ANALISIS STRUKTURAL KUMPULAN PUISI “BULI – BULI LIMA KAKI“ KARYA NIRWAN DEWANTO Tahun 2011
SKRIPSI
Oleh: M.Tomy Dzikri Firdaus NIM. 07 122 063
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA DAN DAERAH Agustus 2011
Analisis Struktural Kumpulan Puisi “ Buli – Buli Lima Kaki “ karya Nirwan Dewanto Tahun 2011
SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Muhammadiyah Jember Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam Menyelesaikan program sarjana (S1) pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Oleh: Mohamad Tomy Dzikri Firdaus NIM 07 122 063
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA,SASTRA INDONESIA DAN DAERRAH Agustus 2011
Motto :
Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar. ~ Khalifah ‘Umar
Pengetahuan itu adalah Perjuangan ; Bagi pemuda yang bercita – cita tinggi (Al Ghozali )
Skripsi oleh Mohamad Tomy Dzikri Firdaus ini telah diperiksa Dan disetujui untuk diuji oleh Tim Penguji
Jember, 30 Juli 2011 Pembimbing I
Suyanto M.Si
Jember, 30 Juli 2011 Pembimbing II
Drs. Hariyono
Skripsi oleh Mohamad Tomy Dzikri Firdaus ini telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 22 Agustus 2011. Dewan Penguji,
Drs H.M.F Rahman Tawil M.Si, Ketua NIP: 194907021976031001
Suyanto M.Si, Anggota I NIP:19680303 200803 1 015
Drs. Hariyono, Anggota II
Mengetahui Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
DR. Hanafi M.Pd NIP: 196708151992 03 1 022
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis Panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rizki dan Hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dan skripsi yang berjudul Analisis Struktural Kumpulan Puisi Buli – Buli Lima Kaki karya Nirwan Dewanto dengan tepat pada waktunya. Sholawat serta Salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut beliau hingga akhir jaman. Sesuai dengan judul, skripsi ini berupaya mengkaji secara cermat apa yang ada di dalam kumpulan puisi “ Buli – Buli lima kaki “ karya Nirwan Dewanto terutama pada Gaya Bahasa atau Majas dan pengimajian atau pencitraan. Diharapkan selain sebagai persyaratan memperoleh gelar sarjana pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jember juga membawa manfaat bagi para pembaca untuk lebih menambah ilmu pengetahuan serta sebagai evaluasi dan pengembangan lebih lanjut, selain itu skripsi ini diharapkan sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam melakukan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kajian ini. Demikian semoga skripsi yang sederhana ini dapat berfaidah bagi yang membutuhkan dan dapat memenuhi apa yang diharapkan. Jember, 1 Agustus 2011
Peneliti
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dalam untaian kata hati yang paling dalam dan hitamnya tinta tulisan skripsi ini akan saya persembahkan untuk orang-orang tercinta dan saya sayangi. 1. Untuk kedua orang tuaku serta adikku yang telah mendo‟akan dan memberi kasih sayang serta dukungan baik secara materiil dan spiritual. 2. Untuk Teman – teman “ UKM Teater Oksigen “ Salam Budaya dan teruslah berkarya dan berkreasi. 3. Teman – temanku Prodi Bahasa dan sastra Indonesia angkatan 2007 semoga kita selalu diberikan kesuksesan dan tetap semangat. 4. Untuk sahabat - sahabatku Habib, Eko Ansel, Ari Ucup, Jumaddin, Senang Miko, Ana Maniez, Hafid Kurniawan, Dwi Irawan, Didik, Anank, Amsari, Lufalinda, Asep Andri, Roma, Adesti, Dewi, Gatriz, Wanda Imoet, Vila Jak Angel, Intan Safitri, Bayu Aremania, Vinda terima kasih atas segala do‟a dan motivasinya. 5. Teman – temanku kosant Gang Family Karimata Jember Pak Bos, Herry Becha van Piero, Eko Ansel, Eko van de Bloroks, Lutfi Irawan, Habib, Galuh hulaG, Amat celeng, Beny, Ali Osing terima kasih atas dukungannya, kalian semua takkan terlupakan. 6. Almamaterku yang kucintai dan kubanggakan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Bahasa, sastra Indonesia dan Daerah Jurusan Bahasa dan seni Universitas Muhammadiyah Jember.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………..… i HALAMAN LOGO …………………………………………………………..…. ii HALAMAN MOTTO………………………………………………………….... iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………….. iv HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………………... v KATA PENGANTAR ……………………………………………………….…. vi HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………………….. vii DAFTAR ISI …………………………………………………………………...viii ABSTRAK …………………………………………………………………… ….x BAB I PENDAHULUAN 1.1 latar belakang ……………………………………………………..…. 1 1.2 rumusan masalah …………………………………………………...... 3 1.3 tujuan …………………………………………………………….........4 1.4 manfaat ………………………………………………………………. 4 1.5 definisi operasional ………………………………………………...... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 pengertian puisi …………………………………………………........ 6 2.2 pengertian majas …………………………………………………....... 7 2.3 Jenis – jenis majas dan pengertian majas ……………………………. 9 2.4 Pengimajian (citraan)………………………………………………...19 2.5 Macam – macam citraan (pengimajian) ……………………………. 20 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan dan Jenis Penelitian ...………………………………….. 21 3.2 Data dan Sumber Data ……………………………………………... 21 3.3 Metode Pengumpulan Data ……………………………………….... 22 3.4 Metode Analisis Data ………………………………………………. 22 3.5 Instrumen Penelitian …………………………………………………22
3.6 Keabsahan data …………………………………………………… ..23 BAB IV PAPARAN DAN TEMUAN DATA 4.1 Gaya bahasa (Majas) ...…………………………………..…………. 24 4.2 pengimajian (Citraan) …………………………………….………… 40 BAB V PEMBAHASAN 5.1 Gaya Bahasa (majas)………………………………………...……… 57 5.2 Pengimajian (Pencitraan)……………………………………...……. 76 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan…………………………………………………………. 98 6.2 Saran………………………………………………………….……... 98 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN - LAMPIRAN
ABSTRAK Mohamad Tomy Dzikri Firdaus, Juli 2011, Analisis Struktural kumpulan puisi “ Buli – Buli Lima kaki “ karya Nirwan Dewanto. Skripsi Program Studi Pendidikan Bahasa,sastra Indonesia dan Daerah Jurusan Bahasa dan seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jember. Dosen pembimbing I : Suyanto S.Pd M.Pd Dosen pembimbing II : Drs. Hariono Kata kunci : Struktural, Puisi Penelitian ini dilatarbelakangi oleh (1) karya sastra jenis puisi merupakan suatu jenis karya sastra yang menggunakan kata – kata indah dan penuh imajinasi didalamnya, (2) pada umumnya para pembaca dan peminat karya sastra kurang mengerti apa yang ada didalam sebuah puisi tersebut baik segi bahasa maupun citraabbya. Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah (1) Majas atau gaya bahasa apakah yang terkandung didalam kumpulan puisi “ Buli – Buli Lima kaki “ karya Nirwan Dewanto, (2) Unsur citraan atau pengimajian apa sajakah yang terkandung dalam kumpulan puisi “ Buli – Buli lima Kaki karya Nirwan Dewanto. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendiskripsikan majas – majas atau gaya bahasa yang terkandung dalam kumpulan puisi “ Buli – Buli lima kaki “ karya Nirwan Dewanto, (2) mendeskripsikan citraan atau pengimajian yang terkandung dalam kumpulan puisi “ Buli – Buli Lima kaki “ karya Nirwan Dewanto. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif, metode yang digunakan adalah deskripsi, sedangkan analisis yang digunakan adalah membentuk intepretasi dan menganalisis data – data yang ada didalam kumpulan puisi Buli – Buli lima kaki karya Nirwan Dewanto. Hasil penelitian ini diperoleh Berdasarkan hasil pembahasan terhadap temuan data dalam Kumpulan puisi “ Buli – Buli Lima Kaki ” karya Nirwan Dewanto, maka gaya bahasa (majas) dan pengimajian (citraan) yang terkandung dalam kumpulan puisi “ Buli – buli Lima Kaki “ meliputi (1) majas Personifikasi dalam puisi gajah Sulawesi, puisi Apel dan Roti, (2) Majas Metafora dalam puisi Senapang, Puisi Kobra, (3) Majas Paralelisme dalam puisi Sapi Lada Hitam, (4) Majas Pertentangan dalam puisi Hiu, (5) Majas Hiperbola dalam puisi Kopi Luwak, Puisi Penunggang Kuda Hitam, (6) Majas Perumpamaan dalam Puisi Babi Merah Jambu, (7) Majas alegori dalam puisi Telor Mata Sapi. Pengimajian (citraan) yang terdapat dalam kumpulan puisi Buli – Buli Lima kaki sang pengarang atau penyair dalam membuat atau menulis puisi lebih banyak terinspirasi dari apa yang dilihat disekitarnya dan apa yang dirasakannya. Hal ini terbukti dengan banyaknya citraan atau pengimajian pengliatan dan citraan perasa
yang terdapat dalam kumpulan puisi Buli – Buli Lima Kaki selain itu sang pengarang juga terinspirasi dengan apa yang didengarnya.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil proses kreatif dari perenungan, pengalaman, dan pencerminan dari berbagai pandangan terhadap berbagai masalah yang terdapat dalam masyarakat. Hasil proses kreatif tersebut tertuang kedalam berbagai bentuk. Salah satu bentuk hasil kreatif itu adsalah puisi. Berbagai pandangan terhadap masalah – masalah yang terdapat dalam masyarakat merupakan wujud dari unsur ekstrinsik sebuah karya sastra, karena karya sastra diciptakan tidak terlepas dari situasi dan kondisi budaya pada saat karya sastra ditulis. Selain itu unsur instrinsik juga member peranan penting dalam membangun terbentuknya salah satu karya sastra berbentuk puisi. Salah satu unsur instrinsik pembentuk puisi adalah majas dan citraan (Pengimajian). Majas merupakan unsur istrinsik yang sangat penting di dalam puisi karena dapat member andil yang besar dalam membangun konsentrasi dan intensifikasi dari sebuah puisi, sering kali majas ini membuat bait puisi menjadi padat dengan makna sekaligus dapat mengkongkretkan hal – hal yang bersifat abstrak sehingga gambaran angan yang disampaikan oleh penyair menjadi lebih jelas. Pengimajian (Citraan) dapat dibatasi dengan pengertian sebagai kata atau susunan kata – kata yang dapat
mengungkapkan
pengalaman
sesoris,
seperti
penglihatan,
pendengaran, dan perasaan (Waluyo,1987.78). Pembelajaran puisi di SMP dan SMA merupakan pembelajaran yang wajib diberikan karena telah tercantum dalam GBPP/ kurikulum. Kenyataan yang terjadi, berbagai jenis buku yang bijadikan sumber materi belajar siswa dan bahan ajar guru menyajikan contoh – contoh karya puisi
yang sering digunakan sebagai contoh dalam berbagai jenis buku sumber, apalagi pembelajaran tersebut diberikan kembali ketika siswa duduk di bangku SMA atau sederajat, sehingga pengetahuan siswa tentang materi apresiasi puisi hanya sebatas yang terdapat pada buku sumber atau buku paket saja. Berdasarkan hal tersebut selain buku paket dijadikan sumber belajar siswa, kumpulan puisi juga dapat dijadikan sumber belajar siswa. Pembelajaran apresiasi puisi di SMP dan SMA sangat relevan sekali jika pembelajaran tersebut menggunakan kumpulan puisi karena di dalam suatu puisi terdapat unsur instrinsik puisi dan unsur – unsur pembangun puisi diantara unsur pembangun puisi tersebut adalah majas dan pengmajian (citraan). Pembelajaran apresiasi puisi melalui kumpulan puisi menuntut siswa untuk lebih kreatif dalam mencari dan menemukan sendiri berbagai contohcontoh unsur pembangun dan unsur – unsur instrinsik dalam puisi sehingga pengetahuan siswa akan lebih optimal. Jadi dengan memmiliki pengetahuan tentang apresiasi puisi siswa dapat menangkap maksud yang ingin disampaikan oleh penyair melalui puisinya, siswa dapat peka terhadap nilainilai sastra dan siswa diharapkan lebih kreatif dalam mengungkapkan imajinasi dengan menulis puisi melalui majas dan pengimajian (citraan). Pembelajaran dengan teknik tersebut sesuai dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang menuntut siswa untuk mencari, menemukan dan menyelesaikan sendiri sedangkan peran guru dituntut untuk lebih kreatif dalam mengembangkan potensi yang sudah ada dalam diri siswa. Pembelajaran majas merupakan pembelajaran di bidang kebahasaan sedangkan pembelajaran puisi merupakan pembelajaran di bidang sastra. Pembelajaran kebahasaan di SMP dan SMA bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berbahasa dan juga meningkatkan kemampuan memperluas wawasan. Selain itu juga diarahkan untuk mempertajam kepekaan perasaan
siswa. Siswa tidak hanya diharapkan mampu memahami informasi yang disampaikan secara terselubung atau secara tidak langsung. Sedangkan pembelajaran sastra di SMP dan SMA bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra. Dengan memiliki pengetahuan tentang majas dan pengimajian (Citraan) maka siswa dapat peka terhadap nilai – nilai sastra dan mendorong siswa untuk lebih kreatif dalam mengungkapkan isi perasaan dengan menulis puisi melalui majas dan citraan. “Buli – Buli Lima Kaki” karya Nirwan Dewanto merupakan kumpulan puisi yang tergolong baru karena diterbitkan pada tahun 2010. Kumpulan puisi tersebut menampilkan contoh – contoh majas yang bervariasi dan menggunakan daya imajinasi yang tinggi. Majas – majas yang terdapat dalam kumpulan puisi tersebut merupakan pencerminan dari pandangan penyair terhadap masalah – masalah yang sedang berkembang pada saat ini yaitu masalah social, politik, dan gender. Jadi dengan memilih kumpulan puisi tersebut siswa dapat lebih mudah memahami maksud yang disampaikan oleh penyair melalui puisinya dan lebih tertarik untuk menemukan berbagai contoh – contoh majas dan juga pengmajian puisi karena masalah – masalah tersebut merupakan masalah yang sedang berkembang pada saat ini. Di samping itu, hal lain yang menarik dalam kumpulan puisi tersebut karena kumpulan puisi tersebut menampilkan makna cinta, sehingga siswa SMP dan SMA akan lebih mudah dalam menemukan berbagai contoh – contoh majas dan citraan dalam kumpulan puisi tersebut. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dipilihlah judul penelitian ini yaitu Analisis Struktural Kumpulan Puisi “Buli – Buli Lima Kaki” Karya Nirwan Dewanto.
1.2 Rumusan Masalah Berdasaskan latar belakang di atas, permasalahan yang akan di kaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Majas apakah yang terkandung dalam kumpulan Puisi “Buli – Buli Lima Kaki” karya Nirwan Dewanto? b. Unsur citran apa sajakah yang terkandung dalam kumpulan Puisi “Buli-Buli Lima Kaki” karya Nirwan Dewanto?
1.3
Tujuan Tujuan Penelitian ini adalah: a. Mendiskripsikan majas – majas yang terdapat dalam kumpulan Puisi “Buli – Buli Lima Kaki” karya Nirwan Dewanto. b. Mendeskripsikan unsur citraan yang terdapat dalam kumpulan Puisi “Buli – Buli Lima Kaki” karya Nirwan Dewanto.
1.4
Manfaat Penelitian ini diharapkan bermanfaat : a. bagi pembelajar ilmu Bahasa dan Sastrtan mengintea Indonesia khususnya siswa SMP dan SMA, penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan tentang materi karya sastra dan menambah bahan kajian kegiatan mengintepretasikan atau mengartikan dan menulis karya sastra terutama puisi. b. bagi guru Bahasa dan Sastra Indoniesia, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan materi pembelajaran Bahasa dan Sastra, khususnya materi tentang puisi di tingkat SMP dan SMA. c. bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan mengkaji (menganalisis) puisi yang ditinjau dari
berbagai segi pengkajian puisi, misalnya dalam menganalisis unsur instrinsik dan structural khususnya pada kumpulan puisi “Buli – Buli Lima Kaki” karya Nirwan Dewanto.
1.5
Definisi Operasional Untuk
menghindari
terjadinya
kesalahpahaman
dalam
membaca dan memahami penelitian ini, berikut dijelaskan mengenai definisi operasional dalam penelitian ini. a. Analisis adalah penyelidikan suatu karangan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya serta mendeskripsikan struktural kumpulan puisi Buli – Buli Lima Kaki karya Nirwan Dewanto. b. Struktural adalah unsur bentuk atau dengan kata lain Unsur pembentuk. c. Puisi adalah pemikiran dan perasaan sang penyair yang dituangkan dalam bentuk tulisan sesuai dengan apa yang dilihat, dirasakan dan didengar. d. Kumpulan puisi “Buli – Buli Lima Kaki” adalah sebuah kumpulan puisi karya Nirwan Dewanto yang diterbitkan oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2010 yang masuk dalam Genre puisi Remaja.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini dibahas teori – teori yang berkaitan dengan ruang lingkup penelitian, teori – teori tersebut dijadikan acuan atau landasan dalam penelitian ini yang meliputi: (1) pengertian puisi, (2) pengertian majas, (3) jenis – jenis majas, (4) pengertian citraan,dan (5) macam – macam pengimajian
2.1 Pengertian Puisi Kata puisi berasal dari bahasa yunani pocima „membuat‟ atau poesis „pembuatan‟ dan dalam bahasa inggris disebut poem atau poetry. Puisi diartikan “membuat” dan “pembuatan” karena lewat puisi pada dasarnya seorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana – suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah (Aminuddin,2009:134). Wirjosoedarmo (dalam Pradopo, 2002: 5) mengemukakan bahwa puisi merupakan karangan yang terikat oleh berbagai aturan yang telah diadatkan, misalnya dikemukakan Wirjosoedarmo tersebut, puisi itu karanga yang terikat oleh: (1) banyak baris dalam bait; (2) banyak kata dalam tiap baris; (3) banyak suku kata dalam tiap baris; (4) Rima; dan (5) irama. Contoh yang dikutip diatas sudah tidak cocok lagi dengan puisi zaman sekarang. Hudson (dalam Aminuddin,2009: 134) mengungkapkan bahwa puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata – kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya.
Pradopo (2002: 314) mengemukakan puisi itu sepanjang tahun selalu berubah, sangat sulit untuk menemukan batasan tentang pengertian puisi menurut pandanga puisi modern yang berdasarkan hakikatnya, perubahan itu disebabkan oleh evolisi selera dan perubahan konsep estetik. Akan tetapi, satu hal yang tidak berubah, yaitu puisi itu mengungkapkan makna secara tidak langsung. Ketidak langsungan itu ialah menyatakan sesuatu hal dengan arti lain. Di samping itu juga, puisi itu memaparkan keinti pasti masalah, peristiwa ataupun narasi (cerita,penceritaan). Slamet muljana (dalam Waluyo,1987: 23) menyatakan bahwa puisi merupakan bentuk. Kesusastraan yang menggunakan pengulangan suara sebagai ciri khasnya. Sedangkan Samuel Johnson menyatakan bahwa puisi adalah peluapan yang spontan dari perasaan yang penuh daya yang berpangkal pada emosi yang berpadu kembali dalam kedamaian (Tarigan, 1985:5).
2.2 Pengertian Majas Gaya Bahasa sering disebut majas merupakan unsur instrinsik yang juga sangat penting di dalam puisi, karena dapat memberi andil yang sangat besar dalam membangun konsentrasi dan intensifikasi dari sebuah puisi. Sering kali majas ini membuat puisi menjadi padat dengan makna dan imajinasi serta sekaligus memberi warna emosi tertentu pada perasaan yang menanggapinya. Rifaterre (dalam Atmazaki, 1993:49) mengatakan bahwa puisi mengucapkan sesuatu secara tidak langsung. Ucapan tidak langsung ialah menyatakan suatu hal dengan cara lain. Ketidak langsungan disebabkan oleh tiga hal, yaitu: (1) penggantian arti, (2) penyimpangan arti, dan (3) penciptaan arti. Penggantian arti terjadi kalau arti kata – kata diubah dari arti pertama menjadi arti lain, seperti pada metafora, metonimia dan sebagainya. Penyimpangan arti terdapat pada keambiguitasan makna kata
atau kelompok kata, kontradiksi, dan nonsense. Penciptaan arti terjadi dengan pemanfaatan ruang tertentu: tipografi, enjambemen, rima, dan lain – lain. Bahasa kiasan atau majas termasuk pada ketidaklangsungan ucapan berupa penggantian arti. Sebuah atau sekelompok kata tidak menyandang arti denotasi tetapi arti konotasi karena telah dimasuki unsur – unsur tertentu. Menurut Abrams (dalam Atmazaki, 1993:49) majas adalah penggantian arti dari apa yang kita pahami sevagai arti standar atau asli menjadi arti lain untuk mendapatkan arti atau efek tertentu. Jadi apa yang dikatakan dengan apa yang dimaksudkan disembunyikan dalam kiasan – kiasa. Oleh karena itu, pengertian menjadi luas maka pemakaian majas di dalam puisi membuat puisi menjadi luas, segar, menarik perhatian dan menimbulkan tanggapan yang jelas. Menurut Tarigan (1985:5) gaya bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Sedangkan menurut keraf (1985:113) mengatakan bahwa gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran memalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan – santun, dan menarik. Dengan demikian majas merupakan gaya bahasa yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan menggunakan bahasa kias. Sebenarnya masih ada hubungan makna antara bentuk harfiah dengan makna kiasnya, namun hubungan itu bersifat tidak langsung, atau paling tidak membutuhkan tafsiran pembaca yang digunakan untuk meningkatkan efek estetik dengan mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain. Dengan demikian majas merupakan gaya bahasa yang maknanya tidak dapat ditafsirkan sesuai
dengan makna kata – kata yang membentuknya. Untuk itu pembaca haruslah mencari makna di luar rangkaian kata dan kalimat itu. 2.3 Jenis – jenis majas dan macam – macam majas 2.3.1 Jenis – jenis majas Gaya bahasa atau majas dapat dikategorikan dalam berbagai cara. Lain penulis lain pula klasifikasi yang di tulisnya. Gorys Keraf (dalam Tarigan,1985: 6) telah memperbincangkan jenis – jenis gaya bahasa (majas) dengan sangat terperinci dalam bukunya „ Diksi dan Gaya Bahasa‟ ada beberapa macam gaya bahasa yang yang termasuk empat kelompok gaya bahasa, berikut adalah empat jenis gaya bahasa tersebut (1) gaya bahasa perbandingan, (2) gaya bahasa pertentangan, (3) gaya bahasa pertautan, dan (4) gaya bahasa perulangan. Dapat disimpulkan bahwa jenis – Jenis majas (Gaya Bahasa) antara lain adalah : (1) Gaya bahasa Perbandingan, (2) Gaya bahasa pertentangan, (3) Gaya bahasa pertautan, dan (4) gaya bahasa perulangan 2.3.2 Macam – macam Majas Majas merupakan gaya bahasa yang mendayagunakan penuturan dengan menggunakan bahasa kias. Bahasa kias (majas) ada bermacam – macam, namun meskipun bermacam – macam, mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum, yaitu bahasa – bahasa kiasan tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain (Altenbernd dalam Pradopo,2002:61). Dengan demikian bahasa kiasan merupakan gaya bahasa yang maknanya tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan makna kata – kata yang membentuknya. Untuk itu pembaca haruslah mencari makna di luar rangkaian kata dan kalimat itu. Keraf (1996: 138) mengemukakan macam – macam bahasa kiasan tersebut adalah: (a) persamaan (simile), (b) metafora, (c) alegori, parable, dan fable, (d) personifikasi, (e) Hipalase, (f) Antitesis, (g) Pleonasme, (h)
Alusio, (i) metonimia, (j) antonomasia, (k) Gradasi, (l) ironi, sinisme, dan sarkasme, (m) Inuendo, (n) sinekdoke, (o) antifrasis, (p) Paralelisme. A) Majas persamaan (Simile) Persamaan atau simile ialah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan menggunakan kata – kata pembanding: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, seupa, se-, dan kata – kata
pembanding
yang lain (Pradopo, 2002:
62).sedangkan menurut Tarigan(1985: 9) mengungkapkan bahwa kata simile berasal dari bahasa latin yang bermakna „seperti‟. Perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja kita anggap sama. Itulah sebabnya maka sering pula kata perumpamaan disamakan. saja dengan persamaan dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa majas persamaan adalah
majas
atau
gaya
bahasa
yang
menyamakan
atau
membandingkan satu hal dengan hal lain. Contoh : Seperti air dengan minyak Seperti air di daun keladi Ibarat mencencang air Ibarat mengejar bayangan (Tarigan,1985:10)
B) Majas Metafora Metafora adalah bahasa kiasan dengan membandingkan dua hal secara langsung (Keraf, 1996: 39). Metafora sebagai pembanding langsung tidak mempergunakan kata: seperti, bak, bagai, dan sebagainya sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Aminuddin (2009:143) mengatakan bahwa metafora yakni pengungkapan yang mengandung makna secara tersirat untuk
mengungkapkan acuan makna yang lain selain makna sebenarnya, misalnya, “ cemara pun gugur daun” mengungkapkan makna “ketidakabadian
kehidupan”.
Selanjutnya
Tarigan(1985:
15)
mengatakan bahwa Metafora adalah sejenis gaya bahasa yang paling singkat, padat, tersusun rapi. Di dalamnya terlihat dua gagasan: yang satu adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, yang menjadi obyek; dan yang satu lagi merupakan pembanding terhadap kenyataan tadi; dan kita menggantikan yang belakangan itu menjadi terdahulu tadi. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa majas atau gaya bahasa metafora adalah gaya bahasa yang mengungkapkan
makna
secara
singkat
dan
tersirat
untuk
mengungkapkan makna lain selain makna yang sebenarnya. Contoh : Nani jinak – jinak merpati Ali mata keranjang Mereka ditimpa celaka Aku terus memburu untung Perpustakaan gudang ilmu Koran sumber Informasi …………………………. (Tarigan,1985: 16)
C) Majas Alegori Alegori adalah cerita yang dikisahkan dalam lambing – lambing merupakan metafora yang diperluas dan berkesinambungan, tempat atau wadah obyek – obyek atau gagasan – gagasan yang diperlambangkan (Tarigan,1985: 24). Fabel dan parabel merupakan alegori singkat. Pradopo (1987: 71) mengatakan Alegori ialah cerita
kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain.
Contoh : Kancil dengan buaya Kancil dengan kura – kura Kancil dengan harimau Kancil dengan ular Kancil dengan burung gagak Kancil dengan petani (Tarigan.1985: 24)
D) Majas Personifikasi Majas personifikasi atau pengorangan adalah bahasa kiasan yang memberikan sifat – sifat benda hidup (bernyawa) kepada benda – benda yang tidak bernyawa (Pradopo, 2002: 75). Benda – benda mati dibuat dapat berfikir, berbuat, atau dapat disuruh melakukan sesuatu seperti dilakukan oleh benda – benda hidup. Personifikasi ini membuat hidup likisan, disamping itu member kejelasan beberan, memberikan bayangan angan yang kongkret. Sedangkan menurut Tarigan( 1985: 17) mengatakan bahwa Personifikasi berasal dari bahasa latin pesona(„ 0rang, pelaku, actor, atau topeng yang dipakai dalam drama) + fic („ membuat „). Karena itulah maka apabila kita mempergunakan gaya bahasa personifikasi, kita memberikan cirri – cirri atau kualitas, yaitu kualitas pribadi orang kepada benda-benda yang tidak bernyawa ataupun kepada gagasan – gagasan. Contoh: OMBAK ITULAH Ombak itulah yang membangunkanku lagi padamu :
Rambutmu masih hijau meskipun musim berangkat coklat Ku jahit lagi robekan – robekan tahun pada kegelisahan ku Dan darahmu kembali mengatakan yang ingin diucapkan jantung …………………………………………………………………….. (Hadi dalam Atmazaki, 1993: 55)
E) Majas Hipalase Terkadang
kita
mempergunakan
suatu
kata
tertentu
buat
menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata lain. Cara ini juga merupakan sebuah gaya bahasa yang disebut hipalase. Dengan perkataan lain: Hipalase adalah sejenis gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari suatu hubungan alamiah antara dua komponen gagasan (Tarigan, 1985: 89). Contoh: Kami tetap menagih bekas mertuamu utang pinjaman kepada pak cikmu. ( Maksudnya: Kami tetap menagih utang pinjaman bekas mertuamu kepada Pakcikmu). Aku menaiki sebuah kendaraan yang resah. ( yang resah adalah aku, Bukan kendaraannya).
F) Majas antithesis Gaya
bahasa
yang
mengungkapkan
suatu
maksud
dengan
menggunakan kata – kata yang berlawanan (Waridah,2008: 329). Poerwadarminta(dalam Tarigan( 1985: 27) mengatakan bahwa secara kalamiah antithesis berarti „lawan yang tepat‟ pertentangan yang benar – benar. Sedangkan Ducrot & Todorov ( dalam Tarigan, 1985: 27) mnegungkapkan bahwa Antitesis adalah sejenis gaya bahasa yang mengadakan komparasi atau perbandingan antara dua
antonym ( yaitu kata – kata yang mengandung cirri – cirri semantic yang bertentangan). Contoh: Semua kebaikan ayahnya dibalasnya dengan keburukan yang menyesakkan dada.
G) Majas pleonasme Satu pikiran atau gagasan yang disampaikan secara berlebihan sehingga ada beberapa keterangan yang kurang dibutuhkan (Waridah,2008: 323).Poerwadarminta Dalam (Tarigan,1985: 29) mengatakan
Pleonasme
adalah
pemakaian
kata
yang
mubazir(berlebihan), yang sebenarnya tidak perlu( seperti menurut sepanjang adat; saling tolong-menolong). Sedangkan Keraf (1985: 133) mengatakan bahwa suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Contoh: Mereka boleh memburu Mereka boleh membakar Mereka boleh menembak (“Afrika Selatan” Subagio sostrowardo)
H) Majas Alusio Gaya bahasa yang berusaha menyugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa (Waridah,2008: 332). Contoh: Semangat Bandung lautan api menggelora di hati kami.
I) Majas Metonimia Kiasan pengganti nama. Sifat atau atribut suatu objek disebutkan sebagai pengganti objek tersebut, kemudian atribut atau sifat itu
dianggap dberbuat sebagaimana objeknya sendiri berbuat (Atmazaki, 1993:
59).
Wartawan
sering
menyebutkan,
“binaragraha
mengeluarkan pernyataan….” Sebenarnya yang dimaksudkan adalah presiden Indonesia mengeluarkan pernyataan. Dalam kehidupan sehari – hari, binagraha diasosiasikan dengan orang yang menguasai binagraha, presiden. Aminuddin (2009 :143) menggungkapkan metonimia yakni pengungkapan dengan pengungkapan suatu realitas tertentu, baik itu nama orang, benda, atau sesuatu yang lain untuk menampilkan makna – makna tertentu. Misalnya. “Hei! Jangan kau patahkan kuntum bungan itu”. “Kumtum bunga” di situ mewakili makna tentang remaja yang lagi mekar buat mencapai cita – cita hidupnya.
Contoh: SORGA Buat Basuku Resobowo Seperti ibu + nenekku juga Tambah tujuh keturunan yang lalu Aku minta pula supaya sampai di sorga Yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai Susu Dan bertabur bidadari beribu …………………………………… (Anwar dalam Atmazaki, 1993: 59)
J) Majas Antonomasia Gaya bahasa yang menggunakan nama diri, gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri (Waridah,2008: 332).
Contoh: Menteri PU, meresmikan jalan lingkar Nagreg, Jawa Barat.
K) Majas Gradasi Gaya bahasa yang mengandung suatu rangkaian atau urutan (paling sedikit tiga) kata atau istilah yang secara sintaksis bersamaan yang mempunyai satu atau beberapa cirri – cirri semantik secara umum dan yang di antaranya paling sedikit satu cirri diulang – ulang dengan perubahan – perubahan yang bersifat kuantitatif (Tarigan, 1985: 140). Contoh: Aku mempersembahkan cintaku padamu, cinta yang bersih dan suci; suci murni tanpa noda; noda yang selalu kujauhi dalam hidup ini; hidup yang mendambakan perintah tuhan; tuhan pencipta alam semesta yang kupuja selama hidupku.
L) Majas Ironi, sinisme, dan sarkasme Majas ironi adalah suatu acuan yang ingin menyatakan sesuatu dengan makna atau makssud yang berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata – katanya (Keraf,1996: 143). Pengungkapan bahasa secara ironi memberikan arti yang berbeda dari apa yang diciptakan, pengungkapannya ditujukan untuk menyindir sebuah keadaan. Contoh: COCTAIL – PARTY Meluruskan baju – baju dahulu Meletakkan sanggul rapi Lembut ikal rambut di dahi
Pertarungan dapat dimulai Berlomba dengan waktu Dengan kebosanan, apalagi Pertarungan ilus (Heraty dalam Atmazaki,1993: 64) M) Majas innuendo Majas innuendo adalah sejenis majas (gaya bahasa) yang berupa sindiran
dengan
mengecilkan
kenyataan
yang
sebenarnya
(Keraf,1996: 143). Majas ini menyatakan kritik tidak langsung. Biasanya ditandai dengan penggunaan kata: sedikit, agak, dan sejenisnya. Contoh : Dia memang baik, Cuma agak jujur. Pernyataan itu saya kira agak tidak masuk akal. Ia menjadi orang kaya baru karena sedikit mengkomersialkan jabatan. Setiap ujian sipenmaru dia gagal karena sedikit malas belajar. (Keraf, 1996: 143) N) Majas Sinekdoke Majas sinekdoke adalah bahasa kiasan yang mengungkapkan sebagian
untuk
menunjukkan
keseluruhan
objek
atau
mengungkapkan keseluruhan untuk menunjukkan sebagian objek. Bagian untuk keseluruhan dikenal dengan istilah pars pro toto dan keseluruhan untuk sebagian dekenal dengan istilah totem properte (Atmazaki, 1993: 57). Selanjutnya Altenbernd( dalam Pradopo,1987: 78) Sinekdoke adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri. Contoh: Pars pro toto
………………………………. Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu Jika bedil sudah disimpan, Cuma kenangan berdebu (Anwar dalam Atmazaki, 1993: 58)
Totem proparte …………………………………… Dibawah pertromak kelurahan merekan menemukan liang luka Yang lebih. Baying – baying bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan Bisik ………………………………………. (Mohammad dalam Atmazaki,1993: 58)
O) Majas Antifrasis Gaya bahasa ironi dengan kelompok kata yang maknanya berlawanan (Waridah,2008: 328). Contoh: “ Awas, si bule datang”. Saat Ido yang berkulit hitam mendekati mereka.
P) Majas Paralelisme Semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata – kata atau frase – frase yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Kesejajaran tersebut dapat pula terbentuk anak kalimat yang tergantung pada sebuah induk kalimat yang sama. Gaya bahasa ini lahir dari struktur kalimat yang berimbang. (Keraf, 1985: 126)
Contoh: Baik kaum pria maupun kaum wanita mempunyai hak dan kewajuban yang sama secara hukum. Bukan saja korupsi itu harus dikutuk, tetapi juga harus diburu dan di berantas di Negara Pacnasila ini. Sangatlah tidak masuk di akal bahwa Negara komunis terdapat kebebasan beragama serta kehidupan bermusyawarah yang tanpa pengawasan ketat. Bukan saja para guru yang bertanggung jawab atas pendidikan para siswa, tetapi juga harus ditunjang oleh para orang tua dengan cara mengawasi pelajaran anak – anak di rumah. Baik di perguruan tinggi maupun di SMTA, penataran P4 harus dilaksanakan mulai tahun pengajaran baru tahun 1985 ini.
2.4 Pengimajian (citraan) Dalam puisi, untuk memberi gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan dan juga untuk menarik perhatian, penyair juga menggunakan gambaran – gambaran angan dalam sajak itu disebut juga dengan Imagery ( Citraan ). Citraan ini ialah gambar – gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkan ( Altenbend dalam Pradopo, 1987: 80). Ada hubungan erat antara diksi, pengimajian, dan kata – kata konkret. Diksi yang dipilih harus menghasilkan pengimajian dan karena itu kata – kata menjadi lebih konkret seperti kita hayati melalui penglihatan, pendengaran atau cita rasa. Waluyo( 1987: 78) membatasi pengertian pengimajian atau Citraan: adalah kata atau susunan kata – kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan atau cita rasa. Brooks ( dalam Tarigan, 1986: 30) menjelaskan sebagai peringatan kembali sesuatu yang pernah dialami atau diinderai atau
dalam bahasa inggris disebut juga “ the calling to mind of something perceived by the senses” . Sedangkan mengemukakan
Peerwardarminta bahwa
pengimajian
dalam
(Atmazaki(1993:
adalah
kemampuan
95
)
penyair
memanfaatkan segala sarana kepuitisan dengan baik akan menimbulkan kilasan bayangan atau rupa. Jadi dapat disimpulkan
bahwa pengimajian atau citraan adalah
gambaran pikiran sang penyair terhadap suatu hal . 2.5 Macam – macam Citraan (Pengimajian) Gambaran – gambaran angan itu ada bernacam – macam, dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pencecapan, dan penciuman. Bahkan juga diciptakan oleh pemikiran dan gerakan (Pradopo, 1987: 81). Pengimajian ditandai dengan penggunaan kata yang konkret dan khas. Imaji yang ditimbulkan ada tiga macam, yaitu imaji visual, imaji auditif, dan imaji taktil (cita rasa). ketiganya digambarkan atas bayangan konkret apa yang dapat kita hayati secara nyata, berikut uraian secara singkat mengenai pengimajian (citraan), antara lain: (A)
Citraan Penglihatan Citraan (pengimajian) yang timbul akibat adanya tangkapan dari indera penglihatan atau visual.
(B)
Citraan pendengaran Citraan (pengimajian) yang timbul akibat adanya tangkapan dari indera pendengaran atau audio.
(C)
Citraan perasa Citraan (pengimajian)yang timbul akibat adanya tangkapan dari indera perasa atau taktil.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan dan Jenis Penelitian 3.1.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, karena data yang dihasilkan berupa kata – kata tertulis. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2001: 3) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata – kata tertulis atau lisan dari orang dan pelaku yang diamati. Penelitian ini berusaha menghasilkan data deskriptif berupa kata – kata tertulis mengenai contoh – contoh majas dan pengimajian (citraan) yang terdapat dalam kumpulan puisi “Buli – Buli Lima kaki” karya Nirwan Dewanto. 3.1.2 Jenis Penelitian Berdasarkan permasalahan yang ada, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Arikunto (2000: 309) berpendapat bahwa penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada. Penelitian ini berusaha mendeskripsikan contoh – contoh majas dan pengimajian (citraan) dalam kumpulan puisi “Buli – Buli Lima Kaki” karya Nirwan Dewanto secara apa adanya. 3.2 Data dan Sumber Data 3.2.1 Data Penelitian
Data dalam penelitian ini berupa kata – kata, kalimat, dan wacana yang diindentifikasikan majas dan citraan di dalam kumpulan puisi “Buli – Buli Lima Kaki” karya Nirwan Dewanto. 3.2.2 Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah sebuah buku puisi yang berjudul “ Buli – Buli Lima Kaki “ Karya Nirwan Dewanto yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama. 3.3 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data merupakan suatu cara untuk mengumpulkan data – data yang diperlukan dalam suatu penelitian. Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode pustaka. Metode pustaka adalah pengumpulan data untuk memperoleh data atau informasi tentang objek yang diteliti melalui buku. Buku yang digunakan atau sebagai objek adalah kumpulan puisi “Buli – Buli Lima Kaki” karya Nirwan Dewanto. 3.4 Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu mendeskripsikan, analisis yang digunakan adalah membentuk interpretasi (menafsirkan) atau menganalisis tentang data – data yang terdapat dalam kumpulan puisi “Buli – Buli Lima Kaki” karya Nirwan Dewanto. Dalam menganalisis data peneliti membaca buku kumpulan puisi “ Buli – Buli Lima kaki “ karya Nirwan Dewanto secara berulang – ulang kemudian mendeskripsikan majas (Gaya Bahasa) dan pengimajian (Citraan) apa sajakah yang terkandung dalam kumpulan puisi Buli – Buli Lima kaki karya Nirwan Dewanto. 3.5 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian, yaitu instrument pemandu pengumpulan data yang digunakan untuk memudahkan dalam mengumpulkan data khususnya dalam menemukan adanya data yang mengindikasikan contoh – contoh majas dan
pengimajian atau citraan dalam kumpulan puisi “Buli – Buli Lima Kaki” karya Nirwan Dewanto. Instrumen pemandu analisis data disini sesuai dengan contoh – contoh majas dan citraan, Indikator berupa kata/kalimat, citraan. Setelah data di analisis kemudian diadakan pengklasifikasian majas dan pengimajian yang disajikan dalam bentuk tabel sesuai dengan majas, citraan dan kode data. 3.6 Keabsahan data Prosedur yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu: 1) Tahap persiapan, 2) Tahap Pelaksanaan, dan 3) Tahap Penyelesaian. Tahap persiapan meliputi pemilihan judul, pengadaan studi pustaka dan penyusuna rancangan penelitian. Tahap Pelaksanaan meliputi mengumpulkan data, menganalisis data, dan menyimpulkan hasil penelitian. Tahap Penyelesaian meliputi penyusunan laporan, penggandaan revisi laporan penelitian dan penggandaan laporan penelitian.
BAB IV PAPARAN DAN TEMUAN DATA
Pada BAB ini dipaparkan tentang temuan hal – hal yang berhubungan dengan aspek struktural dalam kumpulan puisi “ Buli – Buli Lima Kaki ” karya Nirwan Dewanto yang mencakup Gaya Bahasa dan pengimajian (Citraan). 4.1 Gaya Bahasa (Majas) Gaya atau Majas pada penelitin ini meliputi suatu penggunaan bahasa, Berikut adalah penjabaran Gaya Bahasa (Majas) yang terkandung dalam Kumpulan puisi Buli-Buli Lima Kaki:
Dalam Puisi BABI MERAH JAMBU mengandung majas perumpamaan, diantaranya sebagai berikut: BABI MERAH JAMBU
Barangkali buluku sepantas sutera, tapi sungguh aku enggan bercermin. Sebab pantulanku akan terlihat suci, dan aku tak suka bersaing dengan mereka yang beriman
Bangun sebelum fajar itu, aku masuk ke dalam sisa tidurmu, Menyaru sebagai penghibur berpupur putih lesih dan
Bermincong merah jambu dan berhujah betapa kau terlihat Bahagia di antara para musuhmu
Terjaga tiba-tiba, kau mencariku di dekat nyala api dan berharap Sebagian rusukku hangus untuk menebalkan rasa laparmu dan Menghapus sisa tawamu. Wahai kau yang selalu memamerkan kaki kijangmu Untuk memperbesar jumlah para penyajungmu. Kakiku Lebih sempurna daripada kakimu, meski aku lebih suka Menghujamkan kakiku ke dalam lumpur belaka.
Sudah kubaca riwayat kaumku sampai aku tahu bahwa kami Memang bukan pedandan. Ketika kami berpindah ke kota, Kaumi menghibahkan pakaian berlimpah ruah kepada kami, Namun kami tetap saja gemar mengendus cacing dan umbi-umbian.
Ketika kautikam leherku, dari lubang tusukanmu menjulurlah Gaun merah luas, luas tak terhingga. Gaun yang kaupikir serasi Dengan tubuhku yang menggelembung menggeletar di bawah matahari.
Ketika aku terguling sempurna, kau sudah lupa betapa subur wajahku,
wajah yang berlipat ganda umtuk menutupi sosok para pembunuh yang senantiasa mengitarimu. Kukatakan dengan hati-hati bahwa aku bukan tukang jagal, Dan para penyembah berhala akan percuma saja membuat aku Sebagai sekutu mereka.
Jiwaku tak terbang ke langit tinggi, tapi menyelam ke lapisan Bumi paling dalam, di mana tuhan akan diam-diam membuka Pintu gerbang bagiku.
Dalam
puisi
SENAPANG
mengandung
majas
diantaranya sebagai berikut:
SENAPANG Girang menemukan zebra dan gajah dalam puisimu Aku mengira kau menulis tentang kebun binatang.
Ada juga kandang-kandang kosong, yang agak canggung Menampakkan diri di antara kata-katamu. Barangkali
Lantaran di dalamnya terdapatremah pecahan tulang
Metafora,
Dan cabikan kulit yang masih berkilau dan terasa segar.
Kadang aku mendengar juga tawa kanak-kanak di antara Rima yang agak kaupaksakan, yang seperti koak atau aum
Kadang aku melihat kaum ibu memamerkan gaun baru Di depan kandang beruang, bila siang terlalu benderang.
Aku tahu kau berupaya membandingkan sanggul mereka Dengan mahkota merak, kaki mereka dengan kaki kijang
Aku hampir berhujah semuanya serasi, manis, bersahaja Ketika tiba-tiba saja aku menemukan sepucuk senapang
Diantara sulur semak yang entah sejak kapan merimbun Menutupi sebagian kalimatmu, yakni ketika kau mengikuti Jejak lelaki yang menuju padang rumput bersepuh emas Di dekat surga mestinya, dan tak tersentuh oleh puisimu.
Tapi janganlah harimaumu menyurut ke balik perlambang Atau singamu sekedar umpamamu. Beri aku rahang mengerkah
Bukan do‟a yang meninggikan aku dalam tamanmu. Sementara Kau mengimpikan aku lancar bernyanyi “Balonku ada lima”
Lihat, keledai mulai berani membawa surya di punggungnya Dan kelinci bangga mengoleskan warna darah di wajahnya
Kenapa puisimu hanya dua seuntai, kini kau lepas-tangan pula Justru ketika aneka hewan ini menuntut pesta rupa bebas raya?
Aku membidikkan si senapang ke arah balon Lima itu Yang gampang belaka menyembunyikan kepalamu.
Dalam puisi KOBRA mengandung Majas Metafora, antara lain sebagai berikut:
KOBRA Tokomu menjual aneka taring yang tampaknya lebih manjur Daripada taringku, namun kau tak mampu menjawab ketika Seorang pelangganmu bertanya, “ Mana yang paling baik untuk Mematikan seekor kuda hitam?”
Ketahuilah, sangat jarang aku mematuk, sebab aku tak Mau taringku ternoda oleh darah, dan aku lebih senang Memuntahkan bisa ke siapa saja yang memaksaku berdiri tegak Dan mengagumi leherku mengembangkan serupa perisai.
Kecuali cerpelai, yang suka membaca, sesiapa akan buta jika Matanya terkena oleh semburan bisaku, tapi ia selalu berhujah Bahwa bekas lawan yang kautaklukkan tak pernah buta, mereka Sekadar lupa betapa aku suka memangsa sesamaku
Sungguh mati, aku tak sengaja memangsa mereka, sebenarnya Aku mengasihani mereka, sebab mereka suka melata, dan sesiapa Yang melata hanya menjadi bayang-bayangku, kembaranku, Yang akan menghalangi jalanku ke kota
Percayalah, aku melenyapkan baying – bayangku dengan Bersembunyi dalam liang jika hari terlalu terang, bergelung Seperti bulan gerhana sempurna, atau, jika terpaksa, dengan Menelan sesiapa yang bersikeras menjadi kembaranku, Betapapun tampan-jelita ia.
Dari si cerpelai diam – diam aku belajar menari tanpa henti, untuk Memikat bakal kekasih, yang tak mampu lagi melihat lukisan Gaya baru pada kulitku, sampai suatu hari, di sebuah padang Terbuka, ketika aku berusaha menirukan lompat-liuknya yang Tinggi dan piawai, si rajawali menyambarku dan membawaku Terbang ke angkasa Tak sanggup membunuhku, raja kaum penerbang itu Menjatuhkan aku ke bumi yang tak kukenal, rusukku remukRedam ( namun telah kupatahkan sebilah sayapnya), dan sejak itu Aku tak mampu lagi berdiri tegak atau menaklukkan sesamaku, Dan aku hanya sanggup memburu tikus dan kadal dan truwelu Sampai seorang penyair menangkapku.
Ia memaksaku menari dengan bunyi serulingnya, meski aku Sebenarnya hanya berupaya berdiri dengan susah payah, meliukLiuk di dekat wajahnya, untuk sekedar menggirangkannya Belaka, sementara aku memandangi bibirnya yang seperti Bayangan bulan sabit muda di hutan dahulu
Sesekali ia memeras bisaku dan membawanya ke tokomu, dan
Aku sedikit terbebas dari birahi ( sunguh, kami sering berpentas Di depan tokomu, terkadang juga bersama sesamaku yang asing, Yang dibawa penyair lain, dan kami suka bertukar isyarat kenapa kami bisa menjadi bintang di kota yang sedih ini). ………………………………………………………………
Dalam puisi TELUR MATA SAPI megandung majas alegori, antara lain sebagai berikut: TELUR MATA SAPI Hanya mata yang sudah menamatkan Biru samudra mampu menimbang Cangkang letih menggeletar ini Hanya jari yang pernah bersengketa Dengan merah darah lancar meniti Lengkung seperti punggung iblis
Hanya jantung yang sesekali terperam Di gudang bawah tanah patut mengasihani Retakan yang menahan gelegak lender ini.
Hanya lukisan yang rela ditumbuhi Hijau lumut segera memisahkan
Telur perempuan dari telur api
Hanya penyair yang tak juga selesai Menjelajahi luasanputih akan berpahala Lapar sejati di pusat kuning ini. ……………………………………………….
Dalam puisi PENUNGGANG KUDA HITAM mengandung Majas Hiperbola, antara lain sebagai berikut: PENUNGGANG KUDA HITAM Ia belum lulus dari sekolah fantasi ketika ia tiba-tiba sampai di Depan rumah jagal di mana kuda-kuda bertaji mengantri untuk Melihat genangan darah mereka sendiri. Setelah mencoba Mengingat-ingat wajah mereka satu demi satu, ia segera lupa Bahwa hari itu ia harus menempuh ujian menggambar.
Gurunya yang biasa mengajari ia mengubah sosok lelaki Penunggang kuda atau penjaga pintu kaum bendahara, Entah kenapa sudah berada di sampingnya dan berkata, “Para Pengantri itu sedang bahagia. Dan hari ini engkau sudah Dewasa. Marilah.” Dan segera menarik ia ke sebuah klinik, yang Mirip ruang kelasnya sendiri.
Di mana ia disudutkan oleh – entahlah, ia sungguh ragu siapa – Bapanya sendiri, dokter jaga, komandan kompi, atau si guru, “ berapa banyak yang engkau bunuh hari ini, anakku? Lekaslah Gambarkan rupa para kekasih yang terlanjur punah itu. Agar Kami mampu mempercayaimu.” ………………………………………………………………..
Dalam puisi KOPI LUWAK mengandung majas hiperbola, antara lain sebagai berikut: KOPI LUWAK
Dari biji-biji mata yang bru saja lepas dari perut bimasakti Kusadap airmata paling hitam barangkali juga paling suci. Minumlah. Lekaslah. Supaya kau mampu mengusir si binatang Biru bersarang di lidahmu. (barangkali ia bisa kenyang dengan Menjilati reremah halal dari kitab-kitab yang belum tuntas kaubaca.) Maafkan aku. Pastilah ia tak tahu betapa kau berilmu. (pun aku tak tahu warna apa yang paling pantas dikenakannya. Ia sekadar Biru sebab ia licin seperti film biru.) dan di hadapanmu aku bersiap-siap Menjaringnya. Mungkin bertahun – tahun hendak kupanen itu. Ia tersesat ke Lidahmu sebab tak mampu membedakan mana najis terdekat mana bintang Terjauh Loyang mana mulutmu.
…………………………………………………………………………….
Dalam puisi HIU mengandung majas pertentangan, antara lain sebagai berikut: HIU Mereka yang bilang bahwa hiu berbahaya Pasrilah pendusta Kukira si hiu makhluk kampungan belaka Gemar pamer giginya tajam tak beraturan Maka wajarlah ia suka nyasar ke tepian Mengira ibu-ibu mau memperhatikan ia.
Tapi yang ia temui ternyata Cuma para perenang Yang di hari libur itu berotak agak miring Merasa bisa mondar-mandir di laut Semak jidat mereka
Padahal luas benar rumah si hiu Dan ia pun tak suka main jagoan Tapi tetamu datang dan pergi tanpa aturan: Kadang ubur-ubur menyerobot kasurnya
Kadang cumi-cumi mengotori karpetnya
Sesekali ia kepingin juga pasang wibawa Maka diciumnya perenang laki paling berkilauan Tapi karena hidung dan mulut hiu selerang belaka Maut pun datang dalam darah berhamburan Haraplah si hiu tahu bahwa sesal dahulu Pendapatan dan sesal kemudian tak berguna Supaya ia lebih menghayati hokum alam
Wahai kalian yang gemar menampik dusta Dengarlah kesaksianku: di masa kanakku Pernah kulihat di perut hiu yang dibedah Sepotong kain merah alangkah merah
Pakaian siapakah melangkang sejauh itu? Pakaian orang kiri yang diburu serdadu? ……………………………………………….
Dalam puisi SAPI LADA HITAM mengandung majas paralelisme, antara lain sebagai berikut:
SAPI LADA HITAM Tenanglah. Ia sudah kulumpuhkan dan kubawa hanya untukmu Bertahun-tahun kau menghunus pisau dan menyembunyikan Diri darinya, aku tahu. Kau tak akan lagi melihat wujudnya Yang biasa menggiriskanmu. Kupanggul ia kini. Sebab ia Ternyata tak lebih perkasa ketimbang aku. Telah kulepas Tanduknya, tanduk yang kapan – kapan akan kukenakan unruk Mempesonamu juga. Buli – buli yang menegang selalu di antara Kedua pahanya akan kutanam untuk diriku sendiri, untuk terus Mendatangkan serbuk jantan bagiku. Kini kau akan melihatnya Seperti seonggok kain belaka. Tapi awaslah, kalau kau tiup ia. Akan mekar luas ia seperti angkasa raya, sehingga ruangmu Akan termakan olehnya. Jadi bentangkan ia saja. Bentangkan! Jantungnya masih menyala di dalam sana. Pahanya teramat segar Sebagaimana biasa, dan pastilah akan menerbitkannatsumu. Aduh, kau yang dulu tekut olehnya! Wajahnya masih tampan Dadanya tetap bidang, kulitnya masih licin berkeliatan – semua Yang mnghapus nyali para kekasih dan suami. Pastilah kau akan Mencari – cari buli – buli yang selalu kaulukis dengan warna Emas dalam mimpimu, agar ia leksa memasukimudari celahmu
Dalam puisi APEL DAN ROTI mengandung majas personifikasi, antara lain sebagai berikut: APEL DAN ROTI Di balik dua butir apel selalu ada sekeping matahari Hijau, sehingga pisaumu tentu akan tersipu malu Menatap merah yang selalu padam itu.
Di antara dua potong roti selalu ada selapis jantung Kuning, sehingga lidahmu pasti akan berhenti Sebelum mencapai putih yang menyala itu. Di antara hijau dan kuning selalu ada ekor rubah Abu-abu, yang empunya hanya mampu bertahan Di balik gaunmu, sebelum menerkam sajakku
Di antara perutmu dan piring yang termangu, lapar Bisa juga bernama bianglala, yang segera berakhir Ketika aku menumpahkan sajakku ke mejamu
Sungguh lapar dan birahi tak akan terlihat oleh mata Yang tersembunyi dalam sajakku yang terlalu lama
Tersimpan dalam lemari es di sudut dapurmu.
Di luas meja yang terlanjur basah oleh umpama itu Terkecoh oleh si matahatri dan si jantung, rubahmu Makan hitam berulam mata. Mataku barangkali
Dalam pusi BATU JENDERAL terkandung majas metafora, antara lain sebagai berikut:
BATU JENDERAL Sesekali ia hendak melepaskan sayapnya dan memperlihatkan Jantungnya yang putih, saying sekali, ketika kita berhasrat Melihatnya terbang. Ia sekadar duduk di telapak tangan kita. Baru. Tepatnya, sang batu. Kita melekatkan sang kepadanya Sebab kita tak sampai hati melihat ia, seperti bulir delima. Memburukkan diri dan berhimpun dengan ribuan sesamanya. Untuk wajahnyayang senantiasa absen, kita mengekalkan Punggungnya (atau sesuatu yang seperi punggung, yang Sesekali mencucuk kulit kita). Sambil membayangkan rangka Yang tumbuh saling berkelindan saling menutup ke segala arah Dari intinya sendiri. Sayap, lidah, atau umbai adalah anggota
………………………………………………………………….
Dalam
puisi
GAJAH
SULAWESI
mengandung
personifikasi, antara lain sebagai berikut:
GAJAH SULAWESI Hanya jika pesawat terbang bersurai di punggungnya Jika sang insinyur rajin menghalus di depan kuntum kana Jika paha perempuan bulukumba terlihat hijau berkilau Jika gaunmu koyak melepaskan dadamu perunggu Akan mampu kita memandang gajah Sulawesi
Jantung atau ususnya tumbuh piawai di atas punggungnya Seperti Derek mainan tiga warna yang menutup-membuka Belalainya ialah juga ekornya, menjulur dari lubang paripurna Berhulu pada kepala banteng Spanyol atau topeng Minataur Menyembul dari balik pahanya, memakasa kita mencintainya
Tentu saja tak percaya bila ia mengunjungi kita Di museum, misalnya. Sebab tubunya yang terbuat dari dua Irisan katel logam cembung hitam legam raksasa memang
majas
Layak terpancang di gurun atau di dasar samudra. Lihatlah Sepasang ikan hijau yang menepi membuka jalan baginya Dan asap pesawat terbang yang diam-diam membidiknya ………………………………………………………………. 4.2 Pengimajian (Citraan) Pengimajian atau citraan pada penelitin ini meliputi suatu penggambaran, diantaranya yaitu citraan perasa, citraan pendengaran dan citraan penglihatan berikut adalah penjabaran masing – masing.
4.1.1 Citraan Penglihatan Citraan penglihatan yang terdapat dalam kumpulan puisi Buli – Buli Lima kaki adalah :
“ Barangkali buluku sepantas sutera, tapi sungguh aku enggan bercermin. Sebab pantulanku akan terlihat suci, dan aku tak suka bersaing dengan mereka”.
Dalam Puisi : “ BAMBU MERAH
JAMBU ”.
“ Bangun sebelum fajar itu, aku masuk ke dalam sisa tidurmu, menyaru sebagai penghibur berpupur putih lesih dan bermoncong merah jambu dan berhujah bertapa kau terlihat bahagia diantara para musuhmu”. Dalam Puisi : “ BAMBU MERAH JAMBU” .
“ Wahai kau yang selalu memamerkan kaki kijangmu untuk memperbesar jumlah para pengunjungmu. Kakiku lebih sempurna daripada kakimu, meski aku lebih suka menghujamkan kakiku ke
dalam lumpur belaka”. Dalam Puisi : BAMBU MERAH JAMBU “.
“ Girang aku menemukan zebra dan gajah dalam puisimu Aku mengira kau menulis tentang kebun binatang. Dalam Puisi : “ SENAPANG “
“ Ada juga kadang – kadang kosong yang agak canggung Menampakkan diri di antara kata – katamu. Barangkali” . Dalam Puisi “SENAPANG”
“ Lantaran di dalamnya terdapat remah pecahan tulang Dan cabikan kulit yang masih berkilau dan terasa segar”. Dalam Puisi : “SENAPANG”
“Lihat, keledai mulai berani membawa surya di punggungnya Dan kelinci bangga mengoleskan warna darah di wajahnya. Dalam Puisi : SENAPANG.
“Kenapa puisimu hanya dua seuntai, kini kau lepas-tangan pula Justru ketika aneka hewan ini menuntut pesta rupa bebas raya? Dalam Puisi : SENAPANG.
“Aku membidikkan si senapang ke arah balon lima itu Yang gampang belaka menyembunyikan kepalamu. Dalam Puisi : SENAPANG
“Ketahuilah, sangat jarang aku mematuk, sebab aku tak mau taringku ternoda oleh darah, dan aku lebih senang memuntahkan bias ke siapa saja yang memaksaku berdiri tegak dan mengagumi leherku mengembang serupa prisai”. Dalam puisi : KOBRA.
“ Kecuali cerpelai, yang suka membaca, sesiapa akan buta jika matanya terkena oleh semburan bisaku, tapi ia selalu berhujah bahwa bekas lawan yang kutaklukkan tak pernah buta, mereka sekedar lupa aku suka memangsa sesamaku”. Dalam puisi KOBRA.
“Dari si cerpelai diam – diam aku belajar menari tanpa henti, untuk memikat bakal kekasih, yang tak mampu lagi melihat lukisan gaya baru pada kulitku, sampai suatu hari, di sebuah padang terbuka, ketika aku berusaha menirukan lompat-liuknya yang tinggi dan piawai, si rajawali menyambarku dan membawaku terbang ke angkasa”. Dalam Puisi : KOBRA
“ Ia memaksaku menari dengan bunyi serulingnya, meski aku sebenarnya hanya berupaya berdiri dengan susah payah, meliuk-liuk di dekat wajahnya, untuk sekedar menggirangkannya belaka, sementara aku memandangi bibirnya yang seperti bayangan bulan sabit muda di hutan”. Dalam Puisi KOBRA.
“ Sesekali ia memeras bisaku dan membawanya ke tokomu, dan aku sedikit terbebas dari birahi (sungguh, kami sering berpentas di depan tokomu, terkadang juga bersama sesamaku yang asing, yang dibawa penyair lain, dan kami suka bertukar isyarat kenapa kami bias menjadi bintang di kota yang sedih ini)”. Dalam Puisi KOBRA.
“ Siang tadi kulihat sang cerpelai berbelanja ketokomu, ia bersepatu dan berpakaian rapi, dan ia memborong banyak sekali taring, bias dan kulit berwarna hijau lumut, dan di ujung jalan ia mengambil seekor kuda hitam dari tambatan, yang di pelananya sudah duduklah istrimu ,sungguh, aku tak berdusta”. Dari Puisi KOBRA.
“ Malam ini pada lidahku akan kaudapati sebutir manikan biru berkilauan, ambillah, jangan takut, kau bukanlah musuhku, sungguh, ketika sang cerpelai gugur di sebuah hotel di tengah kota terbelit
atau terpatuk oleh istrimu, tapi janganlah kauburu sang penyair yang sedang membeli nasi gurih dan Kitab Lebah Ratu santapanku, sungguh, ia hanya hendak menggirangkanku sekali ini saja”. Dari Puisi KOBRA.
“ Hanya jari yang sudah menamatkan Biru samudra mampu menimbang Cangkang letih menggeletar ini”. Dari Puisi TELUR MATA SAPI
“ Hanya jari yang pernah bersengketa Dengan merah darah lancer meniti Lengkung seperti punggung iblis ini”. Dalam Puisi TELUR MATA SAPI
“ Ia belum lulus dari sekolah fantasi ketika ia tiba – tiba sampai sidepan rumah jagal di mana kuda – kuda bertaji mengantri untuk melihat genangan darah mereka sendiri. Setelah mencoba mengingat-ingat wajah mereka satu demi satu, ia segera lupa bahwa hari itu ia harus menempuh ujian menggambar”. Dalam Puisi PENUNGGANG KUDA HITAM
“ Gurunya, yang biasa mengajari ia mengubah sosok lelaki penunggang kuda atau penjaga pintu kaum bendahara, entah kenapa sudah berada di sampingnya dan berkata, “ Para pengantri itu sedang berbahagia. Dan hari ini engkau sudah dewasa. Marilah,” dan segera menarik ia ke sebuah klinik, yang mirip ruang kelasnya sendiri”. Dalam Puisi PENUNGGANG KUDA HITAM.
“ Maka dengan jemarinya belaka, hanya dengan warna darah yang mulai kusam-garing itu, ia menggoreskan seekor kuda terpantas, terpanas, kuda hitam, kuda andan, kuda Troya, kuda Kroya, kuda
kepang, kuda dremelon, kuda bendi, kuda sembrani, kuda bertaji, kuda larasati, kuda Kandinsky, atau kuda Umbu, dan ia berkata kepada kaum pemirsa yang kian dahaga itu, “Naikilah ia, wahai pemuja keindahan. Pergilah dalam damai, sebab kau sekalian sudah terlalu lama memeramku di tangsi serdadu atau klinik psikiatri ini”. Dalam Puisi PENUNGGANG KUDA HITAM.
“ Di lebuh menuju sekolah fantasi, di mana mereka yang merampas kudanya menghilang ke balik seribu raut rekaannya, ia mulai belajar menyimak suaranya sendiri, yang sepintas terdengar hanya seperti jerit lemah si guru ketika tenggelam di rumah jagal”. Dalam Puisi PENUNGGANG KUDA HITAM.
“ Dari biji – biji mata yang baru saja lepas dari perut bimasakti kusadap airmata paling hitam barangkali juga paling suci”. Dari Puisi KOPI LUWAK.
“ Ia harus tetap rapi dengan jubahnya. Rapi sekali. Juga ketika aku mesti membunuhnya untuk merampas biji-biji mataku sendiri yang lama terperam dalam perutnya. Yang sudah membuatnya muda berkilau seperti Bimasakti”. Dari Puisi KOPI LUWAK
“ Kukira si hiu makhluk kampungan belaka Gemar pamer giginya tajam tak beraturan Maka wajarlah ia suka nyasar ke tepian Mengira ibu-ibu mau memperhatikan ia”. Dalam Puisi HIU
“Tapi yang ia temui ternyata cuma para perenang Yang di hari libur itu berotak agak miring Merasa bisa mondar-mandir di laut
Seenak jidar mereka”. Dalam Puisi HIU
“ Padahal luas benar rumah si hiu Dan ia pun tak suka main jagoan Tapi tetamu dating dan pergi tanpa aturan: Kadang ubur-ubur menyerobot kasurnya Kadang cumi-cumi mengotori karpetnya”. Dalam Puisi HIU
“Haraplah si hiu tahu bahwa sesal dahulu Pendapatan dan sesal kemudian tak berguna Supaya ia lebih menghayati hokum alam”. Dalam Puisi HIU
“Pakaian siapakah melanglang sejauh hiu? Pakaian orang kiri yang diburu serdadu?. Dalam Puisi HIU
“ Bertahun-tahun kau menghunus pisau dan menyembunyikan diri darinya, aku tahu. Kau tak akan lagi melihat wujudnya”. Dalam Puisi SAPI LADA HITAM.
“ Telah kulepas tanduknya, tanduk yang kapan-kapan akan kukenakan untuk mempesonamu juga. Buli-buli yang menegang selalu diantara kedua pahanya akan kutanam untuk diriku sendiri, untuk terus mendatangkan serbuk jantan bagiku. Kini kau melihatnya seperti seonggok kain belaka. Tapi awaslah, kalau kautip ia, akan mekar luas ia seperti angkasa raya, sehingga ruangmu akan termakan olehnya. Jadi bentangkan ia saja. Bentangkan!”. Dalam Puisi SAPI LADA HITAM.
“ Aduh, kau yang dulu takut olehnya! Wajahnya masih tampan, dadanya tetap bidang, kulitnya masih licin berkilatan – semua yang
menghapus nyali para kekasih dan suami. Pastilah kau akan mencari – cari buli – buli yang selalu kalukis dengan warna emas dalam mimpimu, agar ia lekas memasukimu dari celahmu yang mana saja, agar kau taj lagi merasa terancam olehnya. Bentangkan ia dihadapanmu, dan kau tak akan selekeh darah pada jasadnya, sebab tak pernah aku menyembelihnya atau menusuknya. Sekarang asahlah pisaumu baik – baik. Lantas kenakan gaunmu yang palin putih. Sembunyikan rambut mayangmu di bawah kerudung puithmu, agar aku lupa bahwa kau seorang betina. Betina yang mampu membuat aku tabah menjebak ia ke dalam labirin dan mengakhiri kisahnya. Sebentar lagi kau akan melihat sungau – sungai darah miliknya, yang pernah kita bayangkan bersama. Jadi, mari, cepatlah kita bentangkan ia, agar aneka sungai yang tersembunyi dalam tubuhnya itu mau memamerkan diri, walau untuk sebentar saja. Pilihlah bagian tubuhnya yang terbaik dengan pisaumu, pisau paling tajam di dunia ini. Mungkin sedikit di atas pahanya dan di bawah pusarnya, bagian yang mengandung gegurat putih-perak yang menyilaukan mata. Sayat pelan – pelan, agak dalam di bawah kulit, agar arus darah tak meledak lepas ke udara. Kita akan merapikan ia lagi, seakan – akan ia tak terpiuh sama sekali. Mungkin kita akan menghibahkannya ke museum, atau menghadiahkannya ke seorang pelukis Irlandia. Sementara itu kita akan menyimpanya baik – baik, katakanlah memasangnya di lemari pakaianmu (pastilah ia akan tampak seperti gaunmu). Lalu letakkan sayatan terbaik itu pada nampan logam panas yang telah ku siapkan. Jangan beri terlalu banyak garam, bawang, dan paprika. Abaikan semua resep, nasihat maupun do‟a. Tapi siapkan bubuk lada hitam agak berlimpah. Taburkan perlahan – lahan, sesuai isyarat api tungku. Atau taburkan sembunyi – sembunyi, agar kita sedikit meneteskan air mata. Bebintik hitam panas ganas itu sangat baik untuk melancarkan sandiwara yang kurang masygul
ini. Sabarlah, tabahlah membolak-balik potongan kesayangan kita. Sebab daging bekas penakluk memang tak gampang alah. Tapi jagalah ia, jangan sampai terlalu matang, ia haruslah tetap terasa muda belia. Jangan memandang ke arahku, aku hanya akan memelukmu dari belakang. Dan mendesakkan buli-buli emas yang selalu kauimpikan itu ke celahmu yang terbaik tanpa kau tahu”. Dalam puisi SAPI LADA HITAM
“ Tapi sungai – sungai darah itu akan tetap mengalir rahasia dalam wujudnya, yang sudah tergantung aman di lemari pakaianmu. Dan kau akan perlahan mencintaiku karena betapa mahir aku melenguh kini”. Dalam Puisi SAPI LADA HITAM.
“ Di balik dua butir apel selalu ada sekeping matahari Hijau, sehingga pisaumu tentu akan tersipu malu Menatap merah yang selalu padam itu”. Dalam Puisi APEL DAN ROTI
“ Di antara dua potong roti selalu ada selapis jantung Kuning, sehingga lidahmu pasti akan berhenti Sebelum mencapai putih yang menyala itu”. Dalam Puisi APEL DAN ROTI “ Di antara hijau dan kuning selalu ada ekor rubah Abu – abu, yang empunya hanya mampu bertahan Di balik gaunmu, sebelum menerkam sajakkku”. Dalam Puisi APEL DAN ROTI “ Sungguh lapar dan birahi tak akan terlihat oleh mata Yang tersembunyi dalam sajakku yang terlalu lama
Tersimpan dalam lemari es di sudut dapurmu”. Dalam Puisi APEL DAN ROTI “ Di luas meja yang terlanjur basah oleh umpama itu Terkecoh oleh si matahari dan si jantung, rubahmu Makan hitam berulam mata. Mataku barangkali”. Dalam Puisi APEL DAN ROTI “ Sesekali ia hendak melepaskan sayapnya dan memperlihatkan jantungnya yang putih”. Dalam Puisi BATU JENDERAL “ Kita melekatkan sang kepadanya sebab kita tak sampai hati melihat ia, seperti bulir delima, menubrukkan diri dan berhimpun dengan ribuan sesamanya”. Dalam Puisi BATU JENDERAL “ Untuk wajahnya yang senantiasa absen, kita mengekalkan punggungnya (atau sesuatu yang seperti punggung, yang sesekali mencucuk kulit kita), sambil membayangkan rangka yang tumbuh saling berlindan saling menutup ke segala arah dari intinya sendiri”. Dalam Puisi BATU JENDERAL “ Sayap, lidah, atau umbai adalah anggota yang hendak kita bubuhkan kepadanya ketika ia tampak terlalu keras kepala di samping kobaran kobaran api”. Dalam Puisi BATU JENDERAL “ Ia beringsut sedikit demi sedikit, tampak lebih sabar ketimbang sepotong roti dan lebih pencemburu ketimbang selecut halilintar. Dalam puisi BATU JENDERAL “ Lengkung yang membatasi dalamannya bukankah bentuk, karena kita percaya bahwa isinya, zatnya, mungkin hakikatnya, selalu mencoba memburai keluar melalui pepori yang kita paksakann kepadanya. Sesekali kita mengurup padat-nya dengan cair (yang
betapa mustahil) karena kita tahu ia berasal dari magma, yang tak bisa kita lihat di muka bumi”. Dalam Puisi BATU JENDERAL “ Suatu hari seorang sutradara mengabaikannya meskipun ia, sang batu, memiuhkan gambar yang ditembak dalam – dalam oleh si kamerawan”. Dalam Puisi BATU JENDERAL “ Namun ketika ia mendekat ke hijau lumut, yang kukira pernah menjadi pakaiannya, kita menyergapnya, menjadikannya metaphor bagi puisi kita. Tetapi tidak. Hijau terlalu tenang baginya”. Dalam puisi BATU JENDERAL “ Dan ternyatalah ia dekat sekali dengan darah, ketika ia melayang dari tangan kaum Intifada. Ketika ia melaju ke dahi seorang serdadu muda kelahiran Haifa”. Dalam Puisi BATU JENDERAL. “ Batu Jendral. Batu awam. Seperti jutaan sesamanya. Kita memang menddengarnya terbang, maka kita kini mematahkan sayapnya, yang bukan sekedar sayap”. Dalam Puisi BATU JENDERAL “ Tetapi sayap kata. Ketika ia retak dan kita melihat jantungnya yang putih, tidaklha kita tahu apakah ia bagian dari batuan malihan atau batuan sedimen, misalnya”. Dalam puisi BATU JENDERAL “ Hanya geologi yang sungguh – sungguh berkenan mencari apa nama jenisnya, sementara kita cukup menerimanya (atau mengekalkannya) sebagai batu jendral belaka. Batu awan. Meski sesekali kita pinjamkan sayap dan jantung kepadanya”. Dalam Puisi BATU JENDERAL “ Hanya jika pesawat terbang bersurai di punggungnya, Jika sang insinyur rajin menghalus di depan kuntum kana,
Jika paha perempuan Bulukumba terlihat hijau berkilau, Jika gaunmu koyak melepaskan buah dadamu perunggu, Akan mampu kita memandang gajah Sulawesi”. Dalam Puisi GAJAH SULAWESI
“ Jantung atau ususnya tumbuh piawai di atas punggungnya Seperti Derek mainan tiga warna yang menutup-membuka Belalainya ialah juga ekornya. Menjulur dari lubang paripurna Berhulu pada kepala banteng Spanyol atau topeng Minotaur Gadingnya tersembunyi. Tapi memang ada sepasang pedang Menyembul dari balik pahanya, memaksa kita mencintainya. Dalam Puisi GAJAH SULAWESI
“ Tentu saja kita tak percaya bila ia mengunjungi kita Di museum, misalnya. Sebab tubuhnya yang terbuat dari dua Irisan ketel logam cembung hitam legam raksasa memang Layak terpancang di gurun atau di dasar samudra. Lihatlah Sepasang ikan hiu yang menepi membuka jalan baginya Dan asap pesawat terbang yang yang diam – diam membidiknya. Dalam puisi GAJAH SULAWESI
“ Hanya jika majas mulai memamerkan kakinya yang empat, Jika kilau bahumu tak lagi merusuhkan yang baru khatam, Jika cumi – cumi menodai halaman rumah sang bupati,
Jika rambutmu boleh kusentuh pada Jum‟at siang di Parepare Akan mampu kita memandang gajah Sulawesi. Dalam Puisi GAJAH SULAWESI
4.1.2 Citraan Pendengaran Citraan Pendengaran yang terdapat dalam kumpulan puisi Buli – buli Lima Kaki adalah:
“ Kukatakan dengan hati – hati bahwa kau bukan tukanng jagal, dan para penyembah berhala akan percuma saja membuat aku sebagai sekutu mereka. Dalam Puisi BABI MERAH JAMBU
“ Kau mendengar do‟aku. Amin. Dalam Puisi BABI MERAH JAMBU
Kadang aku mendengar juga tawa kanak – kanak di antara Rima yang agak kupaksakan, yang seperti koak atau aum” Dalam Puisi : SENAPANG.
“Bukan Do‟a yang meninggikan aku dalam tamanmu. Sementara kau mengimpikan aku lancar bernyanyi” Balonku ada lima” . Dalam Puisi BABI MERAH JAMBU.
“ Mereka yang bilang bahwa hiu berbahaya pastilah pendusta. Dalam Puisi HIU
4.1.3 Citraan Perasa Citraan Perasa yang terdapat dalam kumpulan Puisi Buli-Buli Lima Kaki adalah :
“ Sudah kubaca riwayat kaumku sampai aku tahu bahwa kami
Memang bukan pedandan. Ketika kami berpindah ke kota, Kaummu menghibahkan pakaian berlimpah ruah kepada kami. Dari Puisi BABI MERAH JAMBU
“ Ketika kautikam leherku, dari lubang tusukanmu menjulurlah gaun merah luas, luas tak terhingga. Gaun yang kaupikir serasi dengan tubuhku yang menggelembung menggeletar di bawah matahari. Dari puisi BABI MERAH JAMBU
“ Ketika aku terguling sempurna, kau sudah lupa betapa subur wajahku, wajah yang berlipat ganda untuk menutupi sosok para pembunuh yang senantiasa mengitarimu. Dalam Puisi BABI MERAH JAMBU
“ Jiwaku tak terbang ke langit tinggi, tapi menyelam ke lapisan Bumi paling dalam, di mana Tuhan akan diam-diam membuka Pintu gerbang bagiku. Dalam puisi BABI MERAH JAMBU. “ Bagi umat manusia, tidaklah baik mengagumi kembang gelap Gulita, yang pastilah mengganggu Do‟a mereka. Lagupula aku Tidak bermakam, setelah menghibur sekedarnya dalam Mimpimu yang betapa terang dan sebentar itu. Dalam Puisi BABI MERAH JAMBU “ Aku tahu kau berupaya membandingkan sanggul mereka Dengan mahkota merak, kaki mereka dengan kaki kijang. Dalam puisi SENAPANG “ Aku hampir berhujah semuanya serasi, manis, bersahaja
Ketika tiba-tiba saja aku menemukan sepucuk senapang. Dalam puisi SENAPANG “ Jejak kaki yang menuju padang rumput bersepuh emas Di dekat surge mestinya, dan tak tersentuh oleh puisimu. Dalam puisi SENAPANG “ Tapi janganlah harimaumu menyurut ke balik perlambang Atau singamu sekadar umpama. Beri aku rahang mengerkah. Dalam puisi SENAPANG “ Tokomu menjual aneka taring yang tampaknya lebih manjur Daripada taringku, namun kau tak mampu menjawab ketika Seorang pelangganmu bertanya. “ Mana yang paling baik untuk Mematikan seekor kuda hitam?” Dalam puisi KOBRA “ Sungguh mati, aku tak sengaja memangsa mereka, sebenarnya Aku mengasihani mereka, sebab mereka suka melata, dan sesiapa Yang melata hanya menjadi baying-bayangku, kembaranku, yang akan menghalangi jalanku ke kota. Dalam puisi KOBRA “ Percayalah, aku melenyapkan baying – bayangku dengan Bersembunyi dalam liang jika hari terlalu terang, bergelung Seperti bulan gerhana sempurna, atau, jika terpaksa, dengan Menelan sesiapa yang bersikeras menjadi kembaranku, betapapun tampan-jelita ia. Dalam puisi KOBRA
“ Tak sanggup membunuhku, raja kaum penerbang itu Menjatuhkan aku ke bumi yang tak kukenal, rusukku remukredam (namun telah kupatahkan sebilah sayapnya), dan sejak itu aku tak mampu lagi berdiri tegak atau menaklukkan sesamaku, dan aku hanya sanggup memburu tikus dan kadal dan truwelu, sampai seorang penyair menangkapku. Dalam Puisi KOBRA “ Ketika kuceritakan semua ini, taringku sudah berkarat, lidahku Mungkin tak bercabang lagi, dan gelungku bukan lagi linkaran sempurna, namun jelaslah bahwa semua peribahasa sudah kedaluarsa, pun sia-sia jika kau menuduhku penggoda atau pendusta, dan ternyatalah tokomu lebih layak disebut menara gading atau perpustakaan. Dalam puisi KOBRA “ Hanya jantung yang sesekali terperam Di gudang bawah tanah patut mengasihani Retakan yang menahan gelegak lender ini. Dalam puisi TELUR MATA SAPI “ Hanya lukisan yang rela di tumbuhi Hijau lumut segera memisahkan Telur perempuan dari telur api. Dalam puisi TELUR MATA SAPI “ Hanya penyair yang tak juga selesai Menjelajahi luasan putih akan berpahala Lapar sejati di pusat kluning ini. Dalam puisi TELUR MATA SAPI
“ Tapi hanya lidah yang sungguh jenuh Oleh garam pasti sanggup membuntuti Puisi pipih gosong di lubang kosong ini. Dalam puisi TELUR MATA SAPI “ di mana ia disudutkan oleh – entahlah, ia sungguh ragu siapa – bapanya sendiri, dokter jaga, komandan kompi, atau si guru, “ Berapa banyak yang engkau bunuh hari ini, anakku? Lekaslah gambarkan rupa para kekasih yang terlanjur punah itu. Agar kami mampu mempercayaimu.” Dalam puisi PENUNGGANG KUDA HITAM “ Ia tak kunjung mengerti, tapi di layar raksasa yang dibentangkan untuknya di ruang terang-benderang itu ia segera melukis karung tinju, sedan Impala, boneka kain bekas, satria wayang kulit, daun anturium, sepatu hak tinggi, ular Warhol, benteng batako, sepeda Releigh, sangkar burung balam, kolam renang, penyair mata pisau, penggemar ikan asin, sepur mutiara, sapu ijuk yu Sri - . Dalam puisi PENUNGGANG KUDA HITAM “ sampai ia terjaga oleh pukulan di perutnya, yang tersusul teriakan sekerumun umat, “ Wahai lelaki penunggang kuda, kenapa engkau hanya membawa kami berpacu dengan lautan benda belaka? Di mana kudamu, jantung hatimu, yang akan menghela kami menuju khazanah penuh hikmat kebijaksanaan dari kumpulan orang mati?”. Dalam puisi PENUNGGANG KUDA HITAM “ Ia pun sadar bahwa ternyata tangannya sudah berlumur darah sejak pagi tadi. Ketika ia mampu menyelamatkan hanya seekor kuda hitam, yang terpaksa disembunyikannya ke balik baju saat ia harus bergegas mengejar langkah gurunya kea rah matahari
terbenam. Segera ia mendengar reringik teramat akrab mendekat ke arahnya”. Dalam puisi PENUNGGANG KUDA HITAM “ Minumlah. Lekaslah supaya kau mampu mengusir si binatang biru yang bersarang di lidahmu. Dalam puisi KOPI LUWAK “ Sesekali ia kepingin juga pasang wibawa. Dalam puisi HIU “ Panjang umurlah para pendusta Dan hiduplah kita dari bahaya. Dalam puisi HIU
“ Tenaglah. Ia sudah kulumpuhkan dan kubawa hanya untukmu. Dalam puisi SAPI LADA HITAM
“ Setelah itu aku akan pura-pura tak sengaja menumpahkan anggur merah ke atas meja makan bertaplak putih di ahapan kita, agar kita bisa juga sedikit membayangkan darah tatkala bersantap. Dan kau akan tahu betapa lembut daging pejantan. Dalam puisi SAPI LADA HITAM
“ Di antara perutmu dan piring yang termangu, lapar Bisa juga bernama bianglala, yang segera berakhir Ketika aku menumpahkan sajakku ke mejamu. Dalam puisi APEL DAN ROTI
“ Hampir saja kaum berjubah melarang ia beredar Di tanah air. Sebab penjaganya memang bertelanjang, Dan mereka mengusirmu, sayangku, setelah aku berkata, “ Si pengawal bukan perempuan, tapi manekin belaka Yang kepalanya tersembunyi dalam kitabtuan-tuan.”
Kenapa mereka tersesat oleh sekedar torso, sayangku? Dalam puisi GAJAH SULAWESI.
BAB V PEMBAHASAN
Pada bab ini dipaparkan pembahasan tentang analisis struktural kumpulan puisi Buli-Buli Lima kaki karya Nirwan Dewanto. Hal – hal tersebut berkenaan
dengan (1) Gaya Bahasa (Majas) yang terkandung dalam kumpulan puisi buli – buli lima kaki karya Nirwan Dewanto, (2) Pengimajian atau pencitraan yang terkandung dalam kumpulan puisi buli – buli lima kaki. Masing – masing unsur tersebut diuraikan sebagai berikut: 5.1 Gaya Bahasa (Majas) Ada beberapa majas yang terkandung dalam kumpulan puisi “ Buli – Buli Lima Kaki karya Birwan Dewanto antara lain (1) majas Personifikasi, (2) majas metafora, (3) majas peralelisme, (4) majas pertentangan, (5) majas hiperbola, (6) majas alegori, dan (7) majas perumpamaan, hal – hal tersebut diuraikan sebagai berikut: 5.1.1 majas Personifikasi Gaya bahasa atau majas personifikasi adalah majas yang melekatkan sifat sifat insane kepada barang atau benda mati. Dengan demikian gaya bahasa atau majas
personifikasi
merupakan
gaya bahasa atau majas
kiasan
yang
menggambarkan benda – benda mati atau barang tidak hidup seolah – olah memiliki sifat kemanusiaan. Pada puisi Gajah Sulawesi ditemukan gaya bahasa seperti pada data berikut : GAJAH SULAWESI Hanya jika pesawat terbang bersurai di punggungnya Jika sang insinyur rajin menghalus di depan kuntum kana Jika paha perempuan bulukumba terlihat hijau berkilau Jika gaunmu koyak melepaskan dadamu perunggu Akan mampu kita memandang gajah Sulawesi
Jantung atau ususnya tumbuh piawai di atas punggungnya Seperti Derek mainan tiga warna yang menutup-membuka Belalainya ialah juga ekornya, menjulur dari lubang paripurna Berhulu pada kepala banteng Spanyol atau topeng Minataur
Gadingnya tersembunyi. Tapi memang ada sepasang pedang Menyembul dari balik pahanya, memakasa kita mencintainya
Tentu saja tak percaya bila ia mengunjungi kita Di museum, misalnya. Sebab tubuhnya yang terbuat dari dua Irisan katel logam cembung hitam legam raksasa memang Layak terpancang di gurun atau di dasar samudra. Lihatlah Sepasang ikan hijau yang menepi membuka jalan baginya Dan asap pesawat terbang yang diam-diam membidiknya
Hampir saja kaum berjubah melarang ia beredar Di tanah air. Sebab penjaganya memang bertelanjang Dan mereka mengusirmu, sayangku, setelah kau berkata “ Si pengawal bukan perempuan, tapi manekin belaka “ Kenapa mereka tersesat oleh sekadar torso, sayangku?
Hanya jika majas mulai memamerkan kakinya yang empat, Jika kilau bahumu tak lagi merusuhkan yang baru khatam, Jika cumi-cumi menodai halaman rumah sang bupati, Jika rambutmu boleh kusentuh pada Jumat siang di parepare Akan mampu kita memandang gajah Sulawesi
Dalam puisi tersebut mengandung gaya bahasa personifikasi, sebab kata memamerkan, membidiknya, menyembul, mencintainya, bersurai merupakan gambaran aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Gaya bahasa personifikasi juga terkandung dalam puisi “ Apel dan Roti “, berikut datanya:
APEL DAN ROTI Di balik dua butir apel selalu ada sekeping matahari
Hijau, sehingga pisaumu tentu akan tersipu malu Menatap merah yang selalu padam itu.
Di antara dua potong roti selalu ada selapis jantung Kuning, sehingga lidahmu pasti akan berhenti Sebelum mencapai putih yang menyala itu.
Di antara hijau dan kuning selalu ada ekor rubah Abu-abu, yang empunya hanya mampu bertahan Di balik gaunmu, sebelum menerkam sajakku
Di antara perutmu dan piring yang termangu, lapar Bisa juga bernama bianglala, yang segera berakhir Ketika aku menumpahkan sajakku ke mejamu
Sungguh lapar dan birahi tak akan terlihat oleh mata Yang tersembunyi dalam sajakku yang terlalu lama Tersimpan dalam lemari es di sudut dapurmu.
Di luas meja yang terlanjur basah oleh umpama itu Terkecoh oleh si matahari dan si jantung, rubahmu Makan hitam berulam mata. Mataku barangkali.
Dalam puisi tersebut terkandung gaya bahasa personifikasi, sebab kata tersipu malu, menatap, termangu merupakan gambaran sifat atau aktivitas yang dilakukan oleh manusia. 5.1.2 Majas Metafora ( Perbandingan ) Gaya bahasa metafora merupakan bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata – kata pembanding, atau dengan kata lain metafora
menyatakan sesuatu hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama. Pada puisi Senapang ditemukan gaya bahasa seperti pada data berikut:
SENAPANG Girang menemukan zebra dan gajah dalam puisimu Aku mengira kau menulis tentang kebun binatang.
Ada juga kandang-kandang kosong, yang agak canggung Menampakkan diri di antara kata-katamu. Barangkali
Lantaran di dalamnya terdapat remah pecahan tulang Dan cabikan kulit yang masih berkilau dan terasa segar.
Kadang aku mendengar juga tawa kanak-kanak di antara Rima yang agak kaupaksakan, yang seperti koak atau aum
Kadang aku melihat kaum ibu memamerkan gaun baru Di depan kandang beruang, bila siang terlalu benderang. Aku tahu kau berupaya membandingkan sanggul mereka Dengan mahkota merak, kaki mereka dengan kaki kijang
Aku hampir berhujah semuanya serasi, manis, bersahaja Ketika tiba-tiba saja aku menemukan sepucuk senapang
Diantara sulur semak yang entah sejak kapan merimbun Menutupi sebagian kalimatmu, yakni ketika kau mengikuti
Jejak lelaki yang menuju padang rumput bersepuh emas Di dekat surga mestinya, dan tak tersentuh oleh puisimu.
Tapi janganlah harimaumu menyurut ke balik perlambang Atau singamu sekedar umpamamu. Beri aku rahang mengerkah
Bukan do‟a yang meninggikan aku dalam tamanmu. Sementara Kau mengimpikan aku lancar bernyanyi “Balonku ada lima”
Lihat, keledai mulai berani membawa surya di punggungnya Dan kelinci bangga mengoleskan warna darah di wajahnya
Kenapa puisimu hanya dua seuntai, kini kau lepas-tangan pula Justru ketika aneka hewan ini menuntut pesta rupa bebas raya?
Aku membidikkan si senapang ke arah balon Lima itu Yang gampang belaka menyembunyikan kepalamu.
Dalam puisi tersebut terkandung gaya bahasa metafora, sebab kata – kata yang tercetak miring merupakan kata – kata yang membandingkan sesuatu hal yang sama dengan hal lain yang seharga. Gaya bahasa metafora juga terdapat pada puisi Kobra, seperti pada data berikut: KOBRA Tokomu menjual aneka taring yang tampaknya lebih manjur Daripada taringku, namun kau tak mampu menjawab ketika Seorang pelangganmu bertanya, “ Mana yang paling baik untuk Mematikan seekor kuda hitam?”
Ketahuilah, sangat jarang aku mematuk, sebab aku tak Mau taringku ternoda oleh darah, dan aku lebih senang Memuntahkan bisa ke siapa saja yang memaksaku berdiri tegak Dan mengagumi leherku mengembangkan serupa perisai.
Kecuali cerpelai, yang suka membaca, sesiapa akan buta jika Matanya terkena oleh semburan bisaku, tapi ia selalu berhujah
Bahwa bekas lawan yang kautaklukkan tak pernah buta, mereka Sekadar lupa betapa aku suka memangsa sesamaku
Sungguh mati, aku tak sengaja memangsa mereka, sebenarnya Aku mengasihani mereka, sebab mereka suka melata, dan sesiapa Yang melata hanya menjadi bayang-bayangku, kembaranku, Yang akan menghalangi jalanku ke kota
Percayalah, aku melenyapkan bayang – bayangku dengan Bersembunyi dalam liang jika hari terlalu terang, bergelung Seperti bulan gerhana sempurna, atau, jika terpaksa, dengan Menelan sesiapa yang bersikeras menjadi kembaranku, Betapapun tampan-jelita ia.
Dari si cerpelai diam – diam aku belajar menari tanpa henti, untuk Memikat bakal kekasih, yang tak mampu lagi melihat lukisan Gaya baru pada kulitku, sampai suatu hari, di sebuah padang Terbuka, ketika aku berusaha menirukan lompat-liuknya yang Tinggi dan piawai, si rajawali menyambarku dan membawaku Terbang ke angkasa
Tak sanggup membunuhku, raja kaum penerbang itu Menjatuhkan aku ke bumi yang tak kukenal, rusukku remukRedam ( namun telah kupatahkan sebilah sayapnya), dan sejak itu Aku tak mampu lagi berdiri tegak atau menaklukkan sesamaku, Dan aku hanya sanggup memburu tikus dan kadal dan truwelu Sampai seorang penyair menangkapku.
Ia memaksaku menari dengan bunyi serulingnya, meski aku Sebenarnya hanya berupaya berdiri dengan susah payah, meliukLiuk di dekat wajahnya, untuk sekedar menggirangkannya Belaka, sementara aku memandangi bibirnya yang seperti Bayangan bulan sabit muda di hutan dahulu
Sesekali ia memeras bisaku dan membawanya ke tokomu, dan Aku sedikit terbebas dari birahi ( sunguh, kami sering berpentas Di depan tokomu, terkadang juga bersama sesamaku yang asing, Yang dibawa penyair lain, dan kami suka bertukar isyarat kenapa kami bisa menjadi bintang di kota yang sedih ini). Siang tadi kulihat sang cerpelai berbelanja ke tokomu, ia Bersepatu dan berpakaian rapi, dan ia memborong banyak Sekali taring, bisa dan kulit berwarna hijau lumut, dan di ujung
Jalan ia mengambil seekor kuda hitam dari tambatan, yang di Pelananya sudah duduklah istrimu, sungguh, aku tak berdusta.
Ketika kuceritakan semua ini, taringku sudah berkarat, lidahku Mungkin tak bercabang lagi, dan gelungku bukan lagi lingkaran Sempurna, namun jelaslah bahwa semua peribahasa sudah Kadaluarsa, pun sia – sia belaka jika kau menuduhku penggoda Atau pendusta, dan ternyatalah tokomu lebih layak disebut Menara gading atau perpustakaan.
Malam ini pada lidahku akan kudapati sebutir manikam biru Berkilauan, ambillah, jangan takut, kau bukanlha musuhku, Sungguh, ketika sang cerpelai gugur di sebuah hotel di tengah Kota terbelit atau terpatuk oleh istrimu, tapi janganlah kauburu Sang penyair yang sedang membeli nasi gurih dan kitab lebah Ratu santapanku, sungguh, ia hanya hendak menggirangkanku Sekali ini. Dalam puisi tersebut terkandung gaya bahasa Metafora, sebab kata – kata yang tercetak miring merupakan kata perbandingan yang membandingkan sesuatu hal dengan hal lain yang seharga. Gaya bahasa Metafora juga ditemukan pada puisi batu jenderal, seperti pada data berikut:
BATU JENDERAL Sesekali ia hendak melepaskan sayapnya dan memperlihatkan Jantungnya yang putih, saying sekali, ketika kita berhasrat Melihatnya terbang. Ia sekadar duduk di telapak tangan kita. Baru. Tepatnya, sang batu. Kita melekatkan sang kepadanya Sebab kita tak sampai hati melihat ia, seperti bulir delima. Memburukkan diri dan berhimpun dengan ribuan sesamanya. Untuk wajahnyayang senantiasa absen, kita mengekalkan Punggungnya (atau sesuatu yang seperi punggung, yang Sesekali mencucuk kulit kita). Sambil membayangkan rangka Yang tumbuh saling berkelindan saling menutup ke segala arah Dari intinya sendiri. Sayap, lidah, atau umbai adalah anggota yang hendak kita bubuhkan kepadanya ketika ia tampak terlalu keras kepala di samping kobaran api. …………………………………………………………………… Dalam kutipan puisi tersebut terkandung majas atau gaya bahasa metafora, sebab kata – kata yang tercetak miring merupakan perbandingan dari sesuatu hal yang sama dan seharga.
5.1.3
Majas Paralelisme
Paralelisme atau persejajaran ialah mengulang isi kalimat yang maksud dan tujuannya serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalmia yang mendahului. Pada puisi “ Sapi lada hitam “ ditemukan majas atau gaya bahasa paralelisme, seperti pada data berikut: SAPI LADA HITAM Tenanglah. Ia sudah kulumpuhkan dan kubawa hanya untukmu Bertahun-tahun kau menghunus pisau dan menyembunyikan Diri darinya, aku tahu. Kau tak akan lagi melihat wujudnya Yang biasa menggiriskanmu. Kupanggul ia kini. Sebab ia Ternyata tak lebih perkasa ketimbang aku. Telah kulepas Tanduknya, tanduk yang kapan – kapan akan kukenakan unruk Mempesonamu juga. Buli – buli yang menegang selalu di antara Kedua pahanya akan kutanam untuk diriku sendiri, untuk terus Mendatangkan serbuk jantan bagiku. Kini kau akan melihatnya Seperti seonggok kain belaka. Tapi awaslah, kalau kau tiup ia. Akan mekar luas ia seperti angkasa raya, sehingga ruangmu Akan termakan olehnya. Jadi bentangkan ia saja. Bentangkan! Jantungnya masih menyala di dalam sana. Pahanya teramat segar Sebagaimana biasa, dan pastilah akan menerbitkannatsumu. Aduh, kau yang dulu tekut olehnya! Wajahnya masih tampan Dadanya tetap bidang, kulitnya masih licin berkeliatan – semua Yang mnghapus nyali para kekasih dan suami. Pastilah kau akan
Mencari – cari buli – buli yang selalu kaulukis dengan warna Emas dalam mimpimu, agar ia leksa memasukimudari celahmu Yang mana saja, agar kau tak lagi merasa terancam olehnya.
5.1.4
Majas Pertentangan
gaya bahasa yang sifatnya saling bertentangan antara sesuatu atau disebut juga gaya bahasa pertentangan. Dalam puisi yang berjudul “ Hiu “ ditemukan gaya bahasa atau majas pertentangan, seperti pada data berikut: HIU Mereka yang bilang bahwa hiu berbahaya Pasrilah pendusta
Kukira si hiu makhluk kampungan belaka Gemar pamer giginya tajam tak beraturan Maka wajarlah ia suka nyasar ke tepian Mengira ibu-ibu mau memperhatikan ia.
Tapi yang ia temui ternyata Cuma para perenang Yang di hari libur itu berotak agak miring Merasa bisa mondar-mandir di laut Semak jidat mereka Padahal luas benar rumah si hiu
Dan ia pun tak suka main jagoan Tapi tetamu datang dan pergi tanpa aturan: Kadang ubur-ubur menyerobot kasurnya Kadang cumi-cumi mengotori karpetnya
Sesekali ia kepingin juga pasang wibawa Maka diciumnya perenang laki paling berkilauan Tapi karena hidung dan mulut hiu selerang belaka Maut pun datang dalam darah berhamburan
Haraplah si hiu tahu bahwa sesal dahulu Pendapatan dan sesal kemudian tak berguna Supaya ia lebih menghayati hukum alam
Wahai kalian yang gemar menampik dusta Dengarlah kesaksianku: di masa kanakku Pernah kulihat di perut hiu yang dibedah Sepotong kain merah alangkah merah
Pakaian siapakah melangkang sejauh itu? Pakaian orang kiri yang diburu serdadu?
Janganlah mendemdam kepada mayat hiu Biarlah ia tetap berpaham kanan Walau sudah puas ia pamer giginya Dalam mati pun matanya terkesima.
Panjang umurlah para pendusta Dan hiduplah kita dari bahaya
Dalam puisi yang berjudul “ Hiu “ terkandung majas atau Citraan pertentangan, sebab kata atau kalimat yang tercetak miring merupakan pertentangan dari suatu hal yang lain.
5.1.5
Majas Hiperbola
Hiperbola ialah gaya bahasa yang bersifat membesar – besarkan sesuatu hal atau disebut juga dengan majas hiperbola, majas hiperbola ditemukan dalam puisi penunggang kuda hitam, seperti pada data berikut: PENUNGGANG KUDA HITAM
Ia belum lulus dari sekolah fantasi ketika ia tiba-tiba sampai di Depan rumah jagal di mana kuda-kuda bertaji mengantri untuk Melihat genangan darah mereka sendiri. Setelah mencoba
Mengingat-ingat wajah mereka satu demi satu, ia segera lupa Bahwa hari itu ia harus menempuh ujian menggambar.
Gurunya yang biasa mengajari ia mengubah sosok lelaki Penunggang kuda atau penjaga pintu kaum bendahara, Entah kenapa sudah berada di sampingnya dan berkata, “Para Pengantri itu sedang bahagia. Dan hari ini engkau sudah Dewasa. Marilah.” Dan segera menarik ia ke sebuah klinik, yang Mirip ruang kelasnya sendiri.
Di mana ia disudutkan oleh – entahlah, ia sungguh ragu siapa – Bapanya sendiri, dokter jaga, komandan kompi, atau si guru, “ berapa banyak yang engkau bunuh hari ini, anakku? Lekaslah Gambarkan rupa para kekasih yang terlanjur punah itu. Agar Kami mampu mempercayaimu.” ……………………………………………………………….. Dalam puisi yang berjudul “ penunggang kuda hitam “ ditemukan najas atau gaya bahasa Hiperbola, sebab kata – kata yang tercetak miring dalam puisi tersebut memiliki sifat membesar – besarkan suatu hal. Gaya bahasa Hiperbola juga ditemukan pada puisi yang berjudul “ Kopi luwak “, seperti pada data berikut:
KOPI LUWAK Dari biji-biji mata yang bru saja lepas dari perut bimasakti Kusadap airmata paling hitam barangkali juga paling suci. Minumlah. Lekaslah. Supaya kau mampu mengusir si binatang Biru bersarang di lidahmu. (barangkali ia bisa kenyang dengan Menjilati reremah halal dari kitab-kitab yang belum tuntas kaubaca.) Maafkan aku. Pastilah ia tak tahu betapa kau berilmu. (pun aku tak tahu warna apa yang paling pantas dikenakannya. Ia sekadar Biru sebab ia licin seperti film biru.) dan di hadapanmu aku bersiap-siap Menjaringnya. Mungkin bertahun – tahun hendak kupanen itu. Ia tersesat ke Lidahmu sebab tak mampu membedakan mana najis terdekat mana bintang Terjauh Loyang mana mulutmu.
……………………………………………………………………………. Dalam kutipan puisi yang berjudul “ Kopi luwak “ terkandung majas hiperbola, sebab kata – kata yang tercetak miring memiliki sifat membesar – besarkan sesuatu hal. 5.1.6 Majas Perumpamaan Gaya bahsa perumpamaan adalah gaya bahasa yang sifatnya mengumpamakan sesuatu hal dengan hal lainnya Pada puisi babi merah jambu ditemukan gaya bahasa perumpamaan, seperti pada data berikut:
BABI MERAH JAMBU Barangkali buluku sepantas sutera, tapi sungguh aku enggan bercermin. Sebab pantulanku akan terlihat suci, dan aku tak suka bersaing dengan mereka yang beriman
Bangun sebelum fajar itu, aku masuk ke dalam sisa tidurmu, Menyaru sebagai penghibur berpupur putih lesih dan Bermoncong merah jambu dan berhujah betapa kau terlihat Bahagia di antara para musuhmu
Terjaga tiba-tiba, kau mencariku di dekat nyala api dan berharap Sebagian rusukku hangus untuk menebalkan rasa laparmu dan Menghapus sisa tawamu.
Wahai kau yang selalu memamerkan kaki kijangmu Untuk memperbesar jumlah para penyajungmu. Kakiku Lebih sempurna daripada kakimu, meski aku lebih suka Menghujamkan kakiku ke dalam lumpur belaka.
Sudah kubaca riwayat kaumku sampai aku tahu bahwa kami
Memang bukan pedandan. Ketika kami berpindah ke kota, Kaumi menghibahkan pakaian berlimpah ruah kepada kami, Namun kami tetap saja gemar mengendus cacing dan umbiumbian.
Ketika kautikam leherku, dari lubang tusukanmu menjulurlah Gaun merah luas, luas tak terhingga. Gaun yang kaupikir serasi Dengan tubuhku yang menggelembung menggeletar di bawah matahari.
Ketika aku terguling sempurna, kau sudah lupa betapa subur wajahku, wajah yang berlipat ganda umtuk menutupi sosok para pembunuh yang senantiasa mengitarimu.
Kukatakan dengan hati-hati bahwa aku bukan tukang jagal, Dan para penyembah berhala akan percuma saja membuat aku Sebagai sekutu mereka.
Jiwaku tak terbang ke langit tinggi, tapi menyelam ke lapisan Bumi paling dalam, di mana tuhan akan diam-diam membuka Pintu gerbang bagiku.
Dalam puisi yang berjudul “ Babi merah jambu “ terkandung majas atau gaya bahasa perumpamaan, sebab kata – kata yang tercetak miring dalam puisi tersebut merupakan kata – kata yang mengumpamakan suatu hal dengan hal yang lainnya. 5.1.7 Majas Alegori Alegori adalah cerita kiasan ataupun lukisan kiasa. Cerita kiasan atau lukisan kiasan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Dalam puisi yang berjudul “ Telur mata sapi “ ditemukan majas Alegori, seperti pada data berikut:
TELUR MATA SAPI
Hanya mata yang sudah menamatkan Biru samudra mampu menimbang Cangkang letih menggeletar ini
Hanya jari yang pernah bersengketa Dengan merah darah lancar meniti Lengkung seperti punggung iblis Hanya jantung yang sesekali terperam Di gudang bawah tanah patut mengasihani Retakan yang menahan gelegak lender ini.
Hanya lukisan yang rela ditumbuhi Hijau lumut segera memisahkan Telur perempuan dari telur api
Hanya penyair yang tak juga selesai Menjelajahi luasanputih akan berpahala Lapar sejati di pusat kuning ini. ………………………………………………. Dalam puisi yang berjudul “ Telur mata sapi “ ditemukan majas Alegori, sebab kata – kata yang tercetak miring merupakan kata – kata yang menceritakan sesuatu hal. 5.2 Pengimajian ( Pencitraan ) Ada beberapa Pencitraan atau pengimajian yang terdapat dalam kumpulan puisi “ Buli – Buli Lima Kaki karya Birwan Dewanto antara lain (1) citraan penglihatan, (2) citraan Pendengaran, (3) citraan perasa hal – hal tersebut diuraikan sebagai berikut: 5.2.1 Cirtaan Penglihatam Citraan penglihatan adalah jenis citraan yang paling sering dipergunakan oleh penyair disbanding dengan citraan yang lain. Citraan penglihatan memberi rangsangan kepada inderaan penglihatan, hingga sering hal – hal yang tak terlihat jadi seolah – olah terlihat. Pada beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Bambu Merah Jambu “ terkandung citraan penglihatan seperti pada data berikut:
“ Barangkali buluku sepantas sutera, tapi sungguh aku enggan bercermin. Sebab pantulanku akan terlihat suci, dan aku tak suka
bersaing dengan mereka”.
Dalam Puisi : “ BAMBU MERAH
JAMBU ”.
“ Bangun sebelum fajar itu, aku masuk ke dalam sisa tidurmu, menyaru sebagai penghibur berpupur putih lesih dan bermoncong merah jambu dan berhujah bertapa kau terlihat bahagia diantara para musuhmu”. Dalam Puisi : “ BABI MERAH JAMBU” .
“ Wahai kau yang selalu memamerkan kaki kijangmu untuk memperbesar jumlah para pengunjungmu. Kakiku lebih sempurna daripada kakimu, meski aku lebih suka menghujamkan kakiku ke dalam lumpur belaka”. Dalam Puisi : BABI MERAH JAMBU
Di ujung jalan, telingaku tampak sebagai mawar penghabisan. Mawar hitam legam. Mungkin mawar lapar, lapar mengembang sampai hari kiamat nanti. Kau sungguh ingin memetiknya. Tapi jangan. “ Dalam puisi : “ BABI MERAH JAMBU”
Dalam beberapa kutipan puisi tersebut terkandung citraan penglihatan, sebab didalamnya terdapat kata – kata yang merupakan gambaran dari indera penglihatan, seperti kata tampak, jumlah, memamerkan, terlihat, memamerkan, bercermin Citraan penglihatan juga terkandung dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Senapang “ seperti pada data berikut:
“ Girang aku menemukan zebra dan gajah dalam puisimu Aku mengira kau menulis tentang kebun binatang. Dalam Puisi : “ SENAPANG “
“ Ada juga kadang – kadang kosong yang agak canggung
Menampakkan diri di antara kata – katamu. Barangkali” . Dalam Puisi “SENAPANG”
“ Lantaran di dalamnya terdapat remah pecahan tulang Dan cabikan kulit yang masih berkilau dan terasa segar”. Dalam Puisi : “SENAPANG”
“Lihat, keledai mulai berani membawa surya di punggungnya Dan kelinci bangga mengoleskan warna darah di wajahnya. Dalam Puisi : SENAPANG.
“Kenapa puisimu hanya dua seuntai, kini kau lepas-tangan pula Justru ketika aneka hewan ini menuntut pesta rupa bebas raya? Dalam Puisi : SENAPANG.
“Aku membidikkan si senapang ke arah balon lima itu Yang gampang belaka menyembunyikan kepalamu. Dalam Puisi : SENAPANG
Dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Senapang “ terkandung citraan penglihatan, sebab didalamnya terdapat kata – kata membidikka, hanya dua seuntai, warna, lihat,menampakkan diri , berkilau, terdapat, memamerkan yang merupakan gambaran dari indera penglihatan. Citraan penglihatan juga terkandung dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Kobra“ seperti data berikut :
“Ketahuilah, sangat jarang aku mematuk, sebab aku tak mau taringku ternoda oleh darah, dan aku lebih senang memuntahkan bias ke siapa saja yang memaksaku berdiri tegak dan mengagumi leherku mengembang serupa prisai”. Dalam puisi : KOBRA.
“ Kecuali cerpelai, yang suka membaca, sesiapa akan buta jika matanya terkena oleh semburan bisaku, tapi ia selalu berhujah bahwa bekas lawan yang kutaklukkan tak pernah buta, mereka sekedar lupa aku suka memangsa sesamaku”. Dalam puisi KOBRA.
“Dari si cerpelai diam – diam aku belajar menari tanpa henti, untuk memikat bakal kekasih, yang tak mampu lagi melihat lukisan gaya baru pada kulitku, sampai suatu hari, di sebuah padang terbuka, ketika aku berusaha menirukan lompat-liuknya yang tinggi dan piawai, si rajawali menyambarku dan membawaku terbang ke angkasa”. Dalam Puisi : KOBRA
“ Ia memaksaku menari dengan bunyi serulingnya, meski aku sebenarnya hanya berupaya berdiri dengan susah payah, meliuk-liuk di dekat wajahnya, untuk sekedar menggirangkannya belaka, sementara aku memandangi bibirnya yang seperti bayangan bulan sabit muda di hutan”. Dalam Puisi KOBRA.
“ Sesekali ia memeras bisaku dan membawanya ke tokomu, dan aku sedikit terbebas dari birahi (sungguh, kami sering berpentas di depan tokomu, terkadang juga bersama sesamaku yang asing, yang dibawa penyair lain, dan kami suka bertukar isyarat kenapa kami bias menjadi bintang di kota yang sedih ini)”. Dalam Puisi KOBRA.
“ Siang tadi kulihat sang cerpelai berbelanja ketokomu, ia bersepatu dan berpakaian rapi, dan ia memborong banyak sekali taring, bias dan kulit berwarna hijau lumut, dan di ujung jalan ia mengambil seekor kuda hitam dari tambatan, yang di pelananya sudah duduklah istrimu ,sungguh, aku tak berdusta”. Dari Puisi KOBRA.
“ Malam ini pada lidahku akan kaudapati sebutir manikan biru berkilauan, ambillah, jangan takut, kau bukanlah musuhku, sungguh, ketika sang cerpelai gugur di sebuah hotel di tengah kota
terbelit atau terpatuk oleh istrimu, tapi janganlah kauburu sang penyair yang sedang membeli nasi gurih dan Kitab Lebah Ratu santapanku, sungguh, ia hanya hendak menggirangkanku sekali ini saja”. Dari Puisi KOBRA. Dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Kobra “ terdapat citraan penglihatan, sebab terdapat kata – kata yang bercetak miring yang menggambarkan indera penglihatan. Citraan penglihatan juga terkandung pada beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Telur Mata Sapi “ seperti pada data berikut:
“ Hanya jari yang sudah menamatkan Biru samudra mampu menimbang Cangkang letih menggeletar ini”. Dari Puisi TELUR MATA SAPI
“ Hanya jari yang pernah bersengketa Dengan merah darah lancer meniti Lengkung seperti punggung iblis ini”. Dalam Puisi TELUR MATA SAPI
Dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul Telur mata sapi terkandung citraan penglihatan, sebab terdapat kata – kata yang merupakan gambaran dari indera penglihatan seperti yang bercetak miring.
Citraan penglihatan juga terkandung dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Penunggang kuda hitam “, seperti pada data berikut:
“ Ia belum lulus dari sekolah fantasi ketika ia tiba – tiba sampai didepan rumah jagal di mana kuda – kuda bertaji mengantri untuk melihat genangan darah mereka sendiri. Setelah mencoba
mengingat-ingat wajah mereka satu demi satu, ia segera lupa bahwa hari itu ia harus menempuh ujian menggambar”. Dalam Puisi PENUNGGANG KUDA HITAM
“ Gurunya, yang biasa mengajari ia mengubah sosok lelaki penunggang kuda atau penjaga pintu kaum bendahara, entah kenapa sudah berada di sampingnya dan berkata, “ Para pengantri itu sedang berbahagia. Dan hari ini engkau sudah dewasa. Marilah,” dan segera menarik ia ke sebuah klinik, yang mirip ruang kelasnya sendiri”. Dalam Puisi PENUNGGANG KUDA HITAM.
“ Maka dengan jemarinya belaka, hanya dengan warna darah yang mulai kusam-garing itu, ia menggoreskan seekor kuda terpantas, terpanas, kuda hitam, kuda andan, kuda Troya, kuda Kroya, kuda kepang, kuda dremelon, kuda bendi, kuda sembrani, kuda bertaji, kuda larasati, kuda Kandinsky, atau kuda Umbu, dan ia berkata kepada kaum pemirsa yang kian dahaga itu, “Naikilah ia, wahai pemuja keindahan. Pergilah dalam damai, sebab kau sekalian sudah terlalu lama memeramku di tangsi serdadu atau klinik psikiatri ini”. Dalam Puisi PENUNGGANG KUDA HITAM.
“ Di lebuh menuju sekolah fantasi, di mana mereka yang merampas kudanya menghilang ke balik seribu raut rekaannya, ia mulai belajar menyimak suaranya sendiri, yang sepintas terdengar hanya seperti jerit lemah si guru ketika tenggelam di rumah jagal”. Dalam Puisi PENUNGGANG KUDA HITAM.
Dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Penunggang kuda hitam “ terkandung citraan penglihatan, sebab terdapat beberapa kata yang bercetak miring yang menggambarkan indera penglihatan.
Citraan penglihatan juga terdapat pada beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Kopi luwak “, seperti pada data berikut:
“ Dari biji – biji mata yang baru saja lepas dari perut bimasakti kusadap airmata paling hitam barangkali juga paling suci”. Dari Puisi KOPI LUWAK.
“ Ia harus tetap rapi dengan jubahnya. Rapi sekali. Juga ketika aku mesti membunuhnya untuk merampas biji-biji mataku sendiri yang lama terperam dalam perutnya. Yang sudah membuatnya muda berkilau seperti Bimasakti”. Dari Puisi KOPI LUWAK
Dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Kopi luwak “ terkandung citraan penglihatan, sebab beberapa kata yang tercetak miring merupakan gambaran dari indera penglihatan.
Citraan penglihatan juga terkandung dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Hiu “, seperti pada data berikut:
“ Kukira si hiu makhluk kampungan belaka Gemar pamer giginya tajam tak beraturan Maka wajarlah ia suka nyasar ke tepian Mengira ibu-ibu mau memperhatikan ia”. Dalam Puisi HIU
“Tapi yang ia temui ternyata cuma para perenang Yang di hari libur itu berotak agak miring Merasa bisa mondar-mandir di laut Seenak jidar mereka”. Dalam Puisi HIU
“ Padahal luas benar rumah si hiu
Dan ia pun tak suka main jagoan Tapi tetamu dating dan pergi tanpa aturan: Kadang ubur-ubur menyerobot kasurnya Kadang cumi-cumi mengotori karpetnya”. Dalam Puisi HIU
“Haraplah si hiu tahu bahwa sesal dahulu Pendapatan dan sesal kemudian tak berguna Supaya ia lebih menghayati hukum alam”. Dalam Puisi HIU
“Pakaian siapakah melanglang sejauh hiu? Pakaian orang kiri yang diburu serdadu?. Dalam Puisi HIU
Dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Hiu “ terkandung citraan penglihatan, sebab didalamnya terdapat kata – kata yang merupakan penggambaran dari indera penglihatan. Citraan penglihatan juga terkandung dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Sapi lada hitam “, seperti pada data sebagai berikut:
“ Bertahun-tahun kau menghunus pisau dan menyembunyikan diri darinya, aku tahu. Kau tak akan lagi melihat wujudnya”. Dalam Puisi SAPI LADA HITAM.
“ Telah kulepas tanduknya, tanduk yang kapan-kapan akan kukenakan untuk mempesonamu juga. Buli-buli yang menegang selalu diantara kedua pahanya akan kutanam untuk diriku sendiri, untuk terus mendatangkan serbuk jantan bagiku. Kini kau melihatnya seperti seonggok kain belaka. Tapi awaslah, kalau kautiup ia, akan mekar luas ia seperti angkasa raya, sehingga ruangmu akan termakan olehnya. Jadi bentangkan ia saja. Bentangkan!”. Dalam Puisi SAPI LADA HITAM.
“ Aduh, kau yang dulu takut olehnya! Wajahnya masih tampan, dadanya tetap bidang, kulitnya masih licin berkilatan – semua yang menghapus nyali para kekasih dan suami. Pastilah kau akan mencari – cari buli – buli yang selalu kalukis dengan warna emas dalam mimpimu, agar ia lekas memasukimu dari celahmu yang mana saja, agar kau tak lagi merasa terancam olehnya. Bentangkan ia dihadapanmu, dan kau tak akan selekeh darah pada jasadnya, sebab tak pernah aku menyembelihnya atau menusuknya. Sekarang asahlah pisaumu baik – baik. Lantas kenakan gaunmu yang paling putih. Sembunyikan rambut mayangmu di bawah kerudung puithmu, agar aku lupa bahwa kau seorang betina. Betina yang mampu membuat aku tabah menjebak ia ke dalam labirin dan mengakhiri kisahnya. Sebentar lagi kau akan melihat sungau – sungai darah miliknya, yang pernah kita bayangkan bersama. Jadi, mari, cepatlah kita bentangkan ia, agar aneka sungai yang tersembunyi dalam tubuhnya itu mau memamerkan diri, walau untuk sebentar saja. Pilihlah bagian tubuhnya yang terbaik dengan pisaumu, pisau paling tajam di dunia ini. Mungkin sedikit di atas pahanya dan di bawah pusarnya, bagian yang mengandung gegurat putih-perak yang menyilaukan mata. Sayat pelan – pelan, agak dalam di bawah kulit, agar arus darah tak meledak lepas ke udara. Kita akan merapikan ia lagi, seakan – akan ia tak terpiuh sama sekali. Mungkin kita akan menghibahkannya ke museum, atau menghadiahkannya ke seorang pelukis Irlandia. Sementara itu kita akan menyimpannya baik – baik, katakanlah memasangnya di lemari pakaianmu (pastilah ia akan tampak seperti gaunmu). Lalu letakkan sayatan terbaik itu pada nampan logam panas yang telah ku siapkan. Jangan beri terlalu banyak garam, bawang, dan paprika. Abaikan semua resep, nasihat maupun do‟a. Tapi siapkan bubuk lada hitam agak berlimpah. Taburkan perlahan – lahan, sesuai isyarat api tungku. Atau taburkan sembunyi – sembunyi,
agar kita sedikit meneteskan air mata. Bebintik hitam panas ganas itu sangat baik untuk melancarkan sandiwara yang kurang masygul
ini. Sabarlah, tabahlah membolak-balik potongan
kesayangan kita. Sebab daging bekas penakluk memang tak gampang alah. Tapi jagalah ia, jangan sampai terlalu matang, ia haruslah tetap terasa muda belia. Jangan memandang ke arahku, aku hanya akan memelukmu dari belakang. Dan mendesakkan buli-buli emas yang selalu kauimpikan itu ke celahmu yang terbaik tanpa kau tahu”. Dalam puisi SAPI LADA HITAM
“ Tapi sungai – sungai darah itu akan tetap mengalir rahasia dalam wujudnya, yang sudah tergantung aman di lemari pakaianmu. Dan kau akan perlahan mencintaiku karena betapa mahir aku melenguh kini”. Dalam Puisi SAPI LADA HITAM.
Dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Sapi lada hitam “ terkandung citraan penglihatan, sebab beberapa kata yang bercetak miring menggambarkan indera penglihatan. Citraan penglihatan juga terdapat pada beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Apel dan roti “, seperti pada data sebagai berikut:
“ Di balik dua butir apel selalu ada sekeping matahari Hijau, sehingga pisaumu tentu akan tersipu malu Menatap merah yang selalu padam itu”. Dalam Puisi APEL DAN ROTI
“ Di antara dua potong roti selalu ada selapis jantung Kuning, sehingga lidahmu pasti akan berhenti Sebelum mencapai putih yang menyala itu”. Dalam Puisi APEL DAN ROTI
“ Di antara hijau dan kuning selalu ada ekor rubah Abu – abu, yang empunya hanya mampu bertahan Di balik gaunmu, sebelum menerkam sajakkku”. Dalam Puisi APEL DAN ROTI “ Sungguh lapar dan birahi tak akan terlihat oleh mata Yang tersembunyi dalam sajakku yang terlalu lama Tersimpan dalam lemari es di sudut dapurmu”. Dalam Puisi APEL DAN ROTI “ Di luas meja yang terlanjur basah oleh umpama itu Terkecoh oleh si matahari dan si jantung, rubahmu Makan hitam berulam mata. Mataku barangkali”. Dalam Puisi APEL DAN ROTI Dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Apel dan roti “ terkandung citraan penglihatan, sebab beberapa kata yang bercetak miring mengggambarkan indera penglihatan. Citraan penglihatan juga terdatap pada beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Batu jenderal “, seperti pada data berikut ini: “ Sesekali ia hendak melepaskan sayapnya dan memperlihatkan jantungnya yang putih”. Dalam Puisi BATU JENDRAL “ Kita melekatkan sang kepadanya sebab kita tak sampai hati melihat ia, seperti bulir delima, menubrukkan diri dan berhimpun dengan ribuan sesamanya”. Dalam Puisi BATU JENDRAL “ Untuk wajahnya yang senantiasa absen, kita mengekalkan punggungnya (atau sesuatu yang seperti punggung, yang sesekali
mencucuk kulit kita), sambil membayangkan rangka yang tumbuh saling berlindan saling menutup ke segala arah dari intinya sendiri”. Dalam Puisi BATU JENDRAL “ Sayap, lidah, atau umbai adalah anggota yang hendak kita bubuhkan kepadanya ketika ia tampak terlalu keras kepala di samping kobaran kobaran api”. Dalam Puisi BATU JENDRAL “ Ia beringsut sedikit demi sedikit, tampak lebih sabar ketimbang sepotong roti dan lebih pencemburu ketimbang selecut halilintar. Dalam puisi BATU JENDRAL “ Lengkung yang membatasi dalamannya bukankah bentuk, karena kita percaya bahwa isinya, zatnya, mungkin hakikatnya, selalu mencoba memburai keluar melalui pepori yang kita paksakann kepadanya. Sesekali kita mengurup padat-nya dengan cair (yang betapa mustahil) karena kita tahu ia berasal dari magma, yang tak bisa kita lihat di muka bumi”. Dalam Puisi BATU JENDRAL “ Suatu hari seorang sutradara mengabaikannya meskipun ia, sang batu, memiuhkan gambar yang ditembak dalam – dalam oleh si kamerawan”. Dalam Puisi BATU JENDRAL “ Namun ketika ia mendekat ke hijau lumut, yang kukira pernah menjadi
pakaiannya,
kita
menyergapnya,
menjadikannya
metaphor bagi puisi kita. Tetapi tidak. Hijau terlalu tenang baginya”. Dalam puisi BATU JENDRAL “Dan ternyatalah ia dekat sekali dengan darah, ketika ia melayang dari tangan kaum Intifada. Ketika ia melaju ke dahi seorang serdadu muda kelahiran Haifa”. Dalam Puisi BATU JENDRAL. “Batu Jenderal. Batu awam. Seperti jutaan sesamanya. Kita memang mendengarnya terbang, maka kita kini mematahkan
sayapnya, yang bukan sekedar sayap”. Dalam Puisi BATU JENDRAL “ Tetapi sayap kata. Ketika ia retak dan kita melihat jantungnya yang putih, tidaklha kita tahu apakah ia bagian dari batuan malihan atau batuan sedimen, misalnya”. Dalam puisi BATU JENDRAL “ Hanya geologi yang sungguh – sungguh berkenan mencari apa nama jenisnya, sementara kita cukup menerimanya (atau mengekalkannya) sebagai batu jendral belaka. Batu awan. Meski sesekali kita pinjamkan sayap dan jantung kepadanya”. Dalam Puisi BATU JENDRAL Dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Batu jenderal “ terkandung citraan penglihatan, sebab kata – kata yang tercetak miring dalam puisi tersebut merupakan gambaran dari indera penglihatan. Citraan penglihatan juga terkandung dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Gajah Sulawesi “, seperti pada data berikut: “ Hanya jika pesawat terbang bersurai di punggungnya, Jika sang insinyur rajin menghalus di depan kuntum kana, Jika paha perempuan Bulukumba terlihat hijau berkilau, Jika gaunmu koyak melepaskan buah dadamu perunggu, Akan mampu kita memandang gajah Sulawesi”. Dalam Puisi GAJAH SULAWESI
“ Jantung atau ususnya tumbuh piawai di atas punggungnya Seperti Derek mainan tiga warna yang menutup-membuka
Belalainya ialah juga ekornya. Menjulur dari lubang paripurna Berhulu pada kepala banteng Spanyol atau topeng Minotaur Gadingnya tersembunyi. Tapi memang ada sepasang pedang Menyembul dari balik pahanya, memaksa kita mencintainya. Dalam Puisi GAJAH SULAWESI
“ Tentu saja kita tak percaya bila ia mengunjungi kita Di museum, misalnya. Sebab tubuhnya yang terbuat dari dua Irisan ketel logam cembung hitam legam raksasa memang Layak terpancang di gurun atau di dasar samudra. Lihatlah Sepasang ikan hiu yang menepi membuka jalan baginya Dan asap pesawat terbang yang yang diam – diam membidiknya. Dalam puisi GAJAH SULAWESI
“ Hanya jika majas mulai memamerkan kakinya yang empat, Jika kilau bahumu tak lagi merusuhkan yang baru khatam, Jika cumi – cumi menodai halaman rumah sang bupati, Jika rambutmu boleh kusentuh pada Jum‟at siang di Parepare Akan mampu kita memandang gajah Sulawesi. Dalam Puisi GAJAH SULAWESI
Dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Gajah Sulawesi “ terkandung citraan penglihatan, sebab beberapa kata yang tercetak miring merupakan gambaran dari indera penglihatan. 5.2.2 Citraan Pendengaran
Citraan pendengaran juga sangat sering digunakan oleh penyair, citraan ini dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara. Pada beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Babi merah jambu “ ditemukan citraan pendengaran seperti pada data berikut:
“ Kukatakan dengan hati – hati bahwa kau bukan tukanng jagal, dan para penyembah berhala akan percuma saja membuat aku sebagai sekutu mereka. Dalam Puisi BABI MERAH JAMBU
“ Kau mendengar do‟aku. Amin. Dalam Puisi BABI MERAH JAMBU
“Bukan Do‟a yang meninggikan aku dalam tamanmu. Sementara kau mengimpikan aku lancar bernyanyi” Balonku ada lima” . Dalam Puisi BABI MERAH JAMBU.
Dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Babi merah jambu “ terdapat citraan pendengaran, sebab terdapat beberapa kata yang tercetak miring yang menggambarkan indera pendengaran. Citraan pendengaran juga terdapat pada kutipan puisi yang berjudul “ Hiu “, seperti pada data berikut:
“ Mereka yang bilang bahwa hiu berbahaya pastilah pendusta “. Dalam Puisi HIU
Dalam kutipan puisi yang berjudul “ Hiu “ terkandung citraan pendengaran, sebab terdapat kata yang tercetak miring yang menggambarkan indera penglihatan. 5.2.3 Citraan Perasa Citraan perasa sering digunakan oleh penyair, citraan perasa dihasilkan melalui indera perasa, dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Babi merah jambu “ terdapat citraan perasa, seperti pada data berikut:
“ Sudah kubaca riwayat kaumku sampai aku tahu bahwa kami Memang bukan pedandan. Ketika kami berpindah ke kota, Kaummu menghibahkan pakaian berlimpah ruah kepada kami. Dari Puisi BABI MERAH JAMBU
“ Ketika kautikam leherku, dari lubang tusukanmu menjulurlah gaun merah luas, luas tak terhingga. Gaun yang kaupikir serasi dengan tubuhku yang menggelembung menggeletar di bawah matahari. Dari puisi BABI MERAH JAMBU
“ Ketika aku terguling sempurna, kau sudah lupa betapa subur wajahku, wajah yang berlipat ganda untuk menutupi sosok para pembunuh yang senantiasa mengitarimu. Dalam Puisi BABI MERAH JAMBU
“ Jiwaku tak terbang ke langit tinggi, tapi menyelam ke lapisan Bumi paling dalam, di mana Tuhan akan diam-diam membuka Pintu gerbang bagiku. Dalam puisi BABI MERAH JAMBU. “ Bagi umat manusia, tidaklah baik mengagumi kembang gelap Gulita, yang pastilah mengganggu Do‟a mereka. Lagupula aku Tidak bermakam, setelah menghibur sekedarnya dalam Mimpimu yang betapa terang dan sebentar itu. Dalam Puisi BABI MERAH JAMBU
Dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Babi merah jambu “ terdapat citraan perasa, sebab beberapa kata yang tercetak miring merupakan gambaran dari indera perasa.
Citraan perasa juga terdapat dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Senapang “ seperti pada data berikut: “ Aku tahu kau berupaya membandingkan sanggul mereka Dengan mahkota merak, kaki mereka dengan kaki kijang. Dalam puisi SENAPANG “ Aku hampir berhujah semuanya serasi, manis, bersahaja Ketika tiba-tiba saja aku menemukan sepucuk senapang. Dalam puisi SENAPANG “ Jejak kaki yang menuju padang rumput bersepuh emas Di dekat surga mestinya, dan tak tersentuh oleh puisimu. Dalam puisi SENAPANG “ Tapi janganlah harimaumu menyurut ke balik perlambang Atau singamu sekadar umpama. Beri aku rahang mengerkah. Dalam puisi SENAPANG Dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ senapang “ terkandung citraan perasa, sebab beberapa kata yang tercetak miring merupakan penggambaran dari indera perasa. Citraan perasa juga terkandung dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Kobra “, seperti pada data berikut: “ Tokomu menjual aneka taring yang tampaknya lebih manjur Daripada taringku, namun kau tak mampu menjawab ketika Seorang pelangganmu bertanya. “ Mana yang paling baik untuk
Mematikan seekor kuda hitam?” Dalam puisi KOBRA “ Sungguh mati, aku tak sengaja memangsa mereka, sebenarnya Aku mengasihani mereka, sebab mereka suka melata, dan sesiapa Yang melata hanya menjadi baying-bayangku, kembaranku, yang akan menghalangi jalanku ke kota. Dalam puisi KOBRA “ Percayalah, aku melenyapkan bayang – bayangku dengan Bersembunyi dalam liang jika hari terlalu terang, bergelung Seperti bulan gerhana sempurna, atau, jika terpaksa, dengan Menelan
sesiapa
yang
bersikeras
menjadi
kembaranku,
betapapun tampan-jelita ia. Dalam puisi KOBRA “ Tak sanggup membunuhku, raja kaum penerbang itu Menjatuhkan aku ke bumi yang tak kukenal, rusukku remukredam (namun telah kupatahkan sebilah sayapnya), dan sejak itu aku tak mampu lagi berdiri tegak atau menaklukkan sesamaku, dan aku hanya sanggup memburu tikus dan kadal dan truwelu, sampai seorang penyair menangkapku. Dalam Puisi KOBRA “ Ketika kuceritakan semua ini, taringku sudah berkarat, lidahku Mungkin tak bercabang lagi, dan gelungku bukan lagi linkaran sempurna, namun jelaslah bahwa semua peribahasa sudah kedaluarsa, pun sia-sia jika kau menuduhku penggoda atau pendusta, dan ternyatalah tokomu lebih layak disebut menara gading atau perpustakaan. Dalam puisi KOBRA
Dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Kobra “ terdapat citraan perasa, sebab beberapa kata yang tercetak miring dalam puisi tersebut merupakan gambaran dari indera perasa. Citraan perasa juga terkandung dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Telur mata sapi “ , seperti pada data berikut : “ Hanya jantung yang sesekali terperam Di gudang bawah tanah patut mengasihani Retakan yang menahan gelegak lender ini. Dalam puisi TELUR MATA SAPI “ Hanya lukisan yang rela di tumbuhi Hijau lumut segera memisahkan Telur perempuan dari telur api. Dalam puisi TELUR MATA SAPI “ Hanya penyair yang tak juga selesai Menjelajahi luasan putih akan berpahala Lapar sejati di pusat kluning ini. Dalam puisi TELUR MATA SAPI “ Tapi hanya lidah yang sungguh jenuh Oleh garam pasti sanggup membuntuti Puisi pipih gosong di lubang kosong ini. Dalam puisi TELUR MATA SAPI Dalam beberapa kutipan puisi tersebut terkandung citraan perasa, sebab pada kata yang tercetak miring dalam puisi tersebut merupakan pengambaran dari indera perasa:
Citraan perasa juga terkandung dalam beberapa puisi yang berjudul “ penunggang kuda hitam “, seperti pada data berikut: “ di mana ia disudutkan oleh – entahlah, ia sungguh ragu siapa – bapanya sendiri, dokter jaga, komandan kompi, atau si guru, “ Berapa banyak yang engkau bunuh hari ini, anakku? Lekaslah gambarkan rupa para kekasih yang terlanjur punah itu. Agar kami mampu mempercayaimu.” Dalam puisi PENUNGGANG KUDA HITAM “ Ia tak kunjung mengerti, tapi di layar raksasa yang dibentangkan untuknya di ruang terang-benderang itu ia segera melukis karung tinju, sedan Impala, boneka kain bekas, satria wayang kulit, daun anturium, sepatu hak tinggi, ular Warhol, benteng batako, sepeda Releigh, sangkar burung balam, kolam renang, penyair mata pisau, penggemar ikan asin, sepur mutiara, sapu ijuk yu Sri - . Dalam puisi PENUNGGANG KUDA HITAM “ sampai ia terjaga oleh pukulan di perutnya, yang tersusul teriakan sekerumun umat, “ Wahai lelaki penunggang kuda, kenapa engkau hanya membawa kami berpacu dengan lautan benda belaka? Di mana kudamu, jantung hatimu, yang akan menghela kami menuju khazanah penuh hikmat kebijaksanaan dari kumpulan orang mati?”. Dalam puisi PENUNGGANG KUDA HITAM “ Ia pun sadar bahwa ternyata tangannya sudah berlumur darah sejak pagi tadi. Ketika ia mampu menyelamatkan hanya seekor kuda hitam, yang terpaksa disembunyikannya ke balik baju saat ia harus bergegas mengejar langkah gurunya kearah matahari terbenam. Segera ia mendengar reringik teramat akrab mendekat ke arahnya”. Dalam puisi PENUNGGANG KUDA HITAM
Dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Penunggang kuda hitam “ terdapat citraan perasa, sebab beberapa kata yang tercetak miring merupakan gambaran dari indera perasa. Citraan perasa juga terdapat pada kutipan puisi yang berjudul “ Kopi luwak “, seperti pada data berikut: “ Minumlah. Lekaslah supaya kau mampu mengusir si binatang biru yang bersarang di lidahmu. Dalam puisi KOPI LUWAK Dalam kutipan puisi tersebut terkandung citraan perasa, sebab kata yang tercetak miring merupakan gambaran dari indera perasa. Citraan perasa juga terkandung dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Hiu “, seperti pada data berikut: “ Sesekali ia kepingin juga pasang wibawa. Dalam puisi HIU “ Panjang umurlah para pendusta Dan hiduplah kita dari bahaya. Dalam puisi HIU Dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Hiu “ terkandung citraan perasa, sebab kata – kata yang tercetak miring merupakan gambaran dari indera perasa. Citraan perasa juga terdapat dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Sapi lada Hitam “, seperti pada data berikut:
“ Tenanglah. Ia sudah kulumpuhkan dan kubawa hanya untukmu. Dalam puisi SAPI LADA HITAM
“ Setelah itu aku akan pura-pura tak sengaja menumpahkan anggur merah ke atas meja makan bertaplak putih di ahapan kita, agar kita bisa juga sedikit membayangkan darah tatkala bersantap. Dan kau akan tahu betapa lembut daging pejantan. Dalam puisi SAPI LADA HITAM
Dalam beberapa kutipan puisi yang berjudul “ Sapi lada hitam “ terkandung citraan perasa, sebab kata – kata yang bercetak miring dalam puisi tersebut merupakan gambaran dari indera perasa. Citraan perasa juga terdapat dalam kutipan puisi yang berjudul “ Apel dan roti “, seperti pada data berikut:
“ Di antara perutmu dan piring yang termangu, lapar Bisa juga bernama bianglala, yang segera berakhir Ketika aku menumpahkan sajakku ke mejamu. Dalam puisi APEL DAN ROTI
Dalam kutipan puisi yang berjudul “ Apel dan roti “ terdapat citraan perasa, sebab kata – kata yang tercetak miring merupakan penggambaran dari indera perasa. Citraan
perasa
juga
terdapat
dalam
kutipan
puisi
yang
berjudul
“ Gajah Sulawesi “, seperti pada data berikut:
“ Hampir saja kaum berjubah melarang ia beredar Di tanah air. Sebab penjaganya memang bertelanjang, Dan mereka mengusirmu, sayangku, setelah aku berkata, “ Si pengawal bukan perempuan, tapi manekin belaka Yang kepalanya tersembunyi dalam kitabtuan-tuan.” Kenapa mereka tersesat oleh sekedar torso, sayangku? Dalam puisi GAJAH SULAWESI.
Dalam kutipan puisi yang berjudul “ Gajah Sulawesi “ terdapat citraan perasa, sebab kata yang tercetak miring merupakan gambaran dari indera perasa.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan terhadap temuan data dalam Kumpulan puisi “ Buli – Buli Lima Kaki ” karya Nirwan Dewanto, maka gaya bahasa (majas) dan pengimajian (citraan) yang terkandung dalam kumpulan puisi “ Buli – buli Lima Kaki “ meliputi (1) majas Personifikasi dalam puisi gajah Sulawesi, puisi Apel dan Roti, (2) Majas Metafora dalam puisi Senapang, Puisi Kobra, (3) Majas Paralelisme dalam puisi Sapi Lada Hitam, (4) Majas Pertentangan dalam puisi Hiu, (5) Majas Hiperbola dalam puisi Kopi Luwak, Puisi Penunggang Kuda Hitam, (6) Majas Perumpamaan dalam Puisi Babi Merah Jambu, (7) Majas alegori dalam puisi Telor Mata Sapi. Pengimajian (citraan) yang terdapat dalam kumpulan puisi Buli – Buli Lima kaki sang pengarang atau penyair dalam membuat atau menulis puisi lebih banyak terinspirasi dari apa yang dilihat
disekitarnya dan apa yang dirasakannya. Hal ini terbukti dengan banyaknya citraan atau pengimajian pengliatan dan citraan perasa yang terdapat dalam kumpulan puisi Buli – Buli Lima Kaki selain itu sang pengarang juga terinspirasi dengan apa yang didengarnya. 6.2 Saran Berdasarkan kesimpulan di atas dapat disarankan sebagai berikut: 1) Kepada mahasiswa calon guru Bahasa, Sastra Indonesia, dan Bahasa Daerah seyogyanya melatih diri untuk meningkatkan pemahaman pengkajian karya sastra sebagai bekal mendidik siswa dalam menganalisis karya sastra. 2) Kepada guru Bahasa dan Sastra Indonesia, diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pengajaran Apresiasi Sastra Indonesia, terutama kelas XII di SMA/MA/SMK/Sederajat. 3) Kepada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Bahasa Daerah diharapkan lebih memperhatikan penelitian bidang sastra untuk mencetak lulusan calon guru yang berkualitas dalam mengajarkan karya sastra di sekolah menengah. 4) Hasil penelitian ini sebaiknya digunakan sebagai bahan informasi peneliti lain yang melakukan penelitian dalam bidang sastra.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin.2009.
Pengantar
Apresiasi
Karya
Sastra.
Bandung:
Sinar Baru Algesindo Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian-suatu pendekatan Praktik. Jakarta:.Rineka Cipta Atmazaki,1993.
Analisis
Sajak
Teoti,
Metodologi
Buli
Lima
dan
Aplikasi.
Bandung: Angkasa Dewanto,Nirwan.2010.
–
Buli
Kaki
Buku
Puisi.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Keraf,Gorys.1980. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Moleong, Lexy J. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Resdakarya Pradopo,
Rachmat
Djoko.
1987.
Pengkajian
Puisi.
Yogyakarta:
Gajah Mada Press Tarigan,Henry
Guntur.
1986.
Prinsip
–
Prinsip
Dasar
Sastra.
Bandung: Angkasa Tarigan, Henry Guntur.1985. Pengajaran Gaya Bahasa.Bandung: Angkasa Waluyo, Herman J.1987. teori dan apresiasi Puisi.Surakarta: Erlangga Waridah,Ernawati.2008.
EYD
Bandung: Kawan Pustaka
dan
Seputar
Kebahasa-Indonesiaan.