area tidak sama antar citra yang digunakan. Hal ini dikarenakan hasil interpretasi visual yang berbeda, dimana citra hasil transformasi PCA mempunyai variasi paling tinggi dibanding citra lainnya. Ini disebabkan tingginya variasi objek dan warna yang dapat dikenali langsung oleh interpreter secara visual. Dengan kata lain, jumlah training area dalam penelitian ini ada delapan set (Skenario 1).
Pendekatan ini akan menguntungkan masingmasing citra karena training area dibangun berdasarkan kemampuan optimal masing-masing citra dalam membedakan objek habitat bentik, sehingga akurasi akan dapat dimaksimalkan. Kelemahannya adalah hasil dan akurasi klasifikasi tidak dapat dibandingkan satu sama lain karena kedetilan input dan ouputnya berbeda. Karenanya, dibuat skenario lain (Skenario 2), yaitu dengan menggunakan training area dari citra PCA345 untuk semua citra. Training area dari citra PCA345 dipilih sebagai training area independen karena mempunyai variasi habitat bentik yang paling banyak dibanding training area dari citra yang lain. Jumlah training area yang diperoleh sebanyak 314.513 sampel untuk klasifikasi dan 328.856 untuk uji akurasi. Dengan demikian, hasil dan akurasi antar citra dapat dibandingkan. Meskipun demikian, hasilnya dapat kurang optimal untuk beberapa citra. Hasil uji akurasi pemetaan habitat bentik menggunakan skenario 1 (4 kelas) disajikan pada Tabel 1. Dengan training area nya masing-masing, dapat dilihat bahwa akurasi tertinggi mencapai 69,21% yang dihasilkan oleh citra PCA123 menggunakan algoritma maximum likelihood. Citra ini juga mempunyai akurasi rata-rata tertinggi yaitu 66,76%. Citra PCA341 dan Deglint menghasilkan akurasi sedikit lebih rendah dengan perbedaan akurasi 1-3%. Pada level major, koreksi kolom menghasilkan akurasi yang justru lebih rendah – terpaut hingga 8%-- dari citra yang Deglint maupun PCA. TABEL I AKURASI PEMETAAN HABITAT BENTIK PADA LEVEL MAJOR MENGGUNAKAN SKENARIO 1. AKURASI DARI BEBERAPA CITRA TIDAK DAPAT DIUJI KARENA HASIL KLASIFIKASI NYA INVALID
Data Deglint PCA123 PCA234 PCA341 PCA345 DII (35,25,23) DII-PCA123 DII-PCA234 DII-PCA341 Rata – rata
Minimum Distance 63.29% 65.26% 44.74% 66.56% 47.09% 44.44% 64.77% 51.27% 55.93%
Algoritma Klasifikasi Mahalanobis Maximum Distance Likelihood 65.87% 68.93% 65.81% 69.21% 43.25% 48.57% 65.62% 67.24% 46.10% 51.90% 60.52% 60.23% 56.33% 58.18% 57.64% 60.61%
Rata - rata 66.03% 66.76% 45.52% 66.47% 48.36% 44.44% 61.84% 55.26%
Pada level detil (24-28 kelas), secara umum akurasi pemetaan berkurang secara signifikan (Tabel 2). Akurasi tertinggi yang diperoleh adalah 55.43% dari citra DII-PCA234 dengan algoritma maximum likelihood. Meskipun demikian, akurasi rata-rata tertinggi dihasilkan oleh DII-PCA123 yaitu 50,53%, sedangkan DII-PCA234 mempunyai akurasi rata-rata terbaik ketiga setelah DII. Citra terkoreksi kolom air mampu menghasilkan peta habitat bentik pada level detil dengan akurasi yang lebih baik dibanding citra Deglint dan PCA. Akurasi citra DII meningkat hingga 4% untuk
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2015
59
80% 60% Akurasi
pemetaan pada level detil. Penurunan akurasi pada citra terkoreksi kolom air juga tidak sebesar citra Deglint maupun hasil transformasi PCA. Penurunan akurasi pada citra DII-PCA adalah sebesar 19,48±5,58%, sedangkan untuk citra Deglint dan PCA mencapai sebesar 30,75±14,02%. Hasil ini menunjukkan pentingnya koreksi kolom air untuk pemetaan habitat bentik pada tingkat kompleksitas yang tinggi.
40% 20% 0% Deglint PCA 123
TABEL II AKURASI PEMETAAN HABITAT BENTIK PADA LEVEL DETIL MENGGUNAKAN SKENARIO 1
Deglint PCA123 PCA234 PCA341 PCA345 DII (35,25,23) DII-PCA123 DII-PCA234 DII-PCA341 Rata – rata
Minimum Distance 20.81% 28.55% 39.72% 32.37% 21.55% 54.34% 51.72% 47.35% 31.13% 36.39%
Algoritma Klasifikasi Mahalanobis Maximum Distance Likelihood 33.97% 29.06% 27.72% 33.25% 32.88% 34.78% 20.97% 31.28% 26.79% 29.06% 48.84% 42.03% 47.75% 52.13% 36.12% 55.43% 29.37% 34.99% 33.82% 38.00%
Rata – rata 27.95% 29.84% 35.79% 28.21% 25.80% 48.40% 50.53% 46.30% 31.83%
Hasil uji akurasi pemetaan habitat bentik menggunakan Skenario 2 disajikan pada Tabel 3. Pada skenario ini akurasi antar citra dapat langsung dibandingkan. Klasifikasi pada level major menunjukkan bahwa citra PCA123 mempunyai akurasi maksimum maupun akurasi rata-rata tertinggi. Citra Deglint mempunyai akurasi kedua tertinggi dengan perbedaan akurasi 1-5%. Akurasi terendah dihasilkan oleh DII-PCA123 dengan akurasi rata-rata 34,15%, yang terpaut hingga 11% dengan citra dengan akurasi diatasnya. Seperti halnya pada skenario 1, citra terkoreksi kolom air menghasilkan akurasi yang lebih rendah dibandingkan citra Deglint dan PCA (Gambar 1). TABEL III AKURASI PEMETAAN HABITAT BENTIK PADA LEVEL MAJOR MENGGUNAKAN SKENARIO 2 Data Deglint PCA123 PCA234 PCA341 PCA345 DII (35,25,23) DII-PCA123 DII-PCA234 DII-PCA341 Rata - rata
Minimum Distance 52.92% 53.59% 43.11% 47.09% 42.90% 34.69% 53.61% 40.12% 46.00%
Algoritma Klasifikasi Mahalanobis Maximum Distance Likelihood 57.17% 53.74% 54.64% 58.61% 43.27% 50.31% 52.97% 53.41% 46.10% 51.90% 39.16% 28.60% 53.59% 50.18% 47.11% 47.64% 49.25% 49.30%
Rata – rata 54.61% 55.61% 45.57% 53.19% 48.36% 42.90% 34.15% 52.46% 44.96%
PCA 341
Skenario 1
PCA 345
DII
DII – PCA 123
DII – PCA 234
DII – PCA 341
Skenario 2
Gbr. 1 Perbandingan akurasi rata-rata pemetaan habitat bentik pada level major untuk skenario 1 dan skenario 2
Perbedaan utama antara skenario 1 dan skenario 2 adalah akurasi pemetaan pada level major dan detil, dimana pada skenario 2 citra Deglint dan PCA tetap menghasilkan akurasi yang lebih tinggi dibanding citra terkoreksi kolom air (Tabel 4, Gambar 2). Namun, penurunan akurasi dari level major ke level detil untuk citra Deglint dan PCA tetap lebih tinggi dari citra terkoreksi kolom air, yaitu 24,51±12,98% berbanding 14,53±1,88% (Gambar 3). Dengan kata lain, akurasi pemetaan dari citra terkoreksi kolom air relatif lebih stabil. Hal lain yang dapat diperoleh adalah bahwa citra Deglint mempunyai akurasi yang relatif stabil pada skenario 2, ditunjukkan dengan penurunan akurasi yang hanya sebesar 3,3%. TABEL IV AKURASI PEMETAAN HABITAT BENTIK PADA LEVEL DETIL MENGGUNAKAN SKENARIO 2 Data
Minimum Distance 43.32% 33.12% 4.45% 20.00% 15.68% 40.44% 19.43% 33.52% 36.18% 27.35%
Deglint PCA123 PCA234 PCA341 PCA345 DII (35,25,23) DII-PCA123 DII-PCA234 DII-PCA341 Rata - rata
Algoritma Klasifikasi Mahalanobis Maximum Distance Likelihood 45.43% 50.43% 33.04% 35.79% 8.96% 6.38% 27.68% 24.19% 19.37% 23.47% 21.40% 15.99% 17.41% 26.20% 34.90% 45.56% 24.07% 36.13% 25.81% 29.35%
Rata - rata 46.39% 33.98% 6.60% 23.96% 19.51% 25.95% 21.01% 37.99% 32.12%
80%
60% Akurasi
Data
PCA 234
40%
20%
0% Deglint PCA 123
PCA 234
PCA 341
Skenario 1
PCA 345
DII
DII – PCA 123
DII – PCA 234
DII – PCA 341
Skenario 2
Gbr. 2 Perbandingan akurasi rata-rata pemetaan habitat bentik pada level detil untuk skenario 1 dan skenario 2.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2015
60
Gambar 3 menunjukkan bahwa semakin tinggi perbedaan akurasi, maka penurunan akurasi dengan meningkatnya kedetilan kelas akan semakin besar dan sebaliknya. Lebih lanjut, semakin rendah perbedaan akurasi antar skenario maka semakin stabil citra tersebut dalam menerima berbagai macam variasi training area. Dalam hal ini, citra yang paling stabil adalah DII-PCA234. Terlebih lagi, citra DII-PCA234 mempunyai perbedaan akurasi yang relatif rendah. 50%
Perbedaan Akurasi
40% 30% 20%
Gbr. 5 Peta ekologi habitat bentik pada level detil
10%
Beberapa poin penting yang dapat diekstrak dari hasil pemetaan ekologi habitat bentik yang telah dipaparkan diatas antara lain: 1. Akurasi pemetaan menurun dengan meningkatkan kompleksitas skema klasifikasi habitat bentik 2. Transformasi PCA mampu memberikan peningkatan akurasi, baik pada citra Deglint maupun terkoreksi kolom air 3. Algoritma klasifikasi maximum likelihood mempunyai akurasi tertinggi dibanding dua algoritma klasifikasi lainnya. 4. Kualitas visual tidak selalu berhubungan dengan akurasi pemetaan, ditunjukkan dengan rendahnya akurasi pemetaan dari citra PCA345 meskipun objek habitat bentik yang dapat dikenali pada citra adalah yang paling banyak. 5. Terjadi penurunan akurasi jika training area yang digunakan independen terhadap kondisi citra
0% Deglint PCA 123
PCA 234
PCA 341
Skenario 1
PCA 345
DII
DII – PCA 123
DII – PCA 234
DII – PCA 341
Skenario 2
Gbr. 3 Perbandingan perbedaan rata-rata akurasi antara level major dan detil pada skenario 1 dan skenario 2.
Peta ekologi habitat bentik pada level major dan detil dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.
B. Pemetaan Geomorfologi Habitat Bentik Pemetaan geomorfologi dilakukan secara visual pada citra PCA345 menggunakan kunci interpretasi yang dikembangkan oleh [8]. Hasilnya diperoleh 8 kelas geomorfologi terumbu karang (Gambar 6).
Gbr. 4 Peta ekologi habitat bentik pada level major
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2015
61
D. Lanskap Habitat Bentik Lanskap habitat bentik hasil integrasi informasi batimetri dan ekologi habitat bentik disajikan pada Gambar 8.
Gbr. 6 Peta geomorfologi habitat bentik Pulau Kemujan hasil interpretasi visual citra PCA345
C. Pemodelan Batimetri Hasil pemodelan empiris batimetri menunjukkan bahwa band kuning dan merah mempunyai korelasi (r) dan koefisien determinasi (R2) tertinggi untuk pemodelan menggunakan band tunggal dan band tunggal LN. Untuk band rasio, rasio antara (LNcyan/LN-kuning), (LN-biru/LN-kuning) dan (LNkuning/LN-red-edge) menghasilkan model batimetri terbaik. Dari beberapa model tersebut, model batimetri dari (LN-cyan/LN-kuning) mempunyai nilai SE yang paling rendah, yaitu sebesar 1,22 m (r = -0,763, R2 = 0,582, Gambar 7). Kedepan, akurasi model batimetri ini dapat ditingkatkan dengan menggunakan pendekatan yang dikembangkan oleh [12]. Pada penelitian tersebut, SE pemodelan batimetri dapat ditekan hingga dibawah 1 m. 12 Kedalaman (m)
10 8
y = -17.756x + 13.244 R² = 0.5827
6 4 2 0 0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
Rasio (LN-cyan/LN-kuning)
Gbr. 8 Lanskap habitat bentik hasil pemodelan data penginderaan jauh multispektral
IV. KESIMPULAN Informasi lanskap habitat bentik, yang sangat bermanfaat bagi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki area habitat bentik, berhasil dimodelkan melalui integrasi data penginderaan jauh dan survei lapangan. Akurasi yang dihasilkan masuk dalam kategori sangat baik karena mampu memperoleh akurasi lebih dari 40% untuk 24-28 kelas habitat bentik. Penelitian sebelumnya hanya mampu menghasilkan akurasi dibawah 40% untuk pemetaan habitat bentik dibawah dua puluh kelas. Kedepan, informasi lanskap habitat bentik ini dapat dibuat secara multi temporal dengan tujuan untuk: 1) menyajikan informasi penting mengenai distribusi spasial sumberdaya alam di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil, 2) sebagai baseline untuk mengevaluasi dampak pengelolaan dimasa mendatang, 3) membantu dalam menentukan jalur keluar masuk kapal, 4) membantu dalam menentukan lokasi ideal untuk wisata bahari dan dampaknya, dan 5) sebagai dasar dalam analisis ekologi dan fungsinya secara lebih lanjut. REFERENSI [1]
Gbr. 7 Model regresi antara kedalaman (m) dengan rasio (LNcyan/LN-kuning) dan model batimetri yang dihasilkan
[2]
Armstrong, R. A. (1993). Remote sensing of submerged vegetation canopies for biomass estimation. International Journal of Remote Sensing , 14, 10-16. Burton, R. (1995). Travel Geography. Harlow, Essex: Pitman Publishing.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2015
62
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
Jepara Tourism Information Center. (2014). Kunjungan Statistik Wisatawan. Retrieved April 15, 2015, from Tourism Information Center. Your Gateaway to Jepara Tourism: http://ticjepara.com El-Askary, Abd El-Mawla, S. H., Li, J., El-Hattab, M. M., & El-Raey, M. (2014). Change detection of coral reef habitat using Landsat-5 TM, Landsat 7 ETM+ and Landsat 8 OLI data in the Red Sea (Hurghada, Egypt). International Journal of Remote Sensing , 35 (6), 23272346. Goodman, J. A., Purkis, S. J., & Phinn, S. R. (2013). Corel Reef Remote Sensing A Guide for Mapping, Monitoring and Management. (S. R. Phinn, Ed.) Springer. Green, E. P., Mumby, P. J., Edwards, A. J., & Clark, C. D. (2000). Remote Sensing Handbook for Tropical Coastal Management. Coastal Management Sourcebooks 3. (A. J. Edwards, Ed.) Paris: UNESCO Hedley, J. D., Harborne, A. R., & Mumby, P. J. (2005). Simple and Robust Removal of Sunglint for Mapping Shallow-Water Benthos. International Journal of Remote Sensing , 26 (10), 2107-2112. Mumby, P. J., & Harborne, A. R. (1999). Development of a systematic classification scheme of marine habitats to facilitate regional management and mapping of Caribbean coral reefs. Biology Conservation , 88, 155-163. Nicholls, R. J., Wong, P. P., Burkett, V. R., Codignotto, J. O., Hay, J. E., McLean, R. F., et al. (2007). Coastal systems and low-lying areas. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge, UK: Cambridge University Press. Roelfsema, C. M., & Phinn, S. R. (2009). A manual for conducting georeferenced photo transects surveys to assess the benthos of coral reef and seagrass habitats. Queensland: Centre for Remote Sensing & Spatial Information Science, School of Geography, Planning & Environmental Management, University of Queensland Updike, T., & Comp, C. (2010). Radiometric Use of WorldView-2 Imagery. Longmont, Colorado: DigitalGlobe®. Wicaksono, P. (2010). Integrated Model of Water Column Correction Technique for Improving Satellite-Based Benthic Habitat Mapping. Yogyakarta: Gadjah Mada University. Wicaksono, P. (2014a). Pemetaan Makro Alga Menggunakan Citra Penginderaan Jauh Resolusi Spasial Tinggi di Pulau Kemujan Kepulauan Karimunjawa. Seminar Nasional Teknologi Terapan II. Yogyakarta: Sekolah Vokasi UGM. Wicaksono, P. (2014b). The use of image rotations on multispectral-based benthic habitats mapping. The 12th Biennial Conference of PORSEC 2014. Denpasar, Bali: PORSEC. Wicaksono, P., & Hafizt, M. (2013). Mapping seagrass from space: Addressing the complexity of seagrass LAI mapping. European Journal of Remote Sensing , 46, 1839.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada DigitalGlobe® dan terhadap Prof. Stuart Phinn dari Biophysical Remote Sensing Group, University of Queensland yang telah menyediakan data Worldview-2 Kepulauan Karimunjawa untuk penelitian ini.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2015
63