Jurnal Biosains Vol. 2 No. 1 Maret 2016
ISSN 2443-1230 (cetak) ISSN 2460-6804 (online)
Analisis Substrat dan Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos di Aliran Sungai Babura Kota Medan Eta Rinayanta Berutu dan Masdiana Sinambela Program Studi Biologi, Universitas Negeri Medan,
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik substrat dasar dan indeks keanekaragaman makrozoobentos di aliran sungai Babura kota Medan. Teknik pengumpulan data adalah teknik sampling karena data diperoleh dari hasil pengamatan langsung. Penelitian ini dilakukan bulan Januari 2016, dengan pengambilan sampel pada lima stasiun. Sampel makrozoobentos diambil dengan menggunakan Eckman grab sebanyak lima kali. Makrozoobentos yang ditemukan sebanyak 8 genus yaitu: Pleurocera sp, Anentome sp, Thiara sp, Brotia sp, Melanoides sp, Baetis sp, Haemopis sp, dan Tubifex sp. Indeks keanekaragaman (H’) di sungai Babura tergolong rendah. Hal ini disebabkan oleh tingginya pencemaran yang terjadi di daerah aliran sungai Babura. Karakteristik substrat perairan sungai Babura berupa liat berdebu, lempung berdebu dan lempung berpasir. Dari hasil penelitian didapat bahwa pada stasiun I memiliki keanekaragaman makrozoobentos lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya Kata kunci: Substrat, indeks keanekaragaman, makrozoobentos, Sungai Babura. Substrate Analysis and Diversity Index Macrozoobenthos in The Watershed Babura Medan City ABSTRACK This study aims to determine the characteristics of the base substrate and diversity index Babura macrozoobenthos in the river city of Medan. The data collection technique is a technique of field because the data obtained from direct observations. This research was conducted in January 2016, with sampling at five stations. Samples are macrozoobenthos were successfully taken using Ekman grab as much as five times the decision. The results showed that the macrozoobenthos discovered as much as 8 genus namely: Pleurocera sp, Anentome sp, Thiara sp, Brotia sp, Melanoides sp, Baetis sp, Haemopis sp, and Tubifex sp. Diversity index (H ') in Babura river is low. This is due to the high pollution in watersheds Babura. Babura river waters substrate characteristics such as clay dusty, dusty loam and sandy loam. The result is that the station I had a diversity of macrozoobenthos higher than other stations with the best-quality river at station I. Keywords: Substrate, diversity index, macrozoobenthos, Babura River Pendahuluan
mendukung stabilitas ekologi ekosistem perairan tersebut (Rosida, 2011). Substrat dasar dalam perairan berperan sebagai salah satu faktor ekologis utama yang mempengaruhi struktur komunitas makrozoobentos. Substrat berguna sebagai habitat, tempat mencari makan, dan memijah bagi sebagian besar organisme akuatik. Jika substrat mengalami perubahan maka struktur komunitas makrozoobenthos akan mengalami perubahan pula. Karena perbedaan karakteristik tekstur (pasir, liat, dan debu) berhubungan erat dengan dinamika erosi dan endapan. Selanjutnya tekstur tanah berhubungan dengan pertumbuhan pakan alami termasuk bentos yang hidup di dasar
Sungai merupakan bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peranan penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchmen area) bagi daerah sekitarnya. Oleh karena itu, kondisi suatu sungai sangat berhubungan dengan karakteristik yang dimiliki oleh lingkungan yang ada di sekitarnya. Sungai sebagai suatu ekosistem tersusun dari komponen biotik dan abiotik dan setiap komponen tersebut membentuk suatu jalinan fungsional yang saling mempengaruhi sehingga membentuk suatu aliran energi yang dapat
39
Jurnal Biosains Vol. 2 No. 1 Maret 2016
ISSN 2443-1230 (cetak) ISSN 2460-6804 (online)
perairan (Yunitawati et al, 2012; Purnami et al, 2010) Musthofa (2014), menyebutkan organisme yang hidup di perairan seperti makrozoobenthos sangat peka terhadap perubahan kualitas air tempat hidupnya sehingga akan berpengaruh terhadap komposisi dan kelimpahannya. Hal ini tergantung pada toleransinya terhadap perubahan lingkungan, sehingga organisme ini sering dipakai sebagai indikator tingkat pencemaran suatu perairan. Selain itu, makrozoobenthos merupakan organisme akuatik yang hidup di dasar perairan dengan pergerakan relatif lambat dan menetap serta daur hidupnya relatif lama sehingga hewan tersebut mempunyai kemampuan merespon kondisi kualitas air secara terus menerus. Salah satu faktor yang menjadikan makrozoobenthos sebagai bioindikator untuk kualitas perairan dilihat berdasarkan sebarannya yang luas, jumlah spesies lebih banyak dapat memberikan spektrum respon terhadap tekanan lingkungan. Selain itu cara hidup makrozoobenthos yang relatif menetap (sedentary) pada habitatnya dan juga memiliki siklus hidup lebih panjang memungkinkan menjelaskan perubahan temporal. Astuti et al (2013), menyebutkan bahwa Sungai Babura merupakan sungai yang mengalir dari Kecamatan Sibolangit yang merupakan daerah hulu sungai sampai Kelurahan Petisah sebagai daerah hilirnya. Aliran Sungai Babura melintasi Kecamatan Namorambe yang merupakan bagian tengah Sungai Babura. Daerah aliran sungai (DAS) Babura mempunyai luas ±4.921,88 Ha. Topografi daerah hulu Sungai Babura semakin landai dengan kemiringan 0,2%. Sungai Babura dimanfaatkan sebagian masyarakat untuk mencuci, mandi dan kakus. Kini Sungai Babura mengalami penyempitan akibat banyaknya bangunan yang berdiri tanpa jarak di tepi sungai. Bangunan-bangunan tersebut persis berdiri di atas tepi sungai. sungai ini juga menjadi tempat pembuangan limbah rumah tangga maupun limbah pabrik yang sengaja dibuang ke dalam sungai sehingga semakin berkembangnya zaman sungai ini semakin tercemar. Pembuangan sampah kedalam sungai ini selain mengakibatkan sungai tercemar juga mengalami pendangkalan akibat timbunan sampah-sampah. Rusaknya ekosistem perairan tersebut akan berdampak juga terhadap kehidupan biota air seperti perubahan
struktur komunitas makrozoobenthos, dimana penurunan kelimpahan dan komposisi dari organisme tersebut biasanya merupakan indikator adanya gangguan ekologi yang terjadi pada suatu perairan sungai. Bahan organik yang terdapat pada substrat dasar perairan Sungai Babura berasal dari berbagai aktivitas yang ada di sekitar daerah aliran sungai. Kandungan bahan organik mempunyai hubungan yang sangat erat terhadap kelimpahan makrozoobenthos yaitu sebagai sumber nutrien. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan bahan organik pada substrat dasar berpengaruh terhadap kelimpahan makrozoobenthos. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2016. Pengambilan sampel dilakukan di daerah aliran Sungai Babura Medan. Pengidentifikasian sampel dilakukan di Laboratorium Biologi FMIPA Unimed. Populasi dan Sampel. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah seluruh makrozoobentos yang terdapat dari semua stasiun sampling pada aliran sungai Babura kota Medan. Metode Penelitian. Penelitian ini menggunakan metode sampling yaitu berdasarkan rona lingkungan. Data diperoleh dari hasil penelitian langsung. Prosedur Penelitian. Penelitian diawali dengan pengukuran parameter fisika dan kima perairan sungai Babura. Pengambilan substrat dilakukan dengan menggunakan ekcman grab, sedimen yang terambil dimasukkan kedalam kantong plastik kemudian dikeringkan. Prosedur selanjutnya pengambilan sampel makrozoobentos dengan menggunakan Eckman grab. Sampel yang masuk kedalam eckman gram disaring kemudian disortir lalu dibersikan. Sampel yang sudah bersih di awetkan dengan alkohol 70 %, kemudian dilanjutkan dengan identifikasi sampel menggunakan mikroskop elektron. Teknik Analisis Data. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Hasil dan Pembahasan Dari hasil analisis data penelitian parameter dan fisika perairan dapat dilihat pada tabel
40
Jurnal Biosains Vol. 2 No. 1 Maret 2016
ISSN 2443-1230 (cetak) ISSN 2460-6804 (online)
Tabel 1 Hasil Pengukuran Faktor Fisika Kimia Perairan di Setiap Stasiun Pengamatan Pada Perairan Sungai Babura Kota Medan No Parameter Satuan Stasiun I II III IV V 0C 1 Suhu 280C 290C 290C 290C 280C 2 Kecepatan Arus m/s 0,97 0,72 0,49 0,83 0,74 3 Intensitas Cahaya Lux 270 150 760 960 945 4 Kedalaman cm 37,3 44,3 133 66 65 5 Kecerahan cm 32 30 36 33,5 36,5 6 Kekeruhan NTU 10,87 7,89 3,44 1,46 7,43 7 pH 6,54 6,4 6,05 6,03 6,05 8 DO mg/l 0,35 0,36 0,29 1,38 0,28 9 BOD mg/l 13,21 16,96 13,96 0,91 19,96 10 Nitrit mg/l 0,146 0,864 0,002 2,281 0,022 11 Posfat mg/l 0,63 0,82 0,73 0,54 1,4 12 Detergen µg/l 1,3 1,5 5 4 5,5 Tabel 2 Hasil Pengukuran Tipe Substrat di Sungai Babura Berat Berat Substrat (gr) % Substrat Stasiun Sampel Pasir Debu Liat Pasir Debu
Liat
I
72,5
4,5
37,5
33,4
5,9
49,8
44,4
I
63,3
5,5
28
30,3
8,6
44,2
47,8
III
80,3
53,4
11,45
15,45
66,5
14,2
19,2
IV
70,6
5
47
18,6
7
66,5
26,3
V
60,4
3,7
44,4
12,3
6,1
73,3
20,3
Jenis Substrat Liat berdebu Liat berdebu Lempung berpasir Lempung berdebu Lempung berdebu
Tabel 3 Data Jumlah Individu Hasil Analisis pada Tingkat Kelimpahan, Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi. No Taksa Stasiun I II III IV V 1 Pleuroceridae Pleurocera sp 5 4 3 1 2 Thiara sp 2 3 Thiaridae 3 Melanoides sp 8 5 9 4 5 4 Pachychilidae Brotia sp 3 5 6 3 1 5 Buccinidae Anentome sp 2 2 6 Hirudinea Haemopsis sp 1 7 Baetidae Baetis sp 1 8 Tubificidae Tubifex sp 20 73 87 140 100 Jumlah Taksa 39 90 110 148 106 Total Kelimpahan (ind/ 86,46 199,98 244,42 328,8 235,5 7 5 Indeks Keanekaragaman (H’) 1,3 0,72 0,74 0,25 0,40 Indeks Keseragaman (E) 0,72 0,40 0,41 0,18 0,36 Indeks Dominansi (C) 0,33 0,66 0,63 0,9 0,89
41
Jurnal Biosains Vol. 2 No. 1 Maret 2016
ISSN 2443-1230 (cetak) ISSN 2460-6804 (online)
Suhu di sungai Babura berkisar 280C-290C suhu ini masih dpat mendukung pertumbuhan makrozoobentos, kecepatan arus berkisar dari 0,49 m/s-0,97 m/s arus disungai ini tergolong deras. Adapun perbedaan kecepatan arus sungai ini dikaarenakan adanya perbedaan substrat dasar dan kemiringan yang berbeda. Sagala (2012), menyatakan bahwa kecepatan arus mempengaruhi jenis dan sifat. Intensitas cahaya sungai Babura berkisar 150 lux – 960 lux. Rendahnya intensitas cahaya diakibatkan oleh banyaknya kanopi yang menutupi badan perairan sedangkan badan air yang memperoleh intensitas cahaya tinggi karena hanya sedikit kanopi yang menutupi perairan. Kedalaman perairan berkisar 37,3 cm – 133 cm. Kecerahan 30 cm-36,5 cm. Zat terlarut dalam air sangat mempengaruhi penetrasi cahaya matahari yang berakibat penetrasi terbats akan membatasi organisme air. Menurut Koesbiono (1979), menyatakan pengaruh utama dari kekeruhan adalah penurunan penetrasi secara mencolok sehingga menurunkan aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga akibatnya akan menurunkan produktivitas perairan. Kekeruhan 1,46 NTU – 10,87 NTU. Kekeruhan mengakibatkan menurunnya penetrasi cahaya kebadan perairan sehingga menurunkan aktivitas fotosintesis. Subtrat liat berdebu, lempung berpasir dan lempung berdebu sehingga banyak diperoleh jenis makrozoobentos dari kelas gastropoda. pH sungai Babura 6,03 – 6,54, pH ini masih tergolong netral sehingga masih mampu mendukung kehidupan makrozoobentos. Hal ini sesuai dengan Michael (1995), menyatakan bahwa kehidupan di dalam air masih dapat bertahan bila mempunyai kisaran pH 5-9, karena kisaran pH tersebut memiliki pengaruh bahan beracun yang sangat kecil. DO 0,29 mg/l – 1,38 mg/l. Stasiun I oksigen terlarut sebesar 0,35 mg/l walau di sekitar sungai ini tidak terdapat pemukiman namun ada banyak terdapat aktivitas masyarakat disekitar sungai ini yaitu ada terdapat perkebunan dan juga sungai ini merupakan daerah penghubung antara jalan Bunga Rampe IV dengan Namorambe. Stasiun II kandungan oksigen terlarutnya sebesar 0,36 mg/l dan besarnya kandungan oksigen terlarut pada stasiun III adalah 0,29 mg/l. Barus (2004), menyatakan bahwa nilai oksigen terlarut di suatu perairan sebaiknya berkisar antara 6-8 mg/l. Berdasarkan pernyataan Barus, kandungan nilai oksigen terlarut di aliran sungai Babura ini tidak
memenuhi batas kisaran toleransi. Makin rendah nilai oksigen terlarut maka makin tinggi tingkat pencemaran ekosistem tersebut. Nilai oksigen terlarut dalam suatu perairan dapat berfluktuasi yang dipengaruhi oleh perubahan temperatur dan juga aktivitas fotosintesis tumbuhan yang menghasilkan oksigen. BOD 0,91 mg/l – 19,96 mg/l. Hasil pengukuran nilai BOD di Sungai Babura tidak sesuai dengan pendapat Effendi (2003), yang menyatakan bahwa perairan alami biasanya memiliki BOD berkisar antara 5,7 – 7,0 mg/l, karena kadar BOD di sungai Babura tidak sesuai dengan kisaran toleransi yaitu 0,91 mg/l – 19,96 mg/l. Dimana berdasarkan pendapat Salmin (2005), nilai BOD di atas 10 mg/l – 20 mg/l dapat menekan pertumbuhan makrozoobentos. Tingginya nilai BOD menggambarkan bahwa sungai Babura tercemar karena tidak sesuai dengan kisaran toleransi. Nitrit 0,002 mg/l – 2,281 mg/l. Kandungan nitrit tertinggi terdapat pada stasiun IV yaitu 2,281 mg/l sedangkan jumlah nitrit terendah terdapat pada III yaitu sebesar 0,002 mg/l. sedangkan jumlah nitrit pada stasiun I sebesar 0,146 mg/l, stasiun II 0,864 mg/l, dan stasiun stasiun V sebesar 0,022 mg/l. Kadar nitrit pada perairan relatif stabil karena segera dioksidasi menjadi nitrat. Perairan alami mengandung nitrit sekitar 0,001 mg/liter. Sementara itu kadar nitrit yang diperbolehkan tidak lebih dari 0,5 mg/l. Kadar nitrit yang melebihi batas ambang akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan organisme dalam air. Kadar nitrit lebih dari 5 mg/l menggambarkan terjadinya antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan tinja hewan (Effendi, 2003). Posfat 0,63 mg/l – 1,4 mg/l. Kandungan posfat yang didapat pada kelima stasiun pengamatan berkisar 0,54 mg/l – 1,40 mg/l. kandungan posfat tertinggi terdapat pada stasiun V yaitu 1,40 sedangkan kandungan posfat terendah terdapat pada stasiun IV yaitu 0,5 mg/l, sedangkan pada stasiun I,stasiun II, dan stasiun III secara berturut-turut adalah 0,63 mg/l, 0,82 mg/l, dan 0,73 mg/l. Berdasarkan pernyataan Michael kandungan posfat di aliran sungai Babura telah melewati ambang batas yaitu 0,54 mg/l – 1,40 mg/l. Ttingkat kesuburan perairan Babura tergolong sangat rendah. Sehingga sungai tersebut menimbulkan eutrifikasi yang berdampak pada kelangsungan hidup makrozoobentos.
42
Jurnal Biosains Vol. 2 No. 1 Maret 2016
ISSN 2443-1230 (cetak) ISSN 2460-6804 (online)
Detergen 1,3 µg/l – 5,5 µg/l. Kandungan detergen yang didapat pada kelima stasiun pengamatan berkisar antara 1,3 µg/l – 5,5 µg/l. Bila konsentrasi detergen melebihi konsentrasi 0,003 mg/l akan menyebabkan terbentuknya busa yang stabil. Konsentrasi detergen pada permukaan air berkisar pada 0,05–0,6 mg/l (Ainsworth, 1996). Berdasarkan pernyataan Ainsworth kadar detergen di aliran sungai Babura kota medan masih berada dalam kisaran toleransi yang masih dapat medukung pertumbuhan makrozoobentos. Kelimpahan makrozoobentos yang terdapat di sungai Babura Medan berkisar antara 86,46-328,87 . Kelimpahan tinggi karena banyaknya jumlah individu yang diperoleh dari lokasi penelitian. Kelimpahan makrozoobentos akan berubah pada berbagai tingkatan sebagai bentuk respon terhadap perubahan kondisi lingkungan baik fisika, kimia, maupun biologi di dalam perairan. Keanekaragaman (H’) makrozoobentos pada kelima stasiun pengamatan berkisar antara 0,25-1,3. Keanekaragaman terdapat pada stasiun I yaitu sebesar 1,3 dan nilai keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun IV yaitu 0,25. Sesuai dengan kriteria indeks keanekaragaman Shannon-Wiener disimpulkan bahwa kondisi struktur komunitas makrozoobentos pada stasiun I penyebarannya lebih stabil dibandingkan dengan stasiun yang lainnya. Sesuai dengan pendapat Odum (1993), bahwa perairan yang baik biasanya memiliki tingkat keanekaragaman yang tinggi dibanding dengan perairan yang buruk. Tingginya nilai keanekaragaman pada stasiun I tersebut disebabkan adanya spesies makrozoobenthos yang beranekaragam dengan jumlah masingmasing spesies yang merata. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies relatif merata. Nilai indeks keseragaman (E) makrozoobentos di elima stasiun penelitian berkisar antara 0,18-0,72. Nilai indeks kemerataan berkisar antara 0-1. Semakin kecil nilai E (kemerataan), menunjukkan penyebaran individu tiap spesies tidak sama atau ada kecenderungan salah satu spesies mendominasi. Nilai E mendekati 1 artinya sebaran jumlah individu tiap jenis cenderung merata. Nilai keseragaman tertinggi diperoleh pada stasiun I dengan nilai sebesar 0,72. Berdasarkan nilai
indeks keseragaman yang diperoleh pada stasiun I dapat disimpulkan bahwa penyebaran individu tiap spesies makrozoobentos di stasiun I merata dengan nilai keseragaman tinggi. Nilai terendah didapatkan pada stasiun IV dengan nilai sebesar 0,18. Berdasarkan nilai indeks keseragaman yang diperoleh pada stasiun IV dapat disimpulkan bahwa penyebaran individu tiap spesies makrozoobentos di stasiun IV tidak merata. Rendahnya nilai keseragaman pada stasiun IV disebabkan kondisi perairan di stasiun IV sudah sangat tercemar, sehingga hanya memungkinkan untuk tempat pertumbuhan jenis makrozoobentos tertentu (toleran) saja. Indeks dominansi merupakan suatu nilai yang menunjukkan adanya salah satu jenis makrozoobentos dengan jumlah yang jauh lebih banyak dari jenis makrozoobentos lain. Nilai indeks dominansi makrozoobentos di kelima stasiun penelitian tergolong rendah hingga tinggi dengan kisaran antara 0,33 -0,9. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat stasiun-stasiun pengamatan yang tidak mengalami dominansi jenis makrozoobenthos tertentu, namun terdapat pula stasiun-stasiun penelitian yang didominansi satu atau beberapa jenis tertentu. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun IV yaitu sebesar 0,9, sedangkan nilai terendah terdapat pada stasiun I dengan nilai 0,33. Hewan yang paling dominan terdapat pada stasiun IV yaitu Tubifex, Tingginya dominansi pada stasiun ini dikarenakan kualitas sungai tercemar dan hanya memungkinkan spesies Tubifex yang paling tinggi daya tahannya pada air yang tercemar sehingga jumlahnya melimpah dan paling dominan pada stasiun ini. Makrozoobentos yang berhasil di peroleh dan di identifikasi dari perairan Babura kota Medan, di peroleh genus yang tergolong kedalam 4 kelas, diantaranya adalah kelas Gastropoda yang terdiri dari 5 genus, kelas Insekta terdiri dari 1 genus, kelas Hirudiniea terdiri dari 1 genus, dan kelas Oligochaeta terdiri dari 1 genus. Makrozoobentos yang paling banyak ditemukan adalah dari kelas gastropoda karena substrat dasar perairan Babura berupa lumpur (liat berdebu, lempung berpasir, dan lempung berdebu) dan beberapa parameter fisika dan kimia perairan masih berada dalam kisaran toleransi yang dapat mendukung pertumbuhan makrozoobentos tersebut, hal ini sesuai dengan pendapat Handayani (2001), bahwa Gastropoda merupakan organisme yang mempunyai kisaran penyebaran yang luas di substrat berbatu,
43
Jurnal Biosains Vol. 2 No. 1 Maret 2016
ISSN 2443-1230 (cetak) ISSN 2460-6804 (online)
berpasir, maupun berlumpur, tetapi organisme ini cenderung menyukai substrat berpasir dengan kecepatan arusnya lambat dan mempunyai substrat dasar pasir dan sedikit berlumpur. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Yunitawati (2012,) yang menyatakan Gastropoda tersebar luas di substrat berbatu, berpasir maupun berlumpur tetapi organisme ini lebih cenderung menyukai substrat dasar berlumpur sehingga memungkinkan dapat mendukung pertumbuhan makrozoobentos terutama dari kelas gastopoda jenis individunya banyak. Thiara sp dari family Thiaridae kelas Gastropoda merupakan genus yang paling sedikit didapat. Keadaan ini menunjukkan bahwa kondisi fisika dan kimia perairan kurang mendukung bagi kehidupannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Siahaan (2012), yang menyatakan bahwa Thiara sp menyukai kecepatan arus yang lambat, konsentrasi oksigen terlarut (DO) rendah, sedangkan pada perairan Babura kecepatan arus tergolong deras sehingga memungkinkan Thiara sp hanyut akibat arus yang deras. Jika terjadi pencemaran organik pada perairan maka jumlah spesies Thiara sp akan menurun. Terjadinya penurunan jumlah Thiara sp pada perairan dikarenakan substrat dasar (organik) sebagai sumber pakan yang digunakan sudah tercemar, sehingga dapat mengganggu kelangsungan hidup spesies tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Sulaeman (2005) yang menyatakan bahwa kandungan posfat dalam perairan <5 mg/l menggambarkan rendahnya kesuburan dalam perairan. Hynes (1976), juga menyatakan bahwa beberapa molusca dapat hidup dan berkembang biak pada berbagai jenis substrat yang memiliki ketersediaan nutrisi yang berlimpah, kandungan oksigen terlarut tinggi, dan pH air yang normal. Menurut Hutchinson (1993), Gastropoda merupakan hewan yang dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik pada berbagai jenis substrat yang memiliki ketersediaan makanan dan kehidupannya selalu selalu dipengaruhi oleh kondisi fisika dan kimia perairan. Melanoides sp, Brotia sp, Pleurocera sp banyak ditemukan pada pengamatan dikarenakan beberapa parameter fisika dan kimia perairan masih berada dalam batas kisaran toleransi sehingga masih dapat mendukung kelangsungan hidupnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Siahaan et al, (2012), yang menyatakan bahwa Brotia sp menyukai habitat perairan tenang sampai berarus agak deras atau sedang dan dapat ditemukan pada
kedalaman sampai 500 m dpl. Jenis ini hidup dengan menempel di bebatuan dan cenderung menyukai berpasir dan sedikit berlumpur. Darmawanti (2004), menjelaskan bahwa Melanoides sp merupakan jenis makrozoobentos yang mampu bertahan pada kondisi yang tercemar dan juga senang pada substrat yang mempunyai endapan lumpur bercampur timbunan sampah. Pada stasiun I indeks keanekaragaman makrozoobentos tergolong sedang dibanding dengan stasiun lainnya karena beberapa parameter fisika dan kimia perairan masih berada dalam batas ambang sehingga dapat mendukung pertumbuhan makrozoobentos. Kehadiran Baetis sp hanya terdapat pada stasiun I dengan jumlah sangat sedikit. Hal ini karena perairan di stasiun I masih tergolong bersih dengan tingkat pencemaran sangat ringan dibanding pada stasiun lainnya sehingga kehadiran Baetis sp hanya terdapat pada stasiun I namun dengan jumlah yang sangat sedikit dikarenakan perubahan kondisi lingkungan perairan. Hal ini sesuai dengan pendapat Salmah (1999), yang menyatakan bahwa kelimpahan, keanekaragaman, dan distribusi serangga air dapat dijadikan sebagai bioindikator berhubungan dengan faktor fisika dan faktor kimia yang terdapat dalam suatu habitat di perairan. Ketika suatu habitat dalam suatu perairan mulai berubah maka keanekaragaman dan kelimpahan serangga air yang terdapat pada lokasi tersebut dapat menjelaskan status kualitas perairan tersebut. Karena perubahan faktor fisika dan kimia perairan. Hal ini sesuai dengan pendapat Mohammed et al., (2012), yang menyatakan bahwa pola distribusi serangga air sangat dipengaruhi oleh parameter fisika dan kimia, karena beberapa spesies sangat rentan terhadap polusi sementara yang lain mungkin lebih toleran terhadap kerusakan lingkungan. Genus Tubifex ditemukan pada stasiun I, II, III ,IV, dan V, karena kondisi substrat perairan yang berupa lumpur serta tingginya kandungan organik terlarut pada badan perairan sangat mendukung bagi kehidupan genus ini. Biota makrozoobentos yang paling dominan dan paling melimpah adalah Tubifex hal ini karena kualitas sungai yang sangat buruk sehingga keberadaan hewan ini sangat melimpah karena daya tahannya yang tinggi terhadap tekanan lingkungan, dimana hal ini sesuai dengan pendapat Pennak (1989), menyatakan bahwa jenis hewan Chaeopoda suka
44
Jurnal Biosains Vol. 2 No. 1 Maret 2016
ISSN 2443-1230 (cetak) ISSN 2460-6804 (online)
hidup pada substrat yang berlumpur. Tubifex sp merupakan hewan yang resisten dan toleran dengan kadar O2 terlarut yang rendah, sehingga daya adaptasinya lebih tinggi daripada jenis makrozoobentos yang lain sehingga memungkinkan hewan ini dapat hidup dengan mudah dimana saja. Haemopis sp merupakan lintah yang terdapat dalam air dimana lintah ini dapat ditemukan pada lingkungan yang tercemar, habitat eutrofik dan lingkungan yang mengalami tekanan menengah maupun tekanan tinggi. Jumlah Haemopis sp sangat sedikit ditemukan diduga karena keadaan lingkungan perairan tidak mendukung untuk pertumbuhannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Siahaan (2012) yang menyatakan bahwa lintah pada dasarnya menyukai daerah hangat, arus yang tidak terlalu deras dan dapat hidup pada daerah yang bersifat asam, sedangkan pada sungai Babura suhunya normal, arusnya deras dan pH netral sehingga tidak memungkinkan Haemopis untuk berkembang biak. Jumlah biota yang paling melimpah adalah Tubifex dibanding spesies lainnya karena hewan ini dapat dengan mudah hidup dimana saja karena cacing air ini menyukai substrat berlumpur. Semakin buruk kualitas sungai maka jumlah spesies ini akan semakin banyak pula diduga karena hanya hewan ini yang mampu bertahan hidup dan menyukai kualitas sungai tersebut. Kenakeragaman tertinggi terdapat pada stasiun I ha ini dikarenakan kualitas sungai masih tergolong baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Odum (1993) yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat keanekaragaman maka semakin baik kulaitas sungai , ebaliknya semakin rendah tingkat keanekaragaman maka semakain buruk kualitas sungai. Rendahnya tingkat keanekaragaman diperairan sungai Babura diakibatkan oleh memburuknya kualitas perairan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Nugroho (2006), yang menyatakan bahwa perairan yang kualitasnya baik memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, sedangkan indeks keanekaragaman (H') terendah yaitu stasiun IV maka dikategorikan memiliki keanekaragaman rendah. Rendahnya keanekragaman pada stasiun V karena hanya sedikit jumlah individu setiap genus yang diperoleh. Rendahnya indeks keseragaman pada stasiun stasiun pengamatan menunjukkan bahwa pada stasiun tersebut hanya beberapa jenis
makrozoobentos tertentu yang hidup. Dimana pada stasiun IV tingkat keseragaman rendah dikarenakan hanya sedikit jenis makrozoobentos yang hidup pada stasiun tesebut. Dari hasil perhitungan nilai indeks keseragaman dengan menggunakan rumus Shannon-Wiener, diperoleh data bahwa keseragaman di setiap stasiun pengamatan tergolong dalam kategori tidak baik dan kondisi penyebaran struktur komunitas tidak merata karena berada dalam kisaran 0,18–0,72. Hal ini menunjukkan jumlah setiap individu dari tiap genus dalam populasi memiliki nilai yang tidak seragam. Dengan kata lain ada spesies tertentu yang mendominasi dalam populasi pada setiap stasiun pengamatan di perairan sungai Babura Kota Medan. Hewan yang paling dominan pada stasiun pengamatan adalah Tubifex sp hal ini dikarenakan buruknya kualitas sungai sehingga hanya memungkin Tubifex sp yang mampu bertahan hidup dengan jumlah yang melimpah. Indeks dominansi pada setiap stasiun pengamatan tergolong rendah hingga tinggi, yaitu berada pada kisaran 0,33 – 0,9. Dari hasil analisis data di atas dapat dilihat bahwa semakin rendah nilai indeks keseragaman maka semakin tinggi pula nilai dominansi. Darmono (2008), melaporkan bahwa keberadaan atau banyaknya populasi dan distribusi dari suatu genus organisme dalam suatu ekosistem bergantung pada daya toleransi spesies tersebut terhadap kualiatas perairan. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kualitas sungai Babura tergolong kedalam keadaan baik hingga sangat buruk karena beberapa parameter fisika kimiannya tidak memenuhi batas kisaran toleransi yaitu kadar DO yang rendah berkisar antara 1,38-0,28 mg/l, nilai BOD yang sangat rendah dan terlalu tinggi 0,91-19,96 mg/l, kadar Nitrit 0,002-2,281 mg/l, dan nilai Posfat 0,54-1,4 sehingga kesuburan sungai rendah. Tipe substrat yang terdapat pada Sungai Babura adalah liat berdebu, lempung berpasir dan lempung berdebu sehingga banyak diperoleh jenis makrozoobentos dari kelas gastropoda. Kelimpahan Makrozoobentos tertinggi terdapat pada stasiun IV dikarenakan banyaknya jumlah individu yang diperoleh dalam stasiun pengamatan, sedangkan keanekeragaman pada sungai Babura tergolong tidak teratur karena ada beberapa lokasi penelitian yang keanekaragamannya sangat
45
Jurnal Biosains Vol. 2 No. 1 Maret 2016
ISSN 2443-1230 (cetak) ISSN 2460-6804 (online)
rendah Hal ini disebabkan oleh tingginya pencemaran yang terjadi di daerah aliran sungai Babura. Keseragaman (E) makrozoobentos di sungai Babura tergolong rendah hingga tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran individu tiap spesies tidak sama atau ada kecenderungan salah satu spesies mendominasi. Hewan yang paling dominan adalah Tubifex karena daya tahannya yang tinggi terhadap buruknya kualitas sungai sehingga jumlahnya sangat banyak ditemukan.
Pennak, R.W., (1978), Fresh Water Invertebrate of United States, 2nd, Jhon Wiley and Sons, Inc, New York. Purnami A., Sunarto., dan Setyo P., (2010), Study Of Bentos Community Based On Diversity And Similarity Index In Cengklik dam Boyolali, Jurnal Ekosains, II (2): 50-61. Rosida, (2011), Komunitas Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Air di Sungai Batang Serangan Sampai Tangkahan Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Medan : Universitas Sumatera Utara. Siahaan R,. Indrawan A,. Seodharma., dan Prasetyo L., (2012), Keanekaragaman Makrozoobentos sebagai Indikator Kualitas Air Sungai Cisadane, Jawa Barat – Banten, Jurnal Biologos, 2 (1): 1-9. Yunitawati, Sunarto dan Hasan Z., (2012), Hubungan Antara Substrat Dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Sungai Cantigi, Kabupaten Indramayu. Jurnal Perikanan Dan Kelautan, 3 (3): 221227.
Ucapan Terimakasih Terima kasih penulis ucapakan kepada Bapak Hasruddin, M.Pd selaku Ketua Jurusan Biologi yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Medan.
Daftar Pustaka Astuti A., Meilinda S., dan Julismin, (2013), Analisis Tingkat Kerentanan Banjir Dengan Pendekatan Geoekosistem Di Sub Das Babura Provinsi Sumatera Utara . Jupiis, 5 (1): 19-31. Darmono L., (2008), Lingkungan Hidup Dan Pencemaran. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Handayani, S.T., B. Suharto dan Marsoedi, (2001), Penentuan Status Kualitas Perairan Sungai Brantas Hulu dengan Biomonitoring Makrozoobentos: Tinjauan dari Pencemaran Bahan Organik. Biosain, 1 (1): 32. Hutchinson, W.T., (1993), A Treatise on Lymnologi. Blackwell Scientific Publication Oxford. Hynes, H B N., (1976), The ecology of runing water. Liverool. Univ. Press. Mushthofa A., Muskananfola M., dan Rudiyanti S, (2014), Analisis Struktur Komunitas Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Sungai Wedung Kabupaten Demak, Diponegoro Journal Of Maquares, 3(1): 81-88. Nugroho, A., (2006), Bioindikator Kualitas Air. Universitas Trisakti, Jakarta. Odum P., (1993), Dasar-Dasar Ekologi Edisi ketiga. UGM: Gajah Mada University Pres.
46