ANALISIS WACANA FLU BURUNG (VIRUS AVIAN INFLUENZA) DI HARIAN UMUM PIKIRAN RAKYAT Oleh: Mien Hidayat & Engkus Kuswarno Fakultas Ilmu Komunikasi ABSTRAK Makalah berdasarkan hasil penelitian yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana virus flu burung dalam teks Harian Umum Pikiran Rakyat, bagaimana representasi kognisi jurnalis dalam produksi berita, serta konteks sosial mengenai virus flu burung tersebut. Untuk itu, digunakan Metode Penelitian Kualitatif dengan Analisis Wacana Sosial Model Teun A Van Djik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wacana flu burung pada Harian Umum Pikiran Rakyat lbh memberi identitas dan kepentingan lokal Jawa Barat. Jurnalis yang megkonstruksi berita cenderung lebih dipengaruhi kepentingan masyarakat ketimbang program pemerintah dan dalam konteks sosial, virus flu burung bukan berkaitan dengan masalah kesehatan masyarakat melainkan dengan faktor ekonomi. Kesimpulan yang diperoleh dari analisis ini Harian Umum Pikiran Rakyat mengkonstruksi masalah flu burung dengan mengembangkan wacana kepentingan nasional (pemerintah) dan lokal (masyarakat Jawa Barat) dan cenderung membela kepentingan masyarakat ketimbang program pemerintah. Kata Kunci: Analisis Wacana Sosial, konstruksi makna teks, kognisi sosial, konteks sosial I. PENDAHULUAN Kasus virus flu burung pada manusia bukan baru sekarang ini terjadi. Wabah pertama virus flu burung H5NI terjadi tahun 2007 di Hongkong. Subtipe lain yang pernah dilaporkan adalah H9N2 di China dan Hongkong tahun 1999, H7N2 pada tahun 2002 di Virginia, H7N7 di Belanda pada tahun 2003. dari semua itu, tipe H5NI-lah yang paling banyak menyebabkan korban. Menurut laporan World Health Organization (WHO), sejak tahun 2003 sampai 22 Januari 2007, virus influenza A H5NI telah menyebabkan sakit dan kematian pada manusia di 10 negara. Negara tersebut adalah Azerbaijan, Kamboja, China Djibouti, Mesir, Indonesia,
Irak, Thailand, Turki dan Vietnam. Selama tahun 2006, Indonesia menyumbang 56 kasus positif flu burung pada manusia dan 46 antaranya meniggal dunia. Tahun 2007 ini, kasus baru didapatkan di Indonesia dan Mesir. Posko flu burung Departemen Kesehatan Republik Indonesia sampai tanggal 12 Januari 2007 mencatat 76 kasus positif flu burung dengan korban meninggal sebanyak 56 orang. Di Indonesia kasus flu burung tersebar di sembilan provinsi yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Lampung dan Sumatra Barat. Dalam skala nasional, Jawa Barat adalah provinsi terbanyak yang mengalami kasus flu burung dengan 21 orang meninggal(Pikiran Rakyat, 28 Januari 2007). Seirang dengan banyaknya kasus yang muncul, masyarakat pun dibanjiri oleh banyak informasi tentang kasus flu burung. Di site pencariaan google misalnya, ada tercatat 825 000 informasi mengenai flu burung. Sepanjang bulan Januari 2007 saja, Harian Umum Pikiran Rakyat menerbitkan lebih dari 50 berita mengenai kasus flu burung dengan beragam topik (Pusat Data Pikiran Rakyat). Harian Umum Pikiran Rakyat (PR) adalah media lokal yang mempunyai segmen Jawa Barat. Setelah media berskala nasional untuk beberapa saat, tahun 1982, PR pulang kandang. Bagi mereka Bandung dan Jawa Barat adalah lapisan benteng terdalamnya, tempat dimana akar utama kelangsungan hidup tumbuh. Pada prinsipnya setiap upaya konseptualisasi sebuah peristiwa, keadaan atau benda tak terkecuali
mengenai
virus
H5NI
atau
dikenal
virus
flu
burung
adalah
usaha
mengkonsteruksikan realitas. Ibnu Hamad menyatakan bahwa setiap hasil laporan adalah hasil konstruksi realitas atas kejadian yang dilaporkan (Hamad;2004, 11). Karena sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah mengkonstruksikan berbagai realitas yang akan disiarkan. Oleh karenya dalam tulisan ini, penulis mencoba menganalisis berita edisi 23 Januari 2007 di Harian Umum Pikiran Rakyat dengan mempergunakan analisis wacana kritis. Tulisan inii berguna untuk melihat wacana sosial apa saja yang bekerja pada berita, sehingga dapat penjelasan mengenai konstruksi realitas flu burung di Harian Umum Pikiran Rakyat. II ANALISIS WACANA Analisis wacana termasuk dalam kategori paradigma kritis. Paradigma kritis ini sering kali dilawankan dengan paradigm pluralis yang bersumber dari pemikiran Auguste Comte, Emile Durkheim, Mark Weber dan Ferdinand Tonnies. Inti dari paradigm pluralis ini adalah kepercayaan bahwa masyarakat adalah wujud dari konsensus dan mengutamakan
keseimbangan. Masyarakat dilihat sebagai suatu kelompok yang kompleks di mana terdapat berbagai kelompok sosial yang saling berpengaruh dalam suatu sistem dan pada akhirnya mencapai keseimbangan. Pandangan ini percaya dengan ide liberal yang meyakini kalau persaingan dibiarkan bebas, pada akhirnya akan tercipta suatu keseimbangan dan ekuilibrium antara berbagai kelompok masyarakat tersebut. Khalayak dipandang sebagai otonom dan dapat menentukan apa yang perlau atau tidak perlu bagi mereka(Eriyanto, 2006;22). Sementara itu paradigm kritis yang bersumber dari pemikiran Mahzab Frankfurt banyak dipengaruhi oleh ide dan gagasan Marxist. Mahzab Frankfurt tumbuh di Jerman saat Hitler masih berkuasa. Media saat itu dipenuhi oleh propaganda, prasangka dan retorika yang digunakan oleh pemerintah untuk mengontrol publik. Aliran ini mempertanyakan adanya kekuatan-kekuatan yang berbeda dalam masyarakat yang mengontrol proses komunikasi. Pertanyaan utamanya adalah siapa yang mengontrol media? Mengapa ia dikontrol? Keuntungan apa yang bisa diambil dengan pengontrolan tersebut? Kelompok mana yang tidak dominan dan menjadi objek pengontrolan? Media dianggap sebagai sarana kelompok dominan untuk memarjinalkan atau mengontrol kelompok minoritas. Aspek ekonomi politik dalam proses penyebaran pesan juga menjadi fokus dari aliran ini. Kata discourse dalam bahasa Latin discursus yang berarti lari kian kemari (yang diturunkan dari dis- dari, dalam arah yang berbeda. Dan curere- lari). Dalam kamus Webster, 1958;522 disebutkan pengertian dari wacana adalah sebagai berikut: komunikasi pikiran dengan kata-kata; ekspresi ide-ide atau gagasan-gagasan; konversasi atau percakapan. Komunikasi secara umum terutama sebagai suatu subjek studi atau pokok telaah, risalat tulis; disertasi formal; kuliah; ceramah; khotbah(Sobur, 2004;10). Ismail Marahimin (1994;26) mendefinisikan wacan sebagai kemampuan untuk maju(dalam pembahasan) menurut urut-urutan yang teratur yang menurut urutan yang semestinya dan komunikasi buah pikiran baik lisan maupun tulisan yang resmi dan teratur. Merujuk pada definisi ini maka semua komunikasi tulisan dan lisan yang teratur dan logis bisa dikategorikan sebagai wacana. Wacana dikatakan harus memiliki dua komponen penting, yaitu kesatuan dan koherensi(coherence). Sejalan dengan pendapat Marahimin, Henry Guntur Tarigan (1993;23) memandang wacana tidak hanya mencakup percakapan atau obrolan tetapi juga pembicaraan di muka umum, tulisa serta upaya-upaya formal seperti laporan ilmiah dan sandiwara dalam lakon. Samsuri mendefinisikan wacana sebagai rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi, biasanya terdiri dari seperangkat kalimat yang mempunyai hubungan pengertian
yang satu dengan yang lainnya. Komunikasi itu dapat menggunakan bahasa lisan, dan dapat pula memakai bahasa tulisan. Wacana secara lebih sederhana dipandang sebagai cara objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kpd publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar secara luas(Lull, 1998;225). Sementara itu Mills (1994) dengan mengacu pada pendapat Foucault membedakan pengertian wacana menjadi tiga macam; level konteks teoretis, konteks penggunaan dan metode penjelasan. Berdasarkan level konseptual teoretis, wacana diartikan sebagai domain umum dari semua pernyataan, yaitu semua ujaran atau teks yang mempunyai makna dan mempunyai efek dalam dunia nyata. Sementara dalam konteks penggunaannya wacana berarti sekumpulan pernyataan yang dapat dikelompokan ke dalam kategori konseptual tertentu. Pengertian ini menekankan pada upaya untuk mengidentifikasi struktur tertentu dalam wacana,yaitu kelompok ujaran yang diatur dengan cara tertentu misalnya wacana imperialism dan wacana feminism. Sedangkan dilihat dari metode penjelasannya, wacana merupakan suatu praktek yang diatur untuk menjelaskan sejumlah pernyataan. Michel Foucult dalam Eriyanto, 2006, menganggap wacana sebagai sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara otomatis ide, opini, konsep dan pandangan hidup dibentuk dalam konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu, ciri utama wacana adalah kemampuannya untuk menjadi suatu himpunan wacana yang berfungsi membentuk dan melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat, konsep-konsep seperti gila atau tidak gila, sehat, sakit, benar atau salah dibentuk dan dilestarikan oleh wacana-wacana yang berkaitan dengan bidang-bidang seperti psikiatri, ilmu kedokteran, serta ilmu pengetahuan pada umumnya. Dalam suatu masyarakat terdapat berbagai macam wacana, namun kekuasaaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga menjadi dominan dan wacana yang lain menjadi terpinggirkan(marginalized). Wacana dominan tersebut memiliki dua konsekuensi. Pertama wacana dominana memberikan arahan bagaimana suatu objek harus dibaca dan dipahami. Pandangan dibatasi dalam batas-batas struktur diskursif tersebut. Kedua struktur diskursif yang tercipta atas suatu objek bukan berarti kebenaran karena menyebabkan wacana yang tidak dominan menjadi terpinggirkan. Setiap kekuasaan pada dasarnya selalu berusaha membentuk pengetahuannya sendiri dan menciptakan kebenaran sendiri. Oleh karen itu dalam analisis wacana perlu mempertimbangkan bagaimana produksi wacana atas suatu hal diproduksi dan bagaimana reproduksi tersebut dibuat oleh kelompok atau elemen masyarakat.
Dari segi analisisnya, Syamsudin (dalam Sobur, 2004:49) mengemukakan ciri dan sifat wacana sebagai berikut: Analisis wavana membahasa kaidah memakai bahasa di dalam masyarakat (rule of use menurut Widdowson) Analisis wacana merupakan usaha memahami makna tuturan dalam konteks, teks dan situasi(Firth) Analisis wacana merupakan pemehaman rangkaian tuturan melalui interpretasi semantik(Beller) Analisis wacana berkaitan dengan pemahaman bahasa dalam tindak berbahasa(what is said from is done-Labov) Analisis wacana diarahkan kepada masalah memakai bahasa secara fungsional(functional use of language-Coulthard) Perbedaan analisis wacana dengan analisis isi kuantitatif Analisis wacana menekankan pada pemaknaan teks ketimbang penjumlahan unit kategori seperti dalam analisis isi. Dasar dari analisis wacana adalah interpretasi dan penafsiran peneliti. Analisis isi kuantitatif pada umumnya hanya dapat digunakan untuk membedah muatanteks komunikasi yang manifes atau nyata sedangkan analisis wacana justru berpretensi memfokuskan pada pesan laten atau tersembunyi. Pretensi analisis wacana adalah pada muatan, nuansa dan makna yang laten dalam teks media. Dalam analisis isi kuantitatif yang dipentingkan adalah objektivitas validitas dan reliabilitas. Tidak boleh ada penafsiran dari peneliti. Sumber berita, ukuran berita dan letak berita adalah contoh elemen yang terlihat nyata dalam berita. Sebaliknya dalam analisis wacana unsur penting dalam analisis adalah penafsiran dari peneliti. Tanda dan eleman yang ada dalam teks dapat ditafsirkan secara mendalam oleh peneliti, sesuatu yang tidak terdapat dalam analisis isi kuantitatif. Analisis isi kuantitatif hanya dapat mempertimbangkan “apa yang dikatakan” tetapi tidak dapat menyelidiki bagaimana ia dikatakan. Dalam kenyataannya yang penting bukan apa yang dikatakan oleh media akan tetapi bagaimana dan dengan cara apa pesan dikatakan. Analisis wacana tidak berpretensi melakukan generalisasi. Pengambilan sampel, uji statistik yang digunakan dalam analisis isi secara tidak langsung memang bertujuan agar hasil penelitian dapat menggambarkan fenomena keseluruhan dari peristiwa bahkan bisa memprediksi.
Analisis wacana Teun A.Van Dijk Model Teun A. Van Dijk adalah model analisis wacana yang paling sering digunakan. Model analisis wacana Van Dijk ini disebut juga sebagai “kognisi sosial”. Wacana digambarkan mempunyai tiga dimensi : teks, kognisi sosialdan konteks sosial. Inti analisis Van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi tersebut dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan dtrategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu wartawan. Sementara itu aspek konteks sosial mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah (Eriyanto, 2006;224) Model analisis Van Dijk dapat digambarkan sebagai berikut: Teks Kognisi Sosial Konteks Sosial
Gambar 1. Diagram Model Analisis Van Dijk Skema penelitian dan metode yang biasa dilakukan dalam kerangka Van Dijk adalah sebagai berikut:
STRUKTUR
METODE
Teks
Critical linguistic
Menganalisis bagaimana strategi wacana yang digunakan untuk menggambarkan seseorang atau peristiwa tertentu. Bagaimana strategi tekstual yang dipakai untuk memarjinalkan suatu kelompok, gagasan atau peristiwa tertentu. Kognisi Sosial
Wawancara mendalam
Menganalisis bagaimana kognisis wartawan dalam memahami seseorang atau peristiwa tertentu yang akan ditulis Analisis Sosial
Studi pustaka, penelusuran sejarah
Menganalisis bagaimana wacana yang berkembang dalam masyarakat, proses produksi dan reproduksi seseorang atau peristiwa digambarkan. Tabel 1. Skema Penelitian dan Metode Van Dijk Analisis Teks Van Dijk melihat teks terdiri dari berbagai struktur/tingkatan yaitu: Struktur makro. Ini merupakan makna umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari peristiwa. Superstruktur adalah kerangka suatu teks; bagaimana struktur dan elemen wacana disusun dalam teks secara utuh. Struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, paraphrase yang dipakai dan sebagainya.
Elemen wacana Van Dijk lebih lengkapnya dapat digambarkan sebagai berikut: STRUKTUR WACANA Struktur makro
HAL YANG DIAMATI Tematik
ELEMEN Topik
Apa yang dikatakan? Tema/topik yang dikedepankan dalam suatu berita. Superstruktur
Skematik
Skema
Bagaimana pendapat disusun dan dirangkai Struktur mikro
Semantik Makna yang inginditekankan dalam teks berita. Misalnya dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisit satu sisi dan mengurangi detil sisi lainnya
Struktur mikro
Sintaksi
Latar, detail, maksud, praanggapan, nominalitas
Bentuk kalimat, koherensi, kata ganti
Bagaimana pendapat disampaikan? Menyangkut bentuk, susunan kalimat yang dipilih. Struktur mikro
Statistik Pilihan kata dipakai?
Struktur mikro
Leksikon apa
yang
Retoris
Grafis, metafora, ekspresi
Bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan? Tabel 2. Elemen Wacana Van Dijk Analisis Kognisi Sosial Kognisi sosial merupakan dimensi untuk menjelaskan bagaimana suatu teks diproduksi oleh individu/kelompok pembuat teks tertentu. Analisis sosial melihat bgmm teks dihubungkan
lebih jauh dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang di masyarakat atas suatu wacana. Dalam kerangka analaisis wacana Van Dijk perlu meneliti kognisi sosial, yakni kesadarana mental wartawan yang membentuk teks tersebut. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, makna diberikan oleh pengguna bahasa (dalam kasus ini wartawan). Oleh karena itu dibutuhkan penelitian mengenai representasi kognisi dan strategi wartawan dalam memproduksi berita. Menurut Van Dijk penelitian terhadap struktur dan proses mental ini perlu dilakukan dengan dua alasan. Pertama, mengerti teks, bagaimana makna teks secara strategis dikontruksi dan ditampilkan dalam memori sebagai representsi teks. Kedua, pemakaian bahasa, dalam hal ini wartawan mempunyai posisi yang unik, mempunyai pandangan tertentu yang dipresentasikan dalam teks. Peristiwa dipahami berdasarkan skema atau model. Skema dikonseptualisasikan sebagai struktur mental di mana tercakup cara pandang terhadap manusia, peranan sosial dan peristiwa. Skema menunjukkan bagaimana kita menggunakan struktur mental untuk menyeleksi dan memproses informasi yang datang dari lingkungan. Skema sangat ditentukan oleh pengalaman dan sosialisasi. Sebagai sebuah struktur mental menolong kita untuk menjelaskan realitas dunia yang kompleks. Skema bekerja secara aktif untuk mengkonstruksi realitas. Skema menggambarkan bagaimana seseorang menggunakan informasi yang tersimpan dalam memorinya dan bagaimana diintegrasikan dengan informasi baru yang menggambarkan bagaimana peristiwa dipahami, ditafsirkan dan dimasukkan dalam pengetahuan sebagai realitas. Pemahaman terhadap realitas ini dipengaruhi oleh pengalaman dan memori. Jika suatu berita mempunyai bias umumnya karena model/skema wartawan yang menggambarkan struktur karena itu menurut Van Dijk analisis wacana harus menyertakan bagaimana reproduksi kepercayaan menjadi landasan wartawan menciptakan teks tertentu(Eriyanto, 2006; 262-263) Ada beberapa skema/model yang dapat digunakan dalam analisis kognisi sosial wartawan, digambarkan sebagai berikut:
Skema person(person schemas)
Skema ini menggambarkan bagaimana menggambarkan dan memandang orang lain
seseorang
Skema diri (self schemas)
Skema ini berhubungan dengan bagaimana diri sendiri dipandang, dipahami dan digambarkan seseorang
Skema peran (role schemas)
Skema ini berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang dan menggambarkan peranan dan posisi yang ditempati seseorang dalam masyarakat. Pandangan ini akan mempengaruhi pemberitaansuatu peristiwa
Skema peristiwa(event schemas)
Skema ini barangkali yang paling banyak digunakan wartawan Tabel 3. Skema/Model Kognisi Sosial
Elemen lainyg juga penting dalam kognisis selain skema/model yaitu memori. Schlessinger dan Groves (dalam Jalaluddin Rakhmat, 2004;62) mendefinisikan memori sebagai sistem yang sangat terstruktur yang menyebabkan organism sanggup merekam fakta tentang pengolahan informasi dikenal dua jenis memori yaitu memori jangka pendek(short term memory) dan memori jangka panjang(long term memory). Memori jangka pendek digunakan untuk mengingat peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu (durasi waktunya pendek). Memori ini sangat terpengaruh oleh interferensi. Bila informasi berhasil dipertahankan maka akan masuk pada memori jangka panjang. Karena jangka waktu yang panjang seringkali ada perbedaan realitas dengan memori ini. Kognisi sosial lebih mempertimbangkan memori jangka panjang. Memori ini terdiri dari dua bagian besar yakni, memori episodik (episodic memory) dan memori semantik (semantic memory). Memori episodik yaitu memori yang berhubungan dengan diri kita sendiri. Sedangkan memori semantik adalah memori yang digunakan pengetahuan tentang dunia/realitas. Pertanyaan utama yang diajukan Van Dijk dalam analisis kognisis sosial wartawan adalah bagaimana wartawan mendengar dan membaca peristiwa, bagaimana peristiwa tersebut dimengerti, dimaknai, dan ditampilkan dalam pikiran. Bagaimana peristiwa tersebut difokuskan, diseleksi, dan disimpulkan dalam keseluruhan proses berita? Bagaimana informasi yang telah dipunyai oleh wartawan tersebut digunakan dalam memproduksi berita? Van Dijk menjelaskan tiga strategi besar yang dilakukan dalam analisis kognisi sosial: Seleksi. Seleksi adalah strategi-strategi yang kompleks yang menunjukkan bagaimana sumber, peristiwa, informasi diseleksi wartawan untuk ditampilkan dalam berita.
Reproduksi. Reproduksi berhubungan dengan pemilihan informasi apa yang dipilih untuk ditampilkan, apakah informasi tersebut dikopi, digandakan, atau tidak digunakan sama sekali. Terutama berhubungan dengan sumber berita dari kantor barita atau proses release. Penyimpulan. Penyimpulan ini berhubungan dengan bagaimana realitas yang kompleks dipahami dan ditampilkan secara ringkas. Oleh karena itu dalam penyimpulan ini paling tidak ada tiga hal terkait. Pertama, adalah penghilangan dengan merangkum informasi dan menghilangkan informasi yang tidak relevan. Kedua generalisasi di mana informasi yang agak mirip dijadikan sumber informasi yang berlaku umum. Ketiga adalah konstruksi yang berhubungan dengan kombinasi beberapa fakta atau informasi sehingga membentuk pengertian secara kesluruhan. Transformasi lokal. Transformasi lokal berhubungan dengan pertanyaan bagaimana peristiwa yang kompleks disederhanakan melalui tampilan tertentu dan bagaimana peristiwa tersebut ditampilkan. Misalnya dengan memberikan penambahan (addition). Selain penambahan informasi juga bisa dilakukan perubahan urutan(permutation) Analisis Sosial Wacana adalah bagian dari wacana yang berkembang dalam masyarakat sehingga untuk meneliti teks perlu dilakukan analisis intertekstual dengan meneliti bagaimana wacana tentang suatu hal diproduksi dan direkonstruksi oleh masyarakat. Titik penting dari analisis ini adalah bagaimana makna dihayati bersama, kekuasaan sosial yang dproduksi lewat praktek diskursus dan legitimasi. Menurut Van Dijk dalam analisis sosial ini ada dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu kekuasaan (power) dan akses(access). Kekuasaan menurut Michel Foucault tidak dimaknai dalam term kepemilikan. Kuasa dipraktekan dalam ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang strategis berkaitan satu sama lain. Strategi kuasa ini berlangsung di mana-mana. Kuasa ini menentukan susunan, aturanaturan danhub-hubungan dari dalam . kekuasaan bagi Foucault selalu terakulasikakan melalui pengetahuan, dan pengetahuan selalu mempunyai efek kuasa. Kuasa penyelenggaraan kekuasaan selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis dari kekuasaannya. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Lebih lanjut kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan lewat
wacana yang dibentuk oleh kekuasaan. Foucault menambahkan bahwa kuasa ini bekerja melalui normalisasi dan regulasi. Berbeda dengan Foucault, Van Dijk mendefinisikan kekuasaan sebagai kepemilikan yang dimiliki oleh suatu kelompok (atau anggotanya), satu kelompok untuk mengontrol kelompok (atau anggota) dari kelompok lain. Kekuasaan ini didasarkan pada kepemilikan atas sumber-sumber yang bernilai. Selain kontrol yang bersifat langsung dan fisik kekuasaan juga berbentuk persuasif. Analisis wacana juga mempertimbangkan dominasi yang diproduksi oleh pemberian akses yang khusus pada suatu kelompok dibandingkan kelompok lain. Berkaitan dengan akses, Van Dijk berpendapat bahwa akses ini didominasi oleh kelopok-kelompok elit. Oleh karena itu kelompok ini pulalah yang memiliki kesempatan lebih besar untuk mempengaruhi khalayak. Akses yang lebih besar ini juga bisa menentukan topik dan isi wacana yang akan disebarkan dan didisukusikan kepada khalayak. Sementara itu khalayak yang tidak memiliki akses akan berperan dalam menyebarkan wacana yang telah ditentuka tersebut. III PIKIRAN RAKYAT DAN JAWA BARAT Harian Umum Pikiran Rakyat (PR) pada awalnya berdiri pada tanggal 30 Mei 1950, dengan nama Warta Harian Pikiran Rakyat(WHPR) dan dikelola oleh Djamal Ali, SH serta almarhum AZ Parlindih dengan membawa bendera perusahaan bernama Bandung NV. Saat itu surat kabar WHPR terbit dengan empat lembar halaman dengan bentuk huruf berupa letter press, karena masih menggunakan mesin cetak duplex. Tahun 1966, surat kabar tersebut dilarang terbit oleh pemerintah. Kemudian Ibrahim Adjie yang merupakan Panglima Daerah Militer (pangdam) VI Siliwangi menganjurkan dan memberi dorongan kepada para wartawan tersebut untuk membentuk suatu yayasan bersama, Yayasan Angkatan Bersenjata. Harian ini pun bernam Angkatan Bersenjata edisi Jawa Barat yang memiliki kantor pusat serta terbit di Jakarta. Angkatan Bersenjata pertama kali terbit pada 24 Maret 1966, bersamaan dengan peringatan 20 tahun peristiwa Bandung Lautan Api, dengan oplah cetakan tiga ribu eksemplar. Sayangnya harian ini hanya mampu terbit 37 kali, dikarenakan adanya kebijakan baru dari pemerintah, 1 Juni 1966, mengenai kehidupan pers di Indonesia yang mengatakan bila pemerintah memberi kebeasan setiap orang/lembaga untuk membentuk surat kabar yang mandiri, tidak terikat atau berafiliasi dengan suatu partai atau golongan.
Surat kabar ini kemudian berganti nama, dari Harian Angkatan Bersenjata edisi Jawa Barat menjadi PR. Perubahan yang terjadi di tubuh surat kabar ini tidak hanya sampai di situ, sebab yayasan pun berganti nomor dan tahun penerbitan baru sejak 24 Maret 1966. Dengan motto “Dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat” dan “Beritanya dapat Dipercaya”, PR mulalui menunjukkan jati diri yang sesungguhnya kepada masyarakat Jawa Barat. PR ingin menunjukkan bahwa mereka mempunyai kedudukan, fungsi serta peranan yang memiliki kepribadian khas, mandiri serta mengabdi kepada kepentingan umum. Hingga akhir tahun 1973, sirkulasi PR masih berkisar 22 500 eksemplar untuk disebar ke daerah-daerah di Jawa Barat, di mana jumlah itu masih kurang dibandingkan dengan jumlah surat kabar ibukota yang mendominasi pasar Jawa Barat. Hal ini pun makin membuat PR jauh ketinggalan dalam persaingan. Tepat 12 Mei 1975, PR memulai edisi komersial, dengan tebal delapan halaman. Pergantian serta penambahan mesin cetak off set yang terbilang canggih terbukti ampuh menyokong lembar kertas tertulis tersebut ke angka yang cukup fantastis. Oplah harian langsung di genjot ke angka 20 ribu eksemplar, kemudian 25 ribu eksemplar dan stabil 35 ribu. Iklan pun mengalami pertumbuhan seiring perkembangan tiras. Sejak itu, awal tahun 1974 PT. PR makin berkibar dengan dengan makin berkembang, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Harian Umum Pikiran Rakyat pun makin cepat berpenetrasi dan menyebar ke seluruh Jawa Barat dalam merebut pasarnya kembali. Bahkan sempat menjadi surat kabar daerah yang pertama berhasil menembus di ibukota. Pada masa tahun 80-an, PT. Pikiran Rakyat berkembang menjadi perusahaan pers yang terpandang dan disegani. Selain beredar di seluruh wilayah Jawa Barat, surat kabar ini juga beredar di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya di luar Jawa Barat. Kenyataan ini membuat PR berhasil menempatkan diri dalam kelompok sepuluh besar surat kabar di Indonesia. Jika ditinjau dari sirkulasinya, PR menduduki urutan keenam, sedangkan berdasarkan omzetnya, menduduki urutan ketiga. Selain di dalam negeri PR juga menonjol di luar negeri khususnya di Asia. Hal ini didasarkan survei Asian Mass of Communication and Information Centre(AMIC) pada tahun 1984 yang berpusat di SIngapura. Harian Umum PR merupakan satu diantara Five Succesfull Asian Community Newspaper, salah satu surat kabar yang tersukses di Asia.
Namun tampil dalam liga utama dunia pers nasional rupanya diras berat. Hal ini diakibatkan PR tidak mempunyai akar historis yang memberinya kemampuan untuk bertanding di pentas nasional. Akhirnya tahun 1928, PR “pulang kandang”, sebab bagi mereka Bandung adalah lapisan benteng terdalamnya, tempat di mana akar utama kelangsungan hidup tumbuh. Untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan, sekarang petinggi PR mulai memikirkan untuk mendiversifikasikan usaha. Di bawah bendera Grup PR, dibentuklah tabloid Hikmah, Suara Rakyat Semesta, Mitra Bisnis (Bandung), Priangan (Tasikmalaya), Pakuan (Bogor), Galura (Bandung), Galamedia (Bandung), Fajar Banten (Serang), Mitra Dialog (Cirebon), Radio Mustika FM 107,55 Mhz, percetakan Granesia, sejumlah warung telekomunikasi yang tersebar di Jakarta hingga Surabaya. Ekspansi PR hingga saat ini belumlah dikatakan berjalan sukses sebab sejumlah anak perusahaannya masih berjalan kembang-kempis. Bahkan belakangan, Hikmah dan Suara Rakyat Semesta tidak berhasil menrik keuntungan malah menambah beban perusahaan. Kedua media itupun akhirnya dihentikan peredarannya. Kendati begitu, PR masih bisa bernafas lega sebab anak-anaknya yang lain, terutama masih dapat bertahan hidup meski laba yang didapat hanya mencetak angka pulang pokok. IV PEMBAHASAN Analisis Teks Berita Edisi 23 Januari 2007, mempunyai dua tema utama; isu flu burung serta kerugian yang diderita oleh pedagang ayam. Tema flu burung diperkuat dengan adanya tema lain yang dimasukkan wartawan sebagai penguat yaitu peristiwa pemusnahan unggas oleh lembaga pemerintah. Kedua tema utama tersebut akhirnya menghadirkan sebuah tema utama yakni dampak ekonomi oleh isu flu burung. Tema di atas didukung dengan pengaturan skema dalam berita. Berita dibuka dengan omzet pedagang daging ayam di sejumlah pasar tradisional di Kota Bandung turun hingga 50% selama sepekan ini. Wartawan menuliskannya sebagai akibat adanya isu flu burung dengan memberikan rasionalisasi bahwa penuruanan ini dimulai sejak adanya kegiatan pemusnahan burung. Setelah itu, wartawan baru memberikan penjelasan mengenai kerugian yang disebabkan karena turunnya permintaan – bukan turunnya penawaran. Strategi semantik yang diterapkan wartawan pada berita biasanya berupa pemberian latar, maksud, pra anggapan serta pemilihan sisi mana yang akan dijelaskan secara detail.
Pada berita di atas, kita dapat mengetahui dengan memeriksa latar yang diberikan wartawan pada isi berita. Contohnya dalam kalimat: “Akibat semakin merebaknya kasus flu burung, omzet pedagang daging ayam di sejumlah pasar tradisional di Kota Bandung turun hingga 50% selama sepekan ini” (baris 1, paragraf 1) Wartawan tampaknya m,encoba memberi latar kasus flu burung pada ceritanya. Kemudian wartwan memilih untuk menceritakan sisi-sisi detail dari pedagang bukan pembeli daging ayam (penjual bubur ayam, pemilik retoran, masyarakat) meski ketiganya juga terdapat dalam berita tersebut. Atau wartawan yang bergerak dari kategori “pasar tradisonal” dan pasar non tradisional”, memberi porsi lebih banyak untuk kategori “ pasar tradisonal”. Wartawan kemudian secara eksplisit mengungkapkan maksudnya dalam kalimat: “Sebelum dilakukan pemusnahan unggas, seorang pedagang daging ayam (bukan bandar) di Pasar Kosambi, Pasar Leuwipanjang, dan PasarInduk Caringin rata-rata mampu menjual 100 ekor ayam per hari” (baris 1, paragraf 2) Dengan kalimat tadi, waratawan bermaksud menyampaikan kepada kita bahwa semua yang disampaikannya disebabkan oleh pemusnahan unggas yang sedang berjalan di beberapa daerah Jawa Barat. Dalam sintaksis, strategi wartawan dapat dikenali dengan mengenali bagaimana koherensi, pengingkaran, bentuk kalimat atau kata ganti yang dipergunakan. Koherensi yang mudah dapat kita kenali misalnya adalah dalam kalimat: “Sebelum dilakukan pemusnahan unggas, seorang pedagang daging ayam (bukan bandar) di Pasar Kosambi, Pasar Leuwipanjang, dan PasarInduk Caringin rata-rata mampu menjual 100 ekor ayam per hari” (baris 1, paragraf 2) Wartawan dengan mengemukakan kata ‘sebelum’ mencoba menyusun koherensi atas dasar waktu pada dua peristiwa; pemusnahan unggas dan penjualan ayam. Beberapa pengingkaran yang dilakukan juga terjadi dalam berita ini misalnya; “Harganya sih tidak terlalu anjlok. Peminatnya yang mulai kurang. Pada ketakutan lihat berita di TV, padahal yang harusnya dimusnahkan itu ka ayam atau unggas yang sakit; sedangkan unggas yang sehat, kan, boleh saja dibiarkan bahkan dimakan” tutur Enjang. (baris 3, paragraf 5) Dengan menggunakan pedagang bernama Enjang, wartawan bermaksud mengadakan pengingkaran terhadap harga yang terlalu anjlok. Harga memang tidak terlalu anjlok, namun
permintaan terhadap ayam tetaplah turun. Dengan begitu, kerugian yang diderita pedagang tetaplah dapat diteguhkan, bahkan ditegaskan. Pusat perhatian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Style dapat diterjemahkan sebagai gaya bahasa. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat citraan, pola rima, matra yang digunakan. Dalam berita di atas, kita dapat melihat bagaimana wartawan menggunakan strategi jenis ini saat kerugian yang diderita oleh bandar ayam sebagai penderitaan (menderita/diderita). Dengan begitu, waratawan berharap empati dari pembaca dengan mengenalkan kerugian tadi sebagai penderitaan.wartawan juga memanfaatkan gaya bahasa tutur/keseharian/non formal untuk mencoba mendekatkan pembaca dengan keseharian pedagang yang diwawancarainya misalnya dengan penggunaan ‘sih’ dalam beberapa pernyataan pedagang dalam berita tersebut.dan untuk penguatan retoris, waratawan menampilkan foto seorang pedagang melayani konsumennya di sebuah pasar. Dengan foto tersebut, wartawan berharap menampilkan kondisi pasar yang diceritakan, sehingga pembaca semakin mudah menangkap apa saja yang coba diceritakan oleh wartawan. Analisis Kognisi Sosial Penulis berita dengan kode A-155 di atasa adalah Kismi, bekerja di desk Ekonomi Harian Umum Pikiran Rakyat. Ia adalah lulusan IKP Jogja (sekarang UNY, penyusun) jurusan Sastra Inggris angkatan 2000. ia sempat lama di desk pendidikan, kemudian desk Bandung Raya hingga kemudian sampai di desk Ekonomi (wawancara 27 Januari 2007). Flu burung bainya adalah virus yang dapat menular melalui kotoran unggas atau menurut penelitian yang paling baru ia dengar, dapat juga melalui anjing. Jadi menurut Kismi, virus itu tidaklah selalu ada di dalam unggas/ayam, sehingga orang harus merasa phobia terhadap daging ayam. Lagipula ia percaya bahwa penjual daging ayam telah menyeleksi daging mana yang sehat dan tidak. Berita yang ia tulis tidaklah ditentukan dengan sidang redaksi. Ia hanya cukup mengirangira trend apa yang sedang berkembang sekarang, lalu menuliskannya dari segi ekonomi. Soal pemusnahan unggas, ia mendapat informasi itu dari temannya sesama wartawan. “Biasanya, kami bertukar informasi soal pemusnahan unggas melalui sms.”Eh, ada pemusnahan unggas, ada yang pergi tidak? Atau, siapa yang pergi ke sana?”
Menurut Kismi, harga yang signifikan untuk diberitakan adalah harga di pasar tradisional, karena harga di tempat tersebut dirasakan oleh masyarakat banyak. Patokan harga yang dapat dibicrakan adalah harga di pasar tradisional. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk turun ke tiga buah pasar yang berada di Bandung mang pPasar Kosambi, Pasar Leuwipanjang, dan Pasar Induk Caringin. Ia juga menilai bahwa pada dasarnya masyarakat lebhih percaya daging ayam yang dijual di pasar non tradisional(supermarket, hypermarket)I, sehingga tidak ada perubahan signifikan pada penjualan daging ayam di pasar tradisional. Ia juga meyakini bahwa biasanya bandar menambahkan semacam obat tertantu untuk daging ayam yang akan dijual kepada pasar modern (supermarket, hypermarket, dan sebagainya), “sehingga harganya sedikit lebih mahal”. Selain itu, akses kepada setiap narasumber di pasar tradisional lebih mudah ketimbang di supermarket. Dengan teknik wawancara ia mendapati bahwa penurunan permintaan ini mengganggu pedagang daging ayam terutama pedagang kecil. Ia mengaku salah satu narasumber adalah pedagang kecil. Yang ia maksud pedagang kecil adalah pedagang yang hanya mampu membeli jumlah ayam yang sedikit kepada bandar. Karena jumlah ayam yang dipasok dari bandar sedikit, “maka keuntungan yang ia terima juga kecil”. Biasanya pedagang mengambil keuntungan dua sampai empat ribu rupiah dari bandar. Dengan adanya isu flu burung maka penjual daging ayam tidak berani mengambil banyak ayam dari bandar. “dengan begitu, laba yang ia terima juga sedikit. Padahal dari laba itu nantinya digunakan untuk membeli ayam lg. Kebayang kalau misalnya banyak yang tidak terjual…”. Pemusnahan unggas menurutnya perlu dan tidak. Di beberapa daerah, pemusnahan itu diperlukan. Ia menyebutkan daerah Wado Sumedang, daerah yang dijadikan target sasaran pemusnahan unggas, seperti diberitak di PR. Di daerah Kismi sendiri, Yogya, pemusnahan unggas tidak diberlakukan seperti halnya di DKI Jakarta atau Jawa Barat. “Di daerah saya, unggas masih bebas. Masih ada di mana-mana”. Peristiwa dipahami berdasarkan skema atau model. Skema dikonsetualisasikan sebagai strutur mental di mana tercakup cara pandang terhadap manusia, peranan sosial, dan peristiwa. Dalam berita ini skema yang bekerja pada diri Kismi adalah skema peristiwa, di mana peristiwa yang satu dapat berakibat kepada peristiwa yang lain. Virus flu burung pada akhirnya berakibat pada pemusnahan unggas, sedang pemusnahan unggas beakibat pada kerugian pada pedagang daging ayam.
Elemen lain yang juga penting dalam kognisi sosial selain skema/model yaitu memori. Kognisi sosial lebih mempertimbangkan mem ori jangka panjang. Memori ini terdiri dari dua bagian besar, yakni memori episodik(episodic memory) dan memori semantik (semantic memory). Memori episodik yakni memori yang berhubungan dengan diri kita sendiri Pengetahuan bahwa flu burung adalah merugikan merupakan memori semantik, di mana pokok pengertian Kismi terhadap flu burung adalah virus yang dapat menular. Kemudian ia juga tahu bahwa masyarakat pada dasarnya terbagi menjadi dua kelas, yakni golongan masyarakat bawah dan golongan masyarakat kelas atas. Di mana kemudian ia membagi jenis pasar menjadi tradisional dan tidak(ia menunjuk supermarket, hypermarket sebagai wakilnya). Skema peristiwa dan memoti tadi berpengaruh pada seleksi yang merupakan strategi Kismi sebagai pencerita. Ia memutuskan untuk mewawancarai pedagang di pasar yang ia yakini sebagai pasar tradisional. Di mana ia mengemukakan bahwa harga yang berpengaruh di masyarakat adalah di pasar tradisional serta kemudahan akses di pasar tradisional sebagai alasan. Metode wawancara yang ia lakukan juga memudaakan bagaimana ia melihat dan mengkonstruksi realitas sebagaimana skema dan memori yang ia miliki. Strategi kedua yang dilakukan Kismi adalah reproduksi. Ketika berkeyakinan bahwa isu flu burung merugikan, informasi mengenai laba yang diperoleh pedagang (dua sampai empat ribu rupiah per ayam) tidak ia kemukakan dalam tulisannya. Informasi mengenai banyaknya korban yang bisa jadi menyebabkan ketakutan orang mengkonsumsi daging ayam tidak ia kemukakan karena Kismi meyakini bahwa kerugian itu disebabkan oleh isu pemusnahan unggas. Ia juga tidak menyertakan obat tertentu yang diapakai bandar untuk menjaga mutu pada daging ayam yang dijual untuk pasar nontradisional, karena keberpuhikannya pada pasar tradisional. Selain itu Kismi juga melakukan strategi penyimpulan di mana ia memberi label turunnya permintaan dengan kerugian/penderitaan. Lebih lanjut, ia juga melakukan proses transformasi lokal di mana peristiwa ia rangkai sebagai jalinan historis yang detail. Ia juga menampilkan pemusnahan ungga lebih dahulu ketimbang turunnya permintaan sebagai fakta dalam berita. Analisis Sosial Dalam kerangka model Van Dijk, kita perlu mengetahui bagaimana wacana flu burung diproduksi masyarakat. Di mana yang hrs kita lihat adalah bagaimana praktek diskursus dan
legitimasi. Dua poin penting yang ditunjuk Van Dijk adalah power (kekuasaan) dan acces (akses). Kekuasaan ini umumnya didasarkan pada kepemilikan atau sumber-sumber yang bernilai. Namun selain dimaknai sebagai dominasi, kit juga menganalisis bagaimana proses produksi ini dipakai utkmembentuk kesadaran dan konsensus (Teun Van Dijk dalam Eriyanto; 272) Tanggal25 Januari 2005 Mentri Pertanian (Mentan) mengumumkan secara resmi bahwa virus Avian Influenza/AI (H5NI) telah menyerang peternakan unggas. Selanjtunya Departemen Kesehatan dan Departemen Pertanian melakukan Serosurvei di daerah wabah AI di Bali, Lampung, Bantem Jawa Barat, Jawa TengahDaerah Istimewa Jogjakarta, Bengkulu, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Dari hasil Serosurvei ini diketahui bahwa hasil pemeriksaan Sero pada manusia negatif. Pada tanggal 19 Mei Mentan menyatakan viru AI (H5NI) bersifat asimtomatik (tanpa gejala) ditemukanpd babi di Tangerang. Dari sini kita dapat melihat bahwa wacana flu burung mendapatkan eksistensi dan legitimasinya sebagai virus pada hewan oleh Departemen Pertanian Republik Indonesia. Hingga tanggal 28 Juni 2005 terjadi kematian tiga orang warga Tangerang. Maka, bulan Juli 2005, Departemen Kesehatan mengumumkan Rumah Sakit (siaga) Rujukan Flu Burung. Rumah
sakit
tersebut
terdapat
di
30
provinsi
yang
ada
(http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=
di
Indonesia
1048&Itemid=2).
Wacana flu burung yang telah eksis mendapatkan penegasannya sebagai sebuah wacana untuk peminggiran. Ekslusi ini kemudian dilakukan dengan memberi label “suspect”. Tanggal 6 September 2005 seorang warga Jakarta Selatan meninggal dunia. Pada tanggal 19 September 2005 Menteri Kesehatan RI melegitimasinya menajadi Kejadian Luar Biasa(KLB) Nasional untuk flu burung. Senin 26 September 2005 Menkes DR. Dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP (K) pada acara penjelasan kepada pers (Press briefing) tentang situasi terkini flu burung pada manusia di Indonesia di Jakarta. Wacana flu burung kemudian tidak lagi hanya sebuah virus yang dimiliki oleh hewan, namun virus dari hewan ke manusia dan merupakan hal yang tidak biasa. Wacana ini kemudian disebarkan oleh Depkes RI pada tanggal 27 Seotember 2005. Wacana ini telah juga menyertakan uraian teknis berupa tahapan pandemi flu burung. Menteri Kesehatan juga mengemukakan enam tahapan menuju pandemi flu burung yaitu tahap pertama yang disebut reiko rendah di mana flu burung pada hewan belummenginfeksi manusia. Tahap kedua adalah flu burung pada hewan beresiko tinggi pada manusia. Pada tahap ketiga
flu burung menular dari hewan ke manusia tetapi belum ada penularan dari manusia ke manusia atau belum efektif dari amnusia ke manusia. pada tahap keempat virus menular antar manusia slm sekelompok kecil manusia. tahap kelima yaitu virus menular antar manusia pada kelompok yang lebih besar yang merupakan resiko tinggi terjadi. Tahap terakhir adalah tahap di mana virus menular antar manusia dalam skala luas atau telah terjadi di beberapa negara. Selain itu flu burung kemudian mendapatkan definisi yang jelas berikut pembatasanpembatasan berupa masa inkubasi, gejala klinis dan lain-lain. Sehingga ia benar-benar menjadi sesuatu yang eksis sebagai permasalahan keseshatan: “Flu burung adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza yang ditularkan oleh unggas yang dapat menyerang manusia. nama lain dari penyakit ini antara lain avian influenza”. Jika pada awalnya kasus flu burung hanya mempunyai 2 kategori sederhana; meninggal dunia dan tidak. Maka pada September 2005 ini, Departemen Kesehatan kemudian mengembangkan kategorisasi kasus flu burung menjadi rigid; kompermasi
suspect, probable
dan
(http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=
1255&Itemid=2). Wacana ini terus berjalan, menambah kemungkinan perluasan atau penyempitan batasan. Ketika pemertintah provinsi DKI memulai pemberantasan unggas. Pikiran Rakyat sebagai koran Masyarakat Jawa Barat, mendapat legitimasi untuk menyandingkan wacana kesehatan tersebut di samping wacana ekonomi. Di mana ia mendapatkan rasionalisasi si mana Jawa Barat adalah provinsi dengan kasus paling tinggi, serta Jawa Barat sebagai pemasok kebutuhan akan daging ayam (daerah Priangan Timur). Dengan menyandingkannya bersama wacana ekonomi, maka wacana flu burung kemudian bersanding dengan wacana kelas masyarakat di mana terdapat kategori pasar beserta sifat-sifatnya. Saat terjadi virus flu burung bagaimana wacana tentang pasar? Tahun 2004, sebuah survei yang dilakukan AC Nielsen memperlihatkan bahwa meski jumlah pasar tradisional di Indonesia mencapai 1.7 juta unit atau mengambil porsi 73% dari keseluruhan pasar yang ada, namun laju pertumbuhan pasar modern ternyata jauh lebih tinggi dinadingkan dengan pasar tradisional. Yang tergolong ke dalam pasar modern ini adalah hipermarket, supermarket, minimarket dan departement store. Pertumbuhan pasar tradisional hanya mencapai 5 % per tahun. Sedangkan pasar modern mencapai 16%. Secara lebih rinci disebutkan bahwa minimarket mempunyai pangsa pasar sebesar 5% dengan laju pertumbuhan
sebesar 15% . pangsa pasar supermarket mencapai 17% dengan tingkat pertumbuhannya mampu melejit hingga 25% per tahun. Jadi tingkat pertumbuhan pasar modern rata-rata adalah 16% setiap tahunnya. Studi AC Nielsen terbaru shopper trends tahun ini mewawancarai lebih dari 15 ribu konsumen di kawasan Asia Pasifik termasuk 1.019 orang Indonesia selam bulan September dan November tahun 2003. Kriteria responden adalah laki-laki dan perempuan berusia 15-45 tahun dengan pengeluaran rutin rumah tangga di atas Rp 700 ribu per bulan dan cakupan wilayahnya adalah Jakarta, Bandung dan Surabaya. Seperti di kawasan Asia Pasifik lainnya yang jumlah toko dengan format swalayan yang terus meningkat, di Indonesia toko swalayan seperti hipermarket, supermarket dan minimarket telah mengalami pertumbuhan yang kuat dengan jumlah toko yang meningkat lebih dari 31.4% dalam waktu dua tahun. Sementara dalam periode yang sama jumlah toko tradisional telah menurun 8.1% per tahun. Perpaduan antara belanja kebutuhan rutin dan rekreasi keluarga bulanan telah membentuk struktur dan perilaku perdagangan di Indonesia. Saat ini (tahun 2004) rumah tangga kelas menengah ke atas Indonesia berbelanja di hipermarket satu bulan sekali, lalu ke supermarket dua minggu atau seminggu sekali (Tempo Edisi Senin, 21 Juni 2004). Wacana pasar tradisional dan non-tradisional ternyatasdh ada. Namun ini bukan saja menjadi wacana ekonomi. Ketikia masyarakat bereaksi terhadap wacana itu, ia bisa saja menjadi wacana politis. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera(PKS), yang dikenal memiliki banyak pendukung fanatik, menggambarkan; “Sementara itu yang dianggap selama ini sebagai pasar tradisional adalah pasar yang bentuk bangunannya relatif sederhana, dengan suasana yang relatif kurang menyenangkan (ruang tempat usaha sempit, sarana parkir yang kurang memadai, kurang menjaga kebersihan pasar dan penerangan yang kurang baik). Barang-barang yang diperdagangkan adalah barang kebutuhan sehari-hari dengan mutu barang yang kurang diperhatikan, harga barang relatif murah, dan cara pembeliannya dengan sistem tawar-menawar. Para pedagangnya sebagian besar adalah golongan ekonomi lemah dan cara berdagangnya kurang profesional. Contohnya adalah pasar Inpres, pasar lingkungan dan sebagainya”. (http://www.pksjakarta.or.id/module.php?op=modload&name=news&file=article&sid =337)
Gambaran ini kemudian dibaca sebagai ancaman seriua bagi perkembangan pasar tradisional. Sebuha kesimpulan yang diyakini masyarakat Indonesia. Apakah demikian yang terjadi di daerah yang berada di Jawa Barat? Tahun 2004, dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 2 Pasal 17, dirumuskan bahwa “kebijakan pengembangan kawasan dan kegiatan perdagangan adalah merelokasi pasar yang menimbulkan gangguan dan/atau tidak didukung prasarana yang memadai(butir b) mengatur, menata dan mengendalikan pasar yang tidak tertata dan tumpah ke jalan(butir c), menertibkan pasar yang tidak sesuai peruntukannya (d) memperkuat dan menata ulang pasar induk/grosir(e) membatasi perkembangan pusat belanja di wilayah Bandung Barat (f) dan mengendalikan dan menertibkan pusat belanja yang menganggu(g)”. Pasar modern di Bandung, dibahsakan menjadi pusat perbelanjaan. Dalam kerangka pengaturan ruang, pasar lebih banyak menjadi pembicaraan dominan. Namun seringkali ia mrpgangguan dan dianggap tidak didukung prasarana memadai. Namun untuk pusat perbelanjaan, pemerintah hanya berkewajiban untuk membatasi – kewajiban yang tampak ambigu. Pasar modern atau pusat belanja sebagai bentuk dominasi ekonomi akhirnya mendapatkan legitimasi. Ia yang hanya membolehkan akses pada sebagian kelompok orang, dilegitimasi oleh kekuasaan yang disusun oleh sebagian orang. Ketika pasar tradisional dianggap tersisih karena kurang menjaga mutu barang dan tidak memadai tata ruangnya, ia dianggap kurang memperhatikan kesehatan. Jika kemudian flu burungdidefinisikan sebagai masalah kesehatan, maka ia mengancam keberadaan pasar tradisional. V
KESIMPULAN Dalam analisis ini, kita dapat melihat bahwa berita yang dimunculkan oleh HU Pikiran
Rakyat mengenai flu burung ddpt dilihat sebagai sebuah episteme (cara pandang) baru bagi pemaknaan flu burung. Meskipun Jawa Barat merupakan provinsi dengan tingkat kematian yang cukup tinggi dengan 21 kasus kematian akibat flu burung, HU Pikiran Rakyat lebih melihat flu burung sebagai ancaman ekonomi. Fakta ini diperkuat dengan banyaknya intensitas berita yang berkaitan dengan masalah pembangunan ekonomi di Jawa Barat. Sepanjang bulan Januari 2007, untuk kasus flu burung, Pikiran Rakyat menyajikan 20 berita bertema peternakan/ekonomi, 6 bertema kesehatan dan 8 kombinasi peternakan dan kesehatan.
Hal ini kemudia dirasionalisasikan dengan isu pemusnahan unggas, atau turunnya permintaan terhadap daging ayam di daerah Priangan Timur sebagai penghasil daging ayam, juga melemahnya permintaan terhadap pedagang di pasar tradisional. VI
REFERENSI
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana:Pengantar Ananlisis Teks Media. LKIS Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik Media Massa. Jakarta: Granit. Lull, James. 1998. Media Komunikasi Kebudayaan: suatu Pendekatan Global. Penerjemah A. Setiawan Abadi. Jakarta: YOI. Marahimin, Ismail. 1994. Menulis Secara Poluler. Jakarta: Pustaka Jaya. Mills, Sara. 1994. Discourse. London: Routledge Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 2 Tahun 2004 Pikiran Rakyat, Edisi 28 Januari Tahun 2007. Rakhmat, Jalaluddin. 1994. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tempo Interaktif, Edisi Senin, 21 Juni tahun 2004. Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya Tarigan, Henry Guntur. 1993. Pengajran Wacana . Bandung: Angkasa Sujiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. (http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid= 1048&Itemid=2). (http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid= 1255&Itemid=2). (http://www.pksjakarta.or.id/module.php?op=modload&name=news&file=article&sid=337)
MAKNA DAN PEMAKNAAN APLIKASI DALAM PENELITIAN
Oleh Mien Hidayat
I
PENDAHULUAN Makna merupakan hakekat komunikasi. Bagaimana tidak, seseorang dalam
kondisinterlibat percakapan,ia dan lawan bicaranya akan terus menerus memberikan makna pada berbagai pesan/informasi yang mereka sampaikan maupun yang diterimanya. Pemaknaan yang dilakukan para fihak yang terlibat dalam komunikasi, berada dalam koridor mencari kebenaran, melalui langkah-langkah kreatif dalam memberi makna. Dalam konteks komunikasi makna dan pemaknaan akan selalu muncul dalam episode pembuatan pesan, penerimaan pesan dan proses yang berlangsung di dalamnya. Pembuatan dan penerimaan pesan dapat dimaknai dari berbagai perspektif termasuk individualis, sosialis interpretif dan kritik. Pembuatan pesan berurusan dengan bagaimana pesan-pesan dihasilkan yang bermuara pada produk pesan. Semen itu penerimaan pesan fokus pada bagaimana pesan diterima. Baik pembuatan maupun penerimaan pesan, berkutat di seputar bagaimana manusia memahami, mengorganisasikan dan menggunakan informasi yang terkandung dalam pesan. Sebagaiman diketahui bahwa komunikasi merupakan proses yang fokus pada pesan yang dibangun oleh berbagai informasi. Sekaitan dengan pernyataan di atas muncul serangkaian pertanyaan: apa yang yang harus diberi makna? Apakah terdapat metode/cara-cara untuk memberi makna? Apa yang disebut kebenaran? Bagaimana dan melalui cara pemaknaan yang mana untuk meraih kebenaran tersebut?. Jawaban dari serangkaian pertanyaan tersebut pada hakikatnya merupakan bagian dari pembangunan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dibangun, didasarkan pada landasan filosifis dan metodologi penelitian, yang akan meng-guide manusia menempuh prosedur kerja mencari kebenaran melalui pemaknaan. Secara filosofis prosedur kerja mencari kebenaran, berada pada tataran filsafat epistemologi. Kebenaran yang dihasilkan melalui prosedur kerja ini, sejauh kebenaran
epistemologi. Kebenaran dalam ilmu pengetahuan pun hanya akan mampu menjangkau kebenaran epistemologis. Artinya kebenaran itu dalam wujud kebenaran tesis atau atau kebenaran teoretis yang dalam perjalanannya bisa disanggah oleh tesis dan teori lain. Pergeseran/pergantian suatu tesis/teori oleh tesis/teori lainnya merupakan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan. Makna dan pemaknaan dilakukan manusia dalam upaya mencari kebenaran. Dalam konteks ilmu pengatahuan kebenaran yang dicari berupa kebenaran ilmiah, sebab kebenaran ilmiah inilah yang membangun ilmu pengetahuan . kebenaran ilmiah yang ingin diraih melalui upaya memberikan makna terhadap berbagai realitas sosial, dilakukan melalui metodologi penelitian. Metodologi penelitian sebagai salah satu aspek dari ilmu pengetahuan, mengkaji berbagai aspek dan langkah-langkah mencari kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Konseksuensinya kualitas kebenaran yang dihasilkan akan tergantung pada kualitas prosedur kerja yang ditempuh. Apabila semua kriteria dan persyaratan prosedur kerja terpenuhi, maka akan dapat diraih kebenaran dengan kualitas yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Selain metodologi penelitian sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari prosedur kerja mencari kebenaran, juga dikenal logika. Dalam kajian filsafat, logika akrab dikenal sebagai salah satu ilmu yang menelaah berbagai instrumen untuk memperoleh kebenaran II
APLIKASI PEMAKNAAN Makna dan pemaknaan ini sesungguhnya harus dilakukan terhadap apa atau siapa,
sehingga bisa diperoleh kebenaran. Dalam konteks ilmu pengetahuan diperlukan sejumlah kebenaran ilmiah, sebab kebenaran ilmiah inilah yang membangun dan menumbuh kembangkan ilmu pengetahuan. Sementara kebenaran ilmiah itu sendiri tersusu dari fakta atau kenyataan yang menopangnya. Kenyataan atau fakta dalam kajian filosofis dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelompok yaitu: Kenyataan empiris sensual Kenyataan empiris logik Kenyataan empiris etik dan Kenyataan empiris transenden
Pemaknaan terhadap fakta atau kenyataan, dilakukan dengan berbagai cara. Merujuk pada Muhadjir, metode pemaknaan ini meliputi empat cara yaitu terjemah – tafsir – ekstrapolasi – dan pemaknaan. Terjemah:merupakan upaya mengemukakan materi atau substansi yang sama dengan media yang berbeda; media tersebut mungkin berupa bahasa satu ke bahasa lain, dari verbal ke gambar dan sebagainya. Penafsiran: tetap berpegang pada materi yang ada lalu dicari latar belakangnya dan konteksnya agar dapat dikemukakan konsep atau gagasannya secara lebih jelas lagi. Ekstrapolasi: lebih menekankan kemampuan daya fikir manusia untuk menangkap halhal- yang berada di balik yang tersajikan. Materi yang tersajikan dilihat tidak lebih dulu dari tanda-tanda atau indikator bagi sesuatu yang lebih jauh lagi. Memberikan makna: merupakan upaya lebih jauh dari penafsiran dan mempunyai kesejajaran dengan ekstrapolasi. Pemaknaan lebih menuntut kemampuan integratif manusia dari segi indrawinya, daya fikirnya dan akal budinya. Sama seperti ekstrapolasi, materi yang tersajikan dilihat tidak laebih dari tanda-tanda atau indikator bagi sesuatu yang lebih jauh.di balik yang tersaji bagi ekstrapolasi terbatas dalam arti emperik, sedangkan pada pemaknaan dapat pula menjangkau yang etik dan yang transendental. (Muhadjir, 2000 : 187 – 188) Sementara itu aplikasi pemaknaan terhadap keempat kenyataan empiris menjadi obyek pemaknaan, bisa saling berbeda dalam tiap pendekatan penelitian. Pendekatan Positivisme Metodologi kuantitatif, berlandaskan filsafat positivisme Comte, yang berpandangan menolak teologik dan metafisik. Sebagai konsekuensi dari prinsip tersebut, kebenaran yang dicari akan diperoleh melalui pemaknaan yang terbatas hanya pada kenyataan empiris sensual atau terhadap gejala-gejala kasat mata yang bisa ditangkap secara indrawi. Pandangan ini telah mengkerdilkan harkat derajat manusia, karena kebenaran itu tidak hanya bisa diukur melalui indra. Ada kebenaran yang dapat ditangkap dari pemaknaan manusia atas empirik sensual. Potensi manusia untuk memperdayakan kemampuan berpikir dan akal budinya dalam memaknai kenyataan empirik sensual, jauh lebih bermakna dari pada empirik sensual nya itu sendiri.
Secara teknis, dalam pendekatan positivistik, mencari makna, diaplikasikan dalam bentuk mencari signifikasi. Langkahnya analisis akan dihentikan manakala teruji kebermaknaan dalam rangkaian uji signifikansi. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan prediksi terhadap kemungkinan salah, dengan teknik pembuktian yang didasarkan pada frekuensi atau ragam kejadian. Karakteristik lain dari perspektif positivisme adalah nomothetik yaitu membangun ilmu dengan membuat hukum dari generalisasinya. Guna mewujudkannya, kebenaran dicari melalui hubungan kausal linear dengan prinsip tiada akibat tanpa sebab dan sebaliknya.teori kebenaran yang umumnya dirujuk positivisme adalah teori korespodensi, yang asumsi dasarnya : sesuatu itu benar bila ada korespondensi antara pernyataan verbal atau matematik dengan realitas empirik yang terbatas pada empirik sensual. Bebas nilai/value free juga menjadi salah satu dari penelitian kuantitatif, yang diwujudkan dalam terjaganya objektifitas penelitian. Objektifitas dikejar dengan maksud
untuk
menampilkan
prediksi
kebenaran
atau
hukum-hukum
yang
keberlakuannya tidak terikat waktu dan tempat. Rasionalisme Metodologi penelitian yang berhadapan filsafat rasionalisme, merupakan metodologi penelitian kualitatif. Rasionalisme bukan sekedar berpikir yang bertolak dari rasio, tapi sebagai aliran filsafat yang membangun ilmu dengan mengandalkan pemahaman intelektual melalui argumentasi secara logik bukan hanya pengalaman empirik sensual
seperti positivisme, makanya rasionalisme bertentangan dengan
positivisme. Namun rasionalisme, tidak memerlukan dukungan data empirik relevan, sebab pemahaman intelektual dan kemampuan berargumentasi secara logik dikerahkan untuk pemaknaan data empirik tersebut, sehingga ilmu sebagai hasil akhir memang ilmu bukan fiksi. Selain pemaknaan secara logik, pencarian kebenaran dalam rasionalisme juga dilakukan melalui pemaknaan terhadap empirik etik. Kebenaran melalui pemaknaan terhadap empirik logik, merupakan produk dari pemberdayaan ketajaman daya fikir manusia atas indikasi empirik sensual. Sementara itu empirik etik kebenarannya diperoleh karena ketajaman akal budi manusia dalam memberi makna ideal atas
indikasi empiris. Rasionalitik mencari makna lewat bangunan rasional grand concepts yang memayungi data objek spesifik. Fenomenologi interpretif Sebagai suatu perspektif, fenomenologi interpretif dalam membangun ilmu memiliki metodologi penelitian yang relatif lengkap. Terdapat banyak macam aksentuasi dan pemaknaan fenomenologi. Fenomenologi Edmund Husserl mencakup berbagai metodologi penelitian dalam tradisi post positivisme fenomenologi interpretif. Pokok pemikirannya sendiri bahwa obyek ilmu tidak terbatas pada yang empirik (sensual seperti pada positivisme) juga mencakup fenomena lain seperti persepsi, pemikiran, pemahaman, kemauan, perasaan dan keyakinan subjek terhadap sesuatu di luar subjek, juga ada sesuatu yang transenden di samping yang aposteriotik. Metode pemaknaan dalam tradisi fenomenologi interpretif relatif lengkap, karena mengakui kebenaran dari empat strata empirik, yaitu sensual, logik, etik dan transenden. Pencarian maknanya melalui penggalian esensi serta nilai moral dan etik. Bagi positivisme menangkap gejala sebatas pada yang empirik sensual, dan lebih lengkap pada rasionalisme harus menggapai sampai ke empirik sensual, logik dan etik, sementara bagi fenomenologi ditambah lagi, gejala harus dapat ditangkap sampai sejauh yang transendental. Dengan demikian membangun kebenaran ilmiah dalam tradisi fenomenologi interpretif melalui pengejaran makna di balik yang sensualdn mncari fenomena yang lebih esensial dari pada sekedar fenomenanya itu sendiri. Teori Kritis dan Weltanschauung/Ideologi Teori kritis berpijak pada dua landasan filosofis, sebelah kaki berpijak pada fenomenologi dan sebelahnya lagi berdiri pada realisme metafisik. Merupakan pendekatan pengembangan ilmu yang titik tolak penelitiannya dari ideologi/pandangan hidup, Weltanschauung pada teori kritis adalah keadilan. Artinya konsep keadilan menjadi titik awal kajian. Aplikasi dalam penelitian memerlukan fenomena empirik sensual berupa bukti-bukti ketidakadilan, yang akan diikuti langkah perombakan struktur dan sistem ketidakadilan, lalu dilanjutkan dengan membangun konstruksi baru berupa struktur/sistem yang adil. Teori kritis bergerak Marxis (Frankfurt Jerman), Neo Marxis dan Kiri Baru yang berlandaskan pada radikal revolusioner. Ketidakadilan dalam berbagai aspek dan seperti konstruksi, gender, distribusi, pendapatan, kesempatan berperan dan kelompok minoritas
banyak diangkat dalam studi sosiologi, komunikasi politik, ekonomi, dan hukum. Dalam perjalanannya gerakan studi kritis melalui jalan radikal revolusioner, baik di negara maju maupun berkembang berhasil. Teori kritis dikembangkan dengan menghindari jalan radikal revolusioner yang menempuh jalanevalusioner dengan komunikasi dialogis yang ditampilkan Habermas dan Freire dengan proxis sebagai sistem dari tesis problem solving dan antitesis problematizes. Pemaknaan dalam teori kritis dilihat dari sisi filsafat bersifat aktif mencipta makna tidak hanya sekedar pasif menerima makna dari peran yang dilakoninya. Perubahan peran dalam teori kritis akan mengubah perilaku seseorang di mana perubahan perilaku ini akan memiliki konsekuensi logis berupa perubahan makna dalam konteks selanjutnya. Asumsi aktif mencipta makna menimbulkan pertanyaan : “ dilakukan oleh siapa?”. Idealnya dilakukan oleh pemimpin yang berasal dari kelompok informal yang terseleksi lingkungannya secara alami atas kriteria kecerdasan, kebijakan, pengetahuan dan kejujurannya. Pemimpin yang dimaksud adalah opinion leader. Opinion leader akan mudah ditemukan pada setiap kelompok pada semua jenjang kehidupan. Pemaknaan dalam teori kritis ini tidak lepas dari Weltanschauung yaitu keadilan yang dalam aplikasinya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Pragmitisme Meta Etik Pragmatisme bertolak dari perkembangan historiknya dapat dikelompok menjadi dua yaitu pragmitisme positistik dengan tokohnya William James dan John Dewey. Konsep pemikirannya terfokus pada azas manfaat dan fungsional. Pragmatisme lainnya adalah pragmatisme meta etik yang berkembang sejak 1980-an dengan tokohnya antara lain Richard Rorty. Acuan pemikirannya adalah moralitas praktis/applied morals. Dengan kata lain mencari makna moral bagi keputusan praktis yang akan diambil. Pragtisme
Rorty mendapat pengaruh
dari pemikiran Thomas Kuhn dalam
pengambangan social science dan berlandaskan pada pandangan Hegel yang menghendaki pembahsan tentang terjadinya perbedaan opini bukan pada hakikat opini. Di tataran epitemologi pragmatisme Rorty menolak teori filsafat untuk membangun teori, tetapi untuk mencari realistik. Bertolak dari uraian berbagai asumsi dasar dan landasan filosofis pragmatisme yang telah diuraikan, maka pencarian kebenaran dilakukan pada pemaknaan yang didasarkan pada moral. Dengan kata lain upaya membangun kebanaran dengan memberi makna moral yang
melandasi setiap keputusan praktis yang akan diputuskan. Dengan demikian kebenaran pragmatik ditetapkan dengan judgement bukan melalui cara conclusion. Pembuatan conclusion perlu dukungan praposisi semantik yang benar. Sementara untuk membuat judgement membutuhkan praposisi pragmatik. Benar pada prosisi pragmatik dapat diuji melalui kesesuaian antara ide dengan fungsi dan manfaatnya. Sekalian dengan makna moral bagi keputusan praktis yang akan diambil, erat hubungannya dengan berbagai kasus applied ethics seperti rekayasa, aborsi, sensor, pelecehan dan seterusnya.
MAKNA DAN PEMAKNAAN APLIKASI DALAM PENELITIAN
Oleh Mien Hidayat
Disampaikan pada: Seminar Jurusan Hubungan Masyarakat FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI 16 April 2008
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2008
ANALISIS WACANA FLU BURUNG (VIRUS AVIAN INFLUENZA) DI HARIAN UMUM PIKIRAN RAKYAT Oleh Mien Hidayat dan Engkus Kuswarno
Disampaikan pada:
SIMPOSIUM KEBUDAYAAN INDONESIA – MALAYSIA KE – 10 (SKIM X) 29 – 31 MEI 2007 UNIVERSITAS KEBANGSAAN MALAYSIA
Kerja Sama: Fakulti Sains dan Kemanusiaan Universitas Kebangsaan Malaysia Bangi, Selangor D.E dan Universitas Padjadjaran Bandung Indonesia 2007