PROCEEDING SIMPOSIUM NASIONAL IATMI 2001 Yogyakarta, 3-5 Oktober 2001
APLIKASI PEMBORAN SIDETRACK MENGGUNAKAN TEKNOLOGI COILED TUBING PADA FORMASI SHALE Andi Eka Prasetia, Harry Budihardjo Jurusan Teknik Perminyakan UPN”Veteran” Yogyakarta, E-mail:
[email protected],
[email protected]
Kata kunci : Torsi, Sidetrack, Tool face, Bit balling, Visplex, BHA. ABSTRAK Pemboran Sidetrack menggunakan teknologi coiled tubing (Coiled Tubing Drilling) Merupakan hal yang baru dalam dunia perminyakan, terutama di Indonesia. Sidetrack merupakan awal pertama pada pemboran berarah dan horizontal pada open hole maupun cased hole untuk menghindari fishing dan daerah objective lain yang jauh dari target. Alasan digunakanya CTD dikarenakan bisa dilakukan pada underbalance, lebih ekonomis dan praktis, ramah lingkungan serta mudah pengoperasianya. Sifat dasar shale seperti mudah mengembang menimbulkan masalah yang berdampak luas pada jalannya operasi pemboran seperti penyimpangan arah dan sulitnya pengangkatan cutting serta tidak efefctifnya laju penembusan. Untuk itu diperlukanya analisa pada factor formasi, Weight on Bit (WOB) dan modifikasi Bottom Hole Assembly (BHA) serta desain lumpur pemboran. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui permasalahan yang terjadi pada waktu pemboran sidetrack menggunakan coiled tubing yang dilakukan pada formasi shale serta analisanya sehinga sebagai acuan untuk pemboran berikutnya. Untuk lebih komprehensif di sajikan pula kasus pemboran sidetrack menggunakan coiled tubing pada sumur ”X” dilapangan “Y” di Laut Jawa, Indonesia. Kesimpulan secara garis besar pada makalah ini adalah Mengetahui sifat- sifat shale sangat menentukan sekali dalam pertimbangan penentuan Bottom Hole Assembly ( BHA ) dan juga desain lumpur untuk kelancaran operasi pemboran, Sebagai contoh untuk empertahankan laju penembusan dibutuhkan jenis bit yang memiliki kekuatan penetrasi tinggi pada formasi lunak untuk itu Poly Diamond Crystaline (PDC ) bit diganti dengan Thermally Sterable Polycrystalline ( TSP ) dengan perbesaran motor. Keunggulan coiled tubing drilling dibanding jenis pemboran lain yaitu dapat di lakukan dalam kondisi underbalance, hemat waktu dan tempat, ramah lingkungan sehingga perkembanganya akan menjadi teknologi pemboran yang mempunyai prospek cerah 1. PENDAHULUAN Teknologi Coiled Tubing merupakan hal yang baru dibidang teknologi pemboran. Teknologi ini mulai dikenalkan di Indonesia ada tahun 1996. Perkembangan selanjutnya, dikembangkan oleh ARII pada tahun 1997 untuk pemboran (pilot project) pada sumur – sumur yang telah mengalami penurunan produksi. Pengertian dari coiled tubing adalah suatu tubing yang dapat digulung terbuat dari campuran baja dan carbon secara kontinyu. Pada operasi pemboran menggunakan coiled tubing, drill pipe tidak digunakan seperti pada pemboran konvensional (rotary drilling). Pemboran mengunakan coiled tubing mempunyai beberapa kelebihan diantaranya; dapat digunakan pada kondisi underbalance sehingga dapat meminimalkan kerusakan formasi akibat invasi dari filtrat lumpur kedalam formasi, Coiled Tubing Unit (CTU) merupakan peralatan kompak sehingga tidak memerlukan tempat yang luas dan mudah dalam pengangkutanya, mengurangi waktu cabut pasang pipa ( Round trip ) karena pada coiled tubing merupakan tubing string yang kontinyu. Keuntungan – keuntungan yang telah disebutkan diatas mendorong pengembangan untuk aplikasi coiled tubing terutama dalam pemboran sidetrack yang merupakan langkah pertama bagi sebagian besar operasi pemboran berarah dan horisontal pada sumur terbuka maupun yang telah bercasing. Pekerjaan sidetrack juga sering digunakan untuk menghindari pekerjaan fishing yang berlarut- larut atau membor daerah obyektif lain yang berlokasi jauh dari daerah target awal. Menjaga agar lubang bor tetap stabil adalah suatu tantangan yang besar saat melakukan pemboran sumur. Ketidakstabilan lubang bor disebabkan oleh perubahan radikal dari gaya –
IATMI 2001-01
gaya mekanik dan kondisi kimia serta fisika lapisan batuan saat di bor. 2. DASAR TEORI 2.1. Coiled Tubing Drilling Pemboran menggunakan cara konvensional maupun dengan coiled tubing pada pronsipnya adalah sama. Sedikit perbedaan dan merupakan keistimewaan dari CT adalah contnue string, sehinga tidak memerlukan round trip (cabut dan pasang pipa ). Suatu hal yang mendorong dilakukanya CTD adalah diameter tubing yang memungkinkan memerikan hydraulic horse power yang cukup . Energi ini diperoleh dari downhole motor untuk memberikan laju alir cukup bagi pembersihan lubang, sedangkan gaya dorong dari injektor head dan berat rangkaian CT akan memberikan weight on bit (WOB) yang diperlukan dalam pelaksanaan pemboran. Keuntungan Coiled Tubing Driling. CTD merupakan konsep yang telah lama ada, konsep tersebut banyak dirasakan menguntungkan setelah beberapa kali dilakukan pekerjaan lapangan, keuntungan tersebut diantarannya : • Pemboran melalui tubing Pemboran ini dapat dilakukan tanpa mencabut tubing. Sumur yang ada dapat disidetrack tanpa harus mencabut tubing. Pekerjaan ini cukup dengan cara memasukkan coiled ke dalam tubing. • Pemboran dilakukan secara underbalance
Aplikasi Pemboran Sidetrack Menggunakan Teknologi Coiled Tubing pada Formasi Shale
• •
•
•
Pemboran dilakukan dengan cara underbalance sehinga dapat meningkatkan laju penetrasi dan mengurangi kerusakan formasi. Bersifat ringan dan mudah dipindahkan. Tingkat keamanan tinggi. CTD dilakukan melalui annular preventer (striper) sehinga Blow Out Preventer (BOP) mudah ditutup selama stripping maupun snubing. Mengurangi dampak lingkungan Unitnya berukuran kecil dibanding dengan unit pemboran konvensional, maka tingkat kebisingan lebih rendah serta cutting yang dihasilkan lebih sedikit. Lebih ekonomis dalam operasional. Bila diperhitungkan dari segi waktu, biaya kebutuhan fluida pemboran, pengangkutan menara serta operasi yang akan dilaksanakan maka coiled tubing drilling dapat dirasakan lebih murah dan lebih menguntungkan.
Prinsip kerja Coiled Tubing Driling (CTD) Secara umum prinsip kerja CTD adalah sama dengan pemboran konvensional. Perbedaanya adalah pada tubing yang saling menyambung dan seluruh rangkaian tidak dapat berputar. Fungsi kerja alat serta susunanya berbeda sesuai dengan fungsi dan operasi yang dikerjakan. Dalam melakukan operasi menggunakan CTD perlu diketahui pertimbangan dan batasan pemakainya. Pertimbangan pemakaian CTD •
•
•
•
Kelurusan Lubang Kekurangan dari operasi CTD adalah fleksibilitas yang diberikan pada CT. kelurusan lubang dipengaruhi oleh jenis formasi yang ditembus. Hal yang perlu diperhatikan dalah pendesainan Bottom Hole Assembly (BHA) yang sesuai sehingga berat pada bit dapat dioptimumkan untuk menghasilkan laju penembusan ( ROP ) yang tinggi. Pembersihan Lubang Pembersihan cutting pada pemboran CTD sering menjadi masalah. Hidrolika lumpur pada CTD sangat rendah dikarenakan diameternya yang sangat kecil. Sehinga diperlukan lumpur jenis visplex untuk mengimbangi kesulitan pengangkatan cutting dipermukaan. Lumpur visplex mempunyai sifat dapat bersifat gel pada saat operasi behenti dan kembali seperti semula saat pemboran berlangsung lagi. Tekanan Tekanan merupakan parameter yang paling penting, sehinga penganalisan dan test tekanan merupakan hal yang utama dalam operasi pemboran karena dengan mengetahui data-data tekanan dapat diketahui performance dari sumur yang kita bor. Kemampuan untuk membor underbalance merupakan keuntungan karena disamping hanya diperlukan satu orang untuk mengontrol laju penembusan, BOP dan chooke hidraulic dari remote console operator ditambahkan lagi tidak pelu adanya orang berdiri diatas wellhead. Biaya Biaya pemakaian CT pada operasi pemboran relatif lebih tinggi karena menggunakan peralatan yang khusus tetapi penghematan biaya yang potensial tergantung pada pembesaran operasi yaitu untuk lokasi yang sulit dijangkau dan beberapa kondisi sumur yang khusus, CTD merupakan alternatif yang lebih murah.
IATMI 2001-01
Andi Eka, Harry Budiharjo
Batasan – Batasan dan Kekurangan CTD Batasan dan kerugian CTD dapat di kategorikan menjadi beberapa faktor sebagai berikut : • Faktor Diameter Pada beberapa aplikasi pemboran dengan slimhole sangat menguntungkan tetapi kendalanya adalah ketidak mampuan dalam membuat diameer yang lebih besar. • Faktor Rotasi Karena coiled tubing tidak dapat berputar pengaturan arah pada directional drilling harus digunakan downhole tools. • Fator Kelelahan CT Meskipun kelelahan CT dapat dimonitor tetapi sulit dalam meramalkan ketepatan kelelahan CT yang digunakan selama operasi pemboran. Peralatan CTD Peralatan dalam operasi CTD dibagi menjadi dua kategori peralatan dipermukaan dan dibawah permukaan, untuk peralatan dipermukaan akan kami munculkan secara singkat dan lebih ditekankan untuk peralatan bawah permukaan sebagai acuan untuk penyelesaian studi kasus yang menyangkut masalah modifikasi BHA untuk mengantisipasi masalah – masalah pemboran. Peralatan coiled tubing atau yang lebih dikenal sebagai Coiled Tubing Unit (CTU) dapat dilihat di Gambar-1. Peralatan dipermukaan Untuk peralatan dipermukaan terdiri dari: substructure, CT String, Injector head (Untuk mendorong CT masuk ke sumur dan menahan berat CT ), reel ( sebagai tempat CT ), Peralatan pengontrol sumur, Mud tanks dan peralatan treatment, Peralatan pompa dan peralatan pemisah gas dalam lumpur. Peralatan dibawah Permukaan Peralatan dibawah permukaan adalah bit dan downhole motor. • Bit Jenis bit yang digunakan dalam operasi CTD adalah drag bit. Karena jenis ini mempunyai diameter kurang dari 6”. Ada dua jenis drag bit yaitu Polly Diamond Compact (PDC ) bit dan Thermally Steerable Polyrystalline ( TSP) bit. Jenis bit ini laju penetrasinya tinggi dan berat bit rendah jika digunakan downhole motor berkecepatan tingi. Laju pemboran sebesar 5 – 60 ft perjam pada formasi sangat keras dan menengah. Jenis bit ini juga menghasilkan getaran yang sangat kecil sehinga memperpajang umur peralatan downhole. Jenis TSP bit sering digunakan untuk build up section pada pemboran berarah dengan menggunakan CTD. Keistimewaan TSP bit adalah torsi yang rendah, hal ini sangat menguntungkan karena dapat membantu saat pengarahan lubang (face orientation). Sedangkan PDC bit digunakan untuk pemboran non build work ada CTD. Kelemahan PDC bit jika digunakan pada pemboran non-build work , kelemahan yang lain jika digunakan pada build up section adalah torsi yang terlalu tinggi sehinga dapat mengganggu alat pengarah ( orienting tools ) dan mengurangi umur CT, selain itu juga menghasilkan getaran yang tingi pada rangkaian. • Downhole Motor Ada tiga jenis Downhole Motor yaitu Turbin, Vane Motor dan Positive Displacement Motor (PDM). Jenis motor yang digunakan dalam operasi CTD adalah PDM karena
Aplikasi Pemboran Sidetrack Menggunakan Teknologi Coiled Tubing pada Formasi Shale
sangat efisien dalam operasinya karena dapat mengubah Hidraulic Horse Power dari fluida pemboran ( Volume dan tekanan) menjadi mechanic Horse Power (torque and RPM). PDM motor tersedia dalam berbagai ukuran khususnya berdiameter kecil.
Andi Eka, Harry Budiharjo
dan kasus yang terburuk yang akan terjadi yaitu rangkaian pipa bor akan terjepit. Peralatan khusus yang sering digunakan dalam tipe pemboran ini adalah casing cutter/section mill dan whipstock, tapi peralatan whipsock dapat menyebabkan problem selanjutnya dan meningkatkan biaya operasi.
2.2. Pemboran Sidetrack Teknik pemboran sidetrack yang dimaksud adalah prosedur membelokkan arah dari lubang yang telah dibor semula pada kedalaman tertentu ke arah yang berbeda. Pemboran lubang baru tersebut dapat dilakukan dengan teknik pemboran berarah yang lazim maupun teknik pemboran horizontal. Pemboran sidetrack dapat dilakukan dalam kondisi cased hole maupun open hole, syaratnya diameter lubang mempunyai ukuran yang tepat untuk dapat dilewati peralatan pemboran berarah. Pada pemboran sidetrack biasanya sudah ada lubang yang dibor secara vertikal untuk mencari ketebalan formasi yang produktif kemudian dilakukan sidetrack lalu dilakukan pemboran horisontal. Perbedaan pemboran sidetrack pada sumur openhole dan cased hole adalah pemotongan bagian casing dengan menggiling (milling) lubang melalui sisi casing. Perbedaan lain adalah pada plugging back, prosedur dan beberapa peralatan. Berikut akan dijelaskan mengenai pemboran sidetrack pada cased hole sebagai dasar pembahasan studi kasus. Peralatan Pemboran Sidetrack Dalam pelaksanaanya peralatan pemboran secara garis besar dapat dibedakan menjadi : rangkaian Botom Hole Asembly (BHA), peralatan survey dan peralatan pemuatan window. Rangkaian BHA terdiri dari bit, reamer, peralatan survey, drill colar, down hole motor, bent sub, heavyweight drill pipe. Peralatan survey terdiri dari single shot instrument, magnetic multi shot, dan gyroscop. Sedangkan Peralatan pembuatan casing window didominasi oleh penggunaan whipstock. Sebagai pembuat lubang. Pemboran Sidetrack Pada Cased Hole Pada dasarnya pemboran sidetrack pada lubang berselubung terdiri dari tiga metode, yaitu : • Sidetracking melalui bagian casing yang dikikis ( Milled ). • Whipstocking melalui bagian casing yang dikikis (Milled ). • Whipstocking melalui jendela casing. Setiap metode mepunyai keuntungan dan kerugian. Pengukuran direkam dengan satu dari tiga sistem pengukuran untuk orientasi tergantung pada tipe sidetrack. Metode yang paling banyak digunakan didasarkan atas pertimbangan kedalaman ukuran casing dan kondisi lubang. Lubang sumur bercasing disurvey untuk melokalisir posisi titik kick off jika diperlukan. Operasi pemboran sidetrack pada lubang berselubung (Gambar-2) seringkali menghadapi resiko tinggi dibandingkan dengan lubang terbuka (open hole ). Operasi pemboran sidetrack akan lebih sulit dalam lubang kecil dan menghabiskan banyak waktu karena menyangkut prosedur yang rumit dan kebutuhan untuk membuka bagian casing atau membuat lubang melaluinya. Rangkaian pipa bor akan bergesekan dengan lubang yang dikikis ( milled ) pada casing
IATMI 2001-01
Terdapat resiko pada pergerakan dan perputaran whipstock selama operasi pemboran sidetrack ataupun dalam pembran berdeviasi setelah sidetrack. Penggunaan whipstock pada operasi sidetrack umumnya menghabiskan banyak waktu, meliputi beragam tips dan peralatan yang seluruhnya meningkatkan resiko kegagalan. Frekuensi kerumitan masalah ketika operasi sidetrack dengan mengunakan whipstock merupakan pertimbangan untuk melakukan pemboran ulang kecuali pada deviasi yang sederhana. Dalam melakukan operasi pemboran sidetrack dengan whipstock harus didukung dengan alasan yang kuat dan hal itu merupakan pendekatan yang terbaik., alternatif satu-satunya yaitu alasan keekonomian. Operasi pemboran sidetrack melalui bagian casing yang dikikis ( miled ) merupakan prosedur operasi sidetrack yang paling umum dilakukan dan beresiko rendah. Pada saat ini melakukan pemboran kembali pada sumur vertikal yang produksinya mulai menurun dengan teknik pemboran horisontal sangat sering dilakukan sehinga dibutuhkan operasi pemboran sidetrack. Sebelum melakukan operasi pemboran sidetrack biasanya membuat plug terlebih dahulu dibagian bawah lubang casing yang akan dikikis ( milled ), tergantung pada kondisi formasi dimana daerah casing yang akan ditembus. Semen yang digunakan sebagai penahan adalah semen yang biasanya digunakan sebagai plugging. Umumnya pengikisan casing dimulai pada titik sekitar 20 ft diatas kedalaman casing yang diproyeksikan akan disidetrack. Sekitar 40 – 60 ft dari casing, dikikis dan dipindahkan. Bagian bawah plug ditempatkan sedikitnya 50 – 100 ft dibawah dari bagian casing yang dikikis. Setelah mengeras maka kelebihan semen di bor sehinga bagian atas plug ( titik kick off) berada disekiar 200 ft dibawah bagian atas dari daerah pengikisan casing. Sub pengukuran Measured While Driling (MWD) dihubungkan dalam rangkaian motor sidetrack. Langkah selanjutnya adalah mengukur dan merekam koreksi tool face, perbedaan siku antara indikator magnet. Orientasi selesai dengan diputarya rangkaian pipa bor menuju arah toolface dengan arah yang telah dikoreksi. Kemudian putaran ditahan, swivel dikunci pada travelling block jika kelly tidak digunakan. Rangkaian pipa bor diturunkan perlahan kemudian pemboran sidetrack segera dimulai. Pengukuran yang tepat diambil secara periodik untuk verifkasi dengan membuat rangkaian pipa bor sampai menjadi berhenti sesaat. Putaran bit dan tenaga putar reaktif dapat diabaikan, ketika peralatan MWD memerikan arah yang tepat pada tool face. Kemudian pemboran dilanjutkan sampai lubang sumur baru hasil sidetrack berada pada arah yang tepat dan mempunyai kurva naik tetap kemudian dilanjutkan pemboran berarah atau horisontal.
Aplikasi Pemboran Sidetrack Menggunakan Teknologi Coiled Tubing pada Formasi Shale
2.3. Shale Problem Shale merupakan batuan yang terbentuk dari silt dan clay yang diendapkan di lingkungan cekungan dasar laut dan menghasilkan formasi yang berupa struktur berlapis lapis. Pengendapan ini terjadi dalam waktu yang lama dalam berbagai tingkat temperatur, komposisi yang bervariasi sebagai fungsi geologi dan lingkungan laut merata saat pengendapan. Clay merupakan bagian terbesar dari shale sehingga kalau membahas masalah shale lebih sering mengunakan istilah clay. Mineral clay memiliki sifat yang sangat berpengaruh terhadap shale problem yaitu hidrasi ( penerapan air ), aktivasi (perubahan anion atau kation tertentu), Flokulasi dan dispersi. Mineral penyusun shale terbesar yaitu smectite / monmorinolite (Mg2Al10 Si24)60(OH)13(NaCa)) adalah merupakan clay yang sensitive terhadap air yang terbentuk dari dua silica tetrahedral dan alumina tetrahedral. Sangat peka terhadap air sehingga dapat menurunkan permeabilitas. Pengembangan clay dalam air akan menyebabkan penyumbatan pori. Penyebab Shale Problem Penyebab shale problem menurut J.L.Lumnus dan J.J. Azar (1986) dapat diklasifisikasikan sbb : 1. Hidrasi dan Swelling Clay. Sifat mineral clay yang menyebabkan terjadinya pengembangan (swelling) adalah kemampuan menyerap anion atau kation tertentu dan merubah ke anion dan katiuon lain dengan pereaksi suatu ion dalam air ( Ionic Exchange Capacity/IEC). Bila permukaan clay bersentuhan dengan air maka plat – plat clay akan terpisah adan kationya akan terlepas. Air yang bersifat polar ( terdapat kation maupun anion) maka air akan diikat oleh kation –kation maupun plat – plat clay akibatnya volume clay akan mengembang. 2. Dispersi Clay. Terjadinya pemisahan yang cepat pada permukaan shale/clay karena kekuatan dari ikatan partikel pada saat disentuh air menurun. Pemisahan ini berhubungan dengan terjadinya hidrasi clay yang mengakibatkan pengembangan. 3. Tekanan yang tinggi pada shale. Lapisan shale memiliki tekanan yang cukup besar terhadap tekanan fluida pemboran sehingga terjadi perbedaan tekanan yang mengakibatkan shale gugur dan jatuh kedalam lubang bor dan terjadi pengendapan atau pengumpulan pada lubang akan menimbulkan jepitan pada rangkaian pipa bor. 4. Terdapatnya selang waktu yang terlewat pada kondisi lubang bor terbuka. Sumur yang terbuka dengan selang waktu yang cukup lama akan menimbulkan masalah karena kontaminasi antara shale/clay dengan lumpur akan menjadi lama. 5. Aksi erosif dan mekanik. Adanya kegiatan wash down akan mengakibatkan shale/clay yang sedang ditembus gugur dan jatuh kelubang sumur. Jenis Shale Problem. Beberapa jenis shale problem yang sering dijumpai dilapangan selama operasi pemboran, yaitu :
IATMI 2001-01
Andi Eka, Harry Budiharjo
1. Swelling Clay. Terjadinya saat pemboran menembus lapisan shale yang sangat reaktif dengan air dimana shale membentuk lempengan terhidrasi ( menghisap air ) menyebabkan diameter menjadi besar. Mekanisme terjadinya didahuli dengan hidrasi permukaan dan diakhiri dengan swelling osmotic. 2. Pressure Shale. Pada proses pengendapanya akan terendapkan pula batu pasir diantar endapan shale, sehingga terjadi penekanan lapisan shale oleh batuan yang terendapkan diatasnya ( overburden pressue ). Akibatnya dari lapisan shale tinmbul tekanan yang disebut tekanan potensial untuk mengimbangi tekanan lapisan batuan. Pada saat shale ditembus dalam pemboran, dimana lapisan shale yang terdapat disana bertekanan relatif tinggi bahkan dapat menyamai tekanan overburden akan mengakibatkan dinding lubang bor runtuh. 3. Sloughing Shale Berhubungan dengan sifat fisik atau mekanik dimana shale tidak bersifat reaktif terhadap air tetapi terdapat pada retakan dan mudah runtuh karena tekanan pada lapisan shale tinggi sehingga terdapat tekanan hidrostatik lebih besar dari tekanan formasi dari sloughing dapat terjadi. 4. Heaving Shale Adalah terbongkarnya shale dari formasi. Shale bersifat lunak dan agak keras dengan clay yang kandungan bentonite – ekivalen (MBT) tinggio dapat muncul dari terjadinya sloughing. 5. Tight Hole. Akibat terbentuknya clay colloid pada lapisan shale yang mepunyai kemampuan hidrasi yang relatif besarakan mengakibatkan terjadinya pemuaian pada shale ( umumnya shale bentonit) dan akan membuat penyempitan lubang sumur. Juga membuat “gambo” ( serbuk bor berupa clay swelling ) pada lubang sumur. Umumnya memiliki tingkat plastisitas tinggi dengan MBT tinggi. Shale Problem dan pengaruhnya terhadap operasi pemboran menggunakan CTD. Pemboran menggunakan CTD, pada saat sirkulasi Lumpur system aliran didalam coiled tubing string merupakan aliran turbulen untuk memberikan daya dorong yang besar terhadap motor dan bit dalam penghancuran batuan yang dibor dan berubah menjadi aliran laminar diannulus sehingga tidak merusak mud cake pada dinding lubang bor. Untuk menentukan system aliran tersebut digunakan Reynold Number (Nre), diaman Nre . 300 adalah turbulen dan Nre,2000 adalah laminar, diantaranya merupakan transisi. Dalam proses pemboran berlangsung bit yang dipakai selalu menggerus batuan formasi dan menghasilkan cutting, sehinga semakin banyak cutting yang dihasilkan dan menumpuk. Supaya tidak terjadi masalah pipa terjepit maka cutting harus diangkat dengan baik. Kendala yang timbul dalam system pengangkatan pada pemboran dengan CTD adalah ruang di annulus yang kecil yang disebabkan oleh kecilnya lubang bor yang diperoleh dari pemboran CTD, sehingga pengaruh kecepatan kritis dan kecepatan slip sangat besar, apalagi bila pemboran sampai pada kedalaman yang relatif dalam dimana dibutukan kecepatan alir pemompaan oleh pompa di permukaan lebih besar sehingga pengaruh kecepatan slip dan kecepatan kritis juga akan lebih besar lagi. Hal ini
Aplikasi Pemboran Sidetrack Menggunakan Teknologi Coiled Tubing pada Formasi Shale
berpengaruh pada kecepatan cutting untuk dapat bergerak naik secara alamiah akan dihambat oleh gaya gravitasi dan berat cutting tersebut akan turun kembali ( mengendap ). Dimana kecepatan kritis dipengaruhi oleh sifat lumpur itu sendiri, seperti viskositas lumpur dalam hal ini berpengaruh terhadap besar viskositsa plastiknya, gel strength, yield point dan densitas lumpur itu sendiri. Dalam pemilihan desain lumpur atau fluida pemboran didasarkan pada kemampuan fluida tersebut untuk membersihkan lubang bor. Selain itu fluida pemboran harus dapat memperkecil pengaruh kerusakan formasi dan mampu menjaga kestabilan lubang bor. Dalam operasi pemboran coiled tubing pada formasi shale digunakan lumpur jenis visplex yang diproduksi oleh PT.. Dowel Schlumberger. Lumpur jenis visplex mempunyai kelebihan – kelebihan yaitu transport cutting yang baik dan penimbunan cutting pada pemboran horisontal, lumpur lebih cepat menjadi gel sehingga menurunkan kehilangan tekanan, menurunkan torsi dan drag serta viskositas yang lebih kecil saat laju penembusan bit besar, tidak menimbulkan kerusakan pada reservoir. Dilihat dari keterbatasan pemakaian CT terutama pada aplikasinya pada formasi shale yang begitu sensitive, dari keelastisan CT maka akan mempersulit pengontrolan arah dan bentuk lubang bor, Penembusan pada formasi shale juga membutuhkan desain bit yang khusus, misalnya penggunan drag bit untuk jenis PDC atau TSP, harus dipilih mana yang lebih sesuai dengan kondisi masalah yang dihadapi. 3. STUDI KASUS 3.1. Kondisi Sumur “X” dilapangan “Y” Status sumur ini ditutup sementara dikarenakan adanya kerusakan mekanik pada tubing. Tubing telah dilakukan penyemenan. Semen retainer diset pada kedalaman 5882 ft sampai top semen 5807 ft. Pada semen ini tidak terdapat tubing diatas semen plug. Pemboran sidetrack pada sumur ini dilakukan pada kedalaman 5665 ft hingga mencapai target kedalaman 6535 ft. Pekerjaan yang dilakukan adalah membuat window terlebih dahulu baru dilakukan pemboran berarah. Bottom Hole Assembly (BHA) yang digunakan dibagi dalam dua operasi yaitu pembuatan window dan operasi pemboran berarah. 3.2. Formasi Pada Sumur”X” dilapangan “Y” Bagian atas formasi pada sumur “X” lapangan “Y” adalah terbentuk dari endapan pantai, sedangkan pada bagian bawah terbentuk dari endapan delta dan lagoon. Batuan formasi diatas terdiri dari shale dan gamping sedang pada bagian bawah terdiri dari shale, batubara, pasir non gluconitik serta sisa bahan pembentuk minyak bumi didalam lapisan pasir. 3.3. Pembuatan Window Dengan Menggunakan Coiled Tubing Drilling Untuk membuat window pada casing digunakan rangkaian BHA I sebagai berikut : 4 ¾ “ Mud Motor, Whipstock running tool, Starter mill. Rangkaian drillstring dimasukkan sampai kedalaman 5671 ft menggunakan CT 2 3/8 “ untuk
IATMI 2001-01
Andi Eka, Harry Budiharjo
menset whipstock. Kemudian mensirkulasikan Lumpur Visplex denagn berat jenis 8,6 ppg dan pemboran dimulai perlahan – lahan dari kedalaman 5645 ft – 5645.8 ft selama 4.5 jam. Pemboran dilanjutkan lagi setelah mengganti ke BHA II sebagai berikut : 6 1/8” Window Mill, 4 3/4 “ Mud Motor, 5 Join 4 3/4” DC, Cross Over, Check Valve, Hidraulic Disconnect, dan sirkulai Sub. Dilakukan Pemboran dari kedalaman 5646,8 ft sampai kedalaman 5647,2 ft selama 5,5 jam. Kemudian pemboran dihentikan karena ada masalah dengan mud motornya. Dicoba untuk memaksimalkan kerja motordengan mengganti peralatan pemboran tetapi tidak berhasil. Rangkaian drill string diangkat untuk kedalaman 5656 ft selama 13 jam. Pemboran dihentikan karena pada kedalaman 5656 ft tidak ada kemajuan. Langkah selanjutnya drillstring diangkat untuk mengganti ke BHA III sebagai berikut : 6 1/8 “ Window Mill, 6 1/8 Water Mellon Mill, 4 3/4 “ mud Motor, Joint 4 ¾ “ Drill Collar. Rangkaian BHA diturunkan sampai kedalaman 5651,5 ft dan pemboran dimulai sampai kedalaman 5665 ft selama 6 jam yang makin lama WOB bertambah besar. Rangkaian drill string diganti dengan rangkaian BHA IV sebagai berikut : 6 1/8” Window Mill, 2 Joint 6 1/8”Water Mellon Mill, 4 ¾” Mud Motor, 5 Joint 4 ¾” Drill Collar, Cross Over, Check Valve, Circulating Sub, Hidraulic Disconnect. Rangkaian BHA tersebut dimasukan sampai kedalaman 5652 ft dan Pembuatan window sudah selesai drill string diangkat untuk selanjutnya pemboran berarah dilaksanakan. 3.4. Pemboran Berarah menggunakan CTD Pertama kali rangkaian BHA V disusun sebagai berikut : 6 1/8” Str- 1 Bit, 3 1/2 “ Power Pack Motor dengan sudut 1.5 0, Universal Bottom Hole Orienting Sub, 3 1/16 “ monel Drill Coillar, Orientor, Check Valve, Circulating Sub, Hidraulic Disconnect, NRJ Oriented UBHO. Rangkaian disambung dengan CT 2 3/8” dan diturunkan pada kedalaman terakhir 5669.5 ft kemudian ditarik kembali sampai kedalaman 5640 ft untuk mencoba survey dengan MWD, ternyata tidak ada sinyal yang keluar. Kemudian dicoba untuk menaik-turunkan rangkaian drill string selama beberapa lama, memompakan air laut 5 barel dan kemudian diganti dengan lumpur jenis visplex. Setelah selesai dicoba lagi mengamnbil survey, tetapi MWD tidak juga bekerja. Pemboran dilanjutkan kembali dari 5669.6 ft sampai kedalaman 5673 ft dan dilakukan pengambilan survey tetapi MWD tidak bekerja juga. Drill string diangkat sambil memompakan 1.5 bpm Lumpur untuk memperbaiki MWD. MWD diangkat dan ditemukan kotoran serpih besi yang menyumbat aliran pada pulser MWD. Pemboran dilanjutkan lagi dengan mengganti MWD dan BHA yang diugunakan sama sampai kedalaman 5766 ft dan pada kedalamnan 5766 ft dan pada kedalaman tertentu dilakukan wiper trip. Ketika pemboran berlangsung diantara kedalaman 5766 ft sampai 5793 ft terjadi pengecilan ROP, diduga bit mengalami bit balling ( bit tertutup sticky formasi sehingga penembusan tidak effektif). Kemudian dilakukan wiper trip sampai kedalaman 5770 ft dan memompakan air laut 5 barel, kemudian menurunkan sampai kedalaman 5793 ft. Pemboran dilanjutkan sampai kedalaman 5804 ft dan diketahui bahwa mud motor tidak bekerja. Setelah dilakukan pengambilan survey, drill string diangkat untuk mengetahui kerusakan yang ada. Ternyata bit tidak dapat berputar dan perlu diganti dengan bit lain dengna
Aplikasi Pemboran Sidetrack Menggunakan Teknologi Coiled Tubing pada Formasi Shale
ukuran yang sama. Pemboran dilanjutkan kembali menggunakan BHA VI sebagai berikut : 6 1/8” Str- 3 PDC Bit, New 3 1/2 “ power Pack Motor dengan sudut 1.150, Universal Bottom Hole Orienting Sub, 3 1/16” monel DC, New Orientor, Check valve, Circulating Sub, Hidraulic Disconnect, NRJ oriented UBHO. Rangkaian drill string tersebut dimasukkan kedalam lunbang sampai kedalaman 5803 ft, pemboran dilanjutkan sampai kedalaman 5818 ft. Pda sat pemboran berlangsung ROP makin menurun, dilakukan wiper trip sampai kedalaman 5660 ft. Kemudian drill string dicabut dengan annulus diisi dengan Lumpur dengan berat Lumpur 8.65 ppg. Kemudian BHA VII diganti dengan susunan BHA VIII sbb : 6 1/8” str-1 Bit, 4 ¾” Motor A-4.75 x P denagn sudut 0.78 0, UBHO sub, 3 ¾” MWD Monel, Orientor, 10 Joint 3 ½” DP, Check valve, Circulating Sub, hydraulic disconnect. Pemboran dilanjutkan dari kedalaman 5809 ft sampai dengan kedalaman 5965 ft dengan beberapa dilakukan orienting tool face, wiper trip dan pengambilan survey. Mencoba untuk mengarahkan tool face kekiri secara berangsur-angsur menuju -1350, diperkirakan adanya putaran torsi reaksi pada coiled tubing. Menarik kembali drill string pada kedalaman 5900 ft untuk melepaskan putaran pada CT dilanjutkan dengan pengambilan survey dan kemudian masuk kembali sampai mencapai kedalaman 6128.7 ft sambil memompakan 70 bbl lumpur visplex dengan 2 % IDLUBE ( lubricant), kemudian menarik kembali drillstring pada kedalaman 6112 ft untuk dilakukan pengambilan survey. Setelah melakukan wash down dan oriental tool face pemboran dilanjutkan sampai kedalaman 6204.8 feet, saat berlangsungnya pemboran ini ROP makin mengecil, diperkirakan bit tidak bekerja tidak baik. Kemudian menarik kembali rangkaian drill srting sampai kedalaman 6195 feet, memompa 10 bbl caustic soda, air dan dicampur dengan 35 bbl Lumpur selama ½ jam pompa dihentikan dan drill string ditarik sampai kedalaman 5961 feet. Dilanjutkan dengan melakukan washing down sampai kedalaman 6204.8 feet kemudian dilanjutkan pemboran sampai kedalaman 6449 feet diikuti dengan melakukan beberapa kali orienting tool face, pengambilan survey dan sekali reamed down dari kedalaman 6412 feet sampai dengan 6436 feet. Dilihat dari ROP yang mulai mengecil kembali dan untuk mengatasinya dilakukakan wiper trip sampai kedalaman 6432 feet. Kemudian pemboran dilanjutkan kembali sampai dengan tool depth yaitu true vertical depth 5678 ffet dan measurement depth 6535 feet, survey dilakukan beberapa saat dan seterusnya dilakukan back reamed ke window pada kedalaman 5660 feet dan pompa dimatikan. 4. DISKUSI Sumur “X” pada lapangan “Y “ merupakan sumur yang ditutup sementara karena terjadi kerusakan mekanik pada sistem komplesi sehingga diupayakan dibuka kembali dengan pemboran sidetrack menggunakan teknologi coiled tubing drilling. Pada pemboran ini diperlukan suatu lumpur untuk mengangkat cutting dengan baik sampai ke permukaan dan cepat mengagar dan juga cepat memecah jika diberi penekanan sedikit. Jenis lumpur ini memang diperlukan untuk pemboran berarah karena lintasan pemboran pada titik KOP atau sedut dimana dimulainya pembelokan pemboran; tempat dimana cutting akian berkumpul sehingga menjepit rangkaian
IATMI 2001-01
Andi Eka, Harry Budiharjo
pipa bor. Jenis lumpur yang digunanan adalah visplex seperti yang dijelaskan pada dasar teori. Jenis lumpur visplex digunakan untuk pemboran berinklinasi tinggi dan untuk membor formasi lemah seperti shale. Pada Operasi window miling terjadi pergantain BHA karena alasan tertentu pada intinya adanya BHA untuk mengatasi masalah mud motor. Sedang diskusi kita akan berfokus di operasi pemboran sidetrack pada formasi shale dan masalah yang dihadapi serta analisanya. Pada operasi pemboran sidetrack terjadi tiga kali pergantian susunan BHA, masalah yang timbul disebabkan karena keadaan formasi yang ditembus berupa shale.Perubahan BHA V ke VI dikarenakan: • MWD tidak dapat bekerja dengan baik karena pulser MWD tertujtup oleh serpihan metal akibat dari operasi pembuatan window, dimana masih terdapat serpihan metal pada Lumpur bor. • Terjadinya bit balling dimana bit tertutup oleh sticky formasi yang ditembus sehingga laju penembusan terhambat karene tidak menembus formasi secara effektif pada kedalaman 5766 – 5793 ft. Penanggulangan untuk permasalahan MWD yang rusak adalah dengan mensirkulasikan Lumpur kembali untuk pembersihan lubang bor dari serpihan logam yang tertinggal selama operasi pembuatan milling window, MWD diganti dengan MWD yang baru karena kerusakan pada pulser. Penanggulangan masalah bit balling adalah dengan mengganti TSP dengan jenis PDC. Jenis TSP kurang dapat membersihkan cutting yang ada di bit pada formasi shale sehingga bit tertutup sticky formasi dan terjadilah bit balling. Penggantian jenis bit PDC dengan TSP diharapkan dapat menanggulangi masalah tersebut. Jumlah nozzle yang lebih banyak pada jenis PDC dibanding dengan jenis TSP akan dapat membersihkan cutting lebih baik jika menembus formasi shale sehingga dengan jenis jenis Lumpur yang sama diharapkan pengangkatan cutting lebih baik, dan masalah bit balling akan teratasi. Tetapi bit jenis PDC mempunyai laju penembusan rendah jika menembus formasi lunak dibanding jenis TSP juga jenis PDC ini memberikan torsi yang besar jika digunakan pada build up section. Pada rangkaian BHA VI terjadi penurunan ROP maka diambil langkah mengambil kembali PDC dengan jenis TSP dan merubah motor dengan ukuran yang lebih besar 4 ¾ “ type A75 XP, serta menambahkan 10 joint 3 ½” DP @13,30 lb/ft. Perubahan tersebut diharapkan akan membantu weight transfer ke BHA sehingga laju penembusan akan semakin baik dan terbukti dengan hasil: • Total ROP BHA V : 11, 6 ft /hr. • Total ROP BHA VI : 3,5 ft/hr. • Total ROP BHA VII : 13 ft/hr. Formasi shale sangat mepengaruhi terhadap pemboran menggunakan coiled tubing. Ketika ROP menurun pada kedalaman 5982 ft arah tool face berlawanan dengan arah pemboran yang diinginkan, kejadian tersebut dikarenakan CT orienter mengalami reaction torque oleh formasi shale saat dibor. Pada formasi shale ini rangkaian CT 2 3/8” harus menahan torsi yang besar dan hal tersebut mengakibatkan rangkaian ikut berputar karena besarnya torsi sedangkan karakteristik CT 2 3/8” dan motor 4 ¾” hanya mampu bekerja
Aplikasi Pemboran Sidetrack Menggunakan Teknologi Coiled Tubing pada Formasi Shale
pada batasnya dan tidak mampu menahan torsi yang berlebihan. Tool face mengalami perubahan arah yaitu berlawanan arah dengan yang diharapkan. Permasalahan ini diatasi dengan menarik CT kepermukaan sehingga terjadi torque release dan kemudian arah toll face dikoreksi sesuai dengan arah yang diinginkan. Usaha tersebut berhasil sehingga CTD dapat mengebor sampai target 5665 ft TVD atau 6535 ft MD dengan arah azimuth – 2446, 77 N+/S- dan – 1771,73 E+/W-., dimana target perencanaan adalah kedalaman 5555,2 s/d 5689,8 ft untuk TVD, 6413,0 s/d 6571,8 ft untuk MD. Sedang arah azimuth yang diharapkan adalah –2440,96 s/d 2475,6 N=/S- dan –1758,29 s/d – 1833,01 W+/E-. 5. KESIMPULAN 1. Formasi shale adalah formasi yang lunak dan mudah terjadi swelling sehingga jika dilakukan pemboran sidetrack menggunakan teknologi CTD akan mempunyai permasalahan diantaranya : • Kesulitan pengangkatan cutting akibat kecilnya diameter CT string. • Bit balling, karena pembersihan cutting tidak seimbang dengan cutting yang dihasilkan oleh dominasi shale. • Kesulitan pengarahan tool face dikarenakan shale mempunyai torque ( torsi ) yang besar. 2. Pemilihan bit jenis TSP dengan pembesaran ukuran motor dan penambahan DP untuk peningkatan WOB merupakan alternatif untuk memperbesar laju penembusan dan perbaikan pengangkatan cutting. 3. Bit balling dapat diatasi dengan optimasi pembersihan cutting yang meliputi modifikasi BHA dan lumpur pemboran. 4. Permasalahan perubahan arah tool face yang berlawanan ini diatasi dengan menarik CT kepermukaan sehingga terjadi torque release dan kemudian arah tool face dikoreksi sesuai dengan arah yang diinginkan 5. Pemboran menggunakan teknologi coiled tubing, khususnya sidetrack, merupakan teknologi baru dibidang pemboran karena pemboran ini dilakukan pada kondisi underbalance. Menghemat waktu dan tempat sehingga merupakan teknologi pemboran alternatif yang mempunyai masa depan yang cerah. DAFTAR PUSTAKA 1. Adam, R, Bailay. (1990), Field Evaluation Optimization Sidetracking tools methods”, Petroleum Engineer International, The Magazine of Drilling and production Technology. 2. Alexander Sas Jawarossky. (1991),. Coiled Tubing Operations and Service” part 2, Word Oil Magazine, December. 3. Harry. Budiharjo dan Donika Rokhim. (2000), Teknologi Coiled Tubing dan contoh aplikasinya di lapangan, April,. Buletin Teknologi Mineral, FTM, UPN”Veteran” Yogyakarta. hal 52 – 56. 4. Leising. L.J and Newman K.R. (1992). Coiled Tubing Drilling” Society of Petroleum Engineers Inc.
IATMI 2001-01
Andi Eka, Harry Budiharjo
5. Leising L.J., Hearn D.D. (1995).Rike E.A., and Doremus D.M., “ Sidetracking Technology for Coiled Tubing Drilling”, Society of petroleum Engineers Inc. 6. Nur Suhascaryo dan Victor. (1998 ),. Studi Laboratorium Lumpur pemboran Sistem Visplex Bentonit Indoben, Mei,. Buletin Teknologi Mineral, FTM, UPN”Veteran” Yogyakarta. Hal 16 – 18. 7. Rabia, H. (1985).,Oil Well Drilling Engineering Principle and Practise, University of Newcastle Upon Tyne, Graham and Trotman Inc. 8. William. W. King,.(1994), Proper Bit Selection Improves ROP in Coiled Tubing Drilling , Oil and Gas Journal, April, 18. 9. ______________,(1996) Coiled Tubing Client School Manual, Dowel Schlumberger, Maret- April, Jakarta. 10. Situs terkait : www.icota.com ( International Coiled Tubing Association ), www.hub.slb.com ( Schlumberger Presentation Files ). KONVERSI SATUAN METRIK KE SI. lbf x 4.448222 E + 00 = N Ft x 2,831685 E-02 = m3 In x 2,54* E + 01 = mm * Faktor Konversi adalah exact.
Aplikasi Pemboran Sidetrack Menggunakan Teknologi Coiled Tubing pada Formasi Shale
Gambar-1 Peralatan Coiled Tubing ( Coiled Tubing Unit ) ( Alexander Sas jawaworsky, 1991 )
IATMI 2001-01
Andi Eka, Harry Budiharjo
Gambar-2 Operasi pemboran sidetrack pada lubang (Adam, R., bailay, 1990)
berselubung