ISSN. 1907 - 0489 Oktober 2008
Spirit Publik Volume 4, Nomor 2 Halaman: 199 - 214
ANALISIS TENTANG PERILAKU PEMILIH PADA PILKADA TAHUN 2005 DI SURAKARTA (Studi Deskriptif tentang Perilaku PNS Pemerintah Kota Surakarta dalam Pilkada tahun 2005 di Surakarta) Analysis of Voter’s Behaviour in The 2005 Local Mayor Election at Surakarta (A descriptive study about civil servant behaviour usage in the 2005 local mayor election at Surakarta) Sudaryanti Jurusan Administrasi Negara FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta (0271) 637358 (Diterima tanggal 22 Juli 2008, disetujui tanggal 11 September 2008)
Abstract This research tries to describe the voter’s behaviour (civil servants behaviour of Surakarta municipality) in the 2005 local mayor elections at Surakarta. The research question is how the civil servants of Surakarta municipality behaviour in the 2005 local mayor election at Surakarta ? Theories developed in this research is defined from voting behaviour on the basis of Afan Gaffar oppion that quoted by Muhammad Asfar. This theory involves three models or approaches in determining, that are: Sociologic, psychologic and rational politic approarch. Besides founding on rational politic approach, this research is also using mass communication theory; mainly the effect of uses and gratifications model, and interpersonal communication theory. That is information seeking behaviour model. Those theories are combined to get clear description about the voters’ behaviour. Descriptive approach is used in this research and single case is chosen as the strategy. Interview, observation and documentation are chosen as the data collection tool. The data, then, is trianggulated to get verified and validated. The analysis involves three major components that are data reduction, data presentation and conclusion. The research reveals that there is paradigm changing that effects voters’ behavior among civil servant. Politic party where the candidate belong, political issues/programs raised by the candidates and candidate manner are the main orientation for the civil servant to vote to. The orientation encourages the voter to use mass media to get more information about the candidate. The voters then is confirmed the information got from the media with friends and/or college. Keywords: Voting Behaviour, Mass Communication, Interpersonal Communication.
PENDAHULUAN
oleh
bangsa
demokrasi Bangsa menyelenggarakan
Indonesia pemilu
baru untuk
saja memilih
Indonesia
di
bagi
tengah-tengah
pembangunan berlangsungnya
masa transisi. Setelah
pemilihan
presiden
secara
presiden dan wakil presiden secara langsung,
langsung. Agenda demokrasi berikutnya adalah
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, tanpa
pemilihan kepala daerah yaitu Gubernur, Bupati
diwarnai dengan kekerasan dan kerusuhan yang
dan Walikota. Hal ini merupakan perwujudan
berarti. Walaupun agenda politik ini baru pertama
dari pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang
kali digelar oleh bangsa Indonesia, namun
menegaskan
gagasan pemilihan presiden secara langsung
Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara
merupakan kemajuan pesat yang bisa dicapai
demokratik, sekalipun tidak ditegaskan “dipilih
bahwa
Kepala
Daerah
yakni
199
Spirit Publik Vol. 4, No. 2, Oktober 2008 Hal. 199 – 214
langsung oleh rakyat”. Untuk melaksanakan
seluruh Indonesia, tercatat 163 daerah yang masa
pasal 18 ayat (4) UUD 1945, maka dalam
jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun
pemilihan kepala daerah diatur dengan UU No.
2004 dan 2005, dan segera menyelenggarakan
32 tahun 2004 sebagai revisi dari UU no. 22
pilkada pada tahun 2005 (Agun Gunandjar
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Sudasa, 2005). Mulai bulan Juni 2005 pilkada
Mulai bulan Juni 2005 Indonesia untuk
harus digelar di 226 daerah, meliputi 11
pertama kali telah menyelenggarakan pemilihan
pemilihan Gubernur, 179 pemilihan Bupati dan
kepala daerah secara langsung berdasarkan UU
36 pemilihan Walikota (Kompas 26 Pebruari
No. 32 tahun 2004. Satu kemajuan yang berarti
2005). Sementara itu di Jawa Tengah untuk tahun
bagi sejarah bangsa Indonesia dimana telah ada
2005 pilkada digelar di 17 Kabupaten/ Kota
perubahan paradigma pemilihan kepala daerah
(Komisi
dari pemilihan kepala daerah dengan sistem
Surakarta, 2005).
Pemilihan
Umum
Daerah
Kota
perwakilan melalui DPRD, berubah menjadi
Menurut Undang-undang No. 32 tahun
pemilihan kepala daerah dengan sistem pemilihan
2004 pasal 59 ayat (1), dinyatakan bahwa
langsung. Hal ini akan membuka ruang yang
pasangan
lebih luas bagi partisipasi rakyat dalam proses
berpasangan oleh partai politik atau gabungan
demokrasi. Karena pemilihan kepala daerah
partai-partai politik. Sedangkan partai politik atau
dengan
gabungan
sistem
perwakilan
melalui
DPRD
calon
yang
partai-partai
diusulkan
politik
secara
yang
dapat
ternyata sarat dengan rekayasa, begitu mudah
mendaftarkan sebagai pasangan calon adalah
diintervensi, adanya politik uang, politik dagang
partai politik atau gabungan partai-partai politik
sapi, tawar-menawar dan berbagai penyimpangan
yang telah memenuhi persyaratan perolehan
lainnya.
sekuarang-kurangnya 15% dari jumlah kursi Pemilihan
(pilkada)
DPRD, atau 15% dari akumulai perolehan suara
langsung diharapkan akan menghasilkan figur
sah dalam pemilihan anggota DPRD yang
kepemimpinan yang aspiratif, berkualitas dan
bersangkutan ( Pasal 59 ayat (2) UU No. 32 Th.
legitimate. Pilkada langsung akan mendekatkan
2004 ).
pemerintah
kepala
dengan
daerah
dan
Surakarta adalah salah satu kota yang
akuntabilitas kepala daerah benar-benar tertuju
pada tanggal 27 Juli 2005 untuk pertama kali
kepada rakyat (Dahlan Thalib, 2005). Disamping
menyelenggarakan
itu pilkada langsung merupakan tuntutan dan
Walikota dan Wakil Walikota secara langsung.
desakan rakyat yang menghendaki bahwa kepala
Berdasarkan nomor urut pencalonan, urutan
daerah tidak lagi dipilih oleh DPRD tetapi rakyat
pertama adalah pasangan calon dari Partai
dapat
secara
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), nomor
presiden.
urut dua adalah pasangan calon dari Persatuan
menggunakan
langsung
seperti
Dengan
demikian
yang
hak
pada suara
diperintah
politiknya
pemilihan rakyat
tidak
pilkada
untuk
memilih
lagi
Partai Politik Masyarakat Surakarta (PPMS) yang
digadaikan kepada politisi di DPRD dan anggota
merupakan pasangan yang dicalonkan dari
Dewan tidak dapat sepenuhnya memainkan dan
gabungan
memonopoli suara rakyat di daerah.
pasangan calon dari Partai Amanat Nasional
Sehubungan dengan hal ini maka wacana mengenai pilkada langsung terus bergulir. Di
200
partai-partai
kecil, urutan
ketiga
(PAN) dan urutan keempat adalah pasangan calon dari Partai Golkar.
SUDARYANTI- Analisis Tentang Perilaku Pemilih Pada Pilkada Tahun 2005 di Surakarta
Pasangan-pasangan calon kepala daerah
kepemimpinan nasional karena makin terbuka
dicalonkan
mampu
peluang bagi munculnya pemimpin-pemimpin
membawa dan mewujutkan visi dan misi kota
nasional dari bawah dan/daerah. Dan kelima,
Surakarta dan mampu mensinergikan potensi
pilkada langsung jelas lebih meningkatkan
yang dimiliki sehingga dapat dibentuk suatu
kualitas partisipasi serta kedaulatan rakyat disatin
pasangan yang solid yang bisa bisa seiring
pihak dan keterwakilan elit dipihak lain, karena
sejalan dan merupakan figur yang marketable di
masyarakat dapat menentukan sendiri siapa yang
Surakarta. Artinya karena masyarakat memilih
dianggap pantas dan layak yang akan menjadi
langsung maka figur yang dipilih adalah sosok
pemimpinnya ditingkat lokal.
yang
itu
diharapkan
yang bisa menjual dirinya sendiri kepada
Sayangnya belum semua masyarakat
masyarakat Surakarta sehingga calon dengan
aware dan berperan serta dalam pilkada. Menurut
segala karakteristiknya akan menjadi unsur yang
Yamin (2005) partisipasi yang dilakukan oleh
sangat penting.
masyarakat
pada
umumnya
masih
bersifat
Mengingat antusias masyarakat Surakarta
minimalis. Artinya keterlibatan masyarakat yang
dalam menyongsong pilkada begitu tingginya
mempunyai hak pilih, sebatas hanya untuk
maka
menggunakan
pilkada
langsung
saat
ini
perlu
hak
pilihnya
saja,
belum
diagendakan, sebagaimana pendapat Syamsudin
menggunakan hati nurani dan akal sehat bahkan
Haris (2005: 7), seorang peneliti pada Lembaga
kadang-kadang hanya karena iming-iming uang
Penelitian Indonesia memberikan asumsi yang
atau sembako. Semestinya masyarakat dapat
menyatakan bahwa pilkada langsung perlu
secara aktif terlibat didalam proses pilkada mulai
diagendakan karena; pertama, pilkada langsung
dari tahap pencalonan sampai dengan tahap
bagi kepala daerah diperlukan untuk memutus
penetapan calon terpilih, sebagai pemantau dan
mata rantai dan politisasi atas aspirasi publik
pengawas seluruh proses tahapan pilkada.
yang cenderung dilakukan partai-partai politik
Lebih dari itu, esensi pilkada sebenarnya
dan para politisi partai jika kepala daerah dipilih
untuk menghilangkan politik uang di legislatif.
oleh elit politik di DPRD. Kedua, pilkada
Masyarakat lebih memiliki kesadaran individu
langsung bagi kepala daerah untuk meningkatkan
dan meningkatkan daya kritisnya, sehingga
kualitas dan akuntabilitas para elit politik lokal
kualitas, kredibilitas, moralitas, visi dan misi
termasuk kepala daerah sehingga kepala daerah
serta program pasangan calon kepala daerah dan
cenderung lebih bertanggung jawab kepada
wakil kepala daerah lebih memiliki arti dan
masyarakat. Ketiga, pilkada langsung diperlukan
bukan sekedar referensi partai politik yang
untuk
dan
mengusung calon. Tetapi yang terjadi kadang-
efektivitas pemerintahan ditingkat lokal. Melalui
kadang masih memberikan pendidikan politik
pilkada langsung diharapkan Gubernur, Walikota
yang tidak sehat kepada masyarakat dan tidak
dan Bupati yang terpilih dapat menunaikan masa
mendidik masyarakat lebih memiliki harga diri
jabatan secara penuh selama lima tahun, karena
dan moralitas yang bertanggung jawab.
menciptakan
pencopotan
kepala
stabilitas
masa
Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah satu
jabatannya dapat menimbulkan gejolak poltik
bagian dari masyarakat yang mempunyai hak
lokal.
akan
yang sama untuk memilih dalam pilkada dan
memperkuat dan meningkatkan kualitas seleksi
dipilih sebagai calon kepala daerah. Artinya tidak
Keempat,
daerah
politik
pilkada
ditengah langsung
201
Spirit Publik Vol. 4, No. 2, Oktober 2008 Hal. 199 – 214
ada larangan bagi PNS untuk ikut dalam
perubahan
kompetisi
terbukanya
politik
digelanggang
pilkada.
paradigma
dalam
kesempatan
bagi
pilkada
yaitu
PNS
untuk
Terbukanya kesempatan bagi PNS untuk memilih
menggunakan hak politiknya, baik sebagai calon
dan
Kepala Daerah maupun bukan calon Kepala
menentukan
secara
langsung
kepala
daerahnya, serta kesempatan untuk mencalonkan diri
sebagai
kepala
daerah
memunculkan
Daerah ataupun sebagai pemilih dalam pilkada. Didalam
Surat
Edaran
Menteri
Aparatur
Negara
Republik
kesungguhan PNS untuk menyongsong pesta
Pendayagunaan
demokrasi ini dengan berbagai harapan terhadap
Indonesia No. SE/08/M.PAN/3/2005 tentang
kepala daerah terpilih.
Netralitas PNS dalam Pilkada, dinyatakan bahwa
yang
Berbeda dengan pada masa orde baru
bagi PNS yang menjadi calon Kepala Daerah
seakan-akan
maupun
melarang
PNS
untuk
dicalonkan oleh salah satu partai politik dan ada keharusan untuk masuk kedalam Golkar, atau harus memilih salah satu diantara dua, tetap menjadi PNS yang notabene masuk Golkar atau memilih
aktif
dalam
partai
politik
dan
meninggalkan sebagai PNS (Rudianto, 2003). Sementara itu, Azhari (2004) menyatakan bahwa : “Keterkaitan antara Pemilu dan Birokrasi (usable bureaucracy) diantaranya secara jelas tampak dari adanya larangan bagi PNS untuk menjdai anggota dan pengurus Partai Politik serta keharusan mengundurkan diri dari PNS, anggota TNI/ POLRI. Larangan ini mengimplikasikan netralitas birokrasi dalam Pemilu, sehingga birokrasi tidak terpolitisasi dan terpolarisasi oleh kepentingan politik tertentu. Dengan demikian birokrasi dapat berkembang menjadi lembaga profesional dan secara efektif dapat digunakan oleh pemerintah demokratis yang baru untuk mengatur dan melayani masyarakat.” Lebih ditegaskan lagi dalam UndangUndang No. 43 tahun 1999 yang menyatakan bahwa, “Pegawai Negeri Sipil adalah aparatur independen yang merupakan pilar birokrasi yang netral politik. Oleh sebab itu sebagai unsur aparatur negara harus netral dari pengaruh semua golongan
atau
diskriminatif
partai
dalam
politik
memberikan
serta
tidak
pelayanan
kepada masyarakat”. Dengan demikian dalam kaitannya dengan Pilkada, maka PNS dituntut untuk bersikap netral, sekalipun telah ada
202
Wakil
Kepala
Daerah
harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. PNS yang menjadi calon Kepala daerah atau Wakil Kepala Daerah: a. Wajib membuat surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan negeri apabila terpilih menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah. b. Wajib menjalani cuti/tidak aktif sementara dalam jabatan negeri selama proses pemilihan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Dilarang menggunakan anggaran pemerintah dan atau pemeintah daerah. d. Dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya. e. Dilarang melibatkan PNS lainnya untuk memberikan dukungan dalam kampanye. 2. PNS yang bukan calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah: a. Dilarang sebagai panitia pengawas pemilihan, kecuali dari unsur Kejaksaan dan Perguruan Tinggi ataukecuali didaerah pemilihan tersebut tidak terdapat unsur Kejaksaan dan Perguruan Tinggi, PNS dapat berkedudukan sebagai unsur panitia pengawas atas penunjukan Komisi Pemilihan Umum Daerah dengan persetujuan Kepala Daerah. b. Dilarang terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah. c. Dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya dalam kegiatan kampanye d. Dilarang membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye.
SUDARYANTI- Analisis Tentang Perilaku Pemilih Pada Pilkada Tahun 2005 di Surakarta
e. Dilarang menjadi anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), kecuali didaerah pemungutan suara tersebut tidak ada tokoh masyarakat yang independen sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 atas penunjukan KPUD dengan persetujuan Kepala Daerah. Dengan memahami Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Indonesia
Aparatur
Negara
Republik
No. SE/08/M.PAN/3/2005 dapat
diketahui bahwa bagi pasangan calon kepala daerah yang diajukan oleh salah satu partai politik atau gabungan partai-partai politik wajib
Pemerintah Kota Surakarta, yang berdomisili di Surakarta yang dibuktikan dengan KTP, dan mempunyai hak pilih dalam pilkada tahun 2005. Selanjutnya penelitian ini lebih menitikberatkan pada perilaku PNS yang berdinas di lingkungan Pemerintah Kota Surakarta, yang mempunyai hak pilih pada pilkada tahun 2005 kota Surakarta. Denagn adanya perubahan paradigma dalam pilkada sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004 serta dengan adanya Surat Edaran MenPAN No. SE/08/M.PAN/3/2005 maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah perubahan perilaku PNS dalam menentukan pilihannya pada pilkada tahun 2005 di Surakarta ?.
menyerahkan pengunduran diri dari jabatan
METODE PENELITIAN
negeri bagi calon yang berasal dari PNS. Yang dimaksud dengan jabatan negeri adalah jabatan struktural dan jabatan fungsional. Artinya bila seorang
PNS
jadi
calon
Gubernur/Walikora/Bupati mesti mudur dari jabatan
struktural
atau
fungsional
dari
kedinasannya dan non aktif sebagai PNS. Konsekuensinya semua fasilitas yang melekat padanya hilang. Seandainya PNS tersebut terpilih sebagai kepala daerah maka langsung pensiun sebagai PNS, tetapi bila tidak terpilih sebagai kepala daerah maka status PNS tetap aktif dan tidak hilang, sekalipun sudah tidak ada harapan lagi untuk menduduki jabatan semula karena tentu telah ada yang menggantikannya. Dengan demikian pada hakekatnya PNS ”boleh” berpolitik. Artinya punya hak-hak politik sebagaimana masyarakat yang berprofesi bukan sebagai PNS, serta
mempunyai kesempatan
untuk memilih dan dipilih dalam pemilu maupun pilkada. Aturan yang ada ternyata cukup longgar
1. Jenis Penelitian. Penelitian ini menitik beratkan pada penelitian lapangan (field research) dengan maksud untuk mengetahui permasalahan dan untuk mendapatkan
data
di
lokasi
penelitian.
Sementara itu studi kepustakaan (library study)
dipergunakan
konsep-konsep yang
untuk
mendapatkan
berhubungan dengan
variabel penelitian. 2. Lokasi Penelitian. Penelitian
ini
dilakukan
Pemerintah
Kota
pertimbangan
bahwa,
di
lingkungan
Surakarta
dengan
pertama
Surakarta
merupakan salah satu kota yang baru pertama kali menyelenggarakan pilkada dengan sistem pemilihan langsung berdasarkan UU No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua, adanya perubahan paradigma dalam pilkada telah membuka ruang yang lebih luas
bagi PNS untuk mencoba-coba maju dalam
bagi PNS untuk menggunakan hak politiknya
pilkada.
dalam pilkada langsung, namun harus tetap Dalam kajian ini lebih menitik beratkan
pada perilaku PNS yang berdinas di lingkungan
menjaga
netralitas
PNS
sebagai
pilar
birokrasi.
203
Spirit Publik Vol. 4, No. 2, Oktober 2008 Hal. 199 – 214
3. Strategi Penelitian.
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
Strategi dalam penelitian ini menggunakan
masalah pilkada Surakarta tahun 2005 dari
studi kasus yang dilaksanakan pada sasaran
kantor KPUD kota Surakarta.
dengan karakteristik yang sama, oleh karena
6. Validitas Data
itu studi ini merupakan penelitian dengan
Untuk
strategi kasus tunggal.
digunakan dengan cara trianggulasi data
4. Sumber Data Dalam
mencapai
validitas
data
akan
dengan empat macam teknik yakni: (1)
teknik
ini,
sumber
data
yang
Trianggulasi data, (2) Trianggulasi peneliti,
dipergunakan tidak mewakili sebagai populasi
(3)
akan
Trianggulasi teoritis.
metodologis
dan
(4)
tetapi
lebih
cenderung
informasinya.
Oleh
karena
pengambilan
atas
pertimbangan
Dalam penelitian ini mengacu pada teori
tertentu maka dalam hal ini disebut sebagai
Miles dan Hiberman (1984: 22) bahwa teknik
purposive sampling. Untuk bisa mendapatkan
analisis yang dipergunakan dalam penelitian
informasi
dapat
ini adalah model analisis interaktif, yang
dipercaya untuk menjadi sumber data yang
terdiri dari tiga komponen pokok yaitu:
mantap maka peneliti menggunakan informan
reduksi data, sajian data dan penarikan
sejumlah 10 orang PNS dengan perincian,
simpulan dan verifikasi yang dilakukan dalam
satu orang Kepala Bagian, dua orang Kepala
bentuk interaktif dengan proses pengumpulan
Seksi, satu orang Kepala Sub Bagian, dua
data sebagai suatu siklus.
cuplikan
didasarkan
secara
mendalam
mewakili
Trianggulasi
dan
7. Analisis Data
orang Kepala Sub Seksi dan empat orang staf.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5. Teknik pengumpulan data. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan
dengan
teknik
wawancara
mendalam, tidak terstruktur, tidak ketat dan
Perilaku Memilih
tidak dalam suasana formal serta dilakukan
Pemilihan umum adalah jalan lurus untuk
secara berulang-ulang pada informan yang
mewujutkan
sama.
sesungguhnya. Bagi Indonesia khususnya paska
Kemudian
juga
observasi
langsung
rakyat
yang
teknik
amandemen UUD 1945, pelaksanaan pemilu
dilakukan
bukan lagi sekadar rutinitas politik dan aksesoris
dilingkungan kantor Pemkot Surakarta pada
demokrasi. Namun seiring dengan era reformasi,
saat
sesudah
pemilu telah menjadi agenda nasional yang
menunaikan sholat dluhur, maupun ditempat
diharapkan dapat menjadi solusi bagi krisis
lain yang biasa digunakan oleh para PNS
kenegaraan
untuk berkumpul.
mengancam keutuhan wilayah negara Kesatuan
para
Kemudian
PNS
menggunakan
kedaulatan
yang
istirahat
juga
atau
menggunakan
teknik
dan
kebangsaan
yang
nyaris
Republik Indonesia (Ali, 2005: 12).
pengumpulan data dengan mencatat dokumen
Pemilihan umum merupakan kesempatan
(content analysis), yaitu dengan mencatat
bagi warga negara untuk memilih pejabat-pejabat
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
pemerintah
PNS
mereka
204
dilingkungan
Pemkot
Surakarta,
dan
inginkan
memutuskan untuk
apakah
yang
dikerjakan
oleh
SUDARYANTI- Analisis Tentang Perilaku Pemilih Pada Pilkada Tahun 2005 di Surakarta
pemerintah. Dan dalam membuat keputusan itu
berkenaan dengan proses pembuatan kebijakan
warga
yang
dan pelaksanaan keputusan politik. Perilaku
sebenarnya mereka inginkan untuk dimiliki
politik dapat berupa interaksi antara lembaga
(Sofiah, 2001: 12). Dengan demikian pemilihan
pemerintah dan antara kelompok dan individu
umum merupakan suatu cara atau sarana untuk
dalam
menentukan orang-orang yang akan mewakili
pembuatan,
rakyat dalam menjalankan roda pemerintahan.
keputusan politik.
negara
menentukan
apakah
masyarakat
dalam
rangka
pelaksanaan
dan
proses
penegakan
Selaras dengan pengertian pemilihan
Menurut Jack C. Plano (1985: 280) studi
umum, maka cara atau sarana untuk menentukan
perilaku memilih dimaksudkan sebagai suatu
orang-orang
roda
studi yang memusatkan diri pada bidang yang
pemerintahan di tingkat daerah sering disebut
menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan
sebagai pemilihan kepala daerah (pilkada).
rakyat dalam pemilihan umum, serta latar
Menurut Syamsuddin Haris dalam Jurnal Politika
belakang mengapa mereka melakukan pilihan itu.
yang
akan
menjalankan
(2005: 12), pemilihan Kepala Daerah secara
Disamping
istilah
perilaku
memilih
langsung “sangat jelas” merupakan pemilu lokal
dalam pilkada, dikenal pula istilah yang hampir
yang
sama
diikuti
meskipun
oleh
partai-partai
partai-partai
tersebut
lokal
pula
maksudnya
yaitu
partisipasi
politik.
merupakan
Partisipasi politik adalah keikutsertaan warga
cabang dari partai-partai yang bersifat terpusat di
negara biasa dalam menentukan segala keputusan
tingkat nasional. Sementara itu Wakil Ketua
yang
Komisi Pemilihan Umum, Ramlan Surbakti
kehidupannya (Ramlan Surbakti dalam Sudiyono
menegaskan dalam tulisannya pada Harian
Sastroatmojo,1995: 7). Herbert Mc. Closki dalam
Kompas
tanggal 4 Pebruari 2005 bahwa
Budiarjo (1994) berpendapat bahwa partisipasi
“pemilihan Kepala Daerah secara langsung
politik adalah kegiatan-kegiatan suka rela dari
adalah pemilu”. Sedangkan dalam Pasal 56 ayat
warga
(1) UU No. 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa
mengambil bagian dalam proses pemilihan
“Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih
penguasa, dan secara langsung ataupun tidak
dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan
langsung dalam proses pembentukan kebijakan
secara demokratis berdasarkan asas langsung,
umum.
menyangkut
masyarakat
atau
melalui
mempengaruhi
mana
mereka
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”. Dengan
Sementara itu menurut Bryant & White
demikian pilkada secara langsung pada intinya
(1982) bahwa antara tahun 1950-an sampai 1960
adalah pemilihan umum yang dilaksanakan
partisipasi digunakan dalam terma politik, yang
ditingkat daerah (lokal) untuk menentukan
berarti pemungutan suara, keanggotaan partai,
pimpinan pemerintahan daerah atau Kepala
kegiatan dalam perhimpunan suka rela (voluntary
Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
association),
Tindakan
para
pemilih
dalam
memberikan suaranya pada pemilu atau pada
kegiatan-kegiatan
proses
dan
sebagainya. Berangkat
dari
beberapa
pendapat
pilkada dalam studi-studi politik disebut sebagai
tersebut, maka sebagai bentuk partisipasi politik
studi
masyarakat adalah “memberikan suara
perilaku
memilih
(Voting
Behavior).
dalam
Ramlan Surbakti (1999) menyebut sebagai
pemilihan umum” atau
“memberikan suara
perilaku politik yaitu sebagai bagian yang
dalam pilkada” secara langsung sehingga aspirasi
205
Spirit Publik Vol. 4, No. 2, Oktober 2008 Hal. 199 – 214
masyarakat dapat tersalurkan dan diperhatikan
sosial baik secara formal seperti keanggotaan
oleh calon terpilih dan mempengaruhi tindakan-
seseorang
dalam
tindakannya dalam membuat keputusan.
keagamaan,
orga-nisasi-organisasi
Pemberian suara pada pilkada secara
maupun
pemilihan
informal
dengan memilih
profesi,
kelompok-kelompok okupasi dan sebagainya,
langsung menurut Asfar (2005) adalah cara Kepala Daerah
organisasi-organisasi
pengelompokan-pengelompokan seperti
keluarga,
pertemanan,
“orang”, artinya menempatkan figur sebagai
ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya
pertimbangan utama dalam menentukan pilihan
merupakan sesuatu yang sangat vital dalam
Kepala Daerah. Dengan demikian figure calon
memahami perilaku politik, karena kelompok-
Kepala Daerah masih merupakan faktor yang
kelompok ini mempunyai peranan besar
mempengaruhi
dalam
pemilih
untuk
menjatuhkan
pilihan politiknya. Dalam hal ini pertimbangan pemilih lebih bersifat emosional, karena memilih
membentuk
sikap,
persepsi
dan
orientasi seseorang. b. Pendekatan
psikhologis.
Pendekatam
ini
calon bukan berdasarkan kemampuan pribadi
menggunakan dan mengembangkan konsep
seperti
wawasan,
psikhologi
terutama
penguasaan, pengalaman, visi, misi dan program,
sosialisasi,
untuk
akan tetapi dengan pertimbangan cukup hanya
pemilih. Menurut pendekatan ini pemilih
melihat dari garis keturunan, garis ideologis, latar
menentukan
belakang organisasi, popularitas dan tampilan-
kekuatan psikhologis yang berkembang dalam
tampilan fisik seperti “gedhe duwur, tampan”,
dirinya sebagai produk dari proses sosialisasi.
dan sebagainya.
Melalui
kemampuan
intelektual,
Masih berkaitan dengan perilaku pemilih,
konsep
menjelaskan
pilihannya
proses
sikap
karena
sosialisasi
dan
perilaku pengaruh
kemudian
berkembang ikatan psikhologis yang kuat
menurut Afan Gaffar yang dikutip oleh Asfar
antara
(2005: 47) menyatakan bahwa selama ini
kemasyarakatan atau partai politik. Almond
penjelasan-penjelasan teoritis tentang voting
dalam Suryanef (2000) menyatakan bahwa
behavior didasarkan pada tiga model/ pendekatan
sosialisasi politik menunjuk pada proses
yaitu model/ pendekatan sosiologis, model/
pembentukan sikap-sikap dan pola tingkah
pendekatan psikhologis dan model/ pendekatan
laku politik serta merupakan sarana bagi
politik rasional.
generasi untuk mewariskan patokan-patokan
a. Pendekatan
sosiologis
pada
dasarnya
menjelaskan bahwa karakteristik social dan pengelompokan-pengelompokan
dan
seseorang
keyakinan
dengan
politik
organisasi
kepada
generasi
sesudahnya.
sosial
c. Pendekatan politis rasional. Pada pendekatan
mempunyai pengaruh yang cukup signifikan
ini isu-isu politik menjadi pertimbangan
dalam
pemilih.
penting. Para pemilih akan menentukan
Pengelompokan sosial seperti umur (tua-
pilihan berdasarkan penilainnya terhadap isu-
muda),
jenis
isu politik dan kandidat yang diajukan.
agama
dan
menentukan kelamin
perilaku
(laki-perempuan),
semacamnya,
dianggap
Artinya para pemilih dapat menentukan
mempunyai peranan yang cukup menentukan
pilihannya
dalam membentuk perilaku pemilih. Untuk
pertimbangan rasional. Dalam studi voting
itu, pemahaman terhadap pengelompokan
behavior, menurut Ramlan Surbakti dalam
206
berdasarkan
pertimbangan-
SUDARYANTI- Analisis Tentang Perilaku Pemilih Pada Pilkada Tahun 2005 di Surakarta
Asfar
(1999: 52) pemilih rasional yang
dan misi para kandidat. Bambang Ary Wibowo
diadaptasi dari ilmu ekonomi ini biasanya
(2005) menyamakan hal ini dengan politik
menggunakan perhitungan untung rugi dalam
marketing, dimana dalam merebut peluang
menentukan pilihan politiknya. Kalkulasi ini
kandidat Kepala Daerah sebenarnya sama halnya
biasanya berkaitan dengan kandidat mana
dengan bagaimana memahami politik marketing,
yang menawarkan program-program sesuai
dimana setiap produsen mempunyai kesempatan
dengan preferensi politiknya. Perilaku pemilih
yang sama dalam memasarkan produk (kandidat)
berdasarkan
sesuai dengan keinginannya. Produk (kandidat)
pertimbangan
rasional
tidak
hanya berupa memilih alternatif yang paling
yang
mengun-tungkan atau yang mendatangkan
peperangan adalah produk (kandidat) yang
kerugian yang paling sedikit,
mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan,
dalam
arti
memilih
tetapi juga
alternatif
yang
menimbulkan resiko yang paling kecil, yang penting
mendahulukan
selamat.
Dengan
mampu
bersaing
dan
memenangkan
memenuhi keinginan pasar serta memenuhi harapan dari pasar. Ada
hal-hal
penting
dalam
pola
begitu, diasumsikan bahwa para pemilih
pendekatan marketing dalam pilkada langsung,
mempunyai kemampuan untuk menilai isu-isu
yang harus diperhatikan oleh partai politik dalam
politik
mengajukan kandidat (Bambang Ary Wibowo,
yang
(kandidat)
diajukan,
yang
maupun
ditampilkan.
calon
Penilaian
2005) yaitu:
rasional terhadap kandidat ini bisa didasarkan
Pertama, isu dan kebijakan politik, yang
pada jabatan, informasi, pribadi yang popular
merupakan presensi dari kebijakan atau program
karena prestasi masing-masing dibidang seni,
yang akan dilaksanakan oleh para kandidat
olah raga, film, organisasi, politik dan
(calon) Kepala Daerah nanti. Dengan demikian
semacamnya.
pemilih akan tahu apa yang akan dikerjakan
Penelitian
ini
memanfaatkan
model/
pendekatan politik rasional, dengan harapan bahwa dengan pendekatan ini dapat memberikan pandangan
mengenai
ketertarikan
seseorang
untuk memilih yang didasari atas kemampuan untuk menilai figur kandidat, isu-isu/program politik yang diusung oleh kandidat dan partai politik
kandidat,
yang
demi
”rasa
aman”
menjatuhkan pilihan pada kandidat yang bisa mendatangkan
keuntungan
dan
menekan
kerugian yang sekecil-kecilnya. Namun demikian dalam kenyataannya tidak semua pemilih termasuk PNS yang mempunyai hak pilih, mempunyai informasi
kandidat tersebut, misalnya seberapa besar keberanian kandidat mengikuti debat publik untuk menyampaikan visi dan misinya. Kedua, strereotipe
citra
(citra)
sosial,
kandidat
menunjukkan dalam
menarik
pemilih dengan menciptakan asosiasi-asosiasi tertentu sehingga akan terjadi segmentasi pemilih dimana kandidat dapat diterima. Misalnya calon yang berasal dari kalangan intrepreneur, sudah barang tentu akan lebih mudah diterima oleh kelompok usahawan. Partai yang berbasis agama tidak akan begitu mudah menerima calon dari non agama.
yang memadai baik mengenai isu-isu politik atau
Ketiga, perasaan emosional, merupakan
program-program yang ditawarkan para kandidat
platform yang ditawarkan oleh kandidat kepada
Kepala Daerah, figur-figur kandidat bahkan visi
pemilihnya. Misalnya kandidat calon Walikota
207
Spirit Publik Vol. 4, No. 2, Oktober 2008 Hal. 199 – 214
membenahi
bahwa “komunikasi adalah proses penyampaian
pedagang kakilima, tentu akan memunculkan
suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain
perasaan emosional dari masing-masing pemilih.
untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku
Ada yang simpati dan ada yang antipati.
baik langsung secara lisan maupun tak langsung
Surakarta
yang
mencoba
akan
merupakan
melalui media”. Sedangkan Dan Nimmo (1989)
kandidat.
menyatakan bahwa “komunikasi bukan sekadar
Ketegasan, emosional yang stabil, energik, jujur
penerusan informasi dari satu sumber kepada
dan sebagainya akan menjadi acuan bagi pemilih
publik; ia lebih mudah dipahami sebagai
nanti. Misalnya bagi kandidat yang berasal dari
penciptaan kembali gagasan-gagasan informasi
bekas pejabat yang pada saat berkuasa terlibat
oleh public jika diberikan petunjuk dengan
korupsi,
simbol, slogan atau tema pokok”.
citra
Keempat, konsistensi
citra
akan
kandidat,
diri
menjadi
seorang
catatan
bagi
para
Jadi dalam hal ini menunjukkan bahwa
pemilihnya. Terakhir, rasionalitas pemilih. Adanya
komunikasi
tidak
hanya
menyampaikan
rasional menjadi pertimbangan penting bagi para
mengerti dan mengetahui, tetapi lebih dari itu
kandidat dalam mempersiapkan dirinya dan tim
agar orang lain bersedia menerima suatu paham
suksesnya.
atau
Wibowo dapat diketahui bahwa isu-isu dan kebijakan
politik
kandidat
yang
keyakinan,
agar
untuk
perubahan perilaku pemilih yang menjadi lebih
Berangkat dari pendapat Bambang Ary
informasi
bertujuan
melakukan
orang
kegiatan
lain
atau
perbuatan bahkan agar ada perubahan sikap dan perilakunya. Oleh
akan
karena
masyarakat
pemilih
dilaksanakan setelah kandidat terpilih nanti, citra
bertempat tinggal menyebar diberbagai wilayah
sosial kandidat, perasaan emosional kandidat dan
kota Surakarta yang tidak semuanya bisa saling
citra diri seorang kandidat
mengenal, maka diperlukan komunikasi yang
akan menentukan
perilaku pemilih dalam menentukan pilihannya.
mampu menjangkau masyarakat yang jumlahnya banyak. Sementara itu, salah satu hakekat
Komunikasi Massa
komunikasi
ialah
kegiatan
pencarian
dan
Dalam hubungannya dengan perilaku
perolehan informasi dari lingkungan. Informasi
memilih pada pilkada maka yang hendak
dapat diperoleh melalui saluran media massa
dipasarkan adalah para kandidat Kepala Daerah.
sehingga untuk mengkomunikasikan pesan-pesan
Bagaimana pasar (pemilih) tahu dan mengenal
atau informasi-informasi yang berkaitan dengan
seorang kandidat Kepala Daerahnya jika pasar
pilkada diperlukan media atau saluran. Dan
sendiri (pemilih) tidak mengenalnya? Bagaimana
komunikasi melalui media massa dalam pilkada
masyarakat akan memilih jika tidak pernah
menjadi salah satu hal yang sangat penting.
mengenal figur yang akan dipilih bahkan
Dalam berbagai teori, komunikasi melalui media
mengetahui program-program yang ditawarkan
massa sering disebut sebagai komunikasi media
pada masyarakat yang akan memilih?. Dalam hal
massa atau komunikasi massa
ini ternyata perlu adanya komunikasi yang tepat
Untuk mendapatkan informasi, berita
agar mampu memberitahu, mengubah sikap,
ataupun pesan-pesan tentang pilkada, pemilih
pendapat, atau perilaku para pemilih. Hal ini
berusaha secara aktif mencari sumber media yang
sesuai dengan pendapat Onong Uchjana (1992)
paling
208
baik
dan
yang
dapat
memenuhi
SUDARYANTI- Analisis Tentang Perilaku Pemilih Pada Pilkada Tahun 2005 di Surakarta
kebutuhannya. Dengan memanfaatkan media
1989: 274), pertama, bahwa masyarakat dalam
massa tertentu, seperti menonton televisi tertentu,
komunikasi
membaca koran tertentu, mendengarkan radio
mempunyai tujuan terarah. Kedua, anggota
tertentu atau mengakses internet maka sebagian
masyarakat
kebutuhan informasi pilkada dapat terpenuhi.
kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya.
Pemilih sebagai sasaran media massa mempunyai
kekuasaan
bersifat
tahu
aktif
akan
dan
kebutuhan-
Ketiga, bahwa media harus bersaing dengan media lainnya dalam hal pemenuhan kebutuhan
menentukan media massa mana yang paling baik
masyarakatnya. Sementara itu Alexis S. Tan
dan bisa memenuhi kebutuhannya, sehingga dari
(1981: 298) menambahkan yang keempat, bahwa
media massa tersebut pemilih memiliki banyak
masyarakat
informasi atau pesan-pesan sebagai dasar untuk
kebutuhannya
memilih kandidat. Misalnya memilih Walikota
melaporkannya jika dikehendaki. Disamping itu
dan Wakil Walikota tidak hanya cocok karena
mereka juga sadar akan alasan-alasan mengapa
figurnya
mereka menggunakan media.
”gedhe
otonomi
itu
itu
untuk
yang
dan
massa
duwur,
tampan,
sadar
betul
serta
akan
kebutuhan-
menganggap
dapat
bangsawan, berkumis tebal” dan sebagainya
Dari adanya beberapa asumsi ini tampak
tetapi juga untuk motif-motif lain seperti cocok
bahwa model uses and gratificatios tetap menitik
dengan visi dan misinya, program-program atau
beratkan
isu-isu
partai
individu terhadap informasi yang disajikan oleh
atau
berbagai media dengan segala aspek yang
yang
politiknya
diusung,
adalah
atau
PDIP
karena
atau
PAN
Golkar,dan sebagainya.
pada
masalah-masalah
kebutuhan
melingkupinya.
Didalam teori komunikasi massa, dimana khalayak
begitu
informasi/berita/pesan-pesan
aktif melalui
mencari
Komunikasi Interpersonal
media
Namun betapa dahsyatnya terpaan media
massa ini disebut sebagai teori efek komunikasi
massa maka efek media masa tetap tergantung
model uses and gratifications (Littlejohn, 1989:
pada tujuan komunikasi massa. Hal ini senada
274). Model uses and gratifications bertujuan
dengan pendapat Effendy (1992) bahwa efek
untuk menjawab atau menjelaskan bagaimana
komunikasi
yang
timbul
pada
pertemuan antara kebutuhan seseorang dengan
bergantung
pada
tujuan
komunikasi
media, atau lebih khusus lagi informasi yang
dilakukan oleh komunikator. Apakah tujuannya
terdapat dalam media terutama massa. Dalam
agar
model ini pemilih atau khalayak tidak lagi
pandangannya, atau agar komunikan berubah
dipandang sebagai orang yang pasif menerima
tingkah lakunya. Dan media massa tidak mampu
begitu saja semua informasi yang disajikan oleh
mengubah tingkah laku kahalayak. Baru perilaku
media, akan tetapi mereka berlaku aktif dan
khalayak berubah setelah pesan dari media massa
selektif serta juga kritis terhadap semua informasi
itu diteruskan oleh opinion leader dengan
yang disajikan oleh media.
komunikasi
komunikan
berubah
interpersonal.
komunikan
sikap
Karena
yang dan
berbagai
Asumsi dari model ini tetap berkisar pada
informasi/ pesan/ berita dari media massa
keberadaan kebutuhan sosial seseorang dengan
biasanya dibicarakan lagi melalui komunikasi
fungsi informasi yang tersaji pada media. Ada
interpersonal, misalnya pembicaraan tentang
tiga asumsi dasar dalam model ini (Littlejohn,
ramainya persaingan diantara calon kandidat
209
Spirit Publik Vol. 4, No. 2, Oktober 2008 Hal. 199 – 214
Walikota dan Wakil Walikota yang berlangsung
dipilihnya
dikantor-kantor, di tempat-tempat wedangan, di
namanya,
pos-pos ronda, di warung-warung makan dan
agamanya,
sebagainya.
sebagainya yang sangat penting artinya untuk
Komunikasi interpersonal pada dasarnya
selengkap-lengkapnya pendidikannya, pengalamannya,
mengenai
pekerjaannya, cita-citanya
dan
mengubah sikap, pendapat atau perilakunya.
merupakan jalinan hubungan interaktif antara
Selanjutnya Nimmo (1989) menyatakan
seorang individu dan individu lain dimana
bahwa
lambang-lambang
efektif
interpersonal dalam masalah politik kita akan
digunakan, terutama lambang-lambang bahasa.
menelaah kontak personal bagi kepentingan
Penggunaan lambang-lambang bahasa verbal,
politik...............”.
pesan
secara
”dalam
terutama yang bersifat lisan, didalam kenyataan
Dalam
memikirkan
kaitannya
komunikasi
dengan
perilaku
kerap kali disertai dengan bahasa isyarat terutama
pemilih dalam pilkada, komunikasi interpersonal
gerak atau bahasa tubuh (body language) seperti
dalam masalah politik bagi pemilih dapat
senyuman,
dijadikan sebagai sarana untuk dapat memperoleh
tertawa
dan
menganggukkan
menggeleng
kepala.
atau
Komunikasi
informasi
mengenai
citra
kandidat,
isu-
interpersonal pada umumnya dipahami lebih
isu/program-program kandidat, citra diri kandidat
bersifat pribadi (private) dan berlangsung secara
dan sebabagainya. Ini semua tentunya bisa
tatap muka (face to face) (Pawito, 2007: 2).
dilakukan karena tersedia informasi yang cukup
Sementara
itu
(1992)
dan diterima secara langsung melalui komunikasi
berpendapat bahwa komunikasi interpersonal
interpersonal. Sebaliknya bagi kandidat maka
adalah komunikasi antara komunikator dengan
informasi yang disampaikan kepada masyarakat
seorang
ini
akan memperoleh respon yang cepat bahkan
upaya
langsung, sehingga respon dapat segera diketahui
atau
perilaku
apakah sesuai dengan yang diinginkan oleh
dialogis
berupa
komunikan.
dianggap
paling sikap,
seseorang
karena
percakapan.
Komunikasi
efektif
mengubah
Arus
Effendy
dalam
pendapat, sifatnya balik
bersifat
jenis hal
kandidat atau tidak.
langsung.
Demikian
Komunikator mengetahui tanggapan komunikan
interpersonal
ketika
perilaku
itu
juga,
pada
saat
komunikasi
pentingnya
dalam
memilih,
komunikasi
hubungannya bahkan
Nimmo
dengan (1989)
dilancarkan. Dalam hubungannya dengan pilkada
menyatakan bahwa ”semakin tinggi nilai berita
maka
suatu
kandidat
sebagai
komunikator
dapat
peristiwa,
akan
penting
dalam
proses
mengetahui secara pasti apakah komunikasinya
komunikasi
itu positif atau negatif, berhasil atau tidak
penyebarannya”. Lebih dari itu, lingkungan
berhasil. Jika tidak berhasil, kandidat dapat
budaya dan adat istiadat turut mewarnai dalam
memberikan kesempatan kepada masyarakat
proses
untuk bertanya seluas-luasnya.
dimanfaatkan untuk menyampaikan kepentingan-
Pentingnya
komunikasi
interpersonal.
Hal
ini
komunikasi
kepentingan yang berhubungan dengan pilkada
interpersonal seperti itu baik bagi kandidat
misalnya menghadiri undangan pada saat salah
maupun masyarakat ialah karena kandidat dapat
satu anggota partainya mempunyai hajat, atau
mengetahui
dan
mendatangi mereka yang menjadi korban banjir
masyarakat dapat mengetahui kandidat yang
dan sebagainya. Kedekatan jarak ini akan
210
situasi
interpersonal
semakin
masyarakat
pemilihnya
SUDARYANTI- Analisis Tentang Perilaku Pemilih Pada Pilkada Tahun 2005 di Surakarta
memiliki makna tersendiri dari pihak-pihak yang
sudah lebih rasional, karena mereka sudah
terlibat didalamnya dalam proses komunikasi.
merasa bebas dari segala bentuk ancaman,
Selanjutnya dalam kajian ini dapat
tekanan dan sanksi dari lingkungan kerjanya
ditemukan bahwa adanya perubahan paradigma
karena tidak lagi diarahkan oleh pimpinannya
dalam pilkada tahun 2005 di Surakarta telah
untuk memilih pada salah satu kandidat yang
terjadi
pemilih.
dicalonkan dari partai politik tertentu. Figur
Perubahan perilaku terjadi karena ada perubahan
kandidat yang intelek, memiliki kredibilitas,
dasar hukum dalam pilkada, terutama yang
memiliki
mengatur hak-hak politik PNS dalam pilkada.
organisasi pemerintahan dan jujur serta tidak
Undang-undang No. 32 tahun 2004 sebagai revisi
memihak pada salah satu golongan, menjadi
dari Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang
dasar yang penting bagi PNS untuk menentukan
Pemerintah Daerah serta Surat Edaran MENPAN
pilihannya.
pula
perubahan
perilaku
kemampuan
dalam
mengelola
RI No. SE/08/M.PAN/3/2005 menjadi dasar
Disamping itu, orentasi PNS terhadap
dalam memberikan kesempatan PNS untuk
isu-isu/ program politik kandidat yang lebih
menggunakan hak-hak politiknya dalam pilkada,
mengutamakan
telah membuahkan perubahan perilaku PNS
kedalam
untuk
”penyempurnaan
bisa
berpolitik
tanpa
mengurangi
netralitasnya sebagai pilar birokrasi.
pada
organisasi
program
pembenahan
pemerintahan
birokrasi”
menjadi
atau isu-
isu/program politik yang paling menarik bagi
Sekalipun di Surakarta pilkada langsung
PNS sebagai pemilih. Hal ini dengan alasan
baru pertama kali digelar, namun PNS sudah
bahwa Kepala Daerah terpilih pada akhirnya
lebih cerdas dan dewasa dalam menentukan
akan menjadi manager dilingkunan kerjanya.
pilihannya terhadap calon pimpinan pemerintah
Oleh karena itu pembenahan kedalam organisasi
daerah. Kekurangtahuan PNS terhadap figur-
pemerintahan akan memberikan pengaruh pada
figur kandidat, isu-isu/program politik kandidat
pengembangan karir PNS serta peningkatan
dan partai-partai yang mengusung kandidat,
kinerjanya. Disamping juga adanya penegakan
mendorong PNS untuk secara aktif memburu
hukum dan keadilan yang bisa membuahkan
media massa yang menyajikan informasi/berita
tertatanya kembali mekanisme dan prosedur kerja
tentang pilkada. Sedangkan untuk memahami
yang jelas.
secara
mendalam
dan
lebih
dekat/pribadi
Kemudian orientasi PNS terhadap partai
terhadap latar belakang kandidat, kemampuan,
politik yang mencalonkan kandidat. Salah satu
pendidikan, pengalaman, perilaku dan sikap
hal yang menjadi pertimbangan bagi PNS untuk
pribadi kandidat-kandidat, para PNS berusaha
memilih kandidat, tidak terlepas dari citra partai
mengembangkan berbagai informasi dari media
politik yang mengusungnya. Ada catatan penting
massa melalui komunikasi interpersonal yaitu
bagi PNS sebagai pemilih, justru terhadap
dengan
dengan
pendukung salah satu partai politik yang tidak
sesama PNS, dengan masyarakat atau dengan
perbincangan-perbincangan
siap menerima kekalahan. Pengalaman pahit
keluarganya.
dimasa lalu mesih menyisakan catatan buruk bagi
Perubahan perilaku PNS dalam pilkada dapat dilihat pula dari orientasinya terhadap figur
PNS sehingga mendorong PNS untuk lebih berhati-hati dalam menentukan pilihannya.
pasangan kandidat. Perilaku PNS dalam pilkada
211
Spirit Publik Vol. 4, No. 2, Oktober 2008 Hal. 199 – 214
Disamping itu menjadi pertimbangan
Sekalipun yang terpilih nanti adalah
pula bagi PNS terhadap ”partai politik besar”
kandidat yang diusung oleh partai politik yang
yang setelah menang pada pilkada masa lalu
mempunyai catatan khusus bagi PNS, tetapi
tidak pernah memberikan kontribusi apa-apa
harapan pemilih (PNS) pada calon Kepala
terutama terhadap pengembangan karir dan
Daerah terpilih nanti dapat memberikan suasana
peningkatan prestasi kerja PNS. Hal inilah yang
yang sejuk terutama bagi para pendukung
menjadi
partainya.
catatan
penting
bagi
PNS
untuk
Karena
tindakan
anarkhis
yang
memicu terjadinya amuk massa sangat perlu
menentukan pilihannya.
untuk segera dihindari sehingga predikat wong
KESIMPULAN
Solo yang ”sumbu pendek” yang sesungguhnya hanya
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan perilaku pemilih (PNS) tidak hanya karena adanya perubahan paradigma dalam
dilakukan
oleh
sekelompok
oknom
pendukung salah satu partai politik itu tidak akan terjadi lagi. Berkaitan
dengan
program
pilkada dari pilkada dengan sistem perwakilan
penyempurnaan birokrasi, perlu didasarkan pada
berubah
prosedur dan mekanisme yang sudah ada.
menjadi
pilkada
dengan
sistem
pemilihan langsung yang dilandasi dengan
Kesempatan
yang
luas
bagi
PNS
untuk
perubahan dasar hukum.
menentukan pimpinan pemerintahannya, terbaca juga
adanya keinginan dan harapan PNS untuk bisa
diwarnai oleh media massa dan komunikasi
membantu dalam pengembangan karirnya dan
interpersonal.
Perubahan
perilaku
pemilih cukup
hanya
mampu merubah orientasi PNS dari orientasi
luas
untuk
status kearah prestasi kerja. Tentunya hal ini
menggunakan hak politiknya dalam pilkada,
tidak lagi dikecewakan oleh adanya ”Wanjab
tetapi juga memerlukan informasi yang lengkap
jalanan” (Dewan Jabatan) yang berjalan diluar
dan benar tentang pasangan kandidat yang
aturan yang sudah ada.
memiliki
Pemilih
ruang
yang
tidak lebih
dicalonkan, isu-isu/ program politiknya, partai politik yang mencalonkannya dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Hal ini dibuktikan dengan perilakunya yang secara aktif mencari berbagai informasi tentang pilkada
melalui
disediakan
media
dikantor,
massa
baik
berlangganan
yang koran,
membeli eceran maupun dengan menonton televisi lokal dan mendengarkan radio serta mengakses
melalui
internet.
Dari
berbagai
informasi dan berita dari media massa itu kemudian
dibicarakan
kembali
melalui
komunikasi interpersonal untuk mendapatkan kejelasan dan kebenaran informasi dan berita tentang pilkada.
212
Ardianto, Elvinaro, dan Erdinaya, Lukiati Komala, 2004, Komunikasi Massa, Suatu Pengantar, Simbiosa Rekatama Media, Bandung. Bryant G. White, 1982, Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkembang, LP3ES, Jakarta. Budiardjo, Miriam, 1996, Demokrasi di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. -----------------------, 1999, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Combs, James E., Nimmo, Dan, 1993, Propaganda Baru, Remaja Rosdakarya, Bandung. Effendy, Onong, Uchjana, 1981, Dimensi-dimensi Komunikasi, Alumni, Bandung. ----------------------, 1984, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Remaja Rosdakarya, Bandung.
SUDARYANTI- Analisis Tentang Perilaku Pemilih Pada Pilkada Tahun 2005 di Surakarta
----------------------, 1983, Ilmu,Teori dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bakti, Bandung. Griffin, E.M., 2000, A First Look At Communication Theory, Fourth Edition, The Mc. Graw-Hill Companies, Inc. Littlejohn, W. Stephen, 1999, Theories of Human Communication, Sixth Ed., Wards worth Publishing Company, Toronto. Liliweri, Alo, 1991, Memahami Peran Komunikasi Massa Dalam Masyarakat, Citra Aditya, Bandung. Mc. Quail, Denis, 1994, Teori Komunikasi Massa, Terjemahan, Agus Dharma dan Aminuddin, Erlangga, Jakarta. Moleong, Lexy J., 2008, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Remaja Rosdakarya, Bandung. Miles B. Matthew & Huberman Michael A., 1984, Qualitative Data Analysis, Sage Publication Beverly Hill, London, New Delhi, Maswadi Rauf & Mappa Nasrun, 1993, Indonesia dan Komunikasi Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Nimmo, Dan, 1993, Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan dan Media, Penerjemah Tjun Surjaman, Penyunting, Jalaluddin Rakhmat, Remaja Karya, Bandung. -----------------, 1989, Komunikasi Politik, Khalayak dan Efek, Penerjemah Tjun Surjaman, Penyunting Jalaluddin Rakhmat, Remaja, Bandung. Nurudin, 2003, Komunikasi Massa, CESPUR, Malang. Pawito, 2007, Penelitian Komunikasi Kualitatif, PT LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta. Plano, Jack. C., Robert E. Riggs dan Helenan, S. Robbin, 1985, Kamus Analisa Politik, CV. Rajawali, Jakarta. Rudiyanto, Doddy dan Sudjijono Budi, 2003, Manajemen Pemasaran Partai Politik, PT Citra Mandala Pratama Jakarta. Rakhmat, Jalaluddin, 2001, Psikhologi Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung. Sendjaja, Sasa Djuarsa, 1993, Pengantar Komunikasi, Universitas Terbuka, Jakarta. Susanto, Astrid, 1974, Komunikasi Teori dan Praktek, Bina Cipta, Bandung. Sutopo, HB., 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, UNS Press, Surakarta. Widjaja, H. A. W., 2000, Ilmu Komunikasi, Pengantar Studi, Rineka Cipta, Jakarta.
Sumber-sumber Lain:
Imawan, Pilkadal Sebuah Proses Kedewasaan, Makalah Diskusi Terbatas, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2005. Jurnal Politika, Jurnal Pencerahan Politik Untuk Demokrasi, Volume I No. 1 Mei 2005. Konstitusi, Majalah Mahkamah Konstitusi, No. 20, Agustus–Nopember 2007. Muhammad Asfar, Beberapa Pendekatan Dalam Memahami Perilaku Pemilih, Jurnal Ilmu Politik, Volume 16, Tahun 1996, Penerbit Kerja Sama Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Dengan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Aidul Fitriciada Azhari, Agenda Konsolidasi Demokrasi: Perspektif Ketata Negarawan, Makalah, Universitas Muhammadiyah Surakarta, tanpa tahun. Mohammad Yamin, Jalan Panjang Menuju Pilkada Demokratis, Sebuah Catatan Pengantar, Laporan Pilkada 2005, KPUD Kota Surakarta. Undang-undang No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 tentang Pemilihan Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Surat Edaran MenPan RI No. SE/08/M.PAN/3/05 tentang Netralitas PNS Dalam Pilkada. Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah No. 874.3/4027, tentang Netralitas PNS dalam Pilkada Surat Edaran Walikota Surakarta No. 131.05/2656A/2005 tentang Netralitas PNS dalam Pilkada Surakarta Dalam Angka Tahun 2005. Koran Harian Kompas, Pebruari 2005. Koran Harian Solo Pos, Pebruari 2005 Sofiah, L.2 G.97239, 2001, Hubungan Antara Terpaan Kampanye Pemilu Melalui Media Televisi Dengan Perilaku Pemilih, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran, Bandung. A l i, Studi Tentang Komunikasi Dalam Penetapan dan Pelaksanaan Perda Retribusi Pasar di Kabupaten Pemalang, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2004. Kumpulan Artikel Pilkada, KPUD Kota Surakarta, 2004. Waspadaonline/html Httl://bdg.centrin,net.id/-pawitmy/. Riswanda
Agun Gunanjar Sudasa, Urgensi Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung dan Problematikanya, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, 2004.
213
Spirit Publik Vol. 4, No. 2, Oktober 2008 Hal. 199 – 214
214