Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)
Jurnal KBP Volume 1 - No. 3, Desember 2013
ANTECEDENTS DAN CONSEQUENCES DARI PERCEIVED VALUE PADA BANK BNI CABANG HARMONI Muhammad Tahir STIE”KBP” Padang (
[email protected]) ABSTRACT The objectives of this research was : (a) the positive effect of service quality to perceived value, (b) the positive effect of service quality to loyalty to the firm, (c) the positive effect of perceived value to loyalty to the firm, (d) the positive effect of service perceived value to customer satisfaction, (e) the positive effect of service quality to customer satisfaction, (f) the positive effect of customer satisfaction to loyalty to the employee, (g) the positive effect of service encounter to service quality, (h) the positive effect of service encounter to customer satisfaction, (i) the positive effect of loyalty to the employee to loyalty to the firm. The design of this research applies a survey toward unit of analysis on BNI Bank to interview the customers for testing hypothesis. Meanwhile the required data consist of eight variables; service encounter, and service quality attribute as independent variables, perceived value as intervening variable and customer satisfaction, loyalty to the employee, and loyalty to the firm as dependent variable. The aggregate numbers of customer being respondent of the study are 185. Data analysis used in this research was consists of Structural Equation Method by LISREL 8.7 as software. The result of this research conclude that variable of service encounter, and service quality attribute had a positive effect to perceived value, and variable perceived value had positive effect to customer satisfaction, loyalty to the employee, and loyalty to the firm. Keywords: service quality, loyalty, employee loyalty to the firm, service perceived value, customer satisfaction, dan service encounter PENDAHULUAN Pengetahuan mengenai bagaimana pelanggan membuat konsep, memahami, dan mengevaluasi jasa saat ini sedang berkembang. Peneliti dan praktisi sekarang lebih memahami tentang bagaimana kualitas pelayanan dievaluasi (Brady dan Cronin, 2001;Parasuraman et al, 1988.), bagaimana pelanggan memperoleh nilai dari layanan yang menawarkan (Fornell et al, 1996;. Ostrom dan Iacobucci,
417
1995), apa yang mendorong kepuasan pelanggan (Choi et al, 2005.; Fournier dan Mick, 1999), dan faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas terhadap penyedia layanan (Gupta dan Zeithaml, 2006). Akibatnya, persepsi mengenai pentingnya pertemuan layanan semakin diakui (Namasivayam dan Hinkin, 2003). Bitner et al. (1994) mencatat bahwa dari titik pandang pelanggan, bukti kualitas pelayanan terjadi dalam perjumpaan layanan. Mereka menyebut
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438
interaksi pelanggan semacam ini dengan “Moment of the Truth “. Layanan pertemuan dapat menjadi bagian integral dari image yang pelanggan lihat dari perusahaan dan, pada gilirannya, akan memainkan peran yang berpengaruh dalam menentukan keberhasilan perusahaan (Bitner, 1990; Bitner et al,. 1990). Secara lebih spesifik, Hartline et al. (2003) berpendapat bahwa dasar evaluasi dari pelanggan ada pada persepsi mereka terhadap layanan pertemuan. Meskipun para bagian pemasaran akademik dan praktisi telah lama tertarik pada sifat hubungan antar bisnis-ke-bisnis (Dwyer et al., 1987), ulasan dalam artikel-artikel menyebutkan bahwa layanan perjumpaan dalam bidang ini didominasi oleh pekerjaan memeriksa oleh konsumen ritel (Kong dan Mayo, 1993; Westbrook dan Peterson, 1998). Seperti yang diamati oleh Jayawardhena et al. (2007), kualitas layanan pertemuan dalam konteks bisnis ke bisnis cenderung diabaikan di tingkat manajerial (Bitran dan Lojo, 1993) dan masih diteliti (Brown et al, 1994;. Chumpitaz dan Paparoidamis, 2004; Hartline dan Jones, 1996). Dengan adanya bukti ini, dapat dibayangkan bahwa penelitian lebih lanjut dari peran kualitas layanan pertemuan dalam bidang bisnis akan memiliki tema lain yang signifikan untuk diteliti. Konteks bisnis ke bisnis memiliki sejumlah karakteristik yang membuatnya cukup berbeda dari konteks bisnis ke konsumen. Ditandai dengan hubungan yang lebih dekat dan lebih dalam ketimbang sekedar hubungan konsumen (Mehta dan Durvasula, 1998). TINJAUAN PUSTAKA Service Encounters Hasil Penelitian di bidang pemasaran
menawarkan sejumlah definisi dari Service Encounterss. Pengertian awal adalah bahwa Service Encounterss adalah suatu kesatuan peran pertunjukan di mana kedua pelanggan serta penyedia layanan memiliki peran untuk saling ber-aksi (Czepiel dkk, 1985). Masih dalam pembahasan yang sama, Surprenant dan Salomo (1987) mendefinisikan Service Encounterss sebagai dual interaksi antara pelanggan dan penyedia layanan. Service Encounters merupakan suatu interaksi langsung antara konsumen dengan karyawan, termasuk fasilitas fisik yang dapat menggantikan fungsi personel. Interaksi ini sangat penting, karena saat pertemuan ini merupakan saat yang menentukan kualitas jasa di benak konsumen, apakah akan memberikan kesan positif ataukah sebaliknya. Interaksi ini disebut sebagai “a moment of truth”, yang tidak hanya menyangkut peranan kontak personel dalam saat dan waktu yang tepat, juga menyangkut beberapa pemahaman tentang seberapa efektif pemasangan tanda-tanda, pemberian petunjukpetunjuk maupun informasi dilihat dari aspek jarak dan penempatannya, dan termasuk sejauh mana pengaruh konsumen terhadap kualitas dari Service Encounters, terutama pada kontak pertama (Farida Jasfar, 2005). Dibanyak jasa, Service Encounters merupakan kritikal dalam mencapai kepuasan kosumen ( Jones dan Suh, 2000; Svensson, 2006). Dimana dalam penerapannya tidak hanya melibatkan karyawan tetapi juga organisasi serta konsumen. Tentunya untuk dapat menciptakan kualitas kinerja karyawan tidak lepas dari bagaimana organisasi mampu menetapkan prosedur dan peraturan-peraturan yang terkadang bisa mengurangi kebebasan karyawan dalam hal ini kontak personel.
418
Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)
Definisi dari evaluasi Service Encounterss meneurut Ching-Jui Keng (2007) adalah suatu periode waktu di mana seorang pelanggan langsung berinteraksi dengan suatu layanan. Interaksi antara seorang pelanggan dan seorang pegawai perusahaan dapat dianggap sebagai sebuah “encounter” atau sebagai suatu hubungan. Perbedaan tergantung jika pelanggan berjanji untuk mengulang kontak dengan seorang pegawai secara spesifik (suatu hubungan) atau berinteraksi tidak secara khusus dengan beberapa perwakilan organisasi (encounter). Bagaimanapun, banyak dari literatur pada Service Encounters telah berfokus kepada hasil dari sebuah proses bukan berdasarkan prosesnya (Mckechnie, 2007). Service Encounters terjadi di setiap waktu, dimana seorang pelanggan berinteraksi dengan sebuah perusahaan. Para pelanggan dapat berinteraksi dengan perusahaanperusahaan dengan berbagai cara baik personal atau melalui teknologi (Heinonen, 2008). Selanjutnya Joana (2000) menyatakan, bahwa Service Encounterss adalah kontak sosial yang terjadi tiap hari di mana berbagai barang dan/atau jasa telah tersedia. Meskipun internet dan saluran belanja menjamur, tetapi kebanyakan konter-konter ini tetap dibutuhkan seperti yang selalu ada seperti departemen store, agen perjalanan dan restauran. Institusiinstitusi ini berinteraksi relatif lebih berstruktur dan umumnya mereka mempunyai sebuah alokasi peran yang tetap, termasuk (paling sedikit) seorang pelanggan dan seorang pelayan. Para akademisi dalam jasa pemasaran sering berfokus kepada interaksi personal karena membuat services encounters lebih disukai karena dapat memperkecil risiko yang diterima yang dihubungkan dengan pembelian sebuah
419
jasa dan pengembangan pengalaman dalam berbelanja (Julian dan Ramaseshan, 1994). Pengaruh dari Service Encounterss dapat dibagi menjadi dua komponen yaitu : interaksi pribadi dengan penyedia jasa dan lingkungan fisik dari pengecer (Bitner 1990 ; Harris et.,al.2003). Interaksi pertemuan pribadi dapat dianggap sebagai periode waktu sepanjang seorang konsumen berinteraksi dengan penyedia jasa (Bitner, 1990). Dimana kualitas dari interaksi tersebut menurut Chandon et al., (1997) dapat dinilai berdasarkan kompetensi, kemampuan mendengar dan tingkat dedikasinya. Coye (2004) juga menemukan bahwa perilaku penyedia jasa dalam hal penyampaian sangat mempengaruhi harapan konsumen terhadap pemberian jasa. Sementara itu, pertemuan lingkungan fisik diartikan sebagai suatu periode waktu dimana seorang pelanggan berinteraksi dengan fasilitas fisik dan elemen fisik lainnya dalam lingkungan jasa (Bitner,1990). (ChingJung Keng, 2007) menyatakan bahwa konsumen dalam 4 industri jasa yang berbeda memperhatikan lingkungan pelayanan-lokasi dimana Service Encounterss terjadi-yang disadari sebagai evaluasi dari kualitas pelayanan. Serta Lingkungan fisik memegang peranan penting dalam hal perhatian konsumen dan hasrat untuk merekomendasikannya kepada orang lain. Kepuasan Service Encounters adalah merupakan suatu transaksi yang khusus. Kepuasan service encouter sangat berhubungan dengan kepuasan konsumen secara keseluruhan. Hal ini sangatlah penting, karena biar bagaimanapun, untuk dapat mengingatnya perbedaan konstruksi tersebut dikarenakan faktor-faktor yang
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438
mempengaruhinya berbeda pula (Shanker et al., dalam Schijins,2002). Kepuasan konsumen secara menyeluruh adalah suatu hubungan yang sangat spesifik, yang merupakan efek kumulatif dari Service Encounters yang berbeda atau transaksi dengan service provider selama suatu periode waktu (Bitner dan Hubbert dalam Schijins, 2002). Kepuasan konsumen merupakan hal yang sangat dibutuhkan tapi bukanlah merupakan syarat yang cukup agar konsumen loyal (Schijins, 2002). Service Quality Kualitas pelayanan pada umumnya dipandang sebagai hasil keseluruhan sistem pelayanan yang diterima konsumen, dan pada prinsipnya, bahwa kualitas pelayanan berfokus pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan, serta adanya tekad untuk memberikan pelayanan sesuai dengan harapan pelanggan. Duffy (1998), berpendapat bahwa kualitas pelayanan berkaitan dengan persepsi pelanggan terhadap pelayanan yang akan diterima dari perusahaan. Lebih jauh Duffy menambahkan bahwa kualitas pelayanan dapat diukur melalui perbedaan antara persepsi terhadap kualitas pelayanan yang diterimanya, dengan harapan pelanggan terhadap pelayanan yang akan diterimanya. Sedangkan menurut Kotler (1991), kualitas pelayanan pada prinsipnya mengandung pengertian bahwa kualitas harus dimulai dari kebutuhan dan keinginan pelanggan, dan berakhir pada persepsi pelanggan. Hal ini berarti bahwa citra kualitas yang baik bukan dilihat dari persepsi perusahaan, melainkan berdasarkan pada persepsi pelanggan. Persepsi pelanggan terhadap kualitas pelayanan, merupakan penilaian yang menyeluruh atas keunggulan suatu produk atau jasa.
Kualitas pelayanan dibentuk oleh perbandingan antara kondisi ideal dan persepsi dari kinerja dimensi kualitas (Oliver, 1997). Sehingga dapat dikatakan bahwa kualitas produk atau jasa merupakan penilaian pelanggan terhadap kesempurnaan performansi atas produk atau jasa yang dikonsumsi (Mowen, 1995). Parasuraman et al (1985) menyatakan ada dua fakor utama yang mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expective service (pelayanan yang dupayiharapkan) dan perceived service (pelayanan yang diterima). Karena kualitas pelayanan berpusat pada upaya pemenuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaian untuk mengimbangi harapan pelanggan, untuk itu maka, zeithamal (1996) mendefinisikan bahwa pelayanan adalah penyampaian secara excelen atau superior dibandingkan dengan harapan konsumen. Dalam perkembangan Parasuraman dkk (dalam zeithaml dan bitner 1996) menyatakan bahwa konsumen dalam melakukan penilaian terhadap kualitas jasa ada lima dimensi yang perlu diperhatikan : a. Tangible, yaitu meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi. b. Emphaty, yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan pelanggan. c. Responsivenes, keinginan para staf untuk membatu konsumen dan memberikan pelayanan dengan tanggap. d. Reabilty, kemampuan memberikan layanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, kehandalan danmemuaskan. e. Asurance, mencakup pengetahuan, kemampuan kesopanan, dan sifat
420
Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)
yang dapat dipercaya. Tjiptono (1991) menyimpulkan, bahwa citra kualitas layanan yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang/persepsi penyedia jasa, melainkan berdasarkan sudut pandang/ persepsi konsumen. hal ini disebabkan oleh konsumenlah mengkonsumsi serta menikmati jasa layanan. Customer Satisfaction Teori yang paling umum digunakan untuk menjelaskan kepuasan pelanggan adalah teori ExpectancyDisconfirmation. Teori ini menjelaskan bahwa konsumen memiliki harapan akan produk atau jasa sebelum melakukan tindakan konsumsi atau pembelian. Setelah konsumen membeli dan/atau menggunakan produk atau jasa tersebut, kemudian konsumen mengevaluasi pengalaman dan bentuk penampilan dari produk atau jasa yang berkaitan dengan harapan awal mereka. Hasil dari evaluasi ini adalah sikap yaitu suatu keputusan apakah mereka puas atau tidak. Apabila evaluasi dan sikap yang muncul sesuai dengan harapan konsumen, maka terjadilah keadaan kepuasan. Keadaan kepuasan ini merujuk pada sikap positif terhadap pengalaman membeli, produk dan / atau jasa, serta dapat secara positif mempengaruhi niat membeli di masa depan (Carpenter, 2008). Akan tetapi, para peneliti menyatakan bahwa kepuasan konsumen meliputi penilaian kognitif dan reaksi afektif selama proses konsumsi. Bahkan kepuasan meliputi suatu evaluasi dari emosi konsumsi yang datang dari penggunaan atau pemakaian produk atau jasa. Jooyeon dan Jang (2010) mengutip dari Oliver menganggap kepuasan konsumen sebagai tanggapan pemenuhan konsumen, sejauh mana tingkat pemenuhan tersebut menyenangkan atau tidak
421
menyenangkan, menunjukan bahwa kepuasan merefleksikan akibat dari performa terhadap keadaan emosi konsumen. Untuk memahami kepuasan pelanggan lebih jauh, penelitian terdahulu telah mengidentifikasikan anteseden-anteseden serta konsekuensi dari kepuasan. Kotler dan Keller (2006) mendefinisikan kepuasan konsumen adalah perasaan konsumen, baik berupa kepuasan atau ketidakpuasan yang timbul dari membandingkan penampilan sebuah produk dengan harapan konsumen atas produk tersebut. Apabila penampilan produk yang diharapkan oleh konsumen tidak sesuai dengan kenyataan yang ada maka dapat dipastikan konsumen akan merasa tidak puas, namun apabila penampilan produk sesuai dengan atau lebih baik dari yang diharapkan konsumen maka kepuasan atau kesenangan akan dirasakan oleh konsumen. Kepuasan pelanggan telah menjadi tujuan utama dalam industri jasa karena hal tersebut membawa manfaat / keuntungan bagi organisasi (Ranaweera dan Prabhu, 2003). Pentingnya kepuasan pelanggan berasal dari filosofi yang diterima secara umum bahwa suatu bisnis untuk menjadi sukses dan menguntungkan harus dapat memuaskan pelanggan, karena melalui kepuasan pelanggan, organisasi dapat meningkatkan keuntungan dengan memperluas bisnis mereka dan memperoleh pangsa pasar yang lebih tinggi serta bisnis yang berulang dan referensi (Shin dan Elliott, 2001). Untuk meraih tingkat kepuasan konsumen yang lebih tinggi dari, maka pihak penyedia jasa diharapkan dapat menyampaikan dan memberikan pelayanan dengan tingkat yang lebih tinggi karena kualitas jasa dianggap sebagai anteceden dari kepuasan konsumen (Cronin et al., 2000).
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438
Kepuasan pelanggan harus disertai dengan pemantauan terhadap kebutuhan dan keinginan yang bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor. Seperti yang diungkap oleh Cravens (dalam Wulansari, 2007) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan pelanggan yaitu: (1) adanya sistem pengiriman. Memindahkan produk atau menyampaikan jasa dari produsen ke pelanggan atau pemakai akhir dalam bisnis biasanya meliputi saluran distribusi dari para pemasok, pabrikan dan para perantara. Untuk dapat memuaskan pelanggan, jaringan ini harus berfungsi sebagai unit yang terpadu dan terkoordinir, di mana semua karyawannya mengerti dan menanggapi kebutuhan dan keinginan pelanggan; (2) adanya performa dan keunggulan suatu produk atau jasa sangatlah penting dalam mempengaruhi kepuasan pelanggan, yang bisa disebut sebagai hal utama dalam bersaing; (3) adanya citra dan merek perusahaan yang baik merupakan keunggulan bersaing yang mempengaruhi tingkat kepuasan pelanggan dari sudut positif. Terbentuknya citra merek (brand image) dan nilai merek (brand equity) adalah pada saat pelanggan memperoleh pengalaman yang menyenangkan dengan produk atau jasa yang dikonsumsinya; (4) Adanya hubungan harga-nilai. Pelanggan mengiginkan nilai yang ditawarkan dari suatu merek produk atau jasa sesuai dengan harga yang diberikan, oleh karenanya terdapat hubungan yang menguntungkan antara harga dan nilai. Merek dipromosikan oleh perusahaan sebagai suatu nilai yang unik sesuai harganya. Di lain pihak, manajemen memutuskan untuk bersaing atas dasar harga rendah di antara merek-merek di mana para pembeli sudah menetapkan nilai yang seimbang; (5) adanya kinerja atau prestasi karyawan Kinerja dari
suatu produk atau jasa dan sistem pengiriman tergantung pada bagaimana semua bagian organisasi bekerjasama dalam proses pemenuhan kepuasan pelanggan. Setiap orang dalam organisasi mempengaruhi pelanggan, baik hal-hal yang menyenangkan atau pun yang tidak menyenangkan; (6) adanya persaingan. Kelemahan dan kekuatan para pesaing juga mempengaruhi kepuasan pelanggan dan merupakan peluang untuk memperoleh keunggulan bersaing. Pesaing yang spesifik menimbulkan dampak baik atau buruk dalam rangka memenuhi keinginan segmentasi pasar. Mengetahui kesenjangan (gap) antara keinginan pembeli dengan tawaran yang diberikan para pesaing merupakan peluang untuk meningkatkan kepuasan pelanggan. Blackwell, & Miniard (1993) menyatakan kepuasan konsumen merupakan respon efektif terhadap pengalaman melakukan konsumsi atau suatu evaluasi kesesuaian atau ketidaksesuaian yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual produk setelah pemakaian. Menurut Fornell (1992), kepuasan pelanggan akan mempengaruhi perilaku membeli, dimana pelanggan yang puas cenderung menjadi pelanggan yang loyal. Harapan pelanggan mempunyai peranan yang besar dalam menentukan kualitas produk jasa dan kepuasan pelanggan. Dalam konteks kepuasan pelanggan, umumnya harapan merupakan perkiraan/keyakinan pelanggan tentang apa yang akan diterimanya (Zeithmal, et al. 1993). Perceived Value Penentuan, penyampaian, dan pengkomumkasian Customer value merupakan hal yang sangat penting dalam setiap kesatuan organisasional.
422
Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)
Ketiga aspek tersebut merupakan bagian dari inti proses rancangan strategis dan pada akhirnya menentukan daya saing dan kelangsungan hidup jangka panjang suatu organisasi (Kotler, 1991; Narver dan Slater, 1990; Woodruff, Locander, dan Bamaby,1991). Customer value yang unggul mengacu kepada penciptaan berkesinambungan pengalaman bisnis yang melampaui pengharapan pelanggan. Value merupakan suatu kendali strategis yang diterapkan oleh setiap perusahaan untuk membedakan did mereka dari apa yang kebanyakan ada di benak pelanggan (Weinstein dan Johnson, 1999). Pemahaman mengenai Customer value akan menjadi bertambah penting bagi institusiinstitusi pendidikan tinggi seiring dengan semakin kentaranya langkah cepat perubahan lingkungan. Kecenderungan sosial, demografis, teknologi, ekonomi, dan legislatif lantas dipadukan dengan cara-cara yang akan menjadikan universitasuniversitas sukses kelak dapat tampil beda di abad ke-21 dibandingkan dengan apa yang mereka dapatkan saat ini (Boyer, 1987; Naisbitt dan Aburdence, 1990). Customer value berkaitan erat dengan konsekuensi yang dapat berupa keuntungan atau pengorbanan, konsumsi atau penggunaan (Woodruff dan Gardial di Cathey (1995). Konsekuensi merupakan dampak yang dirasakan individu atau suatu kelopok sebagai akibat dari adanya konsumsi barang/jasa, sebagai kebalikan dari peraberian sifat dari barang itu sendiri (Reynold dan Gutman, 1988). Hal ini dapat berarti positif atau negatif (Cathey, 1995). Teori nilai menganjurkan bahwa cara orang berhubungan dengan barang/produk dan jasa dapat digambarkan secara
423
hirarki (Cathey, 1995). Saat ini para pelanggan dihadapkan pada melimpahnya serbuan produk serta pilihan, harga, dan penyedia merek (Kotler, 1996). Perkiraan pelanggan, yang dapat menawarkan, akan menghasilkan nilai yang paling utama. Pelanggan merupakan nilai yang haras dimaksimalkan dalam batasan-batasan biaya penelusuran dan pengetahuan yang terbatas, pemasukan, dan mobilitas (Kotler, 1996). Pelanggan akan mendapatkan dari perusahaan kenyataan bahwa mereka merasa menawarkan nilai tertinggi (Kotler, 1996 a). Pelanggan akan membentuk suatu pengharapan akan nilai dan bertindak untuk mendapatkannya. Pada akhirnya, hal tersebut akan mempengaruhi kepuasan pelanggan dan peluang pembelian kembali oleh pelanggan (Kotler, 1996). Nilai yang diperoleh merupakan perihal yang berkaitan dengan persepsi dan penilaian dari pelanggan, tidak berkaitan dengan harga moneter yang dibayarkan atau biaya moneter (Kotler, 1995). Dibalik latar belakang pendidikan, kekayaan finansial, dan cita-cita pribadi pelanggan, kini pelanggan memburu keuntungan yang besar dari investasi pendidikan. Pelanggan mendambakan pendidikan yang terbaik (Institut Pendidikan Tinggi di Universitas Pennsylvania, 1993). Untuk dapat bersaing dengan baik dalam suatu lingkungan yang sadar nilai, para penjual harus menekankan pada nilai penawaran mereka. Strategi berbasis-nilai satu melibatkan penekanan pada nilai pemerolehan produk (yaitu, nilai perolehan) (Monroe dan Chapman, 1987). Para penjual dapat meningkatkan persepsi nilai perolehan dengan meningkatkan persepsi pembeli akan kualitas produk atau keuntungan yang berkaitan dengan
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438
harga penjualan (Bolton dan Drew, 1991; Dodds, Monroe, dan Grewal, 1991; Monroe dan Krisnan, 1985; Zeithalm,1988). Perusahaan dapat memilih salah satu dari tiga strategi pemosisisan berbasis-nilai berikut: kualitas tinggi/harga tinggi, kualitas rendah/harga rendah, atau penyeimbangan-penyeimbangan kualitas terhadap harga Perusahaan juga dapat membandingkan nilai penjualan yang lebih rendah dengan nilai rujukan dari iklan yang lebih tinggi untuk meningkatkan persepsi nilai pembeli. Strategi orientasi nilai ini ditujukan pada peningkatan persepsi yang disetujui oleh pembeli (nilai transaksi). Meaurut Weinstein dan Johnson (1999), value diberikan kepada pelanggan dengan salah satu cara berikut ini: (1) perusahaan dapat memilih untuk mendapatkan produk yang terbaik (kepemimpinan produk); (2) Biaya total yang terbaik (keunggulan operasional); (3) Solusi total terbaik (keintiman pelanggan). Mungkin cara terbaik untuk mendefinisikan nilai ialah dengan melihatnya dari sudut pandang pelanggan sebagai suatu perniagaan antara keuntungan yang diperoleh versus harga yang dibayarkan (Weinstein dan Johnson, 1999). Dodds, Monroe, dan Grewal (1991); Zeithalm, (1998) telah mendefinisikan nilai perolehan yang dirasakan sebagai keuntungan bersih yang diterima dikaitkan dengan produk atau jasa yang didapatkan. Nilai perolehan yang dirasakan dari suatu produk secara positif akan dipengaruhi oleh keutungan yang diyakini oleh pembeli bisa ia dapatkan dengan cara memperoleh dan mempergunakan produk tersebut, dan secara negatif dipengaruhi oleh uang yang hams dibayarkan untuk membeli produk itu. Beberapa peneliti telah
mengkonseptualisasikan nilai perolehan dengan cara ini, istilah lainnya yaitu "bargain value" (Keon, 1980), "Perceived Value" (Dodds, Monroe, dan Krisnan, 1985; Urbany, Bearden, dan Weil baker, 1988), "harga yang dirasakan" (Szybillo dan Jacoby, 1974), 'faedah perolehan" (Thaler, 1985), dan "kesadaran akan nilai" (Lichtenstein, Netemeyer, dan Burton, 1990; Lichtenstein, Ridgeway, dan Netemeyer, 1993). Pola respon dari kajian penelitian yang dilakukan oleh Zeithalm (1988) menetapkan empat defmisi konsumen terhadap value: (1) nilai ialah harga yang rendah, (2) nilai ialah apapun yang aku inginkan dalam suatu produk, (3) nilai ialah kualitas yang aku dapatkan dari harga yang aku bayarkan, dan (4) nilai ialah apapun yang aku dapatkan dari apa yang telah aku berikan. Schechter (1984) mendefinisikan value sebagai semua faktor, yang kualitatif dan kuantitatif, yang subyektif dan obyektif, yang dapat memuaskan pengalaman berbelanja yang lengkap. Definisi value yang ketiga: ialah kualitas yang aku dapatkan dari harga yang aku bayarkan" selaras dengan pendapat dari peneliti-peneliti lain yang terdapat dalam kepustakaan (Bishop, 1984; Dodds dan Monroe, 1984; Doyle, 1984; Shapiro dan Rekan-rekan, 1985). Definisi yang keempat sejalan dengan Sawyer dan Dickson (1984) yang mengkonseptualisasikan value sebagai suatu perbandingan nilai yang melekat yang lebih diberatkan oleh hasil evaluasinya. Hal ini juga senada dengan ukuran faedah per dolar suatu nilai yang digunakan oleh Hauser dan Urban (1986), Hauser dan Shugan (1983). Zeithalm (1988) mendefinisikan Perceived Value sebagai penilaian konsumen secara keseluruhan akan faedah dari suatu
424
Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)
produk berdasarkan persepsi mengenai apa yang telah mereka terima dan apa yang telah mereka berikan. Apa yang diiginkan oleh konsumen sangat beragam (misalnya, beberapa orang menginginkan jumlah, kualitas yang tinggi, atau kenyamanan) dan apa yang diberikan oleh konsumen juga beragam (contohnya, beberapa orang hanya mengurusi uang yang mereka habiskan, sementara yang lainnya memperhatikan masalah waktu dan nilai) (Zeithalm, 1988). Jika Perceived Value dianalogikan dengan konsep nilai produk yang dirasakan, maka Zeithalm menyarankan bahwa nilai jasa dapat dianggap melibatkan perniagaan antara evaluasi pelanggan akan keuntungankeuntungan dari penggunaan jasa dan biaya yang dikeluarkan untuknya. Penilaian pelanggan akan suatu nilai bergantung pada pengorbanan (yaitu, biaya moneter dan non-moneter yang berkaitan dengan penggunaan suatu jasa) dan kerangka rujukan dari sang pelanggan (Zeithalm, 1988). Pasti terdapat perbedaan pada penilaian pelanggan akan nilai jasa akibat adanya perbedaan biaya moneter, biaya nonmoneter, selera pelanggan, dan watak pelanggan (Bolton dan Drew, 1991). Terdapat beberapa literatur penelitian yang telah mengukur hubungan antara Perceived Value dan Customer Satisfaction. Pandangan konsumen terhadap nilai ini dijelaskan sebagai (1) nilai adalah harga yang murah, (2) nilai adalah apapun yang saya inginkan didalam sebuah produk, (3) nilai adalah mutu yang saya dapatkan sesuai dengan harga yang telah saya bayarkan, dan (4) nilai adalah apa yang saya dapatkan sesuai dengan apa yang telah saya berikan (Zeithaml, 1988). Zeithaml (1988) sebagaimana dikutip oleh Zhan (Sandy) Chen dkk (2003) pada pembahasan Consumers Value Perception off an E-Store and Impact
425
on E-store Loyalty Intention mendefinisikan Perceived Value adalah kemudahan secara menyeluruh dari penggunaan sebuah produk yang didasarkan pada apa yang telah mereka terima dan apa yang diberikan kepada mereka. Perceived Value merupakan hal yang sangat penting yang menentukan intensitas loyalitas konsumen (Parasuraman 1997; Woodruff 1997). Menurut Susila yang dikutip dari (Andreassen dan Lindestad 1998) mendefinisikan Perceived Value adalah pengukuran yang dilakukan konsumen terhadap utilitas produk berdasarkan persepsi tentang apa yang diperoleh dan pengorbanan yang dilakukan konsumen. Menurut Harjati yang dikutip dari (Kotler 2000) menyatakan bahwa Perceived Value adalah perbandingan antara total benefit yang diterima pelanggan dan total biaya yang dikeluarkannya. Sementara Woodruff dan Gardial (2000) menyatakan Perceived Value menguraikan hubungan antara produk dan pelanggan yaitu pemahaman pelanggan mengenai apa yang mereka inginkan dengan produk/jasa yang ditawarkan dalam memenuhi kebutuhannya, dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkannya. Penting dipahami bahwa nilai pelanggan ditekankan pada penelitian oleh pelanggan, sehingga dapat terjadi perusahaan mengembangkan kualitas produk sebaik-baiknya tanpa input dari pelanggan, setelah dihasilkan produk kualitas tinggi menurut versi perusahaan akhirnya harus menerima kenyataan ditolak oleh pasar/pelanggan, karena tidak memiliki nilai yang tinggi, jika sesuai dengan pelanggan. Jadi produk dikatakan memiliki nilai yang tinggi, jika sesuai
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438
dengan kebutuhan, keinginan dan permintaan pelanggan. Model ACSI (Indeks Kepuasan Konsumen AS) di dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Fornell dan rekan-rekan (1996) menunjukkan bahwa kepuasan adalah sesuatu yang dihasilkan dari quality dan bukan oleh harga, namun Perceived Value juga akan mempengaruhi kepuasan konsumen. Selanjutnya, Cronin dan rekan-rekan (2000) mendukung pandangan tersebut dengan cara menunjukkan bahwa Perceived Value adalah sebuah faktor prediktor atau penilaian yang sangat penting dari kepuasan. Customer Loyalty Foster dan Cadogan (2000) mengungkap adanya hubungan kausalitas antara kepercayaan konsumen dan loyalitas. Kepercayaan merupakan salah satu kunci dalam keberhasilan relationship marketing. Loyalitas pelanggan merupakan suatu bentuk perilaku konsumen yang mengarah pada kemungkinan pembelian ulang, meningkatnya loyalitas pada harga, dan memberikan rekomendasi pada pihak lain (Foster dan Cadogan, 2000). Ketiga hal tersebut juga merupakan indikator yang membangun loyalitas pelanggan. Sirdesmukh et al., (2002) menyatakan bahwa meskipun kepuasan konsumen sangat dibutuhkan untuk setiap bisnis yang berhasil, namun kepuasan tidaklah cukup untuk membangun loyalitas pelanggan. Mungkin saja pada tahun 1980-an kepuasan konsumen merupakan kata kunci dari setiap bisnis, sehingga setiap perusahaan berusaha untuk menyenangkan konsumen dengan memenuhi harapan tersebut. Karena perusahaan percaya bila mereka mampu memberikan kepuasan kepada konsumen, maka
konsumen akan melakukan pembelian ulang. Tetapi kenyataannya bahwa tingkat kepuasan konsumen yang tinggi bukanlah merupakan jaminan bagi seorang konsumen untuk mengulangi pembelian, sehingga dapat meningkatkan penjualan bagi pihak perusahaan. Ada empat kategori konsumen dikatakan loyal atau setia apabila : (1) melakukan pembelian ulang yang teratur; (2) melakukan pembelian terhadap lini produk / jasa lainnya; (3) melakukan pemberian referensi kepada orang lain; (4) memperlihatkan adanya kekebalan terhadap produk-produk dari para pesaing. Menurut Zeithaml dan Bitner (2003), loyalitas pelanggan dinyatakan dalam berbagai cara, sebagai contoh keinginan untuk merekomendasikan suatu penyedia jasa kepada konsumen lainnya, komitmen untuk kembali menggunakan dan berlangganan di suatu penyedia jasa tertentu, dalam keinginan untuk membayar suatu premium price. Sedangkan menurut Ting Pong Lu dan Tang Oui Yee (2001), loyalitas pelanggan juga dipandang sebagai suatu komitmen yang kuat terhadap suatu pelayanan penyedia jasa. Loyalitas pelanggan terhadap suatu provider juga dapat meningkatkan hubungan dengan penyedia jasa yang bersangkutan. Seorang konsumen yang loyal tentunya akan berulang kali menggunakan jasa dari suatu penyedia jasa dan biasanya selalu berusaha untuk mencari titik temu kepuasan yang diperoleh dari pengalaman dengan suatu penyedia jasa tersebut. Dalam kaitannya antara hubungan kepuasan dan loyalitas, jika seorang loyal customer memiliki pengalaman yang buruk dan menjadi kecewa dengan suatu penyedia jasa, kemungkinan mereka akan berfikir bahwa lebih baik bagi mereka untuk
426
Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)
berpindah (switching) kepada penyedia jasa yang baru. Dengan demikian, bisnis yang terkait tidak hanya tentang menarik dan memuaskan pelanggan, tetapi juga mengembangkan hubungan jangka panjang dengan pelanggan (Sirdesmukh et al., 2002). Sehingga perusahaan harus bekerja keras untuk mengembangkan hubungan dengan pelanggan yang loyal. Dalam hubungannya dengan loyalitas terhadap perusahaan tidak terlepas pula masalah pentingnya citra perusahaan, yang merupakan bagian penting dalam menilai pelayanan yang diberikan kepada konsumen. Karena perusahaan yang memiliki citra positif akan sangat mempengaruhi penilaian terhadap halhal lainnya. Perusahaan jasa tidak dapat menyembunyikan identitasnya, karena nama perusahaan atau distributor dapat dikenal konsumen. Suatu perusahaan mempunyai citra yang kuat apabila namanya dikenal luas dan perusahaan tersebut mempunyai reputasi yang luar biasa. Apabila suatu perusahaan sangat terkenal tetapi tidak dipercaya, maka perusahaan tersebut tidak akan memiliki citra yang luas. Sama halnya, apabila perusahaan tidak mempunyai citra yang kuat namun sangat dipercaya walaupun hanya sekelompok kecil orang. Selain itu Kotler dan Keller (2007) pun mengatakan konsumen memiliki tingkat kesetiaan (loyalty) yang sangat beragam terhadap merek, toko, dan perusahaan tertentu. Oliver mendefinisikan kesetiaan (loyalty) sebagai suatu komitmen yang dipegang kuat untuk membeli lagi atau berlangganan lagi pada produk atau jasa tertentu di masa depan meskipun ada pengaruh situasi dan usaha pemasaran yang berpotensi menyebabkan peralihan perilaku.
427
Berdasarkan tinjauan di atas, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut: H1. Service Quality berhubungan secara positif dengan perceived value. H2. Service quality berpengaruh secara positif terhadap loyalty to the firm. H3. Perceived value berhubungan secara positif dengan loyalty to the firm. H4. Perceived value berpengaruh secara positif dengan customer satisfaction METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini mengacu kepada penelitian yang dilakukan oleh Jayawerdhana (2010), yang menerapkan metode survey untuk menguji hipotesis, yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk menjelaskan pengaruh Service Encounter, Service Quality, dan Perceived Value terhadap Customer Satisfaction, Loyalty to the Firm, dan Loyalty to the employee. Dalam penelitian ini, akan diuji beberapa hipotesis yang muncul didalam pengaruh yang terjalin antara Service Encounter, Service Quality dan Perceived Value terhadap Customer Satisfaction, Loyalty to the Firm, dan Loyalty to the emloyee, seperti yang telah dijelaskan pada bagian perumusan hipotesis. Variabel dan pengukuran Service Encounter diperoleh dari Jayawardhena et al. (2007), yaitu : 1. Membangun hubungan yang baik dengan Anda. 2. Sopan dalam berinteraksi. 3. Informatif dalam berinteraksi. 4. Membangun hubungan yang baik.
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438
5. Menampilkan keakraban dalam melayani. Service Quality diperoleh dari Cronin and Taylor, (1992), (1994); dan Parasuraman et al., (1988) yaitu : 1. Karyawan Bank ini memahami kebutuhan spesifik saya. 2. Saya merasa aman melakukan bisnis dengan karyawan Bank ini. 3. Perilaku karyawan Bank ini menanamkan kepercayaan pada saya 4. Saya cukup mendapat perhatian khusus dari karyawan Bank ini. 5. Karyawan Bank ini mampu menjawab pertanyaan saya Customer Satisfaction diperoleh dari Cronin dan Taylor,( 1992) dan Zeithaml et al., (1996), yaitu : 1. Saya merasa puas dengan layanan yang saya terima dari Bank ini. 2. Saya bahagia dengan layanan yang saya terima dari Bank ini. 3. Saya sangat senang dengan layanan yang saya terima dari Bank ini. Perceived Value diperoleh dari Zeithaml’s (1988) dan Grewal et al. (1998), yaitu : 1. Layanan produk Bank ini memiliki nilai yang sangat baik. 2. Dengan Bank ini anda mendapatkan banyak sekali untuk uang anda. 3. Apa dan biaya yang dapatkan dari Bank ini, membuatnya menjadi nilai yang besar. Loyalty to the firm diperoleh dari Mowday et al., (1979), yaitu : 1. Saya bersedia untuk memasukkan upaya tambahan untuk menerima layanan dari Bank ini. 2. Bank ini mendorong saya untuk membeli jasa dari Bank ini berulang kali. 3. Bagi saya, Bank ini adalah perusahaan terbaik untuk membeli jasa dari Bank ini.
4. Saya bangga untuk memberitahu orang lain bahwa saya membeli pelayanan jasa dari Bank ini. Loyalty to employee diperoleh dari Mowday et al., (1979), yaitu : 1. Nilai-nilai saya dan nilai-nilai kontak saya saat ini sangat mirip. 2. Saya sangat senang bahwa saya memilih orang kontak saya saat ini atas lain. 3. Aku benar-benar peduli tentang nasib orang kontak saya saat ini. Metode penilaian diatas menggunakan skala likert 5-point, yaitu : 5 : Sangat Setuju 4 : Setuju 3 : Biasa 2 : Tidak setuju 1 : Sangat tidak setuju Sampel dan Pengumpulan Data Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini diperoleh dengan cara penyebaran kuesioner kepada para pelanggan Bank BNI Cabang Harmoni. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah Non-probability sampling dengan teknik purposive, dikarenakan jumlah populasi yang tidak diketahui jumlahnya dan hanya bagi kalangan yang telah memiliki pengalaman terhadap pelayanan Bank BNI. Dalam hal ini harapannya adalah responden dapat memberikan respon/tanggapan terhadap pertanyaan yang diajukan secara langsung. Untuk itu penyebaran kuesioner disebarkan langsung oleh peneliti kepada pelanggan yang pernah mengalami proses pelayanan, kemudian menerangkan maksud penelitian dan membuat perjanjian waktu dengan responden. Penyebaran kuesioner kepada pelanggan Bank BNI dilakukan untuk mengumpulkan data. Selama penelitian jumlah kuesioner yang disebarkan
428
Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)
kepada responden adalah 200 set kuesioner sesuai dengan pendapat Hair (1998), sedangkan yang kembali adalah 185 set kuesioner. Jumlah ini menurut Hair (1998) sudah cukup memadai. Data yang diperoleh melalui kuesioner, menunjukan bahwa mayoritas responden konsumen (58.38 % dari total responden konsumen) yang didapat dari penelitian ini adalah pria, yaitu sebanyak 108 orang. Sedangkan 77 orang (41,62%) sisanya responden konsumen adalah pria. Responden yang berusia antara 30 sampai 39 tahun merupakan kelompok usia terbanyak yang ditemui, yaitu sebanyak 76 orang (41,08% dari total responden yang ada), kelompok usia yang lebih tua, yaitu 40 sampai 49 tahun terdiri dari 35 orang (18,92 % dari seluruh responden pada penelitian ini). Responden yang berusia antara 20 sampai 29 tahun sebanyak 25 orang atau 13,51% dari total responden. Dan responden yang lebih muda lagi, yakni 15 sampai 19 tahun sebanyak 10 orang atau 5,41% dari seluruh total responden yang ada. Sedangkan hanya 28 orang atau 15,14 % dari total responden yang mengaku berusia sampai 59 tahun untuk umur diatas 60 tahun hanya 11 orang atau 5,94 %. Sekitar 35.14 % (65 orang) dari keseluruhan responden berpendidikan S1 sebagai mayoritas dari jawaban responden pada latar belakang pendidikan. Terdapat 2.70 % (5 orang) dari responden yang berlatar pendidikan SMP. Untuk yang berlatar belakang pendidikan SMA terdapat 35 orang atau 18,92 % dari total responden. Kelompok pendidikan diploma dijawab oleh responden dengan jumlah 55 orang (29,73 %) dan yang berlatar belakang lainnya terdapat 13.51% (25 orang). Berdasarkan jenis pekerjaan, mayoritas responden adalah PNS, yaitu sebanyak 48 orang (25,95% dari seluruh
429
responden). Sedangkan kelompok kedua terbanyak dari responden ini adalah jenis pekerjaan wiraswasta yang terdiri dari 45 orang atau 24.32 % dari total responden. Sebanyak 12 orang (6.49 % dari total responden ) yang mengaku sebagai pelajar. Sedangkan 42 orang atau 22,70% dari total responden dengan status sebagai karyawan swasta. Untuk kelompok jenis pekerjaan sebagai mahasiswa hanya terdapat 12,43% (23 orang mahasiswa dari total responden). Sedangkan 15 orang atau 8,11% dari total responden mengaku mempunyai pekerjaan lainnya. Sekitar 93 orang menjawab bahwa rata – rata jumlah pendapatan mereka tiap bulannya adalah berkisar Rp. 2.500.000 – Rp. 5.000.000. (50,27% dari total responden). Sedangkan 13 orang menjawab bahwa rata – rata jumlah pendapatan mereka tiap bulannya > Rp. 5.000.000. (7,03% dari total responden). Responden yang berpenghasilan tiap bulannya berkisar antara Rp.1.000.000 – Rp.2.500.000 terdapat 72 orang atau 38.92 % dari total responden, sedangkan hanya 7 orang atau 3,78% dari total responden yang berpenghasilan < Rp.1.000.000. Mayoritas responden menjawab bahwa jumlah frekuensi kunjungan mereka sebanyak 1 kali dalam sebulan adalah 21 orang (11,34% dari total responden yang ada), sedangkan jumlah frekuensi kunjungan sebanyak 2 kali dalam sebulan adalah 17,84% (33 orang dari total responden). Untuk jumlah frekuensi kunjungan sebanyak 3 kali dalam sebulan sebanyak 47 orang (25,41% dari total responden) dan responden yang menjawab > 3 kali dalam sebulan sebanyak 84 orang atau 45,41% dari total responden.
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438
Metode Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari analisis SEM (Structural Equation Modelling) dengan menggunakan program statistic LISREL 8.7. Berdasarkan penganah antar variabel sebagaimana dinyatakan pada kerangka konseptual, proseduser untuk meneliti penganah antar variabel menggunakan model LISREL dengan persamaan struktural, secara matematis adalah sebagai berikut: Menurut Bendesa (2006) prosedur SEM dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: 1. Melalui hubungan kausalitas yang direpresentasikan oleh serangkaian persamaan structural (misalnya, regresi) 2. Hubungan structural ini dapat dibuat dalam bentuk model gambar agar diperoleh konseptualisasi yang lebih jelas atas persoalan yang diteliti. Analisis factor yang digunakan dalam SEM ini adalah confirmatory factor analysis (CFA) dimana orde kedua digunakan untuk memeriksa nilai penting dimensi service quality. Indeks goodness-of-fit (kebaikan kecocokan) mendukung diterimanya mode pengukuran service quality. Berdasarkan hubungan antar teoritical variabel, scbagaimana yang dicantumkan dalam kerangka berpikir/ Teorilitcal Frame Work, penelititi menggunakan tata cara untuk meneliti pengaruh an Structural Equation Modeling (SEM) adalah dengan mempertimbangkan : 1. SEM memberikan kelayakan dan teknis estimasi yang paling efisien. Pengukuran mengijinkan peneliti untuk menggunakan beberapa variabel untuk satu variabel yang independent atau variabel dependent.
2. SEM dapat membedakan secara Explicit antara varibel laten dan variabel terukur, sehingga peneliti dapat menguji berbagai jenis hipotesis. 3. SEM memungkirikan peneliti untuk melakukan berbagai jenis test yang signillkan (IKG Bendesa,2004. Hair etal, 1998). Pengambilan keputusan untuk pengujian hipotesis dengan ketentuan sebagai berikut : a. Jika p-value < 0,05 maka H0 ditolak. Dengan Lisrel dilihat t Value
0,05 maka H0 diterima. Dengan Lisrel dilihat t value >t tabel (1.96) Uji kesesuaian Model Persamaan Struktural Penelitian bertujuan untuk menguji apakah model yang diusulkan dalam diagram jalur (model teoritis) sesuai atau cocok (fit) dengan data. Evaluasi terhadap Service Quality (SQ) model dilakukan secara menyeluruh (overall test). Dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk menguji model Service Quality (SQ), yang berpengaruh terhadap Perceived Value (PV), Loyalty to the Firm (LTF) dan Customer Satisfaction (CS). Perceived Value (PV), Loyalty to the Employee (LTE) yang berpengaruh terhadap Loyalty to the Firm (LTF). Service Ecounter (SE) dan Perceived Value (PV) yang berpengaruh terhadap Customer Satisfaction (CS). Serta Service Ecounter (SE) yang berpengaruh terhadap Service Quality (SQ). Hubungan struktural yang diuji pada penelitian ini mengasumsikan bahwa Service Quality (SQ) akan berpengaruh positif dan signifikan terhadap Perceived Value (PV), Loyalty to the Firm (LTF) dan Customer
430
Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)
Satisfaction (CS). dan Perceived Value (PV), Loyalty to the Employee (LTE) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Loyalty to the Firm (LTF). dan Purchase Intention (PI). Service Ecounter (SE) dan Perceived Value (PV) yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap Customer Satisfaction (CS). Serta Service Ecounter (SE) yang berpengaruh positif dan signifikanterhadap Service Quality (SQ). Hasil analisis terhadap model persamaan structural pada model menghasilkan nilai Degree of Freedom (DF) = 221, Chi-square (χ2) = 767,00 Goodness of Fit Index (GFI) = 0,80, Root Mean Square Residual (RMR) = 0,15 Root Mean Square Residual Error of Approximation (RMSEA) = 0,12; Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0,77; Normed Fit Index (NFI) = 0,89 ; Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0,59 Merujuk pada tabel …. Tentang standar ukuran Goodness of Fit (GOF), maka sebuah model bisa dikatakan fit
Ukuran GOF Chi-Square P NCP Interval RMSEA ECVI
AIC
CAIC
NFI
431
atau terdapat kesesuaian antara model teoritik dengan data yang dikumpulkan, maka nilai-nilai yang didapat dari masing-masing perhitungan uji kesesuaian model harus memenuhi nilai standar GOF. Berdasarkan hasil output dan gambar di atas model ini sudah sesuai dengan standar GOF yang ditetapkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang positif dan signifikan antara variabel eksogen Service Ecounter (SE), dengan variabel endogen Service Quality (SQ), yang berpengaruh terhadap Perceived Value (PV), Loyalty to the Firm (LTF) dan Customer Satisfaction (CS). Perceived Value (PV), Loyalty to the Employee (LTE) yang berpengaruh terhadap Loyalty to the Firm (LTF). Service Ecounter (SE) dan Perceived Value (PV) yang berpengaruh terhadap Customer Satisfaction (CS). Serta Service Ecounter (SE) yang berpengaruh terhadap Service Quality (SQ).
Tabel 1. Hasil Uji Kecocokan Keseluruhan Model Target-Tingkat Hasil Estimasi Kecocokan Nilai yang kecil Χ2 = 767.00 p > 0.05 (p = 0.00) Nilai yang kecil 546.00 Interval yg sempit (465.46 – 634.11) RMSEA ≤ 0.08 0.12 Nilai yang kecil M* = 4.77 dan dekat dengan ECVI S* = 3.00 saturated I* = 49.29 Nilai yang kecil dan dekat M* = 877.00 dengan AIC saturated S* = 552.00 I* = 9068.55 Nilai yang kecil dan dekat M* = 1109.11 dengan CAIC saturated S* = 1716.82 I* = 9165.62 NFI ≥ 0.90 0.89
Tingkat Kecocokan Kurang Baik Kurang Baik Kurang Baik Baik (Good Fit)
Baik (Good Fit)
Baik (Good Fit)
Marginal Fit
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438
Ukuran Target-Tingkat Hasil Estimasi GOF Kecocokan NNFI NNFI ≥ 0.90 0.90 CFI CFI ≥ 0.90 0.91 IFI IFI ≥ 0.90 0.91 RFI RFI ≥ 0.90 0.87 CN CN ≥ 200 51.78 RMR Standardized RMR ≤ 0.05 0.15 GFI GFI ≥ 0.90 0.80 AGFI AGFI ≥ 0.90 0.77 * M = Model; S = Saturated; I = Independence Dari Hasil Uji Kecocokan Keseluruhan Model ini adalah baik karena lebih banyak mencapai target/tingkat kecocokan yang diharapkan dan hipotesis nolnya ditolak. Uji Hubungan Antar Variabel Laten dengan Variabel Indikatornya Untuk mengetahui hubungan antar variabel laten dengan indikatornya maka dapat diperiksa nilai t dari mautan-muatan factor atau koefisien-koefisien yang ada didalam model. Nilai t suatu muatan faktor atau koefisien yang tinggi merupakan bukti bahwa variabel-variabel terukur atau actor-faktor mewakili konstrukkonstruk yang mendasarinya. Nilai t setiap muatan harus melebihi nilai kritis yaitu 1,96 dengan tingkat
No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tingkat Kecocokan Baik (Good Fit) Baik (Good Fit Baik (Good Fit) Marginal Fit Kurang Baik Kurang Baik Marginal Fit Kurang Baik
signifikansi 0,05, atau 2,58 untuk tingkat signifikansi 0,01. Dalam penelitian ini nilai t yang dipakai adalah 1,96. Nilai t hasil yang melebihi nilai kritis menunjukkan bahwa variabel yang bersangkutan secara signifikan mempunyai hubungan dengan indikator konstruk yang terkait dan juga sebagai verifikasi hubungan antar variabel dan indikator yang telah didefinisikan. Berikut disajikan gambar output Lisrel Model berdasarkan T-Valuenya. Berdasarkan gambar di atas nilai t variabel dan indikator-indikatornya lebih dari nilai yang disayaratkan oleh SEM sebesar 1,96, oleh karena itu variabel dan indikator-indikatornya signifikan. Berikut disajikan tabel hubungan antar variabel laten dengan variabel indikatornya.
Tabel 2. Hasil Uji Hubungan Antar Variabel Laten dengan Indikatornya Std. Error Std. Indikator thitung Loading Loading Loading2 SE1 0,30 0,91 0,09 3,75 SE2 0,78 0,39 0,61 11,05 SE3 0,55 0,69 0,30 7,30 SE4 0,69 0,53 0,48 9,46 SE5 0,62 0,61 0,38 8,40 SE 2,94 3,13 1,86 SQ1 0,84 0,30 0,71 0,00
432
Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)
No 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
SQ2 SQ3 SQ4 SQ5 SQ CS1 CS2 CS3 CS PV1 PV2 PV3 PV LTF1 LTF2 LTF3 LTF3 LTF LTE1 LTE2 LTE3 LTE
Indikator 0,92 0,90 0,76 0,53 3,95 0,95 0,94 0,81 2,70 0,78 0,90 0,88 2,56 0,79 0,84 0,83 0,79 3,25 0,90 0,93 0,93 2,76
Nilai loading pada model ini untuk masing-masing variabel latennya yaitu: (1) SE: 2,54 (2) SQ: 3,95. (3) CS: 2,70. (4) PV: 2,56 (5) LTF: 3,25 dan (6) LTE: 2,76. Sedangkan jumlah error dari loadingnya untuk variabel laten masing-masing adalah : (1) SE: 3,13 (2) SQ: 1,77. (3) CS: 0,57. (4) PV: 0,81 (5) LTF: 1,34 dan (6) LTE: 0,46. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis data diperoleh dari hasil pengujian terhadap hipotesis. Tujuan
433
Std. Loading 0,15 0,18 0,42 0,72 1,77 0,09 0,13 0,35 0,57 0,39 0,19 0,23 0,81 0,37 0,29 0,31 0,37 1,34 0,19 0,13 0,14 0,46
Error Loading 0,85 0,81 0,58 0,28 3,22 0,55 0,71 0,79 2,44 0,79 0,85 0,85 2,19 0,62 0,71 0,69 0,62 2,64 0,81 0,86 0,86 2,54
Std. Loading2 16,54 15,98 12,22 7,65 0,00 23,81 16,10 0,00 13,10 12,79 0,00 12,64 12,36 11,64 0,00 20,36 20,06
dari pengujian hipotesis adalah untuk menolak hipoetsis nol (H0) sehingga hipotesis alternative (Ha) bias diterima. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat signifikansi tiap-tiap hubungan. Adapun batas toleransi kesalahan yang digunakan adalah 5%. Apabila t < alpha atau t > 0,05 maka terdapat pengaruh yang signifikan antara variable x terhadap variable y. Pada Tabel 12 merupakan penjelasan dari hasil pengujian hipotesis yaitu sebagai berikut:
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438
Tabel 3. Hasil Pengujian Hipotesis Koefisien Hipotesis Parameter
t value
t Tab
H1
Service Quality-Perceived Value
0,41
5,15
1,96
H2
Service Quality-Loyalty to the firm
0,21
3,57
1,96
H3
Perceived Value-Loyalty to the firm
0,39
5,98
1,96
H4
Perceived Value-Customer Satisfaction
0,39
5,71
1,96
Hipotesa 1 Hipotesa pertama menguji apakah Service Quality mempunyai pengaruh terhadap Perceived Value. Berikut ini adalah penyusunan hipotesis null (Ho) dan hipotesis alternatifnya (Ha) : Ho1: Service Quality tidak mempunyai pengaruh terhadap Perceived Value Ha1: Service Quality mempunyai pengaruh terhadap Perceived Value Berdasarkan dari hasil pengujian data untuk hipotesis pertama diperoleh nilai t-value 5,15 > 1,96 menunjukkan bahwa Ha1 mendukung yang berarti Service Quality mempunyai pengaruh terhadap Perceived Value. Sedangkan untuk hasil nilai koefisien parameter sebesar 0,41 menunjukkan bahwa Service Quality memiliki hubungan yang positif dan searah terhadap Perceived Value. Hipotesa 2 Hipotesa kedua menguji apakah Service Quality mempunyai pengaruh terhadap Loyalty to the firm. Berikut ini adalah penyusunan hipotesis null (Ho) dan hipotesis alternatifnya (Ha) : Ho2: Service Quality tidak mempunyai pengaruh terhadap Loyalty to the firm Ha2: Service Quality mempunyai pengaruh terhadap Loyalty to the firm
Keputusan H1 Diterima H2 Diterima H3 Diterima H4 Diterima
Berdasarkan dari hasil pengujian data untuk hipotesis kedua diperoleh nilai tvalue 3,57 > 1,96 menunjukkan bahwa Ha2 mendukung yang berarti Service Quality mempunyai pengaruh terhadap Loyalty to the firm. Sedangkan untuk hasil nilai koefisien parameter sebesar 0,21 menunjukkan bahwa Service Quality memiliki hubungan yang positif dan searah terhadap Loyalty to the firm. Hipotesa 3 Hipotesa ketiga menguji apakah Perceived Value mempunyai pengaruh terhadap Loyalty to the firm. Berikut ini adalah penyusunan hipotesis null (Ho) dan hipotesis alternatifnya (Ha) : Ho3: Perceived Value tidak mempunyai pengaruh terhadap Loyalty to the firm Ha3: Perceived Value mempunyai pengaruh terhadap Loyalty to the firm Berdasarkan dari hasil pengujian data untuk hipotesis ketiga diperoleh nilai tvalue 5,98 > 1,96 menunjukkan bahwa Ha3 mendukung yang berarti Perceived Value mempunyai pengaruh terhadap Loyalty to the firm. Sedangkan untuk hasil nilai koefisien parameter sebesar 0,39 menunjukkan bahwa Perceived Value memiliki hubungan yang positif dan searah terhadap Loyalty to the firm.
434
Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)
Hipotesa 4 Hipotesa keempat menguji apakah Perceived Value mempunyai pengaruh terhadap Customer Satisfaction. Berikut ini adalah penyusunan hipotesis null (Ho) dan hipotesis alternatifnya (Ha) : Ho4: Perceived Value tidak mempunyai pengaruh terhadap Customer Satisfaction Ha4: Perceived Value mempunyai pengaruh terhadap Customer Satisfaction Berdasarkan dari hasil pengujian data untuk hipotesis keempat diperoleh nilai t-value 5,71 > 1,96 menunjukkan bahwa Ha4 mendukung yang berarti Perceived Value mempunyai pengaruh terhadap Customer Satisfaction. Sedangkan untuk hasil nilai koefisien parameter sebesar 0,39 menunjukkan bahwa Perceived Value memiliki hubungan yang positif dan searah terhadap Customer Satisfaction. Pembahasan Berdasarkan hasil pengujian hipotesa pada Tabel 14 diatas, dari sembilan hipotesa yang digunakan, variabel service encounter, service quality, perceived value mempunyai pengaruh terhadap customer satisfaction, loyalty to the firm, dan loyalty to the employee. Adapun pembahasan keempat hipotesa yang digunakan adalah sebagai berikut: Hipotesa 1 Berpengaruhnya service quality terhadap perceived value menunjukkan bahwa Bank BNI berupaya agar service quality yang telah terbentuk dapat dijalankan dengan benar. Hal ini menjadi prioritas utama perusahaan dalam memberikan nilai yang lebih yang akan diterima oleh nasabah. Dengan menjaga service quality tersebut perusahaan akan terus menjaga
435
apa yang sudah diberikan kepada para pelangganya sehingga berusaha untuk memberikan nilai yang lebih yang akan diterima oleh nasabah. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jayawardhena (2010) dimana Service quality memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perceived value. Hipotesa 2 Berpengaruhnya service quality terhadap loyalty to the firm menunjukkan bahwa kualitas jasa sangat diperhatikan oleh Bank BNI. Kemudian tercipta kepuasan yang diterima oleh para nasabah Bank BNI. Sehingga membuat nasabah loyal terhadap Bank BNI. Logikanya disini adalah bahwa semakin besar persepsi Service Quality secara keseluruhan, semakin besar kemungkinan pelanggan akan terlibat dalam perilaku bermanfaat bagi perusahaan, misalnya, loyalitas kepada perusahaan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jayawardhena (2010) dimana Service quality memiliki pengaruh yang signifikan terhadap loyalty to the firm. Hipotesa 3 Berpengaruhnya perceived value terhadap loyalty to the firm menunjukkan bahwa Bank BNI sangat menjaga kualitas jasa sehingga nilai yang tercipta harus sesuai dengan nilai yang dikeluarkan oleh nasabah. Nasabah menunjukkan perilaku ketertarikan terhadap penyedia jasa selama hubungan relasi yang ada memberikan nilai unggul. Nilai dari suatu produk Bank BNI juga sangat baik sehingga menjadikan nasabah loyal terhadap Bank BNI. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jayawardhena (2010) dimana perceived value memiliki
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438
pengaruh yang signifikan terhadap loyalty to the firm. Hipotesa 4 Berpengaruhnya perceived value terhadap customer satisfaction menunjukkan Bank BNI sangat menjaga kualitas jasa sehingga nilai yang tercipta harus sesuai dengan nilai yang dikeluarkan oleh nasabah. Hal ini terlihat kepuasan nasabah merupakan konsekuensi dari nilai yang dirasakan. Nasabah menekankan bahwa penentu pertama dari keseluruhan kepuasan pelanggan adalah persepsi kualitas yang diterima yang kedua sebagai penentu kepuasan pelanggan secara keseluruhan dianggap adalah nilai yang dirasakan. Nilai dari suatu produk Bank BNI juga sangat baik sehingga menjadikan nasabah puas akan layanan Bank BNI. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jayawardhena (2010) dimana perceived value memiliki pengaruh yang signifikan terhadap customer satisfaction. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil temuan dari penelitian ini pada industri jasa Bank BNI dengan jelas memperlihatkan hasil untuk hipotesis H1 bahwa service quality mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perceived value. Kondisi ini didukung dengan hubungan positif dan signifikan dari keseluruhan dimensi service quality terhadap perceived value. Sedangkan untuk hipótesis H2 bahwa service quality mempunyai pengaruh terhadap loyalty to the firm. Kondisi ini didukung dengan hubungan positif dan signifikan dari keseluruhan dimensi service quality terhadap loyalty to the firm. Kemudian hipótesis H3 bahwa perceived value mempunyai pengaruh terhadap loyalty to the firm. Kondisi ini
didukung dengan hubungan positif dan signifikan dari keseluruhan dimensi perceived value terhadap loyalty to the firm. Selanjutnya untuk hipótesis H4 bahwa perceived value mempunyai pengaruhnya terhadap customer satisfaction. Kondisi ini didukung dengan hubungan positif dan signifikan dari keseluruhan dimensi perceived value terhadap customer satisfaction. Saran Untuk Penelitian Selanjutnya Penelitian ini hanya dilakukan di Bank BNI cabang Harmoni dan hanya mengambil sampel sebanyak 185 responden. Perlu juga objek penelitian ini dilakukan dengan membedakan jenis bank dengan memperbanyak jumlah responden yaitu sebanyak 300500 responden sehingga dapat teridentifikasi karateristik konsumen dari berbagai macam industri jasa tersebut. Untuk penelitian selanjutnya, dapat dimasukkan variabel – variable lainnya seperti word of mouth, firm reputation, dan lainnya sehingga indikator terhadap service quality ataupun customer satisfaction ada beberapa macam sehingga semuanya itu bisa diterapkan dan diapplikasikan dalam sebuah perusahaan yang bertujuan untuk membina hubungan baik dengan para pelanggannya. DAFTAR PUSTAKA Bitner,
M.J. (1990), “Evaluating service encounters: the effects of physical surrounding on employee responses”, Journal of Marketing, Vol. 54 No. 2, pp. 69-82. Bitner, M.J., Booms, B.H. and Mohr, L.A. (1994), “Critical service encounters: the employees’ viewpoint”,
436
Antecedents dan Consequences... (Muhammad Tahir)
Journal of Marketing, Vol. 58, pp. 95-106. Bitner, M.J., Booms, B.H. and Tetrault, M.S. (1990), “The service encounter: diagnosing favorable and unfavorable incidents”, Journal of Marketing, Vol. 54, pp. 7184. Brady, M.K. and Cronin, J.J. Jr (2001), “Some new thoughts on conceptualizing perceived service quality: a hierarchical approach”, Journal of Marketing, Vol. 65 No. 3, pp. 34-49. Cronin, J.J. Jr and Taylor, S.A. (1992), “Measuring service quality – a re-examination and extension”, Journal of Marketing, Vol. 56, pp. 5568. Cronin, J.J. Jr and Taylor, S.A. (1994), “SERVPERF Versus SERVQUAL: reconciling performance-based and perceptions-minusexpectations measurement of service quality”, Journal of Marketing, Vol. 58, pp. 125-31. Cronin, J.J. Jr, Brady, M.K. and Hult, G.T. (2000), “Assessing the effects of quality, value, and customer satisfaction on consumer behavioral intentions in service environments”, Journal of Retailing, Vol. 76 No. 2, pp. 193-218. Choi, K.-S., Hanjoon, L., Chankon, K. and Sunhee, L. (2005), “The service quality dimensions and patient satisfaction relationships in South Korea: comparisons across gender, age and types of service”, Journal of Services
437
Marketing, Vol. 19 No. 3, pp. 140-9. Czepiel, J.A. (1990), “Service encounters and service relationships: implications for research”, Journal of Business Research, Vol. 20 No. 1, pp. 13-21. Dwyer, F.R., Schurr, P.H. and Oh, S. (1987), “Developing buyerseller relationships”, Journal of Marketing, Vol. 51, April, pp. 11-27. Fornell, C., Johnson, M.D., Anderson, E.W., Cha, J. and Bryant, B.E. (1996), “The American customer satisfaction index: nature, purpose, and findings”, Journal of Marketing, Vol. 60 No. 4, pp. 7-18. Fournier, S. and Mick, D.G. (1999), “Rediscovering satisfaction”, Journal of Marketing, Vol. 63, pp. 524. Grewal, D., Krishnan, R., Baker, J. and Borin, N. (1998), “The effect of store name, brand name and price discounts on consumers’ evaluations and purchase intentions”, Journal of Retailing, Vol. 74 No. 3, pp. 331-52. Gupta, S. and Zeithaml, V.A. (2006), “Customer metrics and their impact on financial performance”, Marketing Science, Vol. 25 No. 6, pp. 718-39. Hartline, M.D., Woolridge, B.R. and Jones, K.C. (2003), “Guest perceptions of hotel quality: determining which employee groups count most”, Cornell Hotel and
Jurnal KBP, Vol. 1, No. 3, Desember 2013: 417 - 438
Administration Quarterly, Vol. 44 No. 1, pp. 43-53. Hermawan, A (2003) Pedoman praktis metodologi bisnis cetakan I LPFE. Universitas Trisakti. Jakarta. Jasfar F (2005). Manajemen jasa: pendekatan terpadu Cetakan I Ghalia Indonesi. Bogor Jayawardhena, C., Souchon, A.L., Farrell, A.M. and Glanville, K. (2007), “Outcomes of service encounter quality in a business-to-business context”, Industrial Marketing Management, Vol. 36 No. 5, pp. 575-88. Mowday, R.T., Steers, R.M. and Porter, L.W. (1979), “The measurement of organizational commitment”, Journal of Vocational Behavior, Vol. 14, pp. 224-47. Namasivayam, K. and Hinkin, T.R. (2003), “The customer’s role in the service encounter: the effects of control and fairness”, Cornell Hotel and Restaurant Administration Quarterly, Vol. 44 No. 3, pp. 26-34. Oliver, R.L. (1997), Satisfaction: A Behavioral Perspective on the Consumer, McGraw Hill, New York, NY. Parasuraman, A. and Grewal, D. (2000), “The impact of technology on the qualityvalue-loyalty chain: a
research agenda”, Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 28 No. 1, pp. 168-74. Parasuraman, A., Zeithaml, V.A. and Berry, L.L. (1985), “A conceptual model of service quality and its implications for future research”, Journal of Marketing, Vol. 49, pp. 41-50. Parasuraman, A., Zeithaml, V.A. and Berry, L.L. (1986), SERVQUAL: A MultipleItem Scale for Measuring Customer Perceptions of Service Quality, Report, Marketing Science Institute No. 86-108, August. Parasuraman, A., Zeithaml, V.A. and Berry, L.L. (1988), “SERVQUAL: a multipleitem scale for measuring consumer perceptions of service quality”, Journal of Retailing, Vol. 64 No. 1, pp. 12-40. Parasuraman, A., Zeithaml, V.A, & Berry, L. (1994), Reassessment of Expectations as a Comparison Standard in Measuring Service Quality: Implications for Further Research. Journal of Marketing, 58 (January), 111-124.
438