ANALISIS TUTUR BERBAHASA JAWA PROGRAM TELEPON PADA RADIO DI WILAYAH SURAKARTA
TESIS Diajukan untuk memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Magister Linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
SRI HARTOYO BUDI SUSILO NPM 6705030258
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA 2008
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
Tesis ini telah diujikan pada hari Selasa, tanggal 8 Januari 2008, pukul : 13.00 di ruang: 2402, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dengan susunan tim penguji sebagai berikut :
1. Dr. Setiawati Darmojuwono (Ketua Tim Penguji / Anggota)
………………………….
2. Dr. F.X. Rahyono (Pembimbing / Anggota)
………………………….
3. Prof. Dr. Muhadjir (Panitera / Anggota)
………………………….
Depok, 08 Januari 2008
Disahkan oleh Ketua Program Studi Linguistik Program Pascasarjana FIB – UI,
M. Umar Muslim, Ph.D.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008i
Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia,
Prof. Dr. Ida Sundari Husen
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat dan kasih-Nya serta memberikan kekuatan lahir dan batin sehingga tesis ini dapat saya selesaikan. Penyusunan tesis berjudul Analisis Tutur Berbahasa Jawa Program Telepon pada Radio di Wilayah Surakarta ini merupakan salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Magister Linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tesis ini tersusun karena adanya bantuan dari berbagai pihak baik berupa moril maupun materiil, langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1.
M. Umar Muslim, Ph.D. selaku Ketua Program Studi Linguistik
Program
Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang selalu memacu dan mengarahkan saya hingga selesainya penyusunan tesis ini. 2.
Dr. Setiawati Darmojuwono selaku pembimbing akademik yang telah dengan sabar dan pengertian membimbing dan memberikan petunjuk serta koreksi yang sangat berharga, sekaligus memberikan dukungan moral demi selesainya tesis ini.
3.
Dr. F. X. Rahyono selaku pembimbing penulisan tesis yang juga telah memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh kesabaran dan lapang dada serta meluangkan waktu di sela-sela kesibukannya untuk menerima saya dalam memperbaiki kualitas tesis ini.
4.
Prof. Dr. Muhadjir selaku anggota tim penguji, saya
mengucapkan
terima kasih atas masukan-masukannya yang sangat berharga. Kritik, saran, dan masukan itu bukan saja berarti bagi perbaikan mutu tesis ini tetapi juga menambah wawasan keilmuan saya dalam bidang sosiolinguistik. 5.
Kepala Dinas Dikmenti Propinsi DKI Jakarta, Drs. H. Margani Mustar, M.M. beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan serta dukungan dana
iv Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
berupa beasiswa selama empat semester, melalui anggaran Dinas Dikmenti Propinsi DKI Jakarta. 6.
Kepala SMA Negeri 53 periode 2003/2004 - 2006/2007 Drs. H. Sudirman Bur dan kepala sekolah saat ini Drs. H. M.Noer H. Ishaka, serta rekan-rekan guru senasib dan seperjuangan di SMAN 53 Jakarta yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada saya untuk segera dapat menyelesaikan perkuliahan di S2 Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
7.
Kepada ibuku Ny. Suharni Sutoyo, istriku Nining Satyaningsih beserta anakku tercinta Agam Adipurwa K., kakak-kakakku Agus Broto Susilo, Agus Broto Susanto, Tuty Ambarsari dan Mas Seno, serta adi-adikku semua yang telah memberikan dukungan moral dan doa, terasa sangat memacu dan meringankan beban dalam menyelesaikan kuliah yang terasa cukup berat ini.
8.
Teman-teman kuliah angkatan 2005/2006 pada Program Magister Linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia atas kerja samanya untuk saling meringankan beban dalam menyelesaikan tugas-tugas selama perkuliahan berlangsung hingga penyelesaian tesis ini.
Semoga bantuan dan jasa yang telah diberikan kepada saya dapat menjadi amal kebaikan yang mendapatkan imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa. Saya menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu demi kesempurnaan tesis ini segala bentuk kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak akan saya terima dengan senang hati dan tangan terbuka. Akhirnya, saya berharap semoga tesis ini ada manfaatnya. Amin.
Depok,
Desember 2007
Sri Hartoyo Budi Susilo
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008v
DAFTAR ISI Halaman
LEMBAR JUDUL LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………………. ABSTRAK ………………………………………………………………………… ABSTRACT ……………………………………………………………………….. KATA PENGANTAR …………………………………………………………….. DAFTAR ISI ……………………………………………………………………… DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………... DEFINISI OPERASIONAL ……………………………………………………….
i ii iii iv vi ix x
BAB 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6
1 1 5 5 6 7 8
PENDAHULUAN ………………………………………………………. Latar Belakang Masalah ………………………………………………… Perumusan Masalah Penelitian ………………………………………….. Cakupan Penelitian ……………………………………………………… Tujuan Penelitian ……………………………………………………….. Kemaknawian Penelitian ………………………………………………. . Definisi Operasional ……………………………………………………...
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………… 10 2.1 Kajian Penelitian Terdahulu Terkait ……………………………………. 10 2.2 Landasan Teori ………………………………………………………….. 14 2.2.1 Fungsi Bahasa …………………………………………………..14 2.2.2 Masyarakat Tutur ……………………………………………….16 2.2.3 Kontak Bahasa ………………………………………………….18 2.2.4 Analisis Tuturan ……………………………………………. … 19 2.2.5 Struktur Tuturan ……………………………………………. 21 2.2.6 Komponen Tutur ………………………………………………. 24 2.2.7 Variasi Bahasa ………………………………………………….28 2.2.7.1 Variasi Bahasa Dilihat dari Segi Penutur ……………...30 2.2.7.2 Variasi Bahasa Dilihat dari Segi Pemakaian ………… 31 2.2.7.3 Variasi Bahasa Dilihat dari Segi Keformalan …………. 32 2.2.7.4 Variasi Bahasa Dilihat dari Segi Sarana ………………. 34 2.2.8 Tingkat Tutur ………………………………………………….. 34 2.2.9 Alih Kode dan Campur Kode …………………………………. 36 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ……………………………………… 43 3.1 Data dan Sumber Data. ………. ………………………………………..43 3.2 Teknik Pengumpulan Data ……………………………………………..44 3.3 Metode Analisis Data ………………………………………………… 45
vi Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………………….. 47 4.1 Ciri dan Struktur Tuturan Program Telepon ….…..…………………….. 47 4.1.1 Ciri Tuturan Program Telepon ……….…………………….. .. 47 4.1.1.1 Tuturan Dilihat dari Medianya …………………. . . . .. 47 4.1.1.2 Tuturan Dilihat dari Fungsi Bahasanya …………... …. 49 4.1.1.3 Tuturan Dilihat dari Lengkap tidaknya Unsur-Unsur Percakapan ……… ………………….. 60 4.1.2 Struktur Tuturan Program Telepon ….. …………………… 63 4.1.2.1 Pertukaran Awal …………………………………… 63 4.1.2.2 Pertukaran Medial …………………………………… 65 4.1.2.3 Pertukaran Final ……………………………………… 67 4.2 Variasi Tuturan…………………………………………………………. 68 4.2.1 Tuturan Panjang . ……….……………………………………… 68 4.2.2 Tuturan Pendek ………. ……………………………………… 70 4.2.3 Struktur Kalimat ……….……………………………………… . 71 4.2.4 Kalimat tidak lengkap ……. ……………………………………. 73 4.2.4.1 Kalimat tanya ……………………………………… …. 73 4.2.4.2 Kalimat jawaban ……………………………………… 74 4.2.4.3 Kalimat Salam ………………………………………… 76 4.2.4.4 Inskripsi …………… ………………………………… 82 4.3 Alih Kode dalam Tuturan Program Telepon …………………………... 83 4.3.1 Alih Kode yang Berwujud Alih Bahasa ……….…………… . …. 86 4.3.1.1 Alih Kode dari Bahasa Jawa ke Bahasa Indonesia …… 86 4.3.1.2 Alih Kode dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Jawa …… 89 4.3.2 Alih Kode yang Berwujud Alih Tingkat Tutur ………………… 91 4.3.2.1 Alih Kode dari Tingkat Tutur Ngoko ke Tingkat Tutur Madya …………… …………………………………… 92 4.3.2.2 Alih Kode dari Tingkat Tutur Madya ke Tingkat Tutur Ngoko…………………………………………………… 94 4.3.3 Sebab-Sebab Terjadinya Alih Kode …………………………… 98 4.3.3.1 Peristiwa Tutur Berlangsung dalam Situasi Informal … 98 4.3.3.2 Penutur Berbicara secara tidak Langsung ……………. 100 4.3.3.3 Pengaruh Kalimat-Kalimat yang Mendahului Penuturan . 101 4.3.3.4 Pengaruh Kehadiran Orang Ketiga …………………… 103 4.3.3.5 Penutur ingin Mengucapkan Pantun dalam Tuturan … 104 4.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi VariasiTuturan dalam Program Telepon ……………………………………………………… 105 4.4.1 Partisipan ………………………………………………………. 106 4.4.2 Situasi ………………………………………………………….. 110 4.4.3 Tujuan …………………………………………………………. 113 4.4.4 Kesempatan Berbicara ………………………………………… 118 4.4.5 Sarana Tutur …………………………………………………… 119 4.4.6 Nada Berbicara ………………………………………………… 121 4.4.7 Norma Berbicara ………………………………………….......... 125
vii Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
4.5 Kosa Kata Khusus yang Dipergunakan dalam Tuturan Program Telepon ………………………………………………………. 127 4.5.1 Kata-Kata Umum Dipakai secara Khusus ………………………..128 4.5.2 Kata-Kata Khusus ………………………………………………. 129 4.5.3 Kata-Kata Khas Sesuai dengan Acara …………………………...130 BAB 5 PENUTUP ………………………………………………………………... 132 5.1 Simpulan ……………………………………………………………… 132 5.2 Implikasi ……………………………………………………………… 134 PUSTAKA ACUAN ………………………………………………………. …….. 136 LAMPIRAN ……………………………………………………………………....
viii Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
139
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran Data : 1 sampai dengan data : 4, Tuturan Berbahasa Jawa Program Telepon pada Radio Republik Indonesia Surakarta, tanggal 9 Maret dan 24 April 2007. 2. Lampiran Data : 5 sampai dengan data : 10, Tuturan Berbahasa Jawa program Telepon pada Radio Suara Slenk Surakarta, tanggal 12, 13, 14 Maret dan 16, 17, 18 April 2007. 3. Lampiran Data :11 sampai dengan data : 14, Tuturan Berbahasa Jawa Program Telepon pada Radio Gema Suara Makmur Surakarta, tanggal 12, 13, 14, 15, Maret 2007. 4. Lampiran Data : 15 sampai dengan data : 20, Tuturan Berbahasa Jawa Program Telepon pada Radio Kita FM Surakarta, tanggal 12, 13, 15, 16, Maret dan 17, 18, April 2007.
ix Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
DEFINISI OPERASIONAL
1. Pemakaian bahasa : yaitu kebiasaan berbahasa seorang penutur dalam peristiwa bahasa tertentu dengan petuturnya (mitra bicara) pada ranahranah pemakaian bahasa. 2. Ranah (domain)
: ialah suatu kumpulan situasi interaksi yang pada umumnya di dalamnya digunakan satu bahasa atau satu variasi tutur tertentu yang digunakan secara terratur. Satu ranah dikaitkan dengan bahasa atau ragam bahasa tertentu.
3. Bahasa
: adalah sistem lambang bunyi yang arbitrair, yang dipergunakan oleh
anggota
suatu
masyarakat
untuk
bekerja
sama,
berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. 4. Bahasa Jawa
: adalah bahasa yang dipergunakan sebagai alat komunikasi dalam lingkungan masyarakat Jawa.
5. Program telepon
: atau disebut juga telepon interaktif adalah salah satu acara radio yang memanfaatkan telepon sebagai alat untuk berinteraksi antara penyiar dengan para penelepon / pendengar.
6. Wilayah Surakarta: adalah wilayah geografis, artinya wilayah yang berada di daerah
Kotamadya
Surakarta
atau
berdekatan
dengan
Kotamadya Surakarta. 7. Radio atau radio siaran adalah salah satu sarana komunikasi elektronik yang bersifat audial untuk mengirim informasi, mencari informasi, atau untuk memperoleh hiburan. 8. Register
:
adalah
pemakaian
bahasa
yang
berkaitan dengan
pekerjaan seseorang. Tiap jenis pekerjaan memaksa orang untuk mempergunakan bahasa yang berhubungan dengan pekerjaannya. 9. Diglosia
:
merujuk pada ragam bahasa yang masing-masing mempunyai peran dan fungsi yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat tutur. Diglosia juga mengacu kepada pemakaian dua bahasa yang berbeda dengan fungsi dan peran yang tidak sama pula.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008x
10. Tingkat tutur
: adalah
variasi-variasi
bahasa
yang
perbedaan antara
satu dengan yang lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap santun yang ada pada diri penutur (P1) terhadap mitra tuturnya (P2). 11. Tingkat tutur krama: adalah tingkat tutur yang memancarkan arti penuh sopan-santun antara penutur dengan mitra tutur, yang menandakan adanya perasaan segan atau ‘pakewuh’ di antara keduanya. 12. Tingkat tutur madya: adalah tingkat tutur menengah yang berada antara tingkat tutur krama dan tingkat tutur ngoko, yang menunjukkan perasaan sopan tetapi tingkatnya tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah. 13. Tingkat tutur ngoko: adalah tingkat tutur yang memiliki rasa tidak berjarak antara penutur dengan mitra tutur yang tidak dibatasi oleh semacam rasa segan atau ‘pakewuh’.
xi Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
ABSTRAK Sri Hartoyo Budi Susilo. NPM.6705030258. Tesis. 2007. ANALISIS TUTUR BERBAHASA JAWA PROGRAM TELEPON PADA RADIO DI WILAYAH SURAKARTA. Program Megister Linguistik FIB-UI. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana ciri dan struktur tuturan, variasi tuturan dan pola alih kode, serta faktor-faktor yang mempengaruhi variasi tuturan, dan kosa kata khusus yang digunakan dalam tuturan berbahasa Jawa program telepon pada radio di wilayah Surakarta. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan ciri dan struktur tuturan, variasi tuturan dan pola alih kode, serta faktorfaktor yang mempengaruhi variasi tuturan dan kosa kata khusus yang digunakan dalam tuturan berbahasa Jawa program telepon. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan sasaran sebuah kasus (studi kasus) yang mengambil lokasi di wilayah Surakarta. Sumber data penelitian adalah semua tutur berbahasa Jawa program telepon. Data penelitian ditetapkan secara acak sederhana (simple random). Sebagai datanya adalah pemakaian bahasa Jawa program telepon pada Radio Republik Indonesia, Radio Suara Slenk, Radio Gema Suara Makmur, dan Radio Kita FM di Surakarta. Data dalam penelitian berwujud tuturan berbahasa Jawa yang dilakukan oleh para penyiar dan penelepon dalam acara program telepon pada radio-radio yang telah ditentukan. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik simak, teknik rekam, dan teknik catat. Analisis datanya menggunakan teknik padan dengan pendekatan kontekstual serta menerapkan teori-teori sosiolinguistik yang relevan. Dari hasil penelitian, diperoleh empat simpulan, pertama, tuturan berbahasa Jawa program telepon pada radio di wilayah Surakarta memiliki ciri varian sebagai berikut, bahasa yang digunakan mencakup bahasa Jawa dan bahasa non-Jawa. Bahasa non-Jawa terdiri dari bahasa Indonesia dan bahasa asing. Bahasa asing yang muncul adalah bahasa Arab dan bahasa Inggris. Bahasa Jawa yang digunakan meliputi tingkat tutur ngoko, madya, dan krama. Ragam bahasa yang digunakan, ragam santai, ragam akrab, serta ragam informal. Struktur tuturan pada umumnya terdiri dari pertukaran awal, pertukaran medial, dan pertukaran akhir. Kedua, variasi tuturan berupa tuturan pendek yang berupa ragam percakapan dan tuturan panjang yang berwujud inskripsi. Selain itu banyak terjadi peristiwa alih kode dalam tuturan tersebut, karena pada umumnya partisipan dalam program telepon ini adalah masyarakat tutur dwibahasawan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Alih kode dilakukan dengan alasan-alasan tertentu antara lain, (1) menunjukkan situasi informal, (2) penutur berbicara secara tidak langsung (3) pengaruh kalimat-kalimat yang mendahului penuturan, (4) pengaruh kehadiran orang ketiga, dan (5) penutur ingin mengucapkan pantun pada mitra tuturnya. Ketiga, faktor-faktor yang mempengaruhi variasi tuturan program telepon adalah partisipan, situasi, tujuan, nada berbicara, sarana tutur, kesempatan berbicara, dan norma berbicara. Dari faktor-faktor tersebut, partisipan merupakan faktor yang paling dominan. Keempat, ditemukan sejumlah kosa kata yang secara konvensional sudah menjadi kosa kata khusus di dalam tuturan program telepon pada radio di wilayah Surakarta. Kosa kata tersebut diambil dari kosa kata umum, kosa kata khusus, dan kosa kata yang sesuai dengan acaranya.
ii Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
ABSTRACT Sri Hartoyo Budi Susilo. NPM.6705030258. Thesis. 2007. JAVANESE SPEAKING UTTERANCE ANALYSIS, TELEPHONE PROGRAM ON RADIO IN SURAKARTA Linguistic Magister Program FIB-UI.
Case in this research is how characteristic and utterance structure, utterance variation, and special vocabulary used in Javanese speaking utterance Telephone program on radio in Surakarta area. The aim reached in this research is to describe characteristic and utterance structure, utterance variation and code switching pattern and factors which influence utterance variation and special vocabulary used in Javanese speaking utterance of telephone program. This research included quality research which focuses on case study that take the location in Surakarta area. This research data source is all of the telephone program Javanese speaking utterance. The research data is put in simple random. As the data are the use of the telephone program Javanese language on Radio Republic Indonesia, Radio Suara Slank, Radio Gema Suara Makmur, and Radio Kita FM Surakarta. Data in the research are in the form of Javanese speaking utterance done by the reporters and the listeners in the telephone program on the recommended radios. The data collection done in the techniques of listening, recording and writing. Data analysis use synonym technique with contextual approach and the application of relevant sociolinguistic theories. From the research result, it is obtained the first four conclusion, this telephone program Javanese speaking utterance on radio in Surakarta area has various characteristic as follows : the language used involved Javanese language and non Javanese language. Non-Javanese language consists of Indonesian language and foreign language. The foreign language that emerge are Arabic and English language. Javanese language used includes low utterance step, middle and high steps. Types of language used, relax type, friendly type and informal type. In general, utterance structure consists of early exchange, middle exchange and last exchange. Second, utterance variation is as short utterance in the form of dialoque and long utterance in the form of inscription. Besides, there are a lot of code switching event in that utterance because in general participant in this telephone program is the society who has double language, Javanese and Indonesian. Code switching done with certain reasons such as (1) showing informal situation, (2) speaker speaks indirectly (3) influence of sentences which preceded the utterance, (4) influence of the presence of the third person, and (5) the speaker wants to say poem to the partner. Third, factors that influence the telephone program utterance variation are participants, situation, destination, speaking tone, utterance accomodation, chance of speaking and speaking norm. Form those factors, participants are considered as dominant factors. Fourth, found some vocabularies, conventionally have become special vocabularies in the telephone program utterance on radio in Surakarta area. Those vocabularies taken from general vocabularies, special vocabularies and vocabularies suitable with the event.
iii Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Dewasa ini studi sistematik tentang hubungan antara bahasa dan masyarakat berkembang dengan pesat. Fishman (1972), Fasold (1984) menyatakan bahwa pengkajian bahasa tanpa mengaitkannya dengan masyarakat akan mengenyampingkan beberapa aspek penting dan menarik, dan mungkin menyempitkan pandangan terhadap disiplin bahasa itu sendiri. Sturtevant (1974:2) menyebutkan bahwa “A language is a system of arbitrarary vocal symbols by which members of a social group cooperate and interact” ‘bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrair dan dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk bekerja sama dan berinteraksi’ (lihat juga, Kridalaksana, 2001:21). Pengertian tersebut menunjukkan bahwa bahasa merupakan suatu alat yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dengan bahasa manusia bekerja sama dalam masyarakat tempat mereka berada; ketika manusia berinteraksi antara individu yang satu dengan yang lain diperlukan bahasa. Bagi manusia bahasa juga berfungsi untuk mengidentifikasikan diri. Jadi memang benar bahwa bahasa merupakan salah satu kebutuhan yang amat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, bahasa atau pemakaian bahasa merupakan gejala sosial (Sumarsono, 2004:3). Bahasa dan pemakaian bahasa selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor lingual dan faktor-faktor nonlingual. Termasuk dalam faktor-faktor nonlingual adalah faktor sosial dan faktor situasional. Faktor-faktor sosial
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
2 yang mempengaruhi bahasa itu misalnya, status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin, dan sebagainya. Selanjutnya Fishman (1976:15) mengemukakan bahwa faktor situasional yang mempengaruhi pemakaian bahasa adalah “Who speaks what langage to whom, when and to what end” ‘siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa?’ Faktorfaktor situasional itulah yang menimbulkan adanya variasi bahasa. Wujud variasi bahasa idiolek, dialek, ragam, register, dan undha usuk. Peristiwa variasi bahasa mungkin terdapat dalam masyarakat yang kecil, kelompok pemakai di dalam domaindomain sosial, bahkan terdapat di dalam pemakaian bahasa perseorangan. Pemakaian bahasa juga ditentukan oleh situasi tutur yang sedang berlaku, misalnya sekelompok mahasiswa yang sedang berdiskusi di ruang kuliah, maka variasi bahasanya akan berbeda dengan waktu mereka berbincang-bincang di kantin. Ketika berdiskusi,
bahasa yang dipergunakan cenderung ragam baku, sedangkan ketika
berbincang-bincang di kantin lebih cenderung menggunakan ragam akrab atau nonbaku. Juga, seorang penyiar radio yang sedang membacakan berita, akan cenderung menggunakan ragam baku, sedangkan ketika ia dalam menghantar acara musik, penyiar akan membawakan dengan suasana rileks serta cenderung memilih variasi bahasa yang sifatnya akrab dan komunikatif. Begitu pula tuturan dalam telepon yang pada umumnya mempunyai
karakter
tersendiri,
“Asalammualaikum!”, atau
misalnya
diawali
dengan
tuturan
“Hallo”,
“sugeng dalu” dan sebagainya. Berkaitan dengan hal
pemakaian bahasa, peneliti ini akan membahas pemakaian bahasa Jawa dalam program telepon pada radio di wilayah Surakarta.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
3 Bahasa Jawa merupakan bahasa pertama bagi sebagian besar anggota masyarakat di wilayah Surakarta. Bahasa ini dikenal masyarakat sejak masa kanakkanak, sejak mereka mulai belajar bahasa dari ibu dan bapaknya, dari saudara-saudara, dari teman-teman sepermainan, dan dari lingkungan sekeliling. Jadi, dapat dikatakan bahwa bahasa Jawa adalah bahasa ibu bagi mereka dan juga sebagai alat komunikasi utama dalam lingkungan masyarakat di wilayah Surakarta. Sebagai alat komunikasi, bahasa Jawa memegang peranan penting
dalam
kehidupan masyarakat di Surakarta, yaitu untuk mengadakan interaksi dengan sesamanya. Dengan bahasa Jawa pula masyarakat di wilayah ini mengemukakan segala sesuatu yang menjadi buah pikiran maupun perasaan. Bahasa Jawa juga dipakai dalam berbagai media informasi penyiaran berita. Bahasa Jawa sebagai media komunikasi di lingkungan masyarakat Jawa dipakai pada semua media massa, baik media massa cetak (surat kabar, majalah, tobloit, dan lainnya), media massa audio (radio), maupun media massa audio visual (televisi). Salah satu media audio yang menggunakan bahasa Jawa dalam siaran adalah program telepon atau biasa juga disebut telepon interaktif di beberapa radio di wilayah Surakarta. Program telepon adalah salah satu acara radio yang memanfaatkan telepon sebagai sarana untuk berkomunikasi antara penyiar dengan para pendengar lewat radio. Acara program telepon dipandu oleh penyiar radio yang bertindak sebagai penutur atau orang pertama (P1) dan para penelepon bertindak sebagai mitra tutur atau orang kedua (P2). Dengan menggunakan telepon yang suaranya diperkeras dan disiarkan lewat radio, penelepon dapat berkomunikasi dengan penyiar atau dengan pendengar lain yang sedang mendengarkan radio tersebut.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
4 Bahasa Jawa yang digunakan dalam acara program telepon ini, merupakan ragam bahasa yang memiliki
karakter tersendiri.
Bahasanya berbeda
dengan
pemakaian bahasa Jawa pada ragam-ragam pemakaian lainnya, baik pemakaian bahasa Jawa pada media massa cetak maupun media massa audio visual. Dari hasil pengamatan peneliti ini, tampaknya komunikasi dalam program telepon tersebut menggunakan bahasa Jawa yang khas sehingga menimbulkan keunikan-keunikan tersendiri. Keunikan tersebut sepintas terlihat pada pemilihan katakata, istilah, proses morfologi, atau dalam pembentukan kalimat. Hal itulah yang menyebabkan terbentuknya suatu variasi bahasa tersendiri. Variasi bahasa tersebut dapat terjadi karena pengaruh faktor sosial, situasional, maupun faktor kultural penutur dan mitra tuturnya. Faktor sosial antara lain status sosial, umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin, ekonomi, dan sebagainya. Faktor situasional, yaitu kepada siapa berbicara, kapan, dengan bahasa apa, dan mengenai apa. Faktor kultural menyangkut latar belakang etnis atau budaya partisipan (Suwito, 1982:2-5) Dari sudut pandang sosiolinguistik, bahasa Jawa dalam program telepon pada radio ini sangat menarik untuk diteliti. Dilihat dari latar belakang penutur yang beraneka ragam, tentunya akan berkaitan dengan bentuk-bentuk kebahasaan yang dipakai, latar belakang pemakaian bentuk-bentuk kebahasaan, dan kosa kata khusus yang digunakan dalam program telepon. Hal itulah yang peneliti ini anggap sangat menarik untuk diteliti.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
5
1.2
Perumusan Masalah Penelitian
Tuturan berbahasa Jawa
program telepon pada radio di wilayah Surakarta, bisa
dianalisis dari berbagai segi. Dalam penelitian ini akan dianalisis terutama berkenaan dengan Ciri dan struktur tuturan, variannya, serta kecenderungan pola alih kode. Selain itu dapat pula diidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi varian tuturan tersebut serta kosa kata khusus yang dipergunakan. Atas dasar itulah masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1) Bagaimana ciri dan struktur tuturan berbahasa Jawa program telepon pada radio di wilayah Surakarta? 2) Bagaimana variasi dan kecenderungan pola alih kode yang terjadi dalam tuturan berbahasa Jawa program telepon pada radio di wilayah Surakarta ? 3) Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi variasi tuturan berbahasa Jawa program telepon pada radio di wilayah Surakarta ? 4) Kosa kata khusus apa sajakah yang muncul dalam tuturan berbahasa Jawa program telepon pada radio di wilayah Surakarta ?
1.3
Cakupan Penelitian
Untuk memperoleh hasil yang memadai, cakupan penelitian akan difokuskan pada pemakaian bahasa program telepon pada radio di wilayah Surakarta, khususnya program interaktif yang berbahasa Jawa. Pertimbangan ini diajukan oleh karena salah satu acara radio yang sekarang ini banyak digemari oleh para pendengar adalah program telepon yang biasa juga disebut telepon interaktif. Program telepon yang
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
6 dimaksud di sini adalah acara radio yang memanfaatkan telepon sebagai sarana untuk berkomunikasi antara penyiar dengan para pendengar lewat radio. Beberapa radio di wilayah Surakarta sering melakukan siaran jenis ini dengan menggunakan bahasa Jawa sebagai pengantarnya, terutama yang berkaitan dengan dengan acara-acara yang bersifat kedaerahan, misalnya “Klenengan”, “Keroncong tradisional”, “Campursari”, dan sebagainya. Selain itu dialog interaktif berbahasa Jawa juga sering diselenggarakan oleh beberapa radio di wilayah Surakarta untuk membahas masalah-masalah aktual yang sedang dihadapi masyarakat pada saat itu, seperti masalah pendidikan, masalah kesehatan, bencana alam, dan sebagainya.
1.4
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka tujuan umum penelitian ini yaitu, peneliti ini ingin mengetahui variasi tuturan berbahasa Jawa dalam program telepon pada radio di wilayah Surakarta. Ada pun tujuan khusus penelitian ini adalah: 1) mendeskripsikan ciri dan strutur tuturan berbahasa Jawa
program telepon
pada radio di wilayah Surakarta. 2) menemukan variasi dan kecenderungan pola alih kode yang terjadi dalam tuturan berbahasa Jawa program telepon pada radio di wilayah Surakarta. 3) menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi tuturan berbahasa Jawa program telepon pada radio di wilayah Surakarta. 4) menemukan kosa kata khusus yang muncul dalam tuturan berbahasa Jawa program telepon pada radio di wilayah Surakarta.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
7
1.5
Kemaknawian Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan aspek-aspek tuturan berbahasa Jawa program telepon pada radio di wilayah Surakarta. Analisis tuturan
berbahasa Jawa program telepon tidak hanya mencakup variasi
kebahasaannya saja, tetapi juga harus dikaji konteksnya. Kontribusi penelitian ini akan dapat menambah pengetahuan dan khazanah bidang sosiolinguistik, khususnya tentang teori variasi bahasa yang bertipe pemakaian bahasa atau register. Dengan ditemukan karakteristik yang khas yang berbeda dengan register lain, maka tuturan Jawa program telepon
berbahasa
dapat dianggap sebagai register tersendiri, serta dapat
menambah jenis variasi bahasa yang telah ada. Penelitian ini juga diharapkan dapat menghasilkan temuan-temuan yang dapat dijadikan bahan pertimbangan atau acuan bagi peneliti lain yang melakukan penelitian sejenis. Selain itu, penelitian ini diharapkan juga dapat dimanfaatkan untuk kemajuan linguistik, khususnya yang berkaitan dengan sosiolinguistik. Dalam kaitanannya dengan pembinaan dan pengembangan bahasa, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada para pemakai bahasa Jawa agar lebih mudah memahami sistem komunikasi melalui program telepon pada radio. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi manfaat bagi para partisipan yang terlibat langsung dalam program telepon pada radio, bahwa berbahasa Jawa dalam program telepon memiliki variasi bentuk tuturan dan kosa kata khusus yang perlu disimak, diperhatikan,
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
8 dan dimanfaatkan oleh para partisipan untuk meningkatkan kualitas bahasa program telepon pada radio.
1.6
Definisi Operasional
1.6.1
Pemakaian bahasa yaitu kebiasaan berbahasa seorang penutur dalam peristiwa bahasa tertentu dengan petuturnya (mitra bicara) pada ranah-ranah pemakaian bahasa.
1.6.2
Ranah (domain) ialah suatu kumpulan situasi interaksi yang pada umumnya di dalamnya digunakan satu bahasa atau satu variasi tutur tertentu yang digunakan secara terratur. Satu ranah dikaitkan dengan bahasa atau ragam bahasa tertentu.
1.6.3
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrair, yang dipergunakan oleh anggota
suatu
masyarakat
untuk
bekerja
sama,
berinteraksi,
dan
mengidentifikasi diri. 1.6.4
Bahasa Jawa adalah bahasa yang dipergunakan sebagai alat komunikasi dalam lingkungan masyarakat Jawa.
1.6.5
Program telepon atau disebut juga telepon interaktif adalah salah satu acara radio yang memanfaatkan telepon sebagai alat untuk berinteraksi antara penyiar dengan para penelepon / pendengar.
1.6.5
Wilayah Surakarta adalah wilayah geografis, artinya wilayah yang berada di daerah Kotamadya Surakarta atau berdekatan dengan Kotamadya Surakarta.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
9 1.6.6
Radio atau radio siaran adalah salah satu sarana komunikasi elektronik yang bersifat audial untuk mengirim informasi, mencari informasi, atau untuk memperoleh hiburan.
1.6.7
Register adalah pemakaian bahasa yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang. Tiap jenis pekerjaan memaksa orang untuk mempergunakan bahasa yang berhubungan dengan pekerjaannya.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
10
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Penelitian Terdahulu yang Terkait Penelitian mengenai tuturan berbahasa Jawa program telepon pada radio di wilayah Surakarta adalah suatu penelitian yang berkaitan erat dengan situasi kebahasaan masyarakat di wilayah Surakarta. Pada kenyataannya kebanyakan masyarakat Surakarta adalah masyarakat dwibahasawan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa sebagai bahasa pertama (B1) dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua (B2).Situasi kebahasaan di wilayah Surakarta ini dibahas oleh Wolff dan Soepomo (1982) dalam penelitian mereka berjudul: Communicative Codes in Central Java. Wolff dan Soepomo meneliti penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia oleh penutur bahasa Jawa dari etnis Jawa dan etnis Cina yang ada di Jawa Tengah dan mengambil lokasi penelitian di wilayah Surakarta. Wolff dan Soepomo meneliti penggunaan bahasa Indonesia dan penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa, yang kemudian bahasa-bahasa tersebut disebut kode bahasa yang ada di Jawa Tengah, khususnya di Surakarta. Dalam penelitian itu mereka mengamati kode bahasa yang ada di Surakarta, terutama kode bahasa dikaitkan dengan masyarakat pemakainya, yaitu bagaimana kode bahasa itu mengorganisasi masyarakat dan melestarikan tradisi budayanya. Di samping itu mereka juga melihat bagaimana nilai-nilai budaya menentukan pilihan kode bahasa yang digunakan dalam berperilaku. Penelitian ini
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
11 beranjak dari teori sosiolinguistik yang menyatakan bahwa fungsi-fungsi sebuah kode bahasa menentukan ciri-ciri formal kode bahasa itu. Dalam penelitian itu lebih ditekankan bagaimana hubungan antara penutur dengan petutur dilihat dari kelompok sosialnya, apakah dari kelompok priyayi, bukan priyayi, kelompok peranakan (Cina), dan umur mereka. Faktor-faktor luar bahasa lainnya seperti ranah (domain) sama sekali tidak mendapat perhatian. Suwito (1987) dalam disertasinya yang berjudul “Berbahasa dalam Situasi Diglosik: Kajian tentang Kendala Pemilihan dan Pemilahan Bahasa di dalam Masyarakat Tutur Jawa di Tiga Kelurahan
Kotamadya Surakarta” menjelaskan
bahwa di dalam masyarakat tutur Jawa di Surakarta terdapat kecenderungan untuk memilahkan pemakaian bahasa Jawa dan bahasa Indonesia berdasarkan faktor-faktor sosiokultural. Pemakaian bahasa Jawa dan bahasa Indonesia beserta ragamnya dapat tumbuh subur tanpa saling mempengaruhi satu sama lain sehingga masyarakat tutur Jawa merupakan masyarakat tutur yang diglosik. Fenomena ini tidak menutup kemungkinan apabila bentuk pemakaian bahasa Jawa selalu terjadi dalam situasi bilingualisme atau multilingualisme. Hal itu tentu dapat terjadi pula dalam pemakaian bahasa program telepon. Pemakaian bahasa Jawa dan bahasa Indonesia juga disebabkan oleh maksud tuturan. Maksud tuturan biasanya memerlukan gaya tersendiri, yang antara lain ditandai oleh intonasi, pilihan kata, dan topikalisasi. Pemakaian bahasa ragam lisan diwarnai oleh tuturan singkat, penggalan-penggalan, dan elipsis-elipsis. Hal itu terjadi oleh karena pemakaian ragam lisan banyak dibantu oleh unsur-unsur nonverbal yang dapat melancarkan komunikasi (Suwito, 1987:250).
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
12 Komunikasi lisan lewat telepon agak berbeda. Unsur-unsur nonverbal tidak berpengaruh sama sekali karena tidak terjadi tatap muka. Berdasarkan kenyataan ini dalam memahami pesan suatu komunikasi khususnya dalam program telepon tampaknya perlu mempertimbangkan segi-segi linguistis dan segi-segi sosiolinguistis. Suatu masyarakat yang mendiami daerah tertentu, pada umumnya terbagi menjadi kelompok-kelompok anggota masyarakat yang lebih kecil. Pengelompokan itu dapat terwujud berdasarkan etnik, agama, keahlian, profesi, ideologi, pendidikan, hobi dan sebagainya. Kekhususan suatu kelompok sering ditandai dengan penggunaan suatu variasi bahasa oleh warganya dalam berinteraksi sosial (Soeseno Kartomihardjo, 1986:6). Kelompok masyarakat program telepon merupakan salah satu kelompok tutur yang terbuka bagi semua lapisan sosial. Hal ini dapat terjadi karena setiap kelompok orang di dalam masyarakat yang karena tempat atau daerahnya, umur atau jenis kelaminnya, lapangan kerja atau hobinya, yang menggunakan bahasa yang sama dan mempunyai penilaian
yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasanya
mungkin membentuk masyarakat tutur (Suwito, 1982:18). Penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati dari Universitas Sriwijaya yang dimuat dalam Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia, No. 2 bulan Agustus 2000, merupakan penelitian yang sejenis dengan penelitian Tuturan Berbahasa Jawa Program Telepon pada Radio di Wilayah Surakarta. Penelitian tersebut berjudul “Register Bahasa Lisan Penyiar-penyiar Radio di Palembang: Studi Analitis dari Aspek Sosiolinguistik dan Kaitannya dengan Ketertarikan Pendengar”. Temuan penelitian ini antara lain bahwa dalam register penyiar ditinjau dari aspek fonologi terdapat beberapa
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
13 variasi pengucapan oleh penyiar-penyiar. Dalam bidang morfologi ditemukan pemakaian bentuk-bentuk yang lazim digunakan dalam percakapan resmi; terdapat pula penggunaan bentukan-bentukan yang lazim dalam pembicaraan akrab. Dalam bidang leksikon terdapat penggunaan kosa kata bahasa Indonesia yang lazim dipakai dalam situasi resmi, terdapat pula penggunaan kosa kata dialek-dialek regional, dan penggunaan kosa kata bahasa Inggris. Dalam bidang sintaksis, dijumpai penggunaan kalimat aktif lebih banyak dibandingkan kalimat pasif; kalimat pendek lebih banyak digunakan dibandingkan kalimat panjang; pola kalimat yang dipakai bervariasi, yaitu S – P dan P – S yang mengalami pelesapan subyek, dan register bahasa lisan lebih diminati oleh para pendengarnya. Di samping itu terdapat pula beberapa penelitian yang dilakukan dalam rangka penyusunan skripsi sarjana yang nampaknya tidak mungkin disebutkan rinciannya satu-persatu. Penelitian mengenai Percakapan berbahasa Jawa program telepon pada radio di wilayah Surakarta ini, berbeda dengan ketiga penelitian terdahulu dalam beberapa hal, baik berkenaan dengan medianya (terutama dengan yang pertama dan kedua) maupun fokus kajiannya. Penelitian ini mengkaji pemakaian bahasa Jawa program telepon pada radio, dengan berfokus pada bentuk dan struktur percakapan, karakteristik pemakaian bahasa khususnya pemakaian kalimat, dan peristiwa campur kode yang sering muncul dalam percakapan tersebut serta faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk varian dari percakapan itu.
Namun penulis menyadari bahwa peneliti-peneliti sebelumnya itu
banyak memberi petunjuk dan inspirasi bagi penulis dalam mengembangkan penelitian ini, terutama penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati. Perbedaan penelitian ini dengan yang dilakukan oleh Nurhayati terutama fokus penelitian. Nurhayati lebih berfokus
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
14 pada bahasa lisan yang digunakan oleh penyiar-penyiar, sehingga obyek penelitian berupa tuturan yang bersifat monolog, sedangkan penelitian ini berobyek pada tuturan berupa dialog interaktif yang melibatkan penyiar, penelepon, dan pendengar. Jadi, dalam rangka menumbuhkembangkan penelitian sosiolinguistik, penelitian tentang tuturan berbahasa Jawa program telepon pada radio di wilayah Surakarta ini masih layak dan pantas dilakukan.
2.2
Landasan Teori
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan teori-teori yang berkenaan dengan pemakaian dan pilihan bahasa, terutama percakapan berbahasa Jawa program telepon di radio. Oleh karena itu teori yang penulis gunakan berkaitan dengan fungsi bahasa, masyarakat tutur, kontak bahasa, analisis tutur, struktur tuturan, komponen tutur, variasi bahasa, tingkat tutur,
alih kode dan campur kode. Masing-masing akan
diuraikan secara garis besar dalam pembahasan berikut ini. . 2.2.1
Fungsi Bahasa
Fungsi bahasa yang utama adalah sebagai alat untuk bekerja sama atau berkomunikasi dalam kehidupan masyarakat. (Chaer, 1988; Nababan, 1986:38). Setiap masyarakat tertentu dipastikan memiliki dan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sosial. Dalam kehidupan manusia, tidak ada masyarakat tanpa bahasa dan tidak ada pula bahasa tanpa masyarakat. Di samping bahasa sebagai media utama dalam berkomunikasi, secara spesifik Popper (1972:70) mengungkapkan ada empat macam fungsi bahasa, yaitu fungsi (1)
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
15 fungsi ekspresif (expressive function), bahasa sebagai pengungkap keadaan internal individu; (2) fungsi informatif (signaling function) bahasa sebagai penyampai eksternal kepada orang lain; (3) fungsi deskriptif (descriptive function), bahasa sebagai pemberi obyek dalam dunia eksternal; (4) fungsi argumentatif (argumentative function), bahasa sebagai pengungkap dan penilai suatu argumen. Lebih lanjut Popper menyatakan bahwa dalam sistem komunikasi yang lebih primitif, fungsi ekspresif dan informatif merupakan fungsi yang paling menonjol. Dalam komunikasi modern, fungsi deskriptif dan argumentatif yang lebih tampak dominan. Menurut Halliday (dalam Leech, 1993:86) bahasa memiliki tiga fungsi. Pertama, fungsi idesional, bahasa berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan dan menginterpretasikan pengalaman dunia. Kedua, fungsi interpersonal, bahasa berfungsi sebagai pengungkap sikap penutur dan sebagai pengaruh sikap/perilaku penutur. Ketiga, fungsi tekstual, bahasa sebagai alat untuk mengontruksi atau menyusun sebuah teks. Fungsi idesional yang dikemukakan oleh Halliday, sejajar dengan fungsi argumentatif dan deskriptif yang diungkapkan oleh
Popper, sedangkan fungsi
interpersonal Halliday juga tidak bertentangan dengan fungsi ekspresif dan fungsi informatif yang dikemukakan oleh Popper. Dengan demikian, tampaklah kesesuaian pemikiran mengenai fungsi bahasa yang disampaikan Popper dan Halliday. Pendapat mengenai fungsi bahasa yang berbeda-beda tersebut, sebenarnya mempunyai kesamaan yaitu, sebagai alat untuk berkomunikasi. Jadi, apabila dicermati fungsi bahasa itu dapat dipilah menjadi dua. Pertama, sebagai alat komunikasi, merupakan fungsi utama dan kedua, merupakan fungsi tambahan, yaitu
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
untuk
16 mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam bentuk karya seni, untuk mengidentifikasi diri dan sebagainya.
2.2.2 Masyarakat Tutur Menurut Fishman (1972:22), masyarakat tutur adalah suatu masyarakat
yang
anggotanya paling tidak mengenal satu variasi tutur beserta norma-norma yang sesuai dengan pemakaiannya. Dalam upaya menjelaskan konsep itu, lebih lanjut ia menegaskan bahwa suatu masyarakat dapat dikatakan sebagai masyarakat tutur apabila masyarakat atau sekelompok orang itu memiliki verbal repertoire yang relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang dipergunakan dalam masyarakat itu. Jadi, masyarakat tutur bukan sekedar sekelompok orang yang menggunakan bentuk bahasa yang sama, tetapi kelompok orang itu juga mempunyai norma-norma yang sama dalam memakai bentuk-bentuk bahasa yang ada. Ada pun yang dimaksud dengan verbal repertoire adalah kemampuan yang sejajar dengan kemampuan komunikatif. Hal itu dapat diberi batasan sebagai kemampuan bahasa yang dimiliki penutur beserta ketrampilan mengungkapkan
sesuai dengan
fungsi, situasi dan konteks. Konteks yang dimaksud adalah konteks sosial dan kultural (Suwito, 1982 : 19). Masyarakat bahasa atau masyarakat tutur pada hakekatnya terbentuk karena adanya saling pengertian (mutual-intelligibility), terutama adanya kebersamaan dalam kode-kode linguistik yang mencakup sistem bunyi, morfologi, sintaksis, dan semantik (Alwasilah, 1988:43). Dalam masyarakat modern, masyarakat bahasa cenderung lebih terbuka dan memiliki variasi yang cukup banyak dalam bahasa yang sama. Sebaliknya,
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
17 masyarakat tradisional lebih tertutup dan cenderung memakai variasi yang lebih terbatas (Fishman, 1972:33). Masyarakat tutur atau masyarakat bahasa yang terbentuk oleh karena rapatnya komunikasi ditemukan dalam masyarakat bahasa program telepon. Masyarakat tutur ini merupakan gabungan dua masyarakat bahasa yang berbeda, yaitu masyarakat pengguna radio dan masyarakat pengguna telepon. Secara sosial masyarakat tutur pengguna radio sangat heterogen, baik usia, jenis kelamin, profesi, status sosial, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Masyarakat yang biasa berkomunikasi melalui radio sangat beragam, dari usia anak-anak sampai orang tua. Profesinya pun bermacam-macam, dari pelajar, mahasiswa, pegawai, pensiunan, pengangguran, sampai dengan pekerja kasar pun sering menjadi anggota masyarakat radio. Dari segi status pun dalam masyarakat tutur radio beraneka ragam, dari yang miskin, menengah, sampai yang kaya pun sering memanfaatkan radio sebagai salah satu sarana komunikasinya. Masyarakat pengguna telepon di Indonesia saat ini sudah semakin kompleks, masyarakat yang memiliki telepon, pada mulanya adalah orang-orang yang tingkat ekonominya tergolong menengah
atas. Akan tetapi seiring dengan perkembangan
teknologi di bidang telekomunikasi saat ini, setiap orang dapat dengan mudah memiliki dan menggunakan jenis telepon seluler untuk berkomunikasi. Masyarakat tutur program telepon terdiri atas masyarakat pengguna radio dan masyarakat pengguna telepon. Masyarakat pengguna radio tidak dibatasi oleh usia, status sosial, profesi, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Artinya masyarakat pengguna
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
18 radio itu beragam. Keanekaragaman latar belakang penutur tersebut membentuk suatu variasi bahasa yang khas. Masyarakat tutur program telepon di radio adalah masyarakat pengguna radio yang memiliki telepon dan memanfaatkannya untuk berkomunikasi dalam acara program telepon pada radio. Para partisipan dalam program telepon terdiri dari berbagai lapisan sosial dalam masyarakat. Dari pengamatan peneliti ini diketahui bahwa para penelepon
yang juga
anggota masyarakat tutur program telepon kebanyakan memiliki telepon di rumahnya, atau memanfaatkan telpon genggam yang dimilikinya, karena untuk bisa menelepon ke radio-radio kesayangannya tidak selalu langsung bisa berhubungan dengan penyiar, tetapi harus berebut lebih cepat dengan penelepon yang lain. Penelepon biasanya menelepon dengan mendengarkan radio, sehingga jarang ditemukan penelepon yang menggunakan jasa warung telekomikasi (wartel) atau lewat telepon umum. Alternatif lain, para penelepon dapat menggunakan telepon genggam, tetapi biayanya lebih mahal dibanding dengan telepon rumah.
2.2.3
Kontak Bahasa
Kontak bahasa adalah pengaruh bahasa yang satu kepada bahasa yang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga menimbulkan perubahan bahasa yang dimiliki oleh ekabahasawan (Mackey dalam Suwito, 1982:34) Jadi, apabila terdapat dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, akan terjadilah kontak bahasa. Pengaruh langsung itu dapat dilihat, misal dari munculnya beberapa pinjaman leksikon dari salah satu bahasa dari kedua bahasa yang saling
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
19 kontak itu.
Sebagai contoh dapat dilihat dengan jelas bahwa bahasa Indonesia
mendapat beberapa pengaruh langsung dari bahasa-bahasa daerah seperti Jawa, Sunda, Madura dan lain sebagainya. Variasi bahasa merupakan salah satu bukti bahwa pemakaian bahasa itu bersifat heterogen. Salah satu penyebab variasi bahasa karena terjadi kontak bahasa dalam masyarakat yang dwibahasawan. Akibatnya di dalam menggunakan bahasa sering muncul interferensi, alih kode dan campur kode. Dalam tulisan ini interferensi tidak akan dibicarakan, karena penulis akan lebih memfokuskan pada masalah alih kode dan campur kode.
2.2.4 Analisis Tuturan Analisis percakapan telah menjadi bidang studi bahasa dan komunikasi yang berkembang teraktif dan tercepat (Marcellino, 1993:59). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa percakapan sebagai bentuk pemakaian bahasa dapat ditinjau dari berbagai disiplin. Filsafat, psikologi, sosiologi, dan linguistik merupakan empat disiplin ilmu yang dapat dijadikan dasar bagi penelusuran ikhwal percakapan. Pernyataan lain menyebutkan
bahwa mula-mula usaha menganalisis
percakapan dengan cara yang sistematik dilakukan pakar bahasa aliran struktural Amerika tahun 1950-an, yaitu Harris dan Pike. Penelitian analisis percakapan telah berkembang sejajar dengan perkembangan sosiolinguistik, pragmatik, analisis wacana, dan bidang linguistik yang lain seperti dikemukakan oleh Asher (1994:749) sebagai berikut:
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
20 “Research in conversation analysis (CA) has paralleled the development within sociolinguistics, pragmatics, discource analysis, and other fields in linguistics, toward a naturalistic obsevation-based science of actual verbal behavior”
Percakapan oleh Tedlock (1995:4) disebut dialog, yaitu sebuah konversasi di antara dua orang atau lebih (a conversation between two or more persons). Jadi, interaksi konversasi itu bersifat diadis. Aktivitas yang dilakukan oleh dua orang atau lebih itu dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu yang bersifat verbal dan nonverbal. Yang bersifat verbal dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan. Yang bersifat nonverbal dapat berwujud aktivitas fisik. Di dalam aksi verbal lisan pihak-pihak yang terlibat setidak-tidaknya memanipulasi dua ketrampilan berbahasa, yaitu menyimak dan berbicara. Aktivitas berbicara ini selalu didahului oleh aktivitas menyimak. Percakapan sebagai obyek studi linguistik secara khas disarankan oleh Firth (dalam Marcellino, 1993:59) yang mengatakan “Di sinilah kita akan menemukan kunci ke pengertian yang lebih baik tentang apa sebenarnya bahasa itu dan bagaimana bahasa itu bekerja”. Dalam deskripsi linguistik, “percakapan sering tidak dipentingkan : ciri khas
interaksi
percakapan,
seperti
ketidakgramatikalan,
ketakbersinambungan,
interaktivitas, dan ketergantungan konteks sering diabaikan, baik dalam paradigma Saussure
maupun
Chomsky
dalam
mempelajari
langue
atau
competence.
Perkembangan selanjutnya ternyata ditemukan bahwa percakapan tidak bisa hanya dipahami strukturnya saja tanpa memperhatikan hal-hal di luar struktur atau konteks. Justru kontekslah yang memegang peranan penting dalam percakapan. Jadi, dalam percakapan yang perlu diperhatikan adalah bagaimana peserta tutur memahami dan merespon suatu percakapan yang terjadi di antara mereka.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
21 Analisis percakapan ini juga dikemukakan oleh Littlejohn (1991:91) sebagai berikut : “Conversation analisys has been concerned with a variety of issues. Fisrt, it deals with what speakers need to know to have a conversation. This means, for the most part, knowledge of the rules of conversation. Interactional features of conversation such as turn taking, silences and gaps, and overlaps have been of special interest. Conversation analisys has also been concerned with rule violation and the ways in which people prevent and repair errors in talk”
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa percakapan adalah satuan interaksi bahasa antara dua pembicara atau lebih yang mensyaratkan penguasaan kaidah-kaidah percakapan, ciri-ciri percakapan seperti giliran berbicara, kesenyapan, kesenjangan dan ketumpangtindihan dalam percakapan. Analisis percakapan memusatkan perhatian pada pelanggaran dan penyimpangan
serta pencegahan dan perbaikan kesalahan dalam
percakapan. Jadi, analisis percakapan adalah suatu usaha untuk mengkaji organisasi bahasa yang membawa amanat yang lengkap dalam bentuk percakapan (lisan).
2.2.5
Struktur Tuturan
Model-model bentuk percakapan terdiri dari dua satuan yang berhubungan secara hierarki. Beberapa ahli telah menganalisis bentuk percakapan. Dell Hymes (1972) mengusulkan dua bagian dalam percakapan, yakni act
dan
event; Gofman (1955)
membedakan antara move dan interchange ; Mathiot menyebutkan tiga hierarki, yaitu statements, motifs, dan section ; Bellack, Klibard, Hyman, dan Smith (1966) mengusulkan empat bagian dalam percakapan, yaitu move, cycle, subgame,
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
dan
22 game;
sedangkan Sinclair dkk. (1972) menyebutkan ada lima bagian dalam
percakapan, yaitu act, move, exchange, transaction, dan interaction. Berikut ini akan dibicarakan model yang dikemukakan oleh Sinclair. Yang pertama adalah act merupakan satuan percakapan yang paling rendah yang langsung berhubungan dengan satuan gramatikal tertinggi kalimat dan klausa. Move adalah satu kontribusi terhadap sebuah percakapan yang dilakukan oleh masing-masing yang terlibat dalam percakapan. Move merupakan satuan bebas yang terkecil dari sebuah percakapan. Move-move dari setiap orang yang terlibat dalam percakapan tersebut digabungkan
membentuk exchange.
Penggabungan
exchange
akan melahirkan
transaction. Satuan yang terbesar kemudian disebut interaction. Kelima satuan percakapan di atas jika dibandingkan dengan satuan percakapan dan satuan tataran bahasa, maka dapat dipasangkan bahwa act sama dengan klausa dan merupakan pemarkah, pemulai, pemancing, petunjuk, atau penginformasi untuk suatu percakapan. Move sama dengan kalimat dan menjadi satuan pemumpun atau pemfokus, pembuka, penjawab, atau pelanjut. Transaction sama dengan topik dan tema dan merupakan percakapan dalam pengertian bentuk suprakalimat, sedangkan interaction sama dengan paragraf. Haliday dan Hasan (1992:77) menyatakan bahwa struktur menunjuk pada struktur yang menyeluruh, struktur global bentuk pesan dari suatu tuturan percakapan. Struktur teks dapat diprakirakan sebagai berikut : 1. unsur-unsur apa harus muncul, 2. unsur-unsur apa dapat muncul, 3. di mana unsur-unsur itu harus muncul,
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
23 4. di mana unsur-unsur itu dapat muncul, 5. berapa kali unsur-unsur itu dapat muncul. Selain itu, dikatakan
bahwa
struktur
teks
dalam suatu percakapan
meliputi (1) unsur-unsur wajib, (2) unsur-unsur pilihan, (3) runtunannya (4) yang dibandingkan satu sama lain (5) unsur-unsur pengulangan. Unsur wajib adalah unsur yang wajib hadir dalam percakapan, unsur pilihan merupakan unsur yang mungkin hadir dan mungkin tidak, sedangkan unsur pengulangan adalah unsur atau seperangkat unsur yang kehadirannya lebih dari satu kali dalam percakapan. Dalam pembahasan ini akan digabungkan kedua pendapat di atas. Struktur teks dapat terdiri dari unsur-unsur wajib, unsur pilihan, keruntunan unsur-unsur, dan unsur pengulangan. Unsur-unsur itu dapat berupa act, move, exchange, transaction, dan interaction. Struktur percakapan selanjutnya diringkas menjadi hanya struktur awal, struktur tengah, dan struktur akhir yang mengutip pendapat Sinclair dan Coulthard dalam Nababan
(1999:29) yang menyebutkan bahwa dalam suatu transaksi yang
dimulai dari pertukaran permulaan (preliminary exchange), pertukaran pertengahan (medial exchange) yang terdiri dari sejumlah pertukaran bebas (free exchange), dan pertukaran akhir (final exchange). Selanjutnya, dikatakan oleh Halliday dan Hasan bahwa unsur-unsur yang membentuk percakapan di atas menyebabkan hadirnya bentuk percakapan yang lengkap dan
yang tidak lengkap.
Suatu percakapan dikatakan percakapan yang
lengkap apabila percakapan itu sudah menunjukkan selesainya suatu kegiatan, sedangkan suatu percakapan yang belum menunjukkan pertanda selesainya suatu kegiatan disebut percakapan yang tidak lengkap.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
24
2.2.6
Komponen Tutur
Komponen
tutur adalah butir-butir penentu bentuk linguistik (Poedjosoedarmo,
1979:1). Dari pendapat tersebut, komponen tutur tidak lain adalah butir yang dapat menentukan bentuk ujaran seorang penutur. Teori komponen tutur yang dikemukakan Poedjosoedarmo merupakan penjabaran kembali apa yang telah disampaikan oleh Hymes dengan penyesuaian di sana-sini sesuai dengan penelitian yang dilakukannya. Hymes hanya menyebut adanya delapan komponen tutur, sedangkan Poedjosoedarmo ada 13 komponen tutur yang merupakan faktor-faktor penentu bentuk kebahasaan. Pada waktu seseorang hendak berbicara, pertama kali terbentuklah suatu pesan (massage) di dalam kepala orang tersebut. Ketika tiba waktunya, lalu pesan itu dilontarkan menjadi ujaran (ulterance) yang kemudian didengar oleh mitra tuturnya. Pelontaran ujaran atau pengkodean (encoding) itu terjadi dipengaruhi oleh banyak hal. Akibatnya wujud penjabaran pesan itu dalam bentuk kebahasaannya menjadi bermacam-macam bergantung kepada macam atau kualitas butir-butir yang mempengaruhinya. Hal itu disebabkan karena butir-butir itu adalah sebagai penentu bentuk kebahasaan, yaitu ujaran yang dilontarkan oleh seorang penutur. Kejelasan tentang komponen tutur sangat diperlukan dalam analisis kebahasaan. Dengan melihat komponen tutur secara teliti, maka akan diketahui bahwa ternyata kemampuan seseorang dalam berbahasa tidak hanya semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor yang sifatnya linguistik,
tetapi juga ditentukan oleh pemilihan yang
sesuai dengan fungsi dan situasinya.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
25 Pembahasan komponen tutur ini berguna pula untuk mencari kejelasan tentang berbagai varian bahasa, ragam bahasa, undha usuk, dan pemakaian bahasa di kalangan masyarakat dwibahasa atau multibahasa. Dalam analisis tindak tutur atau bahkan untuk memahami makna suatu kalimat
pun sebetulnya kita perlu memperhitungkan
pengaruh-pengaruh komponen tutur ini pada bentuk ujaran yang akan kita analisis itu. Jadi, pemahaman tentang komponen tutur ini diperlukan dalam analisis kebahasaan. Hymes lebih lanjut merumuskan ikhwal komponen tutur dalam bentuk yang disingkat dengan SPEAKING (Setting and scene, Participant, Ends,
Act sequences, Key,
Instrumentalities, Norm of interactions and interpretation, Genre) ( dalam Nababan, 1984:7; Wardhaugh, 1986:238; Sumarsono, 2004:335; Pateda, 1990:19) 1. Setting and Scene. Setting mencakup waktu dan tempat tutur berlangsung. Scene
mengacu pada situasi, tempat, dan waktu, atau situasi psikologis
pembicaraan. 2. Participant atau disebut pula peserta tutur adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara, pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima pesan. Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara atau pendengar. Status partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. 3. Ends atau tujuan yang hendak dicapai oleh peserta tutur. Peristiwa yang terjadi di pengadilan misalnya para partisipan mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
26 4. Act sequence, yaitu aturan dalam berganti bertutur yang mengacu pada bentuk dan isi ujaran. Bentuk ujaran berkaitan dengan
kata-kata yang digunakan,
bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam ruang kuliah, percakapan biasa, atau dalam rapat dinas masing-masing berbeda, begitu pula dengan isi yang dibicarakan. 5. Key atau warna tutur, mengacu pada nada, cara, dan semangat ketika pesan disampaikan. Hal itu bisa disampaikan dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Juga dapat ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat. 6. Instrumentalites atau sarana tutur atau variasi linguistik yang dipakai oleh penutur. Sarana itu bisa berupa lisan atau tulis, telepon atau radio. Variasi pemakaian ini juga bisa mengacu pada kode ujaran yang digunakan , seperti bahasa, dialek, atau register. 7. Norm of Interaction and Interpretation atau norma tutur atau konvensi atau aturan berinteraksi yang harus ditaati oleh para peserta tutur. Misalnya yang berhubungan dengan cara menginterupsi, bertanya, dan sebagainya. 8. Genre
atau perbedaan penampilan
yang mengacu pada jenis bentuk
penyampaian, seperti narasi, percakapan, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya.
Setiap tuturan atau ujaran manusia dalam berkomunikasi selalu berkaitan erat dengan komponen-komponen tutur. Namun demikian tidaklah selalu semua komponen tutur itu muncul sekaligus dalam sebuah tuturan. Ada kalanya sebuah komponen
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
27 muncul namun beberapa komponen yang lainnya tidak muncul dalam tuturan tertentu. Hal demikian disebabkan bahwa memang setiap komponen tutur itu memiliki peran dan fungsi sendiri-sendiri yang tidak dapat begitu saja disamakan dengan yang lain dalam membentuk sebuah tuturan. Perlu juga disampaikan bahwa tuturan seseorang mencerminkan masyarakat tuturnya, oleh karena tuturan itu pun berkaitan erat dengan norma dan nilai sosial budaya dari masyarakatnya. Artinya bahwa terdapat butir komponen tutur tertentu yang tidak dapat dilepaskan dari norma tutur yang berlaku dalam suatu masyarakat tutur. Konsep komponen tutur yang dikemukakan Poedjosoedarmo (1979) berikut merupakan pengembangan konsep Hymes. Ia melakukan beberapa pembenahan yang disesuaikan dengan keadaan nyata di Indonesia, sehingga menjadi lebih rinci dan luas daripada Hymes. Menurutnya butir-butir komponen tutur itu meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. pribadi si penutur atau orang pertama (P1), 2. warna emosi si penutur, 3. maksud atau kehendak si penutur, 4. anggapan si penutur terhadap kedudukan sosial dan relasinya dengan orang yang diajak berbicara (P2), 5. kehadiran orang ketiga, 6. nada dan suasana bicara, 7. adegan tutur, 8. pokok pembicaraan, 9. sarana tutur,
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
28 10. urutan bicara, 11. ekologi percakapan, 12. bentuk wacana, 13. norma kebahasaan lainnya. Berdasarkan uraian tentang komponen tutur dari para pakar di atas, yang dipakai sebagai landasan analisis pemakaian bahasa Jawa dalam program telepon di radio adalah pendapat Hymes karena paling sesuai dengan pembahasan yang akan dilakukan dalam analisis. Yang terutama dibicarakan adalah faktor yang mempengaruhi variasi tuturan yang meliputi participant scene,
ends, act sequence, key, instrumentallites,
noem of interaction and interpretation, dan genre. Pendapat yang lain dipakai sebagai pelengkap bagian yang belum ada.
2.2.7
Variasi Bahasa
Di dalam sosiolinguistik bahasa tidak hanya dipahami sebagai suatu sistem lambang, tetapi juga dipandang sebagai suatu sistem sosial, sistem komunikasi, dan sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat tertentu. Bahasa sebagai alat komunikasi dalam masyarakat mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami oleh semua penuturnya. Penutur bahasa yang juga anggota masyarakat mempunyai latar belakang sosial yang bermacam-macam.
Para penutur memanfaatkan bahasa
sebagai alat komunikasi
dengan fungsi yang bermacam-macam pula. Keragaman sosial penutur bahasa dan keragaman fungsi bahasa sering menjadi penyebab timbulnya keragaman bahasa atau variasi bahasa (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 1995:81). Oleh karena itu ,
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
29 penelitian bahasa dengan pendekatan sosiolinguistik selalu akan mempertimbangkan bagaimana pemakaiannya di dalam masyarakat. Pemakaian bahasa dalam masyarakat dapat dipengaruhi oleh faktor situasional dan faktor sosial. Faktor situasi turut mempengaruhi percakapan terutama dalam pemilihan kata dan bagaimana cara mengkodekannya. Faktor sosial juga menentukan bahasa yang akan dipergunakan seseorang. Faktor sosial itu misalnya, umur, jenis kelamin, latar belakang ekonomi, tempat tinggal, dan sebagainya (Pateda, 1992:15-16). Fishman merumuskan faktor-faktor situasional dengan “who speaks what language to whom and when and to what end” ’siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana dan mengenai masalah apa?’ (dalam Chaer, 1995:9). Dengan demikian setiap penelitian sosiolinguistik akan melihat bahwa pemakaian bahasa tidak bisa dipisahkan dengan konteks sosial dan situasional. Hudson dalam Wardhaugh (1986:22) mendefinisikan variasi bahasa, “variety of language, a set of linguistic items with similar distribution” ‘seperangkat bentuk linguistik yang mempunyai
distribusi yang sama’.
Variasi bahasa menurut
Poedjosoedarmo dalam Suwito (1982) adalah bentuk-bentuk bagian dalam bahasa yang masing-masing memiliki pola-pola yang menyerupai pola umum bahasa induknya. Variasi bahasa adalah sebuah penyimpangan di dalam pemakaian bahasa secara konkret yang ada dalam kehidupan sosial. Meskipun terdapat penyimpangan, variasi bahasa masih menggunakan pola yang sama dengan bahasa induknya. Penyimpanganpenyimpangan tersebut tidak akan mengganggu komunikasi dalam masyarakat, karena secara konvensional masih menggunakan pola yang sama dengan bahasa induknya.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
30 Variasi bahasa dapat dilihat dari segi penutur, pemakaian, keformalan, dan sarana
(Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 1995:84). Variasi bahasa berdasarkan
penuturnya dibedakan menjadi idiolek, dialek,
dan sosiolek.
Variasi bahasa
berdasarkan pemakaian dibedakan menjadi ragam dan register, yang juga termasuk dalam
fungsiolek. Berdasarkan keformalannya, variasi bahasa dibedakan menjadi
ragam baku, ragam resmi, ragam usaha, ragam santai, dan ragam akrab. Berdasarkan sarananya, variasi bahasa dibedakan menjadi bahasa lisan dan bahasa tulis.
2.2.7.1
Variasi Bahasa Dilihat dari Segi Penutur
Variasi bahasa dilihat dari segi penutur mencakup idiolek dan dialek sosial atau disebut juga sosiolek. Idiolek adalah keseluruhan ciri-ciri bahasa yang dipergunakan oleh seseorang (Kridalaksana, 2001:80). Suwito (1982:21) menyatakan bahwa idiolek adalah sifat khas tuturan seseorang yang berbeda dengan tuturan orang lain. Sebagai contoh idiolek Bapak Soeharto akan berbeda dengan idiolek Gusdur atau pun Megawati. Jenis yang kedua adalah dialek atau logat, Menurut Sumarsono (2004:21) dialek adalah bahasa sekelompok masyarakat yang tinggal di suatu daerah tertentu. Karena dialek ini didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut dialek areal, dialek regional atau dialek geografi. Ragam ini diwarnai oleh lafal dan intonasi bahasa-bahasa setempat atau bahasa kelompok etnik tertentu. Negara Indonesia yang terdiri dari beratus-ratus suku bangsa
juga memiliki beratus-ratus
bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu atau bahasa pertama suku bangsa atau etnik tersebut.
Dengan demikian, bahasa Indonesia bagi kebanyakan orang Indonesia
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
31 merupakan bahasa bahasa kedua yang diperoleh setelah mereka memasuki sekolah formal. Dalam keadaan demikian, dapat dipahami jika orang Indonesia berbahasa Indonesia lisan maka bahasanya akan dipengaruhi oleh lafal dan intonasi daerah atau bahasa ibunya. Itulah terjadinya keragaman atau variasi bahasa Indonesia dalam bentuk logat-logat, misalnya bahasa Indonesia logat Sunda, bahasa Indonesia logat Batak, bahasa Indonesia logat Betawi, bahasa Indonesia logat Jawa, dan sebagainya. Suwito (1982:22) memasukkan undha-usuk ke dalam variasi sosial. Undha-usuk adalah variasi bahasa yang pemakaiannya didasarkan pada tingkat kelas atau status sosial interlokutornya. Undha-usuk dalam bahasa Jawa ditandai oleh adanya perbedaan tingkat sosial di antara penuturnya. Dengan adanya undha-usuk, seseorang yang akan menggunakan bahasa harus terlebih dahulu mengetahui posisi sosial terhadap mitra tuturnya.
2.2.7.2 Variasi Bahasa Dilihat dari Segi Pemakaian Variasi bahasa dilihat dari segi pemakaian atau fungsi disebut fungsiolek, ragam, atau register. Ragam ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi berdasarkan bidang pemakaian ini misalnya bidang militer, sastra, jurnalistik, pendidikan dan sebagainya. Masing-masing bidang tersebut menampakkan ciri pemakaian kosa kata yang berbeda. Dalam bidang sastra misalnya, akan memilih leksikon-leksikon yang estetis. Selain itu tampak pula perbedaan itu dari tataran morfologi dan sintaksis, misalnya dalam bidang sastra akan lebih banyak meninggalkan
kaidah morfologi dan sintaksis. Variasi bahasa yang
disebabkan karena sifat-sifat khas kebutuhan pemakaiannya disebut register. Register
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
32 sering dikaitkan dengan dialek. Jika dialek dikaitkan dengan penggunaan bahasa oleh siapa, di mana, dan kapan, maka register berkenaan dengan bahasa itu digunakan untuk kegiatan apa? Lebih jauh dapat dijelaskan bahwa seseorang mungkin saja akan hidup dengan satu dialek saja, tetapi dia pastilah tidak akan hidup dengan satu register saja karena bidang kegiatan yang harus dilakukan tidak hanya satu saja. Dalam percakapan berbahasa Jawa program telepon pada radio ini akan terlihat bentuk dan strukturnya terutama berkaitan dengan penggunaan bahasanya. Pelanggaran kaidah kebahasaan dimungkinkan juga banyak mewarnai register percakapan program telepon ini.
2.2.7.3 Variasi Bahasa Dilihat dari Segi Keformalan Berdasarkan segi keformalannya, Martin Joos (dalam Nababan, 1984:22) membagi variasi bahasa ini menjadi lima macam, yaitu ragam beku (frozen), ragam resmi (formal),
ragam usaha (consultative),
ragam santai
(casual), dan ragam akrab
(intimate). Ragam beku adalah ragam bahasa yang paling formal dan dipakai dalam situasi yang sangat resmi atau digunakan dalam situasi-situasi khidmat. Disebut ragam beku karena ragam itu tidak boleh diubah sedikit pun wujud pemakaiannya termasuk titik dan komanya, urutan kata-katanya serta susunan kalimatnya. Ragam ini terutama terdapat dalam pemakaian resmi dalam bentuk tertulis yang mengandung nilai-nilai historis. Misalnya pemakaian bahasa dalam upacara-upacara, kitab undang-undang, akte notaris, surat keputusan, dokumen-dokumen bersejarah, dan sebagainya. Pola dan kaidah ragam beku sudah ditetapkan secara mantap dan tidak berubah-ubah.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
33 Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi yang bersifat resmi, baik lisan maupun tulis. Misalnya dalam surat-surat dinas, rapat dinas, pidato kenegaraan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya. Ragam ini dapat disamakan dengan ragam baku atau standar. Ragam ini dikatakan sebagai ragam yang berwibawa atau bahkan paling berwibawa. Ragam usaha atau konsultatif adalah variasi bahasa yang lebih menekankan pada berhasilnya proses komunikasi, yang diutamakan adalah bagaimana agar pesanpesan dalam komunikasi itu dapat ditangkap dan dipahami secara maksimum oleh komunikan atau penerima. Ragam ini lazim digunakan dalam pembicaraan di sekolah, rapat-rapat, ceramah, dan sebagainya. Ragam santai atau kausal dipakai dalam situasi yang tidak resmi atau santai. Sebagai contoh pembicaraan di warung-warung, di tempat-tempat olah raga, di antara teman karib, dan sebagainya. Ragam ini banyak menggunakan bentuk alegro, yaitu bentuk kata atau ujaran
yang dipendekkan atau disingkat. Kosa katanya banyak
menggunakan unsur dialek dan unsur bahasa daerah, misalnya kok, lu, gue, lha, dan sebagainya. Ragam ini sering meninggalkan norma morfologi maupun sintaksis. Ragam akrab atau intim adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang biasanya sudah akrab terutama dalam kalangan keluarga, suami isteri, kakak adik, atau antar teman yang sudah akrab, dan sebagainya. Kelima ragam tersebut dalam kehidupan sehari-hari sering digunakan secara bergantian. Hal itu tergantung dari tingkat keformalan peristiwa tutur yang dilakukan.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
34 2.2.7.4 Variasi Bahasa Dilihat dari Segi Sarana Variasi bahasa berdasarkan sarananya mencakup ragam lisan dan ragam tulis. Ragam bahasa disebut sebagai ragam lisan manakala sarananya berwujud bahasa lisan atau ujaran, dan ragam tulis manakala sarananya berupa bahasa tulis. Antara kedua ragam ini terdapat perbedaan yang pokok, yaitu ketika menggunakan ragam lisan
dapat
dipastikan bahwa mitra tutur hadir di hadapan penutur. Penutur menggunakan intonasi, penekanan kata, atau unsur-unsur suprasegmental, dan sebagainya. Hal tersebut tidak akan kita jumpai dalam ragam tulis karena ragam tulis pemakai bahasa harus menata pikirannya sedemikian rupa sehingga jelas dipahami. Untuk itu pemakaian tanda baca sangat penting dalam ragam tulis karena bisa memperjelas maksud penulis.
2.2.8
Tingkat Tutur
Poedjosoedarmo (1979:3) mengemukakan bahwa tingkat tutur adalah variasi-variasi bahasa yang perbedaan antara satu dengan yang lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap santun yang ada pada diri penutur (P1) terhadap mitra tuturnya (P2). Dari pendapat Poedjosoedarmo tersebut, dapat dikatakan bahwa tingkat tutur merupakan sistem penggunaan bahasa dalam suatu masyarakat tutur yang faktor penentunya adalah relasi antara si penutur dengan mitra tuturnya. Ketika seorang penutur bertutur dengan seseorang yang perlu dihormati, maka pastilah penutur memilih kode tutur yang memiliki makna hormat. Sebaliknya jika penutur berbicara dengan seseorang yang tidak perlu dihormati, maka penutur akan memilih kode tutur yang tidak hormat pula. Pada umumnya setiap bahasa memiliki cara-cara tertentu untuk menentukan perbedaan sikap hubungan antara penutur dengan mitra tutur dalam bertutur. Sikap
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
35 hubungan itu biasanya ditentukan berdasarkan tingkatan sosial para peserta tutur itu. Ada anggota masyarakat yang perlu dihormati atau kurang dihormati karena kondisi tubuhnya, kekuatan ekonomi, status sosial, kekuasaan, usia, jenis kelamin, dan lain sebagainya. Dalam bahasa Jawa sering digunakan bentuk kata yang berbeda-beda untuk menunjukan rasa hormat dan rasa tidak hormat, misalnya dalam pronomina orang pertama terdapat kata-kata aku, kula, dalem kawula, untuk pronomina orang kedua, terdapat kata kowe, sampeyan, , panjenengan, paduka, dan untuk pronomina orang ketiga digunakan kata dheweke, kiyambake, piyambakipun, dan panjenenganipun. Bentuk-bentuk kata benda dalam bahasa Jawa yang menunjukan perbedaan rasa hormat itu misalnya, omah, griya, dalem yang semuanya bermakna ‘rumah’. Untuk kata sifat ada kata lara, sakit, dan gerah yang bermakna ‘sakit’. Untuk kata kerja terdapat kata turu, tilem, dan sare yang bermakna ‘tidur’. Berdasarkan contoh-contoh tersebut, membuktikan bahwa bahasa Jawa memiliki sistem tingkat tutur. Ada tingkat tutur halus yang berfungsi menyatakan rasa kesopanan yang tinggi yang disebut bahasa Jawa tingkat tutur krama. Ada tingkat tutur menengah yang berfungsi menyatakan rasa kesopanan yang sedang-sedang saja yang disebut bahasa Jawa tingkat tutur madya, dan ada pula tingkat tutur biasa yang berfungsi menyatakan rasa kesopanan yang rendah yang disebut bahasa Jawa tingkat tutur ngoko yang selanjutnya disebut bahasa Jawa krama, madya, dan ngoko. Tingkat tutur krama adalah tingkat tutur yang memancarkan arti penuh sopan santun antara si penutur dengan mitra tuturnya. Dengan perkataan lain, tingkat tutur ini menandakan adanya perasaan segan, atau ‘pakewuh’ di antara keduanya. Tingkat tutur
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
36 madya adalah tingkat tutur menengah yang berada di antara tingkat tutur krama dan tingkat tutur ngoko. Tingkat tutur madya ini menunjukan rasa sopan tetapi tingkatnya tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah. Tingkat tutur ngoko memiliki makna rasa yang tak berjarak antara orang pertama atau penutur dengan orang kedua atau mitra tuturnya. Hubungan antara keduanya tidak dibatasi oleh semacam rasa segan atau ‘pakewuh’. Pemakaian tingkat tutur itu dalam kehidupan sehari-hari dapat dijelaskan sebagai berikut.
Tuturan yang muncul antar teman yang sudah akrab biasanya
menggunakan tingkat tutur ngoko. Seorang murid yang akan berbicara dengan gurunya, maka ia menggunakan tingkat tutur krama, sebaliknya seorang guru yang berbicara dengan muridnya, ia menggunakan
tingkat tutur ngoko.
Seorang majikan
akan
menggunakan tingkat tutur ngoko untuk berbicara dengan pembantunya, dan sebaliknya seorang pembantu akan menggunakan tingkat tutur krama untuk berbicara dengan majikannya. Untuk tingkat tutur madya, memiliki ciri antara sopan dengan tidak sopan. Dengan perkataan lain, kadar kesopanan yang ada dalam tingkat tutur ini adalah yang sedang-sedang saja. Poedjosoedarmo (1979:15) menyebutkan bahwa tingkat tutur ini sebenarnya bermula dari tingkat tutur krama. Dalam proses perkembangan, tingkat tutur ini sudah mengalami apa yang disebut dengan proses kolokialisasi atau informalisasi, penurunan tingkat.
2.2.9
Alih Kode dan Campur Kode
Dalam setiap masyarakat bahasa tak ada seorang pun yang menggunakan satu ragam bahasa saja dalam setiap kesempatan berbicara (Sumarsono, 2004:17). Indonesia
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
37 merupakan negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan bahasa atau dengan istilah lain, indonesia adalah negara multibahasa. Oleh karena itu, terjadi pula banyak ragam bahasa digunakan dalam masyarakat. Dengan demikian peralihan dan percampuran kode akan sering terjadi pada masyarakat yang multibahasa itu. Hal ini disebabkan adanya aspek saling ketergantungan dari bahasa sehingga alih kode atau campur kode sering terjadi pada saat penutur berbicara. Alih kode (code-switching) adalah suatu peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain (Suwito, 1982:68). Kode yang dimaksud adalah bahasa seperti yang dimaksud oleh Appel dalam Chaer & Agustina (1995:141) yang mengatakan bahwa alih kode merupakan gejalaperalihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Peralihan kode itu bukan hanya antarbahasa saja, tetapi juga antardialek seperti dikemukakan oleh Nababan (1984:31) yang menyebutkan bahwa alih kode adalah peralihan pemakaian dari satu bahasa ke bahasa yang lain, atau dari satu dialek ke dialek yang lainnya. Lebih lengkap lagi adalah pendapat Dell Hymes (1975:103), yaitu bahwa alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa, atau bahkan beberapa gaya dari suatu suatu ragam. Hymes juga menyebutkan apa yang disebut sebagai alih kodeintern (internal code switching), yaitu yang terjadi antar bahasa daerah dalam suatu bahasa nasional, antardialek dalam satu bahasa daerah, atau antara beberapa ragam dan gaya yang terdapat
dalam suatu dialek.
Adapun yang
dimaksud dengan alih kode ekstern (external code switching) adalah apabila yang terjadi adalah antara bahasa asli dengan bahasa asing.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
38 Poedjosoedarmo menjelaskan bahwa seseorang sering mengganti bahasanya pada saat bercakap-cakap. Pergantian itu dapat disadari atau bahkan mungkin juga tidak disadari oleh penutur. Gejala semacam itu timbul karena faktor komponen bahasa yang bermacam-macam (1979:46). Lebih lanjut Poedjosoedarmo juga menyebut istilah alih kode sementara (temporary code switching), yaitu pergantian bahasa yang dipakai oleh seorang penutur yang berlangsung sebentar atau sementara saja. Di samping itu, juga disebut alih kode yang sifatnya permanen (permanent code switching), yaitu peralihan bahasa yang terjadi dan berlangsung secara permanen. Alih kode yang disebut terakhir ini biasanya berkaitan dengan sikap hubungan antara penutur dan mitra tutur dalam suatu masyarakat. Selanjutnya Peteda (1990:85) yang mengutip pendapat Appel dan Bolinger mengatakan bahwa peralihan kode merupakan peralihan pembicaraan dari satu masalah ke masalah yang lain. Ia mencontohkan pembicaraan dalam sebuah bus antara dua orang penumpang yang beralih topik pembicaraan atau topik pembicaraan berpindah dari satu persoalan ke persoalan lain, itu merupakan peristiwa alih kode. Hal itu sesuai dengan pendapat Bloomfield bahwa peralihan kode itu disebabkan oleh stimulus baru. Alih kode juga disebabkan oleh dorongan batin karena kekecewaan, ketidakpuasan penilaian, dan tanggapan kita tentang sesuatu (Peteda, 1990:86). Penyebab terjadinya alih kode selain yang sudah disebutkan di atas menurut Suwito (1982:72) adalah penutur (P1), mitra tutur (P2), hadirnya penutur ketiga (P3), pokok pembicaraan, untuk membangkitkan rasa humor, dan untuk sekedar bergengsi. Campur kode (code mixing) adalah penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa tertentu dalam suatu kalimat atau wacana bahasa lain (Ohoiwutun, 1997:68). Bilamana
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
39 orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak tutur (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu menuntut percampuran, dan hanya kesantaian penutur atau kebiasaannya yang dituruti, maka tindak tutur yang demikian itu disebut campur kode (Nababan, 1984:32). Contoh tuturan yang mengandung campur kode adalah (1) Kita harus manut dengan aturan pemerintah. (2) Mereka akan married bulan depan. Tuturan (1) tersebut menggunakan bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa Jawa, yaitu kata manut. Pemakaian kata manut
dalam tuturan tersebut
merupakan peristiwa campur kode dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Demikian pula tuturan (2), penggunaan kata married yang berasal dari bahasa asing itu merupakan salah satu bentuk campur kode dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Menurut Suwito(1982:75) salah satu ciri campur kode adalah bahwa unsurunsur bahasa yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi sendiri tetapi telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan mendukung satu fungsi.
Dalam kondisi yang maksimal, campur kode merupakan
konvergensi kebahasaan (linguistic convergence) yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya. Apabila di dalam alih kode fungsi konteks dan relevansi situasi merupakan ciri-ciri ketergantungan, maka di dalam campur kode ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan berkaitan dengan siapa yang menggunakan bahasa itu dan fungsi
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
40 kebahasaan berkaitan dengan apa yang ingin dicapai oleh penutur dengan tuturannya itu.
Jadi, apabila seorang penutur memilih bercampur kode, maka pilihannya itu
dianggap relevan dengan apa yang hendak dicapai oleh penuturnya. Peristiwa alih kode dan campur kode mempunyai kesamaan yang besar, sehingga sering kali sukar dibedakan (Chaer dan Agustina, 1995:151). Kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur.
Perbedaan keduanya
adalah bahwa dalam alih kode, setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu.
Dengan kata lain, alih kode
terjadi
manakala
penggunaan bahasa lain atau bahasa asing itu sampai membawa keotonomian bahasa. Dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja, tanpa
fungsi
atau
keotonomian sebagai sebuah kode. Jadi, dalam peristiwa campur kode penggunaan bahasa lain tidak menyebabkan keotonomian bahasa itu sendiri. Lebih lanjut dikatakan oleh Thelander dalam Chaer & Agustina (1995:152) bahwa perbedaan keduanya apabila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Apabila dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases) suatu bahasa ke klausa bahasa lain, dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendirisendiri, maka peristiwa itu adalah campur kode. Pendapat lain dikemukakan oleh
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
41 Fasold dengan lebih jelas lagi dengan menawarkan kriteria gramatika. Kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, maka dia telah melakukan campur kode tetapi apabila satu kalusa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatika satu bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Jadi, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa campur kode adalah pemakaian bahasa yang di dalamnya terdapat unsur-unsur bahasa lain yang tidak hanya terbatas pada peralihan dua bahasa atau lebih tetapi juga peralihan antara tingkat tutur yang satu ke tingkat tutur yang lain. Perbedaan antara keduanya adalah penggunaan bahasa lain tidak menyebabkan adanya keotonomian bahasa itu sendiri dalam campur kode, sedangkan dalam alih kode akibat penggunaan bahasa lain terjadi keotonomian tersebut. Untuk memperjelas uraian perbedaan alih kode dan campur kode dicontohkan tuturan di bawah ini. (3) Buat kanca-kanca yang ada di bengkel. (4) P1 : Lha niku gayeng temen bade masak napa ta Pak? P2 : Masak soto ayam Mbak. P1 : Wah jan enak tenan. P2 : Ya itulah kesibukan ibu-ibu pada saat-saat seperti ini. Pada tuturan (3) pemakaian kata kanca-kanca yang berasal dari bahasa Jawa tidak sampai menyebabkan keotonomian bahasa Jawa itu tetapi tuturan masih dalam otonomi bahasa Indonesia. Jadi munculnya kata bahasa Jawa dalam kalimat tersebut hanya merupakan campur kode. Pada tuturan (4) peralihan percakapan dari bahasa
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
42 Jawa ke bahasa Indonesia telah membawa keotonomian bahasa itu, yaitu dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia telah membawa keotonomian bahasa itu, yaitu dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia sehingga peristiwa semacam itu merupakan alih kode.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
43
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian berjudul Analisis Tutur Berbahasa Jawa Program Telepon pada Radio di Wilayah Surakarta, adalah penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif dengan sasaran sebuah kasus pemakaian bahasa (studi kasus). Judul tersebut mengisyaratkan kasus pemakaian bahasa Jawa oleh sekelompok monitor dan penyiar radio. Pengertian di wilayah Surakarta, dengan sendirinya mengimplikasikan tentang lokasi atau daerah penelitian.
3.1
Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah semua pemakaian bahasa para partisipan pada saat berkomunikasi atau berinteraksi dalam acara program telepon pada radio di wilayah Surakarta yang menggunakan bahasa Jawa. Pemakaian bahasa Jawa tersebut diperoleh dari tuturan para penyiar dan para penelepon pada acara program telepon di radio yang ada di wilayah Surakarta. Tuturan dalam program telepon tersebut dapat terjadi antara penyiar radio sebagai penutur (P1) dengan penelepon sebagai mitra tutur (P2) secara interaktif. Tuturan dalam program telepon ini dapat juga terjadi antara penelepon dengan monitor lain secara searah, dan antara pembantu penyiar (P1’) dengan para penelepon secara interaktif.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
44 Penentuan data penelitian menggunakan metode acak sederhana (simpel random). Data diambil sedemikian rupa sehingga tiap unit penelitian mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai data.
Data tersebut bersumber dari
beberapa radio di wilayah Surakarta yang menampilkan acara program telepon dengan menggunakan bahasa Jawa sebagai pengantarnya.
Beberapa radio yang dimaksud
adalah :
3.2
i
Radio Republik Indonesia / RRI, FM : 105,5
ii
Radio Suara Slenk, FM: 92,5
iii
Radio Gema Suara Makmur / GSM, FM : 97,6
vi
Radio Kita, FM : 92,1
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan beberapa teknik, yaitu teknik simak, teknik rekam, dan teknik catat. Teknik simak dilakukan dengan cara menyimak dan menyadap percakapan para partisipan. Peneliti berperan sebagai pengamat sambil menyimak pemakaian bahasa Jawa para penyiar radio dan para penelepon sebagai monitor dalam acara program telepon pada radio. Teknik rekam dipakai untuk merekam pemakaian bahasa Jawa program telepon pada radio dengan menggunakan alat perekam (tape recorder). Pelaksanaan rekam ini dilakukan tanpa diketahui oleh partisipan yang terlibat dalam percakapan berbahasa Jawa program telepon di radio. Alat rekam yang digunakan adalah radio tape Polytron stereo radio cassette recorder GC 200 KC. (tape recorder dan radio menjadi satu/menyatu). Dengan cara demikian akan memperoleh hasil rekaman yang lebih
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
45 bagus daripada tape dan radio terpisah, karena dengan demikian suara radio dapat terekam langsung tanpa ada gangguan suara di luar siaran radio yang sedang direkam. Perekaman dilaksanakan tanpa sepengetahuan para partisipan program telepon. Hal ini untuk menjaga pemakaian bahasa yang bersifat wajar dan bersifat alami. Hasil rekaman yang diperoleh, kemudian ditranskripsikan dengan menulis dialog-dialog dan konteks situasinya ke dalam bentuk tulisan. Perekaman data dilakukan antara bulan Maret dan April 2007. Data yang terkumpul dipilih data yang selengkap-lengkapnya yang dapat menggambarkan wujud percakapan berbahasa Jawa program telepon pada radio di wilayah Surakarta.
3.3
Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode padan. Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:12). Metode ini dilaksanakan dengan alat penentunya yaitu mitra wicara. Metode padan ini diterapkan dengan menggunakan pendekatan kontekstual yang mengacu konsep bentuk-bentuk tuturan program telepon pada radio. Dari analisis mengenai ciri dan struktur tuturan ini, ditemukan adanya ciri tuturan apabila dilihat dari medianya, fungsi bahasa,
dan lengkap tidaknya suatu wacana percakapan, serta struktur tuturan Analisis mengenai variasi tutur akan mengungkap adanya variasi, pola-pola
kalimat maupun jenis kalimat-kalimatnya, lengkap tidaknya unsur-unsur kalimat, ada tidaknya klausa, dan panjang pendeknya tuturan yang digunakan, merupakan variasi yang khas dalam tuturan program telepon. Selain itu dari segi kebahasaan diidentifikasi
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
46 mengenai ciri tuturan ini merupakan percakapan yang diwarnai oleh adanya peristiwa alih kode dan campur kode. Analisis mengenai komponen tutur yang mengacu pada teori Hymes (1989:5462) diharapkan ditemukan berbagai hal yang berkaitan dengan partisipan, maksud dan tujuan pembicaraan, dan lain sebagainya. Dari analisis mengenai komponen tutur ini diharapkan dapat diketahui faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi variasi tuturan yang terdapat dalam program telepon pada radio.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
47
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini akan dideskripsikan hasil penelitian dan pembahasan Tuturan Berbahasa Jawa Program Telepon pada Radio di Wilayah Surakarta. Deskripsi tersebut secara rinci akan meliputi (1) Ciri dan struktur tuturan program telepon; (2)Variasi tuturan dan pola alih kode; (3) Faktor-faktor yang mempengaruhi variasi tuturan (4) Kosa kata khusus yang digunakan dalam program telepon.
4.1
Ciri dan Struktur Tuturan Program Telepon
4.1.1 Ciri Tuturan Program Telepon Ciri tuturan yang akan diuraikan dalam bab ini adalah tuturan berbahasa Jawa program telepon di radio yang dapat dilihat dari tiga segi, yaitu dilihat dari medianya, dilihat dari fungsi bahasanya, dilihat dari lengkap dan tidaknya unsur-unsur sebuah wacana percakapan.
4.1.1.1 Tuturan Dilihat dari Medianya Tuturan berbahasa Jawa program telepon di radio adalah salah satu bentuk wacana lisan yang tansemuka jika dilihat dari medianya atau instrumennya. Disebut wacana lisan karena wacana ini disampaikan secara lisan. Penyampaian secara lisan ini dilakukan dengan cara tidak saling bertatap muka, sehingga disebut tansemuka. Tuturan program telepon pada radio dilakukan melalui seperangkat instrumen telekomunikasi dua arah
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
48 yang kita sebut telepon, sedang radio hanya dipergunakan sebagai alat memancarkan suara ke wilayah yang luas. Dengan menggunakan telepon yang suaranya diperkeras dan disiarkan lewat radio, penelepon dapat berkomunikasi dengan penyiar atau pendengar lain yang sedang mendengarkan radio tersebut. Hubungan antara penyiar dengan para penelepon sudah terjalin dengan baik. Hal ini terbukti, setiap ada penelepon rata-rata penyiarnya dapat mengenali orangnya dengan baik, meskipun si penelepon tidak menyebutkan identitas dirinya. Ini bisa terjadi karena hubungan antara penyiar dan penelepon sudah akrab, karena jika kita cukup akrab dengan seseorang, maka hanya dengan mendengar suara tuturannya pun tanpa melihat orangnya kita dapat mengenali orang yang bersangkutan. Dari hasil pengamatan singkat peneliti ini, tampaknya percakapan program telepon ini memiliki ciri tersendiri. Lebih lengkapnya, berikut ini akan diuraikan ciri-ciri wacana percakapan program telepon di radio sebagai wacana lisan. 1. Wacana percakapan dalam program telepon pada radio, sering dipakai sebagai sarana berkomunikasi untuk sekedar menyalurkan hobi, untuk memperakrab rasa persaudaraan, untuk bertukar informasi mengenai mengenai apa saja yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita dan sebagainya. Mereka bertemu dan bercakap-cakap dengan santainya dengan suasana yang penuh keakraban. 2. Tuturan yang digunakan dalam wacana percakapan ini, cenderung menggunaka kalimat-kalimat yang pendek. Hal ini sesuai dengan kondisi yang mengharuskan para peserta tutur harus memberi respon atas suatu pertanyaan, sehingga waktu untuk berfikir relatif pendek.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
49 3. Komunikasi yang terjadi dalam wacana percakapan program telepon pada radio ini bersifat dua arah dan tansemuka, yaitu melalui alat telekomunikasi telepon yang memiliki ciri khas yang berbeda dengan komunikasi lisan yang lain. Komunikasi ini biasanya diawali dengan salam pembuka, misalnya sugeng enjang, sugeng siang, wilujeng dalu, Assalamualaikum, dan hallo. Demikian juga setiap akhir pembicaraan selalu ditutup dengan salam penutup, contohnya sugeng siang, Wasalammualaikum, yok nyess, joss, matur nuwun, dan sebagainya. Hal seperti ini tentunya jarang dijumpai dalam komunikasi lisan yang lain, apalagi yang bersifat langsung tatap muka, salam pembuka dan penutup bukan merupakan sesuatu yang mutlak. 4. Kosa kata yang bermakna umum lebih banyak digunakan, walaupun banyak juga leksikon-leksikon khusus yang menjadi ciri khas percakapan program telepon pada radio. 5. Para peserta tutur mengambil giliran
dalam percakapan itu dengan tertib,
meskipun kadang-kadang terjadi interupsi oleh pembicara yang lain. 6. Para peserta tutur sering berhenti untuk berfikir dan mengisi jedanya dengan menggunakan pemarkah seperti, ee…, lha…,nggih, oo.., hm, dan sebagainya.
4.1.1.2 Tuturan Dilihat dari Fungsi Bahasanya Berdasarkan data-data yang telah terkumpul dapat diperoleh hasil analisis sebagai berikut. Pada umumnya mereka bercakap-cakap untuk menyampaikan informasi tentang diri masing-masing yang didahului oleh ucapan salam atau saling menanyakan atau mengabarkan keadaan masing-masing atau memperkenalkan identitas penelepon.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
50 Mereka saling menanggapi apa yang dibicarakan para mitra tuturnya dengan bahasa yang santai dan akrab. Topik pembicaraan berpindah-pindah dari satu topik ke topik yang lainnya. Mereka kadang-kadang juga berdebat mengenai suatu hal. Dalam percakapan, mereka saling bergilir dengan teratur antara pembicara yang satu dengan pembicara yang lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa wacana percakapan yang terjadi dalam program telepon pada radio tersebut jika dilihat dari fungsi bahasa yang digunakan adalah wacana yang berbentuk interaksional. Selengkapnya hasil analisis dan contoh-contohnya akan disajikan di bawah ini. Sebagai wacana interaksional, tuturan (5) terjadi antara dua orang yang hubungannya sudah akrab. Hal ini tampak dari ragam bahasa yang dipakai yang termasuk ragam santai atau ragam akrab. Peserta tutur terdiri dari pembicara pertama (P1) yaitu penyiar radio seorang wanita muda sebagai pemandu acara, dan mitra tuturnya, yaitu pembicara kedua (P2) atau yang menelepon, seorang bapak-bapak. Mereka yang terlibat dalam percakapan tersebut sudah saling mengenal dengan baik, meskipun si penelepon tidak menyebutkan jati dirinya. Topik percakapan bergantiganti, misalnya diawali dengan ucapan salam, dan penyiar yang tampaknya sudah mengenal dengan baik si penelepon itu menanyakan ke mana saja sudah lama tidak muncul. Maksudnya sudah lama tidak menelepon. Variasi bahasa yang dipakai memang sudah khas, yaitu percakapan berbahasa Jawa yang berlangsung dengan suasana santai dan akrab dengan menggunakan bahasa lisan yang biasa dipakai seharihari seperti penggunaan bentuk, lha, ta, Oo…, wah, kok, ya, yang menandakan bahwa ragam tersebut merupakan ragam lisan yang bersifat informal. Selain itu percakapan banyak diwarnai dengan campur kode, seperti Lha inggih, panjenengan niku tindak
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
51 ngendi wae ta? ‘Lha iya, Bapak itu ke mana saja ta? Dalam kalimat tersebut diwarnai campur kode antara bahasa Jawa tingkat tutur madya dan krama, seperti kata inggih, panjenengan, niku, tindak adalah kosa kata bahasa Jawa tingkat tutur krama dan madya, sedangkan ngendi dan wae adalah kosa kata tingkat ngoko. Berikut ini disajikan cuplikan percakapan yang dimaksud (selengkapnya lihat data no. 14) (5)
P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 :
Wilujeng siang Campursari Kita FM. Hallo? Wilujeng siang Campursari Kita FM. Saking pundi menika? Saking pundi-pundi Saking peken ……..(tertawa) La inggih panjenengan niku tindak ngendi wae ta? Wah …. Baru saja tugas luar, Mbak. Oh ngaten, tugas lapangan. Kalawau Mbak Sum nggih. Inggih leres. Sugeng siang, matur nuwun senggolanipun. Kraos menapa Pak, senggolanipun? Inggih rada krasa, suwe ora ketemu kok. Inggih kedahipun ngaten. Ning ya wis ora sempet nyang studio. Inggih, semanten ugi sing siaran arep mampir yo ra sempat-sempat. (Kita FM, 13-3-2007)
[P1 : ‘Selamat siang campursari Kita FM. Hallo…’ P2 : ‘Selamat siang campursari Kita FM.’ P1 : ‘Dari mana ini ?’ P2 : ‘Dari mana-mana’ P1 : ‘Dari pasar ?........(tertawa) Lha, iya Bapak itu ke mana saja to?’ P2 : ‘Wah,… baru saja tugas luar Mbak. P1 : ‘Oo…begitu, tugas lapangan.’ P2 : ‘Tadi, Mbak Sum Ya?’ P1 : ‘Ya, betul.’ P2 : ‘Selamat siang, terima kasih senggolannya.’ P1 : ‘Terasa ya Pak senggolannya?’ P2 : ‘Ya agak terasa, sudah lama nggak ketemu kok.’ P1 : ‘Ya, seharusnya begitu.’ P2 : ‘Tapi ya sudah tidak sempat ke studio.’ P1 : ‘Ya, begitu juga yang siaran mau mampir juga tidak sempatsempat.’]
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
52 Tuturan (6) berikut terjadi antara Mbah Sastro sebagai pemandu acara atau penyiar (P1), dibantu oleh Kempul (P1’) sedangkan mitra tuturnya bernama Pak Gambir (P2). Topik pembicaraan dalam percakapan ini mengenai tokoh Semar, tokoh dalam pewayangan. Percakapan berlangsung dengan suasana santai dan juga berlangsung secara akrab. Hal itu dapat terlihat dari wujud bahasa yang digunakan seperti ketika penyiar menanyakan, Kados pundi kabaripun , sae-sae kemawon? ‘Bagaimana kabarnya, baik-baik saja?’ Penelepon menjawab dengan santainya, Sae mboten kirang menapa-napa, kecuali arta. (sambil tertawa) ‘Baik tidak kurang suatu apa pun kecuali uang.’ Jawaban tersebut menunjukkan bahwa percakapan dalam suasana yang santai dan penuh keakraban. Selain itu percakapan diwarnai dengan peristiwa alih kode dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia atau sebaliknya, ketika sedang bercakap-cakap. Misalnya penyiar yang semula menggunakan bahasa, Kados pundi kabaripun, sae-sae kemawon? kemudian tiba-tiba beralih kode ke bahasa Indonesia, Kalau orang masih bisa merasakan kekurangan, itu berarti masih diberikan kenikmatan. Peralihan kode semacam itu tanpa alasan yang jelas, menandakan bahwa percakapan bersifat informal dan santai. Keakraban di antara peserta tutur juga nampak melalui penggunaan kata-kata yang maknanya menyimpang dari topik dengan maksud saling menggoda dan melucu dengan menyimpangkan jawaban yang seolah-olah sudah sesuai dengan pertanyaan yang dilontarkan mitra tuturnya. Misalnya, ketika topik pembicaraan mengenai tokoh semar sebagai seorang punakawan dalam percakapan, Inggih, niki sing dirembug kok mung semar, semar, punakawan niku sakniki mpun mboten enten. ‘Ya, ini yang dibicarakan kok hanya semar, semar, punokawan itu sekarang sudah nggak ada.’ Kata punakawan dalam percakapan tersebut yang
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
53 dimaksud adalah ‘seorang abdi atau pelayan yang selalu mengawal bangsawan pada jaman dulu,’ namun dalam percakapan tersebut makna punakawan dibelokkan dari makna aslinya menjadi punakawan yang bermakna sebutan dari sebuah kereta yang sudah lama tidak digunakan lagi, misalnya dalam tuturan Lha wong punakawan niku pun tau njengkelit teng cedak Nggrogol niku. ‘Punakawan itu sudah pernah terbalik di dekat Nggrogol.’ Demikian pula penggunaan bentuk, kok, ta, lha wong, alahhh, sebagai penanda percakapan menggunakan bahasa Jawa lisan dalam susana informal. Berikut ini disajikan penggalan percakapan yang dimaksud.
(6)
P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2’: P1:
Hallo, ngopi pagi. Pak Gambir, selamat pagi. Lha……… inggih, sugeng enjang. Kados pundi kabaripun, sae-sae kemawon. Sae, mboten kirang menopo-nopo, kecuali arta …..(tertawa) Alhamdulillah, Amin Pak Gambir, pada ……. (tertawa) Kalau orang masih bisa merasakan kekurangan, itu berarti masih diberikan kenikmatan. P2 : Mugi-mugi panjenengan nggih kados mekaten P1 : Inggih, sami, Amin P2 : Inggih, niki sing dirembung, kok, mung semar, semar, punakawan niku sakniki pun mboten enten. P1 : Kok mboten enten pripun ta? P2 : Mpun suwe niku. P1’ : Lha, kala mben, teng nggene wayang orang Sriwedari kok nggih taksih enten nggih. P2 : Lha, wong punakawan niku pun tau njengkelit teng cedak Nggrogol niku P1’: Niku lak punakawan sepur, niku sepur Solo - Wonogiri niku. P2 : Lha inggih, niku lak punakawan to? (tertawa) (Kita FM, 12-3-2007) [P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 :
Hallo, ngopi pagi. Pak Gambir, selamat pagi. ‘Lha ….iya, selamat pagi..’ ‘Bagaimana khabarnya, baik-baik saja.’ ‘Baik, tidak kurang suatu apa pun, kecuali uang.’ (tertawa) Alhamdulillah, Amin
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
54 P2’: ‘Pak Gambir, sama.’ P1 : Kalau orang masih bisa merasakan kekurangan, itu berarti masih diberikan kenikmatan. P2 : ‘Mudah-mudahan Anda juga begitu.’ P1 : ‘Ya,.. sama, Amin.’ P2 : ‘Iya, ini yang dibicarakan, kok hanya semar, semar, punokawan itu sekarang sudah tidak ada.’ P1 : ‘Kok tidak ada, bagaimana ta?’ P2 : ‘Alahh,…. Sudah lama itu.’ P2’: ‘Lha, kemaren, di tempat wayang orang Sriwedari kok ya masih ada ya.’ P2 : ‘Lha, punakawan itu sudah pernah terbalik di dekat grogol itu.’ P2 : ‘Itu kan punakawan kereta, itu kereta Solo – Wonogiri itu.’ P2 : ‘Lha iya, itu kan punakawan ta?’ (tertawa)]
Tuturan (7) terjadi antara penyiar yang disebut Pak Widoyo dengan monitor yang bernama Pak Sareh. Topik percakapan hanya berkisar pada ucapan salam dan ucapan selamat menjalankan tugas dan monitor mendoakan pada penyiar agar semuanya dapat berlangsung dengan baik dan selamat. Selanjutnya Pak Sareh mengemukan maksudnya untuk mengirim ucapan pada pendengar yang lain. Dari percakapan mereka dapat dikatakan
bahwa keduanya sudah saling
mengenal dengan baik. Hal ini terlihat sapaan penyiar yang langsung menyebut penelpon adalah Pak Sareh, meskipun penelpon belum menyebutkan jati dirinya, dalam kalimat
Sugeng dalu Pak Sareh, mangga! ‘Selamat malam Pak Sareh, silahkan!’
Tetapi komunikasi mereka sepenuhnya menggunakan bahasa Jawa tingkat kromo yang standar, artinya tidak diwarnai oleh adanya campur kode. Hal ini dikarenakan bahwa partisipan sudah berusia tua. Sapaan Pak Widoyo sebagai penyiar dan Pak Sareh sebagai penelpon
yang diucapkan oleh partisipan, menunjukkan bahwa partisipan
sudah tua, sehingga cenderung menggunakan bahasa Jawa yang halus dan formal secara
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
55 konsisten sebagai wujud rasa saling menghormati antarpenutur. Untuk melengkapi kesimpulan di atas berikut ini ditampilkan penggalan percakapan yang dimaksud.
(7)
P2 : Wilujeng dalu, Pak Widoyo P1 : Wilujeng dalu Pak Sareh, mangga. P2 : Sugeng nindakaken tugas Pak Widoyo, mangke ngantos cekap, lan mangke keluarga ndalem wilujeng mboten wonten alangan satunggal menapa. P1 : Inggih, matur nuwun. P2 : Bade kintun-kintun, kagem adik kula Budi Raharjo, menika telponipun risak. P1 : Inggih, kenging lindu nggih? P2 : Lajeng kagem Dik Parno, Pak Ragil, lajeng Bapak Ibu Pamujo Kartosura, Bapak Sularno Kartosura, Bapak Ibu Sudarto Colomadu, Bapak Ibu Guru SMP Negeri I Kartosura, Bapak Ratno Watukelir, Bapak Haji Sabarianto …….(RRI, 24-4-2007 B)
[P2 : ‘Selamat malam Pak Widoyo.’ P1 : ‘Selamat malam Pak Sareh, silahkan.’ P2 : ‘Selamat bertugas Pak Widoyo, sampai akhir dan nanti keluarga dalam keadaan selamat tidak kekurangan suatu apa pun.’ P1 : ‘Ya, terimakasih’ P2 : ‘Mau kirim untuk adik saya Budi Raharja, ini telponnya rusak.’ P1 : ‘Ya,.. kena gempa bumi ya Pak?’ P2 : Lajeng kagem Dik Parna, Pak Ragil, lajeng Bapak Ibu Pamuja Kartosuro, Bapak Ibu Sudarto Colomadu, Bapak Ibu guru SMP Negeri I Kartosura, Bapak Ratna, Watu kelir, Bapak Haji Subariyanto …….. ]
Tuturan (8) berisi percakapan antara penyiar wanita yang masih agak muda dengan monitor baru, yaitu Mbah Wono. Sebagai monitor baru, sebelum ia menyampaikan maksud dan tujuannya maka ia memperkenalkan diri terlebih dulu. Hubungan antara penyiar dan penelepon sebagai monitor baru, belum begitu akrab, hal ini tampak dari bahasa yang mereka gunakan, yaitu bahasa Jawa krama. Apalagi perbedaan usia antara keduanya juga cukup tinggi. Perbedaan usia tersebut terlihat
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
56 pada kata sapaan yang digunakan oleh penyiar dan penelepon dengan sebutan Mbah, dan Mbak. Mbah, merupakan sebutan bagi seseorang yang telah lanjut usia, sedangkan Mbak, adalah kata sapaan bagi wanita yang masih muda. Hal itu tentunya berpengaruh pada pemilihan bentuk bahasa yang akan digunakan. Oleh karena itu dalam percakapan mereka cenderung menggunakan bahasa Jawa Krama yang standar serta tidak terjadi campur kode. Untuk memperjelas uraian di atas disajikan percakapan berikut.
(8)
P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 :
P2 : P1 : P2 : P1 :
[P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 :
Sugeng siang Mbak. Nggih mangga. Inggih, menika saking monitor enggal pandemen Suara Slenk. Inggih, wonten pundi? Saking Wonogiri. Wonogiri? Wonokarto, Pracimantara, Jatipura? Ngadiraja! Ngadiraja? Sanes Mbah Lokro, nggih? Sanes, saking Mbah Wono. Mbah Wono, oo…. inggih … Menika bade nyuwun gending, menapa saged nggih Mbak? Menapa ta nggih? Menawi pun parengaken bade nyuwun, menika loo …”Pangkur Macan Ucul” Pelok barang? Nggih. Niku panjang sanget nggih, 30 menit, “Pangkur Macan Ucul”, kula catet rumiyin kemawon, bilih mangke mboten saged ngaturaken sanes wekdal nggih …? Nggih saged, matur sembah nuwun. Menika mangke nggih “Jineman Sarkara” rumiyin, nggih Mbah Wono, wonten Ngadiraja nggih? Kula catet rumiyin nggih. Nggih matur sembah nuwun Sami-sami Mbah Wono, yook nyess. (Suara Slenk, 13-3-2007)
‘Selamat siang, Mbak.’ ‘Ya, .. silakan’ ‘Ya, ini dari monitor baru pecinta Suara Slenk.’ ‘Ya, dari mana?’ ‘Dari Wonogiri.’ Wonogiri? Wonokarta, Pracimantara, Jatipura?
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
57 P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 :
Ngadiraja! ‘Ngadiraja? Bukan Mbah Lokro, ya?’ ‘Bukan, dari Mbah Wono.’ ‘Mbah Wono, oo…. ya ….’ ‘Ini mau minta tembang, boleh tidak Mbak?’ ‘Tembangnya apa ya?’ ‘Kalau boleh mau minta tembang Pangkur Macan Ucul.’ Pelok barang? ‘Ya, …’ ‘Itu panjang sekali, 30 menit, “ Pangkur Macan Ucul”saya catat dulu saja, nanti kalau tidak bisa, lain waktu ya..?’ ‘Ya bisa, terima kasih.’ ‘Ini nanti ya, “Jineman Sarkara” dulu ya, Mbah Wono, yang di Ngadiraja ya? Saya catat dulu ya?’ ‘Ya, terima kasih.’ ‘Sama-sama Mbah Wono, Yook nyess.’]
Penggalan Tuturan (9) di bawah ini terjadi antara Mbah Sastro sebagai pemandu acara atau penyiar dan dibantu oleh Kempul, bercakap-cakap dengan Pak Gambir sebagai penelepon. Mereka memperdebatkan mengenai kata “solosi.” Menurut Kempul, yang dimaksud Mbah Sastro itu bukan kata solosi tetapi solusi, tetapi Mbah Sastro tetap pada pendapatnya, yaitu solosi karena peristiwanya terjadi di kota Solo, seperti dalam kalimat Emoh, tetep kudu solosi, soale neng kota Solo, inggih ta Pak? ‘Tidak mau, tetap harus solosi, karena di kota Solo, iya kan Pak?’ Kata solosi tetap dipertahankan oleh Mbah Sastro dengan maksud sekedar bergurau atau melucu, yang menandakan bahwa percakapan tersebut bersifat nonformal atau tidak resmi sehingga bahasa yang digunakan pun bahasa Jawa yang nonstandar Hal tersebut ditandai dengan adanya alih kode seperti dalam kalimat berikut, Ning njenengan ampun
sing jenenge nyacat
mencelat tok, solosi beri solosi.’Tetapi Anda jangan hanya mencela saja, beri solusi.’ Di sini penyiar menggunakan bahasa bahasa Jawa yang bercampur kode dengan bahasa Indonesia, seperti kata beri solusi. Selain itu penggunaan bentuk la, la wong, tok, ta, lha
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
58 iya, menunjukkan bahwa percakapan tersebut menggunakan bahasa Jawa ragam lisan yang informal. Berikut ini disajikan penggalan percakapan yang dimaksud (percakapan selengkapnya lihat data 13)
(9)
P2 : La pripun, la wong sing jenenge punakawan niku, rile ting blencat nika. (tertawa) P1 : Ning jenengan ampun sing jenenge nyacat mencelat tok, solosi, beri solosi. P1’: Ampun solosi, mangke rak onten karanganyarsi, sragensi barang, solusi P1 : Emoh, tetep kudu solosi, soale neng kota solo, inggih ta Pak? P2 : Lha …. Inggih. P1 : Lha iya, piye , pak? (Kita FM, 12-3-2007)
[P2 :‘La gimana, yang namanya punokawan itu rilnya berantakan gitu’ P1 : ‘Tetapi Anda jangan hanya mencela saja, solosi, .. beri solosi.’ P2’: ‘Jangan solosi, nanti kan ada karanganyarsi, sragensi segala,…solusi.’ P1 : ‘Enggak mau, tetap harus solosi, karena di kota Solo, iya kan Pak?’ P2 : ‘Lha, .. iya.’ P1 : ‘Lha iya, gimana Pak?’]
Tuturan (10) merupakan percakapan antara penyiar radio Suara Slenk seorang laki-laki dengan monitor seorang ibu-ibu. Dari data tersebut terlihat bahwa percakapan dimulai dengan ucapan salam pembuka “Wilujeng siang” tanda diawalinya percakapan pada siang hari itu. Selanjutnya peserta tutur menanyakan kabar masing-masing seperti, “Dospundi pawartosipun Mas.”
Inti percakapan tersebut monitor ingin mengirim
ucapan pada beberapa pendengar yang lain. Kemudian monitor mengakhiri percakapan tersebut dengan ucapan “Matur nuwun” dan “Yook nyess” sebagai salah bentuk salam penutup khusus dari radio Suara Slenk. Dari percakapan tersebut terlihat bahwa kedua
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
59 partisipan sudah saling mengenal dengan baik. Percakapan menggunakan bahasa Jawa tingkat madya (agak halus) yang disertai dengan alih kode ke bahasa Jawa tingkat ngoko (tidak halus), seperti Suantenipun alit menapa ageng Mas? ‘Suaranya kecil apa besar Mas?’ adalah menggunakan bahasa Jawa tingkat madya, kemudian beralih ke bahasa Jawa ngoko, seperti contoh berikut Sik tak templekke sik. ‘Nanti dulu saya lekatkan dulu.’ Selain itu juga diwarnai dengan campur kode seperti Nek dalem menika mboten kangge, ora payu. ‘Kalau saya ini nggak kepakai, nggak laku.’ Kalimat tersebut menggunakan bahasa Jawa madya yang bercampur dengan bahasa Jawa ngoko, seperti ora payu. Hal ini menandakan bahwa percakapan menggunakan ragam informal akrab. Berikut ini cuplikan percakapan tersebut.
(10)
P1 : Hallo.. P2 : Wilujeng siang P1 : Wilujeng siang juragane majalah. P2 : Dos pundi pawartos ipun Mas? P1 : Pawartosipun sae, pangestunipun. P2 : Suantenipun alit menapa ageng Mas? P1 : Suanten panjenengan kirang ageng Bu. P2 : Sik tak templeke sik. P1 : Kok mboten tumut ngempal wonten permulung menika, Bu? P2 : Dalem menika mboten kangge. P1: Mas Rifai, Mas Agung Negara, Mas Tri Petruk, inggih wonten menika. P2 : Nek dalem menika mboten kangge, ora payu. P1 : Dospundi ta? Nggih ampun mekaten ta Bu. P2 : Mboten kok, gojek kok, mengko yen ora gojek marakke stres inggih Dimas, sugeng ngayahi tugas nggih, paripurna mangke tansah sehat walafiat, gendingipun menapa Dimas, mangke? P1 : Menika mangke bade kaaturaken “Ladrang semsem”. P2 : Ladrang semsem, nggih nderek kemawon, bade kintun-kintun nggih Dimas nggih…? P1 : Mangga kasumanggaaken …………………………………………………………………….
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
60 P2 : Sedaya kemawon nggih, nggih ngaten kemawon Dimas, matur nuwun, gendingipun “Ladrang semsem” ngaten kemawon Dimas, yook nyess. P1 : yook nyess. (Suara Slenk, 16-4-2007)
[P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 :
Hallo… ‘Selamat siang.’ ‘Selamat siang juragannya majalah.’ ‘Bagaimana kabarnya, Mas?’ ‘Kabarnya baik, doa restunya.’ ‘Suaranya kecil atau besar Mas?’ ‘Suara ibu ? Kurang besar itu Bu.’ ‘Nanti dulu saya lekatkan dulu.’ ‘Kok nggak ikut berkumpul di Permulung itu, Bu?’ ‘Saya itu nggak kepakai.’ ‘Mas Rifai, Mas Agung Negara, Mas Tri Petruk, juga ada ini.’ ‘Kalau saya ini nggak kepakai, nggak laku.’ ‘Gimana ta? Ya jangan begitu ta Bu.’ ‘Enggak kok, bercanda, nanti kalau nggak bercanda jadi stres ya Dimas, selamat melaksanakan tugas ya, setelah selesai semoga sehat walafiat, lagunya apa Dimas, nanti?’ P1 : ‘Ini nanti akan dipersembahkan Ladrang Semsem.’ P2 : ‘Ladrang Semsem, ya ikut saja, mau kirim-kirim ya Dimas, ya?’ P1 : ‘Dipersilahkan.’ …………………………………………………………………….. P2 : Semua saja ya ? Ya begitu saja Dimas, terima kasih, lagunya “Ladrang Semsem”, begitu saja Dimas, yook nyess.’ P1 : Yook nyess. ]
4.1.1.3
Tuturan Dilihat dari Lengkap tidaknya Unsur-Unsur
Percakapan
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan oleh peneliti ini terhadap masingmasing percakapan, dapat disimpulkan bahwa struktur percakapan yang terjadi dalam program telepon pada umumnya merupakan struktur percakapan yang lengkap. Lebih jelasnya, berikut ini dideskripsikan struktur masing-masing percakapan yang selesai dengan disertai contoh-contoh penanda berakhirnya percakapan dari beberapa radio yang dijadikan sampel.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
61 Data nomor 1 sampai dengan nomor 4, merupakan percakapan antara penyiar Radio Republik Indonesia Surakarta dengan penelpon. Data nomor 1, percakapan
berisi
antara penyiar Radio Republik Indonesia yang bernama Mbak Dian
dengan seorang penelepon bernama Pak Karmanto. Percakapan dimulai dengan saling mengucapkan salam. Kemudian percakapan dilanjutkan dengan tanggapan Pak Karmanto atas ucapan dan kiriman lagu untuk istrinya dari Mbak Dian sebagai penyiar yang baru saja didengar melalui siarannya. Setelah Pak Karmanto menyampaikan maksudnya untuk mengirim ucapan pada pendengar yang lain, ia mengakhiri percakapan itu dengan ucapan “matur nuwun.” Demikian pula data nomor 2 sampai dengan nomor 4, memiliki struktur percakapan yang lengkap pula seperti halnya data nomor 1. Pada data nomor 5. percakapan terjadi antara seorang wanita penyiar Radio Suara Slenk yang bernama Mustokoweni dengan seorang monitor yang disapa dengan sebutan Pak Haji. Percakapan dimulai dengan salam pembuka oleh penyiar, “Assalammualaikum” yang dibalas dengan ucapan, “Walaikumsalam warahmatulohi wabarakatuh” oleh monitor. Setelah penyiar mengomentari suasana keramaian di rumah monitor yang terdengar melalui pesawat telepon, kemudian dilanjutkan dengan permintaan monitor untuk mengirim ucapan pada pendengar atau monitor yang lain. Percakapan diakhiri dengan salam penutup “Assalammualaikum, yook nyess.” Selanjutnya data nomor 6 sampai dengan nomor 9, juga merupakan percakapan antara penyiar Radio Suara Slenk dengan penelpon. Jika diperhatikan struktur tuturannya, merupakan tuturan yang lengkap.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
62 Data nomor 10 berisi percakapan antara penyiar Radio Gema Suara Makmur (GSM) bernama Mas Bowo yang memandu acara pada siang hari itu dengan monitor yang bernama Mas Saimo. Seperti yang lain percakapan diawali dengan ucapan salam pembuka, “Wilujeng siang, Mas Saimo.” Percakapan dilanjutkan dengan menanyakan kabar oleh monitor, kemudian seperti biasa dilanjutkan dengan permintaan lagu mengirim ucapan pada pendengar yang lain. Percakapan berakhir dengan salam penutup, “Matur nuwun, yoiii…” Data nomor 11 sampai dengan nomor 13, dari Radio Gema Suara Makmur juga memiliki struktur Tuturan yang lengkap seperti halnya data nomor 10. Tuturan yang terdapat pada data 14. terjadi antara penyiar Radio Kita FM, bernama Mbak Wida, dengan sapaan salam pembuka khusus, “Wilujeng siang, Campursari Kita FM, hallo…” yang dijawab dengan salam yang sama “Wilujeng siang Campursari Kita FM” oleh penelepon. Meskipun penelepon tidak menyebutkan jati dirinya, namun sepertinya penyiar telah mengenalnya dengan baik. Hal itu dapat terlihat dari bahasa yang mereka gunakan yang menyatakan hubungan akrab. Percakapan antara peserta tutur berganti-ganti dari satu topik ke topik yang lain. Kemudian percakapan diakhiri dengan ucapan, “Matur nuwun, joss” oleh penelepon. Data nomor 14 sampai dengan nomor 20 adalah percakapan yang direkam dari Radio Kita FM. Data-data tersebut juga memiliki struktur percakapan yang lengkap, kecuali data nomor 15 dan 17, karena data tersebut tidak direkam seluruhnya hingga akhir percakapan. Namun kedua data itu pun memiliki struktur percakapan yang lengkap seperti halnya data-data yang lainnya.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
63 4.1.2
Struktur Tuturan Program Telepon
Struktur percakapan dari program telepon pada radio yang telah dianalisis, pada umumnya terdiri dari pertukaran permulaan atau awal (preliminari exchange), pertukaran pertengahan atau medial (medial exchange), dan pertukaran akhir atau final (final exchange). Pada pertukaran medial sering terjadi pertukaran bebas (free exchange) yang berisi topik perbincangan dari satu masalah ke masalah yang lain. Hal itu juga menjadi ciri perbincangan yang sering dilakukan oleh peserta tutur dalam program telepon pada radio, yaitu mereka bercakap-cakap sebagai suatu hobi dan sebagai pengisi waktu ketika mereka memerlukan teman untuk bercakap-cakap. Mereka cukup duduk di rumah sudah bisa mencari teman yang beragam dan berbagai macam latar belakang serta tempat yang berbeda-beda. Berikut ini akan dikemukakan hasil analisis lebih lanjut mengenai struktur percakapan tersebut.
4.1.2.1 Pertukaran Awal Pertukaran awal merupakan segmen inisiasi yang dapat dilakukan oleh penutur maupun mitra tutur. Pada bagian awal ini percakapan berisi alternatif-alternatif : (1) salam; (2) perkenalan; (3) menanyakan khabar; (4) kombinasi antara alternatif alternatif tersebut di atas. Ucapan salam pembuka bisa diawali oleh monitor atau pun penyiar radio. Kemudian dilanjutkan dengan perkenalan
atau menebak mitra tutur yang sedang
terlibat dalam percakapan yang sedang berlangsung setelah mengenal suaranya. Sering pula setelah salam, para peserta tutur menanyakan khabar mitra tuturnya. Setelah itu baru dilanjutkan
ke percakapan inti. Dalam menyampaikan salam sebagai awal
pertemuan yang sekaligus sebagai pertukaran awal terdapat beberapa bentuk salam
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
64 pembuka antara lain, salam pembuka umum, salam pembuka khusus, dan salam pembuka keagamaan. Salam pembuka umum adalah salam yang biasa diucapkan oleh peserta tutur sebelum memulai percakapan melalui telepon. Bentuk-bentuk salam pembuka umum yang biasa digunakan dalam program telepon adalah, sugeng enjang, sugeng siang, wilujeng dalu, dan hallo. Berikut ini contoh salam pembuka umum yang biasa diucapkan oleh peserta tutur.
(11)
P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 :
[P1 P2 P1 P2 P1 P2 P1 P2 P1
: : : : : : : : :
Wilujeng siang, Mas Saimo. Ngangge, Mas To saniki, menika saking Nggawok Mas, Saking Nggawok ? Kalian Mas sinten? Mas Bowo menika. Mas Bawa? Inggih. Ayo wa! Kok ayo wa, ki? Das pundi pawartosanipun mas, mriki ? Sae-sae mawon Mas Saima. (Gema Suara Makmur, 12-3-2007)
‘Selamat siang, Mas Saima.’ ‘Pakai Mas to sekarang, ini dari Nggawok, Mas.’ ‘Dari Nggawok, dengan Mas siapa?’ ‘Mas Bawa ini.’ Mas Bawa? ‘Iya.’ Ayo Wa. ‘Kok ayo Wa ki. Bagaimana kabarnya Mas, di sini?’ ‘Baik-baik saja Mas Saima.’ ]
Salam pembuka khusus yaitu salam yang berisi informasi khusus yang berkaitan dengan acaranya. Salam pembuka khusus yang digunakan dalam porgram telepon adalah, “Wilujeng siang Sarinah, pentas campursari sing paling nggenah,” “Wilujeng
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
65 siang klenengan nyess,” “Wilujeng siang, joss”dan sebagainya. Berikut ini disajikan contoh salam pembuka khusus.
(12)
P1 : Wilujeng siang Campursari Kita FM. Hallo? P2 : Wilujeng siang Campursari Kita FM. P1 : Saking pundi menika? (Kita FM, 13-3-2007)
[P1 : ‘Selamat siang Campursari Kita FM, Hallo.’ P2 : ‘Selamat siang Campursari Kita FM.’ P1 : ‘Dari mani ini?’] Salam pembuka keagamaan sebenarnya merupakan salam pembuka
yang
mengandung informasi sosial yang berkaitan dengan agama tertentu yang sama dari masing-masing peserta tutur. Salam pembuka keagamaan dalam percakapan berbahasa Jawa program telepon, hanya salam pembuka keagamaan yang Islami yang ditemukan, yaitu “Assalamualaikum,” yang dijawab oleh mitra tuturnya dengan “Walaikumsalam warahmatulohi wabarokatuh.”
Salam pada awal pertemuan tersebut tampak pada
contoh berikut.
(13)
P1 : Assalammualaikumm …. P2 : Walaikumsalam warahmatulohi wabarokatuh. P1 : Kok gayeng tenan ta niku Pak Haji. (Suara Slenk, 12-3-2007) ‘Kok ramai sekali itu Pak Haji.’
4.1.2.2 Pertukaran Medial Pada segmen ini penutur dan mitra tutur melakukan percakapan inti. Pada pertukaran medial ini biasanya diisi oleh adanya pertukaran bebas mengenai topik yang beragam sesuai dengan pancingan pada awal percakapan. Pada pertukaran bebas ini umumnya mitra tutur menanggapi apa yang menjadi pancingan penutur mengenai topik yang diinginkan. Dari hasil analisis pada segmen ini diperoleh alternatif-alternatif yang
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
66 meliputi, (1) pertanyaan; (2) permintaan; (3) perdebatan; (4) mengirim ucapan; (5) mencurahkan perasaan; (6) kombinasi antara alternatif-alternatif tersebut di atas. Tahap pertanyaan, berupa pertanyaan mengenai suatu hal yang dilontarkan oleh peserta tutur sekedar untuk menjalin komunikasi sebelum masuk pada percakapan inti, yaitu untuk menyampaikan maksud dan tujuan menelepon penyiar, yaitu meminta lagu atau mengirim ucapan kepada pendengar yang lain. Contoh percakapan berikut ini akan memperjelas uraian tersebut di atas.
(14) P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 :
Kalawau Mbak Sum nggih. Inggih leres. Sugeng siang, matur nuwun senggolanipun. Kraos menapa Pak, senggolanipun? Inggih rodo krasa, suwe ora ketemu kok. Inggih kedahipun ngaten. Ning yo wis ora sempet nyang studio. Inggih, semanten ugi sing siaran arep mampir yo ra sempatsempat. (Kita FM, 13-3-2007)
[ P2 : ‘Tadi Mbak Sum ya?’ P1 : ‘Iya benar’ P2 : ‘Selamat siang, terima kasih, atas senggolannya.’ P1 : ‘Terasa ya Pak senggolannya?’ P2 : ‘Ya agak terasa, sudah lama nggak ketemu kok.’ P1 : ‘Ya seharusnya begitu.’ P2 : ‘Tapi ya sudah nggak sempat ke studio.’ P1 : ‘Ya, begitu pula yang lagi siaran mau mampir juga nggak sempatsempat.’ ] Pertukaran medial terkadang dimanfaatkan oleh monitor untuk menanyakan informasi mengenai suatu masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Percakapan berikut ini merupakan percakapan yang membahas masalah yang berhubungan dengan PLN yang dimanfaatkan oleh monitor untuk menanyakan beberapa hal yang berkaitan dengan PLN, misalnya Saya hanya mau menanyakan
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
67 prosedur untuk melihat rekening melalui sms. Kemarin saya dengar katanya bisa; dalam penggalan percakapan berikut.
(15)
P2 : Wonten sinten menika. P1 : Menika wonten Pak Agus. P2 : Sugeng enjang Pak Agus. P1’: Inggih mangga Pak. P2 : Saya hanya mau menanyakan prosedur untuk melihat rekening melalui sms. Kemarin saya dengar katanya bisa. P1 : Bisa, bisa, inggih. P2 : Bisa, lha itu caranya gimana? Biar saya bisa melihat rekening melalui sms, sampun ceta? Matur nuwun. P1 : Oh …. Inggih joss. (Kita FM, 15-3-2007)
[P2 : ‘Ada siapa ini?’ P1 : ‘Ini ada PakAgus.’ (pegawai PLN) P2 : ‘Selamat pagi, Pak Agus.’ P3 : ‘Iya, silahkan Pak.’ P2 : Saya hanya mau menanyakan prosedur untuk melihat rekening melalui sms. Kemarin saya dengar katanya bisa. P1 : ‘Bisa, bisa, ya.’ P2 : Bisa, lha itu caranya gimana? Biar saya bisa melihat rekening melalui sms, sampun ceto? Matur nuwun. P1 : ‘Oh.. iya joss.’]
4.1.2.3
Pertukaran Final
Pada pertukaran final ini lazim berisi ucapan terima kasih dari para peserta tutur yang telah saling memberikan atensi dalam percakapan tersebut. Selain itu diucapakan pula salam penutup atau salam perpisahan dari masing-masing peserta tutur dan terkadang saling mendoakan sebelum mereka mengakhiri percakapan
atau berpisah. Contoh
percakapan berikut dapat memperjelas uraian di atas. (16)
P2 : Mas, bade sanjang nggih….? Kagem Mas Baratwaja sugeng ngayahi tugas. Mas menika saged on air. Mboten mas. P1 : Oh … saged.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
68 P2 : Sugeng ngayahi tugas nggih Mas nggih ngantos paripurna, kondoripun nderekaken wilujeng mangke ngantos dumugi dalem. P1 : …………………………………………………………………. P2 : ………………………………………………………………….. P1 : Inggih matur nuwun. (Suara Slenk, 17-4-2007)
[P2 : ‘Mas, mau bicara ya, … untuk Mas Barat wojo, selamat melaksanakan tugas. Mas, ini dapat mengudara tidak Mas?’ P1 : Oh… bisa. P2 : ‘Selamat melaksanakan tugas ya Mas, sampai selesai, pulangnya selamat sampai di rumah.’ P1 : ‘Iya, terima kasih.’]
4.1
Variasi tuturan
Variasi tuturan berbahasa Jawa program telepon pada radio yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah, wujud tuturan program telepon, campur kode dan alih kode, faktor-faktor yang mempengaruhi variasi tuturan, dan kosa kata khusus yang digunakan dalam program telepon.
Variasi tuturan yang ada dalam percakapan program telepon diantaranya berkaitan dengan pemakaian tuturan panjang, tuturan pendek, struktur kalimat atau pola kalimat, tuturan berwujud salam, dan inskripsi. 4.2.1
Tuturan Panjang
Tuturan panjang yang ditemukan dalam program telepon adalah tuturan yang menggunakan frase yang diperluas yang biasa digunakan oleh para penelepon untuk mengirim ucapan kepada monitor yang lain. Tuturan panjang yang ditemukan dalam program telepon, justru bukan kalimat yang lengkap jika dilihat dari strukturnya. Tuturan panjang ini dipergunakan oleh para penelepon karena banyaknya monitor yang
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
69 harus dikirimi ucapan. Data di bawah ini adalah contoh-contoh tuturan panjang yang terdapat dalam percakapan program telepon pada radio.
(17)
P2 : Kagem Mbak Mus sekeluarga, Patrio sekeluarga, lajeng kagem Ibu Wilardi Brotowiryono, lajeng kagem adikku wedok Rina, Bu Iin, Susi, Mbak Yanti, BuJuwan, Bu Gondo, Bu Bagio Mbah Wagiyo, Bu Inem, Mbah Bejo, Bu Isrini, lajeng Bu Ningtiyas, Mbah Buyut Sarwo, Pak Haji Ahmad Dahlah sekeluarga, Pak Jimad, Pak Martoyo, Mas Jangkit Haryo Sunan, Drs Sumarjo, Pak Purwanto, Pak Haji Karmanto, Pak Purnadi, Pak Pujo Santoso, Pak Hartam sekeluarga, Pak Padi, Pak Ratno sadayanipun, Pak Warseno sakalian, Pak Karwono sakalian, Pak Ngatimin, Pak Kasno sokoheru, Pak Rumadi, Pak Surip, Mas Joko, Pak Wardoyo, Pak Parno, Pak Gianto, ugi sadaya monitor lan kru Suara Slenk, sugeng siang, sugeng midangetaken ngaten kamawon, assalamualaikum, yok nyess. (Suara Slenk, 12-3-2007)
(18)
P2 : Kagem Mbak Sam ngaturaken wilujeng siang. Lajeng Mas Nuryadi, wilujeng siang, lajeng kegem 731 sapa iki, oh Mbak anu iki Mbak Nur, Mbak Nur Mangujudan, wilujeng siang, ugi lajeng kangen Mbak Nur Cemani, ugi Pakde Parno, Mas Andri lajeng Mbak Wulan Handayani, lajeng Mas Herlambang, lajeng Mbak Diah, Mbak Andini, lajeng kagem sadaya, kemawon, wilujeng siang, wilujeng midangetaken, Campursari Sarinah, campursari sing paling genah, matur suwun yoiiii…….(Gema Suara Makmur, 12-3-2007)
Tuturan (17) dan (18) di atas adalah contoh tuturan panjang, meskipun bukan kalimat yang lengkap. Tuturan panjang semacam itu, biasa dipakai oleh para penelepon untuk mengirim ucapan atau lagu kepada para pendengar / monitor yang lain. Komunikasinya berlangsung searah sehingga tidak bersifat interaktif. Tuturan panjang dalam program telepon terjadi oleh karena banyaknya monitor yang harus dikirimi ucapan,
kemudian dirangkai menjadi tuturan yang berbentuk inskripsi. Tuturan
panjang yang bersifat monolog ini, banyak digunakan oleh penelepon ketika mengirim ucapan, pesan, atau informasi kepada penyiar atau monitor yang lain.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
70
4.2.2
Tuturan Pendek
Tuturan pendek yang ditemukan dalam program telepon di radio adalah tuturan yang hanya menggunakan satu atau dua unsur kata saja. Tuturan pendek biasanya terjadi dalam dialog yang dilakukan oleh penelepon dengan penyiar. Dalam dialog antara penelepon dengan penyiar, seperti layaknya orang berbicara, sering menggunakan tuturan pendek yang tidak lengkap jika dilihat dari struktur kalimatnya. Tuturan ini biasanya ditemukan pada awal pembicaraan antara penelepon dan penyiar. Pada awal pembicaraan biasanya penyiar memulai dengan ucapan salam, sapaan, nama, alamat, dan tujuan. Penelepon pun menjawab dengan hal yang sama, yakni salam, sapaan, menyebutkan nama, alamat, dan tujuan menelepon. Setelah itu barulah penelepon menyampaikan maksud yang sebenarnya, yaitu mengirim ucapan atau tujuan yang dikehendaki kepada penyiar. Di bawah ini disajikan beberapa contoh tuturan pendek yang digunakan dalam percakapan berbahasa Jawa program telepon pada radio.
(19)
P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 :
Wilujeng siang Kita FM. Wilujeng siang Mas Godam Siang, inggih. Ini Umi Pusi. Umi Pusi ingkang wonten depan UNS nggih. Nggih. Umi Pusi Njagalan. Nggih Salam kagem adik-adik sedaya, Papi Kohir ugi nggih .. Umi. Nggih … Bade nyuwun lagu Mas. Lagu ipun menapa? Menika wonten “Kasmaran Pandan wangi” Oh … inggih “Kasmaran” Mas. (Kita FM, 16-3-2007)
[P1 : ‘Selamat siang, Kita FM’. P2 : ‘Selamat siang Mas Godam.’
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
71 P1 : ‘Siang, ya…’ P2 : Ini Umi Pusi. P1 : ‘Umi Pusi yang di depan UNS ya?’ P2 : ‘Ya,..’ P1 : Umi Pusi Njagalan ? P2 : ‘Ya.’ P1 : ‘Salam untuk adik-adik semua, Papi Kohir juga, ya Umi?’ P2 : ‘Ya, .. Mau minta lagu Mas.’ P1 : ‘Lagunya apa ? Ini ada Kasmaran Pandan Wangi’ P2 : ‘Oh … ya, “Kasmaran Mas.’]
Tuturan pendek dalam percakapan (19) di atas berwujud kalimat salam, yaitu “Wilujeng siang Kita FM,” dan jawabannya, “Wilujeng siang Mas Godam.” Tuturan pendek dapat juga berbentuk pertanyaan, contohnya “ “Umi Pusi Njagalan ?” Tuturan pendek dapat juga berupa kalimat jawaban secukupnya saja, misalnya
“Nggih.”
Tuturan pendek ini lebih banyak digunakan dalam bentuk dialog antara penyiar dan penelepon atau sebaliknya, sehingga banyak menggunakan ragam percakapan yang banyak menggunakan kalimat yang tidak lengkap.
4.2.3
Struktur Kalimat
Struktur kalimat yang ada pada percakapan program telepon beraneka macam. Ada yang berstruktur S – P, artinya Subyek mendahului Predikat, ada pula yang berstruktur P – S, yaitu Predikat mendahului Subyek. Kalimat yang berstruktur S – P dan
P–S
tersebut termasuk kalimat lengkap. Selain itu, ada juga kalimat yang tidak lengkap yang berwujud pelesapan S, P, atau S dan P, yang biasanya ditemukan dalam kalimat jawaban. Kalimat yang tidak lengkap dapat berbentuk salam atau inskripsi.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
72 4.2.3.1 Kalimat Berstruktur S – P Kalimat yang berstruktur Subyek mendahului Predikat (S – P) ini biasa disebut kalimat berpola sempurna atau lengkap. Kalimat yang berpola S-P ini jarang ditemukan dalam percakapan program telepon. Dalam percakapan program telepon peserta tutur lebih banyak menggunakan kalimat yang tidak lengkap dalam bentuk dialog, sedang bentuk monolog didominasi oleh pemakaian inskripsi. Kalimat-kalimat yang berpola S – P dapat dijumpai pada data di bawah ini. (20)
Mbah Sastro lali maneh. (Kita Fm, 15-3-2007) ‘Mbah Sastro lupa lagi.’
(21)
Suanten panjenegan kirang ageng, Bu. ( Suara Slenk, 16-4-2007) ‘Suara Anda kurang besar, Bu.’
(22)
Radione dicilikke sik. (Gema Suara Makmur, 14-3-2007) ‘Radionya dikecilkan dulu.’
Kalimat (20), mempunyai struktur S, Mbah Sastro, sedangkan P, lali maneh. Jadi kalimat ini memiliki struktur pokok S – P, artinya Subyek mendahului Predikat. Demikian pula kalimat (21), Suanten panjenengan, berfungsi sebagai Subyek, sedangkan
kirang ageng, berfungsi sebagai Predikat.
Struktur kalimat (22),
Subyeknya adalah Radione, Predikatnya, dicilikke, sedangkan sik, adalah Keterangan. Jadi struktur lengkapnya adalah S-P-K dan struktur pokoknya adalah S – P .
4.2.3.2 Kalimat Berstruktur P – S Kalimat yang berstruktur P – S adalah kalimat yang Predikatnya mendahului Subyek. Kalimat berpola P – S ini sering juga disebut kalimat susun balik atau inversi. Kalimat yang berstruktur P – S , dalam program telepon tidak banyak jumlahnya, karena kalimat
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
73 jenis ini termasuk kalimat yang lengkap. Kalimat berstruktur P – S dapat ditemui pada contoh di bawah ini. (23)
Mpun suwe niku. (Kita FM, 12-3-2007) ‘Sudah lama itu.’
(24)
Tambah langsing nggih njenengan? ( Gema Sura Makmur, 12-3-2007) ‘Tambah langsing ya Engkau?’
(25)
Kudu rawuh kabeh. (Kita FM, 17-4-2007) ‘Harus datang semua.’
Pada kalimat (23) Mpun suwe adalah Predikat, sedangkan Subyeknya, niku. Demikian juga kalimat (24) Tambah langsing adalah Predikat, sedangkan Subyeknya, njenengan, mengikuti predikat, dan kalimat (25) Predikatnya Kudu rawuh, mendahului Subyeknya, yaitu kabeh.
4.2.4
Kalimat Tidak Lengkap
Kalimat tidak lengkap dalam program telepon merupakan kalimat yang strukturnya tidak lengkap, artinya kalimat ini tidak memiliki subyek atau tidak memiliki predikat, atau bahkan tidak memiliki subyek maupun predikat. Kalimat tidak lengkap ini merupakan kalimat yang sangat dominan dalam percakapan program telepon. Kalimat ini dapat berwujud kalimat tanya, kalimat jawaban, bentuk salam, dan inskripsi.
4.2.4.1 Kalimat tanya Kalimat tidak lengkap yang berwujud kalimat tanya, banyak sekali ditemukan dalam percakapan program telepon ini. Struktur kalimat tanya ini antara lain terdiri dari subyek saja, atau subyek dengan kata tanya; predikat saja atau predikat dengan kata tanya, dan ada pula yang hanya terdiri dari kata kata tanya saja tanpa disertai subyek
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
74 maupun predikat. Kalimat tanya tersebut dapat ditemukan pada contoh percakapan berikut (26)
Mbak Kelik ? (Suara Slenk, 17-4-2007) ‘Mbak Kelik?’
(27)
King pundi menika? (Kita FM, 13-3-2007) ‘Dari mana ini?’
(28)
Arep dinapakke ? (Kita FM, 12-3-2007) ‘Mau diapakan?’
(29)
Inggih, wonten pundi ? (Suara Slenk, 13-3-2007) ‘Ya, di mana?’
(30)
Kalih sinten ? (Suara Slenk, 17-4-2007) ‘Dengan siapa?’
Kalimat (26) merupakan kalimat tanya yang hanya terdiri dari subyek saja. Kalimat tanya ini dilontarkan oleh penyiar untuk menebak yang menelepon, yang maksudnya “Menika napa Mbak Kelik,” ‘ Apakah ini Mbak Kelik ?’ Kalimat (27) ini hanya terdiri dari kata tanya, yang diajukan
oleh penyiar kepada penelepon yang menanyakan
“Asalipun saking pundi?,” ‘Berasal dari mana?’ kalimat yang ke-(28) hanya terdiri dari predikat saja, yang maksudnya mitra tuturnya ‘Mau diapakan?’ Kalimat (29) dan (30) kalimat tanya yang hanya terdiri dari kata tanya saja.
4.2.4.2
Kalimat Jawaban
Percakapan dalam program telepon menggunakan bahasa ragam lisan, yang bentuknya juga tidak jauh berbeda dengan
ragam lisan pada umumnya. Dialog-dialog yang
dipergunakan dalam program telepon ini sering menggunakan kalimat yang tidak lengkap. Kalimat tidak lengkap tersebut dapat berwujud jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan oleh mitra tuturnya. Jawaban dari pertanyaan dalam program telepon ini
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
75 biasanya hanya berupa kalimat pendek yang terdiri atas satu atau dua unsur kata saja. Kalimat-kalimatt jawaban tersebut dapat ditemukan pada data di bawah ini.
(31)
Mbok menawi. (Gema Suara Makmur, 12-3-2007) ‘Mungkin.’
(32)
Inggih leres. ( Kita FM, 13-3-2007) ‘Ya,betul.’
(33)
Saking Wonogiri. (Suara Slenk, 13-3-2007) ‘Dari Wonogiri’.
(34)
“Jambu Atos.” (Gema Suara Makmur, 13-3-2007) “Jambu Atos”
(35)
Ooo… saged. (Suara Slenk, 13-3-2007) Ooo… bisa.
Kalimat jawaban (31) adalah kalimat yang hanya terdiri dari Keterangan (K), sebagai jawaban dari pertanyaan: “Lagune apa ireng manis niku nggih?”, ‘Lagunya apa hitam manis itu ya?’ Jawaban selengkapnya adalah “Mbok menawi lagune ireng manis menika.” ‘Mungkin lagunya hitam manis itu.’ Kalimat (32) merupakan kalimat yang mengalami pelesapan fungsi subyek, Mbak Sum. Jawaban selengkapnya “Inggih leres Mbak Sum.” ‘ Ya betul Mbak Sum’. Kalimat ini hanya terdiri dari predikat saja. Kalimat (33) hanya terdiri atas keterangan tempat saja, sebagai jawaban dari pertanyaan “Monitor enggal wonten pundi?” ‘Monitor baru dari mana?’ jawaban selengkapnya seharusnya : “Monitor enggal saking Wonogiri.” ‘Monitor baru dari Wonogiri.’Kalimat (34) terdiri dari subyek saja, sebagai jawaban dari pertanyaan “Tembang napa?”‘Lagunya apa?’ Jawaban selengkapnya seharusnya “Lagune Jambu Atos”; ‘Lagunya Jambu Atos.’ Kalimat (35) hanya terdiridari keterangan saja, sebagai jawaban dari pertanyaan “Mas menika saged on air Mboten Mas?” ‘Mas ini dapat mengudara
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
76 tidak Mas?’ (Maksudnya disiarkan tidak). Jawaban selengkapnya seharusnya adalah “Pasugadan menika saged pun siaraken.” ‘Acara ini dapat disiarkan.’
4.2.4.3
Kalimat Berbentuk Salam
Salam merupakan suatu formula tetap yang khas yang biasa diucapkan oleh seseorang pada saat memulai atau mengakhiri pembicaraan dalam percakapan program telepon. Salam tersebut memiliki jawaban yang khas juga dari mitra tuturnya. Bentuk salam dalam program telepon ini dibedakan menjadi dua, yaitu salam pembuka dan salam penutup. 1) Salam Pembuka Salam pembuka adalah salam yang mengawali pembicaraan. Salam pembuka diucapkan oleh peserta tutur, baik oleh penyiar maupun oleh penelepon, tergantung mana yang memiliki kesempatan lebih dulu. Salam pembuka dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu salam pembuka umum, salam pembuka khusus, dan salam keagamaan. Salam pembuka umum adalah salam yang biasa diucapkan oleh seseorang ketika mengawali suatu pembicaraan dalam program telepon. Salam pembuka umum tersebut dapat ditemui pada contoh-contoh berikut ini. (36)
P2 : Sugeng enjang Mbak Dian. P1 : Sugeng enjang Pak Karmanto. (RRI, 9-3-2007)
[P2 : ‘Selamat pagi Mbak Dian.’ P1 : ‘Selamat pagi Pak Karmanto.’] (37)
P1 : Hallo,… P2 : Wilujeng siang. P1 : Wilujeng siang juragane majalah. (Suara Slenk, 16-4-2007) [P1 : Hallo ….
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
77 P2 : ‘Selamat siang.’ P1 : ‘Selamat siang juragannya majalah.’] (38)
P1 : Wilujeng siang, Kita FM. P2 : Wilujeng siang Mas Godam. (Kita FM, 16-3-2007)
[P1 : ‘Selamat siang Kita FM.’ P2 : ‘Selamat siang Mas Godam’. ]
Salam pembuka umum yang biasa diucapkan dalam program telepon adalah, Sugeng enjang, Wilujeng siang, Sugeng dalu, dan Hallo. Jawaban salam yang digunakan, disesuaikan dengan salam yang diucapkan oleh mitra tuturnya. Jawaban salam tersebut biasanya hanya mengulang salam atau mengucapkan bentuk ringkasnya, misalnya salam pembuka Sugeng enjang, akan dijawab dengan Sugeng enjang atau Enjang saja oleh mitra tuturnya. Salam Hallo dijawab dengan Hallo atau kadang tidak dijawab, salam Wilujeng siang biasa dijawab dengan Wilujeng siang, atau Siang saja dan seterusnya. Salam pembuka khusus adalah salam khas yang sudah mengandung informasi khusus yang berhubungan dengan waktu, acara, dan sebutan radionya. Salam pembuka khusus tersebut dapat ditemukan pada contoh di bawah ini. (39)
P1 : Wilujeng siang Campursari Kita FM, Hallo P2 : Wilujeng siang Campursari, Kita FM. (Kita FM, 13-3-2007)
[P1 : ‘Selamat siang Campursari Kita FM, Hallo’. P2 : ‘Selamat siang campursari, Kita FM’.] (40)
P2 : Wilujeng siang Sarinah, Campursari sing paling nggenah. ‘Selamat siang Sarinah, Campursari yang paling pantas.’ (Gema Suara Makmur, 14-3-2007)
(41)
P2 : Wilujeng siang, joss. (Kita FM, 17-4-2007) P1 : Ha…ha ...ha… Wilujeng siang joss, inggih.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
78
[ P2 : Selamat siang, joss. P1 : ‘Ha…ha…ha… Selamat siang joss, ya.’] (42)
P1 : Wilujeng siang, klenengan nyess. (Suara Slenk, 18-4-2007)
Salam (39), Wilujeng siang Campursari Kita FM, Hallo.. mengandung informasi yang lengkap mengenai waktu, acara, dan radio penyelenggaranya. Wilujeng siang, memberi informasi bahwa acara itu berlangsung siang hari; Campursari, adalah informasi mengenai acara yang sedang berlangsung, yaitu acara yang khusus memutar lagu-lagu campursari; Kita FM, memberi informasi kepada penelepon dan pendengar bahwa yang menyelenggarakan siaran itu adalah Radio Kita FM; Hallo, merupakan sapaan yang ditujukan kepada penelepon telepon telah diterima oleh penyiar. Ada kalanya salam khusus, berisi informasi waktu dan kata khas dari radio yang bersangkutan. Wilujeng siang joss misalnya, kata joss biasa digunakan oleh penyiar dan penelepon dari Radio KitaFM, atau nyess, kata khas dari Radio Suara Slenk, dan Radio Gema Suara Makmur sering menggunakan kata khas yook iii… Salam pembuka keagamaan pada dasarnya merupakan salam penanda sosial dari komunitas yang memiliki kepercayaan atau agama tertentu. Melalui salam keagamaan yang diucapkan seseorang dapat diketahui dari kelompok mana orang itu berasal. Sebagai sebuah salam sosial, salam pembuka keagamaan biasa digunakan oleh masyarakat dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Salam pembuka keagamaan dalam percakapan berbahasa Jawa program telepon ini yang sering ditemukan adalah yang bernuansa Islami, karena salam ini benar-benar telah memasyarakat dalam kehidupan
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
79 sehari-hari para peserta tutur, baik penyiar maupun penelepon. Di bawah ini dapat dijumpai salam pembuka keagamaan yang dimaksud. (43)
P1 : Assalammualaikum. P2 : Walaikumsalam warrahmatulahi wabarakatuh. (Suara Slenk, 12-3- 2007)
(44)
P2 : Assalammualaikum Mas Widoyo, P1 : Inggih, Walaikumsalam, Eyang Kastoyo menika? (RRI, 24-4-2007)
Salam pembuka keagamaan, Assalammualikum yang dijawab oleh mitra tutur dengan, Walaikumsalam, menunjukkan bahwa peserta tutur berasal dari kelompok
sosial
(agama) yang sama, yaitu Islam. Tetapi bukan berarti yang tidak menggukan salam tersebut tidak beragama Islam, karena banyak peserta tutur dalam program telepon yang beragama Islam tetapi tidak menggunakan salam keagamaan tetapi menggunakan salam umum atau salam khusus. 2) Salam Penutup Salam penutup adalah salam yang menutup atau mengakhiri suatu pembicaraan yang dikemukakan oleh peserta tutur baik oleh penyiar mapun oleh penelepon. Inisiatif untuk mengakhiri suatu pembicaraan dalam program telepon pada radio, biasanya dilontarkan oleh penelepon setelah selesai menyampaikan maksud dan tujuan nya dalam program telepon. Salam penutup dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu salam penutup umum, salam penutup khusus, dan salam penutup keagamaan. Salam penutup umum, yaitu salam penutup yang biasa diucapakan oleh seseorang untuk mengakhiri suatu pembicaraan dalam program telepon. Salam penutup umum tersebut dapat dilihat pada contoh di berikut ini :
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
80 (45)
P2 : ………matur nuwun nggih Mbak Dian. (RRI, 9-3-2007) P1 : Sami-sami Bapak, salam buat Ibu di rumah, ya Pak. [ P2 : ‘…………terima kasih ya Mbak Dian’ P1 : ‘Sama-sama Bapak, salam buat Ibu di rumah, ya Pak.’]
(46)
P2 : Sugeng siang Mbak. P1 : Nggih, mangga. (suara slenk, 13-3-2007) [P2 : ‘Selamat siang Mbak.’ P1 : ‘Ya, silahkan.’ ]
(47)
P2 : Cekap semanten, matur nuwun, sugeng dalu. P1 : Sami-sami Pak Sareh. (RRI, 24-4-2007 B) [P2 : ‘Cukup sekian, terima kasih, selamat malam.’ P1 : ‘Sama-sama Pak Sareh.’]
Salam penutup pada (45), (46), dan (47) adalah salam penutup umum yang biasa diucapkan oleh peserta tutur untuk mengakhiri pembicaraan dalam program telepon, misalnya matur nuwun, sugeng siang, wilujeng dalu. Selain itu tidak jarang salam penutup itu menggunakan salam rangkap, seperti matur nuwun, sugeng dalu (contoh: 44). Salam penutup khusus, yaitu salam yang menggunakan bentuk-bentuk khas. Bentuk-bentuk yang digunakan dalam salam penutup khas, secara umum tidak mempunyai arti apa-apa, tetapi secara khusus bentuk-bentuk tersebut dapat dipakai sebagai ciri khas dari radio tertentu yang menyelenggarakan acara tersebut. Dalam program telepon pada radio, salam penutup khusus tersebut dapat dipakai untuk mengetahui radio tertentu yanggunakan salam tersebut. Bentuk-bentuk yang digunakan sebagai salam penutup khusus dapat ditemui pada contoh-contoh di bawah ini.
(48)
P2 : ……matur nuwun, yok iii.. P1 : Inggih, matur nuwun. (Gema Suara Makmur, 12-3-2007)
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
81
[ P2 : ‘……terima kasih, yok iii..’ P1 : ‘Ya, terima kasih.’ ] (49)
P2 : ……matur nuwun, joss P1 : Nggih, joss. (Kita FM, 13-3-2007) [P2 : ‘……terima kasih, joss’ P1 : ‘Yaa, joss.’]
(50)
P2 : …..ngaten kemawon Dimas, yok nyess. P1 : Yok nyess. (Suara Slenk, 16-4-2007) [P2 : ‘……begitu saja Dimas, yok nyess.’ P1 : Yok nyess.]
Tiga salam penutup di atas (48), (49),dan (50) menggunakan bentuk-bentuk khusus seperti, yok iii.., joss, dan yok nyess. Bentuk-bentuk khusus seperti itu dapat menjadi petunjuk untuk mengenal siaran dari Radio apa, bagi para monitor atau pendengarnya. Tetapi bagi orang awam mungkin akan sulit memahaminya. Bentukbentuk yok iii.., joss, dan yok nyess,
secara leksikal tidak memiliki makna, tetapi
dalam program telepon di radio mempunyai makna khusus penanda penutup pembicaraan. Setiap radio mempunyai salam penutup yang berbeda, yok iii.. digunakan oleh Radio Gema Suara Makmur; joss dipakai oleh Radio Kita FM; sedangkan yok nyess biasa digunakan oleh penyiar dan monitor Radio Suara Slenk. Salam penutup keagamaan , adalah salam penutup khas yang biasa digunakan oleh seseorang yang memiliki kepercayaan atau agama tertentu. Dengan mendengar salam penutup keagamaan yang diucapkan seseorang dapat diketahui dari agama apa orang yang mengucapkan salam tersebut. Salam penutup keagamaan tersebut dapat dijumpai pada contoh berikut ini.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
82 (51)
P2 : ……..sugeng siang, sugeng midangetaken, ngaten kemawon Assalammualaikum, yok nyess. P1 : Walaikumsalam, yok nyess. (Suara Slenk, 12-3-2007) [P2
:‘……..selamat siang, selamat Assalamualaikum, yok nyess.’ P1 : Walaikumsalam, yok nyess.]
(52)
mendengarkan,
begitu
saja,
P2 : ….wilujeng dalu, matur sembah nuwun, Wasalamualaikum. P1 : Walaikumsalam warahmatulahi wabarakatuh. (RRI, 24-4-2007 C) [P2 : ‘….selamat malam, terima kasih, Wasalamualaikum.’ P1 : Walaikumsalam warahmatulahi wabarakatuh.]
Salam penutup keagamaan hampir sama dengan salam pembukanya Wasalammualikum dengan jawaban Walaikumsalam adalah salam penutup bagi penelepon
maupun
penyiar yang beragama Islam. Bentuk salam penutup sering diucapkan secara bersamasama oleh penutur untuk mengakhiri percakapan. Ada salam penutup umum digabung dengan salam penutup khusus, bahkan sekaligus dirangkaikan dengan salam penutup keagamaan, seperti contoh pada (51).
4.2.4.4 Inskripsi Inskripsi termasuk jenis kalimat yang berstruktur nonklausa. Inskripsi dalam bahasa Indonesia biasanya diawali dengan kata, buat, untuk, kepada, atau kata lain yang memiliki makna “dipersembahkan kepada” dan diikuti oleh nomina. Di dalam percakapan percakapan berbahasa Jawa program telepon pada radio, sebagian besar dari kalimat yang ada berbentuk inskripsi. Hal itu terjadi karena program telepon pada dasarnya adalah sebuah acara radio yang digunakan oleh para monitor untuk saling berkomunikasi dan mengirim ucapan atau salam kepada monitor atau pendengar yang
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
83 lain. Bentuk inskripsi dalam percakapan berbahasa Jawa program telepon ini ditandai dengan penggunaan kata kagem, yang berarti ‘untuk,’ kata katur, yang bermakna ‘kepada’ dan diikuti oleh nomina. Bentuk inskripsi yang ada dalam percakapan berbahasa Jawa program telepon di radio dapat ditemukan pada contoh di bawah ini. (53)
Kagem Mas Joko AC yang tercinta. (Kita FM, 13-3-2007) ‘Untuk Mas Joko AC yang tercinta.’
(54)
Kagem Mbak Mus skeluarga. (Suara Slenk, 12-3-2007) ‘Untuk Mbak Mus sekeluarga.’
(55)
Katur Pakde Kawid ingkang wonten Njenggid. (GSM, 14-3-2007) ‘Kepada Pakde Kawid yang di Njenggid.’
(56)
Katur ingkang wonten Wonogiri, Bapak Joko Surono. (RRI, 24-4-2007 C) ‘Kepada yang di Wonogiri, Bapak Joko Surono.’
Kata yang digunakan untuk mengawali inskripsi dalam percakapan berbahasa Jawa program telepon adalah kagem dan katur.
Inskripsi seperti itu banyak sekali
ditemukan pada data yang ada, bahkan bisa dikatakan bahwa sebagian besar kalimat yang ditemukan dalam program telepon ini berbentuk inskripsi. Hal ini terjadi karena dalam program telepon yang menjadi sasaran utamanya adalah berupa pengiriman ucapan atau lagu.
4.3 Alih Kode dalam Tuturan Program Telepon Tuturan berbahasa Jawa program telepon pada radio di wilayah Surakarta ini ditandai oleh banyaknya peristiwa alih kode, terutama berasal dari bahasa Indonesia. Sebelum penulis membahas lebih lanjut tentang alih kode, akan dibicarakan sepintas mengenai campur kode, karena tuturan dalam program telepon ini banyak ditemukan campur
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
84 kode. Seperti telah dikemukakan di depan bahwa antara alih kode dan dan campur kode memiliki kesamaan, yaitu digunakannya dua bahasa atau lebih, atau digunakannya dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tertentu. Pada umumnya masyarakat Surakarta adalah masyarakat dwibahasawan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Dengan demikian antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia terjadi apa yang disebut kontak bahasa. Fenomena semacam ini tidak menutup kemungkinan apabila pemakaian bahasa Jawa dapat dipengaruhi oleh bahasa Indonesia atau pun sebaliknya. Dengan demikian peristiwa campur kode antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia pun tidak dapat dihindari. Selain terjadi campur kode dengan bahasa Indonesia, percakapan berbahasa Jawa dalam program telepon ini juga diwarnai oleh campur kode dari bahasa asing, yaitu bahasa Arab dan bahasa Inggris. Selengkapnya campur kode dalam percakapan program telepon ini dapat dilihat dari hasil analisis di bawah ini. (57)
P2 : Kagem Mbak Rindu, wilujeng siang ugi monitor, lajeng katur Pakde Kawid, ingkang wonten Jenggid, Mbak Yuyun, Mbak Emud, hallo, Mas Herry sedang di mana ini, terus Mas Budi yang di Cemani, Mbak Ning, mas Jono, mas Yanto di Mojosongo, lajeng Mas Giyanto juga, Mbak Susi, Mbak Tati Gundayani nggih Mas nggih. (Gema Suara makmur, 14-3-2007)
(58)
P2 : Pak Kadamaran yang sendirian, lajeng bu Mentik, matur nuwun mbak Mentik, lajeng Eyang Joyo Sumarto, Bunda Nyotokusumo, Eyang Marmo sekalian, Ibu Sriwinengku. Mbak kula niki ndobel, wong esuk mboten mlebet, dadi nem belas, pagi delapan, sore delapan, nggih, Ibu Sariyem, lajeng Ibu Purnomo, ingkang kagungan Mbaluarti, Pak Budi Raharjo, Pak Kirno, Pak Sri Widodo, lajeng, Pak Dodol Sumaryadi, Pak Hadi Sarjan, lajeng Eyang Menggung Dahlan, Pak Kastoyo, Ibu Nuryati, wonten Pabelan, lajeng sampun sadaya kemawon, mangke ndak mboten sekeca, matur nuwun nggih mbak Dian nggih. P1 : Sami-sami Bapak, salam buat Ibu di rumah, ya Pak! (RRI, 9-3-2007)
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
85 (59)
P1: Lha niku, berarti sing banter niku sing ngendika nggih? (tertawa) Mangga Pak Haji! (Suara Slenk, 12-3-2007)
Penggalan tuturan (57) yang diucapkan oleh monitor tersebut terjadi campur kode dengan bahasa Indonesia, yaitu Mas Herry sedang di mana ini, terus Mas Budi yang di Cemani; juga. Demikian juga penggalan percakapan (58), campur kode dimunculkan oleh monitor dan penyiar, seperti kata-kata pagi delapan, sore delapan, salam buat ibu di rumah. Sedangkan dalam penggalan percakapan (59) muncul kata berarti, yang diucapkan oleh penyiar sebagai salah satu bentuk campur kode. (60) P2 : Assalammualaikum, Mas Widoyo. P1 : Inggih, Walaikumsalam, Eyang Kastoyo menika? (RRI, 24-4-2007 C) (61) P1 : Syukur Alkamdulilah. (Gema Suara Makmur, 14-3-2007) (62) P2 : …….Assalammualaikum, yok nyess. P1 : Walaikumsalam, yok nyess. (Suara Slenk, 12-3-2007)
Dari penggalan tuturan (60) (61) (62) ditemukan campur kode dengan menggunakan bahasa Arab, seperti Assalammualaikum, Walaikumsalam, syukur alkamdulilah. Campur kode dalam bahasa Arab ini lebih banyak ditemukan dalam bentuk salam pembukan dan salam penutup keagamaan. (63) P2 : Kagem Mas Baratwaja, sugeng ngayahi tugas. Mas menika saged on air mboten Mas ? (Suara Slenk, 17-4-2007) (64) P2 : Ooo, .ngaten, inggih sanes-sanesipun kemawon nggih, kagem Bunda Suci kalih Mbak Heri, ugi Mas Tritarto, ingkang nembe pun wisuda dengan nilai cum laude, tumut remen, semoga ndedelndedel terus, wis master tur cum laude. (Kita FM, 13-3-2007) (65) P2 : Thank you P1 : Thank you, makasih ya, joss kembali. (Kita FM, 18-4-2007)
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
86 Dalam penggalan percakapan (63) (64) (65) terlihat adanya campur kode dalam bahasa Inggris seperti, on air, master, cum laude dan salam penutup yang diucapkan oleh peserta tutur yaitu, yaitu Thank you.
Selain campur kode, peristiwa alih kode juga banyak ditemukan pada percakapan program telepon ini. Wujud alih kode dalam percakapan program telepon ini yang dominan dan sering terjadi berupa perpindahan antarbahasa dan antartingkat tutur dalam bahasa Jawa. Perpindahan antarbahasa misalnya terjadi antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia atau antara bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. Perpindahan antartingkat tutur dalam bahasa Jawa misalnya, terjadi antara tingkat tutur ngoko (rendah) dengan tingkat tutur madya (agak tinggi), atau sebaliknya antara tingkat tutur madya dan tingkat tutur ngoko.
4.3.1
Alih Kode yang berwujud Alih Bahasa
Alih kode yang berwujud alih bhasa cukup banyak ditemukan dalam percakapan program telepon ini. Alih kode yang berwujud alih bahasa yang akan dianalisis dalam penelitian ini mencakup peralihan dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia dan peralihan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa. Berikut ini akan diuraikan wujud alih kode itu satu demi satu. 4.3.1.1 Alih Kode dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia Alih kode yang berupa peralihan dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia cukup banyak ditemukan dalam percakapan berbahasa Jawa program telepon pada radio di wilayah Surakarta ini. Hal itu dikarenakan kedua bahasa itu dikuasai dengan baik oleh
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
87 anggota masyarakat tutur ini. Fungsi kedua bahasa itu pun sering dapat saling menggantikan. Artinya dalam situasi tertentu bahasa Jawa dapat berfungsi sebagai bahasa yang berstatus tinggi dan bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa yang berstatus rendah, dan pada kesempatan yang lain dapat berfungsi sebaliknya, yaitu bahasa Indonesia berstatus tinggi dan bahasa Jawa berstatus rendah. Percakapan berikut ini merupakan contoh alih bahasa dari bahasa Jawa ke dalam bahasa indonesia.
(66)
P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 :
Sugeng enjang Mbak Dian Sugeng enjang Pak Karmanto Mbok Wedok disenggol Mbak Dian Inggih. Senggolane marem tenan Berarti ini senggolannya itu nggak nyampe langsung, harus ada perantara P2 : Panggenanipun celak kok, inggih bade nderek kirim-kirim menika. P1 : Mangga! (RRI, 9-3-2007)
[ P2 : ‘Selamat pagi Mbak Dian.’ P1 : ‘Selamat pagi Pak Karmanto.’ P2 : ‘Nyonya disenggol Mbak Dian ‘ P1 : ‘ Iya. ‘ P2 : ‘Senggolannya memuaskan sekali.’ P1 : Berarti ini senggolannya itu nggak nyampe langsung, harus ada perantara. P2 : ‘Tempatnya dekat kok, iya mau ikut kirim-kirim ini.’ P1 : ‘Silahkan.’]
Dari penggalan tuturan (66) dapat dilihat bahwa terjadi alih kode dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penyiar yang disapa Mbak Dian oleh monitor. Dari sejak awal percakapan menggunakan bahasa Jawa dengan tingkat tutur yang bervariasi. Kemudian penyiar beralih kode ke dalam bahasa Indonesia, yaitu Berarti ini senggolannya itu nggak nyampe langsung, harus ada perantara. Alih kode ke dalam bahasa Indonesia itu dilakukan dengan alasan tertentu. Dengan demikian alih
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
88 kode dalam penggalan percakapan tersebut dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. (67) P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 :
Niku sing satunggal mbahe Tara, sing satunggal, mbahe Diyah Lha, niku gayeng temen bade masak napa ta Pak? Masak soto ayam Mbak. Wah jan enak tenan, Ya, itulah kesibukan ibu-ibu pada saat-saat seperti ini. La.. inggih, king ngriki nganti ramene mboten jamak. (Suara Slenk, 12-3-2007)
[P2 : ‘Itu yang satu neneknya Tara, yang satu neneknya Diyah.’ P1 : ‘Lha itu asyik sekali mau masak apa to Pak?’ P2 : Masak soto ayam Mbak. P1 : ‘Aduh enak sekali. P2 : Ya, itulah kesibukan ibu-ibu pada saat-saat seperti ini. P1 : la ..iya, dari sisni kedengarannya ramai sekali.] ‘ Dari penggalan (67) dapat dilihat bahwa monitor beralih kode dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Peralihan itu dilakukan oleh monitor setelah sebelumnya menggunakan bahasa Jawa dalam berbicara dengan penyiar, yaitu Niku sing setunggal mbahe Tara, sing setunggal mbahe Diya, yang artinya ‘Itu yang satu neneknya Tara, yang satu neneknya Diyah.’kemudian beralih ke bahasa indonesia, yaitu Ya, itulah kesibukan ibu-ibu pada saat-saat seperti ini. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa ada alih kode dalam percakapan tersebut di atas dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. (68)
P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1’:
Hallo ngopi pagi Inggih saking sinten nggih? Mbah Satro lali meneh. Anu, Pak Picis, nggih? Nggih, sugeng enjang, Mbah Sastro. Sugeng enjang. Wonten sinten menika. Menika wonten Pak Agus. Sugeng enjang Pak Agus. Inggih mangga Pak.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
89 P2 : Saya hanya mau menanyakan prosedur untuk melihat rekening melalui sms. Kemarin saya dengar katanya bisa. (Kita FM, 15-3-2007)
[ P2 : Hallo ngopi pagi P1 : ‘Iya, dari siapa ya?’ P2 : ‘Mbah Sastro lupa lagi.’ P1 : ‘Anu, Pak Picis, ya?’ P2 : ‘Ya, selamat pagi Mbah Sastro.’ P1 : ‘Selamat pagi’ P2 : ‘Ada siapa ini?’ P1 : ‘Ini ada Pak Agus.’ P2 : ‘Selamat pagi Pak Agus.’ P1’ : ‘Ya, silahkan Pak’ P2 : Saya hanya mau menanyakan prosedur untuk melihat rekening melalui sms. Kemarin saya dengar katanya bisa.]
Dari penggalan (68) dapat dilihat bahwa alih kode dilakukan oleh monitor yang bernama Pak Picis, setelah sebelumnya ia berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa dengan pemandu acara yang bernama Mbah Sastro, yaitu Wonten sinten menika? Yang artinya ‘Ada siapa ini?’ namun ketika ia akan berbicara dengan Pak Agus sebagai petugas resmi dari PLN, ia kemudian beralih kode ke dalam bahasa Indonesia, yaitu Saya hanya mau menanyakan prosedur untuk melihat rekening melalui sms. Kemarin saya dengar katanya bisa. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa alih kode dalam percakapan itu adalah dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia.
4.3.1.2 Alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa Alih kode berupa alih bahasa dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa juga ditemukan dalam percakapan berbahasa Jawa program telepon ini meskipun tidak terlalu sering. Alih kode yang dimaksud dilakukan oleh penyiar atau pembantu penyiar
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
90 atau pun oleh penelepon. Berikut ini disajikan penggalan-penggalan percakapan yang mengandung alih kode itu. (69)
P1: Kalau orang masih bisa merasakan kekurangan, itu berarti masih diberikan kenikmatan. P2 : Mugi-mugi panjenengan nggih kados mekaten. P1 : Inggih, sami, Amin. (Kita FM, 13-3-2007)
[P1: Kalau orang masih bisa merasakan kekurangan, itu berarti masih diberikan kenikmatan. P2 : ‘Semoga Anda juga demikian.’ P1 : ‘Ya, sama ,Amin’] Dari penggalan tuturan (69) dapat dilihat adanya alih kode yang dilakukan oleh penyiar (Mbah Sastro). Sebelumnya ia menggunakan bahasa Indonesia ketika berbicara dengan penelepon, yaitu Kalau orang masih bisa merasakan kekurangan, itu berarti masih diberi kenikmatan, namun kemudian ia beralih menggunakan bahasa Jawa, yaitu Inggih sami, Amin, yang maknanya ‘ya sama amin,’ Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa alih kode dalam penggalan percakapan tersebut dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa. (70)
P2 : P1 : P2 : P1 :
Wah …. Baru saja tugas luar, Mbak. Oh ngaten, tugas lapangan. Kolowau Mbak Sum nggih? Inggih, leres. (Kita FM, 13-3-2007)
[ P2 : Wah …. Baru saja tugas luar, Mbak. P1 : ‘Oh begitu, tugas lapangan.’ P2 : ‘Tadi Mbak Sum Ya?’ P1 : ‘Ya, betul.’]
Penggalan tuturan (70) menunjukkan terjadinya alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa yang dilakukan oleh penelepon atau monitor. Sebelumnya ia menggunakan bahasa Indonesia, yaitu Wah, .. baru saja tugas luar Mbak. Kemudian
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
91 beralih ke dalam bahasa Jawa, yaitu Kolo wau Mbak Sum nggih? Yang artinya ‘Tadi Mbak Sum ya ?’ hal itu menandakan terjadinya alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa.
4.3.2
Alih Kode yang Berwujud Alih Tingkat Tutur
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti ini dapat dikatakan bahwa alih kode yang berupa alih tingkat tutur juga sangat sering terjadi dalam percakapan berbahasa Jawa program telepon ini. Seperti telah kita ketahui bahwa bahasa Jawa memiliki gejala khusus dalam sistem tingkat tutur. Ada tingkat tutur halus yang berfungsi menunjukkan rasa kesopanan atau rasa hormat pada mitra tuturnya yang disebut tingkat tutur krama, ada tingkat tutur menengah yang menunjukkan rasa kesopanan yang sedang atau kurang hormat, yaitu tingkat tutur madya dan ada pula tingkat tutur biasa yang berfungsi menunjukan rasa kesopanan yang rendah atau tidak hormat yang disebut tingkat tutur ngoko. Dari hasil penelitian peneliti ini ditemukan bahwa alih kode yang melibatkan tingkat tutur krama jarang sekali ditemukan.
Hal ini mungkin disebabkan bahwa
tuturan dalam program telepon itu bersifat informal. Tuturan yang bersifat informal biasanya lebih banyak menggunakan tingkat tutur ngoko dan madya. Oleh karena itu alih kode yang berwujud alih tingkat tutur yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah berupa perpindahan dari tingkat tutur ngoko ke tingkat tutur madya dan dari tingkat madya ke tingkat ngoko.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
92
4.3.2.1 Alih Kode dari Tingkat Tutur Ngoko ke Tingkat Tutur Madya Alih kode yang berwujud alih tingkat tutur dari tingkat ngoko ke tingkat madya dapat dilihat dari penggalan-penggalan percakapan berikut ini. (71) P1 : P2 : P1 : P2 :
Radione dicilikke sik. Mpun, pripun pawartosipun Mas Dedi? Kulo sae kemawon, njenengan pripun? Inggih sae Mas sami Mas. (Gema Suara Makmur, 14-3-2007)
[P1 : ‘Radionya dikecilkan dulu.’ P2 ; ‘Sudah, gimana kabarnya Mas Dedi?’ P1 : ‘Saya baik saja, kamu gimana?’ P2 : ‘Iya baik Mas, sama Mas.’]
Dalam penggalan percakapan (71) alih kode dilakukan oleh penyiar dari bahasa Jawa tingkat ngoko, yaitu Radione dicilikke sik, yang maksudnya ‘Radionya dikecilkan dulu,’ (volumenya) beralih ke dalam bahasa Jawa tingkat madya, Kula sae kemawon, njenengan pripun, yang artinya ‘Saya baik saja, Anda bagaimana.’ Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi alih kode dari bahasa Jawa dalam tingkat tutur ngoko ke dalam bahasa Jawa dalam tingkat tutur madya.
(72)
P2 : P1 : P2 : P1 : P1 :
[P2 : P1 : P2 : P1 :
Muga-muga tak pujekke ora udan, ben sida mampir. Jane yo wis siap iki sing arep dilukis. Lagune napa Mbak niki? “Mister Mendem”. Mangke wonten ingkang ngersakake “Pepujanku” lan sampun dipun cawisaken. (Kita FM, 13-3-2007)
‘Saya doakan semoga tidak hujan, biar jadi mampir/singgah.’ ‘Sebenarnya ini sudah siap yang akan dilukis.’ ‘Lagunya apa Mbak ini?’ “Mister Mendem”.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
93 P2 : ‘Te rus nggak ada lainnya?’ P1: ‘Nanti ada yang menghendaki “Pepujanku” dan sudah disiapkan.’]
Dari penggalan percakapan (72) di atas, dapat dilihat bahwa percakapan antara penyiar (P1) dan penelepon (P2), mula-mula keduanya menggunakan bahasa Jawa dalam tingkat ngoko, yaitu Muga-muga tak pujekke ora udan, ben sida mampir, yang artinya ‘Saya doakan semoga tidak hujan, biar jadi mampir/singgah.’ dan yang diucapkan oleh penyiar, Jane yo wis siap iki sing arep dilukis, artinya ‘Sebenarnya ini sudah siap yang akan dilukis.’ Kemudian selanjutnya keduanya menggunakan bahasa Jawa dalam tingkat madya seperti, Lagune napa Mbak niki? ‘Lagunya apa Mbak ini?’ dan Mangke wonten ingkang ngersakake “Pepujanku” lan sampun dipun cawisaken, yang artinya ‘Nanti ada yang menghendaki “Pepujanku” dan sudah disiapkan. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa dalam penggalan percakapan tersebut terjadi alih kode dari bahasa Jawa tingkat ngoko ke dalam bahasa Jawa tingkat madya. (73)
P2 : P1 : P2 : P1 : P2 :
Mbah Satro lali meneh. Anu, Pak Picis, nggih? Nggih, sugeng enjang, Mbah Sastro. Sugeng enjang. Wonten sinten menika? (Kita FM, 15-3-2007)
[ P2 : ‘Mbah Sastro lupa lagi’ P1 : ‘Anu, Pak Picis, ya?’ P2 : ‘Ya, selamat pagi, Mbah Sastro.’ P1 : ‘Selamat pagi.’ P2 : ‘Ada siapa ini?’]
Penggalan percakapan (73) dapat dilihat bahwa alih kode dilakukan oleh penelepon yang disebut Pak Picis dari bahasa Jawa dalam tingkat tutur ngoko, yaitu
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
94 Mbah Sastro lali meneh, yang artinya ‘Mbah Sastro lupa lagi.’ Ke dalam bahasa Jawa tingkat tutur madya, yaitu Nggih, sugeng enjang Mbah Sastro.’ Ya, selamat pagi Mbah Sastro.’ Dilanjutkan dengan Wonten sinten menika? Yang artinya, ‘Ada siapa ini?’ Hal tersebut dapat dikatakan bahwa alih kode yang terjadi adalah dari bahasa Jawa dalam tingkat ngoko ke dalam bahasa Jawa tingkat madya.
4.3.2.2 Alih kode dari Tingkat Tutur Madya ke Tingkat Tutur Ngoko Dari hasil penelitian ini ternyata alih kode yang berwujud alih tingkat tutur madya ke dalam tingkat tutur ngoko, lebih banyak ditemukan dari pada alih kode dari tingkat tutur ngoko ke tingkat tutur madya. Hal ini mungkin disebabkan bahwa kecenderungan arah alih kode pada umumnya dari kode yang berstatus tinggi ke dalam kode yang berstatus lebih rendah. Berikut ini disajikan penggalan-penggalan percakapan yang akan memperjelas pernyataan tersebut. (74)
P1’: Ampun solosi, mangke rak karanganyarsi, sragensi barang, solusi P1 : Emoh, tetep kudu solosi, soale neng kota solo, inggih ta Pak? P2 : Lha …. Inggih. P1 : Lha iyo, piye Pak? P2 : Apa kadigdayan sing sajake menarik Ki Semar, Kiyai Bodronoyo, Bogasampir P1 : Boga menika sega, lha inggih upa sampir menika napa ha.. ha.. ha.. (tertawa). P2 : Lha stagen napa anduk P1’: Ngomong karo Pak Gambir ki ya ngene iki, sak kata menggoken isa loro telu, mula kene kudu isa nangkep. (Kita FM, 15-3-2007) [P1’ : ‘Jangan solosi, nanti kan karanganyarsi, sragensi segala, solusi’ P1 : ‘Enggak mau, tetap harus solosi, karena di kota Solo, ya kan Pak?’ P2 : ‘Lha ..iya.’ P1 : ‘Lha iya, gimana Pak?’ P2 :‘Apa kesaktian yang mungkin menarik dari Ki Semar, Kyai Bodronoyo, Bogasampir.’ P1 : ‘Boga itu nasi, lha iya nasi, sampir itu apa ha..ha..ha.’ (tertawa) P2 : ‘Lha stagen apa handuk’.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
95 P1’: ‘Berbicara dengan Pak Gambir itu ya begini ini, satu kata menyimpangnya bisa dua tiga, maka kita harus bisa menangkap.’]
Dari penggalan percakapan (74) dapat terlihat bahwa alih kode dilakukan oleh pembantu penyiar (P1’) dari bahasa Jawa dalam tingkat tutur madya, yaitu Ampun solosi mangke rak onten karanganyarsi, sragensi barang, solusi; yang maknanya ‘Jangan solosi nanti kan ada karanganyarsi, sragensi segala, solusi;’ beralih ke bahasa Jawa dalam tingkat tutur ngoko, yaitu Ngomong karo Pak Gambir ki ya ngene iki, sak kata menggoke isa loro telu, mula kene kudu isa nangkep; yang maksudnya ‘Berbicara dengan Pak Gambir itu ya begini ini, satu kata menyimpangnya bisa dua tiga, maka kita harus bisa menangkap.’ (maksudnya). Hal tersebut menunjukkan bahwa ada alih kode yang terjadi dari bahasa Jawa tingkat tutur madya ke dalam bahasa Jawa tingkat tutur ngoko. (75)
P1 : P2 : P1 : P2 :
Lha, niku gayeng temen bade masak napa ta Pak? Masak soto ayam Mbak. Wah jan enak tenan, Ya, itulah kesibukan ibu-ibu pada saat-saat seperti ini. (Suara Slenk, 12-3-2007)
[ P1 : ‘Lha itu ramai sekali mau memasak apa ta Pak?’ P2 : ‘Memasak soto ayam Mbak.’ P1 : ‘Aduhhh, enak sekali.’ P2 : Ya, itulah kesibukan ibu-ibu pada saat-saat seperti ini.]
Dari penggalan percakapan (75) di atas memperlihatkan adanya alih kode yang dilakukan oleh penyiar, dari bahasa Jawa tingkat tutur madya, yaitu Lha niku gayeng temen bade masak napa ta Pak?; yang maksudnya ‘Lha itu ramai sekali mau memasak
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
96 apa to Pak?’ beralih ke bahasa Jawa tingkat tutur ngoko, yaitu Wah jan enak tenan, yang artinya ‘Aduhhh, enak sekali.’ Hal itu menandakan bahwa terjadi alih kode dari bahasa Jawa tingkat madya ke dalam bahasa Jawa tingkat ngoko. (76)
P1 : P2 : P1 : P2 : P1 :
Sumangga Pak Haji Tukimin. Niku wau Bunda Iin, daleme kok gayeng tenan. Guayeng …..inggih, wonten Mas Rifai, Mas Kamandaka, kok. Mas Rifai adipati anom nggih …? Inggih ning anu lho Mas Rifai, ora Lutung Kasarung, ha..ha..ha.. (tertawa) P2 : Niki Bu Susi menyang Yogya golek pelem. P1 : Nggih terus. P2 : Yen sing siaran mas Baratwojo, nyang ati ayem. (Suara Slenk, 12-3-2007)
[ P1 : ‘Silahkan Pak Haji Tukimin.’ P2 : ‘Itu tadi Bunda Iin, rumahnya kok ramai sekali.’ P1 : ‘Ramaaai… iya, ada Mas Rifai, Mas Kamandaka kok’. P2 : ‘Mas Rifai Adipati anom ya…?’ P1 :‘Iya tetapi anu lho Mas Rifai bukan Lutung Kasarung, ha..ha..ha.’. P2 : ‘Ini Bu Susi ke Jogya mencari mangga.’ P1 : ‘Ya selanjutnya.’ P2 : ‘ Kalau yang siaran Mas Baratwojo, hati jadi tenteram.’]
Dalam penggalan percakapan (76) dapat kita lihat bahwa alih kode dilakukan oleh penelepon yang bernama Pak Haji Tukimin, dari bahasa Jawa dalam tingkat tutur madya, yaitu Niku wau Bunda Iin, daleme kok gayeng tenan; yang artinya, ‘Itu tadi Bunda Iin, rumahnya kok ramai sekali.’ beralih ke bahasa Jawa dalam tingkat ngoko dengan menggunakan semacam bentuk pantun yang dalam bahasa jawa disebut “parikan”, yaitu Bu Susi menyang Yogya golek pelem, yen sing siaran Mas Baratwaja, nyang ati ayem; yang artinya ‘Bu Susi pergi ke Yogya mencari mangga, kalau yang siaran Mas Baratwojo, hati menjadi teteram.’ Hal demikian dapat dikatakan bahwa
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
97 terjadi alih kode dari bahasa Jawa dalam tingkat madya, ke dalam bahasa Jawa dalam tingkat ngoko. (77)
P1 : P2 : P1 : P2 : P1 :
Wilujeng siang Campursari Kita FM. Hallo? Wilujeng siang Campursari Kita FM. Saking pundi menika? Saking pundi-pundi. Saking peken ? La inggih panjenengan niku tindak ngendi wae ta? (Kita FM, 13-3-2007)
[ P1 : ‘Selamat siang Campursari Kita FM. Hallo?’ P2 : ‘Wilujeng siang Campursari Kita FM.’ P1 : ‘Dari mana ini ?’ P2 : ‘Dari mana-mana.’ P1 : ‘Dari pasar? La iya Bapak itu pergi ke mana saja sih?’]
Alih kode dalam penggalan percakapan (77) di atas dimulai oleh penyiar setelah ia mengenal baik suara penelepon. Semula percakapan dimulai dengan bahasa Jawa dalam tingkat tutur madya, yaitu Saking pundi menika? Yang artinya ‘Dari mana ini?’ Kemudian percakapan dilanjutkan dengan peralihan ke dalam bahasa Jawa tingkat tutur ngoko, yaitu La inggih panjenengan niku tindak ngendi wae ta? yang maksudnya ‘La iya, Bapak itu pergi ke mana saja sih?’ Dalam penggalan percakapan ini memang terjadi peralihan kode dari bahasa Jawa dalam tingkat madya, ke tingkat ngoko, tetapi tidak sepenuhnya, masih diwarnai dengan campur kode dalam tingkat tutur madya. Hal ini dikarenakan ada perbedaan usia yang agak jauh antara penyiar dan penelepon. Penyiar yang disapa Mbak oleh mitra tuturnya menandakan bahwa usianya masih muda, sedangkan penelepon yang disapa Pak menandakan bahwa usianya sudah cukup tua. Dalam hal ini penyiar tetap masih menaruh rasa hormat pada penelepon karena mitra tuturnya ini jauh lebih tua sehingga tidak sepenuhnya beralih ke bahasa Jawa tingkat tutur ngoko.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
98
4.3.3
Sebab-Sebab Terjadinya Alih Kode
Pada bagian sebelum ini sudah disebutkan bahwa wujud alih kode yang ada dalam tutur berbahasa Jawa program telepon ini adalah alih kode yang berwujud alih bahasa dan alih tingkat tutur. Ditinjau dari sementara atau tidak sementaranya kedua wujud alih kode tersebut dapat dikatakan bahwa alih kode yang ada dalam tuturan ini pada umumnya bersifat sementara saja. Hal itu disebabkan antara partisipan dalam tutur berbahasa Jawa program telepon tersebut masing-masing sebenarnya sudah memiliki kode tertentu ketika akan berkomunikasi dengan mitra tuturnya. Dengan demikian kalau dalam peristiwa kontak bahasa di antara dua pihak terdapat alih kode, maka alih kodenya pun bersifat sementara saja, atau tidak permanen. Oleh karena itu ketika partisipan bertutur dalam program telepon tersebut melakukan peralihan
dari kode
yang satu ke dalam kode yang lain, tentu memiliki maksud tertentu. Dengan perkataan lain, penutur dalam beralih kode baik penyiar maupun penelepon tentu memiliki sebab. Sebab-sebab peralihan kode dalam tutur berbahasa Jawa program telepon pada radio ini akan diuraikan pada bagian di bawah ini.
4.3.3.1 Peristiwa Tutur Berlangsung dalam Situasi Informal Bagi masyarakat Jawa, bertutur dalam situasi yang formal, jarang sekali melakukan alih kode. Sebaliknya dalam situasi bertutur yang santai, maka frekuensi alih kode akan semakin tinggi.
Ketika seorang penutur sedang menyampaikan wejangan ‘pesan’
kepada sepasang pengantin dalam resepsi pernikahan yang bersifat formal di hadapan
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
99 tamu undangan, maka ia akan menggunakan bahasa Jawa dan penutur jarang sekali melakukan alih kode. Sebaliknya bila tuturan berlangsung dalam suasana santai, maka penutur akan sering melakukan alih kode. Peristiwa alih kode yang terjadi dalam tuturan program telepon berikut ini menunjukkan bahwa situasi pertuturan bersifat informal. Oleh karena itu muncul peralihan kode yang dilakukan oleh penelpon maupun penyiar dalam tuturan berikut ini. (78)
P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 :
Sugeng enjang Mbak Dian Sugeng enjang Pak Karmanto Mbok Wedok disenggol Mbak Dian Inggih. Senggolane marem tenan Berarti ini senggolannya itu nggak nyampe langsung, harus ada perantara P2 : Panggenanipun celak kok, inggih bade nderek kirim-kirim menika. P1 : Mangga! ……………………………………………………………… P1 : Sami-sami Bapak, salam buat Ibu di rumah, ya Pak! (RRI, 9-3-2007)
[P2 : Selamat pagi Mbak Dian. P1 : Selamat pagi Pak Karmanto. P2 : Nyonya disenggol Mbak Dian. P1 : Iya. P2 : Senggolannya memuaskan sekali. P1 :Berarti senggolannya itu nggak nyampe langsung, harus ada perantara. P2 : Tempatnya dekat kok, iya mau ikut kirim-kirim ini. P1 : Silahkan! ………………………………………………………………… P2 : Sama-sama Bapak, salam buat Ibu di rumah, ya Pak.] Dalam penggalan (78) tersebut, semula penelpon menggunakan bahasa Jawa madya, Sugeng enjang Mbak Dian, ‘Selamat pagi Mbak Dian,’ Kemudian beralih ke bahasa Jawa ngoko, yaitu Mbok wedok disenggol Mbak Dian, senggolane marem tenan,
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
100 ‘Nyonya disenggol Mbak Dian, senggolannya memuaskan sekali.’ Selanjutnya penelpon beralih lagi ke bahasa Jawa madya, yaitu Panggenanipun celak kok, inggih bade nderek kirim-kirim meniko, ‘Tempatnya dekat kok, iya mau kirim-kirim nih.’ Demikian pula penyiar, ia juga melakukan peralihan kode dari bahasa Jawa madya, seperti Inggih, ‘Iya’ ke dalam bahasa Indonesia yang informal, Berarti senggoalannya itu nggak nyampe langsung, harus ada perantara. Kemudian dalam salam penutupnya ia mencampurkan bahasa Jawa madya dengan bahasa Indonesia, Sami-sami Bapak, salam buat Ibu di rumah ya Pak. ‘Sama-sama Bapak, salam buat Ibu di rumah ya Pak.’ Peralihan tersebut dilakukan oleh kedua belah pihak karena peristiwa tutur tersebut berlangsung dalam situasi informal.
4.3.3.2 Penutur Berbicara secara tidak Langsung Orang Jawa sering kali menyatakan pendapatnya secara tidak langsung kepada mitra tuturnya. Seolah-olah apa yang dikatakannya tertuju pada dirinya sendiri atau paling tidak seolah-olah tidak ditujukan kepada mitra tuturnya. Tuturan semacam itu dalam bahasa Jawa disebut ngudoroso (berbicara pada diri sendiri). Karena ditujukan pada dirinya sendiri maka bahasa Jawa yang digunakan selalu ngoko.
(79)
P1’: Ampun solosi, mangke rak onten Karanganyarsi, Sragensi barang, solusi P1 : ……………………………………………………………………… P2 ……………………………………………………………………….. P1’ : Ngomong karo Pak Gambir ki yo ngene iki, sak kata menggoken iso loro telu mulo kene kudu iso nangkep. (Kita FM, 12-3-2007)
[P1’ : Jangan solosi, nanti kan ada Karanganyarsi, Sragensi segal, solusi. ……………………………………………………………………..
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
101 …………………………………………………………………….. P1’ : Berbicara dengan Pak Gambir itu ya begini ini, satu kata beloknya bisa dua,tiga, maka kita harus bisa memahami.] Penggalan (79) tersebut, menunjukkan bahwa penyiar kedua (P1’) yang semula menggunakan bahasa Jawa dalam tingkat madya, yaitu Ampun solosi mangke rak onten Karanganyarsi, Sragensi barang, solusi. ‘Jangan solosi nanti kan ada Karanganyarsi, Sragensi segala, solusi.’ Kemudian ia beralih kode menggunakan bahasa Jawa ngoko yaitu Ngomong karo Pak Gambir ki ya ngene iki, sak kata menggoke iso loro telu, mula kene kudu iso nangkep. ‘Berbicara dengan Pak Gambir itu ya begini ini, satu kata beloknya bisa dua tiga, maka kita harus bisa memahaminya.’ Dalam tuturan yang berbahasa Jawa ngoko tersebut, penutur tidak berbicara secara langsung kepada mitra tuturnya, tetapi seolah-seolah sedang berbicara kepada diri sendiri atau ngudarasa, tetapi sekaligus juga menghormati mitra tuturnya. Dengan berbicara secara tidak langsung penutur dapat berbicara dengan bahasa Jawa ngoko tanpa mengurangi rasa hormatnya terhadap mitra tuturnya.
4.3.3.3 Pengaruh Kalimat-Kalimat yang Mendahului Penuturan Sering kali orang melakukan peralihan kode karena pengaruh kalimat-kalimat yang mendahuluinya. Di sini penutur yang lebih dulu memiliki kesempatan, biasanya lebih menentukan tuturan yang akan digunakan selanjutnya. Hal ini terjadi karena penutur kedua hanya merespon atau menyesuaikan dengan tuturan yang digunakan oleh penutur pertama. Berikut ini disajikan contoh yang akan memperjelas pernyataan tersebut. (80)
P1 : P2 :
Wah … koyo Janaka Dagen, Pak Haji …. Eh … eh … (tertawa) Sok, sok, koyo Janaka, sok, sok, koyo Dursosono, soksok koyo Ratu Ngatasangin, sok-sok koyo putrane.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
102 P1 : P2 :
Sumonggo Pak Haji Tukimin. Niku wau Bunda Iin? Daleme kok guayeng tenan. (Suara Slenk, 18-4-2007)
[P1 : Wah … seperti Janaka Dagen Pak Haji ..eh…eh…. P2 : Terkadang seperti Janaka, terkadang seperti Dursasana, terkadang seperti Raja Ngatasangi, terkadang seperti putranya. P1 : Silahkan Pak Haji Tukimin! P2 : Itu tadi Bunda Iin? Rumahnya kok ramai sekali.]
Dalam penggalan (80) Tersebut, penyiar yang memperoleh kesempatan untuk berbicara lebih dulu. Ia bertutur dengan menggunakan bahasa Jawa dalam tingkat tutur ngoko, yaitu Wah ,… kaya Janaka Ndagen, Pak Haji … eh…. eh….(tertawa) ‘Aduh, … seperti Janaka Ndagen Pak Haji … eh…. eh…. Selanjutnya penelpon sebagai penutur kedua merespon kode yang digunakan penutur pertama (penyiar) dengan menggunakan bahasa yang sama yaitu bahasa Jawa ngoko, yaitu Sok-sok kaya Janaka, sok-sok kaya Dursasana, sok-sok kaya Ratu Ngatasangin, sok-sok kaya putrane. ’Terkadang seperti Janaka, terkadang seperti Dursasana, terkadang seperti Raja Ngatasangin, terkadang seperti putranya.’ Selanjutnya penyiar melanjutkan tuturannya dengan beralih kode dalam bahasa Jawa madya yaitu Sumangga Pak Haji Tukimin, ’Silahkan Pak Haji Tukimin.’ Kemudian penelpon melakukan hal yang sama yaitu mengikuti kemauan penyiar dengan beralih kode kebahasa Jawa yang sama yaitu tingkat madya, yaitu Niku wau Bunda Iin ? Daleme kok gayeng tenan. ‘Itu tadi Bunda Iin ? Rumahnya kok ramai sekali. Peralihan kode dari bahasa Jawa ngoko ketingkat tutur madya tersebut dilakukan oleh penelpon karena pengaruh bahasa yang digunakan oleh penyiar sebagai penutur pertama sehingga ia hanya merespon atau menyesuaikan dengan bahasa yang digunakan oleh penyiar sebelumnya.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
103
4.3.3.4 Pengaruh Kehadiran Orang Ketiga Dalam suatu pembicaraan antara penutur dengan mitra tuturnya dalam bahasa tertentu, maka pembicaraan itu bisa saja mengalami peristiwa peralihan kode dari satu bahasa ke bahasa yang lain karena pengaruh kehadiran orang ketiga dengan alasan tertentu, misalnya untuk menghargai kehadiran orang ketiga tersebut maka dua orang yang sedang bertutur akan mengalihkan kode mereka ke kode yang dikuasai oleh orang ketiga, atau karena topiknya menyangkut tentang ilmu pengetahuan, masalah politik, atau pemerintahan, atau pun berubahnya situasi yang semula informal, dengan munculnya orang ketiga situasinya menjadi formal. Dari peristiwa semacam itu dapat dilihat pada penggalan berikut ini. (81)
P2 : Wonten sinten meniko? P1 : Meniko wonten Pak Agus. P2 : Sugeng enjang Pak Agus. P1’ : Inggih monggo Pak. P2 : Saya hanya mau menanyakan prosedur untuk melihat rekening melalui sms. Kemarin saya dengar katanya bisa. (Kita FM, 15-3-2007)
[P2 : Ada siapa ini ? P1 : Ini ada Pak Agus. P2 : Selamat pagi Pak Agus. P1’: Iya, silahkan Pak! P2 : Saya hanya mau menanyakan prosedur untuk melihat rekening melalui sms. Kemaren saya dengar katanya bisa.]
Dalam penggalan (81) tersebut, semula terjadi percakapan antara penyiar dengan penelpon yang menggunakan bahasa Jawa madya yaitu penelpon menanyakan Wonten sinten menika ? ‘Ada siapa ini ?’ Selanjutnya penyiar menjawab dalam bahasa Jawa yang sama yaitu Menika wonten Pak Agus. ‘Ini ada Pak Agus.’ Kehadiran orang ketiga
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
104 yang disebut Pak Agus tersebut telah mempengaruhi tuturan bahasa Jawa yang dikenakan oleh si penelpon yang semula menggunakan bahasa Jawa madya, kemudian beralih kode ke bahasa Indonesia dalam tuturan, Saya hanya mau menanyakan prosedur untuk melihat rekening melalui sms. Kemarin saya dengar katanya bisa. Hal tersebut dilakukan oleh penelpon karena ia sedang berbicara dengan seorang pejabat pemerintahan yang menangani masalah PLN. Sehingga merubah situasi yang semula santai dengan bahasa Jawa, lalu beralih kode ke situasi formal dengan menggunakan bahasa Indonesia karena ia sedang berbicara dengan petugas pemerintahan.
4.3.3.5
Penutur ingin Mengucapkan Pantun dalam Tuturannya
Kebiasaan orang Jawa bila ingin mengucapkan
pepatah, peribahasa, atau pantun,
cenderung menggunakan bahasa Jawa ngoko, misalnya Kebo nusu gudel.’Kerbau menyusu pada anaknya; Witing tresna jalaran saka kulina, ‘Datangnya cinta karena terbisa;
Aja njagakke endoge si blorok; ‘ Jangan mengharapkan telur si blorok.’
Demikian pula jika ingin mengucapkan pantun, seperti Teklek kecemplung kalen, tuwek-tuwek petakilan; ‘Alas kaki masuk ke kali, sudah tua banyak tingkahnya;’ Pepatah, peribahasa, atau pun pantun semacam itu tidak pernah diucapkan dalam bahasa Jawa krama atau madya. Dalam penggalan ( 82) berikut ini penelpon ingin berbasa-basi kepada penyiar dengan menggunakan parikan atau sejenis pantun dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, mula-mula ia menggunakan bahasa Jawa madya, yaitu
Mas Rifai Adipati
Anom, nggih? ‘Mas Rifai Adipati Anom ya ? Kemudian ia beralih kode ke dalam bahasa Jawa ngoko, karena ia ingin mengucapakn parikan kepada mitra tuturnya, yaitu
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
105 Bu Susi menyang Yogya golek pelem. Yen sing siaran Mas Baratwojo, nyang ati ayem. ‘Bu Susi pergi ke Yogya mencari mangga. Kalau yang siaran Mas Baratwojo, hati menjadi tenteram.’ Peralihan kode dari bahasa Jawa madya ke bahasa Jawa ngoko tersebut dilakukan oleh penelpon karena ia ingin mengucapkan pantun kepada mitra tuturnya yaitu yang disebut Mas Baratwojo. (82)
4.4
P2 : P1 : P2 : P1 : P2 :
Mas Rifai adipati anom nggih …? ………………………………………………….. Niki Bu Susi menyang Yogya golek pelem. Nggih terus. Yen sing siaran mas Baratwojo, nyang ati ayem. (Suara Slenk, 18-4-2007)
[P2 : P1 : P2 : P1 : P2 :
Mas Rifai Adipati Anom ya … ? …………………………………………………….. Ini Bu Susi pergi ke Yogya mencari mangga. Ya,… terus. Kalau yang siaran Mas Baratwojo, hati jadi tenteram.]
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Variasi
Tuturan dalam
Program
Telepon Bentuk tuturan yang dipilih dan dipergunakan dalam percakapan program telepon merupakan hasil pertimbangan peserta tutur dalam berkomunikasi. Berdasarkan hasil analisis peneliti ini, pemilihan dan penggunaan bentuk tuturan tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu.
Dalam bagian ini akan dibahas faktor-faktor yang
mempengaruhi terpilihnya bentuk tuturan
dalam percakapan program telepon ini.
Faktor-faktor tersebut antara lain adalah,
partisipan, situasi, tujuan, kesempatan
berbicara, sarana tutur, nada suasana berbicara, dan norma berbicara.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
106
4.4.1 Partisipan Partisipan dalam program telepon di radio terdiri atas penyiar sebagai (P1) yang kadang-kadang ditemani oleh penyiar kedua atau pembantu penyiar yang ditandai dengan (P1’) dan penelepon sebagai (P2). Penelepon sebagai (P2) terkadang berperan sebagai pendengar atau sebagai (P3). Hubungan antara penyiar dan penelepon, dan penelepon dengan pendengar merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pemilihan bentuk tuturan yang akan dipergunakan.
4.4.1.1
Hubungan antara Penyiar dan Penelepon
Hubungan antara penyiar dan penelepon akan menentukan bentuk tuturan yang akan digunakan oleh peserta tutur. Dalam percakapan berbahasa Jawa program telepon, hubungan yang akrab antara penyiar dan penelepon
biasanya ditandai dengan
penggunaan bahasa Jawa dalam tingkat tutur ngoko, atau kadang-kadang diwarnai dengan campur kode bahasa Jawa dalam tingkat tutur madya atau sebaliknya. Apabila hubungan antara penyiar dan penelepon kurang akrab atau mempunyai perbedaan usia yang cukup tinggi, maka cenderung menggunakan bahasa Jawa dengan tingkat tutur madya yang bercampur dengan tingkat tutur krama (halus) dalam tuturan mereka. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada pembahasan berikut ini. (83) P1 : Oh inggih sinten meniko ingkang saking … ha ha ha engke nek ora disebut ndak nesu, oke ? P2 : Ho ho, nyanyi sing apik terus aja kaya gek ingi nyanyi nganyelke P1 : Aku angger sing rawuh okeh ora nyanyi P2 : Nyanyi noo ! P1 : Mesakke sing da rawuh mengko kentekan wektu. P2 : Nyanyi no.. dek ingi aku dinyanyeke tapi kok tidak berkenan di hati. (Kita FM, 18-4-2007)
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
107
[P1 : ‘Oh iya siapa ini yang dari…..ha..ha..ha..nanti kalau nggak disebut marah, oke?’ P2 : ‘Ho ho, menyanyi yang bagus, jangan seperti kemaren menyanyi membosankan.’ P1 : ‘Saya kalau yang datang banyak nggak menyanyi.’ P2 : ‘Menyanyi dong !’ P1 : ‘Kasihan yang sudah datang nanti kehabisan waktu.’ P2 : ‘Nyanyi dong…! Kemaren aku dinyanyikan tetapi kurang berkenan di hati.’]
Dalam percakapan (83) dapat dilihat bahwa dari bentuk tuturan yang digunakan mengisyaratkan bahwa hubungan antara penyiar dan penelepon sudah sangat akrab. Dalam percakapan mereka menggunakan bahasa Jawa dengan tingkat tutur ngoko. Bahasa Jawa tingkat ngoko, biasanya digunakan untuk berkomunikasi oleh orangorang yang sudah memiliki hubungan yang akrab. Kedua peserta tutur itu saling menyadari bahwa di antara mereka sudah terbiasa menggunakan bahasa Jawa dengan tingkat ngoko ini. Percakapan di antara mereka juga diwarnai dengan campur kode dalam bahasa Indonesia. (84)
P2 : Asalamualaikum, Mas Widoyo. P1 : Inggih, Walaikumsalam. Eyang Kastoyo menika? P2 : Inggih leres Mas, bade sowang-sowang Mas. Katur Mas Widoyo rumiyin ingkang nembe nindakaken tugas. P1 : Inggih, matur nuwun Eyang Kastoyo. P2 : Kaliyan sinten Mas ? P1 : Kaliyan Mas Tatag. P2 : Inggih, sugeng tugas, mugi tansah sehat, tak kurang suatu apa pun, dalam lindungan Allah. Katur Pak Sareh ingkang nembe miyos kolowau. Matur sembah nuwun dalem pun timbali, katur ingkang wonten Wonogiri, Bapak Joko Sarono, lajeng eyang Joyo Sumarto, Ibu Sriwinengku, Eyang Parikesit. Ingkang gerah kolowau sinten Mas? (RRI, 24-4-2007 C)
[P2 : Asalamualaikum, Mas Widoyo. P1 : ‘Iya, Walaikumsalam. Eyang Kastoyo ini?’
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
108 P2 : ‘ya benar Mas, mau kirim-kirim Mas. Untuk Mas Widoyo dulu yang sedang melaksanakan tugas.’ P1 : ‘Iya, terima kasih Eyang Kastoyo.’ P2 : ‘Dengan siapa Mas?’ (tugasnya) P1 : ‘Dengan Mas Tatag.’ P2 : Inggih, sugeng tugas, mugi tansah sehat, tak kurang suatu apa pun, dalam lindungan Allah. Katur Pak Sareh ingkang nembe miyos kolowau. Matur sembah nuwun dalem pun timbali, katur ingkang wonten Wonogiri, Bapak Joko Sarono, lajeng eyang Joyo Sumarto, Ibu Sriwinengku, Eyang Parikesit. Ingkang gerah kolowau sinten Mas? ]
Tuturan (84) menunjukkan bahwa hubungan antara penyiar dan penelepon sudah saling mengenal dengan baik. Hal tersebut terbukti dari suara yang didengar melalui telepon, penyiar langsung mengenal orangnya bahwa yang menelepon adalah Eyang Kastoyo, meskipun penelepon tidak menyebutkan namanya, Eyang Kastoyo menika ? ‘Ini Eyang Kastoyo?’ Tetapi penyiar sangat konsisten menggunakan bahasa Jawa tingkat krama (halus), karena penyiar ingin menghormati penelepon
yang
usianya jauh lebih tua. Perbedaan usia itu tampak dari penggunaan kata sapaan Mas dan Eyang yang sifatnya meninggikan derajad mitra tuturnya dalam bertutur. Kata sapaan Mas, biasanya digunakan untuk menyapa seorang laki-laki muda yang dihormati, sedangkan Eyang merupakan sapaan yang meninggikan derajad bagi seseorang yang berusia lanjut. Penelepon sesekali beralih kode dengan bahasa Indonesia, seperti Tak kurang suatu apa pun, dalam lindungan Allah. (85)
P2 : P1 : P1 : P2 : P1 :
Inggih, menika saking monitor enggal pandemen Suara Slenk. Inggih, wonten pundi? Wonogiri? Wonokarto, Pracimantara, Jatipura? Ngadiraja! Ngadiraja? Sanes Mbah Lokro, nggih?
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
109 P2 : P1 : P2 : P1 : P2:
Sanes, saking Mbah Wono. Mbah Wono, oo…. inggih … Menika bade nyuwun gending, menapa saged nggih Mbak? Menapa ta nggih? Menawi pun parengaken bade nyuwun, menika loo …”Pangkur Macan Ucul” P1 : Pelok barang? P2 : Nggih. ( Suara Slenk, 13-3-2007)
[ P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 :
‘Iya, ini dari monitor baru penggemar Suara Slenk.’ ‘Iya, dari mana?’ ‘Dari Wonogiri.’ Wonogiri? Wonokarto, Pracimantara, Jatipura? Ngadiraja! ‘Ngadiraja? Bukan Mbah Lokro, ya ?’ ‘Bukan dari Mbah wono.’ ‘Mbah Wono, oo ya.’ ‘Ini mau minta tembang, bisa enggak Mbak?’ ‘Tembang apa ya?’ ‘Kalau boleh mau minta itu lo, ..”Pangkur Macan Ucul” Pelok barang? ‘Ya.’ ]
Percakapan (85) menunjukkan bahwa hubungan antara penyiar dan penelepon kurang akrab, karena dari bentuk bahasa yang digunakan
tampak keduanya
menggunakan bahasa Jawa tingkat madya yang halus secara konsisten tanpa diwarnai oleh campur kode maupun alih kode. Hal ini dikarenakan penelepon sebagai monitor yang baru sehingga tampak belum akrab. Selain itu perbedaan usia antara penyiar dan monitor yang cukup tinggi menjadi faktor penentu bahwa penyiar harus menggunakan bahasa Jawa dalam tingkat tutur madya secara konsisten sebagai bentuk penghormatan pada mitra tutur yang jauh lebih tua.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
110
4.4.1.2 Hubungan anatara Penelepon dan Pendengar Pendengar dalam acara program telepon di radio sering berperan ganda dalam komunikasi. Pendengar dapat berperan menjadi orang ketiga (P3) yaitu pihak yang dibicarakan oleh penyiar (P1) dan penelepon (P2). Pendengar, dapat pula menjadi orang kedua ketika ia sedang mengirim ucapan kepada pendengar. Dalam mengirim ucapan kepada pendengar, penelepon sering menggunakan kata-kata sapaan yang sifatnya meninggikan derajad bagi pendengar seperti misalnya Eyang, Pak/Bapak, Bu/Ibu, Mbak, Mas, Dik dan sebagainya. Kata-kata sapaan yang sifatnya meninggikan derajad seseorang itu muncul sebagai bentuk aplikasi dari tata krama atau unggah-ungguh dalam berbahasa yang sering digunakan oleh masyarakat tutur di wilayah Surakarta dalam berkomunikasi dan berinteraksi dalam kehidupannya sehari-hari. Berikut ini adalah contoh ucapan selamat pada pendengar yang dilakukan oleh penelepon. (86)
4.4.2
P2 : Lajeng kagem Dik Parno, Pak Ragil, lajeng Bapak Ibu Pamujo Kartosura, Bapak Sularno Kartosura, Bapak Ibu Sudarto Colomadu, Bapak Ibu Guru SMP Negeri I Kartosura, Bapak Ratno Watukelir, Bapak Haji Sabarianto Karanganyar, Bapak Santoso saking Mbaki, lajeng Eyang Joyosumarto, Bapak Sri Widodo, Bapak Sukirno, Bapak Widodohadi, Bapak Lasiman Kalijambe, Eyang Kastoyo Tasikmadu, lajeng Bapak Dr Sumaryadi, lajeng sadaya anggota Pamor, mangga midangetaken Klenengan Sukorena. Cekap semanten, matur nuwun, wilujeng dalu.
Situasi
Situasi nonformal dalam percakapan program telepon, merupakan salah satu faktor yang menjadi pertimbangan dalam menentukan bentuk tuturan yang dipergunakan. Situasi nonformal yang terjadi dalam percakapan program telepon ini dijadikan bahan
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
111 pertimbangan dalam memilih kata, menyususn kalimat dan memilih sapaan yang sesuai. Di bawah ini akan dibahas keterkaitan situasi dengan pemilihan bentuk tuturan dalam percakapan program telepon.
(87) P2 : Sugeng enjang Mbak Dian. P1 : Sugeng enjang Pak Karmanto P2 : Mbok Wedok disenggol Mbak Dian. P1 : Inggih. P2 : Senggolane marem tenan. P1: Berarti ini senggolannya itu nggak nyampe langsung, harus ada perantara P2 : Panggenanipun celak kok, inggih bade nderek kirim-kirim menika. P1 : Mangga! (RRI, 9-3-2007)
[P2 : ‘Selamat pagi Mbak Dian.’ P1 : ‘Selamat pagi Pak Karmanto’ P2 : ‘Nyonya disenggol Mbak Dian.’ P1 : ‘Iya.’ P2 : ‘Senggolannya memuaskan sekali.’ P1: Berarti ini senggolannya itu nggak nyampe langsung, harus ada perantara P2 : ‘Tempatnya dekat kok, ya mau ikut kirim-kirim ini.’ P1 : ‘Silahkan.’]
Ciri situasi yang yang menunjukkan suasana santai dalam percakapan
(87)
tersebut tampak jelas dari bahasa yang dipergunakan oleh kedua peserta tutur. Percakapan antara penyiar dan penelepon tersebut menggunakan bahasa Jawa dengan tingkat tutur yang berganti-ganti antara tingkat tutur madya dan ngoko, bahkan sesekali beralih ke bahasa Indonesia. Dalam situasi santai dan akrab seperti itu partisipan dapat memilih atau menggunakan
bentuk tuturan
yang disukai tanpa ada syarat yang
menuntut pembicara harus menggunakan bahasa tertentu. Dalam penggalan percakapan (87) peralihan bahasa atau alih kode dilakukan oleh kedua peserta tutur, baik penyiar
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
112 maupun
penelepon. Penyiar yang mula-mula
menggunakan bahasa Jawa
dalam
tingkat madya, yaitu Sugeng enjang Pak Karmanto; ‘Selamat pagi Pak Karmanto’ tibatiba beralih menggunakan bahasa Indonesia yang nonstandar, yaitu Berarti ini senggolannya itu nggak nyampe langsung, harus ada perantaranya. Demikian pula yang dilakukan oleh penelepon yang semula menggunakan bahasa Jawa dalam tingkat madya,, yaitu Sugeng enjang Mbak Dian. ‘Selamat pagi Mbak Dian.’ Kemudian beralih kode ke bahasa Jawa tingkat ngoko, dalam kalimat Mbok wedok disenggol Mbak Dian. Senggolane marem tenan; yang artinya ‘Nyonya disenggol Mbak Dian. Senggolannya memuaskan sekali’ kemudian selanjutnya beralih lagi menggunakan bahasa Jawa dalam tingkat madya, yaitu
Panggenanipun celak kok, inggih bade nderek kirim-kirim
meniko, yang artinya ‘Tempatnya dekat kok, ya mau ikut kirim ucapan ini.’ Peralihan kode yang terjadi tersebut dimungkinkan karena dalam situasi santai atau nonformal sehingga percakapan pun berlangsung dengan menggunakan bahasa yang nonstandar. (88)
P1 : Wilujeng siang Campursari Kita FM. Hallo? P2 : Wilujeng siang Campursari Kita FM. P1 : Saking pundi menika? P2 : Saking pundi-pundi P1 : Saking peken ?……..(tertawa) Lha inggih panjenengan niku tindak ngendi wae ta? P2 : Wah …. Baru saja tugas luar, Mbak. P1 : Oh ngaten, tugas lapangan. (Kita FM, 13-3-2007)
[ P1 : ‘Selamat siang Campursari KitaFM, Hallo?’ P2 : ‘Selamat siang Campursari KitaFM’. P1 : ‘Dari mana ini ?’ P2 : ‘Dari mana-mana.’ P1 : ‘Dari pasar? (tertawa LhA iya, Bapak itu pergi ke mana saja ta?’ P2 : Wah …. Baru saja tugas luar, Mbak. P1 : ‘Oh begitu, tugas lapangan.’ ]
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
113 Dalam penggalan percakapan (88) terlihat bahwa bentuk tuturan digunakan
yang
adalah ragam santai, hampir sama dengan percakapan (87). Bahasa
percakapan (88) ini menggunakan bahasa Jawa tingkat madya yang diwarnai dengan campur kode dalam bahasa Jawa tingkat ngoko, yaitu Lha inggih panjenengan niku tindak / ngendi wae ta?, yang artinya ‘Lha iya, Bapak itu pergi ke mana saja ta?’Bagian kalimat yang pertama menggunakan bahasa Jawa dalam tingkat madya, (Lha inggih panjenengan niku tindak ….) dan bagian yang kedua menggunakan bahasa Jawa dalam tingkat ngoko, yaitu (ngendi wae ta). Kemudian penelepon yang semula menggunakan bahasa Jawa, Saking pundi-pundi, yang artinya ‘Dari mana-mana’ tiba-tiba beralih kode menggunakan bahasa Indonesia, Wah… baru saja tugas luar Mbak. Begitu pula jawaban penelepon yang berupa kalimat, Saking pundi-pundi. Tersebut menunjukkan jawaban yang bersifat menggoda mitra tuturnya. Hal tersebut memperkuat bukti bahwa situasi pemakaian bahasa adalah situasi santai. Demikian pula penggunaan kata-kata wah, ta, dan lha yang hanya mengungkapkan fungsi fatis, menandakan bahwa katakata tersebut biasa digunakan dalam situasi santai dan akrab, sehingga bahasa yang digunakannya pun tidak baku. Dari ciri-ciri yang berupa bentuk tuturan yang tidak baku tersebut, jelaslah bahwa pemakaian bentuk-bentuk tersebut karena berkaitan dengan situasi yang melatarbelakangi percakapan program telepon. Dalam situasi santai, penyiar maupun penelepon cenderung akan memilih dan menggunakan bentuk tuturan yang tidak baku.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
114 4.4.3
Tujuan
Tujuan merupakan salah salah satu faktor yang turut mempengaruhi terjadinya bentuk tuturan yang muncul dalam percakapan program telepon . Jika dilihat secara cermat, tujuan dalam percakapan program telepon antara
lain, untuk mengirim ucapan,
meminta lagu, dan mencari informasi.
4.4.3.1 Mengirim Ucapan Tujuan yang ingin disampaikan oleh seorang penelepon kepada penyiar dalam percakapan program telepon, biasanya dikemukakan secara eksplisit dengan kalimat permintaan. Pada awal percakapan setelah salam pembuka dan pengenalan identitas, biasanya penelepon segera mengemukakan tujuan utama ia menelepon, yang antara lain mengirim ucapan kepada pendengar. Berikut ini akan disajikan contoh-contoh yang dimaksud. (89)
P1 : Menika mangke bade kaaturaken “Ladrang Semsem”. P2 : Ladrang semsem, nggih nderek kemawon, bade kintun-kintun nggih Dimas nggih…? (Suara Slenk, 16-4-2007) [P1 : ‘Ini nanti akan dipersembahkan “Ladrang Semsem P2 : ‘Ladrang Semsem, ya ikut saja, mau kirim-kirim ya Dimas Ya?’]
(90)
P2 : Nderek kintun nggih Mas nggih? (GSM,14-3-2007) [‘ Mau kirim ya Mas ya ?’]
(91) P2 :Bade kintun-kintun kagem adik kula Budi Raharjo,… [‘Mau kirim-kirim untuk adik saya Budi Raharjo,’] (RRI, 24-4-2007B) Dalam penggalan percakapan (89) (90) (91) tersebut, dengan jelas terlihat bahwa tujuan penelepon dikemukakan secara eksplisit, yaitu Bade kintun-kintun nggih Dimas nggih? ‘mau kirim-kirim ya Dimas ya?’; Nderek kintun nggih Mas nggih? ‘Mau kirim ya Mas
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
115 ya?’; dan Bade kintun-kintun kagem adik kula Budi Raharjo, ‘Mau kirim-kirim untuk adik saya Budi Raharjo’.
Dengan tujuan mengirim ucapan bentuk tuturan
yang
digunakan oleh penelepon berupa inskripsi dengan rangkaian kalimat yang cukup panjang dalam bentuk monolog. (data terlampir) Sedangkan dialog antara penyiar dengan penelepon biasanya menggunakan kalimat-kalimat yang pendek saja.
4.4.3.2
Meminta Lagu
Selain mengirim ucapan, tujuan pembicaraan dalam percakapan program telepon adalah meminta lagu. Bentuk tuturan yang digunakan untuk maksud tersebut dikemukakan secara langsung dan tanpa disertai kata-kata yang bersifat merayu. Berikut ini disajikan contoh-contoh kalimat yang dimaksud. (92)
P2 : Menika bade nyuwun gending, menapa saged nggih Mbak? [‘Ini mau minta lagu, apa bisa ya Mbak?’] (Suara Slenk, 13-3-2007)
(93)
P2 : Nyuwun tembangipun Mas. (GSM, 14-3-2007) [‘Minta lagunya Mas.’]
(94)
P2 : Nggih, .. bade nyuwun lagu Mas. (Kita FM, 16-3-2007) [‘Ya,.. mau minta lagu Mas.’ ]
Penggalan percakapan (92) (93) (94) mempunyai tujuan yang sama yaitu meminta lagu. Tujuan meminta lagu disampaikan oleh penelepon kepada penyiar sehingga komunikasi yang terjadi berbentuk dialog. Kalimat-kalimat yang digunakan biasanya pendek-pendek, strukturnya tidak lengkap, dan durasi yang diperlukan hanya singkat. Para penelepon dalam meminta lagu, terkadang harus menerima atau menyesuaikan dengan lagu yang akan diputar oleh penyiar pada saat itu karena pemutaran lagu-lagu tertentu kadang-kadang memerlukan durasi yang cukup lama.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
116
4.4.3.3 Mencari informasi Percakapan program telepon di radio, sering dimanfaatkan oleh monitor untuk mencari informasi tertentu. Bahkan ada beberapa radio di wilayah Surakarta ini yang pada waktu tertentu
menyelenggarakan siaran yang membahas topik tertentu untuk
menyampaikan informasi yang diperlukan masyarakat. Kesempatan seperti itu selalu dimanfaatkan oleh masyarakat dengan sebaik-baiknya. Berikut ini disajikan contohcontoh percakapan dengan tujuan mencari informasi. (95) P2 : P1 : P2 : P1 : P2 :
Mas Baratwaja kula bade nderek tanglet jenengan sakedik kemawon. Monggo Mbak Kelik. Mas Dewo menika wajahipun kok kados Pak Anom nggih? Inggih, wong putranipun kok. Ooo …inggih ta. (Suara Slenk, 17-4-2007)
[ P2 : ‘Mas Baratwojo saya mau bertanya Anda sedikit saja.’ P1 : ‘Silakan Mbak Kelik’ P2 : ‘Mas Dewo itu wajahnya kok mirip Pak Anom ya?’ P1 : ‘Iya, sebab putranya kok.’ P2 : ‘Ooo ….iya ta.’ ]
Percakapan (95) antara penyiar dan penelepon yang sudah kenal dengan akrab tersebut dimanfaatkan oleh penelepon untuk mencari informasi dengan mengajukan pertanyaan, yaitu
Mas Baratwojo, kulo bade nderek tanglet njenengan sakedik
kemawon; yang artinya
Mas Baratwojo, saya mau bertanya Anda sedikit saja.
Pertanyaan itu dilontarkan oleh penelepon untuk memperoleh jawaban yang diperlukan. (96)
P2 : P1 : P2 : P1’:
Wonten sinten menika ? Menika wonten Pak Agus. Sugeng enjang Pak Agus. Inggih mangga Pak.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
117 P2 : Saya hanya mau menanyakan prosedur untuk melihat rekening melalui sms. Kemarin saya dengar katanya bisa. P1’ : Bisa, bisa, inggih. P2 : Bisa, lha itu caranya gimana? Biar saya bisa melihat rekening melalui sms, sampun ceta? Matur nuwun. (Kita FM, 15-3-2007)
[ P2 : ‘Ada siapa ini ?’ P1 : ‘Ini ada Pak Agus.’ P2 : ‘Selamat pagi Pak Agus’ P1’ : ‘Iya silakan Pak’ P2 : Saya hanya mau menanyakan prosedur untuk melihat rekening melalui sms. Kemarin saya dengar katanya bisa. P1’ : Bisa, bisa, inggih. P2 : Bisa, lha itu caranya gimana? Biar saya bisa melihat rekening melalui sms, sampun ceta? Matur nuwun. ]
Dalam percakapan (96) penelepon menanyakan prosedur untuk melihat rekening melalui sms. Siaran pada waktu itu dimanfaatkan oleh penelepon karena pada hari itu Radio Kita FM menyelenggarakan acara “Ngopi Pagi” dengan topik PLN. Pada hari itu Radio Kita FM mendatangkan nara sumber seorang petugas PLN yang bernama Pak Agus. Bentuk kebahasaan yang digunakan oleh penelepon, semula ia berbicara dengan penyiar menggunakan bahasa Jawa tingkat madya, yaitu Wonten sinten menika?; yang artinya ‘Ada siapa ini?’ dan dilanjutkan dengan salam pembuka, Sugeng enjang Pak Agus; ‘Selamat pagi Pak Agus.’ Namun ketika ia menanyakan informasi menganai cara pembayaran melalui sms kepada petugas PLN itu, ia beralih kode menggunakan bahasa Indonesia yang standar, yaitu Saya hanya mau menanyakan prosedur untuk melihat rekening melalui sms. Kemarin saya dengar katanya bisa. Hal itu dilakukan oleh penelepon karena tujuan utamanya mencari informasi yang mungkin juga sedang dipelukan oleh pendengar yang lain. Oleh karena itu ia berupaya untuk
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
118 bertutur sejalan dengan tujuan pendengar yang lain untuk memperoleh jawaban yang benar. Dengan demikian lebih tepat jika ia menggunakan bahasa Indonesia.
4.4.4
Kesempatan
Kesempatan berbicara sering menjadi salah satu faktor penentu bentuk tuturan yang akan digunakan dalam percakapan program telepon.
Pembicara yang lebih dulu
mempunyai kesempatan berbicara, biasanya lebih menentukan bentuk tuturan yang akan digunakan selanjutnya. Hal itu terjadi karena pembicara kedua hanya merespon atau mengikuti kemauan pembicara pertama. Berikut ini contoh-contoh percakapan yang memperkuat pendapat tersebut di atas. (97)
P1 : Wilujeng siang, klenengan nyess. P2 : Wilujeng siang, klenengan nyess P1 : Wah … kaya Janaka nDagen, Pak Haji ….eh… eh … (tertawa) P2 : Sok-sok, kaya Janaka, sok-sok, kaya Dursosono, sok-sok kaya RatuNgatasangin, sok-sok, kaya putrane. P1 : Sumonggo Pak Haji Tukimin. P2 : Niku wau Bunda Iin? Daleme kok guayeng tenan. (Suara Slenk, 18-4-2007 [ P1 : ‘Selamat siang, klenengan nyess.’ P2 : ‘Selamat siang, klenengan nyess.’ P1 : ‘Wah…seperti Janaka Dagen, Pak Haji….. eh….eh’… P2 :‘Terkadang seperti Janoko, terkadang seperti Dursosono, terkadang seperti Raja Ngatasangin, terkadang seperti putranya.’ P1 : ‘Silakan Pak Haji Tukimin.’ P2 : ‘Itu tadi Bunda Iin?, Rumahnya kok ramai sekali.’
Pada penggalan percakapan (97) di atas menunjukkan bahwa penyiar yang memperoleh kesempatan berbicara pertama, ia menggunakan bahasa Jawa dalam tingkat tutur ngoko, yaitu Wah…kaya Janaka Ndagen, Pak Haji …eh…eh…(tertawa); yang artinya ‘Aduh…seperti Janaka Ndagen Pak Haji…eh…eh…’ Kemudian penelpon
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
119 sebagai pembicara kedua merespon pembicara pertama dengan menggunakan bahasa yang sama, yaitu bahasa Jawa dalam tingkat tutur ngoko, Sok-sok, kaya Janaka, sok-sok kaya Dursosono, sok-sok kaya ratu Ngatasangin, sok-sok kaya putrane; yang maksudnya ‘Terkadang seperti Janaka, terkadang seperti Dursosono, terkadang seperti raja Ngatasangin, terkadang seperti putranya.’ Selanjutnya penyiar meneruskan percakapan tersebut dengan beralih kode dalam bahasa Jawa tingkat madyo, yaitu Sumangga Pak Haji Tukimin, yang artinya ‘Silahkan Pak Haji Tukimin.’ Penelpon juga melakukan hal yang sama yaitu mengikuti kemauan penyiar dengan beralih kode ke bahasa Jawa tingkat tutur madya, yakni ‘Niku wau Bunda Iin?Daleme kok guayeng tenan.’ Peralihan dari bahasa Jawa tingkat tutur ngoko ke tingkat tutur madya terjadi karena dua hal. Pertama, penyiar mempunyai kesempatan untuk menentukan bahasa yang akan digunakan, karena ia memiliki kesempatan berbicara lebih dulu. Kedua, penyiar ingin menghormati mitra tuturnya yang lebih tua (lihat data selengkapnya) sehingga ia perlu menggunakan bahasa Jawa yang lebih halus. Saya katakan mitra tuturnya lebih tua karena ia disapa Pak oleh penyiar dan sebaliknya, penyiar disapa Mas, oleh penelepon, yang berarti ada perbedaan usia yang agak jauh di antara mereka yang terlibat dalam percakapan tersebut.
4.4.5
Sarana Tutur
Dalam percakapan program telepon ini, alat yang dipergunakan sebagai sarana untuk bertutur turut mempengaruhi tuturan yang dihasilkan oleh peserta tutur. Sarana tutur yang dipergunakan dalam percakapan ini adalah telepon dan radio. Di dalam program
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
120 telepon, tuturan yang dilakukan oleh peserta tutur sangat dipengaruhi oleh telepon yang digunakan sebagai sarana bertutur. Pengaruh yang tampak jelas adalah ketika percakapan dimulai tidak pernah meninggalkan salam pembuka dan selalu diakhiri dengan salam penutup. Perhatikan contoh-contoh berikut ini. (98)
P2 : Wilujeng dalu Pak Widoyo. P1 : Wilujeng dalu Pak Sareh, mangga. ……………………………………… P2 : Cekap semanten, matur nuwun, wilujeng dalu. P1 : Sami-sami Pak Sareh. (RRI, 24-4-2007 B)
(99)
P1 : Assalammualaikum P2 : Walaikumsalam warahmatulohi wabarokatuh. ………………………………………………. P2 :Sugeng siang, sugeng midangetaken, ngaten Assalammualikum, yok nyess. (Suara Slenk, 12-3-2007)
(100) P2 : P1 : P2 : P1 : P2 :
kemawon.
Hallo Ngopi pagi. Inggih saking sinten nggih ? Mbah Sastro lali maneh Anu, Pak Picis nggih? Nggih, sugeng enjang Mbah Sastro. (Kita FM, 15-3-2007)
Percakapan dengan menggunakan sarana telepon memiliki ciri-ciri tertentu yang berbeda dengan percakapan lain. Penggalan percakapan (98) (99) dan (100) menunjukkan ciri khas percakapan program telepon, yaitu pertama, selalu dimulai dengan salam pembuka seperti, Wilujeng dalu, Assalammualaikum, sugeng enjang, hallo dan sebagainya. Kedua, selalu diakhiri dengan salam penutup, misalnya Wilujeng dalu, walaikumsalam, yok nyess, matur nuwun dan lain sebagainya. Salam pembuka dan salam penutup ini sepertinya sudah menjadi formula tetap dalam percakapan program telepon ini. Hal ini dapat kita lihat pada lampiran data yang tersedia, bahwa hampir setiap percakapan diawali dengan salam pembuka dan diakhiri dengan salam penutup.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
121 Ciri khas ketiga, penyiar sering menanyakan identitas mitra tuturnya, jika hubungan di antara mereka belum akrab. Pertanyaan seperti, Saking sinten nggih? ‘Dari siapa ya?’; Saking pundi menika?; ‘Dari mana ini?’ atau Wonten pundi?; ‘ Di mana?’ sering dilontarkan penyiar untuk mengetahui siapa peneleponnya, sehingga ia dapat menentukan bahasa apa yang akan digunakan. Hal semacam ini tidak akan terjadi dalam komunikasi secara langsung, karena dapat melihat mitra tuturnya.
4.4.6
Nada Berbicara
Nada berbicara dalam percakapan program telepon turut menjadi
faktor penentu
bentuk tuturan. Nada berbicara ini mencakup cara dan semangat dalam berbicara. Suatu pesan dapat disampaikan dengan senang hati, dengan serius, dengan bergurau, dengan mengejek, tentu akan berpengaruh pada bentuk tuturan yang diucapkan.. Dalam percakapan program telepon ini, pesan yang disampaikan sering menunjukkan suasana yang santai, penuh keakraban, gembira dan tanpa beban. Dari situlah muncul nada berbicara, yaitu berupa ragam bahasa yang santai dan cenderung sekenanya, sehingga banyak mengakibatkan terjadinya peristiwa campur kode maupun alih kode dalam percakapan tersebut.
4.4.6.1 Nada Bergurau Percakapan dalam program telepon terkadang dimanfaatkan sebagai sarana yang tepat untuk bergurau, sekedar untuk menambah suasana keakraban antara penyiar dengan penelepon. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan model membelokkan makna
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
122 kata yang diucapkan oleh mitra tutur dengan maksud untuk melucu atau bergurau. Berikut disajikan penggalan percakapan yang bernada bergurau. (101)
P1’: Ngomong karo pak Gambir ki ya ngene iki, sak kata menggoken isa loro telu mula kene kudu isa nangkep P2 : Lho, mboten, nyolong we ora kok ditangkep. P1’: (tertawa) Mboten, artinya ….. wah iki wis menggok maneh iki. (Kita FM, 12-3-2007) [P1’: ‘Berbicara dengan Pak Gambir itu ya begini, satu kata beloknyabisa dua tiga, karena itu kita harus bisa menangkap.’(maksudnya) P2 : ‘Lho, tidak, mencuri saja tidak kok ditangkap’ P1’: ‘Tidak, artinya…. Aduh, ini sudah belok lagi ini.’]
(102)
P1 : Cepakno roket Pul. P1’ : Arep dinapake? P1 : Arep tak roket tekan nggon sing jenenge Serengan kuwi. (Kita FM, 12-3-2007)
[P1 : ‘Siapkan roket Pul!’ P1’ : ‘Mau diapakan?’ P1 : ‘Mau saya roket sampai ke tempat yang bernama Serengan itu.’]
Dari penggalan percakapan (101) tersebut tampak jelas bahwa penyiar kedua (P1’) yang mengucapkan kalimat, Ngomong karo Pak Gambir ki ya ngene ki, sak kata menggoke isa loro telu, mula kene kudu isa nangkep; yang artinya ‘Berbicara dengan Pak Gambir itu ya begini, satu kata beloknya bisa dua tiga, karena itu kita harus bisa menangkap.’(memahami arti)
Kalimat tersebut ditanggapi dengan kalimat,
Lho..mboten, nyolong we ora kok ditangkep; yang artinya, ‘Lho.. tidak, mencuri saja tidak kok ditangkap.’
Kata “nangkep” yang maksudnya ‘memahami artinya’
dibelokkan maknanya seolah menangkap orang yang sedang mencuri. Dalam percakapan tersebut sebenarnya tidak terjadi kesalahan pemahaman arti kata, tetapi
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
123 penelpon sengaja membelokkan arti kata “nangkep” tersebut dengan maksud agar suasana pembicaraan menjadi lebih akrab dan menyegarkan. Bergurau dengan model membelokkan arti kata semacam itu merupakan salah satu cara untuk menghangatkan suasana serta menghindari suasana serius dalam berkomunikasi. Jika tuturan di atas diungkapkan secara serius, jelas antara stimulus dan responnya menjadi tidak sesuai. Nada bergurau semacam ini sering dilakukan oleh peserta tutur dalam percakapan program telepon , sehingga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya bentuk-bentuk kebahasaan yang dihasilkan berbentuk ragam santai dan akrab.
4.4.6.2 Nada Jengkel Ada kalanya percakapan antara penyiar dan penelepon yang sudah berlebihan menyimpangnya itu, menimbulkan rasa jengkel mitra tuturnya, seperti nampak dalam lanjutan percakapan (102). Percakapan antara (P1’) dengan penelepon (P2) pada percakapan (101) tersebut, rupanya membuat jengkel bagi penyiar (P1) seperti dalam percakapan (102), penyiar mengucapkan kalimat, Cepakno roket Pul, Arep tak roket tekan nggon sing jenenge Serengan kuwi; yang artinya, ‘ Siapkan roket Pul, untuk menghancurkan tempat yang namanya Serengan itu.’ (Serengan adalah tempat tinggal P2) Kalimat tersebut jelas mengungkapkan nada jengkel, meskipun sebenarnya hal itu juga dimaksudkan untuk bergurau saja untuk menyegarkan suasana percakapan.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
124 4.4.6.3
Nada Serius
Nada serius kadang-kadang diperlukan juga dalam percakapan program telepon. Nada serius biasanya digunakan oleh peserta tutur untuk mencari informasi. Berikut ini disajikan percakapan yang bernada serius. (103) P2 : Mas Baratwaja kula bade nderek tanglet jenengan sakedik kemawon. P1 : Monggo Mbak Kelik. P2 : Mas Dewa menika wajahipun kok kados Pak Anom nggih? P1 : Inggih, wong putranipun kok. P2 : Ooo …inggih ta? P1 : Inggih, ampun sanjang sinten-sinten nggih Mbak nggih. Benjang bade mayang lo Mbak. P2 : Wonten pundi? P1 : Wonten TBS P2 : Kalih sinten? P1 : Nggih kalih pesinden kalian yogone no. P2 : Ingkang nyiaraken sinten? P1 : Mangke Mas Parikesit. (Suara Slenk, 17-4-2007)
[ P2 : ‘Mas Baratwaja, saya mau tanya Anda sedikit saja.’ P1 : ‘Silahkan Mbak Kelik’. P2 : ‘Mas Dewa itu wajahnya kok seperti Pak Anom ya?’ P1 : ‘Iya, dia itu putranya.’ P2 : ‘Ooo.. iya ta?’ P1 :‘Iya, jangan bilang siapa-siapa ya Mbak ya. Besok mau mendalang lo Mbak.’ P2 :‘ Di mana ?’ P1 : ‘Di TBS’ P2 : ‘Dengan siapa ?’ P1 : ‘Ya dengan pesinden dan yogonya.’ P2 : ‘Yang menyiarkan siapa ?’ P1 : ‘Nanti Mas Parikesit.’]
Penggalan percakapan (103) tersebut, bila dilihat dari bentuk bahasanya, jelas termasuk ragam santai, tetapi jika diperhatikan dari maksud atau isi tuturannya bernada serius. Dilihat dari makna kata-kata yang tersurat, mengungkapkan makna yang serius, artinya tidak ada kata yang maknanya dibelokkan atau diselewengkan, tidak ada nada
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
125 bergurau atau bercanda. Makna kata yang ada, semua mengungkapkan makna yang sebenarnya atau makna yang bersifat denotatif.
4.4.7
Norma Berbicara
Norma berbicara dalam program telepon pada radio menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap bentuk-bentuk kebahasaan. Norma berbicara di dalam program telepon diperoleh peneliti ini berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang monitor yang sering melakukan komunikasi melalui program telepon ini. Norma berbicara tersebut antara lain, penelepon tidak boleh berbicara melebihi lima menit, dan penyiar tidak boleh lebih dominan daripada penelepon pada waktu berbicara. Sebagai penyiar ia hanya mengimbangi dan merespon kemauan penelepon dengan sebaikbaiknya. Di sini penyiar memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan oleh para pendengar. (104)
P2 : Wilujeng siang Sarinah, Campursari sing paling nggenah. P1 : Radione dicilikke sik. P2 : Pun, pripun pawartosipun Mas Dedi? P1 : Kula sae kemawon, njenengan pripun? P2 : Inggih sae Mas sami Mas. P1 : Syukur alhamdulillah. P2 : Bade nyuwun lelangen Mas. P1 : Lelangene napa? P2 : “Asmaradana Bangun Trisno” Mas. P1 : Asmaradana, nggih. P2 : Kintun-kintun nggih Mas nggih? P1 : Nggih mangga! P2 : Kagem Mas Dedi, sugeng siang, sugeng ngayahi jati mawon. P1 : Inggih matur nuwun. P2 : Kagem Pak Sigit kalian Bu Sigit, Mas Saimo, Pak Wardi, Bu Wardi, Mbak Kiki, Mbak Mimin, terus Mbak Yuni, terus Pak Giyanto, sedaya monitor mawon nggih Mas nggih? P1 : Inggih P2 : Ngaten mawon nggih. P1 : Mekaten, nggih mangga!
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
126 P2 : Yook ii P1 : Yook ii matur nuwun nggih. (Gema Suara Makmur, 14-3-2007)
[ P2 : ‘Selamat siang Sarinah, Campursari yang paling nggenah’ P1 : ‘Radionya dikecilkan dulu.’ (volumenyanya) P2 : ‘Sudah, bagaimana kabarnya Mas Dedi?’ P1 : ‘Saya baik saja, Anda bagaimana?’ P2 : ‘Ya, baik Mas, sama Mas’ P1 : Syukur alhamdulillah P2 : ‘Mau minta lagu Mas.’ P1 : ‘Lagunya apa?’ P2 : “Asmaradana Bangun Trisno” Mas. P1 : ‘Asmorodana, ya.’ P2 : ‘Kirim-kirim ya Mas ya?’ P1 : ‘Ya, silakan.’ P2 : ‘Untuk Mas Dedi, selamat siang, selamat menjalankan tugas.’ P1 : ‘Ya, terima kasih.’ P2 : ‘Untuk Pak Sigit, dengan Bu Sigit, Mas Saimo, Pak Wardi, Bu Wardi, Mbak Kiki, Mbak Mimin, selanjutnya, Mbak Yuni, terus Pak Giyanto, semua monitor saja ya Mas ya?’ P1 : ‘Ya’ P2 : ‘Gitu saja Mas.’ P1 : ‘Begitu, ya silakan!’ P2 : Yook ii P1 : ‘Yook ii terima kasih ya.’]
Percakapan (104) di atas terdiri atas dua bentuk, yaitu dialog yang arah komunikasinya bersifat interaktif, artinya terjadi timbal balik antarpeserta tutur, dan monolog yang arah komunikasinya bersifat searah. Dialog dilakukan oleh penyiar dan penelepon. Dalam dialog tersebut penyiar melayani penelepon dan berbicara seperlunya saja. Penyiar berbicara lebih sedikit daripada penelepon, dan penelepon lebih dominan dalam berbicara. Pada percakapan (104) tersebut, memperlihatkan bahwa penyiar hanya berbicara ketika ditanya oleh penelepon. Bahkan tidak jarang penyiar hanya menjawab pertanyaan dengan kalimat yang pendek saja, seperti Inggih; ‘iya’, Nggih mangga; ‘Ya silakan’, Inggih matur nuwun; ‘Iya terima kasih’.Hanya kadang-kadang saja penyiar
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
127 juga berbicara dahulu jika ada pesan yang harus disampaikan kepada penelepon, seperti contoh diatas, Radione dicilikke sik, yang artinya ‘Radionya dikecilkan dulu. (volumenya). Si penyiar justru terlihat diam sama sekali ketika si penelepon mengirim banyak ucapan untuk pendengar yang lain. Norma berbicara dalam percakapan program telepon itu mempengaruhi bentuk tuturan yang ada. Dalam bentuk dialog, banyak menggunakan kalimat-kalimat yang pendek yang wujudnya tanya jawab. Dalam bentuk monolog, kalimat yang digunakan oleh penelepon banyak berbentuk “inskripsi” berupa kalimat yang panjang yang dituturkan secara cepat. Hal ini sudah menjadi norma berbicara dalam percakapan program telepon, karena penelepon dibatasi oleh waktu yaitu tidak boleh lebih dari lima menit. Aturan itu perlu diperhatikan oleh penelepon karena masih banyak penelepon lain yang menunggu giliran. Dengan demikian percakapan program telepon di radio ini memiliki bentuk tuturan yang khas berupa sebuah variasi bahasa tersendiri.
4.5
Kosa kata khusus yang Dipergunakan dalam Tuturanan Program Telepon
Pembahasan mengenai istilah khas dalam percakapan berbahasa Jawa program telepon, merupakan pembahasan kata-kata khusus sebagai penentu sebuah pemakaian bahasa atau register. Percakapan program telepon sebagai sebuah variasi bahasa mempunyai kata-kata khas dengan makna yang khas pula. Kata-kata tersebut sudah sangat dipahami oleh para partisipan percakapan program telepon, tetapi mungkin banyak orang awam yang belum memahaminya. Kata-kata yang menjadi istilah dalam percakapan program telepon ada yang diambil dari kata-kata umum dengan diberi makna khusus, ada kata-kata yang memang
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
128 asli dari program telepon dan ada pula kata-kata khas yang sesuai dengan acara yang sedang disiarkan. Secara terperinci istilah-istilah yang ada dalam program telepon adalah kata-kata umum, kata-kata khusus, dan kata-kata khas sesuai dengan acaranya.
4.5.1
Kata-kata Umum Dipakai secara Khusus
Kata-kata umum yang dimaksud di sini adalah kata-kata yang secara sosial sering digunakan dalam berbagai kegiatan. Secara umum masyarakat tutur bahasa Jawa sudah secara konvensional mengakui arti leksikal yang ada dalam kata-kata tersebut. Katakata yang secara umum telah memiliki arti leksikal tersebut, setelah digunakan dalam percakapan program telepon mengandung arti khusus yang berbeda dengan makna leksikalnya. Kata-kata tersebut ditemukan dalam percakapan berbahasa Jawa program telepon ini. Berikut ini adalah beberapa contoh kata-kata yang dimaksud. (105)
Mbok wedok disenggol Mbak Dian. (RRI, 9-3-2007) Kraos menapa Pak senggolanipun. (Kita FM, 13-3-2007) Pak Haji mangga bade senggal-senggol. (Suara Slenk, 18-4-2007)
(106)
Katur Pak Sareh ingkang nembe miyos kolowau. (RRI, 24-4-2007 C) Pak Purwanto, dospundi pawartosipun, kok sampun dangu mboten miyos. (Suara Slenk, 16-4-2007) Panjenengan menika yen ora miyos sedina wae rasane suweee ngaten. (Kita FM, 13-3-2007)
(107)
Nderek kintun-kintun. (Suara Slenk, 12-3-2007) Kintun-kintun nggih Mas nggih? (Gema Suara Makmur, 12-3-2007) Bade kintun-kintun, kagem adik kula Budi Raharja. (RRI, 24-4-2007 B)
Contoh-contoh kalimat (105)) menggunakan kata senggol dan kata turunannya disenggol, dan senggal-sengol. Kata senggol berasal dari bahasa Jawa dalam tingkat tutur ngoko, yang berarti ‘sentuh’ atau ‘singgung’. Disenggol berarti ‘disentuh’ atau ‘disinggung’, sedangkan senggolanipun berarti ‘sentuhannya’ atau ‘singgungannya’.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
129 Dalam percakapan program telepon ini kata senggol sudah menjadi istilah
yang
memiliki arti, ‘kiriman ucapan.’ Istilah ini biasa digunakan oleh penelepon kepada pendengar. Jadi, kata disenggol, berarti ‘dikirimi ucapan,’ kata senggolanipun berarti ‘ kiriman ucapannya’, dan senggal-senggol berarti’mau mengirim ucapan’. Demikian pula kata miyos dalam kalimat (106). Kata miyos ini berasal dari bahasa Jawa dalam tingkat tutur kromo (halus) yang berarti ‘bergerak dari dalam menuju luar’ atau ‘keluar’ dalam bahasa Indonesia. Dalam percakapan program telepon, kata miyos sering digunakan oleh penyiar atau penelepon sebagai istilah yang mengandung arti ‘bertutur dalam program telepon’ atau dalam bahasa Indonesia berarti ‘sedang menelepon.’ Selanjutnya kata kintun-kintun pada contoh kalimat (107) juga berasal dari bahasa Jawa dalam tingkat kromo, yang berarti ‘kirim’ atau ‘menyampaikan sesuatu,’ namun dalam percakapan program telepon, kata tersebut sering digunakan oleh penelepon sebagai istilah yang bermakna ‘mengirim ucapan’ kepada penyiar atau pendengar.
4.5.2
Kata-Kata Khusus
Percakapan program telepon yang disiarkan melalui radio merupakan acara yang melibatkan bidang radio dan telepon. Kata-kata khusus yang dimaksud dalam percakapan program telepon ini adalah kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang yang berkaiatan dengan peradioan dan perteleponan serta memiliki makna khusus dalam bidang-bidang tersebut. Kata-kata khusus ini biasanya tidak dipergunakan dalam bidang lain. Di bawah ini adalah kata-kata khusus yang ada dalam percakapan program telepon.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
130 (108)
P2 : Inggih menika saking monitor enggal pandemen Suara slenk. [‘ya ini dari monitor baru penggemar Suara Slenk.’] (Suara slenk, 13-3- 2007)
(109)
P2 : Pak Ito muga-muga ora udan, ben wani mampir studio. [ ‘Pak Ito mudah-mudahan tidak hujan, biar jadi mampir ke studio.’ ] (Kita FM, 12-3-2007)
(110)
P2 : Inggih sampun dangu mboten on air. (Suara Slenk, 18-4-2007) [‘Iya sudah lama tidak mengudara.’]
(111) P2 : Sedaya monitor, sedaya kru Suara Slenk, sugeng siang, sugeng midangetaken. (Suara Slenk, 13-3-2007) [‘Semua monitor, semua kru Suara Slenk, selamat siang, selamat mendengarkan’]
Kata monitor, studio, on air, dan kru
merupakan kata-kata khusus yang biasa
digunakan dalam bidang radio. Dalam pemakaian istilah bidang radio, kata-kata tersebut tidak mengalami perubahan makna. Kata monitor merupakan istilah bidang radio yang sering digunakan dalam percakapan program telepon di radio. Kata ini memiliki arti ‘pendengar tetap suatu radio.’ Demikian pula kata studio, on air, dan kru, juga merupakan istilah yang biasa digunakan di bidang radio. Kata studio berarti ‘ruang yang digunakan untuk menyiarkan acara-acara radio’, sedangkan kata on air berarti ‘mengudara.’ Dalam program telepon di radio, on air mempunyai arti ‘sedang dalam kontak lewat telepon di radio.’ Kata kru berarti, ‘kerabat kerja’ atau semua petugas yang menyelenggarakan siaran radio.
4.5.3
Kata-Kata Khas Sesuai dengan Acaranya
Di dalam percakapan program telepon pada radio ini masing-masing radio memiliki acara khusus dalam siaran berbahasa Jawa. Ada acara yang diberi nama Lipur galih, Sarinah, Campursari, Klenengan nyess, Ngopi pagi, dan sebagainya. Dari acara-acara
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
131 tersebut
ada kata-kata yang dijadikan sebagai istilah khas dalam acara program
telepon. Kata-kata tersebut dapat dijumpai pada beberapa kalimat berikut ini. (112)
Monggo midangetaken Klenengan Sukoreno. (RRI, 24-4-2007 B) [‘Silakan mendengarkan Klenengan Sukoreno.’]
(113)
Wilujeng midangetaken Campursari Sarinah. (GSM, 12-3-2007) [‘Selamat mendengarkan Campursari Sarinah.’ ]
(114)
Hallo Ngopi pagi. (Kita FM, 12-3-2007)
(115)
Wilujeng siang Campursari Kita FM. (Kita FM, 13-3-2007) [‘Selamat siang Campursari Kita FM.’]
(116)
Wilujeng siang Klenengan nyess. (Suara Slenk, 18-4-2007) [Selamat siang Klenengan nyess.’]
Kata-kata Klenengan Sukoreno, Campursari Sarinah, Ngopi pagi, Campursari Kita FM, dan Klenengan Nyess, adalah kata-kata yang sering sering digunakan dalam percakapan berbahasa Jawa program telepon pada radio di wilayah Surakarta. Katakata tersebut diambil dari nama mata acara radio. Klenengan Sukoreno, adalah salah satu acara khas pada Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta yang dikemas dengan model program telepon. Demikian pula Campursari Sarinah, merupakan acara yang diselenggarakan oleh Radio Gema Suara Makmur, sedangkan Ngopi pagi dan Campursari Kita FM, diselenggarakan oleh Radio Kita FM, dan Klenengan nyess merupakan salah satu acara dari radio Suara Slenk. Pada umumnya acara-acara tersebut di atas merupakan acara-acara khusus yang menampilkan lagu-lagu atau tembangtembang daerah khas Jawa. Acara-acara tersebut merupakan partisipasi beberapa radio yang memiliki kepeduliaan dalam rangka mengembangkan, membina, dan melestarikan budaya daerah, khususnya budaya Jawa.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
132
BAB 5 PENUTUP
5.1 Simpulan Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil pembahasan yang sudah dilakukan peneliti, maka ada empat hal pokok yang menjadi simpulan dalam penelitian ini. 1. Tuturan berbahasa Jawa program telepon pada radio di wilayah Surakarta ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut : (1) Bahasa yang digunakan mencakup bahasa Jawa dan non-Jawa. Bahasa non-Jawa di sini terdiri dari bahasa Indonesia dan Bahasa asing. Bahasa asing yang muncul adalah bahasa Arab dan bahasa Inggris. Bahasa Jawa yang digunakan meliputi tingkat tutur ngoko, madya dan krama. Penentuan tingkat tutur yang digunakan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pertama tingkat formalitas hubungan antarpartisipan, kedua ialah faktor usia peserta tutur. (2) Ragam bahasa yang digunakan termasuk ragam santai dan ragam akrab, serta ragam yang bersifat informal. (3) Struktur tuturan pada umumnya terdiri dari pertukaran awal, pertukaran medial, dan pertukaran akhir. 2. Varian tuturan berbahasa Jawa program telepon pada radio dapat disimpulkan sebagai berikut: secara umum banyak digunakan tuturan pendek yang berupa tuturan percakapan dan tuturan panjang yang berwujud inskripsi. Tuturan pendek biasa digunakn dalam dialog antara penelepon dan penyiar. Tuturan
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
133 panjang yang berwujud inskripsi digunakan secara monolog, yaitu ketika penelepon mengirim ucapan kepada monitor yang lain. Banyak ditemukan peristiwa alih kode. Terjadinya peristiwa alih kode dalam tuturan tersebut dikarenakan beberapa hal antara lain, karena pada umumnya partisipan program telepon ini adalah masyarakat tutur yang dwibahasawan, bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, sehingga dalam tuturan mereka sering melakukan peralihan kode dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia dan atau sebaliknya. Alih kode juga dapat berwujud alih tingkat tutur dari tingkat tutur madya ke dalam tingkat tutur ngoko dan atau sebaliknya. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam tuturan program telepon adalah partisipan, situasi, tujuan, kesempatan, sarana tutur, nada berbicara, dan norma berbicara. Di antara ketujuh faktor, faktor partisipan merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi tuturan program telepon pada radio. 4. Ditemukan sejumlah leksikon yang secara konvensional sudah menjadi kosa kata khusus dalam tuturan program telepon. Kosa kata khusus yang ada dalam tuturan program telepon ini, diambil dari kata-kata umum, kata-kata khusus, dan kata-kata yang disesuaikan dengan nama acaranya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa tuturan berbahasa Jawa program telepon pada radio merupakan sebuah variasi pemakaian bahasa yang khas. Ciri khas tuturan program telepon tersebut tampak pada tuturan yang digunakan dan kosa kata khusus sebagai penentu variasi bahasa tersebut.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
134 5.2 Implikasi Tuturan Program Telepon Pemakaian bahasa program telepon dipengaruhi faktor-faktor sosial para partisipan. Teori SPEAKING yang dikemukakan oleh Dell Hymes, ternyata tidak semuanya ditemukan dalam percakapan program. Dalam penelitian ini hanya ada tujuh faktor yang berpengaruh, yaitu partisipan, situasi, tujuan, kesempatan, sarana tutur, nada berbicara, dan norma berbicara. Teori SPEAKING yang dikemukakan oleh Dell Hymes hanya merupakan bentuk akronim yang ditentukan agar mudah dihafalkan. Teori SPEAKING bukan merupakan urutan dari faktor yang dominan menuju ke yang kurang dominan. Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang dominan diletakkan pada urutan pertama menuju ke urutan berikut yang berkurang dominasinya. Urutan tersebut adalah partisipan, situasi, tujuan, kesempatan, sarana tutur, nada berbicara, dan norma berbicara. Dalam penelitian ini ditemukan adanya pemilahan pemakaian bahasa program telepon oleh para partisipan. Para partisipan yang usianya sudah tua pemakaian bahasanya dipengaruhi oleh bahasa Jawa dalam tingkat tutur krama atau madya, demikian pula partisipan yang hubungannya belum akrab, cenderung menggunakan bahasa Jawa dalam tingkat tutur krama atau madya. Partisipan yang sudah saling mengenal dengan baik dan akrab lebih sering menggunakan bahasa Jawa dalam tingkat tutur ngoko. Peristiwa campur kode yang sering muncul dalam percakapan program telepon ini disebabkan
oleh kebiasaan
para partisipan dalam berbahasa. Kebiasaan para
partisipan dalam bertutur di luar program telepon hampir sama dengan ketika mereka berinteraksi dalam program telepon. Gejala alih kode yang ditemukan dalam program
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
135 telepon disebabkan oleh hubungan antarpartisipan. Hubungan yang akrab antara penelepon dan penyiar cenderung beralih kode dari bahasa Jawa yang halus ke bahasa Jawa yang kurang halus (ngoko). Hubungan yang kurang akrab cenderung menggunakan bahasa Jawa yang halus, yaitu krama atau madya.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
136
PUSTAKA ACUAN
Asher, R.E. 1994. The Encyclopedia of Language and Linguistics. Tokyo : Pergamon Press. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik : Perkenalan Awal. Jakarta : Rineka Cipta. Fasold, Ralph. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford : Basil Black Well. Fishman, J.A. 1972. Language in Sociocultural Change. Stanford : Stanford University Press. ________ 1976. “The Relationship between Micro and Macro Sociolinguistics in The Study Who Speaks What Language to Whom and When.” Dalam Pride dan Holmes (ed). Halliday, M.A.K. – Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. (terjemahan Asrudin Barori Tou). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hymes, Dell. 1972. “The Ethnography of Speaking” dalam Fishman. Readings in the Sociology of Language. Paris : Mouton. ________ 1989. Foundations in Sociolinguistics an Ethnographic Approach. Philadelphia : University of Pennsylvania. Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. (terjemahan Oka) Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. Littlejohn, Stephen W. 1991. Theories of Human Communication. California : Wadsworth Publishing Company. Marcellino, M. 1993. “Analisis Percakapan (Conversation Analysis): Telaah TanyaJawab di Meja Hijau.” PELBA 6. Jakarta : Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya. Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta : Gramedia. Nababan, Sri Utari Subyakto. 1999. Analisis Wacana dan Pengajaran Bahasa. Jakarta : IKIP Jakarta.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
137
Nurhayati. 2000. “Register Bahasa Lisan Penyiar-Penyiar Radio di Palembang: Studi Analisis dari Aspek Sosiolinguistik dan Kaitannya dengan Ketertarikan Pendengar.” Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia. Tahun 18, Nomor 2. Ohoiwutun, Paul. 1997. Sosiolinguistik. Jakarta : Kesaint Blauck. Pateda, Mansoer. 1990. Sosiolinguistik. Bandung : Angkasa. Poedjosoedarmo, Soepomo. 1979. Komponen Tutur. Yogyakarta: Seminar MLI II __________ 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Pengembangan Bahasa Dep P & K.
Jakarta : Pusat Pembina dan
Popper, K.R. 1972. Obyektive Knowledge : An Evaluationary Approach. Oxford : The Charendon Press.
Rahardi, R. Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Sinclair, J. Mch and M. Coulthard. 1972. “Towards an Analysis of Discourse : The English Used by Teachers and Pupils.” Oxford : Oxford University Press. Stutervant, Edgaar H. 1974. An Introduction to Linguistic Science. New Haven : Yale University Press. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknis Analisis Bahasa, Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta : Duta Wacana University Press. Sumarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Suseno Kartomihardjo. 1986. Sosiolinguistik Studi tentang Bahasa dan Seluk Beluk Pengetrapannya dalam Masyarakata. Malang : IKP Suwito. 1982. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problema. Surakarta : Henary Offset. _______ 1987. “Berbahasa dalam Situasi Diglosik”, Disertasi Universitas Indonesia. Tedlock, Dennis & Bruce Mannheim. 1995. The Dialogic Emergence of Culture. Urbana and Chicago: University of Illinois Press.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
138 Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi 2. Cetakan ke- 10. Jakarta: Balai Pustaka Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford : Basil Black Well Ltd. Wolff, John U. and Soepomo Poedjosoedarmo. 1982. Communicative Codes in Central Java. Ithaca, New York : Cornell University.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
139
LAMPIRAN Lampiran merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari uraian sebelumnya. Lampiran merupakan pelengkap dan penjelas uraian pada bab-bab sebelumnya. Pada bagian lampiran ini akan ditampilkan transkripsi tuturan berbahasa Jawa program telepon pada radio di wilayah Surakarta.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
140
Data : 1 Radio Republik Indonesia /RRI, Jumat, 9-3-2007 P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 :
Sugeng enjang Mbak Dian Sugeng enjang Pak Karmanto Mbok Wedok disenggol Mbak Dian Inggih. Senggolane marem tenan Berarti ini senggolannya itu nggak nyampe langsung, harus ada perantara Panggenanipun celak kok, inggih bade nderek kirim-kirim menika. Mangga! Pak Kadamaran yang sendirian, lajeng bu Mentik, matur nuwun mbak Mentik, lajeng Eyang Joyo Sumarto, Bunda Nyotokusumo, Eyang Marmo sekalian, Ibu Sriwinengku. Mbak kula niki ndobel, wong esuk mboten mlebet, dadi nem belas, pagi delapan, sore delapan, nggih, Ibu Sariyem, lajeng Ibu Purnomo, ingkang kagungan Mbaluarti, Pak Budi Raharjo, Pak Kirno, Pak Sri Widodo, lajeng, Pak Dodol Sumaryadi, Pak Hadi Sarjan, lajeng Eyang Menggung Dahlan, Pak Kastoyo, Ibu Nuryati, wonten Pabelan, lajeng sampun sadoyo kemawon, mangke ndak mboten sekeca, matur nuwun nggih mbak Dian nggih. P1 : Sami-sami Bapak, salam buat Ibu di rumah, ya Pak!
Data : 2 Selasa, 24-4-2007 A P2 : Sugeng dalu Pak Widoyo. P1 : Inggih leres. P2 : Gending menapa ingkang kaping kalih? P1: Menika mangke “Bawa Sekar Ageng Ubaya,” gending “Muda Tama,” kalajengaken “Lancaran Dayohe Teka, Slendro Patet Sanga.” P2 : Menika saking Njagalan. P1 : Njagalan nggih ? P2 : Bade nderek kintun-kintun, kangge Bapak Genda Mbaluwarti, lajeng Agung Winarno, menika saking Njagalan Pak Jasmadi, ngaten kemawon, matur nuwun. P1 : Inggih matur nuwun sami. Data : 3 Selasa, 24-4-2007 B P2 : Wilujeng dalu, Pak Widoyo P1 : Wilujeng dalu Pak Sareh, mangga.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
141 P2 : Sugeng nindakaken tugas Pak Widoyo, mangke ngantos cekap, lan mangke keluarga ndalem wilujeng mboten wonten alangan satunggal menapa. P1 : Inggih, matur nuwun. P2 : Bade kintun-kintun, kagem adik kula Budi Raharjo, menika telponipun risak. P1 : Inggih, kenging lindu nggih? P2 : Lajeng kagem Dik Parno, Pak Ragil, lajeng Bapak Ibu Pamujo Kartosura, Bapak Sularno Kartosura, Bapak Ibu Sudarto Colomadu, Bapak Ibu Guru SMP Negeri I Kartosura, Bapak Ratno Watukelir, Bapak Haji Sabarianto Karanganyar, Bapak Santoso saking Mbaki, lajeng Eyang Joyosumarto, Bapak Sri Widodo, Bapak Sukirno, Bapak Widodohadi, Bapak Lasiman Kalijambe, Eyang Kastoyo Tasikmadu, lajeng Bapak Dr Sumaryadi, lajeng sadoyo anggota Pamor, mangga midangetaken Klenengan Sukorena. Cekap semanten, matur nuwun, wilujeng dalu. P1 : Sami-sami Pak Sareh. Data : 4 Selasa, 24-4-2007 C P2 : Asalamualaikum, Mas Widoyo. P1 : Inggih, Walaikumsalam. Eyang Kastoyo menika? P2 : Inggih leres Mas, bade sowang-sowang Mas. Katur Mas Widoyo rumiyin ingkang nembe nindakaken tugas. P1 : Inggih, matur nuwun Eyang Kastoyo. P2 : Kaliyan sinten Mas ? P1 : Kaliyan Mas Tatag. P2 : Inggih, sugeng tugas, mugi tansah sehat, tak kurang suatu apa pun, dalam lindungan Allah. Katur Pak Sareh ingkang nembe miyos kolowau. Matur sembah nuwun dalem pun timbali, katur ingkang wonten Wonogiri, Bapak Joko Sarono, lajeng eyang Joyo Sumarto, Ibu Sriwinengku, Eyang Parikesit. Ingkang gerah kolowau sinten Mas? P1 : Pak Sri Widodo. P2 : Wonten R S Panti Waluya? P1 : Panti Waluya, taksih wonten ICU. P2 : Mugi enggal senggang. P1 : Amin,…. P2 : lajeng Pak Sujiyo wonten ing Ndawung, Pak Sabariyanto, Bunda anas, Pak Basuki Wibowo, Ibu Hajah Nuryati, Eyang Dahlan, Pak Dr.Sumaryadi wonten Karanganyar, Pakde Ratno, Mbak Yayuk Spd., Mas Samuel, lajeng Eyang Warso, engkang wonten mBaki, Ibu Rinanti nggih Mas, kaliyan Pak Santoso, kalih-kalihipun, lajeng Pak Budi Raharjo kolowau, kaliyan Pak Sareh, lajeng Eyang Parmo, wilujeng dalu, matur sembah nuwun, Wassalammualaikum. P1 : Walaikumsalam waromatulohi wabarokaduh. Data : 5 Radio Suara Slenk, Senin,12-3-2007 P1 : Assalamualaikummm …..
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
142 P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 :
P1 :
Walaikumsalam warahmatulohi wa barokatuh. Kok gayeng tenan to niku Pak Haji. Nopo, gayeng? Niku angger onten wong loro niku guayeng banget kok. Lha …. Lha ….. lha Niku sing satunggal mbahe Tara, sing satunggal, mbahe Diyah Lha, niku gayeng temen bade masak napa ta Pak? Masak soto ayam Mbak. Wah jan enak tenan, Ya, itulah kesibukan ibu-ibu pada saat-saat seperti ini. La.. inggih, king ngriki nganti ramene mboten jamak. Pada hal jarak 10 meter niku king mriki. Lah niku, berarti sing banter niku sing ngendika nggih? (tertawa) Mangga Pak Haji! Niku, taksih bengak-bengok terus. Lha inggih ta, menapa mendel rumiyin mawon? Nderek kintun-kintun. Inggih mangga – mangga. Kagem Mbak Mus sekeluarga, Patria sekeluarga, lajeng kagem Ibu Wilardi Brotowiryono, lajeng kagem adikku wedok Rino, Bu Iin, Susi, Mbak Yanti, BuJuwan, Bu Gondo, Bu Bagio Mbah Wagiyo, Bu Inem, Mbah Bejo, Bu Isrini, lajeng Bu Ningtiyas, Mbah Buyut Sarwo, Pak Haji Ahmad Dahlah sekeluarga, Pak Jimad, Pak Martoyo, Mas Jangkit Haryo Sunan, Drs Sumarjo, Pak Purwanto, Pak Haji Karmanto, Pak Purnadi, Pak Pujo Santoso, Pak Hartam sekeluarga, Pak Padi, Pak Ratno sadayanipun, Pak Warseno sakalian, Pak Karwono sakalian, Pak Ngatimin, Pak Kasno sokoheru, Pak Rumadi, Pak Surip, Mas Joko, Pak Wardoyo, Pak Parno, Pak Gianto, ugi sadaya monitor lan kru Suara Slenk, sugeng siang, sugeng midangetaken ngaten kamawon, assalamualaikum, yok nyess. Walaikum salam yok nyes.
Data : 6 Selasa, 13-3-2007 P2 : Sugeng siang Mbak. P1 : Nggih mangga. P2 : Inggih, menika saking monitor enggal pandemen Suara Slenk. P1 : Inggih, wonten pundi? P2 : Saking Wonogiri. P1 : Wonogiri? Wonokarto, Pracimantara, Jatipura? P2 : Ngadiraja! P1 : Ngadiraja? Sanes Mbah Lokro, nggih? P2 : Sanes, saking Mbah Wono. P1 : Mbah Wono, oo…. inggih … P2 : Meniko bade nyuwun gending, menapa saged nggih Mbak? P1 : Menapa ta nggih? P2 : Menawi pun parengaken bade nyuwun, menika loo …”Pangkur Macan Ucul” P1 : Pelok barang?
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
143 P2 : Nggih. P1 : Niku panjang sanget nggih, 30 menit, “Pangkur Macan Ucul”, kula catet rumiyin kemawon, bilih mangke mboten saged ngaturaken sanes wekdal nggih …? P2 : Nggih saged, matur sembah nuwun. P1 : Menika mangke nggih “Jineman Sarkoro” rumiyin, nggih Mbah Wono, wonten Ngadiraja nggih? Kula catet rumiyin nggih. P2 : Nggih matur sembah nuwun P1 : Sami-sami Mbah Wono, yook nyess. Data : 7 Rabu, 14-3-2007 P1 : Sugeng enjang, radio Slang ! P2 : Sugeng enjang, Mas Bima, ora dikirimi ki piye ta Mas? P1 : Catetanne ilang kabeh, iki neng komputer kebusak, nganti aku ora isa kirimkirim sapa-sapa, mung sok eling tok. P2 : Kirim nggo mas Bima sik. P1 : Ya, niki Nia, ya? P2 : Nia sapa? P1 : Oh, ….. mba Yati toh! Kleru. P2 : Kliru kabeh. P1 : Lha sapa, lha iya lali. P2 : Mbah Jaka, kurang santer Mas. P1 : Oh …… banter banget kok iki. P2 : Kirim-kirim Mas! P1 : Nggih mangga. P2 : Kangge Mbah Jigerji, Pak Sam, terus …. Anu, sapa… Bude Tugini, Pakde Priya, Bu Lasmi Endang Sigit, Bu Erwin, Mbak Nike Sandra, Pak Gepeng, Pak Hartono sakulawarga. P1 : Mpun? P2 : Lagune Mas, niki lagune napa ? P1 : Lagune “Apa sing Dadi Ati”, “Megat Tresno”, “Jaka Edan”. P2 : Jaka Edan? P1 : Lha iya wis rasakna dewe. P2 : Pun, yok nyess!
Data : 8 Juamat, 16-4-2007 P1 : Hallo.. P2 : Wilujeng siang P1 : Wilujeng siang juragane majalah. P2 : Dos pundi pawartos ipun Mas? P1 : Pawartosipun sae, pangestunipun. P2 : Suantenipun alit menapa ageng Mas? P1 : Suanten panjenengan kirang ageng Bu.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
144 P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 :
P1 : P2 : P1 : P2 :
P1 : P2 :
P1 : P2 : P1 :
Sik tak templeke sik. Kok mboten tumut ngempal wonten permulung menika, Bu? Dalem menika mboten kangge. Mas Rifai, Mas Agung Negara, Mas Tri Petruk, inggih wonten menika. Nek dalem menika mboten kangge, ora payu. Dospundi ta? Nggih ampun mekaten ta Bu. Mboten kok, gojek kok, mengko yen ora gojek marakke stres inggih Dimas, sugeng ngayahi tugas nggih, paripurna mangke tansah sehat walafiat, gendingipun menapa Dimas, mangke? Menika mangke bade kaaturaken “Ladrang semsem”. Ladrang semsem, nggih nderek kemawon, bade kintun-kintun nggih Dimas nggih…? Mangga kasumanggaaken Kegem Bunda Susi kala wau sak brayat, sugeng siang, sugeng dahar ayam gorengipun sambelipun ingkang pedes-pedes kewawon, kersaneipun panas. Ben hawane tambah panas, kalian Mbah Jigerji, Pak Karmono sakeluarga Pak Purwanto, dos pundi pawartos ipun kok sampun dangu mboten miyos, menika miyosipun pun tengga kalian Mbak Mus menika. Inggih… (melanjutkan) Pak Purnadi, Pak Kanto, Pak Hartono, kalian Bu Lasmi, Pak Kasno, Bu Verro, nggih kagem Bapa Prio, Bu Tumini , Pak Jumadi, Pak Tugimin, Pak Haji Ahmad Dahlan, Pak Haji Nur, terus meniko Pak Haji Karmanto, Pak Widodo, Pak Sugiyo, Bapak Hartoyo, Pak Wardoyo, Pak Sis, Pak Warseno Palur, Mas Yanto, Mbak Ning, Pak Pardi sadoyonipun, Pak Ratno sadoyonipun, Mbak sherly, Mbak Evi, Mbak Iin, terus meniko grup Kranggan sedoyoipun, kalian meniko Drs Waryo, Pak Mustari Pak, ee.. Bu Inem, Bu Bagio, Bu Nur, sedayanipun, terus Ibu Joko sampun dangu mboten miyos, sinten malih…. Ha ha ha .. sedaya kemawon. Sedaya kemawon nggih, nggih ngaten kemawon Dimas, matur nuwun, gendingipun “Ladrang semsem” ngaten kemawon Dimas, yook nyess. yook nyess.
Data : 9 Sabtu, 17-4-2007 P1 : Hallo… P2 : Hallo…. P1 : Mbak Kelik? P2 : Hallo Mas Baratwaja, bade nderek kintun-kintun. P1 : Mangga. P2 : Mas Baratwaja kula bade nderek tanglet jenengan sakedik kemawon. P1 : Monggo Mbak Kelik. P2 : Mas Dewo menika wajahipun kok kados Pak Anom nggih? P1 : Inggih, wong putranipun kok. P2 : Ooo …inggih ta.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
145 P1 : Inggih, ampun sanjang sinten-sinten nggih Mbak nggih. Benjang bade mayang lo Mbak. P2 : Wonten pundi? P1 : Wonten TBS P2 : Kalih sinten? P1 : Nggih kalih pesinden kalian yogone no. P2 : Ingkang nyiaraken sinten? P1 : Mangke Mas Parikesit. P2 : Mas, bade sanjang nggih….? Kagem Mas Baratwaja sugeng ngayahi tugas. Mas menika saged on air. Mboten mas. P1 : Oh … saged. P2 : Sugeng ngayahi tugas nggih Mas nggih ngantos paripurno, kondoripun nderekaken wilujeng mangke ngantos dumugi dalem. P1 : Inggih. P2 : Bade katur Mbah Jigerji, Drs. Sumaryo, Mbak Inem Njimbung kalian Bunda Iin, Mbah Partoyo Njajar, kalian garwanipun meniko Mbak Siti Komariyah, Mas Roni sak kaluarga, kalian Bunda Susi sak kaluarga, kalian Bu Jumari Martono sekelaurga, Mbak Yanti nipun Pak Haji Tugimin, matur nuwun, Bu Hajjah Sumarni, Pak Haji Ahmad Dahlan, Mbah Karmono sekeluarga, MbaK Retno sekeluarga, Pak Sugiyo Ndawung wetan, Pak Tugiyo, Jeng Erwin ingkang wonten Njebres, mangke.. supe kulo, gaweane nyenggoli kulo, Mbak Sherly Kartosuro, Pak Hartono sekalian bu Lasminipun, Mas Tri Petruk, sinten malih nggih mas nggih, Mas Jumadi lan sedaya kemawon. P1 : Inggih matur nuwun. Data : 10 Rabu, 18-4-2007 P1 : Wilujeng siang, klenengan nyess. P2 : Wilujeng siang, klenengan nyess P1 : Wah … kaya Janaka Dagen, Pak Haji …. Eh … eh … (tertawa) P2 : Sok, sok, kaya Janaka, sok, sok, kaya Dursasana, sok-sok kaya Ratu Ngatasangin, sok-sok kaya putrane. P1 : Sumangga Pak Haji Tukimin. P2 : Niku wau Bunda Iin? Daleme kok guayeng tenan. P1 : Guayeng …..inggih, wonten Mas Rifai, Mas Kamandaka, kok. P2 : Mas Rifai adipati anom nggih …? P1 : Inggih ning anu lho Mas Rifai, ora Lutung Kasarung, ha..ha..ha.. (tertawa) P2 : Niki Bu Susi menyang Yogya golek pelem. P1 : Nggih terus. P2 : Yen sing siaran mas Baratwaja, nyang ati ayem. P1 : Waduh … lan ayem maneh nek akeh duite ha ha ha … (tertawa) P2 : Lha.. ning duite onten mboten Mas? P1 : Dos pundi? P2 : Duit kencring kecemplung kali. P1 : La… dos pundi menika? P2 : Ilang ..no.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
146 P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 :
Anggere ora teklek kecemplung kalen. Waaa, nek kuwi angger wong wis ngerti no. Pak Haji mangga bade senggal-senggol. Inggih sampun dangu mboten “on air” Inggih . Senggal-senggolipun? Utaminipun ampun supe, ingkang wonten Permulung rumiyin. O… inggih, la sampun ngaten kok kolowau, dugi sok brayat kala wau NKRI inipun dereng . Inggih NKRI, terus Mas Tri Petruk sekeluarga Bunda Iin, Teh Lea, adiku wedok sing eneng Njebres, Mbah Sarwo, Mbah Niken, Mbah Yanti, Bu Jumaing, Bu Endang Sigit, Bu Bagio, Bu Gondo, Bu Wagiyem, Bu Inem, Bu Nur Ingtias, Mbah Bejo, Mbak Misrini, Pak Haji Ahmad Dahlan sekeluarga, Pak Permadi, Pak Sujito, Pak eko, Pak Partoyo, Mas Jangkis, Pak Sistugiman, Drs. Suwagyo, Pak Purwanto, Pak Purnadi, Bopo Pujo Santoso, Pak Sumpeno, Ki Gijergi, Pak Hartono soho Bu Lasni, Pak Wardi sadayanipun, Pak Ratno, sadayanipun, Pak Warseno kalian Ibu, Pak Karmono sakaluargo, Pak Joko, Pak Wardoyo, Pak Parno, Pak Giyanto, niki pun dangu nggih mboten on air, nggih. P1 : Inggih. P2 : (masih menerangkan) Pak Warno, Mpu Gandring, Pak Sarpin, ugi Pak Darmaji, lan sedaya kemawon, sedaya monitor sedaya crew suara SLENK, sugeng siang, sugeng midangetaken, ngaten kemawon. Assalamualaikum, yok nyess. P1 : Walaikum salam yok nyess, matur nuwun sanget Data : 11 Radio Gema Suara Makmur/GSM, Senin, 12-3-2007 P2 : Hallo, Sarinah, Campursari sing paling genah. P1 : Wilujeng siang, Mas Saimo. P2 : Ngangge, Mas to saniki, menika saking Nggawok Mas, P1 : Saking Nggawok ? Kalian Mas sinten? P2 : Mas Bawa menika. P1 : Mas Bawa? P2 : Inggih. P1 : Ayo wa! P2 : Kok ayo wa, ki? Das pundi pawartosanipun mas, mriki ? P1 : Sae-sae mawon Mas Saimo. P2 : Tambah langsing nggih njenengan? P1 : La iya langsing ta ya, jenengan niku. P2 : La inggih ta? Lelangen temen mriki nggih? P1 : Lelangenne apa? P2 : Niki mboten ngertos judule kok niki. Yen kelingan lelakonku jamane nalika ing pamulangan (menyenyi) ngaten nika lo Mas. P1 : Ooo …. allah …… abang ireng ? P2 : Sering dolan nyang warungku, perlune (menyanyi).
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
147 P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 :
Ngapeli karo bakule (tertawa). Wah jenengan meneng-meneng ya pinter nyanyi ngono kok Mas. Opo iku ireng manis (sambil menyanyi), niku nggih? Mbok menawi. Inggih? Kintun-kintun nggih mas, nggih Inggih Kagem Mbak Sam ngaturaken wilujeng siang. Lajeng Mas Nuryadi, wilujeng siang, lajeng kegem 731 sopo iki, oh Mbak anu iki Mbak Nur, Mbak Nur Mangujudan, wilujeng siang, ugi lajeng kangen Mbak Nur Cemani, ugi Pakde Parno, Mas Andri lajeng Mbak Wulan Handayani, lajeng Mas Herlambang, lajeng Mbak Diah, Mbak Andini, lajeng kagem sadoyo, kemawon, wilujeng siang, wilujeng midangetaken, Campursari Sarinah, campursari sing paling genah, matur suwun yok iiii……. P1 : Inggih, matur nuwun.
Data : 12 Rabu, 13-3-2007 P2 : Pentas Campursari Oskadon? P1 : S.P. Inggih, mangga. P2 : Wilujeng siang, nggih Mas Dedi P1 : Nggih Mas. P2 : Wilujeng siang juraganipun paku kalian Pak Sigit ingkang gayengipun mboten kanten-kantenan. P1 : La inggih …, ngalahi bioskop keliling. P2 : Ooo… ngaten, Mas Billy ta Bu, ingkang ngendika. P1 : Oooo…. Inggih kula kok. P2 : Nyuwun tembang ipun Mas! P1 : Tembang napa? P2 : “Jambu Atos.” P1 : “Jambu Atos” nggih. P2 : Nderek kintun nggih, mas nggih? P1 : Nggih. P2 : Kagem Mbak Rindu, wilujeng siang ugi monitor, lajeng katur Pakde Kawid, ingkang wonten Jenggid, Mbak Yuyun, Mbak Emud, hallo, Mas Herry sedang di mana ini terus Mas Budi yang di Cemani, Mbak Ning, mas Jono, mas Yanto di Mojosongo, lajeng Mas Giyanto juga, Mbak Susi, Mbak Tati Gundayani nggih Mas nggih. P1 : Inggih. P2 : Lajeng katur Mbah Santo, Mbak Santi Mbak Sherly, Pak Gunarto, Mas Agus, ingkang wonten Gadingan, Pak Wardi ugi, Pak Gani, o o…. sugeng siang Pak Liang, pengin dolan mriki jane Pak Liang, mangke menawi radi longgar siang mangke kulo dolan mriku, lajeng katur Mas Haryono ingkang wonten Sangkrah, Mas Andri loro-lorone, ngaten kemawon nggih Mas, matur nuwun. P1 : Nggih ….nggih yo matur nuwun
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
148 Data : 13 Rabu, 14-3-2007 P2 : Wilujeng siang Sarinah, Campursari sing paling nggenah. P1 : Radione dicilikke sik. P2 : Pun, pripun pawartosipun Mas Dedi? P1 : Kula sae kemawon, njenengan pripun? P2 : Inggih sae Mas sami Mas. P1 : Syukur alhamdulillah. P2 : Bade nyuwun lelangen Mas. P1 : Lelangene napa? P2 : “Asmaradana Bangun Trisno” Mas. P1 : Asmaradana nggih? P2 : Kintun-kintun nggih Mas nggih? P1 : Nggih mangga! P2 : Kagem Mas Deni, sugeng siang, sugeng ngayahi jati mawon. P1 : Inggih matur nuwun. P2 : Kagem Pak Sigit kalian Bu Sigit, Mas Saimo, Pak Wardi, Bu Wardi, Mbak Kiki, Mbak Mimin, terus Mbak Yuni, terus Pak Giyanto, sedaya monitor mawon nggih Mas nggih? P1 : Inggih P2 : Ngaten mawon nggih. P1 : Mekaten, nggih mangga! P2 : Yook ii P1 : Yook ii matur nuwun nggih. Data : 14 Kamis, 15-3-2007 P1 : Wilujeng siang Sarinah. P2 : Wilujeng siang Sarinah Campursari sing paling nggenah, penyiar nggih langkung nggenah napa? P1 : Rada, sok-sokan. P2 : La kok ngangge rada ta Mas? P1 : Tergantung tanggale. P2 : Niki tanggal tengah-tengah ta Mas. P1 : Tengah napa, rada miduk/mudun. P2 : Nggih mugi-mugi mas Deni sae-sae kemawon. P1 : Inggih … amin P2 : Lelangene nggih Mas nggih? P1 : Nopo lelangene? P2 : “Safitri Samudono” P1 : Inggih. P2 : Kintun kagem Mbak Dwi, Bu Endang, Pak Sigit. Pak Sigit niku kantore sakniki pindahan kok Mas. P1 : Menapa inggih? P2 : Dik emben onten Sragen sakniki ten Sukoharjo Mas. P1 : Em … mulane.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
149 P2 : Wong jane pun penak-penak teng Sragen lo, la kok pindah teng Sukoharjo. Lajeng kagem Mbak Linda, Mbak Novi wonten Mojogedang, lajeng Pak Ali, Bu Ali, nggih sedoyo kemawon nggih Mas nggih? P1 : Nggih. P2 : Wilujeng siang, cekap semanten Mas. P1 : Matur nuwun.
Data : 15 Radio Kita FM, Senin, 12-3-2007 P2 : Hallo, ngopi pagi. P1 : Pak Gambir, selamat pagi. P2 : Lha……… inggih, sugeng enjang. P1 : Kados pundi kabaripun, sae-sae kemawon. P2 : Sae, mboten kirang menapa-napa, kecuali arta …..(tertawa) P1 : Alhamdulillah, Amin P2’ : Pak Gambir, pada ……. (tertawa) P1: Kalau orang masih bisa merasakan kekurangan, itu berarti masih diberikan kenikmatan. P2 : Mugi-mugi panjenengan nggih kados mekaten P1 : Inggih, sami, Amin P2 : Inggih, niki sing dirembung, kok, mung semar, semar, punokawan niku sakniki pun mboten enten. P1 : Kok mboten enten pripun ta? P2 : Mpun suwe niku. P1’ : Lha, kala mben, teng nggene wayang orang Sriwedari kok nggih taksih enten nggih. P2 : Lha, wong punokawan niku pun tau njengkelit teng cedak Nggrogol niku P1’ : Niku lak punokawan sepur, niku sepur Sala - Wonogiri niku. P2 : Lha inggih, niku lak punokawan ta? (tertawa) P1’ : Lha inggih, jenenge punokawan, nggih niku, dek emben tujuane jane apiiik, punokawan niku isa ngembangake pariwisata lak ngoten, ning kok ya ……? P2 : La pripun, la wong sing jenenge punokawan niku, rile ting blencat nika. (tertawa) P1 : Ning jenengan ampun sing jenenge nyacat mencelat tok, solosi, beri solosi. P1’ : Ampun solosi, mangke rak onten karanganyarsi, sragensi barang, solusi P1 : Emoh, tetep kudu solosi, soale neng kota Solo, inggih ta Pak? P2 : Lha …. Inggih. P1 : Lha iya, piye , pak? P2 : Apa kadigdayan sing sajake menarik Ki Semar, Kiyai Bodronoyo, Bogasampir P1 : Boga menika sega, lha inggih upa sampir menika napa ha.. ha.. ha.. (tertawa). P2 : Lha stagen napa anduk P1’ : Ngomong karo pak Gambir ki ya ngene iki, sak kata menggoken isa loro telu mula kene kudu isa nangkep P2 : Lho, mboten, nyolong we ora kok ditangkep.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
150 P1’ : (tertawa) Mboten, artinya ….. wah iki wis menggok maneh iki. P1 : Cepakna roket Pul. P1’ : Arep dinapake? P1 : Arep tak roket tekan nggon sing jenenge Serengan kuwi. P2 : Tunggangke roket, gawa neng mbulan. P1 : Lha iya….. P2 : Lha nika matine Betara kala dipanah karo Pasopati, elek-elek kula niki anake dalang. P1 : Dalang kerusuhan? P2 : (tertawa) Semar, lha pripun Semar wau. P1 : Semar menika meseme samar-samar utawa yen mesem niko samar-samar. Jane kae mesem apa mewek ta? P2 : Lha yen kula bedo malih. Semar menika seneng marang kabecikan. P1 : Semar seneng marang kabecikan, bisa juga P2 : Inggih….mung disingkat Semar Bodronoyo, Bodro niku seneng barang kang endah-endah lan apik, sanajan ta, rupane ora becik. P1 : Aja ngerembung rupa. P2 : Niku fakta kok, niku kanyataanne ngoten. Data: 16 Selasa, 13-3-2007 P1 : Wilujeng siang Campursari Kita FM. Hallo? P2 : Wilujeng siang Campursari Kita FM. P1 : Saking pundi menika? P2 : Saking pundi-pundi P1 : Saking peken ……..(tertawa) La inggih panjenengan niku tindak ngendi wae ta? P2 : Wah …. Baru saja tugas luar, Mbak. P1 : Oh ngaten, tugas lapangan. P2 : Kolowau Mbak Sum nggih. P1 : Inggih leres. P2 : Sugeng siang, matur nuwun senggolanipun. P1 : Kraos menapa Pak, senggolanipun? P2 : Inggih rada krasa, suwe ora ketemu kok. P1 : Inggih kedahipun ngaten. P2 : Ning ya wis ora sempet nyang studio. P1 : Inggih, semanten ugi sing siaran arep mampir ya ra sempat-sempat. P2 : Yen niku pun kula lalekke. P1 : Emoh aku yen dilalekke. P2 : Nggih, yen ora ngaten ya ora ngangeni. P1 : La menika, ngangeni pokoke. Panjenengan menika yen ora miyos sedina wae rasane suweee ngaten. P2 : Tenane. P1 : Tenan, panjenengan rak ora pitados ta? P2 : Mboten, Mbak Jati wonten mboten? P1 : Wonten.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
151 P2 : P1 : P2 : P1 : P2 :
Sugeng siang Mbak Jati yang tercinta. Waduh yang tercinta kembali jare. Kagem Mas Joko AC yang tercinta, Bayu, Mbak Tinah, Mbak Vina. Mbak Vina menika sampun tindak Jakarta? Ooo … ngaten, inggih sanes-sanesipun kenawon nggih, kagem Bunda Suci kalih Mbak Heri ugi Mas Tritarto ing Klaten, ingkang nembe pun wisuda dengan nilai cum laude, tumut remen, semoga ndedel-ndedel terus, wis master tur cumlaude P1 : Ndang bancakan, priyayi ngendi sih. P2 : Priyayi Klaten, ora kalah karo Mbak Wida. P1 : Nah, kandani kok, yen aku dudu cumlaude, ning seka laut (tertawa) inggih. P2 : Kagem Mas Yanta, Mbak Ning ugi, kagem Pak Wondo ing Nggawok, Dimas Modod, ugi Mbah Jaejatul jaene enak, lajeng kagem Mas Mantos, lajeng Bu Iin ing Sumber, Eyang Sekar Gambir, lajeng Bu Marimin Kebalen lajeng Mbak wasito sakalian, Bu Mali Kadipolo, Ibu Hajah Istisah, iki mau udan deres, suwe ora metu, kagem sedayanipun kemawon, Pak Ito muga-muga ora udan, ben wani mampir studio. P1 : La menika ingkang pun tengga, wani mampir no, yen ora udan. P2 : muga-muga tak pujekke ora udan, ben sida mampir. P1 : Jane yo wis siap iki sing arep dilukis. P2 : Lagune napa Mbak niki? P1 : “Mister Mendem”. P2 : Terus mboten wonten liyane. P1 : Mangke wonten ingkang ngersakake “Pepujanku” lan sampun dipun cawisaken. P2 : Nggih, kula nderek “Pepujanku” matur nuwun, joss. P1 : Nggih, joss. Data : 17 Kamis, 15-3-2007 P2 : Hallo ngopi pagi P1 : Inggih saking sinten nggih? P2 : Mbah Satro lali meneh. P1 : Anu, Pak Picis, nggih? P2 : Nggih, sugeng enjang, Mbah Sastro. P1 : Sugeng enjang. P2 : Wonten sinten menika. P1 : Menika wonten Pak Agus. P2 : Sugeng enjang Pak Agus. P1’ : Inggih mangga Pak. P2 : Saya hanya mau menanyakan prosedur untuk melihat rekening melalui sms. Kemarin saya dengar katanya bisa. P1 : Bisa, bisa, inggih. P2 : Bisa, lha itu caranya gimana? Biar saya bisa melihat rekening melalui sms, sampun ceto? Matur nuwun. P1 : Oh …. Inggih joss.
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
152 P1’’ : Seneng inggih mbah Yen ditakoni cendik-cendik yen ditakoni cendik niku jawabe nggih cendik ngaten lo? Ben boten bingung ke Pak Agus ngoten lo. P1 : Jawabe cendik ning sok lali, wis suwe ora tak bukak (tertawa). Ya, nantinanti ada, soale bukuku neng jero lemari dilalah kuncine ya ilang. P1’’ : Ampun kuatir, pokoke niki dicatat, perkara catatan keselip / ketlingsut niku urusan mengke, lak ngaten ta? P1 : Iyo.. iya, enek kok nomore, aku nduwe nek njero aku yakin, la suk Selasa tak wangsuli, dan mudah-mudahan besok Selasa Pak Agus bisa hadir lagi. P1 : Hallo ngopi pagi, saking sinten Pak? P2 : Pak Ari, P1 : Pak Ari wonten … P2 : Makam haji. P1 : Mangga pak Ari. P2 : Ngaten lo mbah … Dulu itu pernah saya menanyakan tagihan rekening listrik melalui sms lah terus kemaren itu, saya ndak tanya tagihan. Saya mendapat sms dari PLN tagihan untuk bulan Maret 2007, yang saya masalahkan itu,saya ngga nanya, kalau saya ngga nanya, itu ya dihentikan saja. Maksud saya begitu, kalau saya ngga menanyakan ya ngga usah diberitahu, jadi ngga keluar biaya, ya itu saja, terima kasih. P1 : Inggih pak Ari Matur nuwun. P2 : Gimana nih pak Agus? P3 : Mengenai sms yang tidak mengendaki dikirim sendiri itu ya Pak ya? P1 : Ya … ya P1’ : Mmmm …. Kemungkinan nanti kita cek Pak, ada kesalahan di mana? Memang sebelumnya Bapak itu mendaftar registrasi sehingga dianggap minta pelayanan sms, betul atau nggak, nanti kita cek dulu. P1 : Ya ada telepon lagi … Hallo ngopi pagi. P2 : Hallo ngopi pagi, selamat pagi Pak Agus. Saya dengar orang-orang takut pada PLN Data : 18 Jumat, 16-3-2007 P1 : Wilujeng siang Kita FM. P2 : Wilujeng siang Mas Godam P1 : Siang, inggih. P2 : Ini Umi Pusi. P1 : Umi Pusi ingkang wonten depan UNS nggih. P2 : Nggih. P1 : Umi Pusi Njagalan. P2 : Nggih P1 : Salam kagem adik-adik sedaya, Papi Kohir ugi nggih .. Umi. P2 : Nggih … Bade nyuwun lagu Mas. P1 : Lagu ipun menapa? Menika wonten “Kasmaran Pandan wangi” P2 : Oh … inggih “Kasmaran” Mas
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
153 P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 :
Kasmaran, nggih Inggih, kintun kintun nggih mas, nggih? Monggo Umi Pusi. Kagem Bela, Mbak Anes, Mbak Atun, Mbak Widi, Mbak Abel Inggih,.. Mbak Astri. Nggih… sampun Mas, matur nuwun. Ngaten kemawon Umi, nggih matur nuwun.
Data : 19 Selasa, 17-4-2007 P2 : Wilujeng siang joss. P1 : Ha ha ha wilujeng siang joss, inggih. P2 : King nDawung niki. P1 : King nDawung nggih menika pokokipun jiwa baru ha ha ha inggih. Sae-sae kemawon Mas Parta. P2: Sae niki. P1 : Inggih. P2 : Mengke bengi muga-muga regeng melih jagalan kudu rawuh kabeh, kudu. P1 : Saking nJagalan nggih? P2 : Kudu rawuh kabeh. P1 : Inggih, inggih menika kedah rawuh, kedah nyanyi, nggih ta? P2 : Penghabisan menika bar niki lagune napa? P1 : Bar niki lagune nunut ngeyub mas. P2 : Lha niku pas. P1 : Ha ha ha P2 : Koyo dek Jumat esuk. P1 : La nggih menika jumat sami ngeyub sedaya nggih Mas Tanta nggih P2 : Bareng terang kondur. P1 : Ha ha ha Ning mas Anta sempat difoto kok ha ha ha…. P2 : Lha nggih kintun lagu sekedap nggih. P1 : Inggih mangga mas Anto nggih. P2 : Kagem Mas Wanda ingkang wonten ing Nggawok wilujeng siang ugi, wau, Bu Hajjah Arfiran nggih. P1 : Nggih kolowau Bu Hajjah Arfiran. P2 : Wilujeng siang ibu mugi-mugi sehat-sehat inggih. P1 : Inggih. Data : 20 Rabu, 18-4-2007 P2 : Siang P1 : Wilujeng siang P2 : Matur nuwun. sakderengipun P1 : Oh inggih sinten menika ingkang saking … ha ha ha engke nek ora disebut ndak nesu, oke ? P2 : Ho ho nyanyi sing apik terus aja kaya gek ingi nyanyi nganyelke
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008
154 P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 : P2 : P1 :
Aku angger sing rawuh okeh ora nyanyi Nyanyi noo Mesakke sing da rawuh mengko kentekan wektu. Nyanyi no.. dek ingi aku dinyanyeke tapi kok tidak berkenan di hati. Wo oo ngaten nggih, ..yo nggolek sing berkenan no? Nanti tak bilang sama Radi ya, … mertuane dinyanyikan Woa, gitu Thank you Thank you, makasih yo, joss kembali,
Analisis tutur..., Sri Hartoyo Budi Susilo, FIB UI, 2008