Walker, W.F,Jr. 1993. Functional Anatomy of The Vertebrates. CBS College Publishing. United States America....hal
Animals Vol 2: Vertebrates. Plenum Press. Newyork.
Wulandari, P. D., Pujiyati, S., Hestirianoto, T., & Wartzok, D. and D. R. Ketten, 1999.Marine Lubis, M. Z. 2016. Bioacoustic mammal sensory systems. Biology of Characteristic Click Sound and marine mammals, 1:117-175. Behaviour of Male Dolphins Bottle Nose (Tursiops aduncus). Journal of Fisheries Watkins, W, A. and D. Wartzok,.1985 Sensory & Livestock Production, 2016. biophysics of marine mammals. Mar. Mam. Sci. 1(3): 219–260. Urick, R,J. 1975. Principles of Underwater Sound. Kingsport Press, 384 pp. Winn, H.E. 1991. Acoustic Discrimination By The Road FishWith Comments OnSignal Zimmer, W. M. 2011. Passive acoustic System. P 361 – 381. In Howard E. Winn. monitoring of cetaceans.Cambridge Dan Bori J. Olla. (ed) Behavior of Marine University Press.
Oseana, Volume XLI, Nomor 2, Tahun 2016
ISSN 0216-1877
KATA PENGANTAR Uji toksisitas dengan menggunakan organisme perairan, telah digunakan selama puluhan tahun untuk mengkaji resiko bahan kimia di lingkungan perairan dan menjadi dasar untuk pengembangan kriteria kualitas air. Sdr. Triyoni Purbonegoro mengawali Oseana Volume XLI Nomor 2 Tahun 2016, dengan tulisan berjudul “ Penggunaan Toksikan Rujukan (Reference Toxicants) dalam Uji Toksisitas Perairan”. Artikel ini memberikan informasi mengenai kriteria dan prosedur penggunaan beberapa toksikan rujukan dalam uji toksisitas perairan secara lebih rinci. Sdri. Rany Dwimayasanti dalam artikel kedua, memaparkan tentang “Pemanfaatan Karagenan sebagai Edible Film”. Tulisan ini memberikan gambaran tentang pemanfaatan karagenan menjadi edible film sebagai alternatif kemasan yang baik untuk meningkatkan daya tahan dan kualitas bahan pangan selama penyimpanan. Dengan penambahan jumlah karagenan tersebut maka dapat meningkatkan nilai ketebalan, kekuatan tarik, laju transmisi uap air serta nilai kelarutan dari edible film itu sendiri. Archaster typicus, spesies bintang laut yang dieksploitasi secara masif untuk tujuan perdagangan ornamen. Pada artikel ketiga, Sdri.Ana Setyastuti menulis “Archaster typicus (Asteroidea, Echinodermata) : Sistematika, Pergeseran Habitat, Perilaku Membenamkan Diri dan Perkawinan”. Artikel ini memberikan penjelasan secara detil tentang hasil-hasil penelitian mengenai Archaster typicus, baik biologi maupun ekologinya. Artikel keempat ditulis oleh Sdr. Hanif Budi Prayitno dengan judul”An Introduction to Four Common Techniques of Pore Water Sampling”. Air poros sedimen menyimpan informasi penting tentang status geokimia dan ekologi sedimen, sehingga analisis ini sering dilibatkan dalam studi lingkungan. Tulisan ini mengulas lebih mendalam tentang keempat teknik pengambilan sampel air poros sedimen yang umum digunakan beserta kelebihan dan kekurangan masingmasing teknik. Hingga kini di antara para ahli karang masih memperdebatkan mengenai peran terumbu karang pada konteks blue carbon. Pada artikel kelima,Sdri. Ni Wayan Purnama Sari mengetengahkan “ Coral Reef, Penyerap atau Penghasil Karbon”.Tulisan ini memberikan informasi mengenai terumbu karang yang merupakan komunitas yang memiliki konektivitas yang erat dengan ekosistem mangrove dan padang lamun sebagai carbon sink atau komunitas penyimpan blue carbon yang sebenarnya. Akustik kelautan merupakan suatu bidang ilmu kelautan yang berfungsi untuk mendeteksi target di kolom perairan dan dasar perairan menggunakan gelombang suara. Pada artikel keenam, Sdr. Muhammad Zainuddin Lubis, Sri Pujiyati, dan Pratiwi Dwi Wulandari menulis tentang “Akustik Pasif untuk Penerapan di Bidang Perikanan dan Ilmu Kelautan”. Tulisan ini bertujuan memberikan informasi akustik pasif dengan metode bioakustik yang sering dilakukan pada mamalia dan biota lainnya dapat digunakan sebagai acuan yang akurat, tidak berbahaya dan tidak merusak biota target.
Selamat membaca !!! Redaksi 50
Lubis, M. Z. 2014. Bioakustik Stridulatory Gerak Au, W, W. and D.W. Martin. 1989. Insights into Ikan Guppy (Poecilia reticulata) Saat dolphin sonar discrimination capabilities Proses Aklimatisasi Kadar Garam. [ from human listening experiments. The Skripsi ] Bogor (ID): Institut Pertanian Journal of the Acoustical Society of Bogor. America, 86(5) :1662-1670. Lubis, M. Z., P. D. Wulandari, M. S. Harahap, Borowski, B., A. Sutin, H. S. Roh, and B. Bunin, M. Tauhid, and J. R. Moron, 2016a. (2008, April).Passive acoustic threat Bioacoustic: Percentage Click Sound detection in estuarine environments. of Indo-Pacific Bottlenose In SPIE Defense and Security Dolphins (Tursiops Aduncus) in Symposium (pp. 694513-694513). Captivity, Indonesia. J Biosens International Society for Optics and Bioelectron, (207),2. Photonics. Lubis, M. Z., P. D.Wulandari, T. Hestirianoto, Branstetter, B. K., C. M. DeLong, B. Dziedzic, and S. Pujiyati, 2016b. Bioacoustic A. Black, & K. Bakhtiari, 2016. spectral whistle sound and behaviour of Recognition of Frequency Modulated male dolphin bottle nose (Tursiops Whistle-Like Sounds by a Bottlenose aduncus) at Safari Park Indonesia, Dolphin (Tursiops truncatus) and Cisarua Bogor. Journal of Marine Humans with Transformations in Science: Research & Development. Amplitude, Duration and Frequency. PloS one, 11(2). Simmonds, J., and D. N. MacLennan, Fisheries acoustics: theory and Brook,D. and R.J. Wynne. 1991. Signal 2008. practice. John Wiley & Sons. Processing: Principples and Applications. Edward Arnold, a division Pitcher, T. J. 1986. Functions of shoaling of Hodder and Stoughton Limited, Mill behaviour in teleosts.In The behaviour Road, Dunton Green. Great Britain. of teleost fishes. Springer US : 294-337. Evans, W. E. 1966 Vocalizations among marine Popper, A. N. 1980. Sound emission and mammals. Marine Bioacoustics 2 : 159– detection by delphinids. Cetacean 185. behavior: Mechanisms and functions, 152. Herman, L. M. and W, N. W.Tavolga, 1980 Communication systems of Cetaceans. Simmonds J. and D. MacLennan 2005. Fisheries Cetacean Behavior: Mechanisms and Acoustics: Theory and Practice, second Function (ed. L. M. Herman) pp. 149– edition. Blackwell.doi : SH344.2.S56 197. 639.2–dc22 2005005881. Krauss,T.P. L. Shure and J.N.Little 1995. Signal Simmonds, J., and D. N. MacLennan, Processing Toolbox: For Use with 2008. Fisheries acoustics: theory and Matlab. The Mathworks, Inc. practice. John Wiley & Sons.
49
air yang dilambangkan dengan (C), sehingga diperoleh persamaan (5) (Halliday & Resnick, 1978).
C f
Oseana, Volume XLI, Nomor 2, Tahun 2016 : 1- 7 PSD =
………….
(6)
PENGGUNAAN TOKSIKAN RUJUKAN (REFERENCE TOXICANTS) DALAM UJI TOKSISITAS PERAIRAN
Perhitungan PSD pada Matlab menggunakan metode Welch (Krauss et al.,1995), yakni mencari DFT (berdasarkan perhitungan dengan algoritma FFT), kemudian mengkuadratkan nilai magnitude tersebut. Contoh hasil figure PSD dihasilkan oleh Matlab software dapat dilihat pada Gambar 9.
(5)
Power Spectral Density (PSD) didefenisikan sebagai besarnya power per interval frekuensi, dalam bentuk matematik (Brook & Wynne, 1991) pada persamaan (6) :
ISSN 0216-1877
Oleh Triyoni Purbonegoro1) ABSTRACT THE USE OF REFERENCE TOXICANTS IN AQUATIC TOXICITY TESTING. The use of reference toxicant in aquatic toxicity testing is a part of efforts to obtain good quality data and it can be justified scientifically. It is used to determine the health and sensitivity of the test on organisms; to compare relative toxicities of substances by using control as an internal standard; to perform interlaboratory calibrations; and to evaluate the reproductive ability on tested data with time. Numbers of substances, such as some metals and salts, can be used as reference toxicants, but basically we must consider certain criterias in using a chemical as a reference toxicant. An ideal reference toxicant is that has a toxic at low concentrations, rapidly lethal, non-selective, and detectable by known analytical techniques. The use of each reference toxicant in toxicity tests should be repeated using the same test organism to produce a data set of sensitivity. Endpoint values are then plotted on a control chart with tolerance range ± 2 SD. The value outside the tolerance range requires the evaluation of all test procedures and conditions of the test organisms.
Gambar 9.Power Spectral Density (PSD) suara lumba-lumba jantan hidung botol (Tursiops aduncus) (Lubis et al., 2016b).
PENUTUP Tulisan ini menunjukkan bahwa studi tentang akustik pasif diterapkan dengan metode bioakustik yang sering dilakukan pada mamalia dan biota/ hewan laut lainnya, dapat sebagai acuan atau referensi yang sangat akurat, tidak berbahaya dan merusak biota/ hewan yang akan dijadikan sebagai target. Metode ini sangat berguna untuk dunia kelautan d alam menghasilkan kisar an frekuensi dan nilai intensitas suara, dari
48
sumber suara dengan melakukan analisa spektrum menggunakan metode bioakustik, contohnya pada mamalia laut. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2015. The Physics of sound. http:// www.podcomplex.com/guide/physics. html. Diakses pada tanggal 15 Juli 2015. Anonim. 2015. Hydrophones. www. sensortech. ca. Diakses pada tanggal 26 Juli 2015.
PENDAHULUAN
meliputi pemilihan metode penelitian yang tepat, pengambilan dan penanganan sampel, kualitas Uji toksisitas dengan menggunakan data, evaluasi data, pengendalian kualitas, dan organisme perairan telah digunakan selama kualifikasi personil. Quality Control (QC) puluhan tahun yang lalu untuk mengkaji resiko meliputi kegiatan spesifik untuk menghasilkan bahan kimia di lingkungan perairan, dan menjadi kinerja standar sebagai bagian dari program QA. dasar dalam pengembangan kriteria kualitas air Kegiatan ini meliputi penggunaan kontrol (Struewing et al., 2015). Untuk memperoleh (kontrol negatif dan positif), standarisasi, kualitas data yang baik, dan yang dapat kalibrasi, dan replikasi (Burton et al., 2003). dipertanggungjawabkan secara ilmiah, jaminan Selain menggunakan kontrol negatif kualitas dan pengendalian kualitas (Quality berupa air pelarut yang bebas pencemar, semua Assurance - Quality Control / QA-QC) harus uji toksisitas harus melibatkan penggunaan diterapkan pada setiap uji toksisitas perairan. kontrol positif yang dilakukan dengan Quality Assurance (QA) merupakan program menggunakan toksikan rujukan (reference terintegrasi yang dirancang untuk menyediakan toxicant). Toksikan rujukan digunakan untuk hasil data yang akurat dan tepat. Program ini memperoleh informasi mengenai perubahan 1)
Laboratorium Oseanografi Kimia, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI
1
(SDS), kromium (Cr6+) dalam bentuk potassium dichromate, amonia (NH3), fenol (C6H6O) dan zink (Zn) sebagai toksikan rujukan. Selain logam, beberapa jenis garam dapat digunakan sebagai toksikan rujukan, antara lain potasium klorida (KCl) dan sodium klorida (NaCl) (Struewing et al., 2015). Penggunaan masing-masing toksikan rujukan dalam uji toksisitas harus dilakukan berulangkali, dengan menggunakan biota uji yang sama untuk menghasilkan kumpulan data sensitivitas biota uji. Uji toksisitas yang dapat dilakukan adalah uji toksisitas akut (96 jam) atau kronis (>96 jam, sesuai siklus hidup masingmasing biota uji), dengan menggunakan seri konsentrasi yang terdiri dari kontrol dan beberapa konsentrasi. Salah satu contoh kondisi dan prosedur yang direkomendasikan adalah uji KRITERIA DAN PROSEDUR toksikan rujukan dengan menggunakan larva PENGGUNAAN TOKSIKAN RUJUKAN serangga air Chironomus sp. (Tabel 1). Hasil dari setiap uji toksikan rujukan Menurut Rand & Petrocelli (1985), kriteria adalah berupa nilai akhir (endpoints), atau nilai toksikan rujukan yang ideal adalah bersifat konsentrasi toksikan yang berpengaruh toksik pada konsentrasi yang rendah, terhadap 50% populasi biota uji (Median Lethal mematikan dengan cepat, non-selektif, dan Concentration, LC 50 ; Median Effective dapat dideteksi atau dianalisis dengan teknik Concentration, EC50; atau Median Inhibition yang umum diketahui. Environment Canada Concentration, IC 50) untuk setiap spesies (1992) dan Environment Canada (1997) kemudian diplotkan pada grafik kontrol. Gambar merekomendasikan logam kadmium dalam 1 merupakan contoh serangkaian nilai akhir yang bentuk kadmium klorida (CdCl2), dan tembaga diperoleh dari sejumlah uji toksisitas toksikan dalam bentuk tembaga sulfat (CuSO4) sebagai rujukan NaCl, yang diujikan pada larva toksikan rujukan. Badan Perlindungan Ceriodaphnia dubia selama tujuh hari. Lingkungan Amerika Serikat (US EPA) juga Ceriodaphnia dubia merupakan serangga air merekomendasikan CuSO4 sebagai salah satu kecil dari Filum Krustasea, Kelas Branchiopoda, toksikan rujukan (Struewing et al., 2015). biasa hidup di danau dan kolam air tawar (https:/ Achiorno et al., (2010) dan Myers et al., (2006) /en.wikipedia.org/wiki/Ceriodaphnia_dubia). menggunakan detergen sodium dodecyl sulfate pada sensitivitas biota uji yang dapat terjadi disebabkan oleh proses aklimasi, penyakit, jumlah kepadatan biota dalam wadah pemeliharaan (loading density), atau stress dalam penanganan pemeliharaan (handling stress) (Burton et al., 2003). Toksikan rujukan juga berguna untuk ; (1) membandingkan toksisitas relatif suatu bahan kimia dengan menggunakan kontrol sebagai standar internal, (2) melakukan kalibrasi antar laboratorium, dan (3) mengevaluasi metode penelitian untuk menghasilkan data yang konsisten (data reproducibility) (Rand & Petrocelli, 1985). Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi singkat dan pemahaman mengenai kriteria dan prosedur penggunaan beberapa toksikan rujukan dalam uji toksisitas perairan.
2
FOURIER TRANSFORMATION Dasar dari karakteristik frekuensi pada sinyal adalah fourier transformation (Brook & Wynne, 1991). Fast Fourier Transform (FFT) merupakan suatu algoritma untuk menghitung Discrette Fourier Transform (DFT). Fungsi umum dari fourier transformation adalah mencari komponen frekuensi sinyal yang terpendam oleh suatu sinyal domain waktu yang penuh
dengan noise (Krauss et.al 1995) dengan persamaan sebagai berikut : S=fft (y) (2) S=fft(y,n) (3) Bentuk perintah (1) dan (2) hampir sama, yakni menghitung DFT dari vektor x, hanya pada perintah (2) ditambah dengan penggunaan parameter panjang FFT (n). Contoh hasil data yang dihasilkan oleh Wavepad software dengan FFT dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8.Fast Fourier Transform suara ikan lumba-lumba jantan hidung botol (Tursiops aduncus) (data pribadi).
POWER SPECTRAL DENSITY ProgramWavelab 6.0 digunakan untuk memasukan dan memproses data dari suara yang dihasilkan dari perekaman, yaitu Power Spectral Density (PSD) dan Fast Fourier Transform (FFT).Power Spectral Density diproses dengan memasukan data suara yang berbentuk *.WAV dan memproses data melalui perintah Analysis dan memasukan perintah 3D Frequency Analysis sehingga akan tampak suatu grafik yang memperlihatkan hubungan intensitas dengan frekuensi. Pada grafik akan muncul bentuk seperti gunung, bagian yang tertinggi akan ditentukan sebagai frekuensi optimum dan dilakukan perhitungan. Frekuensi sebuah gelombang secara alami ditentukan oleh
47
frekuensi sumber. Laju gelombang melalui sebuah medium ditentukan oleh sifat-sifat medium. Sekali frekuensi (f) dan laju suara (v), dari gelombang sudah ditentukan, maka panjang gelombang (l) dapat ditetapkan. Dengan hubungan f = 1/T (Halliday & Resnick, 1978), maka dapat diperoleh persamaan (4).
f
(4)
Oleh karena pada penelitian laju suara yang digunakan pada medium zat cair, yaitu air laut,maka laju suara di udara yang dilambangkan dengan (v), dapat dirubah dengan laju suara di
Kemudian dari data yang diperoleh dapat ditampilkan kedalam bentuk grafik yang diinginkan, yaitu grafik diagram batang dan grafik diagram stock untuk bagian kiri dan kanan data suara. Gambar contoh spektrum suara yang
dihasilkan dari Raven lite 1.0 software dapat dilihat pada Gambar 6, sedangkan Gambar 7 menunjukkan spektogram hasil perekaman suara yang berasal dari spektrum lumba-lumba dan diolah dengan menggunakan SIG View 2.7.1
Tabel 1. Kondisi dan prosedur yang direkomendasikan oleh Environment Canada, (1997) untuk melakukan uji toksikan rujukan dengan menggunakan larva Chironomus sp. Jenis uji Toksikan rujukan Frekuensi uji Larutan uji Pergantian larutan Kontrol/air pelarut Biota uji
Gambar 6. Spektrum suara ikan lumba-lumba jantan hidung botol ( Tursiops aduncus) (Lubis et al., 2016a).
Substrat untuk biota uji Wadah uji Volume larutan uji Jumlah ulangan Suhu Pencahayaan Aerasi Pemberian pakan Pengamatan Pengukuran kualitas air Nilai akhir (endpoints) Validitas uji
Gambar 7. Pseudogram spektrum ikan lumba-lumba jantan hidung botol ( Tursiops aduncus) (Lubis et al., 2016b).
Gambar 6 merupakan hasil spektrum suara lumba-lumba jantan hidung botol yang diperoleh dengan melakukan proses menggunakan perangkat lunak Raven Pro 1.0, dengan panjang waktu perekaman yaitu 700 ms, dan dengan sumbu y adalah besarnya frekuensi yang dihasilkan dari data spektrum yang diolah. Gambar 7 merupakan spektrum hasil perekaman suara yang dihasilkan dari lumba-lumba, dengan
46
: statis, 96 jam, uji toksisitas dengan hanya menggunakan air : tembaga sulfat (CuSO4), kadmium klorida (CdCl 2), potasium klorida (KCl), atau sodium klorida (NaCl) : sebulan sekali, atau bersamaan dengan uji definitif : kontrol dan sedikitnya 5 konsentrasi uji : tidak dilakukan : air yang digunakan untuk kultur/pemeliharaan biota uji, kelarutan oksigen mencapai 90 % saturasi : larva Chironomus tentans atau Chironomus riparius, tahap instar kedua, 10 ekor per wadah : pasir silika : 300 ml gelas Beaker, diameter 7 cm, dilengkapi tutup : 200 ml : idealnya >2 per konsentrasi : rata-rata harian, 23±1 oC : fluoresent atau yang setara, 500-1000 lux, 16 jam terang : 8 jam gelap : tidak dilakukan TM TM : makanan ikan (misal, Tetrafin atau Nutrafin ), : setiap hari, setiap wadah, catat jumlah kematian biota pada tiap wadah : setiap hari, setiap perlakuan, catat konsentrasi oksigen terlarut, suhu, pH, alkalinitas, konduktivitas : persentase rata-rata kelulushidupan (survival) pada tiap perlakuan, 96 jam LC50 : rata-rata kelulushidupan (survival) pada kontrol setelah 96 jam >90%
sumbu x adalah waktu dengan maksimal waktu adalah 600 ms, dan sumbu y merupakan frekuensi dengan frekuensi maksimum adalah 22.000 Hz. Proses analisa data spektrum dan karakteristik dari suatu objek atau target dalam penerapan ilmu bioakustik, biasanya tidak lepas dari aspek fourier transformation dan power spectral density yang biasa digunakan untuk melihat hubungan berikut :
3
Bioakustik menggunakan instrumen pasif yang biasa disebut dengan hydrophone, yang berfungsi untuk mendengarkan suara bawah air. Alat ini mengkonversi suara yang datang dari dalam air yang menjadi sinyal eletrik, dan kemudian dapat diamplifikasi, dianalisis, atau diperdengarkan di udara (Urick, 1983 dalam Pitcher, 1986).Hydrophone biasanya berupa suatu lempengan piezo-electric ceramic (Simmonds & McLennan, 2008). Dolphin EAR
Hydrophone mampu mendeteksi frekuensi suara pada 1-2 Hz. Ambang batas terendah pendengaran manusia hanya mampu mendengarkan suara hingga frekuensi 18-20 Hz. Suara-suara di luar ambang batas pendengaran normal manusia, dapat didengar menggunakan Dolphin EAR Hydrophone yang dilengkapi dengan Raven lite 1.0 software. Gambar 5, merupakan contoh satu set alat perekaman dalam bioacoustics hydrophone .
Gambar 5.Set alat perekam suara, (a) Hidrofon, (b) Headphone, (c) catu daya/baterai, dan (d) laptop untuk data logging dan data processing (Lubis, 2014).
Gambar 1.Contoh grafik kontrol uji toksikan rujukan (http://www.etsnclab.com/quality-assurancequality-control/reference-toxicant-testing)
Grafik kontrol dibuat sedemikian rupa agar axis x merupakan identitas tanggal uji atau urutan uji toksisitas, dan axis y merupakan identitas konsentrasi nilai akhir (LC50, EC50, atau IC50). Nilai rata-rata dan deviasi standar (SD) digunakan sebagai kisaran dari variasi ‘nilai normal’ atau ‘nilai yang dapat diterima’. Kisaran ± 2 SD merupakan batas atas dan bawah dari nilai rata-rata, menggambarkan 95% batas kepercayaan (Confidence Limits) (Environment Canada, 1992). Hasil uji toksikan rujukan dianggap dapat diterima apabila berada dalam kisaran batas kepercayaan 95%. Pada kisaran tersebut, data pencilan (outliers) diharapkan hanya
muncul sebanyak 5% saja. Nilai hasil uji toksikan rujukan di luar toleransi tersebut tidak berarti presisi data yang dihasilkan meragukan, namun lebih pada perlu adanya evaluasi terhadap semua prosedur uji dan kondisi organisme uji. Bergantung pada hasil temuan, kemungkinan diperlukan adanya upaya untuk mengkoleksi dan mengkultur populasi baru biota uji yang sama (Environment Canada, 1992). Uji menggunakan toksikan rujukan dapat dilakukan melalui pemaparan dengan air saja selama 48-96 jam atau dengan sedimen yang telah ditambahkan toksikan ke dalamnya (spiked sediments) selama 7-10 hari. Pemaparan dengan menggunakan air saja dipilih, karena lebih sedikit
4
PENGOLAHAN DATA SUARA
dari gangguan (noise), kemudian diolah dengan menggunakan program Wavelab 6.0. Data Data suara yang telah terekam oleh dilakukan perubahan bentuk dari bentuk suara digital voice recorder dalam bentuk file ke bentuk angka dengan menggunakan analisa ekstensi *.VY4, direkam ulang dengan data FFT pada program Wavelab 6.0 yang menggunakan program Advanced Sound kemudian dilakukan pemindahan data dari Recorder 6.0 yang akan menghasilkan data bentuk ekstensi *.WAV menjadi *.txt. Setelah suara dalam bentuk ekstensi *.mp3. Selanjutnya menjadi bentuk *.txt, data diolah dengan data suara yang sudah dalam bentuk ekstensi menggunakan program Microsoft Excel *.mp3 disimpan kedalam bentuk ekstensi melakukan rataan terhadap angka per 1000 Hz, *.WAV dengan menggunakan program Wavelab dan didapat data yang memiliki rentang angka 6.0. Proses analisa data dapat dilihat pada antara 0 - 22000 Hz. Rataan tersebut kemudian Gambar 5. dirubah kedalam bentuk desibel dengan Setelah data suara berada dalam menggunakan persamaan : bentuk ekstensi *.WAV, suara selanjutnya dB = 10 Log n (1) dilakukan proses menghilangkan gangguan (noise) dengan menggunakan program Cool dimana : n = jumlah rataan per 1000 Hz Edit Pro 2.0. Data suara yang telah dibersihkan (Au & Martin, 1989)
45
variabel yang terlibat, sehingga hasil yang diperoleh lebih konsisten dibandingkan dengan penggunaan spiked sediments. Prosedur standar untuk melakukan uji spiked sediments saat ini belum ada, dan toksisitas sampel sedimen akan dipengaruhi oleh karakteristik sedimen dan perbedaan prosedur yang dilakukan (Burton et al., 2003).
dipengaruhi oleh kondisi organisme, larutan uji, dan kondisi uji. Krustase Ceriodaphnia rigaudi merupakan organisme yang paling sensitif khususnya terhadap Cr6+ dengan LC50 sebesar 0,002 mg-1. Sementara itu, krustase Daphnia magna menunjukkan resistensi yang paling besar dibandingkan organisme uji lainnya dengan LC50 sebesar 4868,7 mg l-1.
PENGGUNAAN BEBERAPA TOKSIKAN RUJUKAN DALAM UJI TOKSISITAS Gambar 3 Eko-lokasi paus dalam penerapan bioakustik (Branstetter et al.,2016).
Pada Gambar 3 menunjukkan waktu enam detik di antara bunyi click yang sudah keluar dengan echo yang kembali. Branstetter et al.,(2016) menyatakan bahwa diperlukan setengah waktu untuk suara click hingga mencapai obyek, artinya obyek ditempuh dalam waktu tiga detik. Apabila kecepatan suara di dalam air adalah 1500 m/s, maka obyek tersebut berada pada jarak 4500 meter dari paus (3 seconds times 1500 metres/second = 4500m). Eko-lokasi ini menunjukkan bahwa paus mempunyai produksi suara yang sangat baik, termasuk sistem penerimaan suara. Sistem penerimaan suara pada cetaceans sudah sangat maju, karena dari arah dan waktu echo yang kembali, binatang ini dapat mengetahui bentuk obyek dan bahannya. Cetaceans dapat mengetahui derajat suara, seperti manusia, bahkan hingga sepersepuluh milliseconds, suatu nilai yang lebih tinggi dari kemampuan manusia.
SISTEM PEREKAMAN SUARA BAWAH AIR Seluruh pengindraan akustik menggunakan mikrofon dan transduser untuk mendeteksi energi akustik, dan kemudian mengkonversinya menjadi sinyal listrik (Greene, 1997), sedangkan untuk perekaman suara bawah air menggunakan hidrofon (Gambar 4). Hidrofon adalah mikrofon bawah air yang menangkap sinyal akustik, kemudian mengubah energi tersebut menjadi energi listrik dan digunakan dalam sistem akustik pasif. Pengukuran sinyal suara yang ingin diketahui adalah dengan mengukur Signal to Noise Ratio (SNR), yaitu rasio antara level sinyal suara yang diterima (received level of a sound signal) terhadap level kebisingan latar (background noise level) (Greene, 1997).
PENUTUP
Penggunaan toksikan rujukan juga diperlukan untuk menentukan jenis organisme apa saja yang layak dijadikan sebagai biota uji. Hal tersebut membutuhkan perbandingan sensitivitas dan respon biologis biota uji yang dapat terukur (endpoints). Sensitivitas bermacam organisme dapat dirankingkan, dan spesies yang paling cocok sebagai biota uji dapat diidentifikasi (Achiorno et al., 2010). Achiorno et al., (2010) dan Struewing et al., (2015) merangkum penggunaan beberapa toksikan rujukan dalam uji toksisitas terhadap berbagai organisme perairan tawar (Tabel 2). Beberapa toksikan yang diujikan memiliki pengaruh buruk terhadap lingkungan perairan. Sodium Dodecyl Sulfate (SDS) merupakan surfaktan sintetis yang digunakan di seluruh dunia, biasa terdapat dalam pembersih, kosmetik, sabun cair, sampo, dan pasta gigi. Sementara itu, kadmium (Cd) dan kromium (Cr) merupakan logam berat beracun yang persisten di lingkungan perairan. Variasi sensitivitas organisme uji terhadap toksikan rujukan berbeda-beda meskipun jenis organisme dan tahap pertumbuhannya sama. Hal tersebut
Gambar 4. Hidrofon jenis SQ3 ( Anonim, 2015). 44
5
Penggunaan toksikan rujukan merupakan salah satu cara penerapan jaminan kualitas dan pengendalian kualitas (Quality Assurance Quality Control / QA-QC) untuk memperoleh kualitas data yang baik, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Selain logam, beberapa jenis garam dapat digunakan sebagai toksikan rujukan, namun pada dasarnya harus memperhatikan kriteria tertentu dalam menggunakan suatu bahan kimia sebagai toksikan rujukan. Kriteria toksikan rujukan yang ideal adalah bersifat toksik pada konsentrasi yang rendah, mematikan dengan cepat, non-selektif, dan dapat dideteksi atau dianalisis dengan teknik yang umum diketahui. Penggunaan masing-masing toksikan rujukan dalam uji toksisitas harus dilakukan berulangkali dengan menggunakan biota uji yang sama untuk menghasilkan kumpulan data sensitivitas, yang kemudian diplotkan pada grafik kontrol dengan nilai toleransi berkisar ±2 SD. Hasil uji toksisitas toksikan rujukan di luar toleransi tidak berarti presisi data yang dihasilkan meragukan, namun menuntut adanya evaluasi terhadap semua prosedur uji dan kondisi kesehatan organisme uji.
Tabel 2.Penggunaan beberapa toksikan rujukan dalam uji toksisitas terhadap berbagai organisme perairan. Nilai Akhir (Endpoint) LC50 LC50 LC50 LC50 LC50 LC50 LC50 LC50 LC50 LC50 LC50 LC50 LC50 LC50
Organisme uji Sodium Dodecyl Sulfate (SDS) (Achiorno et al. , 2010) Ceriodaphnia dubia Ceriodaphnia dubia Daphnia magna Daphnia magna Utterbackia ibecillis Utterbackia imbecillis Actinonaias pectorosa Actinonaias pectorosa Kadmium (Cd2+) (Achiorno et al. , 2010) Tubifex tubifex Tubifex tubifex Daphnia ambigua Daphnia magna Ceriodaphnia dubia Actinonaias pectorosa Kromium (Cr6+) (Achiorno et al. , 2010) Ceriodaphnia rigaudi Daphnia magna Diplodon chilensis Sodium klorida (NaCl) (Struewing et al. , 2015) Centroptilum triangulifer Centroptilum triangulifer Ceriodaphnia dubia Ceriodaphnia dubia Daphnia magna Daphnia magna
Potasium klorida (KCl) (Struewing et al. , 2015) Centroptilum triangulifer Centroptilum triangulifer Ceriodaphnia dubia Ceriodaphnia dubia Daphnia magna Daphnia magna
LC50 LC50 LC50
0.002 0.78 20.40
LC50 LC50 LC50 LC50 LC50 LC50
658.7 833.1 2504.3 1571.3 4868.7 4312.0
LC50 LC50 LC50 LC50 LC50 LC50
6
Konsentrasi (mg l-1) 1.26 48.40 1.80 9.60 40.36 30.78 33.56 34.38 0.06 1.46 0.00009 0.003 0.100 0.057
Waktu pemaparan 48 jam 48 jam 48 jam 48 jam 96 jam 96 jam 96 jam 96 jam 48 jam 48 jam 48 jam 48 jam 48 jam 96 jam 48 jam 48 jam 96 jam 48 jam 14 hari 48 jam 7 hari 48 jam 96 jam
1956.7 >2000 579.3 638.3 699.8 673.7
48 jam 14 hari 48 jam 7 hari 48 jam 96 jam
Gambar 2. Passive Sonar Equation (Urick, 1975)
suara stridulatory lainnya memiliki amplitudo besar, yang tersebar secara seragam diseluruh frekuensi. Winn (1991) menyatakan bahwa frekuensi yang dicapai dapat berkisar hingga lebih dari 6000 Hz. Lubis & Pujiyati (2015) menyatakan bahwa kondisi lingkungan dan parameter (salinitas dan suhu) sangat mempengaruhi nilai intensitas dan frekuensi yang dihasilkan dari target, semakin ekstrim suatu lingkungan, maka akan menyebabkan rendahnya nilai intensitas dan frekuensi yang dihasilkan. Penerapan ilmu bioakustik dalam perikanan biasanya diterapkan dengan menggunakan mamalia laut, contohnya pada paus yang biasa disebut dengan ekolokasi pada paus. Eko-lokasi adalah bagaimana paus menggunakan suara untuk mengetahui lokasi obyek (misalnya mangsa), dan menentukan posisi paus di laut yang luas dalam tiga dimensi. Apabila waktu suara dipantulkan setelah membentur target, maka terjadi echo. Paus mengeluarkan suara pendek yang disebut clicks, dan dapat menentukan lokasi obyek melalui echo yang terbentuk. Jarak dari obyek tersebut dapat diketahui dengan memperhitungkan lamanya echo kembali ke paus. Skematis ekolokasi paus dapat dilihat pada Gambar 3 .
Source level (SL) adalah jumlah suara yang dipancarkan oleh sebuah transducer. Transmission Loss (TL) adalah intensitas energi suara yang berkurang saat merambat pada medium. DT (Detection Threshold) adalah rasio sinyal-noise yang diperlukan sinyal target dan merupakan fungsi dari receiver (penerima). Ilmu akustik sangat berkembang pada penelitian lumba-lumba, peneliti sebelumnya telah menekankan rekaman dan analisis vokalisasi (Evans, 1966; Herman & Tavolga, 1980; Norris, 1969; Popper, 1980; Watkins & Wartzok, 1985). Penelitian bioakustik ini dibutuhkan untuk dapat mengetahui bahasa komunikasi (acoustic communication) pada mamalia. Bioakustik tidak lepas dari penggunaan hydrophone sebagai alat perekam suara, dengan tekanan akustik direkam pada hidrofon adalah sumber waktu gangguan tekanan pada laut (ÄP) yang relatif sangat sensitif terhadap tekanan latar belakang laut di kedalaman perekaman pada medium air. Ilmu bioakustik juga mempelajari tentang stridulatory, yaitu suara yang dihasilkan dengan cara menggerakkan atau menggemeretakkan bagian-bagian tubuh, misalnya: sirip, gigi, dan bagian tubuh lainnya yang keras (Walker, 1997; Pitcher, 1986). Ikan bertulang keras (teleost) memiliki suara yang dihasilkan dari kepakan sirip, dan beberapa jenis
43
echo dari ikan tunggal dapat dengan mudah dipisahkan dan dihitung satu persatu. Metode echo counting jarang digunakan dalam menduga kelimpahan ikan yang bergerombol. Hal ini disebabkan karena densitas ikan tidak homogen dan pada umumnya tinggi, sehingga akan menyebabkan terjadinya overlap dari echo ikan. Echo dari ikan yang berada di dasar perairan, memiliki sinyal yang lebih kuat dibandingkan dengan ikan yang berada di dasar perairan (Simmonds & McLennan, 2008). Zimmer (2011) menyatakan bahwa metode akustik pasif digunakan untuk memonitor mamalia laut. Pada umumnya, sinyal yang didapatkan dari perekaman suara hewan bernilai sangat lemah, sehingga memerlukan amplifikasi/penguatan dan sulit menentukan dari mana datangnya arah suara. Konsep dasar dari akustik pasif pada mamalia adalah dengan mendeteksi suara, ketika mamalia tersebut berada
pada area pengukuran. Pengukuran tersebut dilakukan dengan mengunakan perangkat lunak, dan juga dengan mendengarkannya. Metode akustik pasif juga digunakan oleh militer dalam mengembangkan sistem keamanan dari penyerang bawah air pada daerah estuari, dengan melakukan perekaman suara yang ditimbulkan oleh penyelam bawah air laut (Borowski et al., 2008). Akustik pasif tidak lepas dengan adanya suara (Sound). Suara adalah gelombang mekanik dari energi yang mengubah tekanan pada medium (udara atau air) pada saat gelombang tersebut bergerak.Perubahanperubahan tekanan ini dideteksi oleh pendengaran kita, dan dipancarkan ke otak untuk diinterpretasi. Gelombang suara yang diinterpratasikan oleh Rarefaction, Condensation, Air pressure, time dapat dilihat pada gambar 1.
DAFTAR PUSTAKA
and Chironomus riparius) (p. 131). Ottawa, Ontario.
Achiorno, C. L., C. De Villalobos, and L. Ferrari, 2010. Validation test with embryonic and Myers, J. H., S. Duda, L. Gunthorpe, and larval stages of Chordodes nobilii G. Allinson, 2006. Assessing the (Gordiida, Nematomorpha): sensitivity to performance of Hormosira banksii three reference toxicants. Chemosphere, (Turner) Desicaine germination and 81(2), 133–140. growth assay using four reference toxicants. Ecotoxicology and Burton, G. A. J., D. L. Denton Ho, K., and D. S. Environmental Safety, 64(3), 304–11. Ireland, 2003. Sediment Toxicity Testing: Issues and Methods. In : D. J. Hoffman, Rand, G. M., and S. R. Petrocelli, 1985. B. . Rattner, G. A. J. Burton, and J. J. CairnsIntroduction. In G. M. Rand & S. R. (Eds.), Handbook of Ecotoxicology (2nd Petrocelli (Eds.), Fundamentals of ed., pp. 111–150). Boca Raton, Florida: Aquatic Toxicology (1st ed., pp. 1–28). CRC Press. Taylor & Francis. Environment Canada. 1992. Biological Test Method/ : Acute Test for Sediment Toxicity Using Marine or Estuarine Amphipods. Ottawa, Ontario. p. 83. Environment Canada. 1997. Biological Test Method/ : Test for Survival and Growth in Sediment Using the Larvae of Freshwater Midges (Chironomus tentans
Gambar 1.Gelombang suara (Anonim, 2015) Penerapan ilmu pasif akustik biasanya disebut dengan passive sonar, yang penerapannya biasanya disebut dengan ilmu Bioakustik (Bioacoustic) . Bioakustik ( Bioacoustics) adalah suatu disiplin ilmu yang menggabungkan biologi dan akustik, yang biasanya merujuk pada penelitian mengenai produksi suara, dispersi melalui media elastis, dan penerimaan pada hewan, termasuk manusia. Hal ini melibatkan 42
neurofisiologi dan anatomi untuk produksi dan deteksi suara, serta hubungan sinyal akustik dengan medium dispersinya. Temuan pada bidang ini memberikan bukti bagi kita tentang evolusi mekanisme akustik, dan dari sana, evolusi hewan yang menggunakannya (Simmonds & MacLennan, 2005). Sistem passive sonar dapat dilihat pada Gambar 2, yakni tentang mekanisme terjadinya persamaan passive sonar 7
Struewing, K., J. M. Lazorchak, P. C. Weaver, B. R. Johnson, D. H. Funk, and Buchwalter, D. B. 2015. Part 2: Sensitivity comparisons of the mayfly Centroptilum triangulifer to Ceriodaphnia dubia and Daphnia magna using standard reference toxicants; NaCl, KCl and CuSO4. Chemosphere, 139, 597–603.
Oseana, Volume XLI, Nomor 2, Tahun 2016 : 8- 13
ISSN 0216-1877
Oseana, Volume XLI, Nomor 2, Tahun 2016 : 41 - 50
ISSN 0216-1877
AKUSTIK PASIF UNTUK PENERAPAN DI BIDANG PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PEMANFAATAN KARAGENAN SEBAGAI EDIBLE FILM Oleh Rany Dwimayasanti
Oleh Muhammad Zainuddin Lubis , Sri Pujiyati 2 , Pratiwi Dwi Wulandari3,
1)
1
ABSTRACT
ABSTRACT
THE USE OF CARRAGEENAN AS EDIBLE FILM.Carrageenan is a polysaccharide sulfate extracted from red seaweed (Rhodophyceae). Carrageenan constituent, which are in the hydrocolloid form, are capable to produce composites, has the potential to be used as a biodegradable packaging material. The use of carrageenan-based edible film packaging is a good alternative to improve endurance and quality of food products during the storage. The success in the making of edible film can be seen from the characteristics of the edible film products. Characteristics of edible film that are used as parameters including the thickness, tensile strength, water vapor transmission rate and the solubility of the film.
APPLICATION OF PASSIVE ACOUSTIC FILED FOR FISHERIES AND MARINE SCIENCE. Detects the sound frequency range of fish, the intensity of the sound amplitude, sound fluctuations, and shape the sound patterns of the fish. Passive acoustic methods used to monitor marine mammals expressed. In general, the signal obtained from the ranimal record sounds is poor and difficult to determine from which directions it is produced, therefore it requires that require amplification / strengthening. Bioacoustic research is needed to identify the communication language (Acoustic communication) in mammals. Bioacoustic detectmammal-produced frequency ranges of sound, amplitude intensity of sound, voice fluctuation, and form sound patterns of mammals. Studying bioacoustic is inseparable from the science of underwater acoustics, biology of mammals, and the study of mammalian behavior. Generally bioacoustic include physiology of mamals organ that produce sound, earnings voice mechanism, sound characteristics of mammals, mammals soundapproaching mechanism, the hearing capacity of fish, and the evolution of the auditory system, and to obtain the frequency range of each sound produced by the dolphins (mammals). Environmental conditions and parameters (salinity and temperature) will greatly affect the value of the intensity and frequency generated from the target, the more extreme the environmental conditions, the lower value of the intensity and frequency generated.
pangan. Pembuatan karagenan menjadi edible film merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pemanfaatan karagenan. Pemanfaatan rumput laut menjadi karagenan adalah sebagai salah satu bahan dasar pembuat edible film, yang dapat mendorong industri untuk menghasilkan karagenan (Amin, 2008). Pengemasan suatu produk merupakan sesuatu yang sangat penting untuk memberikan perlindungan bagi bahan pangan yang akan dikemasnya. Selama ini, kemasan suatu produk yang paling populer adalah kemasan plastik. Penggunaan polimer sintetik seperti plastik akhir-akhir ini menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, karena polimer sintetik sulit didegredasi secara alami baik oleh komponen biotik, seperti mikroorganisme pengurai maupun komponen abiotik misalnya sinar matahari. Hal ini menimbulkan masalah yang sangat besar
PENDAHULUAN Wilayah Indonesia sebagian besar merupakan wilayah yang memiliki potensi hasil kelautan yang besar dan melimpah. Salah satu potensi yang dimiliki oleh Indonesia yaitu rumput laut. Rumput laut memiliki nilai ekonomi yang tinggi, khususnya bagi yang dapat menghasilkan karagenan. Karagenan merupakan rumput laut merah (Rhodophyceae) yang berupa polisakarida sulfat, yang memiliki sifat-sifat penting dalam produk pangan, misalnya sebagai pencegah kristalisasi, pengemulsi, pembentuk gel, pengental, koloid pelindung dan penggumpal (Winarno, 1990). Industri yang ada di Indonesia saat ini mampu menghasilkan karaginan murni (refined carageenan) atau formula produk karagenan siap pakai, yang dapat digunakan untuk industri
PENDAHULUAN Akustik adalah ilmu yang membahas tentang gelombang suara dan perambatannya dalam suatu medium. Akustik kelautan merupakan suatu bidang ilmu kelautan yang berfungsi untuk mendeteksi target di kolom perairan dan dasar peairan, dengan menggunakan gelombang suara. Aplikasi ilmu akustik kelautan akan mempermudah seorang 1)
Dosen Teknik Geomatika, Politeknik Negeri Batam (
[email protected]) Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB 3) Mahasiswa Sarjana Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan 2)
1)
peneliti untuk mengetahui objek yang ada di kolom perairan dan dasar perairan, baik berupa plankton, ikan, kandungan substrat dan bahkan adanya kapal kandas (Simmonds & McLennan, 2008). Metode akustik yang digunakan untuk memperoleh data kelimpahan ikan, dapat menggunakan metode dasar berupa echo counting dan echo integration.Echo counting dapat menghitung densitas ikan pada saat volume yang disampling rendah, dimana nilai
UPT Loka Konservasi Biota Laut Tual
8
41
Lafoley D. d’A., and Grimsditch G (Eds). 2009. Communities in The Carribean. Letters to The Management of Natural Coastal Nature Vol 427: 533-536. Carbon Sinks. IUCN., Gland, Nellemann C., E.Corcoran, C.M. Duarte, Valdes Switzerland.64 hlm. L., De Young C., Fonseca L., Grimsditch Lalli, C.M. and T.R. Parsons. 1995. Biological G (Eds). 2009. Blue Carbon; The Role of Oceanography: An Introduction. Healthy Oceans in Binding Carbon. A Oxford, UK: Butterworth-Heinemann Rapid Response Assessment. United Ltd.220-233. Nations Environment Program. 35-44. Langdon C. 2000. Overview Of Experimental Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut: Suatu Evidence For Effects Of CO 2 On Pendekatan Ekologi. Gramedia. Jakarta. Calcification Of Reef Builders.Proc.9th 459 hlm. International Coral Reef Symposium, Pranowo, W.S., S. A. Novi, R. Agustin, L. Terry Oct 23-27, 2000, Bali,Indonesia.9 hlm. K., Berny A. S., and Tukul R. A., Sugiarta Lipp, J.S., Y. Morono, H. Inagaki, and K.U. W., 2010. Rencana Strategis Riset Hinrichs. 2008. Significant Contribution Karbon Laut di Indonesia. Pusat of Archaea to Extant Biomass in Marine Penelitian dan Pengembangan Sumber Subsurface Sediments. Nature. Vol 454 : Daya Laut dan Pesisir. Edisi II. 77 hlm. 991-994. Sunarto. 2008. Penyediaan Energi Karbon Dalam Lutz M.J., N. Christian and B. Allison (Eds). Simbiosis Coral-Alga. Skripsi. Fakultas 2014. The Abu Dhabi Blue Carbon Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Demonstration Project; An Introductory Padjajaran. Guide. Abu Dhabi Global Environment Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Data Initiative (AGEDI).1-16. Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta. McCloskey LR, DS Wethey and JW Porter 129 hlm. (1978) Measurement and interpretation Ware, J.E., K.K. Snow, M. Kosinski, and Gandek, of photosynthesis andrespiration in reef B. 1993. SF-36 Health Survey Manual corals. In: Stoddart OR, Johannes RE and Interpretation Guide. The Health (eds) Coral reefs: research methods. Institute. Boston, MA.23 hlm. UNESCO, UK: 379-396. The Science of Climate McCook L.J. 1999. Macroalgae, Nutrients andWigley T.M.L. 1999. Change: Global and U.S. Perspectives Phase Shifts on Coral Reefs: Scientific Prepared for the PEW Center on Global Issues and Management Consequences Climate Change: 48 hlm. For The Great Barrier Reef. Coral Reef. Vol. 18 : 357-367. Wilkinson, C. (ed). 2000. Status Of Coral Reefs Of The World. Global Coral Reef Mumby P., A. Edwards, G. E. Arias, Lindeman Monitoring Network and Austr Inst Mar K., P. Blackwell, A. Gall, Gorczynska M., Sci, Townsville , Australia :363 hlm. Harborne A., Pescod C., Renken H., Wabnitz C., Llewellyn G. 2004. Mangroves www.nature.com Enhance and Biomass of Coral Reef Fish www.wikipedia.com
40
bagi lingkungan (Nugroho et al., 2013). Oleh karena itu, saat ini dengan diberlakukannya persyaratan bahwa kemasan yang digunakan adalah kemasan yang ramah lingkungan dan biodegradable, maka salah satu penggunaan kemasan yang baik adalah dengan menggunakan edible film berbasis karagenan. Pembuatan karagenan menjadi edible film merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pemanfaatan dari karagenan, dimana sifat dari karagenan itu sendiri mampu membentuk gel yang baik (Handito, 2011).
sangat baik sebagai penghambat perpindahan gas, sehingga efektif untuk mencegah oksidasi lemak. Komponen volatil yang hilang atau yang diserap oleh produk dapat diatur dengan melakukan pelapisan edible film (Hui, 2006). Menurut (Donhowe & Fennema, dalam Handito, 2011), berdasarkan bahan penyusunnya, edible film dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: 1. Hidrokoloid misalnya protein, turunan selulosa, alginat, karagenan, pektin, pati, gum Arabic; 2. Lipida misalnya lilin (wax), asam lemak (asam palmitat, asam stearat); dan 3. Kombinasi (komposit), yang mengandung lipida dan hidrokoloid. Karagenan merupakan polimer hidrofilik berupa polisakarida sulfat yang dapat diekstrak dari rumput laut merah (Rhodophyceae) (Milani & Maleki, 2012). Berdasarkan kandungan sulfatnya, karagenan diklasifikasikan menjadi kappa, iota, dan lamda dengan jumlah sulfatnya berturut-turut 20%, 33%, dan 42% (Yuguchi et al., 2002). Menurut Syamsuar dalam Santoso et al. (2013), pembentukan gel yang ada pada karagenan merupakan suatu penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Jala tiga dimensi yang bersambungan ini merupakan matriks utama edible film. Matriks ini bersifat kuat dan kaku, namun terdapat ruang kosong. Sedangkan yang mengisi ruang kosong tersebut adalah bahan pembentuk film yang lain, misalnya plasticizer. Plasticizer berperan untuk meningkatkan fleksibilitas dan plastisitas film. Plasticizer didefinisikan sebagai substansi yang tidak menguap, memiliki titik didih tinggi, dan apabila ditambahkan ke dalam material lain dapat mengubah sifat fisik dan sifat mekanik material tersebut (Lee & Wan, 2005). Mindarwati (2006) menambahkan bahwa Plasticizer yang umum diguakan yaitu gilserol. Gliserol merupakan
APA ITU EDIBLE FILM ? Edible film merupakan lapisan tipis yang dapat dikonsumsi, dan digunakan sebagai kemasan bahan makanan (McHugh & Krochta, 1994). Menurut Skurtys et al. (2010), edible film merupakan salah satu alternatif kemasan makanan yang bersifat ramah lingkungan, dan dapat mempertahankan kualitas produk. Edible film didefinisikan sebagai lapisan tipis dengan ketebalan < 0,25 mm, dapat dimakan, yang berfungsi sebagai barrier terhadap transfer massa (kelembaban, oksigen, lipid dan zat terlarut). Hal yang membedakan antara edible coating dan edible film adalah cara pengaplikasiannya. Edible coating langsung dibentuk pada produk, sedangkan edible film pembentukannya tidak secara langsung pada produk yang akan dikemas (Hui, 2006). Edible film berfungsi sebagai penghambat perpindahan uap air, menghambat pertukaran gas, mencegah kehilangan aroma, mencegah perpindahan lemak, meningkatkan karakteristik fisik, dan sebagai pembawa zat aditif (Krochta & Johnston, 1997). Jumlah karbondioksida dan oksigen yang kontak dengan produk merupakan salah satu yang harus diperhatikan untuk mempertahankan kualitas produk, dan akan berakibat pula terhadap umur simpan produk. Film yang terbuat dari protein dan polisakarida pada umumnya
9
suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas tiga atom karbon. Jadi setiap atom karbonnya mempunyai gugus “–OH”. Satu molekul gliserol dapat mengikat satu, dua, atau tiga molekul asam lemak dalam bentuk ester yang disebut monogliserida, digliserida dan trigliserida. Peran gliserol sebagai plasticizer dan konsentrasinya meningkatkan fleksibilitas film (Bertuzzi et al., 2007). Winarti et al. (2012) juga menambahkan bahwa penambahan gliserol dalam pembuatan edible film akan meningkatkan fleksibilitas dan permeabilitas film terhadap gas, uap air, dan gas terlarut. Penambahan plasticizer gliserol juga berpengaruh terhadap kehalusan film. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN EDIBLE FILM Kelebihan karagenan sebagai edible film yaitu dapat membentuk gel yang baik, elastis, dapat dimakan, dan dapat diperbaharui. Meskipun demikian, edible film dari karagenan mempunyai kelemahan yaitu kemampuannya yang rendah sebagai barrier terhadap transfer uap air, sehingga membatasi pemanfaatannya sebagai bahan kemasan (Handito, 2011). Santoso et al. (2005) menambahkan bahwa secara umum ada beberapa keunggulan edible film, terkait penggunaannya sebagai bahan pengemas makanan, antara lain: 1. Dapat menurunkan “aw” permukaan produk, sehingga kerusakan yang disebabkan oleh mikroorganisme dapat dihindari; 2. Dapat memperbaiki struktur permukaan bahan sehingga permukaan menjadi mengkilat; 3. Dapat mengurangi terjadinya dehidrasi, sehingga susut bobot dapat dicegah; 4. Dapat mengurangi kontak oksigen, sehingga proses oksidasi dapat dihindari; 5. Sifat asli produk seperti flavor tidak mengalami perubahan; serta 6. Dapat memperbaiki penampilan produk.
10
KARAKTERISASI EDIBLE FILM Keberhasilan dalam pembuatan edible film dapat ditentukan dari karakterisasi film yang dihasilkannya. Sifat fisik dari edible film dapat menentukan fleksibilitas dari kemasan, semakin kecil nilai ketahanan tarik dan semakin besar nilai elongasi edible film akan lebih aplikatif. Sifat mekanik menentukan kualitas dari kemasan, semakin kecil nilai laju transmisi oksigen (O2TR), dan laju transmisi uap air (WVTR) yang dihasilkan oleh suatu edible film, maka kualitas edible film tersebut akan semakin baik (Irawan, 2010). Beberapa uji telah dikembangkan untuk menentukan sifat permeabilitas, karakteristik fisik, dan karakteristik mekanik edible film yang didasarkan pada metode uji standar untuk nonedible films. Uji-uji tersebut antara lain adalah sebagai berikut (Donwhowe & Fennema, 1994) : 1. Sifat permeabilitas uap air, 2. Sifat permeabilitas zat terlarut, 3. Sifat permeabilitas lemak, kuat tarik dan persen elongasi, berat dasar, serta ketebalan film. KEKUATAN TARIK Kekuatan tarik merupakan gaya tarik maksimum yang dapat ditahan oleh sebuah film hingga terputus. Kekuatan tarik yang terlalu kecil mengindikasikan bahwa edible film yang bersangkutan tidak dapat dijadikan kemasan, karena karakter fisiknya kurang kuat dan mudah patah. Menurut Irianto et al. (2005), semakin banyak karagenan yang digunakan dapat menyebabkan kemampuan dalam mengikat air mejadi lebih baik, sehingga dapat menghasilkan matriks gel yang dapat meningkatkan persentase kekuatan tarik yang baik. Krochta & Johnston (1997) menambahkan bahwa dengan semakin banyaknya penambahan karagenan, maka akan meningkatkan nilai kuat tarik edible film, karena karagenan mampu membentuk matriks polimer
Aset Pembangunan Berkelanjutan. Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 189 hlm.
Hubungan antara ekosistem terestrial yang berbatasan dengan ekosistem blue carbonyaitu padang lamun dan mangrove, dengan terumbu karang digambarkan pada Gambar 4. Terumbu karang, mangrove dan lamun memiliki hubungan ekologis yang sangat erat untuk keberlanjutan ekosistem pesisir secara luas. Pendekatan terumbu karang pada blue carbon mengikuti pendekatan ekosistem yang dapat menunjukkan dampak pada daratan, melindungi koridor yang menghubungkan ketiga habitat tersebut dan menjaga kemampuan resiliensi (daya pulih) dan produktivitas ekosistem terumbu karang (Lutz et al., 2014).
Donato C., J. Kauffman, D. Murdiyarso, S. Kurnianto, M. Stidham and M. Kanninen 2011. Mangroves Among The Most Carbon-Rich Forests In The Tropic. Nature Geoscience Vol 4 :293-297. Elfwing,T and M.Tedengren. 2000. A Comparison Of Production Effects Between Corals And Macroalgae At Increased Sea Water Temperature. Proc9th Coral Reef Symposium, Bali, Indonesia 23-27 October 2000, Vol2 :1139-11467.
PENUTUP Hingga saat ini para ahli masih memperdebatkan mengenai peran terumbu karang pada konteks blue carbon. Terumbu karang merupakan komunitas yang memiliki konektivitas yang erat dengan ekosistem mangrove, dan padang lamun sebagai carbon sink atau komunitas penyimpan blue carbon yang sebenarnya. Bagaimanapun, terumbu karang yang sehat akan bertindak sebagai produsen produktivitas primer di lingkungan pesisir, sehingga pada saat itu karang akan mampu menyerap karbon secara efektif.
Field C.B., J.B. Michael, T.R. James and F. Paul 1998. Primary Production of the Biosphere : Integrating Terrestrial and Oceanic Components. Science. Vol 281 : 237-240. Fourqurean J., C. Duarte, H. Kennedy, N. Marba, M. Holmer, and M. Mateo and Serrano. 2012. Seagrass Ecosystem As A Globally Significant Carbon Stock. Nature Geoscience Vol 5 : 505-509.
Gatusso, J-P, M. Frankignoulle and S.V. Smith. 1999. Measurement of Community Metabolism And Significance in The DAFTAR PUSTAKA Coral Reef CO2 Source Sink Debate. Proceeding National Academy of Anonimus, 2003. Coral Reef Productivity. http:/ Sciences (96): 13017-13022. /www.com.univ-mrs.fr/IRD/Atoll/ ecorecat/ecorec.htm . Diakses pada Hutahaean, A. 2013. Litbang Karbon Biru, tanggal 12 Februari 2016. Gunakan Ekosistem Laut Turunkan Emisi. www.kompasiana.com . Diakses tanggal Anonimus, 2010. Peran Ekosistem Terumbu 20 Maret 2016. Karang dan Pemanasan Global. www. coremap.or.id . Diakses pada tanggal 15 Koropitan, A.F. 2008. Are The Indonesia Seas Maret 2016. Carbon Sources or Sink.Dalam: V.P.H Nikijuluw, L. Adrianto dan N. Januarini Anonimus, 2016. Karbon Biru. www.hkti.org . (eds). MST Seminar Series 28 Mei 2008. Diakses pada tanggal 22 Februari 2016. Departemen Ilmu Kelautan dan Teknologi Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Institut Pertanian Bogor.227-251. 39
darat. Perakaran tumbuhan mangrove seperti Rhizopora sp., Avicennia sp., dan Sonneratia sp. menyediakan tempat memijah, bertelur dan Terumbu karang merupakan ekosistem makan bagi banyak biota yang ditemukan di yang berhubungan erat dengan blue carbon, karang. Mangrove diketahui sangat walaupun terumbu karang walaupun beberapa berpengaruh pada struktur komunitas ikan yang ahli mengatakan bahwa terumbu karang justru tinggal di lingkungan terumbu karang, termasuk merupakan sumber pelepas karbon (Gatusso et spesies biota yang memiliki nilai ekonomis al., 1999). Secara ekologis, mangrove dan sebagai komoditas perdagangan dan pariwisata, padang lamun memiliki hubungan yang sangat terutama jika habitatnya berhubungan dengan penting di dalam ekosistem pesisir, sehingga mangrove seperti ikan Napoleon (Mumby et al., kedua ekosistem ini disebut sebagai bagian 2004) . Di sisi lain, padang lamun seringkali penting yang tidak terpisahkan dari ekosistem membentuk laguna di antara mangrove dan terumbu karang yang lebih luas. Kesehatan, terumbu karang. Padang lamun berperan sebagai kelimpahan dan keragaman organisme yang dasar jaring makanan dan sebagai tempat tinggal membuat ekosistem terumbu karang untuk biota yang berasosiasi dengan terumbu berhubungan secara langsung ke lingkungan karang. Sebagai tambahan, terumbu karang juga darat dan laut di sekitarnya. Ekosistem berperan dalam melindungi habitat mangrove mangrove membantu menyeimbangkan garis dan padang lamun dari arus dan ombak keras pantai dan juga menyaring runoff dan nutrien, (Lutz et al., 2014) serta dapat memperlambat laju melindungi karang dari polusi yang berasal dari ombak yang datang ke pantai atau pesisir. PENDEKATAN TERUMBU KARANG PADA PROSES BLUE CARBON
Gambar 4 . Hubungan antara habitat terestrial dan ekosistem blue carbon (lamun dan mangrove) serta terumbu karang (sumber : Lutz et al, 2014) 38
unit tekanan uap antara dua permukaan tertentu, pada kondisi dan suhu tertentu (Korchta et al., 1997). Menurut Garcia et al (2000), migrasi uap air umumnya terjadi pada bagian film yang hidrofilik. Dengan demikian rasio antara bagian yang hidrofilik dan hidrofobik komponen film akan mempengaruhi nilai laju transmisi uap air KETEBALAN film tersebut. Semakin besar hidrofobisitas film, maka nilai laju transmisi uap air film tersebut akan Ketebalan merupakan parameter yang semakin menurun, sehingga dapat disimpulkan berpengaruh terhadap penggunaan film dalam bahwa semakin besar hidrofilisitas film, maka pembentukan produk yang dikemas nilai laju transmisi uap air film tersebut akan (Suryaningrum et al., 2005). Ketebalan film semakin naik. Semakin kecil migrasi uap air yang mempengaruhi permeabilitas terhadap uap air tejadi pada produk yang dikemas oleh edible dan gas. Semakin tinggi nilai ketebalannya, film, maka semakin baik sifat edible film dalam maka sifat dari edible film yang dihasilkan akan menjaga umur simpan produk yang dikemasnya. semakin kaku dan keras, serta dengan produk Batas standar maksimal laju transmisi uap air yang dikemas akan semakin aman dari pengaruh luar (Jacoeb et al., 2014). Semakin banyak yang ditetapkan oleh Japanese Industrial Standart dalam Krochta et al (1994) yaitu karagenan yang digunakan, maka nilai ketebalan maksimal 10 g/m2. edible film semakin tebal. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi jumlah karagenan yang KELARUTAN FILM digunakan pada matriks film, maka total padatan semakin tinggi. Total padatan diperoleh dari Kelarutan film merupakan faktor yang proses gaya tolakan (repulsion) antar muatanmenentukan biodegradibilitas film, ketika akan muatan negatif sepanjang rantai polimer yaitu digunakan sebagai pengemas. Ada film yang gugus sulfat, mengakibatkan rantai molekul dikehendaki tingkat kelarutannya tinggi atau yang kaku, karena sifat hidrofiliknya polimer justru sebaliknya, tergantung jenis produk yang tersebut dikelilingi oleh molekul-molekul air yang akan dikemasnya (Nurjannah dalam Nugroho termobilisasi, sehingga menyebabkan larutan et al., 2013). Menurut Garcia et al. (2000), karagenan bersifat kental (Santoso et al., 2013). penambahan konsentrasi karagenan pada film Menurut Mc Haugh et al (1994), apabila akan mempengaruhi padatan terlarut dalam ketebalan semakin meningkat, maka kemampuan edible film. Karagenan akan larut dalam tiappenahannya akan semakin baik, sehingga umur tiap rantai polimer dan mengisi semua ruang, simpan produk semakin panjang. Standar sehingga mengurangi gerakan molekul polimer, ketebalan edible film menurut Japanese dan akan menaikkan suhu transisi gelas. Industrial Standart dalam Krochta et al (1994) Semakin meningkat suhu transisi gelas, maka yaitu maksimal 0,25 mm. polimer yang terbentuk akan semakin keras dan kekuatan tarik pada film yang terbentuk akan LAJU TRANSMISI UAP AIR semakin tinggi. Pada penelitian Manuhara dalam Nugroho et al. (2013), edible film dari karagenan Laju transmisi uap air merupakan laju 0,15% secara signifikan memiliki kelarutan yang transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan lebih besar dari pada pada edible film yang yang permukaannya rata dengan ketebalan menggunakan karagenan 0,05%. Sehingga dapat tertentu, sebagai akibat dari suatu perbedaan yang kuat dan menjadikan kekuatan tarik intermolekul semakin kuat pada edible film. Standar minimal kuat tarik yang ditetapkan oleh Japanese Industrial Standard dalam Korchta et al (1994) yaitu minimal 40 Kgf/cm2.
11
disimpulkan bahwa dengan penambahan komponen yang bersifat hidrofilik pada edible film akan menyebabkan peningkatan persentase kelarutan film.
Properties of Edible Starch-Based Films and Coatings.Journal of Food Science 65(2):941–947.
PENUTUP Pemanfaatan karagenan menjadi edible film merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pemanfaatan dari karagenan. Selain itu, juga merupakan alternatif kemasan yang baik untuk meningkatkan daya tahan dan kualitas bahan pangan selama penyimpanan. Karakteristik dari edible film akan berubah seiring dengan penambahan jumlah dari karagenannya. Dengan penambahan jumlah karagenan tersebut maka dapat meningkatkan nilai ketebalan, kekuatan tarik, laju transmisi uap air serta nilai kelarutan dari edible film itu sendiri.
Handito, D. 2011. Pengaruh Konsentrasi Karagenan Terhadap Sifat Fisik dan Mekanik Edible Film. Agroteksos 21: 23. Hui, Y.H. 2006. Handbook of Food Science, Technology and Engineering Volume 3.CRC Press. USA 1:171-180. Irawan, S. 2010. Pengaruh Gliserol Terhadap Sifat Fisik atau Mekanik dan Barrier Edible Film dari Kitosan. Jurnal Kimia dan Kemasan 32(1):6-12.
Irianto, H.E., A. Susianti, M. Darmawan, dan Syamdidi. 2005. Pembuatan Edible Film DAFTAR PUSTAKA dari Komposit Karaginan, Tepung Tapioka dan Lilin Lebah. Jurnal Amin, H. 2008. Kajian Pembuatan Edible Film Penelitian Perikanan Indonesia. 11(2): Komposit dari Karagenan Sebagai 93-101. Pengemas Bumbu Mie Instant Rebus. Jurnal Agriplus 18(1):77-84. Jacoeb, A.M., N. Roni, dan P.S.D.U. Siluh, 2014. Pembuatan Edible Film dari Pati Buah Bertuzzi, M.A., E.F.C. Vidaurre, M. Armada and Lindur dengan Penambahan Gliserol dan J.O Gottifredi. 2007. Wate Vapour Karaginan.Jurnal Pengolahan Hasil Permeability Of Edible Starch Based Perikanan Indonesia. 17(1):14-21. Films. Journal Food Enggineering 80:972-978. Krochta, J.M., Baldwin and N. Carriedo, 1994. Edible Coating and Film to Improve Donhowe, G and O. Fennema, 1994. Edible Film Food Quality. Technomic Publishing Co. and Coating: Characteristic, formation, Inc., Pennsylvania:139-187 pp. definitions and testing methods. In J.M. Krochta, E.A. Baldwin, and M.O. Krochta, J.M. and C.D.M. Johnston, 1997. Edible Nisperos-Carriedo, (eds) Edible Coating an Biodegradable Films: Challenges and and Film to Improve Food Quality. Opportunities. Food Technology 51:61Technomic Publ. Co. Inc. Lancaster, 74. Pennsylvania: 378 pp. Lee, S. Y., and V.C.H Wan , 2005. Edible Films Garcia, M.A., M.N. Martino, and N.E. Zaritzky, and Coatings. In Handbook of Food 2000. Lipid Addition to Improve Barrier
12
sebanyak 0,02 – 0,08 miliar metrik ton karbon dioksida per tahun ke atmosfer (Ware et al., 1993). Konsekuensinya, walaupun karang Terumbu karang membentuk struktur merupakan sumber yang menyumbang karbon masif kalsium karbonat di perairan laut tropis ke atmosfer, tapi jumlahnya sangat kecil jika dangkal. Walaupun ekosistem terumbu karang dibandingkan dengan pembakaran bahan bakar menutupi kurang dari 0,1 persen wilayah fosil. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa permukaan bumi (Lutz et al., 2014), tetapi laut berfungsi sebagai sumber karbon. Koropitan terumbu karang bertanggungjawab pada (2008), telah melakukan riset siklus karbon di deposit kalsium karbonat di dalam laut. Terumbu Laut Jawa dengan mempertimbangkan sistem karang memproduksi sejumlah besar kalsium karbonat laut, arus laut, dan suplai dari daratan. karbonat yang seringkali diartikan bahwa Berdasarkan data yang ada, telah dikembangkan ekosistem ini merupakan tempat penyimpanan model matematika untuk mencoba meniru karbon yang berasal dari atmosfer. Bagaimana mekanisme di Laut Jawa. Penelitian ini menyimpun, bukan itu yang terjadi, karena ketika kalsium pulkan bahwa Laut Jawa berpotensi melepaskan mengalami proses presipitasi oleh karang selama karbon ke atmosfer dalam kisaran 0,001 – 0,003 proses kalsifikasiyaitu proses dimana organisme mol C/m2 per tahun. Angka ini termasuk kecil yang mendeposit karbon inorganik dalam bentuk (kurang dari 0,1%) dibanding dengan peluang padat untuk membentuk skeleton atau cangkang pelepasan karbon pada lokasi up welling kalsium karbonat maka karbon dioksida ekuator di Lautan Pasifik, yang merupakan sebenarnya terbentuk. Proses biologis lainnya, carbon source terbesar dari perairan global. sebagai tambahan proses kalsifikasi, juga Lokasi upwelling, yang memiliki berakibat pada jumlah karbon dioksida yang temperatur permukaan laut yang rendah karena dihasilkan atau dikonsumsi oleh ekosistem naiknya massa air dari lapisan bawah, namun terumbu karang. Proses metabolik ini termasuk memiliki kandungan Dissolve Inorganic Carbon respirasi yang menghasilkan karbon dioksida (DIC), atau kandungan karbon anorganik terlarut dan proses fotosintesis yang menggunakan yang tinggi. Beberapa publikasi di jurnal karbon dioksida. internasional menunjukkan bahwa daerah up Pada beberapa area terumbu yaitu pada welling umumnya bersifat sebagai carbon rataan terumbu karang, umumnya didominasi source. Penelitian yang dilakukan di lepas pantai oleh organisme laut yang berfotosintesis seperti Barat Sumatra (lokasi up welling) oleh suatu rumput laut dan padang lamun yang merupakan lembaga ke lautan Jepang pada bulan Agustus penyerap karbon-dioksida. Bagaimanapun, 2005 menunjukkan bahwa nilai perbedaan sebagian besar area terumbu lainnya dihuni oleh tekanan parsial CO2 antara laut dan udara pada organisme non fotosintesis yang aktivitas kisaran +16 sampai +27 µatm (Pranowo et al., respirasinya merupakan sumber dari karbon 2010). Nilai positif menunjukkan bahwa perairan dioksida. Akibatnya, pada sebagian besar sistem ini bersifat sebagai carbon source. Ada pula terumbu karang, hasil karbon dari proses hasil riset lainnya pada bulan Februari 1984 yang fotosintesis dan respirasi cenderung berada dilakukan oleh lembaga meteorologi Jepang. dalam kondisi yang seimbang, dan produk bersih Mereka mengukur perbedaan tekanan parsial ini hanya memberi sedikit kontribusi pada keselurupada sepanjang jalur yang memotong perairan han karbon dioksida yang diperlukan untuk selatan memasuki Selat Lombok, Selat Makassar karang yang didominasi oleh hasil kalsifikasi (Lutz et al., 2014). Sebagai hasil dari keseluruhan sampai ke arah Laut Sulawesi. Hasilnya tetap menunjukkan nilai positif yang berkisar pada proses, karang merupakan sumber karbon +4 sampai +20 µatm (Pranowo et al., 2010). dioksida yang secara global menyumbang KONTRADIKSI TERUMBU KARANG BUKAN PENYERAP BLUE KARBON
37
(Hutahaean, 2013). Secara keseluruhan potensi laut Indonesia mampu menyerap CO2 sebesar 219,8 juta ton per tahun. Jumlah ini sebesar 10,99% dari total karbon yang diserap oleh laut Indonesia tiap tahun (Hutahaean, 2013). Untuk
penyerapan karbon, maka mangrove yang diikuti padang lamun dan terumbu karang menempati posisi teratas. Estimasi serapan karbon per tahun disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Estimasi perbandingan penyerapan karbon oleh terumbu karang, mangrove, lamun dan rawa-rawa air laut (sumber : Nellemann et al., 2009) Penelitian COREMAP Fase II tahun 2008 menyebutkan bahwa kondisi terumbu karang di 14 kabupaten di Indonesia berada dalam kondisi baik, dengan rata-rata tutupan karang batu hidup sebesar 33,50% dan tutupan algae sebesar 44,67% (Anonim, 2010). Persentase tutupan alga yang lebih besar menunjukkan bahwa di dalam ekosistem terumbu karang peran alga lebih besar daripada peran karang batu sebagai penyerap CO 2 dan penghasil O2. Indonesia yang memiliki iklim tropis sangat sesuai untuk pertumbuhan algae. Adanya perubahan iklim dan aktivitas manusia juga berdampak positif terhadap pertumbuhan algae di terumbu karang, karena bertambahnya nutrisi yang terus mengalir dari darat ke laut atau 36
yang disebut juga dengan eutrofikasi (Mc Cook, 1999). Terkait dengan pertumbuhan algae yang akan terus berkembang mengikuti perubahan ikim, kenaikan CO2 di udara diharapkan tidak terus terjadi seperti yang diramalkan bahwa akan terjadi kenaikan CO2 sebanyak dua kali lipat pada tahun 2065 (Wigley, 1999). Pemanasan global di daerah tropis tidak saja menyebabkan coral bleaching (Wilkinson, 2000) dan berkurangnya rasio GP/R pada karang hidup, tetapi juga meningkatkan rasio GP/R pada algae (Elfwing &Tendergren, 2000). GP/R adalah rasio perbandingan antara selisih produktivitas bersih dan kotor dengan hasil respirasi (mg O2/h) (Mc Closkey et al., 1978).
Penyimpanan Lempok Durian.Jurnal Agria 1(2): 95-98.
Science, Technology, and Engineering, Y.H. Hui, (Ed)., Crc Pr I Lic. 135.
McHaugh, T. H., J. F. Aujard and J. Santoso, B., Herpandi, A.P. Puspa, dan P. Rindit, M. Krochta.1994. Plasticized Whey Protein 2013. Pemanfaatan Karagenan dan Gum Edible Film: Water Vapor Permeability Arabic Sebagai Edible Film Berbasis Properties. Journal of Food Science, 59: Hidrokolid. Jurnal Agritech 33(2): 140416-419,423. 145. Milani, J., and G. Maleki, 2012. Hidrocolloids inSkurtys, O., C. Acevedo, F. Pedreschi, J. Enronoe, Food Industry. In: Valdez, B. (ED) Food F. Osorro,and J.M. Aguilera, 2010. Food Industrial Processes-Methods and Hydrocolloid Edible Films and equipment; InTech: Croatia, 17-38. Coating. Department Food Science and Technology, Universidad de Santiago de Mindarwati, E., 2006, Kajian Pembuatan Edible Chile.Nova Science Publisher, Inc., Film Komposit dari Karagenan Sebagai Santiago: 66 pp. Pengemas Bumbu Mie Instant Rebus. [Tesis]. Program Studi teknologi Pasca Suryaningrum, D.T.H., B. Jamal, dan Panen, Institut Pertanian Bogor, Bogor: Nurochmawati. 2005. Stydi Pembuatan 83 hal. Edible Film dari Karagenan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 2(4):1Nugroho, A.A., Basito, dan R. K.A. Baskara, 13. 2013. Kajian Pembuatan Edible Film Tapioka Dengan Pengaruh Penambahan Winarno, F.G. 1990. Pengantar Teknologi Pektin Beberapa Jenis Kulit Pisang Pangan. PT Gramedia. Jakarta: 89 hal. Terhadap Karakteristik Fisik dan Mekanik.Jurnal Teknosains Pangan Winarti, C., Miskiyah, dan Widaningrum. 2012. 2(1):73-79. Teknologi Produksi dan Aplikasi Pengemas Edible Antimikroba Berbasis Rachmawati, A. K. 2009, Ekstraksi dan Pati. Jurnal Litbang Pertanian 31(3):85Karakterisasi Pektin Cincau Hijau 93. (Premna oblongifolia. Merr) untuk Pembuatan Edible Film.[Skripsi]. Yuguchi, Y., T.T. Thuy, H. Urakawa, and K. Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Kajiwara 2002. Structural Characteristics Maret, Surakarta: 61 hal. of Carrageenan Gels: Temperature and Concentration Dependence. Food Santoso,B., F. Pratama, dan R. Pambayun, 2005. Hydrocolloids 16: 515-522. Aplikasi Edible Coating Komposit pada
13
Oseana, Volume XLI, Nomor 2, Tahun 2016 : 14- 20
ISSN 0216-1877
Archaster typicus (ASTEROIDEA, ECHINODERMATA): SISTEMATIKA, PERGESERAN HABITAT, PERILAKU MEMBENAMKAN DIRI DAN PERKAWINAN Oleh Ana Setyastuti1) ABSTRACT Archaster typicus (ASTEROIDEA, ECHINODERMATA): SYSTEMATICS, HABITAT SHIFTING, BURROWING BEHAVIOR AND MATING BEHAVIOR. Archaster typicusis is one of the target sea star for the ornamental trade in many locations in Indonesia. The trading of this sea star is not only traditionally in the gift shop at tourism area but also in the online shop. The ecological impact related to the high exploitation of this species in Indonesia has not much been examined.This review informs about the biological and ecological aspect of Archaster typicus, including systematics, habitat shifting, burrowing behavior and mating behavior. Thus information expected to deliver a basic knowledge to the society, academicians, researchers who intend to examine the ecological role of this species and also as basic information for the future conservation management.
PENDAHULUAN Archaster typicus, spesies bintang laut yang umum dijumpai di kawasan Indo-Pasifik di wilayah perairan dangkal termasuk salah satu dari beberapa spesies bintang laut misal (Linckia laevigata dan Protoreaster nodosus) yang dieksploitasi secara masif, untuk tujuan perdagangan ornamen (Clark & Rowe, 1971, Purwati & Lane, 2004). Archaster typicus umumnya dikeringkan untuk dijual sebagai suvenir atau cinderamata turis di tempat wisata kelautan dan juga dimanfaatkan untuk dekorasi ruangan. Toko suvenir di beberapa daerah wisata pesisir di Indonesia, hampir selalu menjual bintang laut jenis ini. Selain itu, toko online, ternyata banyak yang memperjualbelikan
1)
Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta
14
bintang laut jenis tersebut (Gambar 2). Di sisi lain, pengetahuan mengenai efek ekologi terkait dengan eksploitasi berlebih terhadap jenis-jenis tersebut, masih belum banyak diteliti (Anonimus, 2015). Makalah ini bermaksud menelusuri dan merangkum hasil-hasil penelitian mengenai Archaster typicus, baik biologi maupun ekologinya. Sistematika Archaster typicus adalah sebagai berikut (Clark & Rowe, 1971): Filum : Echinodermata Kelas : Asteroidea Ordo : Valvatida Famili : Archasteridae Genus : Archaster Spesies : Archaster typicus Muller & Troschel, 1840
Produktivitas primer pada terumbu karang berkaitan dengan sistem respirasi atau fotosintesis. Pertukaran CO di laut terjadi secara 2 biologis melalui organisme laut yang berfotosintesis, seperti fitoplankton atau alga yang berfotosintesis dengan karang yang memanfaatkan nutrien dan menyerap CO2di atmosfer untuk proses fotosintesis. Proses fotosintesis memerlukan CO2 dan sinar matahari, yang selanjutnya akan menghasilkan oksigen (O2) serta air dan gula. Karbon yang diserap tersebut akan terdistribusi kembali melalui jaringjaring makanan (foodweb) di laut dalam bentuk bahan organik, dan sebagian besar terkubur di dalam sedimen di dasar laut. Sama halnya seperti di daratan, karbon yang tersimpan di dasar laut akan membentuk bahan bakar fosil seperti
minyak bumi dan gas alam. Proses tenggelamnya CO2 melalui biota laut tersebut, umumnya disebut dengan pompa biologis (biological pump). Reaksi fisis juga memiliki berperan dalam penyerapan CO2 , baik dari atmosfer ke dalam laut hingga pendistribusian CO2 ke dalam laut salah satunya melalui massa air yang lebih dingin atau pengadukan massa air yang lebih dikenal dengan nama upwelling atau downwelling. Faktor yang mempengaruhi antara lain kecepatan angin, tekanan parsial antara muka air laut, temperatur dan salinitas air laut. Semakin rendah suhu air laut, maka semakin tinggi kemampuannya dalam menyerap karbon. Proses ini yang disebut dengan physical pump. Proses biological pump dan physical pump disajikan pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2. Proses penyerapan karbon melalui proses biological pump dan physical pump (sumber : www.nature.com)
Indonesia yang memiliki terumbu 2 karang dengan luas mencapai 75.000 km atau 7.500.000 hektar atau seperdelapan luas terumbu karang dunia, sehingga keberadaan terumbu karang di perairan Indonesia dianggap sangat berpotensi dalam menyerap karbon dunia (Hutahaean, 2013). Jika masalah pemanasan global yang sebagian besar disebabkan oleh naiknya kadar CO2 di atmosfer, maka fungsi ekosistem terumbu karang sebagai penyerap 35
karbondioksida dari udara sangat signifikan (Langdon, 2000). Belum lagi ditambah dengan penyerapan karbon oleh mangrove dan padang lamun. Penelitian Dinas Kelautan dan Perikanan tahun 2007 menyatakan bahwa terumbu karang di perairan Indonesia mampu menyerap karbon sebesar 65,7 juta ton per tahun, diikuti padang lamun sebanyak 50,3 juta ton per tahun, mangrove sebesar 67,7 juta ton per tahun dan fitoplankton sebesar 36,1 juta ton per tahun
Karakteristik Archaster typicus adalah tubuhnya berwarna putih abu-abu sampai kecoklatan. Memiliki podia/kaki tabung yang ujungnya berbentuk sucker (Gambar 1). Marginal plate terlihat jelas dan terdapat duri
utama (primary spine). Abactinal plate dipenuhi dengan ornamen paxillae dan paxillae di bagian tengah/medioradial, berukuran lebih besar dari sekitarnya (Clark & Rowe, 1971; Vandenspiegel et al., 1998; Ramadhan, 2008).
Gambar 1. Karakter morfologi Archaster typicus (Foto : W. Purbiantoro & A. Setyastuti)
Gambar 1. Penyimpanan karbon pada sistem bluecarbon, pada biomassa tumbuhan dan di bawah permukaan sedimen (sumber : Lutz et al, 2014) Salah satu yang menyebabkan terumbu karang disebut sebagai penyerap karbon yang sangat efektif adalah produktivitas primer yang tinggi. Fiksasi karbon (produktivitas primer) pada terumbu karang menempatkan ekosistem ini sebagai ekosistem paling produktif. Reef flat atau rataan terumbu menghasilkan sekitar 3,5 kgC/m2th-1, dibandingkan dengan padang lamun dan hutan hujan tropis yang hanya sebesar 2 kgC/m2th-1, dan hutan gugur di daerah empat musim yang sebesar 1 kgC/m2th-1(Anonimus, 2003). Menurut Dahuri (2003), produktivitas primer bersih terumbu karang adalah berkisar antara 300 – 5000 g C/cm2th-1, sedangkan menurut Gordon & Kelly (1962) dalam Supriharyono (2000), di perairan pesisir Hawai 34
pernah diteliti produktivitas ekosistem terumbu karang yang mencapai 11,68 kgC/cm2th-1. Selama fotosintesis berlangsung, zooxanthellae memfiksasi sejumlah besar karbon yang dilewatkan pada polip inangnya. Karbon tersebut sebagian besar berada dalam bentuk gliserol termasuk glukosa dan alanin. Produk kimia ini digunakan oleh polip karang untuk melaksanakan fungsi metaboliknya, atau sebagai pembangun rangkaian protein, lemak dan karbohidrat. Kandungan zooxanthellae yang tinggi dalam polip karang diketahui berbanding lurus dengan meningkatnya kemampuan coral dalam menghasilkan kalsium karbonat (Lalli & Parsons, 1995).
Gambar 2. Contoh pemanfaatan bintang laut A. typicus, baik diperjualbelikan secara langsung maupun secara online (Sumber : https://science.naturalis.nl/en/people/scientists/arthur-bos/ ; www.aliexpress.com; www.tokopedia.com; google.co.id)
15
PERGESERAN HABITAT Mukai et al. (1986) melakukan pengamatan mengenai pola distribusi A. typicus secara vertikal/berdasarkan kedalaman, dan hasilnya menunjukkan bahwa individu-individu di pesisir memiliki ukuran tubuh yang lebih besar daripada individu-individu yang dijumpai di perairan yang lebih dalam. Hal tersebut kemungkinan karena, individu berukuran besar memiliki toleransi yang lebih kuat terhadap salinitas tinggi di wilayah pesisir, arus pasang surut yang sangat fluktuatif, tekanan panas dan dingin, sedangkan individu-individu berukuran kecil/juvenil akan lebih aman berada di perairan yang lebih dalam karena faktor fisika air laut lebih stabil. Bos et al. (2011) mengamati distribusi horisontal A. typicus di wilayah pesisir dan menghasilkan pemetaan pola distribusi sebagai berikut (penyederhanaan dalam bentuk skema dapat dilihat pada Gambar 3) : (a) Area akar mangrove: A. typicus paling banyak dijumpai dalam ukuran (R) yang kecil atau individu-individu “post settlement survival”=juvenil. Area ini dianggap penting sebagai habitat perlindungan (nursery) bagi juvenil, karena jumlah nutriennya melimpah, merupakan sheltering area atau area perlindungan dari predasi ikan dan minim ekspos ombak sehingga juvenil mendapat banyak keuntungan dengan tinggal diantara perakaran mangrove. (b) Area padang lamun atau pantai berpasir: seiring dengan tumbuh dan berkembangnya juvenil A. typicus, terjadilah migrasi ke area ini. Di area ini dijumpai individu “medium size” atau “berukuran sedang” yang sangat
16
melimpah bahkan densitasnya tertinggi dibandingkan area lainnya. Kondisi tersebut dapat menyebabkan terjadinya kompetisi intra-spesifik terhadap makanan, oleh karena itu individu-individu ukuran besar atau dewasa tidak dijumpai, karena diperkirakan bergerak pindah ke area offshore atau beting pantai. (c) Area beting (area pantai dimana secara topografi terdapat timbunan pasir/lumpur dan saat surut terendah tetap terdapat air laut). Jumlah individu A. typicus di area ini tidak terlalu banyak, hal tersebut dapat dikaitkan dengan ukuran tubuh individunya yang besar/dewasa, sehingga untuk menjaga keseimbangan kompetisi mikrohabitat dan makanan dalam satu koloni area hanya sedikit individu. Menurut hasil pengamatan Mueler et al. dalam Boss et al. (2011) individu A. typicus dengan R=40 mm dapat bergerak dengan kecepatan rata-rata 0.5 m/ menit, yang artinya secara teori memungkinkan individu-individu tersebut untuk migrasi/berpindah habitat dari area padang lamun ke area beting dalam kurun waktu 24 jam. Terjadinya migrasi/pergeseran habitat seiring dengan pertumbuhan ukuran tubuh masih merupakan hipotesis-hipotesis yang terus berkembang, dan masih sangat terbuka untuk didiskusikan dan diteliti lebih lanjut. Bagaimanapun, pola distribusi A. typicus dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah topografi, arus dan ukuran partikel sedimen, sedangkan yang kemungkinan menjadi faktor utama adalah paparan angin dan karakter geomorfologi pantai (Mukai et al., 1986).
sumber blue carbon (Nybakken, 1998). Produktivitas primer tersebut berasal dari simbiosis antara hewan karang dan zooxanthellae yang melakukan fotosintesis. Selain itu, alga yang menempel pada terumbu karang juga menyerap karbon dan menghasilkan oksigen dalam proses hidupnya yang juga melakukan fotosintesis. Karbon yang disimpan sebagai blue carbon ini tidak disimpan dalam jangka waktu dekade atau abad (seperti pada hutan hujan tropis), tetapi lebih dalam jangka waktu milenia atau ribuan tahun. Blue carbon atau karbon biru dalam vegetasi pesisir menyerap karbon jauh lebih efektif hingga 100 kali lebih efektif, dan lebih permanen dibandingkan dengan hutan tropis di darat (Anonimus, 2016). Substrat sedimen menyimpan lapisan karbon dalam lapisan vertikal yang menebal. Sedimen ini umumnya bersifat anoksik atau minim oksigen atau bahkan tidak memiliki kandungan oksigen. Dalam kondisi tersebut, kandungan karbon organik tidak terurai dan hanya dilepas oleh mikroba yang berada di dalam sedimen itu sendiri. Keadaan ini sangat berbeda dengan kondisi hutan tropis di darat yang mana karbon hanya terpusat di suatu pohon. Dalam kondisi pesisir yang sehat, maka karbon dapat tertahan di dalam sedimen hingga ratusan bahkan ribuan tahun (Lipp et al., 2008). Diketahui terdapat kehidupan di biosfer yang sangat jauh di permukaan bumi, bahkan 800 meter di bawah dasar laut. Diperkirakan sebanyak 90 gigaton massa karbon yang berasal dari organisme mikrobial hidup di dalamnya dengan dominasi bakteri satu sel yang disebut dengan Archaea yang berada pada10 cm lapisan permukaan (87%), dan terdiri dari bakteri (Lipp et al., 2008).
33
TERUMBU KARANG SEBAGAI PENYERAP KARBON Karbon disebut sebagai penyebab utama perusak lapisan ozon dapat merusak lapisan ozon yang dampaknya dapat berakibat pada terjadinya pemanasan global (global warming), dan perubahan iklim global (global climate change). Luas terumbu karang dunia 2 mencapai 600.000 km sangat berpotensi dan berperan penting dalam penurunan jumlah karbon (Field et al., 1998). Ekosistem pesisir diketahui merupakan penyerap dan penyimpan karbon yang sangat efektif. Peran ekologis terumbu karang sebagai carbon sink atau penyerap karbon dapat mengurangi dampak gas rumah kaca (Green House Gas) (Sunarto, 2008). Peranan alga zooxanthellae dalam tubuh karang dapat memanfaatkan atau menyerap karbon sebagai sumber energi dalam proses fotosintesis. Proses fotosintesis ini, nantinya yang memicu terjadinya kalsifikasi hingga karang dapat membentuk dan memperbesar kalsium karbonat yang disebut sebagai terumbu. Terumbu karang merupakan habitat bagi banyak biota laut di lingkungan pesisir (Sunarto, 2008). Hubungan antara habitat blue carbon dengan tanah yang kaya karbon menggambarkan akumulasi karbon yang signifikan, bahkan lima kali lebih banyak dibandingkan dengan karbon yang disimpan pada daratan tanah di hutan tropis (Donato et al., 2011, Fourqurean et al., 2012). Gambaran mengenai penyimpanan karbon pada sistem blue karbon, pada biomassa tumbuhan dan di bawah permukaan sedimen disajikan pada Gambar 1.
Oseana, Volume XLI, Nomor 2, Tahun 2016 : 32- 40
ISSN 0216-1877
Coral Reef, Penyerap atau Penghasil Karbon ? Oleh Ni Wayan Purnama Sari1) ABSTRACT CORAL REEFS ROLE AS BLUE CARBON. Oceans cover 70 percent of the Earth’s surface. Coastal and shallow water areas contain the most productive and diverse ecosystem, including coral reefs, mangroves and seagrass beds. Coral reefs, as referred to the tropical rain forest of the ocean, is a marine system whose valued about 30 million USD per year. Coral protects shores and islands from the strong waves and surges. Along with seagrass beds and mangroves, coral reefs acts as the biggest carbon sink from atmospher in the earth. The tropical coral reefs worldwide cover an area of 284.000 km2 can absorb carbon as much as 4 milion tons carbondioxide every year. It is five times higher than tropical rain forests can absorb. It is why people called it as “blue carbon”.On the other hand, some people say that coral reef is also acts as the carbon source.
PENDAHULUAN Ekosistem terumbu karang memiliki peran yang besar bagi kehidupan dan keberlanjutan pesisir pantai dan pulau-pulau di seluruh dunia. Terumbu karang yang sehat memiliki banyak efek positif bagi ekonomi lokal penduduk yang tinggal di pesisir, salah satunya adalah berupa penambahan stok ikan karang, aktivitas pariwisata menyelam yang terus meningkat dan perlindungan ekosistem pesisir. Pariwisata dan perikanan merupakan dua pilar ekonomi utama yang langsung berpengaruh dengan kesehatan terumbu karang (Lutz et al., 2014). Secara umum, blue carbon merupakan konsep yang menggambarkan antara hubungan karbon dengan biosfer laut melalui ekosistem laut dan pesisir (Lutz et al., 2014). Konsep ini 1)
Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta
32
dicetuskan setelah banyak penelitian menemukan bahwa lebih dari separuh (55%) karbon biologis disimpan oleh organisme atau ekosistem pesisir dan laut (Nellemann et al., 2009). Ekosistem pesisir dan laut yang terdiri dari terumbu karang, mangrove dan lamun membantu dalam mitigasi perubahan iklim dengan menyerap karbon secara aktif dari atmosfer. Selain itu, ekosistem ini menyediakan tempat penyimpanan karbon alami di dalam biomassa dan sedimen. Konsep Blue Carbon difokuskan pada tiga ekosistem pesisir kunci yaitu terumbu karang, mangrove dan padang lamun (Lafoley & Grimsditch, 2009; Nellemann et al., 2009) tetapi karena terumbu karang menghasilkan produktivitas primer yang sangat tinggi, maka terumbu karang juga dimasukkan sebagai
Gambar 3. Skema pola distribusi A. typicus (pergerakan pergeseran habitat menyesuaikan ukuran tubuh). (a) Area akar mangrove, (b) Area padang lamun dan pantai berpasir dan (c) Area beting (Sumber: modifikasi dari Bos et al., 2011).
PERILAKU MEMBENAMKAN DIRI Aktifitas A. typicus sangat tergantung dengan pasang surut air laut. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Bos et al. (2011) yang mengamati kepadatan A. typicus pada saat pasang dan surut di Pulau Samal (Filipina). Hasil penelitian tersebut, menunjukkan bahwa pada saat air surut, jumlah A. typicus lebih banyak dijumpai dibandingkan pada saat air pasang (Gambar 4). Hal ini kemungkinan berkaitan dengan perilaku membenamkan diri pada saat
air laut pasang, dengan tujuan untuk menghindari predator seperti ikan. Pemangsaan dapat mengakibatkan efek negatif terhadap pertumbuhan individu berukuran kecil di area pasang surut, karena dengan adanya pemangsaan akan menyebabkan luka pada bagian tubuh. Menurut Barrios et al. (2008) bahwa bintang laut yang mengalami luka menghabiskan sebagian besar energinya untuk melakukan autotomi, akibatnya akan mengurangi energi untuk pertumbuhan tubuh dan reproduksi.
Gambar 4. Rata-rata kepadatan (individu per m2) bintang laut (A.typicus) di area padang lamun dan pasir terbuka di Pulau Samal. Pengamatan dilakukan setiap jam pada 15-16 September 2008 (Sumber : Modifikasi dari Bos et al., 2011) . 17
PERILAKU PERKAWINAN Masa kawin pada echinodermata diperkirakan bersifat musiman. Penelitian pada A. typicus penelitian mengenai masa kawin telah banyak dilakukan, dan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada lokasi yang berbeda, memiliki masa kawin yang berbeda pula (Tabel 1). Ukuran tubuh individu yang melakukan perkawinan juga bervariasi, dan dipengaruhi oleh lokasi (Tabel 2). Pada saat musim kawin tiba, agregasi A. typicus sangat mudah dijumpai di area intertidal, hal ini merupakan respon feromon untuk menemukan pasangan. Perilaku
perkawinan pada A. typicus merupakan salah satu hal yang menarik perhatian, karena perilaku perkawinannya yang biasa disebut “mating (berpasangan)” atau “pseudo-copulation (kopulasi semu)” yaitu pasangan individu saling bertumpukan dimana individu jantan berada di atas individu betina. Perilaku perkawinan ini tidak umum dilakukan oleh kebanyakan bintang laut (Komatsu, 1983 dalam Darsono, 1998; Mukai et al., 1986; Run et al., 1988). Secara skematis proses pergerakan untuk menemukan pasangan dan perkawinan dapat dilihat dari ilustrasi yang dibuat oleh Run et al., 1988 (Gambar 5).
Gambar 5. Ilustrasi pergerakan A. typicus (sumber: Run et al., 1988). Gerak pengenalan jenis kelamin : 1. Posisi terpisah 2. Posisi ujung lengan bersentuhan 3. Posisi lengan saling bersampingan 4. Posisi lengan diatas lengan 5. Posisi bertumpukan (ind. jantan diatas ind. betina) Tabel 1.Penelitian terkait musim kawin A. typicus. Lokasi Wilayah subtropis Perairan Jepang Perairan Taiwan Wilayah Tropis Perairan Indonesia (Pulau Jawa) Perairan Indonesia (Pulau Pari, Kep. Seribu) Perairan Filipina Perairan Filipina Perairan Filipina
Musim Kawin A. typicus
Mukai et al. (1986) Run et al. (1988)
Februari & Mei
Boschma dalam Bos et al. (2012) Darsono et al. (1978)
April & Mei; April November Juni & Oktober September & Oktober
18
Seeberg-Everfeldt, J., M. Schlüter, T. Feseker and Torres, N.T., P.C. Hauser, G. Furrer, H. Brandl and B. Müller. 2013. Sediment porewater M. Kölling. 2005. Rhizon sampling of extraction and analysis combining filter porewaters near the sediment-water tube samplers and capillary interface of aquatic systems. Limnology electrophoresis. Environmental and Oceanograpgy: Methods 3(8): 361Science: Processes & Impacts 15(4): 715371. 720. Shotbolt, L. 2010. Pore water sampling from lake Ugo, P., A. Bertolin and L.M. Moretto. 1999. and estuary sediments using rhizon Monitoring sulphur species and metal samplers. Journal of Paleolimnology ions in salt-marsh pore-waters by using 44(2): 695-700. an in-situ sampler. International Journal Teasdale, P.R., G.E. Batley, S.C. Apte and I.T. of Environmental Analytical Chemistry Webster. 1995. Pore water sampling with 73(2): 129-143. sediment peepers. Trends in Analytical Watson, P.G. and T.E. Frickers. 1990. A multilevel, Chemistry 14(6): 250-256. in situ pore-water sampler for use in Thomas, B. and M.A. Arthur. 2010. Correcting intertidal sediments and laboratory porewater concentration measurements microcosms. Limnology and from peepers: application of a reverse Oceanography 35(6): 1381-1389. tracer. Limnology and Oceanography: Xu, D., W. Wu, S. Ding, Q. Sun and C. Zhang. Methods 8: 403-413. 2012. A high-resolution dialysis Tong, C., J. Huang and Y. Jia. 2015. Small-scale technique for rapid determination of spatial variability of soil methane dissolved reactive phosphate and production potential and porewater ferrous iron in pore water of sediments. characteristics in an estuarine Science of the Total Environment 421Phragmites australis marsh. Journal of 422: 245-252. Coastal Research 31(4): 994-1004.
Pustaka
Juni s.d. Agustus Juni s.d. Agustus
Agustus & November
Toole, J., J. Thomson, T.R.S. Wilson and M.S. Sasseville, D.R., A.P. Takacs and S.A. Norton. Baxter. 1984. A sampling artifact affecting 1974. A large-volume interstitial water the uranium content of deep-sea pore sediment squeezer for lake sediments. waters obtained from cores. Nature Limnology and Oceanography 19(6): 308(5956): 263-266. 1001-1004.
& Jansen et al. dalam Bos et al. (2012) Bos et al. (2011) Bos et al. (201 2)
31
Jahnke, R., M. Richards, J. Nelson, C. Robertson, Moncur, M.C., D.W. Blowes and C.J. Ptacek. A. Rao and D. Jahnke. 2005. Organic 2013. Pore-water extraction from the matter remineralization and porewater unsaturated and saturated zones. exchange rates in permeable South Canadian Journal of Earth Scinces Atlantic Bight continental shelf 50(10): 1051-1058. sediments. Continental Shelf Research Ramírez-Pérez, A.M., E. De Blas and S. García25(12): 1433-1452. Gil. 2015. Redox processes in pore water Jahnke, R.A. 1988. A simple, reliable, and of anoxic sediments with shallow gas. inexpensive pore-water sampler. Science of the Total Environment 538: Limnology and Oceanography 33(3): 317–326. 483-487. Reeburg, W.S. 1967. An improved interstitial Koehler, G., L.I. Wassenaar and M.J. Hendry. water sampler. Limnology and 2000. An automated technique for Oceanography 12(1): 163-165. measuring äD and ä 18 O values of Rigaud, S., O. Radakovitch, R-M. Couture, B. porewater by direct CO 2 and Deflandre, D. Cossa, C. Garnier and J.M. H2 equilibration. Analytical Chemistry Garnier. 2013. Mobility and fluxes of trace 72(22): 5659-5664. elements and nutrients at the sedimentKrom, M.D., P. Davison, H. Zhang and W. water interface of a lagoon under Davison. 1994. High-resolution porecontrasting water column oxygenation water sampling with a gel sampler. conditions. Applied Geochemistry 31: 35Limnology and Oceanography 39(8): 51. 1967-1972. Robbins, J.A. and J. Gustinis. 1976. A squeezer Lopes, I. and R. Ribeiro. 2005. Optimization of a for efficient extraction of pore water from pressurization methodology for small volumes of anoxic sediment. extracting pore-water. Chemosphere Limnology and Oceanography 21(6): 61(10): 1505-1511. 905-909. Losso, C., A.A. Novelli, M. Picone, P.F. Ghetti Ronday, R. 1997. Centrifugation method for soil and A.V. Ghirardini. 2009. Porewater as a pore water assessment of the matrix in toxicity bioassays with sea bioavailability of organic chemicals in urchins and bivalves: Evaluationof soil. Communications in Soil Science applicability to the Venice lagoon (Italy). and Plant Analysis 28(9): 777-785. Environment International 35(1): 118Saager, P.M., J-P. Sweerts and H.J. Ellermeijer. 126. 1990. A simple pore-water sampler for Martin, J.B., K.M. Hartl, D.R. Corbett, P.W. coarse, sandy sediments of low porosity. Swarzenski and J.E. Cable. 2003. A multiLimnology and Oceanography 35(3): level pore-water sampler for permeable 747-751. sediments. Journal of Sedimentary Research 73(1): 128-132.
30
Tabel 2.Ukuran tubuh individu A. typicus (panjang lengan) yang melakukan perkawinan Lokasi
Perairan Taiwan Perairan Filipina Perairan Filipina Perairan Filipina
Ukuran Tubuh ind. yang matang gonad/melakukan perkawinan (diameter tubuh/R) >50 mm >70 mm ≥35 mm ≥29 mm
Hasil penelitian Bos et al. (2012) terhadap percobaan lokomosi/pergerakan A. typicus menunjukan bahwa saat musim kawin tiba, individu-individu jenis ini menjadi lebih aktif bergerak dengan kecepatan yang berbanding lurus dengan panjang lengan, baik pada individu jantan maupun pada individu betina. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa musim kawin A typicus di perairan Filipina terjadi pada bulan SeptemberOktober, dimana pada bulan September individu jantan yang melakukan perkawinan secara signifikan berukuran lebih besar dibandingkan individu betina, sedangkan pada bulan Oktober justru sebaliknya. Perbedaan ukuran tubuh individu jantan pada kedua masa kawin tersebut, kemungkinan dipengaruhi oleh indeks kematangan gonad (GSI). Pada umumnya, individu jantan memiliki nilai GSI yang rendah dibandingkan dengan individu betina, sehingga individu jantan memiliki waktu memijah yang lebih pendek, karena hanya akan memijah sekali selama masa kawin, yakni pada bulan September atau Oktober saja. Sedangkan individu betina yang memiliki nilai GSI lebih tinggi, kemungkinan akan memiliki waktu memijah yang lebih panjang, yaitu selama masa kawin (September sampai Oktober). Hal ini berarti bahwa individu betina dapat memijah selama masa kawin, sedangkan pada masa kawin pertama (September) individu jantan yang memijah adalah yang berukuran dewasa (sudah matang gonad), dan pada masa kawin kedua (Oktober) individu jantan yang memijah adalah yang berukuran lebih kecil (yang 19
Pustaka
Jansen et al. dalam Bos et al. (201 2) Run et al. (1988) Bos et al. (2011) Bos et al. (201 2)
baru matang gonad pertama kali). Keberhasilan perkawinan pada organisme yang melakukan pemijahan di kolom air akan semakin meningkat, ketika sel telur dibuahi oleh lebih dari satu individu jantan (Bos et al., 2012; Haesler et al., 2011; Serrao & Havenhand, 2009). DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2015. Website: Science.naturalis.nl/ en/people/scientist/arthur-bos/. Disitir pada: 2 Maret 2015. Barrios, J.V., C.F. Gaymer, J.A. Vasques, and K. B. Brokordt, 2008. Effect of the degree of autotomy on feeding, growth, and reproductive capacity in the multi-armed sea star Heliaster helianthus. Journal of Environmental Marine Biology and Ecology (361): 21-27. Bos, A. R., G.S. Gumanao, M.M. Van Katwijk, B. Mueller, M.M. Saceda, and R. Tejada, 2011. Ontogenetic habitat shift, population growth and burrowing behavior of the Indo Pacific beach star Archastertypicus (Echinodermata: Asteroidea). Marine Biology 158: 639– 648. Bos, A.R., G. S. Gumanao, B. Mueller, and M.M. Saceda, 2012. Size at maturation, sex differences and pair density during the mating season of the Indo-Pacific beach star Archaster typicus (Echinodermata:
Asteroidea) in the Philippines. Invertebrate Reproduction & Development: 1-7.
Ramadhan, M.F., 2008. Sebaran lokal asteroidea (echinodermata) di Pulau Tikus, gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Skripsi. Dep. Biologi-Institut Pertanian Bogor: 24 pp.
Clark, A.M and F.W.E. Rowe. 1971. Monograph of shallow water Indo-Pacific Echinoderm. Trust. Br. Mus. Nat. Hst. Run, J. Q., C. P. Chen, K. H. Chang, and F.S. London: 238 pp. Chia, 1988. Mating behaviour and reproductive cycle of Archastertypicus Darsono, P. 1998. Perilaku perkawinan bintang (Echinodermata: Asteroidea). Marine laut Archastertypicus (Echinodermata: Biology 99: 247-253. Asteroidea). OSEANA Vol XXIII No. 3 & 4: 11-17. Serrao, E.A and J. Havenhand, 2009. Chapter 10 Fertilization Strategies dalam M. Wahl Haesler, M.P., C.M. Lindever, O. Otti, D. Heg, (ed.), Marine Hard Bottom Communities, and M. Toborsky, 2011. Female Ecological Studies 206, 149 DOI: mouthbrooders in control of pre- and 10.1007/978-3-540-92704-4_10, © postmating sexual selection. Behavioral Springer-Verlag Berlin Heidelberg 2009 Ecology. doi:10.1093/beheco/arr087. Vandenspiegel, D., D.J.W. Lane, S. Stampanato, Mukai H, Nishihira M, Kamisato H, Fujimoto Y. and M. Jangoux, 1998. The asteroid 1986. Distribution and abundance of the fauna (Echinodermata) of Singapore with sea star Archastertypicus in Kabira a distribution table and illustrated Cove, Ishigaki Island, Okinawa. Bulletin identification to the species. Raffles of Marine Science. 38:366–383. Bulletin of Zoology: 46 (2): 431-470. Purwati, P. and Lane, D.J.W. 2004. Asteroidea of the Anambas Expedition. The Raffles Bulletin of Zoology (Supplement No. 11): 89-102.
20
De Lange, G.J., R.E. Cranston, D.H. Hydes and D. Boust. 1992. Extraction of pore water Batley, G.E. and M.S. Giles. 1979. Solvent from marine sediments: a review of displacement of sediment interstitial possible artifacts with pertinent waters before trace metal analysis. Water examples from the North Atlantic. Marine Research 13(9): 879-886. Geology 109(1): 53-76. REFERENCES
Beck, M., O. Dellwig, K. Kolditz, H. Freund, G. Doyle, C.J., F. Pablo, R.P. Lim and R.V. Hyne. Liebezeit, B. Schnetger and H-J. 2003. Assessment of metal toxicity in Brumsack. 2007. In situ pore water sediment pore water from Lake sampling in deep intertidal flat Macquarie, Australia. Archives of sediments. Limnology and Environmental Contamination and Oceanography: Methods 5:136-144. Toxicology 44(3): 343-350. Berg, P. and K.J. McGlatery. 2001. A highFares, A., S.K. Deb and S. Fares. 2009. Review resolution pore water sampler for sandy of vadose zone soil solution sampling sediments. Limnology and techniques. Environmental Reviews 17: Oceanography 46(1): 203-210. 215-234. Bertolin, A., D. Rudello and P. Ugo. 1995. A new Gao, F., J. Deng, Q. Li, L. Hu, J. Zhu, H. Hang device for in-situ pore-water sampling. and W. Hu. 2012. A new collector for in Marine Chemistry 49(2): 233-239. situ pore water sampling in wetland sediment. Environmental Technology Bufflap, S.E. and H.E. Allen. 1995a. Sediment 33(3): 257-264. pore water collection methods for trace metal analysis: a review. Water Research Gruca-Rokosz, R. and J.A. Tomaszek. 2015. 29(1): 165-177. Methane and carbon dioxide in the sediment of a eutrophic reservoir: Bufflap, S.E. and H.E. Allen. 1995b. Comparison production pathways and diffusion of pore water sampling techniques for fluxes at the sediment-water interface. trace metals. Water Research 29(9): 2051Water, Air, & Soil Pollution 226(2): 1-16. 2054. Hesslein, R.H. 1976. An in situ sampler for close Carignan, R. 1984. Interstitial water sampling by interval pore water studies. Limnology dialysis: methodological notes. and Oceanography 21(6): 912-914. Limnology and Oceanography 29(3): 667-670. Ho, C.L. and J. Lane. 1973. Interstitial water composition in Barataria Bay (Louisiana) Chen, M., J-H. Lee and J. Hur. 2015. Effects of sediments. Estuarine and Coastal sampling methods on the quantity and Marine Science 1(2): 25-135. quality of dissolved organic matter in sediment pore waters as revealed by Jacobs, P.H. 2002. A new rechargeable dialysis absorption and fluorescence pore water sampler for monitoring subspectroscopy. Environmental Science aqueous in-situ sediment caps. Water and Pollution Research 22(19): 14841Research 36(12): 3121-3129. 14851. 29
et al., 2012; Bertolin et al., 1995). The bigger the chamber size, the larger the volume of pore water extracted. However, increasing the chamber size can result in decreasing the spatial resolution. Centrifuging and squeezing provide a moderate volume of pore water, depending on the size of the centrifuge tube and the squeezer compartment. Additionally, the volume also depends on the amount and moisture content of the sediment being used. For instance, 6 to 10 ml of pore water was obtained from 120 g of sediment using a 200 ml centrifuge tube (Ronday, 1997), while 49 ml pore water was obtained from 660 g of sediment using a 250 ml
centrifuge tube (Lopes & Ribeiro, 2005). With the same amount of sediment, Lopes and Ribeiro (2005) extracted the same volume of pore water within 18 minutes, using a squeezer that was 22.5 cm in length and 9 cm in diameter. Larger volumes of pore water were extracted by Sasseville et al. (1974) using a squeezer with a 10 cm internal diameter. The squeezer could extract 75 ml of pore water from 200 ml of lake sediment within 15 minutes. Interestingly, it could extract up to 800 ml of pore water. Table 2 shows the typical volume of pore water that can be extracted using various types of sampling technique.
Table 2. Typical Volume of Pore Water Obtained Through Various Types of Sampling Technique. Obtained pore water (ml) Lake 75 Squeezing Lake 20 Acid mine 49 Marine 5–10 Centrifuging Grassland 6–10 Acid mine 49 Bog 5 Salt marsh 20 Dialysis Lake 0.014 Mud flat 30 Lake 5–10 Lake 0.01 –0.05 Suction filtration Sand Unlimited Sand Unlimited Technique
Substrate type
Time required 15 minutes (mins) 10–20mins 18mins 60mins 50mins 45mins 7 days 2 weeks 24–72 hours 2 weeks 30mins < 0.5 Not informed Not informed
Source Sasseville et al. (1974) Robbins & Gustinis (1976) Lopes & Ribeiro (2005) De Lange et al. (1992) Ronday (1997) Lopes & Ribeiro (2005) Thomas & Arthur (2010) Ugo et al. (1999) Xu et al. (2012) Bertolin et al. (1995) Shotbolt (2010) Torres et al. (2013) Beck et al. (2007) Martin et al. (2003)
CONCLUSION There are at least four common techniques used to extract pore water. Each pore water sampling technique has benefits and limitations. None of these techniques is widely accepted or is the most recommended for sampling pore water. Therefore, selecting a suitable technique for pore water sampling can 28
be problematic. Selecting a technique should be based on the purpose of pore water sampling. For instance, a sampling technique that can collect a large volume of pore water should be chosen if a multi-parameter analysis is required. However, a multi-parameter analysis does not always require a great sample volume. It depends on the methods and instruments used, and the number of measurement replication.
Oseana, Volume XLI, Nomor 2, Tahun 2016 : 21- 31
ISSN 0216-1877
AN INTRODUCTION TO FOUR COMMON TECHNIQUES OF THE PORE WATER SAMPLING Oleh Hanif Budi Prayitno1) ABSTRAK PENGENALAN EMPAT TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL AIR POROS SEDIMEN YANG UMUM DIGUNAKAN. Air poros sedimen menyimpan informasi penting tentang status geokimia dan ekologi sedimen sehingga analisis air poros sedimen sering dilibatkan dalam studi ilmu lingkungan. Secara umum pengambilan air poros sedimen dapat dilakukan dengan dua metode yaitu ex-situ dan in-situ. Metode ex-situ dilakukan dengan mengambil sedimen dari lapangan kemudian air poros diekstraksi di laboratorium menggunakan teknik peras (squeeze) dan juga teknik sentrifugasi. Sedangkan metode in-situ dilakukan dengan mengambil air poros langsung dilokasi menggunakan teknik hisap (suction) dan juga teknik dialysis. Artikel ini akan mengulas tentang ke empat teknik pengambilan sampel air poros sedimen yang umum digunakan beserta kelebihan dan kekurangan masing-masing teknik. Dari keempat teknik tersebut, tidak terdapat teknik yang paling unggul dan paling dianjurkan penggunaannya dibandingkan dengan teknik yang lainnya. Pemilihan teknik yang tepat harus disesuaikan dengan tujuan dari pengambilan sampel itu sendiri.
INTRODUCTION Pore water or interstitial water is defined as water that fills the spaces between mineral grains in sediments. Chemical composition contained in pore water can be used to assess the geochemical and ecological status of sediment (Ramírez-Pérez et al., 2015). Therefore, chemical analysis of pore water is commonly involved in many environmental science studies (Seeberg-Everfeldt et al., 2005). For instance, Gruca-Rokosz & Tomaszek (2015) and Rigaud
1)
Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI
21
et al. (2013) estimated the sediment-water flux of gasses, nutrients and trace elements by analyzing pore water. Pore water was also used to quantify the rates of organic matter remineralization and soil methane production (Jahnke et al., 2005; Tong et al., 2015). Moreover, Doyle et al. (2003) used pore water to assess sediment contamination and its toxicity.
There are two methods commonly used when collecting pore water. The first one involves sediment coring from the field followed by core sample sectioning in the laboratory and subsequently isolating the pore water either by high-pressure squeezing or centrifugation technique. This method is well-known as an exsitu method as it requires sediment removal from the environment. The other method—which is called in-situ—is conducted by extracting pore water from particular depths of sediment directly in the field. This method is usually performed using either suction filtration or dialysis technique.
EX-SITU PORE WATER SAMPLING As ex-situ method involves sediment removal from the environment and sample manipulation in the laboratory. Some literature refers this method as the destructive or the laboratory method (Fares et al., 2009). Pore water sampling using ex-situ method is cost efficient and easily handled so that it is the most widelyused method at present (Losso et al., 2009; Torres et al., 2013). However, it gives a poor spatial resolution (Xu et al., 2012). In addition, chemical composition of the pore water sample obtained by this method is susceptible to change due to oxygen exposure, temperature variation and pressure change during transportation and extraction process (Delange et al. in Xu et al., 2012; Beck et al., 2007).
Dialysis technique has great potential to avoid temperature, pressure and oxidation artefacts (Jahnke, 1988) and provide a good resolution in the depth profile (Gao et al., 2012). However, Gao et al. (2012) listed some disadvantages of the dialysis technique including the long equilibration times, the inability to observe temporal variations at high frequencies, the sediment disturbance for multiple deployments and the high cost, especially compared to other techniques. Some improvement has been conducted to deal with the limitation of dialyis technique. For instance, Jacobs (2002) developed a rechargeable dialysis pore water sampler that can be used for repeated sampling, enabling spatial and temporal resolution without destroying sediment-cap
stratification. In addition, Krom et al. (1994) and Torres et al. (2013) have also developed gel samplers that they claim are faster than a ‘peeper’ in achieving equilibration, taking hours rather than days. Every sampling technique has its own advantages and disadvantages as shown in Table 1. Preference to a particular technique is usually based on the purpose of the sampling. Sometimes additional handling is applied to a certain technique in order to deal with the disadvantages. For instance, a large nitrogen (N2) gas filled-glove box is used when sampling and manipulating samples (Shotbolt, 2010; Chen et al., 2015) through ex-situ method in order to minimize oxidation.
Table 1. Comparison of Common Pore Water Sampling Techniques (Bufflap & Allen, 1995a). Technique
Advantages
Squeezing
Simple, inexpensive, immediate filtration
Centrifugation
Simple, rapid
Suction filtration
Limited potential for artefacts, continuous monitoring
Expensive, depth limitations
Dialysis
Limited potential for artefacts
Equilibration time, placement and retrieval
EXTRACTION CAPACITY OF VARIOUS PORE WATER SAMPLERS
Figure 1. Nylon Squeezer Schematic (Reeburg, 1967). Key: 1. nylon gas inlet tube, 2. O-ring seal male plug, 3. Delrin cap, 4. dental dam rubber diaphragm, 5. nylon sample retainer with Orings, 6. Filter, 7. nylon screens, 8. Delrin base, 9. nylon male plug, 10. nylon sample drain tube, 11. rubber or cork pad, and 12. modified c-clamp.
22
Disadvantages Potential for oxidation and temperature artefacts Potential for oxidation and temperature artefacts
that 10 to 50 ml of pore water could be extracted from the sediment in less than 30 seconds each time. Conversely, Martin et al. (2003) used 3 m Among the pore water sampling of a sampler tube with a 3.8 cm internal diameter. techniques mentioned above, suction filtration A peristaltic pump with a suction speed of 1 ml technique may collect the largest volume of pore per second was used as a suction tool instead water. Suction filtration samplers can extract pore of a syringe. As a result, unlimited pore water water from as little as 10 ml (Torres et al., 2013) can be extracted from sediments as long as the to an unlimited volume (Martin et al., 2003; Beck water is available. et al., 2007). The volume depends on the size of In comparison, the dialysis sampling the sampler and the tool used for suction. For technique may provide the lowest volume pore instance, Torres et al. (2013) used a 2 cm micro water samples. Typically, a dialysis sampler rhizon sampler tube with 1 mm internal diameter. collects pore water in a range of 14 ml to 30 ml As a suction tool, a 1 ml syringe was used so per chamber, depending on the chamber size (Xu 27
Frickers (1990) also reported that the suction sampler had some weaknesses, including low depth resolution (> 1 cm) and poor particle separation. Therefore, they developed a multi-level sampler designed to extract pore water at five successive intervals, with 1 cm depth resolution. Improvement to the suction sampler in term of sampling resolution was also conducted by Berg & McGlathery (2001) by developing a suction sampler that can be applied to various sediments, ranging from coarse-grained carbonate to fine-grained sandy sediment with a depth resolution as fine as 1 cm. The sampler is relatively small so that it can minimise sediment disturbance, ensuring that the acquired pore water is truly representative.
B. Dialysis The dialysis technique of pore water extraction is based on the diffusive equilibration of dissolved compounds between two aquatic environments, separated by a semi-permeable membrane (Teasdale et al., 1995; Jacobs, 2002). The dialysis sampler was initially developed by Hesslein (1976) to observe methane and phosphate depth profiles in Hudson Estuary sediments. The sampler’s (which is also known as a ‘peeper’) main body is made from clear acrylic plastic with a vertical array of compartments filled with distilled water and covered by a dialysis membrane. As the sampler is deployed into the sediment, solutes in the pore water will diffuse into compartments through the membrane until equilibrium is reached. Subsequently, the sampler is retrieved and the water in the compartments is sampled for chemical analysis.
Figure 5. Common Peeper Designs (Teasdale et al., 1995). Key: (a) the bottle-insert peeper; (b) the original Hessleinpeeper; (c) the double-sided peeper; (d) plan view of peepers (b) and (c).
A. Squeezing The basic principle of squeezing technique is expelling pore water from a sediment core by introducing high pressure to the core (Beck et al., 2007). Therefore, pressurerelated artefacts1 are the main weakness of highpressure squeezing techniques (Toole et al., 1984). For instance, Fares et al. (2009) mentioned that high pressure can have a profound effect on mineral solubility. Additionally, Bufflap & Allen (1995b) claimed that this technique is not very precise, as it may allow unfiltered particles or colloids to enter the collection vials due to poor seals around filters in the squeezer. Two types of squeezing technique are core section squeezing and whole core squeezing (Beck et al., 2007). In core section squeezing, a sediment
Figure 2. Modified Whole Core Squeezer Schematic (Jahnke, 1988). Key: A. unistrut, B. angle braces, C. threaded rod, D. bottom piston, E. nut, F. acrylic core barrel, G. sediment core, H. overlying water, I. nylon screw with small O-ring, J. top piston, K. nut, L. threaded rod, M. threaded end of the fitting, N. female luer fitting, O. filter, and P. plastic syringe.
1
26
sample is sectioned and then compressed to obtain the pore water. In contrast, whole core squeezing is conducted by pressurizing a sediment core and expelling the resulting pore water through several ports along the core liner, which indicate a specific sampling depth (Beck et al., 2007). Jahnke (1988) reported some benefits from using a modified whole core squeezing technique. He argued that the device is very simple and easy to operate. It does not need core sectioning; neither does it need to work in an inert atmosphere. Additionally, it can be performed quickly. An early simple squeezer used to extract pore water is the nylon squeezer designed by Reeburg (1967).
Undesired alteration to an observed object in a scientific investigation or experiment introduced during preparative or investigative procedure. 23
B. Centrifugation Centrifugation is the process where pore water is separated from sediment through spinning by a centrifuge. Isolating pore water from a sediment core using centrifugation technique is a laborious procedure. The core must be sectioned properly according to the intended interval before extraction, and this should be conducted under in-situ temperatures and an inert atmosphere, to avoid altering pore water composition (Jahnke, 1988). Additionally, centrifugation requires filtration after the pore water has been completely extracted, to remove remaining suspended particles (Saager et al., 1990). The remaining particles may come from undisturbed precipitation during decantation of the extracted water, or they may still be suspended in pore water due to an insufficient centrifugation speed.Pore water acquired from centrifugation is susceptible to oxidation during the filtration process. Therefore, modification of the centrifugation technique is necessary to deal with filtration issues. The most common measure taken is to use centrifuge tubes that have a built-in filter, known as basal cups (Saager et al., 1990). As an alternative, inert solvents that are denser than water—such as
fluorocarbon (FC-78)—can be used to replace the filter function (Batley & Giles, 1979). The notion behind this technique is that less dense fluid will always overlay more dense fluid. As pore water is extracted from sediment during centrifugation, a solvent that is denser than pore water will force water to the top and take a position between the sediment precipitation and pore water. Thus, pore water can be separated easily from sediment by decantation. However, it must be noted that the selected solvent not only must be inert to water, but also must be inert to the target compounds to be quantified. Centrifugation is not only laborious but may be expensive, as it involves the use of an anoxic chamber when placing sediment samples into bottles or tubes to prevent oxidation (Moncur et al., 2013). Basically, centrifugation is a rapid technique that can be undertaken completely in 30 minutes or less, depending on the sediment characteristics (Bufflap & Allen, 1995a). However, sometimes centrifugation requires a more extensive processing time, as it must be undertaken more than once to obtain a sufficient volume of pore water if the sediment sample is not moist enough (Koehler et al., 2000).
then be withdrawn if negative pressure is applied to the tube (Gao et al., 2012). The suction The in-situ pore water sampling, using sampler was initially developed based on the either suction filtration or dialysis technique, is principle of the porous cup lysimeter used in believed to have less potential for artefacts than soil chemistry, and was believed to offer more the ex-situ method (Beck et al., 2007). This is benefits than its predecessors (Watson & the recommended method for pore water Fricker, 1990).Gao et al. (2012) mentioned that collection, as it can minimize temperature suction sampler can evaluate temporal variation changes, diffusion, mixing, outgassing and of chemical composition, as it can be applied to redox changes (Torres et al., 2013), as well as extract pore water repeatedly from the same storage effects (Ho & Lane, 1973). In addition place. This is corroborated by Fares et al. (2009), to its potential for fewer artefacts, the in-situ who argue that porous suction is the best method is very valuable and is used mostly if a technique for long-term monitoring. high spatial resolution is required when Additionally, current improvements and extracting pore water from the top several advanced technology have produced suction centimetres (cm) of sediment (Beck et al., 2007). samplers with better and more reliable performance, such as the rhizon sampler A. Suction Filtration (Seeberg-Elverfeldt et al., 2005; Shotbolt, 2010; Currently, various types of suction Torres et al., 2013). samplers are available, but they all operate Interestingly, Bufflap & Allen (1995b) through a similar procedure. In the experimental do not recommend suction filtration, as it is site, a porous tube connected to a pressure imprecise, with poor accuracy and physical regulator is driven into the sediment. Pore water difficulties. Similar to the squeezing technique, in the sediment will get into a sample chamber the low precision from suction filtration results inside the tube through the pore. The water will from poor seals around the filters. Watson & IN-SITU PORE WATER SAMPLING
Figure 4. Suction Filtration Sampler (Berg & McGlathery, 2001). Figure 3. Basal Cup (Saager et al., 1990). 24
25
Oseana Majalah Volume XLI
Ilmiah
Semi
Nomor 2
Populer Tahun 2016
CATATAN BAGI PENULIS 1. Bidang: Oseanologi (ekologi, biologi, kimia, fisika, geologi, dan budidaya). 2. Isi: Hasil kajian yang bersifat ilmiah, ilmiah populer, berasal dari penelitian, penelusuran pustaka (review/ saduran) dan terjemahan. 3. Bahasa: Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan. 4. Penulisan: a.
Pemimpin Redaksi Pramudji Redaksi Pelaksana Fahmi Anggota Rachma Puspitasari Tri Handayani Tri Aryono Hadi Sekretariat Kasih Anggraini Eka Sepriana Alamat Redaksi Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI Kompleks Bina Samudera Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta 14430 Telepon 64713850 (5 saluran) Fax 64711948 E-mail : redaksi
[email protected]
b. c. d. e.
f. g.
h.
Naskah: Ringkas dan jelas, tanpa perlu banyak menggunakan istilah teknis, tetapi bernilai ilmiah. Tulisan minimal terdiri dari 10 halaman dan maksimal 15 halaman (tidak termasuk gambar). Naskah diketik rapi dengan huruf Times New Romans (font 12) dengan spasi ganda (dua), untuk tabel dengan spasi single (satu), ukuran kertas A4 dikirim dalam bentuk soft copy dengan format .doc dan dikirimkan ke email :
[email protected] Susunan: Penulis dapat membagi naskah atas beberapa anak judul, naskah mencerminkan sistematika penulisan: abstrak, pendahuluan, isi tulisan, penutup dan daftar pustaka. Judul: Pendek, menarik dan informatif. Abstrak: Merupakan intisari dari artikel yang dibuat. Abstrak dibuat dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Tidak perlu mencantumkan kata kunci. Nama daerah/istilah: Jika mencantumkan nama daerah suatu jenis hewan/tumbuhan agar mencantumkan nama ilmiah dan sebaliknya. Kutipan atau istilah dalam bahasa asing diketik dengan huruf miring (italic) atau tanda kutip (‘ ‘) dan hendaknya disertai dengan terjemahan atau keterangan dalam Bahasa Indonesia. Gambar/Foto: Gambar dan foto harus jelas dan memiliki resolusi yang cukup tinggi, serta diberi keterangan dengan sumber yang jelas. Foto/gambar dalam artikel akan di cetak hitam putih. Sitasi: Setiap pernyataan ilmiah harus disertai dengan sumber yang jelas, seperti jurnal ilmiah, buku, dan prosiding. Artikel yang sumbernya tidak jelas, seperti blog, artikel koran dan majalah populer tidak dapat digunakan sebagai acuan. Skripsi mahasiswa tidak dapat dijadikan acuan literatur kecuali yang berkaitan langsung dengan hasil penelitiannya. Sitasi hendaknya ditulis sebagai berikut: (Pramudji & Purnomo, 2003); Rositasari (2006); (Fahmi et al., 2007) atau Thayib (dalam Ruyitno, 1999). Daftar Pustaka: Pencantuman daftar pustaka dalam naskah hendaknya disusun menurut abjad pengarang dan dituliskan misalnya: · ·
Tujuan
Keterangan
Memberikan informasi kepada masyarakat yang
Redaksi menerima sumbangan karangan yang
berminat terhadap oseanologi yang meliputi
berhubungan dengan ilmu kelautan (oseanografi
kegiatan, perkembangan serta hasil-hasil yang
fisika dan kimia, geologi laut, biologi laut, dan
telah dicapai oleh Pemerintah Indonesia
lain-lain) dan bersifat ilmiah semi populer.
khususnya di bidang kelautan. Di samping itu
Redaksi juga menerima tulisan-tulisan dari ahli/
juga merupakan salah satu usaha menggalakkan
penulis di luar Pusat Penelitian Oseanografi-
staf peneliti untuk menulis karangan ilmiah semi
LIPI.
populer.
·
·
· i.
Pramudji dan L.H. Purnomo. 2003. Mangrove sebagai tanaman penghijauan pantai. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta: 30 hlm. (Contoh buku). Rositasari, R. 2006. Komunitas foraminifera di perairan Laut Arafura. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 40: 15-27. (Contoh jurnal/majalah). Ward, R. D., T. S. Zemlak, B. H. Innes, P. R. Last and P. D. Hebert. 2005. DNA barcoding Australia’s fish species. Philosophical Transactions of the Royal Society B:Biological Sciences 360(1462) : 1847-1857. (Contoh penulisan jurnal untuk author yang lebih dari satu). Aziz, A. dan H. Sugiarto. 2007. Status ekhinodermata di Teluk Gilimanuk, Taman Nasional Bali Barat. Dalam: Ruyitno, A. Syahailatua, M. Muchtar, Pramudji, Sulistijo dan T. Susana (eds.). Status Sumberdaya Laut Teluk Gilimanuk, Taman Nasional Bali Barat. LIPI Press, Jakarta: 46-55. (Contoh artikel dalam buku). Froese, R. and D. Pauly. 2015. FishBase [online]. http://www.fishbase.org. Diakses pada tanggal 13 Mei 2015. (Contoh artikel dari website).
Komposisi referensi yang digunakan dalam terbitan Oseana: Referensi sepuluh tahun terakhir minimal 25 %, referensi online yang berasal dari artikel yang jelas sumbernya maksimal 10%, dan untuk artikel tanpa autor (anonim) maksimal 10% dari total pustaka yang disitir.
5. Cetak lepas: Untuk tulisan yang diterbitkan, penulis akan menerima 5 (lima) buah cetak lepas.
Gambar sampul depan : Pengambilan Sampel Air Di Perairan Indonesia Timur oleh Dewi Surinati - P2O LIPI
6. Lain-lain: Majalah OSEANA terbit 4 (empat) kali dalam setahun.