ANALISIS STRUCTURE, CONDUCT DAN PERFORMANCE PADA PASAR KAKAO: KASUS DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG PROVINSI SULAWESI TENGAH
IHDIANI ABUBAKAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Structure, Conduct dan Performance Pada Pasar Kakao: Kasus di Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2016
Ihdiani Abubakar H453130111
RINGKASAN IHDIANI ABUBAKAR. Analisis Structure, Conduct dan Performance Pada Pasar Kakao: Kasus di Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM dan RATNA WINANDI ASMARANTAKA. Kakao merupakan komoditas unggulan di Kabupaten Parigi Moutong. Sebagian besar usahatani adalah perkebunan rakyat. Pada tahun 2012 produksi biji kakao Parigi Moutong mencapai 49 138 ton dengan tingkat produktivitas 0.70 ton/ha dan luas panen 69 948 ha. Hasil panen biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong dipasarkan langsung ke eksportir yang ada di Kota Palu melalui pedagang di tingkat kecamatan maupun pedagang provinsi, selanjutnya eksportir yang menjual ke negara tujuan. Harga biji kakao yang tinggi di tingkat pedagang dan eksportir belum dirasakan oleh petani kakao di Kabupaten Parigi Moutong. Hal ini ditunjukkan dari perkembangan harga biji kakao mulai tahun 2008 sampai tahun 2013 yakni Rp 21 000 sampai Rp 44 000 per kilogram sedangkan di tingkat petani hanya berkisar Rp 12 000 sampai Rp 22 000. Masalah mendasar yang dihadapi petani biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong adalah posisi tawar petani lemah dalam penentuan harga. Kondisi pasar yang tidak bersaing mempengaruhi perilaku lembaga pemasaran berupa mekanisme penentuan harga. Respon dan seberapa cepat perubahan harga tersebut dirasakan pada setiap lembaga pemasaran akan diketahui melalui analisis kinerja pasar. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan analisis struktur (structure), perilaku (conduct), dan kinerja (performance) pasar sebagai metode analisis yang tepat untuk mengetahui sistem pemasaran yang terdapat dalam pemasaran biji kakao. Penelitian ini bertujuan untuk 1) Menganalisis struktur, perilaku, dan kinerja pasar biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong, 2) Menganalisis integrasi pasar biji kakao di tingkat petani dan eksportir di Kabupaten Parigi Moutong, dan 3) Merekomendasikan kebijakan pemerintah terhadap sistem pemasaran biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan kuantitatif menggunakan Microsoft Exel 2010 dan Eviews 7. Hasil analisis menunjukkan bahwa struktur pasar (market structure) yang dihadapi di Kabupaten Parigi Moutong bersifat oligopsoni. Hal ini dikarenakan kondisi pasar di tingkat eksportir terkonsentrasi dengan tingkat persaingan kecil (CR4=70.60%). Besarnya market power yang dimiliki eksportir akan mempengaruhi perilaku lembaga pemasaran di tingkat yang lebih rendah yang ditunjukkan pada perilaku pasar (market conduct). Lembaga dan praktek fungsi pemasaran yang terlibat pada pemasaran biji kakao yaitu petani, pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang besar provinsi dan eksportir. Adapun fungsi pemasaran yang dilakukan adalah fungsi pertukaran, fisik dan fasilitas. Saluran pemasaran biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong terdiri dari empat saluran. Saluran pertama, petani menjual hasil panennya ke pedagang pengumpul kecamatan, kemudian dari pedagang pengumpul kecamatan ke pedagang besar provinsi kemudian ke
eksportir. Saluran kedua ini petani menjual hasil panen ke pedagang desa kemudian dijual ke pedagang pengumpul kecamatan selanjutnya dijual ke pedagang besar provinsi kemudian pedagang besar provinsi menjual ke eksportir. Saluran ketiga petani menjual langsung ke pedagang besar provinsi kemudian ke eksportir. Saluran ke empat petani menjual ke pedagang kecamatan kemudian pedagang kecamatan menjual ke eksportir. Besarnya ketergantungan petani terhadap pedagang pengumpul dikarenakan keterbatasan modal, akses transportasi yang masih sangat sulit mengakibatkan informasi yang diperoleh petani kurang sehingga posisi tawar petani lemah dalam proses penentuan harga. Kondisi petani yang menghadapi struktur pasar oligopsoni dan posisi tawar petani lemah dalam proses penentuan harga akan mempengaruhi kinerja pasar (market performance). Hal ini terlihat dari share harga biji kakao yang diterima petani masih rendah (<58 persen) dengan marjin yang relatif tinggi. Kondisi ini disebabkan oleh besarnya ketergantungan petani kepada pedagang pengumpul dan terbatasnya sarana dan prasarana petani. Analisis integrasi pasar antara petani kakao di Kabupaten Parigi Moutong dengan eksportir di Kota Palu dalam jangka pendek tidak terintegrasi artinya perubahan harga kakao di tingkat eksportir tidak mempengaruhi harga kakao di tingkat petani. Namun, dalam jangka panjang terintegrasi artinya perubahan harga kakao di tingkat eksportir diikuti mempengaruhi harga di tingkat petani. Hasil analisis struktur, perilaku dan kinerja pasar menunjukkan bahwa peningkatan harga di tingkat eksportir dan pedagang yang cukup besar tidak diikuti dengan peningkatan harga di tingkat petani. Kondisi ini menggambarkan bahwa sistem pemasaran biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong belum efisien dilihat dari marjin pemasaran, farmer share, dan integrasi pasar vertikal. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan posisi tawar petani yaitu pemberdayaan kelompok tani secara berkelanjutan. Selain itu peran pemerintah dalam menjamin sarana dan prasarana, perbaikan infrastruktur, pengawasan harga yang sesuai dan menginformasikan harga pasar. Kata kunci: sistem pemasaran, petani kakao, harga, posisi tawar
SUMMARY IHDIANI ABUBAKAR. An Analysis of Cocoa Marketing : Structure, Conduct, Performance (SCP) Approach. A Case of Moutong Parigi district, Central Sulawesi Province. Supervised by DEDI BUDIMAN HAKIM and RATNA WINANDI ASMARANTAKA. Cocoa is one of the major crops cultivated in the district of Parigi Moutong. Most of the cocoa farms are smallholder. In 2012, the production of cocoa beans in Parigi Moutong reached 49.138 tons with a productivity rate of 0.70 tons/ha in harvested area of 69 948 ha. The cocoa beans from this district are marketed directly to exporters in the city of Palu via district traders and provincial merchants, then they send them to the destination countries. Even though the price of cocoa beans is high at the traders and exporters, the farmers never benefit from the such a high price. For instance, its price hiked from Rp 21 000 (2008) to Rp 44 000 per kg (2013), but at the farmers’ level, the price rose insignificantly from Rp 12 000 to Rp 22 000 per kg. The fundamental problem facing cocoa farmers is their weakness position in the price determination. Noncompetitive market structure affects the behavior of marketing agencies in term of the pricing mechanism. Hence, this study was to investigate such a price relation as well as market behavious. Based on the above mentioned problems, it is necessary to analyze the structure, behavior and performance of cocoa beans market to determine its marketing system. This study aimed to 1) analyze the structure, behavior, and market performance of cocoa beans in the district of Parigi Moutong, 2) to analyze market integration of cocoa beans prices at the farmers’ level and the exporters’ level and 3) to provide policy recommendations for the government to restore the market structure hence benefiting the farmers. The result shows that the structure of cocoa beans market in Parigi Moutong district was found close to oligopsony. The competition at exporters level concentrated at a small level (CR4 = 70.60%). The market power of exporters affects the behavior of marketing agencies in the lower level. Farmers, collectors at the village, sub-district traders, wholesalers and exporters in Palu are marketing agencies involved in the cocoa beans market in Parigi Moutong district. Their marketing functions consist of selling, buying, storage, sorting and market information. There are four marketing channels of cocoa beans identified in the field. The first channel is that farmers sell their cocoa beans to traders, then they transfer it to wholesalers in Palu and then to exporters. The second channel is that farmer trade with traders in the village, and then they sell it to traders in the district wholesalers in the province, and at the end they sell to the exporters. The third channel is that farmers sell directly to wholesalers and then to the exporter. At the fourth channel, farmers sell to traders at district level, and then the traders sell it to exporters. A high dependency of farmers to intermediate traders is due to the lack of capital and difficulties of access to transportation, leading to weakening their bargaining position in the price determination.
The oligopsony market and weak of bargaining position of farmers in the price determination affect the market performance of cocoa beans. The price share at farmer levels is low (<58 percent) with relatively high margins. It is because of the reliance of farmers on intermediate traders and their limited facilities and infrastructure at farmer level. There is no integration found between market of cocoa beans at farmers in the district of Parigi Moutong and exporters in Palu city in the short term. It reveals that a change in the price of cocoa at the exporter does not affect the price of cocoa at the farm level. However, in the long-term integration means that changes in the price of cocoa exporter level are followed by the change of price at the farm level. The study clearly reveals that farmers seem no to benefit significantly from the price changes. The prices are found to more volatile at the export level than that at the farm level. It support the hypotheses that the marketing system is inefficient to convey products from farmers to exporters indicated by a high marketing margin, a low farmer’s share on the price they receive and low vertical market integration. Some efforts could improve the bargaining position of farmers. It includes sustainable empowerment of farmer groups, government guarantee for agricultural facilities and infrastructures, improvement of infrastructures, control of appropriate price and information of the market price to farmers. Keywords : marketing system, cocoa farmer, price, bargaining.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS STRUCTURE, CONDUCT DAN PERFORMANCE PADA PASAR KAKAO: KASUS DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG PROVINSI SULAWESI TENGAH
IHDIANI ABUBAKAR
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Alla Asmara, SPt MSi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Shalawat dan salam juga penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW. beserta keluarga dan para sahabat. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini ialah pemasaran, dengan judul Analisis Structure, Conduct dan Performance Pada Pasar Kakao: Kasus di Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah Segala usaha yang penulis capai sampai sejauh ini bukan semata-mata hanya karena usaha diri penulis sendiri, tidak lain karena ridho dan doa dari orang–orang terdekat yang penulis cintai. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MAEc dan Ibu Dr Ir Ratna Winandi Asmarantaka, MS selaku pembimbing atas bimbingan dan motivasinya, yang dengan ikhlas dan sabar memberikan waktu, pemikiran, arahan dan petunjuk dalam penyusunan tesis ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang melimpah atas semua kebaikan dan kearifan yang diberikan kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada: 1. Dr. Alla Asmara, S.Pt M.Si selaku penguji Luar Komisi dan Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc, selaku penguji Wakil Komisi Program Studi atas semua pertanyaan, masukan dan saran untuk perbaikan yang diberikan kepada penulis 2. Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. 3. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas segala ilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan. 4. Ditjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas kesempatan dan dukungan beasiswa BPPDN pendidikan Program Magister di IPB. 5. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah, Badan Pusat Stasistik Kabupaten Parigi Moutong, Dinas Perkebunan Kabupaten Parigi Moutong, Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Tengah, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Provinsi Sulawesi Tengah serta Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO) Provinsi Sulawesi Tengah yang telah memberikan data penunjang terhadap penelitian ini. 6. Bapak Johan, Ibu Ina, Bapak Widi, Ibu Kokom, Bapak Erwin, Bapak Khusein, selaku staf administrasi di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, yang telah banyak membantu selama penulis menempuh pendidikan. 7. Seluruh anggota keluarga penulis, khususnya kedua orang tua penulis Ayahanda H. Abubakar S.Ag dan Ibunda Hj. Nursam S.Pd terima kasih atas doa dan dorongan moril serta semangat yang diberikan selama menempuh studi. Adik-adikku Ahmad Shirat Abubakar, S.St dan Ainal Mustakim Abubakar yang telah memberikan semangat dan dorongan selama kuliah. 8. Sahabat-sahabat tercinta, Irwansyah Simin, Siti Yuliati Chansa Arfah, Sartika Sari Utami, Dewi Cahyanti, Devi Agustia, Indah Nurhidayati atas bantuan dan dukungan selama ini.
9.
Teman-teman seperjuangan di Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) angkatan 2013 atas dukungan selama menempuh studi. 10. Teman-Teman Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Sulawesi Tengah (HIMPAST) atas bantuan dan kerjasama selama menempuh studi. 11. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu terlaksananya penelitian dan penyusuan tesis ini. Semoga Allah SWT yang Maha Rahman dan Maha Rahim memberikan balasan yang setimpal atas segala kebaikan kehadiratnya-Nya kelak. Akhir kata semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Maret 2016 Ihdiani Abubakar
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
xii xii xiii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 4 7 7 7
2 TINJAUAN PUSTAKA Pemasaran Biji Kakao Analisis Sistem Pemasaran dengan Pendekatan Structure, Conduct, Performance SCP Integrasi Pasar Komoditas Pertanian
9 9
3 KERANGKA PEMIKIRAN Teori Pemasaran Konsep Saluran Pemasaran Konsep Efisiensi Pemasaran Konsep Struktur, Perilaku dan Kinerja serta Perkembangannya Integrasi Pasar Vertikal Error Correction Model (ECM) Kerangka Pemikiran Opersional
14 14 15 15 16 25 26 27
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengambilan Sampel Metode Pengolahan dan Analisis Data
29 29 29 29 30
5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN RESPONDEN KAKAO Kondisi Umum Kabupaten Parigi Moutong Karakteristik Penduduk di Kecamatan Ampibabo Karakteristik Lembaga Pemasaran Kakao di Kabupaten Parigi Moutong Budidaya Kakao di Kabupaten Parigi Moutong Karakteristik Responden Kakao di Kabupaten Parigi Moutong 6 ANALISIS STRUCTURE, CONDUCT, PERFORMANCE (SCP) PASAR BIJI KAKAO Analisis Struktur Pasar (Market Structure) Analisis Perilaku Pasar (Market Conduct)
10 11
35 35 37 38 39 40
43 43 46
Analisis Kinerja Pasar (Market Performance) Integrasi Pasar Vertikal Implikasi Kebijakan terhadap Sistem Pemasaran Biji Kakao di Kabupaten Parigi Moutong
55 58 62
6. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran
64 64 65
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
66 71 76
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Luas areal, produksi dan produktivitas perkebunan kakao Indonesia Tahun 2000-2013 Produksi kakao dunia di berbagai negara (ribu ton) Luas areal dan produksi dan produktivitas perkebunan kakao Sulawesi Tengah Ekspor biji kakao Sulawesi Tengah Luas areal dan produksi dan produktivitas kakao berdasarkan kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah Indikator pada analisis pemasaran dengan pendekatan SCP Lima jenis struktur pasar berdasarkan jumlah perusahaan dan sifat produk dalam sistem pemasaran Komposisi jumlah penduduk menurut mata pencaharian Kecamatan Ampibabo Komposisi Petani Kakao Menurut Tingkat Pendidikan di Kecamatan Ampibabo Komposisi tingkat pendidikan para pedagang dan eksportir Identitas responden petani kakao di Kabupaten Parigi Moutong Pangsa pasar dan konsentrasi pasar 9 perusahaan biji kakao di Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2013 Nilai MES (Minimum Efficiency Scale) perusahaan biji kakao di Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2009-2013 Proses penentuan harga biji kakao pada setiap lembaga pemasaran Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan petani di Kabupaten Parigi Moutong, 2015 Analisis marjin pemasaran biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong Farmer share pada saluran pemasaran di Kabupaten Parigi Moutong Hasil uji stasioneritas ADF (Akar Unit) pada data seri harga Di Kabupaten Parigi Moutong Hasil uji kointegrasi di Kabupaten Parigi Moutong Hasil regresi ECM di Kabupaten Parigi Moutong Estimasil jangka pendek di Kabupaten Parigi Moutong Estimasi jangka panjang di Kabupaten Parigi Moutong
1 2 3 3 5 17 20 37 38 38 42 44 45 49 54 57 58 59 60 61 61 62
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7
Pola pergerakan harga biji kakao di tingkat petani dan eksportir, 2014 The Structure-Conduct-Performance Paradigm Countervaling power Marjin pemasaran Bagan alur kerangka pemikiran operasional Distribusi volume penjualan kakao di Kabupaten Parigi Moutong 2015 Saluran pemasaran biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong
6 18 20 24 28 52 53
DAFTAR LAMPIRAN 1
Hasil output analisis integrasi pasar vertikal
73
1
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Kakao merupakan salah satu komoditi unggulan perkebunan yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Peran tersebut terwujud dalam bentuk penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara, sumbangan devisa negara pada Tahun 2013 melalui ekspor komoditas kakao sebesar 794.8 juta USD. Tujuan ekspor biji kakao Indonesia antara lain Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, Brasil dan Perancis. Pangsa pasar terbesar biji kakao Indonesia adalah Amerika Serikat sebesar 21 persen, Malaysia sebesar 47 persen serta Singapura sebesar 12 persen (Ditjenbun 2014) Pada Tahun 2013, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 1 237 119 kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ketiga sub sektor perkebunan setelah karet dan kelapa sawit dengan nilai sebesar 1.05 miliar USD (BPS 2014). Mengingat besarnya potensi komoditas ini dalam perekonomian, dengan demikian pengembangan komoditas ini terus dilakukan. Dalam 15 tahun terakhir luas perkebunan kakao meningkat pesat dari 749 917 hektar pada Tahun 2000 menjadi 1 736 403 hektar pada Tahun 2013 dan produksi meningkat dari 421 142 ton pada tahun 2000 menjadi 938 843 ton pada tahun 2013 (Ditjenbun 2014). Perkebunan kakao Indonesia mengalami perkembangan pesat sejak awal tahun 2000-an, dimana sebagian besar (87.4 persen) merupakan perkebunan rakyat dan selebihnya 6 persen perkebunan besar negara serta 6.7 persen perkebunan besar swasta (BPS 2014). Tabel 1
Luas areal dan produksi dan produktivitas perkebunan kakao Indonesia Tahun 2000-2013
Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata
Luas Areal (ha) 749 917 821 449 914 051 964 223 1 090 960 1 167 064 1 320 820 1 442 045 1 563 423 1 587 136 1 650 621 1 732 641 1 732 954 1 736 403 1 319 550
Sumber: BPS (2014)
Produksi (ton) 421 142 536 804 571 155 698 816 691 704 748 828 769 386 779 186 796 982 803 583 837 918 712 231 936 266 938 843 731 631
Produktivitas (ton/ha) 0.56 0.65 0.62 0.72 0.63 0.64 0.58 0.54 0.50 0.50 0.50 0.41 0.54 0.54 0.56
2
Berdasarkan data ICCO 2014 (International Cocoa Organization) yang terdapat pada Tabel 2. Indonesia merupakan produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah negara Pantai Gading dan Ghana. Tiga besar negara penghasil biji kakao pada 2011 hingga tahun 2013 sebagai berikut; Produksi biji kakao dunia pada musim panen 2012 mengalami penurunan 3.97 persen jika dibandingkan dengan produksi biji kakao dunia tahun 2013. Penurunan produksi biji kakao dunia terutama disebabkan oleh menurunnya produksi biji kakao dari dua negara pengasil utama biji kakao yaitu Ghana dan Pantai Gading yang disebabkan oleh kemarau panjang yang melanda kedua negara tersebut. Tabel 2 Produksi kakao dunia di berbagai negara (ribu ton) 2011/2012 2012/2013 Forecast 2013/2014 AFRIKA 2919 2823 2981 Kamerun 207 225 205 Pantai Gading 1486 1449 1610 Ghana 879 835 850 Nigeria 235 225 230 Lainnya 113 89 86 AMERIKA 655 622 676 Brazil 220 185 210 Ekuador 198 192 210 Lainnya 236 245 256 ASIA DAN OCEANIA 511 484 505 Indonesia 440 410 425 Papua Nugini 39 37 40 Lainnya 32 37 40 TOTAL DUNIA 4085 3929 4162 Sumber: ICCO (2014)
Kakao adalah salah satu komoditi yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian Sulawesi Tengah, tahun 2013 PDRB Sulawesi tengah pada sub sektor perkebunan sebesar Rp 21 052 389 ton/ha. Kakao merupakan tanaman yang dapat tumbuh dengan baik hampir di seluruh wilayah Sulawesi Tengah. Di Sulawesi Tengah tanaman kakao banyak ditemui di Kabupaten Donggala, Parigi Moutong, Poso, Marowali, Tojo Una-Una, Toli-Toli, Banggai dan Banggai kepulauan. Kegiatan produksi masih pada tingkat pengeringan secara tradisional. Untuk sarana pendukung perkebunan kakao cukup tersedia, yakni pelabuhan interinsuler di daerah areal perkebunan. Selain itu jalan darat ke sentra-sentra produksi biji kakao di Sulawesi Tengah juga memadai (Yantu 2008). Berdasarkan data pada Tabel 3. luas lahan kakao di Sulawesi Tengah dari tahun ke tahun berfluktuatif. Pada tahun 2009 luas lahan yang digunakan untuk pengusahaan perkebunan kakao di Sulawesi Tengah 224 113 ha dan pada tahun 2012 mengalami peningkatan sebesar 295 874 ha. Tetapi pada tahun 2013 luas lahan perkebunan kakao menurun menjadi 284 125 ha. Dari sisi produksi dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2009 produksi biji kakao Sulawesi Tengah 137 651 ton dan menjadi 195 846 ton pada tahun 2013 (BPS Provinsi Sulawesi Tengah 2014 ).
3
Tabel 3 Luas areal, produksi dan produktivitas perkebunan kakao Sulawesi Tengah. Tahun Produksi (ton) Luas Lahan (ha) Produktivitas (ton/ha) 2009 137 651 224 113 0.61 2010 186 875 224 471 0.83 2011 168 859 195 725 0.86 2012 181 523 295 874 0.61 2013 195 846 284 124 0.68 Sumber: BPS Provinsi Sulawesi Tengah (2014)
Tabel 4 menyajikan data ekspor kakao Sulawesi Tengah ke berbagai negara, terlihat bahwa volume ekspor biji kakao Sulawesi Tengah cenderung menurun. Tahun 2009 sampai 2010 volume ekspor biji kakao Sulawesi Tengah ke berbagai negara meningkat dikarenakan harga dunia pada tahun tersebut meningkat, sedangkan pada tahun 2010 sampai 2013 volume ekspor biji kakao Sulawesi Tengah ke berbagai negara mengalami penurunan dikarenakan rata-rata harga kakao dunia setiap tahunnya menurun. Tabel 4 Ekspor biji kakao Sulawesi Tengah Tahun Volume Nilai (FOB) (ton) (USD) 2009 105 504 27 453 345 2010 115 599 29 737 480 2011 50 711 12 667 422 2012 34 561 8 230 000 2013 17 454 4 620 000
Harga (USD/ton) 34 664.91 37 595.85 35 760.56 28 702.43 28 268.9
Sumber: ASKINDO (2015)
Menurut Baye (2010), perubahan harga dapat ditentukan oleh struktur pasar, perilaku pasar, dan akan tercermin pada kinerja suatu pasar. Struktur pasar akan menggambarkan tipe atau jenis pasar yang dihadapi, perilaku pasar menekankan kepada aktivitas-aktivitas bisnis yang dilakukan oleh pelaku pemasaran, interaksi antara struktur dan perilaku pasar akan tercermin pada kinerja pasar yang ditunjukkan oleh tingkat efisiensi dan keuntungan yang diperoleh oleh lembaga pemasaran. Meskipun peran komoditas biji kakao cukup berarti dalam perekonomian Provinsi Sulawesi Tengah tetapi peranannya terhadap peningkatan kesejahteraan petani belum terlalu dirasakan oleh petani. Masalah mendasar yang dihadapi petani kakao di Provinsi Sulawesi Tengah adalah posisi tawar (bergaining position) petani lemah dalam proses penentuan harga karena kurangnya akses informasi harga, keterikatan petani dengan pedagang pengumpul dan belum berfungsinya pasar lelang dengan baik. Keterbatasan sarana dan prasarana, akses permodalan serta akses terhadap informasi pasar menyebabkan petani tidak bisa mengontrol perkembangan harga secara berkelanjutan dan transmisi harga menjadi tidak seimbang (imbalance transmission) (Kizito 2011). Menurut Vavra dan Goodwin (2005), salah satu penyebab transmisi harga yang tidak seimbang antar pasar yang terhubung secara vertikal (dalam satu rantai pemasaran) adalah adanya perilaku antara para pedagang, khususnya apabila pedagang perantara tersebut berada pada pasar yang terkonsentrasi.
4
Umumnya pedagang perantara akan berusaha mempertahankan tingkat keuntungannya dan tidak akan menaikkan atau menurunkan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya. Sehingga pedagang perantara akan lebih cepat bereaksi terhadap kenaikan harga dibandingkan dengan penurunan harga, kondisi inilah yang menyebabkan competition restraint pada jalur distribusi dan transmisi harga yang tidak sempurna antara level produsen dan konsumen. Pada akhirnya pasar petani dan konsumen menjadi tidak terintegrasi. Hal yang sama dikemukakan oleh Meyer dan Taubadel (2004), disebutkan bahwa tidak terjadinya transmisi harga antara dua level pasar yang berbeda dalam satu rantai pemasaran disebabkan oleh pasar yang tidak kompetitif. Bahkan untuk komoditas pertanian secara jelas disebutkan bahwa persaingan yang tidak sempurna di rantai pemasaran (marketing chain) membuka ruang bagi middleman untuk melakukan penyalahgunaan kekuatan pasar yang dimilikinya. Untuk melihat dugaan penyalahgunaan market power yang dilakukan oleh pedagang perantara biji kakao maka akan digunakan pendekatan teori integrasi pasar secara vertikal. Berdasarkan teori tersebut, dua pasar yang saling berhubungan (melakukan transaksi) akan terintegrasi secara sempurna dan transmisi harga terjadi secara simetris. Apabila transmisi harga antar kedua pasar tersebut tidak simetris maka dapat menjadi indikasi penyalahgunaan market power yang dilakukan oleh pelaku pemasaran. Untuk menunjang hasil analisa stastistik agar lebih menyeluruh, dalam penelitian ini akan dipaparkan mengenai struktur, perilaku, kinerja dan integrasi disepanjang jalur pemasaran biji kakao.
Perumusan Masalah Pengembagan kakao di Sulawesi tengah saat ini dilakukan di 11 kabupaten/kota yang memiliki lahan perkebunan kakao. Daerah yang kini sedang dilakukan pengembangan kakao secara besar-besaran adalah Donggala, Parigi Moutong, Poso, Morowali, Sigi, Morowali, Tojo Una-una, Toli-toli, Banggai dan Banggai kepulauan. Ini berarti bahwa potensi kakao Sulawesi Tengah terbuka lebar dan sangat tepat seiring dengan adanya kebijakan pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah untuk menjadikan Sulawesi Tengah sebagai sentra produksi kakao dunia. Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) merupakan kabupaten pemasok terbesar kakao biji Sulawesi Tengah. Tahun 2012 produksi kakao biji Parimo mencapai 49.138 ton dengan tingkat produktivitas 0,70 ton/ha dan luas panen 69.948 ha (BPS, 2011). Produksi dan luas panen kakao di Parimo sangat fluktuatif. Produksi tertinggi dicapai pada enam tahun terakhir adalah pada Tahun 2008, dimana terjadi kenaikan produksi sebesar 6,6 persen dari tahun sebelumnya yaitu pada Tahun 2007. Kecenderungan fluktuasi tersebut dikarenakan organisme pengganggu tanaman dan faktor iklim serta cuaca yang tidak menentu.
5
Luas areal dan produksi dan produktivitas kakao berdasarkan kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2013 Kabupaten/Kota Produksi Luas Lahan Produktivitas (ton) (ha) (ton/ha) Banggai Kepulauan 3 063 7 009 0.44 Banggai 19 980 46 467 0.43 Morowali 5 120 6 116 0.84 Poso 34 532 40 689 0.85 Donggala 22 546 30 394 0.74 Toli Toli 9 869 21 263 0.46 Buol 7 000 11 578 4.44 Parigi Moutong 69 982 67 711 1.03 Tojo Una Una 8 308 13 856 0.60 Sigi 19 956 27 645 0.72 Banggai Laut 627 1 071 0.59 Morowali Utara 7 394 15 150 0.49 Palu 108 496 0.22
Tabel 5
Sumber : Sulawesi Tengah dalam angka ( 2014)
Potensi pengembangan kakao di Kabupaten Parigi Moutong cukup besar, terdapat banyak pedagang dengan kepentingannya masing-masing ikut berperan dalam pemasaran biji kakao. Hal ini akan mempengaruhi proeses pemasarannya karena mekanisme pembentukan harga biji kakao di pasar akan berdampak langsung pada perilaku partisipan yang terlibat dalam perdagangan komoditas ini. Eksportir, pedagang lokal, pedagang pengumpul dan petani sendiri, adalah pihak yang akan terkena dampak harga. Seberapa besar dampak harga yang dihadapi oleh lembaga pemasaran biji kakao sangat tergantung pada kekuatan masingmasing pelaku yang terlibat dalam rantai pemasaran biji kakao itu sendiri. Keadaan pasar biji kakao seperti yang digambarkan di atas berpotensi menimbulkan masalah dan bisa merugikan petani sebagai produsen. Pola pemasaran yang terjadi akan cenderung tidak terorganisir karena melibatkan pelaku pemasaran yang banyak dengan kepentingan yang berbeda-beda. Pola pemasaran biji kakao yang ada sekarang adalah melalui pedagang pengumpul, pedagang besar dan eksportir, merupakan pola pemasaran biji kakao yang secara tradisional masih tetap bertahan sampai saat ini. Daya tawar petani juga cenderung rendah karena belum adanya koordinasi dan kerjasama antar petani, persaingan pasar yang semakin kompetitif, lokasi konsumen akhir biji kakao yang jauh dari sentra produksi (di luar negeri) dan belum adanya rantai distribusi yang jelas dari petani sampai ke industri berbahan baku biji kakao, ditambah lagi dengan masalah produksi dan mutu seperti yang telah diuraikan di atas. Perilaku harga akan cenderung didominasi oleh kepentingan pedagang besar dan eksportir. Sistem pemasaran biji kakao tidak terlepas dari penentuan harga. Harga yang ditentukan oleh pedagang pengumpul sebenarnya sangat bergantung pada harga di tingkat eksportir dan pasar dunia. Harga tersebut terbentuk karena permintaan dan penawaran biji kakao oleh negara konsumen. Fluktuasi harga di pasar dunia seharusnya juga berpengaruh terhadap harga jual biji kakao di tingkat petani. Namun tingginya harga jual biji kakao oleh eksportir belum sepenuhnya
6
dirasakan oleh petani. Hal ini ditunjukkan dari pergerakan harga biji kakao selama bulan Mei sampai November 2014 harga di tingkat eksportir mengalami peningkatan yang cukup besar bila dibandingkan dengan harga biji kakao ditingkat petani.
H a r g a
40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 Mei
Juni
Juli
Agu
Sep
Okt
Nov
Gambar 1 Pola pergerakan harga biji kakao di tingkat petani dan eksportir, 2014 Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Tengah.
Perkembangan komoditas kakao saat ini terkendala oleh masalah pemasaran. Masalah pemasaran tersebut terkait dengan aspek-aspek kelembagaan, jaringan pemasaran dan gap komunikasi antara petani kakao dan pedagang serta ksportir. Dimana, petani berhadapan dengan masalah lemahnya posisi petani dalam menetukan harga dari hasil produksi. Perilaku pasar yang demikian dapat menyebabkan kondisi pemasaran mengalami masalah. Harga pembelian biji kakao secara searah disebabkan oleh sistem informasi yang asimetri. Sehingga menyebabkan kondisi yang tidak kondusif untuk mendukung pengembangan kakao. Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa masalah yang ada pada proses pemasaran akan sangat berpengaruh terhadap pengembangan komoditas kakao. Oleh sebab itu, menurut Yantu (2011) permasalahan yang terjadi pada pengembangan komoditas kakao, khususnya dalam pemasaran biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong adalah: (1) lemahnya kelembagaan kelompok petani kakao, (2) kualitas biji kakao masih rendah, (3) fluktuasi harga yang masih tinggi, (4) ketersediaan bibit yang berkualitas masih kurang. Dengan demikian permasalahan utama yang penting untuk diketahui adalah sistem pemasaran komoditas kakao yang dilakukan oleh petani serta bagaimana kebijakan dari sistem pemasaran biji kakao yang ada di Kabupaten Parigi Moutong. Salah satu upaya mengatasi permasalahan di dalam sistem pemasaran yaitu dengan menganalisis sistem pemasaran menggunakan pendekatan struktur pasar (market structure), perilaku pasar (market conduct) dan kinerja pasar (market performance) (SCP) (Bosena et al.2011; Funke et al. 2012). Secara teoritik harga biji kakao ditentukan oleh struktur pasar, perilaku lembaga pemasaran dan kinerja pasar biji kakao tersebut. Struktur pasar yang terbentuk akan menentukan sistem penetapan harga biji kakao bila dilihat dari banyaknya lembaga yang terlibat dan posisi lembaga tersebut pada pasar. Jika produsen memiliki market power yang cukup besar maka dengan mudah dapat
7
mempengaruhi harga jual biji kakao di pasar, hal ini terkait juga dengan jumlah pedagang yang terlibat pada proses penjualan, apabila hanya terdapat sedikit pedagang pengumpul atau eksportir maka petani cenderung tidak memiliki pilihan menjual biji kakao yang diproduksi apalagi harga yang ditetapkan relatif sama. Dalam proses penentuan harga biji kakao juga tidak terlepas dari keterkaitan antar lembaga pemasaran didalamnya. Keterkaitan tersebut berkaitan dengan fungsifungsi yang dilakukan oleh lembaga pemasaran dan kerjasama yang terjalin antar lembaga pemasaran. Adapun masalah yang dikaji dalam penelitian ini ialah : 1. Bagaimana struktur, perilaku dan kinerja pasar biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong? 2. Bagaimana integrasi pasar biji kakao di tingkat petani Kabupaten Parigi Moutong dan eksportir di Kota Palu? 3. Bagaimana kebijakan terhadap sistem pemasaran biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong?
Tujuan Penelitian Berdasarkan pemaparan dari latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Menganalisis struktur, perilaku, dan kinerja pasar biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong. 2. Menganalisis integrasi pasar biji kakao di tingkat petani Kabupaten Parigi dan eksportir di Kota Palu 3. Merekomendasikan kebijakan pemerintah terhadap sistem pemasaran biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan yaitu: 1. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi penelitian selanjutnya terutama penelitian tentang komoditas kakao. 2. Bagi masyarakat ataupun pembaca, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai rujukan serta sebagai bahan informasi bagi pembaca mengenai sistem pemasaran biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong. 3. Bagi pengambil kebijakan, diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan terkait pemasaran biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong.
8
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan pada pemasaran biji kakao yang dihasilkan melalui perkebunan biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah. Unit analisis yang digunakan yaitu lembaga yang terlibat pada pemasaran biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong meliputi pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang besar provinsi dan perusahaan eksportir biji kakao. Penelitian ini mencakup analisis struktur pasar (pangsa pasar, konsentrasi pasar dan hambatan masuk pasar), perilaku pasar (sistem penentuan harga, praktek penjualan dan pembelian, kerjasama lembaga pemasaran) dan kinerja pasar (margin pemasaran, farmer share) dan integrasi pasar vertikal antara petani dan eksportir.
9
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pemasaran Biji Kakao Pemasaran atau tataniaga merupakan aktivitas atau kegiatan dalam mengalirkan produk mulai dari petani sampai ke konsumen akhir. Sistem pemasaran merupakan suatu kegiatan yang produktif, sangat kompleks, sesuai dengan ketetapan, dan menimbulkan biaya (Downey et al, 1981). Efisiensi suatu sistem pemasaran sangat diperlukan bagi kesejahteraan lembaga pemasaran yang terkait didalamnya. Permasalahan utama yang sering dihadapi dalam kegiatan pemasaran biji kakao adalah harga di tingkat petani yang rendah meskipun harga di pasar domestik dan pasar internasional cukup tinggi selain itu posisi tawar petani yang lemah terkait dengan informasi yang diterima dan pengetahuan petani tersebut. Beberapa studi yang dilakukan memperlihatkan bahwa pemasaran biji kakao belum dapat diatasi dengan baik. Yantu et al (2011) mengemukakan bahwa Posisi tawar petani kakao lemah dan cenderung konstan, karena struktur pasar kakao biji di tingkat petani ialah oligopsoni di mana tidak ada spot pasar, sehingga petani terlibat dalam kelembagaan prinsipal–agen dengan berperilaku aji mumpung (pasrah dan menghindari risiko-risk averter) dalam menghadapi pedagang pengumpul di tingkat desa dan pedagang desa yang berperilaku double rent seeking. Oleh karena itu, alternatif akses kredit menjadi penting agar petani bisa keluar dari kerja sama kelembagaan tersebut. Pemasaran petani kakao di Desa Peleru Kecamatan Mori Utara Kabupaten Morowali, mendapatkan hasil Sebagian besar (93 persen) petani responden menjual langsung kakaonya ke rumah pembeli sedangkan hanya 7 persen saja yang didatangi oleh pembeli, sebanyak 57 persen petani responden menjual kakaonya kepada kelompok tani, 37 persen menjual ke pengumpul biasa atau tengkulak, dan sisanya menjual langsung ke pedagang besar. Ditemukan juga fakta bahwa penjualan kakao kepada kelompok tani sama dengan penjualan kakao pada pengumpul lokal karena pengumpul tersebut adalah anggota bahkan ketua dari kelompok tani tersebut. Semua biji kakao kering Kabupaten Morowali dijual ke luar daerah seperti ke pedagang besar antar kabupaten kemudian ke eksportir antar pulau di Kota Palu dan hanya sebagian kecil yang di jual ke industri pengolahan di Sulawesi Selatan. Selisih harga pembelian kakao pada tingkat pembeli lokal dan pengumpul antar Kabupaten adalah Rp. 2.000/kg. Selain itu, di tingkat kabupaten bahkan Propinsi Sulawesi Tengah belum ada nilai tambah seperti pengolahan biji kakao menjadi coklat bubuk, coklat cair dan lainlain. Oleh karena itu mungkin perlu dipertimbangkan penyediaan sektor industri pengolahan (pabrik kakao) minimal di tingkat Propinsi Sulawesi Tengah, agar kakao yang dijual atau diekspor bukan lagi berupa bahan mentah (biji kakao) melainkan barang setengah jadi. Dengan adanya nilai tambah dan sektor ndustri pengolahan diharapkan dapat meningkatkan harga kakao di tingkat petani. Arinong dan Kadir (2008) mengemukakan bahwa sistem pemasaran kakao selama ini yang dilakukan petani sangat tidak menguntungkan. Hal ini terjadi karena petani kurang mendapatkan informasi mengenai kualitas biji kakao yang baik, harga yang selalu berubah-ubah serta penentuan harga yang ditentukan oleh
10
pedagang pengumpul kecil, pedagang pengumpul menengah maupun pedagang pengumpul besar. Untuk mengetahui analisis pemasaran kakao petani, pedagang pengumpul menggunakan strategi tertentu untuk memperoleh keuntungan yang lebih tinggi. Harga yang diterima petani sampai ke tangan konsumen masingmasing saluran tidak sama. semakin banyak pedagang pada saluran/lembaga pemasaran tertentu, maka semakin banyak pula kendala yang dihadapi petani, artinya harga yang diterima petani semakin kecil. Dalam hal ini petani bukan penentu harga, tetapi penerima harga. Kendala harga ini biasanya terjadi pada saat petani membutuhkan biaya hidup yang mendesak, kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan biaya sekolah. Seperti yang dikatakan oleh Kotler (1993), yaitu para pembeli bisnis memberi perhatian yang besar pada faktor-faktor ekonomi yang sedang berlansung atau yang di perkirakan, seperti level produksi, pengeluaran konsumen, dan tingkat suku bunga.
Analisis Sistem Pemasaran dengan Pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP)
Rosiana (2012) meneliti sistem pemasaran gula tebu (cane sugar) dengan pendekatan struktur, perilaku dan kinerja. Hasil analisis menunjukkan bahwa struktur pasar industri gula di Provinsi Lampung cenderung oligopoli. Struktur pasar yang terbentuk akan berpengaruh pada perilaku pasar (market conduct) gula tebu PTPN VII UU BUMA Pasar gula di Provinsi Lampung menghadapi pasar yang terkonsentrasi dengan tingkat persaingan yang kecil. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Yuprin (2009) bahwa struktur pasar di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten di Kabupaten Kapuas bersifat oligopsoni, konsentrasi sedang yang menunjukkan bahwa pedagang memiliki tingkat kekuasaan yang sedang dalam mempengaruhi pasar. Sejalan dengan Rosiana (2012) dan Yuprin (2009), Amalia (2013) juga mendapatkan hasil bahwa struktur pasar (market structure) komoditi karet rakyat di Provinsi Jambi menghadapi struktur pasar oligopoli di tingkat pabrik crumb rubber sehingga petani menghadapi struktur pasar oligopsoni. Keterbatasan akses permodalan, informasi harga dan alternatif saluran pemasaran menyebabkan posisi tawar petani lemah dalam proses penentuan harga. Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses pembentukan harga, petani cenderung sebagai penerima harga (price taker). Dapat disimpulkan bahwa perbedaan pergerakan harga karet ditingkat petani dengan tingkat pabrik crumb rubber sebagai eksportir dipengaruhi oleh adanya lembaga dominan yang menentukan harga yang tercermin dari struktur pasar karet yang terbentuk, perilaku pemasaran yang terjadi yaitu sebagian besar penentuan harga ditentukan sepihak oleh lembaga pemasaran yang lebih tinggi yakni pedagang pengumpul maupun pabrik. Putri (2013), pemasaran kopi arabika gayo telah menunjukkan bahwa pola pergerakan harga kopi ditingkat petani tidak megikuti pergerakan kopi ditingkat eksportir. Kondisi ini menggambarkan bahwa sistem pemasaran kopi arabika gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah belum efisien. Hal ini ditujukkan dengan struktur pasar yang bersifat oligopsoni, besarmya ketergantungan petani dengan kolektor disebabkan keterbatasan petani dalam akses permodalan,
11
informasi pasar dam alternatif saluran pemasaran. Analisis integrasi pasar menunjukkan bahwa pasar kopi di tingkat petani tidak terintegrasi dengan pasar kopi arabika gayo ditingkat kolektor, koperasi dan eksportir. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek maupun jangka panjang petani cenderung sebagai penerima harga. Penerapan konsep struktur, perilaku dan kinerja dalam pemasaran juga digunakan oleh Wahyuningsih (2013) yang meneliti sistem pemasaran rumput laut di Kepulauan Tanekke Kabupaten Takkalar Provinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil analisis empat pedagang pengumpul terbesar di Kepulauan Tanekke, diperoleh nilai CR4 yang cukup tinggi yaitu 52 persen. Artinya struktur pasar rumput laut didominasi oleh empat pedagang pengumpul terbesar di Kepulauan Tanekke. Maka pasar rumput laut di Kepulauan Tanekke bersifat oligopsoni. Berdasarkan hasil analisis nilai MES pada tingkat pedagang pengumpul sebesar 26.04 persen. Hal ini menunjukkan bahwa hambatan masuk pasar rumput laut di di Kepulauan Tanekke cukup besar, sehingga tidak mudah bagi pedagang pengumpul baru untuk masuk ke dalam pasar tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat empat macam saluran pemasaran.
Intergrasi Pasar Komoditas Pertanian Adiyoga (2006) dalam penelitiannya membahas analisis integrasi pasar kentang di Indonesia dengan mengggunakan analisis korelasi dan analisis kointegrasi. Hasilnya menyatakan koefisien korelasi bukan indikator yang konsisten atau tegas untuk menentukan integrasi pasar. Korelasi bivariat yang tinggi antara dua pasar yang tidak melakukan perdagangan satu sama lain (tersegregasi) masih tetap dimungkinkan, jika harga-harga di setiap pasar berkorelasi tinggi melalui hubungan harga dan perdagangan dengan suatu pasar destinasi gabungan (pasar ketiga). Hasil penelitian ini menyarankan agar pendekatan korelasi sebagai alat diagnosa integrasi pasar, sebaiknya digunakan secara hati-hati karena berbagai bukti kelemahan yang melekat pada pendekatan tersebut. Penggunaan analisis kointegrasi terhadap data serial harga harian, mingguan dan bulanan secara konsisten mengindikasikan bahwa pasar kentang di Jakarta, Bandung, Sumatera Utara dan Singapura terintegrasi. Kointegrasi dalam hal ini merupakan implikasi statistik dari adanya hubungan jangka panjang antara peubah-peubah ekonomi (harga). Hubungan jangka panjang tersebut mengandung arti bahwa peubah harga bergerak bersamaan sejalan dengan waktu. Pasar kentang yang terintegrasi seperti ini akan banyak membantu produsen dan konsumen, karena rantai pasokan yang ada dapat mentransmisikan sinyal harga secara benar. Selanjutnya Fitrianti (2009) Menganalisis hubungan integrasi dan kointegrasi harga karet alam antara pasar fisik di Indonesia dengan pasar berjangka karet alam dunia, penelitian ini mendapatkan hasil terdapat hubungan integrasi spasial dan kointegrasi antara pasar karet alam di pasar fisik Indonesia (Belawan) dengan pasar berjangka dunia (SICOM,CJCE, TOCOM, AFET dan SHFE). Artinya terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara pergerakan harga di pasar fisik dan pasar berjangka dunia. Namun hubungan saling pengaruh
12
antar pasar tidak ditransmisikan secara langsung karena adanya lag (masa waktu) untuk merespon setiap perubahan. Hutabarat (2006), meneliti integrasi spasial pasar kopi di Indonesia dan dunia dengan judul ”Analisis Saling-Pengaruh Harga Kopi Indonesia dan Dunia”. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode analisis kointegrasi. Variabel-variabel yang digunakan ke dalalam penelitian adalah harga bulanan kopi robusta olah basah dan olah kering di Jawa Timur , harga bulanan robusta ditingkat produsen Indonesia, harga bulanan kopi robusta ditingkat petani lampung dan harga eceran bulanan kopi di Jepang, Amerika Serikat, Jerman, Italia serta Belanda. Kesimpulan yang diperoleh bahwa harga kopi eceran di Jepang selalu lebih tinggi dari harga di negara konsumen seperti Amerika Serikat, Jerman, Italia dan Belanda serta tren perkembangannya harga cenderung meningkat positif sampai dengan tahun 1995 dan setelah itu trennya menurun. Dalam jangka panjang harga robusta bentuk olah basah di Jawa Timur berkointegrasi dengan harga robusta olah kering dan asalan dengan nilai koefisien determinasi tinggi. Harga di Jawa Timur mempunyai hubungan jangka panjang yang sangat erat dengan harga tingkat petani di lampung. Industri kopi di Eropa Barat berhubungan erat dengan industri kopi di Lampung dan kurang erat dengan industri kopi di Jawa Timur. Sebaliknya, industri kopi di Amerika Serikat berhubungan erat dengan industri kopi di Jawa Timur dan industri kopi di Lampung.
13
3 KERANGKA PEMIKIRAN Teori Pemasaran Definisi tentang pemasaran telah banyak dikemukakan oleh para ahli ekonomi, pada hakekatnya bahwa pemasaran merupakan aktivitas yang ditujukan terhadap barang dan jasa sehingga dapat berpindah dari tangan produsen ke tangan konsumen. Pemasaran menurut Kohls dan Uhl (2002) merupakan sebuah sistem meliputi seluruh aliran produk dan jasa-jasa yang ada, mulai dari titik awal produksi pertanian sampai semua produk dan jasa tersebut ditangan konsumen. Menurut Downey et al (1981) kompleksitas saluran pemasaran tergantung pada masing-masing komoditi. Pemasaran melibatkan banyak perbedaan aktivitas yang dapat memberikan nilai tambah terhadap suatu produk sebagai perubahan melalui suatu sistem. Sistem pemasaran merupakan suatu kegiatan yang produktif, sangat kompleks, sesuai dengan ketetapan, dan menimbulkan biaya. Menurut Dahl dan Hammond (1977) pemasaran diinterpretasikan sebagai suatu unit fungsi. Kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi biasanya dipengaruhi oleh harga dan tempat terjadinya proses perpindahan kepemilikan barang dan jasa melalui transaksi. Kohls dan Uhl (2002) menambahkan dalam menganalisis pemasaran dapat digunakan beberapa pendekatan antara lain pendekatan fungsi (the functional approach), pendekatan kelembagaan (the institutional approach), dan pendekatan sistem (the system approach). Kohl dan Uhl (2002) mendefinisikan pasar sebagai suatu arena untuk mengatur dan menfasilitasi aktivitas bisnis serta untuk menjawab pertanyaanpertanyaan dasar ekonomi mengenai: produk apa yang dihasilkan, berapa banyak produksi, bagaimana cara memproduksi, dan bagaimana produk didistribusikan. Sedangkan menurut Dahl and Hammond (1977), secara garis besar pasar merupakan sejumlah lingkungan atau tempat dimana, (1) kekuatan permintaan dan penawaran saling bertemu, (2) terbentuk harga serta perubahan harga terjadi, (3) terjadinya perpindahan kepemilikan sejumlah barang dan jasa dan, (4) beberapa susunan fisik dan institusi dibuktikan. Terdapat beberapa pendekatan untuk menganalisis sistem pemasaran Kohl dan Uhl (2002), yaitu: (1) Pendekatan serba fungsi, adalah pendekatan yang mempelajari jenis usaha yang dilakukan oleh pelaku pemasaran yang terlibat dalam pemasaran, bagaimana cara melakukan kegiatan pemasaran, mengapa dilakukan, dan siapa pelaku pemasaran yang terlibat. (2) Pendekatan serba lembaga, adalah pendekatan yang mempelajari berbagai macam lembaga pemasaran yang melakukan tugas pemasaran, bagaimana tugas tersebut dilakukan, dan barang apa yang dikendalikan. (3) Pendekatan serba barang adalah pendekatan yang mempelajari berbagai barang yang dipasarkan dan sumber barang. Menurut Abbott dan Mahekam (1990) bahwa terdapat beberapa hal yang dapat menunjang keberhasilan suatu proses pemasaran yaitu (1) Pengaturan pasar. Pemasaran dapat berjalan dengan baik apabila ada kekuatan legal yang memaksa dalam perjanjian dan adanya perlindungan yang melawan praktek kecurangan. (2) Informasi pasar. Informasi sangat diperlukan bagi produsen, pedagang dan konsumen untuk terjadinya efisiensi dalam mekanisme pasar. (3) Penelitian pasar. Membangun dan meningkatkan pemasaran sangat diperlukan penelitian pasar,
14
karena penelitian pasar dapat mengarahkan investasi dan kebijakan pemasaran serta menurunkan biaya sehingga meningkatkan efisiensi. (4) Penyuluhan dan pelatihan. Bertujuan untuk meningkatkan kinerja lembaga pemasaran sehingga proses pemasaran lebih terorganisir sehingga akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pada sistem pemasaran tersebut. (5) Promosi produk. Pemasaran dapat ditinjau dari dua perspektif yaitu perspektif makro dan mikro (Asmarantaka 2012). Perspektif makro menganalisis sistem pemasaran setelah dari petani yaitu fungsi-fungsi pemasaran untuk menyampaikan produk atau jasa yang berhubungan dengan nilai guna, waktu, bentuk, tempat, dan kepemilikan kepada konsumen serta kelembagaan yang terlibat dalam sistem pemasaran. Perspektif mikro menekankan pada aspek manajemen dimana perusahaan secara individu dalam setiap tahapan pemasaran mencari keuntungan. Keseluruhan pendekatan ini akan menganalisis keseluruhan sistem pemasaran dari aspek makro, mulai dari pendekatan fungsi, kelembagaan, pengolah/ pabrikan, organisasi fasilitas, dan sistem merupakan suatu kajian empiris dan deskriptif dalam aliran atau rantai pemasaran dari produsen primer sampai ke konsumen akhir. Seluruh pendekatan tersebut merupakan bagian yang terkait dalam sistem pemasaran dengan pendekatan SCP (structure,conduct dan performance).
Konsep Saluran Pemasaran Konsep Saluran Pemasaran Menurut Kotler (1993) saluran pemasaran adalah suatu rangkaian dari lembaga-lembaga yang saling memiliki ketergantungan satu sama lain dalam sebuah proses agar menciptakan produk barang atau jasa yang siap digunakan oleh konsumen. Dalam saluran pemasaran terjadi suatu proses pemindahan barang dan jasa yang berasal dari produsen hingga ke konsumen. Proses tersebut meniadakan terjadinya kesenjangan yang ada di antara produsen dan konsumen, yaitu waktu, tempat dan kepemilikan. Sampainya produk ke tangan konsumen dapat berupa saluran pemasaran yang panjang atau pun pendek, hal ini tergantung kebijakan pada perusahaan atau pihak yang akan menyalurkan produk tersebut. Saluran pemasaran dapat digolongkan atas dua tipe yaitu saluran pemasaran langsung dan saluran pemasaran tidak langsung. Saluran pemasaran langsung yaitu produk disalurkan dari tangan produsen langsung ke tangan konsumen tanpa melalui perantara. Sedangkan saluran pemasaran tidak langsung yaitu penyampaian produk dari produsen ke tangan konsumen melalui perantara. Perantara merupakan individu atau kelompok yang membeli suatu produk kemudian menjualnya kembali kepada perantara lain ataupun konsumen. Lembaga pemasaran merupakan pihak-pihak melakukan fungsi-fungsi dalam proses penyaluran barang dari produsen hingga konsumen. Menurut Rahim dan Hastuti (2007) lembaga pemasaran adalah badan usaha atau individu yang menyelenggarakan pemasaran, menyalurkan jasa dan komoditas dari produsen kepada konsumen akhir, serta mempunyai hubungan dengan badan usaha atau individu lainnya. Munculnya lembaga pemasaran disebabkan oleh adanya keinginan konsumen untuk memiliki barang atau produk sesuai dengan waktu, tempat, dan bentuk tertentu. Lembaga pemasaran memiliki tugas yaitu melakukan fungsi-fungsi pemasaran serta mengupayakan agar keinginan konsumen dapat
15
terpenuhi semaksimal mungkin. Margin merupakan balas jasa yang diberikan oleh konsumen kepada lembaga pemasaran atas keinginannya yang telah dipenuhi oleh lembaga pemasaran. Saluran pemasaran adalah alur yang dilalui oleh produk pertanian ketika produk bergerak dari farm gate yaitu petani produsen ke pengguna atau pemakai terakhir. Produk pertanian yang berbeda akan mengikuti saluran pemasaran yang berbeda pula. Umumnya saluran pemasaran terdiri atas sejumlah lembaga pemasaran dan pelaku pendukung. Mereka secara bersama-sama megirimkan dan memindahkan hak kepemilikan atas produk dari tempat produksi hingga ke penjual terakhir Swastha (2005) mendefinisikan saluaran pemasaran sebagai sekelompok pedagang dan agen perusahaan yang mengkombinasikan antara pemindahan fisik dan nama dari suatu produk untuk menciptakan kegunaan bagi pasar tertentu.
Konsep Efisiensi Pemasaran Secara normatif, pemasaran yang efisien adalah struktur pasar persaingan sempurna (perfect competition). Tetapi struktur pasar ini secara realita tidak dapat ditemukan. Ukuran efisiensi adalah kepuasan dari konsumen, produsen maupun lembaga-lembaga yang terlibat di dalam mengalirkan barang/jasa mulai dari petani sampai konsumen akhir. Ukuran untuk menentukan tingkat kepuasan tersebut adalah sulit dan sangat relatif (Asmarantaka, 2012). Asmarantaka (2012) mengemukakan bahwa efisiensi pemasaran dapat dilakukan dengan beberapa pengukuran, yaitu: 1) efisiensi operasional dan 2) efisiensi harga. Efisiensi operasional berhubungan dengan penanganan aktivitasaktivitas yang dapat meningkatkan rasio dari output-input pemasaran. Input pemasaran adalah sumberdaya (tenaga kerja, pengepakan, mesin, dan lainnya) yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran. Output pemasaran yang berhubungan dengan kepuasan konsumen. Oleh sebab itu, sumberdaya adalah biaya sedangkan kegunaan adalah benefit dari rasio efisiensi pemasaran. Rasio efisiensi pemasaran dapat dilihat dalam dua cara yaitu perubahan sistem pemasaran dengan mengurangi biaya pada fungsi-fungsi pemasaran tanpa mengubah manfaat konsumen dan meningkatkan kegunaan output dari proses pemasaran tanpa meningkatkan biaya pemasaran. Efisiensi harga menekankan kepada kemampuan dari sistem pemasaran yang sesuai dengan keinginan konsumen. Sasaran dari efisiensi harga yaitu efisiensi alokasi sumberdaya dan maksimum output. Efisiensi harga dapat tercapai apabila pihak-pihak yang terlibat dalam pemasaran responsif terhadap harga yang berlaku. Menurut Soekartawi (2002) bila keuntungan yang diperoleh sebagai akibat pengaruh harga maka dapat dikatakan bahwa pengalokasian faktor produksi memenuhi efisiensi harga. Downey dan Steven dalam Rahim dan Hastuti (2007) menyatakan efisiensi pemasaran merupakan peningkatan rasio output-input yang dapat dicapai dengan cara, yaitu; (1) output konstan dan input mengecil (2) peningkatan output dan input konstan (3) peningkatan output yang jumlahnya lebih tinggi dari pada peningkatan input (4) penurunan input yang lebih rendah dibandingkan penurunan input. Ukuran tingkat kepuasan konsumen relatif dan sangat sulit ditentukan
16
terhadap masing-masing konsumen, namun kepuasan konsumen, produsen serta semua lembaga-lembaga yang terlibat dalam kegiatan penyaluran barang dari petani hingga kepada konsumen akhir merupakan ukuran efisiensi suatu pemasaran (Kohl dan Uhl 2002). Pengurangan biaya dalam kegiatan pemasaran tanpa mengubah nilai kegunaan produk dapat meningkatkan efisiensi pemasaran. Secara makro efisiensi pemasaran dianalisis dengan menggunakan pendekatan S-C-P (StructureConduct-Performance). Pendekatan S-C-P diawali dengan menganalisis kondisi dasar pasar yaitu keadaan sosial dan politik, elastisitas teknologi dan harga input. Analisis struktur pasar dilakukan dengan mengidentifikasi konsentrasi pasar, ukuran distribusi, jumlah lembaga pemasaran, hambatan masuk, integrasi vertikal, struktur biaya, diferensiasi produk dan sebagainya. Perilaku pasar mengidentifikasi keadaan harga, keadaan produk, kebijakan keuangan, inovasi, promosi, dan sebagainya. Sedangkan keragaan pasar menganalisis profitabilitas, tingkat pertumbuhan, kemuhtahiran teknologi, dan sebagainya (Amalia, 2013).
Konsep Struktur, Perilaku, dan Kinerja (SCP) serta Perkembangannya Paradigma SCP pada awalnya merupakan salah satu pendekatan untuk mengkaji pembentukan organisasi industri. Carlton dan Perlof (2000), mengemukakan bahwa dalam perkembangannya kerangka SCP telah menjadi kerangka umum pendekatan kajian organisasi industri. Paradigma SCP dicetuskan oleh Mason tahun 1939 yang mengemukakan bahwa struktur suatu industri akan menentukan bagaimana pelaku industri berperilaku yang menentukan kinerja industri tersebut. Asmarantaka (2012) mengajukan konsep yang bersifat dinamis. Keterkaitan hubungan dua arah yang bersifat timbal balik dan sifat hubungan endogenous diantara variabel-variabel SCP serta memperhitungkan waktu. Pendekatan tersebut menunjukkan bahwa structure (S), conduct (C), dan performance (P) dalam suatu waktu berada pada sistem dimana S dan C adalah faktor penentu dari P, di lain waktu S dan C ditentukan oleh P. Hal ini menunjukkan suatu sistem dinamis yang mengembangkan respon penyesuaian dari perusahaan terhadap kondisi pasar dan keadaan yang memungkinkan. Pertama struktur mempengaruhi perilaku, semakin tinggi konsentrasi maka semakin rendah tingkat persaingan di pasar. Kedua perilaku mempengaruhi kinerja, semakin rendah tingkat persaingan maka akan semakin tinggi market power atau semakin tinggi keuntungan perusahaan. Ketiga struktur mempengaruhi kinerja, semakin tinggi tingkat konsentrasi pasar maka akan semakin rendah tingkat persaingan dan market power semakin tinggi. Rosiana (2012) mengemukakan bahwa terdapat beberapa indikator dalam menentukan efisiensi pemasaran dengan pendekatan SCP. Indikator dalam struktur pasar seperti jumlah pedagang, hambatan masuk, ada tidaknya kolusi pasar, dan konsentrasi pasar. Sedangkan indikator dari analisis perilaku pasar yaitu penentuan dan pembentukan harga. Analisis kinerja pasar yang menjadi indikator yaitu share produsen, distribusi margin, integrasi pasar, dan elastisitas transmisi harga. Indikator pada analisis pemasaran dengan pendekatan SCP (struktur, perilaku dan kinerja) terlihat pada Tabel 6.
17
Tabel 6 Indikator pada analisis pemasaraan dengan pendekatan SCP Analisis Indikator Kriteria Efisien Tidak Efisien Struktur Pasar Jumlah Pedagang Banyak Sedikit Hambatan Masuk Pasar Mudah Sulit Konsentrasi Pasar Menyebar Transparansi Perilaku Pasar Praktek Kolusi Tidak ada Ada Penentuan Harga Ditentukan banyak Ditentukan orang satu/sedikit orang Kinerja Pasar Share Produsen Besar Kecil Distribution Margin Adil Tidak adil Integrasi Pasar Terintegrasi Tidak terintegrasi Elastisitas transmisi harga Elastis Tidak elastis Sumber: Kohl dan Uhl (2002)
Waldman dan Jensen (2007) mengemukakan paradigma SCP dibangun berdasarkan analisis yang saling berhubungan. Tanda panah menunjukkan basic market condition yang dipengaruhi oleh kondisi permintaan dan penawaran yang akan menentukan struktur pasar. Struktur pasar (market structure) menunjukkan perilaku pasar (market conduct) dan perilaku pasar akan menunjukkan kinerja pasar (market performance). Kebijakan pemerintah dalam pasar persaingan tidak sempurna dapat mempengaruhi struktur, perilaku, dan kinerja pasar. Tanda panah putus-putus menunjukkan adanya hubungan timbal balik. Kinerja pasar suatu waktu dapat mempengaruhi struktur dan perilaku pasar demikian pula sebaliknya. Keadaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Kondisi permintaan dan penawaran terkait erat dengan elastisitas harga, keberadaan barang subtitusi, pertumbuhan pasar, jenis barang, tekhnologi, bahan baku, skala ekonomi dan lain-lain. Struktur pasar merupakan bentuk pasar yang mempengaruhi tingkat persaingan dalam suatu industri. Identifikasi struktur pasar terdiri atas banyaknya jumlah perusahaan yang bersaing dalam pasar, efisiensi produk, penggunaan teknologi, konsentrasi pasar, dan hambatan keluar masuk pasar. Perilaku pasar merupakan bentuk perilaku perusahaan terhadap struktur pasar yang terjadi. Indikatornya adalah proses penentuan harga, kegiatan integrasi dan merger, penentuan periklanan, penentuan keputusan untuk research and development. Kinerja pasar akan menggambarkan perilaku perusahaan yang dimungkinkan oleh struktur pasar yang terbentuk (Waldman dan Jensen 2007). Struktur pasar yang tercipta dalam suatu pasar akan menentukan bagaimana pelaku industri berperilaku. Struktur pasar dan perilaku pasar yang terbentuk mengakibatkan adanya penilaian terhadap suatu sistem pemasaran yang disebut sebagai kinerja pasar. Struktur pasar persaingan sempurna dicirikan dengan jumlah pedagang banyak, barang relatif homogen, mudah untuk keluar masuk pasar, dan konsentrasi pasar tidak terletak pada satu orang. Perilaku pasar yang terjadi akan mencerminkan struktur pasar yang berlaku. Perbedaan harga yang terjadi di tingkat produsen dan konsumen akan menentukan besaran marjin
18
pemasaran, farmer share, dan integrasi pasar yang merupakan indikator dari kinerja pasar. Pendekatan SCP menggolongkan pasar berdasarkan tipe perbedaan pasar yang digolongkan dalam kelompok market structure. Praktek bisnis yang dilakukan dikelompokkan dalam market conduct. Pengaruh terhadap harga dan output digolongkan dalam market performance. Hal ini menunjukkan suatu sistem dinamis yang mengembangkan respon penyesuaian dari perusahaan terhadap kondisi pasar dan keadaan yang memungkinkan. KONDISI PASAR Kondisi permintaan dan penawaran
Struktur Pasar Jumlah penjual dan pembeli Diferensiasi produk Hambatan keluar dan masuk pasar Konsentrasi pasar Teknologi
Perilaku Pasar Strategi produk dan penetapan harga Iklan dan investasi bangunan Kolusi dan merjer Penelitian dan pengembangan
Pemerintah
Kinerja Pasar Efisiensi alokasi dan teknis Efisiensi, tingkat teknologi Kualitas dan pelayanan Ekuitas
Gambar 2 The structure-conduct-performance paradigm Sumber : Manson (1940) dalam Waldman dan Jensen (2007)
Struktur Pasar (Market structure) Struktur pasar merupakan deskripsi jumlah pelaku dalam suatu pasar. Struktur pasar merupakan karakteristrik pasar yang merujuk pada jumlah dan distribusi perusahaan dalam suatu pasar. Struktur pasar merupakan elemen strategis yang relatif permanen dari lingkungan perusahaan yang mempengaruhi
19
dan dipengaruhi oleh perilaku dan kinerja di dalam pasar. Struktur pasar adalah bahasan penting untuk mengetahui perilaku dan kinerja industri. Struktur pasar (market structure) dapat diartikan sebagai karakteristik dari produk maupun institusi yang terlibat pada pasar tersebut yang merupakan suatu resultan atau saling mempengaruhi perilaku dan keragaan pasar. Dalam struktur pasar, terdapat kekuatan yang dimiliki industri (Cramer et al. 2001). Asmarantaka (2008), mengemukakan struktur pasar merupakan tipe atau jenis pasar yang didefiniskan sebagai hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual) yang secara strategi mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar. Ukuran struktur pasar dibagi ke dalam 3 jenis: 1. Market concentration (konsentrasi pasar), diukur berdasarkan persentase dari penjualan/asset/pangsa pasar 2. Exit-Entry (kebebasan keluar masuk calon penjual), perusahaan yang besar mempunyai kelebihan dalam menentukan kontrol harga dalam rangka mempertahankan konsentrasinya di dalam pasar. 3. Product differentiation (diferensiasi produk) pada perusahaan dengan konsentrasi pasar tinggi mempunyai kelebihan menentukan product differentiation untuk usaha meningkatkan keuntungan. Usaha ini dilakukan dengan jalan mengubah kurva permintaan yang elastis menjadi tidak elastis. Menurut Kohls dan Uhl (2002) sisi ekstrim pasar bersaing tidak sempurna adalah pasar monopoli dan monopsoni. Pasar monopoli ciri utamanya adalah penjual tunggal, sedangkan pasar monopsoni pembeli tunggal. Oligopoli adalah pasar dengan beberapa penjual, sedangkan oligopsoni adalah pasar dengan beberapa pembeli. Untuk pasar persaingan monopolistik adalah situasi diantara bersaing sempurna dan oligopoli, yaitu terlalu banyak perusahaan namun pasar tidak cukup kriteria tersebut menjadi pasar bersaing sempurna. Masing-masing perusahaan berusaha agar produk atau jasanya unik dan berbeda dari perusahaan lain. Kondisi dalam Ekonomi Managerial disebut sebagai Monopoli Bilateral (Arsyad 2008) atau Countervaling Power (Wilkinson 2005). Monopoli bilateral terjadi jika ada pembeli yang bersifat monopolis dan penjual yang bersifat monopolis pula. Arsyad (2008) menyebutkan harga dan kuantitas yang terjadi tidak dapat ditentukan dengan teori ekonomi. Penyelesaiannya akan bergantung dengan perbandingan kekuatan tawar menawar dan strategi antar pembeli tersebut. Wilkinson (2008) menyebutkan bahwa countervalling power mengacu pada situasi di mana keberadaan kekuatan monopoli di satu sisi pasar dapat menyebabkan penangkalan atau peniadaan kekuatan monopoli di sisi lain dari pasar. Kedua monopolis dalam kondisi tersebut menyadari pengaruh tindakan mereka terhadap harga dan output. Monopoli merupakan sisi penjual, dimana penjual akan melihat pada demand, sedangkan monopsoni berada pada sisi pembeli yang akan melihat supply. Pada pasar monopoli, kuantitas yang dihasilkan berada pada Qs, dimana terdapat perpotongan MC dengan MR, sehingga ketika ditarik keatas (kearah D) akan terbentuk harga di Ps. Disisi lain, monopsoni akan membeli barang di Qb dengan harga di Pb. Jika lebih kuat monopolis maka transaksi akan ada di Ps dan Qs, akan tetapi bila lebih kuat monopsonis maka akan berada di Pb dan Qb (Gambar 3).
20
P (Rp/Unit) MC
S Ps Harga P* Pb
D
Q Qs
Qb MR Kuantitas
Gambar 3 Countervaling power Untuk menyeimbangkan kedua posisi tersebut maka diharapkan agar harga yang yang diterima monopolis dari sisi penjual dan monopolis dari sisi pembeli mengikuti harga pada pasar persaingan sempurna yang berada pada titik pertemuan antara supply dan demand (P*). Tabel 7
Lima jenis struktur pasar berdasarkan jumlah perusahaan dan sifat produk dalam sistem pemasaran Karakteristik
Jumlah Perusahaan
Struktur Pasar
Sifat Produk
Dari Sudut Penjual
Dari sudut Pembeli
Banyak Banyak
Standar/Homogen Diferensiasi
Sedikit Sedikit Satu
Standar Diferensiasi Unik
Persaingan Murni Persaingan Monopolistik Oligopoli Murni Oligopoli Diferensiasi Monopoli
Persaingan Murni Persaingan Monopolistik Oligopsoni Murni Oligopsoni Diferensiasi Monopsoni
Sumber : Dahl dan Hammond (1977)
Baye (2010) dan Porter (1990) membagi aturan persaingan dalam lima faktor kekuatan dalam industri yang menghasilkan produk maupun jasa. Faktorfaktor tersebut adalah masuknya pesaing baru, ancaman dari produk pengganti substitusi), kekuatan tawar menawar pembeli, kekuatan daya tawar penyedia input sumberdaya, dan persaingan di antara pesaing-pesaing yang ada. Pasar persaingan sempurna (PPS) adalah kondisi pasar ideal dan kompetitif yang berjalan dengan efektif dan efisien dengan beberapa asumsi yang harus terpenuhi. Pertama terdapat banyak penjual dan pembeli di pasar. Kedua tidak ada pelaku pasar yang dominan yang dapat mempengaruhi pesaingnya di pasar. Ketiga, penjual dan pembeli hanya sebagai price taker serta tidak ada persaingan di luar harga. Keempat tidak ada hambatan untuk masuk atau keluar pasar.
21
Kelima, jenis produk homogen dan identik, dan keenam semua partisipan pasar memiliki cukup informasi dan pengetahuan tentang produk dan harga. 1. Pangsa pasar (Market Share) Menurut Jaya (2001), pangsa pasar merupakan hal penting dalam aspek pemasaran dikarenakan peningkatan pangsa pasar mengindikasikan adanya peningkatan persaingan bagi perusahaan dalam industri. Pangsa pasar berpengaruh terhadap keuntungan. Besaran pangsa pasar berkisar antara 0 hingga 100 persen total penjualan seluruh pasar. Pangsa pasar yang besar mencirikan kekuatan pasar yang besar. Sebaliknya pangsa pasar yang kecil dimaknai perusahaan tidak mampu bersaing dalam tekanan persaingan. Menurut Besanko et al. (2010), pangsa pasar dapat dihitung dengan menggunakan penerimaan penjualan atau kapasitas produksi. dimana : Msi = pangsa pasar perusahaan i (%) Si = penjualan atau kapasitas produksi perusahaan i (rupiah) Stot = total penjualan atau produksi seluruh perusahaan (rupiah) 2. Konsentrasi Pasar (Market Concentration) Konsentrasi pasar memiliki keterkaitan erat dengan pangsa pasar. Konsentrasi pasar merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaanperusahaan oligopolis yang saling bergantung satu dengan lainnya (Jaya 2001). Waldman dan Jensen (2007) menyatakan bahwa terdapat beberapa indeks yang dapat digunakan untuk mengukur konsentrasi pasar yaitu rasio konsentrasi (concentration ratio atau CR) dan Herfindahl Hirchman Index (HHI). Rasio konsentrasi menghitung persentase penjualan di pasar dari jumlah absolut beberapa perusahaan besar yang ada di pasar. Konsentrasi pasar menunjukkan pangsa pasar yang dikuasai oleh beberapa perusahaan terbesar. Menurut Baye (2010) rasio konsentrasi dapat digunakan untuk mengukur struktural power karena melibatkan jumlah absolut perusahaan dan ukuran sidtribusi. Contohnya perhitungan CR4 yaitu mengukur konsentrasi dari empat perusahaan terbesar yang ada salam satu pasar. Nilai CR berada diantara 0 sampai 100. Untuk pasar persaingan sempurna CR sama dengan 0 dan untuk monopoli CR sama dengan 100. CRx = MSi ; ( x = 1,2,3, ...n) dimana : CRx : Konsentrasi rasio dar x perusahaan terbesar dalam suatu pasar MSi : Persentase pangsa pasar (market share) perusahaan ke-i Keterbatasan pengukuran CR adalah hanya mencakup sebagian kecil peusahaan yang menguasai sebagian besar pasar sehingga pengukuran ini belum menunjukkan besarnya distribusi antar peusahaan. Keunggulannya adalah pengukuran menjadi lebih mudah karena didukung oleh data-data (Baye 2010). 3. Hambatan Masuk (Barriers to Entry) Hambatan masuk merupakan segala sesuatu yang menyebabkan terjadinya penurunan kesempatan masuknya pesaing baru. Menurut Waldman dan Jansen (2007) terdapat empat hambatan struktural dalam memasuki suatu pasar yaitu skala ekonomi, biaya modal, keuntungan biaya absolut, dan
22
keunggulan dalam melakukan diferensiasi produk. Kondisi ini sangat menentukan tingkat persaingan baik yang aktual maupun yang potensial. Sehingga dapat mempengaruhi struktur pasar yang terjadi. Menurut Jaya (2001) terdapat beberapa hal umum yang harus dipahami terkait dengan hambatan masuk pasar. Hambatan tersebut adalah hambatanhambatan yang timbul dalam kondisi pasar yang mendasar, tidak hanya dalam bentuk perangkat legal ataupun dalam bentuk kondisi yang berubah dengan cepat. Hambatan kedua dibagi dalam berbagai tingkatan. Mulai dari tanpa ada hambatan yakni bebas masuk tanpa ada hambatan, hambatan rendah, hambatan sedang sampai hambatan tingkat tinggi sehingga tidak terdapat jalan untuk masuk. Salah satu cara yang digunakan untuk melihat hambatan masuk adalah dengan mengukur skala ekonomi yang dilihat melalui outpot perusahaan yang menguasai pasar. Nilai output ini kemudian dibagi dengan output total industri . Data ini disebut MES (Minimum Efficiency Scale). MES merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan mengukur kemampuan masuknya pendatang baru kedalam suatu industri yang didekati melalui output perusahaan. MES = Perilaku Pasar (Market Conduct) Perilaku pasar merupakan tingkah laku lembaga pemasaran dalam struktur pasar tertentu yang dihadapinya, yang meliputi kegiatan pembelian dan penjualan, penentuan harga, dan siasat pemasaran seperti potongan harga (Kohls dan Uhl, 2002). Perilaku pasar mencerminkan perilaku yang dilakukan oleh perusahaan yang berkaitan dengan produk yang dihasilkan, harga produk tersebut, tingkat produksi, promosi, dan beberapa variabel operasional lainnya. Menurut Dahl dan Hammond (1977), perilaku pasar merupakan pola tingkah laku dari lembaga-lembaga pemasaran dalam struktur pasar tertentu, meliputi kegiatan pembelian-penjualan, penentuan dan pembentukan harga, kerjasama lembaga pemasaran, dan praktek fungsi pemasaran. Pada SCP, hubungan yang terjadi merupakan pengaruh struktur terhadap perilaku dimana perusahaan yang memiliki kekuatan pasar kemungkinan akan memanfaatkan kemampuan tersebut dengan meningkatkan harga diatas harga kompetitif. Perilaku pasar merupakan tingkah laku lembaga pemasaran dalam struktur pasar tertentu. Struktur pasar dan perilaku pasar akan menentukan suatu kinerja pasar. Perilaku pasar berhubungan dengan pelaku perusahaan. Perusahaan yang pencari harga merupakan mengharapkan perlakuan berbeda dari jenis-jenis price taker dalam suatu industri (Cramer et al. 2001). Kohl dan Uhl (2002), menjelaskan bahwa dalam menggambarkan perilakupasar, terdapat empat hal yang harus diperhatikan yaitu (1) Input-output system, sistem input-output ini menerangkan bagaimana tingkah laku perusahaan dalam mengelola sejumlah input menjadi satu set output, (2) Power system, sistem kekuatan ini menjelaskan bagaimana suatu perusahaan dalam suatu sistem tataniaga, misalnya kedudukan perusahaan dalam suatu sistem tataniaga sebagai perusahaan yang memonopoli suatu produk sehingga perusahaan tersebut dapatsebagai penentu harga, (3) Communications system, sistem komunikasi ini mempelajari tentang perilaku perusahaan mengenai mudah tidaknya mendapatkan informasi dan, (4) System for adapting to internal and external change, sistem
23
adaptif menerangkan bagaimana perilaku perusahaan dalam beradaptasi pada suatu sistem tataniaga agar dapat bertahan di pasar. Perilaku pasar dapat diketahui melalui pengamatan terhadap penjual dan pembeli yang dilakukan tiap lembaga pemasaran, sistem penentuan harga dan pembayaran, serta kerjasama diantara berbagai lembaga pemasaran. Kinerja Pasar (Market Performance) Kinerja pasar menurut Dahl dan Hammond (1977) merupakan keadaan sebagai akibat dari struktur dan perilaku pasar dalam kenyataan sehari-hari yang ditunjukkan dengan harga, biaya, dan volume produksi yang akan memberikan penilaian baik atau tidaknya suatu sistem pemasaran. Deskripsi kinerja pasar dapat dilihat dari pertama harga dan penyebarannya ditingkat produsen dan tingkat konsumen. Kedua marjin pemasaran dan penyebarannya pada setiap tingkat lembaga pemasaran. Kinerja pasar merupakan gabungan antara struktur pasar dan perilaku pasar yang menunjukkan terjadi interaksi antara struktur pasar, perilaku pasar, dan kinerja pasar yang tidak selalu linier, tetapi saling mempengaruhi. Adapun elemen kinerja pasar terdiri atas marjin pemasaran, farmer share, R/C Rasio, dan integrasi pasar. Menurut Sudiyono (2002) kinerja pasar merupakan hasil keputusan akhir yang diambil dalam hubungan dengan proses tawar menawar dan persaingan harga. Kinerja pasar dapat digunakan untuk melihat pengaruh struktur dan tingkah laku pasar dalam proses pemasaran komoditi pertanian. Market performance merupakan refleksi atau dampak dari structure dan conduct pada harga produk, biaya, dan jumlah kualitas dari output (Cramer dan Gail 2001). Pada pendekatan SCP, hubungan yang terjadi merupakan interaksi antara struktur, perilaku dan kinerja pasar. Perusahaan yang memiliki kekuatan pasar akan memanfaatkan kemampuan tersebut dengan meningkatkan harga diatas harga kompetitif. Perusahaan akan berlaku sebagai pemimpin pasar. Pemimpin pasar (leader) biasanya akan menentukan harga dan output menurut pandangannya yang menguntungkan dan terhindar dari ancaman pemerintah dan persaingan pasar. Sebaliknya perusahaan-perusahaan kecil akan mengikuti harga yang telah disepakati oleh pemimpin pasar. Perusahaan-perusahaan kecil bebas menentukan pilihan apakah akan mengikuti keputusan pemimpin pasar atau menentukan harga jual sesuai keputusan sendiri, namun dengan konsekuensi yang diterima yaitu akan menghadapi ancaman kemungkinan keluar dari pasar (Carlton dan Perloff 2000). Analisis yang sering digunakan dalam kajian efisiensi operasional adalah analisis marjin pemasaran dan farmer’s share. Efisiensi harga menekankan kepada kemampuan sistem pemasaran dalam menentukan alokasi sumberdaya yang tersedia secara efisien apa yang diproduksi produsen dengan apa yang diinginkan konsumen. Tingkat efisiensi harga dapat tercapai apabila masingmasing pihak yang terlibat puas atau responsif terhadap harga (price signals) yang berlaku dan terjadi keterpaduan atau integrasi antara pasar acuan dengan pasar ditingkat petani. Alat analisis yang sering dipergunakan adalah korelasi harga antar pelaku pemasaran dan tingkat keterpaduan (integrasi) antar tingkat pasar (Ravallion 1986).
24
a. Marjin Pemasaran Menurut Tomek dan Robinson (1990) terdapat dua alternatif dalam memahami defenisi marjin pemasaran yaitu (1) perbedaan harga yang dibayarkan konsumen (Pr) dengan harga yang diterima produsen (Pf) atau = Pr – Pf dan (2) merupakan harga dari kumpulan jasadapat dituliskan jasa pemasaran sebagai akibat adanya aktivitas produktif atau konsep nilai tambah. Pengertian ini lebih tepat, karena memberikan pengertian semua proses bisnis dari aliran pemasaran mulai dari petani produsen primer sampai ke tangan retailer atau konsumen akhir. (3) bila marjin pemasaran (Pr-Pf) dikalikan jumlah produk yang ditawarkan Qr,f) maka hasilnya disebut nilai marjin pemasaran (the value of the marketing margin atau VMM) (Kohls dan Uhl 2002). Berdasarkan Gambar 4 terlihat bahwa marjin pemasaran merupakan selisih harga yang dibayarkan konsumen (Pr) dengan harga yang diterima oleh petani (Pf) Harga (P) Sr Pr
Sf
Marjin Pemasaran Pf Dr Df
Qr,f
Jumlah Produk (Q)
Gambar 4 Marjin pemasaran Sumber: Dahl dan Hammond (1977)
Keterangan : Pf = Harga di tingkat petani Pr = Harga di tingkat pedagang Sf = Kurva penawaran petani Sr = Kurva penawaran pedagang Df = Kurva permintaan petani Dr= Kurva permintaan pedagang Qr, f = Jumlah keseimbangan ditingkat petani dan pedagang Secara matematik sederhana VMM = (Pr – Pf) Q. Nilai dari marjin pemasaran (VMM) dapat dipandang secara agregat atau kedalam dua aspek yang berbeda. Aspek pertama dari VMM adalah penerimaan dari input yang dipergunakan dalam proses pengolahan atau jasa pemasaran dari tingkat petani sampai konsumen (marketing costs or returns to factors). Sebagai balas jasa terhadap input-input pemasaran dapat berupa upah, suku bunga, sewa dan keuntungan. Atau dari aspek balas jasa terhadap kelembagaan pemasaran
25
yaitu pedagang eceran, grosir, pengolah, pa brikan dan pengumpul (Hammond dan Dahl 1977). Faktor-faktor yang mempengaruhi marjin pemasaran komoditas pertanian adalah biaya angkut, perlakuan baru, biaya penyusutan/kerusakan, tingkat harga beli, besar keuntungan, modal kerja dan kapasitas penjualan (Kohls dan Uhl 2002). b. Farmer’s Share Konsep marjin pemasaran sangat erat kaitannya dengan bagian harga yang diterima petani (farmer’s share). Menurut Kohls dan Uhl (2002) farmer’s share merupakan persentase harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen dalam bentuk persentase (%). Secara umum, besaran farmer share dan marjin pemasaran bervariasi antar komoditi tergantung biaya relatif pemasaran yang dikeluarkan sehubungan dengan nilai tambah (the value added utilities) waktu, bentuk, kepemilikan dan tempat berdasarkan aktifitasbisnis atau fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan (Kohls dan Uhl 2002). Oleh karenanya, marjin yang tinggi dan farmer share yang rendah, belum dapat dikategorikan sebagai pemasaran efisien atau tidak. Namun harus memperhitungkan bentuk, fungsi dan atribut-atribut yang melekat pada produk hingga sampai ke konsumen akhir. Farmer’s share merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk menentukan efisiensi pemasaran dari sisi pendapatan petani. Secara sederhana farmer’s share dirumuskan sebagai berikut : FS = x 100% dimana : FS = Bagian harga yang diterima petani (farmer’s share) Pf = Harga di tingkat petani Pr = Harga di tingkat pedagang
Integrasi pasar vertikal Integrasi pasar adalah seberapa jauh pembentukan harga komoditi pada suatu tingkat lembaga atau pasar yang dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga lainnya. Dua pasar dikatakan terpadu apabila perubahan harga dari salah satu pasar atau tingkat lembaga disalurkan ke pasar lainnya. Integrasi pasar terjadi apabila terdapat informasi pasar yang memadai dan informasi tersebut disalurkan dengan cepat. Integrasi pasar dapat dibedakan menjadi dua bagian berdasarkan hubungan yang dianalisis yaitu integrasi pasar spasial dan integrasi vertikal. Integrasi pasar spasial merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara pasar regional dan pasar regional lainnya. Analisis integrasi vertikal bertujuan untuk melihat keeratan hubungan antara lembaga pemasaran yang satu dengan lainnya dalam sistem pemasaran. Porter (1980) menambahkan bahwa manfaat yang dihasilkan dengan adanya integrasi pasar vertikal adalah tercapainya penghematan dalam penggabungan operasi (perbedaan teknologi), pengendalian, dan koordinasi internal (komunikasi efektif) pengumpulan informasi pasar, hubungan bisnis yang stabil, kepastian atas pasokan dan permintaan, penghapusan kekuatan tawarmenawar yang dominan, dan peningkatan kemampuan dalam melakukan differensiasi produk.
26
Integrasi atau keterpaduan pasar merupakan suatu indikator dari efisiensi pemasaran. Khususnya efisiensi harga yang menunjukkan seberapa jauh perubahan harga yang terjadi di pasar acuan akan menyebabkan terjadinya perubahan pada pasar pengikutnya (Asmarantaka 2008). Ravallion (1986) menyatakan bahwa model integrasi pasar dapat digunakan untuk mengukur tingkatan harga di pasar konsumsi dengan mempertimbangkan harga pada waktu yang lalu dan saat ini.
Error Correction Model (ECM) Error Correction Model (ECM) pertama kali diperkenalkan oleh Sargan dan kemudian dikembangakan lebih lanjut oleh Hendry dan akhirnya dipopulerkan oleh Engle Granger. ECM merupakan model yang tepat untuk mengatasi masalah data yang tidak stasioner yang sering dijumpai dalam data time series. Hal ini penting agar hasil regresi tidak meragukan atau disebut regresi lancung (spurious regression). Selain itu, masalah perbedaan kekonsistenan hasil peramalan antara jangka pendek dan jangka panjang dengan cara proporsi disequilibrium pada satu periode dikoreksi pada periode selanjutnya sehingga tidak ada informasi yang dihilangkan hingga penggunaan untuk peramalan jangka panjang (Thomas 1997). Thomas (1997) mengatakan bahwa Error Corection Model (ECM) lahir dan dikembangkan untuk mengatasi masalah perbedaan kekonsistenan hasil peramalan antara jangka pendek dan jangka panjang dengan cara proporsi disequilibrium pada satu periode dikoreksi selanjutnya, sehingga tidak ada informasi yang dihilangkan hingga penggunaan untuk peramalan jangka panjang. Munculnya ketidakseimbangan (disequilibrium Error) itu sendiri terjadi karena dua hal. Pertama, kesalahan membuat definisi variabel dan cara mengukurnya. Kedua kesalahan yang disebabkan oleh faktor manusia dalam input data. ECM merupakan salah satu model dinamik yang diterapkan secara luas dalam analisis ekonomi. Konsep mengenai ECM pertama kali diperkenalkan oleh Sargan pada Tahun 1964. Model ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan data time series yang tidak stasioner dan regresi palsu. Dalam penggunaan ECM mempunyai kelebihan-kelebihan sebagai berikut (Thomas 2005) 1. Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengatasi masalah data time series yang non stasioner dan regresi palsu (spurious regression) 2. Model dengan variabel-variabel dalam bentuk first difference mengeliminasi trend dari variabel. 3. ECM dapat diestimasi menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square). 4. Membantu mengatasi masalah pengolahan data lanjutan seperti masalah mulitkolineritas antar variabel standar error yang sangat besar. 5. Membedakan dengan jelas antara parameter jangka panjang sehingga sangat ideal untuk digunakan menaksir dari keakuratan hipotesis. 6. Jika terdapat variabel yang tidak nyata, pengeliminasian variabel tersebut dapat dilakukan sehingga efisiensi estimasi Kelebihan dari ECM adalah sebuah komponen dan informasi pada tingkat variabel telah dimasukkan dalam model memasukkan semua bentuk kesalahan
27
untuk dikoreksi yaitu dengan cara mendaur ulang error yang terbentuk pada periode sebelumnya, menghindari terjadinya trend dan regresi palsu (spurios regression). Selain itu dalam pendekatan ECM sifatnya statistic yang diinginkan dari model akan memberikan makna lebih sederhana artinya model ECM mampu memberikan makna lebih luas dari estimasi model ekonomi sebagai perubahan variabel independen terhadap dependen dalam hubungan jangka panjang.
Kerangka Pemikiran Operasional Sistem Pemasaran kakao sangat erat kaitannya dengan perkembangan permintaan, penawaran dan faktor lain yang berkaitan dengan pemasaran kakao tersebut. Salah satu yang menjadi permasalahan dalam pemasaran biji kakao adalah fluktuasi harga biji kakao yang pada akhirnya berkaitan dengan pendapatan petani. Fluktuasi harga kakao internasional berdampak pada harga kakao di dalam negeri. Salah satu daerah di Indonesia yang penghasil biji kakao adalah Provinsi Sulawesi Tengah. Pola pergerakan harga biji kakao di tingkat petani Sulawesi Tengah tidak mengikuti pola pergerakan harga biji kakao di tingkat eksportir. Pada dasarnya kondisi permintaan dan penawaran biji kakao di Provinsi Sulawesi Tengah akan mempengaruhi struktur pasar yang terjadi. Jika struktur pasar yang berlaku adalah struktur pasar persaingan sempurna maka harga akan ditentukan oleh mekanisme pasar. Pembeli maupun penjual sebagai penerima harga (price taker). Indikator yang digunakan untuk menunjukkan struktur pasar yang terjadi yaitu pangsa pasar, konsentrasi pasar dan hambatan masuk pasar. Struktur pasar akan menentukan perilaku pasar. Indikator yang digunakan dalam melakukan analisis perilaku pasar yaitu sistem kelembagaan (praktek pembelian dan penjualan, kerjasama lembaga pemasaran) dan sistem penentuan harga. Interaksi antara struktur dan perilaku pasar akan menentukan kinerja pasar. Kondisi ini dapat saja terjadi sebaliknya, dimana perilaku pasar dapat menentukan struktur pasar dan kinerja pasar. Analisis kinerja pasar dapat menunjukkan seberapa jauh pengaruh struktur dan perilaku pasar dalam proses pemasaran biji kakao di Provinsi Sulawesi Tengah. Adapun elemen kinerja pasar terdiri atas marjin pemasaran, farmer share. Sehingga, pendekatan SCP yang digunakan dalam penelitian ini dapat menunjukkan bagaimana pola pembentukan harga di tingat petani dan akan muncul rekomendasi kebijakan yang dapat memperbaiki kondisi pemasaran biji kakao di tingkat petani. Adapun kerangka pemikiran operasional penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.
28
Fluktuasi harga kakao di Kabupaten Parigi Moutong
Bagaimana efisensi pemasaran biji kakao di Parigi Moutong? Tengah? Efisiensi
Harga
Integrasi Pasar
Operasional
1. 2. 3.
Struktur Pasar (Market Structure) Pangsa pasar Konsentrasi pasar Hambatan masuk pasar
1. Harga di tingkat petani 2. Harga di tingkat eksportir 1. 2.
1. 2. 3.
Perilaku Pasar (Market Conduct) Sistem penentuan harga Praktek penjualan dan pembelian Kerjasama lembaga
Kinerja Pasar (Market Performance) Margin pemasaran Farmer share
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 5 Bagan alur kerangka pemikiran operasional
29
4
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di daerah sentra kakao di Provinsi Sulawesi Tengah. Lokasi yang dipilih yaitu Kabupaten Parigi Moutong. Lokasi dipilih secara purposive berdasarkan pertimbangan bahwa Kabupaten tersebut merupakan sentra produksi dan pengembangan kakao. Pemilihan kecamatan dan desa dengan karakteristik yang sama yaitu kecamatan dan desa yang menghasilkan produksi kakao terbesar. Adapun Kecamatan yang dipilih adalah Kecamatan Ampibabo. Penelitian di lapangan dilakukan selama tiga bulan yaitu dari bulan April sampai bulan Juni 2015.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari pelaku pemasaran kakao di Kabupaten Parigi Moutong dengan menggunakan metode wawancara langsung menggunakan quesionare. Sedangkan data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data time series harga biji kakao bulanan di tingkat petani dan tingkat eksportir dari januari 2008 sampai Desember 2013 yang bersumber dari Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Tengah, BPS Provinsi Sulawesi Tengah, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tengah serta rata-rata volume pembelian biji kakao masing-masing dari perusahaan eksportir yang bersumber dari Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO) Provinsi Sulawesi Tengah.
Metode Pengambilan Sampel Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah dengan pertimbangan bahwa kecamatan ini merupakan salah satu daerah sentra produksi kakao di Kabupaten Parigi Moutong. Sasaran penelitian adalah petani kakao, pedagang kakao dan eksportir yang terlibat dalam proses pemasaran. Sampel petani kakao terdapat di dua desa yaitu Desa Ampibabo dan Desa Buranga Kecamatan Ampibabo. Pemilihan desa dilakukan secara sengaja (purposive) karena produksi dari 2 desa tersebut relatif tinggi dan jumlah petani lebih banyak dari desa lain. Penetuan sampel diharapkan dapat menggambarkan dan mewakili keadaan pemasaran kakao di Kecamatan Ampibabo. Populasi petani kakao menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Parigi Moutong Tahun 2014, di Kecamatan Ampibabo terdapat 1 591 rumah tangga petani kakao. Parel (1973), mengemukakan beberapa acuan yang dapat dipertimbangkan menyangkut ukuran pengambilan sampel berkaitan dengan ragam populasi, yaitu: (1) jika populasi besar, sampel dapat diambil dengan persentase kecil dan jika populasi kecil dapat diambil persentase besar, (2) ukuran
30
sampel sebaiknya tidak kurang dari 30 satuan, dan (3) jumlah sampel disesuaikan dengan kemampuan biaya. Berdasarkan uraian di atas dan pertimbangan keterbatasan yang ada dari peneliti, maka rumahtangga petani yang menjadi sampel diambil dengan teknik quota sampling untuk memastikan bahwa beberapa karakteristik populasi terwakili dalam contoh yang akan terpilih (Juanda, 2009). Dari hasil survei yang dilakukan jumlah sampel 80 responden atau 10 persen dari masing-masing desa yang terpilih. Dari sampling masing-masing desa, diperoleh responden 30 rumahtangga petani di Desa Ampibabo dan 50 responden di Desa Buranga. Pengambilan sampel petani kakao adalah stratified random sampling atau sampel acak terstratifikasi. Proses stratifikasi dilakukan karena luas lahan kepemilikan yang heterogen. Adapun faktor pendukung lain dalam penggunaan metode acak tersratifikasi adalah ketersediaan daftar anggota petani kakao atau sample frame dari populasi petani kakao di Kecamatan Ampibabo. Populasi dibagi menjadi 4 strata berdasarkan luas lahan masing-masing petani kakao. Proporsi sampel dipilih secara acak dari setiap strata sesuai keragaman sampel. Ada empat strata berdasarkan luas lahan, yaitu (1) luas lahan antara 0.1 sampai 1 ha sebanyak 41 responden, (2) luas lahan 1.1 sampai 2 ha sebanyak 22 responden, (3) luas lahan 2.1 sampai 3 ha sebanyak 12 responden dan (4) luas lahan lebih besar dari 3 ha sebanyak 5 responden. Pengambilan sampel pedagang menggunakan metode snow ball sampling. Metode tersebut digunakan untuk mengambil sampel pedagang berdasarkan aliran produk, mulai dari petani kakao sampai eksportir. Pengambilan sampel dilakukan secara berantai, mulai dari ukuran sampel terkecil sampai terbesar. Jumlah sampel pedagang pengumpul desa sebanyak 4 responden, pedagang pengumpul kecamatan sebanyak 4 pedagang besar provinsi sebanyak 2 dan eksportir sebanyak 2 responden.
Metode Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan secara deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui secara mendalam mengenai pola sistem pemasaran yang dilakukan oleh masing-masing lembaga pemasaran serta struktur dan perilaku pasar yang terjadi. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan analisis marjin pemasaran, farmer’s share. Analisis dilakukan dengan pendekatan structure, conduct, dan performance serta analisis integrasi pasar. Pengolahan data kuantitatif menggunakan Microsoft Excel 2010 dan Eviews 7. Analisis Struktur Pasar (Market Structure) Analisis struktur pasar dilakukan untuk mengetahui model struktur pasar yang terjadi pada pemasaran biji kakao di Provinsi Sulawesi Tengah. Berbagai kriteria diklasifikasikan apakah struktur pasar yang terbentuk adalah pasar persaingan sempurna atau pasar persaingan tidak sempurna. Komponen struktur pasar yang diteliti meliputi pangsa pasar dan konsentrasi pasar (Kohl dan Uhls 2002).
31
Analisis Pangsa Pasar dan Konsentrasi Pasar Perhitungan pangsa pasar menggunakan rasio antara pembelian suatu eksportir terhadap total pembelian kakao di Provinsi Sulawesi Tengah. Untuk konsentrasi pasar, digunakan analisis Four Firm Concentration Ratio (CR4). Nilai CR4 mendekatai 0 diindikasikan berada pada pasar yang memiliki banyak penjual, yang memberikan peningkatan banyaknya persaingan antar produsen dalam membeli biji kakao dari petani. Namun, jika nilai CR4 mendekati 1 diindikasikan pasar mengalami sedikit persaingan (pasar terkonsentrasi) antar produsen untuk menjualnya ke konsumen (Baye 2010) Hirschey (2009) menambahkan apabila CR4 0.8 menunjukkan industri tersebut sangat terkonsentrasi , 0.5 < CR < 0.8 pasar terkonsentrasi sedang dan 0.5 pasar terkonsentrasi lemah.
Keterangan: CR4 = Konsentrasi rasio S1 = Volume pembelian biji kakao oleh eksportir 1 (kg/bulan) S2 = Volume pembelian biji kakao oleh eksportir 2 (kg/bulan) S3 = Volume pembelian biji kakao oleh eksportir 3 (kg/bulan) S4 = Volume pembelian biji kakao oleh eksportir 4 (kg/bulan) Sn = Total pembelian seluruh eksportir biji kakao di Provinsi Sulawesi Tengah (kg/bulan) Hambatan Keluar Masuk Pasar Hambatan masuk pasar dapat dianalisis dengan menggunakan Minimum Efficiency Scale (MES). Analisis ini dilakukan untuk melihat banyaknya perusahaan yang dapat masuk untuk bersaing merebut pangsa pasar. Nilai MES diperoleh dari pembelian biji kakao perusahaan (eksportir) terbesar terhadap total biji kakao dari Provinsi Sulawesi Tengah. Menurut Jaya (2001), jika nilai MES lebih besar dari 10 persen mengindikasikan bahwa terdapat hambatan masuk pasar pada pemasaran biji kakao. M S
o al
em elian ekspo i e esa iji kakao o insi Sula ei engah
100
Analisis Perilaku Pasar Perilaku pasar merupakan perilaku partisipan (pembeli dan penjual). Strategi atau reaksi yang dilakukan partisipan pasar secara individu atau kelompok dalam hubungan kompetitif atau negosiasi terhadap partisipan lainnya untuk mencapai tujuan pemasaran dalam struktur pasar tertentu. Hubungan antara pembeli dan penjual merupakan hubungan persaingan. Setelah ada kesepakatan, maka terjadi transaksi atau negosiasi (Asmarantaka 2008). Perilaku industri dapat menjelaskan mengenai persaingan harga dan jumlah yang ditetapkan perusahaan, kolusi yang terjadi antara perusahaan, diskriminasi harga, diferensiasi produk, pengeluaran iklan, promosi, pengeluaran riset, dan pengembangan. Perilaku perusahaan memiliki kekuatan pasar terdiri dari pasar monopoli, oligopoli, dan pasar persaingan sempurna.
32
Perilaku pasar dianalisis secara deskriptif yaitu menjelaskan praktek penentuan harga yang dilakukan pedagang, meliputi cara pengujian kualitas, dan pemotongan harga. Perilaku pasar ditelaah secara mendalam agar dapat menentukan kinerja pasar biji kakao. Analisis Kinerja Pasar Ukuran yang digunakan dalam melakukan analisis kinerja pasar adalah marjin pemasaran dan farmer share. a. Marjin Pemasaran Analisis pemasaran merupakan perbedaan harga yang diterima oleh petani kakao (Pf) dengan harga yang dibayarkan oleh eksportir (Pe). Untuk menganalisis margin pemasaran dalam penelitian ini, data harga yang digunakan adalag data harga tingkat petani kakao dan data harga di tingkat eksportir, sehingga dalam perhitungan margin pemasaran digunakan rumus sebagai berikut: Mm = Pe - Pf Mm = Marjin pemasaran Pe = Harga ditingkat eksportir Pf = Harga ditingkat petani Sedangkan marjin pada setiap tingkat lembaga dapat dihitung dengan cara menghitung selisih antara harga jual dengan harga beli pada setiap tingkat lembaga pemasaran. Dengan demikian perhitungan marjin pemasaran pada masing-masing lembaga pemasaran sebagai berikut: Mmi = Pj - Pb dimana : Mmi = Marjin pemasaran di tingkat lembaga pemasaran ke-i Pj = Harga jual di tingkat lembaga pemasaran ke-i Pb = Harga beli di tingkat lembaga pemasaran ke-i Hal ini dilakukan untuk melihat besarnya marjin pemasaran pada masingmasing lembaga pemasaran yang terlibat, sehingga dapat diketahui bahwa pada tingkat lembaga manakah marjin pemasaran terbesar berada. b. Farmer Share Farmer share merupakan rasio antara harga di tingkat petani terhadap harga di tingkat pedagang. Pada saluran pemasaran yang berbeda maka share harga yang diterima petani akan berbeda pula. Besarnya farmer’s share dipengaruhi oleh tingkat pemprosesan, biaya transportasi, keawetan produk dan jumlah produk (Kohl dan Uhl, 2002). Secara matematis farmer share dapat dilihat sebagai berikut : f s e 100 dimana: Fs = Bagian harga yang diterima petani biji kakao (Rp/Kg) Pe = Harga biji kakao di tingkat eksportir (Rp/Kg) Pf = Harga biji kakao di tingkat petani (Rp/Kg)
33
Analisis Integrasi Pasar Analisis integrasi pasar merupakan seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditi pada suatu tingkat lembaga atau pasar dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga lainnya. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan analisis Error Correction Model (ECM). Analisis integrasi pasar dalam penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan antara lain: a. Uji Stasioner Data Uji kointegrasi memiliki dua prasyarat yang harus dipenuhi yaitu (1) uji akar-akar unit, dan integrasi (2) uji stasioneritas data yang digunakan. Gujarati (1995), menyatakan estimasi data yang tidak stasioner akan menyebabkan superinkonsisten dan gejala spurious regression, sehingga metode inferensi klasik tidak dapat diterapkan. Data dikatakan stasioner jika rata-rata E(xt) = 0 (independen terhadap t), nilai = konstan (perubahan varian tidak sejalan dengan perubahan waktu). Uji stasioneritas dilakukan dengan menggunakan metode Augmented Dickey-Fuller test (ADF) (Engle dan Granger). Uji stasioneritas ini didasarkan atas hipotesis nol variabel stokastik memiliki unit root. Dengan menggunakan model uji ADF test, hipotesis nol dan dasar pengambilan keputusan lainnya yang digunakan dalam uji didasarkan pada nilai kritis MacKinnon sebagai pengganti uji-t. Selanjutnya nisbah t tersebut dibandingkan dengan nilai kritis stastistik pada t tabel ADF untuk mengetahui ada atau tidaknya akar-akar unit. Jika hipotesa diterima berarti variabel tersebut tidak stasioner, maka perlu dilakukan uji derajat integrasi pada tingkat pertama (first difference) atau pada tingkat kedua (second difference). Uji derajat integrasi dimasukkan untuk melihat pada derajat atau order diferensi ke berapa data yang diamati akan stasioner. Menaksir model otoregresif dari setiap variabel yang digunakan menggunakan metode Ordinary Least SquareI (OLS), dalam pengujian dihitung konstanta dan waktu. Uji stasioneritas menggunakan uji ADF test. p
x t a 0 x t 1 a1 x t 1 i t i 1
Dimana xt xt xt 1 , t adalah periode waktu, dan aj merupakan koefisien model, sedangkan t adalah galat model. Hipotesis statistik yang diuji adalah Ho : 0 (data deret waktu Xt bersifat tidak stasioner); H1 : 0 (data deret waktu bersifat stasioner). b. Uji Kointegrasi Selanjutnya uji kointegrasi, hanya dapat dilakukan pada pasangan yang stasioner pada tingkat atau ordo yang sama. Uji kointegrasi untuk melihat persamaan regresi kointegrasi sebagai berikut : Pe βo + β1Pf + εt dimana : Pe = Harga kakao di tingkat eksportir Pf = Harga kakao di tingkat petani εt = Residual
34
c. Error Correction Model Terjadinya perbedaan antara yang diinginkan dengan yang terjadi sebenarnya tersebut, memerlukan adanya penyesuaian (adjustment). Model yang memasukkan penyesuaian untuk melakukan koreksi ketidakseimbangan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang ini disebut Error Correction Mechanism (ECM). Secara sederhana ECM untuk model harga di tingkat eksportir dan harga di tingkat petani tersebut adalah sebagai berikut. ∆Yt α0 + α1∆Xt + α2ECT +et dimana ∆ = diferensi ECTt = êt-1 = (Yt-1 – Ŷt-1) = lag 1 periode dari nilai residual pada persamaan di atas yang dapat diinterpretasikan sebagai kesalahan keseimbangan (error correction component) dari periode waktu sebelumnya (t-1) = error yang memenuhi asumsi klasik. et Pendekatan model korelasi kesalahan atau error correction (ECM) dilakukan untuk melihat integrasi jangka pendek. Model ini dilakukan apabila ada analisis konitegrasi terdapat hubungan integrasi jangka panjang. Model menurut teori Granger hubungan kedua peubah dapat dimodifikasi menjadi model error correction (ECM) yang diperkenalkan oleh Sargan pada tahun 1964 yang dikutip Hendry 1995. Model error correction ini berfungsi menghubungkan perilaku jangka pendek dan jangka panjang. Untuk melihat integrasi jangka pendek pendekatan error correction model yang dirumuskan sebagai berikut : ∆Pft
n
θ0 + α1∆Pet + α 2ECT(-1)t+et
dimana ∆Pet ∆Pft ECT θ0 α1,2
t 0
= Perubahan harga di tingkat eksportir = Perubahan harga di tingkat petani = Kecepatan Penyesuain = Intersep = Parameter
35
5
GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN PENELITIAN Kondisi Umum Kabupaten Parigi Moutong
Kondisi Geografi dan Demografi Kabupaten Parigi Moutong terletak diantara 2o22’ LU dan 3o48’ LS, se a 119o22’ dan 124o22’ B . Ba as ilayah adminis asi Ka upa en a igi Mou ong, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Buol, Kabupaten Toli-toli dan Provinsi Gorontalo, disebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Poso dan Provinsi Sulawesi Selatan, sebelah barat berbatasan dengan Kota Palu dan Kabupaten Donggala serta disebalah timur berbatasan dengan Teluk Tomini. Daerah ini mempunyai letak yang strategis karena terletak pada poros jalan menuju Kabupaten Poso, demikian pula arah ke Kabupaten Toli-toli melalui Pantai Barat. Dengan luas wilayah 6 231.85 km2, daerah ini berpenduduk 378 230 jiwa, yang secara administrative pada Oktober 2008 Kabupaten Parigi Moutong terdiri atas 20 kecamatan, 8 kecamatan pemekaran, serta memiliki 147 desa/kelurahan. Prasarana Jalan dan Transportasi Untuk mendukung kelancaran perputaran roda perekonomian daerah, perlu tersedia prasarana jalan yang memadai baik untuk kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat. Daerah ini merupakan poros jalan menuju Kabupaten Poso demikian pula pada bagian baratnya digunakan sebagai jalan penghubung menuju Toli-toli dengan kondisi jalan yang relatif baik. Pada tahun 2007 ruas jalan yang ada di Kabupaten Parigi Moutong adalah sepanjang 1 517.6 Km, jalan dengan permukaaan beraspal sepanjang 860.1 Km, jalan tidak diaspal (kerikil dan tanah) sepanjang 657.5 km, dan yang tergolong rusak dan rusak berat sepanjang 470.7 Km dan 324.3 km. Adapun jenis alat transportasi yang tersedia tergolong beragam, motor roda dua sangat umum digunakan, bahkan sampai dilahan kebun ditemukan sepeda motor milik para petani. Secara umum dapat dikatakan bahwa ketersediaan angkutan untuk berbagai kepentingan telah tersedia dengan mudah diwilayah Kabupaten Parigi Moutong. Untuk kebutuhan mobil carteran dapat dengan mudah diperoleh, demikian pula posisi letaknya sebagai jalan poros, maka dengan mudah dijadikan alternative angkutan umum menuju Kota Palu maupun sebaliknya. Jumlah kendaraan wajib uji di Kabupaten Parigi Moutong pada Tahun 2007 sebanyak 1 808 kendaraan. Dari jenis kendaraan yang diuji tersebut mobil barang umum sebanyak 1 159 unit, mobil bus umum mencapai 19 kendaraan, dan kendaraan khusus umum sebanyak 21 kendaraan. Angkutan sepeda motor yang dioperasikan secara komersil dan digemari oleh masyarakat adalah jenis ojek, yang dengan mudah menjangkau pelosok desa meskipun jalanan seadanya. Prasarana Listrik dan Air Minum Pembangkit tenaga listrik di Kabupaten Parigi Moutong dihasilkan dengan menggunakan mesin diesel yang dioperasikan oleh PLN di Kabupaten Parigi Moutong. Terdapat 2 unit mesin yang melayani kebutuhan yakni unit Parigi dan
36
unit Kasimbar. Untuk pelanggan yang ada di wilayah PLN unit Palasa, Tinombo, Moutong, dan Kotaraya tenaga listriknya berasal dari PLN Ranting Moutong. Untuk kebutuhan air minum di daerah ini dilayani oleh PDAM Kabupaten Donggala dengan jangkauan sampai ke wilayah Sausu, Torue, Parigi, Tomini, dan Moutong dengan debit air yang disalurkan kepada pelanggan sebanyak 492.624 m3 . Wilayah lainnya menggunakan air sumur maupun sumur suntik (artetis) baik untuk kebutuhan air minum maupun kebutuhan lainnya. Pada dasarnya, ketersediaan air cukup banyak kecuali di kawasan pesisir yang air tanah dangkalnya terasa asin. Sektor Industri Jumlah perusahaan industri sesuai data yang diperoleh tahun 2007 tercatat sebanyak 837 perusahaan yang terdiri dari; industri kecil 321 perusahaan, industri logam, mesin, elektronika dan kimia sebanyak 215 perusahaan, kemudian industri hasil pertanian dan kehutanan sebanyak 31 perusahaan. Sektor industri sangat berperan penting dalam penyerapan tenaga kerja yang pada akhirnya akan mengurangi jumlah pengangguran dan bermuara pada peningkatan taraf hidup masyarakat. Secara keseluruhan jumlah tenaga kerja yang berserap sektor industri di Kabupaten Parigi Moutong sebanyak 3.086 jiwa, yang terbanyak terserap pada subsektor industry kecil dan pada subsektor industry logam, mesin, elektronika dan kimia (690 jiwa). Sektor Perdagangan Realisasi perdagangan untuk berbagai komoditas dari daerah ini melalui berbagai cara, namun yang banyak dilakukan adalah dengan memasarkan ke Kota Palu, baik melalui pedagang pengumpul ataupun langsung ke pedagang besar yang kemudian membawanya ke Makassar. Untuk perdagangan antar pulau, maka data realisasi perdagangan komoditi kopra tahun 2007 menunjukkan bahwa volume penjualan di atas 300 ton/bulan. Pencatatan ini terkait dengan jumlah muatan kopra di pelabuhan Parigi Moutong, sedangkan komoditas lain tidak tersedia datanya di Kabupaten Parigi Moutong. Sektor Perkebunan Pengusahaan tanaman perkebunan di Kabupaten Parigi Moutong mempunyai peranan besar terhadap perolehan pendapatan masyarakat. Jenis tanaman yang banyak diusahakan adalah tanaman kelapa, kakao, dan cengkeh. Dari luas keseluruhan areal perkebunan tahun 2007 sebesar 96 710 Ha, tercatat bahwa pengusahaan tanaman kakao seluas 61 780 Ha dengan produktivitas 462.71 kg/ha, indikasi adanya peluang peningkatan produksi yang sangat besar mengingat kapasitas teknis produksi kakao di atas 1 ton/ha, bahkan kakao varietas tertentu dapat mencapai 2 ton/ha/tahun. Jenis tanaman ini diusahakan di semua wilayah kecamatan (data perkebunan untuk Kecamatan Toribulu dan Taopa belum tersedia), kebun rakyat yang terluas di Kecamatan Sausu dan Ampibabo. Sama halnya dengan tanaman kelapa yang merupakan tanaman perkebunan kedua terluas (27 517 ha), produksinya mencapai 36 473 ton, sebagian besar dihasilkan dari Kecamatan Ampibabo dan Parigi. Komoditas kelapa diperdagangkan sebagai komoditas ekspor dalam bentuk kopra sejak jaman penjajahan Belanda, oleh
37
karena itu sudah saatnya diperhitungkan peluang penciptaam produk unggulan dari agroindustri kelapa baik produk setengah jadi ataupun akhir. Tanaman cengkeh tercatat 2 843 ha dengan produksi mencapai 1.151 ton, kebun masyarakat ini sebagian besar terdapat di Kecamatan Tomini dan Kasimbar. Tanaman jambu mente dan kopi merupakan jenis tanaman perkebunan yang cukup banyak diusahakan oleh masyarakat walaupun tidak sebanyak tanaman kakao dan cengkeh. Beberapa jenis tanaman perkebunan yang pengusahaannya untuk tujuan pasar bahkan sebagai komoditas ekspor namun dalam luasan yang relatif kecil (di bawah 300 ha) seperti fanili dan lada, komoditas semacam ini memiliki potensi untuk dikembangkan.
Karakteristik Penduduk di Kecamatan Ampibabo Jumlah petani kakao yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah 80 responden dari total petani kakao yang ada di Kecamatan Ampibabo yang berjumlah 1 591 kepala leluarga. Responden yang berasal dari Desa Buranga berjumlah 50 petani dan Desa Ampibabo berjumlah 30 petani. Pada umunya mata pencaharian Kecamatan Ampibabo adalah petani dengan nilai persentase mencapai 72 persen. Penduduk yang berprofesi sebagai pedagang sebesar 3.99 persen, pegawai negeri sebesar 5.36 persen, buruh swasta 8.8 persen. Komposisi penduduk menurut mata pencaharian di Kecamatan Ampibabo dapat dilihat pada Tabel 8 berdasarkan data Kecamatan Ampibabo Tahun 2013, luas areal kakao saat ini seluas 3 842 hektar. Tabel 8 Komposisi jumlah penduduk menurut mata pencaharian Kecamatan Ampibabo No Komposisi Kegiatan Penduduk Jumlah 1 Petani 6 928 (72.03) 2 Nelayan 939 ( 9.76) 3 Pedagang 385 (4.00) 4 Pegawai Negeri 518 (5.38) 5 Buruh Swasta 848 (8.8) Total 9 618 (100) Sumber : Kecamatan Ampibabo dalam Angka, 2015
Sumberdaya manusia petani kakao di Kecamatan Ampibabo pada umumnya masih berpendidikan rendah, yaitu 50.59 persen petani kakao berpendidikan SD atau sederajat, 17.03 persen berpendidikan SMP arau sederajat, sedangkan yang tamat SMA atau sedrajat hanya berjumlah 10.24 persen. Selanjutnya petani yang berpendidikan strata satu berjumlah 3 orang atau 0.18 persen dari seluruh petani yang ada di Kecamatan Ampibabo dan yang tidak tamat SD sebanyak 341 orang atau 21.43 persen, secara terinci dapat dilihat pada Tabel 9. Rendahnya taraf pendidikan tersebut tidak mengurangi respon petani dalam teknik budidaya yang lebih modern. Pemikiran petani kakao masih konservatif dan lebih berhati-hati dalam menerima pembaharuan-pembaharuan. Selain itu, para petani kakao yang tergabung dalam organisasi masih kurang. Hal
38
tersebut disebabkan adanya ikatan yang kuat antara petani dengan pedagang pengumpul. Tabel 9 Komposisi petani kakao menurut tingkat pendidikan di Kecamatan Ampibabo No Tingkat Pendidikan Jumlah 1 Pernah sekolah SD tapi tidak tamat 341(21.43) 2 Tamat SD/sederajat 805(50.59) 3 Tamat SMP/sederajat 271(17.03) 4 Tamat SMA/sederajat 163(10.24) 5 Tamat D1/sederajat 2(0.12) 6 Tamat D3/sederajat 6(0.37) 7 Tamat S1/sederajat 3(0.18) Total 1 591(100) Karakteristik Lembaga Pemasaran Kakao di Kabupaten Parigi Moutong Hasil panen kakao oleh petani di Kabupaten Parigi Moutong dijual ke pedagang pengumpul dan selanjutnya dijual ke pedagang besar yang berada di kota Provinsi selanjutnya dijual ke eskportir. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan wawancara dengan responden, petani di Kabupaten Parigi Moutong pada umumnya menjual kakaonya ke pedagang pengumpul kecamatan dalam bentuk biji kakao dengan kadar air sekitar 10 persen. Setelah melakukan proses pembersihan dan penjemuran biji kakao yang diperoleh dari petani, pedagang pengumpul kemudian menjualnya ke sesama pedagang pengumpul atau langsung ke pedagang besar yang menjadi langganan mereka. Antara pedagang pengumpul dengan pedagang besar memiliki hubungan saling mengikat selain faktor langganan antar pedagang. Hal ini dilakukan untuk menjamin suplay kakao secara kontinu dari pedagang pengumpul. Harga ditentukan oleh pedagang sesuai dengan kualitas dan kuantitas biji kakao yang diperoleh sebelum biji kakao tersebut dibawa oleh pedagang pengumpul ke pedagang besar dan eksportir. Tabel 10 menunjukkan bahwa, tingkat pendidikan pedagang pengumpul desa sejumlah 25 persen adalah tamat SMP dan 75 persen adalah tamat SMA. Sementara itu, pedagang pengumpul kecamatan sejumlah 74 persen tamat SMA dan 25 persen adalah perguruan tinggi. Kemudian, pedagang besar provinsi dan eksportir langganan pedagang pengumpul tingkat pendidikannya masing-masing 100 persen tamat strata satu. Tabel 10 Komposisi tingkat pendidikan para pedagang dan eksportir Tingkat Pendidikan No Pelaku Pemasaran kakao SMP SMA Perguruan Tinggi Jumlah % Jumlah % Jumlah % 1. Pedagang pengumpul desa 1 25 3 75 2. Pedagang pengumpul kec 3 75 1 75 3. Pedagang besar provinsi 2 100 4. Eksportir 2 100
39
Budidaya Kakao di Kabupaten Parigi Moutong Secara umum budidaya kakao (Theobroma cacao L.) terdiri atas pembibitan, penanaman, pemeliharaan, panen dan pasca panen. Sebelum penanaman pohon kakao, lahan ditanami pohon pelindung. Pembibitan kakao dilakukan dengan menyemaikan bijinya pada polibag sampai bibit berumur sekitar enam bulan. Setelah itu bibit dipindahkan ke lapangan, dengan lubang dan pohon pelindung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Jarak tanam kakao yaitu tiga meter dalam baris dan enam meter jarak antar baris, sehingga barisan pohon pelindung terletak diantara barisan tanaman kakao. Kegiatan dalam pemeliharaan tanaman kakao antara lain mempertahankan kesuburan tanah, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit, dan pemangkasan. Pemangkasan dilakukan untuk menjaga agar tajuk tidak saling bersinggungan sehingga sinar matahari tidak terhalangi sehingga merangsang pertumbuhan dan pembuahan. Tanaman kakao mulai berbuah setelah berumur tiga tahun dengan umur ekonomis 20 tahun. Pemanenan buah kakao dilakukan setelah buah yang merah menjadi orange dan buah hijau menjad kuning, perubahan warna kulit tersebut menunjukkan bahwa buah tersebut sudah masak. Pada saat itu biji-biji di dalam buah mulai lepas dari dinding buah. Pengolahan biji kakao yang baru dipanen sampai siap untuk dipasarkan terdiri atas fermentasi, pencucian dan penjemuran. Fermentasi biasanya dilakukan selama dua sampai tiga hari, selanjutnya dilakukan pencucian untuk menghindari kapang atau jamur. Setelah pencucian, biji kakao dikeringkan dengan cara dijemur selama kurang lebih tiga hari, kemudian dilakukan sortasi sebelum dipasarkan ke pabrik pengolahan. Melalui proses tertentu maka biji kakao akan diolah ke bentuk yang lebih lanjut dan akan membuat harga dari kakao tersebut akan semakin tinggi dari harga. Produk kakao tersebut juga membutuhkan pemasaran, hal ini membantu pengembangan produksi usahatani kakao di daerah penelitian. Selama ini, hasil kakao berupa biji kakao ada yang diolah tanpa fermentasi dan ada pula yang difermentasi. Karena harga jual yang tidak jauh berbeda dan fermentasi memakan waktu yang cukup lama, petani lebih cenderung mengolah hasilnya menjadi produk biji kering tanpa difermentasikan. Pengelolaan kakao ini menghasilkan hasil sampingan. Hasil sampingan ini tidak banyak diperhatikan oleh masyarakat dan cenderung dianggap sampah sehingga pada akhir proses fermentasi hasil sampingan ini dibuang begitu saja. Salah satu hasil yang diperoleh dari proses fermentasi kakao adalah limbah pulp. Cairan pulp adalah cairan yang diperoleh dari proses fermentasi biji kakao. limbah ini mencapai sekitar 10 persen dari berat biji basah dan mempunyai potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan. Limbah pulp ini dapat dimanfaatkan menjadi suatu produk yang berguna dan mempunyai nilai jual yang tinggi. Salah satu produk yang bisa dihasilkan dari limbah pulp ini adalah asam cuka. Cuka merupakan salah satu kebutuhan yang dibutuhkan dalam kehidupan, seperti pemberi rasa asam pada makanan serta asam cuka dapat digunakan sebagai penurun pH (Kamaruddin dan Sudirman 2008).
40
Karakteristik Responden Kakao di Kabupaten Parigi Moutong Karakteristik responden akan membantu menggambarkan kondisi pemasaran biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong. Karakteristik petani diidentifikasi berdasarkan umur, pendidikan, pengalaman usahatani, jumlah anggota keluarga dan luas lahan usahatani biji kakao yang dikelola. Jumlah petani yang terpilih menjadi responden sebanyak 80 orang. Perbedaan dalam saluran pemasaran biji kakao menjadi penentu utama dalam memilih petani respondren. Lokasi penelitian dipilih secara purposive dengan pertimbangan tingkat produksi relatif tinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Pada Tabel 11 Menunjukkan identitas petani kakao berdasarkan umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, pengalaman usahatani dan luas lahan yang dimiliki petani. Berdasarkan hasil penelitian pada seluruh responden di eilayah penelitian memperlihatkan petani biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong sebagian besar (49 persen) berusia 40 sampai 45 tahun, hal ini mengindikasikan bahwa petani kakao masih tergolong usia produktif, dengan tingkat pendidikan yang masih cukup rendah yaitu sebagian besar tamat SD (45 persen) sedangkan tingkat pendidikan tertinggi petani responden kakao mencapai perguruan tinggi (5 persen). Usia produktif dan tingkat pendidikan berpengaruh dalam respon inovasi teknologi. Selain itu juga, hal ini mengindikasikan bahwa di wilayah penelitian potensi pengembangan komoditas kakao di masa datang memiliki peluang yang cukup menjanjikan, bila didasarkan pada usia petani saat ini. Pengalaman petani kakao di Parigi Moutong dalam usahatani sudah tinggi yaitu sekitar 10 sampai 20 tahun (62.5%). Pengalaman dalam usahatani juga diperlukan dalam respon inovasi teknologi. Pengalaman petani dalam usahatani kakao sangat terkait dengan awal mulanya dibudidayakan kakao. Faktor umur, pendidikan dan pengalaman berusahatani mempunyai peranan pernting bagi petani dalam mengembangkan usahataninya baik dari segi produksi maupun produktivitas. Sebab dalam usia produktif, tingkat pendidikan dan pengalaman yang memadai, petami akan lebih rasional dalam mengambil keputusan untuk memilih jenis komoditas dan skala usahanya. Menurut informasi dari petani responden di kabupaten sampel yaitu Kabupaten Parigi Moutong ada dua periode panen raya buah kakao dalam setahun. Periode pertama, berlangsung pada bulan April – Juni, dan periode kedua berlangsung pada bulan September – Nopember. Salah satu periode merupakan panen raya terbesar di masing-masing kawasan. Menurut informasi yang diperoleh dari PT. Olam Indonesia, salah satu perusahaan ekspor biji kakao yang memiliki kantor cabang di Palu bahwa panen buah kakao di Sulawesi Tengah adalah waktunya tidak berbeda di mana periode panen raya dimulai akhir April sampai awal Juni dan puncaknya terjadi pada bulan Mei. Informasi ini konsisten dengan keadaan iklim Kabupaten Parigi Moutong. Kualitas biji kakao sangat dipengaruhi oleh pengolahan hasil. Ada beberapa aktivitas pengolahan hasil kakao setelah panen, yang menentukan kualitas biji kakao. Aktivitas-aktivitas tersebut adalah pemeraman buah kakao, pengeringan, penyortiran, dan penyimpanan. Kinerja aktivitas pengolahan hasil kakao di Parigi Moutong yang diukur dengan persentase petani responden yang melakukan aktivitas tersebut. Tidak semua petani responden di Sulawesi tengah melakukan pemeraman buah kakao. Hanya ada sekitar 53.75 persen yang melakukan aktivitas tersebut. Tampak bahwa di Kabupaten Parigi Moutong petani responden yang
41
belum mengikuti program Sekolah Lapang yang melakukan aktivitas ini hanya mencapai 95 persen. Ini berarti ada sekitar 5 persen petani responden tersebut yang belum melakukan pengeringan. Menurut pengakuan petani yang tidak melakukan aktivitas pengeringan ini, mereka menjual kakao basah langsung ke pedagang, karena kekurangan tenaga kerja. Sebagian besar petani responden melakukan aktivitas tersebut selama 4 hari. Semua petani responden melakukan pengeringan dengan penjemuran. Padahal sebagaimana dikemukakan oleh Amin (2005) bahwa pada keadaan selalu ada sinar matahari, penjemuran membutuhkan waktu sampai 7 hari. Kurangnya lama hari penjemuran yang dilakukan oleh petani, menyebabkan kadar air yang disyaratkan oleh pedagang, yaitu 7 persen tidak tercapai, dan harga biasanya dipotong oleh pedagang sesuai kadar air biji kakao. Pedagang pengumpul biasanya menjemur kembali kakao biji hingga 3 hari agar mencapai kadar air 6 – 7 persen. Ini dilakukan dengan tujuan agar biji kakao meskipun disimpan lama tidak mudah rusak. Amin (2005) mengemukakan bahwa bila kadar air lebih daripada 8 persen akan timbul jamur atau bakteri, sedang bila kurang dari 5 persen, kulit biji akan rapuh dan mudah pecah. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa aktivitas pengeringan dilakukan oleh petani responden dengan penjemuran. Tidak satu pun petani responden di desa sampel melakukan pengeringan dengan alat pengering. Hal ini tidak berarti bahwa tidak ada petani di Kabupaten Parigi Moutong yang melakukan pengeringan dengan alat pengering. Sebanyak 22.5 persen petani melakukan aktivitas penyortiran dan 77.5 persen petani tidak melakukan sortasi karena pedagang tidak mensyaratkan kualitas biji kakao berdasarkan grade, melainkan berdasarkan bobot kadar air. Selanjutnya, aktivitas penyimpanan tidak dilakukan karena di samping petani tidak memiliki gudang, juga petani sangat memerlukan uang dalam waktu yang cepat, sehingga tidak ada satu pun petani yang mau menunggu harga kakao menjadi lebih tinggi lagi.
42
Tabel 11 Identitas responden petani kakao di Kabupaten Parigi Moutong tahun 2015 No 1
2
3
4
5
Keterangan Jumlah Petani (orang) Kelompok umur (tahun) 25-39 32 40-45 39 > 54 9 Jumlah 80 Tingkat Pendidikan Tidak Tamat SD 1 SD 36 SMP 14 SMA 25 S1 4 Jumlah 80 Jumlah anggota keluarga (orang) 1 3 2 8 3 17 4 24 >5 28 Jumlah 80 Pengalaman usahatani (tahun) < 10 11 10 - 20 50 > 20 19 Jumlah 80 Luas lahan petani 0.1 -1 40 1.5 - 2.0 23 > 2.0 17 Jumlah 80
(%) 40 49 11 100 1 45 18 31 5 100 3.75 10 21.25 30 35 100 13.75 62.5 23.75 100 50 28.75 21.25 100
43
6
ANALISIS STRUCTURE, CONDUCT, PERFORMANCE (SCP) PASAR BIJI KAKAO
Bab 6 membahas structure, conduct dan performance pada pasar kakao di Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah. Struktur pasar yang dianalisis yaitu pangsa pasar, konsentrasi pasar, dan hambatan masuk pasar. Analisis perilaku dilakukan secara deskriptif terkait dengan aktivitas pemasaran, penentuan harga serta kerjasama antar lembaga pemasaran. Analisis kinerja pasar mencakup marjin pemasaran, farmer share, dan analisis integrasi pasar vertikal. Setiap analisis akan dijelaskan secara sistematis terkait dengan tujuan penelitian serta akan di jelaskan hubungan antar variabel struktur, perilaku dan kinerja pemasaran biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong
Analisis Struktur Pasar (Market Structure) Analisis struktur pasar bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat persaingan yang terjadi dalam pasar biji kakao di Provinsi Sulawesi Tengah. Identifikasi dilakukan menggunakan analisis pangsa pasar, hambatan masuk pasar dan konsentrasi pasar. Melalui analisis tersebut dapat diamati bentuk pasar yang terjadi dalam pasar biji kakao di Provinsi Sulawesi tengah. Pangsa pasar dianalisis dengan menggunakan persentase pembelian suatu perusahaan (eksportir) dengan total pembelian seluruh perusahaan, konsentrasi pasar dianalisis dengan menggunakan konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar (CR4) dan hambatan masuk pasar dianalisis menggunakan Minimum Efficiency Scale (MES) Pangsa Pasar dan Konsentrasi Pasar Pemasaran biji kakao di Provinsi Sulawesi Tengah sebagian besar ditujukan pada pasar ekspor dalam bentuk biji yang dipasarkan hingga pabrik pengolahan dan eksportir, kemudian pabrik atau ekportir yang akan melakukan sortasi untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri dan dalam negeri (industri, akan tetapi beberapa tahun terakhir ekspor biji kakao Sulawesi Tengah sangat menurun drastis, bahkan pada tahun 2014 tidak terdapat catatan ekspor dari perusahaan-perusahaan eksportir, akan tetapi perusahaan tersebut menjual ke pedagang antar pulau). Hasil wawancara dengan eksportir responden mengungkapkan bahwa hal tersebut disebabkan oleh adanya Peraturan Menteri Keuangan No.67/2010 tentang bea keluar, dan pajak (PPN) sebesar 10 persen bagi komoditi yang diekspor, termasuk biji kakao. Namun beberapa perusahaan telah mengambil langkah memotong harga beli kakao sebesar 10 persen sebagi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau mengurangi pembelian biji kakao. Saat ini jumlah perusahaan pengolahan yang melakukan perdagangan biji kakao baik tujuan dalam negeri atau ekspor sebanyak 9 perusahaan. Perhitungan pangsa pasar perusahaan diperoleh melalui data realisasi rata-rata pembelian biji kakao per bulan di empat perusahaan kakao terbesar di Provinsi Sulawesi tengah. Pada Tabel 12 terlihat nilai pangsa pasar pada setiap perusahaan biji kakao di Sulawesi Tengah Hasil analisis konsentrasi pasar (CR4) menunjukkan bahwa terdapat empat perusahaan terbesar yang menguasai 70.60 persen dari total pembelian biji kakao
44
di Provinsi Sulawesi Tengah. Artinya tingkat persaingan perusahaan biji kakao di Provinsi Sulawesi tengah terkonsentrasi dengan tingkat persaingan kecil hal ini dikarenakan terdapat 4 (empat) perusahaan terbesar yang menguasai pembelian biji kakao di Provinsi Sulawesi Tengah. Konsentrasi pasar yang tinggi dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar antara 60 hingga 80 persen artinya perusahaan semakin terkonsentrasi dan semakin sedikit jumlah produsen yang berada di pasar maka tingkat persaingan kecil, sedangkan semakin rendah rasio konsentrasi pasar artinya konsentrasi pasar yang rendah dan persaingan lebih tinggi (Jaya 2001). Tabel 12 Pangsa pasar dan konsentrasi pasar 9 perusahaan biji kakao di Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2013 Nama Perusahaan Biji Kakao PT. Olam Indonesia PT. Sulawesi Central Commodity PT. Prima Karya Wirausaha PT. Tanah Mas Celebes Indah PT. Cargill Indonesia Cocoa Division CV. Celebes Agro Perkasa PT. Nedcommodities Makmur Jaya PT. Armajaro Indonesia PT. Multi Jasa Sarana JUMLAH
Rata-rata Volume Pembelian Biji Kakao (Kg/bulan) 696 008 533 808 470 483 329 166 300 050 253 342 129 216 125 050 37 550 2 874 673
Pangsa Pasar CR4 (w) 0.2421 0.1857 0.7060 0.1637 0.1145 0.1044 0.0881 0.0449 0.0435 0.0131 1.0000
Perusahaan yang memiliki pangsa pasar biji kakao terbesar adalah PT. Olam Indonesia (24.21 persen), selanjutnya diikuti oleh PT. Sulawesi Central Commodity (18.57 persen), PT. Prima Karya Wirausaha (16.37 persen) dan PT. Tanah Mas Celebes Indah (11.45 persen). Ke empat perusahaan tersebut adalah perusahaan eksportir biji kakao. Pada proses penyediaan pasokan, perusahaan melibatkan pedagang pengumpul, ada juga perusahaan yang langsung melibatkan petani kakao. Hal ini menunjukkan adanya kerjasama yang terjadi antara perusahaan dan petani. Kondisi ini juga menggambarkan bahwa pasar biji kakao di Provinsi Sulawesi Tengah cenderung berada dalam struktur pasar oligopsoni. Kohls dan Uhl (2002) menyatakan bahwa apabila CR4 perusahaan terbesar lebih dari 50 persen, maka struktur pasar cenderung berada pada kondisi pasar oligopoli. Pasar oligopoli merupakan bentuk pasar dengan beberapa penjual dalam suatu industri yang memiliki persaingan yakni persaingan harga dan nonharga untuk memperoleh konsumen (Baye, 2010). Konsekuensi bagi petani dalam menghadapi struktur pasar oligopsoni adalah petani cenderung sebagai penerima harga (price taker) dan posisi tawar petani lemah (bargaining position) yakni petani tidak memiliki kekuatan dalam menentukan harga jual biji kakao yang dihasilkan.
45
Hambatan Masuk Pasar Perusahaan dalam suatu industri memiliki kekuatan tersendiri sehingga mampu bertahan menghadapi pesaing baru yang akan masuk pada suatu industri tersebut. Setiap perusahaan baru memiliki peluang dan kesempatan untuk bersaing, persaingan yang terjadi merupakan persaingan alami yang potensial. Namun, perusahaan tersebut menghadapi tantangan pasar yang ada sehingga menimbulkan penurunan kesempatan atau mempengaruhi cepat atau lambat masuknya perusahaan baru dalam suatu pasar. Hambatan masuk pasar dapat dilihat dengan banyak pesaing bermunculan untuk bersaing mancapai target yang diinginkan. Hambatan masuk pasar dapat dihitung menggunakan Minimum Efficiency Scale (MES). Nilai MES diperoleh dari volume pembelian biji kakao oleh perusahaan eksportir terbesar di Provinsi Sulawesi Tengah terhadap total biji kakao di Sulawesi Tengah. Artinya bila nilai MES > 10 persen mengindikasikan terdapat hambatan masuk pasar bagi perusahaan baru (Jaya, 2001). Pada Tabel 13 terlihat perkembangan nilai MES (Minumum Efficiency Scale) selama kurun waktu 2009 sampai 2013. Tabel 13 Nilai MES (Minimum Efficiency Scale) perusahaan biji kakao di Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2009-2013 Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata
MES (%) 24.16 21.61 16.14 24.16 27.21 22.65
Keterangan Ada hambatan masuk Ada hambatan masuk Ada hambatan masuk Ada hambatan masuk Ada hambatan masuk
Berdasarkan Tabel 13 nilai MES cenderung berfluktuatif selima lima tahun karena PT. Olam Indonesia sebagai perusahaan terbesar di Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2009 sampai 2013 menghasilkan produksi kakao yang fluktuatif sehingga menghasilkan nilai MES yang fluktuatif pula. Pada tahun 2009 nilai MES sebesar 24.16 persen dan pada tahun 2013 mencapai 27.21 persen. Fluktuasi terjadi karena adanya perubahan jumlah penjualan yang dilakukan oleh perusahaan biji kakao. Nilai rata-rata MES dari tahun 2009 hingga 2013 mencapai 22.65 artinya nilai MES lebih dari 10 persen. Hal ini mengindikasikan adanya hambatan masuk dalam perdagangan kakao di tingkat perusahaan (eksportir). Artinya angka tersebut merupakan indikator output minimal bagi pesaing baru untuk bersaing dalam industri kakao di Sulawesi Tengah. Bagi perusahaan, tingginya hambatan masuk pasar antara lain disebabkan oleh beberapa faktor yaitu oleh besarnya modal yang dibutuhkan, kerjasama antar perusahaan dan jaringan rantai pasok bahan baku yang kuat dengan pedagang pengumpul dan petani.
46
Analisis Perilaku Pasar (Market Conduct) Perilaku pasar biji kakao di Provinsi Sulawesi Tengah dianalisis secara deskriptif. Analisis perilaku pasar akan menggambarkan perilaku setiap lembaga pemasaran dalam menghadapi struktur pasar yang ada. Adapun elemen yang terdapat dalam perilaku pasar meliputi lembaga dan praktek fungsi pemasaran, saluran pemasaran, mekanisme penentuan harga dan sistem pemasaran. Lembaga Pemasaran Lembaga pemasaran menunjukkan badan usaha atau individu yang melakukan kegiatan atau fungsi pemasaran sehingga produk atau jasa akan berpindah dari produsen ke konsumen. Adapun lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran biji kakao di Provinsi Sulawesi Tengah meliputi pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang besar Provinsi dan perusahaan eksportir. a. Pedagang pengumpul desa merupakan pedagang pengumpul yang mengumpulkan biji kakao dari petani. Pedagang pengumpul desa hanya mengumpulkan dalam satu desa dan kemudian menjualnya ke lembaga pemasaran lainnya, pedagang pengumpul desa biasanya menggunakan sepeda motor berkeliling desa untuk membeli biji kakao dari petani. Lembaga pemasaran ini berdomisili di daerah penelitian. b. Pedagang pengumpul kecamatan merupakan pedagang yang mengumpulkan biji kakao yang berada di beberapa desa dalam kecamatan yang sama. Pedagang pengumpul kecamatan memiliki cakupan pemasaran yang lebih besar dari pedagang pengumpul desa. Lembaga pemasaran ini menjual biji kakao dari petani atau pedagang desa ke pedagang besar Provinsi. c. Pedagang besar Provinsi merupakan pedagang yang memperoleh biji kakao dari berbagai pedagang di dalam Provinsi Sulawesi Tengah. Penjual biasanya langsung mendatangi pedagang besar provinsi dalam transaksi jual beli. Lembaga perusahaan ini merupakan kaki tangan atau orang yang dipercaya oleh eksportir untuk menyuplai bahan baku dari petani. Lembaga ini mempunyai keuntungan yang lebih tinggi dari pada pedagang lainnya. d. Perusahaan (eksportir). Perusahaan atau lembaga yang melakukan sortasi dari petani maupun pedagang sesuai dengan standar untuk memasarkan ke negara konsumen. Setiap lembaga pemasaran mampu menciptakan niali spesifik untuk produk dan jasa yang ditawarkan (Levens 2010). Penciptaan nilai ini dapat dilakukan melalui fungsi-fungsi pemasaran. Fungsi pemasaran tersebut dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (pengolahan, transportasi/pengangkutan dan penyimpanan) dan fungsi fasilitas (standarisasi, penanggulangan risiko, pembiayaan dan informasi pasar) (Kohl dan Uhl 2002). Adapun fungsi pemasaran yang dilakukan oleh setiap lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran biji kakao akan dijelaskan berikut : a. Pedagang Pengumpul Desa Pedagang pengumpul desa menghubungkan petani kakao dengan pedagangpedagang tingkat selanjutnya. Pedagang pengumpul desa mengumpulkan biji kakao dari petani yang berada di lingkungan desanya dan sekitar desanya.
47
Pedagang pengumpul desa umumnya bertempat tinggal di lokasi desa yang sama atau bahkan bisa datang dari desa sekitar. Beberapa pedagang pengumpul desa yang terdapat di Kabuapten Parigi Moutong juga berprofesi sebagai petani. Petani tersebut merupakan petani yang mempunyai modal cukup dalam melakukan kegiatan usaha ini. Pedagang pengumpul desa tidak melakukan pengolahan sehingga biji kakao yang dibeli dari petani hanya disimpan sebelum dijual kembali pada lembaga pemasaran berikutnya. Beberapa pedagang pengumpul desa melakukan peminjaman kepada pedagang dengan tingkat yang lebih besar. Pedagang pengumpul desa memperoleh informasi pasar dari pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengumpul tingkat kabupaten dan pedagang besar. Informasi yang diterima diantaranya mengenai perkembangan harga jual dan juga kualitas biji kakao. b. Pedagang Pengumpul Kecamatan Pedagang pengumpul kecamatan adalah pedagang yang menampung penjualan biji kakao masih dalam lingkup satu kecamatan. Sama seperti dengan pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan merupakan anggota rantai pasok biji kakao yang berperan penting. Transaksi pembelian dapat dilakukan di tempat pengumpul yang lingkupnya kecil dan mendatangi langsung atau menunggu di rumah pedagang. Sebagian besar pedagang pengumpul kecamatan sudah mempunyai pedagang pengumpul lingkup lebih kecil yang menjadi langganan. Setiap pedagang pengumpul kecamatan memberikan harga tergantung kualitas biji kakao yang dijual. Begitu juga penjualan yang dilakukan pedagang pengumpul kecamatan ke pedagang berikutnya yang sesuai dengan kualitas biji kakao. Pedagang pengumpul kecamatan menggunakan mobil pick up dalam mengumpulkan biji kakao dengan mendatangai langsung penjualnya. Biji kakao ditampung sehingga terkumpul dalam jumlah yang banyak sebelum dijual. Pedagang pengumpul kecamatan melakukan penyimpanan pada gudang yang dimiliki sendiri, pinjaman modal juga berasal dari perbankan. Keperluan utama pengumpul dengan pihak perbankan terkait dengan kredit yang digunakan sebagai sumber dana bagi peningkatan investasi dan modal dagang. Untuk informasi pasar, yang berupa perkembangan harga beli dan harga jual, diperoleh dari pengumpul yang lingkup kecil, pedagang pengumpul tingkat kabupaten maupun pedagang besar, serta dari mekanisme pasar yang terjadi. Adapun sistem pembayaran yang diterapkan oleh pedagang pengumpul kecamatan terhadap pedagang pengumpul sebelumnya adalah pembayaran tunai. c. Pedagang Besar Provinsi Pedagang besar provinsi menampung penjualan dalam lingkup satu Provinsi. Transaksi pembelian biji kakao biasanya dilakukan di tempat pengumpul yang lingkupnya lebih kecil dengan mendatangi langsung atau beberapa petani yang mendatangi langsung ke gudang pedagang besar provinsi. Pedagang besar provinsi biasanya sudah mempunyai jaringan pemasaran yang tertata dengan baik dan pedagang pengumpul lingkup lebih kecil yang sudah menjadi langganan. Pedagang besar Provinsi menggunakan mobil truk untuk mempermudah kegiatan pembelian dan penjualan. Pedagang besar provinsi melakukan penyimpanan pada gudang yang dimiliki sendiri untuk menampung biji kakao, sehingga terkumpul dalam jumlah banyak sebelum dijual.
48
Eksportir Eksportir merupakan perusahaan atau lembaga yang memasarkan biji kakao ke pasar dunia. Pada tahun 2015 eksportir di Kota Palu tercatat sebanyak 9 perusahaan yang terdaftar di Asosiasi Kakao Indonesia untuk daerah Sulawesi Tengah (ASKINDO) Hasil wawancara dengan eskportir responden mengungkapkan bahwa hal penurunan volume ekspor tersebut disebabkan oleh adanya Peraturan Menteri Keuangan No. 67/2010 tentang bea keluar, dan pajak (PPN) sebesar 10% bagi komoditi yang diekspor, termasuk biji kakao. Namun, beberapa perusahaan mengambil langkah-langkah untuk perkembangan pelaksanaan kebijakan tersebut. Ada dua perusahaan yang tidak melakukan ekspor lagi sejak tahun 2013, dan ada juga beberapa perusahaan yang telah mengambil langkah memotong harga beli kakao sebesar 10 persen sebagai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau mengurangi pembelian biji kakao. Meskipun jumlah eksportir biji kakao di Kota Palu tergolong sedikit, namun oleh karena semua eksportir bersaing dalam mendapatkan volume transaksi, sehingga bersaing dalam bermitra dengan pedagang besar dan pedagang kecamatan, maka pasar kakao di tingkat petani kabupaten kasus menjadi tampak seperti pasar bersaing. Ini didukung oleh informasi pasar yang tersedia, dan dapat diakses oleh pedagang hingga ke tingkat pedagang pengumpul. Di tingkat pedagang pengumpul, meskipun bentuk pasar tergolong oligopsoni, namun di antara pedagang satu dan lainnya bersaing untuk mendapatkan biji kakao. Oleh karena itu, harga di tingkat petani menjadi harga bersaing, dan pasar seakan-akan menjadi pasar bersaing, di mana penjual dan pembeli keduanya tidak dapat menentukan harga. Aktivitas penjualan biji kakao di tingkat eksportir dan importir didasarkan pada sistem kontrak. Menurut salah satu eksportir biji kakao di Kota Palu bahwa kontrak pembelian dilakukan 3 bulan sebelum transaksi jual beli untuk menyepakati jumlah biji kakao yang akan dibeli. Kesepakatan harga dilakukan 1 bulan sebelum barang dikirimkan. Fluktuasi harga biji kakao yang terjadi di pasar produsen menjadi risiko bagi perusahaan. Selain itu pada fungsi fisik juga diterapkan standar operasional terhadap pengolahan, penyimpanan hingga pendistribusian (pengangkutan). Untuk menetukan kulaitas kakao indikator yang diperhatikan eksportir adalah kadar air 7 persen, biji kakao 115 biji/100 gr, kotoran 3.5 persen, dan jamur 4 persen. Informasi harga yang diperoleh perusahaan (eskportir) memiliki peran penting dalam meningkatkan posisi tawar perusahaan dengan pembeli. Setiap perkembangan harga yang terjadi di tingkat petani hingga harga biji kakao di pasar dunia merupakan sumber informasi yang dapat mempengaruhi harga jual biji kakao. Perusahaan mampu bersaing dengan perusahaan lain, apabila dapat melakukan strategi harga dalam proses pembelian dan penjualan biji kakao. Kemampuan perusahaan untuk meningkatkan jumlah pasokan kakao dari petani melalui penawaran harga beli biji kakao yang relatif tinggi dibandingkan pesaingnya, dan menjual biji kakao dengan harga jual yang kompetitif. Sehingga, stabilitas keuntungan yang diperoleh perusahaan dapat menjaga keberlanjutan bisnis biji kakao yang dijalankan. d.
49
Mekanisme Penentuan Harga Secara teknis, penentuan harga biji kakao berdasarkan pada tingkat kualitas biji kakao yang dipasarkan. Kualitas biji kakao meliputi kadar air, banyaknya biji per gram, kotoran serta jamur. Umumnya, kesepakatan harga antara eksportir dan importir terjadi melalui sistem tawa-menawar. Hal penting yang menjadi perhatian adalah pembentukan harga sangat dipengaruhi oleh kemampuan eksportir dalam melakukan negosiasi. Sistem negosiasi biasanya diwakili oleh orang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang kualitas biji kakao yang diperjualbelikan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan daya tawar eksportir dalam proses penentuan harga. Penentuan harga kakao ditingkat petani disetiap lembaga pemasaran terlihat pada Tabel 14. Tabel 14 Proses penentuan harga biji kakao pada setiap lembaga pemasaran Sumber informasi Proses penentuan Lembaga pemasaran harga harga Petani pedagang pengumpul, ditentukan oleh petani lain pedagang pengumpul Pedagang pengumpul pedagang pengumpul ditentukan oleh desa kecamatan, pedagang besar pedagang besar provinsi Pedagang pengumpul eksportir, pedagang ditentukan oleh kecamatan besar provinsi pedagang besar Pedagang besar provinsi eksportir tawar-menawar Eksportir Pasar dunia, importir tawar-menawar
Persentase (%) 50 100
75 100 100
Di tingkat pedagang pengumpul provinsi hubungan kerjasama yang dilakukan dengan beberapa eksportir akan memudahkan pedagang pengumpul provinsi dalam memperoleh informasi harga. Informasi ini dijadikan acuan untuk bagi pedagang pengumpul provinsi dalam proses penentuan harga. Eksportir akan memberikan gambaran kondisi perkembangan harga biji kakao dunia. Berdasarkan pertimbangan terhadap kondisi yang ada maka pedagang pengumpul provinsi akan melakukan kontrak berdasarkan kualitas dan harga yang sesuai. Pedagang pengumpul kecamatan sebagai perpanjangan tangan pedagang pengumpul provinsi akan diinfokan secara langsung oleh pihak pedagang pengumpul provinsi sebagai penentu harga. Informasi harga yang diperoleh dari pedagang pengumpul provinsi, dijadikan oleh pedagang pengumpul kecamatan dalam menentukan harga beli kakao tersebut dari pedagang pengumpul desa dan petani. Posisi petani terhadap pedagang pengumpul hanya sebagai penerima harga (price taker). Keterbatasan petani dalam memperoleh informasi harga dan keterikatan petani dengan pedagang pengumpul, menyebabkan posisi tawar (bargaining position) petani lemah dalam proses penentuan harga. Sebagai alternatif yang dapat diusahakan oleh petani sehubungan dengan psosisinya sebagai penenrima harga (price taker) adalah petani harus memperhatikan tingkat kadar air biji kakao sehingga dapat meningkatkan harga jual, selain itu kemandirian petani dalam memperoleh sumber modal dan kemampuannya dalam mengelola keuangan eluarga akan mampu meningkatkan posisi tawar (bargaining position) petani dalam proses penentuan harga.
50
Standar pembelian biji kakao di Indonesia pada umumnya masih mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2323:2008. Standar SNI ini sudah merujuk pada standar yang digunakan oleh negara produsen kakao lainnya dan persyaratan mutu yang ditetapkan oleh negara konsumen atau tujuan ekspor. Menurut jenis tanaman kakao di golongkan dalam 2 jenis yaitu: • Jenis Mulia ( ine Cacoa/ ) • Jenis Lindak (Bulk Cacoa/B) Menurut jenis mutunya kakao digolongkan dalam 3 jenis yaitu: • Mu u I • Mu u II • Mu u III Berdasarkan ukuran biji dalam takaran 100 gram, biji kakao digolongkan dalam 5 kategori yaitu: 1. AA: Maksimum 85 biji kakao dalam per seratus gram 2. A : 86-100 biji kakao dalam per seratus gram 3. B : 101-110 biji kakao dalam per seratus gram 4. C : 111-120 biji kakao dalam per seratus gram 5. S : lebih dari 120 biji kakao dalam per seratus gram Persyaratan mutu yang dilihat dalam penentuan kualitas kakao meliputi: 1. Serangga hidup yang terdapat dalam sampel 2. Kadar air maksimum 7.5 persen 3. Biji yang berbau asap atau bau asing lainnya 4. Kadar benda asing Kadar air pada biji kakao merupakan sifat fisik yang sangat penting dan sangat diperhatikan oleh pembeli. Selain sangat berpengaruh terhadap randemen hasil, kadar air juga berpengaruh pada daya tahan biji kakao terhadap kerusakan terutama saat penggudangan dan pengangkutan. Biji kakao, yang mempunyai kadar air tinggi, sangat rentan terhadap serangan jamur dan serangga. Keduanya sangat tidak disukai oleh konsumen karena cenderung menimbulkan kerusakan cita-rasa dan aroma dasar yang tidak dapat diperbaiki pada proses berikutnya. Standar kadar air biji kakao mutu ekspor adalah 6 – 7 persen. Jika lebih tinggi dari nilai tersebut, biji kakao tidak aman disimpan dalam waktu lama, sedang jika kadar air terlalu rendah biji kakao cenderung menjadi rapuh. Maka dapat disimpulkan bahwa harga kakao yang diterima petani atau pedagang berdasarkan dari kualitas yang dihasilkan. Pada umumnya kesepakatan harga antara eksportir dan importir terjadi sistem tawar-menawar, hal penting yang menjadi perhatian adalah pembentukan harga sangat dipengaruhi oleh kemampuan eksportir dalam melakukan negoisasi. Hal ini menunjukkan bahwa posisi tawar petani lemah dalam penentuan harga. Sistem Pembayaran Sistem pembayaran dalam pemasaran biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong umumnya terdiri atas sistem pembayaran kontrak, tunda, tunai/langsung. Sistem kontrak umumnya diterapkan oleh eksportir dengan pedagang besar provinsi. Setelah menandatangani kontrak, perusahaan akan mengirimkan uang sebesar 25 persen dari harga yang telah ditetapkan. Selanjutnya perusahaan akan melunasi seluruh sisanya setelah seluruh barang diterima sesuai dengan kesepakatan kontrak. Pembayaran dilakukan dengan menggunkan fasilitas
51
perbankan, sehingga bukti transfer akan dijadikan sebagai salah satu bukti setelah uang dikirimkan. Di tingkat pedagang pengumpul kecamatan, sebagian besar petani kakao melakukan transaksi jual beli pada umumnya ke pedagang besar provinsi. Hal ini dilakukan karena petani terlibat kontrak dengan pedagang besar tersebut. Kontrak antara petani kakao dan pedagang pengumpul adalah tidak tertulis. Dalam kontrak tersebut petani dapat meminjam uang untuk pembelian sarana/ faktor-faktor produksi. Selain itu petani harus mencicil hutangnya dan membayar bunga hutang dengan biji kakao. Pembayaran bunga tersebut dikenal dengan istilah bonus dimana setiap transaksi petani harus menyerahkan 3 kg kakao biji ke pedagang. Hal tersebut dilakukan hingga hutang petani lunas. Adapun minimal volume transaksi sebesar 10 kg. Ini berarti bonus tersebut adalah 30 persen dari volume transaksi. Kontrak antara petani dan pedagang telah berlangsung lama sehingga telah melembaga dalam suatu kelembagaan prinsipal-agen. Yantu (2011) menyatakan bahwa petani adalah prinsipal dan pedagang adalah agen. Inisiatif cenderung dari agen (pedagang), namun agen hanya menjemput bola, sehingga bisa saja agen tersebut bertindak untuk kepentingannya daripada mempromosikan kepentingan prinsipal. Pedagang pengumpul tingkat kecamatan membeli biji kakao, baik dari pedagang desa maupun dari petani secara langsung, dan terjadi transaksi pasar dengan harga tertentu, dan pembayaran dilakukan secara tunai sesuai kesepakatan antara kedua belah pihak. Setelah biji kakao terkumpul sebanyak 7 ton, maka pedagang pengumpul langsung menjualnya, dengan harga Rp23.000-27.000/kg. Hubungan ini dilakukan semata hanya hubungan kerjasama dengan pedagang eksportir Kota Palu. Bukan kerjasama dalam bentuk kontrak seperti yang terjadi pada petani dengan pedagang pengumpul. Melalui pedagang pengumpul, petani dapat memperoleh pinjaman dana yang kuantititasnya terbatas. Pedagang bersikap berani memberikan pinjaman dana ke petani biji kakao, untuk kemudian digunakan dalam meningkatkan produksi kakao biji yaitu untuk membeli sarana produksi. Adanya keterbatasan yang dimiliki pihak petani, membuat petani juga bersikap berani dalam melakukan pinjaman dana ke pedagang. Situasi dan kondisi ini sudah lama melembaga di kalangan petani kakao. Melalui hubungan tersebut diatas, maka perilaku petani tidak bebas melakukan penjualan ke pedagang mana saja, pada akhirnya penjualan dilakukan ke pedagang pengumpul tertentu. Karena adanya hubungan kontrak di antara mereka. Hubungan ini berbentuk kontrak penjualan oleh petani setelah panen menjual biji kakao ke pedagang pengumpul tingkat kecamatan. Berdasarkan hasil wawancara langsung bersama pedagang di tingkat kecamatan bahwa antara pelaku pasar, yaitu sebanyak 50 persen petani dan pedagang pengumpul terikat perjanjian kontrak dalam sistem pemasaran. Adapun harga yang berlaku dalam perjanjian tersebut, tidak menentu, namun tergantung pada kondisi nilai tukar rupiah yang juga berfluktuasi. Penjualan dan pembelian oleh pedagang eksportir, dilakukan pada saat penyediaan biji kakao tersedia baik ditingkat produsen maupun pedagang sebagai lembaga pemasaran dalam pendistribusian biji kakao. Proses pembelian oleh
52
pedagang eksportir terhadap biji kakao, diperoleh dari pedagang pengumpul tingkat kecamatan dan pedagang besar provinsi. Saluran Pemasaran Biji Kakao Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dan wawancara terhadap responden petani kakao, diperoleh data distribusi volume pemasaran biji kakao yang ada di Kabupaten Parigi Moutong. Tersajikan pada Gambar 6 terlihat bahwa, sejumlah 18 persen atau sebanyak 17 428 kg hasil panen kakao dipasarkan melalui saluran 1; 22 persen atau sebanyak 22 335 kg dipasarkan melalui saluran 2; 53 persen atau sebanyak 50 524 kg dipasarkan melalui saluran 3 dan 8 persen atau 8 540 kg dipasarkan melalui saluran 4. Dengan demikian terlihat bahwa volume pemasaran terbesar di Kabupaten Parigi Moutong terdapat pada saluran pemasaran 3 dan saluran pemasaran 2 yaitu sejumlah 74 persen. Hal tersebut disebabkan adanya ikatan yang terbentuk antara petani dengan pedagang pengumpul dan pedagang besar. Sehingga petani harus menjual hasil panennya ke pedagang pengumpul dan pedagang besar yang menjadi langganannya. Saluran pemasaran biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong di mulai dari petani sampai ke tingkat eksportir. Berdasarkan hasil penelitian secara umum jalur pemasaran kakao di Kabupaten Parigi Moutong dapat dilihat pada Gambar 6. Dari gambar tersebut, terlihat bahwa jalur pemasaran kakao terdiri dari 4 saluran. Setiap rantai pemasaran kakao di Kabupaten Parigi Moutong cukup bervariasi tergantung dari pola kerjasama atau ikatan yang terbentuk antara kakao dengan pihak pedagang. Perbedaan saluran pemasaran kakao di Kabupaten Parigi Moutong bermuara pada konsumen yang sama yaitu eksportir yang berada di ibukota provinsi. Persentase volume penjualan kakao di setiap jalur pemasaran yang ditempuh berbeda-beda. Persentase Volume Penjualan Saluran 1
Saluran 2
Saluran 3
Saluran 4
8% 18%
52%
22%
Gambar 6 Distribusi volume penjualan kakao di Kabupaten Parigi Moutong, 2015 Perbedaan saluran pemasaran berpengaruhi pada tingkat harga, pangsa (share) keuntungan dan biaya serta marjin pemasaran yang dilakukan oleh setiap pelaku pemasaran kakao. Dari pola jalur pemasaran kakao di Kabupaten Parigi Moutong terlihat bahwa 17.5 persen responden petani melakukan saluran pemasaran 1 (pertama). Pada saluran pemasaran tersebut petani kakao menjual hasil panennya ke pedagang pengumpul kecamatan, kemudian dari pedagang
53
pengumpul kecamatan tersebut hasil panen biji kakao langsung di pedagang besar yang ada di provinsi. Pada saluran pemasaran 1, transaksi yang terjadi antara petani dengan pedagang pengumpul kecamatan tidak memiliki ikatan apapun (bebas). Sehingga pedagang pengumpul kecamatan harus mencari petani yang menjual hasil penennya kepada pedagang pengumpul kecamatan tersebut. Harga biji kakao yang berlaku saat penelitian rata-rata berkisar Rp 26 742 biji kakao kering. Kadar air biji kakao yang dibeli di tingkat petani cukup tinggi berkisar 8-9 persen sehingga masih perlu dilakukan pengeringan dan pembersihan setelah itu langsung dikirim ke pedagang besar. Pada kasus di Kabupaten Parigi Moutong pedagang pengumpul kecamatan sebagai kaki tangan dari pedagang besar yang ada di provinsi. Penentuan harga jual biji kakao di tingkat petani kerap kali berada pada posisi tawar lemah karena harga jual biji kakao ditentukan pedagang pengumpul kecamatan. Sebanyak 38.75 persen responden petani kakao melakukan penjualan biji kakaonya melalui saluran pemasaran 2 (kedua). Pada saluran pemasaran ini petani menjual hasil panen ke pedagang desa kemudian dijual ke pedagang pengumpul kecamatan selanjutnya dijual ke eksportir. Transaksi yang terjadi pada saluran pemasaran ini karena adanya ikatan antara petani kakao dengan para pedagang pengumpul desa dan antara pedagang pengumpul desa dan pedagang pengumpul kecamatan serta pedagang pengumpul kecamatan dengan pedagang besar provinsi.
Petani 38.75%
32.5%
17.5%
Pedagang Desa
11.25%
Pedagang Kecamatan
Pedagang Besar
Eksportir
Keterangan: Saluran 1;
Saluran 2 ;
Saluran 3 ;
Saluran 4 ;
Gambar 7 Saluran pemasaran biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong Sortasi dilakukan oleh pedagang pengumpul desa dan pedagang pengumpul kecamatan untuk memperoleh kadar air sesuai persyaratan, kemudian dilakukan pembersihan benda-benda asing. Sortasi lebih lanjut dilakukan di tingkat eksportir agar dapat menghasilkan biji kakao sesuai standar ekspor. Harga jual di tingkat
54
petani kakao ditetapkan oleh pedagang pengumpul kecamatan. Variasi harga biji kakao yang ada di Kabupaten Parigi Moutong selain disebabkan oleh kualitas biji kakao yang dibeli, juga karena adanya faktor ikatan modal dan pinjaman biaya hidup ke pedagang pengumpul. Hal tersebut menyebabkan posisi tawar petani kakao menjadi lemah. Petani kakao yang melakukan penjualan melalui saluran pemasaran 3 (ketiga) adalah 32.5 persen. Sama halnya dengan saluran pemasaran 1, transaksi yang dilakukan antara petani dan pedagang pengumpul provinsi tidak adanya ikatan apapun (bebas) sehingga harga yang diperoleh lebih baik, tetapi masih tergantung juga dari volume biji kakao yang dijual dan harga yang berlaku pada saat itu yang telah disepakati diantara para pedagang. Posisi tawar petani lemah karena petani tidak memiliki kemampuan untuk mengakses pasar yang harga jual kakaonya lebih tinggi. Petani langsung menjual hasil produksinya ke pedagang besar provinsi sehingga penetapan harga pembelian di tingkat petani kakao ditentukan oleh pedagang besar provinsi. Sementara itu, sebanyak 11.25 persen responden petani kakao melakukan penjualan melalui saluran pemasaran 4 (keempat). Pada saluran ini pedagang pengumpul kecamatan menjual biji kakaonya langsung ke eksportir yang berada di ibukota provinsi. Transaksi yang dilakukan pada saluran pemasaran ini adalah adanya ikatan antara petani dengan pedagang kecamatan dimana yang beperan dalam pola pemasaran ini adalah pedagang pengumpul kecamatan karena langsung menjual ke eksportir di ibukota dan sebagai penentu harga untuk petani kakao. Tabel 15 Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan petani di Kabupaten Parigi Moutong, 2015 Fungsi – Fungsi Pemasaran
Petani Saluran 1 Petani Saluran 2 Petani Saluran 3 Petani Saluran 4
Pertukaran Beli Jual (%) (%) 0 100
Fisik Pengangkutan Penyimpanan (%) (%) 100 50
Sortasi (%) 8.43
Resiko (%) 42.85
Faslititas Pembiayaan (%) 28.57
Informasi Pasar(%) 71.42
0
100
100
54.83
5.62
35.48
19.35
77.41
0
100
100
19.23
5.62
30.76
11.53
80.76
0
100
100
11.11
2.81
11.11
18.18
45.45
55
Analisis Kinerja Pasar (Market Performance) Marjin Pemasaran Analisis marjin pemasaran bertujuan untuk melihat perbedaan harga di berbagai tingkat lembaga pemasaran. Marjin pemasaran merupakan perbedaan harga di tingkat lembaga pemasaran dengan harga yang diterima petani (Tomek dan Robinson, 1990). Marjin disetiap lembaga pemasaran merupakan perbedaan antara harga jual dengan harga beli pada lembaga tertentu. Analisis marjin pemasaran dilakukan mulai dari petani, pedagang pengumpul desa, pedagang pemgumpul kecamatan, pedagang besar provinsi dan eksportir. Analisis marjin didalam penelitian ini mempergunakan akuntansi yang bertujuan untuk mengetahui penyebaran marjin pemasaran diantara lembaga-lembaga yang terlibat pada saluran pemasaran. Saluran pemasaran yang ada di Kabupaten Parigi Moutong yaitu 4 saluran. Besarnya marjin pada masing-masing saluran pemasaran berbeda-beda, tergantung pada saluran yang dilalui dan banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat. Hasil analisis menunjukkan marjin pemasaran pada saluran pemasaran 1 di Kabupaten Parigi Moutong. Hasil analisis menunjukkan bahwa saluran 1 biaya pemasaran terbesar dikeluarkan oleh eksportir yaitu sebesar Rp3 941/kg, kemudian pedagang besar provinsi Rp 395/kg, dan yang terakhir tingkat pedagang pengumpul kecamatan Rp 918/kg. Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh eksportir disebabkan oleh besarnya biaya tenaga kerja yang mencapai Rp 2 800/kg. selain biaya tenaga kerja, eksportir juga mengeluarkan baiaya transportasi,bongkar muat, retribusi, kemasan, sortasi, bea cukai dan administrasi. Hal yang sama terjadi pada pedagang besar provinsi, biaya terbesar yang dikeluarkan adalah biaya penyimpanan dan gudang sebesar Rp 110/kg, sedangkan pada pedagang pengumpul kecamatan biaya terbesar yang dikeluarkan adalah biaya susut sebesar Rp523/kg. Hasil analisis menunjukkan bahwa marjin pemasaran terbesar terdapat pada saluran 2 (petani-pedagang pengumpul desa-pedagang pengumpul kecamatan-eksportir) yaitu Rp. 27 400/kg, sedangkan saluran 3 merupakan saluran yang memiliki marjin pemasaran terkecil yaitu Rp 20 715/kg. Marjin pemasaran yang tinggi disebabkan karena banyaknya pihak yang terlibat dalam proses penyaluran produk dari produsen ke konsumen. Hal ini mengakibatkan biaya pemasaran menjadi lebih tinggi dan keuntungan yang diambil oleh masingmasing pelaku pasar semakin kecil. Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa total keuntungan terbesar diperoleh pada saluran 2 (Rp 22 535/kg), sedangkan total keuntungan terkecil terdapat saluran 3 (Rp 16 538). Hal ini disebabkan pada saluran 3 lembaga pemasaran yang terlibat lebih sedikit (petani-pedagang besar provinsi-eksportir) dibandingkan saluran lainnya terutama saluran 1. Selain itu, harga jual yang ditawarkan oleh eksportir lebih kompetitif. Analisis saluran pemasaran pada masing-masing saluran memberikan tingkat biaya pemasaran yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan nilai tambah produk yang dilakukan, baik bentuk, tempat, waktu dan kepemilikan. Hasil analisis menunjukkan bahwa saluran 2 biaya pemasaran terbesar dikeluarkan oleh eksportir yaitu sebesar Rp 3 943/kg, selanjutnya tingkat pedagang pengumpul kecamatan Rp 785/kg dan yang terakhir pedagang pengumpul desa Rp 135/kg. Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh eksportir
56
disebabkan oleh besarnya biaya tenaga kerja yang mencapai Rp 2 800/kg. selain biaya tenaga kerja, eksportir juga mengeluarkan biaya transportasi,bongkar muat, retribusi, kemasan, sortasi, bea cukai dan administrasi. Hal yang sama terjadi pada pedagang pengumpul kecamatan, biaya terbesar yang dikeluarkan adalah biaya susut sebesar Rp 535/kg, biaya susut ini ada pada pedagang pengumpul kecamatan karena biji kakao yang dari petani dijemur kembali oleh pedagang dikarenakan petani menjual biji kakaonya belum kering. Biaya selanjutnya yang dikeluarkan adalah biaya transportasi, bongkar muat, retribusi sebesar Rp 120/kg, kemudian biaya kemasan serta biaya penyimpanan dan gudang. Saluran pemasaran 3 di Kabupaten Parigi Moutong menunjukkan bahwa saluran 3 biaya pemasaran terbesar dikeluarkan oleh eksportir yaitu sebesar Rp 3 173/kg, sedangkan pada tingkat pedagang besar provinsi Rp 1 005/kg. Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh eksportir disebabkan oleh besarnya biaya tenaga kerja yang mencapai Rp 2 200/kg. selain biaya teaga kerja, eksportir juga mengeluarkan baiaya transportasi,bongkar muat, retribusi, kemasan, sortasi, bea cukai dan administrasi. Berdasarkan hasil analisis marjin pemasaran biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong menunjukkan bahwa semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat akan memperoleh marjin pemasaran terbesar yaitu pada saluran 1. Saluran yang tidak banyak melibatkan pelaku pemasaran dan mampu meningkatkan efisiensi usahanya dengan mempertahankan kepuasan konsumen akan dapat memperoleh total keuntungan terbesar. Namun, hal ini belum cukup untuk menunjukkan kinerja pasar tergolong efisien atau tidak. Perlu kajian lebih lanjut seberapa besar share harga yang diterima oleh petani dan kondisi integasi pasar yang terbentuk. Saluran pemasaran 4 di Kabupaten Parigi Moutong menunjukkan bahwa saluran 4 biaya pemasaran terbesar dikeluarkan oleh eksportir yaitu sebesar Rp 3 457/kg, sedangkan pada tingkat pedagang pengumpul kecamatan Rp 918/kg. Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh eksportir disebabkan oleh besarnya biaya tenaga kerja yang mencapai Rp 2 200/kg. Selain biaya teaga kerja, eksportir juga mengeluarkan baiaya transportasi,bongkar muat, retribusi, kemasan, sortasi, bea cukai dan administrasi.
57
Tabel 16 Analisis marjin pemasaran biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong No 1 2
3
4
5
Uraian (Rp/Kg) Petani a. Harga Jual Pedagang Desa a. Harga Beli b. Biaya Pemasaran - Biaya Transportasi - Biaya Kemasan (Karung, Tali rapiah) - Tenaga Kerja c. Harga Jual d. Keuntungan e. Marjin Pedagang Desa Pedagang Kecamatan a. Harga Beli b. Biaya Pemasaran - Biaya Transportasi, bongkar muat dan retribusi - Biaya kemasan (karung, tali rapiah) - Biaya susut - Biaya penyimpanan + gudang - Biaya sortasi - Biaya tenaga kerja c. Harga Jual d. Keuntungan e. Marjin Pedagang Kecamatan Pedagang Besar Provinsi a. Harga Beli b. Biaya Pemasaran - Biaya Transportasi, bongkar muat dan retribusi - Biaya kemasan (karung, tali rapiah) - Biaya susut - Biaya penyimpanan + gudang - Biaya sortasi - Biaya tenaga kerja c. Harga Jual d. Keuntungan e. Marjin Pedagang Besar Provinsi Eksportir a. Harga Beli b. Biaya Pemasaran - Biaya Transportasi, bongkar muat dan retribusi - Biaya kemasan (karung, tali rapiah) - Biaya tenaga kerja - Biaya penyimpanan + gudang - Biaya sortasi - Biaya Administrasi + bea cukai c. Harga Jual d. Keuntungan e. Marjin Eksportir Total Biaya Pemasaran Total Keuntungan Total Marjin Farmer Share
1
Saluran Pemasaran 2 3
4
26,188
23,875
28,626
26,833
-
23,875 135.5 75 10.5 50 26,750 2,739 2,875
-
-
26,188 918.5 120 10.5 523 50 75 140 29,750 2,643 3,562
26,750 785.5 120 10.5 535 50 120 31,750 4,214 5,000
-
26,833 918.5 120 10.5 523 50 75 140 31,750 2,998 4,917
29,750 395.5 100 10.5 110 75 100 32,500 2,354 2,750
-
28,625 1,005 80 10.5 572 83 120 140 32,500 2,870 3,875
-
32,500 3,941 500 16.5 2,800 210 325 90 49,340 12,899 16,840 4,255 17,896 23,152 53.07%
31,750 3,943 500 16.5 2,800 210 317.5 90 51,275 15,582 19,525 4,864 22,535 27,400 46.53%
32,500 3,172 650 20 2,200 180 325 90 49340 13668 16840 4,177 16,538 20,715 58.01%
31,750 3,457 650 20 2,200 180 317.5 90 51,275 16,068 19,525 5294 19,066 24,442 52.33%
58
Farmer Share Farmer share merupakan rasio antara harga di tingkat petani terhadap harga di tingkat eksportir. Besarnya farmer share dipengaruhi oleh tingkat pemprosesan, biaya transportasi, keawetan produk dan jumlah produk (Kohls dan Uhl 2002). Di Kabupaten Parigi Moutong, share harga yang diterima petani relatif tinggi (>46 persen). Share yang diterima petani di kabupaten ini relatif tinggi karena tidak adanya proses pengolahan yang dilakukan oleh tiap lembaga pemasaran, semua lembaga pemasaran yang dilalui pemasaran menjual kakao dalam bentuk biji, bahkan sampai eksportir menjual kakao dalam bentuk biji ke importir. Tabel 16 menunjukkan farmer share yang dihasilkan pada setiap saluran pemasaran di Kabupaten Parigi Moutong. Berdasarkan Tabel 17 terlihat bahwa saluran pemasaran 3 lebih efisien dibandingkan saluran lainnya dengan nilai farmer share sebesar 58.01 persen. Farmer Share dapat dikatakan sebagai bagian harga yang dibayar konsumen dan dinikmati oleh petani. Tabel 17 Farmer share pada saluran pemasaran di Kabupaten Parigi Moutong Saluran Pemasaran Saluran 1 Saluran 2 Saluran 3 Saluran 4
Harga (Rp/Kg) Petani Kakao Eksportir 26 188 49 340 23 875 51 275 28 626 49 340 26 833 51 275
Farmer Share (%) 53.07 46.53 58.01 52.33
Berdasarkan hasil analisis farmer share di Kabupaten Parigi Moutong dapat disimpulkan bahwa share harga yang diterima petani baik di Kabupaten Parigi Moutong tergolong tinggi. Hal ini dikarenakan lebih dari 50 persen petani menikmati harga yang dibayarkan oleh konsumen. Dalam aktivitas pemasaran komoditas pertanian share harga yang diterima petani dapat mencapai 40 persen atau lebih dari harga yang dibayarkan oleh konsumen (Kohl dan Uhl 2002). Farmer Share yang tinggi menggambarkan tidak terlalu tingginya harga jual biji kakao di pasar ekspor sehingga bisa dinikmati oleh petani. Walaupun dalam memasarkan biji kakaonya petani terikat oleh pinjaman modal, dan penerima harga (price taker) tetapi tidak mempengaruhi share harga yang diterima petani. Hal ini sangat terkait dengan integrasi pasar yang terjadi. Oleh karena itu, berikut ini akan dianalisis apakah pasar kakao di tingkat petani terintegrasi dengan pasar kakao di tingkat eksportir. Integrasi Pasar Vertikal Integrasi pasar vertikal menunjukkan perubahan harga di suatu pasar akan direfekleksikan pada perubahan harga di pasar lain secara vertikal dalam produk yang sama (Suparmin, 2005). Dalam kasus kakao, integrasi vertikal dapat terjadi, jika terdapat perubahan harga kakao di tingkat eksportir kemudian diikuti oleh perubahan harga kakao di tingkat petani (produsen). Dengan demikian, antara satu pasar dengan pasar lainnya akan saling berhubungan, dimana informasi harga akan diperoleh secara akurat dan ini akan membuat pergerakan kakao menjadi efisien.
59
Integrasi Pasar Kakao di Kabupaten Parigi Moutong terhadap Eksportir di Kota Palu Analisis integrasi pasar digunakan untuk mengetahui bagaimana pengaruh pembentukan harga di tingkat eksportir dan petani di Kabupaten Parigi Moutong. Data yang digunakan adalah data time series berupa data bulanan harga kakao di tingkat eksportir Kota Palu dan data bulanan di tingkat petani Kabupaten Parigi Moutong dari tahun 2008 sampai 2013 yang bersumber dari BPS tahun 2015. a. Hasil Uji Stasioner Data Sebelum melakukan regresi dengan uji ECM, yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah mengetahui apakah variabel yang digunakan telah stasioner atau tidak. Bila data tidak stasioner maka akan diperoleh regresi yang palsu (spurious), timbul fenomena autokorelasi dan juga kita tidak dapat menggeneralisasi hasil regresi tersebut untuk waktu yang berbeda. Selain itu, apabila data yang akan digunakan telah stasioner, maka dapat menggunakan regresi OLS, namun jika belum stasioner, data tersebut perlu dilihat stasioner pada tingkat level memiliki kemungkinan akan terkonitregrasi sehingga perlu dilakukan uji kointegrasi. Kemudian jika data tersebut telah terkointegrasi, maka pengujian ECM dapat dilakukan. Untuk mengetahui apakah data time series yang digunakan stasioner atau tidak stasioner, digunakan uji akar unit (unit root test). Uji akar unit dilakukan dengan menggunakan metode Augmented Dicky Fuller (ADF). Hasil t statistik hasil estimasi pada metode akan dibandingkan dengan nilai kritis McKinnon pada titik kritis 1 persen. Jika nilai mutlak t-statistik lebih kecil dari nilai McKinnon maka H0 diterima, artinya data terdapat unit root atau data tidak stasioner. Jika nilai mutlak t-statistik lebih besr dari nilai kritis McKinnon maka H0 ditolak, artinya data tidak terdapat unit root atau data stasioner. Tabel 18 Variabel
Eksportir Parigi
Hasil uji stasioneritas ADF (akar unit) pada data seri harga di Kabupaten Parigi Moutong
Level Tanpa Tren Dengan Tren Nilai Nilai Nilai Nilai ADF MacKinnon ADF MacKinnon -2.27 -3.56 -2.01 -4.09 -1.94 -3.53 -3.16 -4.09
First Difference Tanpa Tren Dengan Tren Nilai Nilai Nilai Nilai ADF MacKinnon ADF MacKinnon -11.52 -3.53 -8.72 -4.09 -11.68 -3.53 -11.68 -4.09
Hasil pengujian menunjukkan bahwa semua variabel di Kabupaten Parigi Moutong tidak stasioner pada level sehingga dilakukan pengujian pada first difference, pada pengujian first difference semua variabel telah stasioner. b. Uji Kointergrasi Setelah mengetahui bahwa data stasioner pada first difference, maka langkah selanjutnya adalah melakukan identifikasi apakah data terkointegrasi. Untuk itu diperlukan uji kointegrasi. Uji kointegrasi digunakan untuk memberi indikasi awal bahwa model yang digunakan memiliki hubungan jangka panjang (cointegration relation).
60
Tabel 19 Hasil uji kointegrasi di Kabupaten Parigi Moutong
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.341159 -3.525618 -2.902953 -2.588902
0.0008
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
RESID01(-1) C
-0.424310 0.001094
0.097741 0.011318
-4.341159 0.096624
0.0000 0.9233
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.214532 0.203148 0.095361 0.627469 67.12566 18.84566 0.000048
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.000592 0.106827 -1.834526 -1.770788 -1.809179 2.069644
Hasil uji kointegrasi didapatkan dengan membentuk residual yang diperoleh dengan cara meregresikan variabel independen terhadap variabel dependen secara OLS. Residual tersebut harus stasioner pada tingkat level untuk dapat dikatakan memiliki kointegrasi. Setelah dilakukan pengujian ADF untuk menguji residual yang dihasilkan, didapatkan hasil bahwa di Kabupaten Parigi Moutong (Prob 0.0008). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa data tersebut terkointegrasi. c. Uji ECM Suatu model ECM yang baik dan valid harus memiliki ECT yang signifikan (Insukindro, 1991). Signifikasn ECT selain dapat dilihat dari nilai tstatistik yang kemudian diperbandingkan dengan t-tabel, dapat juga dilihat dari probabilitasnya. Jika nilai t-statistik lebih besar dari t-tabel berarti koefisien tersebut signifikan. Jika probabilitas ECT lebih kecil dibandingkan dengan α, maka berarti koefisien ECT telah signifikan. Hail regresi tersaji pada Tabel 18. Hasil pengujian di Kabupaten Parigi Moutong menunjukkan bahwa persamaan telah valid yang dibuktikan dengan koefsien ECT yang signifikan sebagaimana tampak dalam probabilitas yang lebih kecil dibanding 5 persen. Nilai R-squared di Kabupaten Parigi Moutong sebesar 0.87, menunjukkan bahwa persamaan ini mamapu menjelaskan 87 persen atas variabel dependen berdasarkan model yang digunakan dan sisanya merupakan variabel lain yang tidak masuk dalam model.
61
Tabel 20 Hasil regresi ECM di Kabupaten Parigi Moutong Variable D(EKSPORTIR) ECT(-1) C R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
0.865668 0.594065 1.774055
0.043126 0.098450 0.434527
20.07320 6.034193 4.082729
0.0000 0.0000 0.0001
0.877339 0.873731 0.094975 0.613381 67.93181 243.1870 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
10.49451 0.267278 -1.829065 -1.733459 -1.791045 2.039865
d. Estimasi Jangka Panjang dan Jangka Pendek Langkah berikutnya adalah melihat jangka panjang dan jangka pendek . Tabel 21 menunjukkan model jangka pendek di Kabupaten Parigi Motuong. Model ECM ini dikatakan valid jika tanda koreksi kesalahan ini bertanda negatif dan signifikan secara statistik. Berdasarkan pada hasil estimasi pada Tabel 21 dengan menggunakan Error Correction Model diperoleh nilai ECT (Error Correction Term) di Kabupaten Parigi Moutong dengan tanda negatif yaitu sebesar -0.179 menunjukkan bahwa disequilibrium periode sebelumnya terkoreksi pada periode sekarang sebesar 0.179 persen. Besar koefisien Error Correction Term menunjukkan seberapa cepat keseimbangan jangka panjang. Hasil uji ECM jangka pendek di Kabupaten Parigi Moutong menunjukkan bahwa pada hubungan pasar vertikal, harga di tingkat eksportir tidak terintegrasi terhadap harga di tingkat petani di Kabupaten Parigi Moutong ini dapat dilihat dari nilai probabilitas yang tidak signifikan. Tabel 21 Estimasi jangka pendek di Kabupaten Parigi Moutong Variabel Coefficient t-Statistic Konstanta 0.012631 1.682003 D(Eksportir) 0.064172 0.761259 D(Parigi(-1)) 0.061815 0.503995 ECT(-1) -0.179725 -2.544154 R-squared 0.090873 F-statistic Adjusted R-squared 0.049549 Prob(F-statistic) Durbin-Watson 2.002754
Prob. 0.0973 0.4492 0.6159 0.0133 2.199033 0.096411
Tidak terintegrasinya harga di tingkat eksportir terhadap harga di tingkat petani di Kabupaten Parigi Moutong sebenarnya dapat ditelusuri melalui saluran pemasaran. Bila petani dapat menjual ke eksportir dengan harga di tingkat eksportir maka margin tataniaga dapat ditekan. Tetapi, tidak ada petani yang menjual langsung ke eksportir, karena eksportir berada di Kota Palu, sehingga petani harus meluangkan waktu, dan mengeluarkan biaya transportasi dan konsumsi diperjalanan
62
Dalam transaksi biji kakao, pedagang pengumpul desa tidak memiliki alat tester (penguji) kadar air, sehingga kadar air hanya diperkirakan tetapi pedagang pengumpul desa sangat profesional dalam hal tersebut. Pedagang pengumpul kecamatan, pedagang besar provinsi dan eksportir memiliki alat tersebut. Selanjutnya, harga pasar berlaku didasarkan atas kadar air minimum 7 persen. Selain pengujian kadar air, pedagang kecamatan juga melakukan penyortiran atas biji kakao dari persentase biji yang kecil-kecil dan kotoran yang semuanya diperkirakan dan dipotong dari harga pasar. Jangka panjang merupakan suatu periode yang menungkinkan untuk mengadakan penyesuaian penuh untuk setiap perubahan yang timbul, sehingga dapat menunjukkan sejauh mana perubahan pada variabel independen menyesuaikan secara penuh variabel dependen, hasil estimasi regresi jangka panjang di Parigi Moutong sebagai berikut. Berdasarkan estimasi jangka panjang diperoleh bahwa di Kabupaten Parigi Moutong harga di tingkat eksportir mempengaruhi harga di tingkat petani ini dilihat dari nilai probabilitasnya sedangkan harga di tingkat eksportir tidak mempengaruhi harga di tingkat petani. Tabel 22 Estimasi jangka panjang di Kabupaten Parigi Moutong Variable Coefficient Std. Error t-Statistic PARIGI(-1) EKSPORTIR C
0.083985 0.867785 0.553143
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.951527 0.950101 0.059705 0.242395 100.8906 667.4215 0.000000
0.064421 0.061951 0.276532
1.303698 14.00761 2.000289
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.1967 0.0000 0.0495 10.49451 0.267278 -2.757482 -2.661876 -2.719462 2.014950
Implikasi Kebijakan terhadap Sistem Pemasaran Biji Kakao di Kabupaten Parigi Moutong Analisis sistem pemasaran biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong dengan pendekatan structure, conduct dan performance (SCP) memperoleh hasil yaitu analisis struktur pasar menunjukkan bahwa petani menghadapi pasar yang tidak bersaing (oligopsoni). Di tingkat eksportir beraada pada kondisi terkonsentrasi dengan persaingan kecil. Hal ini memungkinkan pedagang dan eksportir melakukan kecurangan seperti kolusi harga. Oleh karena itu diperlukan alternative tambahan dalam memasarkan biji kakao seperti memberdayakan koperasi sebagai alternatif tambahan dalam meyalurkan biji kakao. Koperasi yang ada selain difungsikan sebagai pemberi pinjaman modal dan melakukan perdagangan produk-produk kebutuhan rumah tangga dapat juga dijadikan sebagai media pemasaran biji kakao.
63
Pembentukan koperasi di Kabupaten Parigi Moutong merupakan alternatif yang layak untuk memperbaiki struktur pasar biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong. Selain karena koperasi yang berorientasi pada kesejahteraan anggota, keberadaan koperasi di beberapa daerah sebagai penopang ekonomi masyarakat yang telah terbukti mampu mensejahterakan anggotanya khususnya yang beranggotakan petani. Alternatif lain yang dapat dilakukan dalam memperbaiki struktur pasar adalah melalui pengaktifan kelompok tani melalui penguatan kelompok tani yang ada. Hal tersebut dapat dilakukan dapat dilakukan dengan menggabungkan beberapa petani antara 5 sampai 10 orang yang memiliki jarak kebun kakao relatif berdekatan. Kelompok tersebut dapat berfungsi dalam melaksanakan fungsifungsi pemasaran yang ada baik fungsi pertukaran, fisik dan fasilitas. Sehingga diharapkan petani akan dapat dengan mudah memperoleh akses informasi pasar yang ada. Dengan demikian posisi tawar petani dalam proses penentuan harga dapat ditingkatkan. Kondisi struktur pasar akan sangat berpengaruh terhadap perilaku pasar yang terjadi demikian pula sebaliknya. Petani yang terikat dengan pinjaman modal kepada pedagang pengumpul menyebabkan petani memiliki keterbatasan dalam menyalurkan biji kakao yang dipasarkan. Hal ini dapat diatasi dengan menyediakan fasilitas pinjaman kepada petani melalui lembaga-lembaga formal dengan persyaratan yang lebih mudah dipenuhi oleh petani. Penguatan kelembagaan petani seperti kelompok tani dan pemberdayaan koperasi merupakan alternatif lain untuk diharapkan mampu memudahkan koordinasi dan saling berbagi informasi sesama petani biji kakao. Kinerja pasar yang dihasilkan turut berpengaruh terhadap pola pembentukan struktur dan perilaku pasar yang ada. Hasil analisis kinerja pasar menunjukkan bahwa pasar biji kakao memiliki share harga yang relatif masih sangat rendah untuk tingkat petani (<58%). Demikian juga dengan adanya harga yang tidak terintegrasi dengan baik dari tingkat eksportir sampai ke tingkat petani. Sehingga upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki permasalahan dalam kinerja pasar biji kakao adalah melalui peningkatan kualitas biji kakao yang dihasilkan. Upaya peningkatan kemampuan petani dalam meningkatkan nilai tambah biji kakao yang dihasilkan seperti melakukan fermentasi Dukungan pemerintah dalam hal pengawasan dan penyediaan fasilitas akan mempercepat efisiensi pemasaran biji kakao terwujud. Hal ini dikarenakan apabila pemerintah melakukan perbaikan infrastruktur berupa jalur transportasi (jalan) guna memudahkan petani maupun pedagang dalam mendistribusikan biji kakao.
64
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, dapat dirangkumkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Analisis struktur pasar (market structure) biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong cenderumg oligopoli. Pangsa pasar terbesar yaitu PT. Olam Indonesai dengan nilai pangsa pasar sebesar 24.16 persen. Pasar biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong terkonsentrasi dengan tingkat persaingan yang kecil, hal ini ditunjukkan dengan nilai CR4 sebesar 0.70. Selain itu terdapat hambatan masuk dalam pemasaran biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong, hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata Minimum Efficiency Scale (MES) tahun 2009 – 2013 sebesar 22.65 persen. Analisis perilaku pasar (market conduct) biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong menunjukkan terdapat beberapa lembaga pemasaran yaitu petani, pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang besar provinsi serta eksportir, masing-masing lembaga pemasaran melakukan fungsi-fungsi pemasaran. Pada aktivitas pemasaran adanya ikatan permodalan yang dilakukan petani dengan pedagang pengumpul menyebabkan petani terbatas dalam memperoleh informasi harga. Sebanyak 50 persen terikat kontrak dengan pedagang pengumpul. Untuk hal penyortitan, hanya sebesar 22.5 persen petani yang melakukan penyortiran sebelum menjual biji kakao ke pedagang. Analisis kinerja pasar (market performance) biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong menunjukkan bahwa terdapat empat (4) saluran pemasaran dengan total marjin yang berbeda-beda. Total marjin yang tetinggi terdapat pada saluran 2 (petani-pedagang desa-pedagang kecamatan-eksportir) yaitu sebesar Rp 25 465, semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat maka marjin pemasaran semakin tinggi. Hal ini menyebabkan farmer share yang semakin rendah. Saluran pemasaran yang paling efisien adalah saluran pemasaran 3 dengan nilai farmer share sebesar 58.01 persen. 2. Analisis integrasi pasar antara petani kakao di Kabupaten Parigi Moutong dengan eksportir di Kota Palu dalam jangka pendek tidak terintegrasi artinya perubahan harga kakao di tingkat eksportir tidak mempengaruhi harga kakao di tingkat petani. Namun, dalam jangka panjang terintegrasi artinya perubahan harga kakao di tingkat eksportir diikuti mempengaruhi harga di tingkat petani. 3. Pembentukan koperasi di Kabupaten Parigi Moutong merupakan alternatif yang layak untuk memperbaiki pemasaran biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong. Selain karena koperasi yang berorientasi pada kesejahteraan anggota, keberadaan koperasi di beberapa daerah sebagai penopang ekonomi masyarakat yang telah terbukti mampu mensejahterakan anggotanya khususnya yang beranggotakan petani.
65
Saran Potensi biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong masih sangat layak untuk terus dikembangkan. Namun hal tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya apabila tidak ada andil pemerintah dalam membenahi sarana dan prasarana pemasaran di Kabupaten Parigi Moutong khusunya jalur transportasi sebagai salah satu bagian yang dapat mendukung jalur pemasaran yang ada, khususnya yang terkait dengan harga agar tidak dipermainkan oleh para pedagang. Sehingga petani dapat memperoleh keadilan keuntungan atas produk yang dihasilkan. Keterlibatan petani dalam kegiatan kelompok dan koperasi yang berada di wilayah petani juga sangat diperlukan karena dengan adanya keikutsertaan oetani dalam kegiatan tersebut akan mampu untuk meningkatkan produktivitas petani serta dapat mengurangi ketergantungan petani terhadap pedagang pengumpul. Kerjasama diantara para petani kakao juga diperlukan dalam memasarkan produk agar tidak dipermainkan oleh para pedagang agar petani dapat menjadi penentuk harga produk yang dihasilkannya.
66
DAFTAR PUSTAKA Abbot, J.C dan J.P Mahekam. 1990. Agriculture Economics and Marketing In The Tropics. Longman. Essex. Adiyoga, W., K. O. Fuglie dan R. Suherman. 2006. Integrasi Pasar Kentang di Indonesia: Analisis Korelasi dan Kointegrasi. Jurnal Informatika Pertanian 15 (1): 835-852. Amalia DN. 2013. Sistem Pemasaran Karet Rakyat di Provinsi Jambi dengan Pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP). [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Anang. 2011. Market Structure and Competition in the Ghanaian Cocoa Sector after Partial Liberalization. Journal of Social Sciences 3 (6): 465-470, 2011. Ghana. Anwar, C. 2005. Prospek Karet Alam Indonesia di Pasar Internasional: Suatu Analisis Integrasi Pasar dan Keragaan Ekspor. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Arinong, A,R., dan Kadir, 2008. Analisis Saluran dan Margin Pemasaran Kakao di Desa Timbuseng, Kecamatan Pattalassang, Kabupaten Gowa. Jurnal Agribisnis 4 (2): 87-93 . Ariyoso. 2010. Integrasi Pasar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Kakao Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO). 2015. Volume Ekspor Kakao Sulawesi Tengah. ASKINDO Provinsi Sulawesi Tengah. Asmarantaka RW. 2012. Pemasaran Agribisnis (Agrimarketing). Jakarta (ID): Safa Printing . 2008. Bahan Kuliah Pemasaran Pertanian. Program Studi Ilmu Pertanian sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Sulawesi Tengah dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah. Baye M. 2010. Managerial Economics and Business Strategy. Seventh Edition. Mc Graw-Hill Irwin.Singapure. Pennsylvania (US): Douglas Retner Besanko D, Dranove D, Shanley M dan Schaefar S. 2010. Economics of Strategy. Fifth Edition. International Student Version. John Wiley & Sons (Asia). Bosena, Bekabil, Berhanu, dan Dirk. 2006. Structure-Conduct-Performance of Cotton Market : The Case of Matema District, Ethiopia. Journal of Agricultural, Biotechnology & Ecology 4(1), 1-12. Bresnahan T dan Levin J. 2012. Vertical Integration and Market Structure. Amerika (US): Stanford University and NBER. Carlton DW dan Perlof JM. 2000. Modern Industrial Organization Third Edfition. Massachusetts (US): Addison-Wesley. Cramer dan Gail L. 2001. Agricultural Economics and Agribusiness. John Wiley & Son. Inc. United States Lansing (US): Wiley Dahl AD and Hammond 1977. Market and Price Analysis The Agriculture Industries. New York. (US): McGraw Hill Darsono. 1996. Analisis Ekonomi Pengusahaan Jambu Mete di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Downey, David W dan John K. Trocke. 1981. Agribusiness Management., Inc.US of America. New York (US): McGraw-Hill
67
Dzanja J dan Kamwana B. 2014. Structure, Conduct and Performance of Grounduts Markets in Northern and Central Malawi : Case Studies of Mzimba and Kasungu Districts. Internasional Journal of Business and Social Science 5 (6): 130-139. D.O, Chidebelu, Onwubuya, Agbo dan Mbah. 2008. Policy Issues in the Structure, Conduct and Perfomance of Banana Market in Anambra State, Nigeria. Journal of Agricultural Extension 12 (2): 32-40 [Disbun] Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Tengah 2013. Data Luas Lahan Biji Kakao di Kabupaten Parigi Moutong (ID): Disbun. [Ditjen] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Statistik Perkebunan Indonesia 2004−2006. Biji Kakao. Jakarta (ID): Ditjen. [Ditjen] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Kakao. Jakarta (ID): Ditjen. [Deptan] Departemen Pertanian. 2014. Luas Areal Perkebunan Kakao Di Indonesia, 1997. Jakarta (ID): Deptan. Edwards, Allen dan Shaik. 2006 Market Structure Conduct Performance (SCP) Hypothesis Revisited using Stochastic Frontier Efficiency Analysis. Selected Paper prepared for presentation at the American Agricultural Economics Association Annual Meeting, Long Beach, California, July 2326. Engel, R.F. dan C.W.J. Granger. 1987. Cointegration and Error Representation, Estimation, and Testing. Review of Correction: Economics and Statistics 64 (2): 231-253. Fitrianti, W. 2009. Analisis Integrasi Pasar Karet Alam antara Pasar Fisik di Indonesia dengan Pasar Berjangka Dunia. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Folayan, Daramola dan Oguntade.2006. Structure and Performance Evaluation of Cocoa Marketing Institutions in South-Western Nigeria: An Economic Analysis. Journal of Food, Agriculture & Environment 4 (2) : 125-128. Funke O, Raphel B, and Kabir S. 2012. Market structure, conduct anf performance of gari processing industry in South Western Nigeria. Europen Journal of Business and Management 4 (2): 99-112. Gujarati, D. 1993. Ekonometrika Dasar. Jakarta (ID): Erlangga. Hammond, JW and DC Dahl. 1992. Market and Price Analysis: The Agricultural Industry. Newyork (US): McGraw-Hill. Haruna, Nkegbe dan Ustarz. 2012. Structure, Conduct and Performance of Tomato Marketing in Ghana. Journal of Economies and Sustainable Development 3 (10): 156-163. Hendry DF. 1995. Dynamic Econometrics. New York (US): Oxford University Press. Heytens, P. J. 1986. Testing Market Integration. Food Research Institute Studies 28(1): 25-41. Hidayati W. 2009. Analisis Struktur, Perilaku dan Keragaan Pasar Ruput Laut Eucheuma cottoni,: kasus di Kecamatan Mangarobombang, Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hirschey. 2009. Fundamentals of Managerial Economics. Kansas (US): University of Kansas.
68
Hutabarat, B. 2006. Analisis Saling-Pengaruh Harga Kopi Indonesia dan Dunia. Jurnal Agro Ekonomi 24 (1): 21- 40. [ICCO] International Cocoa Organization. 2014. Quarterly Bulletin of Cocoa [internet]. [diacu 23 September 2014]. Tersedia Statistics.www.icco.org. Jaya WK. 2001. Ekonomi Industri. Yogyakarta (ID): Fakultas Ekonomi. Universitas Gajah Mada. Juanda B. 2009. Metodologi Penelitian dan Bisnis. Bogor (ID) : IPB Press. Kizito, A.M. 2011. The Stucture, Conduct and Performance of Agricultural market Information Systems in Sub-Saharan Africa. [Dissertation]. Michigan (US): Michigan State University Kohl dan Uhl. (2002), Marketing of Agricultural Product Ninth edition. New York (US). Mac Millan Publishing Company. Kotler. 1993. Manajemen Pemasaran: Analisis Perencanaan, Implementasi, dan Pengendalian. Jakarta (ID): Lembaga Penerbit FE UI. Meyer, J. dan S. von Cramon Taubadel. 2004. Asymmetric Price Transmission : A Survey. Journal of Agricultural Economics 55 (3): 581-661. Nabieu. 2013. The Structure, Conduct and Performance Of Commercial Banks in Ghana. European Journal of Business and Innovation Research 1 (4): 3447. Ngigi M. 2008. Structure, Conduct, and Performance Of Commodity Markets in South Sudan (SD): Lingkages Food Security. Oluwadare, Imoudu dan Ogundari. 2009. Structure and Performance of palm Oil Marketing in Ondo State, Nigeria. Journal of Agricultural & Social Sciences 5 (1-2): 23-26. Pakpahan.1999. Kebijakan Perkebunan Simposium III. Hasil Penelitian Perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Parel. 1973. Sampling Design and Procedures. Agriculture Development Council. New York (US). Agriculture Development Council. Porter ME. 1980.Competitive strategy: Technicues for Analyzing Industries and Competitors. New York (US): Free Press. Putri MA. 2013. Sistem Pemasaran Kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah Provinsi Aceh: Pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP). [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Putra EJ. 2009. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pulp dan Kertas di Indonesia. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rahim dan Hastuti. 2007. Pengantar, Teori, dan Kasus Ekonomika Pertanian. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Ravallion M. 1986. Testing Market Integration. American Journal of Agricultural Economics 68 (1): 102-109. Rifin A. Suharno, dan Yanuar R. 2011. Analisis Structure, Conduct, and Performance Industri Gula Indonesia. Laporan Akhir Penelitian Unggulan Departemen Agribisnis. Bogor (ID): IPB. Rosiana N. 2012. Sistem Pemasaran Gula Tebu (Cane Sugar) Dengan Pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP) [Kasus : Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bungamayang]. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada.
69
Sudiyono A. 2002. Pemasaran Pertanian. Malang (ID): Universitas Muhamadiyah Malang. Swastha B. 2005. Manajemen Pemasaran Modern. Yogyakarta (ID): Lyberty. Thomas RL. 1997. Modern Econometric: An Introduction. Harlow (UK): Addison Wesley Longman Limited. Tomek WG dan Robinson KL. 1990. Agricultural Product Prices. Third Edition. Ithaca and London (UK). Cornell University Press Vavra, P dan B.K Goodwin. 2005. Analysis of Price Transmission Along Food Chain. Working Papers OECD Food, Agriculture and Fisheries, No 3, OECD Publishing. Wahyuningsih. 2013. Sistem Pemasaran Rumput Laut Di Kepulauan Tanekke Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan: Struktur, Perilaku Dan Keragaan Pasar. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Waldman DE dan Jensen EJ. 2007. Industrial Organization. Theory and Practice. Third. New York (US) : Addision Wesley. Yantu MR, Bambang J. Hermanto S, Isang G dan Setia H. 2011. Integrasi Pasar Kakao Biji Perdesaan Sulawesi Tengah dengan Pasar Dunia. Jurnal Agroekonomi 28 (2): 201-225. Yantu, M.R. 2005. Masalah Perdagangan Internasional Komoditi Kakao Indonesia: Suatu Tinjauan Kritis. Jurnal Agrokultur 2 (3): 89 – 98. Yantu, M.R., Sisfahyuni, Ludin dan Taufik. 2008. Komposisi Industri yang Membangun Sektor Pertanian Sulawesi Tengah. Jurnal Agroland 15 (4): 316 – 322. Yuprin, A.D. 2009. Analisis Pemasaran Karet di Kabupaten Kapuas. Agritek 17 (6): 519-538.
LAMPIRAN
73
Hasil Output Analisis Integrasi Pasar Vertikal 1. Pengujian Stasioneritas ADF 1a. Pengujian Stasioneritas Eksportir Null Hypothesis: D(EKSPORTIR) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-8.515627 -3.527045 -2.903566 -2.589227
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
1b. Pengujian Stasioneritas Petani Kabupaten Parigi Moutong Null Hypothesis: D(PARIGI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-11.68142 -3.527045 -2.903566 -2.589227
0.0001
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. 2. Pengujian Kointegrasi Kointegrasi eksportir dan petani Null Hypothesis: RESID01 has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-4.341159 -3.525618 -2.902953 -2.588902
0.0008
74
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(RESID01) Method: Least Squares Date: 09/04/15 Time: 00:28 Sample (adjusted): 2008M02 2013M12 Included observations: 71 after adjustments Variable
Coefficient
RESID01(-1) C
-0.424310 0.001094
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.214532 0.203148 0.095361 0.627469 67.12566 18.84566 0.000048
Std. Error
t-Statistic
0.097741 -4.341159 0.011318 0.096624 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.0000 0.9233 0.000592 0.106827 -1.834526 -1.770788 -1.809179 2.069644
3. Pengujian ECM Dependent Variable: EKSPORTIR Method: Least Squares Date: 09/04/15 Time: 00:53 Sample (adjusted): 2008M02 2013M12 Included observations: 71 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(EKSPORTIR) RESID01(-1) C
0.865668 0.594065 1.774055
0.043126 0.098450 0.434527
20.07320 6.034193 4.082729
0.0000 0.0000 0.0001
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.877339 0.873731 0.094975 0.613381 67.93181 243.1870 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
10.49451 0.267278 -1.829065 -1.733459 -1.791045 2.039865
75
4. Estimasi Jangka Pendek Dependent Variable: D(EKSPORTIR) Method: Least Squares Date: 09/04/15 Time: 03:46 Sample (adjusted): 2008M03 2013M12 Included observations: 70 after adjustments Variable
Coefficient
D(EKSPORTIR) D(PARIGI(-1)) RESID01(-1) C
0.064172 0.061815 -0.179725 0.012631
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.090873 0.049549 0.060503 0.241602 99.08779 2.199033 0.096411
Std. Error
t-Statistic
0.084298 0.761259 0.122651 0.503995 0.070642 -2.544154 0.007509 1.682003 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
Prob. 0.4492 0.6159 0.0133 0.0973 0.013840 0.062060 -2.716794 -2.588309 -2.665758 2.002754
5. Estimasi Jangka Panjang Dependent Variable: EKSPORTIR Method: Least Squares Date: 09/04/15 Time: 03:45 Sample (adjusted): 2008M02 2013M12 Included observations: 71 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PARIGI(-1) EKSPORTIR C
0.083985 0.867785 0.553143
0.064421 0.061951 0.276532
1.303698 14.00761 2.000289
0.1967 0.0000 0.0495
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.951527 0.950101 0.059705 0.242395 100.8906 667.4215 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
10.49451 0.267278 -2.757482 -2.661876 -2.719462 2.014950
76
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Ihdiani Abubakar dilahirkan di Takalar pada tanggal 10 Juni 1990 dan merupakan anak pertama dari pasangan H. Abubakar S.Ag dan Hj. Nursam S.Pd. Penulis melalui jenjang pendidikan di Taman Kanak-Kanak Burung Nuri Tahun 1995-1996, Sekolah Dasar pada SDN 6 Bilacaddi Tahun 1996-2002, Sekolah Menengah Pertama pada SMP N 2 Takalar tahun 2002-2005, Sekolah Menengah Atas pada SMA N 1 Takalar tahun 2005-2008. Pada Tahun 2008, penulis melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi pada Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Tadulako dan tamat pada Tahun 2012. Pada Tahun 2013 Penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana di perguruan tinggi pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor melalui beasiswa BPPDN DIKTI.