ANINDYA SUKRISMANTO
AYAH JANGAN PERGI
Penerbit 29RS FOR YOU
(Anda bisa memberi nama penerbit sesuai dengan keinginan)
AYAH JANGAN PERGI Oleh: (ANINDYA SUKRISMANTO) Copyright © 2011 by (ANINDYA SUKRISMANTO)
Penerbit (29RS FOR YOU) (http://www.anindya-sylva.com) (
[email protected])
Desain Sampul: (ANINDYA SYLVA SUKRISMANTO)
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
Ucapan Terimakasih:
Terima kasih saya ucapkan pertama kali dan sebesar-besarnya tentu saja kepada Allah SWT, karena-Nya saya bisa berkarya, karena-Nya saya dianugerahi (yang menurut saya) bakat untuk menulis. Lalu kepada Ayah saya tercinta Dr. Ir. Erly Sukrismanto, M.Sc yang sudah begitu rupa menjadi supporter saya, tidak menghakimi saya, selalu open minded terhadap pendapat-pendapat saya yang kadang kurang bisa diterima mungkin oleh kebanyakan orang. Kemudian sahabat-sahabat saya yang selalu mendukung saya untuk berani menerbitkan tulisan ini, YOU SEE..I DID IT!!! Dan terakhir namun paling penting untuk nulisbuku.com yang (akhirnya!) ada dan menjadi wadah bagi siapa saja yang mau menulis…mudahmudahan selalu menjadi inspirasi!
3
DAFTAR ISI (Jika menginginkannya, Anda bisa menggunakan halaman ini untuk halaman daftar isi)
4
UNDER THE TREE
Aku duduk di bawah pohon ini sudah satu setengah jam. Hati ini mulai panas, “Grrrr…mana dia? Awas kalo dateng, habis dia…” sungutku sendiri. Ehm, jadi begini. Seminggu yang lalu aku membuat janji dengan pacarku yang sudah lama tidak kutemui karena aku sibuk kuliah, kami sudah pacaran selama hampir 4 tahun. Jauh-jauh aku datang ke sini, kembali ke kota asalku hanya untuk membuangbuang waktu? Sebal, padahal ada hal penting yang hendak aku bicarakan dengannya. Kami selalu kemari, ke bukit ini, duduk di bawah pohon ini, menghabiskan waktu berdua saja bercerita, berkeluhkesah. “Nev…NeviDIA!!!!”
5
“Eh, APA?! Kenapa begitu terlambat?!” tumpah rasa kesalku sejak tadi. Dia hanya senyumsenyum sendiri. “Dateng
dari
kapan?”
tanyanya
tanpa
menjawab pertanyaanku tadi. “Tadi pagi, tapi aku ke warung Liliz dulu tadi. Kenapa gak jawab?” “Eh, jawab apa?” “Kebiasaan. Kenapa terlambat? Dari dulu nggak berubah, heran.” “Iya, maaf. Biasalah, mobilnya mogok di tengah jalan.” “Kamu bawa mobil? Sejak kapan?” tanyaku antusias dan mulai terbawa suasana. “Sebulan sih ada, Cuma gitu deh. Mobilnya butut banget.” 6
“Eeeh..jangan gitu, yang penting kan kamu nggak kehujanan” “Iya..iya. Mmm, aku kangen banget sama kamu, Nev.” “Kamu pikir aku gak. Kenapa sih, kamu gak kuliah di kota yang sama denganku?” “Nggak ah, dari dulu aku pengen masuk Univ itu.” “Tapi kan frekwensi kita ketemu jadi jarang banget..kita juga jarang telpon atau smsan.” “Yaa…namanya juga anak kuliahan, sibuk. Aku yakin kamu pasti sibuk banget kan di sana?” “Ya iyalah…” “Tapi nggak bikin kamu jadi lupa sama aku kan?” tanyanya mengejek. Buatku malu.
7
“Apa siih??” “Deeuuu…salting.
Hehehe…ngomong-
ngomong gimana kamu selama kuliah… Kemudian
kami
ngobrol-ngobrol
menghabiskan waktu seperti waktu itu, waktu SMA. Dulunya Rama anak yang bandel, sebenarnya dia itu satu tahun di atasku. Waktu aku masih di OSPEK, aku selalu diganggu olehnya, menyebalkan!! Eh, ternyata karena indeks prestasinya di dunia hitam terlalu banyak, dia tidak naik kelas. Begitu aku tahu dia tidak naik dan otomatis jadi seangkatan denganku,
aku
langsung
mencarinya
dan
mengganggunya. Setelah berteman dekat dengannya, aku baru tahu kalau dia sudah suka padaku sejak aku OSPEK. Itu kenapa dia terus usil padaku. Tak lama sejak itu, dia bilang suka padaku. Aku menolaknya. Aku bilang…
8
“Aku
nggak
suka
sama
cowok
yang
diblacklist kayak kamu.” “Gw mau berubah deeeh…lo suka tipe cowok apa?” “Rapi,
Ramah,
Pintar…pokoknya
semua
kebalikan kamu!” “Mmm.. kalo gw bilang gw bisa berubah, lo mau jadi cewek gw?” “Boleh…tapi ada ketentuannya. Pertama, kamu harus berubah dalam enam bulan dan kalo kamu bisa bertahan dengan perubahan kamu dan bakal gitu terus, aku baru mau.” “Enam bulan, Nev? Jangan tega gitu dong!!” “Yaa nggak usah jadi cowok aku. Cari cewek lain aja.” Tegasku. “Oke..enam bulan berlaku selamanya.” 9
*
*
*
Nevidia tidak berubah. Tetap disiplin, hanya saja makin manis dengan rambut terurai rapi sepinggang dan pakaian yang rapi tidak tertutup tapi tidak terbuka, Aah…waktu SMA, dia begitu culun, enak sekali mengerjai dia… “Elo yang namanya Nevidia?” tanyaku Sinis. “I…iya
kak.”
Jawabnya
takut
sambil
menunduk. “Ngerti sopan santun nggak?! Ngomong sama kakak kelas jangan buang muka!!” tukasku lagi. Dia langsung terhentak, namun sorot matanya bukan takut. Marah. “Kenapa? Lo mau nantangin gw? Eh, asal lo tau ya, biar gw bukan anak OSIS, tapi lo juga kudu ngehormatin gw!!! Ngerti??!”
10
“Nggak! Memangnya siapa kamu? Kita Cuma beda satu tahun, jangan gila hormat! Jangan mentang-mentang kamu lahir duluan deh..”
Aaaah!!!! Malu….masa aku nggak naik kelas? Berarti aku satu angkatan dong sama Nevy??? Asiiiik…eh, tapi malu…itulah perasaanku saat mengetahui bahwa I.P ku di dunia hitam sekolah menghadiahkan aku tinggal kelas. Entah jodoh dari mana, aku malah sekelas dengan Nevidia. “Hey!!! Ngapain kamu di sini?! Nggak ada urusan kamu di sini!” sentaknya galak ketika baru masuk kelas. “Heh, sok tau! Ini juga kelas gw tau!!” jawabku tak tahu malu. “Oooh…nggak
naik
kelas??!!!
Hahahaha!!!!!” serunya sambil melirik ke teman11
temannya.
Aaaaarggh!!!!!!!!
Sialan!
Nevy
ngetawain…gimana nih, kenyataannya aku belum berubah.
“Mana, katanya kamu mau berubah? ternyata kamu itu sama nonsense-nya sama temen-temen kamu. Mereka yang jelas nggak punya otak aja bisa naik,
kamu?”
ucap
Nevidia
sinis
saat
aku
mengajaknya makan di kantin saat istirahat. “Oke..kemaren waktu gw nembak lo, gw udah beres ulangan and gw gak belajar ditambah prestasi blacklist gw, jadilah gw seperti ini..” “So? What do you want from me?” “Tunggu gw, kalo gw bisa dapet setidaknya 10 besar, lo harus mau jadi cewe gw..gimana?” tawarku padanya agak sedikit memaksa. “Oke..see you.” Jawabnya lalu pergi. 12
*
*
*
Di sinilah aku sekarang, duduk menatap lurus ke depan dengan tangannya dalam genggamanku. 4 tahun ini dia menemaniku dengan cerita-ceritanya yang konyol. Dengan gurauannya yang buatku tertawa lepas. Aaah…Rama, siapa yang tahu kalau ini adalah pertemuan kita yang terakhir? Besok aku takkan ada di sini dan takkan kemari lagi. Hhh…betapa aku sangat menyayanginya, empat tahun bukan waktu sebentar sejak kisah ini dimulai, semua tertulis jelas dalam buku cerita aku dan dia yang akan kuakhiri hari ini untuk membuka bukuku yang baru. Masa depan yang sudah menungguku di sana.
13
*
*
*
“Nev, kamu mau nunggu aku, mau hidup sama aku?” tanyaku pada Nevidia. Dia hanya diam, menatapku, kemudian menangis. “Nev, kenapa kamu??? Kamu mau kan? Sorry2 kalo aku maksa kamu.” “Nggak. Nggak Rama…Maaf..” jawabnya masih tetap menangis. “Iya..iya aku ngerti, maaf ya..aku nggak akan maksa, aku yang salah. Harusnya aku nanyanya gak sekarang sama kamu.” “Nggak Rama, Nggak. Dan aku minta maaf.” Ucapnya sekali lagi lalu bangkit mengambil tasnya hendak pergi namun kutahan. “Maksudnya? Nevy, aku cinta banget sama kamu..terus kamu kenapa? Aku salah apa?” 14
“Nggak Rama, kamu nggak salah apa-apa.” Jawabnya sambil membelai wajahku, “Aku..aku yang ambil keputusan untuk pergi. Kamu adalah hadiah paling indah yang pernah Tuhan kasih ke aku, tapi aku nggak bisa sama kamu terus. Aku harus pergi.”
*
*
*
Kemudian aku pergi, tanpa menoleh ke belakang. Aku tak mau melihat wajahnya, air matanya
dan
tatapan
kecewanya.
Aku
pergi
tinggalkan kenangan indahku dengannya, namun tak lama dia memanggil. “NEV!! Tunggu! Terus, kenapa kamu minta aku pindah kuliah ke tempat kamu, kalo ujungujungnya kamu ngomong kayak tadi?!” cecarnya padaku. 15
Aku menarik nafas dalam, “Anggap itu Cuma bentuk apresiasi rasa kangenku ke kamu, nggak usah terlalu dianggap. Sekarang, kamu nggak usah banyak tanya, waktuku nggak banyak.” Jawabku dingin lalu melepaskan
genggamannya
dan
pergi
tanpa
menengok lagi. Tekadku kumulai hari ini dengan menutup buku ceritaku dengannya yang dibalut oleh cover yang indah, begitu banyak cerita yang kutulis di sana, kini waktuku untuk menulis ceritaku sendiri di bukuku sendiri dengan susah senang yang kurasa sendiri. Selamat tinggal Rama, selamat datang cerita baru, dan sekarang aku mulai menulis kata..’Pada suatu hari’.
16
AYAH JANGAN PERGI
Waktu itu umurku baru sepuluh tahun. Musim dingin pertama yang terasa begitu hampa dan menyedihkan bagiku. Ayahku pergi dengan perempuan lain yang baru dikenalnya beberapa bulan yang lalu. Ibuku sudah meninggal saat aku delapan tahun, sehingga aku dititipkan pada nenekku. Bayangkan, aku tidak diajak!!!! Sekarang nenek sudah mulai sakit-sakitan. Cuma ada aku di sampingnya, semua anak dan cucucucunya tak satupun datang menengok. Kata nenek, nanti kalau beliau pergi, rumah ini untukku saja dan rumahku yang lama dijual untuk modal usaha. Nenek juga bilang, jangan mudah percaya pada orang lain, dan bila mungkin aku harus mencari ayahku yang sekarang tak tahu ada di mana. Nenek bilang jangan pernah sedikitpun aku membencinya. Tapi, manusia macam apa yang meninggalkan buah hatinya untuk 17
pergi dengan wanita lain dan tak pernah memberi kabar seolah dia sudah cukup bahagia dengan kehidupan barunya di sana. *
*
*
Sekarang terserah orang mau bilang aku apa. Ketika kujual rumah lamaku beserta isinya dengan harga tinggi, otomatis aku menjadi orang kaya mendadak dan aku langsung membuka usaha dengan membuka gerai baju-baju remaja di mall yang jaraknya cuma empat blok dari rumah nenekku eh maksudnya kini rumahku. Untuk pendatang baru di mall itu, usahaku bisa dibilang beruntung, karena banyak pembelinya. Mungkin karena kualitas barang yang tinggi tapi aku hanya mengambil untung sedikit, sehingga harganya jadi tergolong cukup murah. Malam ini aku memutuskan untuk pergi mencari
ayahku,
yang
kutahu
daerah
tempat
tinggalnya beda 2 negara bagian dengan tempat tinggalku sekarang. Hh..entah bagaimana hidupnya 18
sekarang, apa dia masih ingat padaku, apa dia akan mengusirku? Cuma dia dan Tuhan yang tahu.
“Anda siapa?” tanya seorang pria ketika membuka pintu rumahnya. “Andrea Adam.” Jawabku singkat karena kutahu betul, dialah ayahku. Pria itu terpaku di pintunya, menatapku dari ujung kaki hingga kepala. “Andrea…? Anakku? Masuklah…” katanya setelah sadar dari lamunannya. Dan aku pun masuk. “Cloud, kemari!!!” “Kenapa? Ooh, ada tamu!!! Masuk-masuk!!! Duduklah,anggap seperti di rumah sendiri.” Ucap seorang wanita bertampang keibuan. Cloudyn, istri ayahku. Dan aku pun duduk. “Kamu pasti datang dari jauh, James ambilkan dia minuman.” “Begitulah..” jawabku seadanya. 19
“Kalau aku boleh tahu, Anda siapa?” “Aku anaknya.” Jawabku singkat. Cloudyn membeku dalam duduknya. “Kenapa? Anda tak tahu?” “James bilang…tapi tak apalah, kamu cantik. Pasti mirip ibumu, Betul?” “Tidak, aku mirip nenek dari ibuku.” “Okay, aku tinggal dulu. Masih banyak urusan di dapur. James, jangan lupa ajak dia makan malam.” Kata Cloudyn sambil bangkit lalu berjalan menuju dapur. Digantikan ayahku yang kini duduk berhadapan denganku. “Andrea…kau ke mana saja?” tanyanya mencoba ramah. “Ayah yang ke mana saja?” “Dari mana kau tahu rumahku?” 20
“Aku tahu apa saja sekarang.” “Andrea…ayah tahu, kau masih marah atas kejadian waktu itu, Tapi ayah juga butuh kasih sayang yang tak ayah dapatkan sejak ibumu meninggal.” “Aku tidak minta penjelasanmu atas waktu itu, aku hanya ingin melihatmu dan kehidupanmu.” “So?” “Aku mau menikah, Ayah.” “Apa?! Tapi…kau masih sembilan belas tahun!!!” “Menunda
pernikahan
tidak
menjamin
hidupku bahagia.” “Siapa pria itu?”
21
“Rekan kerjaku. Ini undangan untukmu. Aku harus pamit sekarang.” “Andrea,
please…secepat
itukah?
Ayah
bahkan belum memelukmu.” “Ayahpun tak sempat memelukku saat ayah pergi. Takkan pernah sempat ayah, mungkin nanti saat aku menikah.” “Andrea, tidakkah kau mau menghabiskan waktu dengan Ayah?” “Tidak. Sejak awal Kita memang tidak ditakdirkan bersama, cukup ku tahu kau ayahku.” “Andrea… “Aku
pamit
pulang.”
Lalu
aku
pergi
menembus hujan salju dengan air mata membasahi pipiku mengaburkan pandanganku.
22
Ayahku
bahkan
aku
kedinginan
biarkan
tak
mengejarku!!!
dalam
badai.
Dia Mana
pembuktian dia mencintaiku?? Dia bahkan tak menyelimutiku begitu aku masuk!! Sia-sia hidupku selama ini mencari arti ayah.
*
*
*
“Ayahmu mana?” tanya Evan saat hari pernikahanku. Hari yang paling penting dalam hidupku. “Mungkin takkan datang, terlalu sibuk dengan kehidupannya.” “Tapi, kamu sudah memberitahunya kan?” “Dari bulan kemarin. Sudahlah, tak usah hiraukan, aku terbiasa hidup tanpa dia.” 23
Pernikahanku berjalan sukses, dan saat aku menghabiskan malamku dengan Evan, telepon selulerku berdering. “Andrea? Ini aku, Cloudyn. Ayahmu, dirawat di
Rumah
Sakit
Central
karena
mengalami
kecelakaan serius, mohon kamu datang kemari secepatnya!”
*
*
*
Evan memelukku begitu eratnya, meredam semua jeritan yang keluar dari hatiku. Aku sesali semua yang kulakukan selama ini pada ayahku. Tersayat hatiku melihat puluhan selang silangmenyilang di tubuhnya, belasan jahitan menghiasi raganya. Tak lama Cloudyn datang bersama anak 24
mereka yang aku tak perduli siapa namanya. Cloudyn memelukku seperti anaknya sendiri, air matanya kurasakan membasahai pundakku.
“AYAH
JANGAN
PERGIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII!!!!!!!!”
teriakku
saat mobil kremasi membawa jasadnya pergi. Ayahku
tak
ingin
raganya
dikubur,
baginya,
hidupnya adalah kesalahan dan budak hawa nafsu. Karenanya
lah
aku
hidup
sendirian
dan
menghabiskan hidupku tanpa figurnya, baginya bila jasadnya dikubur dan dihiasi nisan di atasnya, itu berarti
orang-orang
akan
terus
mengingatnya,
sedangkan untuknya, dirinya tak pantas untuk diingat. Cukup melebur bersama angin dan debudebu. Namun jauh di lubuk hatiku, “Ayah, maafkan aku.”
25
Ayah maafkan aku… Aku yang nafsu..nafsu untuk begitu membencimu Kini saat kau menyatu dengan angin dan juga debu Kau sayat pula hatiku kini dengan pisau-pisau ngilu Kau biarkan aku terus sendirian hadapi dunia yang biru
Ayah, Aku memaafkanmu Karena kau lah aku ada di sini… Karena kau juga aku tahu apa itu hidup Tapi tak lagi kusesali figurmu yang kosong dalam ruangku
26
Karena aku terlalu mencintaimu…aku membencimu…
Ayah, kepergianmu sadarkan aku Sayangmu mungkin pernah hilang untukku… Tapi karena sayangmu, aku ada… Karena ku hanya bisa ikuti nafsuku sendiri Untuk melihatmu hancur dan sendiri Sepertiku yang sendiri menjawab pertanyaanpertanyaan hidup…
Kini ayah, damailah kau di sana… Titipkan salam sayangku untuk ibu dan nenekku…
27
Katakan pada mereka, betapa aku mencintai mereka Dan mencintaimu…
28
LEMON JUICE GIRL
Duduk sendirian di teras kafe itu. Memandang lurus ke arah jalan dengan tatapan kosong, sambil mengaduk-ngaduk jus lemonnya. Anjani, menunggu datangnya seseorang yang tak jelas siapa itu. Setiap hari di jam yang sama, Anjani menanti. “hh..dia tidak datang hari ini.” Ucap Anjani pada dirinya sendiri sambil mengaduk jus lemonnya. “Memangnya aku menunggu siapa?” “Aku menunggu dia…” “Dia siapa?” “Entahlah, aku juga tidak tahu…” “Mbaak…jadi berapa semuanya?”
29
Anjani lalu pergi, meninggalkan jus lemon utuh dan pelayan kafe langganan yang sudah biasa dengan tingkahnya.
*
*
*
“Jus lemon lagi, Mbak.” “Pakai es atau yang hangat?” “Kamu pelayan baru ya?” “Ooh..baik, saya mengerti, seperti biasa khan?” “…” “Ada lagi?” “Ada. Jam weker satu!” 30
“Maaf mbak, tunggu sebentar ya.” Menunggu lagi, menunggu lagi… Tapi kata bosan belum pernah berhasil menyapa Anjani yang otomatis langsung duduk manis di tempat yang sama.
Dua bulan yang lalu, Anjani menerima telepon misterius lewat HPnya. Dari laki-laki. Dia adalah pemuja rahasia Anjani(seumur hidupnya, Anjani tidak pernah dilirik laki-laki, apalagi ditelepon dan diajak ngobrol), dan hanya berani bicara lewat telepon ataupun surat. Anjani yang baik hati meladeninya, ngobrol berjam-jam sampai baterai habis, tertawa terbahak-bahak sampai menangis. Sampai pada akhirnya, laki-laki itu berani bilang, “Anjani, kita ketemu saja.” “Apa?! Yang bener? Kapan? Di mana?”
31
“Kafe depan kantor pos jam sembilan, minggu depan.” “Ooh..kamu pakai baju apa?” “…” “Halo??? Halo…Halo??????!!!!”
Anjani menunggu sampai malam, besok kembali menunggu, besoknya lagi, dan seterusnya sampai sekarang. Dari jam delapan pagi sampai jam sepuluh malam. Laki-laki itu menghilang, beserta handphonenya.. membiarkan Anjani berbulan-bulan menunggunya tanpa kabar dan tanpa tahu siapa namanya, apalagi wajahnya. Kenapa jus lemon? Karena jus lemonlah yang menemaninya dari jam delapan pagi sampai sepuluh malam, hanya jus lemon yang Anjani pesan, hanya satu gelas dari pagi sampai malam. 32
*
*
*
Suatu saat di sebuah ruangan, ada dua orang yang sedang berbicara dalam bisikan, dan tak ada yang tahu siapa mereka. “Anjani sakit, Pak, tolong pengertiannya.” “Apa perlu kita jemput dia?” “Kalau itu jalan terbaik. Saya tidak tega melihatnya, lama-lama bisa mati.” “Seberapa parah sakitnya?” “Stadium menengah, tapi harus diobati kan? Dia masih muda.” “Ya, kita berangkat sekarang.” 33
*
*
*
Sebuah sedan hitam keluaran luar negeri berhenti di depan Anjani yang tak sedikitpun melirik ke arah mobil itu. Dua orang, satu wanita dan satu pria keluar dari dalamnya dan menghampiri Anjani yang sedang menatap kosong ke jalanan. “Anjani, sedang apa nak?” “Menunggu.” “Menunggu? Menunggu siapa?” “Tidak tahu, belum jelas.” “Kami tahu dia, mau ikut?” Anjani tersentak. Sinar matanya menunjukkan ketidak percayaan, dan hampir menangis. 34
“Kalian tahu?” “Ya, kamu mau ikut?” “Tapi… Anjani sekarang berada di kursi belakang, melihat ke jalanan sambil senyum-senyum sendiri. Sampai akhirnya, ketika sampai di tempat tujuan, Anjani berteriak. Marah. “Kalian BOHONG!!!! Ini RUMAH SAKIT JIWA!!!!” “Yang kamu cari ada di sini nak.” “BOHONG!!!!!
AKU
TIDAK
GILAAAAA!!!!!” “Iya…Iya…turun dulu ya, kenalan dulu.” “Aku tidak gila kan?”
35
“Memang yang datang ke sini hanya orang yang sakit jiwa?”
Laki-laki itu bukan yang Anjani tunggu, dia hanya mengaku-ngaku saja. Karena Anjani… “Halo Anjani..” “Kamu siapa?” “Yang kamu…tunggu.” Anjani memeluknya erat, eraaat sekali. Dan menangis. “Jangan menyuruhku menunggu tanpa kabar, aku sudah pesan jus lemon sampai esnya mencair dan tidak
nafsu
lagi
diulangi lagi…”
36
untuk
meminumnya…jangan
“Iya…iya…maaf ya, sekarang kita ngobrolngobrol yuk, sambil minum jus lemon!”
Anjani dipeluk terus sampai ke ruang konsultasi. Laki-laki itu bukannya jahat, dia sayang Anjani.
Karena
Anjani
semenjak
penantiannya…menjadi gila.
37
AKU DAN RADIO
“Alamaaaak radioku rusak lagi!!” “Lagian, bukannya dibuang saja, dibenerin terus!” “Heh, ini radio sudah hidup ratusan tahun sama aku!” “Alaah, pret!!! Umurmu saja baru tujuh belas tahun.” “Tapi ratusan tahun di keluargaku.” “Bukan sama kamu kan?” “Iya…iya. Sama saja.” “Ya beda lah! Memangnya, sudah berapa kali dibetulin?” “Hmm…kira-kira udah tujuh puluh lebih.”
38
“Hah, gila! Benerin di mana?” “Di Bang Badrun.” “Kaya tuh si Badrun kamu datengin terus.” “Ah, enggak juga. Kan ngutang.” “Hmmm…tahu deh. Tapi, kamu kan bisa beli radio baru.” “Terus radio aku, gimana?” “Ya simpen saja di kamar, kasihan biar istirahat. Katanya sudah ratusan tahun dipakai, mungkin sudah mulai osteoporosis.” “Ah, yang aneh-aneh saja kamu. Pokoknya aku tetap mau membetulkannya lagi.” “Ya sudahlah, percuma ngomong sama kamu.” “Ya ya ya…pulang sana, urusin burungmu.”
39
*
*
*
“Wah neng, kalau sudah begini mah saya nyerah dah.” “Yaaah,kok gitu sih? Ini radio kesayangan saya, Bang.” “Waduh, gimana yah, pan baru kemaren neng, masak sudah rusak lagi? Kapasitor saya sudah habis, beli yang baru, neng kan yang kemaren sama yang kemarennya lagi belon bayar.” “Yah Abang, sama saya saja perhitungan, nanti saya bayar deeeh..pasti. Sekarang, benerin dulu.” “Duuh neng, mending duitnya ditabung buat beli yang baru. Nih, abang punya, kemaren baru dijual. Biar bekas, tapi masih bandel, yang punya neng mah disimpen saja.” “Boleh juga, tapi bayarnya nanti.” 40
“Aduuh, jangan neng, yang kemaren kan masih banyak.” “Ya sudah, itu harganya berapa?” “Tiga lima deh, buat neng mah.” “Tiga lima? Sepuluh kali?” “Sepuluh? Neng, sepuluh sih cuman bangkainya doang.” “Masak tiga lima? Nggak ada duit niih.” “Ya sudah, nabung dulu nanti ke sini lagi sambil bayar yang kemaren.” “Ah Abang, dari tadi yang diomongin yang kemaren mulu.” “Loh, kok neng marah?” “Tahu ah!”
41
42
MATAHARI BELUM BERHENTI BERSINAR
Ya, belum berhenti. Jangan seperti hatiku yang meredup, tak ada lagi makna hidup ini. Kehilangan dan kehilangan, satu pergi, satu datang, lalu pergi lagi. Aaaaarrrgh…hidup ini apa? Hidup ini sampah. Aku dioper-oper terus, dibuang ke sana, dibuang ke sini. Ke mana perginya dunia? Kenapa sampai sekarang aku masih harus terus mempertanyakan keberadaannya? * Aku
tinggal
*
*
bersama
ibuku
yang
pengangguran. Kami hidup hanya bergantung pada warisan ayah yang tak seberapa, hanya satu petak rumah kontrakan yang tak pernah dibayarkan uang sewanya. Ibuku begitu bodoh, sekolah tak tamat, memasak tak enak, menjahit tak bisa. Bisanya hanya menghamburkan uang karena takut kalah saing 43
dengan teman arisannya. Dan aku hanya bisa menghela nafas sambil memegang perut yang mengempis dan bergetar-getar kelaparan. Aku juga tinggal dengan pacarku. Di rumah orang tuanya. Kedua orang tuanya gila. Hanya di kamar saja, tak pernah bicara. Mereka tak punya uang, dan aku berpikir, “Kenapa mereka tidak mati saja?”. Jahat memang. Nomaden. Bukan, aku tak pantas disebut nomaden. Lebih pantas disebut gelandangan. Ibuku bangkrut, uang ayahku habis, rumah kontrakannya dijual. Ibu pergi begitu saja dan aku ditinggalkannya. Aku hidup menumpang, sebagai parasit yang tak bisa bekerja. Sekolah pun aku tak mampu, beasiswa apalagi. Dan aku menetap bersama pacarku yang hanya tukang roti. Rotinya pun sebenarnya tidak begitu enak, karena memakai bahan dasar tepung yang 44
murah
dan
baunya
apek.
Terbayanglah
bagaimana rasanya, memberi gula dan susupun seadanya. Dan sesuatu terjadi di malam yang nista. Kedua orang tuanya keluar kamar dan mendapati aku dan dirinya yang bercumbu mesra di atas sofa tua di depan televisi butut kepunyaan mereka. Tak pernah aku menyangka, mereka bisa berbicara. “KELUAR
KALIAN
PENZINAH!!!JANGAN KAU BERBUAT NODA DI BAWAH ATAP RUMAHKU!!” teriak ibunya. Semua terjadi begitu cepat, ketika pacarku mengambil vas bunga jelek dari atas televisi dan mengayunkannya ke kepala ibunya, lalu ayahnya. Dan mereka meninggal sudah. Ingat kata-kataku? Itu sudah terjadi sekarang. “Ap. . . apa yang…” tanyaku gugup.
45
“Sekarang bukan waktunya! Kau tunggu saja di sini.” Beberapa jam berselang. Dia tak kunjung datang. Aku pun memutuskan untuk tidur tanpa mengunci pintu, takut dia pulang tak ada yang membukakan pintu. Aku merasa sesuatu yang berat menindih tubuhku. Saat kubuka mataku, wajahnya tepat setengah senti dari wajahku. Dan malam itupun menjadi semakin nista. Mahkluk seperti apa aku ini? Binatang yang sudah tak ada lagi harganya. Bunyi ranjang tua yang berderit menyiksa hatiku, tapi aku menikmatinya, semakin aku buat malam itu menjadi lebih gelap dari malam-malam lainnya. Kubuka tirai lusuh di jendela kamarnya, sinar matahari
membasahi
wajahku.
Aku
tak
menikmatinya. Sinar itu terasa dingin menyentuh kulitku. Aku ingin pergi. Tapi aku mencintainya. Tapi aku tak berharga lagi untuknya. 46
*
*
*
Di sinipun matahari masih sama. Dingin. Aku meninggalkan pacarku dalam keterpurukannya. Aku tidur di jalanan, di gang-gang kecil yang bau pesing, kadang di bangku taman kota yang terkadang basah terkena air hujan. Aku mencoba untuk mencari jejak ibuku, tapi aku tak tahu dia ada di mana? Masih hidupkah? Sudah bekerjakah? Sudah menikahkah? Aku selalu berdoa tuk dipertemukan dengannya.
Siang ini aku berjalan-jalan di sekitar taman kota, seketika mataku menatap sosok yang sangat familiar bagiku meskipun penampilannya lain. Ibuku. Dia memakai setelan mahal dan boots tinggi rancangan desainer terkenal, cantik sekali dia. 47
"Kau…anakku? Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya ketika aku memanggilnya dan dia menghampiriku. “Mencarimu. Karena aku tahu ibu takkan pernah mencariku.” Jawabku lantang. “Ada apa kau mencariku? Bukankah kau tinggal
dengan…pacarmu?”
tanyanya
lagi
tak
berperasaan. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, tak percaya akan apa yang baru saja ia tanyakan. “Aku butuh uang. Kalau aku tidak butuh uang, aku takkan susah-susah menjadi gelandangan di sini.’’ Jawabku dengan maksud
menyakiti
perasaannya. Dia hanya memandangku dalam diam sesaat, kemudian memasukan tangannya ke dalam tas mahalnya lalu mengeluarkan amplop tebal dan memberikannya padaku. “Ini. Ambil dan hiduplah dengan uang ini bagaimanapun 48
caranya,
dan
jangan
pernah
menggangguku lagi.” Ucapnya seraya memberikan amplop itu. Aku memandangnya dengan mulut ternganga sedikit. Dia menyakitiku, dalam sekali dia menorehkan luka itu, tepat di hatiku. “Ibu…tidak ingin aku ikut bersamamu?” tanyaku mulai berkaca-kaca. “Jangan bergurau, ibu mana yang ingin anaknya ikut-ikutan melacur?” jawabnya enteng. Aku bagai tersambar petir mendengarnya. Ibuku adalah seorang pelacur? Bahwa baju,sepatu, tas, anting, kalung dan rambut yang indah itu adalah pembuktian dari seberapa laku tubuhnya dijual? Dan aku adalah anak dari seorang pelacur? Aku anak pelacur? Dan aku juga seorang pelacur kacangan yang gratisan, yang hanya dibayar dengan roti apek. “Ibu…aku…” aku menjadi gagap. ‘’Pergilah. Anggap saja aku sudah mati.’’
49
*
*
*
Kini aku terlantar di sebuah rumah kecil, bukan, gubuk reyot yang fungsinya lebih seperti payung, bukan rumah. Uang itu masih bersisa sangat banyak, apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menghabiskannya, lalu kembali terseok-seok menjadi gelandangan, Hhh…aku lelah, aku ingin terbang jauh seperti layang-layang.
‘’Berubahlah, bukan demi dia, bukan demi ibumu, tapi untukmu.’’ Aku terbangun dengan baju basah dan rambut lengket karena keringat, kenapa? Karena saat kutertidur tadi, aku mendengar sebuah suara yang begitu lembut sampai rasanya tiap sel darah dalam tubuhku ini ikut mendengarnya. “Aku harus berubah, tapi berubah jadi apa? Kenapa aku harus berubah? Apa yang harus diubah? Apakah cara aku mengelola uang ini nantinya?” aku 50
kembali termenung, aku berusaha mengingat katakata ibuku waktu itu. “Ini. Ambil dan hiduplah dengan uang ini bagaimanapun caranya, dan jangan pernah menggangguku lagi.” Nah, itu maksudnya! Aku harus bisa mengelola uang ini, supaya tidak lekas habis dan supaya aku tidak mengganggu hidupnya untuk kembali meminta uang! Apa yang harus kulakukan dengan uang ini? Aku tidak bisa apa-apa, masak tidak bisa, aku juga tidak punya dasar di bidang bisnis, nanti aku ditipu oleh para kostumer. Aku harus mencari seseorang untuk menjadi partnerku, but who? Who wants to be my business partner? Aaah, pusing! Aku mau keluar sebentar untuk melegakan nafas, aku tidak bisa bernafas di dalam rumah ini!
Aku baru ingat kalau aku punya teman di sekitar sini, bukan teman dekat sih, sebenarnya hanya seorang kenalan saja waktu aku dan dia sedang dalam perjalanan ke sini. Dia bilang padaku (kalau tidak salah) cari dia di sekitar enam blok dari toko roti Brownie
51
Ternyata benar, persis enam blok dari kios Brownie ada sebuah pabrik daur ulang pakaian bekas, lantas aku langsung masuk dan mencari kenalanku tersebut, senangnya dia masih mengenaliku dan kamipun akhirnya pergi makan siang bersama. “Aku senang kau masih mengenaliku.” Ucapku membuka pembicaraan. “Aku juga senang kau mau mencariku, kupikir paling-paling kau hanya menganggapku sebagai angin lalu.” Jawabnya. “Tapi ada apa tibatiba kau mencariku?” tanyanya kemudian. “Begini…. Aku menceritakan kisahku selengkaplengkapnya sampai akhirnya ke bagian dimana aku harus bisa mengelola uang yang kupunya agar aku bisa hidup tanpa bergantung pada ibuku lagi. “Aku juga ingin seperti itu, sebenarnya pekerjaan yang aku jalani sekarang tidak sesuai dengan bidang studiku.” Ungkapnya. “Lho, kamu kan lulusan sekolah desain, dan sekarang bekerja di pabrik pakaian, harusnya masih ada sambungannya.” “You don’t understand. Aku hanya bekerja sebagai buruh yang memisahkan baju laki-laki dan 52
perempuan lalu memasukannya ke keranjang untuk akhirnya didaur ulang dan menjadi kain yang baru. Hmm, aku rasa kita bisa bekerja sama.” “Maksudmu?” “Ya, kita buat usaha kecil-kecilan. Aku punya tabungan, tidak seberapa sih, tapi bisa lah untuk jadi modal primer.” “Memang rencanamu apa?” ‘’Kita buat usaha butik. Aku punya banyak kenalan di bidang fashion, mulai dari pattern maker, textile maker, banyak deh!! Aku pun bisa mendesain sebuah baju, bagaimana?” ‘’Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya berbisnis, aku kan tidak pernah sekolah setinggi itu.’’ ‘’Pengalaman yang akan jadi sekolah kita. Cukup dengan pengalamanku selama di sekolah desain dan pengalamanku bekerja.’’ ‘’Baiklah, kapan kita akan memulainya?” “Secepatnya, tapi tidak semudah itu, kita harus membuat beberapa proposal untuk mencari partner kerja kita, kita tidak bisa benar-benar berdiri sendiri, uang kita tidak sebanyak itu.” 53
“Begini deh, soal itu aku tidak mengerti, percuma kau jelaskan panjang lebar, kau saja yang mengurusnya. Aku mempercayaimu, pegang saja itu.”
*
*
*
Tiga bulan ini aku dan dia mengurus berbagai macam keperluan untuk butik kami yang akan dibuka dalam waktu singkat, kami belum bisa menyewa sebuah ruko jadi kami membuka butik di apartemen miliknya untuk sementara sampai kami bisa menyewa sebuah ruko di kawasan niaga, butik kami semacam clothing company dan kami memberi nama Carrier Company. Arti dari nama butik itu sendiri adalah bahwa clothing company ini berdiri karena adanya usaha saling bahu-membahu dari semua pihak. Aku senang ternyata usahaku melaju dengan pesat, dengan banyaknya member yang kami punya, karena kami selalu menawarkan keanggotaan dengan penawaran dan potongan harga yang menarik untuk baju-baju tertentu. Setelah semua keuntungan kami hitung, akhirnya kami bisa memproses sesuatu yang kami impi-impikan, membuka Carrier Company di kawasan niaga, yang membahagiakan adalah kami 54
tidak menyewa, tapi memiliki alias membelinya!!! Usaha kamipun semakin maju.
Pada suatu siang yang ramai akan pengunjung, masuk seorang wanita dengan dandanan glamour, ia memilih-milih pakaian pesta kemudian memanggil salah satu dari kami, aku yang mendatanginya. ‘’Kalian punya yang seperti ini dengan ukuran yang lebih besar ?’’ tanyanya kepadaku, lalu wanita itu diam dan wajahnya menyiratkan bahwa ia shock luar biasa. Wanita itulah yang memberikan aku uang, ibuku. ‘’Maaf…NONA, baju-baju di sini limited edition, jika anda ingin memilikinya dengan ukuran yang anda inginkan, anda diharapkan untuk memesan kepada desainer kami, yang di sebelah sana.” Jawabku tanpa ekspresi lalu menunjukan tempat rekanku yang sedang melayani pesanan baju dari pengunjung yang lain. “Kau bekerja di sini?” tanyanya. Masih ada nada kaget dalam intonasi bicaranya. ‘’Bukan, saya pemiliknya.’’ Jawabku singkat. “Ada lagi yang bisa saya Bantu?” tanyaku kemudian. 55
‘’Ya, saya ambil baju yang ini, ini dan ini.’’ Jawabnya sambil menyerahkan beberapa potong baju kepadaku. Kemudian aku meninggalkannya, membungkus pesanannya. Saat ia menghampiri meja kasir… ‘’US $ 150.00, anda mau bergabung menjadi member kami? Akan ada potongan harga untuk pakaian tertentu untuk anda nantinya.” Kataku saat ia hendak membayar tagihannya, aku bicara dan bersikap seperti tidak saling mengenal (memang itu kan maunya?). Ia pun setuju menjadi member kami yang ke seratus tujuh puluh tiga. Lalu ia meninggalkan toko kami, dan tak satupun dari kami membahasnya, karena rekanku tak tahu siapa dia.
*
*
*
“Aku rasa, aku harus memiliki apartemen sendiri, biarlah tingkat atas menjadi kantor saja.” Ucapku padanya pada suatu hari. ‘’Kenapa? Kau tidak suka tinggal di apartemenku?’’ tanyanya penasaran. ‘’Bukan, bukan itu. Aku hanya tidak mau menganggu aktivitas pribadimu dengan…yaah, 56
pacarmu, lagipula sudah waktunya kita saling menghargai privasi masing-masing sedekat apapun kita bersahabat, aku harap kau mau mengerti.” “Baiklah, kalau itu maumu, di daerah mana kau akan tinggal?” “Aku rasa di antara apartemenmu dan toko kita. Jadi mudah bagiku untuk mengakses kalian berdua.’’ ‘’Oke, aku rasa itu keputusan yang bijaksana.”
Hari ini aku sudah selesai membereskan apartemen baruku, tidak besar tapi juga tidak kecil dan yang pasti bukanlah di daerah kumuh. Ketika malam menyergap dan bulan memamerkan cahaya beningnya, aku termenung sendirian sambil duduk dan menikmati rokokku di balkon apartemenku yang menghadap menara apartemen sebelah. Hidupku sudah berubah sekarang, dulu aku hanyalah gembel yang putus asa dan tidak punya tujuan hidup, sekarang sudah tidak lagi. Sekarang aku tinggal di apartemen yang bagus, punya handphone keluaran terbaru dengan fitur yang canggih. Fuuufh…kuhembuskan asap rokokku ke udara, seharusnya aku berterima kasih pada ibuku, karena jika dia tidak begitu membenciku, maka aku tidak 57
akan setegar ini, dan juga berterima kasih atas bantuan uangnya yang membangkitkanku dan menyekolahkanku dengan pengalamanku seperti kata rekanku. “’Pengalaman yang akan jadi sekolah kita.’’ Aku merasakan dampak dari kata-kata itu sekarang. Drrrrt…drrrt…drrrt…handphone-ku bergetar, di layarnya muncul gambar rekanku, aku menjawabnya. Suaranya panic! “Gawat nih! Ternyata ruko itu berdiri di atas tanah sengketa dan dalam waktu singkat ruko itu akan digusur!!!” serunya panic. “Lalu kenapa? Kan kita akan mendapat ganti rugi…” “Huh, apanya yang ganti rugi?! Pihak developer harus membayar kepada pihak yang bersengketa karena mendirikan bangunan di tanah mereka, you know what, kita tidak dapat apa-apa!!” “Lalu bagaimana? Kau tahu berita ini dari mana?” ‘’Buka internet dooong!!! Besok akan menjadi tajuk utama setiap koran di kota ini! Kita harus segera pindah atau kita akan gulung tikar, aku akan buat pamflet dan akan kukirimkan kepada para member untuk memberitahukan kepindahan kita. Kau 58
mengurus tempat alternatifnya, nanti aku juga ikut mencari!!’’ ‘’Oke…oke, kita kerjakan malam ini juga.’’ Lalu kuputuskan sambungan dan langsung menuju ke komputerku lalu aku mulai mencari semua informasi.
“Aku sudah dapat tempatnya, tapi kita benarbenar pindah. Ada ruko di lokasi yang strategis, kemarin ada yang baru menjual rukonya, di jual dengan harga murah, bagaimana? Sertifikatnya sudah hak milik, tidak ada hutang kepada bank setempat, pokoknya bersih. Aku ada nomor penjualnya.” Ulasku kepada rekanku setelah mendapat informasi yang kucari. “Tapi apa kita punya uang sebanyak itu?” tanyanya tak yakin. “Begini saja, kita jual apartemen kita masingmasing dan kita kembali lagi seperti dulu, kita tinggal di atas toko bergabung dengan kantor kita, kita mulai lagi semuanya dari awal. Aku rasa cukup, toh kita belum harus membuat koleksi yang baru khan? Koleksi lama bisa kita jual.’’ ‘’Ini saatnya kita buka diskon habishabisan…aku sudah buat pamfletnya. Siap edar.’’ 59
‘’Tidak usah dikirim, kita mail saja setiap member bahwa hari ini sampai tiga hari ke depan diskon besar-besaran dibuka, sementara itu aku akan mengurus apartemenku, agar bisa segera laku.’’ ‘’Aku juga akan mulai mengurus penjualan apartemenku. Kita harus selalu bahu-membahu. Sekarang lebih baik kau menghubungi si penjual dan berusalah untuk bernegosiasi dan mendapatkan harga yang bagus, tidak terlalu menghabiskan budget kita sehingga budgetnya bisa digunakan untuk keperluan yang lain. Hari ini biar aku saja yang jaga toko.’’
Siang ini juga aku langsung membuat janji dengan si penjual ruko, ternyata dia adalah pemilik ruko itu sendiri. Seorang pria lajang dengan perawakan yang cukup tampan untuk seusianya. Kami pun berbasa-basi sebentar. ‘’Lalu kenapa anda ingin menjualnya? “ tanyaku begitu masuk ke inti pembicaraan. ‘’Sebenarnya saya salah mengambil jenis barang yang saya jual, ternyata idealisme saya tidak berlaku untuk pasar di sana. Saya harap toko anda bisa maju di sana, karena lokasinya benar-benar di pusat belanja.” “Saya tertarik, anda buka berapa harganya?” 60
“Saya menawarkan sekitar US $ 500.000.00 kepada anda.” “Too expensive, untuk ruko second hand saya merasa harga segitu masih terlalu mahal. Ayolah, kita sama-sama pengusaha, anda pasti tahu seberapa berat cobaan saya kali ini.” “Baiklah, anda tawar berapa ruko saya?” “Tidak lebih dari US $ 100.000.00. itu keputusan final.” “Semurah itu? Tidak bisa lebih dari itu?” ‘’Saya tahu ini berat untuk anda, memang penawaran anda, ruko dengan isinya, tapi saya juga tahu diri, saya tawar dengan harga segitu, tanpa barang, empty room is okay.’’ ‘’Well, mengingat saya benar-benar butuh dana segar, saya rasa kita sudah mencapai mufakat. Kapan transaksinya?” “Secepatnya, di kantor notaris setempat, saya ingin langsung mendapatkan sertifikat yang baru.”
*
*
* 61
Seminggu kemudian kami pindah ke ruko yang baru, dan berbagi flat lagi dan mulai menyiapkan segalanya lagi. Ruko itu memang bagus letaknya, tapi sangat menyedihkan kondisinya, tidak terurus dengan baik, itu merepotkan kami karena kami benar-benar harus me-make over semuanya sesuai dengan kondisi toko kami dulu. “Huh, toko se-menyedihkan ini kok ditawar lima ratus ribu!! Toko kita dulu saja tidak semahal itu! Dasar penipu.” Sungut rekanku saat ia mengecat ulang ruangan toko, sementara aku mengawasi pekerjaan tukang yang sedang membuat rak-rak dan capstock untuk baju-baju dagangan kami nantinya. “Makanya langsung kuatawar habis-habisan, segitu saja, begitu melihat kondisinya seperti ini, aku masih merasa rugi.” Jawabku. “Padahal, dia oke lho.” Ucapnya sambil mengerling kepadaku. “Apa maksudmu? Kenapa menatapku seperti itu?!! Aku kan tidak tertarik pada pria macam itu.” “Lho, siapa yang bilang kau tertarik padanya, aku kan hanya bilang dia oke, tidak ada maksud apaapa…Hmmm, aku bisa menyimpulkan…” katanya lagi sambil menggodaku. 62
“Apa-apaan sih kau ini?! Sudah, urus saja pacarmu itu…’’ ‘’Hmmm, jangan mengalihkan pembicaraan. Kau ini butuh seseorang, masak kau masih mengharapkan mantanmu yang menyedihkan itu?’’ ‘’Aku tidak mengharapkannya, hanya saja belum bisa melupakannya.” “Apa bedanya? Come on, kau sudah membuka hidupmu yang baru, bukalah hatimu untuk seseorang yang baru.” “Ya, sekalipun aku membukanya, bukan untuk pria itu, nanti aku diperas, menjual tokonya saja mahal begitu, kalau aku tidak tegas padanya, bisa bangkrut kita.” “Mudah-mudahan kau mendapatkan seseorang yang bisa mencintaimu luar dalam, karena kurasa sudah waktunya kau berkeluarga.” “Lagakmu seperti yang sudah menikah saja, kenapa kau sendiri tidak begitu?” “Ckk…sebenarnya kami sudah siap menikah, tapi keluarga kami masih punya banyak pertimbangan yang kami sendiri tidak mengerti apa lagi yang harus dipertimbangkan.” 63
“Sudahlah, ayo konsentrasi, biar cepat selesai dan kita bisa cepat buka.”
Satu bulan kami bolak-balik toko furniture di sekitar toko, akhirnya mendapatkan barang-barang yang sesuai dengan tema ruangan, rencananya minggu depan Carrier Company akan dibuka dan semua koleksi lama didiskon habis-habisan. Siang ini, aku dan rekanku sedang berbelanja keperluan toko, dan rekanku sedang belanja keperluan untuk koleksi terbaru kami nanti. Aku berjalan sendirian di sebuah lorong yang memamerkan karpet-karpet lucu dan segala macam aksesoris untuk kamar, aku melihat ada sebuah cermin yang unik sekali terpajang di rak tepat di depanku, dan ketika aku menghampiri cermin itu, cermin itu tejatuh ke lantai, dengan panic aku menangkapnya, tidak disangka, pada saat yang bersamaan, seorang pria membantuku berdiri. “Kau tidak apa-apa?” tanya pria itu. ‘’Harusnya kau bertanya pada cermin ini.’’ Jawabku singkat. Pria itu tersenyum. ‘’Syukurlah, karena cermin ini mahal sekali, dan ini sudah kupesan.’’ Kata pria itu, kemudian mengambil cermin itu dari tanganku kemudian 64
memasukannya ke troly-nya. ‘’Oh iya, Kau orang baru ya di sini?’’ tanyanya kemudian. ‘’Ya, tidak juga sih, kami baru pindah beberapa bulan.’’ ‘’Kami?’’ ‘’Ya, aku dan rekanku, membuka bisnis di sini, ini alamatnya, siapa tahu kau tertarik untuk membelikan sesuatu untuk…pacarmu.’’ Jawabku lalu memberikan kartu nama Carrier Company. ‘’Terima kasih. Kalau begitu, aku duluan ya.’’ Ucapnya setelah menerima kartu namaku. Entah kenapa, aku merasakan sesuatu yang aneh terhadap kejadian ini.
*
*
*
Carrier Company resmi dibuka hari ini, dan ternyata member kami yang setia rela datang ke toko kami yang baru untuk mendapatkan diskon besarbesaran. “Astaga, pria itu datang!” seruku pada rekanku saat pria yang kutemui di supermarket 65
masuk ke toko dan menghampiriku karena dia sudah melihatku. “Siapa dia?” Tanya rekanku. “Mana kutahu? Aku hanya iseng saja ngobrol dengannya waktu kita belanja.” Pria itu berdiri di depanku sekarang, tersenyum dengan manisnya dan menyapaku. “Aku harap aku tidak menambah sesak ruangan ini.” Serunya karena suasananya berisik sekali. “Kau benar-benar datang, aku bisa membantumu, kau cari baju untuk siapa? Umur berapa? Suka warna apa?” tanyaku menawarkan jasa untuk membantunya. “Aku tidak mencari baju, aku mencarimu. Bisa kita makan siang bersama?” “Aku rasa kita belum saling mengenal.” “Oh, jangan salah sangka, aku bukannya mengajakmu kencan. Hanya makan siang biasa, ada yang ingin aku bicarakan soal bisnismu ini.” “Bisnisku? Ada apa dengan bisnisku? Ada masalah kalau aku membuka toko ini?” 66
“Tidak, bukan itu. Timing and place-nya tidak tepat untuk membicarakan hal itu.” “Hmm, begini saja, waktu makan siang tinggal lima menit lagi, sedangkan tidak mungkin aku meninggalkan rekanku untuk mengurus toko ini sendirian. Bagaimana kalau kita bicarakan di kantorku saja?” “Boleh juga, kebetulan waktuku tidak banyak.” “Ikut aku.” Aku mengajaknya naik ke tingkat atas yang merupakan rumah sekaligus kantorku. “Hmm, ini jadi apartemenmu juga?” tanyanya setelah kupersilahkan duduk dan aku mengambilkannya minuman. “Ya, kami memulainya dari awal, karena toko kami yang dulu kena gusur. Ini minumanmu. So, ada apa dengan bisnisku?” tanyaku lalu duduk di sebelahnya. “Aku tahu soal bisnismu, aku tahu soal Carrier Company, aku mau menawarkan bisnis franchise, aku lihat banyak membermu yang berasal dari luar kota, jadi aku ingin membuka Carrier Company di kota yang paling banyak terdapat anggota membernya, tentunya 40% dari keuntungannya akan menjadi hakmu. Untuk itu aku 67
membuatkanmu proposalnya, ini kau pelajari dulu bersama rekanmu, Carrier Company memiliki prospek yang bagus nantinya jika kau melebarkan sayapnya.” “Hmm. Baiklah, proposal ini akan kupelajari dulu, dan kukonsultasikan dengan rekanku baiknya bagaimana. Setelah itu, aku akan menghubungimu.” “Jangan, aku saja yang menghubungimu, aku yang meminta izinmu, maka aku yang akan menghubungimu. Itu prinsipku.” “Baiklah, kapan kau akan menghubungiku lagi?” “Lima hari lagi, bisa?” ‘’Okay. Terima kasih atas tawarannya, benarbenar akan kupertimbangkan.’’ Kemudian aku mengantarkannya kembali turun, ketika pria itu pergi, rekanku menghampiriku. “Apa yang kalian lakukan di atas sana?” tanyanya sambil mengepak pakaian costumer. “Dia menawarkan pembukaan cabang toko kita di kota yang paling banyak terdapat membernya, dan 40% dari keuntungannya akan menjadi milik kita, ini proposalnya, kau saja yang mempelajarinya, 68
meja kerjaku penuh proposal dari perusahaan yang ingin bekerja sama dengan kita, belum lagi daftar majalah-majalah yang menyewa pakaian kita.” Ujarku kemudian membantunya. “Okay, lagipula aku mau merekrut beberapa tukang jahit profesional untuk membantuku, dengan pesanan sebanyak ini ditambah aku harus membuat koleksi baru setiap bulan, aku tidak sanggup lagi bekerja sendirian.” Katanya kemudian.
*
*
*
Carrier Company sudah membuka cabangnya sejak empat bulan yang lalu, dan hubunganku dengan pria itu semakin dekat. Kami bahkan sudah beberapa kali makan malam bersama atau sekedar jalan-jalan berdua, aku sendiri tidak mengerti bagaimana perasaanku kepadanya, aku tidak merasa bahwa aku menyukainya, tapi jika bersamanya, aku merasa sangat senang, aku bisa tertawa lepas. Apakah aku mencintainya? I don’t know. Pada suatu siang, saat aku menunggunya di café seberang Carrier Company.
69
“Hai, lama ya? Maaf ya.’’ Katanya lalu duduk di hadapanku. ‘’Lumayan, ada apa? Ada berita terbaru soal perkembangan Carrier Company di sana?” tanyaku mencairkan suasana. “Hmm, sebenarnya bukan hal itu yang ingin aku bicarakan denganmu. Tapi soal yang lain, soal kita.” Jawabnya hati-hati. Aku mengkerutkan dahi, tidak mengerti apa maksudnya. “Kita cukup dekat akhir-akhir ini, dan aku…aku punya perasaan lain denganmu. Sebenarnya perasaan ini sudah ada sejak kita pertama bertemu di supermarket, saat kau menyelamatkan cerminku, tapi aku merasa sangat tidak etis jika aku memiliki perasaan ini pada saat itu, namun setelah aku datang ke tokomu, perasaan itu semakin muncul, dan sikap dinginmu padaku membuatku bimbang. Dan kupikir, setelah kita semakin dekat, aku ingin kau tahu, bahwa perasaan ini selalu ada untukmu.” Ulasnya panjang lebar. “Maksudmu, kau…” “Ya, mungkin aku belum mencintaimu, tapi aku sangat sayang padamu, aku harap kau tidak menganggapku sebagai pujangga murahan.’’ “Biarkan aku berpikir sebelum menjawabmu.” 70
“Aku selalu menunggumu, dan kuhargai apapun keputusanmu nanti, yang pasti kita akan terus seperti ini, inipun lebih dari cukup bagiku jika kau menolakku.” “Biarkan aku menimbang-nimbang.”
Malamnya, aku menceritakan seluruh kejadian hari ini kepada rekanku, dia sangat bersemangat mendengarnya. “Terimalah dia. Kau membutuhkan cinta yang seperti itu, kau sudah terlalu banyak kehilangan cinta sepanjang hidupmu.” Katanya ketika aku menanyakan pendapatnya. “Tapi aku…” “ASTAGA!!! KAU MASIH MENGHARAPKAN TUKANG ROTI MISKIN YANG SEKARANG KAU BAHKAN TAK TAHU DI MANA DIA?? Sementara seorang pangeran menawarkan masa depan cemerlang dengan cinta yang yang murni semurni mata air di pegunungan. I can’t believe it.” “Bukan itu. Aku hanya tak ingin menyakitinya jika perasaan itu belum ada untuknya.” 71
“Don’t be silly. Perasaan itu sudah lama ada, I can see it in your eyes, you can’t hide it from me! Kau hanya belum menyadarinya.” Katanya menyadarkanku. Kata-kata yang seperti menusukku, bahwa sebenarnya pandanganku selama ini hanyalah tentang ada-tidak ada-belum ada, bahwa sebenarnya ada pandangan yang lain, yaitu sadar dan belum sadar. Bahwa sebenarnya perasaan itu ada tapi aku yang belum sadar. Aku memikirkan kata-kata pria itu dan katakata rekanku semalaman, hingga paginya aku belum tidur, lalu aku mengambil keputusanku kemudian mengambil handphoneku, mencari nama pria itu, dan meneleponnya. “Bisa kau datang ke apartemenku siang ini?” dengan nada bicara yang sangat ramah aku berbicara, dan dia menjawab dengan bersemangat. Aku menunggunya dengan berdiri sendirian di balkon yang menghadap ke blok di belakang blok apartemenku, aku yang dulu merasa bahwa sinar mentari pagi begitu menyiksaku, bahwa matahari tak pernah menujukan sinarnya padaku, walau kuyakin matahari memang belum berhenti bersinar. Sekarang, bagiku matahari selalu bersinar, bahwa hanya aku saja yang tidak menyadarinya, sekarang tiap terpaan sinarnya menyejukkanku, hingga rasanya tiap lapisan kulitku, sel-sel darahku dan organ-organ tubuhku begitu menikmati hangat dan sejuknya sinar itu. Dan 72
aku yakin, matahari takkan pernah berhenti menyinariku.
73
TIARA, ME AND MANAGEMENT
God!!! Pagi-pagi begini handphone-ku sudah meraung-raung, kuambil dengan segera handphone yang kuletakan di bawah bantalku itu dan menjawab panggilan. “Halo...” kataku dengan suara parau sehabis bangun tidur—dan masih ingin tidur—lalu terdengarlah suara burung bangau bernyanyi merdu, Ups, sorry, that’s my manager. “Kamu kok baru bangun sih!!! Kamu inget nggak hari ini tuh hari apa, ada apa, dan kamu harus ngapain???!!! Hah!!!! Don’t forget Karin, you are personal asisstant of Tiara Budiharjo...and I am your personal asisstant too...so, wake up, take a bath, and prepare! In TEN MINUTES!” Ya Tuhaaaaan...tolong hambamu ini, memang salahku yang melamar menjadi PA dari seorang Tiara Budiharjo yang tak lain tak bukan adalah seorang entertainer sejati dalam bidang fashion, ya fashion designer, fashion management, fashion magazines, sampai fashion show. Tapi masak tidur barang dua jam saja aku tak bisa, yeah, sekarang baru jam tujuh, dan aku baru tidur pukul setengah enam tadi, karena harus mengatur seluruh jadwal Tiara tiga hari ke 74
depan selama ia ada di sini, di Jakarta. Loh, memangnya dia bekerja di mana? Kantor pusat di mana? Los Angeles? Bukan...bukan..anda salah. Kantor pusat kami ada di...Ya Jakarta ini. Cape deh! Okay, first of all, let me introduce my self. Namaku Karina Sukrismanto, aku masih semester tiga kuliah di jurusan arsitektur, tapi karena kecintaanku di bidang fashion, aku memilih bekerja di sini, The Tiara’s all about Fashion, sebenarnya yang aku incar hanyalah butiknya, setidaknya tidak terlalu banyak memakan waktuku, tapi entah kenapa, aku malah diterima sebagai asisten pribadi si empunya perusahaan, guess what, I have no time to rest, kuliahku padat, kerjaanku pun begitu, dan satusatunya yang tidak padat adalah jumlah rekening tabunganku. Aku menyesal, dan juga sebal. Handphone-ku bergetar lagi. “Yaaa...ini mau berangkat.” langsung memutus sambungan.
Jawabku
This is Tiara 75
Aku masuk dengan semburat wajah tak karuan, walaupun rambut rapi luar biasa, baju licin, badan wangi, tapi sepertinya auraku kalau bisa difoto, akan berwarna abu-abu tua. Hopeless. “Explain to me why you’re late.” Tanya Tiara dengan suara dan nada ‘dingin’ andalannya. “Pertama-tama Tiara, saya masih mahasiswa, dan saya harus menyelesaikan tugas saya dulu, lalu menyusun skejul-mu dan beristirahat kurang dari dua jam.” Jelasku padanya. Tiara tak menjawab, melainkan hanya manggut-manggut nggak jelas. Bukan pertanda baik sepertinya. “I know. But, I don’t care. You take of this part and you have a responsibilities in that. I don’t pushed you, but you have to be more organized and professional to be a good student and briliant asisstant.” Jawabnya tanpa perasaan dan tanpa intonasi alias nada bicaranya datar—sempat aku berpikir, kalau dia nyanyi pasti fals bukan main—but, it’s shocks me up! “I’ve tried. And I’m still...” “So, never give up. Okay, what’s on my schedule today.” 76
Aku langsung gelagapan mencari agenda yang tadi rasanya belum ku masukkan ke dalam tas. “Anything’s wrong?” tanyanya curiga. Good! I’ve got it. Syukur deh tak tertinggal di kamarku yang berantakannya ampun-ampunan. “Here you are.”aku menyerahkan agenda itu. Dia membukanya, dan membacanya tentu saja. Inilah yang beda dari Tiara, my boss. Aku tidak membacakan agendanya, aku hanya merencanakannya dan menyusunnya, menyerahkan pada Tiara, dikoreksi olehnya, menghapus yang sekiranya tidak perlu dan...WALAAA!!! menemaninya, memberi komentar untuknya(bukan mengomentarinya), dari situlah aku belajar. “Okay, good. I’ll take all of this. Make sure everything and prepare your self with finest suit.” Ucapnya sambil menyerahkan agendanya padaku dan menyuruhku keluar.
Hppfff...aku meniup poniku sambil terhenyak dalam kursiku yang nyamaaan...memang semua 77
pegawai di sini iri olehku, karena dalam usia yang sangat muda—I’m nineteen almost twenty—aku menduduki posisi yang sangat bagus sekali, langsung bergaya glamour, penuh dengan barang-barang branded, tapi kalau mereka tahu bagaimana rasanya, mereka pasti lebih memilih ada di rumah, mengurus anak, memasak, bersih-bersih, rumah beres, tinggal santai. Sebenarnya aku bisa saja meninggalkan kuliahku yang masih seumur jagung, tapi mulut mamaku bisa nyinyir, dan belum tentu aku bisa bertahan di sini dengan pola pikir yang nggak majumaju sebagai seorang calon sarjana, arsitektur pula. “Gue heran Rin, lo kan anak arsitektur, kok magang di dunia fashion?” tanya rekanku Marina. “Enak aja magang, kalo gue magang, nih kantong mata nggak bakalan ada!!!” “Pertanyaan gw di jawab dulu dong.” “Yaaa...karena sebenernya gue pengen banget jadi kaya Miss. Tiara gitu, jadi desainer kondang, punya butik sendiri yang cabangnya hampir di tiap mall internasional ada, tapi karena duit keluarga gue nggak ngalir kaya air terjun, jadi gue nggak bisa ambil sekolah fashion deh.” “Kan arsitek mahal juga.”
78
“Tapi kan nggak se-Amazing mahalnya fashion college Na, and gw ambil arsitektur karena masih ada hubungannya sama desain-desain gitu.”
Sayup-sayup kudengar Tiara memanggilku, waduh, baru juga duduk. Aku langsung bangkit dan menghampirinya.
Disaster maker
I have no idea about this. Tiara benar-benar deh!!! Kalimat pertamanya tadi memang begitu menyejukan hati, tapi kalimat berikutnya betul-betul menyiksa batin. “Ada apa lagi? Something’s wrong?” tanyaku saat menghadap.
79
“No. Saya hanya akan beri kamu bonus dengan jumlah besar dan liburan yang cukup panjang, but, you have to finished my artwork for two days.” Jawabnya santai. Tapi aku senang, Tiara seorang profesional, menyelesaikan pekerjaannya hal mudah, bisa dipastikan sudah tiga perempat jadi. Gampang lah. “Okay, what is it?” tanyaku lagi. Lalu tiara memberikanku sebuah koper berisi bahan-bahan pakaian dan juga aksesorisnya. “Make a design, and make it happen. In two days.” Tiara...sumpah lu tega banget!!!! Kutukku dalam hati. “Tenang, bonusnya besar sekali...it will be worthy for you, and two months vacation.” Tapi aku bisa mati. “How Much.... “I pay You for this? Or what?” “No..no..l mean how much clothes or dress or something...l have to make.” “Just three.” Sebenarnya, kalau Tiara orangnya peka, dia harusnya bisa membaca wajahku yang ragu untuk menerima tawarannya ini. Kenapa 80
sih, tidak menyuruh para desainer yang kerja di butik-butiknya? Memangnya mereka dibayar Cuma buat jaga toko?! “Why? You won’t?” tanyanya. Peka juga dia rupanya, atau wajahku yang jelas sekali rautnya. “I will Tiara, but keep your promise, give me a break.” Demi dua bulan libur kerja. Tapi tidak libur kuliah. Jakarta, yang seperti ini yang disebut dengan adil? Masa sih? Aku tidak merasakannya. Tiara, you are totally a disaster maker.
The projects begins
“Gue tahu kok, nggak mungkin ninggalin kuliah,tapi kali ini kerjaan gue banyak banget. Jadi please banget urusin izin gue ya...” kataku pada personal asistanku. “Tapi lo juga punya tugas besar, punya Gema, punya ganks...hello...where have you been for at least a year?” kata P.A-ku 81
“Tapi gue lagi butuh duit banget, and Tiara menjanjikan full holiday dua bulan penuh and bonus gede..jadi setelah tiga hari ini, waktu gue buat Gema and SIXERs full time.” Kataku lagi. “Ha! Lo tuh nggak butuh duit...kalo memang lo orang yang lagi butuh uang, uang lo nggak akan lo hamburkan buat menggaji gue satu juta sebulan.” Jawabnya lagi. “Whatever...tapi bonus gue kalo dia setuju sama desain gue, gue bisa ngantongin sepuluh juta Gin...sepuluh juta dalam dua hari aja!!! Siapa yang mau kasih gue duit segitu?” “So, setelah gue terima gaji gue bulan ini..I’ll resign.” Katanya ketus. “Duuh..gitu aja ngambek..gue Cuma minta urus izin aja buat dua atau tiga hari.” “No..I mean it. Gue mau skripsi. Otomatis full concentrate.” “Kan tetep butuh duit.” “Kan gue udah ngantongin dua belas juta dari lo..gaji gue nggak tersentuh, sama bulan ini jadi tiga belas juta. Lebih dari cukup.” “Yang bener lu? Terus nanti gue gimana?” 82
“Ya elah..gampang itu mah, lu kan mau libur kerja..yah isi aja hari-hari lu buat kuliah, and Gema. That’s it...” Hppfff...tambah lagi nih satu masalah, P.A-ku mau resign gara-gara dia mau skripsi, pekerjaanku juga bikin gila. Gimana nih, masak dilepas? Ah rugi, sepuluh juta plus dua bulan libur. Too good to be true, but l will make it true.
Three days later
Dag-dig-dug...kulangkahkan kakiku menuju kantor si ‘Nyonya Besar’ Tiara. Desain sudah lengkap semua, contoh baju sudah jadi, model sudah dicari. Harusnya Tiara puas dengan hasil kerjaku yang notabene masih kacrut alias nggak berpengalaman banget. Fiuh... “Where’s your work?” tanya Tiara dengan nada yang sangat biasa. Dingin maksudnya, nyaris tanpa ekspresi dan memberi kesan kalau kita sedang bicara dengan hantu.
83
“Here you are...hope you like it.” Jawabku sambil menyodorkan seluruh hasil kerjaku. “I’m considering...well, Good, really good,,l never know that you had such a good talent for being a fashion designer. Well, here’s your paycheck and also your permission to have a long vacation but bring this letter first to Lusi, okay?” jawab Tiara dengan nada yang sangat TIDAK biasa. BERINTONASI!!!! Gila...modal design pas-pasan Tiara langsung berubah dari gunung es menjadi padang ilalang. Kantor geblek. “Eh..iya, thanks for all this...hhh..Tiara, l don’t know how to say..But thank you very much...too much.” Jawabku sambil mengambil itu semua. Keluar dari ruangannya, aku langsung mencari yang namanya Lusi. “Na, yang namanya Ibu Lusi Hendrawati di mana ruangannya?” tanyaku pada Marina. “Di HRD dia mah, ngapain lu ke sana?” “Au nih Bos besar nyuruh gue ke sana, ya wis, gue ke sana dulu ya...” aku bergegas menuju ruang HRD, sebenarnya perasaanku agak tidak enak nih, tapi buru-buru kutampik itu semua. Sampai di HRD, Ibu Lusi sudah menungguku.
84
“Karina Sukrismanto?” tanya Ibu Lusi saat aku menghadap. “Betul Bu.” “Kamu dapat titipan dari Ibu Tiara ya?” “Betul Bu.” “Bisa saya lihat? Karena saya kemarin kurang yakin dengan keputusan Ibu Tiara.” Aku lantas memberikan surat titipan dari Tiara, begitu ibu Lusi membacanya, alisnya berkerut, bibirnya meruncing dan akhirnya mengeluarkan satu desahan pelan. “Benar apa yang saya duga. Dia yakin betul ingin memecat kamu.” Kan, bukan Tiara namanya kalau tidak suka membuat kejutan. Tapi kali ini, kejutannya nggak mutu banget! Tiara...aku kerja kayak orang gila buat kamu, ide gila kamu, nggak tidur sampai berhari-hari Cuma m\buat me-reschedule semua kegiatan kamu, dan terakhir hampir gila betulan mengerjakan tugas besar dari kamu. This is what l get? Something that l won’t. Tanpa sadar, saya berlari ke arah kantor Tiara, mendobrak pintunya dan berteriak.
85
“Tega kamu Tiara! Saya banting tulang betul mengerjakan tugas-tugas kamu semaksimal mungkin! Kenapa kamu pecat saya tanpa alasan?” “Tanpa alasan? Don’t you think l’m a deaf? I’ve heard you Karin! Saya dengar kamu selalu bicara dengan seseorang di luar sana betapa kamu lelah, kuliah kamu terbengkalai, dan pacar kamu mulai berubah menjadi dingin, karena kamu terlalu sibuk bekerja. Karena saya! Sekarang bukannya kamu bersyukur, sudah saya beri empat bulan gaji kamu full tanpa potongan dan saya paksa keluar seluruh bakat yang kamu punya, kamu benar-benar tidak tahu untung.” Loh, kok aneh ya, kok malah dia ikutan marah, harusnya yang paling marah kan aku! “Kalau kamu memang mau saya keluar, kenapa harus seperti ini caranya? Sakit Tiara.” “Kalau saya hanya memecat kamu, well, it’s done. Kamu tidak akan pernah tahu kalau kamu punya bakat yang kuat untuk bisa jadi seperti saya nantinya. Kalau kamu bisa juga menjadi seorang perancang yang berdiri di atas kaki kamu sendiri. Kamu tetap ingin menyalahkan saya?” “Satu tahun Tiara, kita sudah cukup dekat, kamu pun biasanya selalu terbuka, kenapa kali ini harus begini caranya?” 86
“Saya kira kamu kenal saya. Beginalah cara saya, saya unpredictable, harusnya sifat saya yang satu itu sudah kamu hafal di luar kepala.” “Oke Tiara, Oke. Kamu memang selalu benar, dan saya yang selalu salah, terima kasih atas semuanya, sepuluh juta banyak sekali.” “Kamu punya waktu dua bulan jika ingin kembali bekerja di sini, sehingga pemecatan kamu hari ini hanya akan saya anggap liburan.” “I’m considering, Tiara. Thank’s for all. Good afternoon.”
*
*
*
Gema
87
“Aku pikir kamu lupa.” “Aku nggak lupa, hanya waktuku kebetulan adanya sekarang buat kamu.” “Bos kamu nggak akan manggil-manggil lagi?” “Nggak. Aku keluar...tap... “KAMU KELUAR??? Ya ampuuunnn...itu adalah keputusan paling bijaksana yang kamu buat setahun ini Karin.” Gema. Cintaku, hidupku, nafasku. Satu tahun kemarin waktuku hampir NOL buat dia, tapi dia sabar, dia mengerti. Dan saat aku ingin mengatakan bahwa aku sedang memikirkan untuk kembali bekerja, dia menunjukkan reaksi yang luar biasa bahagia saat aku sudah tidak bekerja. Bagaimana ini? Aku cinta keduanya, aku cinta pekerjaanku, aku cinta Gema. “Kenapa? Kamu nyesel ya, keluar?” tanya Gema, mungkin dia sadar wajahku tanpa ekspresi. Waduh, ketularan Tiara, jadi miss.flat. “Ah, enggak kok. Aku Cuma kaget aja sama repon kamu. Excited banget.”
88
“Ya iyalah, satu tahu Rin, aku nggak kenal lagi kamu siapa. Kamu sibuk terus, kuliah kamu biarin, aku apalagi. Aku sedih aja, aku bentar lagi lulus, nanti setelah aku lulus, waktu kita tambah minim, sekarang aja udah minim, apalagi nanti. Aku Cuma nggak mau kita putus Cuma gara-gara nggak ada waktu ketemu.” “Duuuh...kamu panjang amat jawabnya.” “Iya maaf...hehehehe...habisnya aku seneng banget. Kenapa kamu mutusin buat berhernti? Kamu kayaknya suka banget kerja di situ.” “Kerjanya kayak orang gila, nggak kenal istirahat. Tapi itu nggak masalah. Aku berhenti karena...Kamu.” “Aku?” “Ya, kamu. Aku takut kamu nggak ada yang perhatiin, sekarang kan lagi tugas akhir, jadi harus ada yang perhatiin kamu, jangan sampai lupa makan.” “Aku sayang banget sama kamu, Karin.” Gema memelukku erat, dan mencium ubun-ubunku. Lalu hujan deras turun. Hujan trurun di saat yang salah, aku sedang tidak patah hati, kenapa malah diguyur hujan? 89
Sixers Zone
KARIIIIIIIINNNN...Waaaaaaaaaaaaaaaaa.... Wuih...anak-anak SIXERS (my gangs) berhamburan sudah seperti ibu-ibu dapat sembako gratis. Tapi kali ini efeknya beda dengan waktu ketemu Gema, aku disayang-sayang, dibelai-belai. Wuih, yang ini mah, malah dijambak-jambak, dicubit-cubit, dipeluk juga nggak pakai perasaan, meluknya keterlaluan bikin nggak bisa nafas! “Gue kira kelamaan gawe lu udah tinggal tulang, terus kita semua tinggal berdoa di rumah tiap malem jum’at sambil baca yasin...” “Hush...sembarangan!” “Apa nih oleh-olehnya?” “Oleh-oleh? Gue kan dari kantor, bukan dari jalan-jalan apalagi honeymoon sama Gema. Ngapain minta oleh-oleh?”
90
“Sial lu! Pelit bener, gaji lu kan dua setengah jeti sebulan, masa udah abis ditelan kabut!! Kita nggak kecipratan sama sekali.” “Hehehe...ini jakarta Bu, hidup enak kudu merakyat, miskin sekarang, kaya nggak tau deh bisa apa nggak.” “Ah..tapi masak traktiran...ayo dong...”
kita
nggak
dapet
“Ya wis, sana pada beli air mium yang digelas plastik, ntar gue yang bayar.” “Huuuu...najis lu!” Hahahaha....aku kangen banget saat-saat seperti ini, berkumpul lagi dengan mereka, ketawa bareng. Duh, rasanya seperti baru muncul dari dasar laut habis melakukan tugas dari Nyo Roro Kidul. Siapa Nyi Roro Kidul-nya? Tiara laaaah..siapa lageee?
The management
91
Pada suatu siang yang indah dan cerah setelah menghabiskan empat sks mata kuliah studio perancangan arsitektur, aku, Gema, dan juga SIXERS makan siang bersama di kantin rektorat. Udara sedang tidak bersahabat nih! Mendung tapi bikin keringetan. “Heh, cubluk, tahan juga lu nggak kerja. Udah mau dua bulan loh, lu nggak kangen pengen balik lagi?” tanya Sani. Sani ini seperti duplikatnya Tiara, wajah datar, nada bicara datar dengan suara rendah nyaris tanpa intonasi yang membuat orang lain kesusahan untuk membedakan, yang mana pertanyaan, seruan, dan kalimat berita. “Tahan lah, gue malah lega banget..kita kan udah lama nggak kumpul kayak gini.” Jawabku lalu mengambil handphone-ku yang bergetar-getar tanda ada panggilan masuk. “Kantor?” ucapku sendiri, lalu menjawab panggilan tersebut. “Halo, selamat siang, dengan saudari Karina Sukrismanto?” tanya suara yang tak asing bagiku. “Marina Kampret! Apaan sih lu!!! Sok-sok formil begitu.” Jawabku yang disusul dengan tawa renyah dari seberang sana. “Lu dipanggil Bu Tiara besok. Penting katanya.” 92
“Gue? Ngapain? Gue kan udah nggak gawe lagi di sana.” “Meneketenyeng...saya hanya menjalankan perintah Bos besar yang berupa amanah...” “Ya...iya..iya...jam berapa?” “Biasa, jam masuk kantor. Doi mau langsung cabut ke UK soalnya, gue kasih bocoran ya...tapi jangan bilang-bilang, jangan juga diungkit-ungkit!” “Iya bawel, gue bukan miss. Gossip kayak lu kale.” “Bos besar mau stay lamaaaaa banget loh di UK.” “Terus yang megang kantor pusat siapa?” “Itulah, sekarang anak-anak kantor cabang, pada heboh banget, tunggu langsiran kursi.” “Hah, bodo amat ah, gue nggak ikutan. Ya udah, besok gue dateng ke kantor.” “Oke. Bye...take care yaaa” Ke kantor? Pagi pula, dia kan sudah memecat aku. Ah, Tiara, kayaknya another surprise nih. 93
*
*
*
Pagi-pagi Tiara tidak berada di balik meja kebesarannya dan duduk manis di atas singasana empuknya, melainkan ngobrol dengan Marina. Waaaaaiiiiit....Tiara? ngobrol? Dengan bawahan pula? Aku yakin, kalau nggak tadi malam dia habis nonton film horor, lalu lari terbirit-birit menuju kamar tidur dan kesandung baju sendiri lalu kepala kepentok ujung ranjang. Menyebabkan kerusakan temporer pada otaknya yang harusnya menstimulasi dirinya menjadi pribadi yang sombong, dingin, gitu lah pokoknya, menjadi seorang yang jadi rajin senyum tiap empat kalimat dan menjadi pribadi yang lain. “Good Morning, Karina. How are you?” sapanya ramah, dengan intonasi yang pas didengar telinga. Sepertinya hipotesisku benar, Tiara sakit. “Very well, thank you. What’s wrong Tiara?” jawabku jadi kaku. “Let’s talk in my office.” Jawabnya juga langsung ngeloyor masuk ke ruangannya, tanpa pamit 94
dengan Marina yang dari tadi diajak bicara. Tiara mulai agak sadarkan diri. “Saya harus boarding empat jam lagi. To London, then stay for almost ten years at my new office, there.” Ucap Tiara kembali dengan nada khasnya. Datar. “So?” tanyaku bingung. Jujur, perasaanku rasanya gimana...gitu. “I decided to give you an authority to run this company for ten years.” Jawabnya enteng. Kalau kalian di posisiku, apa yang akan anda lakukan? Bengong, mulut menganga, atau teriak-teriak? Saya melakukan opsi yang pertama. “But...but...but... “You know all my schedule, all my works, and know all you have to do, just like me.” Spontanitas yang keterlaluan ini namanya. Tapi mau bagaimana lagi.
Sepuluh tahun, saya bisa kuliah dengan uang saya sendiri, saya membayar lunas hutang orang tua 95
saya pada bank yang dulu rencananya untuk biaya kuliah saya, saya bisa menikah dengan laki-laki yang selalu mengerti saya, saya akhirnya bisa mendirikan usaha saya sendiri yang saya dirikan tidak satu bendera dengan The Tiara’s. Dan ketika Tiara pulang untuk kembali ke kerajaanya, saya sudah punya kerajaan saya sendiri dan bekerja sama dengan Tiara, menjadi Fashion coorporation in architecture. Hidup ini indah, spontan, usaha dan tidak boleh banyak mengeluh apalagi menyerah saat kita baru diberi kesempatan untuk mencoba.
96
BETRAYED
Mendung hari ini terasa lebih gelap daripada biasanya, begitu juga dengan rintik hujannya yang hari ini entah mengapa terasa seperti menusuk ubang pori-pori kulitku yang mulus. Entahlah, aku bingung. Haruskah aku bahagia karena mamaku terlepas dari deritanya lima tahun terakhir ini, ataukah aku harus sedih karena dia sekarang berada di bawah sana, di tempat yang gelap. Di bawah tanah. Di kuburnya.
Dua Tahun Berlalu
“Amelia sekarang semester berapa, Kris?” tanya Tante Mia ketika kami semua liburan ke Puncak, Bogor. “Semester Empat. Sekarang sudah mulai sibuk buat persiapan KKL nanti.” Jawab papaku. “KKL?” 97
“KKN waktu jamannya kita-kita.” Tertawa mereka setelah membahas cerita-cerita tentang masa kecilku dan Radya—anaknya Tante Mia—dulu. Andai mamaku ada, pastinya obrolan mereka tambah seru. Mamaku seorang yang punya bakat cerita, maksudnya, kalau beliau cerita, cerita itu seolah-olah ‘hidup’. Seperti nonton tv saja. “Hoi! Ngelamun. Baru jam berapa nih, udah ngelamun aja si eneng.” Sahut Radya yang kemudian duduk menemaniku di pinggir kolam renang villa yang kami sewa. “Heeeeh..kirain siapa. Iya nih, boring abis,, coba ada mamaku.” Jawabku sambil melanjutkan lamunan. Tiba-tiba kepalaku dijitak! “Heh..jangan begitu! Mamamu bahagia di sana. Coba bayangin kalau mamamu masih hidup, kayak apa penderitaannya? Sakit parah begitu! Kita ini tinggal tunggu waktu buat nyusul mamamu.” Cerocos Radya yang aku sendiri heran, kenapa dia yang sewot? Kemudian aku dan dia kembali bercanda tentang masa kecil kami. Lalu handphone-ku bergetar, kulihat ternyata dari Kinan, sahabatku. “Mel..lu di mana?” Sapa Kinan dengan suara menahan tangis.
98
“Lagi di Villa gw Nan, lu kenapa? Kok nangis?” Tanyaku. “Bokap gw Mel..nggak ada. Gw bingung.” “Hei...hei...tenang..tenang. gimana masa ngomongin kayak gini di telepon.”
yah,
“Mel..gw nggak tahu lagi kepada siapa gw harus berbagi.” “Iya..iya. gw ke tempat lu ya, tapi nggak bisa cepet.” Radya memandangku penuh tanya, kemudia ketika selesai bicara kuceritakan semuanya ke Radya. Kemudian kami meminta izin papaku untuk pulang karena papanya Kinan meninggal dunia. Kami pun segera meluncur ke rumahnya menggunakan mobil Radya.
Setahun Berikutnya...
Kulihat akhir-akhir ini Radya menjadi pendiam, dia jadi jarang sekali bercanda dan bicara. Kalau dipikir-pikir semenjak dua bulan kemarin dia seperti ingin menyampaikan sesuatu padaku, tapi seperti ada sesuatu yang menahannya. Aku yang penasaran akan 99
perubahan sikapnya kemudian mendekatinya, maksudku ingin menanyakan perihal itu. “Kenapa sih?” tanyaku padanya yang langsung tegang. “Kamu terangsang, aku duduk dekat kamu?” tanyaku lagi. Dia lalu mendelik sebal padaku yang membuatku jadi ingin tertawa. “Apaan sih Mel. Pertanyaan kamu nggak mutu banget.” Jawabnya ketus. “Yee..kamu kenapa? Akhir-akhir ini kok kayak menghindar dari aku?” “Nggak kok..kalau daritadi aku udah pergi.”
aku
menghindar
“Iiiihh.Radya! please dong, aku nggak suka kamu kayak gini. Cerita aja. Kamu tuh nggak bisa bohong sama aku.” Dia menghela nafasnya dengan berat, lalu menatapku kemudian wajahnya seperti mempertimbangkan sesuatu. Kemudian dia menggenggam tanganku. “Mel...ada satu hal yang aku mau kamu tahu hal ini. Aku nggak tahu ini sudah berlangsung berapa lama, yang pasti aku sudah mempertimbangkan dan menanggung semua resikonya dan pada akhirnya aku mengambil keputusan ini. Aku harus kasih tahu kamu.” Ucapnya lembut sambil menatapku. Perasaanku 100
jadi tidak keruan, jangan-jangan dia jatuh cinta sama aku. Mustahil sepertinya. Tapi siapa tahu. “Kamu suka sama aku?” tembakku langsung.” Berharap dia menjawab ‘iya’ tapi alihalih begitu air mukanya malah berubah. Lalu dia menoyorku. “Aku serius Amel...kenapa kamu malah mikirnya ke situ?” jawabnya. Membuatku semakin bingung. “Lah, kamu ngomong begitu. Ada apa sih, nggak usah basa-basoy deh.” “Aku rasa Kinan ada hubungan sama Papa kamu.” Ucapnya saklek. Kontan aku langsung melotot tak percaya! “Tunggu..tunggu...aku tahu dia memang dekat dengan papaku kalau dia main ke sini, tapi aku rasa karena dia merasa membutuhkan papa. Papanya kan udah nggak ada, Dya.” “Tapi aku sering lihat papamu main ke rumahnya, Mel..aku sih nggak mau fitnah, tapi sering banget aku lihat mereka jalan berdua, pernah juga kok mamaku yang mergokin mereka, Cuma mamaku nggak mau asumsi macammacam.” Aku tepekur. Ini mustahil. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. 101
“Nah, siapa tahu papaku lagi p-d-k-t sama mamanya, kan papaku tahu aku deket banget sama Kinan, and mungkin berpikir kenapa aku sama dia nggak jadi saudara aja.” “Mel...aku nggak bilang iya atau enggak tentang hipotesis kamu itu. Tapi Mel, masak p-dk-t sama ibunya yang diajak jalan anaknya melulu, kalaupun memang begitu. Kenapa kamu nggak dikasih tahu? Kan jadi fitnah Mel, kalau memang papamu ada niat sama mamanya Kinan, and lagi pendekatan lewat Kinan, kenapa jalannya nggak bertiga aja sama kamu.” Betul juga. Nggak masuk akal kalau papa mengajak Kinan jalan-jalan tanpa memberi tahu aku, Kinan juga nggak pernah cerita soal papaku. Lalu ada sedikit rasa sesak di hatiku begitu aku ingat terakhir kali Kinan datang. Memamerkan laptop barunya. “Wah laptop baru niih..ini kan mahal banget Nan. Gw aja minta nggak pernah dikasih sama bokap gw. Asik banget lu. Nyokap llu baik bener.” “Ini bukan dari nyokap gw. Dibeliin Oom gw Mel, pas kemaren di JHCC lagi ada pameran , lagi diskon gede terus kalo beli tipe ini, gratis kamera digitalnya.” “uwh..gw jadi iri nih.”
102
“Apaan sih lu Mel...Lu harusnya bersyukur. Komputer lu canggih begitu, gw mah nggak punya komputer, kata Oom gw daripada beli komputer mahalnya sama, tapi nggak bisa dibawa-bawa, mending beli laptop aja.”
Lalu aku ingat waktu papa memamerkan kameranya yang baru. “Pa, baru nih? Keren. Pasti mahal.” “Iya dong, tapi murah kok papa belinya.” “Hah? Kok empat jutaan?”
bisa? Ini bukannya
masih
“Kan kemaren papa nganterin temen beli laptop di JHCC terus lagi ada promo, beli laptop tipe tertentu ada gratisannya kamera selama persediaan masih ada, ya temen papa sih nggak butuh kameranya kebetulan dia udah punya. Papa beli aja murah.”
Mengingat itu semua tak terasa air mataku mengalir. Aku lihat diriku, tak ada lagi handphone baru, laptop maupun kamera yang aku punya semenjak mama meninggal. Aku ingin minta tapi aku tidak tega pada papa, toh handphoneku belum rusak, komputer masih bisa dipakai dan kamre aku biasa pinjam Radya. 103
Kalau pun aku minta tiga alasan tersebut pasti juga disebutkan papa agar aku mengerti keadaan kami yang sekarang. Tapi kenapa... “Mel..maafin aku ya. Aku nggak maksud bikin kamu sedih.” Ucap Radya mengelus pundakku. Kemudian kuhapus air mataku. Dan tersenyum. “Aku justru terima kasih banget sama kamu Dya, aku nggak pernah menyadari hal itu. Kamu mau bantu aku membuktikan ini semua?” “Tapi Mel, aku nggak mau lancang.” “Dya, ini demi nama baik keluargaku. Aku nggak mau harga diri papaku diinjak-injak oleh Kinan yang nggak tahu diri itu.” “Kamu punya rencana apa memangnya? Insya Allah aku bantu kamu.” “Aku juga nggak tahu Dya. Aku shock. Aku bingung, aku nggak tahu harus ngapain.” “Tenangin dulu diri kamu ya, kalaupun kamu memang bingung, jangan memaksakan diri, kalau hal itu benar, waktu akan membuka semuanya Mel..aku percaya itu.” “Kamu benar Dya. Sebentar lagi aku UTS. Aku nggak mau ini semua mempengaruhiku. Aku nggak boleh down, apa kata mamaku ‘di sana’.” 104
Aku tidak merubah sikapku kepada Kinan, dan kulihat tidak ada yang berbeda dari sikapnya padaku, yang terlihat berbeda tiga ratus enam puluh derajat (mungkin lebih) adalah penampilannya. Dulu Kinan berkerudung, sekarang dia hampir seperti aku malah agak terlalu ‘kinclong’. Begini perbandingannya:
Kinantya Dewi sebelumnya: Berkerudung. Warna kerudung dan kardigannya pasti sama. Kadang sama dekil juga. Pakai sepatu keds yang jebol sampingnya (kaki kanan) dan depannya (kaki kiri) Pakai tas ransel yang tali ranselnya di tempel pakai peniti karatan karena sudah jebol. Kinantya Dewi empat bulan terakhir: Rambut model pixie-nya VicB. Bajunya ketat banget! Selalu pake Vest merk TOPSHOP Pakai sepatu wedges yang luculucu 105
Pakai tas kantor.
yang
kayak
buat
ke
Tapi hari ini dia sedikit berbeda, agak gemuk dan makannya banyak sekali. Aku sampai heran. Dulu waktu aku tanya kenapa dia lepas kerudungnya, jawabannya karena dia tidak lagi merasa pantas memakainya. (Iyalah, kerudung itu jadi ‘ternoda’ oleh kelakuannya.). Sekarang aku tanya kok nafsu makannya jadi ganas begini, dia Cuma jawab ingin terlihat montok. Aneh. Aku tahu dia bukan tipikal seperti itu.
Keadaan di rumah pun hampir sama anehnya, mendadak papaku jadi sering sekali tugas keluar kota dan meeting hingga harus pulang terlambat. Tapi tidak mengurangi perhatian dan kasih sayangnya padaku. Saat papa bilang keluar kota, waktu yang ada kupergunakan untuk berkonsultasi dengan Radya, hingga akhirnya aku berencana untuk mengeceknya sendiri. Apapun kenyataannya akan aku terima. Malam ini aku beralasan pulsaku habis padahal aku harus mendiskusikan tugas dengan temanku, dan ini sudah malam jadi aku tidak mungkin jalan ke wartel. Kemudian papaku menyuruhku untuk menggunakan ponselnya saja, lalu dia pergi tidur karena kecapekan. 106
Dengan jantung berdebar-debar, aku memencet nomer Kinan. Aku terkejut, karena nomor Kinan dinamakan di HP papaku “Bebi_iyNan” begitu tersambung langsung aku matikan. Aku tidak kuat. Kemudian tak lama ada sms masuk. Dari Kinan. “Yank, kok Cuma miskol? Lagi ngapain? Tumben belum bobo, tadi katanya capek bgt.” What the hell is this? Sms tersebut langsung aku bluetooth ke handphone-ku. Lalu aku balas lagi. “Aku lagi mikirin yang tadi...” aku harapharap cemas Kinan akan menjawab apa, karena aku kan tidak tahu mereka berbuat apa. Tapi aku punya hipotesis, meski aku berharap hipotesisku salah besar. “Iyh..kmu..aku ntar jd ‘pgn’ lg loh..bhya tw klo aku kpgn..hehe..” Astaghfirullah...jawaban apa ini? Aku jadi jijik sendiri. Apa yang mereka lakukan? Ya Allah, apakah yang dipikiranku ini benar terjadi, apa yang Radya bilang itu benar adanya? Kubals lagi sms itu. “Hmm..besok ketemu lagi yuk. Gpp kn? Aku kyknya g bs ya g ktmu kmu shariii aja.” Hueeekkk..hueeekkk...ingin muntah rasanya. Dia Kinan, dia sahabatku. 107
Keesokannya...
“Mel, hp papa mana?” tanya papaku ketika mau berangkat. “Tuh di meja depan kamar papa, aku kemaren nggak jadi pake.” “Loh kenapa?” “Orangnya udah tidur.” Entah kenapa kulihat ada semburat rasa lega di wajah papa. Tentu saja sms kemarin sudah kuhapus dan sudah kukirim juga ke handphone-ku. Kemudian aku berangkat, tapi tidak ke kampus. Tidak hari ini aku punya rencana dengan Radya. Kami akan pergi ke rumah Kinan, membicarakan hal ini dengan mamanya. Sesampainya di rumah Kinan, mamanya menyambut kami. Raut wajahnya khawatir aku juga tidak tahu kenapa. Setelah berbasa-basi sebentar, kami menceritakan semua hal yang kami ketahui. Ternyata mamanya tahu, tapi sama denganku, tidak sampai berpikir ke arah sana. Lalu kuberi tahu, aku membuat jebakan kalau papaku mengajak Kinan bertemu di Warung Pasta Kemang, tanpa menunggu waktu, kami berangkat ke sana. 108
*
*
*
“Gw..” “Nggak bisa jawab kan lu? Nan, kalo lo mau, gw cariin Nan temen-temen bokap gw. Banyak yang Duda, jangankan Duda Nan, yang single pun banyak. Tajir juga Nan, bokap gw mah nggak seberapa Nan...” “Tega kamu sama Mama..Kamu injak-injak kepala Mama..kamu sudah membuat mama nggak sanggup lagi marah sangking kecewanya. Ya Allah Naaaaaaan..harga dirimu Cuma seharga laptop murah yang dapat gratisan NAK! SADAR NGGAK SIH KAMU ITU! SEMISKIN ITUKAH MAMA DI MATA KAMU NAN?! HAH!!” “Tenang Tante...istighfar...istighfar.” “Tinggalkan dia Kinan.” “Tinggalin Bokap gw Kinan.” “Tinggalin Keluarga kami.” “Gw...nggak bisa.”
109
“A...aku nggak bisa.”
nggak
bisa
Ma..bener-bener
PLAAAK... “MATI AJA KAMU!!! MASIH KECIL UDAH JADI LONTE!! YA ALLAH KINAAAAN. MAMA KASIH KAMU MAKANAN HALAL BUKAN UNTUK JADI LONTE..BUKAN BUAT DITIDURIN BAPAKBAPAK!!” “Tenang Tante...kita bicara baik-baik. Gimana baiknya. Nan, apa alasan kamu ngomong begitu?” “Gw cinta sama bokap lu.” “TAI!!! ANJING BANGSAT!!! EMANG PEREK LU! NGEPET! HEH..Lu denger ya SETAN, bokap gw Cuma cinta sama M**** Lu DOANG tau nggak! Tolol banget!” “Kinan, Mama hargai keputusan kamu. Mama minta juga kamu bisa terima keputusan Mama...mau nak?” Kinan hanya mengangguk. Tidak setetes pun air mata keluar dari matanya. Pertengkaran ini terjadi di villaku di Puncak. Betapa kagetnya Kinan saat di Warung Pasta tadi, karena yang datang bukanlah papaku, melainkan, aku, Radya dan Mamanya Kinan. Kami lalu membawanya ke Puncak, agar semua masalah ini selesai. Apapun keputusannya. 110
“Jangan pernah lagi kamu pulang...Jangan pernah lagi kamu datangi makam Papamu. Papamu tidak pernah punya anak seperti kamu, dia tahu Nan, dia tahu.” “Sekarang lo berharap bokap gw nikahin lo? Siap lo, punya anak gw? Umur lu sama gw aja, tua-an gw Nan. Terus, lu pikir bokap gw ini hidup sebatang kara tanpa saudara apa, Nan..gw ini keluarga terhormat. Jangan harap debu kayak lu bisa mampir di teras rumah gw.” “GW..hamil Mel. Bokap lu harus tahu itu.” “Apa buktinya itu anak bokap gw?” “Mel..gw minta maaf. Tapi keputusan menikah udah di ambil oleh bokap lu, meski gw nggak akan tinggal bareng bokap lu.” Aku terdiam, kaku. Ibunya terdiam, kaku. Radya terdiam, kaku. Lalu aku pamit pulang. Mambiarkan mereka di villa itu. Aku tidak perduli, mereka mau pulang, atau mau tinggal di situ, atau mau bunuh diri. Peduli Setan.
Esok pagi...
“Kamu nggak kuliah?” 111
“Males.” “Kok gitu?” “Pa...mau disimpan berapa lama lagi?” “Apa sih? Maksudnya apa?” “Udahlah Pa, nggak usah ditutup-tutupi lagi. Aku tahu semua.” “Mel...Papa...” “Hhhhh...aku hargai keputusan papa. Tapi bukan berarti aku menerimanya Pa, aku nggak bisa. Kalau Papa pilih dia, aku yang akan pergi Pa.” “Tapi Papa harus Mel..bagaimanapun..”
bertanggung
jawab
“Bagaimana pun kan Pa? Bagaimana pun. Tidak harus dengan cara seperti itu.” “Biarkan Papa berpikir Mel. Yang terbaik untuk kita semua.” “Okay, kalau Papa nggak keberatan. Aku mau tinggal di asrama temanku. Minggu depan aku pulang, aku harap Papa sudah mengambil jalan yang terbaik.”
112
Setahun berlalu...
Akhirnya lulus juga. Lega kusambut hari ini, kukabari Papaku di rumah untuk memberi tahukan apa-apa saja yang kuperlukan untuk keperluan wisudaku. Siangnya uang yang kubutuhkan sudah ada di rekeningku. Aku punya waktu satu bulan untuk mengurus surat-suratku dan menyiapkan keperluan wisuda, semua harus kulakukan dengan cepat dan sistematis. Hari wisudaku berjalan lancar, khidmat. Usai acara, kulihat Radya tersenyum lalu menghampiriku. Salah jika dulu aku sempat berpikir dia suka padaku, dia sayang padaku. Meskipun bukan sayang yang seperti kekasih, tapi seperti aku ini adik kecilnya. “Duwh..Ameliaku..aku lihat kamu pake toga juga. Alhamdulilah...” katanya. “Hehehe...ngebut dong aku...duh, kalau nggak ada kamu, mungkin aku lulusnya masih nggak tahu deh kapan.” “Loh, kok kalau nggak ada aku? Memangnya yang ngerjain semua tugasmu itu, aku?”
113
“Udah ah..nggak mau ngomongin tugas. Bikin mual aja!” “Papamu datang?” “Kamu lihat dia?” “Nggak sih.” apa?”
“Ya sudah. Tuh, udah tahu jawabannya “Tapi ya kok tega bener?”
“Nggak juga sih, nggak tega-tega amat. Buktinya aku dikasih duit nih buat ini semua. Mmm..Dya, aku sayang banget deh sama kamu.” “Hmmm...aku tahu..aku juga kok!!” “Bukan seperti rasa sayang kamu ke aku.” “Terus?” “Nggak...Nggak apa-apa kok. Aku Cuma pengen kamu tahu aja.” Pletak! Kepalaku dijitak! “Udah ah..jangan ngaco! Yuk, kita ke rumahmu..Mamaku udah masak macemmacem...enak pastinya. Semua saudara kumpul di sana.” 114
“Yuk!”
Tak pernah kubayangkan hidupku jadi seperti ini, indah walaupun menyakitkan. Melihat semua saudaraku tertawa-tawa, bercanda-canda, dan bahagia. Tapi, jauh di dasar hatiku aku bertanya... “Sedang apa Papa di rumah? Sehatkah dia? Bahagiakah?” Aku harapkan dia bahagia selalu, karena bagiku bahagianya, bahagiaku juga.
115
AKU TAKKAN PERGI SEJAUH ITU
Tahu tidak, cuaca seminggu ini mendung cerah. Takkan ada satu orang pun yang peduli bagaimana perasaanku saat ini, ya, sekarang ini. Kemarin aku 116
memutuskan pergi saja dari rutinitas hidupku. Dan ada dia di sini, di sampingku.
*
*
*
Aku tahu dia sedang ada satu masalah, sekalipun dia hanya menceritakan kisi-kisinya saja. Aku tahu, bisa aku lihat dari sorot matanya yang meredup. Ini bukan dirinya, senyumnya hampa, tawanya pun terasa begitu tawar, sekalipun bibirnya tetap hangat untukku. Ada apa dengan dirinya? Apa yang begitu mengganggunya hingga separuh dari keceriaannya hampir lenyap? Bisakah aku membantu untuk meringankan bebannya. Dan dia hanya meminta agar aku selalu menemaninya.
*
*
*
Aaaarrrrrgghhh…bagaimana mungkin aku bisa terus melangkah. Jika pemberat di kakiku ini masih saja membuatku jalan terseret-seret! Aku ingin sekali membenturkan kepala ini ke tembok, lalu aku akan berada di dalamnya, tenang sampai akhirnya 117
namaku dipanggil, dan masalah ini harus tetap dihadapi. Masalah yang sebenarnya tak ada. Aku muak, muak dengan semua yang harus kutempuh, selalu berpura-pura ceria padahal sebenarnya hati ini begitu mendung. Aku bosan bersikap seperti tak terjadi apapun, padahal vonis itu tepat di depan bulu mataku… Hhhh, bisakah dia redam sedikit kecamuk di hatiku ini, betapa aku ingin muntah rasanya.
*
*
*
Aku bisa. Aku sangat bisa, percaya saja padaku, aku bisa. Tapi masalah itu tak keluar dengan gamblang dari mulutnya. Aku hampir putus asa, menebak-nebak apa sebenarnya masalah yang dia derita sampai begitu sengsaranya. Sayang, jika aku masih punya sedikit waktu untukmu, mengapa kamu hanya diam membatu?
*
*
*
“Aku tergeletak tanpa daya di sini. Kamu tak kunjung pergi, apa yang membuatmu ingin terus 118
duduk terpaku dengan tatapan mata sayu seperti itu?” aku bertanya padanya, kamu tak bisa melihatku bicara, ataupun membaca gerak bibirku, aku tahu itu, karena matamu begitu sendu menatapku seperti aku ini sudah tak di sini lagi. Aku masih di sini sayang, di sampingmu.
*
*
*
“Bukan salahmu kamu jadi seperti ini, sungguh bukan. Berhenti lah berpikiran begitu, aku tak suka, aku tak tega.” Aku ucapkan kata-kata yang dapat menghiburnya, namun dia tetap terbujur kaku.
*
*
*
Sayang, mengapa suaramu terdengar begitu jauh? Aku ini ada di mana? Mengapa suaramu kini hanya terdengar sayup-sayup saja? Apakah kamu sudah begitu lelah menemaniku di sini? Oh, jangan..aku masih ingin digenggam oleh dirimu yang seperti mengalirkan darah ke seluruh pembuluh darahku, suaramu yang lembut membuatku takkan 119
ingin beranjak menjauh. Tapi kenapa matamu tak lagi menatapku? Siapa dia? Kamu bicara dengan siapa? Aku tak bisa dengar, kamu seperti hanya menggerakkan bibirmu saja, tak ada suara keluar dari situ. Jangan, jangan cium aku, jangan sentuh bibirku dengan bibirmu, itu pertanda kamu akan pergi. Benar saja perkiraanku, kamu beranjak pergi, melirikku untuk terakhir kali, menunduk lalu keluar dari ruangan. Sayang, tolong aku, ada banyak sekali wanita berbaju putih menarik selimutku, tempat tidurku didorong menjauh dari arah kamu pergi, aku mau dibawa ke mana? Lalu semua menjadi gelap…gelap..dan gelap.
*
*
*
“De, mau sampai kapan? Sudah, direlakan saja, saya tahu ini berat untuk anda, anda sudah seminggu duduk di sini, semua alat bantunya sudah dilepas dari kemarin sesuai permintaan keluarganya, tidak ada harapan lagi. Kekasih anda sudah meninggal.”
120
*
*
*
Aku tahu, aku sudah tahu. Dari awal semua alat itu terpasang di tubuhmu, aku tahu waktuku hanya tinggal sedikit, aku hanya ingin menunggu kesempatan melihat matamu terbuka, bibirmu tersenyum, tanganmu membelai wajahku, menyuruhku istirahat, tapi hal itu takkan terjadi untuk selamanya. Aku cium bibirmu yang mulai membiru untuk terakhir kalinya, kuciumi tiap inchi dari wajahmu, kusematkan cincin yang kamu inginkan, yang seharusnya kamu pakai saat kita resmi nanti lalu akan kulihat kamu tertawa bahagia, dan memelukku erat. Kini, aku tak mau menunggu lagi, cincin ini akan kamu pakai selamanya, kamu milikku selamanya, kupeluk dirimu, tak kuharapkan kamu balas memelukku erat, aku tahu kamu takkan bisa. “Aku cinta kamu” aku takkan menangis sayang, kita akan bertemu lagi nanti, aku tahu kamu akan begitu setia menungguku datang. Aku akan selalu mencintaimu, seperti saat ini, selalu akan seperti ini. Aku beranjak dari kursiku, berjalan menuju pintu, dan kutengok wajah polosmu untuk terakhir kali, aku tak mau melihatmu dibawa, aku takkan 121
kuat, maafkan aku, aku akan kabari orang tuamu. Aku juga takkan ucapkan selamat tinggal, aku tahu kamu takkan pernah menginggalkanku. Kamu pasti sedang menggandeng tanganku saat ini. Sayang, aku pergi dulu, aku akan kembali ke sisimu…nanti.
122