ANALISIS STRUKTUR MUSIK DAN FUNGSI SOSIO BUDAYA RAPA’I PASE DI BIARA TIMU JAMBO AYE ACEH UTARA PROVINSI ACEH
TESIS
Oleh ANGGA EKA KARINA NIM: 127037001
PROGRAM STUDI MAGISTER (S-2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014
ANALISIS STRUKTUR MUSIK DAN FUNGSI SOSIO BUDAYA RAPA’I PASE DI BIARA TIMU JAMBO AYE ACEH UTARA PROVINSI ACEH
TESIS
Oleh ANGGA EKA KARINA NIM: 127037001
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014
i
ANALISIS STRUKTUR MUSIK DAN FUNGSI SOSIO BUDAYA RAPA’I PASE DI BIARA TIMU JAMBO AYE ACEH UTARA PROVINSI ACEH
TESIS
Untuk memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) dalam Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Oleh ANGGA EKA KARINA NIM: 127037001
PROGRAM STUDI MAGISTER (S-2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014 ii
Judul Tesis
Nama Nomor Pokok Program Studi
ANALISIS STRUKTUR MUSIK DAN FUNGSI SOSIO BUDAYA RAPA’I PASE DI BIARA TIMU JAMBO AYE ACEH UTARA PROVINSI ACEH : Angga Eka Karina : 127037001 : Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni
Menyetujui
Komisi Pembimbing,
Dr. Ridwan Hanafiah, SH., M.A. NIP 195607051989031002
Drs. Irwansyah, M.A. NIP 19621221199703001
Ketua
Anggota
Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Ketua,
Fakultas Ilmu Budaya Dekan,
Drs. Irwansyah, M.A. NIP 196212211997031001
Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP 195110131976031001
Tanggal lulus:
iii
Telah diuji pada Tanggal
:
PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS
Ketua
: Drs. Irwansyah, M.A.
(……….………………..)
Sekretaris
: Drs. Torang Naiborhu., M.Hum.
(..…..…….……………..)
Anggota I
: Dr. Ridwan Hanafiah, SH., M.A.
(….… ……….…………)
Anggota II
: Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.
(...……………….………)
Anggota III : Dra. Rithaony, M.A.
(……………...…….……)
iv
ABSTRACT This research is titled An Analysis of Music Structures and The Social-Culture Function of Rapa’i at Biara Timu, Jambo Aye, Aceh Utara, Aceh Province. It learned about the function of socio-cultural and music structures in art traditional performance of Rapa’i Pasee. The background of this research is Rapa’i in Aceh has been a media which used by the societies to give motivation of spirit live struggle and relegion messages. This research is important because Rapa’i Pasee has used by Aceh society for a long time continually until now. The purpose of this research is to know the function of social-culture and how are the music structure of Rapa’i Pasee art in Panton Labu, Aceh Utara. The research method is qualitative-descriptive method and explained with social science interdicipliner. The main problem of this research are the music traditional instrument of Rapa’i is the music structures, that was the kind of songs rhytme in Rapa’i Pasee that has social meaning and the spirit live in daily live. The social-culture’s function of Rapa’i Pasee toward the societies in Panton Labu, Aceh Utara which included emosional expression, estetis, entertaiment, communication and symbol related with social norms, culture, society integration and problem related with music structures such as rhytme of Rapa’i Pasee’s songs. The result of the research show that the music structures of Rapa’i Pasee is devided into some hit that has kind of sound (timbre) dum and teng, sound of dum was heard lower and sound of teng was heard higher. Kind of hit in Rapa’i pasee is devided into lagu sa that show the music performance was start. lagu dua, lagu lhee, lagu limeung, lagu tujoh, lagu sikureung, and lagu duablah. The kind of hit in Rapa’i Pasee show togetherness and spirit of struggle. Rapa’i Pasee has eight functions in field research result. Based on Merriam that has ten function of social-culture, not all of the functions suitable with Rapa’i Pasee it self, the functions are entertainment, communication, symbol, social norm, culture, society integration, and emotional function.
Keywords : Rapa’i Pasee, Music structure and social-culture function.
v
ABSTRAK Penelitian ini berjudul Analisis Struktur Musik dan Fungsi Sosio Budaya Rapa’i Pasee di Biara Timu, Jambo Aye Aceh Utara Provinsi Aceh. Penelitian ini mengkaji struktur musik dan fungsi sosial budaya pada seni pertunjukan tradisional rapa’i pasee. Adapun latar belakang penelitian ini bahwa rapa’i di Aceh merupakan media dalam bentuk kesenian yang digunakan oleh masyarakat Aceh untuk menyampaikan pesan-pesan semangat perjuangan hidup dan menyampaikan pesan-pesan keagamaan melalui permainan rapa’i pasee. Penelitian ini merupakan sesuatu yang penting karena rapa’i pasee ini sejak dahulu secara terus menerus sampai sekarang ini masih digunakan oleh masyarakat Aceh khususnya daerah Aceh Utara untuk memberikan apresiasi pesan sosial, semangat perjuangan dan syiar agama Islam. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur musik dan fungsi sosial budaya kesenian rapa’i pasee di Panton Labu Aceh Utara. Metode penelitian yang digunakan adalah untuk mendeskripsikan struktur musik dan fungsi sosial budaya dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dan dibahas secara interdisipliner ilmu sosial. Pokok-pokok masalah yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini adalah struktur musik yaitu bentuk ritem pada lagu-lagu didalam rapa’i pasee yang mempunyai makna sosial dan semangat perjuangan hidup dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi sosial budaya rapa’i pasee terhadap masyarakat di kota Panton Labu Aceh Utara yang meliputi fungsi pengungkapan emosional, estetika, hiburan, komunikasi, perlambangan, berkaitan dengan norma-norma sosial, kesinambungan kebudayaan, dan pengintegrasian masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: Struktur musik rapa’i pasee yang terdiri motif pukulan yang mempunyai warna suara (timbre) dum dan teng. Bunyi dum terdengar lebih rendah sedangkan bunyi teng terdengar tinggi. Bentuk pukulan rapa’i pasee terdiri dari lagu sa yang menunjukkan awal mulainya sebuah permainan musik, lagu dua, lagu lhee, lagu limeung, lagu tujoh, lagu sikureung, dan lagu duablah. Motif pukulan-pukulan rapa’i pasee mencerminkan kebersamaan dan semangat perjuangan. Rapa’i pasee mempunyai delapan fungsi hasil penelitian lapangan. Dari sepuluh fungsi yang dikemukakan oleh Merriam, tidak semua fungsi sesuai dengan rapa’i pasee ini. Fungsi-fungsinya adalah fungsi penghayatan estetis, fungsi sebagai hiburan, fungsi komunikasi, fungsi perlambangan, fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, sebagai fungsi kesinambungan budaya, fungsi pengintegrasian masyarakat, dan fungsi emosional.
Kata kunci: Rapa’i Pasee, struktur musik dan fungsi sosial budaya.
vi
PRAKATA
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam kesempatan ini izinkan penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1.
Bapak Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM & H. M.Sc. (CTM), Sp. AK., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2.
Bapak Dr. Syahron Lubis, M. A., sebagai dekan Fakultas Ilmu Budaya yang telah memberikan fasilitas dan sarananya dalam proses pembelajaran bagi penulis sehingga dapat menuntut ilmu di kampus Universitas Sumatera Utara ini dalam kondisi yang nyaman.
3.
Bapak Drs. Irwansyah, M. A., selaku ketua program studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara (USU), dan selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan masukan sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
4.
Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. selaku sekretaris Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara (USU).
5.
Bapak Dr. Ridwan Hanafiah, M. A. selaku pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan hingga selesainya tesis ini
vii
tepat pada waktunya dan memberikan ilmu yang banyak bermanfaat bagi penulis. 6.
Ibu Dr. Asmyta Surbakti, M. Si selaku penguji satu yang telah memberikan masukan, saran, dan kritik sehingga tesis ini dapat disempurnakan.
7.
Dra. Rithaony Hutajulu, M. A selaku penguji dua yang telah memberikan masukan, saran, dan kritik sehingga tesis ini dapat disempurnakan.
8.
Bapak Ponisan selaku bagian staf tata usaha Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara (USU), atas bantuan dan informasi yang sangat bermanfaat dalam proses perkuliahan maupun dalam penyusunan tesis ini.
9.
Kepada para dosen Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara (USU), yang telah memberikan wawasan dan ilmunya yang membuka cakrawala ilmu bagi penulis dan menjadi bekal dalam menyelesaikan tesis ini.
10. Kepada bapak Hasbullah, S. Pd selaku narasumber dan Zunuanis selaku seniman Aceh serta bapak Razali penerus seniman Rapa’i Pasee Panton Labu Aceh Utara. 11. Kepada Rektor Universitas Al-Muslim, dosen, Staf atas dukungan selama ini. 12. Kepada seluruh teman-teman seperjuangan kuliah pada pascasarjana Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara (USU). 13. Kepada yang tercinta, kedua orang tua peneliti, untuk Doa yang selalu mengalir, nasehat, kepercayaan dan kasih sayang yang selalu menguatkan
viii
peneliti. Tesis ini adalah salah satu bentuk pembuktian bahwa ayah dan ibu telah berhasil menjadi orangtua yang sukses untuk anak-anaknya. Terima kasih buat semuanya dan buat orang-orang yang belum sempat disebutkan. Peneliti menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, untuk itu peneliti mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan tesis ini nantinya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan,
Juli 2014
Penulis,
ANGGA EKA KARINA NIM: 127037001
ix
DAFTAR RIWAYAT HIDUP 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Nama Lengkap NIDN Pangkat/ Jabatan Fungsional TTL Agama Jenis Kelamin Pendidikan Terakhir Alamat
9. No. HP 10. Golongan Darah 11. Jenjang Pendidikan
: Angga Eka Karina, S. Pd : 01 130787 01 :: Batuphat Timur/ 13 juli 1987 : Islam : Laki-laki : S1 Seni Musik : Dusun Tengah Blang Pulo Lhokseumawe, Provinsi Aceh. : 081397175123 :B :
No. Jenjang Pendidikan 1. Taman kanak-kanak Islam Fajar Meutia 2. MIN Blang Mane II 3. SLTP Negeri I 4. SMA Negeri I 5. Universitas Negeri Medan (UNIMED) 6. Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Tempat
Tahun
Batuphat Barat
1992 – 1993
Batuphat Timur Lhokseumawe Lhokseumawe Medan
1993 – 1999 1999 – 2002 2002 – 2005 2005 – 2009
Medan
2012 - 2014
12. Pengalaman Kerja a. Tahun 2010 Dosen Tetap Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Al-Muslim b. Tahun 2010 Kepala Laboratorium Sendratasik Universitas Al-Muslim 13. Prestasi a. The best Keyboard Rencong Festival Musik Se- Aceh 2011 b. Juara beberapa festival Seni Tari se- Kopertis Wilayah I Medan tahun 2012 c. Mewakili Muhibah Seni ke luar negeri ke Malaysia, Singapore, Thailand, Jepang dan Korea Selatan 2013-2014.
x
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan di dalam daftar pustaka.
Medan, Penulis,
Juli 2014
Angga Eka Karina, S. Pd NIM. 127037001
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ABSTRACT ............................................................................................... ABSTRAK................................................................................................... PRAKATA ................................................................................................. DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ..................................................................... DAFTAR ISI ............................................................................................... DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ...........................................................
i ii iv v vii x xi xii xvi
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………. 1 1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................... 1 1.2 Pokok Masalah ......................................................................... 6 1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ................................. 7 1.3.1 Tujuan Penelitian ............................................................ 7 1.3.2 Manfaat Penelitian........................................................... 7 1.4 Konsep dan Landasan Teori....................................................... 8 1.4.1 Konsep ........................................................................ 8 1.4.2 Landasan Teori ............................................................ 9 1.4.2.1 Teori Fungsionalisme ................................................... 9 1.4.2.2 Teori Analisis dan Transkripsi Musik........................... . 15 1.5 Metode Penelitian ..................................................................... 15 1.5.1 Kajian pustaka ................................................................. 18 1.5.2 Penelitian lapangan ......................................................... 22 1.5.2.1 Observasi ..................................................................... 23 1.5.2.2 Wawancara ................................................................... 23 1.5.2.3 Kerja laboratorium ........................................................ 24 1.6 Lokasi Penelitian ...................................................................... 25 1.7 Alat yang digunakan ................................................................. 26 1.8 Sistematika Penulisan ............................................................... 27 BAB II ETNOGRAFI MASYARAKAT JAMBO AYE PANTON LABU ………………………………………………... 2.1 Sejarah Desa Jambo Aye Kota Panton Labu ............................. 2.2 Tinjauan Geografis Desa Jambo Aye Kota Panton Labu ........... 2.3 Sistem Pemerintahan Kota Panton Labu ................................... 2.4 Masyarakat Desa Jambo Aye Kota Panton Labu ....................... 2.4.1 Stratifikasi masyarakat desa Jambo Aye kota Panton Labu .................................................................... 2.4.2 Agama ............................................................................. 2.4.3 Jumlah penduduk ............................................................. 2.4.4 Masyarakat kesenian desa Jambo Aye kota Panton Labu .................................................................... xii
29 29 34 36 37 37 38 38 39
2.4.5 Unsur kesenian masyarakat desa Jambo Aye kota Panton Labu ..................................................................... 39 2.4.6 Tari .................................................................................. 39 2.4.7 Musik ............................................................................... 43 BAB III
STRUKTUR MUSIK KESENIAN RAPA’I PASEE : DI BIARA TIMU JAMBO AYE PANTON LABU ACEH UTARA …...................................................................... 3.1 Sejarah Rapa’i Di Aceh ......................................................... 3.2 Klasifikasi Jenis Musik Aceh ................................................. 3.3 Rapa’i Pasee .......................................................................... 3.3.1 Latar Belakang Rapa’i Pasee ......................................... 3.3.2 Organologi Rapa’i Pasee .............................................. 3.3.3 Bentuk Kesenian Rapa’i Pasee...................................... 3.4 Proses Penstranskripsian ........................................................ 3.5 Notasi Ritem (Motif Pukulan) Pada Struktur Musik Rapa’i Pasee ................................................................................... 3.5.1 Deskripsi Lagu Sa ......................................................... 3.5.2 Deskripsi Lagu Dua ....................................................... 3.5.3 Deskripsi Lagu Lhee ..................................................... 3.5.4 Deskripsi Lagu Limeung ................................................ 3.5.5 Deskripsi Lagu Tujoh .................................................... 3.5.6 Deskripsi Lagu Sikureung .............................................. 3.5.7 Deskripsi Lagu Duablah ................................................
45 45 49 53 53 54 59 61 67 67 68 69 69 70 71 71
BAB IV DESKRIPSI FUNGSI SOSIO BUDAYA RAPA’I PASEE: DI BIARA TIMU JAMBO AYE PANTON LABU ACEH UTARA ………………………………………………... 73 4.1 Penggunaan dan Fungsi Rapa’i Pasee ..................................... 73 4.1.1 Pengertian Penggunaan dan Fungsi ............................. 73 4.1.1.1 Pengertian Fungsi ...................................................... 74 4.1.1.2 Penggunaan Rapa’i Pasee ......................................... 87 4.2 Fungsi Kesenian Rapa’i Pasee ................................................ 90 4.2.1 Fungsi Pengungkapan Emosional .................................. 91 4.2.2 Fungsi Pengungkapan Estetika ...................................... 92 4.2.3 Fungsi Hiburan .............................................................. . 95 4.2.4 Fungsi Komunikasi........................................................ 95 4.2.5 Fungsi Perlambangan .................................................... 97 4.2.6 Fungsi Berkaitan Dengan Norma Sosial ........................ 99 4.2.7 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan ............................ 99 4.2.8 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat . ............................. 101 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………… 103 5.1 Kesimpulan............................................................................ 103 5.2 Saran ................................................................................... 106 xiii
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 107 LAMPIRAN: LAMPIRAN FOTO …………………………………………………….. 110
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Luas Wilayah Kecamatan di Kabupaten Aceh Utara ......................35 Tabel 3.1 Alat Musik Tradisional Aceh ........................................................50
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Peta Kabupaten Aceh Utara ......................................................34 Gambar 3.1 Skema Ukuran Rapa’i Pase ......................................................55 Gambar 3.2 Baloh (Kayu) .............................................................................56 Gambar 3.3 Kulet (kulit) .............................................................................56 Gambar 3.4 Pengapet (seudak) .................................................................... 57 Gambar 3.5 Larik (garis) ..............................................................................58 Gambar 3.6 Format Posisi Pemain Rapa’i Pasee ..........................................59 Gambar 3.7 Lagu satu (lagu sa) .................................................................... 68 Gambar 3.8 Lagu dua (lagu dua) ................................................................... 68 Gambar 3.9 Lagu tiga (lagu lhee) .................................................................. 69 Gambar 3.10 Lagu lima (lagu limeung) ......................................................... 70 Gambar 3.11 Lagu tujuh (lagu tujoh) ........................................................... 70 Gambar 3.12 Lagu sembilan (lagu sikureung) .............................................. 71 Gambar 3.132 Lagu dua belas (lagu duablah)............................................... 72
xvii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Aceh sebagaimana provinsi lainnya di Indonesia merupakan salah satu daerah yang kaya akan kebudayaan. Sejarah telah membuktikan semenjak adanya kerajaan-kerajaan kecil di masa silam sampai Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya hingga dewasa ini. Aceh tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaannya bahkan nilai-nilai budaya ini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Aceh. Aceh merupakan daerah pertama yang mempunyai hubungan langsung dengan dunia luar, contohnya Cina, India, Persia, Arab yang berdagang di Aceh masuk melalui pelabuhan Peurlak, Samudra Pasai dan Lamuri, Hasbi (2006:5). Kebudayaan di Aceh dipengaruhi oleh peradaban Islam termasuk didalamnya tarian tradisional, musik tradisional, dan instrument tradisional. Daerah Provinsi Aceh dihuni oleh beberapa sub etnik, dan masing-masing sub etnik memiliki kekhasan sendiri di bidang kebudayaan. Melihat beragamnya kebudayaan daerah Aceh, maka keadaan itu juga selaras dengan keberagaman budaya suku-suku bangsa di Indonesia. Daerah provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi yang mempunyai beragam bentuk alat musik tradisional. Salah satu bentuk alat musik tradisional tersebut adalah rapa’i. Rapa’i adalah alat musik pukul (mebranophone) yang berasal dari Bagdad/Irak. Setelah agama Islam masuk ke Aceh melalui Samudra Pasai, rapa’i ini terus dikembangkan. Bentuk dan cara memainkannya telah disesuaikan dengan budaya yang sesuai Islam. Nama rapa’i berasal dari seorang ahli tasawuf yang
1
2
bernama Ahmad Rifa’i. Beliau juga salah seorang penyiar agama Islam di Aceh. Beliau mencetuskan rapa’i di Aceh Besar sekitar tahun 900 M dan mulai dipertunjukkan pada masyarakat di Aceh hingga akhirnya rapa’i menjadi permainan kesenian rakyat. Rapa’i merupakan alat musik tradisional Aceh, sama halnya dengan gendang. Rapa’i dibuat dari batang kayu yang keras, biasanya dari batang nangka, batang pohon aren, batang kelapa yang sudah tua, atau batang tuwalang. Pertama dibulatkan lalu diberi lobang di tengahnya. Kayu yang telah diberi lobang ini disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian atas daripada bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing atau kulit lembu sedangkan bawahnya dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat dari rotan yang dibalut dengan kulit. Penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut seudak. Rapa’i berkembang dan digunakan sejak adanya kerajaan Aceh yaitu kerajaan Samudra Pasai. Pada zaman kerajaan Samudra Pasai, rapa’i digunakan untuk mengumpulkan masyarakat berperang melawan penjajah, mengumpulkan masyarakat untuk bermusyawarah, memberi isyarat tanda bahaya, dan memberi tanda bahwa waktu sholat telah tiba. Masyarakat pada saat itu menggunakan Rapa’i sebagai Alat komunikasi1. Rapa’i terus berkembang dan masyarakat menggunakan rapa’i untuk acara kesenian rakyat dalam berbagai bentuk penampilan yang berbeda-beda. Dilihat dari perangkat besar dan kecilnya ukuran, rapa’i dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu RAPA’I PASEE, rapa’i puloet, rapa’i geurimpheng, rapa’i 1
2014.
Hasil wawancara dengan Hasbullah, mantan staf kebudayaan kota Lhokseumawe , tahun
3
daboh dan rapa’i geleng. Hampir semua bentuk rapa’i sama yang membedakan adalah cara menampilkan permainannya. Salah satu contoh jenis kesenian RAPA’I PASEE yang akan penulis angkat sebagai kajian dalam penulisan tesis ini. Nama RAPA’I PASEE diambil dari nama kerajaan Samudra Pasai dan sekarang sudah menjadi nama suatu daerah di kabupaten Aceh Utara. RAPA’I PASEE hanya terdapat di wilayah Aceh Utara saja dan berkembang di desa-desa pada Kota Lhokseumawe, Geudong, Alue ie Puteh, dan Panton Labu. Salah satu desa yang melestarikan sampai sekarang yaitu desa Biara Timu Kecamatan Jambo Aye kota Panton labu. Letak kota Panton Labu dari kabupaten Aceh Utara dapat ditempuh dengan waktu satu jam perjalanan dengan kendaraan bermotor. Pelestarian permainan kesenian RAPA’I PASEE di wilayah Aceh Utara dan sekitarnya tergantung oleh masyarakat setempat yang tetap ingin menjaga kelestariannya. Oleh karena itu, sampai saat ini Desa Biara Timu Kecamatan Jambo Aye masih terus melestarikanya. Dalam kenyataannya dapat ditemui sampai sekarang sanggar seni RAPA’I PASEE. Masyarakat desa masih membuat acara pertandingan RAPA’I PASEE antardesa. Masih ditemui pemimpin kesenian RAPA’I PASEE sekaligus narasumber untuk sejarah dalam bentuk lisan di desa tersebut. Oleh karena itu, peneliti memilih Desa Biara Timu Kecamatan Jambo Aye untuk melakukan penelitian dalam menyelesaikan tesis ini. RAPA’I PASEE digunakan sebagai alat musik pukul pada upacara-upacara terutama yang berhubungan dengan keagamaan, hari-hari besar Islam, tamu kehormatan, media kampanye politik dan permainan/perlombaan kesenian tradisional. Memainkan rapa’i yaitu dengan cara memukulnya dan biasanya
4
dimainkan oleh kelompok. Di dalam satu grup ada seorang pemimpin permainan rapa’i disebut syeh. Syeh mempunyai peran sebagai pemberi isyarat untuk pergantian dari lagu pertama ke lagu selanjutnya. Ada sebutan canang yaitu orang yang memainkan pukulan variasi dan rando yaitu orang yang memainkan pukulan dasar. RAPA’I PASEE berukuran besar (digantung) biasanya di bawah kolong muenasah2. Beratnya 20-50 kg yang berfungsi sebagai induk dan mempunyai gelar tersendiri sebagai kebangaan dari group tersebut, contohnya : rapa’i raja kuning. Unit besar terdiri dari 30 buah rapa’i, unit sedang 15 buah, sedangkan unit kecil terdiri dari 10 – 12 buah. RAPA’I PASEE tidak mempunyai tangga nada. RAPA’I PASEE tidak ada nyanyian suara vokal serta gerakan tarian yang berpola. RAPA’I PASEE hanya sebagai ritme (tempo) oleh peunaboh3. Bentuk pukulan/ritem RAPA’I PASEE terdiri dari lagu sa, lagu dua, lagu lhee, lagu limeung, lagu tujoh, lagu sikureung dan lagu duablah. Semua adalah sebutan untuk urutan permainan ritem pada RAPA’I PASEE. RAPA’I PASEE mempunyai dua warna suara (timbre) yaitu dum dan teng4. Bentuk penampilan RAPA’I PASEE pada sebuah pertunjukan terdiri dari jenis pukulan yang berurutan. Pemain RAPA’I PASEE memainkannya sambil berdiri. Penampilannya dalam sebuah ansambel (grup) biasanya satu grup terdiri dari jumlah pemain terkecil 15 0rang dan terbesar sampai 60 orang. RAPA’I PASEE mempunyai keunikan gema suaranya yang besar. Suaranya dapat didengar dari satu desa sampai ke desa lainnya. RAPA’I PASEE 2
Meunasah : tempat beribadah umat islam didesa biasanya terbuat dari kayu dan tinggi. Orang yang memukul alat musik Rapa’i pasee. 4 Dum untuk suara rendah dan teng untuk suara sedang atau tinggi. 3
5
mempunyai ukiran di pinggiran kayunya yang disebut larik5. Setiap larik mempunyai makna, larik satu bermakna siang dan malam, larik lima bermakna rukun Islam ada lima perkara, larik tujuh bermakna seminggu ada tujuh hari dan ada satu garis besar menandakan hari jumat dilarang untuk memukul rapa’i dan larik delapan ada empat garis besar dan empat garis kecil bermakna yaitu Tuha peut dan tuha lapan orang yang dituakan atau penasehat dalam sebuah desa setempat6. Menurut pakar seni budaya wilayah Aceh utara, yaitu saudara Hasbullah bahwa “RAPA’I PASEE adalah alat musik tradisional Aceh (uroh deng). Maksudnya alat musik yang dimainkan secara berdiri dan masyarakat menampilkan RAPA’I PASEE secara tunang yaitu lawan antara satu grup desa dan satu grup desa lainnya”. Setiap satu grup atau lawan harus dapat bermain RAPA’I PASEE ini dengan menghasilkan suara yang besar, membuat variasi pukulan dan dapat bertahan selama waktu yang ditentukan. Dalam masyarakat Aceh kesenian RAPA’I PASEE bukan saja sekedar pertunjukan seni atau perlombaan tetapi RAPA’I PASEE sebuah ajang untuk menguatkan tali persaudaraan antar masyarakat Aceh dan silaturahmi seperti ajaran dalam agama Islam. Banyak terdapat masalah dan keunikan dari penjelasan di atas. Inilah halhal yang menarik hingga penulis sangat tertarik untuk mengajukan sebagai tesis. Untuk menjaga kelestarian alat musik tradisional Aceh tersebut di kemudian hari, akibat dari perkembangan zaman dan juga untuk menggalakkan adanya usaha-usaha untuk penyesuaian dengan selera pasar dan keinginan para 5 6
Larik garis melingkar dipinggiran baloh (kayu) yang jumlahnya berbeda –beda . Hasil wawancara dengan Hasbullah, S. Pd
6
pemusik untuk mengklaim permainan RAPA’I PASEE ini, maka perlu untuk dilakukan studi terhadap alat musik tradisional Aceh RAPA’I PASEE seperti yang penulis lakukan saat ini sehingga baik fungsi sosio budaya dan struktur musik serta urutan-urutan penampilannya hendaknya mempunyai ketentuan yang jelas dan baku. Penentuan RAPA’I PASEE ini untuk diangkat ke dalam satu topik tulisan yang berjudul Analisis Struktur Musik dan Fungsi Sosio Budaya RAPA’I PASEE di Biara timu, Jambo Aye Aceh Utara Provinsi Aceh merupakan salah satu usaha pelestarian pertunjukan RAPA’I PASEE tersebut. Demikian menariknya keberadaan RAPA’I PASEE di Biara Timu, Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara, baik ditinjau dari aspek sosial, budaya, estetika dan filsafat yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu, secara keilmuan khususnya melalui kajian seni, RAPA’I PASEE ini sangat menarik untuk diteliti, didokumentasi, dianalisis dan tentu saja dipublikasikan keberadaannya.
1.2 Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana bentuk struktur musik pertunjukan RAPA’I PASEE melalui pendekatan metode deskriptif dan transkripsi. Khususnya dalam dasar musiknya sebagai bahan dokumentasi dan referensi. 2. Bagaimana fungsi kesenian RAPA’I PASEE terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat Biara Timu, Kecamatan Jambo Aye Kota Panton Labu Aceh Utara.
7
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui sejauh mana eksistensi kesenian rapai pasee baik pada masa lalu maupun pada masa perkembangan saat ini.
2.
Untuk mengetahui struktur musik baik dimensi ruang maupun waktu dalam pertunjukan RAPA’I PASEE.
3.
Untuk mengetahui fungsi sosio budaya kesenian RAPA’I PASEE dalam kebudayaan masyarakat pendukungnya.
1.3.2 Manfaat penelitian Manfaat yang diambil dari penelitian yang diwujudkan dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Menambah referensi tentang kesenian khususnya RAPA’I PASEE bagi lembaga-lembaga pendidikan (sekolah) sehingga dapat digunakan oleh guru kesenian sebagai bahan pembelajaran.
2.
Sebagai bahan masukan bagi tim pengajar sendratasik (seni drama, tari, dan
musik)
untuk
menambah
wawasasan
seni
dan
kemudian
mengajarkannya kepada generasi muda Indonesia, khususnya Aceh. 3.
Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa seni musik, agar dapat mengetahui penyajian RAPA’I PASEE termasuk pada konteks hiburan pada masyarakat Aceh.
8
4.
Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan budaya daerah.
5.
Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain baik mencakup teori maupun uraian tentang bentuk penyajian RAPA’I PASEE.
6.
Penelitian ini akan bermanfaat untuk pengembangan seni-seni tradisional yang dalam konteks dunia kepariwisataan di Provinsi Aceh pada khususnya dan Indonesia secara umum.
7.
Penelitian tentang RAPA’I PASEE ini akan dapat memberikan manfaat tentang bagaimana masyarakat Aceh membumikan ajaran Islam dalam konteks wilayah budaya etnik yang spesifik dan bijaksana (arif).
1.4 Konsep dan Landasan Teori 1.4.1 Konsep Konsep dari penelitian ini adalah mengkaji sejauh mana kesenian RAPA’I PASEE yang mempunyai fungsi sosio budaya terhadap masyarakat di Desa Biara Timu Kecamatan Jambo Aye Kota Panton Labu. Melalui pengkajian struktur musik dan struktur pertunjukannya sehingga diharapkan dapat memberi penjelasan seluas-luasnya bagi yang ingin mengetahui dan mempelajarinya. Namun demikian oleh karena latar belakang penulis di bidang music, maka dalam penulisan tesis ini lebih menitikberatkan pada kajian strukur musiknya saja dalam pertunjukannya. Motif pukulan RAPA’I PASEE terdiri dari lagu sa, lagu dua, lagu lhee, lagu limeung, lagu tujoh, lagu sikureung dan lagu duablah. Sebutan lagu
9
pada permainan RAPA’I PASEE bukanlah lagu yang mempunyai lirik atau teks melainkan lagu tersebut adalah bentuk ritem atau motif pukulan.
1.4.2 Landasan teori Berikut ini akan disajikan beberapa teori yang akan digunakan sebagai alat untuk membedah berbagai masalah yang berkenaan dengan topik tulisan ini.
1.4.2.1 Teori fungsionalisme Untuk mengkaji fungsi sosio budaya RAPA’I PASEE dalam kebudayaan masyarakat Biara Timu Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara, khususnya di kawasan penelitian, maka penulis menggunakan teori fungsionalisme. Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi institusi-institusi seperti negara, agama, keluarga, aliran dan pasar terwujud. Teori fungsionalisme dalam ilmu antropologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya adalah guru besar dalam Ilmu Sastra Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski memperoleh pendidikan yang kelak memberikannnya suatu karier akademik juga. Tahun 1908 ia lulus Fakultas Ilmu Pasti dan Alam di Universitas Cracow. Yang menarik, selama
10
studinya ia gemar membaca buku mengenai folkor dan dongeng-dongeng rakyat sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt di Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160). Ia kemudian mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia yang disebutnya dengan teori fungsionalisme kebudayaan atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat ketika ia menjadi guru besar Antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang, tahun itu ia juga meninggal dunia. Buku mengenai fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Crains dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944). Bagi Malinowski (T.O. Ihromi 2006) mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Menurut
Malinowski,
fungsi
dari
satu
unsur
budaya
adalah
kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan,
11
kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar tersebut muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan. Pemikiran
Malinowski
mengenai
syarat-syarat
metode
geografi
berintegrasi secara fungsional yang dikembangkannya dalam kuliah-kuliahnya tentang metode penelitian lapangan dalam masa penulisannya. Ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobriand selanjutnya menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranatapranata sosial menjadi mantap juga. Dalam hal itu ia membedakan antara fungsi sosial dalam tiga tongkat abstraksi (Koentjaraningrat, 1987:167), yaitu: 1.
Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat;
2.
Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan;
3.
Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara integrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.
12
Contohnya unsur kebudayaan yang memenuhi kebutuhan akan makanan menimbulkan kebutuhuan sekunder yaitu kebutuhan untuk kerjasama dalam pengumpulan makanan atau untuk produksi. Untuk itu masyarakat mengadakan bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang menjamin kelangsungan kewajiban kerja sama tersebut di atas. Jadi, menurut pandangan Malinowski tentang kebudayaan bahwa semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para warga masyarakat. Seperti Malinowski, Arthur Reginald Radcliffe-Brown (1881-1955), seorang ahli lain dalam antropologi sosial berdasarkan teorinya mengenai perilaku manusia pada konsep fungsionalisme. Tetapi berlainan dengan Malinowski, Radcliffe-Brown (Ihromi, 2006) mengatakan bahwa berbagai aspek perilaku sosial bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual tapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial dari suatu masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada. Radcliffe-Brown (Koentjaraningrat, 1987:175) hanya membuat deskripsi mengenai organisasi sosial secara umum, tidak mendetail dan agak banyak membuat bahan mengenai upacara keagamaan, keyakinan keagamaan, dan mitologi. Dalam mendekripsi etnografi The Andaman Islander merupakan contoh lain dari suatu deskripsi terintegrasi secara fungsional dimana berbagai upacara agama dikaitkan dengan mitologi atau dongeng-dongeng suci yang bersangkutan, pengaruh dan efeknya terhadap struktur hubungan antara warga dalam suatu komunitas Desa Andaman yang kecil menjadi tampak jelas.
13
Metodologi deskripsi tersebut dengan sengaja dan sadar dipergunakannya dan dapat dirumuskan mengenai upacara (Koentjaraningrat, 1987) sebagai berikut: 1.
Agar suatu masyarakat dapat hidup langsung maka harus ada suatu sentimen dalam jiwa para warganya yang merangsang mereka untuk berperilaku sosial dengan kebutuhan masyarakat;
2. Tiap unsur dalam sistem sosial dan tiap gejala atau benda yang dengan demikian mempunyai efek pada solidaritas masyarakat menjadi pokok orientasi dari sentimen tersebut; 3. Sentimen itu dalam pikiran individu dalam pikiran individu warga masyarakat sebagai akibat pengaruh hidup masyarakat; 4. Adat-istiadat upacara adalah wahana dengan apa sentimen-sentimen itu dapat diekspresikan secara kolektif dan berulang-ulang pada saat-saat tertentu; 5. Ekspresi kolektif dari sentimen memelihara intensitas-intensitas itu dalam jiwa warga masyarakat, dan bertujuan meneruskannya kepada warga-warga dalam generasi berikutnya (1922:233-234). Radcliffe-Brown kemudian menyarankan untuk memakai istilah “fungsi sosial” untuk menyatakan efek dari suatu keyakinan, adat atau pranata kepada solidaritas sosial dalam masyarakat. Ia merumuskan bahwa “… the social function of the ceremonial customs of the Andaman Islanders is to transmit from one generation to another the emotional dispositions on which the society (as it constituted) depends for its existence.”
14
Radcliffe-Brown juga memiliki teori yang sama dengan Malinowski, yaitu teori fungsionalisme. Menurut beliau lebih menekankan teori fungsional struktural. Ia mengatakan bahwa, “Berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual tapi justru timbul untuk mempertahakan struktur sosial masyarakat dan struktur sosial masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada.” Kedua teori fungsional ini memfokuskan fungsi-fungsi sosial budaya. Bagi Malinowski penyebab fungsi itu adalah pada kebutuhan dasar manusia sebagai individu-individu. Sementara menurut Radcliffe-Brown fungsi itu muncul untuk memenuhi sistem sosial yang telah dibangun berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam konteks penelitian ini RAPA’I PASEE dalam kebudayaan masyarakat Biara Timu Jambo Aye Aceh Utara jika dianalisis dari teori fungsionalnya
Malinowski
bahwa
setiap
individu
orang
Aceh
perlu
mengekspresikan perasaan keindahannya melalui seni RAPA’I PASEE. Berbagai kegiatan dalam budaya Aceh seperti perayaan hari besar agama Islam, menyambut para tamu, festival budaya menggunakan seni RAPA’I PASEE ini. Jadi faktor individulah yang paling dominan menurut teori fungsionalnya Malinowski ini. Kalau menurut teori fungsionalismenya Radcliffe-Brown, maka semua aktivitas budaya yang melibatkan penggunaan seni RAPA’I PASEE adalah karena memenuhi sistem-sistem sosial yang dikendalikan secara bersama oleh masyarakat Aceh. Jadi menurut teori fungsionalisme Radcliffe-Brown, RAPA’I PASEE timbul karena kebutuhan masyarakat secara bersama bukan karena individu.
15
1.4.2.2 Teori analisis dan transkripsi musik Teori analisis dan transkripsi musik digunakan sebagai sebuah proses pentranskripsian yang merupakan langkah awal dalam kerja analisis yang tujuannya adalah untuk mengubah bentuk bunyi musik kedalam suatu lambang bunyi. Dalam hal ini lambang bunyi dari bentuk musik notasi RAPA’I PASEE ditranskripsikan kedalam bentuk notasi musik barat hal ini bertujuan untuk melihat dan memahami bunyi musik tersebut sebagai tingkah laku masyarakat pemiliknya dalam bentuk visual. Transkripsi diperlukan untuk memvisualisasikan apa yang didengar yang memungkinkan untuk membantu mempelajari musik secara komparatif dan detail serta membantu untuk mengkomunikasikannya kepada pihak lain tentang apa yang dipikirkan dari apa yang didengarnya itu7, meskipun sesungguhnya mentranskripsikan bunyi musik kedalam bentuk visualisasi tidak pernah bisa persis sama sebagaimana ketika musik itu disajikan.8 Demikian kira-kira gambaran umum teori yang akan penulis gunakan nantinya dalam mengkaji fungsi sosio budaya, dan struktur musik yang dipertunjukan dalam kesenian RAPA’I PASEE di Biara Timu Jambo Aye Aceh Utara. 1.5 Metode Penelitian Metode yang di gunakan dalam penelitian ini berdasarkan prosedur kualitatif. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data secara sistematis yang 7
8
Bruno Nettl, The study of Rthnomusicology. Twenty-nine Issues and concept (Chicago: University Press, 1983,16) pada umumnya transkripsi dipengaruhi oleh interpretasi transkriptor terhadap karakter musik tersebut, hal ini dapat menimbulkan perbedaan pada suatu segmen musikal apabila penstrankripsian musik dilakukan oleh dua orang atau lebih. Seperti dalam artikel Torang Naiborhu: transkripsi dan analisis (Medan, Universitas Sumatra Utara, Fakultas Ilmu Budaya, 2013.)
16
didapat dari hasil pernyataan-pernyataan ataupun dalam bentuk hasil tulisantulisan yang berasal dari kelompok maupun individu yang terlibat dalam kesenian RAPA’I PASEE tersebut baik sebagai pelaku maupun pemerhati sebagai masyarakat pendukungnya.9 Kemudian penulis menjelaskan hasil penelitian ini melalui metode deskriptif yaitu dengan menggambarkan atau mengamati fakta-fakta yang sedang berlangsung. Teknik pengumpulan data dan penelitian ini adalah observasi dan wawancara. Teknik pengolahan dan analisa data digunakan metode deskripsi kualitatif yaitu menguraikan fungsi sosio budaya dan struktur musik RAPA’I PASEE ini sesuai dengan yang dikatakan Arikunto (2003:309-310), yaitu penelitian
deskriptif
merupakan
penelitian
yang
dimaksudkan
untuk
mengumpulkan informasi mengenai status, satu gejala yang ada yaitu gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Adapun pengertian deskriptif menurut Sukardi (2003:15) adalah metode yang berusaha menggambarkan objek atau subjek yang diteliti sesuai dengan apa adanya. Tujuannya adalah menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek yang di teliti secara tepat. Dalam menganalisis struktur musik pada objek penelitian kesenian RAPA’I PASEE ini, penulis melakukan metode transkripsi yang digunakan sebagai bentuk pendokumentasian lagu-lagu yang ada dalam RAPA’I PASEE ini kedalam bentuk notasi. Proses pentranskripsian merupakan langkah awal dalam
9
Bogdan, Robert, et al, inroduction to Qualitati research metode, New york: John Wiley and sons, inc: Hal 4.
17
kerja analisis yang tujuannya adalah untuk mengubah bentuk bunyi kedalam suatu lambang. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nettl bahwa: Transkripsi adalah proses menotasikan bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual atau kegiatan memvisualisasikan bunyi musik kedalam bentuk notasi dengan cara menuliskannya ke atas kertas.10 Maka dalam hal ini penulis mencoba mendapatkan transkripsi lagu-lagu RAPA’I PASEE dengan beberapa langkah yang penulis lakukan, diantaranya sebagai berikut: 1.
Untuk mendapatkan rekaman lantunan lagu RAPA’I PASEE, penulis merekam langsung bunyi dari pemain baik dalam proses penelitian maupun dalam konteks pertunjukannya di berbagai even pertunjukan kesenian lokal maupun nasional.
2.
Rekaman tersebut didengarkan secara berulang-ulang agar mendapatkan hasil yang maksimal dan kemudian ditranskripsikan ke dalam bentuk notasi.
3.
Pendekatan transkripsi yang dilakukan adalah pendekatan preskriptif, yaitu menuliskan perjalanan melodi secara makro dan garis besar saja. Tujuannya adalah untuk memperlihatkan bagaimana struktural umum pukulan yang berbentuk melodi dari pola ritmis dari pertunjukan RAPA’I PASEE tersebut.
4.
Ritmis maupun melodi lagu dalam RAPA’I PASEE dituliskan dengan notasi barat agar dapat lebih mudah dimengerti karena dalam notasi barat tinggi dan rendahnya nada, pola ritme dan simbol-simbol terlihat lebih 10
Bruno Nettl: The Study of Etnomusicology: Twenty-nines issues and Concepts (Chicago: University Press,1983)
18
jelas ditransmisikan kepada para pembaca melalui tanda-tanda dalam garis paranada. Dalam proses pentranskripsian ini penulis menggunakan perangkat lunak (software) Sibellius yang digunakan untuk membantu proses pentranskripsian agar mengetahui bentuk ritmis pada lagu-lagu yang dimainkan dalam kesenian RAPA’I PASEE tersebut. Oleh karena itu, dalam hal penelitian lapangan untuk memperoleh data yang akurat dan sistematis tersebut penulis melakukan beberapa tahapan-tahapan sebagai langkah penyelesaian tesis ini dengan beberapa tahap yaitu melalui pengumpulan data dan tulisan-tulisan kepustakaan sebagai sumber rujukan yang berhubungan dengan pokok permasalahan pada topik penulisan tesis ini, melakukan penelitian di lapangan, observasi, wawancara dan kerja laboratorium dengan menganalisis melalui transkripsi lagu-lagu yang ada pada kesenian RAPA’I PASEE.
1.5.1 Kajian Pustaka Dalam rangka kerja studi kepustakaan yang berkaitan dengan penulisan pertunjukan RAPA’I PASEE ini, maka sebagian besar digunakan buku-buku yang secara saintifik dipandang relevan dan berkait dengan pokok masalah penelitian. Diantara buku-buku tersebut adalah sebagai berikut. 1.5.1.1 Kajian sejarah 1. Pemerintah Aceh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh yang berjudul Budaya Aceh Provinsi Daerah istimewa Aceh tahun 2009 yang
19
didalamnya terdapat pembahasan tentang sejarah budaya Aceh dan alat musik rapa’i. Sejarah rapa’i yang dibahas mencakup masa kesultanan Aceh,
masa
penjajahan
Belanda
dan
masa
kemerdekaan
yang
mempengaruhi perkembangan alat musik tradisional rapa’i di Aceh. 2. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh yang berjudul Dampak Pengembangan Pariwisata terhadap Kehidupan Sosial di Daerah Istimewa Aceh yang berisikan tentang budaya dan kesenian pariwisata Aceh. 3. Majelis Ulama Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, yang berjudul “Bagaimana Islam Memandang Kesenian”(1972) yang berisikan tentang bagaiman agama Islam memandang kesenian dari sudut keagamaan. 4. Mohammad Said menulis buku yang berjudul Aceh Sepanjang Abad (Jilid I) yang diterbitkan tahun 2007. Buku ini berisikan tentang sejarah rakyat Aceh sepanjang abad dan perjuangan rakyat Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat Aceh. Pendekatan yang dilakukan Mohammad Said adalah pendekatan sejarah. 5. Mohammad Said menulis buku yang berjudul Aceh Sepanjang Abad (Jilid II), buku ini berisikan tentang sejarah rakyat Aceh sepanjang abad dan perjuangan rakyat Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat Aceh, diterbitkan tahun 2007. 6. Ali Hasymy menulis buku yang bertajuk Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Benua di Jakarta tahun 1983.
20
Adapun isi buku ini secara umum adalah uraian mengenai kebudayaan Aceh, filsafat-filsafatnya dan sejarah perkembangan kebudayaan Aceh. 1.5.1.2 Kajian teori 1. Alan P. Merriam menulis buku yang berjudul The Anthropology of Music, yang berisikan tentang ilmu antropologi musik. Di dalam buku ini juga dibahas secara mendalam bagaimana guna dan fungsi musik di dalam kebudayaan manusia di dunia ini. 2. Bronislaw Malinowski yang berjudul “ Teori Fungsional dan Struktural” yang berisikan tentang teori- teori fungsional dan struktural yang menjadi acuan juga dalam merumuskan permasalahan pada pendekatan teoritis dalam mendeskripsikan fungsi sosial budaya terhadap objek penelitian ini.
1.5.1.3 Kajian bentuk kesenian RAPA’I PASEE yang diantaranya : 1. Margaret kartomi, Musical Journey in Sumatra, 2013. Berisikan journal tentang jenis musik yang ada di Sumatera termasuk Aceh yang mendeskripsikan tentang bentuk seni tari dan musik di Aceh khusunya pada beberapa bentuk kesenian yang menggunakan alat musik rapa’i. 2. Rita dewi, Rapai Pasee pada Masyarakat Aceh di Desa Lam Awe Kecamatan Syamtalira Aron : Analisis Musik dalam Konteks Pertunjukan. (skripsi sarjana), jurusan etnomusikologi, fakultas sastra, Universitas Sumatera Utara, 1995 berisikan hasil penelitian tentang RAPA’I PASEE di daerah Lam Awe, Aceh Utara sebagai masukan kajian sejarah rapa’i di Aceh.
21
3. Dindin achmad nazmuddin, Analisis Fungsi Sosial Budaya dan Struktur Musik Kesenian Rapa’i Geleng di Kota Banda Aceh. (tesis), jurusan pencintaan dan pengkajian seni fakultas ilmu budaya, Universitas Sumatera Utara, 2013. Sebagai masukan kajian sejarah rapa’i di Aceh.
1.5.1.4 Kajian Metode Penulisan 1. Arikunto, (2003:309-310), yaitu penelitian deskriptif merupakan penelitian
yang
dimaksudkan
untuk
mengumpulkan
informasi
mengenai status, satu gejala yang ada yaitu gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. 2. Sukardi (2003:15) adalah metode yang berusaha menggambarkan objek atau subjek yang diteliti sesuai dengan apa adanya. Tujuannya adalah menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek yang diteliti secara tepat. Inilah sebagian pustaka penting yang menjadi rujukan penulis dalam rangka mengkaji keberadaan RAPA’I PASEE di Biara Timu, Jambo Aye Aceh Utara. Keberadaan sumber tertulis ini menjadi dasar utama keilmuan penulis dalam rangka meneliti dan kemudian menganalisisnya berdasarkan multidisiplin dan interdisiplin ilmu, sebagaimana yang selama ini penulis peroleh dari kuliah di Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan. Selanjutnya penulis melakukan penelitian lapangan.
22
1.5.2 Penelitian lapangan Penelitian lapangan (fieldwork) adalah menjadi fokus utama kegiatan penulis dalam rangka penelitian RAPA’I PASEE di Biara Timu, Jambo Aye Aceh Utara. Hal ini dilakukan mengacu kepada disiplin etnomusikologi dan antropologi yang sangat mementingkan penelitian lapangan. Hal ini selaras dengan yang dikemukakan Bandem dalam konteks kegiatan ilmuwan etnomusikologi di dunia ini. Menurut I Made Bandem, etnomusikologi merupakan sebuah bidang keilmuan yang topiknya menantang dan menyenangkan untuk diwacanakan. Sebagai disiplin ilmu musik yang unik, etnomusikologi mempelajari musik dari sudut pandang sosial dan budaya. Sebagai disiplin yang amat populer saat ini, etnomusikologi merupakan ilmu pengetahuan yang relatif muda umurnya. Kendati umurnya baru sekitar satu abad namun dalam uraian tentang musik eksotik sudah dijumpai jauh sebelumnya. Uraian-uraian tersebut ditulis oleh para penjelajah dunia, utusan-utusan agama, orang-orang yang suka berziarah dan para ahli filologi. Pengenalan musik Asia di dunia barat pada awal-awalnya dilakukan oleh Marco Polo, pengenalan musik China oleh Jean-Babtise Halde tahun 1735 dan Josep Amiot tahun 1779. Kemudian musik Arab oleh Guillaume-Andre Villoeau hun 1809. Periode ini dipandang sebagai awal perkembangan etnomusikologi. Masa ini pula diterbitkan ensiklopedi musik oleh Jean-Jaques Rousseau, tepatnya tahun 1768 yang memberi semangat tumbuhnya etnomusikologi (Bandem, 2001:1-2).
23
Penelitian lapangan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah observasi dan wawancara dengan para tokoh seniman tradisional (pelaku seni) RAPA’I PASEE dan para pegawai pemerintah di lingkungan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Aceh Utara. Observasi adalah pengamatan dengan cara sebagai pengamat yang terlibat dalam kegiatan seni secara langsung. Kemudian wawancara adalah dilakukan kepada terutama informan kunci untuk mengetahui sejarah, fungsi sosio budaya RAPA’I PASEE dalam konteks kebudayaan Aceh.
1.5.2.1 Observasi Observasi digunakan untuk mengetahui secara langsung bentuk penyajian RAPA’I PASEE. RAPA’I PASEE merupakan suatu kegiatan yang dilihat langsung dalam aspek penyajian yaitu, motif pukulan, tempo, pola ritme, variasi pukulan, dan busana pemain RAPA’I PASEE. Dalam observasi ini penulis mempersaksikan pertunjukan RAPA’I PASEE di beberapa peristiwa budaya terutama RAPA’I PASEE (uroh doeng) pertandingan, di lokasi tempat tinggal pimpinan RAPA’I PASEE desa Jambo Aye. Pentingnya melakukan observasi ini adalah untuk melihat langsung pertunjukan dan kemudian melakukan wawancara. Selepas itu penulis akan menganalisisnya dan melakukan penafsiran-penafsiran kultural berdasarkan ilmu dan pengalaman yang penulis peroleh selama ini.
1.5.2.2 Wawancara Wawancara merupakan suatu cara untuk mengumpulkan data atau memperoleh informasi secara langsung bertatap muka dengan informan sehingga
24
mendapatkan gambaran lengkap tentang objek yang sedang diteliti. Wawancara dilakukan dengan pemusik, pelatih, dan tokoh musik di Aceh maupun di luar daerah Provinsi Aceh. Wawancara dilakukan sesuai dengan format yang telah penulis siapkan dengan tujuan data-data yang diinginkan akan diuraikan sehingga mendukung hasil penelitian. Hal-hal yang akan diwawancarai berkaitan dengan dua pokok masalah, yaitu (1) fungsi sosial dan budaya RAPA’I PASEE dalam kebudayaan masyarakatnya; dan (2) struktur musik RAPA’I PASEE.
1.5.2.3 Kerja laboratorium Setelah pengumpulan data dilaksanakan, data penelitian ini diolah dengan menggunakan pendekatan deskrptif kualitatif, yaitu dengan mendeskripsikan sejarah, bentuk alat musik, busana pemusik, dan cara penyajian musik RAPA’I PASEE. Seterusnya berdasarkan fakta sosial, penulis akan menganalisis guna dan fungsi RAPA’I PASEE dalam kebudayaan masyarakat Aceh di Provinsi Aceh. Seterusnya, sesuai dengan bidang keilmuan penulis yaitu pengkajian seni, maka tidak lupa penulis akan mengkaji struktur musik RAPA’I PASEE. Sebelum menganalisis pertunjukan RAPA’I PASEE terlebih dahulu penulis mendeskripsikannya dengan menggunakan gambar dalam bentuk foto dan dijelaskan dengan kalimat demi kalimat. Ini dilakukan untuk mempermudah para pembaca mengerti gambaran visual yang terjadi. Demikian pula untuk mengkaji struktur musik, penulis terlebih dahulu mentranskripsikannya dalam bentuk visual yang merupakan pemindahan dimensi dengar ke dimensi penglihatan. Adapun transkripsi dilakukan dengan pendekatan transkripsi preskriptif, yaitu menuliskan
25
ritem-ritem utama, tidak serinci mungkindengan demikian RAPA’I PASEE termasuk budaya musik yang melogenic.11
1.6 Lokasi Penelitian Dalam tulisan ini akan dibahas hasil penelitian tentang pertunjukan RAPA’I PASEE yang dilaksanakan di daerah Biara Timu, Jambo Aye Aceh Utara. Penetilian ini dilaksanakan di desa Biara Timu Jambo Aye Aceh Utara dengan daftar observasi terlampir serta dilengkapi dengan foto-foto mengenai pertunjukan RAPA’I PASEE hasil penelitian tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut. RAPA’I PASEE adalah kesenian tradisional Aceh. RAPA’I PASEE berkembang hanya di daerah Aceh Utara saja, daerah Aceh lainnya saat ini hampir tidak ada kesenian tersebut. Semua penduduknya beragama Islam. Masyarakat di desa Biara Timu pada umumnya bermata pencahariannya sebagai petani, pedagang, nelayan dan pegawai negeri. Penelitian ini penulis lakukan di Biara Timu Kecamatan Jambo Aye, Kabupaten Aceh Utara. Komunikasi antarpenduduk disini penulis perhatikan menggunakan bahasa Aceh dan Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dan bahasa komunikasi antaretnis mereka. Masyarakat Biara Timu tidak mudah menerima adat-adat baru dari pendatang luar karena pada umumnya mereka masih berpijak kepada adat tradisional daerah mereka. Saat ini upacara-upacara 11
Sebuah kebudayaan musik mengutamakan aspek melodi atau ritme saja, bukan menekankan kepada teks. Maka musik seperti ini dapat dikategorikan sebagai budaya musik melogenik. Musik seperti ini lebih menumpukan pertunjukan kepada aspek komunikasi, bukan lisan terutama menggunakan dimensi waktu dan ruang. Untuk mengkaji makna yang diungkapkan melalui ritme, melodi atau bunyi-bunyi lainnya diperlukan pemahaman dan penafsiran dengan cara menyelidikinya, terutama apa yang ingin dikomunikasikan pencipta musik atau senimannya, yang bisa ditelusuri melalui pikiran mereka. Melogenic (pengutamaan pada musik).
26
tradisional masih kuat melekat di kalangan mereka dalam acara adat seperti adat perkawinan, sunat rasul, dan memperingati hari-hari besar. Masyarakat Biara Timu tidak hanya menampilkan RAPA’I PASEE. Namun berbagai bentuk kesenian lain seperti tari saman, rateb meuseukat, tari rapa’i saman, tari laweut, tari ranup lampuan, tari likok puloh, tari pho, dan tari lainnya. Alat musik RAPA’I PASEE di desa ini merupakan kesenian tradisional yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Biara Timu. Pertunjukan alat musik musik ini berpatokan kepada tradisi karena pada umumnya masyarakat Biara Timu menampilkan RAPA’I PASEE pada acara tertentu, seperti memperingati hari-hari besar, kampanye politik, menyambut tamu kehormatan, perlombaan rapa’i tunang dan acara hiburan lainnya. Sumber data dalam penelitian ini adalah: (1) pemusik RAPA’I PASEE di Biara Timu, Lhokseumawe, Banda Aceh, dan Medan; (2) pelatih RAPA’I PASEE di Biara Timu, Lhokseumawe, Banda Aceh, dan Medan; (3) tokoh-tokoh pemusik RAPA’I PASEE di Biara Timu, Lhokseumawe, Banda Aceh, dan Medan; dan (4) para narasumber di Biara Timu, Banda Aceh, dan Medan. Dengan kerja yang sedemikian rupa ini maka diharapkan tesis ini akan mengikuti standar penelitian yang berlaku di Program Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. 1.7 Alat Yang Digunakan Alat yang digunakan untuk mendapatkan informasi yang dijadikan data sebagai bahan dan sumber penelitian ini adalah sebagai berikut : handycam, merk sony dan mini DV, cassette.
27
1.8 Sistematika Penulisan Tesis ini ditulis dalam bentuk bab demi bab. Setiap bab secara saintifik dianggap memiliki isi yang dekat. Setiap bab akan dibagi menjadi sub-sub bab. Secara keseluruhan tesis ini dibagi ke dalam tujuh bab dengan perincian sebagai berikut. Pada bab I yang merupakan pendahuluan akan diisi oleh uraian mengenai latar belakang, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, (dirinci menjadi tujuan penelitian serta manfaat penelitian), konsep dan landasan teori dirinci menjadi konsep serta landasan teori).Teori diuraikan lagi yaitu dengan menggunakan teori fungsi oleh Merriam dan Bruno Nettle untuk teori transkipsi musik, metode penelitian (yang diperinci lagi menjadi studi kepustakaan dan penelitian lapangan yang terdiri dari: observasi dan wawancara serta kerja laboratorium), lokasi penelitian, gambaran umum lokasi penelitian dan sistematika penulisan. Bab II adalah etnografi masyarakat Jambo Aye Panton Labu, sejarah desa Jambo Aye kota Panton Labu Aceh Utara, tinjauan geografis desa Jambo Aye kota Panton Labu, sistem pemerintahan kota Panton Labu, masyarakat desa Jambo Aye kota Panton Labu , stratifikasi masyarakat desa Jambo Aye kota Panton Labu, agama, jumlah penduduk, masyarakat kesenian desa Jambo Aye kota Panton Labu, unsur kesenian masyarakat desa Jambo Aye kota Panton Labu, tari dan musik. Bab III struktur musik kesenian RAPA’I PASEE di Biara Timu Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara, sejarah rapa’i di Aceh, klasifikasi jenis alat musik
28
Aceh, RAPA’I PASEE diuraikan yaitu latar belakang RAPA’I PASEE, organologi RAPA’I PASEE, bentuk kesenian RAPA’I PASEE, proses penstranskripsian, notasi ritem (Motif pukulan) pada struktur musik RAPA’I PASEE diuraikan yaitu : deskripsi ritem 1 (lagu sa), deskripsi ritem 2 (lagu dua), deskripsi ritem 3 (lagu lhee), deskripsi ritem 5 (lagu limeung), deskripsi ritem 7 (lagu tujoh), deskripsi ritem 9 (lagu sikureung), deskripsi ritem 12 (lagu duablah). Bab IV deskripsi fungsi sosio budaya RAPA’I PASEE di Biara Timu Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara, bab ini dibangun oleh sub-sub bab yaitu penggunaan dan fungsi RAPA’I PASEE, pengertian penggunaan dan fungsi diuraikan menjadi pengertian fungsi dan pengertian penggunaan, fungsi kesenian RAPA’I PASEE, fungsi penggungkapan emosional, fungsi penggungkapan estetika, fungsi hiburan, fungsi komunikasi, fungsi perlambangan, fungsi berkaitan dengan norma sosial, fungsi kesinambungan kebudayaan dan fungsi pengintegrasian masyarakat. Bab V kesimpulan dan saran, menjadi kesimpulan dan beberapa saran dalam konteks penelitian ini.
29
BAB II ETNOGRAFI MASYARAKAT JAMBO AYE PANTON LABU ACEH UTARA
2.1 Sejarah Desa Jambo Aye Kota Panton Labu Aceh Utara Sejarah Aceh Utara tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan Kerajaan Islam di pesisir Sumatera yaitu Samudera Pasai yang terletak di Kecamatan Samudera Geudong yang merupakan tempat pertama kehadiran agama Islam di kawasan Asia Tenggara. Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh mengalami pasang surut mulai dari zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Kedatangan Portugis ke Malaka pada tahun 1511 sehingga 10 tahun kemudian Samudera Pasai turut diduduki hingga masa penjajahan Belanda. Secara de facto Belanda menguasai Aceh pada tahun 1904, yaitu ketika Belanda dapat menguasai benteng pertahanan terakhir pejuang Aceh Kuta Glee di Batee Iliek Samalanga. Dengan surat Keputusan Vander Geuvemement General Van Nederland Indie tanggal 7 September 1934. Pemerintah Hindia-Belanda membagi daerah Aceh atas 6 (enam) Afdeeling (Kabupaten) yang dipimpin seorang Asistent Resident, salah satunya adalah Affleefing Noord Kust Van Aceh (Kabupaten Aceh Utara) yang meliputi Aceh Utara sekarang ditambah Kecamatan Bandar Dua yang kini telah termasuk Kabupaten Pidie (Monografi Aceh Utara tahun 1986, BPS dan BAPPEDA Aceh Utara). Afdeeling Noord Kust Aceh dibagi dalam 3 (tiga) Onder Afdeeling (Kewedanaan) yang dikepalai seorang Countroleur (Wedana) yaitu : 1. Onder Afdeeling Bireuen
30
2. Onder Afdeeling Lhokseumawe 3. Onder Afdeeling Lhoksukon. Selain Onder Afdeeling tersebut terdapat juga beberapa daerah Ulee Balang (Zelf Bestuur) yang dapat memerintah sendiri terhadap daerah dan rakyatnya yaitu Wee Balang Keuretoe, Geurogok, Jeumpa dan Peusangan yang diketuai oleh Ampon Chik. Pada masa pendudukan Jepang istilah Afdeeling diganti dengan Bun, Onder Afdeeling disebut Gun, Zelf Bestuur disebut Sun, Mukim disebut Kun dan Gampong disebut Kumi. Sesudah Indonesia diproklamirkan sebagai negara merdeka, Aceh Utara disebut Luhak yang dikepalai oleh seorang Kepala Luhak sampai dengan tahun 1949. Melalui Konfrensi Meja Bundar pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari beberapa negara bagian. Salah satunya adalah negara bagian Sumatera Timur. Tokoh-tokoh Aceh saat itu tidak mengakui dan tidak tunduk pada RIS tetapi tetap tunduk pada Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Republik Indonesia Serikat kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berlaku undang-undang. Sementara 1950 seluruh negara bagian bergabung dan statusnya berubah menjadi provinsi. Aceh yang pada saat itu bukan negara bagian, digabungkan dengan provinsi Sumatera Utara. Dengan Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Setingkat Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, terbentuklah daerah tingkat II Aceh Utara yang juga termasuk dalam wilayah provinsi Sumatera Utara.
31
Keberadaan Aceh di bawah prvpinsi Sumatera Utara menimbulkan rasa tidak puas pada para tokoh Aceh yang menuntut agar Aceh tetap berdiri sendiri sebagai provinsi dan tidak berada di bawah Sumatera Utara. Tetapi ide ini kurang didukung oleh sebagian masyarakat Aceh terutama yang berada di luar Aceh. Keadaan ini menimbulkan kemarahan tokoh Aceh dan memicu terjadinya pemberontakan DIMI pada tahun 1953. Pemberontakan ini baru padam setelah datang wakil perdana menteri Mr. Hardi ke Aceh yang dikenal dengan Missi Hardi dan kemudian menghasilkan Daerah Istimewa Aceh. Dengan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor I/ Missi / 1957 lahirlah Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan sendirinya Kabupaten Aceh Utara masuk dalam wilayah Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan Undang Undang Nomor I tahun 1957 dan Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 1959. Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara terbagi dalam 3 (tiga) kewedanaan yaitu: 1. Kewedanan Bireuen terdiri atas 7 kecamatan 2. Kewedanan Lhokseumawe terdiri atas 8 Kecamatan 3. Kewedanan Lhoksukon terdiri atas 8 kecamatan Dua tahun kemudian keluar Undang-Undang Nomor 18 tahun 1959 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Berdasarkan UU tersebut wilayah kewedanaan dihapuskan dan wilayah kecamatan langsung di bawah Kabupaten Daerah Tingkat II. Dengan surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor: 07 / SK / 11 / Des/ 1969 tanggal 6 Juni 1969,
32
wilayah bekas kewedanaan Bireuen ditetapkan menjadi daerah perwakilan Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara yang dikepalai seorang kepala perwakilan
yang
kini
sudah
menjadi
Kabupaten
Bireuen.
Hampir dua dasawarsa kemudian dikeluarkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, sebutan Kepala Perwakilan diganti dengan Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II sehingga daerah perwakilan Bireuen berubah menjadi Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Utara di Bireuen. Dengan berkembangnya Kabupaten Aceh Utara yang makin pesat pada tahun 1986 dibentuklah Kotif (Kota Administratif) Lhokseumawe dengan peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1986 yang membawahi 5 kecamatan. Dan berdasarkan Kep Mendagri Nomor 136.21-526 tanggal 24 Juni 1988 tentang pembentukan wilayah kerja pembantu Bupati Pidie dan Pembantu Bupati Aceh Utara dalam wilayah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, maka terbentuklah Pembantu Bupati Aceh Utara di Lhoksukon, sehingga pada saat ini Kabupaten Aceh Utara terdiri dari 2 Pembantu Bupati, 1 kota administratip, 26 wilayah kecamatan yaitu 23 kecamatan yang sudah ada ditambah dengan 3 kecamatan pemekaran baru. Sebagai penjabaran dari UU nomor 5 tahun 1974 pasal 11 yang menegaskan bahwa titik berat otonomi daerah diletakkan pada daerah tingkat II maka pernerintah melaksanakan proyek percontohan otonomi daerah. Aceh Utara ditunjuk
sebagai
daerah
tingkat
II
percontohan
otonomi
daerah.
Pada tahun 1999 Kabupaten Aceh Utara yang terdiri dari 26 Kecamatan dimekarkan lagi menjadi 30 kecamatan dengan menambah empat kecamatan baru
33
berdasarkan PP Republik Indonesia Nomor 44 tahun 1999. Seiring dengan pemekaran kecamatan baru tersebut, Aceh Utara harus merelakan hampir sepertiga wilayahnya untuk menjadi kabupaten baru, yaitu Kabupaten Bireuen berdasarkan Undang-Undang nomor 48 tahun 1999. Wilayahnya mencakup bekas wilayah Pembantu Bupati di Bireuen. Kemudian pada Oktober 2001, tiga kecamatan dalam wilayah Aceh Utara, yaitu Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, dan Kecamatan Blang Mangat dijadikan Kota Lhokseumawe. Saat ini Kabupaten Aceh Utara dengan luas wilayah sebesar 3.296,86 km2 dan berpenduduk sebanyak 477.745 jiwa membawahi 27 kecamatan. Aceh Utara hingga tahun 2006 memiliki 850 desa dan 2 kelurahan yang terbagi ke dalam 56 buah mukim. Sebanyak 780 buah desa berada di kawasan dataran dan 72 desa di kawasan berbukit. Desa yang terletak di daerah berbukit dijumpai di 12 kecamatan. Yang paling banyak desanya di kawasan perbukitan adalah di Kecamatan Sawang, Syamtalira Bayu, Nisam, Kuta Makmur dan Muara Batu. Disamping itu, terdapat 40 buah desa yang berada di kawasan pesisir. Aceh Utara yang beriklim tropis, musim kemarau berlangsung antara bulan februari sampai agustus sedangkan musim penghujan antara bulan september sampai Januari. Suhu dimusim kemarau rata-rata 32,8 C dan pada musim penghujan rata-rata 28 C. Flora dan fauna, flora yang terdapat di daerah ini terdiri dari berbagai jenis tumbuh-tumbuhan antara lain: kayu merbau, damar, damar laut, semantok, meranti, cemara, kayu bakau, rotan dan sebagainya. Semua jenis tumbuhtumbuhan hidup subur dikawasan hutan merupakan kekayaan dan potensi yang
34
dapat mendukung pembangunan ekonomi jika mampu dikelola dengan baik tanpa merusak kelestarian alam dan lingkungan. Sedangkan fauna Aceh Utara juga memiliki kekayaan dengan berbagai jenis hewan liar seperti gajah, harimau, badak, rusa, indus kijang, orang hutan, babi, ular dan lain-lain sebagainya.
2.2 Tinjauan geografis desa Jambo Aye kota Panton labu Aceh Utara
Gambar-2.1. Peta Kabupaten Aceh Utara Kabupaten Aceh Utara merupakan bagian dari Provinsi Aceh yang berada di sebelah utara. Berdasarkan peta bakosurtanal skala 1 : 50.000, maka secara geografis Kabupaten Aceh Utara terletak pada posisi 960 47’ – 970 31’ Bujur Timur dan 040 43’ – 050 16’ Lintang Utara. Batas wilayah Kabupaten Aceh Utara dengan wilayah lainnya adalah:
35
- Sebelah utara
: Kota Lhokseumawe
- Sebelah timur
: Kabupaten Aceh Timur
- Sebelah selatan : Kabupaten Bener Meuriah - Sebelah barat
: Kabupaten Bireuen
Luas wilayah Kabupaten Aceh Utara yang tercatat adalah 3.296,86 km2, atau 329.686 Ha. Dengan panjang garis pantai 51 km, dan kewenangan kabupaten adalah sampai 4 mil laut, maka luas wilayah laut kewenangan ini adalah 37.744 Ha atau 3.774,4 km2. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 1.1.
Tabel 2.1. Luas wilayah Kecamatan di Kabupaten Aceh Utara No
Kecamatan
Luas Wilayah (Km2)
Persentase
1
Sawang
384,65
11,67
2
Nisam
42,74
3,48
3
Nisam Antara
84,38
2,56
4
Bandar Baro
42,35
1,28
5
Kuta Makmur
151,32
4,59
6
Simpang Keramat
79,78
2,42
7
Syamtalira Bayu
77,53
2,35
8
Geurudong Pase
269,28
8,17
9
Meurah Mulia
202,57
6,14
10
Matang Kuli
56,94
1,73
11
Paya Bakong
418,32
12,69
12
Pirak Timu
67,70
2,05
13
Cot Girek
189,00
5,73
14
Tanah Jambo Aye
162,98
4,94
36
15
Langkahan
150,52
4,98
16
Seunuddon
100,63
3,05
17
Baktiya
158,67
4,81
18
Baktiya Barat
83,08
2,52
19
Lhoksukon
243,00
7,37
20
Tanah Luas
30,64
0,93
21
Nibong
44,91
1,36
22
Samudera
43,28
1,31
23
Syamtalira Aron
28,13
0,85
24
Tanah Pasir
20,38
0,62
25
Lapang
19,27
0,58
26
Muara Batu
33,34
1,01
27
Dewantara
39,47
1,20
3.296,86
100,00
Kabupaten
Sumber Data : Aceh Utara Dalam Angka 2012
2.3 Sistem Pemerintahan Kota Panton Labu Kabupaten Aceh Utara dipimpin oleh seorang bupati dan mempunyai wakil bupati, secara admisnistrasi pemerintahan Aceh Utara diatur oleh seorang sekretatis daerah (Sekda) kota dengan sistim pemerintahan sesuai dengan undangundang pemerintah republik Indonesia.
37
2.4 Masyarakat Desa Jambo Aye Kota Panton Labu 2.4.1 Stratifikasi masyarakat desa jambo aye kota Panton Labu Berdasarkan pendekatan historis baik pada sebelum maupun sesudah kemerdekaan, stratifikasi masyarakat Aceh yang paling menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan, yaitu golongan umara dan golongan ulama. Pada zaman sebelum kemerdekaan Republik Indonesia Umara dapat diartikan sebagai pemerintahan atau pejabat pelaksana pemerintahan dalam satu unit wilayah kekuasaan, contohnya seperti jabatan sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, ulee balang sebagai pimpinan unit pemerintah nanggro (negeri), panglima sago (Panglima Segi) yang memimpin unit pemerintah segi, Kepala mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintah mukim dan keuchiek atau geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintah gampong (kampung). Kesemua mereka atau pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagi lapisan pimpinan adat, pemimpin keduniawian atau kelompok elite sekuler. Hal ini berlaku juga di Kota Panton Labu. Namun dalam perkembangannya saat setelah perang kemerdekaan usai dan Indonesia sebagi sebuah negara merdeka dan berdaulat, mempunyai tata pemerintahannya sendiri dalam hal ini kedudukan sultan, ulee balang maupun panglima sagoe ditiadakan karena Aceh termasuk dalam wilayah negara kesultanan Republik Indonesia yang semuanya diatur oleh sistem pemeritahan Republik Indonesia berdasarkan undang-undang 1945 melalui Departemen Dalam Negeri sedangkan bentuk pimpinan unit pemerintah seperti imeum, mukim, keuchik, kepala gampong dan sebagainya merujuk pada undang-
38
undang otonomi khusus dan keistimewaan daerah Aceh. Sementara kedudukan geuchik, kepala mukim, tuha peut masih dipertahankan sebagai sistem pemerintahan tradisional dilapisan bawah masyarakat yang setara dengan lurah, kepala dusun, dan sebagainya.
2.4.2 Agama Mayoritas penduduk kota Panton labu merupakan penganut agama Islam. Meskipun yang dominan adalah pemeluk agama Islam, namun kita juga dapat menjumpai beberapa tempat ibadah bagi agama-agama non-muslim sepeti Gereja dan Klenteng di tempat tertentu dan terbatas.
2.4.3. Jumlah penduduk kota Panton Labu Menurut data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berdasarkan laporan kependudukan Kota Panton Labu, menurut jumlah kartu keluarga, jumlah penduduk dan jumlah wajib KTP pada bulan April 2014 diperoleh data jumlah penduduk kota Panton labu keseluruhan adalah berjumlah 41.032.
2.4.4. Masyarakat kesenian di desa Jambo Aye kota Panton Labu Yang dimaksud dengan masyarakat adalah sekumpulan manusia yang dalam kehidupannya melakukan kerjasama secara kolektif karena saling ketergantungan sosial diantara mereka12, kesenian merupakan hasil karya, karsa, dan cipta manusia baik berupa wujud maupun gagasan atau ide yang mengandung unsur
12
M.takari,dkk, op.cit hal, 1
39
keindahan yang digunakan dalam kehidupan manusia. Maka masyarakat kesenian di Kota Panton Labu adalah sekelompok masyarakat yang beraktifitas dibidang kesenian baik sebagai pelaku maupun sebagai penontonnya yang ada di Kota Panton Labu dan di kelompokkan menjadi dua kelompok masyarakat kesenian, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Masyarakat kesenian yang ada pada masyarakat umum, di sekitar Kota Panton Labu (gampong, desa, ataupun kecamatan) seperti sanggar-sanggar, komunitas-komunitas seni dan sebagainya, misalnya Sanggar Jeumpa Aceh dan Sanggar Pocut Meurah Insen. 2. Masyarakat kesenian yang ada di institusi sekolah (SD,SMP,SMA), dan perguruan tinggi (seperti sanggar seni sekolah, atau unit kegiatan mahasiswa).
2.4.5. Unsur Kesenian Masyarakat Desa Jambo Aye Kota Panton Labu 2.4.6 Tari a. Tari Ranup Lampuan Tari ranup lampuan adalah salah satu tarian tradisional Aceh yang ditarikan oleh para wanita. Tarian ini biasanya ditarikan untuk penghormatan dan penyambutan tamu secara resmi. Ranup dalam bahasa Aceh yaitu sirih, sedangkan puan yaitu Tempat sirih khas Aceh. Ranup lampuan bisa diartikan "Sirih dalam Puan". Sirih ini nantinya akan diberikan kepada para tamu sebagai tanda penghormatan atas kedatangannya. b. Tari Likok Pulo
40
Tarian likok pulo ini lahir sekitar tahun 1949 yang diciptakan oleh seorang ulama berasal dari Arab yang tinggal di Pulo Aceh, yaitu salah satu kecamatan di Kabupaten Aceh Besar. Tarian ini pada hakekatnya adalah zikir kepada Allah SWT dan selawat kepada Nabi Muhammad SAW. Gerakan tarian pada prinsipnya ialah gerakan olah tubuh, keterampilan, keseragaman atau kesetaraan dengan memfungsikan anggota tubuh bagian atas, tangan sama-sama ke depan, ke samping kiri atau kanan, dari depan ke belakang, keatas dan kebawah, dengan tempo yang lambat hingga cepat. Tarian ini membutuhkan energi yang tinggi.
c. Tari Tarek Pukat Tarek Pukat ini menggambarkan aktifitas para nelayan yang menangkap ikan di laut. Tarek yang berarti "Tarik", dan pukat adalah alat sejenis jaring yang digunakan untuk menangkap ikan.
d. Tari Rapa’i Geleng Rapa`i geleng pertama kali dikembangkan pada tahun 1965 di pesisir pantai selatan. Nama rapa`i diadopsi dari nama Syeik Ripa`i yaitu orang pertama yang mengembangkan alat musik pukul ini. Permainan rapa`i geleng juga disertakan gerakan tarian yang melambangkan sikap keseragaman dalam hal kerjasama, kebersamaan dan penuh kekompakan dalam lingkungan masyarakat. Tarian ini mengekspresikan dinamisasi masyarakat dalam syair (lagu-lagu) yang dinyanyikan. Fungsi dari tarian ini adalah syiar agama, menanamkan nilai moral
41
kepada masyarakat, dan juga menjelaskan tentang bagaimana hidup dalam masyarakat sosial.
e. Tari Saman Syair dalam tarian saman mempergunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh ataupun Gayo. Pada masa lalu, tari saman biasanya ditampilkan untuk merayakan peristiwa - peristiwa penting dalam adat dan masyarakat Aceh. Selain itu biasanya tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada kenyataannya, nama "Saman" diperoleh dari salah satu ulama besar Aceh, Syech Saman. Tari saman biasanya ditampilkan tidak menggunakan iringan alat musik, akan tetapi menggunakan suara dari para penari dan tepuk tangan mereka yang biasanya dikombinasikan dengan memukul dada dan pangkal paha mereka sebagai sinkronisasi dan menghempaskan badan ke berbagai arah. Tarian ini dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut Syech. Karena keseragaman formasi dan ketepatan waktu adalah suatu keharusan dalam menampilkan tarian ini, maka para penari dituntut untuk memiliki konsentrasi yang tinggi dan latihan yang serius agar dapat tampil dengan sempurna. Tarian ini khususnya ditarikan oleh para pria.
f. Tari Laweut Sebelum sebutan Laweut dipakai, tarian ini mulanya disebut "Seudati Inong", karena tarian ini khusus ditarikan oleh para wanita. Gerak tarian ini, yaitu penari dari arah kiri atas dan kanan atas dengan jalan gerakan barisan memasuki
42
pentas dan langsung membuat komposisi berbanjar satu, menghadap penonton, memberi salam hormat dengan mengangkat kedua belah tangan sebatas dada, kemudian mulai melakukan gerakan-gerakan tarian.
g. Tari Pho Perkataan Pho berasal dari kata peuba-e, peubae artinya meratoh atau meratap. Pho adalah panggilan atau sebutan penghormatan dari rakyat. Hamba kepada Yang Maha Kuasa yaitu Po Teu Allah. Bila raja yang sudah almarhum disebut Po Teumeureuhom. Tarian ini dibawakan oleh para wanita. Dahulu biasa dilakukan pada kematian orang besar dan raja-raja yang didasarkan atas permohonan kepada Yang Maha Kuasa, mengeluarkan isi hati yang sedih karena ditimpa kemalangan atau meratap melahirkan kesedihan-kesedihan yang diiringi ratap tangis. Sejak berkembangnya agama Islam, tarian ini tidak lagi ditonjolkan pada waktu kematian, dan telah menjadi kesenian rakyat yang sering ditampilkan pada upacara-upacara adat.
h. Tari Seudati. Sebelum adanya seudati, sudah ada kesenian yang seperti itu dinamakan ratoih, atau saman, kemudian baru ditetapkan nama syahadati dan disingkat menjadi seudati. Pemain seudati terdiri dari 8 orang pemain dengan 2 orang syahi berperan sebagai vokalis, salah seorang diangkat sebagai syekh, yaitu pimpinan group seudati. Seudati tidak diiringi oleh instrument musik apapun. Irama dan tempo tarian, ditentukan oleh irama dan tempo lagu yang dibawakan pada
43
beberapa adegan oleh petikan jari dan tepukan tangan ke dada serta hentakan kaki ke tanah.Tepukan dada memberikan suara seolah-olah ada sesuatu bahan logam di bagian dada atau perut yang dilengketkan sehingga bila dipukul mengeluarkan suara getar dan gema.
2.4.7 Musik a. Serunee Kalee Serune kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh yaitu sejenis Clarinet terutama terdapat di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat. Alat ini terbuat dari kayu nangka, bagian pangkal kecil serta di bagian ujungnya besar menyerupai corong. Di bagian pangkal terdapat piringan penahan bibir peniup yang terbuat dari kuningan yang disebut perise. Serune ini mempunyai 7 buah lobang pengatur nada. Selain itu terdapat lapis kuningan serta 10 ikatan dari tembaga yang disebut klah (ring) serta berfungsi sebagai pengamanan dari kemungkinan retak/pecah badan serune tersebut. Alat ini biasanya digunakan bersama genderang dan rapa’i dalam upacara-upacara maupun dalam mengiringi tarian-tarian tradisional.
b. Gendang (Geundrang) Gendang terdapat hampir di seluruh daerah Aceh. Gendang berfungsi sebagai alat musik tradisional yang bersama-sama dengan alat musik tiup seurune kalee mengiringi setiap tarian tradisional baik pada upacara adat maupun upacara lainnya.
44
Alat ini terbuat dari kayu nangka, kulit kambing dan rotan. Pembuatan gendang yaitu dengan melubangi kayu nangka yang berbentuk selinder sedemikian rupa sehingga badan gendang menyerupai bambam. Pada permukaan lingkarannya (kiri-kanan) dipasang kulit kambing yang sebelumnya telah dibuat ringnya dari rotan dengan ukuran persis seperti ukuran lingkaran gendangnya. Sebagai alat penguat/pengencang permukaan kulit dipakai tali yang juga terbuat dari kulit. Tali ini menghubungkan antara kulit gendang yang kanan dengan kiri. Alat pemukul (stick) gendang juga dibuat dari kayu yang dibengkakkan pada ujungnya yaitu bagian yang dipukul ke kulit.
c. Rapa’i Rapa’i merupakan sejenis alat instrumen musik tradisional Aceh, sama halnya dengan gendang. Rapa’i dibuat dari kayu yang keras (biasanya dari batang tuwalang) yang setelah dibulatkan lalu diberi lobang di tengahnya. Kayu yang telah diberi lobang ini disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian atas daripada bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing sedangkan bawahnya dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat dari rotan yang dibalut dengan kulit (penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut seudak). Rapa’i digunakan sebagai alat musik pukul pada upacara-upacara terutama yang berhubungan dengan keagamaan, perkawinan, kelahiran dan permainan tradisional yaitu debus. Memainkan rapa’i dengan cara memukulnya dengan tangan dan biasanya dimainkan oleh kelompok (group). Pemimpin permainan rapa’i disebut syeh atau kalifah.
45
BAB III STRUKTUR MUSIK KESENIAN RAPA’I PASEE: DI BIARA TIMU JAMBO AYE PANTON LABU ACEH UTARA
3.1 Sejarah Rapa’i di Aceh Sejarah masuknya alat musik rapa’i ini telah ada sekitar abad XIII seiring masuknya agama Islam di Aceh yang kemudian menjadi media dakwah dalam penyebaran Agama Islam dimasa kerajaan Islam pertama di nusantara yaitu Samudera Pasai yang dipimpin Raja Islam pertama yaitu Sultan Malikul Saleh di daerah Pasai (Pase, Aceh Utara), yang kemudian berkembang menjadi suatu kesenian yang mempunyai fungsi sosial budaya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Alat musik rapa’i ini merupakan hasil akulturasi budaya Islam yang masuk ke daerah Aceh sekitar abad XIII, yang dibawa oleh para ulama dan saudagar Islam dari Timur Tengah melalui jalur perdagangan dunia yang melintasi asia tengah dan selatan seperti Pakistan, India, dan sebagainya. Kemudian menjadi alat penyebaran Agama Islam di seluruh Aceh dan Nusantara. Pada awalnya budaya alat musik rapa’i dibawa oleh seorang ulama besar Islam Syekh Abdul Qadir Zailani. Beliau meneruskan ajaran Islam dari seorang ulama ahli tasawuf yang berasal dari Baghdad, Irak bernama Syekh Ahmad Rifa’i yang kemudian ulama ini terkenal dengan aliran tasawuf ‘’rifaiyyah’’. Pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda, alat musik ini sering digunakan untuk keperluan penyambutan tamu kerajaan sehingga menjadi budaya masyarakat Islam di Indonesia. Hal ini dapat kita lihat pada banyaknya ragam alat musik perkusi sejenis rebana di nusantara ini yang bentuknya hampir menyerupai rapa’i.
46
Bahkan hampir semua instrumen tersebut digunakan untuk mengiringi perayaan hari besar keagamaan agama Islam seperti Maulid Nabi (hari kelahiran Nabi Muhammad), Isra Mi’raj (perjalanan nabi Muhammad dari mesjidil Haram ke Masjidil Aqsa), hingga Sidratul Munthaha atau langit ke tujuh untuk menerima perintah shalat dari Allah SWT) dalam hal tersebut selalu dilantunkan Shalawat Nabi (memuliakan dan mendoa’kan) terhadap Nabi Muhammad beserta keluarganya. Nama rapa’i sendiri diambil dari seorang ulama besar di Arab yang mensyiarkan Islam melalui dakwah yang cara berdakwahnya menggunakan alat musik berbentuk frame drum (perkusi sejenis rebana dengan satu permukaan yang dimainkan dengan cara dipukul atau ditepuk) yang kemudian disebarkan oleh para pengikut aliran tasawuf rifa’iyyah (lihat Snouck Hugronje 1994:2:216-247). Dalam sebuah pantun Aceh disebutkan bahwa rapa’i diperkenalkan oleh seorang ulama besar Islam kelahiran Persia, yaitu Syekh Abdul Qadir Zailani atau lebih dikenal dengan sebutan Bandar Khalifah (1077-1166). Beliau pertama kali datang ke Aceh mendiami sebuah kampung yaitu Kampong Pande yang sekarang letaknya berada sekitar kecamatan Mesjid Raya, wilayah kabupaten Aceh Besar. Bentuk rapa’i di Aceh pada awalnya mirip seperti alat musik rebana dengan satu permukaan yang terbuat dari kayu yang dilapisi oleh kulit kambing atau lembu
yang
digunakan
sebagai
pengiring
meu-dike
(berdzikir)
untuk
menyemangati para pengikut ajaran Islam agar selalu kepada Allah sebagai Tuhan yang menguasai seluruh alam dan sebagai sosialisasi ajaran agama Islam pada masa itu. Hal ini dapat terlihat pada penyebaran Islam di kerajaan Islam pertama
47
di Nusantara yaitu Samudera pasai yang berada di daerah Lhokseumawe Aceh bagian Utara, dengan rajanya yang bernama Sultan Malik Al- Saleh. Maka sebagai bentuk kebudayaan penyebaran Islam tersebut dinamailah rapa’i tersebut dengan nama RAPA’I PASEE karena berada di sekitar daerah pase (dahulu terkenal dengan nama Samudera Pasai, sebuah kerajaan Islam pertama di Nusantara), sebagai media dakwah yang dianut oleh aliran tarekat sufi sebagai jalan untuk mendekatkan diri terhadap Allah SWT Tuhan yang menguasai alam semesta dalam masyarakat Islam dalam setiap lantunan dzikir dengan bentuk nyanyian yang diiringi oleh tabuhan rapa’i tersebut. Tentang rapa’i juga dituliskan dalam beberapa karya Sastra Aceh yang dituliskan oleh beberapa ulama yang datang dan menetap di Aceh pada sekitar abad 16 dan Abad 17, salah satunya adalah ulama dan sastrawan besar melayu yaitu Hamzah Fansuri. Beliau mempelajari Islam dengan aliran Qadariyah yang ada di Arab yang kemudian disebarkan di Aceh yang kemudian aliran ini diikuti oleh ulama-ulama lain seperti Ahmad Qushashi dan Muhammad Saman yang berdakwah sekitar tahun 1661 (Snouck Hugronje 1906,2 : 216). Kemudian penyebaran Islam dilanjutkan oleh seorang ulama yang masih keluarganya yaitu Syekh Abdurrauf Assingkili yang kemudian ulama ini terkenal di Aceh dengan sebutan Syah Kuala (nama tersebut sampai sekarang dipakai sebagai nama sebuah Universitas di Banda Aceh). Syekh Abdurrauf tidak saja menghasilkan suatu ajaran yang memberikan suatu bentuk kebudayaan seni Islam di Aceh yang dikenal dengan “dike” (dzikir). Dalam salah satu syair sastra Aceh tentang rapa’i dijelaskan sebagai berikut :
48
Dilanget Manyang Bintang Meuble ble Cahya ban kande leumah u bumoe Asai rapai bak syekh abdul kade Masa nyan lahe peutren u bumoe Artinya: (dilangit tinggi bintang berbinar-binar) Cahaya seperti lilin memancar ke bumi Asal Rapa’i dari syekh Abdul kadir Inilah yang sah pencintanya lahir ke bumi)
Dalam syair teks ini mengandung makna bahwa rapa’i mempunyai peran yang sangat penting sebagai kesenian yang saat itu popular di masyarakat sebagai media dakwah syiar Islam yang menerangi masyarakat Aceh pada saat itu berada pada masa kebodohan menjadi masyarakat yang cerdas dan menjadikan sebuah bangsa yang gemilang dengan sinar Islam. Dijelaskan pula bahwa asal rapa’i dibawa oleh ulama Syekh Abdul Qadir Zailani sebagai penciptanya dan mengenalkannya kepada seluruh dunia. Kata rapa’i sendiri mengandung beberapa pengertian yang dipahami oleh masyarakat Aceh sebagai berikut: a. Rapa’i diartikan sebagai alat musik pukul yang dibuat dari kayu nangka atau kayu merbau, sedang kulitnya dari kulit kambing yang telah diolah. Badan rapa’i sendiri disebut baloh. Dilihat dari perangkat besar kecilnya ukuran, rapa’i ini dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. b. Rapa’i diartikan sebagai grup permainan yang terdiri dari antara 8 sampai 12 orang atau lebih yang disebut awak rapa’i. c. Rapa’i diartikan sebagai bentuk permainan kesenian rapa’i itu sendiri.
49
Pada abad 17 para ulama memilih cara berdakwah dengan bentuk kesenian dan menerapkan budaya Islam yang egaliter dan demokratis, hal ini menjadikan Agama Islam lebih mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat Islam di Aceh pada masa itu. Salah satu ulama besar yaitu Syekh Muhammad Saman berdakwah dengan memperkenalkan seni meu-rateb. Cara berdakwah ini mengajarkan pada umatnya untuk selalu mengingat Allah. Dalam melakukan meu-rateb ini sambil melakukan gerakan badan dan kepala dengan mengangguk-angguk sambil berdzikir sebagai bentuk totalitas untuk mengingat Allah. Cara ini kemudian berkembang menjadi suatu jenis tarian yang sangat dikenal seperti ratoh duek (yang menyebar didaerah Aceh pesisir) dan saman (yang menyebar didataran tinggi Gayo). Pada awalnya kedua jenis tarian ini tidak menggunakan alat musik rapa’i sebagai pengiring tariannya. Namun seiring perkembangannya mendapat pengaruh iringan rapa’i di sekitar Aceh Barat dan Selatan sebagai pengaruh RAPA’I PASEE dari Aceh Utara yang kemudian penyebaraannya di daerah Aceh bagian Barat dan Selatan melahirkan jenis kesenian campuran antara seni tari dan musik yang dikenal dengan seni rapa’i saman.
3.2 Klasifikasi Jenis Musik Aceh Dalam jenis pengiring musiknya ada yang menggunakan tubuh yang digunakan sebagai musik pengiringnya (body percussion) dan ada yang menggunakan alat musik sebagai pengiringnya seperti vokal, rapa’i, geundrang dan serune kalee. Alat musik tradisional Aceh apabila diklasifikasikan menurut
50
sistem klasifikasi Curt Sachs dan Hornbostel adalah seperti terlihat pada tabel berikut13: Tabel-3.1. Alat Musik Tradisional Aceh No
Jenis klasifikasi
Nama alat musik a. Arbab
Deskripsi
keterangan
Sejenis lute berleher
Fungsi dalam
panjang, terbuat dari
musik sebagai
bahan tempurung
pembawa
kelapa, kulit kambing
melodi
sebgai membran,kayu sebagai badan dan senar dari bahan ijuk. 1.
Chodophone b. Biola Aceh
Sejenis lute berleher
Fungsi dalam
pendek, yang
musik sebagai
dimainkan secara
pembawa
digesek (seperti biola)
melodi
berasal dari Eropa
banyak
penamaan Aceh lebig
dijumpai
menitik beratkan
didaera pidie.
kepada gaya permainannya saja. a. Bangsi alas
13
Sejenis rekorder yang
Berasal dari
terbuat dari bahan
daerah
bambu, dengan
pegunungan
panjang 40 cm
alas
Rita Dewi, rapa’i pasee pada masyarakat Aceh di Desa Lam Awe Kecamatan Syamtalira Aron:analisis musik dalam konteks pertunjukan, skripsi sarjana,1995
51
b. Bebelen
Sejenis aerofon reed
Berasal dari
tunggal, lima lubang
Aceh selatan
benada, dan ujungnya memiliki bell.
c. Bensi
Sejenis rekorder
Berasal dari
terbuat dari bahan
aceh selatan
bambu. 2
Aerophone d. Bereguh
Sejenis terompet,
Dijumpai di
terbuat dari tanduk
daerah Aceh
kerbau
Besar, Pidie, Aceh Utara.
e. Buloh perindu
Sejenis aerophone dengan lida tunggal,terbuat dari bambu.
f. Lole
Sejenis aerophone
Berasal dari
berlidah ganda, dari
Aceh selatan
bahan batang padi g. Serune kalee
Sejenis sarunai
Terdapat di
(shawm), sejenis
Aceh pesisir
terompet berlidah
utara, timur
ganda bahan dari kayu
dan barat.
dengan 6 lubang nada.
a. Canang
Sejenis xylophone,
Kayu
terbuat dari bahan kayu,berbentuk bilah.
52
3
Idiophone
b. Canang
Sejenis xylophone,
Alat ini sangat
trieng
terbuat dari bahan
terkenal
bambu
diseluruh Aceh.
a. geunderang
Sejenis gendang barrel Berasal dari dengan dua sisi yang
dataran tinggi
dipukul dengan satu
Gayo
stik untuk bagian
biasanya
bawah dan satu tangan
untuk
bagian atas.
mengiringi tari guwel di
4
Membranophone
Gayo. b. Rapa’i
Sejenis perkusi
Biasanya
(Rebana) satu sisi
ditampilkan untuk mengiringi tari persembahan (ranuo lampuan), likok pulo,geleng dan daboh. Banyak dijumpai di hampir seluruh Aceh.
53
3.3 RAPA’I PASEE
3.3.1 Latar Belakang RAPA’I PASEE Nama RAPA’I PASEE diambil dari nama kerajaan Samudra Pasai dan sekarang sudah menjadi nama suatu daerah dikabupaten Aceh Utara. RAPA’I PASEE hanya ada di wilayah Aceh Utara saja berkembang di desa-desa pada Kota Lhokseumawe, Geudong, Alue Ie Puteh, dan Panton Labu. Salah satu desa yang melestarikan sampai sekarang yaitu Desa Biara Timu Kecamatan Jambo Aye Kota Panton Labu. RAPA’I PASEE berukuran besar (digantung) biasanya di bawah kolong muenasah14 beratnya 20-50 kg yang berfungsi sebagai induk dan mempunyai gelar tersendiri sebagai kebangaan dari group tersebut contohnya : rapa’i raja kuning. Unit besar terdiri dari 30 buah rapai, unit sedang 15 buah, sedangkan unit kecil terdiri dari 10-12 buah. RAPA’I PASEE digunakan sebagai alat musik pukul pada upacara-upacara terutama yang berhubungan dengan keagamaan, hari-hari besar Islam, tamu kehormatan, kampanye politik dan permainan/perlombaan kesenian tradisional. Memainkan rapa’i dengan cara memukulnya dengan tangan dan biasanya dimainkan oleh kelompok (group). Didalam satu grup ada seorang pemimpin permainan rapa’i disebut syeh. RAPA’I PASEE tidak mempunyai tangga nada dan tidak ada nyanyian suara vokal serta gerakan tarian yang berpola. RAPA’I PASEE hanya sebagai ritme (tempo) oleh Penaboh15. RAPA’I PASEE mempunyai keunikan gema suaranya yang besar. Suaranya dapat didengar dari satu desa
14 15
Meunasah : tempat beribadah umat islam didesa biasanya terbuat dari kayu dan tinggi. Orang yang memukul alat musik Rapa’i pasee.
54
sampai kedesa lainnya. RAPA’I PASEE mempunyai dua warna suara (timbre) yaitu dum dan teng16. RAPA’I PASEE mempunyai ukiran di pinggiran kayunya yang disebut larik17. Setiap larik mempunyai makna, larik satu bermakna siang dan malam, larik lima bermakna rukun Islam ada lima perkara, larik tujuh bermakna seminggu ada tujuh hari dan ada satu garis besar menandakan hari jumat dilarang untuk memukul rapa’i dan larik delapan ada empat garis besar dan empat garis kecil bermakna yaitu tuha peut dan tuha lapan orang yang dituakan atau penasehat dalam sebuah desa setempat18. Dalam masyarakat Aceh kesenian sebuah ajang untuk menguatkan tali persaudaraan antar masyarakat Aceh dan silaturahmi seperti ajaran dalam Agama Islam.
3.3.2 Organologi RAPA’I PASEE Organologi mempunyai maksud sebagai gambaran tentang bentuk dan rupa susunan pembangun konstruksi suatu alat musik sehingga dapat menghasilkan suara. Organologi dalam istilah musik merupakan ilmu alat musik, studi mengenai alat-alat musik. Organologi muncul sejak abad 16 oleh Sebastian Virdung dalam bukunya yang berjudul Musica Getuscht und Ausgezogen (1511). Martin Agricola dalam bukunya yang berjudul Instrumentalis Deudsch (1929). Berikut gambar RAPA’I PASEE beserta penjelasan secara organologi :
16
Dum untuk suara rendah dan teng untuk suara sedang atau tinggi. Larik garis melingkar dipinggiran baloh (kayu) yang jumlahnya berbeda –beda . 18 Hasil wawancara dengan Hasbullah, S. Pd 17
55
Gambar 3.1. Skema ukuran RAPA’I PASEE a. Baloh (Kayu) yang diambil dari batang kayu yang namanya tuwalang mempunyai panjang 16 inch dan lebar 15 inch, menurut sejarah dari narasumber19 bahwa dahulu cara memotong kayu untuk pembuatan RAPA’I PASEE harus dengan syarat dan tata cara tertentu, yaitu dengan melakukan puasa sunat senin kamis dan melakukan pesijuk (tepung tawar) berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar diberikan petunjuk dan kebenaran sehingga alat musik rapa’i dapat dipergunakan untuk jalan kebenaran. Adapun yang dipotong bukan batang kayu tuwalang melainkan akar yang besar di pinggiran pohon tersebut. Oleh karena itu dahulu pohon besar dihutan tetap terjaga karena bukan pohon yang ditebang melainkan hanya memotong pingggiran akar dari pohon tuwalang.
19
Hasil wawancara dengan tengku Razali pemimpin sanggar jeumpa Pasee.
56
BALOH
Gambar 3.2. Baloh (Kayu) b. Kulet (kulit membran) kulit diambil dari kulit lembu pilihan mempunyai diameter 32 inch dan bervariasi dari 30 inch sampai 36 inch. Pembuat RAPA’I PASEE mengumpulkan kulit dan membelinya hanya setahun sekali disaat Hari Raya Idul Adha dan hari Raya Qurban pada umat Islam. Kulit tersebut dijemur dan disimpan serta diolah untuk dipasang pada baloh RAPA’I PASEE.
kulet
Gambar 3.3. Kulet (Kulit)
57
c. Pengapet dan seudak RAPA’I PASEE terbuat dari bambu lentur yang fungsinya untuk mengikat kulit dengan baloh agar kuat dan menghasilkan suara yang bagus. Seudak ada di pinggiran dalam kulit yang berfungsi juga sama untuk membuat kulit ketat dan menghasilkan suara nyaring. PENGAPET/ SEUDAK
Gambar 3.4. Pengapet (Seudak) d. Larek (Garis) terdapat dipinggiran kayu RAPA’I PASEE untuk menjelaskan makna larik yang ada pada RAPA’I PASEE. Penulis sudah mencari sumber data baik pada buku-buku di perpustakaan Banda Aceh dan buku-buku karangan sekarang tidak ditemukan lagi pembahasan tentang makna larik. Satu-satunya sumber sekarang adalah seorang narasumber Hasbullah yang pernah menjabat sebagai kabid kebudayaan kota Lhokseumawe. Beliau aktif dalam berbagai kegiatan kesenian di Aceh dalam rentang waktu 1985-2014. Beliau banyak mendapat wawasan seni dengan seniman senior Aceh melalui ucapan-ucapan dan cerita-cerita (tradisi lisan). RAPA’I PASEE mempunyai kayu yang disebut baloh yang terbuat dari batang pohon kayu tuwalang. Pada
58
baloh tersebut terdapat larik (garis-garis hiasan) dan larik tersebut mempunyai makna diantaranya sebagai berikut: RAPA’I PASEE mempunyai ukiran di pinggiran kayunya yang disebut larik20. Setiap larik mempunyai makna, larik satu bermakna siang dan malam, larik lima bermakna rukun Islam ada lima perkara, larik tujuh bermakna seminggu ada tujuh hari dan ada satu garis besar menandakan hari jumat dilarang untuk memukul rapa’i dan larik delapan ada empat garis besar dan empat garis kecil bermakna yaitu tuha peut dan tuha lapan orang yang dituakan atau penasehat dalam sebuah desa setempat21.
LARIK
Gambar 3.5. Larik (garis)
20 21
Larik garis melingkar di pinggiran baloh (kayu) yang jumlahnya berbeda –beda . Hasil wawancara dengan Hasbullah, S. Pd
59
3.3.3 Bentuk kesenian RAPA’I PASEE
Gambar 3.6. Format Posisi pemain RAPA’I PASEE
Menurut pakar seni budaya wilayah Aceh utara saudara Hasbullah bahwa RAPA’I PASEE adalah alat musik tradisional Aceh (uroh doeng). Maksudnya alat musik yang dimainkan secara berdiri dan masyarakat menampilkan RAPA’I PASEE secara (tunang) yaitu lawan antara satu grup desa dan satu grup desa lainnya. Setiap satu grup atau lawan harus dapat bermain RAPA’I PASEE ini dengan menghasilkan suara yang besar, membuat variasi pukulan dan dapat bertahan selama waktu yang ditentukan. Bentuk penampilan RAPA’I PASEE pada
60
sebuah pertunjukan terdiri dari jenis pukulan yang berurutan. Pemain RAPA’I PASEE memainkannya sambil berdiri. Penampilannya dalam sebuah ansambel (grup) biasanya satu grup terdiri dari jumlah pemain terkecil 15 0rang dan terbesar sampai 60 orang. Pertunjukan RAPA’I PASEE dalam sebuah grup mempunyai pembagian tugas dalam memainkan alat musik tersebut yaitu : a.
Syeh Sebutan untuk pemimpin grup RAPA’I PASEE dan bertugas sebagai
pemberi isyarat saat awal permulann lagu dan peralihan lagu satu ke lagu selanjutnya. Posisi berdiri syeh dibarisan paling depan. b. Rando Sebutan untuk pemain RAPA’I PASEE yang bertugas memainkan pukulan/ritem dasar tanpa motif variasi. Posisi berdiri rando ada disetiap baris. c.
Canang Sebutan untuk pemain RAPA’I PASEE yang bertugas memainkan
pukulan/ritem variasi atau motif berbeda dari pukulan dasar. Posisi berdiri canang di baris kedua ditengah-tengah. Dari penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa syeh, rando dan canang untuk pemain RAPA’I PASEE mempunyai peran penting dalam sebuah pertunjukan RAPA’I PASEE agar dalam penampilan RAPA’I PASEE dapat terpenuhi komposisi struktur musiknya. Bentuk pukulan/ryhtem RAPA’I PASEE terdiri dari tujuh motif untuk urutan permainan ryhtem pada RAPA’I PASEE. Adapun urutannya sebagai berikut :
61
1. Lagu sa (lagu satu) 2. Lagu dua (lagu dua) 3. Lagu lhee (lagu lhee) 4. Lagu limeung (lagu limong) 5. Lagu tujoh (lagu tujoh) 6. Lagu sikureung (lagu sembilan) 7. Lagu duablah (lagu dua belas)
3.4 Proses Pentranskripsian Proses pentranskripsian merupakan langkah awal dalam kerja analisis yang tujuannya adalah untuk mengubah bentuk bunyi musik ke dalam satu lambang. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nettl bahwa: “transkripsi adalah proses menotasikan bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual atau kegiatan memvisualisasikan bunyi musik kedalam bentuk notasi dengan cara menulisnya ke atas kertas”22. Maka dalam hal ini penulis mencoba mendapatkan transkripsi lagu-lagu RAPA’I PASEE dengan beberapa langkah yang penulis lakukan, diantaranya sebagai berikut: 1. Untuk mendapatkan rekaman motif pukulan RAPA’I PASEE, penulis merekam langsung motif pukulan dari pelaku (syeh) baik dalam proses penelitian maupun dalam konteks petunjukannya di berbagai event pertunjukan kesenian lokal maupun nasional.
22
Brono nettle: The Study of Ethnomusicology: Twenty-nine issues and Concepts (Chicago University Press, 1983.
62
2. Rekaman tersebut didegarkan secara berulang-ulang agar mendapatkan hasil yang maksimal dan kemudian ditranskripsikan ke dalam bentuk notasi. 3. Ritem maupun melodi lagu dalam RAPA’I PASEE ditulis dengan notasi barat agar dapat lebih mudah dimengerti karena dalam notasi barat tinggi dan rendahanya nada, pola ritme, dan simbol-simbol terlihat lebih jelas ditrasmisikan kepada para pembaca melalui tanda-tanda dalam garis paradana. Oleh karena kesenian RAPA’I PASEE
ini hanya memiliki satu unsur
musik yaitu bentuk ritmis sebagai pola-pola atau motif tabuhan rapa’i nya , maka dalam tulisan ini penulis menampilkan satu bentuk notasi secara rithmisnya. Pada umumnya dalam budaya orang, notasi yang digunakan ialah konvensional barat. Hal ini menjadi alternatif pilihan yang paling besar kemungkinannya digunakan, terutama jika dalam budayanya musikal yang diteliti tidak tersedia sistem penulisan notasi musik. Dalam melalukan pentranskripsian, ada dua jenis fenomena musikal yang biasanya menjadi persoalan bagi transkriptor: (1) fenomena yang tidak dapat digunakan oleh simbol-simbol sistem notasi konvensional (barat), dan (2) fenomena yang terlalu rumit (Inggris: detalend) untuk bisa dinotasikan. Persoalan pertama dapat dipecahkan dengan menggunakan simbol-simbol tambahan, sedangkan persoalan kedua pada umumnya tidak ada pemecahan. Hal ini dapat dimengerti bila mengingat kerumitan bunyi musiknya seperti terjadinya pengeseran-pengeseran tinggi rendahnya nada yang sangat halus pada saat sebuah
63
nada dinyanyikan atau perbedaan yang begitu kecil dalam nilai (ritmis) diantara nada yang nilainya lebih sama, dan lain sebagainya. Sebagai mana dikemukakan oleh Seeger (1958), dalam melakukan trasnkripsi
terdapat
dua
jenis
notasi
musik
berdasarkan
tujuan
dan
penggunaannya. Kedua notasi itu adalah, notasi preskriptif dan notasi deskriptif dan karena itu pentranskripsianpun dibedakan atas transkripsi preskriptif (Inggris: prescriptive) dan transkipsi deskriptif (Inggris: descriptive). Transkripsi preskriptif ialah pencatatan bunyi musikal kedalam lambang notasi dengan hanya menuliskan nada-nada pokoknya saja. Notasi seperti ini umumnya dipakai hanyalah sebagai petunjuk bagi para pemusik atau sebagai alat pembatu untuk si penyanyi supaya ia dapat mengingat (apa yang telah dipelajarinya secara lisan). Sedangkan transkripsi deskriptif ialah menuliskan bunyi musikal ke dalam lambang notasi (konvensional barat) secara detail menurut apa yang ditangkap oleh indera pendengaran si transkriptor dengan maksud untuk menyampaikan ciri-ciri dan detail-detail komposisi musik yang belum diketahui oleh pembaca.23 Thee hazard are inherent in our pactices of writing music. The first lies in an assumption that the full auditory parameter of music is or can be represented by a partial visual parameter...upon a flat surface. The second lies in ignoring the historical log of musicwriting behind speechwriting, and the consequent traditional interposition of the art of speech in thematching of auditory and visual signals in music writing. The third lies in ourhaving failed to distinguish between prescriptive and descriptive uses of musicwriting, which is to say, between a blue-print of haw a specific piece of musicshall be 23
Charles Seeger. “Prescriptive music writing.” Musical Quarterly 44(1958), 184-195, seperti yang dikutip oleh Nettl, Theory and Method, op. cit., 99.
64
made to sound and a report of how a specific performance of it actuallydidsound.24 Dalam Webster’s Third New Internasaional Distionory of theAmerican Language disebutkan bahwa analisis adalah pemisahan suatu kesantunan ke dalam unsur-unsur fundamental atau bagian-bagian komponen24. Tujuannya adalah untuk menguji sifat-sifat dan konotasi-konotasi dari sebuah konsep, ide, ataupun wujud. Dengan demikian, hasil akhir dari sebuah analisis adalah pemisahan atas sifat-sifat sebuah objek, baik dilihat secara keseluruhan maupun secara terpisah. Selanjutnya, dari hasil analisis tersebut diharapkan dapat menambah pengetahuan, menerangkan, mengujicoba, dan merancang bagian-bagiannya secara umum, mengikuti logika keilmuan dan harus memiliki alasan-alasan tertentu yang jelas25. Maka dalam penulisan notasi RAPA’I PASEE dari tesis ini, penulis menggunakan metode traskripsi dan deskriptif, agar pembaca dapat mengetahui secara detil susunan ryhtem dalam struktur kesenian RAPA’I PASEE ini dalam metode notasi barat. Selain dengan mentraskripsikan secara deskriptif penulis mencoba menganalisis musik secara kajian makna yang terkandung dalam motif pukulan. Analisis musikal membicarakan setiap unsur-unsur bermakna tertuang dalam sebuah musik. Dilakukanya analisis terhadap masing-masing unsur musikal itu ialah karena ada tujuan untuk menjelaskan unsur bermakna tersebut. Namun sebagaimana dikatakan oleh Nicolas Cook bahwa hingga saat ini belum ada
24
PhilipB. Gove, Webster’s Third New International Dictionary of the American Language (New York: The World Publishing Company, 1966), 77. 25 Marcia Herndorn, “ Analisa Struktur Musik dalam Etnomusikologi.” Seperti naskah terjemahan M. Takari, Perikutet Tarigan (Medan: Jurusan Etnomusicologi, Fakulas Sastra Universitas Sumatera Utara, 1994),4.
65
metode analisi oral maupun formal tunggal yang sudah baku dan berlaku secara umum yang dapat dipakai untuk menganalisis musik secara menyeluruh. There is not any one fixem way of starting an analysis. It depends of the music, as wel as on wel as on the analyst and the reason the analysis is being done. But there is a presequisite to any sensible analysis, an this it familiarity with the music.26 Selanjutnya dapat dikatakan bahwa analisis adalah suatu pekerjaan lanjutan setelah selesai melakukan transkripsi komposisi musik. Melalui proses analisis tersebut akan diperoleh gambaran tentang gaya atau prinsip-prinsip dasar stuktur musikal dan yang tersembunyi di balik komposisi itu. Berkenaan dengan gaya atau prinsip dasr struktur musical, Willy Apel mengatakan bahwa gaya adalah unsur atau elemen penting yang sangat berhubungan dengan struktur suatu komposisi. Unsur atau elemen dimaksud ialah bentuk (Inggris: from), melodi, maupun ritmen atau irama. Selanjunya, oleh Nettl dikatakan bahwa suatu komposisi musik di dalam suatu tradisi musikal akan pula memiliki kumpulan karakter atau gaya yang sama dengan karakter-karakter pada komposisi lainnya di dalam ruang lingkup tradisi kebudayaan dimana musik itu berada27. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya adalah elemen-elemen musikal yang dijadikan sebagai dasar atau perangkat untuk membangun musik hingga menghasilkan sebuah komposisi musik. Dalam melakukan analisis, selain metode-metode di atas juga akan digabungkan dengan metode weighted scale (“bobot tangga nada”) dari William 26
Nicolas Cook, A Guide to Musical Analysis (london & Melbourne: J.M. Dent & Sons Ltd 1987),237 27 Bruno Nettl, Theory and Method, op.cit. 169
66
P. Malm serta langkah-langkah description of musical compositions yang ditawarkan oleh Bruno Nettl. Malm mengatakan bahwa gaya musikal berkaitan dengan dua hal yang tidak terpisahkan, yaitu melodi dan ritme atau ruang dan waktu. Unsur melodi berkaitan dengan ruang, dimana setiap nada dalam garis melodi begerak sesuai dengan tinggi rendahnya nada. Sementara ketinggian dan kerendahan nada mempunyai durasi secara panjang dan pendek yang dalam hal ini merupakan hasil dari ritme. Dengan perkataan lain, ritme berkaiatan dengan waktu, dimana setiap masa melodi memiliki durasi yang berbeda-beda, dan dengan perbedaan durasi itulah tercipta gerak melodi yang harmonis. Unsur-unsur yang berkaitan dengan melodi terdiri dari, (1) tangga nada (Inggris: modus), (2) nada dasar (Inggris: pitch centre), (3) wilayah nada (Inggris: range), (4) jumlah nada-nada, (5) jumlah interval, (6) pola-pola kadensa, (7) formula-formula melodi, (8) kontur, (9) durasi, (10) ritme, (11) frase dan kalimat, serta (12) periode atau siklus. Yang berkaitan dengan dimensi waktu yaitu, (1) tempo, (2) pulsa (3) ketukan, (4) pola dan motif, serta (5) birama.28 Dipihak lain Bruno Nettl mengatakan bahwa mendeskripsikan komposisi musikal harus memperhatikan unsur-unsur berikut, (1) perbedaan nada, (2) tangga nada (Inggris: modus), (3) tonalitas, (4) interval, (5) kantur melodi, (6) ritme, (7) tempo, dan (8) bentuk.29
28 29
Malm, op. cit., 7. Netll, Theory and Method.op.cit., 145-149.
67
Berkaitan dengan teori diatas maka penulis mentraskripsikan bentuk ritmis serta menganalisis makna yang terkandung dalam kesenian RAPA’I PASEE adalah sebagai berikut:
3.5 Notasi Ritem (Motif Pukulan) Pada Struktur Musik RAPA’I PASEE Sebutan lagu pada pertunjukan RAPA’I PASEE adalah bentuk motif pukulan, lagu yang dimaksud adalah bukan lagu dalam bentuk nyanyian atau mempunyai lirik / syair, RAPA’I PASEE mempunyai timbre yaitu bunyi dum dan teng, dum untuk suara rendah dan teng untuk suara tinggi, pemain RAPA’I PASEE di desa Biara timu kecamatan jambo aye menyebut motif pukulan atau ritem RAPA’I PASEE dengan sebutan lagu sa, lagu dua, lagu lhee, lagu limeung, lagu tujoh, lagu sikureung dan lagu duablah. Dalam kesenian RAPA’I PASEE ini sangat jelas menunjukan pola-pola ritem dan motif pukulan yang mencerminkan kehidupan sosial dan semangat dalam batasan-batasan dan aturan ajaran agama Islam. Berikut ini penulis lampirkan struktur melodi dalam lagu yang ada dalam kesenian RAPA’I PASEE sebagai bentuk transkripsi dalam metode musik barat, diantaranya sebagai berikut:
3.5.1 Deskripsi ritem satu (Lagu sa) Motif pukulan lagu sa dengan tempo sedang, dan motif repetisi menunjukkan awal mulainya lagu dimainkan secara unison (dimainkan secara
68
serempak), yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari yaitu bersiap-siap diawali dengan do’a dalam berkegiatan atau melakukan aktivitas sehari-hari. 30
Syeh
Rando
Canang
Gambar 3.7. lagu satu (lagu sa)
3.5.2 Deskripsi ritem dua (lagu dua) Motif pukulan lagu dua dengan tempo lambat, dan motif repetisi yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari yaitu sudah mulai melakukan aktivitas sehari-hari.
Syeh Rando
Canang
Gambar 3.8. lagu dua (lagu dua) 30
Wawancara dengan Hasbullah
69
3.5.3 Deskripsi ritem tiga (lagu lhee)
Motif pukulan lagu lhee dengan tempo sedang, dan motif repetisi yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari yaitu sudah mulai melakukan aktivitas sehari-hari dan adanya hambatan dan rintangan.
Syeh
Rando
Canang
Gambar 3.9. lagu tiga (lagu lhee) 3.5.4 Deskripsi ritem lima (lagu limeung) Motif pukulan lagu limeung dengan tempo sedang, dan motif repetisi yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari yaitu sudah mulai melakukan aktivitas sehari-hari dan adanya hambatan serta rintangan dan bagaimana mencari solusinya.
Syeh
Rando
Canang
70
Sy
Rd
Cn
Gambar 3.10. lagu lima (lagu limeung) 3.5.5 Deskripsi ritem tujuh (lagu tujoh) Motif pukulan lagu tujoh dengan tempo cepat, dan motif repetisi yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari yaitu mencari solusi dan harus dapat penyelesaiannya atau jalan keluar.
Syeh
Rando
Canang
Sy
Rd
Cn
Gambar 3.11. lagu tujuh (lagu tujoh)
71
3.5.6 Deskripsi ritem sembilan (lagu sikureung) Motif pukulan lagu sikureung dengan tempo cepat dan motif repetisi yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari yaitu dalam kehidupan sehari-hari pasti ada permasalahan dan jalan keluarnya bisa dilakukan dengan bermusyawarah.
Syeh
Rando
Canang
Sy
Rd
Cn
Gambar 3.12. lagu sembilan (lagu sikureung)
3.5.7
Deskripsi ritem dua belas (lagu duablah)
Motif pukulan lagu duablah dengan tempo cepat dan motif repetisi yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari yaitu dalam kehidupan sehari-hari jika bermusyawarah harus melibatkan orang yang dianggap tua atau tengku dalam satu desa, disebut tuha peut atau tuha lapan bermakna orang yang dituakan agar semua permasalahan dalam terselesaikan.
72
Khusus motif pukulan lagu duablah diibaratkan dalam peperangan seperti suara gemuruh tembakan dalam medan peperangan.31
Syeh
Rando
Canang
Sy
Rd
Cn
Gambar 3.13. lagu dua belas (lagu duablah)
31
Ibid
73
BAB IV DESKRIPSI FUNGSI SOSIO BUDAYA RAPA’I PASEE : DI BIARA TIMU JAMBO AYE PANTON LABU ACEH UTARA
4.1 Penggunaan dan Fungsi RAPA’I PASEE 4.1.1.1 Pengertian Penggunaan dan Fungsi Untuk mengakaji suatu objek penelitian dalam dunia ilmiah tentunya harus didasari pada suatu teori. Hal ini mejadi suatu keharusan bagi seorang ilmuwan di seluruh dunia. Menurut Marckward32, pengertian teori adalah (1) Sebuah rancangan atau skema pikiran, (2) Prinsip dasar atau penerapan ilmu pengetahuan, (3) Abstrak pengetahuan yang antonym dengan praktik, (4) Rancangan hipotesis untuk menangani berbagai fenomena, (5) Hipotesis yang mengarahkan seseorang, (6) Dalam matematika adalah teorema yang menghadirkan pandangan sistematik dari beberapa subjek, dan (7) Ilmu pengetahuan tentang musik. Jadi dengan demikian teori berada dalam tataran idea atau gagasan seorang ilmuwan yang kebenarannya secara empiris dan rasional telah diuji coba. Dalam dimensi waktu teori-teori dari semua disiplin ilmu terus berkembang. Teori-teori yang dipergunakan dalam mengkaji fungsi budaya, para pengkaji budaya menggunakan teori fungsionalisme. Menurut Lorimer, teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan pada ilmu sosial yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu.
32
Marckward, Albert H, et al.(eds).1990. Webster Comperhensive Dictionary (volume 2) chicago: ferguson Publising Company, h.1302.
74
4.1.1.2 Pengertian Fungsi Analisis terhadap suatu fungsi objek kebudayaan menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi institusi-institusi seperti : negara, agama, keluarga. Aliran dan pasar terwujud, sebagai contoh pada masyarakat yang kompleks seperti Ameriaka Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai yang difungsikan untuk mendukung kegiatan politik demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam masyarakat yang lebih sederhana, masyarakaat tribal, partisipasi dalam upacara keagamaan berfungsi untuk mendukung solidaritas sosial di antara kelompok-kelompok manusia yang berhubungan kekerabatannya. Meskipun teori ini menjadi dasar bagi para penulis Eropa abat ke-19, khususnya Emile Durkheim, fungsionalisme
secara
nyata
berkembang
sebagai
sebuah
teori
yang
mengagumkan sejak dipergunakan oleh Talcott Parsons dan Robert Merton tahun 1950-an. Teori ini sangat berpengaruh kepada para pakar sosialisasi AngloAmerika dalam dekade 1970-an. Bronislaw Malinowski dan A. R. RadcliffeBrown, mengembangkan teori ini dibidang antropologi dengan memusatkan perhatian pada masyarakat
bukan barat. Sejak dekade 1970-an, teori
fungsionalisme dipergunakan pula untuk mengaji dinamika konflik sosial33. Lebih lanjut Alan P. Merriam menjalankan dalam The Anthropology of Music (Chicago: North Western University Press. 1964) mengemukakan beberapa pandagan tentang fungsi suatu produk kebudayaan pada suatu tatanan kehidupan masyarakat. Untuk mengkaji apa fungsi komunikasi seni pertunjukan, serta bagaimana fungsi lagu dan tari dalam masyarakat, biasanya digunakan teori
33
Lawrence T. Lorimer et al., 1991, Grolier Encyclopedia of knowledge (volume 1-20) Danbury, Connecticut: Groller Incorporated. Vol. 18.h. 112-113.
75
fungsionalisme. Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan pada ilmu sosial yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusiinstitusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu34. Teori fungsionalisme dalam ilmu antropologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalm sejarah toeri antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstrak yaitu: 1.
Fungsi sosial suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, perilaku manusia, dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat;
2. Fungsi sosial suatu adat, pranata sosial, atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang terlibat; 3.
Fungsi sosial suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan mutlak untuk berlangsungnya secara terinteraksi suatu sistem sosial tertentu. Dalam bidang komunikasi, ada beberapa pakar yang mengemukakan
pendapatnya mengenai fungsi komunikasi. Fungsi komunikasi memperlihatkan arus gerakan yang seiring dengan masyarakat atau individu. Komunikasi berfungsi menurut keperluan pengguna atau individu yang berinteraksi. Oleh karena itu, fungsi komunikasi bisa dikaitkan dengan ekspresi (emosi), arahan, puitis, fatik,
34
ibid
76
dan metalinguitik yang berkaitan dengan bahasa. Secara umum fungsi komunikasi terdiri dari empat kategori utama yaitu : 1.
Fungsi untuk memberi tahu, artinya adalah melalui komunikasi
berbagai konsep atau gagasan diberitahukan kepada orang lain (penerima komunikasi) dan penerima ini menerimanya yang kemudian dampaknya ia tahu tentang gagasan yang dikomunikasikan tersebut. Akhirnya isi komunikasi itu akan direspon oleh penerima, boleh jadi dalam bentuk perilaku, balasan, dan lainnya. Pemberitahuan ini sangat penting dalam konteks sosial kemasyarakatan. Misalnya orang yang diberitahu bahwa salah seorang warganya meninggal dunia, melalui saluran komunikasi, seperti dalam bentuk lisan atau bukan lisan seperti bunyi bedug dengan pukulan dan irama tertentu, atau lambang-lambang, seperti bendera merah atau hijau di depan rumah, dan lainnya. Akibatnya penerima komunikasi akan menafsir pesan komunikasi dalam bentuk lisan dan bukan lisan tadi, kemudian datang bertakziah ke tempat warganya yang meninggal dunia. 2.
Fungsi komunikasi lainnya adalah mendidik. Artinya adalah bahwa
komunikasi berperan dalam konteks pendidikan manusia. Komunikasi menjadi saluran ilmu dari seseorang kepada orang lainnya. Ilmu pengetahuan dipindahkan dari seseorang yang tahu kepada orang yang belum tahu. Berkat terjadinya komunikasi maka kelestarian kebudayaan akan terus berlanjut antara generasi ke generasi, dan dampak akhirnya masyarakat itu cerdas dan dapat mengelola alam melalui ilmu pengetahuan.
77
3.
Komunikasi juga berfungsi untuk mengubah pandangan manusia atau
membujuk khalayak untuk merubah pandangannya. Melalui komunikasi, pandangan seseorang atau masyarakat dapat diubah, dari satu pandangan ke pandangan lainnya. Apakah pandangan yang lebih baik atau lebih baik buruk menurut standar norma-norma sosial. Dalam konteks bernegara misalnya, pandangan yang tak sesuai dengan ideologi negara akan bisa dipujuk untuk menuruti ideologi yang selaras dengan negara. Dalam konteks ini umumnya suatu kabinet didalam negara, membentuk departemen komunikasi, informasi, atau penerangan. Tujuan utamanya adalah memujuk masyarakat bangsa itu untuk menurut untuk ideologi dan program-program pembangunan yang dianut dan dilaksanakan oleh pemerintah. 4.
Fungsi komunikasi lainnya adalah menghibur orang lain. Maksudnya
adalah bahwa melalui komunikasi seorang penyampai atau sumber komunikasi akan menghibur orang lain sebagai penerima komunikasi yang memang dalam konteks sosial diperlukan. Fungsi komunikasi sebagai sarana hiburan ini akan dapat membantu seseorang atau sekumpul orang terhibur dari beban sosial budaya yang dialaminya. Hiburan ini dapat berupa rasa simpati sumber kepada penerima. Bentuknya boleh saja seperti ungkapan verbal turut merasakan apa yang dirasakan penerima komunikasi atau juga seperti bernyanyi, bermain musik, melawak, dan lain-lainnya. Dengan demikian, melalui komunikasi terjadi hiburan yang juga melegakan diri dari himpitan dan tekanan sosial. Demikian sekilas teori fungsionalisme komunikasi dalam seni pertunjukan. Selanjutnya kita lihat bagaiman teori
78
fungsionalisme
dibidang
antropologi serta
bagaimana
fungsi
seni
pertunjukan. Dalam konteks kajian budaya di Aceh, teori fungsionalisme atau kajian fungsional ini dipergunakan dalam berbagai ilmu. Diantaranya adalah bidang komunikasi di berbagai universitas35. Demikian pula halnya dibidang linguistik dan sastra, yang dikenal dengan kajian linguistic systemic functional (LSF), yang ditokohi oleh Halliday dan kawan-kawan. Termasuk di bidang seni digunakan teori fungsi ini. Teori tersebut diterapkan oleh merriam dalam etnomusikologi, dijelaskan bahwa pengertian fungsi dapat dibedakan dalam dua istilah, yaitu pengguna dan fungsi. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita merujuk pada kebiasaan (the ways) musik yang dipergunakan dalam masyarakat sebagai praktik yang biasa dilakukan atau sebagai bagian dari pelaksanaan adat istiadat baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitasaktivitas lain36. Selanjutnya Merriam menjelaskan fungsi musik dan kegunaankegunaan musik dalam suatu masyarakat sering disadari dan diakui oleh para pewaris musik itu sendiri, tetapi fungsi-fungsi musik dalam sebuah masyarakat tidak bisa dimengerti oleh anggota masyarakat itu, tetapi harus diungkapkan oleh peneliti dari luar37. Sedangkan kegunaan musik mencakup semua kebiasaan memakai musik, baik sebagai suatu aktifitas yang berdiri sendiri maupun sebagai iringan aktivitas lain. Misalnya, sebuah nyanyian dalam suatu masyarakat tertentu biasanya dipakai oleh pemuda untuk merayu gadis idamannya (kebiasaan tersebut merupakan kegunaan nyanyian itu). Sebagai contoh lain, suatu lagu dapat 35
Takari, Muhammad., Seni Perubahan dan Makna, 2013 hal:13 ibid 37 Wiliam P.Malm, Tradisional Japanese Music, 1959 36
79
digunakan untuk memanggil para dewa pada upacara agama, sedangkan fungsinya adalah sama dengan fungsi agama pada umumnya. Fungsi agama (kepercayaan) barangkali dapat dikatakan menimbulkan rasa aman dan nyaman pada hati manusia terhadap alam semesta38. Dalam hal ini, kegunaan musik adalah menyangkut cara pemakain musik dalam konteksnya, sedangkan fungsi musik menyangkut tujuan pemakaian musik dalam pandangan luas. Berikut adalah tinjauan umum penggunaan musik berdasarkan kategori-kategori yang diajukan Herkovits untuk pengklasifikasian unsur-unsur budaya39: a. Kategori pertama adalah kebudayaan material, yang dibagi dalam dua bagian : teknologi dan ekonomi. b. Kategori kedua adalah kelembagaan sosial, dibagi kedalam organisasi sosial, pendidikan, dan sistem politik. c. Kategori ketiga adalah hubungan manusia dan alam, dibagi kedalam sistem kepercayaan dan pengendalian kekuatan. d. Kategori ke empat adalah estetika, dibagi ke dalam seni rupa, Folklore, dan musik. Maka disini hubungan musik dengan semua unsur kebudayaan tersebut erat sekali. e. Kategori ke lima adalah bahasa. Jelas bahwa bahasa yang terdapat dari makna larik dan makna dari setiap lagu, berkaitan erat dengan musiknya. Disamping itu, terdapat beberapa kasus dimana instrument musik seperti
38
Alan.P.Merriam.1964. The Anthropology of Music.Chicago University.H.210 39 Melville J.Herskovits, continuity and Change in African Culture,1959
Nortwestern
80
gendang dan RAPA’I PASEE digunakan untuk menyampaikan pesan melalui semacam ‘bahasa’ larik dan ritmisnya. Apabila kita jabarkan menurut beberapa teori di atas maka ada sepuluh fungsi musik yang dalam hal ini adalah fungsi utama musik yang dikemukakan oleh Merriam, yaitu : fungsi pengungkapan emosional, fungsi penghayatan estetis, fungsi hiburan, fungsi komunikasi, fungsi perlambangan, fungsi reaksi jasmani, fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial, fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara agama, fungsi kesinambungan kebudayaan, dan fungsi pengintegrasian masyarakat.
1. Fungsi Pengungkapan Emosional Musik dalam hal ini mempunyai daya yang sangat besar sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa atau emosi
para penyanyi dan pemain yang dapat
menimbulkan rasa atau emosi kepada para pendengarnya. Rasa yang diungkapkan sangat beraneka ragam, termasuk rasa kagum pada dunia ciptaan Tuhan, rasa sedih, rasa rindu rasa birahi (seksual) rasa kebanggaan terhadap tanah air, rasa tenang, dan lain-lain. Sering kita lihat dalam beberapa tema tentang lagu-lagu cinta, yang menggambarkan suatu keinginan seorang manusia (laki-laki) untuk memiliki manusia lain (perempuan), kemudian ada juga yang melantunkan lagu cinta yang menggambarkan tentang cintannya kepada tuhannya sebagai bentuk penghayatan dalam meyakini suatu pandangan agamanya. Atau pengungkapan rasa marah terhadap fenomena sosial yang menurut perasaannya tidak sesuai dengan semestinya, misalnya banyaknya peperangan yang disaksikannya melalui
81
media, ataupun melihat banyaknya para koruptor yang merusak tatanan kehidupan bangsa, dan sebagainya.
2. Fungsi Penghayatan Estetis Walaupun konsepsi penghayatan estetis terhadap beberapa masyarakat yang perdabannya sudah tinggi melalui literature sebagai bahan referensinya seperti masyarakat Barat (Eropa, Amerika), Timur (Arab, India, Cina, Jepang, Korea, dan Indonesia). Akan tetapi kita belum bisa memastikan kalau konsepsi tersebut terdapat pada masyarakat-masyarakat non-literate seperti pada masyarakat pedalaman yang belum mengenal budaya baca tulis, karena dalam hal ini pengayatan estetis baik terhadap pengungkapan rasa keindahan akan dilukiskan atau dituliskan pada sebuah syair yang akhirnya menjadi sebuah gubahan lagu untuk mengungkapkan rasa keindahan tersebut, baik yang berupa objek alam, manusia, maupun keagungan tuhan.
3. Fungsi Hiburan Fungsi hiburan tentunya sudah sangat jelas pada setiap masyarakat di dunia. Musik dapat berfungsi sebagai alat hiburan. Maksudnya adalah bahwa melalui komunikasi seorang penyampai atau sumber komunikasi akan menghibur orang lain sebagai penerima komunikasi yang memang dalam konteks sosial diperlukan. Sebagai sarana hiburan fungsi ini akan dapat membantu seseorang atau sekumpul orang terhibur dari beban sosial budaya yang dialaminya. Hiburan ini dapat berupa rasa simpati sumber kepada penerima. Bentuknya boleh saja seperti
82
ungkapan verbal turut merasakan apa yang dirasakan penerima komunikasi atau juga seperti bernyanyi, bermain musik, melawak, dan lain-lainnya. Dengan demikian melalui komunikasi terjadi hiburan yang juga melegakan diri dari himpitan dan tekanan sosial.
4. Fungsi Komunikasi Secara umum komunikasi terdiri dari empat kategori utama yaitu: (1) fungsi memberitahu, (2) fungsi mendidik, (3) membujuk khalayak mengubah pandangan dan (4) untuk memberikan kenyamanan terhadap orang lain. Tentu saja dalam hal ini syair dalam lagu yang dilantunkan melalui pengolahan seni vokal yang menyampaikan pesan yang terkandung dalam teks nyanyian merupakan sejenis komunikasi. Tetapi disamping itu, musik itu sendiri (tanpa teks) dapat mengkomunikasikan sesuatu. Hanya saja kita belum mengetahui apa sebenarnya yang dikomunikasikan oleh musik, bagaimana, dan kepada siapa. Musik bukanlah suatu ‘bahasa universal’ yang dapat dimengerti oleh siapa saja di mana saja karena setiap jenis musik lahir dan tumbuh pada suatu masyarakat tertentu dengan kebudayaannya.
5. Fungsi Perlambangan Pada semua masyarakat, musik dalam hal ini berfungsi sebagai lambang dari hal-hal, ide-ide dan tingkah laku masyarakatnya, seperti misalnya dalam pukulan RAPA’I PASEE dalam motif pukulannya menandakan untuk mengumpulkan
83
masyarakat bermusyawarah, tanda bahaya, tanda orang meninggal dan tanda bahwa berbuka puasa telah tiba.40
6. Fungsi Reaksi Jasmani Fungsi ini adalah konsepsi ‘biologis’. Meskipun tidak ada hubungannya dengan konteks sosial. Namun demikian, daya rangsang musik yang dapat menggugah reaksi jasmani jelas dimengerti dan dimanfaatkan di dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, kita sering melihat sebuah upacara ritual yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat dengan adat tertentu yang menunjukan gejala kesurupan (tranch, possession) yang hal ini sering kali diakibatkan oleh musik dan gerakan tari dapat dirangsang oleh musik dalam beberapa suku dari negara-negara yang ada di dunia terutama di Afrika, Amerika Tengah (Suku Indian), Asia Selatan seperti India, Srilangka, Bangladesh, Asia Tenggara (Thailand, Vietnam, termasuk Indonesia). Pengaruh musik terhadap hal ini banyak dijumpai pada masyarakat khususnya di daerah pedalaman yang masih menggunakan cara-cara tradisional dalam kegiatan sosial budayanya.
7. Fungsi yang Berkaitan Dengan Norma-Norma Sosial Artinya adalah bahwa fungsi seni berperan dalam konteks pendidikan manusia. Komunikasi menjadi saluran ilmu dari seseorang yang tahu kepada orang yang belum tahu. Maka dalam hal ini kelestarian kebudayaan akan terus berlanjut antara generasi ke generasi, dan dampak akhirnya masyarakat itu cerdas 40
seni
Hasil wawancara dengan Hasbullah mantan staf kebudayaan Kota Lhokseumawe pakar
84
dan dapat mengelola alam melalui ilmu pengetahuan baik itu pengetahuan tentang sikap, dan tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat sehingga tercipta suatu tatanan masyarakat yang beradab yang memiliki nilai-nilai luhur yang diyakininya. Musik juga berfungsi untuk mengubah pandangan manusia atau membujuk khalayak untuk merubah pandangannya. Melalui komunikasi, pandangan seseorang atau masyarakat dapat diubah, dari satu pandangan ke pandangan lain. Apakah pandangan yang lebih baik atau lebih buruk menurut standar normanorma sosial yang berlaku. Dalam konteks bernegara misalnya, pandangan yang tak sesuai dengan ideologi negara akan bisa dibujuk untuk menuruti ideologi yang selaras dengan negara. Dalam konteks ini umumya suatu kabinet di dalam negara, membentuk departemen komunikasi, informasi, atau penerangan. Tujuan utamanya adalah membujuk masyarakat bangsa itu untuk menuruti ideologi dan program-program pembangunan yang dianut dan dilaksanakan oleh pemerintah. Beberapa masyarakat memfungsikan musik dalam hal ini melalui lagu-lagu yang bertujuan untuk pengendalian sosial dengan mengkritik orang-orang menyeleweng dari kebiasaan-kebiasaan setempat yang melanggar nilai-nilai yang menjadi norma sosial tersebut. Selain itu teks nyanyian yang di pakai untuk lagu upacara inisiasi seringkali berupa nasehat bagi kaum muda untuk menaati peraturan-peratutan adat. Fungsi ini adalah salah satu fungsi musik yang utama.
85
8. Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial dan Upacara Agama Dalam hal ini belum bisa memastikan sejauh mana musik berfungsi sebagai pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan. Sistem-sistem agama biasanya didukung dan disahkan oleh mitos-mitos dan legenda-legenda. Mitos dan legenda itu sering kali dinyanyikan oleh masyarakat pendukungnya sebagai bentuk pengakuan terahadap keabsahan lembaga sosial tersebut.
9. Fungsi Kesinambungan Kebudayaan Musik
sebagai
wahana
mitos,
legenda
dan
cerita
sejarah,
ikut
menyambungkan sebuah masyarakat dengan masa lampaunya. Sebagai wahana pengajaran adat, musik menjamin kesinmbungan dan stabilitas kebudayaan sampai enerasi penerus. Dalam hal ini musik dapat diwariskan kepada generasi penerusnya sebagai upaya mempertahankan nilai-nilai yang dibagun oleh suatu pranata sosial masyarakat, kejayaan dan kemasyuran suatu bangsa. Dapat dilihat dari perkembangan budaya termasuk perkembagan musiknya, seperti masyarakat Eropa mewariskan musik klasik kepada anak-anaknya melalui pendidikan musikmusik formal sehingga masyrakat dapat mempertahankan “budaya elegan” terhadap pola hidup masyarakat seperti dalam sikap disiplin, pola pikir yang terbuka, mau belajar, dan teliti. Pada masyrakat Islam, penebaran Agama Islam melalui musik sarana dakwah dapat membuktikan bahwa fungsi kesinambungan kebudayan telah berhasil menerapkan ideologi-ideologi dan pemahaman tentang islam yang berasal dari Jazirah Arab hingga menyebar keseluruh dunia, termasuk Indonesia melalui pandagan Asia.
86
10. Fungsi Penginteraksian Masyarakat Fungsi ini telah menjadi perhatian beberapa peneliti. Umpamanya menurut Nketia, pada masyarakat Yoruba di Accra (Ghana, Afrika Barat), pertunjukanpertunjukan musik tradisioanal menimbulkan rasa kebersamaan dalam hati (para peserta dan penonton), kebersamaan dalam suatu masyarakat yang mempunyai satu sistem nilai satu gaya kehidupan dan satu gaya kesenian. Oleh karena itu, musik dapat membangkitkan rasa solidaritas berkelompok. Dalam kasus lain (antropolog) Radiclif-Brown menulis mengenai tarian dari pulau Andaman. Tarian Andaman (dan lagu iringannya) merupakan suatu kegiatan dimana semua anggota suatu masyarakat dapat menyatu dalam nada dan irama, dan bekerja sama dengan rukun. Rasa senang timbul drai hati si penari sehingga dia bersikap baik terhadap seluruh kawannya dan hatinya dipenuhi rasa persahabatan yang meluap-luap. Dengan demikian, tarian Andaman menghasilkan suatu kesatuan, kerukunan, dan keselarasan yang dapat diserahkan oleh setiap warga masyarakat. Justru disini terletak fungsi sosial utama dari tarian. Kesejahteraan (bahkan eksitensi) masyarakat bergantung pada kesatuan dan keselarasan masyrakat. Oleh karena tarian adalah salah satu sarana untuk menciptkan rasa kesatuan dan kesalarasan. Maka tarian merupakan sarana untuk menjaga dan membina eksistenti dan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini teori difusi juga dipergunakan dalam mengkaji seni. Pada prinsipnya, teori ini mengemukakan bahwa suatu kebudayan dapat menyebar ke kebudayaan lain melalui kontak budaya. Karena teori ini berpijak pada alasan adanya suatu sumber budaya, maka ia sering disebut juga dengan teori ini berpijak pada alasan adanya
87
suatu sumber budaya, maka ia sering disebut juga dengan teori monogenesis (lahir dari suatu kebudayaan). Lawannya adalah teori poligenesis, yang menyatakan bahwa beberapa kebudayaan mungkin saja memiliki persamaan-persamaan baik ide, aktivitas, maupun benda. Tetapi sejarah persamaan itu bukanlah menjadi alasan adanya suatu sumber kebudayaan. Bisa saja persamaan itu muncul secara kebetulan karena ada unsur universalitas dalam diri manusia. Masyarakat bentuk dayung perahu hampir sama dimana-mana di dunia ini. Namun itu tidak berarti bahwa ada satu sumber budaya pembentuk dayung perau. Katakan lah dayung perahu berasal adari China Selatan. Teori ini banyak di pergunakan oleh para pengkaji seni yang mencoba mencari adanya sebuah sumber budaya. Dalam kajian seni, misalnya sebagian besar peneliti percaya bahwa zapin besar dari Yaman. Hal ini didukung oleh fakta-fakta sejarah dan bukti-bukti peningalanya di zaman sekarang ini dan persebaran kesenian ini ke berbagai kawasan di Nusantara.
4.1.1.2 Penggunaan RAPA’I PASEE Sebagaimana telah dijelaskan bahwa jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita merujuk pada kebiasaan (the ways) musik yang dipergunakan dalam masyarakat sebagai praktik yang bisa dilakukan atau sebagai bagian dari pelaksanaan adat istiadat. Baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain, maka dalam hal ini berbagai aktivitas menunjukkan bahwa yang membawa pengaruh kebudayaan terutama pada kesenian di Aceh. Jika kita menunjuk pada beberapa teori yang disampaikan oleh
88
Herkovitc maka kegunaan kesenian RAPA’I PASEE terhadap masyarakat kesenian di kota Panton Labu dapat diaplikasikan sebagi berikut, teori yang disampaikan oleh Herkovitc peneliti sesuaikan dengan temuan di lapangan, peneliti akan menjelaskannya sebagai berikut : a.
Pertama adalah kegunaan RAPA’I PASEE sebagai kebudayaan materil, dimana terbagi dalam dua bagian yaitu teknologi dan ekonomi. Dalam hal kebudayaan materil yang melibatkan unsur teknologi, hasil penelitian lapangan alat musik RAPA’I PASEE tidak berpengaruh banyak terhadap perkembangan teknologi dari zaman ke zaman baik dari cara pembuatannya masih secara tradisional, bahan bakunya, bentuk dan ukuran tidak berubah dalam hal struktur musiknya juga tidak ada penambahan teknologi musik modern didalam pertunjukannya. Dalam hal ekonomi kesenian RAPA’I PASEE tidak berdampak menguntungkan hanya kecil persentasenya bagi para senimannya, hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa RAPA’I PASEE hanya sebuah ajang pertunjukan seni sebatas kesenangan para seniman pada dasarnya tidak ada unsur untuk mendapatkan penghasilan berupa bayaran, melainkan hanya kepuasan bathin para seniman saja. Jika ada undangan khusus dari pemerintah setempat untuk mempertunjukkan kesenian RAPA’I PASEE para seniman dengan senang hati untuk menampilkannya, dan pemerintah setempat hanya memberikan insentif secukupnya.
b.
Kedua adalah kelembagaan sosial, dibagi kedalam organisasi sosial, pendidikan, dan sistem politik. Dalam organisasi sosial kesenian RAPA’I PASEE bagi masyarakat kota panton labu sebagai ajang silaturahmi dan
89
menjalin ikatan persudaraan antar satu desa dengan desa lainnya, adanya grup-grup kesenian RAPA’I PASEE yang telah lahir di sanggar-sanggar sebatas desa saja, dalam dunia pendidikan sekolah-sekolah baik tingkat SD, SMPmaupun SMA bahkan tinggkat perguruan tinggi di kota Panton Labu. Dalam hal pendidikan RAPA’I PASEE hanya sebatas pengetahuan saja tidak ada pertunjukan disetiap sekolah. Jika dilihat dari besarnya sebuah alat RAPA’I PASEE yang digantung, hingga untuk dunia pendidikan sekolah tidak dapat ditampilkan mengingat sulitnya dan terbatasnya kemampuan siswasiswa, guru- guru dan alat musik RAPA’I PASEE itu sendiri. Dalam hal politik RAPA’I PASEE sekarang sudah dipertunjukan untuk kegiatan acara politik pemilihan caleg, RAPA’I PASEE digunakan oleh oknum politik sebagai media untuk mengumpulkan masyarakat dan pihak oknum politik dengan mudah menyampaikan ideologi pemerintah dan seruan untuk memilih atau menyoblos nomor calek tertentu, memprovokasi masyarakat agar memilih pemimpin putra daerah asli Aceh untuk memimpin pemerintah, yang pada dasarnya bahwa RAPA’I PASEE adalah murni sebuah bentuk kesenian bukan alat politik atau untuk menyampaikan pesan politik yang seperti saat sekarang ini. c.
Ketiga adalah hubungan manusia dan alam, dibagi kedalam sistem kepercayaan dan pengendalian kekuatan. Dalam kaitanya dengan hal ini, sangat jelas bahwa kesenian RAPA’I PASEE sebagai wujud kebudayaan Islam yang mengajarkan pada masyarakat agar selalu bertakwa kepada Allah Subhanahu Wata’ala, Tuhan yang menguasai alam dan Muhammad SAW
90
sebagai utusan, yang dikomunikasikan melalui struktur musik dan makna yang terdapat pada larik atau garis yang ada pada RAPA’I PASEE yang kemudian diharapkan dapat diaplikasikan oleh masyrakat kedalam kehidupan sehari-hari. d.
Keempat adalah estetika, dibagi dalam seni musik dan rupa. Maka di sini hubungan musik dengan semua unsur kebudayaan tersebut erat sekali. Sebagai sebuah seni pertunjukan RAPA’I PASEE tentunya memiliki estetika tersendiri baik dalam struktur musiknya. Motif pukulan yang mengandung makna semangat dalam peperangan dan dalam menjalani kehidupan seharihari. Bunyi pukulan yang bervariasi dan suaranya besar hingga dapat terdengar dari satu desa ke desa sebelahnya. Dalam estetika penataan busananya yang dominan berwarna kuning agar menarik perhatian penontonya. Dalam hal ini unsur seni rupa juga diperhatikan kemudian dalam bagian bunyi musiknya dan makna larik atau garis yang terdapat pada RAPA’I PASEE menunjukkan bahwa RAPA’I PASEE merupakan kebudayaan masyarakat Islam yang menjunjung tinggi Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpinnya yang membawa umat manusia dari alam yang tidak ada ilmu pengetahuan hingga ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. RAPA’I PASEE sebagai bentuk penampilan yang atraktif dan dinamis sehingga sanggat menarik bagi masyarakat sebagai penonton dalam penampilannya.
5.1 Fungsi Kesenian RAPA’I PASEE Merujuk pada pendapat Marriam bahwa dalam disiplin etnomusikologi dikenal kajian penggunaan dalam fungsi (use and function) musik didalam
91
kebudayaan. Kajian ini adalah selaras dengan pendapat Marriam bahwa ada sepuluh fungsi musik dalam kebudayaan manusia dalam kebudayaannya, yaitu (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi pengkapan estetika, (3) fungsi hiburan, (4) fungsi komunikasi, (5) fungsi perlambangan, (6) fungsi reaksi jasmani, (7) fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, (8) fungsi pengesahan lembaga
sosial dalam
ucapan keagamaan,
(9)
fungsi kesinambuangan
kebudayaan, (10) fungsi pengiterasian masyarakat. Maka dalam tesis ini penulis mencoba mengamplikasikan teori ini sebagai pembahasan masalah dalam mengkaji fungsi sosial budaya kesenian RAPA’I PASEE terhadap masyarakat kesenian di kota Panton Labu. Dari sepuluh fungsi yang dirumuskan oleh Marriam, penulis hanya menemukan delapan fungsi kesenian RAPA’I PASEE terhadap masyarakat kota Panton Labu diantaranya adalah sebagai berikut :
5.1.1 Fungsi Penggungkapan Emosional Menurut Marriam, musik mempunyai daya yang besar sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa atau emosi para penyayi dan pemain yang dapat menimbulkan perasaan atau emosi kepada para pendengarnya. Rasa yang diungkapaan sangat beraneka ragam, termasuk rasa kagum pada dunia ciptaan Tuhan, rasa sedih, rasa rindu, rasa birahi (seksual) rasa tenang dan lain-lain. Kadang-kadang pengungkapan emosi tersebut perlu untuk kesehatan jiwa karena emosi negative yang tidak tersalurkan dalam kehidupan sehari-hari dapat dituangkan dalam bentuk nyanyian.
92
Dalam hal ini fungsi RAPA’I PASEE menunjukkan pengungkapan perasaan bangga terhadap sejarah dan budaya Aceh yang dimiliki oleh masyarakat Aceh, dan Islam sebagai agama dan pedoman hidupnya hingga digambarkan dalam dinamika musiknya yang bersemangat dalam menjalani hidup sehari-hari. Oleh karena itu, RAPA’I PASEE sering dijadikan sebagai pertunjukan andalan (selain tari saman) untuk dibawa dan ditampilkan pada beberapa acara pada masyarakat Aceh yang akhirnya perasaan bangga ini tidak hanya dimiliki oleh masyarakat Panton Labu saja, akan tetapi masyarakat Aceh secara umum dan bangga Indonesia secara luas.
5.1.2 Fungsi Penggungkapan Estetika Estetika atau yang dikenal dengan teori keindahan adalah salah satu cabang filsafat. Menurut Alexsander Bonganten, secara sederhana estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, keindahan tersebut merupakan keseluruhan yang tersusun secara teratur dari bagian-bagian yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain (beaty is on order of parts in their manual relations and in their relation on the whole)41. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni28. Seperti dijelaskan dalam ilmu budaya dasar bahwa meskipun awalnya suatu yang indah dinilai dari aspek teknis dalam membentuk suatu karya, namun
41 28
Sujarwa “Manusia dan Fenomena Budaya ‘’Pustaka pelajar,2005: hal.54 Alexander baungarten, “Aestethic of Philosopy”, disalur dari wiki pedia
93
perubahan pola pikir dalam masyarakat akan turut mempengaruhi penilain terhadap keindahan. Misalnya pada masa romantisme di Prancis keindahan berarti kemampuan menyajiakan sesuatu dalam keadaan apa adanya. Pada masa maraknya di Stiil di Belanda, keindahan berarti pengakuan mengkomposisikan warna dan ruang dan kemampauan mengabtrasi benda. Manusia pada umumnya menyukai sesuatu yang indah, baik terhadap keindahan alam maupun keindahan seni. Keindahan alam adalah keharmonisan yang menanjukkan dari hukum-hukum alam yang dibukakan untuk mereka yang mempunyai kemampuan untuk menerimanya. Sedangkan keindahan seni adalah keindahan hasil cipta manusia (seniman) yang memiliki bakat untuk menciptakan sesuatu yang indah. Pada umumnya manusia mempunyai perasaan keindahan. Rata-rata manusia yang melihat sesuatu yang indah akan terpesona. Namun pada hakikatnya tidak semua orang memiliki kepekaan terhadap keindahan itu, seperti keindahan tentang seni telah lama menarik perhatian para filosof mulai dari zaman Plato sampai zaman modern sekarang ini. Teori tentang keindahan muncul karena mereka menganggap bahwa seni adalah pengetahuan perspektif perasaan yang khusus. Keindahan juga telah memberikan warna tersendiri dalam sejarah peradaban manusia. Oleh karena itu, dalam tesis ini penulis akan membahas pengertian estetika sejarah perkembangan estetika, serta hubungan antara manusia dengan estetika. Konsep the beauty and the ugly berkembang lebih lanjut menyadarkan bahwa keindahan tidak selalu memiliki rumusan tertentu. Ia berkembang sesuai penerimaan masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya.
94
Karena itulah selalu dikenal dua hal dalam penilaian keindahan, yaitu the beauty, suatu karya yang memang diakui pihak memenuhi tanda keindahan dan the ugly, suatu karya yang sama sekali tidak memenuhi standar keindahan oleh masyarakat. Biasanya dinilai buruk, maupun jika dipandang dari banyak hal ternyata memperlihatkan keindahan. Sejarah penilain keindahan seharusnya sudah dinilai begitu karya seni pertama kali dibuat. Namun rumusan keindahan pertama kali yang terdokumentasi adalah oleh filsuf Plato yang menentukan keindahan dari proporsi, keharmonisan, dan kesantunan. Sementara Aristoteles menilai keindahan datang dari aturanaturan, kesimetrisan, dan keberadaan42. Sebagai sebuah bentuk seni pertunjukan, RAPA’I PASEE mempunyai nilai keindahan baik yang disajikan memalui macam-macam bunyi pukulan yang diciptakan oleh para seniman Aceh. Dalam hal ini nilai estestis sebagi ungkapan perasaan keindahan yang diungkapkan oleh masyarakat kesenian khususnya di Panton Labu melalui ritme pukulan dan variasi pukulan yang bersemangat seperti tempo marcia yang mewakili rasa semangat bagi pemain dan penikmatnya dalam penataan busana sebagi pengungkapan lambang sosial diwakili oleh perpaduan warna yang didominasi warna kuning keemasan yang melambangkan kejayaan Aceh masa lalu dalam pertunjukannya. Dalam estetika gerak tubuh pemain RAPA’I PASEE dituntut untuk bergerak secara dinamis, tidak kaku, gerak cepat dan paling menjaga kekompakan dengan tingkat konsentrasi yang tinggi sehingga struktur geraknya mempunyai makna
42
ibid
95
yang terkandung di dalamnya. Dalam estetika bentuk RAPA’I PASEE mempunyai keindahan dari bidang atau ukuran RAPA’I PASEE yang besar dimainkan secara digantung dalam satu grup terdapat 16 sampai 30 orang lebih dengan cara memukulnya dengan kekompakan dan menghasilkan suara yang bergema besar, suara yang dapat membangkitkan semangat baik dari para pemainnya dan penontonnya.
5.1.3 Fungsi Hiburan Pada setiap masyarakat di dunia, musik berfungsi sebagai alat hiburan hal ini dapat dilihat dalam setiap penampilan kesenian tentunya selalu ada unsur-unsur hiburan agar jenis kesenian tersebut dapat menarik penontonya. Demikian juga halnya dengan penampilan RAPA’I PASEE. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan masyarakat yang menontonya merasa terhibur, seperti hal dalam rapa’i tunang (Rapai yang dilombakan). Maka selain motif pukulan yang saling berbalas, penonton dapat terhibur dengan gerak pemusiknya yang enerjik dan variatif dari penampilannya, kemudian penataan kostum yang mencolok, dan intensitas musikal yang dinamik.
5.1.4 Fungsi Komunikasi Seperti yang telah dijelaskan di atas dalam teori fungsisonalisme bahwa musik mempuyai fungsi komunikasi dimana fungsi komunikasi ini meliputi empat katagori utama yaitu: (1) fungsi memberitahu, (2) fungsi mendidik, (3) membujuk khalayak mengubah pandangan, dan (4) untuk memberikan bentuk kenyataan terhadap orang lain.
96
Dalam fungsi pertama yaitu fungsi memberitahu, maka dalam hal ini bentuk RAPA’I PASEE ini sebagai mana awal terbentuknya mempunyai isi pesan yang disampaikan oleh para ulama kepada umatnya untuk menjelaskan tentang ajaran Islam sebagai sarana dahwah maka dalam setiap penampilan seni RAPA’I PASEE saat ini pun tidak jauh berbeda. RAPA’I PASEE mempunyai isi pesan dan makna di dalam penyajiannya. Adapun pesan yang disampaikan adalah berupa makna larik yang terdapat pada RAPA’I PASEE sedangkan musik RAPA’I PASEE untuk mengajak umat Islam agar selalu bersemangat dan ikut berselawat untuk kepada Nabi Muhammad SAW yang kemudian mengajak umat Islam untuk menjalankan syariat Islam, dan nasehat-nasehat dari endatu (nenek moyang) tentang kebaikan dalam hidup. Dalam fungsi kedua yaitu fungsi mendidik. Dalam permainan RAPA’I PASEE mendidik dalam disiplin, mendidik masyarakat untuk dapat menjalankan kebaikan-kebaikan dalam kehidupan seperti besikap sopan suatu dalam beretika, menjaga kebersihan dan kesehatan di lingkungannya, bersikap baik pada tetangga, tidak berbuat maksiat yang manggar aturan agama serta adat industri, dan sebagainya. Sebagai fungsi ketiga dalam komunikasi yaitu membujuk khalayak untuk mengubah pandangan, maka RAPA’I PASEE berfungsi sebagai media persuasif terhadap pola pikir dan cara pandang masyarakat terhadap situasi dan kondisi tertentu, misalnya bagi pemerintah melalui kesenian RAPA’I PASEE difungsikan sebagai media penyampain pesan dalam situasi konflik politik yang terjadi di Aceh bahwa masyarakat Aceh diharapkan dapat kembali berinteraksi dengan
97
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengurungkan niatnya untuk memisahkan diri (disintegrasi) sebagai negara Aceh merdeka. Situasi ini menimbulkan konflik politik yang berkepanjangan di Aceh selama puluhan tahun dan banyak memakan korban jiwa baik di kalangan aparat militer maupun masyarakat sipil hal ini tentunya sangat merugikan bangsa. Maka RAPA’I PASEE berfungsi sebagai media untuk membujuk masyarakat terutama yang tergabung dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk dapat kembali ke pangkuan Negara Republik Indonesia. Fungsi komunikasi keempat yaitu untuk memberikan kenyamanan terhadap orang lain. Dalam hal ini penampilan kesenian RAPA’I PASEE mampu menghibur penontonnya dalam gerakan-gerakan pemusiknya yang dinamis dan atraktif serta motif pukulan yang bervariasi menimbulkan rasa semangat membara dengan pihak lawan jika RAPA’I PASEE ini dipertandingkan (tunang). Sehingga respon penonton begitu antusias terhadap penampilan dan menjadikan rasa nyaman bagi yang menyaksikan.
5.1.5 Fungsi Perlambangan Pada semua masyarakat, musik berfungsi sebagai lambang dari hal-hal, ideide dan tingkah laku sehingga dapat diaplikasikan dalam sebuah karya yang mempunyayi makna, ide-ide yang dapat difungsikan sebagai fungsi komunikasi yang dapat ditangkap oleh penontonnya. Dalam penampilan RAPA’I PASEE, ide-ide dan gagasan tertuang dalam bentuk motif pukulan rapa’i yang dimainkan oleh penaboh (pemusik) yang memiliki simbol-simbol yang melambangkan suatu makna tertentu yang ingin
98
disampaikan oleh penyajinya. Dalam hal ini penulis menujuk pada teori semiotik. Menurut Peice seorang tokoh teori semiotik mengemukakan teori segi tiga makna atau tiangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sing), object, dan interpretant. Tanda adalah suatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan suatu yang merujuk (mepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik), dan indeks) tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yamg menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda43. Seorang tokoh teori semiotik lainnya Ferdinand de Saussure (1857-1913) mengembangkan dalam teori semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk atau wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur atau seni rupa. Sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi atau nilainilai yang terkandung di dalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut30. Bangan berikut tentang tanda (sign) yang dikemukakan oleh Ferdianand de Soussere31.
29
(Sentosa, 1993:10) dan (Pudentia,2008:323). (Culler, 1996:7) 31 Djajasudarman, 1993:23. 30
99
Dari kedua teori di atas dapat disimpulkan bahwa kaitanya pembahasan ini RAPA’I PASEE adalah mempunyai fungsi perlambangan yang diungkapkan oleh penciptanya yang disampaikan penyajian melalui bentuk motif pukulan yang melambangkan suatu gagasan-gagasan disiplin dan menimbulkan semangat rasa patriotisme. Demikian halnya dengan larik yang ada pada pinggiran kayu RAPA’I PASEE ini tedapat simbol-simbol yang melambangkan ide dan gagasan yang mempunyai makna dalam penyajiannya.
5.1.6 Fungsi Berkaitan dengan Norma Sosial Pada masyarakat Aceh kesenian RAPA’I PASEE berperan dalam membentuk masyarakat yang saling menghargai, kerja sama, disiplin dan menumbuhkan rasa semangat dalam menjalani kehidupan sehari-hari bertujuan untuk pengendalian sosial dengan mengkritik orang-orang menyeleweng dari kebiasaan-kebiasaan setempat berupa nasehat bagi kaum muda untuk menaati peraturan dalam masyarakat.
5.1.7 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan Menurut Marriam, musik adalah sebagai wahana mitos, legenda dan cerita sejarah, ikut menyambungkan sebuah masyarakat dengan masa lampaunya. Sebagai wahana pengajaran adat, musik menjamin kesinambungan dan stabilitas kebudayaan sampai generasi penerus. Dalam hal ini musik dapat diwariskan kepada generasi penerusnya sebagai upaya mempertahankan nilai-nilai yang dibagun oleh suatu pranata sosial masyarakat, kejayaan dan kemasyuran suatu bangsa. Merujuk pada pendapat tersebut, jika dikaitkan dengan sikap
100
masyarakatan Aceh pada umumnya Junus Melalatoa mempunyai pandangan sebagai berikut: masyarakat Aceh pada umumnya sangat bangga akan nilai-nilai kegemilanagan sejarah masa lalunya. Warga Aceh khususnya dan kelompok masyarakat “asal” lainnya dalam komunitas Nanggroe Aceh Darussalam umumnya memiliki kesadaran sejarah amat kuat. Mereka cenderung mengingat dan mengembangkan masalalu yang pernah gemilang, makmur, sejahtera, maju meskipun dibumbui pengalamanpengalaman pahit. Semua itu telah melahirkan tonggak-tonggak sejarah bermakna besar bagi mereka dan bahkan bagi bangsa Indonesia umumnya tonggak sejarah dan pemahaman yang amat berharga bagi mereka adalah pengetahuan dan nilai-nilai yang bertumbuh kembang setelah masuknya ajaran Islam ke Aceh. Melalui proses enkulturasi semua ini merasuk dalam terinternalisasi kedalam diri mereka yang kemudian mengalir ke dalam berbagai aspek kehidupannya yang pada akhirnya mereka merasa memilikinya sebagai unsur identitas (Melalatoa, 1997:220-221).44
Dari pandagan tersebut dapat kita simpulkan bahwa dengan berkembangnya musik RAPA’I PASEE di Panton Labu adalah suatu bukti bahwa kesenian tersebut mempunyai fungsi sebagai kesinambungan kebudayaan rapa’i yaitu musik dari Baghdad yang dibawa oleh Syeh Rifa’i yang bertujuan untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam melalui kesenian alat musik rapa’i. Pesan-pesan telah sampai secara kesinambungan melalui berbagai cara dalam dakwah melalui para sahabat nabi, keluarga nabi, para ulama dari waktu lampau (20 abad yang lalu) dan dari tanah Mekkah (Jazirah Arab) maupun meneyebar dan bertahan di bumi Serambi Mekah ini sehingga berkembang melalui bentuk kesenian RAPA’I PASEE saat ini yang telah melewati beberapa generasi-generasi baik yang
44
Melalatoa, Junus: “Aceh kembali kemasa depan”. Memahami Aceh Sebuah perspektif budaya 2005.
101
bersumber dari Jazirah Arab sampai akhiranya berkembang di daerah asalnya Samudera Pasai hingga berkembang di kota Panton Labu.
5.1.8 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat Dalam fungsi penginterasian masyrakat, kesenian RAPA’I PASEE adalah sebagai media untuk pemersatu antarkelompok masyarakat baik dalam tatanan lingkungan sosial seperti gampong-gampong maupun mukim. Dalam hal ini RAPA’I PASEE disajikan dalam bentuk-bentuk perlombaan (tunang) dengan teknik penampilan berbalas pukulan melalui isi pesan sehingga dengan adanya pertandingan RAPA’I PASEE ini masyarakat antarkelompok saling berdatangan dan bertemu kemudian melakukan permainan kesenian rapa’i ini secara bergantian dan disaksikan oleh masyarakat dari daearah masing-masing sebagai pendukungnya. Hal ini menunjukkan pengintegritas masyarakat Aceh melalui kesenian RAPA’I PASEE yang menonjolkan kekhasan budayanya. Aceh dikenal dalam sejarahnya sebagai daerah yang sering mengalami konflik sejak zaman kerajaan Sultan Iskandar Muda berkuasa hingga perebutan tahta di konsultan. Disusul dengan penjajahan kolonial Belanda dan Jepang serta dilanjutkan dengan konflik horizontal (seperti perang cumbok45) dan disintegrasi antara pemerintah Republik Indonesia (pada masa orde lama dan orde baru), hingga masa reformasi (2000-2005). Aktivitas kesenian mengalami kemunduran akibat konflik-konflik tersebut hingga munculnya tragedi kemanusiaan yaitu bencana gempa dan Tsunami yang melanda sebagai besar wilayah pesisir timur 31
Perang cumbok adalah konflik horizontal yang melibatkan sesama masyarakat Aceh antara kaum Teuku (bangsawan) dan Teungku (kalangan ulama/cendikiawan Islam) akibat adu domba penjajah Belanda.
102
(Banda Aceh) yang menimbulkan kerusakan yang sangat dahsyat. Ratusan ribu korban jiwa menjadi korban. Dunia pun turut berempati dan merokonstruksi kepada Aceh yang sedang mengalami kerusakan pada saat itu. Hal ini menjadi momentum bagi perdamaian antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan menandatanagani perjanjian damai di kota Helsinky-Finlandia pada tanggal 15 agustus 2005. Dalam mensosialisasikan perdamaian kepada rakyat Aceh, maka perlu adanya pendekatan kebudayaan sebagai media sosialisasi tersebut. Dengan hal ini seni RAPA’I PASEE khususnya rapa’i uroh yang berasal dari daerah Pase Aceh Utara sebagai media dan simbol perdamaian dalam kampanye damai yang dilakukan oleh pemerintah RI dan GAM. Masyarakat Aceh menyambut di sepanjang jalan dengan menabuh rapa’i secara massal di setiap daerah rawan konflik yang dilewati oleh tim kampanye damai tersebut. Maka di sini sangat jelas fungsi dan peranan RAPA’I PASEE sebagai local wisdom (kearifan lokal) untuk mewakili kebudayaan masyarakat Aceh khususnya kota Panton Labu.
103
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan Setelah penulis mendeskripsikan secara rinci dari bab I sampai bab V, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: seperti yang dikemukakan dalam pokok permasalahan bahwa penelitian mendeskripsikan struktur musik dan fungsi sosial budaya serta pada seni pertunjukan tradisional RAPA’I PASEE sebagai bentuk kesenian yang menggunakan alat musik tradisional Aceh yang merupakan kebudayaan masyarakat Aceh pada umumnya dan khususnya masyarakat di kota Panton Labu. Kesimpulan ini juga menjadi hasil penelitian yang penulis lakukan dalam mengkaji kesenian RAPA’I PASEE dalam kebudayaan masyarakat kota Panton labu Aceh Utara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: Struktur musik RAPA’I PASEE yang terdiri motif pukulan yang mempunyai warna suara (timbre) dum dan teng, bunyi dum terdengar lebih rendah dan bunyi teng terdengar tinggi, bentuk pukulan RAPA’I PASEE terdiri dari lagu sa yang menunjukkan awal mulainya sebuah permainan musik yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari yaitu bersiap-siap diawali dengan do’a dalam berkegiatan atau melakukan aktivitas sehari-hari, lagu dua yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari yaitu sudah mulai melakukan aktivitas sehari-hari, lagu lhee yang bermakna dalam kehidupa sehari-hari yaitu sudah mulai melakukan aktivitas sehari-hari dan adanya hambatan dan rintangan, lagu limeung yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari yaitu sudah mulai melakukan aktivitas sehari-hari
104
adanya hambatan dan rintangan dan bagaimana mencari solusinya, lagu tujoh yang bermakna dalam kehidupan sehari hari yaitu mencari solusi dan harus dapat menyelesaikannnya atau mencari jalan keluar, lagu sikureung yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari pasti ada permasalahan dan jalan keluarnya bisa dilakukan dengan bermusyawarah, dan lagu duablah yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari jika bermusyawarah harus melibatkan orang yang dianggap tua atau tengku dalam suatu desa disebut tuha peut atau tuha lapan bermakna orang yang dituakan, agar permasalahan dapat terselesaikan. Motif pukulanpukulan RAPA’I PASEE mencerminkan kebersamaan dan semangat perjuangan. RAPA’I PASEE mempunyai delapan fungsi hasil penelitian lapangan dari sepuluh fungsi yang dikemukakan oleh Merriam. Tidak semua fungsi sesuai dengan RAPA’I PASEE ini. Fungsi-fungsinya sebagai: (1) Kesenian RAPA’I PASEE mempunyai fungsi penghayatan estetis baik pada pemainnya sebagai pelaku, yang kemudian dapat menarik penonton sehingga masyarakat dapat menikmati keindahan dari gerak, musik dan keunikan dari ukuran RAPA’I PASEE yang besar digantung dan dipukul dengan tangan. (2) RAPA’I PASEE mempunyai fungsi sebagai hiburan terhadap pemain dan masyarakat penontonnya. (3) Pada fungsi komunikasi RAPA’I PASEE adalah sebagai media mengumpulkan masyarakat untuk menyampaikan pesan tentang ajaran islam dan semangat patriotisme. (4) Pada fungsi perlambangan RAPA’I PASEE mempunyai simbolsimbol dalam larik-larik yang ada pada baloh (kayu) Rapa’i yang menggambarkan pesan-pesan simbol ajaran Islam, peraturan-peraturan norma adat istiadat, dan musyawarah. (5) Pada fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, kesenian
105
RAPA’I PASEE merupakan pengungkapan nila-nilai adat dan hukum agama agar masyarakat kota Panton Labu dapat menjalankannya dalam kehidupan sosial sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah kota melalui undangundang atau qanun yang telah dibuat oleh lembaga legislatif kota Panton Labu, yang disampaikan melalui pesan-pesan syiar kesenian RAPA’I PASEE sebagai media sosialisasi kepada masyarakat. (6) Sebagai fungsi kesinambungan budaya, RAPA’I PASEE merupakan kesenian tradisional yang sudah diwariskan secara turun-temurun kepada generasinya, (7) pada fungsi pengintegrasian masyarakat, RAPA’I PASEE dapat menyatukan masyarakat kota Panton Labu yang multietnik dan multikultur melalui pertunjukan tunang (lomba) sehingga setiap masyarakat daerah yang mempunyai kelompok rapa’i tersebut. (8) Fungsi emosional apabila dilihat dari motif ritem yang enerjik, serentak, dan penuh semangat dalam tempo irama musiknya yang perlahan dari lambat, sedang dan cepat sehingga membawa emosi penonton untuk turut bersemangat dalam mengapresiasinya dan menerima pesan-pesan yang terkandung dalam permainan musiknya. Dari dimensi fungsi sosial budaya tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa motif pukulan yang terdapat pada kesenian RAPA’I PASEE mengandung nilainilai sosial budaya dan ajaran agama islam, yang menjadi dasar bagi pola hidup masyarakat kota Panton labu, yang terdiri dari berbagai multi etnis dan agama sebagai sebuah masyarakat Urban tentunya bergandengan tangan dalam membangun. Para pemain RAPA’I PASEE ini mencerminkan kebersamaan sosial budaya dalam rangka menjabarkan ajaran Islam Habluminannas (hubungan antara sesama manusia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama).
106
7.2. Saran Harapan penulis, semoga para seniman di Aceh khususnya Aceh Utara kota Panton Labu dapat bersinergi dengan pemerintah melalui Departemen Budaya dan Pariwisata dalam menggalakkan aktivitas kesenian sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat kesenian dan potensi wisata budaya di Aceh Utara kota Panton Labu. Dengan harapan kesenian tradisional ini hidup dan terus berkembang perlu lebih dikembangkan terhadap fungsi secara intens di dalam masyarakat. Untuk itu Dinas Budaya dan Pariwisata perlu melakukan dokumentasi akademis dan santifik, menyelenggrakan seminar tentang kesenian RAPA’I PASEE secara kontinu dan berkala serta menunjukkan kesenian tersebut sesuai dengan fungsinya di masyarakat atau difungsikan untuk kepentingan dunia wisata. Selain perguruan tinggi yang ada dalam mengelola ilmu seni, seperti Departemen Etnomusikologi, Universitas Sumatera Utara, sendratasik Universitas Negeri Medan, Univeristas Syah Kuala Banda Aceh, Universitas Malikulsaleh Lhokseumawe, pemerintah perlu membangun sebuah institut seni di Banda Aceh sebagai lembaga yang akan mengkaji, meneliti dan mendokumentasikan keseniakesenian yang ada di kawasan ini. Sebagai upaya melestarikan kekayaan khasanah sebi budaya Aceh dan sebagai bahan literatur bagi perkembangan kesenian Aceh selanjutnya. Dengan demikian masyarakat Aceh khusunya akan sadar budaya dan menjadi insan seutuhnya yang diridhai Allah keberadaannya di dunia ini.
107
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsini. 2003. Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. Beneditct, Ruth. 1962. Pola-Pola Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Rakyat. Bent, Ian. 1987. Analysis. New York : Macmiian Press. Budhi, Santoso, S. 1984. Upacara Tradisional Kedudukan dan Fungsinya dalam Kehidupan Masyarakat dalam Analisa Kebudayaan, Tahun IV Nomor 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Depdikbud RI. 1976. Petunjuk Pelaksanaan Penelitian dan Upacara Perkawinan. Jakarta. Pusat Sejarah dan Budaya. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Djelantik, A.A.M. 1999. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni. Dewi, Rita. Rapai Pasee pada Masyarakat Aceh di desa Lam Awe Kecamatan Syamtalira Aron: Analisis Musik Dalam Konteks Pertunjukan (Skripsi Sarjana), Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Satra, Universitas Sumatera Utara. Hartoko, Dick. 1983. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Kanisius. HasanHusein, T.A.Drs. dkk. 1984. Upacara Tradisional Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek IDKD Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Hasjmy. A. 1983. Kebudayaan Aceh dalam Sejarah : Jakarta: Penerbit Benua Aceh Dalam Angka. Hasjmy.A, 1990. Kebudayaan Aceh dalam Sejarah. Jakarta : Penebit Benua. Aceh Dalam Angka Hoesin, Muehammad. 1978. Adat Aceh. Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Http//www.Waspada_co_id Seni dan Budaya. Tubuh-Tubuh Visual yang Ornamentik. Koentjaraningrat. 1967. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. Koentjaraningrat.1980. Metode-Metode Antropologi dalam Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press. Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Djambatan. Koentjaraningrat. 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pusat Utama. Kuntowijoyo. 1975. Pembangunan Pariwisata di Daerah Istimewa Aceh. Proyek Pembinaan Kepariwisataan Sekretariatan Wilayah Daerah Istimewa Aceh. Kuntowijoyo. 1977. Pembangunan Pariwisata di Daerah Istimewa Aceh. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata Departemen Perhubungan Direktorat Jendral Pariwisata.
110
LAMPIRAN
Foto : Wawancara dengan narasumber Tgk. Razali di desa Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara
Foto : Wawancara dengan narasumber Tgk. Razali di Desa Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara
111
Foto : Nama grup Rapa’i Pasee di desa Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara
Foto : Nama grup rapa’i pasee di Desa Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara
112
Foto : Narasumber menjelaskan makna larik pada rapa’i pasee
Foto : Pertunjukan rapa’i pasee
113
Foto : Pertunjukan rapa’i pasee