Konferensi Nasional Teknik Sipil I (KoNTekS I) – Universitas Atma Jaya Yogyakarta Yogyakarta, 11 – 12 Mei 2007
ANGKUTAN UMUM PERDESAAN DI INDONESIA: TANTANGAN DALAM UPAYA PENINGKATAN MOBILITAS MASYARAKAT PERDESAAN Dewanti Dosen Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan dan Dosen Magister Sistem dan Teknik Transportasi, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika 2, Kampus UGM, Yogyakarta, Email:
[email protected]
ABSTRAK Permasalahan transportasi perdesaan di negara-negara sedang berkembang pada umumnya berupa keterbatasan jaringan jalan dan layanan transportasi yang buruk sehingga berpengaruh pada rendahnya aksesibilitas wilayah perdesaan dan mobilitas masyarakat perdesaan. Permasalahan aksesibilitas biasanya berkaitan dengan kurangnya penyediaan infrastruktur transportasi, sedangkan permasalahan mobilitas diakibatkan oleh minimnya kemampuan masyarakat untuk melakukan pergerakan. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada pergerakan masyarakat adalah ketersediaan layanan transportasi. Layanan angkutan umum perdesaan di negara sedang berkembang menunjukkan kinerja kurang baik seperti layanan yang tidak teratur atau bahkan tidak tersedia sama sekali, kondisi kendaraan buruk, route yang tidak pasti dan tingkat keselamatan yang rendah. Permasalahan angkutan umum perdesaan juga dialami oleh Indonesia yang memiliki pangsa pasar 10%. Layanan angkutan umum darat di sebagian besar wilayah Perdesaan di Indonesia didominasi oleh bis kecil dan ’ojek’. Penelitian Johnston di Indonesia (1996) menunjukkan bahwa angkutan umum perdesaan memiliki peran dan potensi yang baik dalam melayani mobilitas masyarakat perdesaan. Makalah ini mencoba mengkaji permasalahan layanan angkutan umum di beberapa wilayah perdesaan di Indonesia serta mencari upaya peningkatan mobilitas masyarakat. Beberapa permasalahan yang muncul adalah terjadinya penyimpangan cakupan pelayanan dan penyimpangan panjang route layanan. Indikator kinerja layanan berupa waktu tunggu rata-rata, jarak berjalan kaki, waktu perjalanan direspon negatif oleh 69,7% responden wanita dan 62,5% responden laki-laki. Masih ada route-route yang tidak terlayani secara penuh oleh bis-bis kecil tersebut. Kendaraan-kendaraan tsb hanya beroperasi di sebagian route yang telah ditetapkan sementara sisanya dilayani oleh truck-truck kecil atau kendaraan barang. Penggunaan alat angkut informal seperti ojek, truck-truck kecil dan kendaraan barang untuk layanan angkutan umum menunjukkan masih adanya gap pelayanan transportasi. Ada kebutuhan layanan transportasi tetapi pemerintah setempat belum bisa menyediakan layanan yang memadai dan ini memungkinkan munculnya partisipasi masyarakat dalam penyediaan layanan angkutan umum. Hal ini juga menunjukkan adanya penyimpangan ketentuan dalam pemanfaaatan jenis kendaraan untuk angkutan umum. Berbagai kebijakan dalam bidang layanan transportasi umum perdesaan dalam skala regional maupun nasional belum mengakomodasi keinginan dan kebutuhan masyarakat. Di masa depan peran angkutan umum perdesaan harus ditingkatkan dengan mengupayakan penggunaan berbagai jenis kendaraan serta dengan mengembangkan kebijakan pendukung seperti standar pelayanan, sistem operasi dan pengelolaan yang jelas Kata kunci: perdesaan, angkutan umum, kebijakan
1. PENDAHULUAN Permasalahan transportasi perdesaan di negara-negara yang sedang berkembang tidak hanya didominasi oleh keterbatasan jaringan jalan atau infrastruktur transportasi tetapi diperparah pula dengan ketiadaan layanan yang memadai. Masih sedikit perhatian pemerintah terhadap pengembangan jaringan jalan yang menghubungkan daerahISBN 979.9243.80.7
497
Dewanti
daerah pedalaman, bahkan untuk memelihara jaringan jalan yang ada pun sering terkendala oleh pengadaan dana sehingga kondisi ini memperburuk aksesibilitas wilayah perdesaan. Keterbatasan infrastruktur seringkali diikuti dengan rendahnya mobilitas masyarakat dalam berbagai kegiatan sosial maupun ekonomi. Hal ini dimungkinkan mengingat prasarana transportasi yang terbatas menghambat perkembangan layanan transportasi baik untuk angkutan orang maupun barang. Masyarakat sulit untuk mendapatkan layanan transportasi yang cepat dan murah sehingga mereka sangat tergantung pada moda angkutan berjalan kaki atau jenis kendaraan lambat yang sering dijumpai di wilayah perdesaan dengan kapasitas angkut sangat terbatas. Keseluruhan permasalahan tersebut akan bermuara pada potensi wilayah yang tidak bisa dikelola dengan baik dan terhambatnya distribusi ke pasarpasar terdekat. Menurut Magribi (2004) kondisi tersebut berimplikasi pada tidak meratanya hasil-hasil pembangunan yang dapat dinikmati serta terjadi kesenjangan pendapatan per kapita masyarakat. Keberadaan angkutan umum di sebagian wilayah perdesaan di Indonesia masih terbatas pada wilayah-wilayah yang berdekatan dengan pusat-pusat kegiatan seperti ibukota kecamatan, lokasi wisata, pusat kegiatan ekonomi (pasar, industri kecil/sedang) dan lain-lain. Sebagian besar angkutan umum darat yang ada berupa mini bus, mobil kecil, maupun sepeda motor sebagai ojek (Johnston, 1996), sedangkan angkutan laut berupa kapal atau perahu-perahu kecil. Kondisi ini mencerminkan bahwa angkutan umum sudah berkembang di perdesaan namun masih memiliki banyak keterbatasan seperti misalnya belum melayani angkutan barang, wilayah operasi yang terbatas akibat kondisi jaringan jalan yang tidak bisa menjangkau daerah terpencil atau tidak bisa dilalui pada musim hujan. Kinerja layanan angkutan umum masih sangat rendah terlihat dari waktu tunggu yang cukup lama, load factor rata-rata sangat rendah, jarak untuk mencapai tempat perhentian angkutan umum dari rumah cukup jauh (Anas, Dewanti, 2006). Pada desa yang menunjukkan kondisi jalannya relatif baik namun pelayanan transportasinya tidak memadai mengakibatkan desa-desa tersebut mempunyai keterbatasan akses pada pelayanan pasar dan pemasaran, sehingga perlu dikembangkan moda angkutan paratransit atau moda angkutan antara yang sangat mudah dikebangkan di desa-desa dengan kondisi akses sangat jelek. (Magribi, 2004). Pada dasarnya angkutan umum memiliki peran yang strategis dalam upaya peningkatan mobilitas masyarakat perdesaan. Mobilitas sendiri akan mencerminkan kemampuan masyarkat untuk melakukan berbagai kegiatan sosial maupun ekonomi atau dengan kata lain masyarakat dengan mobilitas yang baik biasanya terjadi pada daerah-daerah yang sudah berkembang secara ekonomi dan sosial. Lowe dalam Cullinane dan Stokes (1998) menyatakan transportasi pada daerah perdesaan dapat membantu meningkatkan mobilitas dan aksesibilitas penduduk perdesaan yang secara mikro dapat meningkatkan kondisi ekonomi, sosial dan kesejahteraan lingkungan dari masing-masing individu (penduduk), atau secara makro dapat meningkatkan kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan masyarakat perdesaan secara keseluruhan. Transportasi perdesaan dipandang sebagai suatu pendekatan mikro dan makro yang saling melengkapi dan berhubungan secara langsung untuk mencapai target pembangunan perdesaan yaitu peningkatan efficiency, equity dan sustainability. Mengacu pada berbagai permasalahan angkutan umum perdesaan di atas, makalah ini berupaya untuk menemu-kenali berbagai potensi yang ada dalam pengembangan angkutan umum perdesaan sehingga berbagai kendala dan tantangan ke depan bisa
498
ISBN 979.9243.80.7
Angkutan Umum Perdesaan di Indonesia: Tantangan dalam Upaya Peningkatan Mobilitas Masyarakat Perdesaan
dilihat secara jelas yang memungkinkan formulasi kebijakan secara tepat dan terarah. Beberapa kasus angkutan umum darat di wilayah perdesaan di DIY maupun di Jawa Tengah diangkat untuk memberikan ilustrasi yang riil yang diperkirakan juga terjadi di wilayah perdesaan lain di Indonesia. Selanjutnya berbagai upaya intervensi kebijakan yang berorientasi kepada peningkatan mobilitas masyarakat perdesaan diformulasikan secara umum dan aplikatif di berbagai wilayah di Indonesia .
2. LAYANAN ANGKUTAN UMUM PERDESAAN Keterbatasan aksesibilitas di wilayah perdesaan selalu diikuti dengan rendahnya layanan angkutan yang sangat diperlukan bagi pergerakan orang maupun barang. Layanan angkutan umum darat belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga karakter layanan yang ada merupakan representasi permasalahan tersebut. Permasalahan tidak hanya dialamai oleh pengguna jasa ngkutan umum saja, tetapi juga oleh operator angkutan maupun pemerintah sebagai regulator yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. 2.1. Karakteristik Layanan Berdasarkan penelitian Johnston di Garut, Indonesia tahun 1996, perjalanan di wilayah perdesaan 90 % diantaranya dilakukan dengan berjalan kaki dan sisanya dengan menggunakan sepeda, sepeda motor atau angkutan umum. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi di wilayah perdesaan Kabupaten Kulonprogo (Nugroho, 2006) yang menunjukkan proporsi perjalanan sebagai berikut: Angkutan umum perdesaan
12.73%
Sepeda motor
20.91% 5.45%
Sepeda Berjalan
60.91% 0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
Gambar 1. Penggunaan berbagai moda angkutan di wilayah perdesaan Sumber: Nugroho (2006)
Berjalan kaki masih merupakan moda angkutan yang dominan saat ini, disusul oleh sepeda motor, sedangkan angkutan umum perdesaan berupa minibus berkapasitas 8 orang sebanyak 12,73 % menduduki urutan ketiga. Angka penggunaan angkutan umum ini lebih besar dibandingkan gambaran awal Johnston yang hanya mencapai kira-kira 10% pada tahun 1996, dengan tujuan perjalanan yang dominan adalah untuk pendidikan (40%), ke pasar untuk belanja atau menjual hasil bumi (22%), dan bekerja (16%). Komposisi usia pengguna didominasi oleh pelajar (41 %) dan petani (17%) serta kelompok usia maksimum 18 tahun sebesar 39 %, antara 19 – 40 tahun sebesar 27 % dan lebih dari 40 tahun sebesar 34 %. Alasan mereka menggunakan angkutan umum adalah jarak tempuh yang jauh (37,97%) dan kecepatan yang tinggi (35,44%). Dari lama perjalanan yang mereka lakukan sebagian besar (57% ) memerlukan waktu kurang dari 30 menit dan 39% antara 30 menit hingga satu jam, sehingga bisa diperkirakan bahwa jarak perjalanan yang mereka tempuh tidak terlalu jauh, artinya tujuan perjalanan tersebut hanya ke pusat-pusat kegiatan terdekat (ibukota Kecamatan atau Kabupaten). Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan pola perjalanan yang
ISBN 979.9243.80.7
499
Dewanti
dilakukan dibeberapa daerah, misalnya di Desa Majalengka (Vivi, 2000), di wilayah perdesaan Kabupaten Garut (Johnston, 1996), Ghana, Aurora (Dennis, 2000) yang mengindikasikan bahwa perjalanan eksternal (keluar wilayah desa) lebih kecil dibanding perjalanan internal (hanya di dalam batas administrasi desa). Perjalanan eksternal dengan karakter jarak jauh pada umumnya membutuhkan dukungan layanan angkutan umum perdesaan. Kinerja Operasi angkutan umum perdesaan di wilayah Kabupaten Kulon Progo dilihat berdasarkan kriteria umum waktu tunggu, jumlah pergantian moda, waktu tempuh, headway dan load factor dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Kriteria Dominan Layanan Angkutan Umum Perdesaan Kriteria
Keterangan
Waktu tunggu
5-10 menit
Jumlah pergantian moda
Tanpa pergantian
Lama perjalanan
0-30 menit
Headway
17,7 menit
Loadfactor
36%
Sumber: Zarkasi (2006)
Sebagian besar (75,9%) masyarakat perdesaan menempuh jarak lebih dari 500 meter dari rumah menuju akses angkutan umum dengan cara berjalan kaki yang berdampak pada waktu tempuh dari rumah hingga mencapai tujuan dengan menggunakan angkutan umum akan semakin lama, sementara waktu tunggunya sendiri tidak begitu besar. Dengan load factor yang sangat rendah tersebut sering memunculkan praktekpraktek menunggu penumpang dalam waktu yang lama (ngetem) yang berakibat pada bertambahnya waktu perjalanan. 2.2. Permasalahan Angkutan Umum Perdesaan Angkutan umum perdesaan memiliki permasalahan mendasar yaitu kecilnya permintaan, sehingga memberikan dampak lanjutan pada pengoperasiannya seperti jumlah armada angkutan terbatas dan waktu tunggu lama. Bagi operator angkutan, permintaan yang kecil tersebut tentunya kurang menguntungkan bagi operasional kendaraan, load factor kendaraan rendah dan biaya operasi kendaraan yang dikeluarkan tidak akan tertutup oleh tarif yang dikenakan kepada pengguna. Salah satu upaya operator menaikkan load factor adalah menunggu calon penumpang hingga kendaraan cukup penuh. Praktek ini tentunya berakibat waktu tunggu yang lama atau headway kendaraan jadi besar sehingga total lama perjalanan menjadi meningkat. Menurut Zarkasi (2006) 61,3 % pengguna angkutan umum menyatakan waktu tunggu yang mereka jalani dinilai lama yaitu lebih dari 10 menit sementara lama perjalanannya sendiri di dalam angkutan dianggap tidak lama. Di wilayah Kabupaten Gunungkidul waktu tunggu rata-rata mencapai 20 menit (Effendi, Dewanti, 2006) sehingga kalau muncul keluhan panjangnya durasi perjalanan dikarenakan lamanya waktu menunggu kendaraan. Disamping itu area pelayanan angkutan umum cenderung pada route-route yang memiliki potensi jumlah penumpang yang tinggi biasanya pada jalan-jalan dengan bangkitan kegiatan yang relatif besar serta kepadatan penduduk agak tinggi. Ketidak-merataan jangkauan layanan ini berakibat masih banyaknya wilayah yang belum terlayani oleh angkutan umum bahkan sering terjadi route layanan yang telah ditetapkan pemerintah tidak dilayani secara penuh hingga akhir route karena alasan sedikitnya penumpang (Effendi, Dewanti, 2006). Pada
500
ISBN 979.9243.80.7
Angkutan Umum Perdesaan di Indonesia: Tantangan dalam Upaya Peningkatan Mobilitas Masyarakat Perdesaan
kondisi seperti itu, muncul angkutan umum informal yang dioperasikan oleh masyarakat setempat dengan menggunakan kendaraan yang tidak sesuai ketentuan penggunaannya. Yang paling sering muncul adalah ojek sepeda motor, sedangkan di Gunungkidul beroperasi truk-truk kecil untuk angkutan umum. Pemerintah sebagai regulator dan yang bertanggung jawab terhadap penyediaan layanan transportasi memiliki kendala yang cukup besar dalam pengembangan transportasi perdesaan. Kebutuhan layanan yang masih sangat rendah kurang memberikan daya tarik bagi pengusaha untuk menyediakan layanan. Sementara kemampuan keuangan yang sangat terbatas memaksa pemerintah untuk tidak mampu memilihara secara regular atau bahkan membangun jaringan jalan baru. Subsidi yang diperlukan pengusaha angkutan perdesaan pun belum bisa terpenuhi, sehingga kondisi transportasi perdesaan masih sangat buruk. Kondisi buruk tersebut juga terlihat pada angkutan barang di perdesaan yang bahkan bisa dikatakan tidak ada layanan secara formal. Di wilayah perdesaan Kulonprogo jenis barang yang paling banyak diangkut adalah hasil pertanian (43,8%), sembako (28,6%) dan barang kelontong (18,8%). Pengangkutan barang dilakukan dengan menggunakan angkutan umum penumpang dengan cara meletakkan di bawah tempat duduk (40,2%), di atas kendaraan (34,8%), di bagasi (15,2%). Kondisi tersebut dianggap sebagian besar penumpang (78,6%) menyulitkan. Hal ini bisa dipahami mengingat pengangkutan barang masih menggunakan kendaraan yang sama untuk pengangkutan penumpang, dengan demikian kapasitas yang tersedia sangat terbatas sehingga akan mempersulit proses pemasaran maupun distribusi barang ke luar. Disamping itu kenyamanan penumpang menggunakan angkutan umum akan terganggu.
3. POTENSI PENGGUNAAN ANGKUTAN UMUM PERDESAAN Penggunaan angkutan umum perdesaan masih tergolong rendah namun demikian tidak berarti tidak memiliki potensi sama sekali untuk dikembangkan. Potensi perjalanan masyarakat perdesaan dengan menggunakan angkutan umum dianalisis berdasarkan kemungkinan adanya kelompok non pengguna angkutan umum perdesaan yang bersedia menggunakan angkutan umum atau kelompok pengguna angkutan umum dengan frekuensi penggunaan yang rendah untuk lebih meningkatkan frekuensi penggunaannya. Kepada kelompok masyarkat tersebut diberikan beberapa alternatif berupa kondisi-kondisi atau waktu-waktu tertentu yang memberikan kemungkinan responden tersebut akan menggunakan angkutan umum perdesaan. Tanggapan bisa berupa jawaban ”ya” artinya akan menggunakan angkutan umum perdesaan dan ”tidak” artinya tetap tidak menggunakan pada kondisi atau waktu tertentu tersebut. Secara keseluruhan tanggapan mereka ditunjukkan pada gambar 2. Terlihat bahwa potensi perjalanan dengan angkutan umum terjadi pada pergerakan: (a) yang menuntut kecepatan tiba di tujuan, misal mengantar orang ke rumah sakit (38,71 %) dan pada kondisi terburu-buru (6,45%), (b) pergerakan dengan membawa beban, yaitu menjual hasil pertanian (25,81 %), beban yang dibawa lebih dari 20 kg (19,35%), (c) pergerakan yang membutuhkan kenyamanan, yaitu ntuk menghadiri acara pernikahan atau sunatan (58,06 %), pada musim penghujan (22,58 %), mengajak anak atau orang tua (19,35%), serta (d) faktor lain seperti jarak ke akses angkutan dekat (16,13%), tarif angkutan diturunkan (12,9 %). Berdasarkan 12 kondisi tertentu di atas maka potensi yang ada atau potensi rata-rata adalah 18,28% dan potensi terbesar adalah pada kondisi perjalanan pergi ke acara pernikahan atau sunatan (tujuan sosial) adalah 58,06%.
ISBN 979.9243.80.7
501
Dewanti
0%
20%
19.35% 80.65% 16.13% 83.87% 12.90% 87.10% 0.00% 100.00% 0.00% 100.00% 38.71%
Mengantar orang ke rumah sakit
61.29% 25.81%
Menjual hasil pertanian
74.19% 6.45% 93.55% 58.06%
Pergi ke acara pernikahan atau sunatan
Mengajak anak, orang lanjut usia, pacar
Ya
120%
100.00%
Tarif angkutan umum diturunkan dari Rp 3000,00 menjadi Rp 2.000,00
Pada kondisi terburu-buru
100%
0.00%
Jarak rumah terhadap akses angkutan umum dekat
Kondisi angkutan umum perdesaan diperbaiki
80%
77.42%
Beban yang dibawa lebih dari 20 kg
Keamanan angkutan umum ditingkatkan
60%
22.58%
Musim penghujan
Malam hari
40%
41.94% 19.35% 80.65%
Tidak
Gambar 2. Tanggapan Nonpengguna Angkutan Umum Terhadap Kemungkinan Penggunaan Angkutan Umum
4. TANTANGAN DALAM PENINGKATAN MOBILITAS DENGAN ANGKUTAN UMUM Permasalahan aksesibilitas dan mobilitas di wilayah perdesaan memiliki hubungan yang erat. Keterbatasan infrastruktur transportasi berakibat pada ketiadaan atau kurangnya layanan transportasi. Operator angkutan umum enggan masuk ke wilayah tersebut yang umumnya rendah kepadatan penduduknya serta kondisi jaringan jalannya yang tidak memadai. Kalau pun tersedia layanan transportasi seringkali tidak terjangkau oleh masyarakat akibat tingginya biaya transport yang harus mereka bayar ataupun jauhnya lokasi tempat tinggal ke pusat layanan transportasi tersebut. Masyarakat semakin sulit untuk melakukan perjalanan dan mobilitas mereka semakin menurun. Namun demikian tidak berarti angkutan umum tidak mungkin dikembangkan di wilayah perdesaan. Masih ada celah yang bisa dimanfaatkan bagi pengembangan angkutan umum, paling tidak masih ada potensi perjalanan masyarakat dengan menggunakan angkutan umum. Dengan demikian untuk meningkatkan mobilitas masyarakat perdesaan akan dilihat berbagai tantangan khususnya dalam pengembangan penggunaan dan layanan angkutan umum.
502
ISBN 979.9243.80.7
Angkutan Umum Perdesaan di Indonesia: Tantangan dalam Upaya Peningkatan Mobilitas Masyarakat Perdesaan
4.1. Model Layanan Selama ini penyediaan angkutan umum di perdesaan masih menggunakan pola operasi angkutan umum di daerah perkotaan yang berorientasi pada ketepatan waktu (penjadwalan yang baik), kenyamanan dan kecepatan serta mengacu pada ketentuan yang dikeluarkan oleh Dephub (SK Dirjend Perhubungan Darat Nomer: SK 687/AJ.206/DRJD/2002). Kondisi permintaan di perdesaan yang sangat berbeda (rendah) akan sangat sulit bagi operator untuk menyediakan layanan transportasi seperti di wilayah perkotaan. Biaya operasi kendaraan yang tinggi menjadi sulit dijangkau masyarakat perdesaan, kondisi permintaan yang rendah berakibat besarnya kerugian yang diterima operator. Sering mereka terpaksa melanggar ketentuan yang berlaku seperti route yang harus ditempuh, jenis kendaraan yang dipakai, besaran tarif yang diberlakukan, dan lain-lain. Tidak tersedianya angkutan barang yang memadai di wilayah perdesaan juga menimbulkan permasalahan lain, yaitu tercampurnya penggunaan angkutan penumpang dengan angkutan barang. Kondisi ini tentunya berdampak pada tidak optimalnya pengangkutan sumber daya yang ada untuk kepentingan distribusi maupun pemasaran. Potensi ekonomi yang dimiliki juga tidak bisa dikelola secara maksimal. Kendala juga semakin terasa khususnya pada musim hujan dimana banyak jalan perdesaan yang tidak bisa dilalui kendaraaan sehinga berakibat terhentinya layanan transportasi. Mempertimbangkan kondisi mobilitas sosial dan ekonomi wilayah perdesaan yang memiliki keterbatasan tersebut diperlukan pengembangan model-model layanan angkutan umum yang sesuai dengan karakter penduduk, lokasi dan potensi wilayah perdesaan. Model layanan angkutan umum yang dimaksud meliputi aspek-aspek: wilayah layanan, route, waktu layanan, tarif dan lebih berorientasi pada terpenuhinya kebutuhan masyarakat perdesaan akan layanan transportasi. Adanya layanan transportasi yang terjangkau serta kepastian layanan merupakan aspek utama yang perlu diprioritaskan. Kenyamanan dan kecepatan bukan pertimbangan utama bagi masyarakat perdesaan dalam menggunakan angkutan umum. Pelayanan yang disediakan pemerintah bersifat formal, artinya route, waktu pelayanan serta tarif ditetapkan oleh pemerintah. Pada daerah perdesaan yang terpencil ketentuan tersebut sangat sulit diimplementasikan sehingga diperlukan model layanan yang lebih adaptif. Oleh karena itu beberapa perubahan mendasar yang perlu dilakukan adalah: -
-
-
Pada daerah perdesaan yang terisolir didorong penyediaan layanan angkutan umum informal dengan wilayah pelayanan sebaiknya di dalam wilayah perdesaan di luar jaringan jalan yang dilayani angkutan umum formal. Hal ini dilakukan untuk menghindari konflik antara layanan angkutan umum formal dan informal. Bentuk layanan angkutan informal memungkinakn untuk memberdayakan masyarakat dalam penyediaan layanan transportasi yang fleksibel, tidak dibatasi oleh ketentuan formal yang sering tidak bisa mereka sediakan. Dengan demikian jenis kendaraan yang digunakan bisa berupa kendaraan bermotor maupun tidak bermotor. Route dan waktu layanan pun tidak harus tetap, disesuaikan dengan kondisi dan pola kegiatan masyarakat serta kebutuhan akan perjalanan. Penetapan tarif memang menjadi kompleks. Bila didasarkan pada besarnya Biaya Operasi Kendaraan riil bisa dipastikan tarif yang harus dibayar pengguna akan tinggi. Oleh karena itu perlu dicarikan alternatif skema pendanaan angkutan umum yang lebih rasional. Subsidi dari Pemerintah tentu sangat diperlukan. Subsidi tidak harus selalu diwujudkan dalam bentuk uang untuk pembelian bahan bakar, tapi bisa berupa insentif terhadap wilayah tersebut dalam bentuk penyediaan dana
ISBN 979.9243.80.7
503
Dewanti
-
untuk perawatan jalan, servis kendaraan dan kredit bank yang berorientasi pada peningkatan layanan angkutan umum. Untuk itu diperlukan mekanisme penentuan siapa yang mendapatkan insentif, bentuk insentif dan berapa besaranya. Keseluruhan kondisi tersebut menuntut kebijakan yang berbeda terhadap praktekpraktek layanan yang sudah berlangsung saat ini yang lebih banyak mengacu pada ketentuan layanan angkutan umum formal di daerah perkotaan, mengingat karakter permasalahan di perdesaan sangat berbeda bila dibandingkan dengan di perkotaan.
4.2. Model Keterlibatan Masyarakat Dalam Layanan Angkutan Umum Penyediaan layanan transportasi perdesaan yang memenuhi kebutuhan masyarakat menghadapi banyak kendala baik dari sisi pengguna, penyedia jasa maupun pemerintah sebagai regulator. Pemerintah maupun instansi yang terkait lainnya sering gagal memahami kebutuhan layanan transportasi masyarakat perdesaan khususnya di daerah terpencil. Oleh karena itu dalam perencanaan dan pengoperasian angkutan umum di wilayah perdesaan tuntutan untuk melibatkan masyarakat menjadi sesuatu yang sangat mendesak. Pelibatan masyarakat memungkinkan kebutuhan mereka bisa teridentifikasi dengan tepat sehingga penyediaan layanan transportasinya pun sesuai dengan kebutuhan yang ada. Dari sisi penyediaan layanan, keterlibatan mereka akan memungkinkan sistem layanan yang berkelanjutan, karena segala sesuatu yang mereka kerjakan untuk pelayanan angkutan umum berprinsip dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat seluas-luasnya. Model keterlibatan masyarakat dalam penyediaan layanan angkutan umum perdesaan telah berhasil dikembangkan di Srilanka (LFRTD, 2006). Dampak sosial ekonomi dari model tersebut terbukti telah merubah pola perjalanan masyarakat perdesaan dari durasi perjalanan panjang menjadi lebih pendek, akses ke pasar, sekolah dan pusat layanan kesehatan lebih mudah. Dalam jangka panjang kondisi ini akan meningkatkan interaksi masyarakat dengan aktifitas sosial ekonomi di luar wilayah permukiman mereka dan juga mampu meningkatkan kondisi ekonomi dan sosial mereka sendiri. Mengacu keberhasilan model pemberdayaan masyarakat dalam penyediaan layanan angkutan umum di Srilanka tersebut tentunya perlu dikembangkan pula model-model sejenis yang cocok untuk kondisi masyarakat Indonesia. Model keterlibatan masyarakat dalam layanan angkutan umum tentunya sangat dipengaruhi oleh kondisi wilayah dan masyarakat setempat. Apalagi mengingat kondisi wilayah Indonesia yang sangat luas dan karakter penduduknya (sosial, ekonomi danbudaya) yang sangat majemuk tentunya membutuhkan model-model yang tidak selalu sama. Oleh karena itu perlu upaya pengembangan model layanan angkutan umum yang lebih spesifik baik berbasis moda angkutan (darat, udara dan air), kondisi wilayah (pegunungan, perbukitan, dataran) maupun karakter wilayah permukiman (Jawa, Sumatra, Kalimantan dan lain-lain) sehingga dimungkinkan penyediaan angkutan umum yang berkelanjutan. 4.3. Model Kendaraan Angkutan umum di perdesaan selama ini digunakan baik untuk mengangkut penumpang maupun barang. Barang yang dibawa 43,8% berupa hasil pertanian, 28,6% sembako dan barang kelontong (18,8%). Dengan model kendaraan yang digunakan saat ini (mini bus, bus dan sepeda motor untuk ’ojek’) muncul kesulitan (menurut 78,6 % responden) dalam meletakkan barang-barang bawaan tersebut (Effendi, Dewanti, 2006) selain juga menimbulkan ketidaknyamanan bagi pengguna angkutan umum. Untuk menyediakan layanan angkutan barang secara khusus pun masih terkendala rendahnya permintaan dan ketersediaan infrastruktur transportasi 504
ISBN 979.9243.80.7
Angkutan Umum Perdesaan di Indonesia: Tantangan dalam Upaya Peningkatan Mobilitas Masyarakat Perdesaan
yang memadai. Penggunaan jenis kendaraan khusus untuk angkutan barang dipastikan kurang ekonomis. Oleh karena itu perlu dikembangkan model kendaraan angkutan umum yang berfungsi sebagai pengangkut penumpang sekaligus barang. Pemanfaatan jenis kendaraan sebagai pengangkut penumpang sekaligus barang dilatarbelakangi oleh rendahnya kebutuhan angkutan barang maupun penumpang, sehingga bila kedua fungsi tersebut bisa disatukan dalam satu rancangan kendaraan umum diharapkan dapat meningkatkan kapasitas layanan angkutan umum. Dengan demikian layanan yang bisa disediakan oleh jenis kendaraan umum tersebut bisa optimal dan mobilitas orang maupun barang diharapkan pula meningkat signifikan. Dari sisi operator pun tentunya akan lebih menguntungkan karena tingkat okupansi atau load factor kendaraan akan meningkat.
5. KESIMPULAN DAN SARAN Mobilitas masyarakat perdesaan bisa dijadikan sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan wilayah perdesaan. Mobilitas yang tinggi mengindikasikan interaksi masyarakat dalam bidang sosial maupun ekonomi di dalam maupun di luar wilayah juga tinggi. Ketersediaan prasarana tranportasi saja tidak cukup untuk meningkatkan mobilitas, diperlukan dukungan layanan transportasi yang memadai, diantaranya adalah layanan angkutan umum. Secara umum penggunaan angkutan umum di perdesaan Indonesia hanya sebesar 15 % total perjalanan yang dilakukan masyarakat perdesaan. Namun demikian angka tersebut memiliki nilai strategis mengingat sebagian besar perjalanan dengan menggunakan angkutan umum itu bersifat perjalanan eksternal ( ke luar wilayah permukiman/perdesaan), jarak jauh untuk kepentingan ekonomi, yaitu menjual hasil bumi/industri lokal, bekerja dan membeli bahan baku pertanian maupun industri. Kendala infrastruktur transport yang terbatas serta kecilnya layanan angkutan umum mengakibatkan mobilitas perdesaan khususnya di daerah terpencil masih sangat rendah. Namun demikian wilyah perdesan masih menyimpan potensi perjalanan yang cukup baik dari kegiatan pengangkutan hasil pertanian (25,8%), perjalanan dengan membawa beban lebih 20 kg sebanyak 19,35 % , perjalanan di musim hujan (22,58%) maupun perjalanan yang menuntut kenyamanan lebih baik (misal perjalanan ke rumah sakit, bersama anak-anak atau orangtua). Dengan demikian pengembangan angkutan umum di perdesaan menjadi suatu keharusan namun demikian masih harus menghadapi berbagai tantangan. Tantangan yang signifikan dalam upaya meningkatkan mobilitas masyarakat perdesaan adalah pengembangan model-model layanan angkutan umum yang berkelanjutan. Disamping itu berbagai model keterlibatan peran serta masyarakat dalam layanan transportasi serta model jenis kendaraan yang sesuai kebutuhan pergerakan masyarakat perdesaan harus dikembangkan. Pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penyediaan layanan transportasi disarankan lebih proaktif dalam menangani permasalahan transportasi di perdesaan. Pendekatan penanganan sebaiknya tidak terpaku pada model penanganan transportasi di daerah perkotaan, mengingat karakter sosial-ekonomi masyarakat perdesaan serta sifat permasalahan yang sangat berbeda. Aspek sosial dan kemanusiaan akan menjadi lebih dominan pada saat mencermati permasalahan transportasi perdesaan. Untuk meningkatkan mobilitas masyarakat perdesaan dalam penggunaan angkutan umum khususnya untuk wilayah terpencil disarankan untuk memanfaatkan sumber daya lokal semaksimal mungkin. Ketentuan layanan angkutan umum perkotaan yang selama ini digunakan sebagai dasar dalam penyediaan layanan
ISBN 979.9243.80.7
505
Dewanti
angkutan umum perdesaan menjadi tidak tepat lagi. Pemerintah perlu membuat ketentuan layanan angkutan perdesaan yang memungkinkan penggunaan berbagai jenis kendaraan (bermotor, tidak bermotor, ditarik hewan) dengan sifat layanan lebih fleksibel (route dan waktu layanan disesuaikan dengan karakter kegiatan di wilayah tersebut) serta memberdayakan semaksimal mungkin peran serta masyarakat dalam penyediaan angkutan umum dengan berbagai bentuk intervensi yang tepat. Pada akhirnya diharapkan layanan angkutan umum yang tersedia bisa memenuhi kebutuhan minimal perjalanan masyarakat perdesaan dan bisa dioperasikan secara berkelanjutan.
6. DAFTAR PUSTAKA 1. ------- (2002), Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor: SK 687/AJ.206/DRJD/2002 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Angkutan Penumpang Umum di Wilayah Perkotaan Dalam Trayek Tetap dan Teratur 2. Anas, Arif Hakim; Dewanti (2006), Pola Perjalanan Harian Masyarakat Perdesaan (Studi Kasus : Desa Sidomulyo Kecamatan Pengasih Kabupaten Kulon Progo), Simposium IX Forum Studi Transportasi Antar Perguruan Tinggi, Universitas Brawijaya, Malang 3. Cullinane, S., Stokes, G. (1998), Rural Transport Policy, Pergamon, Amsterdam, Netherland 4. Dennis, Ron (2000), Rural Transport and Accessibility: A Synthesis Paper, ILO, Geneva 5. Effendi, M. Sidqon; Dewanti (2006), Evaluasi Kebijakan Pelayanan Angkutan Perdesaan Di Kabupaten Gunungkidul, Simposium IX Forum Studi Transportasi Antar Perguruan Tinggi, Universitas Brawijaya, Malang 6. Johnston, D.C. (1996), Daily Transport Patterns in Garut District, Indonesia, Department of Geography, University of Canterbury, Christchurch, New Zealand 7. LFRTD (Lanka Forum on Rural Transport Development) (2006), Socio-Economic Impact Assesment of the Community Managed Transportation Services – Based on the Community Managed Transportation Services of Kosgala, Rathmalgaswewa and Kolegama. 8. Magribi, La Ode Muhamad (2004), Pengaruh Aksesibilitas Terhadap Pembangunan di Perdesaan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Disertasi (Tidak dipublikasikan) 9. Nugroho, Yulianto (2006), Peranan Angkutan Umum Perdesaan Terhadap pergerakan Masyarakat Perdesaan ( Studi Kasus : Desa Sidomulyo Kecamatan Pengasih Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta), Jurusan Teknik Sipil UGM, Tugas Akhir (Tidak dipublikasikan) 10. Vivi, SR. (2000), Identifikasi Kebutuhan Perjalanan Masyarakat Perdesaan (Studi Kasusdi Desa Majalengka, Kecamatan Bawang, Kab. Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah),Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, UGM, Tugas Akhir, (Tidak dipublikasikan) 11. Zarkasi (2006), Pola Pelayanan Angkutan Umum Perdesaan di Kabupaten Kulon
Progo (Studi Kasus: jalur 2 dan 9), Jurusan Teknik Sipil UGM, Tugas Akhir, (Tidak dipublikasikan)
506
ISBN 979.9243.80.7